Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

CROUP SYNDROME

Oleh:
dr. Putu Herlin Oktavianti, S.Ked

Pendamping:
dr. Nyoman Wardiana

dr. A.A Ngurah Oka Jaya

DALAM RANGKA MENGIKUTI PROGRAM DOKTER


INTERNSIP

RUMAH SAKIT BALIMED

DENPASAR

2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

Croup adalah sebuah sindrom klinis yang ditandai dengan suara serak,
batuk menggonggong, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya stres
pernapasan. Gejala yang dapat ditimbulkan bisa dari yang bersifat ringan, sedang,
atau bahkan bisa dengan gejala yang cukup parah biasanya terjadi memburuk pada
malam hari. Penyakit ini sering terjadi pada anak. Croup berasal dari bahasa
Anglo-Saxon yang berarti tangisan keras. Penyakit ini pertama kali dikenal pada
tahun 1928.1,2
Sindrom ini terjadi pada sekitar 15% dari anak-anak, dan biasanya terpapar
antara usia 6 bulan dan 5-6 tahun. Dalam kasus yang jarang, mungkin terjadi pada
anak-anak berumur 3 bulan dan yang tertua sekitar usia 15 tahun. Perbandingan
anak laki-laki dan perempuan yang menderita penyakit ini adalah 50% anak laki-
laki lebih sering daripada perempuan, dan ada peningkatan prevalensi di musim
gugur dan musim dingin.1,2
Istilah lain untuk croup ini adalah laringitis akut yang menunjukkan lokasi
inflamasi, yang jika meluas sampai trakea disebut laringotrakeitis, dan jika terjadi
sampai ke bronkus digunakan istilah laringotrakeobronkitis.1,2
Sindrom croup atau laringotrakeobronkitis akut disebabkan oleh virus
yang menyerang saluran respiratori atas. Penyakit ini dapat menimbulkan
obstruksi saluran respiratori. Obstruksi yang terjadi dapat bersifat ringan hingga
berat. Croup paling banyak disebabkan oleh virus yang menyerang saluran
respiratori atas. Virus yang paling sering menyebabkan sindroma ini biasanya
adalah Para-influenza tipe 1 virus (HPIV-1) 60%, HPIV-2, 3 dan 4, influenza A
dan virus B, adenovirus, Respiratory Syncytial Virus (RSV) dan virus campak.
Selain dapat disebabkan oleh virus, sindrom ini dapat pula disebabkan oleh
bakteri. Bakteri yang dapat menimbulkan penyakit ini antara lain
Corynebacterium diphtheriae, Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae,
Hemophilus influenzae dan Catarrhalis Moraxella.3
Pada sebagian besar kasus, penyakit ini self-limited, tetapi kadang-kadang
cenderung menjadi berat bahkan fatal. Sebelum kortikosteroid digunakan secara

2
luas, 30% kasus croup harus dirawat di Rumah Sakit dan 1,7% memerlukan
intubasi endotrakea. Akan tetapi, setelah kortikosteroid digunakan secara luas,
kasus croup yang memerlukan perawatan di Rumah Sakit menurun drastis, dan
intubasi endotrakea jarang dilakukan.3

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. CROUP

2.1.1. Definisi
Croup adalah terminologi umum yang mencakup suatu kelompok penyakit
heterogen yang mengenai laring, infra/subglotis, trakea dan bronkus.
Karakteristik sindrom croup adalah batuk yang menggonggong, suara serak,
stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas.1,5
Pada croup terdapat suatu kondisi pernafasan yang biasanya dipicu oleh
infeksi virus akut saluran napas bagian atas. Infeksi menyebabkan
pembengkakan di dalam tenggorokan, yang mengganggu pernapasan normal.
Selain itu juga terjadi suatu pembengkakan di sekitar pita suara, terjadi biasanya
secara umum pada bayi dan anak-anak dengan berbagai penyebab. Infeksi juga
bisa terjadi pada parenkim paru.1,5

2.1.2. Klasifikasi
Secara umum croup diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu viral
croup dan spasmodic croup. Perbedaan keduanya dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.1,6

4
Tabel 2.1 Klasifikasi Croup1,6

Selain klasifikasi secara umum, juga terdapat klasifikasi berdasarkan


derajat keparahan batuk atau derajat kegawatan, dikelompokkan menjadi empat
kategori7:
1. Ringan; ditandai dengan adanya batuk keras menggonggong yang kadang-
kadang muncul, stridor tidak terdengar ketika pasien beristirahat/tidak
beraktivitas, dan retraksi ringan dinding dada.
2. Sedang; ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, stridor
yang mudah terdengar ketika pasien beristirahat/tidak beraktivitas, retraksi
dinding dada sedikit lebih jelas tetapi tidak ada gawat napas.
3. Berat; ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, stridor
inspirasi terdengar jelas ketika pasien beristirahat, kadang-kadang disertai
stridor ekspirasi, retraksi dinding dada sangat jelas, dan gawat napas.
5
4. Gagal napas mengancam; batuk kadang-kadang tidak jelas, terdengar stridor
(kadang-kadang sangat jelas ketika pasien beristirahat), gangguan kesadaran,
dan letargi.

2.1.3. Epidemiologi
Croup merupakan salah satu penyebab terbanyak stridor. Prevalensinya
bifasik sepanjang tahun di negara 4 musim, puncak pertama terjadi pada musim
gugur, puncak kedua terjadi pada awal musim dingin. Kejadian pada laki:
perempuan=1.43 : 1. Insidens 3 per 100 anak, banyak pada usia 6 bulan-6 tahun
(puncak pada tahun kedua kehidupan), serta jarang terjadi reinfeksi.7
Kekambuhan sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan berkurang sejalan
dengan pematangan struktur anatomi saluran pernapasan atas. Hampir 15%
pasien sindrom croup mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit yang
sama.8

2.1.4. Etiologi
Viral croup disebabkan oleh Human Parainfluenza Virus terutama tipe 1
(HPIV–1), HPIV-2, HPIV-3, dan HPIV-4 terdapat pada sekitar 75% kasus.
Etiologi virus lainnya adalah Influenza A dan B, virus campak , Adenovirus dan
Virus pernapasan/Respiratory Syncytial Virus (RSV). Batuk hebat disebabkan
oleh kelompok virus yang sama seperti laryngotrakeitis akut, tetapi tidak
memiliki tanda-tanda infeksi biasa (seperti demam, sakit tenggorokan, dan
peningkatan jumlah sel darah putih). Perawatan dan respon terhadap pengobatan
juga serupa.3
Bakteri dapat menyebabkan batuk seperti pada difteri laring, trakeitis
bakteri, laryngotrakeobronkitis, dan laryngotrakeobronkopneumonitis. Difteri
laring disebabkan Corynebacterium diphtheriae sementara trakeitis bakteri,
laryngotrakeobronkitis, dan laryngotrakeobronkopneumonitis biasanya karena
infeksi virus primer dengan pertumbuhan bakteri sekunder. Sebagian besar
bakteri yang umum terlibat adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus
pneumoniae, Hemophilus influenzae dan Catarrhalis moraxella.3
Selain dapat disebabkan virus dan bakteri, croup juga bisa disebabkan oleh
infeksi jamur Candida albican, penyebab mekanik berupa benda asing, pasca

6
pembedahan dan penekanan masa ekstrinsik serta penyebab alergi berupa
sembab angioneurotik.3

2.1.5. Patofisiologi
Infeksi virus (terutama parainfluenza dan RSV) dapat terjadi karena
inokulasi langsung dari sekresi yang membawa virus melalui tangan atau
inhalasi partikel melalui mata atau hidung. Infeksi virus pada laringotrakeitis,
laringotrakeobronkitis dan laringotrakeobronkopneumonia biasanya dimulai dari
nasofaring atau orofaring dan menyebar ke epitel laring dan trakea setelah masa
inkubasi 2-8 hari. Laring adalah bagian tersempit saluran pernafasan atas, yang
membuatnya sangat rentan untuk terjadinya obstruksi. Peradangan difus, eritema
dan edema yang terjadi pada dinding trakea menyebabkan terganggunya
mobilitas pita suara serta area subglotis mengalami iritasi. Area subglotis
merupakan bagian yang paling sempit pada saluran nafas anak. Area subglotis
dikelilingi oleh kartilago, dan setiap pembengkakan di daerah tersebut akan
berpengaruh terhadap jalan nafas dan menyebabkan pengurangan aliran udara
secara bermakna. Penyempitan jalan nafas menyebabkan stridor inspirasi, dan
pembengkakan atau edem di daerah pita suara menyebabkan suara serak.
Dengan berlanjutnya penyakit, lumen trakea menjadi tersumbat oleh sekret yang
semula encer lalu kental, dan menjadi krusta, sehinga penderita menjadi lebih
sulit bernafas. Usaha mengeluarkan krusta tersebut dengan cara membatukkan,
menghasilkan suara batuk yang khas seperti menggonggong/bergema (croupy).3
Edema mukosa yang sama pada orang dewasa dan anak-anak akan
mengakibatkan kondisi yang berbeda. Edema mukosa dengan ketebalan 1 mm
akan menyebabkan penyempitan saluran udara sebesar 44% pada anak-anak dan
75% pada bayi. Edema mukosa dari daerah glotis akan menyebabkan gangguan
mobilitas pita suara. Edema pada daerah subglotis juga dapat menyebabkan
gejala sesak napas.1,3,6
Selama berlangsungnya penyakit, lumen pada trakea menjadi semakin
tersumbat dengan eksudat fibrin dan pseudomembran. Pemeriksaan histologi
pada laring dan trakea menunjukkan adanya edema dengan infiltrat sel histiosit,
limfosit, plasma dan leukosit polimorfonuklear.1,6

7
Penyebaran penyakit dari trakea ke bronkus dan alveoli akan
menyebabkan laringotrakeobronkitis dan laringotrakeobronkopneumonitis.
Obstruksi yang progresif pada tahap ini akan menyebabkan infeksi bakteri
sekunder.1,6
Aliran udara yang melewati saluran respiratori atas mengalami turbulensi
sehingga menimbulkan stridor, diikuti dengan retraksi dinding dada (selama
inspirasi). Pergerakan dinding dada dan abdomen yang tidak teratur
menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea. Pada
keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan henti napas.3

2.1.6. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis diawali oleh infeksi saluran respiratorik atas. Bisa
disertai demam. Batuk menggonggong, serak, dan stridor tampak satu hingga
dua hari kemudian. Gejala croup puncaknya pada hari ketiga-keempat dari sakit
(hari pertama-kedua dari gejala croup). Gejala biasanya menghilang dalam
seminggu. Gejala biasanya memburuk pada malam hari atau bila pasien gelisah.
Manifestasi klinis tergantung pada beratnya obstruksi saluran respiratorik.
Obstruksi disebabkan oleh inflamasi pada area subglotis. Pada kasus ringan
dijumpai batuk menggonggong dan stridor bila agitasi atau gelisah. Pada kasus
berat ditemukan stridor yang bifasik. Ditemukan retraksi suprasternal dan/ atau
interkostal.3
Bila terjadi obstruksi stridor menjadi makin berat, tetapi dalam kondisi
yang sudah payah stridor melemah. Dalam waktu 12-48 jam sudah terjadi gejala
obstruksi saluran napas atas. Pada beberapa kasus hanya didapati suara serak
dan batuk menggonggong, tanpa obstruksi napas. Keadaan ini akan membaik
dalam waktu 3 sampai 7 hari. Pada kasus lain terjadi obstruksi napas yang
makin berat, ditandai dengan takipneu, takikardia, sianosis dan pernapasan
cuping hidung. Pada pemeriksaan toraks dapat ditemukan retraksi
supraklavikular, suprasternal, interkostal, epigastrial.3
Bila anak mengalami hipoksia, anak tampak gelisah, tetapi jika hipoksia
bertambah berat anak tampak diam, lemas, kesadaran menurun. Pada kondisi
yang berat dapat menjadi gagal napas. Pada kasus yang berat proses

8
penyembuhan terjadi setelah 7-14 hari. Anak akan sering menangis, rewel, dan
akan merasa nyaman jika duduk di tempat tidur atau digendong.3
Beratnya obstruksi dapat ditentukan dengan menggunakan Skor Westley.
Skor Westley sangat banyak digunakan untuk menilai derajat
kegawatan croup. Skor total ≤ 2 adalah ringan, skor total 3-6 adalah sedang dan
skor total 7-17 adalah berat.7
Tabel 2.2 Sistem Skor Croup oleh Westley7

2.1.7. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologis
tidak perlu dilakukan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan hanya dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bila ditemukan peningkatan leukosit
>20.000/mm3 yang didominasi oleh PMN, kemungkinan telah terjadi
superinfeksi, misalnya epiglotitis.1,10
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup berguna untuk menegakkan
diagnosis croup adalah foto polos leher dan CT Scan. Pada foto polos leher
menunjukkan tanda klasik yaitu steeple sign dengan penyempitan kolum udara
pada daerah subglotis yang terlihat pada foto anteroposterior (AP). Pada
hipofaring terlihat gambaran overdistended pada foto lateral. Temuan ini
didapatkan pada 50% kasus croup. Banyak anak-anak dengan croup memiliki
hasil radiografi yang normal.1,10 Melalui pemeriksaan radiologis, croup dapat
dibedakan dengan berbagai diagnosis bandingnya. Gambaran foto jaringan
lunak (intensitas rendah) saluran napas atas dapat dijumpai sebagai berikut11:

9
- Pada trakeitis bakterial, tampak gambaran membran trakea yang compang-
camping.
- Pada epiglotitis, tampak gambaran epiglotis yang menebal.
- Pada abses retrofaringeal, tampak gambaran posterior faring yang
menonjol.
Pemeriksaan CT Scan dapat lebih jelas menggambarkan penyebab
obstruksi pada pasien dengan keadaaan klinis yang lebih berat, seperti adanya
stridor sejak usia di bawah enam bulan, atau stridor pada saat aktivitas. Selain
itu, pemeriksaan ini juga dilakukan bila pada gambaran radiologis dicurigai
adanya massa.11
Endoskopi belum memiliki peran yang jelas dalam diagnosis croup.
Adanya pembengkakan pada daerah subglotis merupakan salah satu
pertimbangan untuk tidak melakukan instrumentasi dan sebaiknya hanya
dilakukan pada kecurigaan selain viral / spasmodik croup.11

2.1.8. Diagnosis
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul. Pada
pemeriksaan fisis ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan faring, dan
frekuensi napas yang sedikit meningkat. Kondisi pasien bervariasi sesuai dengan
derajat stress pernapasan yang diderita. Pemeriksaan langsung area laring pada
pasien croup tidak terlalu diperlukan. Akan tetapi bila diduga terdapat epiglotitis
(serangan akut, gawat napas/respiratory distress, disfagia, drooling), maka
pemeriksaan tersebut sangat diperlukan. Laringoskopi langsung harus
dipertimbangkan pada croup yang tidak membaik dan untuk menyingkirkan
penyebab obstruksi lainnya. Pada laringoskopi langsung tampak daerah
subglotis berwarna kemerahan difus, licin, dan udem serta adanya sekret kental.
Daerah glottis dan supraglotis dapat berwarna kemerahan tetapi umumnya
dalam batas normal. Pipa endotrakea dan alat trakeostomi harus tersedia
sebelum laringoskopi dilakukan.3,9

2.1.9. Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari croup meliputi, obstruksi karena benda asing,
epiglotitis, trakeitis bakterial, croup spasmodik, abses peritonsiler, uvulitis,
10
hemangioma dan neoplasma. Perbedaan antara epiglotitis, croup, trakeitis
bakterial, dan croup spasmodik dapat dilihat pada table dibawah ini.7
Tabel 2.3 Perbedaan Epiglotitis, Croup, Trakeitis Bakterial, dan Croup
Spasmodik7

2.1.10. Penatalaksanaan
Tatalaksana utama bagi pasien croup adalah mengatasi obstruksi jalan
napas. Sebagian besar pasien croup tidak perlu dirawat inap, melainkan cukup
dirawat dirumah. Pasien dirawat inap di rumah sakit atau tidak, sangat
bergantung pada usia dan kondisi klinis pasien. Dari segi usia, penderita yang
perlu dirawat di rumah sakit adalah anak yang berusia dibawah enam bulan.
Beberapa kondisi klinis yang memerlukan perawatan rumah sakit yaitu gelisah,
sianosis, gangguan kesadaran, demam tinggi, dan anak tampak toksik. Jika pada
11
penderita croup terdengar stridor progresif, stridor ketika sedang beristirahat,
terdapat gejala gawat napas, hipoksemia, dan tidak ada respons terhadap terapi
juga membutuhkan perawatan di rumah sakit. Rawat inap juga dapat dilakukan
bila terdapat derajat obstruksi sedang atau yang lebih berat.3,7
Beberapa terapi yang dapat diberikan pada anak dengan croup yaitu:

1. Terapi inhalasi
Sejak abad ke-19, terapi uap telah digunakan untuk mengatasi obstruksi
jalan napas pada sindrom croup. Pemakaian uap dingin lebih baik daripada uap
panas, karena kulit akan melepuh akibat paparan uap panas. Uap dingin akan
melembabkan saluran respiratori, meringankan inflamasi, mengencerkan lendir
pada saluran respiratori, sekaligus memberikan efek yang nyaman dan
menenangkan bagi anak.1,12
Meskipun terapi uap ini dapat menjadi pilihan yang praktis pada sindrom
croup, kelembaban yang ditimbulkan oleh terapi uap dapat pula memperberat
keadaan pada dengan bronkospasme yang disertai dengan mengi, seperti
laringotrakeobronkitis atau pneumonia. Saat ini beberapa pusat kesehatan tidak
merekomendasikan penggunaan terapi uap.1,12
Berdasarkan tiga penelitian yang menggunakan air dingin tersaturasi
(coldwater fog) tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa penggunaannya untuk
mengobati croup menguntungkan. Gina dkk.melakukan penelitian RCT dengan
memberikan terapi oksigen lembab (humidified oxygen) pada pasien croup
derajat sedang di UGD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan perbaikan klinis antara kelompok yang diberi terapi oksigen lembab
dan yang tidak diberikan.1,12

2. Epinefrin
Sindrom croup biasanya cukup diatasi dengan terapi uap saja, tetapi
kadang-kadang membutuhkan farmakoterapi. Nebulisasi epinefrin telah
digunakan untuk mengatasi sindrom croup selama hampir 30 tahun, dan
pengobatan dengan epinefrin ini menyebabkan trakeostomi hampir tidak
diperlukan.1,12

12
Nebulisasi epinefrin sebaiknya juga diberikan kepada anak dengan
sindrom croup sedang-berat yang disertai dengan stridor saat istirahat dan
membutuhkan intubasi, serta pada anak dengan retraksi dan stridor yang tidak
mengalami perbaikan setelah diberikan terapi uap dingin.1,12
Nebulisasi epinefrin akan menurunkan permeabilitas vaskular epitel
bronkus dan trakea, memperbaiki edema mukosa laring, dan meningkatkan laju
udara pernapasan. Pada penelitian dengan metode double blind, efek terapi
nebulisasi epinefrin ini timbul dalam waktu 30 menit dan bertahan selama dua
jam. Epinefrin yang dapat digunakan antara lain adalah sebagai berikut1,12:
1. Racemic epinephrine (campuran 1:1 isomer d dan l epinefrin), dengan
dosis 0,5 ml larutan racemic epinephrine 2,25% yang telah dilarutkan
dalam 3 ml salin normal. Larutan tersebut diberikan melalui nebulizer
selama 20 menit.
2. L-epinephrine 1:1000 sebanyak 5 ml; diberikan melalui nebulizer. Efek
terapi terjadi dalam dua jam
Racemic epinephrine merupakan pilihan utama, efek terapinya lebih besar,
dan mempunyai sedikit efek terhadap kardiovaskular seperti takikardi dan
hipertensi. Namun demikian L- epinefrin standard yang tersedia di lebih banyak
rumah sakit dapat bekerja sebaik racemic epinephrine. Nebulisasi epinefrin masih
dapat diberikan pada pasien dengan takikardi dan kelainan jantung seperti
Tetralogy Fallot.1,12
Setelah pemberian nebulisasi epinefrin perlu diobservasi, dibutuhkan
waktu selama 6 jam sesudah nebulisasi. Pada anak, dengan gagal pernafasan dapat
diberikan ulang epinefrin. Continous epinefrin digunakan pada anak yang
mendapat perawatan di ruang intensif anak (Pediatric Intensive Care Unit).

3. Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema pada mukosa laring melalui mekanisme
anti radang. Uji klinik menunjukkan adanya perbaikan pada pasien
laringotrakeitis ringan-sedang yang diobati dengan steroid oral atau parenteral
dibandingkan dengan plasebo.1,12

13
Deksametason diberikan dengan dosis 0,6 mg/kgBB per oral/antimuskular
sebanyak satu kali, dan dapat diulang dalam 6-24 jam. Efek klinis akan tampak
2-3 jam setelah pengobatan. Tidak ada penelitian yang menyokong keuntungan
penambahan dosis. Keuntungan pemakaian kortikosteroid adalah sebagai
berikut: mengurangi rata-rata tindakan intubasi, mengurangi rata-rata lama
rawat inap serta menurunkan hari perawatan dan derajat penyakit. 1,12
Selain deksametason, dapat juga diberikan prednisone atau prednisolon
dengan dosis 1-2 mg/kgBB (E4). Berdasarkan dua penelitian meta-analisis (24
RCT) tentang pemakaian kortikosteroid sistemik, dengan pemberian
kortikosteroid 6 dan 12 jam, tetapi tidak sampai 24 jam, disimpulkan bahwa
tidak ada pengaruh dari kortikosteroid sistemik. 1,12
Nebulisasi budesonid dipakai sejak tahun 1990. Tingkat efektifitasnya
adalah E2 bila dibandingkan dengan plasebo. Larutan 2-4 mg budesonid (2 ml)
diberikan melalui nebulizer dan dapat diulang pada 12 dan 48 jam pertama. Efek
terapi nebulisasi budesonid terjadi dalam 30 menit, sedangkan kortikosteroid
sistemik terjadi dalam satu jam. 1,12
Pemberian terapi ini mungkin akan lebih bermanfaat pada pasien dengan
gejala muntah dan gawat napas (respiratory distress) yang hebat. Budesonid dan
epinefrin dapat digunakan secara bersamaan. Sebagian besar kasus pemakaian
budesonid tidak lebih baik daripada deksametason oral. 1,12
Kortikosteroid tidak diberikan pada anak dengan varisela dan TB (kecuali
pada anak yang sedang mendapat OAT). Pemakaian kortikosteroid dalam
jangka waktu lama (1 mg/kgBB/hari selama delapan hari) dapat meningkatkan
infeksi Candida albicans. 1,12

4. Kombinasi Oksigen-Helium
Kombinasi oksigen dan helium (Heliox) digunakan oleh beberapa sentra
untuk mengatasi sindrom croup. Helium bersifat inert, tidak beracun, serta
mempunyai densitas dan viskositas yang rendah. Hal ini sangat membantu
mengurangi obstruksi jalan napas, yaitu dengan meningkatkan aliran gas dan
mengurangi kerja otot-otot respiratorius. Bila helium dikombinasikan dengan
oksigen, maka oksigenasi darah akan meningkat. 1,12

14
Dengan terapi oksigen-helium ini, pasien sindrom croup beratakan merasa
nyaman dan kemungkinan besar tidak memerlukan tindakan intubasi. Efek
klinis pemberian kombinasi oksigen-helium hampir sama dengan pemberian
nebulisasi epinefrin. 1,12

5. Intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakeal dilakukan pada pasien sindrom croup yang berat,
yang tidak responsif terapi lain. Intubasi endotrakeal rnerupakan terapi
alternative selain trakeostomi untuk mengatasi obstruksi jalan napas. Indikasi
melakukan intubasi endotrakeal adalah adanya hiperkarbia dan ancaman gagal
napas. Selain itu, intubasi juga diperlukan bila terdapat peningkatan stridor,
peningkatan frekuensi napas, peningkatan frekuensi nadi, retraksi dinding dada,
sianosis, letargi, atau penurunan kesadaran. Intubasi hanya dibutuhkan untuk
jangka waktu yang singkat, yaitu hingga edema laring hilang/teratasi.1,3,12

6. Antibiotik
Antibiotik hanya diberika pada keadaan tertentu saja. Umumnya
antibiotik tidak diperlukan dalam tatalaksana croup. Namun ada kondisi tertentu
yang membutuhkan antibiotika, yaitu pada laringotrakheobronkhitis yang
disertai dengan superinfeksi bakteri. Pasien diberikan terapi empiris sambil
menunggu hasil kultur. Antibiotik empiris dapat diberikan sefalosporin generasi
ke-3. Untuk epiglottitis diberikan sefalosporin generasi ke-3 (seftriaxon dan
sefotaksim) selama 7-10 hari. Kloramfenikol selama 5 hari sama efektifnya
dengan pemberian seftriaxon. Untuk trakeitis bakteri diberikan antibiotic
spectrum luas selama 10-14 hari. Pemberian sedative dan dekongestan oral tidak
dianjurkan pada pasien sindrom croup.3,16
Dibawah ini merupakan algoritma penatalaksanaan croup.13

15
CROUP

Diagnosis banding
Obstruksi jalan napas yang  Aspirasi benda asing
mengancam jiwa  Abnormalitas kongenital
 Sianosis  Epiglotitis
 Penurunan kesadaran
 O2 100% dengan sungkup muka dan nebulisasi
adrenalin (5ml) 1:1000
 Intubasi anak sesegera mungkin oleh seorang
TIDAK YA
yang berpengalaman
 Hubungi pusat rujukan pelayanan kesehatan anak

Croup derajat ringan Croup derajat sedang Croup derajat berat


 Batuk menggonggong  Stridor saat istirahat  Stridor menetap saat
 Tanpa retraksi dada  Terdapat retraksi istirahat
 Tanpa sianosis dinding dada minimal  Trakeal tug dan
 Mampu berinteraksi retraksi dinding dada
terlihat jelas
 Edukasi orang tua  Apatis dan gelisah
 Pertimbangkan  Pulsus paradoksus
Kortikosteroid
kortikosteroid dosis deksametason 0,15-0,30
tunggal (oral) mg/kg atau Prednison 1-2  Minimal handling
 Periksa kemampuan mg/kg (oral) atau  O2 4 lpm dan nebulisasi
orang tua dan nebulisasi Budesonide 2 adrenalin dan
kemampuan dalam mg jika kortikosteroid oral kortikosteroid sistemik
menyediakan transport tidak berpengaruh (dosis sama dengan
croup derajat sedang)
DIPULANGKAN OBSERVASI > 4 JAM  Intubasi

RAWAT RS
Membaik Tidakmembaik
 Dipulangkan bila tidak  Evaluasiulang
ada stridor saat istirahat
Perbaikan  Rawat
 Edukasi orang tua pasien  Hubungikonsulen
 Evaluasi diagnosis
 Rawat/observasi di IGD
 Ulangi pemberian  Nebulisasi adrenalin (dosis
kortikosteroid oral/12 jam sama) dan kortikosteroid
 Edukasi ortu pasien Sebagian sistemik (dosis sama)
 Sediakan penjelasan  Persiapkan pelayanan untuk
tertulis untuk dokter umum tindakan darurat
yang akan follow up  Pertimbangkan intubasi
 Evaluasi diagnosis

16
2.1.11. Komplikasi
Pada 15% kasus dilaporkan terjadi komplikasi, misalnya otitis media,
dehidrasi, dan pneumonia (jarang terjadi). Sebagian kecil pasien memerlukan
tindakan intubasi. Gagal jantung dan gagal napas dapat terjadi pada pasien yang
perawatan dan pengobatannya tidak adekuat.3,7

2.1.12. Prognosis
Croup biasanya bersifat self-limited dengan prognosis yang baik.3,7

17
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : ABA
Tempat, Tanggal Lahir : Denpasar, 28 Agustus 2018
Umur : 6 bulan 8 hari
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Perum. Dukuh Sari Permai Blok I/6 B
Agama : Hindu
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 8 Maret 2018 pk. 06.05 WITA
Tanggal Pulang : 11 Maret 2018

3.2 Anamnesis
Diambil dari alloanamnesis pada tanggal 8 Maret 2018 pukul 08.00 di PICU
RS BaliMed
Keluhan Utama
Sesak
Keluhan Tambahan
Pilek, demam, batuk
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Pasien dilihat sangat gelisah sejak sore hari dan dikatakan susah
tidur. Pada dini hari pasien semakin gelisah dan sulit bernafas hingga keluar
suara grek-grek, batuk seperti menggonggong, dan kondisi pasien menjadi
lemah.
Pasien juga dikeluhkan pilek 7 hari sebelum masuk rumah sakit dan
demam tinggi sejak 2 hari SMRS namun suhu tidak terukur.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah menderita penyakit ini sebelumnya. Riwayat
batuk lama ataupun berinteraksi dengan orang dewasa penderita TB paru juga

18
disangkal. Tidak ada penurunan berat badan lebih dari 10% dari BB dalam
waktu dekat.
Saat baru lahir pasien di rawat di NICU dikatakan mengalami jantung
bocor dan kuning.
Riwayat Pengobatan
Satu hari sebelum masuk rumah sakit pasien ke RS B diperiksa oleh
dr.EGW,Sp.A dikatakan paru-paru bersih. Diberikan obat moretic
(paracetamol drop 3x0,9ml) dan puyer 3x1.
Riwayat penyakit dalam keluarga
Di keluarga tidak ada yang menderita penyakit kronis sebelumya.
Riwayat Pribadi/Sosial/Lingkungan
Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara.
Riwayat Alergi
Pasien dikatakan tidak memiliki riwayat alergi.
Riwayat Prenatal
Penderita merupakan kehamilan ketiga. Selama hamil, ibu penderita
rutin melakukan antenatal care di dokter kandungan sebanyak 4x. Dalam
masa kehamilan ibu pernah melakukan USG dikatakan hasilnya normal. Ibu
penderita selalu mengkonsumsi makanan bergizi selama kehamilan dan tidak
pernah mengkonsumsi obat-obatan. Ibu penderita tidak pernah mengalami
sakit maupun kecelakaan (trauma) selama masa kehamilannya. Selama
kehamilan ibu penderita tidak bekerja.
Riwayat Persalinan
Pasien lahir pervaginam, cukup bulan, segera menangis, ditolong oleh
dokter. Berat badan lahir 2700 gram, panjang badan 51 cm, lingkar kepala
saat lahir 38 cm, dikatakan terdapat jantung bocor, kuning dan tiroid tinggi.
Riwayat imunisasi:
Riwayat imunisasi yang sudah didapat oleh pasien yaitu BCG 1 kali,
Polio 4 kali, Hepatitis B 4 kali, DPT 3 kali, Campak 1 kali.
Riwayat nutrisi:
Pasien mendapatkan ASI hanya sampai dengan usia 2 minggu,
selanjutnya sampai sekarang pasien minum susu formula. Saat usia 6 bulan

19
baru diberikan makanan pendamping ASI seperti bubur susu, bubur saring,
dan buah.
Riwayat Tumbuh Kembang
Menegakkan kepala : 3 bulan
Membalik badan : 5 bulan
Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah pasien saat ini bekerja sebagai pelaut, sedangkan ibu pasien
bekerja sebagai ibu rumah tangga. Biaya pengobatan ditanggung secara
asuransi BPJS.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Present
Keadaan umum : Tampak sesak
Kesadaran : E3M3V3 (9/9)
Nadi : 173 kali/ menit, reguler, isi cukup
Respirasi rate : 68 kali/ menit
Saturasi Oksigen : 91% pada suhu ruagan
Tempt axilla : 39 C
Berat Badan : 8200 gram
Berat Badan Ideal : 6900 gram
Panjang Badan : 63 cm
Lingkar Kepala : 41 cm
Lingkar Lengan Atas : 15 cm
Status gizi
1. Status gizi lebih (120 %) menurut kriteria Waterlow
2. WHO antro :
 BB menurut U (WHO) : Z score (0) – (2) SD
 TB menurut U ( WHO) : Z score -2 – (-0) SD
 BB menurut TB (WHO) : Z score (2) – (3) SD
Status generalis
Kepala : Normosefali
Mata : konjungtiva pucat (-/-), ikterus (-/-), refleks pupil (+/+)
20
isokor, cowong (-)
THT
Telinga : bentuk normal, sekret (-)
Hidung : napas cuping hidung (-), sekret (-).
Tenggorokan : Faring hiperemis (+), Tonsil T1/T1 hiperemis (-)
Leher
Inspeksi : benjolan (-), bendungan vena jugularis (-)
Palpasi : Pembesaran kelenjar (-),
Kaku Kuduk : (-)
Thorak : simetris
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak, precordial bulging (-),
pulsasi epigastrial (-)
Palpasi : kuat angkat (-)
Auskultasi : S1 S2 normal regular murmur (-)
Paru
Inspeksi : gerakan dada simetris, retraksi (+) suprasternal,
intercostal, subcostal
Palpasi : gerakan dada teraba statis dan dinamis
Perkusi : perkusi paru sonor
Auskultasi : bronkovesikuler (+/+), ronchi (-/-), wheezing (-/-),
aastridor inspirasi (+)
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising Usus (+) Normal
Palpasi : Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba,
nyeri tekan (-), cubitan kulit kembali cepat, tidak
ditemukan adanya massa
Extremitas : Akral hangat (+), tonus normal, trofik normal,
tenaga normal, refleks fisiologis positif, edema
tidak ada, CRT < 3 detik
Kulit : intak, kelainan (-), petekie (-)

21
Genitalia Eksterna : dalam batas normal

Skor Westley :
Tingkat Kesadaran = Normal =0
Stridor saat istirahat =2
Retraksi = berat =3
Udara masuk = menurun =1
Sianosis tidak ada =0
--------------------
= 6 (sedang)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Hematologi Rutin (8 Maret 2018)
Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan

WBC 12,5 x103/µL 6,00 – 10,00

%NE 61,7 % 43,00 – 85,00

%LY 28,6 % 12,00 – 51,00

%MO 9,50 % 0,00 – 12,00

%EO 0,00 % 0,00 – 6,00

%BA 0,20 % 0,00 – 1,00

#NE 7,50 x103/µL 2,00 - 8,70

#LY 3,47 x103/µL 1,00 – 4,00

#MO 1,16 x103/µL 0,00 – 0,70 Tinggi

#EO 0,00 x103/µL 0,00 – 0,10

#BA 0,02 x103/µL 0,00 – 0,80

RBC 4,05 x106/µL 3,10 – 5,50

HGB 10,8 g/dL 9,4 - 14,4

HCT 33,1 % 28,00 – 42,00

MCV 81,7 fL 80,00 – 100,00

MCH 26,7 Pg 27,00 – 32,00

22
MCHC 32,6 g/dL 31,00 – 36,00

RDW 13,4 % 11,50 – 14,50

PLT 303 x103/µL 150,00 – 450,00

MPV 10,2 fL 9,0 – 17,00

Thorax AP (8 Maret 2018)

Bacaan
 Cor: tidak membesar (CTR 48,28%). Tampak gambaran menyerupai
snowman sign.
 Aorta: besar dan bentuk dalam batas normal, tidak tampak kalsifikasi
 Paru-paru:
o Perivascular infiltrat di kedua lapang paru
o Aerasi paru dalam batas normal
o Corakan vascular paru tampak normal
o Hilus kanan dan kiri baik
o Tidak ditemukan penebalan fissura minor
 Mediastinum: trachea di midline, sudut carina normal. Staple sign (+). Tak
tampak pelebaran mediastinum.
 Sinus pleura kanan kiri tajam
23
 Diafragma kanan kiri normal
 Tulang-tulang tidak tampak kelainan
 Soft tissue dan chest wall: tak tampak kelainan
Kesimpulan:
o Mendukung Laryngitis
o Gambaran menyerupai snowman sign tanpa cardiomegaly, susp.
Congenital heart disease (susp. TAPVR)
o Gambaran bronchopneumonia dd. Edema paru (mohon korelasi klinis)
Mohon evaluasi klinis lebih lanjut.
3.5 Diagnosis Kerja
Croup Derajat Sedang
3.6 Penatalaksanaan
Rawat PICU
Terapi
• IVFD KaEn Mg3 ~30 tetes mikro/menit
• O2 nasal canul 1-2 lpm
• Nebulisasi selang-seling epinefrin 2,5 ml + Nacl 0,9% sampai 4 ml tiap 8
jam, 1 jam kemudian pulmicort (budesonide) ½ rl + Nacl 0,9% sampai 4
ml tiap 6 jam.
• Indexon (Dexamethasone) 0,6 mg/kg/kali ~ loading 5 mg (IV) 
selanjutnya 3x1,5 mg IV
• Lapixime (Cefotaxime) 50 -100 mg/kg/hari (3 – 4 kali) ~ 3x250 mg IV
• Vectrin syrup 2 x cth 1/3 PO
• Aztrin ( azithromycin) 10 mg/kg/hari ~ 1 x 100 mg PO
• Paracetamol 10 – 15 mg/kg/kali ~ 3 x 90 mg PO. Bisa diulang tiap 4 jam
bila suhu≥ 37,5℃
Kebutuhan nutrisi:
• Kebutuhan kalori 780 kkal/hari, kebutuhan protein 16,25 gram/hari
• Topical feeding 10cc tiap 3 jam
Monitoring
 Keluhan
 Vital sign
24
 Balance cairan
 Tanda distress napas

Perjalanan penyakit pasien selama dirawat di rumah sakit


Nama: ABAA No. RM: 196432
Umur: 6 bulan 8 hari Ruang: PICU -->314
TANGGAL PERJALANAN
PERINTAH DOKTER
/JAM PENYAKIT/DIAGNOSA
08/03/18 S: Nafas masih sesak (+), Terapi
stridor inspirasi (+), batuk (+), ~ IVFD KAEN Mg3
muntah (-), demam (-) 4cc/jam
O: Kes: CM, HR: 120x/m RR:
T:36 ~ Vectrin syr 2 x cth 1/2
Thoraks: Simetris, retraksi
dada (+) ~Aztrin syr 1 x cth 1/2
Cor: S1S2 reg, murmur (-), ~ Praxion syr 3 x cth 1 bila
Gallop (-) T>37,5
Pulmo: Bves (+/+), rh (-/-), ~ Indexon 3 x 1,5mg
wh(-/-), stridor inspirasi(+) ~ Lapixime 3 x 350 mg
Abdomen: supel, BU(+)N ~ Sanmol 90 mg @8jam k/p
Ekstremitas: akral hangat(+/+), ~ Nebu epinefrin 0,5 cc +
CRT < 3 dtk NaCl 0,9% 2cc @ 8 jam
~ Nebu fulmicort 1/2 +
NaCl 0,9% 2cc @ 12 jam

09/03/18 S: sesak (+), batuk (+) ~ IVFD KAEN Mg3


berkurang, minum (+), muntah 54cc/jam
(-), demam (-) ~ ASI atau sufor on demand
O: Kes: CM, HR: 120x/m RR:
T:36 ~ Vectrin syr 2 x cth 1/2
Thoraks: Simetris, retraksi
dada (-) ~Aztrin syr 1 x cth 1/2
Cor: S1S2 reg, murmur (-), ~ Praxion syr 3 x cth 1 bila
Gallop (-) T>37,5
Pulmo: Bves (+/+), rh (-/-), ~ Indexon 3 x 1,5mg
wh(-/-), stridor inspirasi (-) ~ Lapixime 3 x 350 mg
Abdomen: supel, BU(+)N ~ Sanmol 90 mg @8jam k/p
~ Nebu epinefrin 0,5 cc +
Ekstremitas: akral hangat(+/+), NaCl 0,9% 2cc @ 8 jam
CRT < 3 dtk STOP
~ Nebu fulmicort 1/2 +
NaCl 0,9% 2cc @ 12 jam
Pasien pindah dari PICU ke
25
314
10/03/18 S: Nafas masih sesak (+),
stridor inspirasi (+), muntah (- ~ IVFD KAEN Mg3
), demam (-) 4cc/jam
O: Kes: CM, HR: 120x/m RR:
T:36 ~ Vectrin syr 2 x cth 1/2
Thoraks: Simetris, retraksi
dada (-) ~Aztrin syr 1 x cth 1/2
Cor: S1S2 reg, murmur (-), ~ Praxion syr 3 x cth 1 bila
Gallop (-) T>37,5
~Indexon 3 x 1,5mg >
Pulmo: Bves (+/+), rh (-/-),
STOP
wh(-/-), stridor inspirasi (-)
~Lapixime 3 x 350 mg
Abdomen: supel, BU(+)N ~Sanmol 90 mg @8jam k/p
Ekstremitas: akral hangat(+/+), ~Nebu fulmicort 1/2 + NaCl
CRT < 3 dtk 0,9% 2cc @ 12 jam

11/03/18 S: Nafas masih sesak (-), ~ IVFD KAEN Mg3


stridor inspirasi (+), muntah (- 4cc/jam
), demam (-) ~ Vectrin syr 2 x cth 1/2
O: Kes: CM, HR: 120x/m RR:
T:36 ~Aztrin syr 1 x cth 1/2
Thoraks: Simetris, retraksi ~ Praxion syr 3 x cth 1 bila
dada (-) T>37,5
Cor: S1S2 reg, murmur (-),
Gallop (-) ~ Lapixime 3 x 350 mg
~ Sanmol 90 mg @8jam k/p
Pulmo: Bves (+/+), rh (-/-),
~ Nebu fulmicort 1/2 +
wh(-/-), stridor inspirasi (-)
NaCl 0,9% 2cc @ 12 jam
BPL > kontrol kembali tgl.
Abdomen: supel, BU(+)N 15/3/2018
Ekstremitas: akral hangat(+/+),
CRT < 3 dtk

26
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Penegakan Diagnosis


Croup adalah sebuah sindrom yang ditandai oleh berbagai derajat
stridor, batuk menggonggong dan suara serak. Populasi yang rentan terserang
croup adalah anak usia 5 tahun kebawah terutama yang memiliki masalah
kesehatan dan nutrisi. Croup umumnya terjadi pada anak yang berusia 6 bulan
sampai 3 tahun, tetapi dapat juga terjadi pada anak berusia 3 bulan sampai 15
tahun. Anak yang di rawat dengan masalah croup adalah anak usia kurang dari
1 tahun. Hal ini disebabkan karena sistem kekebalan tubuh yang relatif belum
matang dan mekanisme paru yang belum baik, sehingga mereka mudah
mengalami infeksi paru.
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa pasien
mengalami sesak di sertai napas grok- grok, batuk seperti menggonggong dan
juga gejala-gejala ini diawali dengan demam, batuk berdahak dan pilek dua
hari sebelum dibawa kerumah sakit. Croup biasanya diawali oleh infeksi
saluran respiratorik atas yang mengakibatkan gejala seperti demam, batuk dan
pilek. demam. Batuk menggonggong, serak, dan stridor tampak 1-2 hari
kemudian. Gejala biasanya memburuk pada malam hari atau bila pasien
gelisah. Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien tampak sesak napas
dan takipnue, pada tenggorokan ditemukan faring hiperemis dan tonsil T1/T1
tanpa hiperemis. Faring hiperemis terjadi karena pelebaran pembuluh darah
disekitar faring sebagai respon terhadap inflamasi akibat infeksi lokal pada
faring atau penyebaran infeksi dari daerah sekitarnya. Faring hiperemis sering
dengan atau tanpa keterlibatan tonsil. Pada inspeksi paru ditemukan adanya
retraksi suprasternal, intercostal, subcostal dan pada saat aukultasi ditemukan
stridor inspirasi (+). Obstruksi disebabkan oleh inflamasi pada area subglotis.
Manifestasi klinis tergantung pada beratnya obstruksi saluran respiratorik.
Cara menentukan beratnya obstruksi, obstruksi pada kasus ringan
ditandai dengan adanya batuk keras menggonggong yang kadang-kadang
muncul, stridor tidak terdengar ketika pasien beristirahat/tidak beraktivitas,

27
dan retraksi ringan dinding dada. Pada kasus sedang ditandai dengan batuk
menggonggong yang sering timbul, stridor yang mudah terdengar ketika
pasien beristirahat/tidak beraktivitas, retraksi dinding dada sedikit lebih jelas
tetapi tidak ada gawat napas. Pada kasus berat ditandai dengan batuk
menggonggong yang sering timbul, stridor inspirasi terdengar jelas ketika
pasien beristirahat, kadang-kadang disertai stridor ekspirasi, retraksi dinding
dada sangat jelas, dan gawat napas. Gagal napas mengancam, batuk kadang-
kadang tidak jelas, terdengar stridor (kadang-kadang sangat jelas ketika pasien
beristirahat), gangguan kesadaran, dan letargi. Pada pasien ini kita dapat
menyimpulkan bahwa pasien ini termasuk dalam klasifikasi croup dengan
derajat sedang.
Untuk masalah pemeriksaan penunjang, diagnosis croup dapat
ditegakkan berdasarkan presentasi klinis dan kombinasi dengan pemeriksaan
riwayat penyakit yang teliti serta pemeriksaan fisik. Jika ingin dilakukan
pemeriksaan laboratorium, hal ini dapat dibenarkan dan harus ditunda saat
pasien dalam distres pernapasan. Pemeriksaan imaging tidak diperlukan untuk
pasien dengan riwayat penyakit yang tipikal yang berespon terhadap
pengobatan, tetapi bagaimanapun juga, foto lateral dan anteroposterior (AP)
dari jaringan lunak leher dapat membantu dalam mengklarifikasi diagnosis
pada anak dengan gejala serupa croup. Pada foto leher lateral, secara
diagnostik dapat membantu, menunjukkan daerah subglotis yang menyempit
serta daerah epiglotis yang normal. Pemeriksaan saturasi dengan pulse
oxymeter diindikasikan untuk anak-anak dengan croup derajat sedang sampai
berat. Terkadang, anak dengan gejala croup bukan derajat berat pun memiliki
saturasi oksigen yang rendah, berhubungan dengan keterlibatan intrapulmoner.

4.2 Penatalaksanaan
Pada pasien ini, dalam penatalaksanaan croup dilakukan dengan dua
cara terapi suportif dan farmakoterapi. Pada terapi suportif di berikan uap
dingin (cold mist) yang berfungsi untuk melembabkan, meringankan
inflamasi, dan mengencerkan lendir saluran respiratori dan diberikan oksigen

28
untuk obstruksi sedang pemberian oksigen dapat dipakai untuk anak dengan
hipoksia.
Pada farmakoterapi diberikan analgesik atau antipiretik untuk anak
dengan croup, sangat beralasan memberikan obat ini karena membuat anak
lebih nyaman dengan menurunkan deman dan nyeri. Pemberian epinephrine
pada anak dengan croup sedang atau berat, dapat mengurangi kebutuhan alat
bantu pernapasan. Epinephrine dapat mengurangi distres pernapasan dalam
waktu 10 menit dan bertahan dalam waktu 2 jam setelah penggunaan.
Beberapa penelitian retrospektif dan prospektif menyarankan pasien yang
mendapat terapi epinephrine dapat dipulangkan selama gejalanya tidak timbul
kembali setidaknya dalam 2-3 jam setelah terapi. Epinefrin-L dengan dosis 0,5
ml/kgBB/dosis larutan 1:1.000, diencerkan dalam 3 ml NaCl 0,9%, dengan
dosis maksimal 2,5 ml/dosis untuk usia 4 tahun dan 5 ml/dosis untuk usia > 4
tahun. Pada pasien ini diberikan nebulisasi epinefrin 2,5 ml+Nacl 0.9%
sampai 4 ml setiap 8 jam.
Pemberian steroid merupakan terapi utama pada croup dexamethasone,
sama efektifnya jika diberikan per oral atau parenteral. Dexamethasone dosis
0,6 mg/kg BB merupakan dosis yang umumnya digunakan. Pemberiannya
dapat diulang dalam 6 sampai 24 jam. Terdapat beberapa bukti juga yang
mengatakan dexamethasone dosis rendah 0,15 mg/kg BB juga sama
efektifnya. Di sisi lain, penelitian meta-analisis dengan kontrol, yang
memberikan kortikosteroid dosis lebih tinggi, memberikan respon klinis yang
baik pada sebagian besar pasien. Dapat juga diberikan budesonid 2-4 mg
secara nebulisasi, dan dapat diulang dalam 12-48 jam pertama. Antibiotik
tidak diperlukan kecuali disertai infeksi bakteri. Pada obstruksi berat, intubasi
endotrakeal merupakan terapi alternatif selain trakeostomi. Pada keadaan ini
perlu konsul dengan bagian THT.

29
BAB V
RINGKASAN

Pasien berinisial ABAA, berusia 6 bulan 8 hari beralamat di Perum.


Dukuh Sari Permai Blok I/6 B datang ke IGD RS Balimed dengan keluhan sesak
sejak pagi hari. Sesak ini disertai napas grok-grok dan batuk seperti
menggonggong. Sesak awalnya dikatakan ringan dan lama-lama memberat. 1 hari
sebelumnya pasien dikatakan demam, batuk berdahak dan pilek. Dari pemeriksaan
fisik didapatkan takipneu, faring yang hiperemis, retraksi dada dan stridor.
Orangtua pasien mengatakan pasien semenjak 1 bulan diberikan susu formula
selain ASI dan pada usia 5 bulan diberikan bubur susu. Penyakit croup biasanya
diawali dengan infeksi saluran respiratori atas yang pada pasien ditemukan
demam, batuk berdahak dan pilek pada 1 hari SMRS. Batuk menggonggong,
serak dan stridor merupakan gejala khas dari penyakit croup. Menggunakan skor
Westley, pasien didiagnosis dengan croup derajat sedang. Untuk penatalaksanaan,
pasien mendapatkan nebulisasi epinefrin untuk membantu mengurangi distress
pernafasan, kortikosteroid untuk meredakan inflamasi, ambroxol untuk
mengencerkan dahak, dan pseudoefedrin untuk hidung tersumbat.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Malhotra A, Krilov LR. Viral Croup. American Academy of Pediatrics.


2013; 1-6.
2. Leung KC, Kellner JD, Johnson DW. Viral Croup: A Current Perspective.
Journal of Pediatric Health Care. 2004; 297-300.
3. Yangtjik K, Dadiyanto DW. Croup (Laringotrakeobronkitis Akut) dalam
Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting Buku Ajar
Respirologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010; 320-29.
4. Jumiyati. Pemberian MPASI Setelah Anak Berusia 6 Bulan. Jakarta; 2014.
5. Bhatt JM. Croup (Laryngotracheobronchitis). Nottingham University
Hospital. 2012; 1-5.
6. Cherry DJ. Croup. The New England Journal of Medicine. 2008; 384-390.
7. Pedoman Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah. 2010;
479-483.
8. Dominic A, Henry AKF. Croup: Assesment and Evidence-Based
Management. Medical Journal The Australia. MJA 2003; 179 (7): 372-
377.
9. Wantania. Infeksi Respiratori Akut dalam Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, penyunting Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI. 2010; 268-71.
10. Defendi GL. Croup Treatment and Management. Emedicine Medscape.
2013; 1-5.
11. Bjornson CL, Johnson DW. Croup in the Paediatric Emergency
Department. Paediatric Child Health. 2007; 12(6): 473–477.
12. Croup. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO,
Depkes dan IDAI. 2009; 104-105.
13. NSW Health Department. Acute management of infant and children with
croup: clinical practice guidelines. Sydney; 2012.
14. Depkes RI. Pelatihan Konseling Makanan Pendamping Air Susu Ibu,
Direktorat Gizi Masyarakat. Jakarta; 2011.
15. Damayanti RS, Klara Y, Endang DL, Sidiartha IGL, Nasar SS, Mexitalia
M. Rekomendasi Praktik Pemberian Makan Berbasis Bukti pada Bayi dan
Batita di Indonesia untuk Mencegah Malnutrisi. UKK Nutrisi dan Penyakit
Metabolik. Jakarta; 2015.
16. Kartasasmita CB, Suardi AU, Nataprawira HM, Sudarwati S, Wulandari DA.
Respirologi. Dalam: Garna H, Nataprawira HM, editor. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-4. Bandung: Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokeran Universitas Padjadjaran- RSUP Dr. Hasan Sadikin;
2012. h. 779-880.

31

Anda mungkin juga menyukai