Anda di halaman 1dari 14

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum


Kabupaten Bangli terletak di tengah-tengah pulau Bali. Kabupaten Bangli terdiri
dari empat kecamatan, yaitu Kecamatan Bangli, Tembuku, Susut, dan Kintamani. Dari
empat kecamatan tersebut, 70% dari luas daerah Kabupaten Bangli terletak di Kecamatan
Kintamani. Daerah penelitian ini berada pada Kecamatan Kintamani dengan kondisi daerah
yang berbukit. Kecamatan Kintamani memiliki luas wilayah sebesar 366,92 km2. Sebagian
besar wilayahnya merupakan lahan perkebunan, yaitu 13.860,48 ha. Kecamatan Kintamani
terdiri dari 48 desa atau kelurahan.
Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2009, jumlah penduduk di Kecamatan
Kintamani adalah sebanyak 91.796 jiwa. Jika dibandingkan luas daerah Kecamatan
Kintamani, rata-rata kepadatan penduduknya adalah 250 jiwa/km. Sebagaian besar
penduduk di Kecamatan Kintamani berada pada usia produktif, yaitu sebanyak 62,81%
penduduk berusia 15 tahun hingga 65 tahun.

Tabel 5. Jumlah Penduduk Kecamatan Kintamani Berdasarkan Kelompok Umur


dan Jenis Kelamin Tahun 2008 dan Tahun 2009

Tahun 2008 Tahun 2009


Kelompok Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
No umur (orang) (orang) (orang) (orang)
1 0-14 14.092 13.945 14.194 14.028
2 15-64 28.775 28.732 28.826 28.835
3 > 64 2.695 2.937 2.827 3.086
Sumber: BPS Kabupaten Bangli (2010)

Lokasi penelitian terletak di Kecamatn Kintamani, tepatnya di tiga desa yaitu Desa
Langgahan, Desa Lembean, dan Desa Bayung Cerik. Ketiga desa tersebut berada di wilayah
kerja UPT. Puskesmas Kintamani 1. Alasan penelitian ini dilakukan di ketiga desa tersebut
ialah anjuran dari Kepala Puskesmas Kintamni 1, dimana ketiga desa berada di wilayah yang
paling jauh dengan Puskesmas dan masih mengalami kendala mengenai sampah.

4.1.1 Desa Langgahan


Desa Langgahan merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Kintamani,
Kabupaten Bangli. Desa Langgahan merupakan salah satu desa tua yang berada di
Kecamatan Kintamani. Desa ini membentang di daerah pegunungan dan secara topografi
Desa Langgahan merupakan daerah landai yang terletak pada ketinggian 900 sampai dengan
960 meter di atas permukaan laut. Batas-batas wilayah Desa Langgahan adalah sebagai
berikut:

a. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Lembean


b. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Bayung Cerik
c. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pausan, Kecamatan Payangan, Gianyar
d. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Bunutin

Desa Langgahan memiliki jalan sepanjang 12 km, dengan uraian yakni jalan nasional 0 km,
jalan provinsi 0 km, jalan kabupaten 5 km, jalan desa 4 km, dan jalan dusun atau jalan banjar
sepanjang 3 km. Desa Langgahan terletak 12 km ke arah barat daya dari Kecamatan
Kintamani, dimana desa ini terdiri dari dua banjar atau dusun diantaranya Banjar Dinas
Langgahan Barat dan Banjar Dinas Langgahan Timur dengan total luas wilayah adalah
370km2, dimana lahan permukiman seluas 17 Ha, lahan tanah sawah seluas 10 Ha, pertanian
lahan kering dan perkebunan tegalan seluas 331 Ha, dan 12 Ha untuk lahan perikanan,
peternakan, dan bangunan umum seperti fasilitas umum, pura, setra, jalan dan lain
sebagainya.

Tabel 1. Pola Penggunaan Lahan

No Pola Penggunaan Lahan Luas (Ha) Presentase (%)


1 Pertanian
a. Sawah 20.00
b. Perkebunan/tegalan 300.00
c. Kehutanan 45.00
d. Perikanan/tambak 0,5
e. Peternakan 0,25
f. Lain-lain 0.00
Sub total 365.30 365.30
2 Non Pertanian
a. Pekarangan 17.00
b. Bangunan Umum 1.00
c. Kuburan 3.00
d. Lain-lain 15.00
Sub Total 36.00 36.00
JUMLAH 401.30
Dari Tabel 1, dapat dilihat bahwa sebagian besar lahan dimanfaatkan untuk kegiatan
pertanian. Luasnya penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian, menunjukkan bahwa
sebagian besar masyarakat hidup sebagai petani. Kegiatan pertanian juga didukung oleh
keadaan tanah di Desa Langgahan yang cukup subur dengan 2 iklim yaitu iklim kemarau dan
iklim hujan serta peralihan antara iklim kemarau dan hujan yang sering disebut dengan iklim
pancaroba. Curah hujan rata-rata per tahun sekitar 30 cm/th, dengan suhu rata-rata 25oC

Keadaan penduduk di Desa Langgahan berdasarkan hasil data administrasi Pemerintahan


Desa per tahun 2010, jumlah penduduk Desa Langgahan adalah sebanyak 285 KK, dengan
total 1.163 jiwa yang terdiri atas 595 jiwa laki-laki.

Tabel 2. Jumlah Penduduk Desa Langgahan Menurut Jenis Kelamin

No Dusun Jumlah Penduduk Jumlah


KK Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
1. Langgahan Timur 285 177 182 359
2 Langgahan Barat 438 386 804
Jumlah 595 568 1163

Pada subsektor pendidikan, penduduk Desa Langgahan sampai sekarang masih banyak
didominasi oleh tamatan Sekolah Dasar (SD), tamatan SMP dan SMA masih berada pada
urutan kedua setelah tamatan SD sedangkan tamatan Perguruan Tinggi masih sangat minim di
Desa Langgahan. Pendidikan TK di Desa Langgahan sendiri masih belum didukung oleh
sarana dan prasarana yang memadai. Hal ini dikarenakan gedung yang digunakan untuk
belajar masih meminjam bangunan Pura yaitu wantilan Pura Desa. Sedangkan untuk sarana-
prasarana Sekolah Dasar (SD) di Desa Langgahan sudah memadai. Di desa ini terdapat satu
Sekolah Dasar yaitu SDN 1 Langgahan yang terletak di Dusun Langgahan Kangin.

Tabel 3. Pendidikan Penduduk Desa Langgahan

No Tingkat Pendidikan Penduduk Jumlah


1 Belum sekolah 123 orang
2 Tamat TK 13 orang
3 Tamat SD 157 orang
4 Tamat SMP/SLTP 157 orang
5 Tamat SMA/SLTA 70 orang
6 Tamat Akademik/Sederajat -
7 Perguruan Tinggi/Sederajat 16 orang
8 Buta Huruf 2 orang
JUMLAH
Mata pencaharian sebagian besar penduduk Desa Langgahan adalah petani dan buruh.
Keadaan ini terkait dengan keberadaan yang didukung oleh pertanian jeruk yang terdapat di
Desa Langgahan yang sangat baik. Sebagian masyarakat di desa ini juga merupakan buruh
tani karena di Desa Langgahan terdapat pertanian jeruk yang luas sehingga membutuhkan
tenaga buruh untuk memetik jeruk tersebut ketika dipanen. Dengan demikian, aktivitas
masyarakat di Desa Langgahan sebagai buruh menduduki peringkat kedua setelah petani dan
peringkat ketiga dan keempat adalah pengerajin dan peternakan.

Tabel 4. Mata Pencaharian Penduduk Desa Langgahan

No Mata Pencaharian Jumlah


1 PNS/TNI 6
2 Karyawan Swasta 30
3 Wiraswasta/pedagang 26
4 Petani/Buruh tani 539
5 Peternakan 10
6 Pengerajin 14
7 Jasa Pengobatan Alternatf 3
8 Pembantu Rumah Tangga 15
Jumlah 643

Desa Langgahan merupakan salah satu desa yang kurang memiliki sarana dalam pembuangan
dan pengelolaan sampah. Sarana pembuangan sampah umum masih disediakan hanya di
tempat-tempat umum misal seperti di dekat pura atau bale banjar. Sarana tersebut hanya
berupa 2 tong sampah di tiap tempat umum. Total jumlah tong sampah dan tempat
pembuangan sampah sampai sekarang ini hanya sekitar 10 tong sampah yang ditempatkan di
fasilitas umum dan tempat umum. Namun hal ini dirasa kurang dikarenakan produksi sampah
di tiap-tiap rumah tangga terbilang banyak. Untuk sarana pengangkutan sampah masih belum
bisa disediakan dan dilakukan oleh Desa Langgahan. Kendala yang paling berpengaruh
adalah jarak antara Desa Langgahan dengan pusat kecamatan Kintamani lumayan jauh
sehingga sarana pengangkutan sampah masih belum mencapai Desa Langgahan.

4.1.2 Desa Lembean

4.1.3 Desa Bayung Cerik


Desa Bayung Cerik adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Kintamani.
Desa Bayung terletak 9 km ke arah barat daya dari Desa Kintamani. Luas wilayah Desa ini
sekitar 401 km2 Suhu rata-rata harian wilayah ini sekitar 20 0 C. Secara geografis, Desa
Bayung Cerik berbatasan dengan desa di sekitarnya, yakni di sebelah utara berbatasan dengan
Banjar Bungkih, di sebelah timur berbatasan dengan Desa Mangguh, di sebelah selatan
berbatasan dengan Desa Payangan, dan di sebelah barat berbatasan dengan Desa Lembean.
Jumlah penduduk desa Bayung Cerik sebanyak 267 kepala keluarga. Dalam
memenuhi kebutuhan air bersih untuk keperluan sehari-hari, masyarakat desa Bayung Cerik
telah mempunyai swadaya air dimana sumber mata air berasal dari Desa Banua dan Bukih
yang dialirkan ke rumah-rumah penduduk menggunakan pipa, termasuk digunakan untuk
kepentingan pengairan pertanian dan perkebunan.
Berdasarkan letak geografi di daerah pegunungan dan kondisi iklimnya, Desa Bayung
Cerik memiliki keadaan tanah yang cukup subur. Hal ini mendukung mata pencaharian
penduduk Desa Bayung Cerik yang sebagian besar adalah di bidang pertanian dan
perkebunan. Disamping sektor pertanian, sektor peternakan juga merupakan mata
pencaharian sampingan dari sebagaian besar masyarakat Desa Bayung Cerik. Permukiman di
Desa Bayung Cerik terbagi menjadi dua kawasan, yaitu di Banjar Bayung Cerik dan satu lagi
di tempekan Sekunjeng. Desa Bayung Cerik secara administratif terdiri atas 1 dusun dinas
dan 1 banjar adat.
Pengelolaan sampah yang dilakasanakan di Desa Bayung Cerik umumnya masyarakat
membakar sampah. Di Desa juga sudah disediakan 3 buah tong untuk membakar sampah
yang terletak di Pura Dalem. Adapun yang menonjol dari Desa Bayung Cerik, dimana untuk
menjaga kebersihan desa, masyarakat memiliki kegiatan gotong royong bersama sama
setiap Anggara Kasih.

4.2 Karakteristik Informan


Penelitian ini dilakukan di tiga desa dengan total informan yang diteliti berjumlah 20
orang terdiri atas 6 anggota keluarga yang bertanggung jawab atas sampah di rumah
tangga, 3 orang anggota PKK, 3 orang bidan desa, 4 orang kepala dusun, 3 orang kepala
desa, dan 1 orang pemegang program kesehatan lingkungan di Puskesmas Kintamani I.
Karakteristik informan dilihat dari usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan alamat
informan.

Tabel 6. Kode dan Karakteristik Informan


Jenis Pendidik
No. Kode Usia Pekerjaan Alamat
Kelamin an
1. M1 55 L SD Petani Desa Langgahan
L Buruh
2. M2 30 SD Desa Langgahan
Bangunan
P Ibu Rumah
3. M3 38 SMP Desa Lembean
Tangga
4. M4 32 P SMA Pedagang Desa Lembean
5. M5 37 P SMP Pedagang Desa Bayung Cerik
6. M6 27 P SMP Petani Desa Bayung Cerik
P Ibu Rumah
7. I1 32 SMP Desa Langgahan
Tangga
P Ibu Rumah
8. I2 28 SMA Desa Lembean
Tangga
9. I3 44 P SD Petani Desa Bayung Cerik
10. K1 31 P Kepala Desa Desa Langgahan
11. K2 49 P Kepala Desa Desa Lembean
12. K3 P SMA Kepala Desa Desa Bayung Cerik
L Kepala
13. D1 34 SMA Desa Langgahan
Dusun
L Kepala
14. D2 32 SMA Desa Langgahan
Dusun
L Kepala
15. D3 45 SMP Desa Lembean
Dusun
L Kepala
16. D4 47 SMP Desa Bayung Cerik
Dusun
P
17. B2 32 DIII Bidan Desa Lembean

18. B1 33 P DIII Bidan Desa Langgahan


P
19. B3 35 DIII Bidan Desa Bayung Cerik
20. P1 41 L S1 PNS Desa Langgahan
Sumber : Hasil Penelitian

Pada penelitian ini, usia informan berkisar antara 27 tahun hingga 55 tahun, dimana
usia tersebut tergolong usia produktif, sehingga saat usia produktif seseorang masih mampu
melakukan kegiatan apapun termasuk kegiatan peduli terhadap lingkungan. Status pekerjaan
informan dalam penelitian ini sebagian besar bekerja, dimana hal ini menyebabkan waktu
untuk melakukan pengelolaan sampah lebih sedikit, sehingga pengelolaan sampah rumah
tangga masih belum aktif karena bekerja. Sesuai dengan penelitian Frynce Hutabarat (2015)
bahwa usia sangat mempengaruhi sesorang untuk melakukan kegiatan. Kegiatan untuk
mengelola sampah padat juga dipengaruhi oleh kemampuan fisik responden itu sendiri.
Semakin bertambah usia seseorang maka semakin terbatasnya kemampuan untuk melakukan
aktifitas yang disebabkan oleh penurunan fungsional tubuh. Pekerjaan juga dikatakan
mempengaruhi masyarakat dalam mengelola sampah , dimana Terbatasnya waktu untuk
mengelola sampah padat di tengah kesibukan pekerjaan menyebabkan responden lebih
memilih cara yang praktis seperti membakar sampah dari pada mengelola sampah padat
dengan baik.
Dalam penelitian ini tidak dibatasi laki laki atau perempuan yang menjadi informan.
Menurut Tabel tersebut, informan dengan jenis kelamin laki laki lebih sedikit dibandingkan
dengan jumlah informan perempuan. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Koesrimardiyati
(2013) yang menyatakan bahwa perempuan memegang peranan penting dalam pengelolaan
sampah berbasis masyarakat karena perempuan lebih dekat dengan lingkungan sehingga
diperlukan pengorganisasian yang berpusat pada perempuan di tingkat komunitas agar
pengelolaan sampah dapat terus berlanjut.
Tingkat pendidikan informan dalam penelitian ini terdiri dari tidak sekolah, SD, SLTP,
SMU, dan Perguruan Tinggi. Tabel tersebut menunjukan bahwa mayoritas informan yaitu
sebanyak 50% telah menempuh pendidikan formal hingga SMP, dimana menurut penelitian
yang dilakukan oleh dan Mulyadi et al. (2010) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
sangat berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah. Semakin
tinggi pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat mengenai pengelolaan sampah, maka akan
semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat karena masyarakat semakin sadar akan
pentingnya kebersihan lingkungan di tempat mereka tinggal.

4.3 Persepsi Umum Masyarakat Mengenai Sampah


4.3.1
4.3.2
4.3.3

4.4 Perilaku Masyarakat Terhadap Sampah


4.4.1 Kesenjangan Antara Persepsi dengan Perilaku Pengelolaan Sampah
Persepsi masyarakat mengenai pengelolaan sampah masih berbanding terbalik dengan
perilaku dari pengelolaan sampah. Informasi tersebut didapat berdasarkan wawancara
mendalam bersama beberapa tokoh masyarakat dan masyarakat di desa. Kami
melakukan wawancara dengan tokoh masyarakat mengenai persepsi mengenai
pengelolaan sampah, dan dikatakan bahwa mengelola sampah tersebut berarti
masyarakat harus mengetahui pemilahan sampah dan barang-barang bekas yang masih
dapat digunakan kembali. Informasi tersebut dikutip dari wawancara berikut:

Mengelola sampah nika berarti harus nawang napi ane organik, napi ane non
organik. Napi ane dados angge, napi ane ten dados angge. Kalau tiang
dirumah, tiang kan sai ngeburuh bangunan nika, ember-ember bekas nika tiang
angge tong sampah di rumah, kadang tiang lapisin angge kampil pang ten
ngutang ember. (Mengelola sampah itu berarti harus mengerti apa saja yang
organic, apa saja yang non organic. Apa saja yang masih bisa dipakai, apa saja
yang tidak bisa. Kalau saya dirumah, saya kan sering bekerja jadi buruh
bangunan, ember-ember bekas itu saya pakai untuk tong sampah dirumah,
kadang saya lapisi menggunakan karung supaya tidak membuang ember)
(Wawancara mendalam, D4)
Wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat lain, kami juga mendapatkan jawaban
yang hampir sama mengenai persepsi dalam pengelolaan sampah.

Mengelola sampah ya bisa dimanfaatkan kembali sampah-sampahnya, di daur


ulang. Apalagi sampah-sampah botol plastik nika.
(Wawancara mendalam, B3)
Berdasarkan informasi yang didapat mengenai persepsi pengelolaan sampah,
seharusnya persepsi tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam perilaku pengelolaan
sampah. Namun hal ini belum banyak dilakukan. Pengelolaan sampah belum banyak
dilakukan baik oleh masyarakat dan tokoh masyarakat. Proses pengelolaan sampah
dengan memilah sampah organik dan non organic hanya berlangsung sementara.

Waktu niki sudah dipilah sampah organik sama sampah non-organiknya,


masyarakat waktu ini sudah memilah sampah tapi bertahannya hanya
sebulanan, setelah itu sampahnya digabung lagi.
(Wawancara mendalam, B3)
Perbedaan persepsi dengan perilaku pengelolaan sampah memang menjadi suatu
kesenjangan. Masyarakat sudah sedikit paham mengenai pengelolaan sampah namun
belum dapat menjalankan apa yang diharapkan dalam pengelolaan sampah.

Mengelola sampah ya? Saya gak pernah sih, paling kalau daun dibuang saja
ke ladang, kalau plastik dijual ke pengepul, kadang saya bakar juga
(Wawancara mendalam, M5)
Hampir setiap informan yang kami wawancara belum melakukan pengelolaan sampah
meskipun persepsi mereka mengenai pengelolaan sampah sudah positif. Mereka
mengatakan bahwa tanggung jawab dalam pengelolaan sampah merupakan tanggung
jawab bersama. Penyuluhan juga telah diberikan oleh yang berwenang untuk melakukan
pengelolaan sampah namun pelatihan mengenai pengelolaan sampah memang belum
dilakukan. Informasi tersebut kami kutip dari wawancara berikut:

Len penyuluhan ampun taen diadakan oleh puskesmas sareng Kecamatan. Ibu
ibu PKK dikumpulkan ring banjar dan diberikan penyuluhan tentang memilah
sampah. Len pelatihan ngolah sampah durung nika. (Kalau penyuluhan sudah
pernah diadakan oleh Puskesmas dan Kecamatan, Ibu-ibu PKK dikumpulkan di
banjar dan diberikan penyuluhan tentang pemilahan sampah. Kalau pelatihan
mengenai pengolahan sampah belum diberikan.
(Wawancara mendalam, D4)
Perilaku pengelolaan sampah yang masih kurang disebabkan oleh beberapa faktor.
Faktor-faktor tersebut sudah didiskusikan oleh tokoh masyarakat kepada masyarakat
pada saat dilakukan rapat desa. Faktor yang paling berpengaruh adalah kurangnya
kesadaran masyarakat mengenai sampah dan akibat kesibukan masyarakat desa yang
setiap harinya harus pergi ke ladang untuk melakukan pekerjaanya.

Len rapat selalu dibahas nika dik tentang kebersihan. Kesadaran masyarakat
deriki masih kurang dik karena orang gunung kan fokusnya kerja di ladang
manten, ten ngelah waktu angge ngurusang sampah. (Kalau rapat selalu
dibahas tentang kebersihan. Kesadaran masyarakat disini yang masih kurang dik
karena orang gunung fokusnya hanya kerja di ladang saja, tidak memiliki waktu
untuk mengurus sampah)
(Wawancara mendalam, D4)
Persepsi dan perilaku pengelolaan sampah oleh masyarakat hendaknya dilakukan
dengan sungguh-sungguh. Berdasarkan informasi yang kami dapatkan dari wawancara
mendalam, banyak masyarakat yang belum melaksanakan perilaku pengelolaan sampah
tersebut dengan baik. Hal ini disebutkan akibat adanya suatu kendala yaitu belum
adanya sarana yang memadai untuk pembuangan sampah akhir.

Menurut saya, kendala dari masyarakat disini dalam mengelola sampah karna
tidak adanya tempat pembuangan yang besar, dan namanya juga masyarakat
desa ya dik, jadi misalnya punya sampah 2 karung, dibuang aja mendingan ke
kebun supaya gak ribet lagi buang ke tempat tampungan, jadi masyarakat
seperti menomor duakan masalah sampah ini dan lebih baik bekerja ketimbang
mengurus masalah sampah.
(Wawancara mandalam, D4)
Menurut WHO, sampah merupakan sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak
disenangi atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak
terjadi dengan sendirinya. Undang-undang Pengelolaan Sampah Nomor 18 tahun 2008
menyatakan sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau dari proses alam
yang berbentuk padat. Sedangkan persepsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu dan merupakan proses
seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Menurut Asngari (1984)
dalam Harihanto (2001), persepsi seseorang terhadap lingkungannya merupakan faktor
penting karena akan berlanjut dalam menentukan tindakan individu tersebut. Persepsi
yang benar terhadap suatu objek diperlukan karena persepsi merupakan dasar
pembentukan sikap dan perilaku.Berdasarkan hal tersebut dikatakan bahwa persepsi
masyarakat dalam konteks pengelolaan sampah merupakan pandangan masyarakat
mengenai pentingnya pengelolaan sampah, yang kemudian mendorong perilaku
masyarakat dalam mengelola sampah agar kebersihan lingkungan dapat terus terjaga.
Persepsi masyarakat merupakan salah satu penentu tingkat partisipasi masyarakat yang
berfungsi dalam membentuk sikap dan menentukan keputusan untuk bertindak. Apabila
persepsi masyarakat terhadap sampah baik, maka partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sampah akan meningkat.(Diwyacitra Tansatrisna, 2014)

Dari hasil wawancara mendalam, didapatkan hasil bawa persepsi masyarakat mengenai
sampah sudah positif dimana masyarakat mampu menjelaskan mengenai sampah, jenis
sampah, dan dampaknya. Namun masyarakat belum mampu untuk melakukan
pengelolaan terhadap sampah meskipun persepsi yang dikatakan sudah positif. Terdapat
beberapa faktor kuat yang menyebabkan adanya perbedaan antara persepsi dan perilaku
pengelolaan sampah rumah tangga diantaranya adalah tidak adanya sarana pembuangan
akhir untuk sampah tersebut serta kendala karena banyaknya masyarakat yang bekerja
sebagai petani sehingga hampir seluruh waktunya dihabiskan di ladang dan tidak
sempat mengurus sampah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Suardana, Mardani, Wardi, (2011), yang menarik kesimpulan bahwa persepsi
masyarakat terhadap pengelolaan sampah di Kota Singaraja yang dilakukan oleh Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Buleleng secara umum adalah baik, namun
masalah kondisi bak sampah dan perbandingan jumlah ketersediaan bak sampah dengan
volume sampah yang ada, dianggap kurang sesuai dengan harapan masyarakat. Karena
adanya kendala tersebut menyebabkan banyak masyarakat yang belum mengubah
perilaku pengelolaan sampah meskipun persepsi yang dikatakan sudah positif.

4.4.2 Praremnya Sudah Ada, Namun Belum Diterapkan

4.4.3 Sanksi Sosial Mendorong Kegiatan Gotong Royong di Desa Bayung Cerik
Masyarakat di Desa Bayung Cerik umumnya sudah melakukan pemilahan sampah
antara organik dan non organik. Karena mayoritas penduduk bekerja sebagai petani maka
sampah organik dimanfaatkan sebagai kompos dan digunakan untuk berkebun. Sedangkan
sampah non organik seperti sampah plastik akan di kumpulkan, dimana nantinya bisa dibakar
sendiri atau dikumpulkan di tempat pembuangan desa. Maka pengelolaan sampah di Desa
Bayung Cerik menganut individual inceneration.
Nanti yang rombengan dijual ke pemulung,kan wenten nika yang meriki ngambil
ngambil rongsokan, yang organik isi don-donan abe ke ladang, sampah yang plastik
di borbor nika, len sing sempet morbor, abe ke tempat pengumpulan ring Pura
Dalem (Wawancara Mendalam, M6)
Pengelolaan sampah di Desa Bayung Cerik bisa dikatakan cukup baik, dimana masyarakat
mau dan mengerti tentang dampak apabila sampah menumpuk. Hal ini didukung oleh adanya
suatu peraturan yang mengharuskan seluruh anggota PKK di Desa Bayung Cerik untuk
mengikuti kegiatan gotong royong. Menurut hasil wawancara mendalam, dikatakn bahwa
kegiatan ini rutin dilaksanakan setiap satu bulan sekali, seluruh warga akan berkumpul pagi
hari dan membersihkan lingkungan desa. Apabila tidak datang maka akan dikenakan denda.
Hal yang membuat seluruh warga datang bukanlah denda tersebut, namun sanksi sosial
berupa menjadi bahan gunjingan hingga dikucilkan di masyarakat.
Ada kegiatan bersih bersih setiap bulan anggar kasih, yan tedun nika ibu-ibu
PKK, sambil kumpul ngobrol - ngobrol, sambil sembahyang di Pura, sambil bersih
bersih di desa. Nanti dikelompokan berdasarkan tempeknya jadi perdaerah. Disini
ada 3 tempek, 1 tempek sekitar 87 KK. Len ten teka nika medenda Rp. 10.000,00.
Nika kan memang sedikit, len ten teka kan malu nggih, diomongin biasanya
(Wawancara mendalam, I3)
Menurut GL Gillin dan JP Gillin (2013) Masyarakat merupakan sekelompok manusia
yang besar yang memiliki kebiasaan, sikap, tradisi budaya, dan perasaan persatuan yang
sama. Dalam bermasyarakat, secara tidak sengaja akan terbentuk suatu norma. Dalam proses
soaial yang relatif lama, maka tumbuhlah berbagai aturan yang kemudian diikuti secara sadar.
Secara sosialogis, norma sosial merupakan rangkaian peraturan umum, baik tertulis maupun
tidak tertulis, mengenai tingkah laku atau buruk, pantas, atau tidaknya menurut penilaian
masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari norma sosial berfungsi sebagai alat kendali
terhadap perilaku masyrakat agar tidak mendapatkan sanksi. Salah satu sanksi yang membuat
masyarakat harus mengikuti suatu peraturan adalah sanksi sosial. Sri Hayati (2012) Sanksi
sosial adalah suatu bentuk penderitaan yang secara sengaja diberikan oleh masyarakat. Dari
pernyataan-pernyaan diatas maka sanksi sosial dapat diartikan sebagai sebuah tindakan yang
sengaja diberikan oleh sekelompok orang yang telah hidup bersama-sama (masyarakat)
kepada salah satu anggotanya sebagai sebuah reaksi atas sebuah tindakan yang dianggap telah
menyimpang di dalam masyarakat itu sendiri dengan tujuan agar si penerima sanksi tersebut
dapat berperilaku sesuai dengan norma-norma yang telah tertanam di dalam masyarakat
tersebut. Sanksi sosial bisa ringan atau berat, sanksi ringan seperti cemohan atau celaan
sedangkan sanksi berat seperti dikucilkan.
Dari hasil wawancara mendalam didapatkan bahwa masyarakat mengikuti suatu
peraturan karena takut akan sanksi nya. Sanksi yang paling ditakuti adalah sanksi sosial yaitu
dikucilkan. Sesuai dengan teori Sri Hayati (2012) yang mengatakan bahwa sanksi sosial
merupakan suatu bentuk penderitaan yang secara sengaja diberikan kepada masyarakat yang
melanggar norma dengan tujuan agar penerima sanksi berperilaku sesuai norma. Sanksi sosial
berupa celaan bahkan yang berat masyarakata akan dikucilkan. Dalam penelitian ini, dengan
adanya norma yang diikuti dengan adanya sanksi sosial dalam bermasyarakat akan
menggerakkan masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan gotong royong membersihkan
desa.

4.4.4 Kurangnya Sarana dan Prasana untuk Mengelola Sampah Mempersulit Pengelolaan
Sampah
Kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya sudah ada, namun
sarana atau tempat pembuangan yang disediakan masih kurang. Hal tersebut berdampak pada
lokasi pembuangan sampah diubah menjadi ke jurang. Informasi ini kami dapatkan
berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan, dengan kutipan sebagai berikut.

Sarana ya sudah tong sampah, tapi ada di deket jurang sana kayak lahan,
nanti sampahnya dibuang disana, abis itu kalau sudah penuh ditutup lagi
pakai tanah, diurug gitu.
(Wawancara mendalam, B2)
Hal serupa juga dikatakan oleh informan lain, dimana informan tersebut menjelaskan
masih banyak masyarakat yang membuang sampah plastik di jurang, namun selain itu ada
juga beberapa masyarakat yang menjualnya ke pengepul.

Sampah saya jual ke pengepul, ada langganan biasanya, kadang ya dibakar


juga tapi jarang, lebih sering di buang ke jurang deket pura disitu.
(Wawancara mendalam, I2)

Sampah yang dibuang di jurang oleh masyarakat tidak semata-mata hanya dibuang
saja. Masyarakat juga melakukan penguburan dengan tanah apabila sampah yang dibuang
tersebut dirasa sudah menumpuk. Hal ini berdasarkan kutipan wawancara sebagai berikut.

Itu seperti yang saya bilang tadi, biasanya masyarakat membuang sampah
di jurang deket pura sana, ada lahan gitu untuk buang sampah, nanti diurug
pakai tanah kalau sudah banyak nanti ditumpuk lagi urug lagi.
(Wawancara mendalam, B2)

Salah satu faktor terpenting dari perilaku membuang sampah di jurang adalah
kesadaran diri tiap individu dalam membuang sampah untuk mengurangi produksi sampah.
Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara mendalam sebagai berikut.

Kalau mengurangi produksi sampah kan kesadaran masing-masing saja ya,


jadi mungkin yang istri-istri bawa tas keranjang dari rumah untuk kepasar
biar gak banyak sampah plastik.
(Wawancara mendalam, B2)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Asti Mulasari, dkk (2016), menyebutkan
bahwa permasalahan sampah terkait dengan masalah jangkauan pelayanan, dampak dari
perilaku pembuangan sampah yang tidak baik, dan masalah teknis pengolahan sampah di
TPA. Permasalahan sampah lebih banyak disebabkan karena kurangnya kesadaran
masyarakat dalam mensikapi dan mengelola sampah. Masyarakat masih banyak yang
membuang sampah sembarangan di sungai. Bahkan ketika sudah disediakan tempat
pembuangan sampah sementara (TPSS) di lingkungannya, masyarakat masih tidak tertib
dalam waktu ataupun tempat membuang sampah. Menurut penelitian lain yang dilakukan
oleh Otitoju (2014), faktor lain yang menghambat individu dalam pemilahan sampah dan
pembuangan sampah adalah kurangnya pengetahuan tentang masalah sampah, tidak adanya
motivasi dalam pemilahan sampah, dan kurangnya fasilitas yang disediakan.
Berdasarkan hasil wawancara, didapatkan hasil bahwa jurang merupakan tempat
masyarakat untuk membuang sampah karena terbatasnya sarana dan prasarana dalam
membuang sampah. Menurut Nurhadyana (2012), ketersediaan sarana merupakan salah satu
faktor yang paling berpengaruh terhadap perilaku membuang sampah pada tempatnya.
Kurangnya sarana dalam membuang sampah merupakan hambatan dalam membuang sampah
dengan benar. Selain pentingnya fasilitas, kesadaran diri untuk menjaga lingkungan
merupakan faktor yang berperan penting dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
membuang sampah pada tempatnya.

4.5 Peran Pemerintah Dalam Pengelolaan Dsampah


4.5.1 Sanitary Landfill, pengelolaan sampah yang dilaksanakan di Desa Lembean

4.6 Refleksi

4.7 Kelemahan Penelitian

Anda mungkin juga menyukai