Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Mata merupakan salah satu panca indera sangat penting. Mata yang sehat
membuat kita dapat melihat berbagai macam benda dan mempresepsikannya
dalam otak kita, sehingga apabila terdapat penyakit maka akan sangat
mengganggu kehidupan sehari-hari apabila tidak ditangani.

Pterigium adalah salah satu bentuk penyakit pada organ mata dimana
terjadi pertumbuhan fibrovaskular yang invasinya berbentuk sayap pada
konjungtiva bulbi ke arah kornea. Sinar Ultraviolet dianggap sebagai perangsang
terjadinya kelainan ini dimana sinar ultraviolet menyebabkan kerusakan pada
barier stem sel limbus sehingga terjadi konjungtivalisasi pada kornea. 1

Pterigium tersebar luas di dunia tetapi lebih sering terjadi pada daerah
dengan iklim panas dan kering. Prevalensi pada daerah ekuator kira-kira 22% dan
kurang 2% di daerah lintang di atas 40⁰. Sekitar 44% lebih besar pada daerah
tropis (kurang dari 30⁰ ) 11 kali lebih banyak pada pekerja yang berhubungan
dengan pasir, 9 kali pada pasien dengan riwayat tanpa memakai kacamata dan 2
kali pada pasien yang tidak memakai topi.1,2

Pterigium juga menimbulkan keluhan secara kosmetik dan berpotensi


mengganggu penglihatan pada stadium lanjut yang memerlukan tindakan operasi
untuk rehabilitasi penglihatan. Tingginya kejadian berulang dan pertumbuhan
progresif pada pterigium berulang masih merupakan permasalahan klinis yang
3
menantang.

Keberhasilan penanganan pterigium menjadi tantangan tersendiri


bagi dokter oleh karena tingkat kekambuhan yang tinggi. Tingkat
kekambuhan yang tinggi tersebut dan komplikasi penglihatan yang
mengancam pada teknik bedah yang berbeda memprovokasi para spesialis mata
untuk mencari modalitas baru dan pengobatan yang lebih aman.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva yang


bersifat degeneratif dan invasif. Pterigium tumbuh arah konjungtiva menuju
kornea pada daerah interpalpebra berbentuk sayap segitiga pada konjungtiva
bulbi. Asal kata pterigium adalah dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya
sayap.1

2.2. Epidemiologi

Telah diyakini bahwa pterigium merupakan gangguan kronik dengan


distribusi geografis yang berbeda dan hubungannya dengan paparan sinar
matahari oleh karena hal tersebut pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi
cendrung lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di
daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat
ekuator, yakni daerah yang terletak kurang 37⁰ Lintang Utara dan Selatan dari
ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah dekat ekuator dan kurang dari
2% pada daerah yang terletak di atas 400 Lintang. Insiden pterigium cukup tinggi
di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%.2,4

Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium.Prevalensi


pterigium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari
kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang
(rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih
resiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah,
riwayat terpapar lingkungan di luar rumah.1

2.3. Faktor Risiko

Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni


radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan
faktor herediter.5

2
2.3.1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya
pterigium adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi
kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi
sel. Letak lintang, waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi
juga merupakan faktor penting.4,5
2.3.2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterigium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan
riwayat keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan autosom
dominan.4
2.3.3. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan
terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru
patogenesis dari pterigium. Wong juga menunjukkan adanya pterigium
angiogenesis factor dan penggunaan pharmacotherapy
antiangiogenesis sebagai terapi. Debu, kelembaban yang rendah, dan
trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma
juga penyebab dari pterigium.4
2.4. Patofisiologi

Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini lebih
sering pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu gambaran
yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering,
inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya.6

Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal
basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi
dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-
sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi
kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva
terjadi degenerasi elastoik proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan
kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan
membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai

3
dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi
displasia. 1,2,6

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada
permukaan kornea.2 Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva
ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan
pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan
karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan
manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat
sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.5,6

Pemisahan fibroblast dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan


phenotype, pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum
dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal.
Lapisan fibroblast pada bagian pterygiun menunjukkan proliferasi sel yang
berlebihan. Pada fibroblast pterigium menunjukkan matrix metalloproteinase,
dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyembuhan
luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterigium cenderung terus
tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi.7

Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih
banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena disamping
kontak langsung,bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultraviolet secara
tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal
konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian
temporal.5,6,7

Patofisiologi pterigium ditandai dengan proliferasi fibrovaskular dan


degenerasi elastotik kolagen, dengan permukaan yang menutupi epitel.
Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan
daerah basofilia. Histologi pterigium merupakan akumulasi dari jaringan
degenerasi subepitel yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan pada
pewarnaan hematoksin dan eosin. Berbentuk seperti ulat atau degenerasi elastotik
dengan penampilan seperti cacing bergelombang dari jaringan yang degenerasi.7

4
Pterigium memperlihatkan gambaran yang sama seperti pingekula.
Bedanya, pada pterigium lapisan Bowman dirusak. Pemusnahan lapisan Bowman
oleh jaringan fibrovaskular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi
mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering
menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.7

2.5. Gejala Klinis dan Klasifikasi

Pada fase awal, pterigium tidak memberikan keluhan atau hanya


menimbulkan keluhan mata merah, iritatif dan keluhan kosmetik. Pterigium lebih
sering dijumpai pada laki-laki yang bekerjadi luar rumah. Bias unilateral atau
bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal. Pterigium yang terletak di nasal
dan temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun pterigium di temporal
jarang ditemukan. Kedua mata sering terlibat tetapi jarang simetris. Perluasan
pterigium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu
penglihatan yang menyebabkan penglihatan kabur.8

Secara klinis pterigium muncul sebagai lipatan berbentuk segituga pada


konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissure interpalpebra. Deposit
besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterigium
(stoker’s line).5,6,8

Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head) dan cap.
Bagian segitiga yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya kearah kantus
disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut apex dank e belakang disebut cap.
Subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggit
pterigium.1,8

Pembagian pterigium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu:

1. Progresif pterigium : tebal dan vascular dengan beberapa infiltrate di


depan kepala pterigium (disebut cap pterigium).

2. Regresif pterigium : tipis, atrofi, sedikit vascular. Akhirnya menjadi


membentuk membrane tetapi tidak pernah hilang.

5
Gangguan terjadi ketika pterigium mencapai daerah pupil atau menyebabkan
astigmatisme karena pertumbuhan fibrosis pada tahap regresi. Kadang terjadi
diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata. Menurut
keparahannya, pterigium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu:6,8

1. Derajat 1 : pterigium hanya terbatas pada limbus kornea

2. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea

3. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil


mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar
3-4 mm)

4. Derajat 4 : pertumbuhan pterigium melewati pupil sehingga mengganggu


penglihatan

2.6. Diagnosis Banding


Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang sama
yaitu pinguekula dan pseudopterigium. Bentuknya kecil, meninggi, masa
kekuningan berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura
interpalpebra dan kadang-kadang mengalami inflamasi. Tindakan eksisi tidak
diindikasikan.9 Prevalensi dan insiden meningkat dengan meningkatnya umur.
Pinguekula sering pada iklim sedang dan iklim tropis dan angka kejadian sama
pada laki-laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko
penyebab pinguekula.6,7
Pertumbuhan yang mirip dengan pterigium, pertumbuhannya membentuk
sudut miring seperti pseudopterigium atau Terrien's marginal degeneration.
Pseudopterigium mirip dengan pterigium, dimana adanya jaringan parut
fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi menuju kornea. Berbeda dengan
pterigium, pseudopterigium adalah akibat inflamasi permukaan okular
sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah
atau ulkus perifer kornea.6

6
Untuk mengidentifikasi pseudopterigium, cirinya tidak melekat pada
limbus kornea. Hal ini dapat dibuktikan dengan melakukan tes sonde. Probing
dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah
pseudopterigium pada limbus, dimana hal ini tidak dapat dilakukan pada
pterigium. Pada pseudopterigium tidak dapat dibedakan antara head, cap dan body
dan pseudopterigium cenderung keluar dari ruang fissura interpalpebra yang
berbeda dengan true pterigium.9
2.7. Tata Laksana dan Pencegahan
2.7.1. Konservatif
Keluhan fotofobia dan mata merah dari pterigium ringan sering
ditangani dengan menghindari asap dan debu.1 Beberapa obat topikal
seperti lubrikans, vasokonstriktor dan kortikosteroid digunakan untuk
menghilangkan gejala terutama pada derajat 1 dan derajat 2. Untuk
mencegah progresifitas, beberapa peneliti menganjurkan penggunaan
kacamata pelindung ultraviolet.10
2.7.2. Operatif

Indikasi eksisi pterigium sangat bervariasi. Eksisi dilakukan pada


kondisi adanya ketidaknyamanan yang menetap, gangguan
penglihatan bila ukuran 3-4 mm dan pertumbuhan yang progresif ke
tengah kornea atau aksis visual, adanya gangguan pergerakan bola
mata.11

Adapun indikasi operasi menurut Ziegler and Guilermo Pico, yaitu:

Menurut Ziegler :10

a. Mengganggu visus

b. Mengganggu pergerakan bola mata

c. Berkembang progresif

d. Mendahului suatu operasi intraokuler

e. Kosmetik

Menurut Guilermo Pico :10

a. Progresif, resiko rekurensi > luas

7
b. Mengganggu visus

c. Mengganggu pergerakan bola mata

d. Masalah kosmetik

e. Di depan apeks pterigium terdapat Grey Zone

f. Pada pterigium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat

g. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik.

Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai gambaran permukaan mata


yang licin. Suatu tehnik yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium
dengan menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium kearah
limbus.5,6 Memisahkan pterigium kearah bawah pada limbus lebih disukai,
kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma jaringan sekitar
otot. Setelah eksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan.
Beberapa tehnik operasi yang dapat menjadi pilihan yaitu :4,8,9

1. Bare sclera : tidak ada jahitan atau jahitan, benang absorbable digunakan
untuk melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi tendon rektus.
Meninggalkan suatu daerah sklera yang terbuka.
2. Simple closure : tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika
hanya defek konjungtiva sangat kecil).
3. Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap
konjungtiva digeser untuk menutupi defek.
4. Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk
lidah konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya.
5. Conjunctival graft : suatu free graft biasanya dari konjungtiva superior,
dieksisi sesuai dengan besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit.
6. Amnion membrane transplantation : mengurangi frekuensi rekuren
pterigium, mengurangi fibrosis atau skar pada permukaan bola mata dan
penelitian baru mengungkapkan menekan TGF-β pada konjungtiva dan
fibroblast pterigium. Pemberian mytomicin C dan beta irradiation dapat
diberikan untuk mengurangi rekuren tetapi jarang digunakan.
7. Lamellar keratoplasty, excimer laser phototherapeutic keratectomy dan
terapi baru dengan menggunakan gabungan angiostatik dan steroid.

8
2.8. Komplikasi
Komplikasi pterigium termasuk ; merah, iritasi, skar kronis pada
konjungtiva dan kornea, pada pasien yang belum eksisi, distorsi dan penglihatan
sentral berkurang, skar pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan
diplopia.2 Komplikasi yang jarang adalah malignan degenerasi pada jaringan
epitel di atas pterigium yang ada. Komplikasi sewaktu operasi antara lain
perforasi korneosklera, graft oedem, graft hemorrhage, graft retraksi, jahitan
longgar, korneoskleral dellen, granuloma konjungtiva, epithelial inclusion cysts,
skar konjungtiva, skar kornea dan astigmatisma, disinsersi otot rektus. Komplikasi
yang terbanyak adalah rekuren pterigium post operasi.10
2.9. Prognosa
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien
setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali. Rekurensi pterigium
setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga untuk mengatasinya
berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau
antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva.5,6
Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft
dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya
rekurensi terjadi pada 3 – 6 bulan pertama setelah operasi. Pasien dengan resiko
tinggi timbulnya pterigium seperti riwayat keluarga atau karena terpapar sinar
matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata pelindung dan mengurangi
terpapar sinar matahari.8

9
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PENDERITA


Nama :R
Nomor Rekam Medis : 777038
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 43 tahun
Alamat : Pangandaran, Jawa Barat
Tanggal Pemeriksaan : 14 November 2018

3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama : Mata merah

10
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik mata RS Bhayangkara Denpasar pada tanggal 14
November 2018 dengan keluhan utama mata kanan dan kiri merah sejak
kurang lebih 3 bulan yang lalu. Keluhan ini dirasakan hilang timbul dan
biasanya muncul saat pasien mandi atau terkena debu. Pasien mengaku
awalnya keluhan mata merah tersebut hanya terasa berair namun lama
kelamaan semakin sering kambuh hingga akhirnya pasien memutuskan untuk
berobat ke RS Bhayangkara Denpasar. Selain keluhan tersebut, pasien juga
merasa ada rasa mengganjal di sudut mata kanan dan kiri pasien. Keluhan lain
seperti nyeri, rasa silau ataupun penglihatan kabur disangkal oleh pasien.
Riwayat trauma pada mata sebelumnya juga disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengatakan sebelumnya telah beberapa kali mengeluhkan mata
merah dan kering, namun selama ini pasien tidak pernah memberikan obat
maupun ke dokter untuk mengurangi keluhan tersebut. Riwayat penggunaan
kacamata disangkal oleh pasien. Riwayat penyakit sistemik seperti darah
tinggi, kencing manis, penyakit jantung, asma maupun alergi juga disangkal
oleh pasien.
Riwayat Keluarga
Pada keluarga pasien dikatakan tidak terdapat anggota keluarga yang
mengalami keluhan serupa seperti pasien. Riwayat penyakit sistemik pada
keluarga seperti asma, darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung
disangkal oleh pasien.

Riwayat Sosial
Selama 7 tahun terakhir pasien bekerja sebagai pegawai di sebuah tempat
usaha laundri. Sehari-hari pasien berangkat ke tempat kerja dengan
menggunakan motor, dan jarang menggunakan kaca helm untuk melindungi
matanya dari paparan debu dan angin. Pasien juga mengaku bahwa saat
bekerja di laundry, selain mencuci pakaian dan menyetrika, setiap hari dia
juga bertugas menjemur banyak pakaian di bawah sinar matahari yang terik,

11
kadang sampai menghabiskan waktu berjam-jam hingga semua pakaian
terjemur.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


Status present
KU : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 80x/ menit reguler, isi cukup
Respirasi : 18x/ menit
Suhu aksila : 36,2 °C
Status Generalis
Kepala : Normocephali
Mata : sesuai status opthalmology
THT : sekret (-), hiperemis (-)
Leher : pembesaran kelenjar (-), kaku kuduk (-)
Thorax : Cor : Inspeksi: ictus cordis +
Palpasi: pulsasi (+), thrill (-), kuat angkat (-)
Auskultasi: S1S2 Tunggal Reguler, murmur (-)
Pulmo : Palpasi: fremitus fokal (+/+) simetris
Auskultasi: Vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : Bising usus (+) Normal, Distensi (-), Nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Hangat + + , odema - -
+ + - -

Status Ophthalmology
OD OS
UCVA 6/6 UCVA 6/6
Visus
Posisi: Orthophoria
Normal Palpebra Normal
Konjungtiva

12
Terdapat massa/Jaringan Terdapat massa/Jaringan
Fibrovaskular (bagian Fibrovaskular (bagian
nasal) Berbentuk segitiga nasal) Berbentuk segitiga
denga puncak ± 3mm denga puncak ± 3mm
dari limbus kearah pupil, dari limbus kearah pupil,
hiperemis (+) hiperemis (+)
Jernih Kornea Jernih
Dalam Bilik mata depan Dalam
Bulat, regular Iris Bulat, regular
RP (+) RAPD (-) Pupil RP (+) RAPD (-)
Jernih Lensa Jernih
Jernih Vitreous Jernih
Papil N II bulat, batas Papil N II bulat, batas
tegas tegas
CDR 0,3 Funduskopi CDR 0,3
aa/vv 2/3 aa/vv 2/3
Retina: baik Retina: baik
Makula: refleks (+) Makula: refleks (+)
10,2 Tekanan Intraokuler 10,2
Baik ke segala arah Baik ke segala arah
Gerakan Bola Mata

Gambar 3.1. Pemeriksaan fisik opthamology

3.4 Usulan Pemeriksaan Penunjang


Darah Lengkap (DL)

13
Bleeding Time (BT)
Clothing Time (CT)
3.5 Diagnosis
Pterigium grade III ODS
3.6 Diagnosis Banding
Pseudopterigium
Pinguekula
3.7 Penatalaksanaan
Terapi
1. Pro Eksisi + Conjunctival Limbal Graft dengan LA ODS
2. Steroid eye drop 1 tetes tiap 6 jam ODS
3. Artificial tears 1 tetes tiap 6 jam ODS
KIE
1. Pencegahan pterigium salah satunya dengan menggunakan kacamata
setiap hari. Pilihlah kacamata yang memblok 99-100% radiasi ultraviolet A
dan B. Kacamata yang menutup sempurna merupakan proteksi terbaik
untuk menghindari mata pasien dari sinar, debu, dan udara.
2. Untuk menghindari mata yang kering diberi air mata buatan.
3. Pasien dianjurkan untuk tetap menggunakan obat tetes steroid untuk
beberapa minggu, dimana hal ini bertujuan untuk mengurangi inflamasi
dan mencegah rekurensi
3.8 Prognosis
Ad vitam : dubius ad bonam.
Ad fungsionam : dubius ad bonam.
Ad sanationam : dubius ad bonam.

14
BAB IV
PEMBAHASAN

Pterigium merupakan suatu kelainan pada organ mata dimana terjadi


pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan
invasif. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pterigium adalah lingkungan
yakni radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara
dan faktor herediter. Pasien ini didiagnosa dengan ODS Pterigium derajat 3
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis di dapatkan mata
merah berulang pada mata kanan dan kiri yang dialami kurang lebih 3 bulan yang
lalu dan mengaku bahwa pasien tidak pernah menggunakan kacamata helm saat
berkendara motor, dimana tentu terpapar angin dan debu selama perjalanan. Di
samping itu, pasien juga menjelaskan bahwa dirinya terpapar sinar mata hari terik
dalam waktu yang lama setiap kali dirinya menjemur pakaian saat bekerja. Hal ini
sesuai dengan teori dimana pterigium terjadi akibat beberapa faktor risiko seperti
paparan sinar ultraviolet yang berlebihan dan terjadinya iritasi kronik oleh debu,
angin, dan lain-lain.
Dari pemeriksaan fisik mata pada konjungtiva bulbi ODS didapatkan
hiperemis disertai adanya jaringan fibrovaskular pada bagian nasal, berbentuk
segitiga dengan puncak ±3mm dari limbus kearah pupil, dimana sesuai dengan
pembagian pterigium berdasarkan derajatnya, menunjukan pterigium derajat 3

15
yakni pterigium melewati limbus kornea lebih dari 2 mm tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal
sekitar 3 – 4 mm).
Tujuan pengobatan medikamentosa adalah untuk mengurangi peradangan.
Bila terjadi peradangan dapat diberikan steroid topikal. Tindakan pembedahan
pada pterigium adalah suatu tindakan bedah untuk mengangkat jaringan
fibrovaskular dengan berbagai teknik operasi. Pada pasien ini diberikan
pengobatan berupa alletrol tetes mata yang mengandung kortikosteroid dan
antibiotik. Selain itu pasien juga diberikan artificial tears sebagai lubrikasi.
Rencana pembedahan dilakukan oleh karena terdapat indikasi operasi yakni
terjadi kongesti (gejala klinis) secara periodik.
Selanjutnya pada pasien diberikan edukasi mengenai penyakitnya dan
diharapkan agar penderita sedapat mungkin menghindari faktor pencetus
timbulnya pterigium seperti sinar matahari, angin dan debu serta rajin merawat
dan menjaga kebersihan kedua mata. Oleh karena itu dianjurkan untuk selalu
memakai kacamata pelindung atau topi pelindung bila keluar rumah. Menurut
kepustakaan, umumnya pterigium bertumbuh secara perlahan dan jarang sekali
menyebabkan kerusakan yang bermakna sehingga prognosisnya adalah baik.

16
BAB V

KESIMPULAN

Pada saat pasien datang pertama kali, didapatkan keluhan utamanya


berupa mata merah dan penting diketahui bahwa mata pasien terpapar secara
kronis terhadap angin dan debu saat berkendara motor tanpa kaca pelindung serta
sinar ultraviolet saat bekerja. Hipotesis dari mata merah sangat banyak dan
dikelompokkan dalam berbagai klasifikasi, seperti mata merah visus normal, mata
merah visus turun, dan mata tenang. Namun, setelah anamnesis lebih lanjut
diketahui bahwa pasien mengeluh mata merah sejak 3 bulan yang lalu. Disertai
rasa mengganjal dan mata berair. Penglihatan buram disangkal, nyeri disangkal,
fotofobia disangkal. Sebelumnya mata pasien sering merah terutama jika terkena
debu dan saat terkena air, hilang timbul selama 3 bulan terakhir. Riwayat trauma
mata disangkal, dari anamnesis tersebut didapatkan hipotesis, yakni, Pterigium,
Pseudopterigium, dan Pinguekula yang termasuk kedalam klasifikasi mata merah
sebagian. Untuk mengeliminasi hipotesis dan mengarah ke suatu diagnosis, perlu
dilakukan beberapa pemeriksaan fisik, seperti ststus generalis dan status
oftalmologis. Dari status generalis tidak didapatkan suatu kelainan, hal ini
menunjukkan bahwa gangguan pada mata pasien tidak disebabkan oleh kelainan
sistemik, sedangkan pada pemeriksaan fisik di kedua mata pasien didapatkan

17
jaringan fibrovaskular pada mata kanan dan kiri, jaringan fibrovaskular mengenai
kornea namun tidak sampai di tepi pupil.

Pasien didiagnosa dengan pterigium derajat 3, sehingga pasien dilakukan


rencana pterigoplasti dengan teknik konjungtiva graft dan diberi pengobatan
utama berupa steroid lokal. Diharapkan agar penderita sedapat mungkin
menghindari faktor pencetus timbulnya pterigium seperti sinar matahari, angin
dan debu serta rajin merwat dan menjaga kebersihan kedua mata. Oleh karena itu
dianjurkan untuk selalu memakai kacamata pelindung atau topi pelindung bila
keluar rumah. Menurut kepustakaan, umumnya pterigium bertumbuh secara
perlahan dan jarang sekali menyebabkan kerusakan yang bermakna sehingga
prognosisnya adalah baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. 2006.p.2-7,117.
2. Riri Julianti,S.Ked. Pterigium.[online]2009.[ cited 2011 Maret 08].
Available from : http://facultyofmedicine.riau.com
/procedures/pterigium..html
3. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter
Spesialis Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. 2009. 22
4. Jerome P Fisher, Pterigium. [online]. 2011 [cited 2011 July 24]
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
5. Voughan & Asbury. Oftalmologi Umum edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal
119.
6. Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [ cited 2011 Maret 08].
Available from : http://PPM.pdf.com/info-pterigium-anatomi
7. Anonymus. Pterigium. [online] 2009. [cited 2011 Maret 08] Available from :
http://www.dokter-online.org/index.php.htm
8. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to
Depositions and Degenerations of the Conjungti va, Cornea, and Sclera. In :
External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of
Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366.

18
9. Maheswari, sejal. Pterydium-inducedcornealrefractive changes.[online]
2007. [cited 2011 August 11]. Aviable from : http//www.ijo.in/article.asp?
issn
10. Anton, dkk. Pterigium. [online] 2010. [ cited 2011 July 10]. Available from:
www.inascrs.org/pterigium/
11. Drakeiron. Pterigium. [online] 2009. [cited 2011 August 11]. Avaible from:
http://drakeiron.wordpress.com/info-pterigium.

19

Anda mungkin juga menyukai