Anda di halaman 1dari 382

KEMELUT LEMBAH

MERAPI - MERBABU
Karya Arif Usman
Jilid 1
MALAM mulai turun di Kotaraja Mataram.
Setelah menunaikan kewajibannya kepada
Yang Maha Agung di dalam bilik yang
selama beberapa hari telah ditempatinya,Ki Rangga Agung Sedayu kembali
membuka kitab selebar telapak tangannya
yang tidak seberapa tebal. Ia kembali
menekuni isinya dengan seksama.
“Kupikir untuk awalnya tidak terlalu sulit.
Membalikkan tenaga cadangan dari
mendorong menjadi menarik, inilah kunci
dari ilmu Perguruan Goa Langse” bisiknya
dalam hati setelah beberapa saat kembali
menelaah petunjuk-petunjuk yang ada di
dalam kitab itu. Berkali-kali ia mengangguk
-anggukkan kepala. Isi kitab perguruan Goa
langse itu mulai runut di pikiran Ki Rangga.
“Memang ada baiknya seseorang lebih dulu
menguasai tenaga cadangannya secara
umum, yaitu digunakan untuk mendorongkeluar tenaga yang terkumpul sebelum
menguasai kitab ini. Menarik tenaga
cadangan seseorang bisa mengakibatkan
tubuh seseorang kelebihan beban.
Akibatnya aliran darah urat nadi dan
tekanan ke jantungnya akan berlebihan
pula. Hem, aku masih harus memecahkan
persoalan ini. Bagaimana caranya agar
tubuhku bisa menampung tenaga
cadangan cukup besar yang ditarik dari
lawan” gumam Ki Rangga kemudian sambil
menerawang.
Sesaat kemudian, ia memulai lagi gerakangerakan yang telah dihafalnya, yang
ditunjukkan di dalam kitab yang lebih tebal
yang telah diserahkan oleh Maharsi untukdipelajari dan diurai maknanya. Di dalam
bilik yang cukup lapang itu, Ki Rangga bisa
menekuni kedua kitab Goa Langse dengan
lebih tenang tanpa gangguan siapapun.
Berbagai persoalan yang sedang
membelitnya berusaha ia tepiskan. Ki
Rangga memanfaatkan waktu yang cukup
luang selama beberapa hari untuk kembali
meresapi segala ilmu jaya kawijayan dan
guna kasantikan yang selama ini tertumpuk
dalam dirinya, sekaligus untuk
menenangkan dirinya dari berbagai
persoalan yang sedang membelitnya.
Tidak lama setelah melakukan semua
gerakan sesuai tuntunan Kitab Goa Langse,
Ki Rangga kembali duduk bersila.Pandangannya kemudian mengarah pada
sebuah kendi yang ada dihadapannya.
“Hmm. Aku akan mencoba lebih dulu. Bila
mengangkat kendi, seseorang harus
mencengkramnya. Apakah aku bisa
mengangkatnya hanya dengan
menempelkan telapak tanganku?” gumam
Ki Rangga dalam hati.
Ia pun kemudian memusatkan nalar
budinya sesaat. Kemudian menjulurkan
tangannya dan menempelkan telapak
tangannya ke bagian kendi yang bulat,
bukan ke leher kendi sebagaimana
biasanya orang mengangkat kendi. Kendiitu masih berisi setengah, sehingga agak
berat. Dengan memusatkan pikiran, Ki
Rangga bisa merasakan telapak tangannya
telah melekat erat pada kendi. Lalu secara
perlahan ia mengangkat tangannya tanpa
mencengkeram kendi itu.
Perlahan-lahan, kendi itu ikut terangkat
mengikuti telapak tangan Ki Rangga hingga
sejauh satu jengkal dari atas meja kecil
dihadapannya. Kemudian dengan perlahanlahan pula, Ki Rangga menurunkannya
kembali. Setelah itu, ia mengurai kembali
pemusatan pikirannya.
“Cukup mudah” katanya lirih denganperasaan puas,
“Tapi, aku sebaiknya
menunda dulu, untuk mencoba
menggunakannya merayapi dinding seperti
Maharsi. Dinding bilik ini bisa berbunyi dan
menimbulkan kecurigaan penjaga di luar.
Setidaknya aku sudah bisa membuka
petunjuk awalnya”
Panggraitanya yang tajam tiba-tiba
merasakan ada orang yang mendekati
pintu biliknya. Segera saja Ki Rangga
membenahi kedua kitab Goa Langse itu
dan segera memasukkan kembali ke
kantong pinggangnya yang cukup besar.
“Ki Rangga” panggil seseorang sambilmengetuk pintu. Kemudian selarak dibuka
dari luar dan pintu dibuka pula. Seorang
abdi dalem kepatihan melongokkan kepala
ke dalam bilik Ki Rangga.
“Ki Rangga, Ki Patih memanggil untuk
bertemu” kata abdi dalem itu.
“Oh. Baiklah, aku akan bersiap-siap”
“Aku akan menunggu di luar” kata abdi
dalem itu sambil kembali menutup pintu.
Tak berapa lama kemudian, Ki Rangga
sudah duduk di pringgitan. Menunggudengan hati berdebar. Sudah beberapa hari,
ia tidak mendapatkan kabar apapun setelah
ia tiba di kepatihan bersama Ki Gede
Menoreh kemudian menghadap Ki Patih.
Setelah Ki Gede Menoreh di izinkan pulang,
ia diminta tinggal di bilik itu. Secara tidak
langsung, Ki Rangga sudah sadar bahwa ia
sedang ditahan.
“Apakah Ki Patih sudah membuat
keputusan?” ujarnya dalam hati. Berbagai
peristiwa yang telah terjadi sejak ia
dijemput oleh Pangeran Mandurareja di
Menoreh kembali tergambar di benaknya.
“Mudah-mudahan Sekar Mirah bisamengerti, jika jatuh keputusan yang buruk”
ucapnya dalam hati. Ki Rangga menghela
napas panjang sekali. Beban di dalam
hatinya tidak pernah bisa ia bagi kepada
istrinya. Selama ini, Ki Rangga selalu
menanggung sendiri beban itu. Apalagi
setelah Sinuhun Prabu Hanyakrakusuma
saat masih menjabat sebagai Pangeran
Pati telah menjanjikan putri Triman
kepadanya melengkapi janji Sinuhun
Panembahan Hanyakrawati yang akan
mengangkatnya sebagai Tumenggung
maka bibirnya semakin terkunci rapat tidak
mampu menceritakan masalahnya kepada
Sekar Mirah.
Pintu Pringgitan terbuka dan kemudian KiPatih Mandaraka dengan perlahan masuk
ke dalam dan duduk diatas dampar yang
ada di hadapan Ki Rangga.
“Ki Rangga” sapanya dengan sareh.
“Sendika Ki Patih” jawab Ki Rangga dengan
takdim sambil mengangkat sembahnya.
Untuk beberapa saat, Ki Patih ternyata
hanya memandangi Ki Rangga yang duduk
dengan wajah tertunduk dalam-dalam.
“Ki Rangga. Cucunda Mandurareja telah
berangkat kemarin ke lembah antaraMerapi dan Merbabu” kata Ki Patih. “Sesuai
dengan janjiku, aku telah menilai kembali
keadaanmu disini dan telah melaporkannya
kepada Sinuhun Prabu”
Berdebar-debar hati Ki Rangga mendengar
perkataan Ki Patih. “ Apakah ini akhir dari
semuanya?” bisik batin Ki Rangga di
tengah debaran jantungnya.
“Ki Rangga, besok malam Ki Rangga sudah
bisa kembali ke Menoreh” ujar Ki Patih.
Sebuah helaan napas lega terdengar samar
diantara napas Ki Rangga yang sejak tadi
sudah tertahan-tahan.“Tapi dengan sebuah syarat” kata Ki Patih
kemudian.
“Sendika Ki Patih. Apapun syaratnya
hamba akan laksanakan” jawab Ki Rangga
segera.
“Kepergianmu dari kepatihan harus diamdiam dan sesampainya kau di Menoreh,
kau dilarang meninggalkan Menoreh tanpa
izin dariku atau dari Sinuhun Prabu.
Saranku, sebaiknya kau berdiam diri saja di
rumahmu. Agar tidak ada yang mengetahui
kepulanganmu ke Menoreh dan tidak
menarik perhatian orang-orang yangsedang mencarimu”
Kali ini Ki Rangga Agung Sedayu justru
menarik napas panjang mendengar syarat
itu.
“Apa kau ingin mengatakan sesuatu
tentang syarat itu Ki Rangga?” tanya Ki
Patih kemudian.
“Tidak Ki Patih. Hamba akan mematuhinya”
kata Ki Rangga kemudian.
Ki Patih mengangguk beberapa kali sambil
terus memperhatikan Ki Rangga yanghanya tertunduk dalam.
“Ki Rangga. Aku sudah sulit mengukur
ketinggian ilmumu. Jika saja Jebeng
Sutawijaya masih ada ia pun tentu akan
penasaran seperti aku. Kau adalah satusatunya lelaki yang secara langsung
mengingatkanku padanya” kata Ki Patih,
“Aku tahu, bahwa kau memiliki sebuah ilmu
semu yang bisa membuat bayangan
semumu ada dimana pun tempat yang kau
inginkan. Sebenarnya tidak akan ada jeruji
penjara apapun yang bisa menahanmu.
Karena itu, sifat ksatriamulah yang
membuat kami percaya, bahwa selama
masih di kepatihan, kau tidak akan
menggunakan ilmu bayangan semumuuntuk bergentayangan kemana pun kau
mau, begitu juga yang kami harapkan saat
kau di Menoreh”
Ki Rangga tertunduk dalam-dalam. Ia
menyadari perkataan Ki Patih sebagai
teguran keras padanya. Meskipun ia
mampu melakukan apapun dengan segala
macam ilmu yang bertumpuk dalam dirinya,
tapi ada saatnya ia harus tunduk pada
paugeran dan unggah-unggah sehingga
ilmu-ilmu itu tidak seharusnya ia gunakan
untuk menyiasati atau mengingkari sebuah
aturan meskipun hanya untuk
kepentingannya sendiri. Apalagi untuk
membuat sebuah pangeram-eram.“Ki Rangga. Saat ini tugasmu sebagai
prajurit Mataram sedang ditangguhkan.
Untuk saat ini, tidak ada tugas apapun
untukmu selain menunggu perintah yang
mungkin datang kemudian. Mudahmudahan ini bisa meredakan berbagai
persoalan yang mengarah padamu” kata Ki
Patih sambil menarik napas dalam-dalam.
“Walau sebenarnya itu sayang sekali, saat
ini keamanan Mataram sedang menurun.
Sementara kau sebagai salah satu prajurit
Mataram yang pilih tanding justru sedang
dibebastugaskan”
“Ki Patih, hamba bersedia mengemban
tugas apapun demi tegaknya Mataram”
kata Ki Rangga kemudian.“Sudahlah Ki Rangga. Saat ini, pusaran
kepentingan kekuasaan sedang saling
membelit. Orang sepertimu akan sulit
menemukan arah dalam pusaran kabut
yang dalam ini. Hal-hal yang sebaliknya
mudah saja terjadi sehingga engkau akan
bisa dimanfaatkan justru untuk
melemahkan Mataram tanpa kau sadari
sama sekali” kata Ki Patih Mandaraka
kemudian. “Kami sudah berusaha
menjauhkanmu dari pusaran kabut
perebutan kekuasaan itu. Tapi rupanya,
Yang Maha Agung memiliki rencana lain,
sehingga akhirnya kau terperosok juga”
Ki Rangga kembali tertunduk dalam-dalam.Tidak ada keinginan lain dalam hatinya
selain menegakkan sendi-sendi Mataram
sebaik-baiknya. Akan tetapi peristiwa
belakangan ini justru membuatnya semakin
bingung sekaligus menyadari bahwa
sikapnya yang kaku dan enggan campur
tangan dalam kemelut pemerintahan justru
membuatnya menjadi korban dari
pertentangan itu sendiri. Upaya Kanjeng
Sunan menepikan dirinya ke Pesantren
Muria malah membuatnya semakin
penasaran dengan apa yang sedang terjadi
di Kotaraja.
“Ki Rangga” kata Ki Patih kemudian,
“Tidak
ada niatanku untuk mempertanyakan
kesetiaanmu pada Mataram. Aku hanyamemperingatkanmu agar lebih berhati-hati.
Sikapmu yang sangat berpegang pada
paugeran, sangat aku hargai. Namun
waspadalah, tanpa kejernihan hati dalam
berpikir dan mengurai masalah, kau bisa
dimanfaatkan oleh orang-orang yang akan
menjadikanmu cucuk laku dalam sebuah
masalah. Semakin besar Mataram,
semakin besar kepentingan akan beradu
dari dalam maupun dari luar.
Sepeninggalku kelak, kamu harus bisa
berjalan sendiri. Mudah-mudahan, Yang
Maha Agung akan terus memberi petunjuk
padamu kelak”
Ki Rangga terkejut mendengar perkataan Ki
Patih Mandaraka. Sesaat ia mengangkatwajah, dengan kening berkerut mencoba
menelisik kata-kata Ki Patih. Tapi
kemudian, ia kembali menunduk dan
mengangkat sembahnya.
“Terima kasih Ki Patih” jawabnya.
“Untuk saat ini, biarlah Cucunda
Mandurareja merasa diatas angin, aku
berharap kalian tidak berselisih lebih jauh
lagi di kemudian hari. Sifatnya memang
keras. Kurasa ia telah memiliki
gegayuhannya sendiri yang sedang ia
perjuangkan saat ini. Sementara itu,
kelihatannya pihak Pangeran Purbaya
sendiri juga memiliki maksud tertentudengan berbagai gerakan yang mereka
lakukan sebelum dan selama penobatan
Sinuhun Prabu yang lalu” sambung Ki Patih.
Tidak ada tanggapan dari Ki Rangga Agung
Sedayu. Meskipun berbagai pertanyaan
dan kemungkinan berputar-putar di
kepalanya, namun Ki Rangga tidak mampu
mengucapkan kata sepatahpun. Urusan
pemerintahan dan berbagai sengkarut
didalamnya selalu memusingkan kepalanya.
Karena itu, selama ini ia lebih memilih
menjauhkan diri dari berbagai carut marut
pemerintahan dan lebih memusatkan
perhatian kepada tugas-tugasnya. Tiba-tiba
Ki Rangga Agung Sedayu menyadari
sebuah kenyataan, bahwa selama ini KiPatih Mandaraka lah yang selalu
dipercayainya. Seluruh tugas yang
dibebankan padanya akan selalu
dilaksanakan dan dijunjung tinggi tanpa
mempertanyakan kebenaran dari
penugasan itu. Ki Rangga yakin, seluruh
tugas yang diberikan oleh Ki Patih adalah
demi tegaknya Mataram.
“Bagaimana nanti kalau Ki Patih
Mandaraka tidak lagi menjabat?”gumam Ki
Rangga Agung Sedayu dalam hatinya tibatiba.
“Nah, aku rasa pertemuan kita cukup kali
ini. Tetapi adakah yang ingin kau tanyakansebelumnya Ki Rangga?” tanya Ki Patih
sehingga mengejutkan Agung Sedayu.
“Ampun Ki Patih, sebenarnyalah di dalam
hatiku masih dipenuhi tanda tanya tentang
siapa orang yang menempelkan paser di
depan pintu bilikku serta siapakah yang
membawa Pangeran Ranapati dari
Menoreh” tanya Ki Rangga sambil
menghaturkan sembah.
Ki Patih tertawa pelan,
“Apakah kau
penasaran dengan orang itu Ki Rangga.
Sehingga kau ingin suatu ketika
membandingkan ilmu jika kau mengetahui
jatidirinya?”Cepat-cepat Ki Rangga menyahut,
“Ampun
Ki Patih. Tiada niatan apapun dari hamba.
Hamba tidak bermaksud seperti itu”
“Baiklah kalau begitu. Persoalan Pangeran
Ranapati berakhir sampai disini saja. Ia
tidak akan menyusahkanmu lagi. Orang
yang telah menempelkan paser di bilikmu
serta orang yang membawa Pangeran
Ranapati adalah orang yang sama. Orang
itu adalah salah seorang murid Kanjeng
Sunan. Mungkin suatu hari kau akan
berjumpa dengannya di Gunung Muria”
kata Ki Patih. “Nah, kembalilah ke bilikmu.
Besok malam, seorang pelayan dalam akan
mengantarkanmu ke perbatasan kotaraja.Setelah itu, kau bisa kembali ke Menoreh.
Berhati-hatilah Ki Rangga”
“Sendika Ki Patih” jawab Ki Rangga dengan
takdim penuh kelegaan. Tidak ada yang
lebih melegakan baginya selain menghirup
udara bebas kembali. Meskipun setelah itu,
Ki Rangga tidak tahu, apakah tenaganya
akan dibutuhkan kembali oleh Mataram.
“Jika saja keadaan tidak serumit saat ini,
tentu aku lebih memilih mengundurkan diri.
Namun, dalam keadaan seperti ini, aku rasa
itu tindakan deksura. Seolah-olah aku ingin
meletakkan bebanku tanpa berusaha
memperbaikinya” ujar Ki Rangga dalamhati. Sementara Ki Patih bangkit berdiri dan
kembali ke ruang dalam.
“Selamat malam Ki Rangga, mudahmudahan kita bisa bertemu kembali. Jika
Yang Maha Agung masih mengizinkan”
kata Ki Patih sambil tersenyum sekilas.
Ada getar yang menusuk jantung Ki Rangga
mendengar perkataan dari Ki Patih
Mandaraka. Ki Rangga seolah-olah
merasakan bahwa Patih yang sudah sangat
sepuh itu seperti tidak ingin melihatnya lagi.
Ki Rangga tercenung cukup lama sampai
seorang pelayan dalam mendekatinya
untuk mengantarkannya kembali kebiliknya.
Ki Rangga Agung sedayu pun kembali
duduk di depan meja kecil yang ada di
biliknya. Selama beberapa saat, ia terlihat
termenung kembali.
“Saat ini, Sekar Mirah pasti sudah
mengetahui segala sesuatunya. Kakang
Untara, Ki Gede dan Ki Waskita tentu
menjelaskan semua persoalan ini pada
Sekar Mirah” gumam Ki Rangga sambil
termenung. Sambil mengingat-ingat, ia
merangkai kembali percakapan panjang
saat mereka menghadap Ki Patih pertama
kali beberapa hari yang lampau.“Tapi seingatku, Ki Patih hanya
menyinggung soal penangguhan
pemberian jabatan Tumenggung. Ki Patih
tidak menyinggung soal penyerahan putri
Triman. Apakah ini berarti Ki Patih
membiarkanku menjelaskan sendiri pada
Sekar Mirah?” keluh Ki Rangga dengan hati
gusar. Tidak ada yang lebih merisaukannya
daripada memberitahukan hal tersebut
pada istrinya.
“Lalu, bagaimana pula dengan wasiat Adi
Swandaru? Apakah aku juga harus
melaksanakannya? Ki Gede Menoreh pun
kelihatannya mulai menelisik masalah ini
pula. Apakah Pandan Wangi dan SekarMirah menceritakan pula wasiat adi
Swandaru yang belum kusampaikan ini?”
Sekali lagi kepepatan seperti menindih
rongga dada Ki Rangga. Ia sampai
menggeleng berkali-kali. Ia lalu mendesah
panjang untuk melonggarkan isi dadanya.
“Jika aku kembali ke Menoreh, aku akan
membicarakan semuanya. Aku tidak mau
lagi menahan beban ini terlalu lama” bisik
Ki Rangga menguatkan diri. Hatinya mulai
tenang dengan janjinya pada diri sendiri.
“Apapun yang terjadi, sudah waktunya
semua menjadi jelas”Setelah menghela napas beberapa kali, Ki
Rangga kembali meraba kantong ikat
pinggangnya yang lebar. Ia kembali
mengeluarkan dua kitab selebar telapak
tangannya.
“Untunglah Kitab ini terbawa olehku. Aku
bisa menghabiskan waktu dengan
mempelajari ilmu dari Goa Langse ini”
katanya kemudian.
Ki Rangga pun kembali terlihat tekun
membuka-buka kembali halaman demi
halaman kitab yang diberikan oleh Maharsi
kepadanya. Meskipun sebenarnya ia
mampu menghafal semua isi kitab ituhanya dengan sekali dua kali membacanya,
tapi memang tidak ada yang bisa
dilakukannya selain membolak balik kedua
kitab tersebut selama ada di dalam bilik di
kepatihan itu.
—–
Dalam pada itu di Menoreh, sekelompok
orang-orang berkuda tampak
meninggalkan kediaman Ki Gede Menoreh.
Di barisan terdepan, Ki Gede Menoreh dan
Pandan Wangi terlihat berkuda bersama.
Sementara di belakang mereka beberapa
pengawal tampak berderap dengan
semangat tinggi. Sekembalinya Ki Gede
Menoreh ke tanah perdikannya, suasana di
Menoreh kembali hidup. Rakyat Menorehmenyambut gembira kembalinya Ki Gede
dengan berjanji untuk terus bekerja keras
demi kemakmuran Menoreh di masa
mendatang.
“Wangi. Tidak usah terburu-buru, hari
masih terlampau pagi” ujar Ki Gede
Menoreh demi melihat kuda putrinya sudah
beberapa langkah di depannya.
“Ya Ayah” jawab Pandan Wangi sambil
melambatkan langkahnya. “Tapi kenapa
ayah mengajakku ke tempat paman
Argajaya sepagi ini pula?” tanyanya.
“Ki Gede Matesih sudah terlalu lamameninggalkan tanah perdikannya. Aku rasa
dalam satu dua hari ia harus kembali ke
Matesih. Sementara itu, ia tentu menunggu
-nunggu keputusan kita tentang Ratri” kata
Ki Gede Menoreh.
“Ya ayah. Aku tahu apa maksud ayah
mengajakku ke rumah paman Argajaya.
Yang tidak kumengerti adalah, kenapa
mesti sepagi ini. Rumah paman Argajaya
hanya di padukuhan sebelah padukuhan
induk. Sementara kita justru mengarah ke
arah sebaliknya, bahkan berkuda pula”
tanya Pandan Wangi tidak mengerti.
Ki Gede Menoreh tertawa dengan suara geli,“Kau sangat teliti Wangi”
“Apakah ayah ingin berjalan-jalan dulu?”
tanya Pandan Wangi pula dengan senyum
mengembang.
“Ya. Tentu saja. Alangkah nikmatnya
berjalan-jalan di pagi hari ditemani seorang
putri yang cantik jelita”
“Ah ayah. Umurku sudah berjalan jauh.
Wajahku sudah banyak kerutan. Kulitku
tidak muda lagi. Aku tidak cocok lagi
disebut putri”“Kau tetap putriku, putri Ki Argapati”
Pandan Wangi hanya bisa tersenyum manja
mendengar kata-kata ayahnya. Kasih
sayang ayahnya padanya selalu mengalir
dengan deras. Tidak akan ada yang selalu
dirindukannya saat ini selain kasih sayang
ayahnya dan tanah kelahirannya ini.
“Wangi. Ayah ingin berbicara beberapa hal
kepadamu, selagi kita mengambil jalan
memutar menuju rumah pamanmu” kata Ki
Gede Menoreh.
“Tentang apa ayah?”“Tentang Ki Rangga Agung Sedayu”
Pandan Wangi tersentak sesaat. Namun
siratan terkejut dari wajahnya tidak kentara
sama sekali karena Pandan Wangi segera
bisa menguasai perasaannya. Dengan
berdebar-debar ia menunggu ayahnya
bicara. Tentu itu sebuah pembicaraan yang
hanya bisa mereka berdua dengar sendiri.
Bukan tentang keadaan Ki Rangga yang
justru sedang ditahan di kepatihan.
“Wangi. Selama kami di kepatihan dan tidur
di bilik yang sama aku telah banyak
berbincang dengan Ki Rangga” kata Ki
Gede Menoreh dengan perlahan.“Apa yang telah ayah bicarakan?” tanya
Pandan Wangi dengan jantung berdebaran.
“Banyak hal. Selain kemungkinankemungkinan dari peristiwa yang sedang
dialami juga tentang masa depan” kata Ki
Gede sambil menoleh pada putrinya.
Tidak ada tanggapan dari Pandan Wangi. Ia
hanya menatap jalanan yang ada di
depannya.
“Wangi, ayah bisa merasakan bahwa Ki
Rangga masih memiliki ketertarikan
padamu” kata Ki Gede dengan hati-hati.Pandan Wangi menghela napas.
“Ayah, sudah pernah aku katakan. Aku
akan menunggu. Aku tidak tahu apa yang
harus kujawab saat ini” kata Pandan Wangi
kemudian.
“Ya. Ayah tahu maksudmu. Tapi sebagai
seorang ayah, aku tidak bisa menahan
perasaanku untuk terus memupuk harapan
demi harapan. Apalagi itu mengenai masa
depanmu”
“Ayah. Harapan dan masa depanku
sekarang ini semuanya adalah tentangBayu Swandana, cucu ayah. Lalu apalagi
yang mesti kuharapkan?” tanya Pandan
Wangi.
“Wangi, bertahun-tahun yang lampau, kau
adalah harapan satu-satunya ayah. Hingga
sekarang kau tetaplah harapan ayah.
Selama kau berada di Sangkal Putung,
ayah harus menahan kerinduan yang cukup
panjang dengan maksud agar kau bahagia
disamping suamimu” kata Ki Gede
Menoreh dengan perlahan,
“Tapi kemudian
kau kembali kemari dengan kesedihan
yang selalu menghiasi hari-harimu.
Hidupmu terlihat hambar Wangi”Pandan Wangi tertunduk. Ia menyadari
bahwa selama ia tinggal di Sangkal Putung,
ayahnya hanya tinggal seorang diri.
meskipun sebenarnya Ki Rangga Agung
Sedayu dan Sekar Mirah seperti
menggantikan dirinya disini, namun tidak
ada yang lebih bermakna daripada
kehadiran dirinya sebagai satu-satunya
anak kandung Ki Gede Menoreh. Apalagi, Ki
Gede tidak pernah menikah lagi
sepeninggalan ibu Pandan Wangi yang
bernama Wulan. Kedatangan Rara Wulan
ke Menoreh pun kemudian menambah
keluarga Menoreh pula. Begitu pula
kedatangan Ki Jayaraga. Meskipun Rara
Wulan kebetulan bisa memiliki kesamaan
nama dengan ibunya, namun hanyasebatas itu saja. Kerinduan seorang ayah
kepada putri satu-satunya tidak tergantikan
oleh berapa orang pun yang datang
kemudian mendampinginya di Menoreh.
“Ayah, Kakang Sedayu belum mengatakan
apapun padaku. Biarlah aku tetap
menunggu. Jawabanku akan terucap
bersamaan dengan pertanyaan yang akan
muncul, itu pun jika Kakang Sedayu telah
mengucapkan maksudnya” kata Pandan
Wangi kemudian.
“Ya Wangi, aku mengerti. Setidaknya, ayah
telah menangkap maksud tersirat darimu.
Ayah hanya berusaha membuka jalan.Kelihatannya jalan itu mulai terurai dan
terbentang dihadapan kalian berdua” kata
Ki Gede Menoreh.
Pandan Wangi menjadi termangu. Ia tidak
menanggapi lagi perkataan ayahnya karena
sibuk berpikir dalam benaknya sendiri.
“Apakah memang demikian yang
kuinginkan?” desah Pandan Wangi dalam
hatinya. “Tapi apa sebenarnya isi wasiat
terakhir kakang Swandaru. Salah satu hal
yang paling menahanku untuk melangkah
adalah isi wasiat itu. Aku juga tidak ingin
salah langkah”Karena Pandan Wangi hanya diam saja, Ki
Gede kemudian meneruskan kata-katanya,
“Wangi. Aku harap jika Ki Rangga suatu
saat mengajakmu bicara, engkau mau
menanggapinya dengan sungguh-sungguh.
Kadang-kadang kesempatan hanya akan
datang sekali. Sementara kita tahu, Ki
Rangga hampir tidak pernah punya waktu
untuk dirinya sendiri”
Pandan Wangi mengangguk ragu. Tapi Ki
Gede Menoreh merasa anggukan itu sudah
cukup. Ia merasa lega sudah bisa memberi
jalan kepada putrinya. Sebuah jalan yang
diharapkan bisa membahagiakan anaknya
itu meskipun hampir di pertengahan
usianya.“Marilah, kita ke rumah Argajaya” ajak Ki
Gede kemudian. Mereka pun berbelok
memasuki sebuah cabang jalan menuju ke
rumah Ki Argajaya yang sudah sejak lama
menarik diri dari kehidupan bebrayan di
Tanah Perdikan Menoreh.
Rombongan Ki Gede Menoreh kemudian
memasuki regol rumah Ki Argajaya.
Seorang pelayan laki-laki dengan tergopohgopoh menyambut kedatangan mereka
sambil membungkuk dalam-dalam.
“Ki Gede Menoreh. Selamat datang”
sambutnya dengan gugup.“Apakah Argajaya ada di rumah?” tanya Ki
Gede Menoreh.
“Ada Ki Gede. Akan segera aku panggilkan.
Silahkan Ki Gede, duduklah di pendapa”
kata pelayan itu. Dengan segera ia
melangkah kembali ke dalam rumah.
Tidak berapa lama, ia kembali mengiringi
Ki Argajaya. Lelaki yang mulai sepuh itu
terlihat mulai bungkuk. Namun langkahnya
masih cukup gagah di usia yang menjelang
senja.
“Kakang Argapati, Pandan Wangi. Selamatdatang” sapanya dengan ramah.
“Argajaya. Bagaimana keadaanmu. Kau
sangat-sangat jarang mengirimiku kabar”
balas Ki Gede Menoreh sambil menerima
uluran tangan Ki Argajaya.
“Maafkan aku Kakang. Keadaanku baikbaik saja, tidak lebih tidak kurang. Aku
tidak mau terlalu mengganggu tugas-tugas
kakang sebagai kepala perdikan”
“Ah. Mengirim kabar tentu tidak ada
salahnya bukan?”“Benar Kakang. Maafkan aku”
“Sudahlah. Nah bagaimana keadaan
Prastawa. Kudengar ia sering sakit
semenjak pulang dari Panaraga beberapa
waktu yang cukup lampau”
“Begitulah kakang. Kadang-kadang,
Prastawa hanya terbaring di rumahnya.
Kadang-kadang, ia bisa bangkit dan
melaksanakan tugasnya secara terbatas
sebagai kepala pengawal Menoreh. Tapi
semakin hari keadaannya terlihat
melemah” ujar Ki Argajaya dengan suara
pelan sambil menggelengkan kepala
beberapa kali.“Sebenarnya apa penyakit yang diderita
Prastawa paman?” tanya Pandan Wangi.
Ki Argajaya hanya menggeleng pelan. “Aku
juga bingung Wangi. Sudah beberapa tabib
pengobatan yang kudatangkan, namun
belum ada yang mampu mengungkap
penyakit Prastawa”
Ki Gede menoreh menghela napas,
“Sebaiknya setelah ini kita menjenguknya
sekalian”
Pandan Wangi pun mengangguk
mengiyakan,
“Aku juga sudah lama sekalitidak bertemu Anggreni, istrinya dan anak
lelakinya”
Wajah Ki Argajaya menjadi sedikit cerah
mengingat cucunya. “Ya, Bharada sudah
pandai berlari-lari sekarang. Kesukaannya
mengejar-ngejar ayam” ucap Ki Argajaya
dengan sumringah.
“Oo. Apakah Bharada juga suka makan
ayam?” tanya Pandan Wangi dengan
senyum manisnya membayangkan
kenakalan seorang bocah. Seperti juga
saat Bayu Swandana kecil dulu. Anak
lelakinya itu tidak pernah bisa diam, selalu
berlari kesana kemari.“Tidak. Kesukaannya justru mangut lele.
Tapi ia belum fasih berbicara, sehingga
setiap meminta makanan kesukaannya, ia
hanya mengatakan ‘mau e’e’” kata Ki
Argajaya. Wajahnya menjadi cerah
menceritakan kelucuan cucunya. Ki Gede
Menoreh pun tertawa pendek. Sebagai
sesama lelaki yang sudah merangkap
sebagai kakek dan sama-sama memiliki
cucu lelaki, tentu Ki Gede bisa merasakan
kebanggaan dan kepuasan dihatinya
melihat kenakalan, kemanjaan dan segala
tingkah laku cucunya itu.
Pelayan Ki Argajaya kemudian datang dan
mengangsurkan wedang sere serta sedikitpanganan. Ki Argajaya pun menyilakan
kakang serta keponakannya itu mencicipi
hidangan yang ada.
“Adi Argajaya. Sebenarnya kedatanganku
kemari memiliki sebuah tujuan” kata Ki
Gede Menoreh setelah mencicipi sedikit
panganan yang ada.
Ki Argajaya hanya mengangguk sambil
memandang ke arah Ki Gede Menoreh
dengan kening berkerut menunggu katakata berikutnya.
“Tidak usah terlampau risau. Bukan hal
yang sangat penting. Aku hanya memintapendapatmu tentang suatu hal” kata Ki
Gede demi melihat kerut merut di kening
adiknya itu.
“Ki Gede. Jika kakang yang justru datang
ke rumah ini, tentulah hal yang sangat
penting. Lebih pantas sebenarnya jika aku
yang dipanggil ke kediaman kakang” kata
Ki Argajaya dengan sungkan.
“Ah, tidak usah terlalu dipikirkan. Apa yang
kusampaikan hanyalah terbatas mengenai
kelangsungan ilmu Perguruan Menoreh,
dimana kau sebagai keturunan Menoreh
pun pernah menyadap ilmu dari sumber
yang sama dan telah kau turunkan padaputramu pula” kata Ki Gede Menoreh.
Ki Argajaya menghela napas pendek.
Wajahnya tertunduk sesaat.
“Kakang, meskipun aku pernah ikut
menyadap ilmu Perguruan Menoreh seperti
juga yang kakang lakukan. Tapi
perkembangan ilmuku dari jalur Menoreh
justru menjadi semu karena kebiasaanku
mengembara kemana-mana dan menyadap
ilmu dari sembarang tempat. Aku bukanlah
orang yang pandai memilah-milah sebuah
jalur ilmu sehingga bisa dikatakan
percampuran berbagai aliran yang kusadap
setengah-setengah justru telah merusakkeaslian ilmu dari jalur keluargaku sendiri”
Ki Gede Menoreh mengangguk beberapa
kali,
“Adi Argajaya. Kedatanganku bukan
untuk menilai dirimu. Apa yang telah terjadi,
biarlah berlalu. Seterusnya, kita berusaha
memperbaiki diri di jalan yang diridhoi oleh
Yang Maha Agung” kata Ki Gede Menoreh.
Ia menelan ludah dulu untuk membasahi
kerongkongan sebelum melanjutkan,
“Nah,
saat ini telah datang seseorang yang
bermaksud ikut menyadap ilmu dari jalur
Menoreh. Sebagaimana wewaler yang
ditentukan oleh keluarga kita, jalur
perguruan Menoreh hanya boleh diteruskan
oleh keturunan langsung. Memang tidak
ada larangan orang luar untuk ikutmempelajarinya, tapi itu membutuhkan
persetujuan seluruh keluarga Menoreh
yang ada”
Ki Argajaya mengangguk-angguk. Ia sudah
mengerti maksud dan tujuan dari Ki Gede
Menoreh.
“Siapakah orang itu kakang?” tanyanya
kemudian.
“Seorang gadis muda bernama Ratri. Ia
telah datang ke Menoreh diantar oleh
ayahnya, Ki Gede Matesih dan kelihatannya
ia tertarik untuk berguru pada Pandan
Wangi”“Seorang Putri Perdikan?” tanya Ki
Argajaya seperti menggumam.
“Benar paman. Seorang gadis cantik. Aku
sudah menjajagi kemampuannya. Aku
sendiri heran dengan kemampuan di dalam
dirinya. Ia sudah mampu mengungkap
tenaga dalamnya meskipun belum bisa
mengendalikannya. Aku rasa, ia cukup
berbakat paman”
“Ah. Pandan Wangi. Kata-katamu seolaholah sedang membujuk pamanmu untuk
mengizinkan keinginanmu” gumam Ki
Argajaya dengan wajah sedikit geli, lalu iamelanjutkan “Kakang, sebenarnya aku
tidak
merasa punya hak untuk menentukan boleh
apa tidak. Bagaimanapun, kakanglah yang
mampu menyadap seluruh ilmu Menoreh
sampai tuntas. Dengan begitu seluruh
wewaler perguruan sebenarnya ada di
tangan kakang”
“Adi. Meskipun begitu, aku rasa lebih baik
jika kita telah berembug lebih dulu.
Sehingga di kemudian hari tidak ada
kesalahpahaman diantara para penerus
perguruan Menoreh. Apalagi, Ratri berasal
dari luar Menoreh”
“Kakang. Tentu saja aku setuju. Memangsudah seharusnya Pandan Wangi memiliki
murid. Nyi Sekar Mirah juga sudah memiliki
murid, begitu juga dengan Ki Rangga” kata
Ki Argajaya. “Tapi, bagaimana dengan Bayu
Swandana? bukankah ia akan mewarisi
ilmu Menoreh juga?” tanyanya kemudian.
“Tentu saja paman. Bayu Swandana akan
mendapat bimbingan langsung dari
kakeknya” kata Pandan Wangi sambil
tersenyum dan menatap ayahnya.
“Ah. Saat ini Bayu Swandana belum
mengerti apa-apa. Kelak, pewarisan ilmu
Menoreh justru lebih banyak terletak di
pundakmu Wangi. Karena itu, memilikilebih dari satu murid juga tidak mengapa”
“Namun tanggungjawabnya juga semakin
besar Wangi” sambung Ki Argajaya.
“Ya paman, aku mengerti” jawab Pandan
Wangi singkat.
“Kalau begitu, tidak masalah sekarang”
kata Ki Gede Menoreh sambil menatap
Pandan Wangi. Pandan Wangi pun
mengangguk sambil menarik napas lega.
Ratri sudah mendapat persetujuan untuk
memulai latihannya menyadap ilmu dari
jalur Menoreh.Tapi kemudian kening Ki
Gede menjadi berkerut,
“Kita masih harusmenanyakan pada Prastawa. Sedikit
banyak, ia juga menyadap ilmu perguruan
Menoreh juga”
“Kakang. Aku yakin, Prastawa tidak akan
menolak pula. Seperti aku, ia juga kesulitan
mengembangkan ilmu Menoreh, meskipun
ia jauh lebih tekun mempelajarinya. Entah
mengapa, keluargaku sepertinya tidak
memiliki bakat untuk mengembangkan
ilmu Menoreh setinggi-tingginya. Padahal
kami adalah keturunan langsung keluarga
Menoreh”
Ki Gede menoreh hanya bisa menghela
napas panjang. Berbagai peristiwa yangtelah lalu kembali membayang di pelupuk
matanya. Jika saja apa yang dikatakan
adiknya itu justru terjadi sebaliknya,
mungkin saja di masa pertentangan yang
lampau, mungkin dirinya yang akan
dilengserkan oleh adiknya sendiri karena
kalah dalam pertempuran. Akan tetapi, Ki
Gede cepat-cepat membuang kenangan
buruk itu.
“Mungkin yang Maha Agung telah
menentukan takdirnya Adi” kata Ki Gede
Menoreh.
“Ya kakang. Semakin tua aku semakin
menyadari kuasa Yang Maha Agung” jawabKi Argajaya pula.
“Ah, sudahlah. Marilah kita menjeguk
Prastawa” ajak Ki Gede kemudian
ketiganya kemudian berdiri. Pandan Wangi
sedikit merapikan kain panjangnya yang
kusut karena diduduki. Kemudian berjalan
mengikuti ayah dan pamannya menuju ke
bagian belakang rumah Ki Argapati yang
cukup luas. Rumah Prastawa ada di
belakang rumah itu.
Seorang perempuan berwajah cantik dan
tersenyum manis bergegas menyambut
begitu melihat beberapa orang mengarah
ke rumahnya.“Ki Gede, Mbok ayu Pandan Wangi.
Selamat datang” katanya sambil
membungkuk hormat dan menyalami
Pandan Wangi. Tak lupa ia mengangkat
sembahnya sebentar pada Ki Gede.
“Anggreni. Kau tetap cantik seperti dulu
masih gadis” puji Pandan Wangi.
“Ah, mbok ayu. Tidak ada yang
mengalahkan kecantikan mbok ayu di
Tanah Perdikan ini” balas Anggreni memuji
dengan sopan.
“Apakah suamimu sedang beristirahat?”tanya Ki Argajaya.
“Oh, tidak Ki. Kakang baru saja makan
pagi”
“Bagaimana keadaannya?” tanya Ki Gede
Menoreh.
“Syukurlah Ki Gede. Beberapa hari ini
terlihat lebih segar”
“Marilah. Kita menjenguknya” ajak Ki Gede
kemudian.
Mereka berjalan memasuki rumahPrastawa. Anggreni membukakan pintu
bilik, setelah sebelumnya mengetuk pintu
lebih dulu.
“Kakang. Ada tamu. Ki Gede datang
menjenguk kakang” kata Anggreni sambil
melongok ke dalam.
Prastawa yang sedang berbaring segera
berusaha bangkit. Ki Gede Menoreh segera
mencegahnya.
“Tidak. Tidak perlu Prastawa. Berbaring
sajalah” kata Ki Gede Menoreh sambil
mendekat.Pandan Wangi begitu terkejut melihat
keadaan Prastawa. Tubuhnya menjadi
kurus dan lemah. Seolah-olah tinggal
tulang dibalut kulit. Tidak ada kesan gagah
dan kuat sebagaimana diri Prastawa
sebelumnya dengan jabatan yang
terpandang pula, sebagai Kepala Pasukan
Pengawal Menoreh yang namanya cukup
harum di Mataram.
“Paman, mbok ayu Pandan Wangi” sapa
Prastawa dengan suara bergetar.
Sementara Anggreni bergegas keluar untuk
menyiapkan minum bagi tamu-tamunya.
Pandan Wangi masih terhenyak. Ia sepertitidak bisa berkata-kata, sementara Ki
Argajaya mengambilkan dingklik untuk
tempat duduk Ki Gede Menoreh dan
Pandan Wangi.
“Prastawa. Bagaimana keadaanmu
sekarang?” tanya Ki Gede Menoreh dengan
prihatin.
“Tidak apa-apa paman” jawab Prastawa
sambil berusaha tersenyum.
“Apakah kupanggilkan saja seorang tabib
untuk memeriksamu sekarang?” tanya Ki
Gede lagi. Tangannya menyentuh lengan
Prastawa.Prastawa menggeleng,
“Sudah banyak
tabib yang datang paman. Aku sudah
bosan meminum berbagai ramuan yang
mereka berikan. Kurasa keadaanku
semakin membaik” jawab Prastawa sambil
terus berusaha tersenyum.
Baik pandan Wangi maupun Ki Gede segera
merasakan hal yang sama. Prastawa
sepertinya tidak mau terlihat lemah
dihadapan Ki Gede Menoreh.
“Kalau begitu syukurlah” jawab Ki Gede
kemudian. “Mudah-mudahan kesehatanmu
bisa pulih seperti sediakala dan bisaseterusnya mengemban tugasmu”
“Tentu Ki Gede. Tak lama lagi aku siap
kembali bertugas” jawab Prastawa dengan
yakin. Sementara Pandan Wangi terlihat
menahan napas. Ia seperti tidak yakin demi
melihat keadaan Prastawa sekarang. Ada
rasa khawatir yang muncul mengingat
Prastawa adalah satu-satunya sepupunya.
“Baguslah kalau begitu” sambut Ki Gede
lagi. Sementara Anggreni datang
membawakan minuman.
“Kau terlalu repot Anggreni. Kami sudah
dihidangkan minum dan panganan tadi dirumah paman” kata Pandan Wangi. Ia
segera mengambil alih nampan dari tangan
Anggreni dan menghidangkannya untuk
ayah dan pamannya.
“Hanya minuman Mbok ayu. Aku tidak
sempat memasak panganan lain-lain
selama mengurus kakang Prastawa dan
Bharada” kata Anggreni dengan lirih.
“Oh, ya. Mana anakmu?” tanya Pandan
Wangi.
“Di rumah kakeknya. Nanti menjelang
tunggang gunung barulah diantar kakeknya
ke mari” jawab Anggreni.“Ah, padahal aku ingin sekali bertemu
dengannya. Aku ingin menggendongnya”
kata Pandan Wangi dengan sedikit
menyesal.
“Dia bakal sulit digendong mbok ayu.
Larinya lebih gesit dari ayam” gurau
Anggreni berusaha membuat suasana lebih
hidup. Gurauan itu cukup membuat tamutamunya tertawa kecil sesaat. Ki Gede
langsung merasa tidak perlu berlama-lama.
Maka ia pun langsung ke inti pembicaraan.
“Prastawa. Selain menjengukmu dan
ayahmu. Ada sedikit pembicaraan yangtelah kami lakukan dan kini aku akan
menyampaikannya padamu” kata Ki Gede
Menoreh dengan sareh. Wajah Prastawa
menjadi berkerut. Hatinya berdebar. Salah
satu hal yang dikhawatirkannya adalah
mengenai jabatan kepala Pasukan
Pengawal Menoreh. Ia sudah terbaring
cukup lama. Meskipun beberapa kawan
dekatnya masih bisa dimintai tolong untuk
membantunya mengurusi pasukan
pengawal, tapi semua itu tidak selalu
berjalan dengan baik. Sehingga ada
kemungkinan, Ki Gede Menoreh akan
melimpahkan jabatan itu kepada orang lain.
“Tidak usah terlalu risau. Ini hanya
mengenai ilmu dari jalur Menoreh dimanaayahmu dan kau sendiri pernah menyadap
pula” kata Ki Gede Menoreh kemudian
berusaha menenangkan. Ki Gede pun bisa
meraba kegelisahan Prastawa. Ia memang
sudah mendapat beberapa laporan
mengenai ketidakberesan urusan pengawal
Menoreh karena ketidak-hadiran Prastawa.
Tapi hal-hal tersebut belum terlalu parah
sehingga dapat mengganggu Pasukan
Pengawal Menoreh secara keseluruhan.
Prastawa bisa menghembuskan napas lega
sambil menunggu kata-kata Ki Gede
selanjutnya.
“Prastawa, saat ini di Menoreh telah datangseorang tamu. Ia adalah Ki Gede Matesih
bersama putrinya. Putrinya telah
mendengar bahwa di Tanah Menoreh
terdapat beberapa perempuan yang
berilmu tinggi sehingga merasa tertarik
untuk mendalami kanuragan disini.” kata Ki
gede mengawali kata-katanya. Kemudian ia
menyampaikan maksudnya pada Prastawa.
Prastawa mengangguk beberapa kali tanda
mengerti.
“Nah, bagaimana pendapatmu Prastawa?”
tanya Ki Gede kemudian.
“Paman, seperti juga ayah. Sebenarnya aku
merasa tidak menyadap ilmu Menorehdengan baik. Perkembanganku sangat
lambat. Karenanya aku merasa tidak
berhak memberi pendapat dalam hal ini”
kata Prastawa.
“Ah, jangan begitu Prastawa. Kami tetap
memperhatikan pendapatmu. Nah,
bagaimana menurutmu?”
Prastawa mengangguk sekali. “Kalau
begitu, aku rasa tidak apa-apa paman.
Gadis itu bisa menjadi murid mbok ayu.
Akan tetapi…” Prastawa tidak
menyelesaikan kata-katanya.
Apa yang ingin kau sampaikan Prastawa,katakanlah” desak Ki Gede Menoreh segera.
Prastawa menelan ludah beberapa kali
sebelum bisa menjawab,
“Paman, ayah. Jika saja umurku tidak
panjang lagi. Tolong, jangan kucilkan
Bharada. Ia juga berhak mempelajari jalur
ilmu Menoreh. Aku ingin dia dilatih oleh
yang terbaik”
“Ah…” desis ketiga orang yang ada
fihadapan Prastawa.
“Prastawa. Jangan berkata begitu. Manusiatidak pernah tahu kapan ajal akan tiba.
Semua itu adalah rahasia Yang Maha
Agung. Kau akan melatih sendiri Bharada
saat ia dewasa kelak” kata Ki Gede
Menoreh.
“Paman, aku tidak bisa menjangkau lapisan
yang lebih tinggi dari ilmu Menoreh, meski
aku tahu seluruh dasar-dasarnya. Aku tidak
ingin itu terjadi pada Bharada. Ia harus
dilatih oleh guru yang lebih mumpuni.
Mungkin paman, atau mbokayu sendiri”
desak Prastawa.
Ki Gede Menoreh menghela napas panjang.
Ia menyadari bahwa kemampuan Prastawayang tidak berkembang tidak semata-mata
karena kesalahan Prastawa. Setelah
kepergian Pandan Wangi ke Sangkal
Putung, Prastawa sempat mendapatkan
bimbingannya dalam oleh kanuragan.
Namun, berbagai peristiwa dimasa lampau
yang melibatkan Prastawa, membuat Ki
Gede tidak membimbing Prastawa sekeras
bimbingannya pada Pandan Wangi. Bahkan
kemudian jarak antara mereka seolah-olah
tercipta akibat tingkah laku Prastawa
sendiri yang mudah terombang-ambing.
Meskipun Prastawa kemudian diangkat
menjadi Kepala Pasukan Pengawal
Menoreh, tapi kemampuan kanuragannya
terbatas pada apa yang dikembangkannya
sendiri tanpa bimbingan Ki Gede Menorehlagi.
“Prastawa. Masa itu masih jauh di depan .
Kita masih bisa membicarakan itu lagi di
kemudian hari. Namun aku berjanji,
Bharada akan mendapat bimbingan terbaik
dalam jalur ilmu Menoreh” kata Ki Gede
Menoreh dengan pasti.
Sepertinya janji itu cukup melegakan bagi
Prastawa. Ia mengangguk dengan wajah
menjadi cerah.
“Terimakasih paman”“Nah, sepertinya kau butuh istirahat lebih.
Kami mohon diri dulu” kata Ki Gede
Menoreh kemudian sambil bangkit berdiri.
“Prastawa, aku kembali dulu” kata Pandan
Wangi kemudian. Ia mengikuti ayahnya
keluar bilik Prastawa. Saat pamit pada
Anggreni, perempuan yang masih cantik itu
tiba-tiba memeluknya dengan air mata
meleleh deras. Pandan Wangi membalas
pelukan itu.
“Bersabarlah Anggreni. Rawat suamimu
sebaik-baiknya. Jika kau butuh apa saja
kabari kami di padukuhan induk” bisik
Pandan Wangi lembut. Ia pun bisamerasakan perasaaan yang sedang
menghinggapi Anggreni mengenai keadaan
suaminya. Sebuah perasaan yang
bersemayam jauh di lubuk hati perempuan
yang tidak bisa terucapkan.
Tidak lama kemudian, Ki Argapati dan
putrinya itu telah bekuda menjauh dari
padukuhan tempat Ki Argajaya tinggal.
“Ayah, seandainya saja seperti rencana
semula pasukan Pengawal Menoreh harus
ikut melawat ke Gunung Tidar, siapakah
yang akan memimpin pasukan Menoreh?”
tanya Pandan Wangi dengan suara seperti
bergumam.Ki Gede tertegun sesaat. Prastawa tentu
saja tidak akan bisa menjadi pimpinan jika
saat ini mereka harus berangkat ke lembah
antara Merapi dan Merbabu.
“Tentu saja ayah yang akan memimpin”
jawab Ki Gede Menoreh kemudian.
Dengan wajah tak tega, Pandan Wangi
menatap ayahnya.
“Ayah, kali terakhir ayah ikut melawat
dengan pasukan Menoreh adalah saat
menyerang Madiun. Kakang Sedayu
bahkan belum menjadi prajurit Mataramsaat itu. Apakah ayah ingat bagaimana
susah payahnya keadaan pasukan kita saat
itu. Beruntung saat itu Kakang Sedayu dan
Glagah Putih ada di pasukan kita” kata
Pandan Wangi lirih. “Ayah, sebaiknya ayah
tidak usah ikut melawat lagi” sambungnya.
Ki Gede Menoreh tertunduk sesaat. Ia
masih ingat kejadian saat itu. Pasukan
Menoreh mengalami keadaan yang cukup
parah. Banyak pengawal yang gugur.
Sementara kondisinya juga kepayahan
setelah bertempur habis-habisan.
“Wangi. Aku adalah pemimpin tertinggi
tanah perdikan ini. Siapa lagi yang akanmemimpin jika bukan aku?” tanya Ki Gede
kemudian.
“Ayah, selain Prastawa mungkin sebaiknya
ada orang lain yang bisa mewakili ayah,
jika harus memimpin seluruh pasukan
Menoreh”
Ki Gede Menoreh memandang kepada
putrinya dan tersenyum kecil.
“Maksudmu, kau?”
“Bukan begitu ayah. Maksudku seorang
calon kepala Pengawal, jika Prastawasedang berhalangan. Katakanlah, wakil
kepala pengawal”
Ki Gede menggeleng dengan pelan.
“Meskipun para Pengawal Menoreh sudah
sejak dulu terkenal tangguh, ayah belum
melihat kemampuan yang menonjol dari
para pemimpin kelompoknya. Setidaknya
yang dapat mengimbangi Prastawa”
katanya.
Ki Gede kemudian termenung. Ia
menyadari keadaan para Pengawal
Menoreh saat ini. kemampuan mereka
cukup terjaga karena tingkat kedisiplinan
mereka untuk berlatih cukup tinggi. Jikamenghitung orang-orang seperti Ki
Jayaraga, Agung Sedayu, Sekar Mirah,
Glagah Putih, bahkan Ki Sabdadadi dan
yang lain-lainnya, kekuatan mereka
sangatlah dahsyat. Menoreh sangat
disegani oleh orang-orang yang mengerti
benar kekuatan yang tersimpan di Menoreh.
Tapi, ternyata kekuatan itu memiliki
kerapuhan. Jika orang-orang yang
disebutkan itu berhalangan untuk ikut
membela panji Menoreh, sebenarnya
Menoreh tidak lebih dari tanah perdikan
lain. Hanya terdiri dari para pengawal dan
kepala perdikannya itu sendiri.
“Ayah. Tidak usah terlalu dipikirkan. Aku
akan membantu ayah sejauh yang akumampu” kata Pandan Wangi kemudian.
Ki Gede mengangguk. Tapi kemudian ia
berujar,
“Terima kasih Pandan Wangi. Katakatamu hari ini membuka pikiran ayah.
Memang sebaiknya ayah berpikir jauh ke
depan dan mempersiapkan seorang calon
pemimpin Pengawal Menoreh untuk
membantu Prastawa saat berhalangan.
Tentu saja dengan pertimbangan perasaan
Prastawa agar ia tidak merasa
disingkirkan”
“Ya. Ayah”
“Marilah, kita kembali ke padukuhan induk”Keduanya pun berderap lebih cepat,
sementara matahari mulai meninggi pula.
*****
Dalam pada itu, di jalanan Menoreh
diantara dua bulak panjang terlihat dua
orang gadis menjelang dewasa yang
sedang berjalan menikmati matahari pagi.
Keduanya terlihat ceria dan bergandengan
tangan. Seorang diantaranya, yang
tubuhnya lebih tinggi terlihat sangat
mengagumi keindahan hamparan padi
dikiri kanan jalan. Sawah yang sangat luas
itu jauh terbentang hingga batas perbukitanMenoreh di kejauhan.
“Menoreh ternyata sangat indah” ujar gadis
pertama dengan mata berbinar
memandang ke sekeliling. Wajahnya
sangat cantik dengan kulit kuning langsat
dan tubuh ramping. Rambutnya terlihat
indah menawan digulung diatas kepala,
langkahnya seperti melonjak-lonjak
sebagaimana perasaannya yang sedang
bahagia.
“He, apakah kau selalu menatap lurus ke
depan saja, tidakkah kau ingin menikmati
suasana pagi ini Damarpati?” tanya gadis
itu. Gadis kedua yang nampak lebih mungilhanya tersenyum kecil.
“Mbok ayu. Aku sudah melintasi jalan ini
berkali-kali. Pagi, siang bahkan malam hari.
Kurasa aku sudah sering menikmatinya”
kata gadis kecil bernama Damarpati itu.
“Oh. Ya tentu saja. Aku lupa kau orang
Menoreh. Tentu sejak lahir kau sudah
melihat indahnya tanah Menoreh sehingga
sekarang tampak biasa-biasa saja bagimu”
“Ak bukan orang Menoreh mbokayu”
sanggah Damarpati.Gadis pertama itu tampak terkejut,
“Benarkah? Tapi kakekmu terlihat sangat
dihormati disini. Bahkan ia seperti sahabat
Ki Gede Menoreh dan sering menjadi
pendamping Ki Gede dalam kepemimpinan
Menoreh”
Damarpati menggeleng,
“Itu kebetulan saja
mbok ayu. Selama ini kami berdua
hanyalah pengembara kleyang kabur
kanginan. Tidak pernah menetap dimanamana”
Gadis pertama itu makin terkejut,
“Jadi kau
lahir dimana? dimanakah orangtuamu
sekarang?”Damarpati menjadi muram. Ia kembali
menggeleng.
“Orangtuaku sudah tiada” kata Damarpati
pelan. Sementara lidah gadis pertama itu
menjadi kelu. Ia kemudian melambatkan
langkahnya.
“Maafkan aku Damarpati. Aku tidak tahu
bahwa kau tidak memiliki orang tua lagi.
Aku bersyukur bahwa ayahku masih hidup,
sementara ibuku telah meninggal beberapa
tahun yang lampau”
Damarpati hanya tersenyum kecil penuhkegetiran. Ia memandang gadis muda yang
sedikit lebih tua darinya itu. Seorang gadis
yang beruntung karena lahir dari keluarga
yang cukup terpandang. Seorang Putri
Tanah Perdikan Matesih.
Ratri menggenggam lengan Damarpati
lebih erat.
“Pati, mulai sekarang kita bersahabat ya,
aku bersyukur sekali saat menyadari
bahwa di Menoreh ada gadis lain yang
sepantaran denganku. Kukira aku hanya
akan tinggal di Menoreh diantara orangorang tua saja” kata Ratri dengan wajah
riang.“Apakah di Matesih mbok ayu tidak punya
teman?” tanya Damarpati.
Ratri menggeleng dengan cepat,
“Ayah
terlalu mengekangku. Tapi itu wajar,
sebagaimana Mbokayu Pandan Wangi,
ayah tidak ingin terjadi apa-apa dengan
diriku sehingga masa depan Matesih akan
dipertaruhkan”
Damarpati hanya mengangguk meskipun ia
sebenarnya tidak terlalu mengerti. Di dalam
hati pun, Damarpati menjadi sedikit lega
setelah mengetahui Ratri akan tinggal di
Menoreh. Ia juga merasa mendapatkanteman.
“Nah, marilah kita memasuki pasar itu.
Bukankah pesanan Mbok ayu Sekar Mirah
akan kita beli disana?” tanya Ratri sambil
menunjuk sebuah pasar yang cukup ramai
di padukuhan yang baru mereka masuki.
“Ya. Aku biasanya datang ke pasar itu
sendirian. Senang sekali sekarang ada
mbok ayu yang menemani. Di sudut sana
ada penjual gula-gula. Rasanya sangat
enak. Nanti kita akan membelinya” kata
Damarpati.
“Ya, marilah” ajak Ratri dengan wajahberbinar. Keduanya memasuki pasar yang
cukup ramai. Di Matesih pun, Ratri sangat
suka jika berkunjung ke pasar. Ia bisa
melihat banyak dagangan yang menarik.
Kalau dulu, ia sering melihat-lihat mainan.
Setelah beranjak remaja, ia lebih senang
melihat-lihat kain-kain yang berwarnawarni. Ratri segera menjadi perhatian
orang-orang yang ada di pasar itu.
Beberapa sampai menatapnya cukup lama
seolah-olah menikmati kecantikan bunga
Matesih itu. Ratri sudah cukup bijak untuk
menguasai perasaannya. Ia sadar menjadi
pusat perhatian, sehingga ia berjalan
menunduk saja dan berbuat sebagaimana
seorang gadis pemalu yang sedang berada
di keramaian.Agak berbeda dengan Damarpati. Ia cukup
sering berada di pasar itu, sehingga
beberapa orang pun telah mengenalnya.
Gadis kecil itu berjalan dengan wajah tegak.
Ia tidak perlu menghindari tatapan mata
siapapun.
“Mbokayu jadi perhatian disini” bisik
Damarpati dengan geli.
“Ya” jawab Ratri pendek. Wajahnya tetap
tertunduk. Ia tidak berani mengangkat
wajahnya.
“Biarlah mbok ayu. Mungkin karena merekatidak pernah melihat mbok ayu sebelumnya.
Seperti juga aku dulu saat pertama kali ke
pasar ini. Mereka menatapku dalam-dalam
sampai aku ketakutan”
“Lalu apa yang kaulakukan kemudian?”
“Aku kemudian mengajak kakek” ujar
Damarpati lirih sambil tertawa kecil. Cepatcepat ia menutup mulutnya. Sementara
Ratri pun tersenyum geli.
Tingkah laku keduanya terlihat wajar saja
sebagai gadis remaja seumuran mereka.
Tapi kecantikan Ratri yang mempesona
kemudian menarik perhatian beberapalelaki yang sedang duduk-duduk di tepi
jalan sambil menikmati jajanan pasar.
“He, gadis itu. Cantik sekali” desis lelaki
pertama yang berwajah paling muda.
Matanya melotot saat Ratri dan Damarpati
melintas agak jauh dari tempat mereka
duduk. Hampir saja ludahnya menetes
keluar karena mulutnya ternganga.
“Mana? Mana?” seru tertahan dua
kawannya yang sedang enak-enaknya
duduk menikmati semilir angin di tengah
keramaian pasar. Mata kedua temannya itu
pun segera jelalatan mencari gadis yang
disebut cantik sekali oleh temannya.“Itu, yang di sebelah penjual dawet.” Desis
kawannya yang pertama kali melihat.
Dengan mata melotot mereka menatap
tanpa putus kearah dua gadis remaja yang
sedang membelakangi mereka. Mata
mereka tidak berkedip, berharap kedua
gadis itu segera membalikkan badan untuk
menunjukkan kecantikan wajah mereka.
Gerak-gerik kedua gadis itu dipandang
setiap saatnya. Tubuh mereka yang
ramping. Kulit yang mulus dan tengkuk
yang dipenuhi rambut-rambut halus
membuat dada mereka berdebaran tak
kuat menahan dorongan yang mendesak
dari dalam.“Aahhh…!” desis mereka serempak saat
secara mengejutkan kedua gadis itu
berbalik ke arah mereka tanpa melihat
mereka, sambil cekikikan berdua.
Keduanya sedang memegang tangkai gulagula. Sementara gula-gula yang manis itu
ada didalam mulut mereka, sehingga pipi
mereka terlihat menggembung karena
mengulum gula-gula yang manis
sementara bibir merah muda mereka
terlihat mengerucut. “Demit betina!
Mampus aku. Ndak kuat aku kang!” desis
orang pertama menjadi sempoyongan
melihat kedua gadis cantik itu berjalan
seolah-olah sengaja sedang melenggaklenggokkan pinggul mereka. Matanyamenjadi
berkunang-kunang sementara
pikirannya pun menjadi buntu akibat
terdorong nafsu. Lelaki pertama itu segera
bangkit berdiri dan bergegas mengikuti
kedua gadis itu.
“He.. mau apa kau Pendek!?” desis orang
kedua yang bertubuh tinggi.
“Kang, aku mau mengajak mereka
kenalan…” jawab orang yang disebut
Pendek dengan wajah tidak putus menatap
kedua gadis yang mulai melangkah
menjauh.
“Aku ikut Pendek, mereka kan berdua.Kakang Panjang sepertinya sedang tidak
berselera” ujar teman mereka yang ketiga.
Orang yang bertubuh tinggi dan disebut
kakang Panjang itu menggeram.
“Setan kau Panengah. Kau pikir hanya
kalian saja yang bernafsu?” bentak
tertahan Panjang,
“Pakai otak kalian, ingat
perintah guru. Jangan mencari masalah
dulu di tanah perdikan ini”
“Kakang, aku cuma berniat berkenalan. Aku
tidak ingin membuat masalah” ujar Pendek
berusaha membujuk saudara
seperguruannya yang tertua.“Ayolah kakang. Tidak ada salahnya usul
adi Pendek. Sudah beberapa hari kerjaan
kita hanya mondar-mandir dari satu
padukuhan ke padukuhan lain. Tugas
mengamat-amati perdikan Menoreh ini
membuatku bosan” kata Panengah
berusaha ikut membujuk.
Panjang menarik napas pendek sambil
menggeram. Ia pun merasa bosan pula.
Sesekali ia merasa butuh hiburan. Sudah
beberapa padukuhan di Menoreh yang
mereka datangi semua terlihat sama, tidak
ditemukan arena judi disana, bahkan
sekedar sabung ayam pun tidak mereka
temukan. Kehidupan teratur seperti itu
justru sangat menyebalkan bagi merekayang terbiasa dengan kekerasan.
“Kakang, nanti mereka terlanjur jauh”
desak Pendek dengan wajah memohon.
“Baiklah” kata Panjang kemudian. “Kalian
boleh mengajak mereka berkenalan. Ingat,
jangan sampai kalian memaksakan
kehendak. Aku akan mengamat-amati
kalian, kalau menurutku kalian akan
memaksakan kehendak, aku akan muncul.
Bagaimanapun kita harus mematuhi guru.
Kegiatan kita di Menoreh jangan sampai
terungkap karena hal-hal sepele”
“Baik kakang” jawab kedua adikseperguruannya serempak. Ketiganya pun
bergegas mengejar kedua gadis cantik
yang sudah hampir meninggalkan pasar itu.
“Kakang, mereka menuju bulak panjang itu.
Jika kita berlari memutar, di ujung sana
ada persimpangan. Kita cegat mereka
disana” kata Pendek dengan bersemangat.
Panengah pun mengangguk mengiyakan
sementara Panjang hanya mendengus
setuju. Baik Pendek dan Panengah merasa
apa yang akan mereka lakukan jauh lebih
mengasyikkan daripada hanya berjalan
kesana kemari di sekitaran Tanah Perdikan
Menoreh.Sementara itu, Ratri dan Damarpati sama
sekali tidak menyangka ada bahaya yang
mengintai mereka. Sambil terus
bercengkrama, kedua gadis cantik itu
berjalan dengan nyaman di bulak panjang
yang sepi itu. Tidak terbersit sedikit pun
perasaan was-was baik dihati Ratri maupun
Damarpati. Keduanya hanya merasakan
bahwa Tanah Perdikan Menoreh begitu
indah dan damai.
Mereka pun tiba di persimpangan itu.
Keduanya terkejut bukan main saat dua
orang yang bertubuh pendek dan sedang,
muncul begitu saja dari gerumbul perdu
yang tumbuh di pinggir jalan.“Selamat siang cah ayu” sapa Pendek
dengan mata tak putus memandang
berganti-ganti antara Ratri dan Damarpati.
“Selamat siang paman” jawab Damarpati.
Keduanya menjadi saling berpandangan.
Ratri merasa heran ada yang menyapa
mereka di tengah bulak ini. Sementara
Damarpati segera merasa curiga. Cucu Ki
Sabdadadi itu sudah cukup berpengalaman
mengembara. Meskipun ia kurang tekun
menyadap ilmu dari kakeknya, namun ia
sudah memiliki panggraita yang cukup
tajam mengenai keadaan yang ada di
hadapannya.“Akan kemanakah cah ayu berdua? Apakah
kalian berdua butuh dikawani?” tanya
Panengah dengan bibir tersenyum.
“Kami akan pulang paman” jawab
Damapati cepat. Tangannya yang
menggenggam tangan Ratri segera
mengerat. Ratri menjadi heran mengapa
Damarpati begitu kuat mencengkram
telapak tangannya. Kemudian Ratri
tersadar bahwa Damarpati sedang
memperingatkannya agar hati-hati.
“Oo. Dimanakah rumah cah ayu berdua,
sebaiknya paman menemani kalian. Tidak
baik dua anak gadis cantik berjalansendirian di bulak yang sepi ini” kata
Pendek .
“Tidak perlu paman. Kami sudah dekat
dengan rumah. Rumah kami dipadukuhan
itu” tunjuk Damarpati sambil menunjuk
padukuhan di hadapan mereka. Padukuhan
itu masih cukup jauh. Yang nampak hanya
atap-atapnya saja diantara rimbunan pohon.
Bahkan regolnya sendiri belum nampak.
“Ah, padukuhan itu masih jauh. Tapi
maukah kalian menemani paman sebentar
saja?” tanya Pendek.
“Tidak paman. Kami harus lekas sampai dirumah. Jika terlambat, biyung akan marah”
sambut Ratri dengan segera. Ia mulai
merasakan ada yang tidak beres dengan
kedua orang yang mencegat mereka.
“Ayolah. Di tengah sawah itu ada sebuah
gubug. Kita bisa bercengkrama di
dalamnya. Sebentar saja” bujuk Panengah
dengan dada berdebaran menahan
keinginannya yang makin memuncak.
“Tidak paman. Tidak boleh. Kami harus
pulang” kata Ratri. Wajahnya mulai
menampakkan kecemasan. Sementara
Damarpati terlihat masih cukup tenang.“Marilah mbok ayu, kita teruskan
perjalanan” ajaknya sambil menarik tangan
Ratri.
“Tunggu dulu!” cegah Pendek. Ia
menghalangi langkah Ratri dan Damarpati.
“Paman, jangan halangi kami. Kami sudah
terlambat” kata Ratri dengan suara mulai
meninggi.
“Jangan begitu cah ayu. Marilah, sebentar
saja. Paman berjanji kalian tidak akan
disakiti. Paman justru akan membawa
kalian ke khayangan”Diam-diam Ratri dan Damarpati saling
pandang. Ajakan kedua lelaki itu terdengar
sungguh menakutkan. Tidak ada sedikit
pun kemungkinan mereka bisa
mempercayai kata-kata itu. Ratri justru
bergidik mendengarnya.
“Jangan begitu paman. Jangan
memaksakan kehendak. Kami tidak
mengenal paman berdua. Kalaupun kami
mengenal paman, kami tetap tidak boleh
mengikuti paman. Itu melanggar unggahunggah” kata Ratri kemudian. Tapi
suaranya terdengar bergetar. Baik Pendek
maupun Panengah tertawa. Suara Ratri
menunjukkan bahwa kecemasan mulai
merasuki hati gadis-gadis itu. Tapi bagikeduanya, nada kecemasan gadis-gadis itu
justru semakin memabukkan perasaan
mereka.
Sementara agak jauh dari sana, Panjang
memperhatikan tingkah laku kedua adik
seperguruannya itu. Dari jarak yang lebih
jauh, pikiran Panjang bisa lebih jernih
menilai. Ia bisa lebih mengamat-amati
kedua gadis itu.
“Menurutku, kedua gadis itu terlalu cantik
untuk ukuran gadis padesan biasa” gumam
Panjang dalam hati. “Apakah mereka anakanak bebahu padukuhan? Atau janganjangan
anak seorang demang ?” pikirnyalagi. “Kalau benar mereka keluarga demang,
aku harus mencegah mereka berbuat
terlalu jauh. Kami tidak boleh mengusik
ketentraman Menoreh untuk saat ini”
Selagi Panjang masih berpikir-pikir, Pendek
dan Panengah terus membujuk kedua
gadis muda itu.
“Ayolah. Sebentar saja cah ayu!” bujuk
Panengah lagi. Ia menjulurkan tangannya
hendak menarik tangan Ratri yang paling
dekat dengannya. Ratri dengan sigap
menarik tangannya. Matanya menatap
tajam Panengah dengan degup jantung
seperti berkejaran.“Hei, kau gesit juga cah ayu” kata
Panengah dengan sedikit terkejut, tapi ia
tidak punya prasangka apapun terhadap
kemampuan Ratri. Baginya, Ratri hanyalah
seekor burung kecil yang akan sia-sia
membela diri.
“Jangan sampai kami memaksa cah ayu”
ujar Pendek dengan suara meninggi. Tapi
mulutnya tetap tertawa-tawa merasakan itu
adalah sebuah permainan yang
mengasyikkan.
Ratri terus bergerak mundur menghindar
dari Panengah yang hendak meraihtangannya. Kain panjangnya sangatlah
menyulitkan geraknya. Ia tidak berani
menyingsingkannya. Takut sudah lebih
dulu tertangkap oleh Panengah.
“Sudah paman, berhenti!” sentak Damarpati.
Melihat mbok ayunya kesulitan menghindar
dari Panengah yang berusaha meraihnya.
“Jangan paman!” jerit Ratri mulai geram
dan rasa takut di hatinya. Panengah makin
cepat menggerakkan tangannya berusaha
menangkap Ratri. Sementara Ratri susah
payah menghindarkan bagian tubuhnya
supaya tidak terjangkau Panengah.
Sebenarnya Panengah bisa saja meraihRatri dengan mudah dengan
kemampuannya. Tapi, ia memang sengaja
ingin mempermainkan Ratri lebih dulu
karena merasa gadis itu tidak akan mampu
membela diri. Itu menjadi sebuah
kenikmatan tersendiri baginya melihat
wajah perempuan yang penuh ketakutan.
“Lepaskan!” seru Damarpati, begitu melihat
Ratri terpojok. Damarpati sudah siap
meloncat menerjang Panengah. Tapi Ratri
sudah bertindak lebih dulu. Ratri tidak bisa
lagi berkelit karena sudah berada di pinggir
parit. Ia juga tidak bisa melompatinya
karena kain panjangnya menghalangi
langkahnya. Maka secara naluriah,
tangannya melayang menampar pipi
Panengah. Tidak disangka dalam keadaanterdesak itu, Ratri yang belum bisa
mengenali tenaga cadangannya justru
memukul sekuat tenaga. Panengah
tersungkur ke tanah terkena tamparan Ratri.
“Heee!?” teriak Pendek terkejut bukan main
melihat Panengah tergeletak di tanah
dalam satu kali tamparan. Untunglah,
Panengah bukan Pengawal Panaraga yang
telah pingsan dipukul Ratri. Ketahanannya
jauh lebih tinggi. Meski ia mengeluh sakit,
namun dengan cepat ia menggeliat bangun
dan memasang kuda-kuda.
“Setan! kau berani memukulku!” makinya
geram. Sementara Ratri dengan tajammenatap Panengah. Hatinya menjadi puas
bisa memberi pelajaran pada
pengganggunya itu. Tapi kemudian, hatinya
menciut kembali, menyadari bahwa kini
kedua orang itu, tentu tidak akan mainmain lagi dan bisa jadi berbuat lebih buruk.
“Kemari kau!” seru Panengah kembali
sambil meloncat menerkam Ratri. Ratri
kaget, ia tidak menyangka Panengah
bergerak secepat itu. Yang dilakukannya
kemudian adalah sebuah gerak naluriah. Ia
menyilangkan kedua tangannya di depan
dada agar panengah tidak menyentuh
badannya. Panengah berkelit. Ia memang
ingin meraih bahu Ratri agar ia bisa
menguasainya. Tapi kemudian sebuahdesauan angin menyadarkannya ada
serangan datang dari samping.
Damarpati meloncat mengarahkan
tendangannya ke pinggang Panengah.
Gadis cilik itu masih sempat mengikatkan
kedua ujung kainnya diantara kedua
lututnya agar bisa lebih leluasa bergerak.
Panengah pun membatalkan niatnya
meraih bahu Ratri. Ia pun mengelakkan
serangan Damarpati. Tapi kemudian ia
menjadi terkejut menghadapi serangan
Damarpati yang terlihat bertubi-tubi.
“Hee!?” serunya terkejut, menyadari bahwa
gadis yang lebih kecil itu justru lebih liat.Kecepatan geraknya sudah lebih
mumpuni.
Panengah sesaat terdesak dengan
serangan Damarpati, tapi kemudian ia
mulai bisa mengimbanginya dengan terus
menaikkan kemampuannya.
“Mbok ayu, ikat kainmu!” seru Damarpati
memperingatkan Ratri. Ratri terlihat gugup
ia awalnya menyangka bahwa Damarpati
tentu memiliki kemampuan kanuragan
yang lumayan. Tapi demi melihat serangan
Panengah yang mulai membadai,
Damarpati terlihat mulai kepayahan. Ia
mungkin hanya bisa bertahan sebentar.
Ratri pun dengan cepat mengikat kainpanjangnya seperti Damarpati. Sementara
Pendek yang sejak tadi hanya ternganga,
segera tersadar dan kemudian
mendekatinya.
“Kau bagianku cah ayu!” ancamnya dengan
wajah menyeringai. Sadar bahwa kedua
gadis muda itu tentu memiliki kelebihan,
Pendek segera menyerang Ratri dengan
sungguh-sungguh. Ratri berusaha
mengelak. Hampir saja pukulan Pendek
bersarang di bahunya. Dalam jarak sangat
dekat, Ratri menjadi gugup sehingga
mundur dengan tergesa-gesa menghindari
Pendek. Tapi Pendek sudah menjangkau
bahunya dan mencengkramnya.“Aduh!” jerit Ratri merasakan bahunya
seperti dicengkram besi. Secara naluriah,
Ratri memukulkan tangan yang
mencengkram bahunya itu dari arah bawah.
Akibatnya sungguh mengejutkan,
cengkraman itu lepas, namun menyisakan
guratan merah di kulit bahunya sehingga
terasa pedih terkena butir-butir keringat
yang mulai keluar dari kulitnya. Sementara
Pendek menjadi heran sekaligus geram
karena tangannya menjadi sakit terkena
pukulan Ratri. Ia menjadi sadar bahwa
gadis dihadapannya itu memiliki kekuatan
yang tersimpan.
“Aku harus berhati-hati. Gadis ini
kelihatannya belum terlatih. Tapi di dalamtubuhnya tersimpan tenaga cadangan yang
begitu besar yang mulai terungkap”
gumam Pendek dalam hatinya.
Selagi Pendek dan Panengah seperti
bermain-main saja dengan kedua gadis itu,
Panjang sudah bergerak mendekat,
“Gila,
mereka bisa merusak rencana guru!”
gumamnya dalam hati dengan geram. Ia
bermaksud mencegah kedua adik
seperguruannya itu berbuat lebih jauh.
Bagaimanapun ia memiliki ketertarikan
pada perempuan, tapi ia masih lebih
mematuhi gurunya. Ia lebih mengerti
rencana gurunya sehingga sadar bahwa
perbuatan kedua adik seperguruannya itu
bisa mengungkap keberadaan mereka.Selagi ia bergerak mendekat, Panjang
terkejut melihat sebuah bayangan yang
nyaris tidak terlihat berlari dengan
kecepatan tinggi mendekat ke arena
pertempuran di pinggir jalan itu. Ia pun
kemudian kembali bersembunyi. “Kalau
Pendek dan Panengah terlibat urusan
dengan orang padukuhan, aku harus
menahan diri. Biar saja mereka yang
menerima murka guru” gerutunya
kemudian.
“Berhenti!” teriak bayangan itu. Bayangan
itu adalah seorang lelaki tegap yang masih
cukup muda. Panengah dan Pendek
terkejut mendengar teriakan itu danterpaksa menghentikan upaya mereka.
“Apa yang terjadi disini!?” tanya lelaki itu
dengan lantang begitu berhadapan dengan
Pendek dan Panengah.
“Siapa kau? Apa urusanmu!?” balas
Panengah dengan garang.
“He? Aku yang bertanya duluan. Apa
urusan kalian dengan gadis-gadis ini?”
tanya lelaki itu lagi sambil mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Ratri dan
Damarpati pun hanya termangu, keduanya
tidak mengenal siapa lelaki itu.
“Bukan urusanmu! Segera pergi dari siniatau kami hancurkan tubuhmu!” bentak
Pendek mulai kehilangan kesabaran.
Lelaki yang baru datang itu menatap ke
arah dua gadis yang kini berdiri
berdampingan. Meski mereka baru saja
bertempur, tidak terlihat rona ketakutan
yang berlebih di wajah mereka. Hanya
seorang saja yang tubuhnya lebih tinggi
nampak agak kelelahan.
“Siapa dua gadis ini? kalau mereka gadis
padukuhan, tentu sejak tadi sudah
menangis tersedu-sedu berhadapan
dengan dua lelaki itu, mereka pasti gadisgadis yang punya kelebihan sehinggamampu
membela diri meskipun terlihat
kewalahan” gumam lelaki itu dengan heran
di dalam hatinya. “Seingatku di Menoreh
ada beberapa perempuan berilmu tinggi.
Tapi semuanya tidak lagi semuda kedua
gadis itu” sambung lelaki itu masih
bergumam dalam hati.
“He! Kau tuli? Pergi sekarang juga. Ini
bukan urusanmu!” bentak Panengah
kemudian.
“Nimas berdua, apakah yang telah terjadi
disini?” tanya lelaki itu kepada Ratri dan
Damarpati dengan nada suara menurun.
Lelaki itu tidak memperdulikan ancamanPanengah dan Pendek.
“Kedua orang ini telah mencegat kami
disini kisanak” jawab Ratri dengan cepat.
“Nah, apa maksud kalian mencegat
mereka?” tanya lelaki itu dengan lantang.
Panengah menggeram. Darahya semakin
naik ke ubun-ubun. “Pergi kau setan!”
makinya. Telunjuknya bergetar saat
menunjuk lelaki itu.
“Jika ada urusan kalian dengan gadis-gadis
ini, sebaiknya dibicarakan baik-baik dihadapan orang tua mereka” kembali lelaki
itu berkata dengan lantang pula. Tidak
terlihat rona gentar di wajahnya
berhadapan dengan kedua lawannya itu.
“Persetan! Minggir kau!” bentak Panengah
sudah tidak sabar. Segera saja ia
menerjang ke arah lelaki itu dengan
kekuatan tinggi. Lelaki itu cukup sigap,
dengan mudah ia memiringkan badan
sehingga serangan Panengah lewat di sisi.
Panengah sudah menduga bahwa lelaki itu
tentu memiliki kelebihan, sehingga tidak
heran melihat kemampuannya menghindari
serangannya. Panengah pun berbalik dan
melancarkan serangan dengan sisi telapak
tangan. Lelaki itu telah siap. Dengan kuda-kuda kukuh ia menahan serangan itu
dengan tangannya. Benturan pertama
antara tulang dengan tulang sama-sama
mengagetkan mereka.
“Gila!” desis Panengah menyadari
lawannya tentu berilmu tinggi.
“Luar biasa orang ini. Syukurlah aku lewat
sini. Orang ini tentu punya kemampuan
tinggi. Kedua gadis itu tentu tidak akan
berdaya jika bertempur lebih lama. Baiklah,
aku akan lihat seberapa kemampuannya”
ujar lelaki itu dalam hati sambil
membenturkan serangan berikutnya
dengan kedua tangannya yang merapat,sementara kakinya merenggang. Untuk
menahan tekanan lawannya, lelaki itu
membebankan berat badannya sedikit ke
depan.
Panengah kembali bergerak lebih cepat.
Sebuah tendangan menyamping ia
lepaskan berusaha menjangkau pinggang
lelaki itu. Tapi lelaki itu dengan cekatan
merendah dan menyerang satu kaki
Panengah yang menjadi titik tumpu dengan
sapuan kaki. Panengah cepat menarik
kakinya untuk menjejak ke tanah, menahan
sapuan kaki lelaki itu.
Dalam beberapa saat, keduanya terusmengadu kerasnya tulang dan liatnya kulit.
Pendek sesaat berdebar-debar melihat
tandang lelaki yang baru datang itu. Tapi
kemudian hatinya menjadi lega. Panengah
dan lelaki itu terlihat seimbang, meski
mereka terus menaikkan tekanan mereka.
Kini ia berpaling pada Ratri dan Damarpati.
Lalu ia berjalan mendekat.
“Hati-hati mbok ayu. Kita harus
melawannya bersama-sama. Untung saja
kisanak itu telah datang membantu” desis
Damarpati.
Ratri mengangguk dengan perasaan
tegang. Sambil menghela napas iabertanya,
“Apa kau mengenal lelaki itu?”
Damarpati menggeleng. “Aku tidak tahu.
Mbok ayu serang dia dari samping. Biar
aku yang menghadapinya dari depan”
“Pati. Aku belum pernah berlatih sungguhsungguh” bisik Ratri dengan suara agak
bergetar. “Aku juga mbok ayu. Tapi
semangatlah. Berusaha terus, begitu kata
kakek padaku” jawab Damarpati dengan
nada lebih yakin.
“Aku harus banyak belajar pada Damarpati.
Ia punya pengalaman mengembara.
Nyalinya sudah lebih teruji” gumam Ratridalam hati sambil mempersiapkan diri
dengan hati berdebar-debar.
Serangan Pendek pun datang. Ratri dan
Damarpati serentak menghindar ke arah
berlawanan. Damarpati segera mengambil
tempat di depan lawannya sementara Ratri
berkelit menyamping. Meskipun belum
memiliki bekal apapun, Ratri berusaha
menyerang Pendek bila memungkinkan.
Damarpati pun segera menyadari, Ratri
belum bisa apa-apa. Ia tidak bisa berharap
banyak pada Ratri. Tapi setidaknya ia bisa
mengganggu perhatian lawannya.
“Aku harus berusaha sendiri. Sebenarnyaaku tidak suka perkelahian. Tapi kali ini
apa
boleh buat” desah Damarpati dalam hati.
Karena kemampuan olah kanuragannya
pun terbatas, Damarpati mulai merambah
pada kekuatan batinnya. Ia mulai
mengungkap kekuatan yang dipelajari dari
kakeknya. Begitu ada kesempatan,
Damarpati membuka kedua telapak
tangannya ke arah Pendek. Lalu
menyentakkannya ke depan ke arah
Pendek. Pendek terkejut, ia hampir
manyangka lawannya akan mengerahkan
sebuah ilmu padanya. Tapi, ia tidak melihat
ada usaha pengumpulan tenaga cadangan
oleh gadis cilik lawannya itu, sehingga ia
merasa ragu-ragu. Hentakan telapak
tangan Damarpati menimbulkan desauangin yang menyentuh wajahnya. Sesaat
Pendek tertegun, sementara Damarpati
justru tersenyum manis.
“Apakah kau sedang menatapku kisanak?”
tanyanya dengan suara mendayu. Pendek
jadi terpaku seperti patung yang tidak
bergerak. Mulutnya ternganga, sementara
matanya tak berkedip menatap wajah
Damarpati.
Ratri menjadi heran melihat perubahan
sikap Damarpati maupun lawannya.
Keningnya berkerut melihat Damarpati
justru tersenyum dan berkata-kata dengan
manja. Sebuah sikap yang justruberkebalikan dengan kebiasaan Damarpati
selama ia mengenalnya.
“Kau melihat tanganku ini?” tanya
Damarpati lagi. Ia mencabut sebatang
ilalang. Lalu dengan gemulai tangannya
meliuk-liuk menggerakkan sebatang ilalang
itu sehingga melambai kesana kemari.
Pendek mengangguk beberapa kali sambil
terus menatap wajah dan tangan
Damarpati berganti-ganti. Ia mengikuti
kemana saja tangan Damarpati yang
bergerak kesana kemari sambil melambailambaikan sehelai daun ilalang.
“Lihat ini, aku sedang memegang ularbandotan!” seru Damarpati masih dengan
senyum manisnya.
Pendek tiba-tiba mundur selangkah.
Wajahnya bergidik ngeri. Matanya kini
menatap nanar ke tangan Damarpati. Di
dalam pikirannya, ia melihat Damarpati
sedang meliuk-liukkan ular bandotan. Ular
sangat beracun yang bergerak kesana
kemari itu membuat nyalinya menciut
menjadi sebesar biji sawi.
“Ini! Ular untukmu Kisanak!” seru
Damarpati secara tiba-tiba menjulurkan
ilalang itu kepada pendek. Gerakan itu
sangat mengejutkan, sehingga Pendekyang di pikirannya sudah dikuasai oleh ilmu
Damarpati melompat kaget.
“Tidaak!” jeritnya ketakutan seraya berlari
kencang meninggalkan tempat itu.
“Heee?” seru Panengah terkejut menyadari
temannya kabur dari tempat itu. Ia
berusaha bergerak mundur. Tapi lelaki
yang melawannya sudah mengetahui
niatannya. Ia melibat Panengah dengan
gerakan lebih cepat sehingga lawannya
terdesak. Pukulan berturut-turut, ia
lancarkan ke pertahanan Panengah,
membuat Panengah sibuk menangkis
serangan lelaki itu dengan segala upayadan kekuatannya.
“Sial!” gerutunya merasakan tekanan lelaki
itu semakin keras. Panengah sudah
mencoba kemampuannya hingga hampir
batas tertinggi. Tapi lelaki itu tetap mampu
mengatasinya. “Apa yang terjadi pada
Pendek? kenapa ia lari terbirit-birit?” keluh
Panengah dengan heran.
Keheranan juga melanda Panjang yang
sedang bersembunyi. Ia melihat gadis yang
bertubuh lebih kecil hanya memainkan
sehelai ilalang dan tiba-tiba Pendek
menjerit dan lari ketakutan.“Ilmu iblis! Pendek terkena ilmu iblis!”
gumamnya dengan geram. Sementara
Panengah masih berusaha keras melawan
laki-laki yang baru datang itu. “Aku harus
membantu Panengah. Jika dibiarkan, gadis
-gadis itu bisa menyihirnya pula!”
Sementara Ratri sedang menatap kagum
pada Damarpati. Ia tidak menyangka
bahwa Damarpati memiliki sebuah ilmu
yang mumpuni.
“Pati. Apakah kau mengerahkan sebuah
ajian tadi?” tanya Ratri dengan sinar mata
kagum.“Maksud mbok ayu?” balas Damarpati
bertanya.
“Bagaimana bisa lelaki itu menjadi
ketakutan hanya dengan sehelai daun
ilalang. Apa kau telah menyihirnya?”
“Ah.. mbok ayu. Ada-ada saja” gumam
Damarpati. “Bagaimana dengan kisanak itu?
apakah kita akan menolongnya?”
“Kau saja. Sihir lelaki yang satu lagi itu
dengan aji-mu” ujar Ratri segera.
“Ah. Aku tidak bisa mbok ayu. Tadi hanyakebetulan saja aku bisa mempengaruhi
penalaran orang itu. Bagi yang memiliki
kekuatan batin mumpuni, aku tidak bisa
mempengaruhinya”
“Tapi coba saja. Beri orang itu pelajaran
Pati”
Damarpati menggeleng. “Lihat, kisanak itu
masih mampu menandinginya. Dalam
perkelahian seperti ini, sebaiknya kita tidak
ikut campur jika keadaan masih seimbang,
begitu kata kakek” ujar Damarpati dengan
polos. Ia kemudian melihat kekanan dan
kekiri, lalu seperti tidak ada apa-apa,
Damarpati justru duduk diatas tanggul parit.“Kita duduk saja mbok ayu. Kita
menonton
saja” ujarnya. Ratri menjadi keheranan.
Tapi ia pun sadar, tidak ada yang bisa
dilakukannya sehingga ia pun mengikuti
Damarpati duduk di tanggul parit dipinggir
jalan.
“Setan! Kurang ajar!” maki Panengah demi
melihat kedua gadis itu justru menonton
dengan tenangnya di pinggir jalan. Seolaholah ia adalah penari yang sedang mentas
di pinggir jalan.
“He! Jangan memaki saja! Kupingku jadi
sakit!” seru lawannya itu dengan wajah geli.Panengah makin marah mendengar
ledekan itu. Ia merasa diremehkan.
Tekanan demi tekanan yang diberikan
Panengah masih terus bisa diimbangi oleh
lelaki itu. Panengah harus berpikir cepat
untuk menyelesaikan perkelahian itu.
Panengah dan lelaki itu sudah sampai pada
batas tertinggi kemampuan mereka.
Panengah tidak mau lagi membuang-buang
waktu. Ia segera mengetrapkan ajian yang
baru diterima dari gurunya. Sesaat ia
melompat mundur, sementara lelaki itu
menjadi waspada dengan tingkah laku
Panengah. Panengah melakukan gerakan
khusus untuk mengumpulkan tenaga
cadangannya. Dan dengan suaramenggelegar ia melompat sambil
mengarahkan telapak tangannya ke lelaki
yang menjadi lawannya.
“Rasakan ini kisanak. Nyawamu hanya
tinggal beberapa saat” teriak Panengah
dengan kasar.
Lelaki itu ternyata tidak gentar. Ia
menyatukan kedua telapak tangannya di
depan dada sambil berdiri tegak. Dari
kedua telapak tangannya yang menyatu
tiba-tiba terlihat asap tipis. Saat Panengah
melompat menyerangnya, tanpa ragu-ragu
lelaki itu menyambut telapak tangan
Panengah.Panengah terkejut, telapak tangan
lawannya itu terlihat memerah seperti bara.
Ia menjadi ragu-ragu sejenak. Tapi
keadaan sudah demikian gawatnya.
Dengan menyingkirkan segala keraguannya
Panengah membenturkan telapak
tangannya ke telapak tangan lelaki itu.
Semua yang menonton pertempuran itu
menahan napas. Tidak terkecuali Panjang
yang tertegun di balik ilalang melihat adik
seperguruannya telah mengerahkan
kemampuan tertingginya. Keinginannya
untuk menolong Panengah tertahan saaat
melihat adik seperguruannya itu sedang
melakukan gerakan khususnya. Panjangsangat yakin dengan ilmu pamungkas
perguruannya. Siapa pun yang terbentur
oleh ajian yang diberikan gurunya pasti
akan jatuh tersungkur dengan tulang
belulang remuk.
Benturan itu menimbulkan percikan api.
Telapak tangan Panengah terasa keras
seperti besi gligen. Namun, telapak tangan
lawannya justru panas membara seperti
besi yang dicairkan. Tidak ada yang tahu,
apakah keduanya sama-sama
mengerahkan ilmu mereka sampai puncak
atau tidak. Yang pasti, lelaki itu merasakan
tangannya seperti dihantam bola besi
besar. Tubuhnya terdorong ke belakang
hingga nyaris terjungkal. Untunglah, meskiterhuyung-huyung. Ia masih bisa
mempertahankan kedudukannya.
Sementara, Panengah justru terjungkal ke
belakang dan terguling beberapa kali.
Disaat yang menentukan itu, Panjang
bertindak. Ia meraih sebuah batu besar dan
melemparkannya ke arah lelaki itu. Begitu
kuat ia melempar dengan segenap tenaga
cadangan yang dimilikinya sambil
merangsek maju untuk menyambar tubuh
Panengah yang tergolek di atas tanah.
Lelaki itu berada dalam kondisi yang goyah.
Sekedipan mata ia melihat serangan yang
sangat tiba-tiba itu. Ia tidak menduga samasekali serangan yang mengarah ke
kepalanya itu, sehingga dalam waktu yang
sangat tipis, lelaki itu hanya sempat
menyilangkan tangan didepan kepalanya
sambil sebisa-bisanya mendorong sisa
tenaga cadangannya untuk mendukung
kembali ajiannya yang telah melemah.
Ratri dan Damarpati pun menjerit terkejut,
menyadari ada orang lain yang tiba-tiba
menyerang lelaki itu. Sebuah ledakan
terdengar saat batu sebesar kepalan
tangan itu menghantam tangan lelaki itu.
Batu itu pecah berkeping. Namun kekuatan
tenaga cadangan orang yang
melemparkannya, disertai keadaan lelaki
itu yang sedang goyah, membuat lelaki ituterpelanting ke belakang dan jatuh
berdebam keatas tanah dalam keadaan
telentang.
“Kisanak!” teriak Damarpati dan Ratri
serentak berdiri. Sementara tubuh
Panengah sudah dibawa kabur oleh orang
yang baru datang itu. Gerakannya cukup
cepat, sehingga seperti sebuah bayangan
saja yang telah menyambar tubuh
Panengah.
“Siapa itu!?” seru Ratri terheran-heran. Ia
seperti melihat bayangan saja. Kecepatan
orang yang menyambar tubuh lawan lelaki
itu hampir tidak bisa dipercaya,
“Apakahorang yang sudah kau sihir tadi Pati?”
“Aku tidak tahu!” ujar Damarpati sambil
berjongkok di dekat lelaki yang jatuh
telentang itu. Lelaki itu menggeliat dan
terbatuk beberapa kali. Lalu ia berusaha
bangkit. Tapi ia hanya bisa duduk di tanah
untuk beberapa saat.
“Kau tidak apa-apa Kisanak?” tanya
Damarpati. Sementara lelaki itu
memandang berkeliling memastikan
keadan di sekitar mereka.
“Tidak apa-apa. Mereka pengecut,
beraninya menyerang tiba-tiba!” geramlelaki itu sambil memandang berkeliling.
Mencoba mempertajam pendengarannya.
Siapa tahu ada yang akan berbuat curang
lagi.
Setelah itu, ia memperhatikan kedua gadis
cantik yang ada dihadapannya. Dalam
sekali pandang, ia sudah punya dugaan
bahwa gadis muda yang bertubuh lebih
tinggi itu tentu bukan gadis padesan
sembarangan. “Mungkin ia anak seorang
demang” gumamnya dalam hati.
“Siapakah kalian?” tanyanya kemudian.
“Kisanak siapa?” tanya Damarpati pula.Lelaki itu tertawa geli. Ia menyadari bahwa
kedua gadis itu sangat waspada. Tidak
begitu saja memberitahukan nama mereka
meskipun tidak menutup kemungkinan jika
menggunakan nama samaran, tentu ia pun
tidak akan mengetahuinya.
“Apa kalian tinggal di Menoreh?” tanya
lelaki itu.
Damarpati mengangguk. Matanya yang
bulat terus memandangi lelaki yang tegap
itu.
“Menoreh cukup luas. Padukuhan di dalamkekuasaannya sangat banyak. Jadi kalian
tinggal dipadukuhan mana?”
“Kisanak, tinggal di padukuhan mana?”
balas Ratri pula mendahului Damarpati
yang sudah hampir bertanya dengan
pertanyaan serupa.
Lelaki itu tertawa. Ia lalu bangkit berdiri.
Kakinya masih goyah. Tapi ia bisa berdiri
tegak dan mengibas-ngibaskan kain
panjangnya yang kotor.
“Baiklah. Aku mengaku. Aku bukan orang
Menoreh. Tapi, Menoreh tidak asing bagiku.
Aku sering melewatinya. Aku sangatmengenal beberapa orang di Menoreh”
kata lelaki itu tersenyum. Lalu ia
melanjutkan,
“Nah, sebaiknya kita ke
padukuhan terdekat. Peristiwa ini harus
dilaporkan kepada bebahu padukuhan.
Jangan sampai orang itu kembali dan
mengganggu gadis-gadis lain”
Kedua gadis itu justru termangu dan saling
pandang.
“Marilah. Aku akan mengantarkan kalian ke
padukuhan terdekat. Aku akan ikut
memberi keterangan yang dibutuhkan” ajak
lelaki itu.“Kami pulang saja kisanak. Aku tidak
mengenal para perangkat padukuhan
terdekat itu, tapi di padukuhanku aku
mengenal hampir semuanya” kata
Damarpati.
“Nah, kalau begitu, bisakah kalian
menyebutkan padukuhan kalian. Aku
mengenal sebagian besar padukuhan di
Menoreh. Begitu juga kademangannya.
Dengan begitu, aku tidak harus berputarputar di Tanah Perdikan ini”
“Kami tinggal di Padukuhan induk” kata
Damarpati pada akhirnya. Lelaki itu terlihat
sedikit terkejut.“Padukuhan induk?” cetusnya tiba-tiba.
“Siapa kalian?” tanyanya dengan sangat
ingin tahu.
“Kenapa kisanak sangat ingin tahu?” tanya
Ratri dengan segera.
Lelaki itu mendengus. “Marilah. Kita
berbincang sambil berjalan ke padukuhan
induk. Kita jangan berlama-lama disini”
ajaknya. Seperti kerbau dicocok hidungnya,
Damarpati dan Ratri ikut saja melangkah
mengikuti lelaki itu. Arah yang ditujunya
memang ke arah padukuhan induk.“Nah, nimas berdua. Setahuku di
padukuhan induk memang tinggal
beberapa orang berilmu tinggi. Bahkan ada
perempuan berilmu tinggi disana. aku
mengenal Nyi Sekar Mirah, Nyi Pandan
Wangi dan Rara Wulan” katanya.
Ratri dan Damarpati terkejut dan serentak
memandang ke arah lelaki itu.
“Benarkah, kisanak mengenal mereka?”
tanya Damarpati.
“Ya. Maka dari itu, jika kalian mengaku
tinggal di Padukuhan induk, aku jadi
bertanya-tanya, apakah ada hubungankalian dengan mereka?” tanya lelaki itu.
“Tentu saja kisanak” jawab Damarpati
segera.
“Kalau begitu, apakah kalian murid salah
seorang dari mereka?” tanya lelaki itu
dengan wajah cerah.
“Tidak” jawab Ratri segera dengan wajah
meringis ke arah Damarpati.
“Lalu, darimanakah kalian berguru hingga
memiliki sedikit bekal kanuragan?”“Dari kakek” jawab Damarpati cepat
sebelum Ratri menjawab.
“Apakah kakek kalian Ki Gede Menoreh?”
“Tidak” jawab Damarpati pendek
Lelaki itu kemudian tertawa cukup keras.
“Kenapa kisanak tertawa seperti itu?” tanya
Ratri dengan kening berkerut.
“Sepertinya kita sama-sama berusaha
menahan diri untuk menyebutkan sebuah
nama. Tapi baiklah. Permainan ini cukupmengasyikkan” kata lelaki itu.
Pembawaannya ternyata cukup riang
sehingga Ratri dan Damarpati mulai
merasa akrab pula.
“Kisanak belum menyebutkan tempat
tinggal kisanak” ujar Damarpati segera.
“Aku tinggal di Kleringan” ujar lelaki itu
sambil tersenyum. Melihat kening
Damarpati berkerut lelaki itu menyambung,
“Kau tahu Kademangan Kleringan?”
Damarpati menggeleng dengan pelan,
“Seingatku, tidak ada kademangan
Kleringan di Menoreh” ucapnya.“Ya. Kau benar Nimas. Kleringan ada di
sebelah utara Menoreh, jadi bukan bagian
Perdikan Menoreh”
“Oo…” jawab Damarpati dan Ratri serempak.
“Lalu apakah kisanak mau menyebutkan
nama kisanak?” tanya Ratri kemudian.
Lelaki itu tersenyum dengan riang.
“Nanti sajalah, saat kita sama-sama
menghadap bebahu padukuhan kita bisa
menyebutkan nama masing-masing”
ujarnya dengan wajah cerah.“Baiklah kalau begitu kisanak” jawab Ratri
sambil memandang Damarpati sementara
mereka mulai memasuki padukuhan induk
Menoreh.
Dalam pada itu, di pendapa rumah Ki Gede
Menoreh, Ki Gede Matesih, Ki Jayaraga, Ki
Sabdadadi, Ki Waskita, Untara dan Glagah
Putih telah berbincang-bincang cukup
panjang semenjak Ki Gede Menoreh dan
Pandan Wangi berpamitan hendak
nglanglang. Baik Ki Gede Menoreh dan
Pandan Wangi sama-sama tidak
mengatakan niatan mereka hendak
berkunjung ke rumah Ki Argajaya karena
menurut mereka itu adalah persoalan dilingkaran kecil keluarga Menoreh.
“Sepertinya waktu sudah tidak
memungkinkan Ki Gede. Besok aku harus
pamit kembali ke Jati Anom” ujar Untara
menolak dengan sopan saat Ki Gede
Matesih dengan penuh suba sita mengajak
Untara untuk singgah ke tanah perdikannya.
Setelah mereka berdua cukup lama
bercerita soal Tanah Perdikan Matesih.
“Oh. Mungkin lain kali Ki Untara” sambut Ki
Gede Matesih.
“Ya. Ki Gede. Mungkin lain kali. Saat ini
Panaraga sedang bergolak. TumenggungSingaranu sedang mengarahkan kekuatan
kesana. Sementara Surabaya juga
kelihatannya tidak begitu saja mengakui
kekuasaan Mataram dibawah Sinuhun
Prabu Hanyakrakusuma. Ditengah
pemerintahan Mataram yang belum stabil
ini kelihatannya beberapa kadipatenkadipaten mulai mencari keuntungan
sendiri” ujar Untara dengan nada menyesal.
Semua yang mendengar perkataannya pun
menarik napas panjang. Pertentanganpertentangan seolah-olah tiada akhir.
Hanya karena masalah kecil, para sentana
dalem sudah bisa berselisih. Jika bara
yang mereka ciptakan kemudian dihembusi
oleh pihak-pihak yang tidakbertanggungjawab, perang seolah-olah
menjadi jawaban yang paling dibenarkan.
“Masalah kadipaten-kadipaten ini, biarlah
diurus oleh para perwira kerajaan yang
ditunjuk. Carut marut masalah yang banyak
bersumber dari dendam dan ketidakpuasan
mungkin masih bisa diatasi dengan
pembicaraan-pembicaraan. Saat ini di
tengah-tengah kekuasan Mataram justru
sedang berkumpul kekuatan besar yang
bisa mengancam Mataram, sementara kita
sudah mengetahui bahwa orang-orang
yang berkumpul diantara lembah Merapi
dan Merbabu bukanlah orang-orang yang
bisa diajak bicara” kata Ki Waskita
mencoba mengurai masalah.“Mudah-mudahan, Pangeran Mandurareja
mampu melaksanakan tugas itu dengan
baik” sambut Ki Gede Matesih. Beberapa
orang disana mengangguk menyetujui.
“Lalu bagaimana dengan Pasukan Khusus
Mataram yang berkedudukan di Menoreh
kakang, siapakah yang akan
memimpinnya?” tanya Glagah Putih
kemudian.
“Aku tidak tahu Glagah Putih. Mungkin
dalam waktu dekat akan ada seorang
senapati yang ditunjuk untuk menanggungjawabi pasukan itu” jawab Untara.
“Lalubagaimana denganmu Glagah Putih?”
sambung Untara.
“Mengapa denganku kakang?” tanya
Glagah Putih.
“Bukankah tugasmu sudah selesai?
seharusnya kau melaporkan diri kepada Ki
Patih untuk menerima tugas selanjutnya.
Bukankah kau juga Prajurit Mataram dari
kesatuan Sandi?”
Glagah Putih mengangguk beberapa kali.
“Ya Kakang. Aku memang bermaksud
segera melaporkan diri. Jika kakang
Sedayu belum juga pulang, aku akan kekotaraja melaporkan diri kepada Ki patih
sambil menjenguk kakang Sedayu”
“Ah, jadi kau akan menunggu-nunggu
selama beberapa hari lagi? sambil
berharap Agung Sedayu pulang?” tanya
Untara pula.
Glagah Putih tersenyum masam. “Tentu
tidak kakang” jawabnya.
“Maka dari itu, segeralah melapor kepada
Ki Patih atau Tumenggung yang
membawahi kesatuan Sandi Mataram. Saat
ini, tugas kita sangat banyak. Mataram
harus bisa memulihkan keamanan danketertiban dalam waktu sesingkatsingkatnya. Semua
tenaga yang ada sangat
dibutuhkan”
“Kecuali tenaga Ki Rangga Agung Sedayu”
sambung Ki Sabdadadi dengan senyum
getir.
“Ya. Ki Waskita. Tapi Agung Sedayu juga
punya andil dalam keadaaan ini.
Ketidakhadirannya akan meredam
ketegangan terutama dipihak Pangeran
Mandurareja. Sementara, meskipun ia
harus menanggung kesalahan yang tidak
diperbuatnya mudah-mudahan tuntutan
Ratu Lungayu bisa mereda pula. Sementaraitu, Ki Patih tidak lagi mendapatkan
tekanan untuk menghukum seseorang
yang bersalah atas kejadian malam itu.
Rasanya memang kurang adil, tapi kurasa
inilah jalan terbaik untuk meredam
masalah besar seperti ini”
Semua yang hadir disitu kembali
mengangguk membenarkan. Ki Patih sudah
berusaha sekuatnya meredam berbagai
pertentangan. Bahkan menahan Agung
Sedayu di kepatihan tujuannya agar bisa
sedikit mengurangi kekesalan Pangeran
Mandurareja yang merasa telah
dipermainkan sebelumnya oleh ilmu Ki
Rangga. Meskipun begitu, tidak semua
pihak akan merasa puas dengan keputusanyang sudah dibuat. Beberapa pihak tentu
masih ingin agar Ki Rangga dihukum lebih
berat. Bahkan jika memungkinkan
dilenyapkan sama sekali.
Telinga orang-orang linuwih yang
berkumpul di pendapa itu kemudian
mendengar derap kaki kuda yang sedang
dipacu tidak terlalu kencang.
“Kelihatannya, Ki Gede Menoreh telah
kembali” ujar Ki Sabdadadi setelah
beberapa saat mendengarkan derap kuda
itu.
Tak berapa lama kemudian, rombongan KiGede muncul di regol. Ki Gede segera
bergabung dengan para orangtua yang
duduk-duduk di pendapa sementara
Pandan Wangi memilih langsung masuk ke
dalam rumah induk. Ia segera menuju ke
dapur, dan tertegun melihat sebuah
nampan yang masih utuh di atas geledek
dapur.
“Siapakah yang belum makan ini?” tanya
Pandan Wangi.
“Mbok ayu Sekar Mirah” jawab Rara Wulan
yang ada di dapur pula.
“Apakah sudah kau tawarkan tadi Rara?”tanya Pandan Wangi.
“Sudah mbok ayu. Tapi guru menolak
memakannya” jawab Rara Wulan dengan
wajah prihatin.
Pandan Wangi pun menghela napas
pendek. Ia mengangkat nampan itu dan
membawanya ke ruang dalam.
Sementara di dalam sebuah bilik di
kediaman Ki Gede Menoreh terdengar
senandung lirih seorang perempuan yang
sedang mengasuh bayinya. Lantunan
kidung yang dinyanyikannya terasa
menyayat. Padahal harusnya kidung itubernada gembira karena berisi pujian dan
harapan buat si kecil
Pandan Wangi yang mendengar lantunan
suara Sekar Mirah menghela napas pendek.
Ia mengetuk pintu bilik Sekar Mirah dan
mendorongnya. Ternyata pintu itu tidak
diselarak.
“Mirah” panggilnya lirih. Pandan Wangi
masih sempat melihat Sekar Mirah
menyeka sudut matanya sementara
suaranya yang tadi terdengar halus namun
menyayat melantunkan sebuah senandung
telah menghilang. Pandan Wangi berjalan
pelan mendekat. Sekar Mirah hanyatersenyum tipis. Senyum yang sangat
hambar.
“Mirah, aku bawakan makanan untukmu.
Kenapa kau tidak makan pagi tadi?” tanya
Pandan Wangi sambil meletakkan nampan
di atas meja kecil di dalam bilik itu. Sekar
Mirah tidak segera menjawab. Hanya
wajahnya menjadi sayu.
“Aku tidak selera mbok ayu” jawabnya
kemudian dengan lirih.
“Mirah. Selera tidak selera, kau harus
makan. Air susumu akan mengering jika
kau kurang makan. Ini bukan soal dirimusaja, ini berhubungan langsung dengan cah
bagus ini” ujar Pandan Wangi lembut
sambil mengelus-elus kepala Bagus
Sadewa yang tertidur nyenyak.
Sekar Mirah mengangguk dengan perlahan.
Sementara Pandan Wangi menyiapkan
makan, seperti seorang ibu yang
mengurusi anak gadisnya yang sedang
kehilangan gairah.
Sekar Mirah terkejut saat di depan
mulutnya ada tangan Pandan Wangi.
“Makanlah, aku akan menyuapimu” kata
Pandan Wangi.“Ah, mbok ayu. Aku seperti anak kecil saja”
tukas Sekar Mirah dengan pipi bersemu.
Tapi ia mau juga membuka mulutnya dan
menerima makanan yang disodorkan
Pandan Wangi. Kemudian dengan cekatan,
kakak iparnya itu menyuapkan sejumput
demi sejumput makanan ke mulut Sekar
Mirah dengan telaten.
Pandan Wangi tidak menyadari bahwa
Sekar Mirah kemudian lama memandangi
wajahnya yang ayu itu. Saat mata mereka
bertemu, seulas senyum dihadiahkan Sekar
Mirah dengan tulus untuk kakak iparnya itu.“Mbok ayu, maafkan aku. Sikapku kemarin
itu tentu menyakiti hatimu” ujar Sekar
Mirah dengan tercekat. “Aku telah lepas
kendali hingga membentak-bentak. Aku
belum sempat minta maaf pada Rara
Wulan, juga Ratri dan Damarpati”
“Sudahlah. Ini kedua kalinya kau meminta
maaf. Aku mengerti perasaanmu saat itu.
Syukurlah, kau tersadar sebelum terlalu
jauh melangkah” balas Pandan Wangi.
“Sekarang, kita berdoa saja agar Kakang
Sedayu baik-baik saja dan segera kembali
ke tengah-tengah kita”
Tiba-tiba Sekar Mirah tersenyum penuh artimeski pandangannya tetap sayu. Membuat
pipi Pandan Wangi justru menjadi bersemu
merah.
“Ya. Mbok ayu. Aku selalu berdoa, agar
kakang Sedayu cepat-cepat berada
diantara kita” sambut Sekar Mirah dengan
segera.
“Ah, jangan berlebihan Mirah. Tidak ada
maksud lain dari kata-kataku tadi”
“Tapi, mbok ayu sadar dengan artinya saat
mengucapkannya kan?” tanya Sekar Mirah
dengan mengerling kecil. Pandan Wangi
melengos, membuang pandangannya kearah lain.
“Apa mbok ayu sudah memikirkannya?”
tanya Sekar Mirah kemudian.
“Memikirkan apa?”
“Pembicaraan kita di longkangan saat itu…”
“Aku tidak pernah memikirkan apa-apa”
“Apa benar tidak pernah mbok ayu?” tukas
Sekar Mirah segera.Pandan Wangi pun menghela napas.
“Mirah, sudah aku katakan. Biarlah waktu
yang menjawab mimpi kita ini. Aku seorang
perempuan, aku hanya bisa menunggu”
katanya kemudian. Sesaat keduanya saling
berdiaman. Panda Wangi merasa saat itu
sudah ada sebuah jalan untuk bicara dari
hati ke hati dengan Sekar Mirah sehingga
ia merasa sudah bisa mengungkapkan
sebuah ganjalan di hatinya.
“Namun, ada satu hal yang sangat
menggangguku Mirah” kata Pandan Wangi
dengan suara pelan.“Apa itu mbok ayu?”
“Tentang wasiat kakang Swandaru. Aku
tahu, ada wasiat yang masih disimpan oleh
kakang Sedayu. Ia belum
mengungkapkannya pada kita. Itu menjadi
halangan terbesar bagiku untuk
melangkah” ucap Pandan Wangi.
“Ya. Begitu juga aku. Aku sering bertanyatanya dalam hati mengenai isi wasiat
terakhir yang hanya didengar oleh kakang
Sedayu itu. Tapi kalau menurutku
penalaranku, itu tentu mengenai mbok ayu
dan Bayu” ujar Sekar Mirah.“Karena itu, aku menjadi ragu untuk
memulai sebuah sikap. Bagaimana kalau
justru kakang Swandaru meminta Kakang
Sedayu menjaga aku, dalam arti
melarangku untuk menikah lagi. Dan hanya
mewasiatkanku untuk mengabdikan
seluruh umurku membesarkan Bayu?”
Kali ini giliran Sekar Mirah yang menghela
napas panjang menyadari kemungkinan itu.
“Tapi itu akan menjadi sebuah wasiat yang
buruk mbok ayu.. Apakah kita wajib
memenuhi sebuah wasiat jika tujuannya
bisa mengekang atau merugikan diri
sendiri?”“Apapun itu, aku merasa harus tahu lebih
dulu isinya sebelum aku menentukan
sebuah sikap” kata Pandan Wangi
memperjelas sikapnya.
“Aku sungguh kagum dengan keteguhan
dan keluhuran budi mbok ayu” bisik Sekar
Mirah dengan suara tercekat.
“Aku lebih kagum pada keberanian,
kesetiaan dan keinginanmu untuk
berkorban” balas Pandan Wangi berbisik
pula.
“Ah. Mbokayu terlalu memujiku. Akumenyesali sikapku yang masih belum bisa
menahan kemarahan. Aku masih bertindak
ceroboh dalam banyak hal. Perasaanku
belum juga mengendap seperti mbok ayu”
“Ah, sudahlah. Kita akan saling mendukung
dan mengisi kekurangan kita satu sama
lain, dengan begitu kita akan jadi kuat”
“Setuju mbok ayu. Apalagi jika dibarengi
dengan sebuah ikatan suci bernama
mahligai pernikahan” kata Sekar Mirah
menggoda.
“Ah, itu lagi!” desis Pandan Wangi sambil
menyudutkan bibirnya. “mengapa Ratri danDamarpati lama sekali kembali ya?” tanya
Pandan Wangi mengalihkan pembicaraan.
“Mungkin mereka harus ke pasar di
padukuhan lain untuk mencarikan jamu
yang kupesan” kata Sekar Mirah menduga.
“Aku akan melihat ke depan” kata Pandan
Wangi seraya mengumpulkan sisa-sisa alat
makan ke atas nampan.
Sementara itu, tidak berapa jauh dari regol
kediaman Ki Gede Menoreh, seorang lelaki
terlihat mengerutkan keningnya sambil
berjalan perlahan. Kedua gadis muda yang
berjalan disampingnya ikut melambatkanlangkahnya.
“Jadi kalian tinggal rumah Ki Gede
Menoreh?” tanyanya tidak percaya.
“Ya kisanak. Apakah kisanak menjadi ragu
untuk mengantarkan kami dan
menjelaskan kejadian tadi kepada bebahu
tanah perdikan?” tanya Ratri dengan wajah
mengulas senyum. Ada perasaan yang
tidak bisa diungkapkannya saat berbincang
-binsang dengan lelaki tadi. Lelaki yang
belum mau menyebutkan nama itu terasa
mudah akrab, ceria dan lepas saat
berbincang dengan mereka. Seolah-olah
mereka adalah teman yang akrab. Ratrimemang sangat jarang bergaul dengan
lelaki, karena itu, sikap lelaki itu cukup
mengesankan baginya.
“Oh, tentu tidak. Aku mengenal Ki Gede
Menoreh. Tapi sudah cukup lama aku tidak
datang ke hadapannya” kata lelaki itu.
“Mengapa kisanak?”
“Sibuk” jawabnya singkat dengan wajah
meringis. Ratri pun menarik sudut bibirnya,
menyadari bahwa jawaban lelaki itu justru
jawaban yang asal-asalan. Sementara
mereka sudah memasuki regol depan.
Lelaki itu terkejut, menyadari bahwa dipendapa terdapat banyak orang.
Sementara para pengawal regol hanya
memandang saja kepadanya dan tidak
berkata apa-apa karena lelaki itu datang
bersama Damarpati yang telah lama
menetap dan Ratri yang merupakan tamu
Ki Gede Menoreh.
Pada saat bersamaan, Pandan Wangi
muncul dari pringgitan dan melihat
Damarpati dan Ratri datang bersama
seorang lelaki. Kening Pandan Wangi
berkerut. Ia rasa-rasanya mengenal lelaki
itu sehingga ia bergegas mendekat. Lelaki
itu mengangguk hormat kepada orangorang tua yang sedang duduk di pendapa.“Bukankah
kau Wacana dari Kademangan
Kleringan?” tanya Ki Jayaraga dengan
segera sambil berdiri menyambut.
Sementara itu, Glagah Putih juga segera
berdiri dan tersenyum cerah mengenali
lelaki yang baru datang itu.
“Benar Ki Jayaraga. Namaku Wacana”
jawab lelaki itu dengan sopan.
“Oh, marilah. Marilah Wacana. Duduklah
bersama kami. Nampaknya kau telah
berjumpa dengan Damarpati dan Ratri” ujar
Ki Jayaraga yang memang lebih mengenal
Wacana dibandingkan yang lain selain
Gagah Putih.“Benar Ki Jayaraga” jawab Wacana sambil
tersenyum pada Damarpati dan Ratri.
Kedua gadis itu balas tersenyum kecil
dengan malu-malu sambil menunduk.
Akhirnya nama mereka telah saling disebut
oleh orang-orang tua didepan mereka.
“Bukankan kau Wacana?” tanya Pandan
Wangi segera begitu ia sudah dekat.
“Benar Nyi Pandan Wangi” jawab Wacana.
“Oh, kau masih mengenalku?” tanya
Pandan Wangi pula.“Tentu saja Nyi. Keluarga Menoreh begitu
baik padaku pada saat yang lampau itu.
Aku merasa berhutang budi dengan
keluarga Menoreh. Jika tidak, aku tidak
tahu bagaimana hidupku kemudian” jawab
Wacana dengan santun.
“Ah, marilah. Marilah duduk Wacana” ajak
Ki Gede Menoreh kemudian.
“Terima kasih Ki Gede” jawab Wacana
dengan hormat. Ia pun duduk diantara para
lelaki yang sudah lama duduk di pendapa
itu, sementara Pandan Wangi, Ratri dan
Damarpati meneruskan jalan mereka kedapur.
“Bagaimana kalian bertemu Wacana?”
tanya Pandan Wangi.
“Kakang Wacana telah menolong kami
mbok ayu” jawab Ratri segera. Kening
Pandan Wangi menjadi berkerut.
“Menolong kalian? apa yang terjadi?”
“Mbok ayu, dua orang telah mencegat kami
di bulak panjang” kata Damarpati. Pandan
Wangi terkejut dan segera berhenti berjalan
dan berbalik menatap kedua gadis itu.“Apa!? Apa yang telah terjadi?” tanyanya
segera.
Dengan cepat, Ratri dan Damarpati
menceritakan pengalaman mereka saat
dicegat oleh dua orang di tengah jalan
diantara persawahan itu. Sementara
Pandan Wangi kemudian menatap para
orang tua yang ada di pendapa. Terlihat
perhatian mereka tertuju pada Wacana.
Maka ia dapat menyimpulkan bahwa
Wacana juga sedang menceritakan
kejadian itu.
“Jadi kedua orang itu memang berniatmengganggu kalian?” tanya Pandan Wangi.
“Benar mbok ayu, untunglah, Damarpati
bisa mengusir salah seorang dari mereka
dengan ajiannya, sebelum kakang Wacana
datang menolong” kata Ratri segera
dengan mata berbinar.
“Ah!” desis Damarpati mendengar pujian
Ratri. “Apakah kakang Wacana memang
sudah dikenal di Menoreh mbok ayu?”
tanya Damarpati berusaha mengalihkan
pembicaraan.
“Ya. Kami mengenal Wacana dengan baik.
Dulu ia tinggal di kotaraja. Tapi setelahmenikah dengan seorang gadis di
Kleringan, ia menetap disana” jawab
Pandan Wangi. Sesaat Ratri mengangkat
wajahnya dengan terkejut. Tapi kemudian
ia membuang tatapannya ke pendapa.
“Ow. Ternyata kakang Wacana sudah
menikah” bisiknya dalam hati dengan
berbagai perasaan yang sepertinya
bergejolak sesaat.
“Nah, marilah kita siapkan minum. Mereka
tentu akan berbicara panjang di pendapa.
Mungkin mereka butuh penjelasan kalian
berdua nanti” kata Pandan Wangi.Sementara itu, Wacana sudah selesai
menjelaskan kejadian yang ia alami.
Wacana sedang dalam perjalanan kembali
ke Kleringan dari rumah salah seorang
temannya di Menoreh saat ia menjumpai
pertempuran antara kedua gadis itu dengan
lelaki yang mencegatnya.
Ki Gede Matesih terlihat terpekur diam
selama beberapa saat. Ia sangat
mengkhawatirkan keadaan Ratri. Tapi demi
melihat Ratri kembali dalam keadaan tidak
kurang suatu apapun, ia tidak hentihentinya mengucapkan syukur kepada
Yang Maha Agung.“Untunglah ada Wacana yang datang
membantu. Damarpati pun kelihatannya
memiliki bekal yang mencukupi pula untuk
sekedar membela diri. Mudah-mudahan, ini
menjadi cambuk bagi Ratri untuk
memperkuat niatnya belajar kanuragan”
desah Ki Gede Matesih di dalam hati.
“Siapakah kedua orang itu?” tanya Glagah
Putih dengan penasaran. Ia jadi teringat
saat Ratri bertemu dengan Raden
Surengpati di pategalan disekitaran
padukuhan induk Matesih. Saat itu, Ratri
terlihat sebagai gadis biasa yang tidak
mengenal kanuragan sama sekali. Namun
hanya dalam hitungan pekan, menurut
cerita Wacana, Ratri mampumempertahankan dirinya dari seranganserangan lawannya.
“Apakah Ratri secepat itu belajar
kanuragan disini dalam hitungan hari? tapi
kepada siapa? Apakah mbok ayu Pandan
Wangi? Tapi Wulan tidak pernah
menceritakan apapun mengenai latihan
Ratri. Darimana gadis itu mendapatkan
kemampuan yang demikian pesat?” tanya
Glagah Putih di dalam pikirannya dengan
pertanyaan yang melingkar-lingkar. Tapi
semua itu hanya disimpannya dalam hati.
Mungkin nanti, ia bisa bicara dengan
istrinya.“Sebaiknya kita mendengar penjelasan
Ratri dan Damarpati pula. Mereka yang
mengalami kejadian itu, mungkin ada
penjelasan lebih terperinci mengenai orang
-orang itu” kata Ki Waskita menjawab
pertanyaan Glagah Putih.
“Apakah mungkin jika mereka hanyalah
gegedug pasar yang suka membuat onar?
di beberapa pasar di Matesih sering
terdapat orang-orang seperti itu. Mereka
terkadang mengganggu gadis-gadis” kata
Ki Gede Matesih menduga-duga.
“Mungkin saja Ki Gede. Namun Damarpati
sudah cukup lama di Menoreh. Banyakyang sudah mengenalnya sebagai cucu Ki
Sabdadadi dan ia tinggal di kediamanku
pula. Aku rasa seorang gegedug pasar
akan sangat memperhitungkan kemarahan
Ki Sabdadadi jika mengganggu cucunya”
kata Ki Gede Menoreh sambil tersenyum
kecil.
“Ah… Namaku hanya bisa untuk menakutnakuti anak-anak. Kalau berjumpa gegedug
pasar, aku juga memilih lari seperti anakanak itu” sambut Ki Sabdadadi segera.
Gurauan itu segera disambut dengan
senyuman dari hampir semua orang di
pendapa.Sementara Pandan Wangi, Ratri dan
Damarpati keluar dari dapur membawakan
tambahan minuman dan makanan. Rara
Wulan juga ikut di belakang mereka untuk
menyapa Wacana. Bagaimanapun, dulu ada
kisah yang melibatkan dirinya dan Wacana,
serta seorang sepupu perempuan Wacana
yang bernama Raras.
“Kakang Wacana. Selamat datang”
sapanya pada Wacana.
“Oh. Nyi Rara Wulan. Terima kasih” jawab
Wacana dengan santun sambil
memandangi sejenak perempuan cantik
jelita yang dulu sempat menjadi rebutandiantara teman-temannya di kotaraja
hingga akhirnya justru seorang anak
padesanlah yang berhasil merengkuh cinta
Rara Wulan, putri seorang tumenggung
yang cukup ternama di Kotaraja.
“Nah, marilah kita duduk semua di pendapa
yang sempit ini” kata Ki Gede Menoreh.
Saat begitu banyak orang yang harus
duduk di pendapa itu, barulah terasa bahwa
pendapa Ki Gede Menoreh yang
sebenarnya cukup luas, kini terasa sempit.
“Ratri dan Damarpati. Coba kalian ceritakan
bagaimana awal mula dua orang itu
mencegat kalian di jalan sepi itu” kata KiGede Menoreh. Semua mata kini
memandang kepada kedua gadis yang
mulai memasuki dewasa itu.
Dengan gugup, Damarpati lebih dulu mulai
menceritakan peristiwa yang baru mereka
alami. Ratri kadang-kadang menambahi
sedikit. Keduanya juga menjawab berbagai
pertanyaan dari orang-orang di sekitarnya.
Mereka juga menceritakan ciri-ciri orang
yang telah mencegat mereka.
“Jadi bisa disimpulkan bahwa, mereka
sebenarnya bertiga. Seorang diantaranya
hanya mengawasi dan kemudian
menyelamatkan temannya yang berhasildijatuhkan oleh Wacana” kata Ki Untara
dengan kening berkerut, sambil menatap
Damarpati. “Jika begitu, aku rasa mereka
telah merencanakan sesuatu yang buruk.
Bukan sekedar tertarik mengganggu kalian
saja”
“Ya Ki Untara. Aku rasa juga begitu” jawab
Damarpati. Dahinya sampai dihiasi oleh
bulir-bulir keringat karena rasa gugupnya
bercerita dihadapan orang-orang tua yang
cukup banyak. Bulir-bulir keringat itu juga
menghiasi kening Ratri pula.
“Jelas mereka bukan sekedar gegedug
pasar. Orang yang bertempur denganWacana kelihatannya memiliki ilmu
kanuragan yang tinggi” kata Ki Sabdadadi.
Wacana mengangguk membenarkan.
“Benar Ki. Ilmunya cukup tinggi. Aku
hampir salah perhitungan saat
membenturkan ilmuku. Untunglah aku tidak
mengalami cidera apapun. Namun orang
ketiga yang menyambar tubuh lawanku
yang tidak berdaya, aku rasa memiliki
kemampuan yang lebih diantara mereka
bertiga” kata Wacana. Keterangan Wacana
segera dibenarkan oleh orang-orang
didepannya dengan anggukan yang nyaris
serempak.“Lalu bagaimana Damarpati bisa menakutnakuti lawannya?” tanya Ki Gede
Matesih
masih penasaran.
Damarpati segera tertunduk. Perasaannya
menjadi malu untuk menjawab. Ia tidak
mau disebut menyombongkan diri,
sementara ia tahu, diantara para orangorang tua dihadapannya banyak yang
memiliki ilmu kanuragan yang ngedabedabi. Bahkan seorang dihadapannya
menurut pendengaran Damarpati adalah
seorang senapati perang Mataram yang
memimpin pasukan segelar sepapan dan
terkenal memiliki taktik peperangan yang
mumpuni.“Ayah, Damarpati memiliki sebuah ilmu
yang bisa membutakan penalaran lawan”
cetus Ratri tidak tahan lagi untuk tidak
membuka mulut. Meskipun wajahnya
menjadi bersemu merah, karena tiba-tiba
semua memandang Ratri.
“Ah” desis Damarpati malu. Ia semakin
tertunduk dalam.
Para orangtua disekitarnya hanya
tersenyum maklum.
“Damarpati adalah cucu Ki Sabdadadi. Kita
sudah mengenal sepak terjang kakeknya.
Tentu tidak heran jika selangkah dualangkah cucunya mulai menuruni
kemampuan kakeknya” ujar Ki Waskita
dengan senyum lebar.
“Ah. Damarpati kurang tekun belajar
kanuragan Ki Waskita. Aku harap, kejadian
ini bisa lebih memecut semangatnya” kata
Ki Sabdadadi segera.
“Apakah kita bisa mengaitkan kejadian ini
dengan berbagai masalah yang sedang
berkembang di Mataram?” tanya Ki
Jayaraga kemudian sambil memandangi
orang-orang disekelilingnya.
“Maksud Ki Jayaraga?” tanya Ki GedeMenoreh.
“Maksudku, Ki Rangga Agung Sedayu saat
ini ditahan di kepatihan. Tapi kita samasama tahu, bahwa orang-orang Panaraga
memiliki tujuan tertentu. Apakah mungkin,
jika saat ini beberapa orang atau kelompok
yang ingin memenuhi permintaan Ratu
Lungayu justru sudah menyusup ke
Menoreh?” tanya Ki Jayaraga. “Tentu akan
ada orang-orang Panaraga yang
menyimpulkan, jika Ki Rangga ditahan di
kepatihan, itu hanya sekedar memenuhi
paugeran keprajuritan saja. Cepat atau
lambat, Ki Rangga pasti akan kembali ke
Menoreh” sambungnya.“Itu bisa saja Ki Jayaraga” jawab Untara
setelah sesaat menimbang-nimbang
pendapat itu. “Mungkin mereka sedang
mengawasi keluarga besar Menoreh. Tentu
banyak yang tahu bahwa Agung Sedayu
memiliki keluarga disini, sehingga ia pasti
akan muncul di Menoreh cepat atau
lambat”
“Atau justru mereka akan bertindak karena
merasa Ki Rangga tidak akan bisa berbuat
apa-apa. Mereka bisa mengambil
keuntungan-keuntungan dengan
ketidakhadiran Ki Rangga di Menoreh”
sambung Ki Sabdadadi. “Ingat bagaimana
Pertapa dari Goa Langse itu telah menculik
Bagus Sadewa? Meskipun latarbelakangnya tidak sama, tapi tujuannya
adalah untuk memaksakan kehendaknya
pada Ki Rangga”
Ratri segera bergidik mengingat kejadian
itu. Dihadapannya, ia melihat bagaimana
tidak terjangkau oleh nalar ilmu dari orang
yang mengaku berasal dari Goa Langse itu.
Bahkan, Nyi Sekar Mirah bisa dijatuhkan
hanya dengan mengarahkan telapak
tangannya saja.
“Kalau begitu, apakah kita harus
mengetatkan penjagaan-penjagaan?” tanya
Ki Gede Menoreh dengan segera
menyadari kemungkinan itu.Untara menarik napas panjang. Lagi-lagi,
persoalan adik kandung satu-satunya itu
kembali akan menyeret para kawula
Menoreh untuk bersiap siaga. Bahkan
dimasa yang lalu, persoalan yang
melibatkan adiknya sudah menyeret
Menoreh untuk memasuki pertempuran
pula, meskipun Untara tidak menampik
bahwa itu bukan kemauan Agung Sedayu
sendiri. Justru Ki Gede Menoreh lah yang
banyak membantu Agung Sedayu dengan
melibatkan para kawulanya demi
menghargai sumbangsih Agung Sedayu
selama ini terhadap kebesaran Menoreh
dan tegaknya Mataram.“Kelihatannya demikian Ki Gede. Itu adalah
cara pertama yang paling mudah.
Selanjutnya, seluruh keluarga Menoreh dan
keluarga Agung Sedayu khususnya,
termasuk aku harus berhati-hati pula” kata
Untara.
Semua sepakat, sehingga mengangguk
hampir bersamaan.
“Ki Gede. Bukankah Prastawa masih
menjabat Kepala Pengawal Menoreh?
kenapa sejak beberapa hari ini aku belum
melihatnya?” tanya Untara kemudian.
“Disitulah masalahnya Ki Untara” kata KiGede Menoreh dengan dada pepat. “Sudah
cukup lama Prastawa sakit. Sebenarnya
kami tadi sempat menjenguknya.
Kelihatannya Prastawa belum bisa
bertugas untuk beberapa waktu kedepan”
“Apa sakit yang dideritanya Ki Gede?” tanya
Untara dengan prihatin.
Ki Gede menggeleng dengan pelan,
“Sudah
banyak tabib yang didatangkan. Tapi
kelihatannya pengobatan Prastawa belum
mencapai sebuah kemajuan” katanya.
“Sayang sekali. Pada saat seperti ini, tugas
seorang kepala Pengawal justru sangatdibutuhkan” kata Untara.
“Tidak apa-apa Ki Untara. Saat ini, kami
orang-orang tua ini sudah tidak punya
pekerjaan. Biarlah kami membantu Ki Gede
Menoreh di malam-malam yang dingin
untuk menggantikan tugas Prastawa” ujar
Ki Jayaraga sambil tersenyum. Ki
Sabdadadi dan Ki Waskita juga ikut-ikutan
tersenyum. Mau tidak mau Untara ikut
tersenyum pula. Ia menyadari, bahwa
Menoreh bukan sekedar sebuah Tanah
Perdikan dengan kepala perdikan dan
pengawal-pengawalnya. Di tanah perdikan
Menoreh telah berkumpul orang-orang
yang berilmu dahsyat sehingga bisa
melapis kekurangan pengawal dengansangat baik, atau bahkan jauh lebih baik.
“Ki Jayaraga, tadi aku mendengar bahwa Ki
Rangga ada di kepatihan dan ditahan.
Apakah aku sudah melewatkan sebuah
cerita atau peristiwa barangkali?” tanya
Wacana dengan wajah prihatin. Sebenarnya
ia terkejut saat Ki Jayaraga mengatakan Ki
Rangga Agung Sedayu sedang ditahan.
Namun perasaan sungkan untuk menyela
pembicaraan para orang tua dihadapannya
membuat ia menahan keinginannya untuk
bertanya selama beberapa saat.
“Demikianlah Wacana. Sebaiknya kami
jelaskan dulu sekelumit cerita yangmembuat Ki Rangga ditahan di kepatihan
saat ini” kata Ki Jayaraga. Lalu dengan
singkat ia menceritakan peristiwa yang
membuat Ki Rangga Agung Sedayu di
perintahkan untuk menghadap Ki Patih
Mandaraka.
“Maka dari itu, sejak Ki Rangga
digelandang ke Kepatihan, kami semua
tetap berkumpul disini. Karena Ki Patih
sudah mengisyaratkan bahwa Ki Rangga
tidak akan terlalu lama ditahan” kata Ki
Gede Menoreh kemudian.
Wacana mengangguk-angguk mengerti.
Sesaat ia memandang wajah-wajah yanghadir di pendapa itu.
“Semua adalah orang-orang yang mumpuni.
Para orangtua yang hadir disini adalah
orang-orang yang sudah putus segala
kawruh lahir maupun batin dalam menjalani
persoalan hidup. Sebenarnya, jika mereka
mau memaksakan kehendak dan meminta
Ki Rangga dibebaskan sekarang juga,
Kotaraja bisa geger” ungkap Wacana dalam
hati. “Tapi mereka adalah orang-orang
yang sangat menjunjung tinggi paugeran
dan tidak mau mengikuti nafsu mereka
semata”
“Kecuali aku Ki Gede. Sepertinya esok, akuharus mohon diri kembali ke Jati Anom.
Keadaan cukup panas di timur, aku tidak
bisa lebih lama lagi meninggalkan
pasukanku” kata Untara.
“Oh. Tentu saja Ki Untara. Kami hanya bisa
berterima kasih, bahwa Ki Untara bergerak
cepat menyelamatkan kami di kepatihan”
kata Ki Gede Menoreh dengan senyum
maklum.
“Ah. Tidak ada apa-apanya Ki Gede. Aku
hanya bisa menyusul secepatnya begitu
mendengar berita penangkapan Agung
Sedayu, pikiranku bahkan cukup kalut saat
itu, apakah aku harus langsung ke Kotarajaatau singgah dulu ke Menoreh untuk
mendapatkan cerita yang lebih lengkap.
Untunglah aku bertemu Ki Jayaraga, Ki
Waskita dan Glagah Putih. Dengan begitu,
aku bisa yakin, bahwa keluarga di Menoreh
pun tidak tahu apa-apa tentang duduk
perkara peristiwa ini. Ki Gede justru lebih
mampu membela Agung Sedayu. Tanpa
pembelaan panjang lebar dari Ki Gede,
Pangeran Mandurareja akan memiliki
banyak kesempatan untuk melampiaskan
kekesalannya pada Agung Sedayu”
Sementara dari dapur terlihat Sekar Mirah
menjengukkan kepalanya. Pandan Wangi
melihat isyarat itu. Ia mengerti bahwa
waktu makan siang sudah tiba danmakanan siap dihidangkan. Pandan Wangi
beringsut mundur dari pendapa sambil
memberi isyarat pada Rara Wulan, Ratri
dan Damarpati untuk membantu para
emban menghidangkan makanan untuk
orang-orang di pendapa.
“Ah, ternyata hidangan demi hidangan bisa
mengalir lancar di pendapa ini. Ki Gede
Menoreh sungguh bermurah hati kepada
kita, memberi makan orang-orang tua
pengangguran ini” ujar Ki Jayaraga dengan
senyum lebar saat melihat sederetan
perempuan keluar dari pintu dapur
membawakan makan siang.“Hanya hidangan sederhana” sambut Ki
Gede Menoreh.
“Ki Jayaraga harus makan banyak. Malam
nanti, tugas Ki Jayaraga nglanglang sampai
pagi” cetus Ki Waskita pula.
“Tidak masalah. Tidak masalah. Yang
penting Ki Waskita tidak tidur di pendapa
ini. Karena tugas Ki Waskita menjaga
rumah Ki Gede Menoreh sampai pagi”
sambung Ki Jayaraga.
“Bagaimana denganku?” tanya Ki
Sabdadadi. “Apa tugasku?”“Menemani Ki Waskita bermain mul-mulan,
sampai pagi” ucap Ki Jayaraga. Semua
menjadi tertawa dengan berbagai candaan
segar itu. Meskipun bukan berarti mereka
melupakan keadaan muram yang masih
melingkupi keluarga Menoreh, tapi gurauan
seperti itu cukup dapat menyegarkan
perasaan mereka.
Pandan Wangi meladeni ayahnya
mengambil nasi dan lauk pauknya. Begitu
pula Ratri. Damarpati meladeni kakeknya,
sementara Rara Wulan meladeni Glagah
Putih. Yang lain, dengan senyum simpul
dan saling berpandangan harus mengambil
sendiri makanan dan minuman yang
dihidangkan di depan mereka.“Mana Sekar Mirah, apakah tidak ikut
makan bersama?” tanya Ki Gede Menoreh.
“Mirah belum berselera. Tadi Damarpati
sudah meminta Bagus Sadewa untuk
diasuhnya. Tapi, Mirah belum mau
bergantian” jawab Pandan Wangi.
“Oh. Ia harus diingatkan untuk makan
dengan teratur. Jangan sampai Sekar
Mirah sakit. Bagus Sadewa bisa
terpengaruh nanti” kata Ki Gede Menoreh.
“Ya ayah. Aku akan menawarinya lagi nanti
setelah makan” kata Pandan Wangi.Suasana pendapa itu menjadi lebih tenang
saat makanan mulai disantap. Mereka
sangat menikmati suasana makan
bersama di siang hari yang cerah itu.
Setelah menghidangkan makanan pada
para tamu di pendapa, para emban
membagikan bungkusan makanan pada
para pengawal yang ada di sekitaran rumah
Ki Gede Menoreh.
Saat mereka hampir selesai makan, para
orangtua yang sedang menikmati suapan
terakhir makan siang mereka telah
dikejutkan lagi dengan bunyi langkah kaki
kuda. Tidak berderap, namun langkahnya
cukup cepat. Jumlahnya cukup banyaksehingga terasa menarik perhatian.
Ki Waskita, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan
Ki Sabdadadi hampir bersamaan
mengangkat kepala mereka sambil saling
melempar pandangan mendengar langkahlangkah kuda itu. Keempatnya hanya bisa
bertanya-tanya dalam hati. Dalam
perbedaan waktu sekejap, Rara Wulan dan
Pandan Wangi pun mengangkat kepala
mereka dan mendengar pula. Diikuti pula
oleh yang lain-lainnya.
“Langkah kuda. Banyak sekali
kedengarannya” ucap Ki Gede Menoreh
sambil menajamkan pendengarannya.“Ya. Ki Gede. Lebih dari sepuluh ekor”
sambut Ki Sabdadadi. Mereka pun
melemparkan pandangan ke regol. Terlihat
para pengawal bangkit dan memandang ke
salah satu arah jalan yang ada di depan
rumah Ki Gede Menoreh.
“Rombongan prajurit Mataram Ki Gede!”
seru kepala kelompok yang berdiri di gardu
depan memberitahukan pada orang-orang
yang duduk di pendapa.
“Prajurit Mataram!?” desis serempak
semua orang yang ada di pendapa dengan
saling melemparkan pandangan.“Marilah, kita sambut. Siapa tahu, mereka
membawa berita penting” kata Ki Gede
sambil bangkit diikuti hampir semua lelaki
di pendapa itu dengan segera.
“Sepasukan berkuda, membawa pesan
penting? cukup membuat hati gelisah
bagiku” desah Ki Sabdadadi dengan suara
lirih. Tidak bisa dilupakannya kejadian
beberapa hari lampau saat rombongan
berkuda dari Mataram justru telah
menggelandang Ki Rangga Agung Sedayu
dan Ki Gede Menoreh sekaligus. Ki Gede
Matesih dan Ki Waskita pun hanya
mendesah masygul mendengar cetusan
kata-kata Ki Sabdadadi.Raut tegang juga meliputi wajah para
pengawal. Mereka menggenggam erat
tombak mereka. Sementara beberapa
orang sudah meraba hulu senjata mereka.
“Kalau mereka berniat menangkap Ki Gede
lagi, aku akan melawan sampai titik darah
penghabisan!” desis seorang pengawal
sambil memandangi rombongan yang
membawa sebuah panji pertanda Mataram
makin mendekati mereka.
Rombongan itu memasuki regol rumah Ki
Gede Menoreh. Debar jantung yang
berpacu meliputi rongga dada seluruhpenghuni rumah Ki Gede Menoreh. Sekar
Mirah bahkan muncul dari pintu pringgitan,
menggendong Bagus Sadewa. Tongkat
baja putihnya pun terselip di punggungnya.
Sudah bisa diduga, Sekar Mirah pasti
sudah mengenakan pakaian khususnya
untuk siap menghadapi keadaan apapun.
“Tenangkan hatimu Mirah. Kita belum tahu
ada apa” bisik Pandan Wangi seraya
menggamit lengan Sekar Mirah. Sekar
Mirah mengangguk dengan wajah tegang
sementara Damarpati mendekat bersama
Ratri.
“Mbok ayu, biar aku saja” bisik Damarpatimeminta Bagus Sadewa dari dekapan
Sekar Mirah.
“Terima kasih Pati” kata Sekar Mirah
sambil menyerahkan gendongan putranya
pada Damarpati. Sementara Ratri
merangkul lengan Pandan Wangi dengan
wajah cemas.
Para prajurit Mataram itu turun dari
kudanya masing-masing dan mengikatnya
pada patok yang tersedia. Lalu dengan
sigap membentuk barisan berbanjar,
sementara seorang diantaranya maju ke
depan. Wajahnya kukuh dengan badan
tegap dan sepasang mata seperti bersinarterang memancarkan keteguhan hatinya.
“Sabungsari!” seru beberapa orang
seketika menyadari siapa perwira Mataram
yang berdiri dihadapan mereka.
Lelaki tegap itu tersenyum.
“Betapa aku seperti bermimpi bisa kembali
ke Menoreh” gumamnya seraya bergegas
mendekat dan menyalami semua orang
yang ada dihadapannya dengan wajah
cerah. Ki Jayaraga dan Glagah Putih
sampai mengguncang-guncang bahunya,
merasa sangat gembira bertemu kembali
dengan Sabungsari.“Selamat datang kakang Sabungsari”
sambut Glagah Putih dengan gembira saat
mendapat giliran menyalami Sabungsari.
Lalu datang giliran lelaki yang ada
disamping Glagah Putih.
“Wacana?” seru Sabungsari terkejut saat
akan menyalami seseorang. Sabungsari
tidak terlalu terkejut saat menyalami
Untara yang dulu adalah senapatinya di Jati
Anom dan saat ini justru berjumpa di
Menoreh. Saat diperkenalkan kepada Ki
Gede Matesih dan Ki Sabdadadi pun ia
tidak terlalu terkejut. Namun, melihat lelaki
yang pernah berselisih jalan dengannya
dimasa yang lampau itu pun ia jaditerperanjat.
Namun Wacana bukanlah Wacana yang
dulu. Ia sudah tidak menyimpan perasaan
apapun kepada Sabungsari. Dengan wajah
tersenyum, ia mengulurkan tangan
menyalami Sabungsari.
“Bagaimana keadaanmu Sabungsari”
ujarnya dengan tangan terulur. Sabungsari
pun menjabat tangan Wacana dengan
hangat.
“Baik sekali Wacana. Aku tidak menyangka
kau sedang ada di Menoreh. Kemarin dulu
Raras mengatakan berjumpa denganmu dikediaman orangtuanya. Kukira kau masih
di Kotaraja” kata Sabungsari kemudian.
“Aku hanya sebentar di Kotaraja sekedar
menemui paman dan bibi. Ternyata Raras
sedang berkunjung pula kerumah
orangtuanya” kata Wacana.
“Marilah, marilah. Kita berbincang di
pendapa. Kelihatannya aku harus
memperbesar pendapa ini. Semakin hari,
tamu-tamuku semakin banyak membuat
suasana semakin meriah” kata Ki Gede
Menoreh mempersilahkan Sabungsari ikut
duduk di pendapa. Sementara para emban
dipimpin Pandan Wangi dan Sekar Mirahbergegas membereskan peralatan makan
yang masih berserakan di pendapa.
“Luar bisa, Ki Gede menoreh benar-benar
telah diberi kemurahan hati yang luar biasa
dari Yang Maha Agung sehingga tamutamunya seperti tidak ada habisnya hari
ini” ujar Ki Gede Matesih memuji dengan
tulus.
“Ah, semua sudah aku anggap saudara.
Wacana, Ki Sabungsari, semua pernah
menjadi bagian tanah Menoreh ini” jawab
Ki Gede Menoreh.
“Benar Ki Gede. Aku juga merasakanbetapa hangatnya keluarga di Menoreh ini.
Sehingga bisa dikatakan, keluarga keduaku
ada di Menoreh” kata Sabungsari dengan
senyum lebar.
“Kalau begitu, apakah keluargamu sehatsehat saja Sabungsari?” tanya Ki Gede
Menoreh.
“Demikianlah Ki Gede. Seluruh keluargaku
masih dalam lindungan Yang Maha Agung”
jawab Sabungsari dengan ramah.
“Bukankah kakang telah memiliki seorang
putri?” tanya Glagah Putih kemudian.“Syukurlah Glagah Putih. Aku yang
terlambat berumah tangga ini justru lebih
cepat mendapatkan momongan. Demikian
pula denganmu. Sepertinya karunia-Nya
sudah kau terima pula” kata Sabungsari.
Glagah Putih mengangguk dengan wajah
cerah seraya melirik Rara Wulan yang
duduk bersimpuh tak jauh dari mereka.
Seulas senyum manis menghiasi bibir anak
perempuan Tumenggung Purbarumeksa itu.
“Bukankah karunia-Nya itu juga kembali
berkenan hadir di keluargamu Sabungsari?
bukankah Raras sedang mengandung
pula?” tanya Wacana dengan senyumsimpul.
Wajah Sabungsari terlihat sangat gembira.
Ia hanya mengangguk dengan bibir terus
tersenyum.
“Syukurlah” desis beberapa orang di
pendapa itu hampir bersamaan.
Pandan Wangi muncul kembali di pendapa
dan berdiri mematung. Saat orang-orang
tidak bicara lagi, ia segera menyela.
“Apakah ayah atau yang lain ada yang mau
menemani kakang Sabungsari makan?kebetulan, kami baru saja selesai makan
kakang…” kata Pandan Wangi menyela
dengan bibir tersenyum.
“Oh. Itu tidak perlu Nyi. Sebenarnya kami
sudah makan di barak Pasukan Khusus”
kata Sabungsari dengan cepat.
“Kakang singgah di barak pasukan
khusus?” tanya Glagah Putih. Sabungsari
mengangguk.
Ada pertanyaan lain yang akan diajukan
Glagah Putih. Namun, ia menyadari saat itu
bukanlah saat yang tepat. Karena itu ia
memendam saja pertanyaan itu.“Hampir saja aku bertanya apakah kakang
Sabungsari membawa perintah untuk
pasukan itu. Sebenarnya, siapakah yang
akan memimpin pasukan itu setelah
kakang Sedayu?” tanya Glagah Putih dalam
hati.
“Apakah ada sebuah perintah untuk
pasukan itu Sabungsari?” tanya Untara pula.
Glagah Putih menarik napas lega karena
pertanyaan itu hampir saja terlontar dari
mulutnya. Jika Untara yang bertanya, maka
terasa lebih wajar mengingat
kedudukannya yang sangat tinggi
dipasukan Mataram.Sabungsari mengangguk beberapa kali. Ia
lalu mengambil sebuah bumbung yang ada
di ikat pinggangnya. Didalam bumbung itu
tergulung secarik nawala yang kemudian
diserahkannya kepada Ki Gede Menoreh.
“Ki Gede, aku mohon untuk dibacakan”
ucap Sabungsari dengan nada hormat.
Ki Gede Menoreh menerima nawala itu
dengan jantung berdebar. Ia membuka
gulungannya dan selama beberapa saat
menelaah isinya.
“Ah” desisnya kemudian dengan senyumterkulum sambil menatap Sabungsari
setelah membaca tulisan yang tertera di
nawala itu.
‘Seharusnya kau memilih seorang anak
buahmu untuk membacakan nawala ini di
depan kami. Kami kawula Menoreh akan
berlutut untuk mendengarkannya” kata Ki
Gede Menoreh sambil tersenyum lebar.
“Ki Gede, Menoreh adalah keluargaku. Jika
aku melakukannya seperti perwira kerajaan
yang lain saat membacakan perintah Ki
Patih Mandaraka, tentu cara itu akan
menyakiti hati keluargaku disini, seolaholah aku adalah anak durhaka yangmelupakan
keluargaku hanya karena
jabatan dan pangkat belaka” jawab
Sabungsari sambil tersenyum. “Karena itu,
Ki Gede sebagai yang dituakan disini
kiranya berkenan membagikan isi perintah
itu”sambungnya.
Ki Gede Menoreh kembali tersenyum
sambil memandang berkeliling, sementara
orang-orang di sekeliling mereka menatap
dengan bertanya-tanya.
“Ki Gede sungguh pandai membuat hati
berdebar-debar” celetuk Ki Waskita dengan
segera. Disambut gumaman dan tawa kecil
dari semua yang hadir di pendapa.Ki gede tertawa kecil. “Baiklah, agar tidak
menjadi pertanyaan yang berlarut dalam
hati, aku akan menyingkat isinya. Dengan
pemberitahuan resmi melalui nawala ini, Ki
Patih Mandaraka telah menunjuk Ki
Rangga Sabungsari menjadi pimpinan
Pasukan Khusus Mataram yang
berkedudukan di Menoreh”
“Ki Rangga Sabungsari!” desis Glagah Putih
dengan kagum. Begitu juga beberapa orang
yang ada di pendapa itu. Sementara
Sabungsari justru tertunduk.
“Kalau begitu selamat untukmu Ki RanggaSabungsari!” kata Untara dengan segera.
Yang lain segera berseru-seru dengan
gembira pula.
“Ki Tumenggung. Jabatan itu belumlah
resmi. Pangkatku masih Lurah Prajurit.
Wisuda untuk mendapatkan pangkat itu
masih menunggu paseban agung yang
akan digelar pada waktu yang akan datang”
kata Sabungsari dengan wajah cerah.
“Bukan cuma itu, Ki Gede kelihatannya
menahan satu lagi isi perintah yang ada di
nawala itu” sambung Sabungsari sambil
memandang kepada Ki Gede Menoreh.
Serentak semua mata kembali beralihmenatap kepada Ki Gede Menoreh. Ki Gede
pura-pura menilik lagi nawala yang ada
ditangannya.
“O. Aku sudah pikun rupanya. Ternyata
masih ada lagi perintah selanjutnya”
katanya lagi seperti berpura-pura terkejut.
Sementara keningnya menjadi berkerut
membaca kembali nawala itu. “Perintah ini
untukmu Glagah Putih” kata Ki Gede
Menoreh dengan wajah menegang.
Mendengar namanya dipanggil, Glagah
Putih segera bergeser setapak kedepan. Ia
sempat melirik Rara Wulan yang juga
membalas lirikan suaminya dengan wajah
bertanya-tanya.“Sudahlah Ki Gede. Bacakan saja. Ki Gede
kelihatannya sedang suka bergurau hari
ini” kata Untara dengan senyum terkulum.
Dalam hatinya ia juga berdebar, apakah
Glagah Putih, adik sepupunya itu akan
mendapatkan perintah lain? mengikuti
Tumenggung Singaranu mengawasi
Panaraga mungkin? atau justru diminta
bergabung dengan pasukan Pangeran
Mandurareja yang melawat ke lembah
Merapi dan Merbabu? Atau jangan-jangan
justru dipindahkan ke daerah kekuasaan
Mataram di pesisir utara?
“Mungkin ini adalah hadiah dari Ki Patih
untuk kurnia-Nya yang sedang berkembang
di rahim Rara Wulan. Glagah Putih, kaudiangkat menjadi Lurah Prajurit. Tugasmu
mengepalai kelompok pasukan sandi yang
berinduk pada Pasukan Khusus Mataram
yang ada di Menoreh” ucap Ki Gede
Menoreh sambil tersenyum.
Ucapaan itu kembali mendapat sambutan
gumaman dan anggukan dari semua yang
hadir di pendapa. Wajah Glagah Putih dan
Rara Wulan seketika cerah. Keduanya
saling berpandangan dan berbalasan
senyum dengan bahagia.
“Kau beruntung Glagah Putih. Tidak perlu
repot-repot pindah ke tempat lain jika tugas
barumu justru menempatkanmu di pasukanlain. Aku kira, kau bakal di tempatkan di
Ganjur, atau setidaknya di kesatuan pusat
sandi Kotaraja” kata Untara sambil
mengangguk-angguk. Ia lalu melanjutkan,
“Sabungsari, apakah pasukan di Ganjur
juga sudah keluar dari baraknya dan
bergabung dengan salah satu pasukan
yang sedang bergerak ke utara dan timur?”
tanya Untara kemudian.
“Tidak Ki Tumenggung. Pasukan di Ganjur
justru sebagian besar ditarik ke Kotaraja.
Karena Pangeran Mandurareja berangkat
ke Lembah Merapi dan Merbabu membawa
cukup banyak prajurit dari kesatuan
pengawal Kotaraja yang ada di bawah
kendalinya” kata Sabungsari.“Jadi Pengeran Mandurareja sudah
berangkat. Apa Pangeran Mandurareja
telah menarik pasukan dari kademangan
atau tanah perdikan lain?”
“Sepertinya tidak Ki Tumenggung” jawab
Sabungsari.
Banyak yang menarik napas lega dengan
pikiran yang hampir sama. Sesuai janji Ki
Patih Mandaraka, setelah Pangeran
Mandurareja berangkat ke lembah antara
Merapi dan Merbabu, maka nasib Ki
Rangga Agung Sedayu akan ditinjau
kembali.“Apakah kesatuan pengawal Kotaraja saja
cukup menumpas gerombolan yang
bermukim di lembah Merapi dan Merbabu
itu?” desis Ki Jayaraga kemudian dengan
heran. “Dari berbagai berita yang kami
simpulkan, gerombolan di lembah itu
berjumlah sangat banyak. Para pengikut
Trah Sekar Seda Lepen telah bergabung
kesana. Perguruan Wirapati, beserta
perguruan-perguruan pendukungnya juga
mundur kesana. Sisa-sisa Perguruan Sapta
Dahana sepertinya juga mengikuti orangorang Sekar Seda Lepen pula. Sementara
orang yang disebut-sebut Panembahan
Agung juga bermukim disana”“Aku tidak tahu persisnya Ki Jayaraga.
Namun, menurut pengamatanku, Pangeran
Mandurareja sangat percaya diri dengan
kemampuan pasukan Pengawal Kotaraja
yang telah sekian lama ada dalam
kepemimpinannya” kata Sabungsari.
“Ki Patih tentu tidak akan mengizinkannya
berangkat jika hasil telik sandi justru
menyatakan hal yang berlawanan” kata Ki
Waskita kemudian menengahi.
“Atau Ki Patih dan Pangeran Mandurareja
justru mengabaikan hasil-hasil
penyelidikan kita selama ini?” gumam
Glagah Putih bertanya.“ Menurut dugaanku, Pangeran
Mandurareja mungkin mengabaikannya,
namun Ki Patih tidak akan
mengesampingkan hasil-hasil yang kita
peroleh” jawab Ki Jayaraga.
“Kita hanya bisa menduga-duga saja.
Biarlah, saat ini kita tidak terlibat
didalamnya. Mungkin kita lebih baik
mengawasi daerah kita saja dengan lebih
baik. Peristiwa yang dialami Ratri,
Damarpati dan Wacana tidak bisa kita
kesampingkan karena justru ada dihadapan
mata” kata Ki Gede Menoreh berusaha
memahami keadaan dengan lebih
gamblang.Sabungsari tertegun, ia tidak memahami
peristiwa itu sehingga bertanya.
“Apa yang telah terjadi Wacana?” tanyanya
pada Wacana.
“Sebaiknya kita ceritakan pada Ki
Sabungsari. Bukankah kini ia akan menjadi
pelindung kita di Menoreh? ia harus tahu
perkembangan yang dialami oleh Menoreh.
Terutama menyangkut soal keamanannya”
kata Ki Sabdadadi.
“Ah. Yang akan terjadi adalah sebaliknya.
Orang-orang yang tinggal di Menoreh inilahyang akan membimbingku memimpin
pasukan khusus itu” kata Sabungsari
merendah.
“Belum apa-apa kakang Sabungsari sudah
ketularan kakang Sedayu” celetuk Glagah
Putih, membuat Sabungsari justru tertawa.
Dengan singkat Ki Jayaraga dan Glagah
Putih mengulang kembali cerita peristiwa
menjelang siang tadi yang dialami Ratri,
Damarpati dan Wacana.
“Syukurlah. Mereka bisa mempertahankan
diri” kata Sabungsari dengan perasaan lega.
“Tentunya ini akan menjadi perhatian untukmeningkatkan kewaspadaan kita”
sambungnya.
“Apakah kakang Sabungsari sempat
menjenguk kakang Sedayu?” tanya Glagah
Putih kemudian.
Sabungsari menggeleng pelan,
“Aku sudah
berniat begitu. Namun, begitu sampai di
Kotaraja aku dipanggil ke kepatihan dan
kemudian menerima nawala ini. Aku hanya
sempat bertanya keadaan Ki Rangga
Agung Sedayu kepada Ki Patih. Ki Patih
hanya mengatakan ia dalam keadaan baikbaik saja di salah satu bilik di Kepatihan.
Sesudah itu, Ki Patih memerintahkankusegera berangkat ke Menoreh”
Orang-orang di pendapa itu hanya saling
melemparkan pandangan saja mendengar
berita itu. Agak janggal memang jika Ki
Patih sepertinya mengasingkan Ki Rangga
pula. Ki Patih sangat mengenal Sabungsari.
Ki Patih juga mengetahui persahabatan
mereka sejak lama. Tentu kurang masuk
akal jika Ki Patih justru tidak mengizinkan
Sabungsari sekedar menjenguk Ki Rangga
Agung Sedayu di saat seperti itu. Tentu ada
sebuah pertimbangan yang sangat
mendasar sehingga Sabungsari seolaholah tidak diberi waktu untuk menjenguk
sahabatnya.“Ki Gede. Mohon maaf. Maksud
kedatanganku adalah memperkenalkan diri
kepada Ki Gede dan keluarga Menoreh
tentang tugas baruku di pasukan khusus
Menoreh. Saat ini, aku membawa
tambahan pasukan yang akan menjadi
bagian dari pasukan khusus Menoreh. Ada
beberapa hal yang diperintahkan oleh Ki
Patih untuk segera diperbaiki di dalam
kepemimpinan pasukan khusus itu,
termasuk membentuk kelompok sandi
sendiri dibawah pimpinan Glagah Putih.
Karena itu, aku hendak memohon diri dulu
untuk kembali ke pasukan itu” kata
Sabungsari kemudian. “Tentu saja, dilain
kesempatan, aku akan meminta kesediaan
Ki Gede untuk bertukar pikiran mengenaikeamanan di wilayah ini” sambungnya.
“Oh, tentu-tentu Ki Rangga Sabungsari”
jawab Ki Gede Menoreh dengan senyum
lebar,
“Kapan saja aku bersedia
meluangkan waktu”
“Ah, aku belum terbiasa dipanggil Ki
Rangga Ki Gede” kata Sabungsari. “Tapi
terimakasih untuk segala kesediaan dan
penerimaan Ki Gede padaku. Aku mohon
pamit dulu. Glagah Putih, secepatnya aku
butuh bantuanmu untuk membentuk
kelompok sandi di pasukan khusus itu”
kata Sabungsari.“Tentu kakang. Aku akan memulai tugasku
besok” kata Glagah Putih dengan wajah
cerah.
Sabungsari beranjak bangkit. Lalu
menuruni pendapa. Pasukannya yang
sedari tadi beristirahat di sekitaran regol
langsung bergegas mengambil kuda-kuda.
Tak lama, pasukan kecil itu keluar dari
regol dan berderap kembali ke barak
pasukan khusus.
“Syukurlah. Ki Patih mempercayakan
pasukan khusus itu kepada Sabungsari dan
Glagah Putih. Pergantian
kepemimpinannya tidak akan terlalumempengaruhi hubungan antara pasukan
khusus itu dengan Menoreh karena para
pimpinannya sudah sangat dikenal di
Menoreh” kata Untara seperti bergumam.
“Ya. Ki Untara. Ki Patih cukup bijaksana
dalam hal ini. Pasukan khusus itu segera
mendapat pimpinan pengganti yang
sepadan” kata Ki Waskita mengakui.
“Ki Lurah Glagah Putih. Aku mengucapkan
selamat atas kenaikan pangkatmu” tibatiba sebuah suara merdu terdengar dari
belakang mereka.
“Ah!” desis Glagah Putih dengan wajahbersemu merah. Sementara Rara Wulan
justru tertawa-tawa. Ialah yang barusan
menggoda suaminya dengan suara
merdunya.
Yang lain pun ikut tertawa melihat
sepasang suami istri yang saling bergurau
itu.
“Ki Lurah Glagah Putih. Aku harus
membiasakan diri dengan panggilan itu”
ujar Glagah Putih dalam hati sambil
memandang wajah Rara Wulan yang
nampak begitu sumringah.
*****Dalam pada itu, di sebelah barat Tanah
Perdikan Menoreh, dimana wilayahnya
masih dipenuhi hutan yang cukup pepat
dengan perbukitan yang sambung
menyambung nampak dua orang lelaki
sedang berhadapan dengan seorang lelaki
tua. Sementara di dekat mereka ada
seorang laki-laki lain yang sedang terduduk
di tanah.
“Gila! Gila kalian!” bentak orang yang tua
itu sambil sekali lagi melayangkan pukulan
pada seseorang yang bertubuh pendek.
Lelaki bertubuh pendek itu hanya
mengaduh saat tinju orangtua itu
menghantam dadanya. Tubuhnyaterdorong beberapa langkah ke belakang.
Dengan mata menyala marah, lelaki tua itu
memandangi ketiga orang yang ada
dihadapannya.
“Apa kalian sudah mau mati hah? Betapa
cerobohnya kalian hari ini. Tugas yang
begitu mudah saja tidak bisa kalian
jalankan dengan baik!” bentak lelaki tua itu
lagi.
“Guru. Ampuni kami. Kami benar-benar
lupa diri setelah melihat kedua gadis itu”
rintih orang yang bertubuh pendek.“Perempuan! perempuan lagi! tidak ada
puas-puasnyakah kalian mengejar-ngejar
perempuan?Tidak bisakah kalian menahan
diri dulu beberapa waktu? kalau tanah
perdikan itu bisa kita kuasai aku akan
bariskan semua perempuan Menoreh yang
paling cantik dari setiap padukuhan di
depan bilik kalian. Terserah mau kalian
apakan mereka” seru gurunya sekali lagi
masih dengan suara penuh kegeraman.
“Tapi sebelum itu terjadi, jangan bermimpi.
Jangan ceroboh dan jangan kacaukan kerja
kita di sini. Ki Tumenggung sudah
mempercayakan pengamatan Menoreh
pada perguruan kita. Kalau tugas semudah
itu saja kita gagal, lalu mau ditaruh dimana
harga diri perguruan kita!?”Tiga orang yang merupakan murid utama
dari orang tua itu hanya diam membisu
sambil menundukkan wajah. Panengah
yang terduduk di tanah dan baru saja sadar
dari pingsannya setelah dibawa kabur oleh
Panjang hanya bisa meringis menahan
nyeri di dadanya setelah terbanting ke
tanah ketika membenturkan ilmunya
dengan seorang lelaki yang telah membela
kedua gadis yang mereka cegat tadi.
“Dengar kalian bertiga. Ini terakhir kali
kalian mengacaukan tugas kita. Sekali lagi
kalian berulah, aku akan mengirim kalian
kembali ke Panaraga untuk menemui Ki
Ageng. Dia yang akan menghukum kalian.Bukan aku. Ingat, tugas ini atas restu Ki
Ageng Jalatunda” kata guru mereka
dengan nada mengancam.
Panjang, Panengah dan Pendek segera
gemetar mendengar nama Ki Ageng
disebut. Mereka tahu benar bagaimana
orang yang disebut Ki Ageng Jalatunda itu
jika menghukum suatu kesalahan. Tubuh
mereka akan dirajam, hingga disetiap
sayatan akan mengeluarkan darah. Tubuh
mereka akan dibuat kaku akibat sebuah
ilmu mengerikan yang dimiliki Ki Ageng.
Sementara dari sayatan itu akan
meneteskan darah tanpa henti hingga
tubuh mereka mengering kehabisan darah.“Ampun guru! Kami akan berusaha lagi
sebaik-baiknya” ucap Panjang dengan
suara bergetar. Sementara Panengah dan
Pendek hanya tertunduk membisu.
Gurunya masih memandang mereka
dengan mata tajam. Tapi kemudian ia
merasa sudah cukup memperingatkan
ketiga muridnya itu. Peringatan itu
dianggapnya sudah cukup keras untuk
memecut ketiga muridnya itu untuk
kembali bekerja dengan cermat.
“Nah pergilah beristirahat. Sore nanti,
utusan Ki Tumenggung akan datang. Kita
harus menyampaikan laporan kita di sini.Apakah sampai tadi kalian ada
mendapatkan berita baru? apakah bisa
dipastikan bahwa Ki Rangga Agung Sedayu
tidak ada di Menoreh?” tanya gurunya
kemudian.
“Benar guru. Kami sudah bicara dengan
beberapa orang yang bisa kami korek
keterangannya. Tidak ada tanda-tanda
yang menunjukkan bahwa Ki Rangga telah
kembali ke Menoreh bersama atau
sesudah Ki Gede Menoreh diperkenankan
kembali ke Menoreh oleh Patih Mandaraka”
jawab Panjang dengan segera.
“Baiklah. Keterangan kalian tentu akan diperiksa oleh Ki Tumenggung melalui telik
sandinya yang lain. Jangan sampai kalian
berbohong meski itu berita kecil yang tidak
jelas bagi kita. Semua gerakan kita disini
sangat bergantung pada ketepatan berita
yang bisa didapatkan”
Ketiga murid orang tua itu menganggukangguk mengerti. Mereka pun sadar bahwa
tugas mereka sebenarnya adalah ujung
tombak dari sebuah gerakan yang lebih
besar. Sehingga harus sangat berhati-hati
untuk memilah-milah keterangan yang
akan disampaikan kepada orang-orang
yang mengendalikan gerakan ini. Tentu
mereka memiliki jalur-jalur lain yang akan
digunakan untuk memastikan sebuahberita yang mereka nilai penting dan
mengandung kepastian.
Gurunya segera berbalik untuk kembali ke
sebuah gubug reyot yang baru dibuat
dengan tergesa-gesa, di dalam hutan pepat
itu, beberapa gubug sedang dibangun oleh
beberapa murid-murid perguruan itu.
Kelihatannya mereka sedang
mempersiapkan sebuah perkemahan yang
nantinya bisa ditinggali cukup banyak
orang.
Seorang lelaki lain sedang beristirahat di
dalam gubug itu pula, tubuhnya yang besar
disandarkannya disalah satu tiang gubugitu. Ia hanya membuka mata sekilas, saat
orang yang disebut guru itu datang dan
duduk didepannya.
“Apakah kau menghukum mereka kakang
Guntara?” tanya lelaki itu.
“Tidak adi Miswa. Sebenarnya aku sudah
gatal sekali untuk mencambuk mereka
sampai jungkir balik. Tapi saat ini, aku lebih
membutuhkan mereka mengerjakan tugastugas Ki Tumenggung Bintarawaja” kata
guru Panjang, Panengah dan Pendek yang
disebut dengan nama Guntara.
“Apakah tugas itu cukup berat? sampai-sampai kau memanggilku?” tanya Miswa.
”Seingatku, kau berangkat ke barat hanya
untuk menjawab sayembara kanjeng Ratu
Lungayu untuk menangkap seorang
Rangga. Apasih susahnya menangkap
seorang Rangga?” gumam Miswa
kemudian sambil tertawa pendek.
“Justru itu adi. Aku cukup gegabah saat
sayembara itu diumumkan secara terbatas
di istana adipati. Kupikir menangkap
seorang Rangga, apalagi bermukim di luar
kotaraja adalah pekerjaan mudah. Tanpa
pikir panjang, aku menyediakan diri
dihadapan Tumenggung Bintarawaja.
Ternyata, yang dimaksud adalah Ki Rangga
Agung Sedayu”“Apa hebatnya orang yang disebut Ki
Rangga Agung Sedayu itu?” tanya Miswa
dengan mata hampir terpejam lagi.
“He! apakah kau belum pernah mendengar
namanya!? ia adalah murid utama dari
Perguruan Orang Bercambuk” kata Ki
Guntara.
“Hm. Aku pernah mendengar nama
perguruan itu dimasa Demak lama dari
guru. Tapi aku tidak pernah mengenal
orang-orang yang berguru di perguruan itu”
“Aku pun begitu. Dari TumenggungBintarawaja, kami sempat dibekali
pengetahuan segala aji dan ilmu yang
tersimpan di dalam diri orang yang
bernama Agung Sedayu itu. Awalnya aku
hanya menganggap angin lalu. Ilmu semu
yang dimilikinya itu seperti ngayawara
bagiku. Tapi setelah aku mengalami sendiri
kedahsyatan ilmu itu, mataku jadi terbuka.
Orang yang bernama Agung Sedayu itu
bukanlah ngayawara”
“Ah. Apa hebatnya ilmu semu? Aku pernah
melihat seorang pesulap di Panaraga yang
menipu mata anak-anak dan orang dewasa
karena sebuah ilmu semu yang dapat
menciptakan bayangan dirinya di kejauhan.
Tapi itu tidak dapat menipuku!”“Adi. Jangan kau remehkan ilmu bayangan
semu Agung Sedayu itu. Seperti aku yang
mula-mula tidak percaya, tapi kemudian
mengalami sendiri kedahsyatannya, aku
langsung berpikir bahwa untuk
melumpuhkannya, aku membutuhkan
bantuan orang lain, yaitu kau”
Miswa tertawa pendek. “Baiklah kakang.
Aku akan membantumu. Tapi jangan suruh
aku mengerjakan tetek bengek perkerjaan
lain disini. Tugasku hanya membantumu
jika kau berhadapan dengan orang yang
bernama Agung Sedayu itu”“He! jangan kau batasi dirimu dengan
orang yang bernama Agung Sedayu saja.
Menurut Tumenggung Bintarawaja,
Menoreh berisi orang-orang yang linuwih.
Kita akan mendapat lawan cukup banyak”
“Baik. Baiklah kakang. Aku akan melawan
orang-orang yang paling tangguh di
Menoreh ini. Tapi aku tidak mau jika harus
mengurusi pengawal-pengawal bodoh yang
bertempur tidak lebih baik dari seorang
penari” kata Miswa lagi dengan tertawanya
yang sangat meremehkan.
“Terserah kaulah Miswa” kata Ki Guntara
kemudian. “Kedatanganmu sudah cukupmelegakan bagiku”
Miswa pun terkekeh berkepanjangan. “Tapi,
menurut cerita muridmu, Ki Rangga yang
kau maksud itu justru sedang ada di
kotaraja, lalu mengapa kau menyuruhku ke
tempat ini?”
“Kau benar. Sebenarnya aku sudah hampir
menyusul ke Kotaraja. Namun datang
perintah dari Tumenggung Bintarawaja
untuk mengawasi Menoreh, tempat tinggal
Ki Rangga Agung Sedayu dan pasukannya”
“Mengapa?”“Tumenggung Bintarawaja yakin,
pemanggilan Ki Rangga Agung Sedayu oleh
Ki Patih Mandaraka hanyalah pura-pura
saja untuk sekedar memenuhi paugeran
keprajuritan. Kemungkinan besar, orang itu
akan pulang ke Menoreh tidak lama lagi”
kata Ki Guntara menjelaskan.
“Lalu apa maksud Tumenggung
Bintarawaja mengawasi tanah perdikan ini?
Bukankah sebagai sebuah sayembara,
menangkap orang itu bisa dilakukan
dimana saja, kapan saja dan oleh siapa
saja?”
“Memang. Tapi, perkembangan situasimembuat Ki Tumenggung mengubah
rencananya. Bagi perguruan yang mau
bergabung dalam sebuah rencana besar ini,
Ki Tumenggung akan melipatgandakan
hadiahnya. Sementara, yang tidak mau
bergabung dan masih berniat memenuhi
sayembara itu pun dipersilahkan pula asal
tidak mengganggu rencana yang telah
disusun Ki Tumenggung”
“Apa rencana sebenarnya?” tanya Miswa
mulai tertarik dengan pekerjaan di tempat
itu.
“Cepat atau lambat, Mataram akan
berbenturan dengan Panaraga. Disini kitaakan mempersiapkan pasukan untuk
menjepit kedudukan Mataram dari barat.
Tanah Perdikan Menoreh telah ditentukan
menjadi titik tumpu pancadan untuk
mendukung pasukan yang akan berkumpul
disini. Di Menoreh, terdapat beberapa
orang yang cukup mumpuni dalam hal
kanuragan selain Ki Gede Menoreh dan
Agung Sedayu yang sudah kita sebutkan
tadi. Mereka harus bisa disingkirkan lebih
dulu untuk melemahkan Mataram”
“Berarti, beberapa perguruan lain akan
bergabung disini?” tanya Miswa dengan
alis berkerut.“Ya. Adi. Tugas merekalah untuk
menyingkirkan orang-orang yang dianggap
linuwih di Menoreh”
“Cukup menarik” kata Miswa sambil
mengangguk-angguk mengerti. “Sebagai
orang Panaraga, aku juga memahami
dendam Ki Tumenggung terhadap orang
yang telah berani menempelkan paser di
tiap pintu bilik pimpinan pasukan Panaraga.
Aku juga akan berbuat hal yang sama jika
penghinaan itu tertuju padaku. Tapi apakah
itu semua memang perbuatan Ki Rangga
itu?”
“Menurut Ki Tumenggung, Ki Rangga itumemang yang melakukannya. Ratu
Lungayu sendiri yang mendengar
pengakuan Ki Patih Mandaraka bahwa
peristiwa itu berhubungan dengan
keributan di istana yang ditempati Ratu
Lungayu, dimana seseorang dengan ilmu
semunya telah membuat pangeram-eram”
jawab Ki Guntara.
Miswa mengangguk-angguk lagi,
sementara matanya yang tadi hampir
terpejam kini menjadi terbuka lebar
mendengarkan cerita-cerita Ki Guntara.
Sementara itu, seorang cantrik mereka
yang ditugaskan mengawasi salah satujalan masuk ke tengah hutan pepat di
perbukitan itu datang menghadap dengan
tergesa-gesa.
“Ki Ajar Guntara” panggil cantrik itu.
Napasnya seperti kuda berkejaran karena
telah berlari-lari dari tempat tugasnya.
“He, ada apa denganmu? “ tanya Ki Guntara.
“Ki Ajar, dua orang telah menemui kami di
sebelah timur. Mereka mengaku utusan
Tumenggung Bintarawaja” kata cantrik itu
dengan napas hampir putus.“He? cepat sekali mereka sampai. Apakah
mereka menjawab sandi dengan benar?”
tanya Ki Ajar Guntara.
“Ya. Ki Ajar”
“Nah, bawalah mereka kemari”
Cantrik itu pun bergegas lagi. Tak lama
kemudian, ia sudah kembali membawa dua
orang lelaki berbadan tegap dan
bercambang.
“Ki Ajar Guntara?” sapa mereka sambil
memberi anggukan hormat.“Ya. Akulah Ki Ajar Guntara. Apakah kalian
utusan Ki Tumenggung?”
“Ya Ki Ajar”
“Nah, marilah. Duduklah disini. Ini adik
seperguruanku, Miswa” kata Ki Ajar
Guntara memperkenalkan seorang lagi
yang sudah duduk di gubug reot itu.
Setelah saling menanyakan keselamatan
masing-masing, kedua orang utusan
Tumenggung Bintarawaja itu pun
menanyakan laporan yang berhasil
dikumpulkan Ki Ajar Guntara melalui murid-muridnya. Cukup banyak pertanyaan yang
diajukan oleh kedua utusan itu termasuk
tataletak padukuhan induk dan rumah Ki
Gede Menoreh. Semua telah diamati oleh
Ki Ajar Guntara dan ketiga murid utamanya,
sehingga Ki Ajar Guntara bisa menjawab
dengan lancar.
“Baiklah Ki Ajar Guntara. Aku rasa
keterangan ini sudah cukup memuaskan.
Untuk saat ini kegiatan di tempat ini harus
terus dijaga kerahasiaannya. Pengamatanpengamatan terhadap Tanah Perdikan
Menoreh tetap harus terus dilakukan,
terutama tentang keberadaan orang yang
bernama Agung Sedayu itu dan ciri-ciri
orang linuwih yang tinggal di Menoreh. JikaKi Rangga itu menampakkan batang
hidungnya di Menoreh, segeralah beri
kabar kepada Ki Tumenggung melalui jalur
yang sudah ditetapkan. Orang itu harus
menjadi tumbal pertama dalam pergolakan
kita menentang kesewenang-wenangan
Mataram yang sudah menghina Panaraga
dengan mempermainkan keluarga Ratu
Lungayu dan Raden Mas Wuryah melalui
penobatan Raja yang penuh tipu muslihat
itu”
Keempatnya mengangguk serempak.
Penobatan Raja sehari itu memang sangat
mengejutkan dan terasa menyakitkan bagi
sebagian besar orang Panaraga. Bara
permusuhan sepertinya sedang ditiup agarapi kian membesar membakar hati setiap
orang yang merasa kecewa dengan
berbagai peristiwa yang sudah lalu itu.
“Apakah kalian akan kembali sekarang?
waktu sudah menjelang tunggang gunung”
kata Ki Ajar Guntara kemudian.
“Tidak Ki Ajar. Justru kami masih memiliki
tugas ke barat, melintas perbukitan
Menoreh ini” kata salah seorang utusan itu.
“Kemana?” tanya Ki Ajar ingin tahu. Tapi
kedua utusan itu hanya tertawa kecil.“Maaf Ki Ajar. Ini masih rahasia. Ki
Tumenggung banyak menggerakkan
pendukung-pendukungnya. Tapi tidak
semua gerakan mereka merupakan
gerakan terbuka. Ada yang bersifat sangat
rahasia. Pada saatnya nanti, kalian akan
diberitahu dengan siapa saja kalian akan
bekerja sama”
“O. Baiklah. Aku akan menunda
keingintahuanku untuk sementara ini. Aku
percaya pada rencana-rencana Ki
Tumenggung Bintarawaja. Aku yakin kali ini
kita akan berhasil menguasai Menoreh.
Dulu banyak yang mencoba menguasai
Menoreh untuk menjadikannya landasan
menyerang Mataram. Tapi kebanyakanterburu-buru dan sangat tidak
memperhitungkan kekuatan Menoreh
beserta orang-orang didalamnya. Mereka
selalu gagal”
“Ya Ki Ajar. Karena itu, jangan bertindak
gegabah. Sebelum perintah datang,
usahakan segala gerakan disini lepas dari
pengamatan siapapun”
“Tentu-tentu. Sampaikan pada Ki
Tumenggung, dia dapat mengandalkanku
untuk tugas ini” kata Ki Ajar Guntara
dengan wajah penuh keyakinan.
“Baiklah Ki Ajar. Kami mohon diri dulu.Kami harus bergegas melewati perbukitan
ini sebelum malam tiba” kata utusan itu
sambil bangkit berdiri.
Sementara dari jarak yang agak jauh,
Panjang, Panengah dan Pendek hanya bisa
menarik napas dalam-dalam menyadari
kesalahan mereka bisa berbuah
malapetaka. Panjang merasa sangat geram,
apalagi justru dialah yang dimarahi oleh
guru mereka.
“Lain kali, aku tidak akan ikut campur jika
kalian masih berniat mengganggu
perempuan” geramnya sambil melotot
pada kedua adik seperguruannya. “Akuakan langsung melaporkannya pada guru!”
desisnya lagi.
Pendek mengeluh. “Kakang jangan begitu.
Kalau kita tadi berhasil, jangan-jangan
kakang yang lebih dulu mengajak mereka
bercengkrama, baru kami mendapat giliran
setelah kakang puas”
“Kurang ajar! Setan!” maki Panjang dengan
marah.Tapi mau bagaimana lagi.
Terkadang bersama kedua adik
seperguruannya mereka memang sering
keluyuran ke padukuhan sekedar menakuti
perempuan padesan. Sementara selama di
Menoreh, mereka tidak diperbolehkanmelakukannya oleh guru mereka. Sehingga
apa yang dikatakan Pendek tadi memang
pernah terjadi.
“Kalau Menoreh bisa dikuasai, aku akan
cari kedua gadis itu. Aku akan membalas
dendam. Akan kubuat mereka menyembahnyembah dibawah kakiku sebelum
menuruti semua keinginanku” geram
Panengah yang masih merasakan nyeri di
dadanya.
“Kau bermimpi Panengah!” kata Panjang
geram. “Sebentar lagi, beberapa perguruan
akan bergabung disini. Kalau Menoreh
dikuasai, jangan bermimpi gadis-gadiscantik jelita seperti yang kita temui tadi
akan jadi bagian kita. Kalaupun mereka
jatuh ketangan kita, mereka sudah habis
lebih dulu dinikmati para pemimpin
perguruan yang lain. Itu pun kalau kita
beruntung, jika tidak, bersiaplah untuk
bertarung dengan para putut tertua dari
perguruan-perguruan itu untuk
memperebutkan mereka”
Pendek dan Panengah hanya bisa
menghela napas geram menyadari hal itu.
“Bagaimanapun, kita mengetahui lebih dulu
kedua gadis itu. Kalau ada kesempatan,
kita harus bisa mendahului semua oranguntuk bercengkrama dengan mereka” kata
Panengah sambil menatap Pendek.
“Pikiran gila!” bentak Panjang. “Sudahlah!
Jagan pikirkan itu sekarang. Kita masih
harus mengamati Menoreh. Orang yang
telah mencegah kita itu harus kita laporkan
pada guru. Kita harus memperhitungkan
keberadaannya. Anggap saja, ia salah satu
penghuni Tanah Perdikan Menoreh”
“Tapi kedua gadis itu tidak mengenal lelaki
itu kang” ucap Panengah.
“Ya kakang, mereka tidak saling kenal”
sambung Pendek.“Goblok! penduduk Menoreh sangat banyak.
Padukuhannya juga banyak. Besar
kemungkinan banyak yang tidak mengenal
satu sama lain” bentak Panjang. “Nanti
akan kulaporkan pada guru setelah guru
tenang. Orang itu mesti diwaspadai
sebagai salah satu orang linuwih di
Menoreh”
Kedua adik seperguruannya hanya bisa
mengangguk-angguk, sambil menatap ke
gubug yang ditempati guru dan paman guru
mereka.
*****Dalam pada itu di kediaman Ki Gede
Menoreh, Pandan Wangi telah mengajak
Ratri ke sanggar untuk berlatih. Gadis
muda itu sama sekali tidak menolak. Ia
mengikuti Pandan Wangi dengan gembira.
“Ratri, bukankah pengalamanmu tadi siang
makin menguatkan niatanmu?” tanya
Pandan Wangi sambi terus menggerakkan
tubuhnya diikuti oleh Ratri. Gerakan yang
ditunjukkan Pandan Wangi adalah gerakan
dasar dalam jalur ilmu Perguruan Menoreh.
Ratri harus bisa menghafalnya, untuk
kemudian meresapi makna dari setiap
gerakan sebelum bisa mengungkap
gerakan itu dengan dukungan tenagacadangannya.
“Ya, mbok ayu. Untunglah mbok ayu
sempat menunjukkanku beberapa gerakan
sebelumnya. Kalau tidak, aku hanya akan
diam mematung dan memejamkan mata
saat berhadapan dengan orang itu” jawab
Ratri. “Aku sangat kagum pada Damarpati
mbok ayu” sambungnya.
“Oh ya, mengapa?”
“Seperti kukatakan tadi di pendapa,
Damarpati telah memiliki sebuah ajian yang
bisa mengelabui penalaran lawan. Ia hanya
memegang sehelai ilalang, menyebutnyaular bandotan dan lawannya itu langsung
lari tunggang langgang” ujar Ratri sambil
terus mengikuti gerakan Pandan Wangi.
Pandan Wangi hanya mengangguk. Ia tidak
begitu mngenali ilmu dan perguruan yang
mengalir pada Ki Sabdadadi dan Damarpati.
Namun, Pandan Wangi tidak akan
menyangkal kalau Ki Sabdadadi tentu
berada di lapisan sangat tinggi. Bahkan
mungkin berada diatasnya.
“Nah, karena itu. Kau harus giat berlatih. Di
kemudian hari, kau bisa mengembangkan
sendiri kemampuanmu. Terkadang,
seorang murid tidak akan menyerupaigurunya. Pengalaman akan menambah
wawasan dan kekayaan ilmu meski
landasannya sama. Apa kau bisa mengerti
Ratri?” kata Pandan Wangi kemudian.
“Aku mengerti mbok ayu”
“Atur napasmu Ratri. Napas adalah kunci
tenagamu. Nah, begitu” kata Pandan Wangi
saat memperhatikan dada Ratri yang
terlalu cepat naik turun, menandakan
napasnya sudah mulai memburu.
Setelah melakukan cukup banyak gerakan,
Pandan Wangi mengulanginya beberapa
kali sementara Ratri mengikutinya denganpatuh. Ia sudah bertekad untuk menyadap
sebanyak-banyaknya ilmu Menoreh jika
diizinkan. Karena itu, semangatnya sangat
tinggi meskipun ia belum tahu, mengapa
malam itu Pandan Wangi mengajaknya
berlatih.
Setelah melakukan begitu banyak gerakan.
Pandan Wangi mengakhiri latihan malam
itu.
“Ratri, Apa yang kutunjukkan tadi adalah
gerakan dasar dari ilmu Menoreh. Masih
banyak lagi gerakan lainnya yang harus kau
hafal, kau resapi dan maknai tujuan dan
kekuatannya. Mudah-mudahan, ilmuMenoreh bisa menjadi bekalmu dimasa
mendatang” kata PandanWangi sambil
tersenyum.
Ratri menjadi terperanjat. Sesaat ia
menatap Pandan Wangi.
“Mbok ayu, apa itu artinya…” tanyanya
dengan nada tercekat.
Pandan Wangi hanya tersenyum. “Paman
Argajaya dan Prastawa, dua orang lain
yang menimba ilmu di jalur Menoreh telah
menyetujui dirimu bisa menjadi muridku.
Begitu juga ayah” jawab pandan Wangi
dengan suara lembut.“Oh!” pekik Ratri. Segera ia mendekat dan
berlutut dihadapan Pandan Wangi.
“Guru! terimalah sembahku!” katanya
dengan gegap gempita.
“He! jangan begitu Ratri . Bersikap biasa
sajalah. Tidak usah berlebihan” desis
Pandan Wangi dengan geli. Ia menarik
lengan Ratri agar gadis itu berdiri.
“Aku senang sekali mbok ayu. Apakah aku
sudah bisa mengatakannya pada ayah?”
tanya Ratri.“Kurasa ayahmu sudah diberitahu oleh
ayahku” kata Pandan Wangi. “Nah,
sebaiknya kita kembali ke bilik saja. Malam
mulai larut”
“Baik mbok ayu” jawab Ratri dengan patuh.
Sementara itu, di pendapa Ki Gede Matesih
justru terpekur diam. Ia sedang bersyukur
bahwa tujuan putrinya telah diterima.
Meski awalnya Ratri ingin berguru pada
Sekar Mirah, namun pada akhirnya ia lebih
memilih Pandan Wangi yang menurutnya
lebih sesuai dengan sifatnya. Baru saja Ki
Gede Menoreh menyatakan bahwa parapewaris jalur perguruan Menoreh
menyetujui Ratri menjadi murid Pandan
Wangi.
“Tak henti-hentinya kuucapkan rasa
syukurku Ki Gede. Ratri bisa menatap masa
depannya lebih cerah sekarang. Aku sudah
melihat tekadnya yang membara untuk
berlatih” kata Ki Gede Matesih dengan
penuh haru.
“Ya. Mudah-mudahan jalannya akan
dipermudah oleh Yang Maha Agung,
menuntut ilmu kanuragan bukanlah dalam
waktu yang singkat. Terkadang seseorang
harus mengabdikan seluruh waktunyauntuk mencapai tingkatan yang lebih baik
diiringi dengan keikhlasan dan keteguhan
hati”
“Benar Ki Gede. Aku percayakan Ratri di
keluarga Ki Gede. Mudah-mudahan ia tidak
mengecewakan Pandan Wangi”
Ki Gede Menoreh tersenyum sambil
mengangguk. “Aku yakin, Ratri tidak akan
mengecewakan. Tekadnya telah bulat”
Ki Gede Matesih menarik napas panjang
dengan penuh kelegaan.“Ki Gede Menoreh. Kalau begitu, sudah
waktunya aku kembali ke Matesih. Aku
sudah terlalu lama meninggalkannya”
“Apakah Ki Gede tidak menunggu
kepulangan Ki Rangga lebih dulu?”
Ki Gede Matesih hanya bisa menggeleng
pelan. “Aku rasa waktunya terlalu sempit Ki
Gede. Aku sudah khawatir dengan keadaan
Matesih. Berbagai urusan tentunya sudah
tertunda disana”
Ki Gede Menoreh kembali mengangguk. Ia
mengerti sekali perasaan Ki Gede Matesih
yang sudah cukup lama meninggalkantanah perdikannya. Ia juga pernah
mengalami hal yang sama saat dulu
beberapa kali harus meninggalkan Tanah
Perdikan Menoreh.
“Kalau begitu terserah Ki Gede saja” ucap
Ki Gede Menoreh.
“Aku akan tanyakan pada Ratri. Jika tidak
ada halangan, besok aku akan berangkat
kembali Ki Gede”
"Oh, Secepat itukah?”
“Aku sudah khawatir Ki Gede. Baru kali iniaku meninggalkan Matesih cukup lama.
Jika pun dulu aku pernah meninggalkannya
dalam hitungan tahun, saat itu ayahku
masih memegang pemerintahan di
Matesih”
“Ya. Ki Gede. Aku mengerti” jawab Ki Gede
Menoreh sambil mengangguk.
Kemudian, Ki Gede Matesih melihat
putrinya melintas dari sanggar menuju
pintu dapur. Cepat-cepat Ki Gede Matesih
memberi isyarat pada Ratri untuk
mendekat ke pendapa. Ratri pun berbelok
ke pendapa, sementara Pandan Wangi
meneruskan langkahnya ke ruang dalam.“Bagaimana latihanmu Ratri?” tanya
ayahnya.
“Baik sekali ayah” kata Ratri dengan wajah
sumringah,
“Ayah, Benarkah aku telah
diterima menjadi murid mbok ayu Pandan
Wangi?”
Ki Gede Menoreh dan Ki Gede Matesih
sama-sama tersenyum.
“Ya nduk” jawab ayahnya.
“Oh. Terima kasih Ki Gede” kata Ratrisambil mengangguk hormat dan
mengangkat sembahnya pada Ki Gede
Menoreh. Bisa dikatakan bahwa saat ini Ki
Gede Menoreh adalah kakek gurunya.
“Ratri, dengan begitu tugas ayah
mengantarmu ke Menoreh telah selesai.
Ayah harus kembali ke Matesih besok”
kata Ki Gede Matesih.
“Oh!” pekik Ratri tersadar. Matanya
membelalak sesaat. Tapi mulutnya
terkunci. Ia menyadari bahwa hal itu pasti
terjadi. Namun hatinya terasa belum siap.
“Ratri, ayah telah menitipkanmu kepada KiGede Menoreh. Jadikanlah keluarga
Menoreh suri tauladanmu. Berlatihlah
dengan sungguh-sungguh” kata Ki Gede
Matesih. Ada getar dalam nada suaranya
menandakan perasaan hatinya yang
terpengaruh pula. Perasaannya cukup berat,
meninggalkan putri satu-satunya di tanah
yang jauh dari tempat kelahirannya.
Sementara selama ini, Ratri tidak pernah
terpisah dari dirinya. Seumur-umur, gadis
itu tidak pernah meninggalkan tanah
kelahirannya. Dan kini, pertama kalinya ia
meninggalkan Matesih, ia justru akan
tinggal sementara di tempat lain sampai
waktu yang belum bisa ditentukan.
“Ayah. Aku berjanji” kata Ratri dengansuara bergetar. Matanya menjadi basah,
meski airmatanya tidak tumpah.
“Nah. Ayah akan berbincang dengan Ki
Gede lagi” kata ayahnya.
“Baik ayah. Aku akan kembali ke bilik mbok
ayu” jawab Ratri masih dengan wajah haru.
Hatinya sangat sedih mengingat esok ia
akan berpisah dengan ayahnya.
“Aku harus kuat. Keinginankulah yang
membawaku hingga ke Menoreh. Aku tidak
bisa menetap di Matesih. Ini sudah
pilihanku” desis Ratri dalam hati.Sepeninggal Ratri, Ki Gede Menoreh
berkata,
“Ki Gede. Aku mengerti betapa
beratnya berpisah dengan anak satusatunya. Perempuan pula. Demikian yang
aku alami saat Pandan Wangi telah
bersuami dan harus mengikuti suaminya ke
Sangkal Putung”
“Ya Ki Gede. Aku harus bisa menahan
perasaan ini. Semua ini demi masa depan
Ratri. Masa depan Ratri juga menyangkut
masa depan Matesih”
“Benar. Saat-saat seperti itulah, kita harus
bertindak hati-hati, terarah dan terukur.
Jangan sampai salah langkah karena masadepan orang banyak ada ditangan Ratri”
“Aku harus banyak belajar pada Ki Gede”
kata Ki Gede Matesih. Ki Gede Menoreh
hanya tertawa penuh rasa haru.
“Kita sebenarnya bernasib sama. Karena
aku yang lebih dulu memiliki anak, maka
aku hanya sedikit lebih berpengalaman
daripada Ki Gede Matesih”
Keduanya tertawa bersamaan merasakan
perasaan senasib mereka. Ki Gede Matesih
pun merasa bahwa ia harus banyak belajar
pada Ki Gede Menoreh. Ia sudah melihat
berbagai segi peri kehidupan di Menoreh.Beberapa hal, terlihat sama. Namun banyak
hal yang mengesankan baginya. Ki Gede
Matesih berniat meniru beberapa hal yang
dianggapnya luar biasa itu untuk
diterapkan di tanah perdikannya
sekembalinya ia nanti kesana.
Sementara itu, dari gandok kanan terlihat
Ki Jayaraga, Ki Waskita dan Ki Sabdadadi
berjalan bersama-sama. Ketiganya tadi
memang sengaja menyingkir untuk
memberi kesempatan kedua pimpinan
tanah Perdikan itu untuk berbicang berdua.
Ketiga orang itu menyadari bahwa ada
tujuan tertentu dari kedatangan Ki Gede
Matesih dan Ratri ke Menoreh. Sementara
itu Untara yang akan kembali ke Jati Anombesok dan Wacana yang memutuskan
untuk menginap satu malam di Menoreh
justru lelap dalam bilik mereka masingmasing.
“Ah, marilah Ki Waskita, Ki Jayaraga, Ki
Sabdadadi. Kami kesepian hanya
berbincang berdua saja” ajak Ki Gede
Menoreh saat melihat kedatangan ketiga
orang tua itu.
Ki Waskita dan Ki Sabdadadi kemudian ikut
naik ke pendapa sementara Ki Jayaraga
justru berdiri saja.
“Apakah Ki Jayaraga tidak inginbergabung?” tanya Ki Gede Matesih.
“Untuk saat ini tidak Ki Gede. Aku akan
nglanglang dulu hingga jauh malam” kata
Ki jayaraga.
“Apakah sudah diputuskan siapa yang
pergi dan siapa yang tinggal?” tanya Ki
Gede Menoreh sambil tersenyum.
“Sudah Ki Gede. Ki Jayaraga kalah
bertempur dalam permainan mul-mulan
lawan Ki Sabdadadi. Jadi malam ini
tugasnya nglanglang” kata Ki Waskita.“Besok aku akan balas kekalahanku” kata
Ki Jayaraga sambil tersenyum lebar. Ia
beranjak pergi ke banjar padukuhan induk
dimana sekelompok pengawal Menoreh
telah bersiap-siap untuk nglanglang
sepanjang malam itu.
“Menoreh benar-benar terisi oleh orangorang linuwih yang rendah hati. Bahkan
pekerjaan nglanglang yang merupakan
tugas pengawal juga tidak segan-segan
dikerjakan oleh orang-orang tua yang
linuwih ini. Sejak mengenal mereka di
Matesih, belum pernah sekalipun mereka
menyusahkan dengan berbagai permintaan
aneh-aneh sebagaimana biasanya orangorang yang memiliki kelebihan. Justrumereka
selalu bergurau dan menerima
apapun yang bisa disediakan untuk mereka.
Menoreh benar-benar beruntung” pikir Ki
Gede Matesih sambil memandangi
punggung Ki Jayaraga yang mulai
menghilang dibalik regol.
*****
Dalam pada itu, di sebuah rumah yang
masih termasuk bagian dari Kotaraja
tampak seorang gadis muda sedang duduk
termenung di tlundak depan. Wajah gadis
berkulit hitam manis itu terlihat murung.
Bahkan matanya telah basah. Sesekali ia
menyeka matanya dengan punggungtangannya. Rambutnya yang panjang
tergerai dibahunya. Sementara dagunya
terbenam diantara kedua lututnya yang
terlipat rapat.
Cukup lama gadis itu berdiam diri disana
sampai seorang perempuan yang
mendekati usia paruh baya datang dari
ruang dalam.
“He, apa yang kau lakukan disitu?”
tanyanya dengan suara agak keras.
Gadis muda itu terlonjak sesaat. Ia
kemudian sibuk menghapus air matanya
dan bangkit berdiri di hadapan perempuanitu. Sesaat perempuan itu menatap tajam
kepada gadis muda itu.. Namun melihat
mata gadis muda itu yang basah,
perempuan itu menghela napas pendek.
“Kau menangis lagi Ratih? apa kau teringat
ayahmu?” tanyanya dengan suara lebih
pelan.
“Iya bibi” jawab gadis muda yang bernama
Ratih itu.
“Ayahmu tidak akan kembali lagi. Kau ingat
saat dulu kau menangisi ibumu? Kau
menangis berhari-hari dan mengatakan
padaku bahwa ibumu pasti akan kembali”kata perempuan yang ternyata adalah bibi
Ratih.
“Bibi. Aku bukan anak kecil lagi” kata Ratih
dengan suara sedikit bergetar.
“Nah. Kalau begitu, sudahi tangismu. Bantu
bibi mengurus adik-adikmu” ujar
perempuan itu dengan suara yang kembali
meninggi.
Ratih mendesah. Ia menyadari keadaannya
saat itu. Ia kini menumpang hidup di rumah
bibinya. Bibinya memiliki cukup banyak
anak. Semuanya masih kecil sehingga
sangat kerepotan mengurusi mereka.Kedatangan Ratih seperti angin segar bagi
bibinya karena tenaga Ratih bisa digunakan
untuk memomong anak-anaknya.
“Apakah paman akan pergi lama, bibi?”
tanya Ratih. Sesampainya di rumah bibinya
itu, Ratih hanya sekali bertemu dengan
pamannya. Setelah itu, pamannya terlihat
sibuk dan kemudian berpamitan pergi.
“Aku tidak tahu. Pamanmu mendapat tugas
untuk mengikuti Pangeran Mandurareja”
jawab bibinya.
“Akan pergi kemana mereka bibi?” tanya
Ratih dengan polos.“Aku tidak tahu Ratih. Selama ini, kemana
pun Ki Lurah pergi bertugas aku tidak
pernah diberi tahu tujuannya. Nanti setelah
pamanmu kembali barulah kita tahu ia
bertugas kemana. Selama pamanmu tidak
ada, bantulah aku mengurus rumah dan
anak-anak ini” kata bibi Ratih dengan suara
makin tinggi pula.
Ratih pun hanya bisa mengikuti kemauan
bibinya. Sesekali ia kembali berpikir
tentang keputusannya itu dengan
menimang-nimang segala kemungkinan.
“Apakah sebaiknya saat itu aku mengikutisaja paman Putut Sanggalangit ke lembah
antara Merapi dan Merbabu itu daripada
aku disini?” tanya Ratih dalam hati.
“Ah, itu tidak mungkin. Selama ini, para
cantrik tidak berani macam-macam padaku
karena ada ayah. Begitu juga saudarasaudara misanku itu. Mereka masih segan
pada ayah. Tapi sekarang, setelah ayah
tiada nasibku tentu tidak baik berada
diantara orang-orang itu”
“Lalu bagaimana dengan Ki Wita, ia terlihat
sangat baik” kata Ratih lagi dalam hati.
Kembali terbayang di pelupuk matanya
bagaimana seorang pemuda dengan duaorang kakek tiba-tiba saja muncul
membelanya saat Putut Sanggalangit akan
memaksakan kehendaknya. Ki Wita
kemudian mengantarkannya ke rumah
bibinya itu. Tidak banyak yang
diperbincangkan di perjalanan mereka ke
Kotaraja, selain karena hari telah malam, Ki
Wita terlihat sibuk berpikir. Begitu juga
dengan seseorang yang berkuda bersama
mereka. Ratih bahkan tidak tahu siapa
nama penunggang kuda tersebut. Ia hanya
berbicara sedikit, yaitu ketika menanyakan
nama pamannya. Dan penunggang kuda
yang disebut Ki Wita juga seorang prajurit
Mataram, hanya perlu bertanya sekali
kepada penjaga gerbang kota maka ia
sudah tahu dimana pamannya tinggal.Jika sedang mengemban anak paling kecil
dari bibinya itu, Ratih sering membawanya
ke halaman depan. Rumah bibinya tidak
seberapa besar. Kiri kanannya terjepit oleh
rumah milik orang lain. Suami bibi Ratih,
meskipun sudah berpangkat Lurah,
bukanlah seorang yang kaya. Ia hanya
hidup sederhana. Karena itu, rumahnya
tampak sederhana pula. Gerbang halaman
depan tidak tinggi. Jika orang dewasa
menjinjitkan kakinya di dekat gerbang dan
pagar kayu itu, mereka sudah bisa
melongok ke dalam. Gerbangnya juga
sering terbuka lebar. Karena itu, Ratih bisa
melihat orang yang lalu lalang di jalanan di
depan rumah itu. Dulu di pesisir utara, saatayahnya bertugas disana, Ratih pun
tinggal
di sebuah kota yang cukup ramai, sehingga
keramaian di Kotaraja tidak terasa asing
lagi baginya.
Kening Ratih kemudian berkerut. Ada
sesuatu yang menarik perhatiannya. Ia
memandang ke arah seberang jalan tepat
di depan gerbang itu.
“Bukankah tukang dawet itu sudah dua kali
lewat depan rumah ini. kenapa ia lewat
untuk ketiga kalinya dalam waktu yang
berdekatan?” gumam Ratih dalam hati
sambil terus bersenandung menidurkan
bayi dalam gendongannya.Tapi perasaan Ratih hanya sampai disitu
saja. Ia kemudian tidak memperhatikan
tukang dawet yang berlama-lama berdiri di
seberang jalan. Setelah menidurkan bayi
dalam gendongannya, Ratih
mengembalikannya ke buaian yang ada di
dalam bilik bibinya.
Keheranan Ratih bertambah keesokan
harinya. Saat ia kembali sedang
mengemban anak bibinya, ia melihat
sekilas ke pagar dan melihat seseorang
sedang memandang ke dalam halaman
dengan cara menjinjit dari seberang. Hanya
sekilas, orang itu kemudian menghilang
kembali di keramaian jalan. Karenapenasaran, Ratih kemudian bergegas
keluar dari gerbang dan menatap kekanan
dan kekiri mencari orang yang barusan
mengintip ke halaman rumahnya.
“Aneh, wajah orang itu seperti kukenal.
Caping yang dikenakannya memang
menutupi wajahnya. Namun rasa-rasanya
aku mengenali orang itu” gumam Ratih
dengan kening berkerut. Cukup lama ia
berada di tepi jalan yang ramai di depan
rumah bibinya itu, sampai kemudian ia
menghela napas dan berjalan kembali ke
halaman rumah bibinya.
Perasaan Ratih menjadi semakin tidakenak saat sore hari sedang menyapu
halaman, ia kembali merasakan ada
seseorang yang sudah lebih dari tiga kali
melintas jalan di depan rumah bibinya itu
sambil menoleh ke dalam gerbang.
“Sebaiknya kututup saja gebang itu. Hatiku
menjadi was-was” gumam Ratih pelan
sambil terus menyapu. Karena itu, Ratih
pun menuju gerbang dan berniat
menutupnya. Tepat saat itu, orang yang
disangkanya sudah berkali-kali melintas,
lewat di depan rumah itu. Keduanya
bertatap sesaat. Tapi lelaki itu meneruskan
langkahnya dengan tergesa-gesa. Ratih
hanya bisa menatap lama punggung lelaki
itu hingga menghilang di tikungan jauh kearah timur.
“Siapa orang itu. Aku tidak merasa
mengenalnya” kata Ratih dalam hati seraya
menutup gerbang.
Kemudian Ratih meneruskan pekerjaannya
menyapu halaman dengan cara mundur
seperti yang pernah diajarkan ibunya dulu.
Hasilnya sungguh rapi. Goresan-goresan
sapu lidi yang membekas di halaman tanah
berpasir itu terlihat seperti goresan lukisan
tanpa terlihat satu pun tapak kaki Ratih.
“Ratih, kenapa pintu regol itu tertutup?”
tanya bibinya saat melintas di pringgitan.“Bibi, beberapa hari ini aku melihat ada
yang aneh” kata Ratih dengan segera.
Kening bibinya menjadi berkerut,
“Apanya
yang aneh?”
“Bibi, aku merasa ada seseorang, atau
beberapa orang yang telah bolak-balik
melintas di depan rumah ini”
“Ah, bagaimana kau bisa yakin? banyak
sekali orang lalu lalang di jalanan depan
itu” sanggah bibinya dengan wajah tidak
percaya.“Tapi bibi, salah satunya sempat melongok
ke dalam lewat pagar. Tentu ada hal yang
dicarinya di halaman ini” kata Ratih.
“Ah, sudahlah Ratih. Bisa saja itu
seseorang yang mencari hewan
peliharaannya yang lepas. Jangan
berpikiran yang macam-macam. Kita hanya
berdua di rumah ini. Bibi tidak mau
perasaan takutmu yang tidak ada dasarnya
itu menjalar kepada bibi” ujar bibinya
dengan nada ketus sambil meneruskan
langkah.
Ratih pun cuma bisa menghela napaspanjang. Sambil melayangkan
pandangannya kembali ke regol.
Malam itu Ratih tertidur di biliknya. Ia harus
berbagi amben dengan salah seorang anak
perempuan bibinya yang masih kecil. Ratih
terbangun setelah mendengar derit pintu
pringgitan yang terbuka dan kemudian
samar-samar mendengar suara
percakapan di longkangan. engan
menajamkan telinga, Ratih bisa menangkap
beberapa suara lain.
“Itu suara bibi. Lalu bibi berbicara dengan
siapa? kenapa ada suara laki-laki?” gumam
Ratih dalam hati heran. Ia bangkit berdiri,merapikan sedikit pakaiannya dan
bergegas hendak keluar dari biliknya. Tepat
saat Ratih membuka pintu bilik, bibinya
justru sedang menutup pintu pringgitan.
“Bibi?” tanya heran Ratih. Wajah bibinya
tidak begitu jelas karena lampu dlupak di
ruangan itu menyala temaram. Tapi sekilas
Ratih bisa melihat wajah bibinya yang
cemas.
“He. Ratih kenapa kau terbangun?” tanya
bibinya segera.
“Bibi, aku seperti mendengar bibi berbicara
dengan seseorang “ kata Ratih.“Bukan bibi. Bibi justru mengintip keluar.
Bibi juga sepertinya mendengar orang
berbicara” ujar bibinya seraya menyelarak
pintu kembali. “Sudah, masuklah. Tidurlah
lagi” kata bibinya. Ratih pun hanya bisa
mengangguk dan kembali ke biliknya.
“Aneh. Aku yakin sekali itu suara bibi”
desis Ratih setelah duduk kembali di
amben. Ratih memutuskan untuk tidur
kembali. Berusaha melupakan kejadian
beberapa saat yang lalu itu.
Akan tetapi keheranan Ratih kembali
muncul keesokan paginya. Saat iamengambil sapu untuk menyapu halaman,
ia bisa melihat jejak kaki di sekitaran
longkangan. Jejak itu cukup besar dan
Ratih bisa menyakinkan diri bahwa jejak itu
adalah jejak kaki laki-laki. Apalagi sore
sebelumnya, Ratih telah menyapunya
dengan cara yang biasa ia lakukan,
sehingga tidak akan ada jejak kaki di tanah
yang disapunya. Kecuali seseorang
berkeliaran di sekitar longkangan di malam
harinya.
“Berarti benar, ada seseorang menemui
bibi tadi malam. Tapi siapa? kenapa bibi
membantah telah bertemu seseorang?
siapa orang itu?” gumam Ratih dalam hati.“Ah, mungkin tetangga bibi. Tapi kenapa
malam hari? dan bibi tidak mau
mengakui?”
Ratih menjadi geram karena hanya bisa
bertanya-tanya tanpa jawaban. Ia pun
hanya bisa menduga-duga, kemudian
menggelengkan kepala beberapa kali untuk
mengusir semua pertanyaan yang singgah
di kepalanya.
Bersambung ke Jilid 2
KEMELUT LEMBAH
MERAPI - MERBABU

Jilid 2

DALAM pada itu, malam mulai mendekati


wayah sepi uwong. Terdengar pintu bilik
yang ditempati Ki Rangga Agung Sedayu
diketuk dari luar. Ki Rangga Agung Sedayu
menarik napas penuh kelegaan.

“Pasti seorang abdi dalem yang akan


mengantarkanku ke batas Kotaraja”
gumam Ki Rangga setelah menelisik
langkah-langkah kaki yang terdengar wajar
dan tidak ada usaha untuk menyerap
berbagai bebunyian yang ditimbulkannya
sebelum pintu bilik itu diketuk.

“Ki Rangga Agung Sedayu” panggil orang


itu dari luar. Lalu tak berapa lama, terdegar
selarak dibuka, diikuti pintu yang dibuka
lebar. “Ki Rangga?”

“Ya. Ada apa?” tanya Ki rangga.


“Ki Rangga. Aku diminta Ki Patih untuk
mengantarkan Ki Rangga ke batas selatan
Kotaraja tanpa sepengetahuan siapa-pun”
kata abdi dalem yang berwajah bulat.
Wajahnya tampak masih cukup muda. Ia
mengangsurkan lipatan pakaian.

“Pakailah ini Ki Rangga, supaya penjaga


sedikit banyak tidak mengenalimu” katanya.
“Aku akan menunggu di luar” katanya
sambil meletakkan pakaian itu di meja kecil
di hadapan Ki Rangga Agung Sedayu.

Ki Rangga Agung Sedayu memperhatikan


sesaat pakaian yang disodorkan pelayan
dalem itu. Pakaian itu adalah pakaian
khusus ndalem kepatihan.

“Baiklah. Terima kasih” kata Ki Rangga


Agung Sedayu kemu-dian. Ia kemudian
merangkap pakaian itu dengan pakaiannya.
Mungkin nanti akan terasa tidak nyaman.
Tapi tidak mengapa karena malam mulai
larut dan udara akan menjadi lebih dingin.

Kemudian setelah merapikan pakaiannya,


Ki Rangga Agung Sedayu bergerak keluar
dari biliknya.

“Marilah Ki Rangga. Waktu kita agak


sempit. Ki Patih Mandaraka telah mengatur
para penjaga malam ini agar gerbang
selatan agak longgar penjagaannya. Kita
mesti bergegas” kata pelayan dalem itu
mempersilahkan Ki Rangga lebih dulu
berjalan.

Ki Rangga hanya mengangguk saja. Ia


mengikuti petunjuk pelayan dalem itu. Arah
langkah mereka menuju ke selatan. Di
gerbang kepatihan, mereka sempat disapa
oleh penjaga regol. Namun, dalam
keremangan malam, penjaga gerbang
kepatihan tidak menaruh curiga kepada
dua orang berpakaian abdi dalem melintas
dihadapannya. Gerak-gerik mereka wajar
dan tidak mencurigakan.
“Malam semakin larut. Bagaimana kau
akan kembali nanti?” tanya Ki Rangga
Agung Sedayu pada pelayan dalem yang
mengantarkannya.

“Aku hanya bertugas mengantarkan Ki


Rangga sampai padukuhan pertama di luar
gerbang kota. Setelahnya Ki Rangga dapat
mencari jalan sendiri” kata pelayan dalem
itu. “Lagipula, rumah tempat tinggalku
sebenarnya ada di padukuhan pertama itu”
sambungnya sambil tersenyum.

“O” jawab Ki Rangga pendek. Mereka


mendekati gerbang selatan kota setelah
berjalan beberapa lama melewati beberapa
persimpangan di dalam kota. Suasana
tidak begitu ramai meski mereka sempat
berpapasan dengan beberapa penduduk
Kotaraja yang masih memiliki urusan
dimalam hari.

Ki Rangga bertanya-tanya dalam hati,


bagaimana mereka bisa melewati gerbang
kota yang selalu dijaga sekelompok prajurit.
Tapi Ki Rangga Agung Sedayu percaya
pada Ki Patih Mandaraka. Seumur-umur ia
mengenal Ki Patih Mandaraka, Ki Patih
tidak pernah mengingkari janji. Apalagi
mencelakakan dirinya.

“Bagaimana jika seseorang nanti akan


menggantikan Ki Patih Mandaraka?
Akankah aku dapat mempercayai dan
dipercayai oleh penggantinya itu?” getar
batin Ki Rangga Agung Sedayu mengingat
berbagai peristiwa yang dialaminya
belakangan ini.

“Hukumanku sebenarnya masih cukup


ringan. Bahkan sekarang hukumanku
dikurangi seperti layaknya tahanan kota.
Aku hanya tidak boleh meninggalkan
Menoreh. Aku tidak bisa membayangkan
bagaimana hukumanku, jika bukan Ki Patih
Mandaraka yang menjabat” gumam Ki
Rangga Agung Sedayu dalam hati.
Mereka pun tiba di depan gerbang kotaraja
sebelah selatan yang lebih sepi. Pelayan
dalem yang menyertainya tiba-tiba terbatuk
-batuk saat tinggal beberapa langkah dari
pintu gerbang yang dijaga dua orang.

Kedua penjaga itu memandang sesaat


kepada pelayan dalem yang batuk itu. Lalu
kemudian keduanya mengangkat tangan
mereka menandakan keduanya boleh lewat.
Ki Rangga Agung Sedayu pun mengerti
bahwa batuk itu disengaja dan merupakan
isyarat yang disepakati dan telah diatur
oleh Ki Patih Mandaraka agar keduanya
bisa melalui gerbang itu tanpa ditanyai.
“Apakah penjaga gerbang itu tidak
bertanya-tanya dalam hati, kenapa
membiarkan kita lewat begitu saja?” tanya
Ki Rangga Agung Sedayu pada pelayan
dalem itu.

“Tidak Ki Rangga. Aku dan dua penjaga itu


sudah mendapat perintah langsung dari Ki
Patih. Keduanya tidak akan menduga siapa
yang telah kubawa. Perintah mereka adalah
membiarkan-ku lewat dengan temanku
malam ini dengan isyarat yang disepakati.
Jika itu perintah langsung Ki Patih,
pengawal-pengawal itu tidak akan ambil
pusing siapa dan kenapa mereka
diperintahkan begitu” kata pelayan dalem
itu.
Ki Rangga Agung Sedayu mengangguk
sambil menghela napas. Sebenarnya itu
sebuah perilaku yang terpuji dari para
prajurit. Mereka hanya mematuhi perintah
dan melaksanakan perintah sebaik-baiknya
tanpa perlu berpikir terlalu banyak.

Namun kemudian, Ki Rangga Agung


Sedayu bergidik ngeri. “Jika pemimpin
pengawal itu memerintahkan mereka untuk
membunuh, maka membunuhlah mereka,
tanpa perlu memper-tanyakan mengapa
seseorang pantas atau tidak untuk dibunuh.
Apakah semua itu tidak mengganggu
nurani mereka, meskipun paugeran
sekalipun tidak melarangnya?” desis Ki
Rangga Agung Sedayu dalam hati.

Hal-hal demikianlah yang kini banyak


melanda para pejabat dan pemimpin di
tanah ini. Haus kekuasaan dan harta
membuat mereka tega menggunakan
tangan-tangan orang lain untuk
memuaskan hawa nafsu mereka. Tidak
perduli bahwa kemudian orang-orangnya
sendirilah yang menanggung akibatnya.

“Ki Rangga, sepertinya sampai disinilah aku


mengantarkan Ki Rangga. Padukuhanku
ada di sebelah sana. Kita berpisah disini.
Selamat jalan Ki Rangga” ucap pelayan
dalam itu tiba-tiba setelah mereka
meninggalkan gerbang selatan kota cukup
jauh.

“Selamat malam. Terima kasih” kata Ki


Rangga Agung Sedayu. Pelayan dalem itu
berbelok ke arah padukuhan terdekat.
Sementara Ki Rangga akan menempuh
jalan berlawanan. Sesaat Ki Rangga Agung
Sedayu termangu. Tanah Perdikan
Menoreh sebenarnya tidak terlampau jauh
jika ditempuh dengan berkuda. Namun, jika
berjalan kaki dan harus memutar dari
gerbang selatan Kotaraja, perjalanan itu
tentu membutuhkan waktu tambahan.
“Sepertinya aku akan tiba di Menoreh
menjelang tengange. Seperti pesan Ki Patih,
aku harus menghindarkan diri dari
pengamatan orang. Aku sebaiknya tiba di
Menoreh saat keadaan gelap” gumam Ki
Rangga Agung Sedayu. Ia teringat pada
pakaiannya yang masih rangkap. Karena
merasa tidak membutuhkannya lagi, sambil
berjalan, Ki Rangga Agung Sedayu
membuka pakaian pemberian pelayan
dalam itu dan kemudian menggulungnya.
Buntalan pakaian itu kemudian ia ikat dan
ia sampirkan di bahu.

Ki Rangga Agung Sedayu kemudian


teringat kepada sebuah doa yang diajarkan
oleh Kanjeng Sunan untuk mempersingkat
perjalanan.
“Jika aku menggunakannya, perjalanan ke
Menoreh akan berlangsung dalam waktu
singkat” gumamnya. Tapi kemudian ia
segera menggeleng.

“Tidak. Aku tidak dalam keadaan terpaksa


atau terdesak. Hal-hal seperti itu sebaiknya
hanya digunakan dalam keadaan terdesak
atau sangat perlu” gumam Ki Rangga
Agung Sedayu berbicara pada dirinya
sendiri.

Ia kembali teringat teguran Ki Patih


Mandaraka soal ilmu bayangan semunya.
Beberapa kali saat berada dalam biliknya,
Ki Rangga Agung Sedayu sempat
berpikiran untuk menggunakan ilmu
bayangan semunya untuk mengetahui
keadaan dunia diluar. Ia bahkan sempat
tergelitik untuk menggunakan Aji
Pengangen-angen itu untuk menemui
keluarganya di Menoreh, menemui Sekar
Mirah dan menjelaskan sendiri keadaannya
pada istrinya itu.

“Untunglah aku tidak melakukannya. Sekar


Mirah tentu akan sangat terkejut
mendapati aku dalam bentuk semu” bisik
Ki Rangga Agung Sedayu dalam hati.

“Aku juga tidak boleh gegabah. Mungkin Ki


Patih akan bisa mengetahui jika aku
menggunakan Aji Pengangen-angen,
sehingga Ki Patih mungkin akan
menjatuhkan hukuman yang lebih berat lagi
karena aku telah melanggar sebuah
unggah-ungguh. Tidak seharusnya ilmu
yang sedemikian dahsyat aku gunakan
untuk mengangkangi sebuah paugeran
atau menyiasatinya” lanjutnya lagi dalam
hati.

Mendapati kesimpulan yang sedemikian, Ki


Rangga Agung Sedayu segera merasa
mantap dalam hati. Ia memilih berjalan
sedapat-dapatnya untuk mencapai
Menoreh secepat-cepatnya.
“Selama ini, aku juga sudah berjalan kaki
kemana-mana. Bahkan dari Sangkal
Putung hingga ke Menoreh saat Mataram
belum menjadi kotaraja seperti sekarang
ini”

Maka, seperti tidak ada yang sedang


memburunya, Ki Rangga Agung Sedayu
dengan mantap berjalan sendirian di antara
bulak panjang itu tanpa rasa takut dan
tergesa-gesa. Semuanya telah ia serahkan
kepada Yang Maha Agung penguasa alam
semesta.

“Jika aku sampai di Menoreh saat matahari


sudah meninggi. Aku akan menunggu
malam di hutan-hutan sekitaran Menoreh.
Baru setelah malam, aku akan memasuki
padukuhan-padukuhan di Menoreh” ungkap
Ki Rangga Agung Sedayu dengan suara hati
yang sangat tenang.

Perjalanannya di malam hari itu seakan


tidak terganggu hingga ia hampir sampai di
tepian Kali Praga yang lebar saat malam
mulai mendekati akhirnya. Saat mendekati
tepian itulah, Panggraita Ki Rangga yang
sangat tajam bisa merasakan ada
beberapa orang sedang berjalan mengarah
kepadanya. Ki Rangga tertegun sesaat. Ia
lalu berusaha mundur untuk
menghindarkan diri dari pertemuan dengan
orang lain.
Tapi gerakan Ki Rangga yang begitu hati-
hati ternyata sudah bisa diraba oleh
panggraita salah seorang yang berjalan ke
arahnya itu.

“Hei! Berhenti!” teriak orang yang paling


depan itu. Dengan kecepatan yang luar
biasa, lelaki yang berteriak itu melompat
dan berlari memburu kearah Ki Rangga.
Gerakannya begitu cekatan dalam
sekedipan mata.

“Luar biasa. Ia pasti berilmu tinggi.


Kecepatannya hampir tidak bisa dipercaya”
gumam Ki Rangga dalam hati melihat
pameran ilmu kanuragan yang di
pertontonkan orang yang belum dikenalnya
itu. Ki Rangga terpaksa berdiri diam dan
membiarkan orang itu bertolak pinggang
dihadapannya.

“Siapa kau!?” tanya orang yang bertubuh


tinggi dengan rambut mulai memutih
dihadapannya. Sementara seorang laki-laki
lain berlari mendekat dibelakangnya.

“Maaf. Siapakah kisanak?” tanya Ki Rangga


Agung Sedayu pula.

“He! akulah yang bertanya, kau yang


menjawab!” bentak lelaki itu dengan mata
membelalak. Bahkan di keremangan
malam itu, Ki Rangga Agung Sedayu seolah
-olah bisa melihat mata yang berkilat-kilat
memandangnya sambil melotot.

Ki Rangga Agung Sedayu hanya diam saja.


Ia mulai menimbang-nimbang keadaannya.
Bagaimanapun, ia tidak menyangka akan
bertemu beberapa orang di malam gelap
itu sehingga sebenarnya tadi
kewaspadaannya sedang berkurang.

“Jawab sekarang!” bentak lelaki itu lagi.

“Apa yang harus kujawab kisanak?” tanya


Ki Rangga Agung Sedayu.
“Setan! jawab pertanyaanku. Kau siapa!?
Kemana tujuan-mu!?” tanya lelaki itu
dengan membentak makin keras. Tangan-
nya bahkan menunjuk-nunjuk dada Ki
Rangga Agung Sedayu.

“Namaku Gupita. Aku berniat ke Matesih”


jawab Ki Rangga Agung Sedayu dengan
suara tenang dan datar.

“Hee. Matesih di Gunung Tidar? Keberanian


apa yang mendorongmu berjalan sendirian
di malam hari sedemikian jauh. Kau tidak
takut mati?” tanya lelaki itu lagi.
“Kisanak. Aku berusaha mencapai Matesih
sebelum matahari terbenam nanti.
Sehingga aku berangkat saat jauh malam”
kata Ki Rangga Agung Sedayu. “Lagipula.
Mataram kurasa cukup aman belakangan
ini. Aku tidak perlu takut terjadi apa-apa”

Lelaki tinggi berambut mulai putih itu


tertawa dengan gaya yang memuakkan.
Sementara temannya ikut tertawa pula.

“He. Dengar Gupita. Saat ini kami mencari


seseorang disepanjang kali Praga ini.
Siapapun yang berjalan di sekitaran kali
Praga ini harus kami amat-amati, jika perlu
akan kami cegat dan kami tanyai”
“Kisanak. Apakah kalian prajurit Mataram?
bukankah hanya prajurit Mataram atau
pengawal padukuhan yang berhak
memberhentikan dan menanyai orang yang
akan memasuki wilayahnya?”

“Persetan dengan mereka. Kami juga


berhak. Di tempat ini, prajurit Mataram
tidak berkuasa. Kamilah yang berkuasa.
Nah, mendekatlah. Aku merasa wajahmu
memiliki ciri-ciri sebagai-mana orang yang
kami cari”

Ki Rangga Agung Sedayu terkejut


mendengarnya. Sehingga ia berusaha
bertanya lebih lanjut untuk bisa mengorek
keterangan orang itu.

“Sebenarnya siapa yang kau cari kisanak?


Aku hanya seorang penggembala di
padukuhanku. Aku merasa tidak pernah
mengenal kalian”

“Kami mencari seorang prajurit Mataram


yang sudah mencoreng kehormatan
kadipaten kami!”

Kata-kata orang itu sangat mengejutkan Ki


Rangga Agung Sedayu. Ia menghela napas
dan mengeluh secara diam-diam. Segera
gambaran permusuhan yang sudah
diketahuinya itu terpampang makin jelas
dihadapannya.

“Apakah mereka mencari aku? Apakah


mereka ini orang-orang Panaraga? Berapa
banyak diantara mereka yang berkeliaran di
sekitaran Menoreh menungguku?”
keluhnya dengan nada suram di dalam
hatinya.

Seorang teman lelaki itu kemudian

mengeluarkan sebuah lipatan kain dari

kantong pinggangnya. Ia

membentangkannya sesaat dan kemudian

menunjukkannya pada Ki Rangga Agung

Sedayu. Dikeremangan malam itu, kening


Ki Rangga Agung Sedayu berkerut
memandang isi lembaran kain itu. Di kain
itu ternyata terlukis sebuah wajah.

“Gila!” gumam Ki Rangga Agung Sedayu


dalam hati menyadari wajah siapa orang
yang ada dalam lukisan itu. Ki Rangga
Agung Sedayu sama sekali tak menyangka
bahwa orang-orang Panaraga bahkan
membawa lukisan wajah dirinya sebagai
bekal untuk menemukan dirinya.

“He. Aku rasa kau orangnya. Ciri-cirimu


sangat mirip dengan gambar wajah yang
kami miliki ini!” kata orang itu sambil
menunjukkan lukisan wajah itu kepada Ki
Rangga Agung Sedayu.

“Apakah kau yakin kisanak. Lukisan itu


dibuat oleh seseorang. Apakah ia pernah
melihat orang yang kaucari itu? Bagaimana
bisa ia menggambar orang itu jika tidak
pernah bertemu?” tanya Ki Rangga Agung
Sedayu berusaha mengulur waktu.

Laki-laki itu tertegun sesaat. Ia kembali


berpikir dan sesaat membenarkan kata-
kata orang yang mengaku bernama Gupita
itu. Dalam keremangan malam itu, memang
agak sulit meng-amati ciri-ciri seseorang.
Tapi bagaimanapun, ia memiliki kecurigaan
pada orang yang berani sendirian berjalan
di malam hari ini.

“Tidak mungkin seseorang berani berjalan


sendirian di malam hari kalau ia tidak
punya kelebihan-kelebihan. Dan orang yang
bernama Agung Sedayu itu kabarnya justru
memiliki setumpuk kelebihan” gumam
lelaki itu dalam hati. Menyadari hal itu, ia
segera membentak.

“Gupita, kau bisa mengelak dengan seribu


alasan. Namun ada satu yang tidak
mungkin kau samarkan, jika kau adalah Ki
Rangga Agung Sedayu yang sedang kami
cari itu” kata orang itu dengan tangan
bergetar menunjuk Ki Rangga Agung
Sedayu. “Kami juga mengetahui segala
ilmu yang ditumpuk dalam diri orang itu.
Kami tidak takut, aku akan memaksamu
mengeluarkan segala kemampuanmu,
sehingga ilmu-ilmumu itu akan
mengatakan siapa kau sebenarnya!”

Bergetar hati Ki Rangga Agung Sedayu


mendengarnya. Jika sedemikian
terperincinya berbagai hal dalam dirinya
telah diketahui oleh orang-orang Panaraga,
tentu akan sulit sekali bagi dirinya untuk
mengelakkan diri dari sebuah perkelahian.
Ia harus benar-benar menghindarkan diri
dari bertemu orang-orang yang tidak
dikenalnya, dimanapun ia berada.
Selama Ki Rangga Agung Sedayu masih
berpikir, orang yang bertubuh tinggi itu
sudah memasang kuda-kuda.

“Bersiaplah Gupita!” serunya. Sejenak


kemudian, Lelaki bertubuh tinggi itu sudah
bersiap menerjang Ki Rangga Agung
Sedayu.

“Tunggu dulu kisanak!” seru Ki Rangga


Agung Sedayu sambil bergerak mundur
selangkah. Tapi kawan orang yang
bertubuh tinggi dan berambut putih itu
sejak tadi sudah bergeser ke belakangnya.

“Apalagi yang mesti kutunggu!?” geram


orang itu.

“Aku tidak ingin berkelahi. Aku yakin, ada


kesalahpahaman disini” kata Ki Rangga
Agung Sedayu masih berusaha mengulur
waktu.

“Bukan urusanku! aku akan menghajarmu


sampai kau mengeluarkan seluruh
kemampuanmu. Dengan begitu, aku baru
bisa yakin, kau bukan orang yang kami cari.
Wajahmu cukup mirip dengan lukisan yang
kami bawa ini. Sebenarnya itu saja sudah
cukup buat kami untuk menangkapmu!
Bersiaplah Gupita!”
Sambil berbicara, lelaki tinggi itu sudah
melepaskan tendangan ke arah pinggang
Ki Rangga Agung Sedayu. Ki Rangga
terpaksa menghindar. Ia menjadi ragu-ragu
untuk menghadapi serangan itu. Akibatnya
tendangan lelaki itu mengenai bajunya
hingga terkoyak sedikit di bagian
pinggangnya.

Lelaki bertubuh tinggi itu terus


mengirimkan serangan dengan tata gerak
yang tatag. Ia sama sekali tidak memulai
dari tataran dasar. Namun langsung ke
tataran yang cukup tinggi sehingga
menyulitkan Ki Rangga untuk tidak
mengeluarkan kemampuan-nya yang
sebanding. Sekejap saja ia ragu-ragu
seperti serangan pertama tadi, Ki Rangga
Agung Sedayu bisa celaka.

“Bagaimana aku menghadapi orang ini?


Jika aku meng-gunakan tata gerak yang
selama ini aku gunakan, tentu ia akan
segera mengetahui ciri-ciri utama tata
gerak perguruan bercambuk yang telah
luluh dalam diriku bersama tata gerak
lainnya. Aku khawatir, ia sudah
mengetahuinya” keluh Ki Rangga Agung
Sedayu dalam hatinya sambil terus
berlompatan kesana kemari menghindar.
Gerakannya menjadi kaku sehingga terlihat
seperti seseorang yang baru belajar
kanuragan.
“He! lawan aku! jangan melompat-lompat
saja. Kau tidak akan bisa lari!” bentak
orang itu seraya mengejar kemanapun Ki
Rangga Agung Sedayu menghindar.

Sambil terus menghindar, Ki Rangga Agung


Sedayu berusaha memikirkan sebuah cara
untuk melawan orang itu. Akhirya sebuah
gagasan muncul di kepalanya.

“Aku akan menggunakan tata gerak murni


dari jalur ilmu ayahku. Tata gerak itu sudah
jarang aku gunakan” desis Ki Rangga
Agung Sedayu. Dengan cepat, ia mundur
dari serangan lelaki tinggi itu, dan
kemudian dengan tatag mulai memberikan
perlawanan dengan tangkisan terhadap
serangan lawannya. Ki Rangga Agung
Sedayu mulai membenturkan bagian-
bagian tubuhnya untuk menahan serangan
lawannya.

Lelaki itu justru tertawa-tawa mendapati Ki


Rangga Agung Sedayu mulai menggunakan
sebuah tata gerak untuk melawannya.
“Baguus! baguus Gupita! Akan kulihat
sampai dimana kemampuanmu. Kalau kau
ternyata bukan orang yang kucari itu,
nasibmu akan buruk sekali, jika ternyata
kemampuanmu justru ada dibawahku, kau
akan kubuat cacat!” katanya dengan suara
mengejek.
Ki Rangga Agung Sedayu tidak menjawab.
Keadaan akan sama saja baginya melawan
ataupun tidak. Dengan mengerahkan
tenaga ia terus mendorong kemampuan
tata gerak dari jalur ilmu Ki Sadewa yang
awalnya menjadi andalannya sebelum
menjadi murid dari perguruan Orang
Bercambuk. Selama ini, tata gerak itu
sudah luruh ke dalam tata gerak ilmu
perguruan orang bercambuk.

Namun, Ki Rangga bukanlah orang


sembarangan. Kemampuan berpikir dan
kemampuannya memilah-milah jalur
perguruan sulit ditandingi. Sehingga
meskipun harus menggunakan satu jalur
sebuah ilmu perguruan saja, Ki Rangga
Agung Sedayu tetaplah seorang yang
tangguh tanggon dan sulit dikalahkan.

Lelaki bertubuh tinggi itupun mulai

mengerutkan dahi. Ia memang tidak pernah

bertemu orang yang dicarinya itu. Apalagi

mengenal tata geraknya dengan baik.

Hanya saja, pengetahuan tentang

kemampuan Ki Rangga Agung Sedayu ia

dapatkan dari para telik sandi Panaraga

yang selama ini telah menyusup diantara

prajurit-prajurit Mataram, selama

pergolakan yang pernah terjadi beberapa

kali antara Mataram dan Panaraga.

Orang yang disebut Ki Tumenggung itu


sudah mengumpulkan banyak keterangan
tentang kemampuan orang-orang Mataram,
prajurit-prajuritnya dan pendukung-
pendukungnya sejak membuka hutan
Mentaok. Karena itu, ciri-ciri perguruan
Orang Bercambuk, lengkap dengan ciri tata
geraknya telah banyak ia ketahui, meski
hanya dari rangkaian cerita-cerita saja.Tapi
memang cukup sulit juga baginya untuk
meraba apakah orang yang mengaku
bernama Gupita itu benar Agung Sedayu
hanya melalui tata geraknya saja.

“Aku belum pernah melihat tata gerak ini.


Ciri-cirinya berbeda dengan keterangan Ki
Tumenggung Bintarawaja. Tapi, aku masih
menaruh curiga padanya. Wajahnya mirip
sekali dengan lukisan itu” geramnya dalam
hati.

“Aku akan memaksanya hingga batas


tertinggi kemampuannya! Siapa tahu, ilmu-
ilmu ngayawara yang katanya dikuasai oleh
orang bernama Agung Sedayu itu akan
dikeluarkan oleh orang yang mengaku
bernama Gupita ini”

Serangan lawan Ki Rangga Agung Sedayu


pun mulai membadai. Ki Rangga Agung
Sedayu harus semakin berhati-hati. Bukan
cuma berhati-hati terhadap serangan lawan,
tetapi juga berhati-hati agar ia tidak
menunjukkan tata gerak dan ciri-ciri dari
jalur ilmu perguruan Orang Bercambuk. Hal
itu menjadikannya ragu-ragu dalam
menentukan sikap setiap lawannya
menyerang atau bertahan. Ki Rangga
Agung Sedayu tidak bisa segera
memanfaatkan celah-celah yang dirasakan
bisa digunakan untuk mendesak
pertahanan lawan.

Ki Rangga Agung Sedayu tidak perlu waktu


lama untuk menyusuri kembali ingatannya
tentang tata gerak ilmu dari jalur ayahnya
itu. Ia pernah melakukan pemisahan tata
gerak itu dihadapan gurunya dan Ki
Waskita saat sama-sama sedang
membangun padepokannya di Jati Anom.
Karena itu, semakin lama ia bertempur, ciri-
ciri tata gerak jalur ilmu Ki Sadewa terasa
semakin rancak dan semakin tajam
menekan lawannya itu.

“Gila! Gila! Dari perguruan mana orang ini


menyadap ilmu?” gerutu lawan Ki Rangga
Agung Sedayu menyadari tekanan padanya
semakin membadai pula. “Pertahanannya
sangat rapat. Aku tidak melihat ada celah
sedikit pun!”

Karena itu, orang yang menyerang Ki


Rangga kemudian melompat mundur
sesaat dan mempersiapkan kuda-kudanya
lagi. Ki Rangga Agung Sedayu tidak
menyerang. Ia tetap berdiri tegak
dihadapan lawannya itu.

“Bagus sekali Gupita. Sebut nama


perguruanmu!” kata orang itu.

“Aku tidak memiliki perguruan” jawab Ki


Rangga masih mengawasi keadaan. Kawan
dari lawannya itu justru termangu-mangu di
dekat mereka.

“Lalu dari mana kau mendapatkan ilmu


kanuragan?”

“Tentu dari guruku” jawab Ki Rangga


dengan jujur.
“Sebut nama gurumu!”

Ki Rangga menghela napas sesaat sebelum


menjawab. Ia hampir saja menyebut nama
ayahnya. Tapi kemudian, ia berpikir untuk
berbohong saja. Karena Ki Rangga Agung
Sedayu curiga bahwa sedemikian
terperincinya orang-orang Panaraga itu
mengetahui asal usulnya sehingga ada
kemungkinan nama ayahnya pun telah
diketahui oleh mereka pula.

Tapi, ia kemudian menyadari bahwa


ayahnya bukanlah seorang tokoh yang
terkenal. Ayahnya bukanlah ahli kanuragan
yang malang melintang di dunia kanuragan
meski memiliki ilmu yang tinggi. Namun,
untuk menghindari kemungkinan sekecil
apapun, Ki Rangga tidak jadi menyebut
nama ayahnya.

“Guruku bernama Ki Tanu Metir” jawab Ki


Rangga Agung Sedayu tanpa ragu,
sekaligus tidak berbohong.

Kening lelaki itu berkerut mencoba


mengingat-ingat. Tapi nama Ki Tanu Mentir
itu ternyata tidak berarti apa-apapun
baginya. Dalam perkiraannya, Ki Tanu Metir
hanyalah seorang ahli kanuragan biasa
yang mungkin seorang bekas prajurit.
“Aku tidak mengenalnya. Tapi kurasa ia
cukup baik membimbingmu. Baiklah, aku
ingin tahu lebih dalam kemam-puan Gupita,
murid dari Ki Tanu Mentir!” seru orang itu
sambil bergerak mendekati Ki Rangga
Agung Sedayu dengan kecepatan tinggi
dan menyerang kepala Ki Rangga dengan
tebasan sisi telapak tangan ke arah leher.

Ki Rangga Agung Sedayu menghindarinya


dengan meng-angkat sikunya sambil
merendahkan badannya. Tebasan itu lewat
dari atas kepalanya, diatas siku Ki Rangga
agar menutup kemungkinan berbelok ke
arah tubuhnya. Itu merupakan upaya
pertahanan ganda yang memastikan tidak
ada celah, tebasan tangan itu dapat saja
tiba-tiba berubah arah dan mengenai
kepalanya.

Serangan orang bertubuh tinggi dan


berambut memutih itupun terus melanda Ki
Rangga Agung Sedayu. Jalur perguruan Ki
Sadewa memiliki pertahanan yang rapat
dan tangguh tanggon. Orang yang
berambut putih itu masih kesulitan
memecahkannya. Bahkan ia mulai menukik
ke tenaga cadangannya untuk dapat
menekan pertahanan Ki Rangga dengan
demikian kerasnya.

Benturan demi benturan pun mulai


menggetarkan pertahanan Ki Rangga. Ki

Rangga Agung Sedayu terus menahan

gempuran itu tanpa pernah melepaskan

kewaspadaannya untuk tidak

menggunakan jalur ilmu orang bercambuk.

“Jika orang ini terus memaksakan


kehendaknya, lama kelamaan kami pasti
harus mengadu senjata” pikir Ki Rangga
dengan gelisah.

Ia hanya memiliki dua senjata di tangannya.


Cambuk yang melilit di dalam bajunya dan
keris di punggungnya. Melihat pedang
panjang yang berada di pinggang lawannya,
Ki Rangga sudah merasa bakal ada
kesulitan cukup besar baginya jika harus
melawan orang itu hanya dengan
menggunakan kerisnya. Apalagi, ia tidak
bisa menggunakan tata gerak yang sudah
biasa ia gunakan. Ia juga tidak mungkin
menggunakan cambuknya karena justru
itulah ciri utama murid perguruan
bercambuk. Jika ia menggunakannya, jelas
jatidirinya akan terbongkar begitu saja.

“Aku harus menyelesaikan orang ini


secepatnya sebelum ia menarik
senjatanya” desis Ki Rangga dalam hati.
“Tapi bagai-mana caranya?”

Sementara serangan orang yang bertubuh


tinggi itu semakin membadai. Putaran demi
putaran tubuhnya menerpa pertahanan Ki
Rangga Agung Sedayu dengan dahsyat.
Tenaga cadangannya begitu besar
sehingga Ki Rangga sesekali terdesak
mundur. Namun, pertahanan rapat dari
jalur ilmu Ki Sadewa masih mampu
menahan dan menutupi celah-celah yang
berusaha dibuka oleh lawannya itu.

“Cepat atau lambat kau akan menyerah


Gupita!” teriak orang itu demi melihat Ki
Rangga mulai kesulitan menahan
gempurannya yang sangat dahsyat itu.

Setiap gempuran mulai menyakiti tubuh Ki


Rangga meskipun itu adalah benturan

terhadap pertahanannya. Ki Rangga

memiliki tenaga cadangan yang sangat

mumpuni. Namun untuk

mengungkapkannya, ia harus memasuki

jalur ilmu perguruan bercambuk.

Bagaimanapun, jalur ilmu Ki Sadewa yang

sudah lama tidak dikembangkannya lebih

dalam, ada batasnya dalam

mengungkapkan tenaga cadangannya

untuk saat ini.

Perlahan namun pasti, dalam jalur ilmu Ki


Sadewa, Ki Rangga Agung Sedayu mulai
kewalahan menahan tekanan lawannya itu
yang jelas ada selapis diatasnya. Ki Rangga
juga tidak mungkin bisa mengetrapkan
ilmu kebalnya, ilmu kebal itu seolah-olah
sudah menjadi cirinya pula dan tentu sudah
cukup diketahui oleh banyak orang.

Mau tidak mau, Ki Rangga Agung Sedayu


harus memutar otaknya lebih dalam agar
dapat memikirkan cara lain. Pikirannya tiba
-tiba terbuka, seolah-olah ada cahaya
terang yang menerangi kepalanya.

“Ilmu Goa Langse!” desis Ki Rangga dalam


hati, “Ya. Ilmu itu baru aku pelajari. Tentu
belum ada yang tahu”

Tapi keraguan kembali menerpa benaknya


kembali. Ilmu Goa Langse belumlah ia
kenali sifatnya secara mendalam. Bahkan
Ki Rangga belum mempelajarinya dengan
seksama meski ia sudah memahami
seluruh dasar-dasarnya dan kemungkinan
pengungkapannya. Sebuah ilmu yang
belum dikenali baginya seperti memegang
pisau dalam keadaan mata tertutup. Ia
mungkin bisa melukai orang lain, melukai
diri sendiri atau bahkan tidak terjadi apa-
apa.

Namun dalam keadaan mulai terdesak itu,


Ki Rangga Agung Sedayu tidak punya
pilihan lain selain mencoba
mengungkapkan ilmu Goa Langse yang
masih dangkal di ketahuinya itu. Tanpa
ilmu kebal, Ki Rangga Agung Sedayu
merasa rentan dan mudah dilukai. Ia
menyadari itu merupakan sifat yang kerdil,
namun sebagaimana manusia, tentu tidak
ingin dilukai oleh lawan-lawannya apalagi
di dalam pertempuran yang bisa
mengakibatkan kematian pula.

Berbekal kemampuannya yang sangat


tinggi, seraya berniat menyerahkan segala
hasil kepada Sang Penguasa Alam
Semesta, Ki Rangga Agung Sedayu
melompat mundur sesaat, untuk kemudian
menerjang maju kembali. Hanya butuh
sesaat bagi Ki Rangga Agung Sedayu untuk
mulai memasuki jalur ilmu Goa Langse
yang baru dipelajarinya, beserta seluruh
tata geraknya.
“Hee!?” seru terkejut lawannya melihat
orang yang mengaku bernama Gupita itu
tiba-tiba mengubah seluruh unsur
gerakannya dalam sekejap mata. Tata
geraknya menjadi berubah sama sekali dari
sebelumnya.

“Gila! ia memiliki simpanan lain!” desisnya.

“Kau sudah putus asa Gupita?” seru lawan


Ki Rangga Agung Sedayu, sesaat setelah Ki
Rangga Agung Sedayu sudah merombak
seluruh gerakannya sehingga sama sekali
tidak lagi menunjukkan ciri-ciri dari jalur
ilmu yang tadi ia gunakan.
Sementara kawan dari lelaki yang bertubuh
tinggi itu ada diluar gelanggang, sehingga
mampu mengamati lebih cermat gerakan
Gupita.

“Luar biasa. Ia bisa menunjukkan ciri yang


lain. Itu pasti bukan pengembangan ilmu
dari jalur sebelumnya. Jangan-jangan,
orang yang mengaku bernama Gupita itu
sangat pintar. Ia bisa menguasai banyak
ilmu dari perguruan berbeda” desis orang
itu dengan jantung mulai berdebaran.

Benturan demi benturan kembali terjadi.


Ilmu perguruan Goa Langse mulai
menampakkan wujudnya. Meski Ki Rangga
Agung Sedayu terpaksa menggunakannya
dan harus mengenali sifatnya hanya
dengan rabaan batinnya, namun itu hanya
membutuhkan waktu kurang dari beberapa
kejap saja. Tubuh Ki Rangga Agung Sedayu
kini mulai terasa ringan dalam bergerak.
Setiap benturan telah mengejutkan
lawannya yang bertubuh tinggi itu.

“Gila! Gila! tubuhnya terasa ringan seperti


kapas!” teriaknya tanpa sadar.

Sementara itu, semburat merah mulai


nampak di ufuk timur. Ki Rangga Agung
Sedayu sadar, waktunya sudah sangat
sempit. Sebentar lagi fajar menjelang dan
ia tidak seharusnya berada ditempat yang
mungkin dilalui orang.

“Apa boleh buat! meskipun aku belum bisa

mengenali seluruhnya sifat-sifat ilmu Goa

Langse, keadaan memaksaku

menggunakannya!” desis Ki Rangga Agung

Sedayu dalam hati. “Aku harus cepat

melumpuhkannya!”

Pada suatu kesempatan benturan, Ki

Rangga Agung Sedayu berhasil

menggerakkan tangannya untuk

mencengkeram lengan lawannya dan

segera menarik tenaga cadangan lawannya


itu dengan segenap kekuatan yang bisa
dikenalinya dalam jalur ilmu Goa Langse
yang sedang dipergunakannya itu.

Terdengar jeritan lawannya itu. Matanya


terbelalak merasakan tubuhnya membeku.
Tangan yang telah dicengkeram oleh
Gupita itu tiba-tiba terasa dingin dan
nadinya berdenyut kencang. Jantungnya
pun ikut berdebar-debar tidak karuan.

Sadarlah ia, bahwa tenaga cadangannya


sedang disedot ke tubuh orang yang
mengaku bernama Gupita itu.

“Ilmu…ilmu iblis!” desisnya ngeri seraya


tubuhnya perlahan-lahan gemetar tidak
bisa melawan tarikan tenaga cadangannya
sendiri, yang mengalir keluar dari tubuhnya
menuju tubuh lawannya. Ilmu Goa Langse
telah membekukan segenap gerakan yang
mungkin ia lakukan untuk melawan
pengaruh dari ilmu tersebut.

Ki Rangga Agung Sedayu ternyata masih


belum terlalu mengenali sifat ilmu Goa
Langse itu. Tiba-tiba jantungnya mulai ikut
berdebar-debar pula. Tenaga cadangan
yang ditarik dari lawannya ternyata mulai
mempengaruhi aliran nadi yang mengarah
ke jantungnya. Sekuat tenaga, Ki Rangga
berusaha membagi tenaga cadangan besar
yang mulai memenuhi seluruh urat-urat
nadinya itu agar tidak semuanya menuju
pembuluh darah yang menuju jantungnya.

“Kakang!” teriak kawan orang yang


bertubuh tinggi itu, melihat saudaranya
dalam kesulitan. Sadar bahwa keadaan itu
bisa mengancam jiwa saudaranya, lelaki
kedua itu mencabut senjatanya dan
melompat tinggi hendak membelah tubuh
Ki Rangga Agung Sedayu yang sama-sama
tidak bergerak selama menarik tenaga
cadangan yang ada di dalam tubuh orang
yang bertubuh tinggi itu.

“Lepaskan dia!” teriak orang itu seraya


melompat hendak menebas kepala Agung
Sedayu.

Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang


berjuang meredam tenaga cadangan yang
begitu besar memasuki tubuhnya
mendengar teriakan itu. Ia sempat menoleh
melihat serangan kawan dari lawannya itu.

Posisi Ki Rangga Agung Sedayu cukup sulit.


Tubuhnya sedang bergolak berusaha
membagi tenaga cadangan yang memasuki
tubuhnya. Jika ia melepaskan lawannya
sekarang untuk menghindari serangan itu,
ada kemungkinan lawannya itu masih
memiliki kekuatan untuk menyerangnya
dalam jarak dekat.
Namun jika serangan itu tidak dihindari,
tubuhnya bisa terbelah dua karena Ki
Rangga Agung Sedayu tidak bisa
mengetrapkan ilmu kebalnya saat itu.

Dalam waktu kejapan mata itu pula, otak Ki


Rangga Agung Sedayu yang begitu
cemerlang tiba-tiba mengingat sebuah
halaman dari kitab Goa Langse. Sebuah
petunjuk yang saat ini belum diresapinya
masak-masak karena merasa belum perlu
dipelajarinya.

Namun dalam hitungan sekejap itu,


petunjuk runut di halaman itu begitu
berguna bagi Ki Rangga Agung Sedayu.
Tanpa keraguan sedikitpun, ia
mengembangkan sebelah tangannya ke
arah lawannya yang melompat hendak
menebas kepalanya.

Sesuai petunjuk dari kitab itu, disertai


kemampuan Ki Rangga Agung Sedayu yang
begitu tinggi dalam mencerna sebuah
petunjuk penggunaan ilmu jaya kawijayan,
tenaga cadangan yang sedang ia tarik
dengan tangan kanannya dari tubuh
lawannya yang bertubuh tinggi, kini
mengalir keluar melalui tangan kirinya yang
mengembang beserta kelima jari-jari
tangannya.
Serangkum hawa dingin kemudian
menerpa tubuh orang kedua yang sedang
melompat diudara itu. Tubuhnya tiba-tiba
oleng. Pikirannya jadi membeku. Orang
kedua yang seharusnya mendarat dengan
kaki itu, justru ambruk ke tanah seperti
buah kelapa yang jatuh dari pohonnya
dalam keadaan tergolek pingsan tanpa
pernah bisa menyentuhkan ujung
pedangnya ke tubuh Ki Rangga Agung
Sedayu.

Orang yang bertubuh tinggi itu terbelalak


sesaat melihat saudaranya terjerembab ke
tanah tidak bergerak lagi. Sementara ia
sendiri perlahan-lahan jatuh dengan
lututnya dan terkulai lemas, saat tenaga
cadangannya telah terserap habis masuk
kedalam tubuh Ki Rangga Agung Sedayu.

“Iblis. Ilmu iblis!’ desis terakhir orang itu


sebelum tubuhnya berdebam ke tanah dan
pingsan kehabisan tenaga.

Ki Rangga Agung Sedayu sendiri kemudian


melepaskan tangan orang yang sudah
pingsan itu, seraya melepaskan pemusatan
nalar budinya. Bersamaan dengan itu, tiba-
tiba ia ikut terhuyung-huyung dan jatuh
berlutut ke depan sambil bertelekan pada
tangannya. Kepalanya seperti berputar-
putar dengan jantung berdebaran keras.
Matanya juga ikut berkunang-kunang.
Dengan segera Ki Rangga berusaha duduk
bersila untuk menenangkan seluruh aliran
tenaganya yang kacau akibat menyedot
terlalu banyak tenaga cadangan dari yang
bisa disimpan di dalam tubuhnya. Dalam
pemusatan nalar budinya itu, Ki Rangga
bisa menenangkan kembali peredaran
darah dan aliran tenaga yang terasa
meledak-ledak di rongga dadanya.

Tidak memakan waktu lama,

keseimbangan kembali tercapai. Ki Rangga

Agung Sedayu membuka matanya dan

mengawasi sekelilingnya. Kedua orang itu

masih tergolek pingsan. Namun, matahari

mulai menampakkan cahayanya. Ki Rangga


Agung Sedayu tidak bisa berada di tempat
itu lebih lama lagi.

“Aku harus segera menyingkir” ucap Ki


Rangga dalam hati. “Biarlah mereka
terbangun sendiri”.

Perlahan-lahan ia berdiri, lalu dengan


langkah cepat meninggalkan tempat itu.

Saat bergerak menyingkir itulah, Ki Rangga


Agung Sedayu merasakan perbedaan pada
tubuhnya. Ia terus bergerak lebih cepat
sambil berpikir-pikir. Gerakannya menjadi
lebih ringan dan bertenaga. Tubuhnya
menjadi lebih segar pula seolah-olah ia
belum bertarung sebelumnya. Ia segera
sadar apa yang terjadi.

“Ilmu Goa Langse itu sangat dahsyat.


Tenaga cadangan yang kusedot dari
lawanku mampu lebih menyegarkan
tubuhku” bisik Ki Rangga Agung Sedayu
dalam hati.

“Ini bisa membuka berbagai kemungkinan


dalam pemanfaat-annya di kemudian hari.
Terutama untuk menyembuhkan luka
dalam akibat benturan sebuah ilmu”
desahnya lagi di dalam hati.

“Pantas saja, Maharsi tampak masih segar


diusianya yang sangat renta. Ia tentu telah
memanfaatkan tenaga cadangan lawannya
untuk menyegarkan tubuhnya”

Tiba-tiba langkah Ki Rangga melambat, ia


seperti memikirkan sesuatu “Tapi disisi
lain, ilmu Goa Langse ini juga memiliki sifat
yang mengerikan! Jika digunakan oleh
orang-orang yang berjiwa kerdil, ilmu ini
seperti ilmu iblis. Menyedot tenaga
cadangan lawan untuk menyiksa
seseorang sampai mati! kematiannya pasti
akan jauh lebih mengerikan!”

“Seperti Anggara dulu saat melawan


Glagah Putih. Jangan-jangan, Anggara
berniat mengambil tenaga cadangan
Glagah Putih untuk dirinya sendiri. Ilmu
dari perguruan Goa Langse ini ibarat pisau,
jika digunakan untuk kebaikan, ia bisa
menyembuhkan. Namun jika digunakan
untuk kejahatan, hasilnya sungguh
mengerikan!” desis kata hati Ki Rangga
dengan tubuh bergidik.

Ia mulai bisa memahami sfat-sifat ilmu


Goa Langse yang telah dititipkan
kepadanya untuk diteruskan kepada orang
lain di kemudian hari.

“Aku harus hati-hati. Jangan sampai ilmu


ini jatuh ke tangan orang yang salah”
gumam Ki Rangga lagi sambil menarik
napas panjang. Ia merasakan beban
pewarisan ilmu Goa Langse justru menjadi
lebih berat dari sebelumnya.

Ki Rangga Agung Sedayu terus berjalan


cepat dengan penuh kehati-hatian. Tidak
mau menanggung resiko, ia mengetrapkan
kemampuannya untuk menyerap segala
bunyi yang ditimbulkan seraya
menajamkan seluruh panca inderanya agar
tidak lagi terjebak atau bersilang jalan
dengan orang lain.

Tidak berapa lama ia mencapai tepian kali


Praga. Ki Rangga Agung Sedayu menjadi
tertegun. Ia harus segera menyeberang,
sementara tidak ada seorang pun tukang
satang disana.

“Aku juga tidak boleh bertemu orang lain


saat ini. Bagaimana caranya aku
menyeberang?” keluhnya dengan bingung
seraya memandangi beberapa rakit kosong
yang ada dihadapannya dalam keadaan
ditambat.

“Ah. Kenapa aku bodoh sekali!” gumam Ki


Rangga Agung Sedayu sambil tersenyum
kecut dan menggaruk kepalanya. Sesaat
sebelumnya, ia seperti orang yang
kehilangan akal akibat bingung tentang
bagaimana caranya akan menyeberang.

“Aku bawa saja rakit ini ke seberang.


Bukankah itu mudah saja. Aku juga tidak
mencurinya bukan. Aku hanya meminjam
rakit ini ke seberang”

Karena itu, Ki Rangga Agung Sedayu


membuka tambatan rakit dan mendorong
rakit itu ke tengah dengan bambu panjang.
Meskipun bukan seorang tukang satang
dan beberapa kali sempat mengalami
kesulitan cukup mendebarkan saat
ditengah aliran kali praga yang deras, Ki
Rangga Agung Sedayu bisa tiba ke
seberang.
“Ternyata tidak mudah pula menjadi tukang
satang” ujarnya dalam hati dengan geli
seraya menambatkan kembali rakit itu. Tak
lupa ia meletakkan sedikit upah di lantai
rakit, sebagai imbalan bagi pemilik rakit
atas pinjaman rakitnya.

Setelah itu, Ki Rangga bergegas menuju


kerimbunan hutan yang ada di sekitaran
tanggul kali Praga. Ia berniat akan
menghabiskan siang disana menunggu
malam tiba sebelum memasuki padukuhan
-padukuhan Menoreh.

“Tempat yang tepat untuk bisa meresapi


dan mengurai lebih jauh lagi ilmu dari Goa
Langse” gumam Ki Rangga Agung Sedayu
seraya terus berjalan memasuki pepatnya
hutan.

*****

Pagi yang cerah di tanah Perdikan Menoreh.


Beberapa petani terlihat bergegas
mengejar waktu untuk menggarap
tanahnya yang menunggu. Mungkin
mereka terlalu nyenyak tidur tadi malam,
sehingga di pagi yang sangat indah ini
mereka menjadi terlambat bangun.

Namun tidak begitu keadaannya di


kediaman Ki Gede Menoreh. Sejak pagi
buta, para perempuan yang tinggal di
rumah itu sudah bangun. Mereka bergegas
menghidupkan perapian untuk segera
memasak. Sejak beberapa hari yang
lampau, kediaman Ki Gede Menoreh terisi
oleh cukup banyak tamu. Dan pagi itu
beberapa diantaranya akan meninggalkan
Menoreh sehingga perlu disiapkan sebuah
jamuan makan pagi yang cukup berkesan
bagi tamu-tamu Ki Gede Menoreh.
Beberapa emban dan pelayan telah dipesan
untuk datang lebih pagi. Sementara
Pandan Wangi dan Sekar Mirah akan
memimpin kegiatan di dapur itu. Damarpati
bertugas mengemban Bagus Sadewa,
sedangkan Ratri dan Rara Wulan ikut turun
ke dapur pula.

Ki Jayaraga yang hampir semalam suntuk


menemani para pengawal Menoreh
nglanglang memerlukan waktu beberapa
lama untuk tidur. Saat para penghuni
kediaman Ki Gede Menoreh mulai
berkumpul di pendapa, iapun bergegas ke
pakiwan untuk sekedar mencuci muka dan
bergabung dengan yang lainnya.

“Ki Gede Menoreh tidak usah terlalu repot.


Pengawalan hanya akan membebani tugas-
tugas pengawal Menoreh yang sudah
cukup banyak itu” kata Ki Gede Matesih
saat tahu bahwa beberapa pengawal telah
datang membawa kuda-kuda mereka dan
siap mengawal Ki Gede Matesih yang akan
kembali ke Matesih.

“Tidak masalah Ki Gede. Dalam keadaan


seperti ini kita mesti waspada. Dimana-
mana orang-orang yang ingin
menggunakan kesempatan dalam
goyahnya pemerintahan Mataram bisa
mengambil keuntungan-keuntungan. Tidak
ada salahnya kita berhati-hati” sambut Ki
Gede Menoreh.

“Benar Ki Gede. Sebaiknya Ki Gede Matesih


menggunakan pengawalan. Aku tadi
sebenarnya hendak menyediakan diri untuk
mengawal Ki Gede Matesih kembali ke
Matesih, namun sekembalinya dari sana, Ki
Gede Matesih tentu tidak akan tega melihat
aku kembali sendirian ke Menoreh” ujar Ki
Waskita.

“Dan Ki Gede Matesih akan mengantar Ki


Waskita kembali, begitu?” celetuk Ki
Jayaraga yang kemudian disambut tertawa
oleh orang-orang yang ada di pendapa. “Ki
Gede Matesih. Aku juga akan kembali ke
Kleringan yang ada disebelah utara.
Apakah tidak sebaiknya Ki Gede Matesih
berkuda melalui kademanganku lebih dulu?
Setidaknya untuk beberapa waktu, kita
akan berjalan bersama” kata Wacana
memberi usul.
“Begitu juga baik. Jadi aku akan
mengambil jalan pulang yang berbeda
dengan jalan aku datang. Sehingga akan
lebih banyak daerah-daerah yang akan aku
lewati” kata Ki Gede Matesih sambil
mengangguk. Wacana pun tersenyum
gembira mengetahui usulnya langsung
disetujui Ki Gede Matesih. Tapi kemudian
seketika keningnya menjadi penuh kerut
kemerut.

“Kenapa Wacana?” tanya Ki Gede Menoreh


melihat raut muka Wacana yang segera
berubah.
“Mohon maaf Ki Gede Menoreh, Ki Gede
Matesih. Aku lupa bahwa Ki Gede Matesih
akan berkuda. Sementara aku tidak
memiliki kuda. Biasanya aku berjalan kaki
saja ke Kleringan” ucap Wacana dengan
wajah sedikit memerah.

Ki Gede Menoreh tertawa kecil. Lalu ia


menjawab, “Tidak menjadi masalah
Wacana. Kau boleh menggunakan salah
satu kudaku yang lain. Jika kau berkunjung
ke Menoreh lagi, kau bisa
mengembalikannya”

“Oh. Terima kasih Ki Gede. Aku akan


segera mengembalikannya” jawab Wacana
dengan sungkan. “Kalau Ki Gede butuh
bantuan apapun, Ki Gede bisa
memanggilku di Kleringan. Aku akan
segera datang”

“Tidak perlu repot Wacana. Aku masih


memiliki beberapa kuda lain. Aku
menghargai sekali keinginanmu untuk
membantu” sambung Ki Gede Menoreh
sambil tersenyum.

“Bagaimana denganmu Ki Tumenggung.


Bukankah sebaiknya Ki Tumenggung juga
mendapat pengawalan?” tanya Ki
Sabdadadi menatap Untara yang duduk di
hadapannya.
Untara tersenyum. “Ya Kiai. Sebenarnya Ki
Gede Menoreh sudah menawarkan
pengawal pula untukku. Tapi aku
menolaknya” kata Untara. Ia lalu
menyambung, “Aku akan singgah ke Barak
Pasukan Khusus bersama Glagah Putih.
Jika memungkinkan, aku akan memohon
pengawalan pada Ki Rangga Sabungsari.
Namun jika tidak, aku rasa tidak masalah
jika aku sendirian menuju Jati Anom. Jalan
ke barat sudah semakin bagus dan ramai.
Mudah-mudahan aku akan tiba sebelum
malam”

Semua yang ada dipendapa mengangguk


membenarkan pendapat Untara. Tidak bisa
dipungkiri, meskipun sering terjadi
perebutan pengaruh dan kekuasaan, sedikit
banyak kehidupan bernegara juga dapat
merubah keadaan masyarakat di sekitarnya,
terutama yang cukup dekat dengan pusat
pemerintahan. Pusat pemerintahan akan
menarik penduduk untuk berduyun-duyun
menetap dan mencoba membuat
peruntungan.

Dengan demikian, sebuah wilayah akan


menjadi ramai dan tentunya sedikit demi
sedikit akan mengubah wajah daerah
tersebut. Awal Mataram berdiri, masih
merupakan hutan lebat yang sangat angker
bernama Alas Mentaok. Namun kini, sisa-
sisa hutan angker itu hanya nampak
dibeberapa bagian saja. Itupun tentu saja
sudah banyak dimasuki oleh manusia
karena cukup padatnya penduduk di sekitar
Kotaraja Mataram.

Tak lama, para pelayan nampak keluar dari


dapur membawa nampan-nampan dan
peralatan makan. Pandan Wangi dan Sekar
Mirah bertindak mengatur serta
membagikan makanan yang dibawakan
oleh para pelayan itu. Suasana pendapa
menjadi penuh tawa, saat orang-orang tua
itu saling bergurau diantara mereka.
Namun berbagai gurauan mereka tidaklah
berlebihan mengingat ada Sekar Mirah di
pendapa itu. Mereka tidak ingin
menyinggung perasaannya.
“Mirah, aku harap kau tetap bersabar.
Agung Sedayu akan kembali tidak lama lagi.
Seperti kita ketahui dari Sabungsari,
Pangeran Mandurareja telah berangkat ke
lembah antara Merapi dan Merbabu. Tentu
dalam hitungan hari, keadaan suamimu
akan ditinjau kembali. Aku yakin, Agung
Sedayu akan dibebaskan” kata Untara
setelah mereka semua selesai makan.

Sekar Mirah hanya mengangguk. Ia makan


dengan wajah menunduk.

“Tidak usah khawatir ngger. Ki Patih tidak


pernah mengingkari janjinya” ucap Ki
Waskita menyambung kata-kata Untara.

“Terimakasih Ki Waskita dan Kakang


Untara. Aku akan bersabar” jawab Sekar
Mirah dengan lirih.

“Nah, karena hari masih pagi, marilah kita


bersiap-siap. Ki Gede, aku mohon diri lebih
dulu karena akan singgah di barak pasukan
khusus lebih dulu” kata Untara kemudian.

“Silahkan Ki Tumenggung Untaradira.


Semoga Yang Maha Agung melindungi
perjalananmu” ucap Ki Gede Menoreh.
Tidak lama, Ki Gede Matesih pun ikut
berpamitan pada Ki Gede Menoreh.
Kemudian ia menatap anak perempuannya.
Ratri langsung tertunduk dengan mata
mulai basah digenangi oleh air mata
kesedihan sekaligus ketegaran yang
berusaha ia nampakkan.

“Ratri, baik-baiklah selama di Menoreh.


Patuhi semua petunjuk mbok ayumu
sekaligus gurumu” kata Ki Gede Matesih
dengan suara tegar, meski hatinya sedih
bukan main.

“Baik ayah. Sembah sujudku buat ayah”


jawab Ratri dengan suara bergetar seraya
mengangkat sembahnya buat ayahnya.

“Terimakasih kakang Wacana” ucap Ratri


kemudian pada Wacana yang berada di
belakang ayahnya.

“Sama-sama Nimas” jawab Wacana


dengan senyum mengembang. Senyum itu
sedikit membuat Ratri terpana. Tapi cepat-
cepat ia menekan perasaannya.

Tidak berapa lama, dua rombongan telah


meninggalkan regol halaman Ki Gede
Menoreh. Rombongan terbesar adalah
rombongan Ki Gede Matesih bersama
Wacana. Padukuhan Kleringan akan
dicapai sebelum waktu tengange,
sementara Ki Gede Matesih berharap bisa
sampai di Matesih saat matahari
tenggelam atau paling lama sebelum
wayah sepi uwong. Sementara rombongan
kedua hanya terdiri dua orang, Ki
Tumenggung Untara dan Glagah Putih yang
akan memulai tugas barunya.

Rara Wulan memandang bangga pada


Glagah Putih yang berangkat menunaikan
tugas barunya, sementara Sekar Mirah
sudah lebih dulu membalikkan tubuh
setelah semua berpamitan. Ia harus
menggantikan Damarpati mengurus Bagus
Sadewa agar gadis itu bisa makan pagi.
“Marilah Ratri. Kita teruskan pekerjaan kita
di dapur. Setelah itu, kita akan kembali
berlatih” ajak Pandan Wangi berusaha
mengalihkan perhatian Ratri.

“Baik guru” jawab Ratri patuh.

“Ah, aku masih merasa kagok jika dipanggil


guru. Mungkin sebaikya kau panggil aku
mbok ayu saja agar terasa lebih akrab dan
tidak terlihat jarak diantara kita”

Ratri hanya mengangguk sambil tersenyum.


Matanya masih basah. Iapun berusaha
menegarkan hatinya. “Suatu hari, aku pasti
akan kembali ke Matesih. Itu sudah pasti.
Tapi untuk saat ini, aku akan nikmati
Menoreh sebagai rumah keduaku” kata
Ratri dalam hati seraya menarik napas
dalam-dalam untuk menikmati hawa segar
Menoreh yang segera akan menjadi rumah
keduanya.

Sementara itu, para orangtua kembali


duduk di pendapa. Sekilas, Ki Waskita
menatap Pandan Wangi dan Ratri yang
berjalan bersisian ke dapur.

“Jadi Ratri sudah memilih berguru pada


Pandan Wangi” gumam Ki Waskita.

“Ya. Ki Waskita. Awalnya ia tertarik pada


Sekar Mirah. Tapi kemudian selama disini,
ia lebih dekat pada Pandan Wangi” ungkap
Ki Gede Menoreh.

“Pilihan yang bijaksana. Nyi Sekar Mirah


sudah memiliki murid. Sementara Nyi
Pandan Wangi belum” kata Ki Jayaraga.

Keempat orang tua itu saling mengangguk-


angguk.

“Apakah Ki Gede tidak nglanglang hari ini?”


tanya Ki Sabdadadi.

“Ya kiai. Ada sebuah lahan persawahan di


padukuhan Palihan yang sedang menjadi
sengketa dengan padukuhan sebelahnya.
Aku harus kesana dan menilai keadaan”
kata Ki Gede Menoreh. “Apa Ki Sabdadadi
ingin menemani?”

“Oh. Tentu saja Ki Gede. Biarlah aku


menemani Ki Gede ke Palihan. Ki Waskita
dan Ki Jayaraga akan memiliki banyak
waktu untuk bermalas-malasan siang ini”
kata Ki Sabdadadi.

“Ah. Kami tidak bermalas-malasan. Hanya


akan tiduran untuk menunggu waktu
makan siang” sambut Ki Jayaraga yang
disambut gelak tawa diantara mereka.
“Entah mengapa, sejak tadi malam, ada
niatanku untuk menjenguk rumah Ki
Rangga. Sejak Nyi Sekar Mirah mengan-
dung dan Sukra meninggalkan rumah itu,
rumah itu tidak terawat sama sekali. Aku
berniat membersihkannya” sambung Ki
Jayaraga kemudian.

“Kalau begitu, aku akan menemani Ki


Jayaraga. Sudah lama aku tidak
memegang sapu, cangkul dan arit. Rasanya
tanganku pasti akan gemetaran setelah
selesai menggunakannya” sambung Ki
Waskita kembali bergurau. Gelak tawa
mereka terasa segar dan menyenangkan
sehingga beberapa pengawal regol sampai
menoleh ke arah mereka.

“Baiklah kalau begitu. Aku akan ke Palihan”


kata Ki Gede Menoreh seraya bangkit
berdiri diikuti Ki Sabdadadi.

Tak lama, Ki Gede Menoreh diikuti Ki


Sabdadadi dan dua orang pengawal telah
berderap ke padukuhan Palihan.
Sementara Ki Waskita dan Ki Jayaraga
berpamitan pada Pandan Wangi dan Sekar
Mirah untuk menengok rumah Ki Rangga
Agung Sedayu yang sudah cukup lama
dikosongkan. Sekar Mirah sampai
mengucapkan terimakasih beberapa kali
atas niatan Ki Jayaraga yang akan
membersihkan rumah itu. Rumah yang
belum sempat ia urus semenjak kelahiran
Bagus Sadewa.

“Tidak perlu sungkan Nyi. Aku sebagai


salah satu penghuni rumah itu juga
berkewajiban pula. Saat seperti inilah
kesem-patanku untuk membersihkannya”
kata Ki Jayaraga.

“Apakah Ki Jayaraga juga akan mengolah


sawah Ki Rangga setelah ini? bukankah itu
sebuah kesenangan Ki Jayaraga setelah
berada di Menoreh?” tanya Ki Waskita
kembali mengajak bergurau.
“Ya, tentu saja. Aku sudah tidak sabar

untuk mengayunkan cangkulku lagi”

sambung Ki Jayaraga dengan segera

seraya tersenyum lebar. Semenjak tinggal

di Menoreh, kesukaan Ki Jayaraga

memang bertani menanam padi sambil

memandangi hijaunya hamparan sawah.

Selama mendapat tugas dari Mataram, ia

harus meninggalkan pekerjaan

kesukaannya itu. Kini, ia bisa memiliki

waktu lagi untuk kembali bercocok tanam

di sawah. Sementara waktu tidak ada yang

mengurus sawah Ki Rangga, sawah itu

telah disewakan pada beberapa petani

penggarap.

Tak lama, Ki Jayaraga dan Ki Waskita pun


telah berjalan ke rumah Ki Rangga Agung
Sedayu yang tidak berapa jauh dari
kediaman Ki Gede Menoreh.

*****

Dalam pada itu, rombongan Ki Gede


Matesih telah jauh meninggalkan Menoreh.
Di hadapan mereka kini terhampar
persawahan yang diantarai pategalan-
pategalan kosong. Diujung bulak panjang
itulah Kademangan Kleringan berada.

“Perjalanan ini rasanya terlalu singkat Ki


Gede. Sebentar lagi kita harus berpisah di
padukuhan pertama di ujung bulak ini” kata
Wacana.

“Benar, sayang sekali. Jika saja aku tidak


mengingat tanah perdikanku yang sudah
lama aku tinggalkan, aku mungkin akan
mengikuti permintaanmu untuk singgah ke
rumahmu” sambut Ki Gede Matesih dengan
nada menyesal.

Wacana hanya mengangguk sambil


tersenyum. “Tapi tawaran itu tetap berlaku
Ki Gede. Kapan saja Ki Gede menghendaki.
Akan menjadi sebuah kehormatan bagiku”

“Tentu Wacana. Ratri kini ada di Menoreh.


Aku pasti akan menjenguknya dalam waktu
yang tidak lama lagi. Mudah-mudahan di
saat itu, aku akan memiliki kelapangan
waktu untuk mengunjungimu”

“Terima kasih Ki Gede. Aku akan


menunggu” kata Wacana dengan senyum
bahagia.

Tiba-tiba kedua orang yang linuwih itu


sama-sama menajamkan pendengaran,
lalu sama-sama saling berpandangan.

“Apakah Ki Gede juga mendengar?” tanya


Wacana memastikan sambil melirik
pengawal mereka yang nampak tidak
terpengaruh apa-apa.
“Ya. Aku mendengar jeritan minta tolong.
Arahnya dari sisi bukit dibelakang
persawahan itu” kata Ki Gede Matesih
sambil melambatkan kudanya.

“Toloooong!” kembali terdengar suara


panggilan penuh ketakutan diantara
semilirnya angin. Para pengawal Menoreh
yang mengiringi Ki Gede Matesih menjadi
saling pandang karena melihat orang yang
mereka kawal justru melambat dan hampir
menghentikan laju kuda mereka.

“Ya disana Ki Gede” sambut Wacana


segera. “Apakah kita periksa Ki Gede?”
“Ya Marilah. Kita wajib menolong orang
yang sedang dalam kesulitan”

Maka Ki Gede Matesih segera


membelokkan kudanya memasuki jalan
yang lebih kecil menuju ke ujung
persawahan yang berbatasan langsung
dengan kaki sebuah bukit. Kuda-kuda
mereka berderap perlahan.

“Waspadalah!” desis Wacana kepada


kelima pengawal Menoreh. Kelimanya
bukanlah pengawal sembarangan. Kelima
pengawal dari Menoreh itu adalah
pengawal khusus yang selalu menyertai Ki
Gede Menoreh kemana-mana. Karena itu,
kelimanya sudah cukup berpengalaman
menghadapi situasi apapun.

Saat hampir tiba di ujung jalan sempit itu,


Ki Gede Matesih dan Wacana melihat
barang-barang dagangan berserakan
dipinggir jalan. Sebuah gerobak telah
terbalik didekatnya sementara seekor sapi
justru asyik memakani rumput di sekitar
gerobak itu.

“Apa yang terjadi disini?” gumam Wacana


sambil menatap berkeliling, wajahnya
terlihat sangat geram. Daerah persawahan
itu sudah termasuk kademangan Kleringan.
Wajar saja jika Wacana menjadi geram
apabila telah terjadi sesuatu yang buruk di
daerah tempat tinggalnya.

“Tolooong!”

Terdengar lagi teriakan meminta tolong.


Kali ini sangat nyata berada dibalik
gerumbulan semak disisi bukit dihadapan
mereka. Namun suara itu terdengar sudah
melemah. Ki Gede Matesih segera
melompat turun. Begitu pula Wacana dan
kelima pengawal dari Menoreh. Suara itu
bisa mereka pastikan adalah suara
perempuan.
Dari balik gerumbulan perdu yang tumbuh
menutupi permukaan tanah muncul tiga
orang berwajah keras seperti batu karang.
Ketiganya mengacungkan senjata mereka
dan langsung membentak.

“Berhenti kalian disitu!” bentak seorang


diantara mereka yang mengacungkan gada
berduri.

“Kisanak. Apa yang terjadi disini? kami


telah mendengar teriakan minta tolong”
kata Ki Gede Matesih dengan suara tenang
dan datar.

“Bukan urusanmu! pergi kalian dari sini!”


bentak seorang lagi sambil mengacungkan
pedangnya lurus ke arah jantung Ki Gede
Matesih. Untunglah jarak mereka lebih dari
sepuluh langkah, sehingga pedang itu
belum terasa mengancam jiwa.

“Kisanak. Aku adalah penduduk Kleringan.


Tempat ini termasuk kekuasaan
Kademangan Kleringan. Di ujung jalan itu
kami melihat berbagai barang berserakan.
Tentu telah terjadi sesuatu yang tidak baik”
ujar Wacana dengan suara agak meninggi.

“Aku tidak ada urusan dengan orang


Kleringan. Apa yang ada disini adalah
urusan kami” geram orang yang
mengacungkan gada.

Saat Ki Gede Matesih masih berpikir-pikir,


Wacana sudah bergerak mendekat.

“Kalau begitu, biarlah aku meyakinkan diri


dengan melihat sekeliling lebih dulu
tentang apa yang telah kalian lakukan
disini” ujar Wacana.

“Berhenti kau setan!” maki orang yang


memegang gada itu seraya mengacungkan
gadanya lebih tinggi ke arah kepala
Wacana. “Cepat pergi dari sini sebelum aku
berubah pikiran!”
“Kakang. Aku melihat mereka memandang
sebelah mata kepada kita karena jumlah
mereka yang lebih banyak. Mereka belum
tahu sedang berhadapan dengan siapa!”
seru orang ketiga yang menggenggam
tombak pendek.

“Jadi siapakah kisanak sebenarnya?” tanya


Ki Gede Matesih segera mengambil
kesempatan untuk mendapatkan jati diri
ketiga orang yang berwajah seperti karang
itu.

“Kami murid-murid perguruan Lawang


Geni” kata orang yang memegang pedang
dengan suara sangat angkuh.
“O” ucap singkat Ki Gede Matesih dengan
wajah datar.

“He!? seharusnya kalian segera


membungkuk mendengar nama perguruan
kami!” bentak orang yang memegang
tombak pendek itu dengan nada sangat
gusar. Matanya tajam menatap Ki Gede
Matesih seolah-olah dengan sinar matanya,
ia dapat menguliti wajah Ki Gede Matesih.

“Maaf Kisanak. Aku baru pertama kalinya


mendengar nama perguruan itu. Aku
bahkan tidak bisa mengira-ngira dimana
letaknya perguruan kisanak tersebut”
“Itu karena pikiranmu terlalu sempit! Apa
kau belum pernah menjelajahi Brang
Wetan!? kalau kau pernah ke sana, kau
pasti pernah mendengar nama perguruan
kami”

Ki Gede Matesih menggeleng, “Maaf


Kisanak. Aku belum pernah menjelajah
hingga kesana”

Lelaki yang memegang gada itu kembali


menggeram dengan marah. Mulutnya
menyumpah-nyumpah Ki Gede Matesih
dengan kata-kata yang sangat kotor.
Sementara itu, Wacana terus beringsut
mendekat, berusaha mengetahui apa yang
terjadi di balik gerumbulan semak yang ada
di belakang ketiga orang itu.

Hanya sekilas, Wacana bisa melihat


sejenjang kaki mulus hingga sebatas paha
yang terjulur diantara dedaunan. Darahnya
segera tersirap dan memanas. Ia segera
mengetahui apa yang telah terjadi.

Wacana masih cukup muda. Darahnya


masih cepat panas. Melihat sesosok
perempuan yang tergeletak tak berdaya
diatas tanah dengan pakaian yang sudah
compang-camping membuat darahnya
menggelegak.
“Apa yang kalian lakukan pada perempuan
itu!?” bentaknya marah dengan tangan
menunjuk kepada sosok perempuan yang
hanya terlihat kakinya saja.

“He! Sudah kukatakan bukan urusanmu!


Perempuan itu milik kami! Terserah apa
yang akan kami perbuat!” sambut orang
yang memegang pedang dengan suara tak
kalah garangnya.

“Milik kalian atau bukan, aku ingin tahu


duduk perkara persoalan ini. Bawa kemari
perempuan itu kami akan menanyainya
untuk membuktikan kata-katamu!” desak
Wacana dengan nada marah.

“Kau bosan hidup , he!?” lagi-lagi orang


yang memegang gada itu membentak.

“Kakang, pecahkan saja kepalanya dengan


gada itu. Kalau yang lain melawan,
pecahkan juga kepala mereka!” seru orang
yang memegang pedang dengan nada tak
sabar.

Ki Gede Matesih menghela napas pendek.


Jelas sekali baginya bahwa ketiga orang itu
gemar melakukan kekerasan. Mungkin pula
mereka tidak segan-segan untuk melukai,
bahkan membunuh lawannya
Orang yang memegang gada itu maju
selangkah. Kali ini ia mengayun-ayunkan
gadanya dengan gerakan mengancam.
Melihat hal itu, kelima pengawal dari
Menoreh segera meraba hulu pedang
mereka. Sementara Wacana tidak
bergeming selangkah pun dari hadapan
orang itu.

“Pergilah! ini peringatan terakhir!” ucap


orang yang memegang gada itu dengan
nada dingin sambil memutar-mutar gada di
tangannya.

“Baiklah! Mari kita pergi. Ikut aku kisanak.


Kalian akan kuhadapkan pada Ki Demang
untuk menjelaskan semua kejadian disini”
ucap Wacana dengan wajah menegang
pula.

Tanpa peringatan lagi, orang yang


memegang gada itu mengangkat
tangannya dan mengayunkan gada berduri
itu ke arah kepala Wacana. Gerakannya
cukup cepat. Ki Gede Matesih menahan
napasnya. Ia yakin, Wacana tentu memiliki
kelebihan-kelebihan dari cerita-cerita yang
ia dapatkan selama di Menoreh. Tapi
melihat orang itu langsung menyerang
dengan senjatanya, Ki Gede Matesih cukup
khawatir pula. Ia tidak melihat Wacana
membawa senjata apapun di pinggangnya.
Tapi Wacana juga bukan anak kemarin sore.
Kemampuannya sudah bisa disetarakan
dengan orang-orang linuwih lainnya.
Menghadapi serangan itu, Wacana justru
bergerak maju dan menyilangkan
tangannya diatas dahinya sambil berlutut.
Ia menahan ayunan gada berduri itu tepat
di pergelangan tangan orang yang
memegangnya itu. Akibatnya orang itu
sangat terkejut, ayunannya terhenti.
Tangannya seperti menabrak batang pohon
yang sangat keras.

Tapi orang itu pun tidak berhenti. Begitu


tangannya berbenturan, serangan kedua
melalui tebasan tangan kirinya ke arah
kening Wacana segera datang mengayun.
Wacana kembali menangkisnya dengan
menurunkan siku tangan kanannya. Orang
itu menarik gadanya dan siap
mengayunkan kembali menyerang Wacana.

Wacana menggeliat mundur sambil


melompat berbalik ke belakang seraya
menghindari serangan orang yang
memegang gada berduri itu. Ia mendarat
tepat disamping seorang pengawal
Menoreh.

“Apakah aku boleh meminjam belati


panjangmu?” tanya Wacana pada pengawal
itu.
“Oh. Tentu Ki” kata pengawal Menoreh itu.
Sebagai pengawal terpercaya Ki Gede
Menoreh, pengawal itu sudah biasa
memainkan berbagai senjata. Bahkan
dipinggangnya ia membawa dua senjata.
Sebuah pedang dan sebuah belati panjang
yang berada dalam satu sarung ganda.

Serangan orang bergada itu kembali


datang. Wacana telah menerima belati
pendek dari pengawal itu dan kemudian
menangkis gada berduri yang terayun
padanya sambil bergerak maju ke depan.

Dalam tiga kali benturan, Wacana dan


orang bergada itu sama-sama mulai bisa
mengukur kekuatan lawannya untuk
kemudian menaikkan sedikit demi sedikit
kemampuan mereka untuk dapat saling
mengungguli satu sama lain.

Baik Ki Gede Matesih maupun kawan-


kawan orang bergada itu sama-sama
tegang melihat Wacana dan orang bergada
itu mengadu kerasnya tulang dan liatnya
daging. Setiap benturan membuat mereka
berdebar-debar. Setiap desakan lawan
yang membuat kawannya mundur
selangkah membuat mereka menahan
napas.
“Wacana memiliki dasar kanuragan yang

sangat baik. Darimanakah ia berguru?

selama di Menoreh aku cuma sedikit bisa

meraba asal-usul Wacana.

Sepengetahuanku, Wacana memiliki

kekerabatan dengan istri Ki Rangga

Sabungsari. Namun, sepertinya mereka

pernah berselisih pula. Tapi sekarang

semua itu nampaknya telah mereka

selesaikan” gumam Ki Gede Matesih dalam

hati.

Sementara itu, orang yang memegang


pedang tampak mulai tidak sabar. Ia
beringsut mendekati arena pertempuran. Ki
Gede Matesih yang melihat gelagat itu
segera beringsut mendekat pula.
Ditangannya telah tergenggam tombak
pusaka Matesih, Kiai Singkir Geni.

“Mau apa kisanak?” tanya Ki Gede Matesih


memandangi orang itu sambil tersenyum.

“Setan! jangan halangi aku. Kawanmu itu


terlalu pongah. Ia belum pernah merasakan
tajamnya pedangku!” geramnya.

“O. Aku juga ingin tahu seberapa tajamnya


pedangmu. Jika dibandingkan dengan
tajamnya tombakku ini” kata Ki Gede
Menoreh.
Orang yang memegang pedang itu
menggeram dengan marah.

“Aku robek mulutmu orang tua!” kata orang


itu sambil mengayunkan pedangnya
menebas ke segala arah. Tebasannya
sangat bertenaga sehingga menimbulkan
desauan angin yang cukup menggetarkan.

Segera saja, Ki Gede Matesih bersiap


menerima serangan orang yang
menggenggam pedang itu. Tombak Kiai
Singkir Geni segera disilangkan di depan
dada dengan sebelah kaki mundur ke
belakang dan telapak tangan kiri lurus ke
depan.
Serangan pertama datang. Sebuah tebasan
mendatar mengarah ke dada Ki Gede
Matesih. Ki Gede Matesih masih belum
mau membentur serangan itu. Maka ia
bergerak mengelak dengan melangkahkan
kakinya mundur ke belakang.

Tebasan itu lewat di depan tubuhnya.


Orang berpedang itu segera melakukan
serangan kedua, mengikuti arah tebasan
pedangnya, tubuhnya berputar dan kakinya
menyapu ke arah kepala Ki Gede Matesih.
Ki Gede Matesih merendah, serangan itu
lewat diatas kepalanya.
Kemudian, serangan bertubi-tubi datang
dari orang berpedang itu. Ki Gede Matesih
masih berusaha menjajagi sehingga ia
belum menggunakan seluruh kekuatannya
membentur kekuatan orang itu.

“Lawan aku orang tua! jangan menghindar


saja!” bentak orang berpedang itu dengan
sengit. Ia terus mendesak maju dan
melakukan tusukan-tusukan berbahaya
kebagian-bagian tubuh Ki Gede. Ki Gede
Matesih mulai menggunakan tombaknya
untuk membentur serangan lawannya.
Namun hanya menangkis, bukan
memotong serangan lawan. Dari benturan
demi benturan itu, Ki Gede Matesih bisa
menjajagi kemampuan memainkan pedang
lawannya.

“Tangannya sangat kukuh. Jangkauan


pedangnya lebih panjang dari tombakku.
Aku harus menyerangnya dalam jarak yang
rapat” gumam Ki Gede Matesih dalam hati
menyadari kekurangannya.

Maka Ki Gede Matesih pun merapat pada


lawannya sampai sejangkauan tombaknya,
setiap lawannya mencoba merenggangkan
jarak, Ki Gede Matesih berusaha
mengimbanginya dan mendekatkan jarak.

Melihat kedua kawannya sudah bertempur,


orang ketiga yang menggenggam tombak
pendek menatap kelima pengawal Menoreh
yang sejak tadi hanya bersiaga.

“Aneh. Jika kulihat sepintas, mereka


adalah pengawal-pengawal kedua orang itu.
Tapi kenapa justru mereka hanya
berpangku tangan saja melihat pemimpin
mereka bertempur?” gumam orang yang
memegang tombak pendek itu.

“Apa peduliku! melawan lima prajurit


Mataram sekalipun aku tidak takut, apalagi
cuma lima pengawal biasa” gumamnya lagi
dalam hati.

Maka orang yang menggenggam tombak


pendek itu segera membentak para
pengawal itu.

“Kalian bagianku!” serunya dengan keras,


seraya mengacungkan tombaknya.
Membuat kelima pengawal itu segera
mencabut pedang mereka masing-masing.

Dengan loncatan tinggi, orang bertombak


pendek itu menyerang pengawal-pengawal
Menoreh. Tapi pengawal-pengawal
Menoreh itu pun cukup sigap. Kelimanya
segera memencar untuk kemudian
membentuk lingkaran mengepung orang
bertombak pendek itu. Mereka telah
terbiasa bertempur bersama-sama
sehingga dapat melengkapi satu sama lain.

Ki Gede Matesih menghela napas pendek.


“Syukurlah, orang yang berpedang ini
memilihku sebagai lawan. Dengan begitu,
para pengawal itu bisa mendapatkan
keuntungan jangkauan pedang mereka
melawan tombak pendek itu, selain
kelebihan jumlah mereka. Mereka tentu
orang-orang yang sudah terbiasa berbuat
kasar”

Sementara pertempuran Wacana dan orang


bergada dari perguruan Lawang Geni
menjadi semakin keras dan cepat.
Keduanya sama-sama mengerahkan
kemampuan mereka selapis demi selapis
lebih tinggi. Putaran gada lawannya itu
selalu dapat ditangkis oleh Wacana dengan
kekuatan setara. Bunyi dentingan senjata
begitu keras hingga terkadang sampai
menimbulkan percikan api.

“Setan alas!” maki orang yang bergada itu


saat kembali putaran gadanya berhasil
ditahan oleh belati panjang Wacana.
Percikan api kembali memercik dari
benturan itu. Wacana bisa merasakan
kekuatan lawannya itu. Tangannya terasa
sakit setiap kali benturan terjadi. Namun
Wacana justru lebih meragukan
kemampuan belati panjang yang ia
gunakan. Belati itu bukan belati dengan
besi pilihan. Belati itu adalah belati biasa
yang digunakan pengawal Menoreh dan
dibuat di pandai besi di sekitar padukuhan
di Menoreh. Kekuatannya tentu jauh
dibawah senjata yang dibuat oleh para resi
atau para empu yang khusus mendalami
ilmu pembuatan senjata. Karena itu,
Wacana tidak mau berlama-lama
mengandalkan belati panjang yang
dipinjamnya dari salah satu pengawal
Menoreh

“Aku harus menggunakan ilmu baraku”


desis Wacana dalam hati. Karena itu, ia
mulai mendorong tenaga cadangannya ke
batas yang lebih tinggi. Ilmu yang
dipelajarinya sendiri itu segera
menampakkan wujudnya. Dahulu, ia
menggunakan ilmu itu untuk melawan
Sabungsari. Tapi kemudian, setelah
masalahnya dengan Sabungsari selesai,
Wacana tidak pernah menggunakannya lagi
meski masih melatihnya setiap ada
kesempatan.

Lawan Wacana masih bisa mengimbangi


gerakannya. Namun kemudian lawannya
yang memegang gada itu mulai merasakan
keanehan. Setiap benturan dengan senjata
lawannya telah menimbulkan rasa panas
pada tangannya. Pada awalnya ia tidak
merasakan hal itu, tapi lama kelamaan
sengatan panas yang sekejap saja itu
terasa mulai menyakitkan sehingga
mengganggu pemusatan pikirannya.

“Setan alas! Ilmu apa ini!?” geram lelaki


bergada itu setelah merasakan sengatan-
sengatan panas yang mengalir dari
sentuhan senjata lawannya. Beberapa kali
orang yang memegang gada itu kembali
membenturkan senjata mereka, sengatan
panas itu semakin menjadi nyata.

“Gila! aku harus menghindari benturan


senjata ini. Ilmu orang itu ternyata ilmu
iblis!” maki orang yang bergada itu dengan
geram di dalam hatinya.

Maka orang yang memegang gada itu


berusaha menghindarkan gadanya dari
benturan langsung dengan belati panjang
Wacana. Wacana malah merasa lega.
Dengan begitu, belati panjang yang ia
gunakan bisa bertahan lebih lama. Wacana
khawatir, jika benturan demi benturan terus
terjadi, belati itu bisa patah dan mungkin
akan mencelakakan dirinya pula.

“Sekarang tinggal mencari cara

merubuhkan orang ini” kata Wacana dalam

hati. Tapi lawannya itu cukup tangguh.

Meski kemudian tidak lagi terlalu sering

membenturkan senjata mereka,

kemampuan orang bergada itu juga

mengagumkan. Wacana sulit untuk

menembus pertahanannya.
Sementara orang yang memegang gada itu
juga merasakan hal yang sama. Sesekali ia
tetap harus membenturkan senjatanya ke
senjata lawannya, bila serangan lawannya
itu membahayakan dirinya. Sengatan
panas tetap terasa ke tangannya. Namun
karena benturan senjata itu tidak terlalu
sering lagi, orang bergada itu mampu
meredam sengatan panas yang awalnya
cukup mengganggu pemusatan pikirannya.

Pertempuran antara Ki Gede Matesih dan


lawannya yang menggunakan pedang pun
berlangsung cukup sengit. Keduanya
berbalasan serang mencoba mencari
kelemahan masing-masing. Pedang yang
dipegang lawan Ki Gede Matesih sangat
berbahaya. Orang itu sering melakukan
tebasan dan tusukan dengan kekuatan
menggentarkan.

Tapi Ki Gede Matesih telah menggenggam


tombak pusakanya. Putaran tombak itu
mampu meredam segala serangan yang
dilakukan orang berpedang itu. Setiap
benturan menimbulkan suara dentingan
keras disertai percikan api. Kedua senjata
sama-sama dibuat dari bahan pilihan dan
telah menjalani laku khusus sehingga
kekuatannya pun jauh diatas senjata yang
dibuat oleh pandai besi yang banyak
terdapat di padukuhan-padukuhan besar.
“Setan alas! Siapa orang-orang ini!?” geram
orang yang memegang pedang itu. Tidak
disangkanya bahwa di tempat itu, mereka
akan berhadapan langsung dengan dua
orang berilmu tinggi sekaligus.

“Kalau ilmu mereka sudah setinggi ini, lalu


kenapa lagi mereka harus dikawal? Apakah
mereka termasuk orang penting?” gumam
orang berpedang itu dalam hati. Ia mulai
memperhatikan penampilan lawannya.
Pakaian yang dikenakan lawannya itu
cukup rapi dan bersih. Bahannya juga
terbuat dari bahan yang baik. Warnanya
masih tajam dan belum terlihat kusam.
Kemudian perhatiannya teralih kepada
tombak yang digunakan lawannya.
“Itu tombak yang dibuat dengan bahan
pilihan. Aku yakin, orang ini tentu
seseorang yang memiliki kedudukan” desis
orang berpedang itu membuat sebuah
kesimpulan dalam benaknya. Karena itu, ia
mencoba memancing lawannya bicara.

“Kau hebat juga orangtua. Tidak kusangka


kau bisa melawanku hingga cukup lama.
Biasanya lawan-lawanku sudah terkapar
dalam waktu sepenginang!” seru orang
berpedang itu.

“Terima kasih Kisanak. Kau juga hebat.


Biasanya lawanku sudah terkapar pula
dalam waktu tidak sampai
Ki Gede Matesih
sepenginang”sambut

dengan suara tenang.

“Katakan orang tua. Siapa namamu dan


tempat tinggalmu? aku dengan sukarela
akan membawakan jasadmu pada
keluargamu”

“Oh. Terimaksih kisanak. Tapi aku lebih


suka menguburkan jasadmu lebih dulu di
hutan kecil itu”

Lelaki berpedang itu menggeram.


Lawannya samasekali tidak gentar dengan
segala ancamannya. Bahkan tidak
terpancing pula dengan kata-katanya.
Bagaimanapun keadaan mereka masih
cukup berimbang. Setiap ia menaikkan
tekanannya, lawannya itupun segera
mampu mengimbanginya.

“Sebut namamu orang tua! Setelah itu, aku


akan menyebut namaku! Tidak ada yang
bisa bertahan selama ini melawan murid-
murid perguruan lawang Geni. Jika ada
lawan yang mampu bertahan, maka aku
pantas mengingat namanya, supaya saat
bertemu dengan sanak saudaranya, aku
bisa membanggakan diri sebagai orang
yang mengambil nyawanya”
“Ah. Kalau begitu tidak perlu kita
menyebutkan nama kisanak. Aku justru
tidak akan membanggakan diri jika berhasil
menguburkanmu di hutan kecil itu!”

Wajah orang yang menggunakan pedang


itu menjadi keruh. Orang tua yang menjadi
lawannya itu ternyata tetap tidak
terpancing oleh kata-katanya. Karena itu, ia
memilih untuk terus menekan lawannya.

“Apa peduliku tentang nama dan


kedudukannya. Kalau ia terkapar disini aku
akan mengambil tombaknya itu. Tombak
itu terlihat sangat berharga. Mudah-
mudahan saja dipinggangnya itu juga ada
segenggam uang” pikirnya kemudian.

Sementara itu, orang yang memegang


tombak pendek segera merasakan tekanan
yang cukup hebat melawan lima orang
pengawal Menoreh sekaligus.

“Gila! gila. Darimana asal pengawal-


pengawal ini? Kemampuan mereka terasa
selapis dengan prajurit dari Mataram!”
desisnya geram merasakan tekanan para
pengawal Menoreh.

Orang yang menggunakan tombak pendek


itu merasa menyesal telah melawan kelima
pengawal itu sekaligus. Dalam tataran
tinggi itu, jumlah pengawal yang lima orang
itu bisa meredam kemampuannya.
Kelimanya bisa bergantian menarik napas
jika harus merasakan tekanan murid
perguruan Lawang Geni itu, sementara
temannya yang lain akan membantu
mengalihkan serangan orang yang
memegang tombak pendek itu.

Karena keadaannya lebih sulit, orang yang


memegang tombak pendek itu lebih dulu
merambah ke kemampuan tenaga
cadangannya. Serangannya semakin
membadai. Bahkan putaran tombak
pendeknya kini mulai diikuti dengan desir
angin yang mulai terdengar di telinga. Jika
benturan terjadi, desir angin yang
mengenai kulit akan terasa sepeti pasir
yang dihamburkan dengan kecepatan
sangat tinggi sehingga mulai menyakiti
permukaan kulit.

Kelima pengawal dari Menoreh itu terkejut.


Rasa perih sesekali menggigit kulit lengan
mereka jika desir angin itu lewat mengiringi
gerakan tombak pendek lawan mereka.
Namun karena jumlah mereka lebih banyak,
kelimanya bisa bergantian melakukan
serangan atau memotong serangan lawan
agar tidak menekan hanya salah satu
diantara mereka saja. Keadaan ini cukup
membantu mereka untuk mendapatkan
waktu menekan perasaan perih di kulit
mereka.
“Waspadalah. Dia punya ilmu iblis!” seru
seorang pengawal Menoreh saat kulitnya
terasa perih terkena desir angin dari
tebasan tombak pendek orang itu yang
justru membelah angin karena tidak
mengenai sasaran.

Seruan itu membuat Ki Gede Matesih dan


Wacana ikut berkerut keningnya. Wacana
lah yang lebih dulu merasakan ilmu yang
dilepaskan oleh lawannya yang memegang
gada. Setiap serangan menimbulkan desir
angin. Meskipun serangan itu lewat dan
tidak mengenai sasaran, asalkan cukup
dekat dengan tubuh, maka desir angin itu
telah menyakiti kulit yang ada di dekatnya.
Ilmu itu berbeda sifatnya dengan ilmu bara
Wacana dimana Ilmu bara Wacana
membutuhkan sentuhan langsung untuk
dapat mengalirkan panas yang dapat
mengganggu penalaran lawan-lawannya.

Ki Gede Matesih pun mulai merasakan


desir angin yang menyakiti kulit itu. Setiap
tusukan atau tebasan pedang lawannya,
desir angin itu makin terasa dan mulai
menyakiti kulitnya pula.

Namun Ki Gede Matesih dan Wacana,


bukanlah orang sembarangan. Keduanya
sama-sama memiliki tenaga cadangan
yang mumpuni, dengan menaikkan
kemampuan tenaga cadangan mereka,
desir-desir angin yang menyakitkan itu
tidak lagi mengganggu mereka. Mereka
dapat bertempur tanpa harus khawatir
desir angin itu mengganggu penalaran
mereka.

Kedua orang dari perguruan Lawang Geni


yang melihat lawan-lawan mereka tidak
terpengaruh samasekali dengan ilmu
mereka merasa sangat geram. Sementara
orang yang memegang tombak pendek itu,
justru mulai menikmati kelebihan-
kelebihannya melawan kelima pengawal
dari Menoreh.
Para Pengawal dari Menoreh itu mulai
kesulitan menahan rasa pedih dikulit
mereka. Waktu untuk menetralisir rasa
pedih itu semakin lama semakin banyak
dibutuhkan, sehingga mereka mulai
terdesak mundur. Kepungan mereka makin
merenggang pula. Kelimanya harus terus
bertempur dengan wajah mengerinyitkan
dahi karena harus menahan rasa perih di
kulit meskipun sudah mendorong
ketahanan tubuh mereka setinggi-tingginya.

Ki Gede matesih mengerti kesulitan para


pengawal dari Menoreh itu. “Kemampuan
mereka sebenarnya luar biasa. Aku kagum
pada para pengawal Menoreh itu. Daya
tahan dan keteguhan hati mereka
mengagumkan. Tapi mereka akan segera
terdesak parah jika pertempuran ini masih
berlanjut lebih lama”

Karena itu, Ki Gede Matesih berusaha lebih


dulu menekan lawannya. Sebisa mungkin
untuk mengalahkannya agar bisa segera
mengubah keseimbangan pertempuran itu.

“Setan Alas!” maki lawan Ki Gede Matesih


merasakan tekanan yang cukup hebat dari
Ki Gede Matesih. Tombak Kiai Singkir Geni
begitu ganas menari-nari di sekitar tubuh
lawannya sehingga orang berpedang itu
sempat mundur beberapa langkah. Ia pun
segera menyadari bahwa kemampuan
ajinya sudah tidak mengganggu penalaran
lawannya itu. Sehingga murid perguruan
Lawang Geni yang memegang pedang itu
menaikkan tekanannya kelapis yang paling
tinggi yang bisa ia lakukan.

Ki Gede Matesih kembali terkejut


merasakan desir angin yang semakin tajam.
Kulitnya kembali terasa perih. Kini Giliran Ki
Gede Matesih yang tertekan oleh ilmu
lawannya.

“Luarbiasa. Ia masih bisa menggapai


lapisan yang lebih tinggi lagi” desis Ki Gede
Matesih. Karena itu, Ki Gede Matesih
kembali meningkatkan tenaga cadangan
selapis lebih tinggi.

Lawannya yag berpedang itu menggeram


dan memaki-maki dengan kata-kata kotor
menyadari kemampuannya terus dapat
diimbangi. Murid perguruan Lawang Geni
itu mulai cemas bahwa kemampuan
lawannya ada diatasnya. Ia mulai
menimang-nimang untuk memakai ajian
pamungkasnya.

Sementara itu di gelanggang pertempuran


lain, Wacana mulai bisa mendesak
lawannya yang memegang gada berduri.
Murid perguruan Lawang Geni yang
memegang gada itu kesulitan untuk
menghindari serangan belati pendek

Wacana sehingga harus lebih sering

membenturkan senjatanya untuk

menangkis serangan Wacana. Akibatnya

rasa panas menyengat makin sering

mengalir setiap benturan dengan senjata

Wacana. Wajah lelaki bergada itu mulai

mengerinyitkan dahi merasakan panas

yang menyengat tubuhnya.

“Gila! ia masih bisa mengatasi ilmuku. Aku


terpaksa menggunakan aji pamungkasku!”
geram lawan Wacana itu dalam hati. “Sia-
sia saja pekerjaan kami disini kalau orang-
orang gila ini tidak dihentikan!”
Maka dari itu, orang yang memegang gada
itu berusaha menggebrak Wacana agar ia
terdesak sesaat dan mundur selangkah
dua langkah. Kesempatan itu membuat
orang yang memegang gada itu mundur
dua langkah kemudian melakukan gerakan
khususnya untuk menghimpun tenaga
cadangan setinggi-tingginya. Lalu dengan
suara menggeram, ia menggerakkan
gadanya hingga membentuk pusaran angin
yang menghisap udara disekitarnya.
Pusaran itu nampak demikan kuatnya
hingga membuat debu dan butiran pasir
halus ikut terhisap dari permukaan tanah.
Orang yang memegang gada itu kemudian
bergerak mendekati Wacana.
Wacana menjadi tegang. Ia sadar
pertempuran akan mencapai saat
menentukan. Tanpa ragu, ia segera
menempelkan kedua telapak tanganya di
depan dada, sementara belati panjang itu
dijepit diantara kedua telapak tangannya
dan sekejap kemudian, asap tipis telah
muncul diatara kedua telapak tangannya
itu.

Orang yang memegang gada itu kemudian


melompat dan menghantamkan gada yang
telah diselimuti pusaran angin ke arah
Wacana.

Tanpa ragu-ragu, Wacana dengan tatag


membenturkan belati yang kini
dipegangnya dengan kedua telapak
tangannya ke arah gada berduri yang
diselimuti pusaran angin prahara.

Pertempuran Ki Gede Matesih dan


lawannya sama-sama terhenti sekejap
menyaksikan benturan ilmu tersebut.
Begitu juga dengan lingkaran pertempuran
para pengawal Menoreh. Benturan itu
seolah-olah merupakan pembuktian,
siapakah yang akan menang dan siapakah
yang harus merunduk kalah.

Benturan pun terjadi dalam hitungan


kejapan mata. semua mata yang
menyaksikan terbelalak. Pusaran angin itu
pecah, menimbulkan hempasan angin yang
bisa dirasakan ke segala arah. Bersamaan
dengan itu, belati panjang Wacana
membentur gada lawannya. Terdengar
dentingan keras disertai percikan api yang
cukup menyilaukan.

Orang yang memegang gada itu berteriak


terkejut dan kesakitan. Sengatan panas
yang mengalir dari sentuhan senjata
Wacana sangat panas seperti akan
melelehkan tangannya. Desakan tenaga
cadangan Wacana mampu menembus
pertahanan lawannya dan meremas tangan
kanannya dengan panas yang tidak
tertahankan.
Sayangnya, belati itu tidak mampu
menahan desakan ilmu yang mengalir dari
Wacana dan benturan dengan gada
lawannya. Belati itu patah. Jika saja belati
itu tidak patah, tenaga cadangan Wacana
tentu akan terus mendesak lawannya
hingga ke jantung dan membakar rongga
dalam tubuhnya. Patahnya belati itu justru
menyelamatkannya.

Orang itu terhuyung-huyung ke belakang,


kehilangan seluruh keseimbangnnya untuk
kemudian terjungkal ke tanah dengan
mulut mengeluarkan darah segar.
“Kakaang…!” seru lawan Ki Gede Matesih.
Ia segera berlari mendapatkan saudara
seperguruannya. Seumur-umur, ia belum
pernah melihat saudara seperguruannya itu
terjatuh dalam pertempuran. Jika kali ini
saudara tertuanya saja jatuh, lalu
bagaimana caranya mereka mengatasi
lawan-lawannya? Orang yang memegang
pedang yang tadi melawan Ki Gede
Matesih terlihat sangat cemas saat
mengangkat kepala saudaranya itu.
Sementara orang ketiga yang memegang
tombak pendek berusaha beringsut
mendekat sambil mengawasi lawan-
lawannya.

Ki Gede Matesih sempat melihat Wacana


sedikit limbung. Tapi lelaki gagah yang
pernah menolong putrinya itu tetap berdiri
dengan kedua kakinya. Ditangannya masih
menggenggam pangkal belati yang patah.
Wacana mengatupkan giginya rapat-rapat
menahan nyeri yang sedang mendera
rongga dadanya akibat benturan ilmu
dengan lawannya. Ia membutuhkan waktu
beberapa saat untuk meredam rasa nyeri
itu.

“Wacana. Kau tidak apa-apa?” bisik Ki


Gede Matesih bertanya dengan sangat lirih.
Ia sudah ada di samping Wacana sejak
lawannya meninggalkannya untuk melihat
keadaan saudara seperguruannya. Wacana
hanya mengangguk kecil sambil tersenyum
tipis. Ki Gede Matesih mengamati sejenak
Wacana. Dengan demikian ia menjadi yakin
bahwa Wacana benar-benar tidak apa-apa.

Sementara itu, orang yang memegang


pedang itu tengah berusaha meminumkan
cairan kental yang ia ambil dari bumbung
kecil yang tadi ada di pinggangnya. Tetes
demi tetes cairan kental itu kemudian
memasuki mulut saudara seperguruannya
itu.

Baik Ki Gede Matesih dan Wacana


membiarkan mereka berusaha mengobati
saudaranya. Setelah agak lama, orang yang
tadinya memegang gada itu terbatuk dan
mulai bernapas lebih teratur.

Wacana merasa mereka sudah cukup


memberi waktu. Ia bergerak mendekat.
Orang ketiga yang memegang tombak
pendek segera mengacungkan tombaknya.

“Jangan mendekat!” bentaknya keras.


Matanya melotot mengancam.

“Kisanak. Apa kalian belum menyerah?”


geram Wacana sambil membalas tatapan
orang itu dengan tajam.

“Menyerah? Gila! tunggulah beberapa saat


lagi. Kami akan menghabisi kalian!” Teriak
orang yang memegang tombak pendek itu.

Wacana menjadi tidak sabar. Ia tidak


memperdulikan lagi ketiga orang itu dan
bergegas menuju semak-semak dimana
tadi ia melihat sesosok perempuan
terbaring.

Hatinya berdebar-debar saat makin melihat


sosok perempuan itu dengan jelas. Apa
yang ada dibalik gerumbulan membuat
darah Wacana kembali mendidih.

“Setan alas! Gendruwo! Tetekan!” teriak


orang yang memegang tombak pendek itu
memaki Wacana karena melihatnya
mendekati semak belukar dimana mereka
berada tadi. Tapi orang itupun hanya berani
menyumpah-nyumpah saja. Ia tidak
bergerak dari tempatnya untuk mencegah
Wacana.

Wacana hanya sekejap saja melihat tubuh


perempuan yang tergeletak tak berdaya
diatas tanah dengan kedua tangan diatas
kepala, terikat kesebuah akar pohon yang
cukup besar. Pakaiannya sudah robek tak
karuan menyebabkan bagian-bagian paling
terhormat dari seorang perempuan tidak
lagi tertutupi. Perempuan itu tergeletak
pingsan meskipun napasnya masih terlihat.
Wacana segera berpaling. Ia pun tahu, hal
paling buruk telah terjadi kepada
perempuan malang itu.

“Setan alas! kubunuh kalian semua!” geram


Wacana sambil mengepalkan tinjunya dan
kemudian melompat menyerang orang
yang memegang tombak pendek itu.

Ki Gede terkejut. Ia segera bisa


menyimpulkan telah terjadi sesuatu yag
sangat buruk di balik kerimbunan semak itu
yang menyebabkan Wacana makin marah.
Karena itu, Ki Gede Matesih kembali
menyiapkan dirinya untuk bertempur. Ia
menoleh kepada para pengawal Menoreh.
“Lihatlah apa yang terjadi di balik semak
belukar itu. Bantu orang yang meminta
tolong itu, kalau dia ada disana” perintah Ki
Gede Matesih sambil menunjuk
gerumbulan semak-semak yang ada di kaki
bukit itu.

Kelima pengawal itu mengangguk dan


segera bergegas menuju tempat yang
ditunjuk Ki Gede Matesih. Hati kelima
pengawal Menoreh itu pun segera tersayat
melihat pilunya peristiwa yang telah terjadi
di balik gerumbulan semak itu.

“Gila! Biadab mereka itu!” desis pengawal


yang paling tua melihat malangnya nasib
perempuan yang sedang pingsan dibalik
gerumbul semak itu. Ia segera meraih kain
yang tergeletak didekat perempuan yang
masih terlihat muda itu dan
menyelimutkannya ke tubuh perempuan itu.
Hatinya ikut remuk melihat tubuh
perempuan yang masih cukup muda itu
terdapat guratan bekas perlakuan kasar
dibagian-bagian tubuhnya yang paling
terlarang. Ia tidak bisa membayangkan jika
seandainya perempuan dihadapannya itu
adalah istrinya atau saudaranya sendiri.

“Periksa sekeliling. Hati-hatilah!”

perintahnya kemudian kepada teman-

temannya sambil menghela napas penuh


kegeraman.

Sementara itu, pertempuran kedua Wacana


terjadi dengan sengit. Wacana yang
dikuasai oleh kemarahannya menyerang
tanpa hitung-hitungan lagi. Meskipun yang
dihadapinya memegang tombak pendek,
Wacana tidak gentar sama sekali. Ia
merapatkan serangan hingga sejangkauan
tangannya yang masih menggenggam
belati yang telah patah sebagian.
Lawannya yang bertombak pendek itupun
kesulitan melepaskan belitan serangan
Wacana yang sangat keras dan cepat serta
dilakukan dalam jarak dekat.
Orang yang memegang pedang segera
bangkit, melihat adik seperguruannya telah
diserang oleh Wacana. Sebagaimana
penalarannya, jika saudara tertuanya saja
telah dikalahkan oleh lawannya yang
sekarang menyerang adik seperguruannya
itu, maka adik seperguruannya itu pasti
membutuhkan bantuannya.

“Apa kau akan kembali ikut bermain


kisanak?” tanya Ki Gede Matesih dengan
nada dingin. Ia bersikap demikian karena
sadar, orang-orang itu pasti telah berbuat
nista. Orang seperti mereka sangat pantas
dihukum berat.
Lelaki yang memegang pedang itu tertegun.
Menilik perawakan lawannya yang sudah
mulai berumur itu, ia tentu seseorang yang
sudah malang melintang di dunia
kanuragan. Seandainya saja orang yang
lebih muda itu adalah muridnya, maka
orang yang lebih tua ini tentu memiliki
kelebihan dibanding orang yang lebih muda
yang menjadi lawan saudara seperguruan
tertuanya tadi.

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Di dalam


dunia kanuragan dan dunia hitam yang
telah diarunginya semenjak remaja,
kekalahan akan menuju sebuah ujung yang
pasti yaitu kematian. Orang yang
memegang pedang itu sadar, kesempatan
mereka sudah mengecil. Di tempat itu,
pilihan mereka hanya lari atau mati.
Kemenangan terasa sudah sangat sulit
diraih. Sementara lari belum pernah jadi
pilihan baginya.

“Aku tidak akan lari. Murid-murid

perguruan Lawang Geni tidak takut mati!”

desisnya. Sambil mengacungkan

pedangnya, ia berseru pada lawannya.

“Mari kita lanjutkan orangtua. Sekarang


hanya kematian yang akan menghentikan
pertempuran kita!” serunya dengan
menahan kegeraman dalam hatinya.
Ki Gede Matesih pun kembali berhadapan
dengan lawannya yang tadi itu. Murid
perguruan Lawang Geni yang memegang
pedang itu tidak menyia-nyiakan waktu
sedikit pun. Ia menyerang Ki Gede Matesih
dengan kemampuan tertingginya. Desiran
angin yang menyengat kembali menerpa
kulit tangan Ki Gede Matesih.

Ki Gede Matesih tidak terkejut lagi. Dengan


segera ia mendorong tenaga cadangannya
setinggi-tingginya untuk mengimbangi
kemampuan lawannya itu. Putaran tombak
Kiai Singkir Geni menebas kesana kemari
dengan garang memotong serangan
lawannya. Orang yang memegang pedang
itu sudah maklum bahwa dirinya akan sulit
sekali menaklukkan perlawanan orang tua
itu. Tapi demi harga diri perguruannya, ia
tidak akan menyerah sejengkal langkahpun.
Ia memilih mati daripada menyerah.

Ki Gede Matesih dan Wacana pun sama-


sama maklum bahwa pertempuran itu baru
akan berakhir jika sudah ada yang telah
terkapar di tanah. Dari tandang lawan-
lawan mereka, sudah jelas bahwa murid-
murid perguruan Lawang Geni itu akan
melawan hingga napas terakhir mereka.

Orang yang memegang tombak pendek itu


mulai terdesak dengan tandang Wacana.
Wacana, meskipun dipenuhi kemarahan,
tetap mampu menguasai penalarannya

sehingga tidak gegabah dalam bergerak.

Orang yang memegang tombak pendek itu

bisa merasakan bahwa kemampuan

Wacana jelas selapis diatas

kemampuannya.

Tapi lawan Wacana itu tetap tidak mau


menyerah. Ia memegang tombak
pendeknya erat-erat, sementara lawannya
tidak memegang senjata utuh. Yang
diusahakannya adalah mengambil jarak
dari Wacana agar tombaknya bisa lebih
berguna mengubah keseimbangan itu.

Akan tetapi Wacana justru terus merapat,


menggunakan benturan demi benturan
untuk mengalirkan rasa panas yang dapat
menyakiti lawannya. Setinggi apapun daya
tahan lawannya itu, benturan demi
benturan itu mulai mengganggu
kekuatannya akibat sengatan rasa panas
yang berulang-ulang dan mulai terasa
meremas nadi dan otot di tangan dan
bahunya. Tangannya yang menggenggam
tombak mulai gemetar.

Ternyata orang yang memegang tombak


pendek itu belum kehabisan akal, tiba-tiba
ia memindahan tombaknya ke tangan
kirinya yang masih lebih kuat. Sehingga ia
bisa memperpanjang perlawanannya meski
terus didesak Wacana dalam jarak dekat.
Orang yang memegang pedang pun sedang
dalam kesulitan pula. Ki Gede Matesih
tidak lagi memberi kesempatan-
kesempatan. Ia menutup rapat pergerakan
lawannya itu dengan putaran tombak
pusaka Matesih. Meskipun lawannya
memegang pedang, Ki Gede Menoreh
mampu memangkas kelebihan panjang itu
dengan baik sehingga justru orang yang
memegang pedang itu yang terlihat
terdesak.

Kesempatan itu semakin menyempit, orang


yang memegang pedang itu mulai
merasakan akhir dari perlawanannya.
“Persetan! Kalau aku harus mati, aku akan
mati dengan membenturkan ilmu
pamungkasku!” geramnya dalam hati.
Begitu ada kesempatan, ia meloncat
mundur, melakukan gerakan khususnya
kemudian memutar pedangnya lebih cepat.
Muncullah pusaran angin yang mengikuti
putaran pedang itu, menyerap udara, debu
dan pasir yang ada didekatnya.

Ki Gede Matesih sudah maklum, begitu


orang itu meloncat mundur dan memulai
gerakan khususnya. Ki Gede Matesih pun
mempersiapkan aji andalannya yang telah
diwarisi dari gurunya, aji Cundha Manik.
Segera saja Ki Gede bergeser ke belakang
setapak. Wajahnya terangkat dan matanya
menjadi redup setengah terpejam.
Disalurkan segala tenaganya yang
dilambari dengan pemusatan pikiran untuk
kemudian meletakkan satu tangannya yang
menggenggam tombak di atas dada,
sedangkan tangan lainnya menjulur ke
depan lurus-lurus, sementara orang yang
memegang pedang itu telah melompat
untuk membenturkan ajiannya.

Dengan tatag, Ki Gede Matesih menyambut


serangan itu dengan menjulurkan
tombaknya menyambut pedang yang
mengarah ke tubuhnya. Benturan keraspun
terjadi. Dalam sekedipan mata itu, Ki Gede
Matesih yang memusatkan pikirannya
masih mampu melihat kilatan serangan
lain yang datang dari arah belakang orang
yang memegang pedang itu.

Orang yang memegang pedang itu terlontar


ke belakang, tidak mampu menahan aji
Cundha manik yang dilepaskan oleh Ki
Gede Matesih. Tapi pada saat bersamaan,
Ki Gede Matesih harus terbentur pula oleh
serangan kedua yang datang tiba-tiba, dari
arah belakang lawannya yang telah
terlontar itu.

Karena itu, dalam hitungan kurang dari


sekejapan mata, Ki Gede Matesih sempat
menjulurkan tangan kirinya menyambut
serangan kedua tersebut. Terjadi suara
ledakan yang lebih dahsyat saat aji Cundha
Manik membentur serangan kedua itu. Ki
Gede Matesih sampai terdorong ke
belakang sehingga hampir jatuh ke tanah.
Untunglah, ia masih bisa menguasai
keseimbangannya. Serangan kedua itu
ternyata memiliki tataran yang sangat
tinggi dan hampir saja menembus ajian
Cundha Manik yang dilepaskan Ki Gede
Matesih.

Dengan wajah tegang, Ki Gede Matesih


bersiap menerima kembali serangan tak
terduga. Jantungnya berdebaran dengan
keras. Serangan tiba-tiba itu sama sekali
tidak diperhitungkannya. Seseorang telah
menyerangnya dengan cara yang tidak
jantan.

Pemandangan di depan Ki Gede Matesih


pun terhampar. Orang yang memegang
pedang itu terlihat terkulai dalam dukungan
seorang lelaki kurus berambut putih.
Tangan orang itu masih mengacung ke
depan. Dialah tadi yang melontarkan
serangan tiba-tiba ke arah Ki Gede Matesih.

“Aji Cundha Manik…” desisnya orang tua itu


dengan raut muka terkejut. Nampak
wajahnya sangat keruh. Menyadari
kedahsyatan ilmu yang dimiliki oleh orang
yang ada dihadapannya.

“Guru!” desis orang yang memegang


tombak pendek. Wajahnya seketika
menjadi pucat dengan keringat telah
membanjiri keningnya

“Setan! apa yang kalian lakukan disini


heh!?” bentak orang tua berambut putih
yang disebut sebagai guru itu. Matanya
melotot dengan tatapan berkilat-kilat
melihat orang yang memegang tombak
pendek itu. Satu-satunya orang yang masih
berdiri tegak diantara ketiga muridnya.
“Ampun guru. Mereka telah mengacaukan
pekerjaan kami!” kata orang yang
memegang tombak pendek itu dengan
suara gemetar.

“Pekerjaan apa!? apa yang kalian kerjakan


disini!? Tugas kalian di Menoreh, bukan
disini!” bentak gurunya dengan sangat
keras.

Wacana dan Ki Gede Matesih menjadi


saling pandang dengan kening berkerut.
Pikiran mereka telah menduga-duga hal
yang sama. Orang yang disebut guru itu
telah menyebutkan sebuah tugas di
Menoreh.
Sementara orang yang memegang tombak
pendek itu terlihat tertunduk lesu. Setelah
itu orang tua kurus yang disapa guru
olehnya itu kemudian menatap kepada Ki
Gede Matesih.

“Kisanak. Aku masih mengenali aji Cundha


Manik yang pernah menggentarkan di
masa Demak lama itu. Tidak kusangka aji
yang dahsyat itu masih dimiliki oleh
seseorang hingga saat ini” kata lelaki tua
itu. “Katakan, siapa gurumu?”

Ki Gede Matesih menarik napas panjang.


Lelaki tua itu tentu seseorang yang sangat
mengenal aji jaya kawijayan di masa-masa
sebelumnya.

“Guruku adalah Ki Demang Sarayuda”


sebut Ki Gede Matesih tanpa ragu-ragu.
Dengan begitu ia berharap masih bisa
mengangkat nama perguruannya yang
mulai surut itu.

“Hmm. Menurut cerita ayahku, Ki Ageng


Pandan Alas memang memiliki murid
seorang demang di daerah Gunung Kidul
selain seorang cucu perempuan yang
menjadi muridnya pula, apakah orang itu
yang kau sebut Ki Demang Sarayuda?”
“Benar kisanak. Lalu siapakah kisanak?”
balas Ki Gede Matesih bertanya.

“Aku Ki Ageng Lawang Geni. Perguruanku


terletak jauh di pesisir timur tanah ini”
katanya dengan nada angkuh. Ia
memandang berkeliling sesaat.

“Aku menghargai nama besar Ki Ageng


Pandan Alas dan murid keturunannya.
Menurutku, kita sudahi saja
kesalahpahaman ini. Aku masih berbelas
kasihan pada kalian. Nah pergilah. Aku
akan urus murid-muridku dulu” kata orang
tua itu dengan nada sangat sombong.
Wacana segera melangkah ke depan
dengan wajah menegang.

“Ki Ageng, murid-murid Ki Ageng telah


melakukan suatu hal yang sangat buruk.
Kami tidak mungkin melepas mereka
begitu saja!” seru Wacana.

“Apa yang mereka lakukan?” balas Ki


Ageng Lawang Geni bertanya.

“Lihatlah dibalik gerumbulan semak itu Ki


Ageng. Mereka telah memperlakukan
seorang perempuan dengan tidak hormat”
Ki Ageng Lawang Geni hanya menyudutkan
bibirnya. Ia menggelengkan kepala.

“Itu hanya perkara kecil. Sekarang aku


harus mengobati murid-murid yang terluka.
Aku sudah berbaik hati melepaskan kalian
dan menganggap ini hanya
kesalahpahaman. Jangan membuatku
mengubah pendirian!” ujar Ki Ageng
lawang Geni dengan suara mulai meninggi.

Wacana dan Ki Gede Matesih


berpandangan mata sejenak. Mereka bisa
meraba bahwa kemampuan guru ketiga
orang itu tentu sangat ngedab edabi. Tapi
bagaimanapun juga, mereka harus dituntut
tanggungjawabnya.

“Ki Ageng. Aku hargai niat Ki Ageng untuk


tidak memperpanjang perslisihan. Tapi,
murid-murid Ki Ageng tetap harus
bertanggung-jawab atas peristiwa ini” kata
Ki Gede Matesih dengan suara lebih sareh.

Ki Ageng Lawang Geni menggeram,


“Sudahlah. Selesaikan saja sesuka hati
kalian. Aku akan membawa murid-
muridku!”

Wajah Wacana menjadi keruh seperti air


lumpur yang diaduk. Ia benar-benar tidak
bisa melepaskan ketiga murid perguruan
lawang Geni itu begitu saja. Begitu Ki
Ageng lawang Geni bergerak sambil
mendukung salah satu muridnya, murid
ketiganya yang memegang tombak segera
berusaha memapah orang yang memegang
gada tadi.

Wacana bergerak menghalangi langkah Ki


Ageng Lawang Geni.

“Tunggu Ki Ageng. Dengan segala hormat,


aku sebagai penduduk Kleringan meminta
murid-murid Ki Ageng bertanggungjawab
atas peristiwa ini” desak Wacana kemudian.
Apa boleh buat, ia tetap harus menegakkan
paugeran semampu yang ia bisa. Meskipun
kemampuan Ki Ageng Lawang Geni pasti
sangat tinggi, Wacana harus mencobanya.

Ki Gede Matesih sendiri mulai menimang-


nimang keadaan itu. Apakah berdua
dengan Wacana mereka bisa mengimbangi
ilmu guru dari ketiga orang murid
perguruan Lawang Geni tersebut? Ki Gede
Matesih sepakat bahwa paugeran harus
tetap ditegakkan. Tapi tentu tidak mudah
melakukannya. Serangan Ki Ageng Lawang
Geni barusan sangatlah dahsyat. Bisa saja
Ki Ageng Lawang Geni sebenarnya belum
menggunakan keseluruhan kemampuannya.
Sementara serangan tadi justru hampir
menembus aji Cundha Manik milik Ki Gede
Matesih.
“Jangan halangi aku. Jika aku berkehendak,
setan pun akan lari dari hadapanku” bentak
Ki Ageng Lawang Geni mulai kehilangan
kesabarannya. Ia melotot kepada Wacana
yang berada paling dekat.

“Maaf Ki Ageng. Aku tetap pada


pendirianku!” Ucap Wacana tegas.

“Kurang ajar!” bentak Ki Ageng Lawang


Geni dengan marah. Tangannya segera
teracung ke depan. Melihat hal itu Wacana
dan Ki Gede Matesih mundur setapak dan
bersiap. Dalam sekejap, mereka telah
mengetrapkan aji mereka masing-masing
dengan kekuatan setinggi-tingginya.

Dua hentakan berturut-turut dilakukan oleh


Ki Ageng Lawang Geni. Satu mengarah
pada Wacana satu lagi mengarah pada Ki
Gede Matesih. Wacana tanpa ragu
menyambut serangan yang dilancarkan
dari jarak beberapa langkah itu. Begitu pula
dengan Ki Gede Matesih.

Berturut-turut terjadi dua ledakan kuat.


Kemampuan Wacana ternyata selapis di
bawah serangan itu. Meskipun tangannya
yang membara mampu membentur
serangan Ki Ageng Lawang Geni, namun
tubuhnya seperti diterjang angin prahara.
Wacana terlontar ke belakang seperti
diseret angin topan. Untunglah ia masih
sempat membalikkan tubuhnya agar bukan
bagian punggungnya yang jatuh
menghantam tanah keras. Dengan begitu,
ia bisa mengurangi luka-luka yang mungkin
ditimbulkan. Tapi tak urung, Wacana harus
terguling beberapa kali dengan dada sesak
digulung angin prahara.

Sementara serangan yang menghantam Ki


Gede Matesih sama dahsyatnya dengan
serangan yang menerpa Wacana. Tapi, Aji
Cundha Manik mampu menahan serangan
itu. Ki Gede Matesih sempat tergetar
sesaat ketika kedua aji itu saling
berbenturan. Angin yang pecah dari hasil
benturan ilmu itu menimbulkan bunyi
menderu dan menghamburkan debu
kemana-mana membuat mata mereka
harus memicing berusaha menghindari
debu yang beterbangan.

Ki Gede Matesih sudah bersiap melawan


serangan berikutnya. Tapi yang
didengarnya kemudian hanyalah suara
tertawa berkepanjangan dari jarak yang
semakin menjauh.

“Bagus kisanak. Tidak sia-sia kau masih


mewarisi Aji Cundha Manik itu. Tapi lain
kali kita bertemu, kau harus bisa
meningkatkannya. Disaat itu aku tidak akan
ragu-ragu mengeluarkan seluruh

kemampuanku untuk menggulung aji-mu!”

seru Ki Ageng Lawang Geni. Hanya

suaranya saja yang terdengar dan makin

sayup tertelan angin.

Saat debu yang berhamburan mulai sirna,


tidak ada lagi lawan-lawan yang berdiri di
hadapan Ki Gede Matesih. Ki Ageng
Lawang Geni ternyata telah menyingkir dan
membawa dua muridnya yang terluka.

“Wacana!” desis Ki Gede Matesih,


menyadari bahwa Wacana tadi terlempar
cukup jauh. Saat melihat ke arah dimana
Wacana tadi terlempar, Ki Gede Matesih
bisa menghembuskan napas lega melihat
pemuda itu sudah duduk bersila dan
memusatkan nalar budinya untuk
melonggarkan kembali pernapasannya
yang sempat sesak akibat terhantam aji
yang dilepaskan oleh Ki Ageng Lawang
Geni.

Ki Gede Matesih membiarkan Wacana


mengatur kembali pernapasannya. Ia tidak
melihat luka apapun di tubuh Wacana.
Karena itu, Ki Gede Matesih mengalihkan
perhatiannya pada kelima pengawal
Menoreh yang sejak tadi hanya berdiri di
kejauhan saat Ki Ageng Lawang Geni
datang secara tiba-tiba menyelamatkan
murid-muridnya.
Mereka segera bergegas mendekat. Tapi
hanya tiga orang diantaranya. Dua lainnya
justru sedang berlutut. Seorang
diantaranya bahkan tampak sedang sibuk
memijit-mijit seseorang yang tergeletak di
tanah.

Ki Gede Matesih berkerut keningnya


melihat ada seorang lelaki lain yang
tergeletak diatas tanah. Lelaki itu terlihat
cukup tua.

“Siapa dia?” tanya Ki Gede Matesih


mendekat.
“Kami tidak tahu Ki Gede. Kami
menemukannya pingsan agak jauh dari
tempat ini. Lalu kami gotong kemari” kata
pengawal yang sedang berusaha
menyadarkannya.

“Mungkin ia ada hubungannya dengan


perempuan yang pingsan itu” gumam Ki
Gede Matesih menduga-duga. Sementara
lelaki tua itu mulai terlihat menggeliat.

“Kisanak. Kisanak” panggil pengawal


Menoreh yang memijiti kakinya itu. Lelaki
itu terlihat membuka matanya dan mulai
melihat sekelilingnya.
Ki Gede Matesih bersikap waspada.
Kemudian ia mendengar langkah
seseorang yang mendekatinya dari
belakang. Ki Gede Matesih menoleh.
Wacana dengan wajah tampak agak pucat
tersenyum di belakangnya.

“Ki Gede” sapanya.

“Wacana, syukurlah. Kau tidak apa-apa”


sambut Ki Gede Matesih demi melihat
Wacana sudah mampu berdiri tegak.

“Ya Ki Gede. Yang Maha Agung masih


melindungiku. Ki Ageng Lawang Geni
ternyata sangat ngedab edabi
kemampuannya. Kurasa ia masih berbelas
kasihan padaku sehingga tidak
menyerangku sepenuh tenaga” kata
Wacana sambil tersenyum kecut. Benturan
ilmu dengan Ki Ageng Lawang Geni benar-
benar menguras kekuatannya.

Kening Wacana ikut berkerut melihat lelaki


tua yang baru terbangun dari pingsannya
itu. Ia mengenali lelaki tua itu sebagai
salah seorang penduduk Kleringan, meski
ia tidak mengenal namanya.

“Kau kenal orang itu Wacana?” tanya Ki


Gede Matesih.
“Ya Ki Gede. Ia penduduk Kleringan. Aku
sering melihatnya berjualan di pasar
padukuhan induk” jawab Wacana.

“Paman. Paman tidak apa-apa?” tanya


Wacana seraya bergegas berlutut di
hadapan lelaki tua yang masih mencoba
mengumpulkan ingatannya.

“Oh, Angger Wacana…” desis lelaki tua itu


mengenali Wacana. Tapi seketika ia
bangkit dan duduk.

“Anakku. Anakku! dimana anak


perempuanku!?” teriaknya tertahan sambil
memandang berkeliling. Wacana segera
maklum siapa perempuan yang terbaring
pingsan itu. Tapi sebelum mereka mampu
berkata-kata, lelaki tua itu sudah bangkit
dengan susah payah dan memburu kearah
gerumbulan semak di kaki bukit yang
berjarak hanya beberapa langkah, tempat
ia terakhir melihat anak perempuannya
diseret oleh orang-orang yang tidak
memiliki hati itu sebelum ia sendiri dipukul
hingga pingsan.

Ia mendapati tubuh anak perempuannya


disana. Seketika ia menjerit parau.

“Biadab! Biadab!”
Wacana dan Ki Gede Matesih bergegas
mendekat. Peristiwa itu tentu sangat
menyakiti perasaan lelaki tua itu. Melihat
tubuh anak perempuannya tergeletak
hanya tertutupi sehelai kain dengan
pakaian sudah compang camping.

“Paman. Paman. Bersabarlah!” ujar


Wacana segera berusaha menenangkan
sementara lelaki itu masih meraung
memeluk tubuh anak gadisnya.

“Nduuk! Nasibmu kok buruk sekali nduk!”


ratap lelaki tua itu, ”Baru saja suamimu
meninggalkanmu, sekarang kau telah
dinista pula”
Orang-orang yang ada di sekitar lelaki tua
itu hanya bisa menghela napas memahami
keadaan lelaki tua itu. Kadang-kadang
keadaan memang bisa menjadi begitu
buruk menimpa seseorang disaat yang
tidak tepat. Bahkan seperti memenuhi
pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Lelaki tua itu kemudian bisa merasakan


napas anak perempuannya. Tubuhnya
masih hangat. Dengan penuh kasih, lelaki
itu membungkuskan kain panjang yang
menyelimuti tubuh anak perempuannya
lebih rapat.
“Paman, marilah kita bawa anak
perempuan paman ke padukuhan induk.
Aku akan menemani paman melaporkan
peristiwa ini kepada Ki Demang” kata
Wacana dengan dada bergemuruh
menahan perasaannya.

Lelaki itu hanya bisa mengangguk pasrah


seraya memangku kepala putrinya yang
masih tergeletak diam. Tangannya terkepal
keras-keras menahan gemuruh yang
menyelimuti seluruh relung hatinya.

Para pengawal Menoreh segera bergegas


membereskan gerobak yang terbalik tadi
beserta barang-barang dagangan yang
berserakan disekitarnya. Sapi yang
menghela gerobak itu sama sekali tidak
melawan saat kembali dipasangkan pada
gerobak yang sudah ditegakkan.
Gerobakpun siap membawa perempuan itu
kembali ke kademangan. Ia dibopong
bersama-sama oleh para pengawal
Menoreh dan diletakkan di dalam gerobak.

Wacana menatap Ki Gede Matesih yang


mempersiapkan kudanya kembali untuk
dinaiki.

“Ki Gede. Biarlah aku yang mengurus hal ini.


Ki Gede lanjutkan saja perjalanan ke
Matesih. Aku akan membawa mereka
melapor kepada Ki Demang Kleringan.
Perjalanan Ki Gede sudah cukup terganggu
oleh masalah ini” katanya kemudian.

“Tidak apa-apa Wacana. Membantu


sesama adalah tugas kita semua. Jika
dibutuhkan aku akan ikut memberi
keterangan pula pada Ki Demang
Kleringan” kata Ki Gede Matesih dengan
sareh.

“Aku rasa tidak usah Ki Gede. Ki Demang


Kleringan cukup mengenalku. Kurasa ia
tidak akan meragukan keteranganku. Ki
Gede bisa meneruskan perjalanan ke
Matesih”
Kali ini Ki Gede Matesih mengangguk-
angguk setelah menerima pertimbangan
dari Wacana.

“Baiklah kalau begitu. Hanya saja, kita telah


mendengar kalau Ki Ageng Lawang Geni
menyebutkan sebuah tugas di Menoreh.
Aku menduga itu bukanlah sebuah tujuan
yang baik. Hatiku menjadi bimbang,
bukankah sudah seharusnya kita memberi
peringatan kepada orang-orang Menoreh
tentang kehadiran Ki Ageng Lawang Geni
dan murid-muridnya?”

Kali ini Wacana yang mengangguk


membenarkan.

“Ki Gede benar. Menoreh harus diberitahu.


Ki Gede lanjutkan saja perjalanan pulang.
Setelah melapor pada Ki Demang Kleringan,
aku akan kembali ke Menoreh sekalian
mengembalikan kuda Ki Gede Menoreh”

“Kau akan repot sekali hari ini Wacana.


Baiklah, titip salamku untuk Ki Gede
Menoreh. Katakan, aku akan siap berderap
ke Menoreh kapan saja jika dibutuhkan”

“Baik Ki Gede”
Rombongan itupun berpisah. Ki Gede
Matesih mengucapkan salam dan
meninggalkan Wacana yang harus
menyertai sebuah gerobak menuju ke
kademangan Kleringan yang berjarak tidak
jauh lagi. Diatas gerobak itu terbujur lemah
seorang perempuan yang dipangku
ayahnya yang sangat menyesali peristiwa
itu telah menimpa anaknya.

******

Dalam pada itu di dalam hutan yang tidak


begitu pepat di pinggiran Kali Progo, Ki
Rangga Agung Sedayu sedang duduk
bersila dan memusatkan pikirannya. Sejak
menggunakan jalur ilmu Goa Langse untuk
pertama kali, Ki Rangga Agung Sedayu
mulai bisa mengenali sifat-sifat ilmu dari
jalur perguruan Goa Langse tersebut. Kini
ia sedang merenungkan beberapa
kemungkinan yang bisa ia kembangkan
berkenaan dengan jalur ilmu tersebut.

Salah satu hal yang sangat Ki Rangga


Agung Sedayu perhatikan adalah
bagaimana caranya menampung begitu
banyak tenaga cadangan yang disedot dari
lawan agar tidak mempengaruhi
keseimbangan di dalam tubuhnya sendiri.
Beberapa kemungkinan sedang ia
renungkan. Salah satu kemungkinan justru
membuat bulu kuduk Ki Rangga Agung
Sedayu berdiri karena merinding.

Ia kemudian mengurai nalar budinya


sebelum duduk merenung lebih dalam.
“Mengerikan. Jika ilmu Goa Langse itu
jatuh ketangan orang-orang berjiwa kerdil.
Ia bisa memanfaatkannya untuk menyedot
tenaga cadangan seseorang hingga tubuh
orang itu kering dan mati dalam keadaan
mengenaskan” gumam Ki Rangga Agung
Sedayu dalam hati dengan bulu kuduk di
tubuhnya meremang.

“Bayangkan pula jika itu bertujuan untuk


meningkatkan tenaga cadangan seseorang
secara tiba-tiba setelah ia bertempur. Ia
tinggal menangkap tubuh seseorang dan
menyedot tenaga cadangannya hingga
habis dalam waktu beberapa saat saja”
desah Ki Rangga Agung Sedayu dengan
perasaan ngeri.

Dalam hatinya ia mulai bisa memahami,


mengapa Maharsi begitu ingin menurunkan
ilmu itu secara murni kepada seseorang
yang belum memiliki jalur ilmu tertentu.
Kemurnian itu dibutuhkan agar jiwa kerdil
seseorang tidak mengambil alih penalaran,
sehingga kemudian memanfaatkan ilmu
dari Goa Langse ke dalam kejahatan atau
cara-cara tercela.
Anggara adalah salah satu contohnya.
Setelah mempelajari ilmu Goa Langse, ia
jatuh kedalam ketamakan, mengira ilmu
dahsyat yang dimilikinya bisa menjadi
lantaran baginya menggapai gegayuhannya
yang sangat tinggi. Kapanpun ia inginkan,
ia bisa meningkatkan tenaga cadangannya
dengan menyedotnya dari musuh-
musuhnya. Atau bahkan dari orang yang
tidak bersalah sekalipun. Tidak perduli
orang itu akan kesulitan dalam
mempertahankan hidupnya setelah itu,
atau bahkan mati mengenaskan.

Namun di sisi lain, perenungan Ki Rangga


Agung Sedayu tiba pada kesimpulan lain.
Pemegang ilmu Goa Langse juga mampu
menyembuhkan melalui lantaran tenaga
cadangannya yang bisa disalurkan kepada
seseorang yang terluka dalam. Bahkan, ia
bisa menjadi jembatan bagi orang lain
untuk menyalurkan tenaga cadangan yang
besar ke dalam tubuh seseorang yang
sudah lemah secara cepat dan tepat.

“Jika aku sudah kehabisan tenaga


cadangan dalam sebuah pertempuran, aku
bisa dengan segera mendapatkan tenaga
cadangan lain dari seseorang, meski orang
itu akan menjadi lemah, pingsan atau jika
aku tidak hati-hati orang itu bisa terancam
jiwanya karena tenaga cadangannya telah
aku ambil alih” gumam Ki Rangga Agung
Sedayu makin meresapi sifat dari ilmu Goa
Langse tersebut. “Dalam keadaan terpaksa,
itu bisa menjadi penentu sebuah
pertarungan”.

“Ilmu ini sangat dahsyat jika bisa


dimanfaatkan sebaik-baiknya. Namun
ditangan yang salah, ilmu ini bisa sangat
mengerikan akibatnya” desah Ki Rangga
sambil menggeleng beberapa kali.

“Aku tidak boleh gegabah dalam mencari


seseorang untuk mewarisinya. Ratri
mungkin menjadi calon terkuat. Bahkan
Maharsi pun menyebut namanya pula pada
kesempatan pertama. Tapi aku harus
mengenali sifat-sifatRatri terlebih dahulu”
pikir Ki Rangga Agung Sedayu.

“Tapi kalau Ratri justru sudah memutuskan


untuk berguru pada Sekar Mirah atau
Pandan Wangi tentu sulit untuk
membujuknya mewarisi ilmu Goa Langse.
Lagipula, jalur itu menjadi tidak murni
seperti permintaan Maharsi. Belum lagi aku
yakin bahwa selangkah dua langkah, Ki
Gede Matesih pasti akan mewariskan
sepenggal ilmu yang dimilikinya pula pada
Ratri”

Kali ini Ki Rangga Agung Sedayu kembali


menggeleng dengan wajah keruh.
Persoalan itu malah menjadi beban dalam
pikirannya.

“Ah. Kurasa pewarisan ilmu Goa Langse ini


tidak harus menjadi beban pikiranku
sekarang. Aku masih bisa mencari orang
lain jika Ratri tidak bersedia”

Ki Rangga Agung Sedayu menghela napas


panjang untuk mengusir segala persoalan
itu. Untuk saat ini urusan pewarisan ilmu
Goa Langse akan dikesampingkannya lebih
dulu. Saat ia kembali merasakan
ketenangan, lamat-lamat ia kemudian
mendengar bunyi derap langkah kuda dari
kejauhan. Ki Rangga segera berdiri dan
mempertajam pandangannya seraya
berlindung dibalik sebatang pohon besar.
Dari jauh, ia bisa melihat serombongan
penunggang kuda menuju ke arah tanggul
Kali Progo.

“Rombongan prajurit Mataram. Mereka


sepertinya meninggalkan barak Pasukan
Khusus. Kemanakah mereka akan pergi?”
gumam Ki Rangga Agung Sedayu dalam
hati.

Ia kemudian mengamati senapatinya yang


berkuda paling depan. Sedikit terkejut, Ki
Rangga Agung Sedayu segera bisa
mengenali pemimpinnya.
“Kakang Untara” desisnya. Sementara
keenam penunggang kuda itu mulai
menuruni tanggul Kali Progo. “Mungkin
kakang Untara akan kembali ke Jati Anom.
Sayang sekali. Aku tidak bisa berbincang
lebih dulu”

Ki Rangga Agung Sedayu berniat


membiarkan rombongan itu terus berderap
ke Jati Anom. Meskipun ingin, ia merasa
tidak pada tempatnya saat itu untuk
berbicara dengan Untara. Ia harus bisa
menyembunyikan kepulangannya ke
Menoreh, sesuai perintah Ki Patih
Mandaraka.
Tapi tiba-tiba jantungnya berdetak lebih
keras menyadari sesuatu hal. “Sepanjang
Kali Progo sudah dipagari oleh orang-orang
Panaraga. Apakah Kakang Untara akan
dicegat pula? Wajahnya memiliki kemiripan
denganku. Berbekal lukisan wajah yang
dimiliki orang-orang Panaraga, mereka bisa
menyangka kakang Untara adalah aku!”
desis Ki Rangga Agung Sedayu khawatir.

“Aku harus memastikan Kakang Untara


mampu melewati Kali Progo dan padang
perdu setelahnya. Jangan sampai ada
orang-orang Panaraga mencegatnya di
dekat tanggul itu”
Memiliki pemikiran sedemikian, Ki Rangga
Agung Sedayu segera bergegas mendekat
lagi ke tepian Kali Progo dengan hati-hati
sambil mengetrapkan kemampuannya
menyerap segala bunyi yang ditimbulkan
oleh gerakan tubuhnya serta mempertajam
panca inderanya.

Saat Ki Rangga Agung Sedayu bisa


mencapai tempat terlindung yang lebih
dekat ke tepian Kali Progo, ia bisa melihat
Untara dan kelima pengawalnya telah naik
ke rakit dan mulai menyeberang ke sisi
timur.

“Aku hanya bisa mengamati mereka sejauh


beberapa tombak dari tanggul timur Kali
Progo. Setelah itu, perjalanan Kakang
Untara akan lepas dari pengamatanku. Aku
tidak bisa menggunakan aji Pengangen-
angen, itu akan melanggar titah Ki Patih”
keluh Ki Rangga Agung Sedayu dalam hati.

Padahal, bahaya pencegatan bisa terjadi


dimana saja sejauh beberapa ratus tombak
setelah melewati tepian Kali Progo.Ki
Rangga Agung Sedayu tidak bisa
menyeberang Kali Progo lagi. Karena itu, ia
terpaksa memasrahkan saja nasib
perjalanan saudara kandungnya itu setelah
mencapai sisi timur Kali Progo.
“Kakang Untara sangat berpengalaman.
Dengan membawa pengawal prajurit
Mataram, ia sudah menunjukkan
kewaspadaannya. Meskipun itu juga berarti
membuat orang Panaraga semakin tertarik
untuk mencegatnya. Semoga Yang Maha
Agung terus melindunginya”

Rakit yang ditumpangi Ki Tumenggung


Untara pun telah mencapai tepian. Mereka
berenam kemudian menuntun kuda-kuda
mereka turun dari rakit. Setelah
membayarkan upahnya, Ki Tumenggung
Untara terlihat kembali menaiki kuda dan
mulai meninggalkan tepian.
Ki Rangga terkejut saat melihat empat
sosok lelaki, dimana yang salah satunya
bertubuh lebih tinggi dari yang lain muncul
dari bibir tanggul kali Praga dan berdiri
tegak dihadapan rombongan Untara yang
mulai meninggalkan tepian. Dua
diantaranya segera dikenali oleh Ki Rangga
Agung Sedayu.

“Gila! dua orang itu lagi. Mereka benar-

benar tidak pandang bulu dalam

menjalankan tugas mereka. Tapi

bagaimana mereka cepat sekali mereka

pulih dari keadaan mereka sebelumnya?”

desisnya keheranan. Dengan

mengetrapkan aji Sapta Pangrungu

setinggi-tingginya, Ki Rangga Agung


Sedayu samar-samar bisa mendengar
pembicaraan yang berjarak sangat jauh itu.
Jelas bahwa keempat pria itu sengaja
mencegat Untara. Dan bisa ditebak, tak
lama kemudian mereka mengeluarkan
lipatan kain yang berisi lukisan wajah Ki
Rangga Agung Sedayu.

“Keadaan menjadi gawat. Keempat orang


itu sepertinya bukan tandingan kakang
Untara dan kelima pengawalnya. Apakah
kakang Untara telah mampu meningkatkan
kemampuannya selapis lebih tinggi setelah
beberapa waktu belakangan ini?” gumam
Ki Rangga bertanya dalam hati.
Bagaimanapun sejak lama, jarak dari
kemampuan kanuragan antara Untara dan
Agung Sedayu sudah sedemikian lebarnya.
Karena itu, Ki Rangga segera meraba
bahwa Untara bakal kesulitan melawan
keempat orang itu meskipun dibantu oleh
para pengawalnya.

“Ini mengkhawatirkan sekali. Bagaimana


aku bisa membantu!?” desah Ki Rangga
Agung Sedayu dalam kebingungannya.

Seperti bisa duduga, tidak lama kemudian


pecah pertempuran antara Untara dan
pengawal-pengawalnya melawan keempat
orang itu di tepian sisi timur Kali Praga.
Ki Rangga Agung Sedayu dengan berdebar
memandangi pertempuran yang telah
terjadi beberapa saat itu. Kedua orang yang
menjadi lawannya tadi malam kini
berhadapan dengan para pengawal dalam
barisan pertahanan yang padu.

Sebagaimana biasa, para prajurit Mataram


selalu bertempur dalam ikatan untuk dapat
mengisi dan menjaga satu sama lain.
Keadaan ini sangat membantu apabila
mereka harus bertempur dengan orang
yang memiliki ilmu kanuragan lebih tinggi.

Dalam pengamatan yang sesaat itu, Ki


Rangga Agung Sedayu bisa menyimpulkan
bahwa kedua lawannya tadi malam belum
pulih sepenuhnya sehingga memilih hanya
berhadapan dengan prajurit Mataram.
Gerakan mereka terlihat cukup lamban dan
terlihat tidak memiliki kelebihan
dibandingkan para prajurit Mataram.

“Tenaga cadangan mereka yang telah


terkuras tentu belum kembali sepenuhnya.
Terutama orang yang bertubuh tinggi itu.
Mereka hanya mengandalkan tenaga
wadag mereka saat ini. Keadaan menjadi
sedikit lebih baik untuk kakang Untara”
gumam Ki Rangga Agung Sedayu sambil
terus mengamati pertempuran itu dari
seberang kali Praga.
Kini perhatiannya terpusat pada Untara.
Dalam beberapa saat, Ki Rangga Agung
Sedayu bisa melihat kemampuan
saudaranya itu telah meningkat dari
terakhir kali ia pernah menyaksikan
pertempuran Untara dengan lawannya.
Tapi peningkatan itu bukanlah peningkatan
yang mengagumkan. Entah mengapa,
Untara seperti tidak mampu memecahkan
unsur yang lebih tinggi ilmu dari jalur Ki
Sadewa yang mengalir dalam darahnya.

Tugas-tugasnya dalam bidang keprajuritan


selama ini membuat Ki Tumenggung
Untara tidak pernah sempat untuk duduk
bersama dengan Ki Rangga Agung Sedayu
membahas perkembangan jalur ilmu Ki
Sadewa yang mengalir dalam dirinya.
Mungkin itulah sebabnya, perkembangan Ki
Tumenggung Untara tidaklah sepesat Ki
Rangga Agung Sedayu yang selalu
mendapat bimbingan dari guru-gurunya.

“He! Kenapa ciri-ciri jalur ilmumu sama


dengan seseorang yang bernama Gupita!?”
teriak orang yang bertubuh tinggi itu secara
tiba-tiba. Padahal ia tidak sedang melawan
Untara, namun ia sempat mengamati tata
gerak Untara diantara pertarungannya
dengan prajurit Mataram yang menjadi
lawannya.

Baik Untara maupun Ki Rangga Agung


Sedayu yang mendengar teriakan itu dari
jarak yang sangat jauh sama-sama terkejut.

Ki Rangga Agung Sedayu mengeluh dalam


hati. Persamaan itu tidak dapat dihindari
karena Untara juga mewarisi jalur ilmu Ki
Sadewa, ayah mereka. Ki Rangga menjadi
berdebar-debar menunggu jawaban Untara.
Bagaimanapun, Untara tentu mengetahui
segala cerita dibalik nama Gupita tersebut.
Ki Rangga Agung Sedayu hanya bisa
berharap bahwa Untara akan menemukan
jawaban yang tepat, jika ia memang berniat
menjawab pertanyaan itu.

Sebenarnya Untara juga berotak cemerlang


seperti Ki Rangga Agung Sedayu. Karena
itu, ia segera dapat memahami
permasalahan itu dengan baik.

“Oh, jadi kau sudah bertemu saudara


seperguruanku itu? Dimana kau bertemu
dengannya?” tanya Untara memancing
sebuah keterangan.

“Tadi malam ia bertarung denganku di


tepian yang tidak berapa jauh dari sini.
Pantas kalian berdua mirip. Tentu kalian
bersaudara kandung pula!” teriak orang
yang bertubuh tinggi itu tanpa menyadari
pertanyaan pancingan dari Ki Tumenggung
Untara.
“Ya. Karena itu aku menjadi heran
sekarang” kata Untara sambil
memamerkan senyum tipis.

“Heran kenapa?”

“Aku heran kenapa kalian masih hidup.


Biasanya saudara seperguruanku itu tidak
pernah melepas lawannya dalam keadaan
bernyawa”
“Setan alas! Tutup mulutmu! Justru Gupita
itulah yang sudah terkapar tidak bernyawa
tadi malam!”

“Aku tidak percaya!” seru Untara membalas.

Orang yang bertubuh tinggi itu terus


memaki lawan-lawannya. Tubuhnya
sebenarnya masih lemah. Namun sekedar
mengikat para prajurit Mataram dalam
pertempuran ia masih merasa sangat
mampu. Masih jelas dalam ingatannya
bagaimana ia terbangun dari pingsannya
dan merasakan tubuhnya begitu lemah.
Untunglah, dua saudara perguruannya yang
lain segera menemukan mereka berdua
yang tengah berjuang mengembalikan
tenaga cadangan mereka. Dengan menelan
sebutir ramuan obat, kekuatan tubuh
mereka bisa pulih lebih cepat.

Karena itu, bersama saudara-saudaranya ia


kembali ikut mencegat para prajurit
Mataram yang keluar dari arah Menoreh.
Tidak disangka ia kembali menemukan
seseorang yang mirip dengan lukisan
diatas kain yang dibagikan Tumenggung
Bintarawaja dari Panaraga.

Sementara itu, pikiran Untara pun sedang


melayang menelisik berbagai kemungkinan
akibat dari jawaban orang yang bertubuh
tinggi dan berambut mulai memutih itu.

“Agung Sedayu pernah memakai nama


Gupita. Jika memang orang itu
mengatakan lawan sebelumnya memakai
ciri yang sama dengan jalur ilmuku, aku
yakin itu adalah Agung Sedayu. Kurasa
Agung Sedayu sudah kembali ke Menoreh
saat ini. Orang lain yang mungkin
menggunakan jalur ilmuku ini hanya Agung
Sedayu, Glagah Putih dan Paman Widura.
Paman Widura tidak mungkin
meninggalkan padepokan. Jadi sudah pasti
itu Agung Sedayu” pikir Untara mencapai
sebuah kesimpulan.

Kelegaan tampak tersirat di wajah Untara


selama beberapa saat. Ia menjadi yakin,
saudara kandungnya itu telah dibebaskan.
Kini tinggal memikirkan bagaimana
caranya melumpuhkan orang-orang ini.
Untara sadar, bahwa mereka adalah bagian
dari orang-orang yang mengejar hadiah
yang disediakan oleh pihak Panaraga untuk
menangkap Ki Rangga Agung Sedayu.
Tapi usahanya itu mendapat rintangan
besar. Alih-alih menekan lawannya
Tumenggung Untara jelas mulai terdesak
karena kekuatan yang tidak seimbang itu.

Ki Rangga Agung Sedayu dari seberang


sungai pun bisa melihat bahwa para
prajurit Mataram mulai terdesak dan
mundur selangkah demi selangkah,
meskipun tetap berusaha mempertahankan
barisan mereka. Tumenggung Untara juga
sudah mendorong kemampuannya setinggi
-tingginya namun belum bisa
membebaskan mereka dari tekanan
lawannya yang semakin tajam.

“Bagaimana aku bisa membantu!?” geram


Ki Rangga Agung Sedayu melihat Untara
mulai dalam kesulitan. Berbagai
pertimbangan hilir mudik di kepala Ki
Rangga. Tidak ada cara lain yang bisa di
pikirkannya selain menggunakan Aji
Pengangen-Angen. Meskipun itu bisa
berarti melanggar titah Ki Patih, namun Ki
Rangga Agung Sedayu tidak mungkin
membiarkan Untara dalam kesulitan besar
yang dapat membahayakan nyawanya dan
prajurit-prajurit yang dibawanya.
Selagi Ki Rangga Agung Sedayu semakin

terdorong keinginannya untuk

mengetrapkan ajiannya yang dahsyat itu,

pertempuran di seberang terlihat makin

parah. Prajurit Mataram yang dibawa oleh

Tumenggung Untara terlihat sedemikian

terdesak melawan tiga dari empat orang

yang mencegat mereka.

Tumenggung Untara sendiri terlihat


kesulitan melepaskan diri dari libatan
lawannya. Ia sudah mengerahkan
kemampuan tertinggi yang bisa ia capai.
Hanya karena pengalamannya sajalah
maka perbedaan selapis dua lapis antara
dirinya dan lawannya tidak terlalu kentara.

“Terpaksa. Aku terpaksa!” desis Ki Rangga


Agung Sedayu, memantapkan hati untuk
mengetrapkan aji Pengangen Angen.

Hanya selisih sekejapan mata saat Ki


Rangga Agung Sedayu hampir melepaskan
Aji Pengangen-angen, tiba-tiba di seberang
muncul dua orang yang berlari dengan
kecepatan yang tinggi mendekati
pertempuran itu. Ki Rangga Agung Sedayu
dengan cepat mempertajam

penglihatannya.

Kedua orang itu, satu lelaki tua dan satu


perempuan paruh baya segera melibatkan
diri melawan keempat orang yang
mencegat Tumenggung Untara. Sebuah
hembusan napas kelegaan keluar dari
mulut Ki Rangga mengenali kedua sosok
yang baru datang itu.

“Empu Wisanata dan Nyi Dwani!.


Syukurlah…!” desis Ki Rangga Agung
Sedayu dengan perasaan sangat lega.
Kedua orang linuwih itu segera merubah
keseimbangan pertempuran. Teriakan
marah dan menghujat terdengar dari
keempat lawan mereka. Tidak perlu
menunggu lama, kedua orang yang linuwih
itu bisa mendesak para pencegat
perjalanan Ki Tumenggung Untara.

Melihat gelagat yang kurang

menguntungkan, keempat orang itu tiba-

tiba menghentakkan kemampuan mereka.

Saat lawan-lawannya kaget dan mundur

selangkah, keempatnya melompat

bersamaan dan berpencaran lari


meninggalkan pertempuran.

Ki Rangga Agung Sedayu bisa menarik


napas lega. ia tidak lagi merasa perlu
mendengar perbincangan Tumenggung
Untara dengan Empu Wisanata dan Nyi
Dwani. Ia sudah bisa menduga bahwa
Untara pasti akan menceritakan segala
keadaan yang sedang berkembang di
Menoreh dan Mataram.

“Empu Wisanata dan Nyi Dwani


kelihatannya baru mengadakan perjalanan
jauh. Mungkin mereka baru saja menjenguk
sanak saudara mereka yang tinggal di
Pajang” gumam Ki Rangga Agung Sedayu
masih mengamat-amati mereka.

Tidak lama kemudian, rombongan Ki


Tumenggung Untara terlihat melanjutkan
perjalanan. Ki Rangga Agung Sedayu pun
merasa tidak perlu lagi mencemaskan
perjalanan saudaranya. Lewat dari tepian
kali Praga, Untara bisa menempuh banyak
cabang jalan yang akan menyulitkan bagi
siapapun untuk melakukan pencegatan
kembali.
Tentu, jika Tumenggung Untara tidak
beruntung, ia bisa berselisih jalan lagi
dengan orang-orang Panaraga di suatu
tempat. Namun kemungkinan itu sudah
kecil sekali selepas kali Praga.

Sementara itu, Empu Wisanata dan Nyi


Dwani menyeberang menggunakan rakit. Di
punggung mereka masing-masing
menggendong buntelan kain, menandakan
mereka baru kembali dari sebuah
perjalanan.

Ki Rangga merasa tidak perlu mengamat-


amati keadaan lagi sehingga memutuskan
kembali bersembunyi di hutan tempat ia
memusatkan nalar budi tadi sambil
menunggu malam tiba.

******

Dalam pada itu, di sekitar Gunung


Kendalisada nampak serombongan
penunggang kuda sedang menyusuri jalan-
jalan sempit diantara rerimbunan
pepohonan. Seorang lelaki yang sudah
berumur, namun masih bertubuh tegap dan
memelihara cambang serta berewok
nampak berkuda paling depan. Di
belakangnya berturut-turut lima orang
lelaki yang mengenakan pakaian prajurit
Mataram, sementara dua orang lagi
dibelakangnya mengenakan pakaian abdi
dalem seperti juga orang yang berada
paling depan.

“Ki Bango Lamatan, apakah memang benar


petunjuk petani tadi bahwa ini jalan menuju
pertapaan Resi Mayangkara?” tanya
prajurit yang berada paling depan.

“Mestinya begitu” jawab singkat orang


yang berkuda paling depan yang ternyata
adalah Ki Bango Lamatan.

“Jalannya semakin rumpil dan sulit Ki


Lamatan. Sebentar lagi, kuda-kuda akan
kesulitan melangkah” gumam prajurit itu
lagi.

“Tapi ini jalan yang ditunjukkan petani itu.


Ia sudah mengatakan jalannya akan sulit
sekali. Kalau perlu kita akan tinggalkan
kuda-kuda dan berjalan kaki menuju
pertapaan Resi itu” kata Ki Bango Lamatan
sambil menoleh ke belakang.
Prajurit yang berkuda di belakangnya pun
hanya bisa menelan ludah saja. Sudah
beberapa hari mereka berkuda menuju
pertapaan Resi itu setelah berangkat dari
Kotaraja Mataram. Seharian ini, mereka
justru berputar-putar di sekitar Gunung
Kendalisada karena mencari pertapaan
sang Resi. Beberapa orang yang ditanyai di
sekitar gunung itu bahkan tidak
mengetahui keberadaan pertapaan itu.
Barulah setelah beberapa lama, mereka
menjumpai seorang petani tua yang hidup
terpencil dan mengetahui jalan menuju
pertapaan itu, meskipun seumur hidupnya
ia belum pernah mendaki Gunung
Kendalisada itu.

Ki Bango Lamatan menghela napas


panjang mengingat perjalanan mereka ke
Kendalisada. Mereka sempat bermalam di
Tanah Perdikan Matesih. Ki Bango
Lamatan berharap bisa menjumpai Ki
Jayaraga, Ki Waskita dan Glagah Putih.
Paling tidak, menurut perhitungannya ia
akan bertemu dengan Ki Gede Matesih.
Namun ternyata, tanah perdikan itu kosong.
Hanya dijaga para bebahu dan
pengawalnya.
“Pasti Ki Jayaraga, Ki Waskita dan Glagah
Putih bergegas pulang begitu mengetahui
peristiwa yang dialami oleh Ki Rangga
Agung Sedayu. Kelihatannya, Ki Gede
Matesih pun tertahan di Menoreh” pikir Ki
Bango Lamatan dalam angan-angannya. Ia
yang berada di ndalem istana, mengikuti
dengan jelas bagaimana hiruk pikuk dan
carut marut yang terjadi dalam penobatan
raja Mataram yang baru. Meskipun Ki
Bango Lamatan hanyalah abdi ndalem yang
tidak memiliki kuasa apapun, namun
sebagai abdi khusus bagi Raden Mas
Rangsang, ia merasa lega pula akhirnya
junjungannya itu yang duduk di singgasana
sekarang ini.
Dan kini ia mengemban perintah khusus
dari Raden Mas Rangsang yang kini
bergelar Sinuhun Prabu Hanyakrakusuma
untuk menjenguk selirnya, Rara Anjani yang
menyingkir ke Pertapaan Kendalisada.

“Kenapa Rara Anjani justru menyingkir ke


tempat yang terpencil ini?” batin Ki Bango
Lamatan bertanya-tanya. “Bukankah
dengan dinobatkannya suaminya, justru
Rara Anjani makin terangkat derajatnya? Ia
telah menjadi seorang selir Raja yang
berkuasa di tanah ini?”
Kembali lagi Ki Bango Lamatan mengingat-
ingat peristiwa yang ia ketahui dari cerita
para abdi dalem kepangeranan sebelum
Raden Mas Rangsang atau bergelar
Pangeran Pati dilantik menjadi raja.

“Menurut mereka, Rara Anjani justru


menghilang sebelum peristiwa di hutan
Krapyak itu. Apakah ada hubungannya?”
desah batin Ki Bango Lamatan semakin
bingung. Ia kembali memandang
berkeliling tempat itu sementara kuda-kuda
mereka secara perlahan mendaki jalan
sempit yang sudah lama tidak diinjak oleh
manusia itu.

“Pantas saja, butuh waktu cukup lama bagi


para sandi untuk memastikan memang
Rara Anjani telah menyepi ke pertapaan ini.
Tempat ini terlalu terpencil”

Sekilas, Bango Lamatan teringat pada


kesempatan pertama saat ia bertemu
dengan perempuan bernama Anjani
sebelum menjadi selir Raden Mas
Rangsang. Sebuah pertemuan yang
mungkin tidak akan bisa dilupakannya,
bagaimana Anjani pada saat itu telah
membuatnya mabuk kepayang dan lupa
dengan keberadaan dirinya sendiri.

“Aku tidak berkepentingan apa-apa dengan


Rara Anjani. Pertemuan kali ini hanya
karena aku telah mengemban tugas. Tidak
lebih dari itu” gumam Ki Bango Lamatan
dalam hati, menepis angan-angannya.

“Ki Bango Lamatan, aku seperti melihat


asap disana” kata prajurit di belakangnya.
Ia menunjuk ke arah depan, sedikit keatas
dari tempat mereka berada, membuat
angan-angan Ki Bango Lamatan menjadi
terputus.

Ki Bango Lamatan pun ikut menatap arah


yang ditunjuk. Dengan kemampuannya
yang tinggi, Ki Bango Lamatan dapat
mempertajam penglihatannya dan
memastikan bahwa itu adalah asap tipis
dari pembakaran kayu, yang biasanya
merupakan bagian dari dapur sebuah
rumah.

“Mungkin ada rumah disana. Marilah, kita


menuju ke arah itu” kata Ki Bango Lamatan
kemudian. Rombongan itu pun berbelok
keluar dari jalan sempit yang terjal dan
mulai menyelinap diantara pepohonan.
Jalannya sangat rumpil, sehingga sebentar
kemudian, Ki Bango Lamatan berhenti dan
turun dari kudanya.

“Aku akan terus menengok keadaan di


depan. Kalian berdua ikut aku. Yang lain,
tunggulah disini” katanya pada dua orang
prajurit Mataram yang menyertainya.

Dengan perlahan-lahan, Ki Bango Lamatan


menyusup diantara pepohonan. Tak lama
kemudian, panggraitanya yang tajam telah
menangkap suara-suara percakapan. Ia
bermaksud mengendap-endap untuk
melihat siapa yang sedang bercakap-cakap
itu. Tapi kemudian ia tersadar.

“Ah, mengapa jadi begini? Aku seperti


penyusup saja mengendap-endap, seperti
kebiasaanku dulu saat mengikuti
Panembahan Cahya Warastra. Sekarang,
aku tidak perlu melakukannya. Aku sedang
mengemban tugas dari Sinuhun Prabu
Hanyakrakusuma” gumam Ki Bango
Lamatan dengan geli pada dirinya sendiri.

Karena itu, dengan kepala tengadah, Ki


Bango Lamatan menembus hutan yang
tidak seberapa lebat itu. Ternyata memang
ada sebuah rumah yang berdiri di tengah
hutan kecil itu. Bahkan terdapat beberapa
gubug yang cukup terawat rapi di
sekitarnya.

Seorang lelaki dan perempuan tua yang


sedang duduk di halaman salah satu gubug
terkejut dengan kemunculan Ki Bango
Lamatan dan dua pengawalnya. Yang lelaki
segera bergegas menghampiri.

“Selamat datang kisanak. Kisanak


darimana, apakah ada yang bisa aku
bantu?” tanyanya dengan sopan sambil
mengamat-amati ketiga orang yang
dihadapinya.
Ki Bango Lamatan tersenyum untuk
mencairkan suasana agar orangtua itu
tidak menjadi ragu atau ketakutan
melihatnya.

“Selamat sore Ki. Apakah benar tempat ini


merupakan pertapaan Resi Mayangkara di
Gunung Kendalisada?” tanya Ki Bango
Lamatan sambil memandang berkeliling.
Orang tua itu mengangguk sambil
mengamat-amati Ki Bango Lamatan.

“Kisanak siapa?” tanyanya pula membalas.

“Namaku Bango Lamatan, aku mendapat


tugas dari Prabu Hanyakrakusuma dari
Mataram”

“Prabu Hanyakrakusuma?” tanya orang itu


dengan wajah keheranan.

“Ya Prabu Hanyakrakusuma, putra dari


Sinuhun Prabu Hanyakrawati yang dahulu
bernama Raden Mas Rangsang dan
bergelar Pangeran Pati” kata Ki Bango
Lamatan.

Lelaki itu langsung membelalakkan mata.


Ia segera membungkuk dengan hormat.

“O, maafkan aku Ki Bango Lamatan, aku


tidak tahu bahwa Raden Mas Rangsang

ternyata sudah naik tahta” kata orang itu,

sementara Ki Bango Lamatan

menghembuskan napas pendek.

Bagaimanapun ricuhnya penobatan Raja

baru di Kotaraja, terkadang tidak membawa

pengaruh apapun bagi rakyat jelata yang

hidup di lereng-lereng terpencil seperti

kakek tua dihadapannya. Ia bahkan tidak

tahu jika telah terjadi pergantian kekuasaan

di puncak tahta. Hidupnya seperti tidak

berubah, siapapun yang sedang menduduki

tahta.

“Alangkah tenangnya kehidupan seperti ini”


pikir Ki Bango Lamatan dalam angan-
angannya. “Suatu hari nanti, aku sangat
ingin menikmati kehidupan tenang seperti
ini. Jauh dari kericuhan dan hingar bingar
pertentangan untuk lebih meresapi nikmat
dan karunia yang di limpahkan oleh
penguasa jagat ini sebagaimana ajaran
Kanjeng Sunan”

“Maaf Ki Bango Lamatan, jika boleh aku


tahu, apakah tujuan Ki Bango Lamatan
datang ke tempat ini?” tanya orang tua itu
lagi. Ki Bango Lamatan tersenyum.
Sebagaimana penduduk padesan yang lugu
dan tidak berpikir macam-macam, orang
tua dihadapannya itu juga tidak mau
menyimpulkan sendiri hal-hal yang dirasa
belum dimengertinya.
“Kisanak. Kami datang atas perintah
Sinuhun Prabu untuk menjenguk Rara
Anjani di Pertapaan Resi Mayangkara”

Lelaki itu kembali terbelalak, “Oh…Maafkan


aku sekali lagi Ki. Maafkan. Aku baru
tersadar, suami Gusti Rara Anjani
sekaranglah yang menjadi Raja” ucap lelaki
tua itu dengan suara bergetar. Ia
membungkuk dalam-dalam dan hampir
saja berlutut kalau saja Ki Bango Lamatan
tidak bertanya lagi.

“Nah, apakah kau mengenal Rara Anjani


dan Resi Mayangkara?” tanya Ki Bango
Lamatan.
“Tentu. Tentu Ki. Aku adalah pelayan
pertapaan itu, meski kami tinggal di bawah,
agak jauh dari pertapaan itu sendiri, tapi
istriku setiap hari mengurusi kebutuhan
Resi Mayangkara dan cucunya, Gusti Rara
Anjani” kata lelaki itu.

“Nah, bisakah kau mengantarkan kami


menemui pertapa yang sangat dihormati
itu?”

“Tentu-tentu Ki. Marilah, kita memanjat


sedikit lebih tinggi lagi” kata lelaki itu.
Dengan tergopoh-gopoh, ia menemui
istrinya dan mengatakan akan menuju
pertapaan Resi Mayangkara. “Jika kau
sudah selesai, naiklah ke atas sebentar,
tentu Resi Mayangkara dan Gusti Rara
Anjani ingin menjamu tamu-tamunya”
pesan lelaki itu.

Sementara Ki Bango Lamatan


memerintahkan kedua pengawalnya untuk
menjemput sisa rombongan mereka yang
masih tertahan di dalam hutan.

“Setelah itu, susullah kami” pesan Ki Bango


Lamatan.

“Baik kiai” jawab pengawalnya.


Maka dengan dipandu oleh orang tua itu, Ki
Bango Lamatan mendaki Gunung
Kendalisada menuju pertapaan Resi
Mayangkara yang selama ini sangat
terpencil.

Tidak berapa lama, mereka memasuki


sebuah tempat terbuka dimana terdapat
beberapa bangunan kecil dan sebuah
rumah ditengahnya. Sekelilingnya
merupakan hutan yang masih pepat. Ada
sebuah taman yang berisi bunga-bunga di
sudut tempat terbuka itu. Dan seraut wajah
cantik jelita justru sedang duduk didekat
bunga-bunga itu. Perempuan muda yang
masih sangat mempesona itu mengangkat
wajahnya. Jantung Ki Bango Lamatan
menjadi berdebar keras.

“Rara Anjani” desisnya tanpa sadar. Seraut


wajah jelita itu tidak akan pernah ia
lupakan saat pertama kali bertatap muka di
sekitaran perbukitan Menoreh.

“Paman Bango Lamatan?” seru perempuan


itu dengan terkejut.

“Hamba, Rara” kata Ki Bango Lamatan


sambil mengangkat sembah pada selir
Raja itu. Begitu pula para pengiring dan
pengawal Ki Bango Lamatan. Rara Anjani
bergerak dengan hati-hati mendekat.
Perutnya nampak sangat berisi dan
membesar. Tapi tentu masih beberapa
bulan lagi sebelum selir dari Sinuhun Prabu
Hanyakrakusuma itu akan melahirkan.

“Paman, kenapa paman bisa sampai


disini?” tanya Anjani dengan mata
membulat.

“Rara, kami mengemban perintah dari


sinuhun Prabu Hanyakrakusuma”

“Prabu Hanyakrakusuma?” tanya Anjani


dengan heran.

“Benar Rara. Pangeran Pati telah diangkat


sebagai Raja Mataram dengan gelar
abiseka Sinuhun Prabu Hanyakrakusuma”

Rara Anjani terpekik kecil sambil menutup


mulutnya. Ia benar-benar terkejut. Selama
menyepi di pertapaan Kendalisada ini, tidak
ada kabar berita apapun yang ia terima.
Kehidupan tempat ini begitu tenang dan
lambat mengalir. Hari-hari hanya
mendengarkan kicauan burung dan
menatapi taman kecil yang dibuatkan oleh
Resi Mayangkara dan pembantunya.

Suatu kehidupan tentram yang diimpikan


banyak orang. Meski hati Rara Anjani
sebenarnya hampa. Namun ia memilih
untuk mengasingkan diri disana, daripada
ikut terlibat hiruk pikuk perebutan
kekuasaan di istana. Apalagi dengan
ancaman pembunuhan kepadanya yang ia
dengar sendiri dari percakapan emban
Menik dan Jajar Kawung di ndalem
kepangeranan.

Selagi Rara Anjani tertunduk mendapati


kabar yang mengejutkannya itu, pintu
rumah terbuka. Seorang lelaki tinggi besar
yang sudah sepuh dengan tubuh dipenuhi
rambut yang sudah memutih nampak
keluar dari dalam rumah.

“Kelihatannya ada tamu dari Mataram.


Kenapa kau biarkan mereka berdiri saja
Anjani? bawalah mereka ke pendapa” kata
lelaki tua yang masih terlihat segar dan
perkasa itu.

“Ya eyang” jawab Rara Anjani, “Marilah


paman, kita duduk di pendapa. Itu adalah
eyang Mayangkara. Guruku” kata Rara
Anjani.

Mereka pun segera bergegas untuk duduk


di pendapa.

“Salam hormatku Resi Mayangkara” kata Ki


Bango Lamatan saat sudah duduk di
pendapa sambil mengangkat sembahnya
pada Resi Mayangkara.

“Siapakah kisanak ini, aku tadi hanya


menebak-nebak saja dari penampilan
kisanak, bahwa kisanak pasti dari kotaraja
Mataram”

“Demikianlah adanya paman Resi. Namaku


Bango Lamatan. Aku adalah utusan khusus
dari Sinuhun Prabu Hanyakrakusuma, yang
dahulu bergelar Pangeran Pati. Tujuan
kami adalah untuk menjenguk Rara Anjani
dan mengabarkan penobatan suaminya
sebagai Raja Mataram” kata Ki Bango
Lamatan dengan suara khidmat.
Resi Mayangkara menarik napas panjang
sambil mengangguk pelan.

“Syukurlah. Kini Mataram telah memiliki


raja baru. Tapi, apakah yang telah terjadi
ngger? Mengapa raja telah berganti?
Maafkan kami, kami adalah orang-orang
yang lebih suka mengasingkan diri ke
tempat-tempat sepi sehingga tidak tahu
apa-apa mengenai keadaan di luar sana”

Sambil mengangkat sembahnya, Ki Bango


Lamatan kemudian menjelaskan peristiwa
yang terjadi di hutan Krapyak, semenjak
Rara Anjani meninggalkan ndalem
kepangeranan.
Rara Anjani menutup wajahnya dengan

penuh keprihatinan. “Sudah kuduga. Sudah

kuduga sesuatu yang buruk akan terjadi.

Bila saja pangeran mendengarkan

pertimbanganku, sinuhun Prabu

Hanyakrawati tidak akan mangkat dengan

cara seperti itu” desahnya kemudian.

“Rara. Karena itulah, aku telah diutus oleh


sinuhun untuk menjemput Rara kembali ke
istana” ujar Ki Bango Lamatan kemudian.

Sejenak paras cantik miliki perempuan


bernama Anjani itu terkesiap. Berbagai
pertimbangan kemudian hilir mudik
dipikirannya. Ia menatap Ki Bango Lamatan
yang tertunduk cukup lama.

“Paman Lamatan. Sebenarnya, aku sudah


tidak berniat kembali lagi ke istana” desis
Rara Anjani kemudian. Resi Mayangkara
dan Ki Bango Lamatan sama-sama menarik
napas panjang.

“Ngger. Suamimu telah mendapatkan


mukti untuk menduduki singgasana sebuah
kerajaan besar yang berkembang diatas
tanah ini. Engkau tidak pantas menolak
perintahnya. Apalagi, kau adalah istrinya”
ucap Resi Mayangkara mengingatkan.

Rara Anjani menarik napas panjang. Ia


tetap menggeleng meski dengan gelengan
lemah.

“Eyang, sejak aku meninggalkan ndalem


kepangeranan atas pertimbanganku sendiri,
aku menyadari bahwa aku telah melanggar
sebuah paugeran. Tidak sepantasnya
seorang istri meninggalkan suami tanpa
seizinnya. Tapi apa yang kulakukan itu
sepenuhnya dengan pertimbangan
keselamatan diriku dan bayi yang
kukandung ini. Aku telah mendengar
sendiri sebuah rencana untuk
menyingkirkanku dari ndalem
kepangeranan oleh sekelompok orang”
kata Rara Anjani.
Ki Bango Lamatan mengangkat wajahnya
menatap Rara Anjani dengan kening
berkerut. Ia memang sama sekali tidak
mengerti duduk persoalannya. Yang ia
ketahui hanyalah berita bahwa Rara Anjani
telah minggat sebelum peristiwa di hutan
Krapyak, sementara dirinya justru sedang
melawat ke Matesih dan Perguruan Sapta
Dahana sesuai dengan perintah Ki Patih
dan seizin Pangeran Pati kala itu bersama
rombongan Ki Rangga Agung Sedayu.

Setelah itu, beberapa hari yang lalu Prabu


Hanyakrakusuma memanggilnya dan
memerintahkannya berangkat ke Gunung
Kendalisada untuk menjemput Rara Anjani.
Persoalan diantara mereka tidaklah
menjadi urusan Ki Bango Lamatan. Ia

sebagai abdi dalem tidak berhak

mempertanyakannya ataupun

mencampurinya.

“Rara. Paman hanya bertugas menjemput


Rara Anjani kembali ke istana. Jikalau Rara
menolak untuk kembali ke istana, paman
tidak bisa memaksakan kehendak karena
sinuhun Prabu juga tidak memberi kuasa
itu pada paman. Namun, ada baiknya jika
Rara memberi alasan yang bisa paman
sampaikan nantinya kepada sinuhun
Prabu” ucap Ki Bango Lamatan kemudian.

“Paman sampaikan sembah sujudku yang


paling dalam untuk Sinuhun Prabu
Hanyakrakusuma. Hatiku telah bulat untuk
menepikan diri dari istana. Biarlah, aku
tinggal di tempat yang sunyi ini. Aku hanya
akan memasrahkan diri kepada kehendak
Yang Maha Agung” kata Rara Anjani
dengan perlahan.

Ki Bango Lamatan mendesah pelan.


Sebenarnyalah, Sinuhun Prabu telah
mengisyaratkan kepadanya bahwa
kemungkinan besar Rara Anjani akan
menolak diajak kembali ke istana. Karena
itu, Sinuhun Prabu hanya ingin
menunjukkan kasihnya kepada selir
kesayangannya itu, bahwa ia tetap akan
mengingat Rara Anjani dimanapun ia
berada dengan mengiriminya utusan yang
dapat mengabarkan keadaannya.

“Baiklah Rara, Jika demikian, aku akan

sampaikan hal itu kepada sinuhun Prabu

Hanyakrakusuma. Hanya saja,

sebenarnyalah, Sinuhun Prabu sudah

memiliki dugaan akan penolakan Rara

untuk kembali ke istana. Karena itu,

Sinuhun Prabu telah memerintahkanku

untuk meninggalkan sebagian

rombonganku di pertapaan ini untuk

menjaga Rara Anjani sebagai salah

seorang keluarga Raja. Mohon dimaklumi”

kata Ki Bango Lamatan sambil mengangkat

sembahnya sekejap.
Resi Mayangkara hanya mengangguk dan
tersenyum tipis, sementara Rara Anjani
menoleh kepada eyangnya itu sebelum
kembali menundukkan wajahnya.

“Paman. Itu terasa berlebihan. Selama ini


kami baik-baik saja di pertapaan ini”
katanya dengan wajah tertunduk.

“Ngger. Itu adalah sebuah kehormatan dari


seorang Raja. Dengan menjagamu lewat
kehadiran prajurit, pertanda bahwa
suamimu masih sangat menyayangimu”
kata Resi Mayangkara. “Sebentar lagi,
engkau akan melahirkan seorang
keturunan Raja. Suka atau tidak, kabar baik
itu tentu sangat ditunggu-tunggu oleh
sinuhun Prabu” ujar Resi Mayangkara.

Tidak terasa, tangan Rara Anjani segera


mengelus kembali perutnya yang mulai
membesar. Ia kemudian mengangguk
pelan membenarkan pendapat eyangnya.
Memang sebaiknyalah dirinya mendapat
pengawalan, sebagai sebuah tanda bahwa
di tempat itu tinggal seorang keluarga Raja.
Dan dikemudian hari akan lahir seorang
keturunan raja pula.

“Tidak semua perempuan akan


mendapatkan kehormatan seperti ini.
Beberapa selir yang lain mungkin akan
pulang kembali ke keluarganya tanpa
pengawalan apa-apa. Mungkin hanya
dengan sedikit harta yang dihadiahkan
padanya. Hanya itu” gumam Anjani dalam
hatinya. “Atau beberapa diantaranya justru
dihadiahkan kepada orang lain sebagai
putri triman. Aku tidak sudi menjadi putri
triman” sambungnya lagi bergumam dalam
hati. Kali ini dengan perasaan getir.

“Keputusanku sudah tepat. Aku akan


menyepi disini saja menemani eyang” bisik
hati Rara Anjani menguatkan keinginannya.

Sementara itu, kedua suami istri pelayan


Resi Mayangkara muncul dari jalan setapak
yang menghubungkan pertapaan itu
dengan rumah mereka. Mereka membawa
bakul yang berisi makanan dan minuman
seadanya. Sementara beberapa kuda juga
datang dituntun oleh sisa rombongan Ki
Bango Lamatan yang tadi tertinggal di
dalam hutan.

Makanan segera disajikan. Resi


Mayangkara mempersilahkan Ki Bango
Lamatan untuk mencicipinya. Sementara
waktu telah mencapai tunggang gunung
pula.

“Apakah paman akan segera kembali ke


Mataram?” tanya Rara Anjani kemudian.
“Tentu Rara. Tugasku sudah kuselesaikan.
Aku harus melaporkannya kembali pada
Sinuhun Prabu” jawab Ki Bango Lamatan.

“Tapi malam mulai menjelang paman.


Apakah tidak sebaiknya besok pagi saja?”
Ki Bango Lamatan memandang ke arah
barat. Matahari sudah hampir kehilangan
sinarnya. Suasana temaram di puncak
Gunung Kendalisada itu terasa sangat
sejuk dan menentramkan.

“Pantas Rara Anjani betah disini. Tempat


ini sangat tentram” pikir Ki Bango Lamatan
kemudian.
“Ki Lamatan. Kata-kata Rara Anjani ada
benarnya. Sebaiknya besok saja Ki
Lamatan kembali ke Mataram” usul Resi
Mayangkara kemudian.

“Baiklah paman Resi. Kami minta izin untuk


menginap di pertapaan ini” kata Ki Bango
Lamatan kemudian.

“Tentu. Tentu. Silahkan Ki Bango Lamatan.


Tapi mohon dimaklumi, tempat ini sangat
sederhana” ujar Resi Mayangkara dengan
segera. Sekilas, ia memandang Rara Anjani.
Ia sempat melihat seleret senyuman tipis
menghiasi bibir Rara Anjani. Dengan
segera, Resi Mayangkara mengetahui
maksud hati Rara Anjani menawari Ki
Bango Lamatan untuk menginap di
pertapaan itu.

“Rara Anjani tidak akan pernah bisa


memungkiri isi hatinya yang paling dalam”
desah Resi Mayangkara dalam hatinya.
Sementara Ki Bango Lamatan bangkit dan
mundur dari hadapan Resi Mayangkara dan
menemui para pengawalnya.

“Bagaimana Ki?” tanya pengawalnya begitu


Ki Bango Lamatan mendekat. Mereka
sudah disuguhi minuman pula dan
beristirahat dengan begitu leluasa di
sebuah gubug terbuka di dekat pertapaan
itu.

“Kita akan menginap disini malam ini. Gusti


Rara Anjani tidak bersedia ikut kita pulang.
Karena itu, kalian berlima akan menetap
disini sesuai dengan titah Sinuhun Prabu”
kata Ki Bango Lamatan sambil
mengangguk pada kedua abdi dalem yang
menyertai mereka. Kedua abdi dalem yang
sudah agak berumur itu pun mengangguk.
Sejak dari Mataram, mereka sudah
mengetahui tugas itu. Jika Rara Anjani
belum mau kembali ke istana, merekalah
yang akan tinggal disana mengurus Rara
Anjani dan kelahiran putranya nanti dalam
waktu beberapa bulan ke depan.
“Ki Lamatan. Disini sangat sejuk. Nanti
malam tentu akan dingin sekali. Apakah
kita akan tidur di udara terbuka, ataukah
Resi Mayangkara menyediakan tempat
untuk kita istirahat?” tanya seorang
pengawalnya.

“Aku tidak tahu. Tapi menilik beberapa


gubug itu terlihat kosong, ada
kemungkinan kita bisa tidur di dalamnya.
Atau mungkin kita akan tidur di bawah, di
rumah pelayannya itu”

“Tidak apa. Asal jangan di udara terbuka.


Aku tidak membawa selimut. Hanya kain
panjangku ini” gumam salah seorang
pengawal yang lain.

“Untunglah aku membawa bekal beberapa


lembar kain. Beberapa bulan tinggal disini,
aku bisa mati membeku jika tiap malam
sedingin ini” ujar kawannya yang lain. Ialah
yang sudah ditunjuk untuk ikut menjaga
pertapaan itu sejak awal, sehingga sudah
mempersiapkan diri lebih dulu.

“Nah, marilah kita beristirahat.


Kelihatannya disini sangat terpencil. Tidak
ada orang lain disini kecuali yang sudah
kita temui. Tapi hati-hati, siapa tahu masih
ada binatang buas di sekitar sini” kata Ki
Bango Lamatan kemudian.

Sementara itu kemudian, Ki Bango


Lamatan kembali ke pendapa setelah
membersihkan badan sedikit dan
menunaikan kewajiban kepada Yang Maha
Agung. Resi Mayangkara ada di dalam
rumah kecil ditengah-tengah padang
terbuka itu, sementara sebuah gubug lain
yang berdekatan dengan taman kecil itu
ternyata ditempati oleh Rara Anjani.

Rara Anjani keluar dari gubug itu dan


berjalan ke pendapa.

“Paman” sapanya sambil duduk bersimpuh.


Pakaiannya telah diganti meski masih
mengenakan kain panjang yang sama
dengan yang tadi sore.

“Hamba Rara” jawab khidmat Ki Bango


Lamatan seraya menundukkan wajah.

“Bukankah paman bertugas ke Sapta


Dhahana berberapa waktu yang lampau?”
tanya Anjani kemudian.

“Benar Rara”

“Bagaimana hasilnya. Apakah aku boleh


mengetahui serba sedikit?”
Ki Bango Lamatan agak terperanjat
mengetahui Rara Anjani mengetahui
tugasnya itu. Tapi setelah ia kembali
berpikir, ia bisa menarik kesimpulan.
“Mungkin saat itu, Rara Anjani sempat
diberitahu oleh Pangeran Pati mengenai
perjalananku ke Sapta Dhahana. Bukankah
saat aku berangkat, belum terjadi peristiwa
di hutan Krapyak” gumam Ki Bango
Lamatan dalam hati.

“Paman, tidak apa-apa kalau aku tidak


diberitahu. Aku hanya berusaha mengajak
paman bercerita sesuatu hal saja” kata
Rara Anjani kemudian dengan tarikan
wajah kecewa. Hal itu membuat hati Ki
Bango Lamatan berdebar-debar. Ia tidak
ingin mengecewakan perasaan Rara Anjani.

“Rara. Kami sudah berhasil

menghancurkan Perguruan Sapta Dhahana.

Kiai Damar Sasangka, pemimpin perguruan

Sapta Dahana yang telah menjalin

hubungan dengan para pengikut Trah

Sekar Seda Lepen, berhasil kami

lumpuhkan” jawab Ki Bango Lamatan.

“Siapa yang melumpuhkannya? Ki Bango


Lamatan kah?” tanya Rara Anjani dengan
senyum simpul menghiasi bibir. Ki Bango
Lamatan tidak menyadari senyuman Rara
Anjani karena ia sedang menunduk.
Sementara Rara Anjani tersenyum karena
ia sebenarnya ada disana saat peristiwa
pecahnya perguruan Sapta Dahana itu. Ia
hanya memancing cerita Ki Bango Lamatan
saja, untuk mencapai tujuan yang
diingininya.

“Atas berkat Yang Maha Agung, Ki Rangga


Agung Sedayu yang telah berhasil
melumpuhkannya Rara, meskipun Ki
Rangga harus terluka parah”

“Oh. Begitukah? Lalu bagaimana keadaan


Ki Rangga saat ini?” tanya Anjani pura-pura
terkejut. Ia tahu persis peristiwa di Sapta
Dahana saat Ki Rangga Agung Sedayu
berbenturan ilmu dengan Kiai Damar
Sasangka. Tapi yang ingin diketahuinya
kemudian adalah keadaan Ki Rangga
Agung Sedayu setelah dibawa oleh
seseorang yang tidak dikenalnya, bahkan
Resi Mayangkara sekalipun ternyata tidak
mengenal orang itu pula.

“Syukurlah. Ki Rangga kini sudah dalam


keadaan baik-baik saja. Kami sempat
bersama-sama saat kembali ke Mataram”

“Syukurlah kalau begitu. Nah, kalau paman


Lamatan kemudian ditugaskan ke
Kendalisada, lalu kemanakah Ki Rangga
ditugaskan sekarang? Apakah kembali ke
Menoreh memimpin pasukan khususnya?”
tanya Anjani dengan mata berbinar karena
tujuannya menahan Ki Bango Lamatan di
Kendalisada telah tercapai.

Ki Bango Lamatan mendesah dengan hati


pepat. Ia tahu benar keadaan Ki Rangga
Agung Sedayu. Sesaat, ia berusaha mereka
-reka sebuah jawaban terbaik yang akan
disampaikannya kepada Rara Anjani. Ki
Bango Lamatan tahu, bahwa dulu Anjani
telah mengikuti Ki Rangga hingga ke
Menoreh, Anjani pernah tinggal di Menoreh
dan membantu keluarga Menoreh dalam
sebuah kemelut di tanah Perdikan itu.
Karenanya, ia menganggap Rara Anjani
cukup erat hubungannya dengan Ki Rangga
Agung Sedayu dan keluarga besar Menoreh.
Sehingga menceritakan keadaan Ki Rangga
saat ini justru menjadi beban bagi Ki Bango
Lamatan, karena seperti sedang
mengabarkan sebuah berita buruk.

“Apakah sebuah tugas rahasia paman,


sehingga paman enggan mengatakannya
padaku?” bujuk Rara Anjani dengan manja.

Suara Anjani yang begitu mendayu


membuat Ki Bango Lamatan harus
menyeka keningnya yang mulai dihiasi bulir
-bulir keringat. Pelan-pelan Ki Bango
Lamatan membuka suara setelah menelan
ludah beberapa kali, membasahi
kerongkongannya yang mulai kering.

“Rara. Sebenarnya hati paman berat untuk


mengatakannya. Tapi agar Rara
mengetahui keadaan Ki Rangga sekarang,
aku akan mengatakannya”

“Apa yang terjadi paman?” tanya Rara


Anjani segera dengan jantung mulai
berdebaran. Matanya telah membulat
besar. Kekhawatirannya segera memuncak
pula. Sikap Ki Bango Lamatan yang terlihat
gelisah, membuat Rara Anjani mulai
berpikir yang tidak-tidak.

“Ki Rangga Agung Sedayu saat ini ada


dalam tahanan Ki Patih Mandaraka” ujar Ki
Bango Lamatan dengan lirih.

Anjani terpekik. “Kenapa paman?


Kenapa!?” tanyanya dengan segera tanpa
bisa lagi menahan perasaannya.

Ki Bango Lamatan segera bisa menangkap


sebuah perasaan yang terpancar dari sikap
seketika yang diperlihatkan Rara Anjani itu.
Sebuah dugaan muncul dalam benaknya.
Dugaan itu membuatnya bertanya-tanya
dalam hati. Beberapa peristiwa yang ia
ketahui selama mengenal Rara Anjani dan
Ki Rangga Agung Sedayu ia telisik kembali.
Tapi ia tidak menemukan jawabannya.
Sehingga Ki Bango Lamatan memutuskan
untuk menyingkirkan saja kesimpulan yang
masih belum bulat itu.

“Rara. Aku tidak mengetahui dengan pasti


penyebabnya. Namun dari berbagai berita
yang kudengar, aku menyimpulkan bahwa
Ki Rangga Agung Sedayu telah terjerumus
ke dalam upaya perebutan kekuasaan di
malam penobatan Raja yang baru.
Sebagaimana yang sudah aku ceritakan,
sebelum Pangeran Pati dinobatkan sebagai
raja, Raden Mas Wuryah lah yang lebih dulu
dinobatkan. Nah pada saat itu, ada usaha-
usaha sentana dalam yang ingin
menggagalkan rencana penobatan Raden
Mas Wuryah dan Ki Rangga telah diperalat
untuk memuluskan rencana penggagalan
itu, justru agar Pangeran Pati lah yang
kemudian dinobatkan” kata Ki Bango
Lamatan.

Mata Rara Anjani mengerjap-ngerjap


beberapa kali mencoba memahami
penuturan Ki Bango Lamatan. Ia benar-
benar berpikir keras untuk mengerti
persoalan itu.

“Lalu, Pangeran Pati nyatanya tetap


diangkat sebagai raja. Bukankah
sebenarnya tindakan Ki Rangga justru
menguntungkan suamiku?” ucap Rara
Anjani tidak mengerti.
“Benar Rara. Tapi sebagaimana paugeran
prajurit, tindakan Ki Rangga tidak
dibenarkan. Ia terlibat dalam usaha
penggagalan penobatan raja yang sah.
Dalam hal ini rencana penobatan Raden
Mas Wuryah”

Bersambung ke Jilid 3

Anda mungkin juga menyukai