Lokasi penelitian terletak di Kecamatn Kintamani, tepatnya di tiga desa yaitu Desa
Langgahan, Desa Lembean, dan Desa Bayung Cerik. Ketiga desa tersebut berada di wilayah
kerja UPT. Puskesmas Kintamani 1. Alasan penelitian ini dilakukan di ketiga desa tersebut
ialah anjuran dari Kepala Puskesmas Kintamni 1, dimana ketiga desa berada di wilayah yang
paling jauh dengan Puskesmas dan masih mengalami kendala mengenai sampah.
Desa Langgahan memiliki jalan sepanjang 12 km, dengan uraian yakni jalan nasional 0 km,
jalan provinsi 0 km, jalan kabupaten 5 km, jalan desa 4 km, dan jalan dusun atau jalan banjar
sepanjang 3 km. Desa Langgahan terletak 12 km ke arah barat daya dari Kecamatan
Kintamani, dimana desa ini terdiri dari dua banjar atau dusun diantaranya Banjar Dinas
Langgahan Barat dan Banjar Dinas Langgahan Timur dengan total luas wilayah adalah
370km2, dimana lahan permukiman seluas 17 Ha, lahan tanah sawah seluas 10 Ha, pertanian
lahan kering dan perkebunan tegalan seluas 331 Ha, dan 12 Ha untuk lahan perikanan,
peternakan, dan bangunan umum seperti fasilitas umum, pura, setra, jalan dan lain
sebagainya.
Pada subsektor pendidikan, penduduk Desa Langgahan sampai sekarang masih banyak
didominasi oleh tamatan Sekolah Dasar (SD), tamatan SMP dan SMA masih berada pada
urutan kedua setelah tamatan SD sedangkan tamatan Perguruan Tinggi masih sangat minim di
Desa Langgahan. Pendidikan TK di Desa Langgahan sendiri masih belum didukung oleh
sarana dan prasarana yang memadai. Hal ini dikarenakan gedung yang digunakan untuk
belajar masih meminjam bangunan Pura yaitu wantilan Pura Desa. Sedangkan untuk sarana-
prasarana Sekolah Dasar (SD) di Desa Langgahan sudah memadai. Di desa ini terdapat satu
Sekolah Dasar yaitu SDN 1 Langgahan yang terletak di Dusun Langgahan Kangin.
Desa Langgahan merupakan salah satu desa yang kurang memiliki sarana dalam pembuangan
dan pengelolaan sampah. Sarana pembuangan sampah umum masih disediakan hanya di
tempat-tempat umum misal seperti di dekat pura atau bale banjar. Sarana tersebut hanya
berupa 2 tong sampah di tiap tempat umum. Total jumlah tong sampah dan tempat
pembuangan sampah sampai sekarang ini hanya sekitar 10 tong sampah yang ditempatkan di
fasilitas umum dan tempat umum. Namun hal ini dirasa kurang dikarenakan produksi sampah
di tiap-tiap rumah tangga terbilang banyak. Untuk sarana pengangkutan sampah masih belum
bisa disediakan dan dilakukan oleh Desa Langgahan. Kendala yang paling berpengaruh
adalah jarak antara Desa Langgahan dengan pusat kecamatan Kintamani lumayan jauh
sehingga sarana pengangkutan sampah masih belum mencapai Desa Langgahan.
Pada penelitian ini, usia informan berkisar antara 27 tahun hingga 55 tahun, dimana
usia tersebut tergolong usia produktif, sehingga saat usia produktif seseorang masih mampu
melakukan kegiatan apapun termasuk kegiatan peduli terhadap lingkungan. Status pekerjaan
informan dalam penelitian ini sebagian besar bekerja, dimana hal ini menyebabkan waktu
untuk melakukan pengelolaan sampah lebih sedikit, sehingga pengelolaan sampah rumah
tangga masih belum aktif karena bekerja. Sesuai dengan penelitian Frynce Hutabarat (2015)
bahwa usia sangat mempengaruhi sesorang untuk melakukan kegiatan. Kegiatan untuk
mengelola sampah padat juga dipengaruhi oleh kemampuan fisik responden itu sendiri.
Semakin bertambah usia seseorang maka semakin terbatasnya kemampuan untuk melakukan
aktifitas yang disebabkan oleh penurunan fungsional tubuh. Pekerjaan juga dikatakan
mempengaruhi masyarakat dalam mengelola sampah , dimana Terbatasnya waktu untuk
mengelola sampah padat di tengah kesibukan pekerjaan menyebabkan responden lebih
memilih cara yang praktis seperti membakar sampah dari pada mengelola sampah padat
dengan baik.
Dalam penelitian ini tidak dibatasi laki laki atau perempuan yang menjadi informan.
Menurut Tabel tersebut, informan dengan jenis kelamin laki laki lebih sedikit dibandingkan
dengan jumlah informan perempuan. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Koesrimardiyati
(2013) yang menyatakan bahwa perempuan memegang peranan penting dalam pengelolaan
sampah berbasis masyarakat karena perempuan lebih dekat dengan lingkungan sehingga
diperlukan pengorganisasian yang berpusat pada perempuan di tingkat komunitas agar
pengelolaan sampah dapat terus berlanjut.
Tingkat pendidikan informan dalam penelitian ini terdiri dari tidak sekolah, SD, SLTP,
SMU, dan Perguruan Tinggi. Tabel tersebut menunjukan bahwa mayoritas informan yaitu
sebanyak 50% telah menempuh pendidikan formal hingga SMP, dimana menurut penelitian
yang dilakukan oleh dan Mulyadi et al. (2010) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
sangat berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah. Semakin
tinggi pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat mengenai pengelolaan sampah, maka akan
semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat karena masyarakat semakin sadar akan
pentingnya kebersihan lingkungan di tempat mereka tinggal.
Mengelola sampah nika berarti harus nawang napi ane organik, napi ane non
organik. Napi ane dados angge, napi ane ten dados angge. Kalau tiang
dirumah, tiang kan sai ngeburuh bangunan nika, ember-ember bekas nika tiang
angge tong sampah di rumah, kadang tiang lapisin angge kampil pang ten
ngutang ember. (Mengelola sampah itu berarti harus mengerti apa saja yang
organic, apa saja yang non organic. Apa saja yang masih bisa dipakai, apa saja
yang tidak bisa. Kalau saya dirumah, saya kan sering bekerja jadi buruh
bangunan, ember-ember bekas itu saya pakai untuk tong sampah dirumah,
kadang saya lapisi menggunakan karung supaya tidak membuang ember)
(Wawancara mendalam, D4)
Wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat lain, kami juga mendapatkan jawaban
yang hampir sama mengenai persepsi dalam pengelolaan sampah.
Mengelola sampah ya? Saya gak pernah sih, paling kalau daun dibuang saja
ke ladang, kalau plastik dijual ke pengepul, kadang saya bakar juga
(Wawancara mendalam, M5)
Hampir setiap informan yang kami wawancara belum melakukan pengelolaan sampah
meskipun persepsi mereka mengenai pengelolaan sampah sudah positif. Mereka
mengatakan bahwa tanggung jawab dalam pengelolaan sampah merupakan tanggung
jawab bersama. Penyuluhan juga telah diberikan oleh yang berwenang untuk melakukan
pengelolaan sampah namun pelatihan mengenai pengelolaan sampah memang belum
dilakukan. Informasi tersebut kami kutip dari wawancara berikut:
Len penyuluhan ampun taen diadakan oleh puskesmas sareng Kecamatan. Ibu
ibu PKK dikumpulkan ring banjar dan diberikan penyuluhan tentang memilah
sampah. Len pelatihan ngolah sampah durung nika. (Kalau penyuluhan sudah
pernah diadakan oleh Puskesmas dan Kecamatan, Ibu-ibu PKK dikumpulkan di
banjar dan diberikan penyuluhan tentang pemilahan sampah. Kalau pelatihan
mengenai pengolahan sampah belum diberikan.
(Wawancara mendalam, D4)
Perilaku pengelolaan sampah yang masih kurang disebabkan oleh beberapa faktor.
Faktor-faktor tersebut sudah didiskusikan oleh tokoh masyarakat kepada masyarakat
pada saat dilakukan rapat desa. Faktor yang paling berpengaruh adalah kurangnya
kesadaran masyarakat mengenai sampah dan akibat kesibukan masyarakat desa yang
setiap harinya harus pergi ke ladang untuk melakukan pekerjaanya.
Len rapat selalu dibahas nika dik tentang kebersihan. Kesadaran masyarakat
deriki masih kurang dik karena orang gunung kan fokusnya kerja di ladang
manten, ten ngelah waktu angge ngurusang sampah. (Kalau rapat selalu
dibahas tentang kebersihan. Kesadaran masyarakat disini yang masih kurang dik
karena orang gunung fokusnya hanya kerja di ladang saja, tidak memiliki waktu
untuk mengurus sampah)
(Wawancara mendalam, D4)
Persepsi dan perilaku pengelolaan sampah oleh masyarakat hendaknya dilakukan
dengan sungguh-sungguh. Berdasarkan informasi yang kami dapatkan dari wawancara
mendalam, banyak masyarakat yang belum melaksanakan perilaku pengelolaan sampah
tersebut dengan baik. Hal ini disebutkan akibat adanya suatu kendala yaitu belum
adanya sarana yang memadai untuk pembuangan sampah akhir.
Menurut saya, kendala dari masyarakat disini dalam mengelola sampah karna
tidak adanya tempat pembuangan yang besar, dan namanya juga masyarakat
desa ya dik, jadi misalnya punya sampah 2 karung, dibuang aja mendingan ke
kebun supaya gak ribet lagi buang ke tempat tampungan, jadi masyarakat
seperti menomor duakan masalah sampah ini dan lebih baik bekerja ketimbang
mengurus masalah sampah.
(Wawancara mandalam, D4)
Menurut WHO, sampah merupakan sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak
disenangi atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak
terjadi dengan sendirinya. Undang-undang Pengelolaan Sampah Nomor 18 tahun 2008
menyatakan sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau dari proses alam
yang berbentuk padat. Sedangkan persepsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu dan merupakan proses
seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Menurut Asngari (1984)
dalam Harihanto (2001), persepsi seseorang terhadap lingkungannya merupakan faktor
penting karena akan berlanjut dalam menentukan tindakan individu tersebut. Persepsi
yang benar terhadap suatu objek diperlukan karena persepsi merupakan dasar
pembentukan sikap dan perilaku.Berdasarkan hal tersebut dikatakan bahwa persepsi
masyarakat dalam konteks pengelolaan sampah merupakan pandangan masyarakat
mengenai pentingnya pengelolaan sampah, yang kemudian mendorong perilaku
masyarakat dalam mengelola sampah agar kebersihan lingkungan dapat terus terjaga.
Persepsi masyarakat merupakan salah satu penentu tingkat partisipasi masyarakat yang
berfungsi dalam membentuk sikap dan menentukan keputusan untuk bertindak. Apabila
persepsi masyarakat terhadap sampah baik, maka partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sampah akan meningkat.(Diwyacitra Tansatrisna, 2014)
Dari hasil wawancara mendalam, didapatkan hasil bawa persepsi masyarakat mengenai
sampah sudah positif dimana masyarakat mampu menjelaskan mengenai sampah, jenis
sampah, dan dampaknya. Namun masyarakat belum mampu untuk melakukan
pengelolaan terhadap sampah meskipun persepsi yang dikatakan sudah positif. Terdapat
beberapa faktor kuat yang menyebabkan adanya perbedaan antara persepsi dan perilaku
pengelolaan sampah rumah tangga diantaranya adalah tidak adanya sarana pembuangan
akhir untuk sampah tersebut serta kendala karena banyaknya masyarakat yang bekerja
sebagai petani sehingga hampir seluruh waktunya dihabiskan di ladang dan tidak
sempat mengurus sampah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Suardana, Mardani, Wardi, (2011), yang menarik kesimpulan bahwa persepsi
masyarakat terhadap pengelolaan sampah di Kota Singaraja yang dilakukan oleh Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Buleleng secara umum adalah baik, namun
masalah kondisi bak sampah dan perbandingan jumlah ketersediaan bak sampah dengan
volume sampah yang ada, dianggap kurang sesuai dengan harapan masyarakat. Karena
adanya kendala tersebut menyebabkan banyak masyarakat yang belum mengubah
perilaku pengelolaan sampah meskipun persepsi yang dikatakan sudah positif.
4.4.3 Sanksi Sosial Mendorong Kegiatan Gotong Royong di Desa Bayung Cerik
Masyarakat di Desa Bayung Cerik umumnya sudah melakukan pemilahan sampah
antara organik dan non organik. Karena mayoritas penduduk bekerja sebagai petani maka
sampah organik dimanfaatkan sebagai kompos dan digunakan untuk berkebun. Sedangkan
sampah non organik seperti sampah plastik akan di kumpulkan, dimana nantinya bisa dibakar
sendiri atau dikumpulkan di tempat pembuangan desa. Maka pengelolaan sampah di Desa
Bayung Cerik menganut individual inceneration.
Nanti yang rombengan dijual ke pemulung,kan wenten nika yang meriki ngambil
ngambil rongsokan, yang organik isi don-donan abe ke ladang, sampah yang plastik
di borbor nika, len sing sempet morbor, abe ke tempat pengumpulan ring Pura
Dalem (Wawancara Mendalam, M6)
Pengelolaan sampah di Desa Bayung Cerik bisa dikatakan cukup baik, dimana masyarakat
mau dan mengerti tentang dampak apabila sampah menumpuk. Hal ini didukung oleh adanya
suatu peraturan yang mengharuskan seluruh anggota PKK di Desa Bayung Cerik untuk
mengikuti kegiatan gotong royong. Menurut hasil wawancara mendalam, dikatakn bahwa
kegiatan ini rutin dilaksanakan setiap satu bulan sekali, seluruh warga akan berkumpul pagi
hari dan membersihkan lingkungan desa. Apabila tidak datang maka akan dikenakan denda.
Hal yang membuat seluruh warga datang bukanlah denda tersebut, namun sanksi sosial
berupa menjadi bahan gunjingan hingga dikucilkan di masyarakat.
Ada kegiatan bersih bersih setiap bulan anggar kasih, yan tedun nika ibu-ibu
PKK, sambil kumpul ngobrol - ngobrol, sambil sembahyang di Pura, sambil bersih
bersih di desa. Nanti dikelompokan berdasarkan tempeknya jadi perdaerah. Disini
ada 3 tempek, 1 tempek sekitar 87 KK. Len ten teka nika medenda Rp. 10.000,00.
Nika kan memang sedikit, len ten teka kan malu nggih, diomongin biasanya
(Wawancara mendalam, I3)
Menurut GL Gillin dan JP Gillin (2013) Masyarakat merupakan sekelompok manusia
yang besar yang memiliki kebiasaan, sikap, tradisi budaya, dan perasaan persatuan yang
sama. Dalam bermasyarakat, secara tidak sengaja akan terbentuk suatu norma. Dalam proses
soaial yang relatif lama, maka tumbuhlah berbagai aturan yang kemudian diikuti secara sadar.
Secara sosialogis, norma sosial merupakan rangkaian peraturan umum, baik tertulis maupun
tidak tertulis, mengenai tingkah laku atau buruk, pantas, atau tidaknya menurut penilaian
masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari norma sosial berfungsi sebagai alat kendali
terhadap perilaku masyrakat agar tidak mendapatkan sanksi. Salah satu sanksi yang membuat
masyarakat harus mengikuti suatu peraturan adalah sanksi sosial. Sri Hayati (2012) Sanksi
sosial adalah suatu bentuk penderitaan yang secara sengaja diberikan oleh masyarakat. Dari
pernyataan-pernyaan diatas maka sanksi sosial dapat diartikan sebagai sebuah tindakan yang
sengaja diberikan oleh sekelompok orang yang telah hidup bersama-sama (masyarakat)
kepada salah satu anggotanya sebagai sebuah reaksi atas sebuah tindakan yang dianggap telah
menyimpang di dalam masyarakat itu sendiri dengan tujuan agar si penerima sanksi tersebut
dapat berperilaku sesuai dengan norma-norma yang telah tertanam di dalam masyarakat
tersebut. Sanksi sosial bisa ringan atau berat, sanksi ringan seperti cemohan atau celaan
sedangkan sanksi berat seperti dikucilkan.
Dari hasil wawancara mendalam didapatkan bahwa masyarakat mengikuti suatu
peraturan karena takut akan sanksi nya. Sanksi yang paling ditakuti adalah sanksi sosial yaitu
dikucilkan. Sesuai dengan teori Sri Hayati (2012) yang mengatakan bahwa sanksi sosial
merupakan suatu bentuk penderitaan yang secara sengaja diberikan kepada masyarakat yang
melanggar norma dengan tujuan agar penerima sanksi berperilaku sesuai norma. Sanksi sosial
berupa celaan bahkan yang berat masyarakata akan dikucilkan. Dalam penelitian ini, dengan
adanya norma yang diikuti dengan adanya sanksi sosial dalam bermasyarakat akan
menggerakkan masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan gotong royong membersihkan
desa.
4.4.4 Kurangnya Sarana dan Prasana untuk Mengelola Sampah Mempersulit Pengelolaan
Sampah
Kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya sudah ada, namun
sarana atau tempat pembuangan yang disediakan masih kurang. Hal tersebut berdampak pada
lokasi pembuangan sampah diubah menjadi ke jurang. Informasi ini kami dapatkan
berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan, dengan kutipan sebagai berikut.
Sarana ya sudah tong sampah, tapi ada di deket jurang sana kayak lahan,
nanti sampahnya dibuang disana, abis itu kalau sudah penuh ditutup lagi
pakai tanah, diurug gitu.
(Wawancara mendalam, B2)
Hal serupa juga dikatakan oleh informan lain, dimana informan tersebut menjelaskan
masih banyak masyarakat yang membuang sampah plastik di jurang, namun selain itu ada
juga beberapa masyarakat yang menjualnya ke pengepul.
Sampah yang dibuang di jurang oleh masyarakat tidak semata-mata hanya dibuang
saja. Masyarakat juga melakukan penguburan dengan tanah apabila sampah yang dibuang
tersebut dirasa sudah menumpuk. Hal ini berdasarkan kutipan wawancara sebagai berikut.
Itu seperti yang saya bilang tadi, biasanya masyarakat membuang sampah
di jurang deket pura sana, ada lahan gitu untuk buang sampah, nanti diurug
pakai tanah kalau sudah banyak nanti ditumpuk lagi urug lagi.
(Wawancara mendalam, B2)
Salah satu faktor terpenting dari perilaku membuang sampah di jurang adalah
kesadaran diri tiap individu dalam membuang sampah untuk mengurangi produksi sampah.
Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara mendalam sebagai berikut.
4.6 Refleksi