dengan istilah PU HYANG (Puhyang ) berarti Tuanku Barasal Dari Dewa wangsa
Sakala Bhra sebagai MULAN mulan bearti generasi yang kemudian. ( Pak
Sipak ). Jadi Suku Komering asimilasi antara penduduk asli Gunung Seminung
dengan pendatang dari Suku melayu kuno.
2.
Menurut informasi penduduk dan cerita orang tua tua setempat, Komering berasal
dari bahasa India yang berarti PINANG, kerena sebelum abad ke IX daerah ini marak
dengan perdagangan buah pinang, dengan pedagang dari India, sebagai bahan
rempah rempah.diantara jenis rempah lainya sebagai juragan Pinang.Kemudian
juragan pinang yang berasal dari India tersebut dimakamkan di dekat pertemuan
sungaiSelabung dan Waisaka, di hulu Kota Muara Dua. Dari tempat makam tersebut
mengalir sungai sampai Ke muara ( Minanga ), sehingga mulai saat itu semua
penghuni di sepanjang pinggiran sungai tersebut dinamakan Orang Komering dan
daerahnya dinamakan Daerah Komering. Setelah terjadinya perubahan geografis
karena peristiwa alam, Muara Sungai Komering ( Minanga sekarang ) terjadi
pendangkalan sepanjang 125M pertahun kearah Bangka. Sebelum abad ke VIII
Minanga masih berada di tepi pantai / muara sungai komering.Setelah terjadi
pendangkalan aliran sungai Komering terpecah menjadi 2 cabang sungai mulai dari
Minanga kearah hulu sekitar 20 km tepatnya di Rasuan lama. 2 aliran tersebut :
a. Aliran sungai yang lama menyempit disebelah timur sampai diminanga dan
rawa / lebak ( Bekas Lautan Purba).
b.Aliran sungai yang baru di sebelah Barat mengalir ke daerah Tobong, Plaju dan
bermuara di Musi, kepada mereka yang menghuni aliran sungai Komering yang baru
disebut orang Komering Ilir, walaupun kebanyakan dari mereka bukan penduduk
yang berbudaya Komering, sedangkan di bagian hulu sungai Komering mulai dari
Selabung sampai ke Ranau penduduknya tidak mau disebut orang komering, karena
mereka tidak tinggal dipinggiran sungai Komering, mereka menaman dirinya
JELMA DAYA yang berarti (aktif,dinamis ) tapi mereka pendukung Budaya
Komering ( Y.W.Van Royan 1927 ).
c. Sepanjang aliran sungai Komering dari Hulu ( Muara Dua ) sampai dengan
Gunung Batu dan juga yang tidak disekitar sungai Komering penduduknya terbagi
menjadi 2 Kewedanaan yaitu :
1
pendatang bersal dari berbagai daerah = ada yang dari :Batak, Padang, Jawa,
Sunda, Ogan dll.
Kebanyakan masyarakat pendatang mendiami daratan dan aliran sungai buatan /
bendungan peninggalan zaman Belanda, yang sekarang tetap di renovasi dan
dikembangkan masyarakat OKU TIMUR dengan sebagian besar bermata
pencaharian di bidang pertanian, yang sekarang menggunakan teknologi pertanian
yang lebih baik, terbukti dengan sebutan lumbung pangan Sumatera Selatan. Di
bidang Kebudayaan; Masyarakat OKU TIMUR terdiri dari beberapa etnis, maka Seni
Budaya pun bermacam macam, meskipun demikian kebudayaan asli masih tetap
lestari di tengah tengah masyarakat pendukungnya yaitu Adat Budaya Komering.
PUHYANG / RUMPUN SAKALA BHRA .
Sebagaimana dijelaskan dalam asal usul suku komering SAKALA BHRA berarti
Titisan / Jelmaan Dewa dari Gunung Seminung, yang sIstem pemberian nama bagi
sesepuh atau leluhur disebut Pu Hyang,berarti tuanku berasal dari
Dewa ( dokumentasi Pemda OKU tahun 1979 ) didapat cerita asal usul berdirinya
marga marga yang menyebar dan adanya 7 Kepuhyangan di sepanjang aliran
Sungai Komering.
Pertama kali sekelompok suku dari pegunungan Muaradua ingin mencari tempat
tempat yang dapat memberikan jaminan kehidupan, kemudian bergeraklah mereka
menelusuri sungai Komering kearah utara atau hilir dengan menggunakan rakit,
dengan berbahasa Komering lama yang disebut (SAMANDA) jadi Samanda adalah
Bahasa Komering lama.
Kelompok pertama yang pergi turun gunung adalah kelompok Semendawai.
Kata Semendawai berasal dari kata SAMANDA di WAY yang berarti menelusuri
sungai dari hulu, terakhir mendarat dimuara ( Minanga ) kemudian mereka
berpencar mencari tempat tempat strategis untuk menetap dan mendirikan 7 ke
Puhyangan diantaranya:
1. Puhyangan Ratu Sabibul pendiri daerah Gunung Batu, gunung batu berarti
(Manusia Gunung ).
2. Puhyang Kai Patih Kandi pendiri daerah Maluway (Maluway / Manduway ) berarti
petunjuk arah. 3. Puhyang Minak Ratu Damang Bing pendiri
daerahMinanga ( Muara )
i. Kemudian menyusul kelompok ke 2 ( dua ) yang turun gunung adalah :
4. Puhyang Umpu Sipandang pendiri daerahGunung Terang yang berarti orang
gunung menempati
a.
Sehingga daerah ini dinamakan Pemuka Peliung ( sekitar abad ke
13 pernah terjadi perang Abung)setelah perang abung, berakhir adanya
kepuhyangan baru yaitu:
6. Puhyang Ratu Penghulu, pendiri daerah Banton.
7. Puhyang Umpu Ratu, pendiri daerah Pulau Negara
8. Puhyang Jati Keramat, pendiri daerah Bunga Mayang, bunga mayang berasal dari
nama Permaisurinya yang keluar / datang dari Bunga Mayang Pinang
( Peri
Bunga Pinang )
9. Puhyang Sibala Kuang / Puhyang DAYA, pendiri daerah Mahanggin terdiri dari
Sandang, Rawan, Rujung, Kiti, Lengkayap dll. Nama marga / kepuhyangan ini
menggunakan nama BHU WAY /KEBHUAYAN merupakan istilah yang dibawa orang
Sakala Bhra baru, ( generasi Paksipak atau penerus Sakala Bhra ) setelah
pengusiran orang orang abung dari daerah Komering . Dari ke 7 puhyang yang
mendiami sekitar sungai Komering masing masing berdiri sendiri yang dipimpin
oleh seseorang sesepuh disebut puhyang.
3. ASAL USUL NAMA DAERAH DI WILAYAH OKU TIMUR
1. Asal Nama Bunga Mayang
Daerah Bunga Mayang didirikan oleh Puhyang Jati Keramat, yang diambil dari nama
istrinya yang konon ceritanya istrinya tersebut keluar / datang dari kembang Bunga
Mayang Pinang, sampai sekarang nama daerah ini adalah Kecamatan Bunga
Mayang ( Sumber : buku adat perkawinan Komering Ulu, ( Tahun 2003).
2. Kota Martapura.
Sekitar 1835 Masehi,bermula dari seorang ustadz pendatang dari pulau Borneo
(Kalimantan ) bernama H. Jamaludin bin Azhar bin H. Mahmud yang masih muda
belum beristri, mengajar ngaji di mesjid agung Desa Tanjung Kemala, yang pada
waktu itu Tanjung Kemala dipinpin oleh Pangeran Aguscik Putra dari mantan Pasirah
dari Marga Paku Senggkunyit yaitu Pangeran Muhamad Ali. Setelah usia 25 tahun
H. Jamaludin menikah dengan saudara sepupu dari Pageran Aguscik yang bernama
Halimah dari keluarga Limas. Atas jasa jasanya mengajarkan agama Islam H.
Jamaludin dianggkat menjadi sebagai Pemangku Adat oleh Pengghulu tertua atas
persetujuan masyarakat ketua didaerah Tanjung Kemala. Dalam perkembangannya
daerah Tanjung Kemala semakin bagus maka terbentuklah perkampungan baru
terletak di sebelah hilir desa tanjung kemala disebut kampung hilir namanya
Martapura. Tercetus ketika H. Jamaludin sedang mengajar ngaji dengan mengatakan
: murid muridku semuanya kampong kita ini belum mempunyai nama sedangkan
penduduknya yang sudah memadai bagaimana kalau kita beri nama daerah
kelahiran saya yaitu Martapura ? Spontan disetujui dan diterima oleh masyarakat,
mulai saat itulah kampung hilir yang bersebelahan dengan Tanjung Kemala
bernamaMartapura (Sumber : Tamrin. A. Roni.)
3. Asal Nama Buay Pemuka Peliung
Buay pemuka adalah kephuyangan nama Marga yang dibawa orang Sakala Bhra.
Peliung adalah senjata khas / seperti kampak yang sering dibawa dan disenangi
oleh puhyang minak Adipati, pendiri Buay Pemuka Peliung sampai sekarang
namanya adalah Buay Pemuka Peliung(Sumber : buku adat perkawinan Komering
Ulu ,Tahun 2003)
4. Asal Nama Madang
Padang rumput yang luas dan terang
5. Asal Nama Kurungan Nyawa
Pada zaman kolonial Belanda setiap orang Belanda memasuki daerah ini selalu di
tangkap dan di tawan oleh masyarakat pribumi, maka daerah ini di sebut Kurungan
Nyawa.
6. Asal Nama Belitang
Daerah yang dialiri sungai berliku, berbelok-belok dan banyak pohon yang
melintang di atas sungai, maka disebutlah daerah ini, daerah Belitang.
7. Asal Mula Nama Rasuan
Sebelumnya nama rasuan daerah ini bernama karangcangging rasuan berarti
menggelar tikar untuk bermusyawarah / Rasan. ( Sumber : Bapak Yani )
8. Asal Nama Semendaway
Berasal dari kata Samanda dan di Way, Samanda berarti menelusuri sungai
Komering dari hulu sampai ke hilir. di Way berarti di Air, disebutlah Semendaway
9. Asal Nama Gunung Terang
Masyarakat yang datang dari daerah pegunungan yang menetap di daerah padang
rumput pada dataran rendah.
dibawa di dalam adat pusaka, Kalau tidak pandai tata tertib tanda tidak berbangsa".
( Wikipedia )
-----------------------------------------------------------------------------------------Dalam kesempatan ini, penulis menyempatkan diri untuk membuat artikel yang
berjudul Suku Komering adalah Orang Lampung Juga. Hal yang mendasari penulis
membuat artikel ini adalah di karena ada pandangan dari sebagian masyarakat
Komering (Sumatera Selatan) yang tidak mengaku sebagai bagian dari masyarakat
Lampung. Hal tersebut perlu dikaji dengan bukti sejarah mengenai asal-usul dan
perpindahan suku Komering, terutama ke Lampung.
Untuk lebih jelasnya mengenai asal-usul dan perpindahan suku Komering (dikutip
dari Wacana Nusantara : Perjalanan Komering di Lampung) akan dijelaskan sebagai
berikut :
1. Asal-Usul Tujuh Kepuhyangan
Pada suatu ketika bergeraklah sekelompok besar turun dari dataran tinggi Gunung
Pesagi menyusuri sungai dengan segala cara seperti dengan rakit bambu, dan lainlain. Menyusuri Sungai Komering menuju muara. Menyusuri atau mengikuti dalam
dialek Komering lama adalah Samanda. Kelompok pertama ini kita kenal kemudian
dengan nama Samandaway dari kata Samanda-Di-Way berarti mengikuti atau
menyusuri sungai.
Pada artikel yang berjudul Kebesaran Sriwijaya yang Tak Tersisa -The Rise of
Sriwijaya Empire- (Komentar Agung Arlan), disebutkan bahwa Kepuhyangan
Samandaway yang merupakan kepuhyangan tertua komering menjadi cikal bakal
berdirinya kerajaan Sriwijaya dengan Pu Hyang Jaya Naga (Sri Jaya Naga) sebagai
Raja Sriwijaya pertama yang berkedudukan di daerah dekat Gunung Seminung dan
kemudian berpindah ke Minanga (Setelah itu Pusat Ibu Kota berpindah ke
Palembang, dan yang terakhir ke Jambi pada beberapa kurun masa Kerajaan
Sriwijaya).
Kelompok ini akhirnya sampai di muara (Minanga) dan kemudian berpencar. Mereka
mencari tempat-tempat strategis dan mendirikan tiga kepuhyangan. Kepuhyangan
pertama menempati pangkal teluk yang agak membukit yang kini dikenal dengan
nama Gunung Batu. Mereka berada di bawah pimpinan Pu Hyang Ratu Sabibul.
Kepuhyangan kedua menempati suatu dataran rendah yang kemudian dinamakan
Maluway di bawah pimpinan Pu Hyang Kaipatih Kandil. Kepuhyangan ketiga
menempati muara dalam suatu teluk di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Ratu
Damang Bing. Di tempat ini kemudian dikenal dengan nama Minanga.
Tak lama setelah rombongan pertama, timbul gerakan penyebaran rumpun Skala
Brak ini. Menyusul pula gerakan penyebaran kedua yang seterusnya mendirikan
kepuhyangan keempat. Kepuhyangan keempat menemukan suatu padang rumput
Gelar diberikan kepada anak lelaki atau perempuan yang sudah menikah dengan
tujuan;
Membedakan antara lelaki yang sudah atau pernah beristri dengan lelaki yang
belum beristri, dan antara perempuan yang sudah bersuami dan yang belum
pernah bersuami
Untuk mengetahui asal usul keturuan penyadang gelar
Melalui gelar, dapat pula diketahui status yang bersangkutan, apakah anak laki
laki pertama , kedua dan seterusnya. Karena rangkuman kata-kata dikemas dalam
gelar tersebut tercermin identitasnya.
Dengan menggunakan gelar dalam panggilan sehari-hari berarti resmi telah diakui
menjadi warga baru kaum dewasa, yang telah dibebani tugas-tugas
kemasyarakatan.
Sebagai pengantar dari pengumuman /penyampaian gelar ini Mohon izin sejenak
kepada hadirin untuk melantunkan salah satu kesenian daerah Kumoring yang
disebut CANGGOTSIKANDUA NGALIMPURA PARMISI DIKAWARI GA NUMPANG
BUCURITA AMBITI ANDI-ANDI
Pemberian Gelar atau Adok (Julukan) di daerah komering diberikan menurut
kedudukannya di masyarakat :
Kedudukan Bangsawan (bila dia laki-laki diberi gelar yakni DALOM untuk anak cucu
tua);
MANGKU untuk anak laki-laki di bawah DALOM;
MENTERI untuk anak laki-laki di bawah MANGKU;
PRABU untuk anak tua cucung tua;
RADEN untuk dibawah PRABU-adiknya;
RATU untuk gelar dibawah RADEN;
BUNGSU untuk anak paling akhir.
1.
sering bercanda untuk menyatakan siapa yang tertua diantara Nenek Moyang
mereka yang bersaudara.
Suku Batak adalah bagian dari Melayu Kono yang mendiami pergunungan
perbatasan Burma / Siam ( Thailand ). Selain suku Melayu Kono juga adanya suku
IGOROT, Ranau, Toraja dan lain-lain . Semua suku yang menghuni pegunungan
Siam, menolak segala hubungan dengan dunia luar. Kemudian sekitar tahun 1000
sebelum Masehi Bangsa Mongol memperluas daerah sampai ke sungai
Mekong.dengan demikian suku suku yang berada di pegunungan Siam merasa
terdesak dan memberanikan diri pergi menyeberangi lautan, di antara suku
tersebut adalah suku ranau yang mendarat di Sumatera Selatan dan berkurung
disekitar Danau Ranau 2500 tahun. Sedangkan Suku Batak mendarat di Pantai
Barat Andalas, lalu kemudian Suku Batak dan terpencar di Pulau Andalas
( Sumatera ), tulisan suku Ranau hampir sama dengan tulisan Batak, sedangkan
Bahasa Batak logatnya hampir dengan Bahasa Igorot ( Philipina ).
Pada saat itu terjadi perpindahan besar besaran dari daratan Asia ke Daerah
Nusantara.Suku Bangsa Melayu Kuno ( India Selatan ) dalam pengungsianya
bergerak menyeberangi laut Andaman, kemudian berpencar dalam beberapa
kelompok, diantaranya ada yang sampai di ujung Utara Sumatera, yang terpecah
menjadi Batak Karo, Toba, Dairi dan Alas, sedang kelompok lainya berlayar ke
pantai barat dan menuju ke ujung Selatan sementara, tepatnya di daerah Keroi dan
menyebar di daerah pegunungan, ada yang menetap di Bukit Pasagi dan juga di
gunung Seminung. Kemudian ketiganya berkembang berasimilasi dengan penduduk
asli yang lebih dahulu mendiami sekitar gunung Seminung tersebut, sehingga
timbulah Ras baru, diantaranya : Komering, Ranau, Daya, Lampung. Pada waktu itu
kepercayaan mereka adalahAnimisme, dalam perkembangannya, mereka meminta
kekuatan gaib dan kesaktian dengan melakukan Pertapaan di bukit Pasagi dan
Gunung Seminung, kemudian mereka menyebar disekitar Danau Ranau dan
mendirikan perkampungan yang bernama SAKALA BERAK, Sakala
berarti Penjelmaan / titisan, sedang kata berak berarti Besar / lebar, dalam Bahasa
Komering sekarang. jadi SAKALA BHRA artinya Titisan atau Penjelmaan Dewa dari
Gunung Seminung. Anggapan demikian dapat dilihat pada persamaan bagi Sesepuh
dengan istilah PU HYANG
(Puhyang ) berarti Tuanku Barasal Dari Dewa
wangsa Sakala Bhra sebagai MULAN mulan bearti generasi yang kemudian. ( Pak
Sipak ). Jadi Suku Komering asimilasi antara penduduk asli Gunung Seminung
dengan pendatang dari Suku melayu kuno.
2.
Menurut informasi penduduk dan cerita orang tua tua setempat, Komering berasal
dari bahasa India yang berarti PINANG, kerena sebelum abad ke IX daerah ini marak
dengan perdagangan buah pinang, dengan pedagang dari India, sebagai bahan
rempah rempah.diantara jenis rempah lainya sebagai juragan Pinang.Kemudian
juragan pinang yang berasal dari India tersebut dimakamkan di dekat pertemuan
sungai Selabung dan Waisaka, di hulu Kota Muara Dua. Dari tempat makam
tersebut mengalir sungai sampai Ke muara ( Minanga ), sehingga mulai saat itu
semua penghuni di sepanjang pinggiran sungai tersebut dinamakanOrang
Komering dan daerahnya dinamakan Daerah Komering. Setelah terjadinya
perubahan geografis karena peristiwa alam, Muara Sungai Komering ( Minanga
sekarang ) terjadi pendangkalan sepanjang 125M pertahun kearah Bangka.
Sebelum abad ke VIII Minanga masih berada di tepi pantai / muara sungai
komering.Setelah terjadi pendangkalan aliran sungai Komering terpecah menjadi 2
cabang sungai mulai dari Minanga kearah hulu sekitar 20 km tepatnya di Rasuan
lama. 2 aliran tersebut :
a.
Aliran sungai yang lama menyempit disebelah timur sampai diminanga dan
rawa / lebak ( Bekas Lautan Purba).
b.
Aliran sungai yang baru di sebelah Barat mengalir ke daerah Tobong, Plaju dan
bermuara di Musi, kepada mereka yang menghuni aliran sungai Komering yang baru
disebut orang Komering Ilir, walaupun kebanyakan dari mereka bukan penduduk
yang berbudaya Komering, sedangkan di bagian hulu sungai Komering mulai dari
Selabung sampai ke Ranau penduduknya tidak mau disebut orang komering, karena
mereka tidak tinggal dipinggiran sungai Komering, mereka menaman dirinya
JELMA DAYA yang berarti
( aktif,dinamis ) tapi mereka pendukung Budaya
Komering
( Y.W.Van Royan 1927 ).
c.
Sepanjang aliran sungai Komering dari Hulu ( Muara Dua ) sampai dengan
Gunung Batu dan juga yang tidak disekitar sungai Komering penduduknya terbagi
menjadi 2 Kewedanaan yaitu :
Puhyangan Ratu Sabibul pendiri daerah Gunung Batu, gunung batu berarti
( Manusia Gunung ).
Puhyang Kai Patih Kandi pendiri daerah Maluway ( Maluway / Manduway ) berarti
petunjuk arah.
Puhyang Minak Ratu Damang Bing pendiri daerah Minanga ( Muara )
Kemudian menyusul kelompok ke 2 ( dua ) yang turun gunung adalah :
Puhyang Umpu Sipandang pendiri daerah Gunung Terang yang berarti orang
gunung menempati tempat yang terang ( Padang rumput ). Dalam kegiatannya
mereka membuka lahan padang rumput yang luas, kegiatan tersebut
dinamakan MADANG
Puhyang Minak Adi Pati, pendiri daerah Pemuka Peliung. Kegemaran Puhyang
tersebut membawa (PELIUNG) sejenis Kampak. Sehingga daerah ini dinamakan
Pemuka Peliung ( sekitar abad ke 13 pernah terjadi perang Abung )setelah perang
abung, berakhir adanya kepuhyangan baru yaitu:
Puhyang Ratu Penghulu, pendiri daerah Banton.
Puhyang Umpu Ratu, pendiri daerah Pulau Negara.
Puhyang Jati Keramat, pendiri daerah Bunga Mayang, bunga mayang berasal dari
nama Permaisurinya yang keluar / datang dari Bunga Mayang Pinang
( Peri
Bunga Pinang ).
Puhyang Sibala Kuang / Puhyang DAYA, pendiri daerah Mahanggin terdiri dari
Sandang, Rawan, Rujung, Kiti, Lengkayap dll. Nama marga / kepuhyangan ini
menggunakan nama BHU WAY / KEBHUAYAN merupakan istilah yang dibawa orang
Sakala Bhra baru, ( generasi Paksipak atau penerus Sakala Bhra ) setelah
pengusiran orang orang abung dari daerah Komering . Dari ke 7 puhyang yang
mendiami sekitar sungai Komering masing masing berdiri sendiri yang dipimpin
oleh seseorang sesepuh disebut puhyang.
(sumber:http://badanpariwisataokutimur.blogspot.com/)
BUDAYA KESENIAN ADAT KOMERING SUMATERA SELATAN
BUDAYA KOMERING
Gelar dalam masyarakat komering berhubungan dengan status yang ada dalam
dirinya yaitu ketika seorang laki-laki komering menikah dia akan mendapat gelar
atau sebutan, gelar ini dapat diberikan saat silelaki tersebut menikah ataupun pada
waktu-waktu mendatang (beberapa waktu setelah menikah).
Pemberian gelar ini sangat penting dalam masyarakat komering sehingga adat ini
masih dipegang kuat dalam masyarakat komering dari zaman ke zaman, pemberian
gelar ataupun biasa disebut juluk ataupun Golar tergantung pada gelar yang di
dapat dari orang tua misalkan gelar yang didapat ayah dari lelaki komering adalah
prabu maka biasanya gelar sang anak yang telah menikah akan turun menjadi
prabu, dan diikuti nama juluk atau nama gelar nya anak tersebut yang diberikan
oleh ketua adat dengan persetujuan orang tua, bila orang tuanya ber-gelar-raden
maka anak laki-laki yang telah menikah tersebut akan mendapat gelar Raden dan
dikuti dengan nama juluk nya, begitu pula bila nama orang tuanya bergelar ratu
dan seterusnya hingga proses pemberian gelar tersebut terjadi.
Biasanya pemberian gelar tersebut dibarengi dengan berbagai Ritual yang
bercampur dengan ritual keagamaan (Islam) yang berisi doa dan pengharapan
orang tua maupun keluarga serta masyarakat agar dengan gelar yang diberikan si
lelaki tersebut dapat menjadi orang yang akan memimpin dalam kebaikan baik
memimpin diri, keluarga dan lebih-lebih masyarakat luas nantinya.
Setelah sedikit banyak mengulas tentang siapa yang berhak menerima gelar
tersebut mungkin diantara pembaca ada yang bertanya mengapa bercerita tentang
lelaki yang telah berkeluarga.bukan pada setiap lelaki komering. Inilah salah satu
fungsi utama mengapa pemberian gelar tersebut diberikan pada lelaki yang telah
menikah yaitu sebagai pembeda penyebutan nama karena biasanya penyebutan
nama (memanggil) seseorang dilakukan dengan menyebut nama yang telah
diberikan oleh orang tua ataupun keluarga sejak lahir, tetapi bila dia telah menikah
dia akan di berikan Gelar yang nantinya ketika penyebutan nama nya (memanggil)
orang tersebut dia akan dipanggil dengan gelar yang telah didapat ketika telah
menikah. Penyebutan tersebut berlaku pada siapapun yang memanggil termasuk
orang tua dari lelaki yang telah menikah jadi ketika contohnya bila dia sedang
berkumpul dengan kerabat yang lebih muda (belum menikah) dia akan mendapat
perbedaan status di depan orang banyak, dengan adat pemberian gelar inilah dapat
diketahui status seseorang walaupun orang lain tidak mengetahui status yang telah
didapatkannya (menikah atau belum).
Mungkin banyak pembaca yang bertanya bagaimana dengan gelar yang jatuh pada
istrinya, gelar tersebut diberikan oleh ketua adat untuk seorang yang telah menikah
dengan secara otomatis mengikutkan penyebutan (memanggil) sang istrinya sama
dengan gelar yang diterima sang suami contoh bila sang suami mendapat gelar
raden makan sang istri akan di sebut nyiraden atau niai raden dan seterusnya yang
berlaku pada gelar yang diberikan pada sang suami.
Demikianlah salah satu adat yang masih bertahan di masyarakat komering yang
masih tetap bangga kami pegang dan kami pelihara semoga tulisan ini akan
membuka wacana baru tentang adat dan istiadat masyarakat komering..
Komering merupakan salah satu suku atau wilayah budaya di Sumatra Selatan,
yang berada di sepanjang aliran Sungai Komering. Seperti halnya suku-suku di
Sumatra Selatan, karakter suku ini adalah penjelajah sehingga penyebaran suku ini
cukup luas hingga ke Lampung.
Suku Komering terbagi beberapa marga, di antaranya marga Paku Sengkunyit,
marga Sosoh Buay Rayap, marga Buay Pemuka Peliyung, marga Buay Madang, dan
marga Semendawai. Wilayah budaya Komering merupakan wilayah yang paling luas
Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur adalah salah satu kabupaten di Provinsi
Sumatra Selatan. Kabupaten ini terbentuk sebagai pemekaran Kabupaten Ogan
Komering Ulu. Iklim di Kabupaten OKU Timur termasuk tropis basah dengan variasi
curah hujan antara 2.554 - 3.329 mm/tahun.Topografi di wilayah Kabupaten OKU
Timur dapat digolongkan ke dalam wilayah datar (Peneplain Zone), bergelombang
Tulisan ini dimaksudkan untuk memperkaya khazanah budaya semata. Mohon maaf
kepada tetua adat jika ada yang kurang berkenan dalam penyampaiannya. Tulisan
ini kami kutip dari salah satu sumber yang tertera pada bagian akhir artikel ini.
Bicara mengenai Komering, akan tak terpisahkan dari suku Lampung karena ia
merupakan bagian etnis Lampung seperti halnya Ranau, Cikoneng, yang terletak di
luar batas administratif Provinsi Lampung.
Tak terelakkan lagi, banyak orang komering yang keluar dari daerah asal mereka di
sepanjang aliran Way Komering untuk mencari penghidupan baru pindah ke wilayah
yang dihuni etnis Lampung lain. Mereka membuka umbul maupun kampung (tiuh).
Perpindahan kali pertama mungkin oleh marga Bunga Mayang yang kelak kemudian
hari menjadi Lampung Sungkai/Bunga Mayang.
Seperti diutarakan Suntan Baginda Dulu (Lampung Ragom, 1997): "Kelompok
Lampung Sungkai asal nenek moyang mereka adalah orang komering di tahun 1800
M. pindah dari Komering Bunga Mayang menyusur Way Sungkai lalu minta bagian
tanah permukiman kepada tetua Abung Buway Nunyai pada tahun 1818 s.d. 1834
M kenyataan kemudian hari mereka maju. Mampu begawi menyembelih kerbau 64
ekor dan dibagi ke seluruh kebuayan Abung."
Oleh Abung, Sungkai dinyatakan sebagai Lampung pepadun dan tanah yang sudah
diserahkan Buay Nunyai mutlak menjadi milik mereka. Kemungkinan daerah
sungkai yang pertama kali adalah Negara Tulang Bawang membawa nama
kampung/marga Negeri Tulang Bawang asal mereka di Komering.
Dari sini kemudian menyebar ke Sungkai Utara, Sungkai Selatan, Sungkai Jaya dsb.
Di daerah Sungkai Utara, seperti diceritakan Tjik Agus (64) pernah menjabat
kacabdin di daerah ini, banyak penduduk yang berasal dari Komering Kotanegara.
mereka adalah generasi keempat sampai kelima yang sudah menetap di sana.
Perpindahan berikutnya, yang dilakukan Kebuayan Semendaway, khususnya
Minanga. Menyebar ke Kasui, Bukit Kemuning, Napal Belah/Pulau Panggung,
Bunglai, Cempaka (Sungkai Jaya) di Lampung Utara. Ke Sukadana Lampung Timur
dekat Negeri Tuho. Juga masuk ke Pagelaran, Tanggamus.
Dua Kampung Komering di Lampung Tengah (Komering Agung/Putih), menurut
pengakuan mereka, berasal dari Komering. Nenek Moyang mereka berbaur dengan
etnis Abung di Lampung-Tengah. Akan tetapi, mereka kurang mengetahui asal
kebuayan nenek moyangnya (mungkin orang yang penulis temui kebanyakan usia
muda < 50 tahun). Mereka menyebut Komering yang di Palembang "nyapah"
(terendam).
Kemungkinan mereka juga berasal dari Minanga. Karena kampong ini yang paling
sering terendam air. Daerah Suka Banjar (Tiuh Gedung Komering. Negeri Sakti)
Gedongtataan seperti diceritakan Herry Asnawi (56) dan Komaruzaman (70)
(pensiunan BPN).
Penduduk di sana mengakui mereka berasal dari Komering (Dumanis) walaupun
dialek mereka sudah tercampur dengan dialek Pubian. Tidak menutup kemungkinan
dari daerah lain di komering seperti Betung dsb., yang turut menyebar masuk
daerah Lampung lain.
Melihat perjalanan dan penyebaran yang cukup panjang, peran dalam menyumbang
etnis Lampung (Sungkai), serta menambah kebuayan Abung (Buay Nyerupa), tak
ada salahnya kita mengetahui tentang dialek, tulisan, marga, maupun kepuhyangan
yang ada di daerah Komering.
Bahasa Komering dalam banyak literatur bahasa Lampung termasuk dialek "a".
Sedangkan dialek bahasa Komering, menurut Abu Kosim Sindapati (1970), terbagi
menjadi dialek Bengkulah, dialek Tanjung Baru, dialek Semendaway, dan dialek
Buay Madang.
Kemudin Zainal Abidi Gaffar (1981) membagi menjadi dialek Martapura Simpang
dan Buay Madang-Cempaka-Belitang. Perbedaan utama kedua dialek ini bahwa
dialek Martapura Simpang memiliki fonem /e/ dan /?/ sedangkan Buay MadangCempaka-Belitang tidak.
Bahasa Komering juga memiliki tulisan yang disebut Ka-Ga-Nga. Akan tetapi, orang
Komering sering pula menyebutnya tulisan Ulu/Unggak. Tulisan ini dipakai orang tua
pada zaman dahulu. Sekarang tulisan ini hampir tidak pernah dipakai lagi dan
generasi muda tidak seberapa mengenalnya.
Adapun marga yang terdapat di Komering Ulu, di antaranya marga Semendawai
suku I/II/III dengan wilayah Minanga, Betung, Gunung Batu, Cempaka, dan
sekitarnya. Marga Madang Suku I/II, Marga Buay Pemuka Bangsa Raja dengan
wilayahnya Rasuan, Kotanegara, Muncak Kabau, Marga Belitang I/II/III dengan
wilayah Gumawang, Sumber Jaya, Kota Sari, Marga Buay Pemaca, Marga
Lengkayap.
pertama menempati pangkal teluk yang agak membukit yang kini dikenal dengan
nama Gunung Batu. Mereka berada di bawah pimpinan Pu Hyang Ratu Sabibul.
Kepuhyangan kedua menempati suatu dataran rendah yang kemudian dinamakan
Maluway di bawah pimpinan Pu Hyang Kaipatih Kandil. Kepuhyangan ketiga
menempati muara dalam suatu teluk di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Ratu
Damang Bing. Di tempat ini kemudian dikenal dengan nama Minanga.
Tak lama setelah rombongan pertama, timbul gerakan penyebaran rumpun Sakala
Bhra ini. Menyusul pula gerakan penyebaran kedua yang seterusnya mendirikan
kepuhyangan keempat. Kepuhyangan keempat menemukan suatu padang rumput
yang luas kemudian menempatinya. Mereka di bawah pimpinan Pu Hyang Umpu
Sipadang. Pekerjaan mereka membuka padang ini disebut Madang. Yang kemudian
dijadikan nama Kepuhyangan Madang. Tempat pertama yang mereka duduki
dinamakan Gunung Terang.
Kepuhyangan kelima di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Adipati yang konon
kabarnya suka membawa peliung. Dari kegemarannya ini dinamakan pada nama
kepuhyangan mereka menjadi "Pemuka Peliung". Dari kepuhyangan ini kelak
kemudian hari setelah Perang Abung menyebar mendirikan kepuhyangan baru,
yaitu Kepuhyangan Banton oleh Pu Hyang Ratu Penghulu.
Kepuhyangan Pakuon oleh Puhyang itu dan Kepuhyangan Pulau Negara oleh Pu
Hyang Umpu Ratu. Kepuhyangan Keenam di bawah pimpinan Pu Hyang Jati
Keramat. Istrinya, menurut kepercayaan setempat, berasal dari atau keluar dari
Bunga Mayang Pinang. Kepercayaan ini membekas dan diabadikan pada nama
kepuhyangan mereka, yaitu Bunga Mayang (kelak kemudian hari, inilah cikal bakal
Lampung Sungkai).
Kepuhyangan ketujuh di bawah pimpinan Pu Hyang Sibalakuang. Mereka pada
mulanya menempatkan diri di daerah Mahanggin. Ada yang mengatakan
kepuhyangan daya (dinamis/ulet). Kelak kemudian hari kepuhyangan ini menyebar
mendirikan cabang-cabang di daerah sekitarnya seperti Sandang, Rawan, Rujung,
Kiti, Lengkayap, dan lain-lain. Nama-nama marga atau kepuhyangan yang berasal
dari rumpun kepuhyangan ini banyak menggunakan nama Bhu-Way (buway).
Nama kebhuwayan ini dibawa orang-orang dari Sakala Bhra Baru generasi Paksi
Pak. Ketujuh kepuhyangan yang mendiami lembah sungai yang kini dinamakan
"Komering". Masing-masing pada mulanya berdiri sendiri dengan pemerintahan
sendiri. Di bawah seorang sesepuh yang dipanggil pu hyang. Mereka menguasai
tanah dan air yang mereka tempati dengan batas-batas yang disepakati.
Ditinjau dari tujuan gerakan penyebaran (mempertahankan kelanjutan hidup
kelompok untuk mencari tempat yang memberi jaminan kehidupan) serta cara