Anda di halaman 1dari 10

"Demikian kakang ceritaku, mungkin akan berguna bagi Kakang". Pungkas Pandan wangi.

"Itulah ngger ceritanya, dan aku melihat sendiri perang tanding itu. Bahkan juga Ki
Jayaraga,Sekar mirah, dan lainnya, Kyai Gringsing menyambung perkataan Pandan
Wangi. "Guru ,, mendengar cerita Pandan Wangi tadi guru, Aku mempunyai pendapat
yang mungkin berlawanan dengan pendapat umum. Tetapi justru itu merupakan keyakinan
saya". "Apa pendapatmu ngger?" "Pada saat bertempur, kakang masih selalu diliputi
keragu-raguan. Buktinya serangan Kakang selalu bisa mengenai tubuh Ki Ajar setelah
mengetahui di mana Ajar itu bersembunyi,meskipun dilindungi panglimunan. Nah pada
saat ditemukan itulah, seharusnya serangan dipusatkan, sehingga Ajar itu tidak
sempat menghilang lagi". "Tidak semudah yang kau katakan ngger. Ki Ajar itu orang
berilmu sangat tinggi. Menguasai puncak beberapa ilmu, dan juga bisa
memanfaatkannya dalam pertempuran. Ajar itupun juga mempunyai perhitungan untuk
menindas Kakangmu sebagai lawan. Justru karena kakangmu mempunyai kelebihan
bermacam-macam ilmu itulah yang menyebabkan Ajar itu tidak bisa memaksakan
kehendaknya". Kata Kyai Gringsing. "Guru ilmu Kakang Sedayu memang bermacam-macam.
Benarkah itu semua ada di dalam Kitab Windujati." Tanya Swandaru. "Tidak ngger,
ilmu ilmu itu hanya tersirat didalam kitab, tidak tersurat. Itulah sebabnya engkau
tidak menemukan secara langsung. Ilmu yang diperoleh Kakangmu merupakan hasil
pengamatan dan pendalaman yang ber ulang ulang dari dasar dasar yang ada di kitab.
Seperti juga angger Pandan wangi yang bisa mengurai serangan memanjangkan garis
serang sehingga seakan mendahului waktu . itu adalah hasil pengamatan dan
pendalaman dari dasar ilmu dan pemanfaatan energi di sekitar kita. Demikan pula
hasil pengamatan Agung Sedayu, disamping itu dia juga mendapat petunjuk dari Ki
Waskita. Sering pula Sedayu ber bincang dengan Ki Jayaraga. Jadi bisa dikatakan
banyak pengalaman yang dia peroleh". Lanjut Kyai Gringsing. "Guru ,sejak dulu Aku
hanya berguru terhadap guru saja, jadi wajarlah kalau Aku hanya memperkuat tenagaku
saja. tanpa menimba ilmu yang lain. "Kemudian ilmu yang bermacam-macam itu guru,
justru akan menghambat perkembangan ilmu itu sendiri untuk sampai ke puncak. Dengan
demikian saat dipergunakan tidak mitayani. Tidak bisa langsung mematikan. Dengan
sareh Kyai Gringsing, bertanya : "Ngger apa tujuanmu belajar sejak mu da berusaha
menguasai kanuragan?" Sejenak Swandaru terpekur,kemudian jawabnya: "Untuk
memberantas lawan yang datang kepada kita guru, karena kalau kita tidak membrantas
mereka, kita yang akan menderita". "Nah ngger, mulai sekarang ubahlah tujuanmu itu.
Ilmu Kanuragan itu untuk menahan gejolak keinginan yang tak terhindarkan Gejolak
ingin berkuasa namun, melupakan unggah ungguh. Tidak digunakan untuk membunuh,
justru digunakan untuk mengurangi pembunuhan. Kanuragan harus diper gunakan untuk
meletakkan paugeran sesuai dengan yang sudah ditentukan. "Maaf guru, apakah kita
tidak boleh membunuh "mereka",padahal "mereka" datang untuk membunuh kita?" "Bukan
begitu ngger, kalau kita membunuh mereka, lalu apa bedanya kita dengan mereka?"
"Jelas beda guru, mereka datang untuk Maksud dan tujuan yang tidak baik, dan kita
menemui mereka untuk mencegah nya, kenapa tidak boleh membunuh ?". "Kita bukan
Yamadipati ngger, itu wewenang Yang Maha Kuasa. Bahkan membunuh binatang pun tidak
boleh. Kita terbiasa membunuh hewan , ayam sapi, kambing dan lainnya karena kita
butuhkan untuk lauk, untuk kebutuhan kita. Tetapi kalau kita membunuh hewan,
kemudian meninggalkan bangkai itu begitu saja ,sekedar untuk kebanggaan, maka tidak
boleh di lakukan". Apalagi terhadap manusia yang mempunyai akal budi. Tugas kita
lah untuk menyadarkan mereka yang telah melupakan paugeran. "Baik guru Aku bisa
memahami nya". "Lalu guru , tentang ilmu yang bermacam-macam itu apa sangat perlu
guru?" "Perlu ngger, cobalah kau renungkan saat diserang dengan sirep atau gelap
ngampar. Apakah tenaga wadag yang berlebih mampu menangkalnya?" Nah itulah
perlunya menguasai ber bagai macam ilmu. Masing-masing ada peruntukannya sendiri.
Kasar bisa dilawan dengan kasar dan halus, tetapi halus sulit dihadapi dengan cara
kasar, harus dengan cara halus. "Ya guru, tapi bukankah sebelumnya bisa kita
temukan sumbernya. Setelah kita temukan tentu mudah diatasi bila kita mempunya i
puncak kekuatan, bila diserang dengan ilmu yang memuncak, tentu akan lumat. Itulah
guru, maka Aku hanya meningkatkan tenagaku saja guru. Tidak mendalami ilmu yang
lain. Dengan satu keyakinan satu ilmu tetapi bisa mrantasi". "Tidak demikian ngger,
dalam dunia kanuragan seseorang selalu menemu kan suatu hal yang dapat menjadikan
lawan tidak berdaya, meskipun ilmu itu sudah tuntas. Kadang ada suatu ilmu yang
tidak dapat dihadapi dengan cara yang sama. Keras dilawan dengan keras maka yang
terjadi adalah kehancuran bagi pihak yang lemah". "Ngger.... bukan kah tadi engkau
ber cerita sendiri ,bahwa tenaga raksasa mu tak berdaya menghadapi orang
berkerudung itu?" Sambung Kyai Grinsing. "Itu karena kurangnya kemampuan saya ,
guru". "Eh ngger... Kemana tenaga raksasa mu waktu kau memukul, dan diterima dengan
tangan yang berisi tenaga halus. kau katakan sendiri bahwa kamu seperti memukul
kapas. Demikiankah ngger yang kau ucapkan tadi. Swandaru hanya bisa manggut
manggut, menyadari kekeliruannya. "Kemudian Sirep , bukankah ilmu itu dipergunakan
saat kita belum menyadarinya. Baru tersadar setelah kita dilanda sirep itu. Itu
saja kalau kita menyadari ,kalau tidak bukankah sangat mudah bagi lawan untuk
menghentikan kita". Swandaru terpekur mendengar penjelasan gurunya. "Guru lalu
bagaimana dengan kitab ini?. "Swandaru Kitab ini sangat baik untuk kau pelajari
tetapi hanya kulitnya saja. Maksudku petunjuk yang tertulis sesuai dengan judul
kitabnya, sedangkan tentang tenaga cadangan yang bisa ditimbulkan ,sebagai mana per
nah Aku katakana, sebaiknya engkau meningkatkan tenaga cadangan dari Kitab
Windujati. Sedangkan kitab ini biarlah dipelajari oleh Pandan Wangi. Aku tidak
melihat pertentangan yang berarti antara kitab ini dengan ilmu yang dimiliki
Pandanwangi. Baiklah guru. "Guru... Sebelum Aku menyanggupkan perintah guru, Aku
akan mencoba dulu kemampuan Kakang , bila Aku kalah Aku akan mengikuti seluruh
petunjuk guru, serta sekaligus minta petunjuk Kakang, maafkan saya guru".
"Kakang.... Apakah ceritaku tadi kau anggap angin lalu?' Pandan wangi menyela
pembicaraan. "Maksudmu wangi? "Engkau akan mencoba Kakang Sedayu? Urungkan niatmu
Kakang'' "Engkau tidak perlu khawatir wangi, Aku sudah mempunyai bekal yang cukup
untuk itu". "Tidak kakang, ilmu Kakang Sedayu sangat tinggi, engkau tidak akan
mampu melawannya". "Tidak kakang, Aku justru menghawatirkanmu, ingat kakang ,
sesabar sabarnya orang tentu mempunyai batas. "Bagaimana aku bisa membuktikan
kemampuannya kalau aku tidak berhadapan langsung?" Bantah Swandaru. Baiklah kakang,
Aku setuju dengan keinginanmu, dengan syarat!!!!" "Apa syaratmu..?" "Yang pertama
tidak dilakukan segera , dan yang kedua saya mohon kehadapan Kyai Grinsing untuk
menjadi penengahnya". Katanya sambil memohon pada Kyai Gringsing. "Aku setuju ,
kalau guru juga bisa menyetujuinya" balas Swandaru. "Pada dasarnya akupun setuju,
kalau ada kesepakatan sebelumnya" Jawab Kyai Gringsing. "Bagaimana kesepakatan yang
dimaksudkan Guru?" Jawab Swandaru "Yah.... Kalau engkau tak dapat menahan diri,
untuk mencoba kemam puan kakang mu, maka lebih baik hal itu terjadi di hadapanku,
dengan demikian Aku lebih mudah mengawasi nya". Pandan Wangi pun menyahut : "Aku
menyerahkan semuanya kepada Kyai. Aku yakin Kyai akan melakukan yang terbaik buat
keduanya!". "Baik guru, akupun setuju meskipun dengan syarat , tolong sebutkan
syarat itu,guru!" Swandaru menimpali. Dua syarat yang diajukan Pandan wangi
bersifat mutlak. Lanjut Kyai Gringsing. Yang pertama Tidak segera dilakukan . yang
kedua Aku menjadi penengah. Itu syarat dari Pandan wangi. Kemudian aku juga
mensyaratkan bahwa itu hanya bersifat latihan, meskipun dilakukan dengan sungguh-
sung guh ,bukan merupakan pertanding an. Dan yang ke empat tidak mengeluarkan
emosi berlebihan/ yang meluap bila merasa keteteran. "Baik guru,Aku setuju semua
syarat itu'' Baiklah. Stelah kau pelajari beberapa bulan kau boleh menghadapinya”
Kata Kyai Grinsing. "Sekarang Swandaru dan Pandan Wangi, hari sudah larut malam.
Engkau beristirahatlah. Kita lanjutkan besuk pagi sebelum kalian kembali ke Sangkal
putung". Kata Kyai Gringsing. Malam memang semakin dalam, suara jangkrik dan katak
tak lagi terdengar, hanya kepak kelelawar dan burung malam yang masih sering
terdengar. “Selamat malam Guru” Kata Swandaru sambil beringsut. Keduanya segera
masuk ke bilik yang sudah disediakan oleh para cantrik padepokan kecil Jatianom.
Pada pagi harinya ,Swandaru dan Pandan Wangi dipanggil oleh Kyai Gringsing.
"Sebelum kembali ke Sangkal Putung Aku ingin berpesan pada kalian berdua.
Pergunakan lontar yang kalian terima itu, dan pelajarilah dengan sepenuh hati. Baik
dalam maupun luarnya. Bagi Swandaru pelajari kulitnya saja, bila keinginan
memperdalam tenaga cadangan gunakan kitab dari Ku. Apabila ada hal yang perlu
ditanyakan , sering-seringlah ke sini. Aku yakin Pandan wangi dapat mengatasi
kesulitan kesulitan yang ditemui dalam lontar. Nah agar kau mantap dengarlah
sekedar cerita riwayat lontar itu. Suasana pagi yang segar, membuat badan serasa
sehat dan sejuk . apalagi ketika kemudian disuguhkan Wedang sere yang hangat dan
ketela pohung rebus yang masih mengepulkan asap. “Mari ngger silahkan dinikmati
wedang sere dan pohung rebusnya”. Sebelum bercerita ,ingatan Kyai Gringsing telah
mengembara ke masa lalu, dimana umurnya baru lepas dari belasan tahun. Ketika itu
bersama eyangnya diajak melawat ke sebuah padepokan kecil saja di lereng Gunung
Slamet. Disanalah kepada eyang Dan dirinya diperlihatkan 2 buah lontar. Yang sebuah
kini Ada dihadapannya
. sedangkan yang sebuah lagi entah dimana. Pada waktu itu memang ke dua lontar itu
akan dititipkan kepada eyangnya, dengan alasan yang sangat masuk akal. Yang pertama
pemilik lontar tidak mempunyai pewaris. Kemudian yang ke dua diantara cantrik
cantriknya tidak ada yang patut mewari si karena tidak ada satupun yang mem punyai
kematangan jiwani. Itulah sebabnya agar tidak jatuh ke tangan yang tidak berhak,
atau mungkin jatuh ke orang bertangan Kotor tentu akan membahayakan hidup manusia.
Setelah mengenangkan masa kecilnya Kyai Gringsing pun kemudian berkata: "Kedua
lontar itu memang memuat ajaran yang sangat tinggi bobotnya. Apalagi lontar yang
sebuah lagi, "Kautamaning urip" dan "Ungguling Kaprawiran" . Meskipun Aku baru
membaca sepintas saja, namun Aku tahu persis ,bahwa kitab itu memuat ilmu kanuragan
tingkat tinggi. Nah karena alasan yang dimaksudkan diatas maka pemilik lontar itu,
bermaksud menyerahkannya pada Eyang. Namun karena satu hal, akhirnya lontar yang
satu dibawa Eyang untuk diserahkan ke perbendaharaan pustaka di Demak. Yaitu yang
kau pegang sekarang. Sedangkan yang satu lagi masih di pegang pemiliknya.
Sebenarnya ke dua kitab itu berpasangan ,yang satu memperkuat yang lain. Nah
seharusnya setelah mempelajari, Kautamaning Urip lalu dilanjutkan Deng an
mempelajari Ungguling Kaprawiran itu. Namun itu tidak apa karena kalian sudah
mempunyai kanuragan yang sangat kuat sebelum nya. jadi meski pun kedudukannya
terbalik dan itu tidak menjadi masalah. Bila suatu saat , kalian berjodoh, mungkin
akan sempat mempelajari lontar ke dua itu, kalian akan menjadi tangguh bukan main,
karena ilmu kalian menjadi tinggi sekali. Nah itulah pesan-pesanku , jangan segan
segan untuk bertanya. "Baik guru, saya mentaati perintah." Kata Swandaru. "Terima
kasih Kyai, atas petunjuk petunjuknya" sahut Pandan Wangi pula. Selanjutnya
keduanya segera berpamit an kepada Kyai Gringsing dan kemu-dian berpamitan pula
kepada para can trik yang ada. "Selamat jalan Kakang Swandaru dan mbok ayu Pandan
Wangi. . " kata para cantrik. Sementara itu Swandaru dalam perjalanan pulang ke
Sangkal Putung, seseorang yang sudah sepuh mengamati ke duanya dari kejauhan.
Tampak wajahnya yang sudah tua , dengan kerut merut didahinya. Dari pancaran sinar
matanya yang tajam bagaikan burung elang, tidak menampakkan wajah yang cemas.
Bahkan keteduhan lah yang lebih banyak terlihat. Aura wajahnya memancarkan
kebeningan berfikir . Tugas dari mendiang gurunya lah yang menggiringnya sampai ke
Jatianom. Pada akhirnya ,berkat kesabarannya mengikuti aroma yang khas dihidung nya
,akhirnya berhasil menyampaikan wasiat gurunya. Dan hal itulah yang telah
menimbulkan kepuasan yang amat tinggi. "Sukurlah, Aku bisa menyampai kan wasiat
guru, mesti baru separuh" bisiknya dalam hati Kini apa yang harus Ku lakukan?
Hatinya berbisik-bisik sendiri , bertanya- tanya manakah yang lebih baik?.
Menjumpai orang tua di padepokan Jatianom? Atau kembali ke Mataram? "Aku harus
segera memutuskan, agar Aku tak terombang-ambing , manapun yang kupilih tak ada
keberatannya". "Baiklah... nanti malam Aku akan menemui orang tua di Jatianom itu".
Demikian katanya setelah mendapatkan ketetapan hati. Setelah itu ,kemudian orang
itu beringsut menuju ke hutan tipis di belakang padepokan. Malam mulai tua,
kelelawar satu persatu mulai meninggalkan ladang perburuan,untuk kembali ke sarang.
Hewan malam yang lain juga sudah masuk ke sarangnya. Bulan tampak malu malu
tersenyum , tersaput awan putih ber arak-arak. Di ujung cakrawala jauh di sebelah
timur rona jingga mulai menyebar ke seantero bumi. Namun di Jatianom ,kegelapan
masih lebih tebal mengalahkan rona sang mentari yang masih tertidur. Suara itu
masih menggema meskipun lirih , hanya merupakan bisikan halus, bagi orang biasa
sehingga tidak menarik perhatian bagi siapa saja. Namun bagi orang yang dituju
secara langsung, suara itu bagai merupakan teriakan yang sangat keras mengusik
telinga. Suara yang sudah puluhan tahun tidak terdengar lagi di telinganya. Namun
suara itu telah memanggilnya , suara yang didorong oleh tenaga dalam dan ilmu yang
sangat mumpuni. Kyai Gringing yang mendengar suara itupun langsung tanggap.
Ingatannya segera mengenang tempat terasing di lereng Gunung Slamet , ribuan tombak
disebelah barat Merbabu. Dengan segera Kyai Gringsing bangkit dari tidurnya.
Kemudian berbenah diri sebentar di pekiwan. Begitu sampai dibiliknya
lagi ,Tangannya mengulur, meraih cambuk yang ada di sebelah amben tempat tidur ,dan
kemudian diikatkan dibawah bajunya, barulah kemudian Kyai Grinsing meraih
cangkul :" lebih baik sekalian ke sawah mem -buka pintu air". Dan ketika sampai di
pinggir hutan di belakang padepokan, sudah ada seseorang yang menyambutnya dengan
senyum penuh keramahan. "Selamat pagi, Raden Pamungkas. selamat datang, mohon maaf
hamba telah mengganggu istirahat Raden" Kata orang itu. "tidak apa-apa , memang
sudah saatnya bangun dari peraduan Kyai.. “Ada keperluan apakah Kyai
memanggilku?". Balas Kyai Gringsing. "Marilah Raden, kita duduk duduk di tepi
sungai lebih dulu,sambil menunggu matahari terbit, saya sudah menyedia kan wedang
jahe hangat sebagai teman, ngobrol" Kata orang itu sambil mempersilahkan Kyai
Gringsing berjalan mengikutinya. Tanpa kecurigaan sama sekali Kyai Gringsing
mengikuti orang itu , ke tepi sungai. Ternyata ditempat yang dituju itu sudah
tersedia 2 bangku tempat duduk dari batu yang halus dan rata. Diantara ke dua Batu
ituterdapat pula bangku ketiga, juga ha nya batu tetapi agak tinggi sedikit dari 2
bangku batu lainnya. Diatasnya terdapat 2 tempurung kelapa yang berisi wedang jahe
masih mengepulkan uap. juga tersedia pohung rebus masih hangat pula. Di sebelah
lagi masih terdapat perapian kecil yang masih menyala. "Marilah Raden, silahkan
duduk". Setelah keduanya duduk, kemudian Kyai Gringsing berkata:" Kyai , hilang
kan panggilan Raden itu, panggilah Aku dengan Ki atau yang lain. Sebutan Raden itu
hanya untuk jaman dulu, sekarang Aku sudah bukan Raden lagi. "Maaf Raden, apakah
pantas saya menyebut seperti itu?". Balas orang itu. "Sangat pantas Kyai, saya
sendiri bukanlah orang yang pantas untuk disebut seperti itu. Karena itu ,
panggilah dengan Ki atau Kyai atau namaku saja" pinta Kyai Gringsing. "Baiklah
Raden..... Maaf Kyai selanjut nya Aku memanggil Kyai saja" balas orang itu. "Oh ya,
siapakah namamu sebenarnya? Benarkah engkau dari lereng Gunung Slamet?" Tanya Kyai
Gringsing. "Hamba Samparan Kyai, seorang murid sekaligus pelayan guru, yang masih
hidup di padepokan lereng Gunung Slamet". "Jadi, gurumu sudah tak Ada? Kakang mu
juga? Balas Kyai Gringsing. “Mereka sudah menghadap terlebih dahulu pada Yang Maha
Kuasa , Kyai. Mendahului kita semua”. Jawab Ki Samparan. "Nah sekarang apa
maksudmu mengundang Aku?" Lanjut Kyai Gring sing. "Maaf Kyai, saya tidak akan
berani mengganggu seandainya saya tidak terbebani oleh warisan tugas dari kakang.
yang sebelumnya di beri wasiat oleh Guru, Karena itulah maka saya memberanikan
diri". Jawabnya. "Apa tugasmu, dan bagaimana bunyi wasiat itu?". "Begini Kyai, saat
guru meninggal , lewat kakang sepadepokanku yang sudah meninggal pula telah
memberikan wasiat guru agar menyerahkan Lontar yang saya bawa kepada murid Kyai"
Jawab Ki Samparan. "Kenapa muridku?,kenapa tidak kau simpan sendiri,kenapa tidak
kau pelajari sendiri?" Lanjut Kyai Gringsing. "Pertama Aku tidak berani melanggar
pesan guru, kedua kalaupun Ku pelajari Juga tidak Ada manfaatnya , karena aku tak
pernah menggunakannya". Hidup di pedukuhan terpencil tidak perlu mempergunakan ilmu
kanuragan" Jawab Ki Samparan. "Dahulu guru menghawatirkan apabila jatuh ke tangan
orang yang tidak bertanggung jawab. Akhirnya setelah melalui pertimbangan yang
berliku-liku akupun ingin meneruskan pesannya pada Kyai. Barangkali dapat berguna
bagi murid Kyai, demikian antara lain pesan Guru'' "Lalu bagaimana kau dapat
menemukan kitab itu disini?" Tanya Kyai Gringsing. "Maaf Kyai, kitab itu sudah
mempunyai ciri khusus yang hanya diketahui beberapa murid murid guruku. Apabila ke
dua lontar itu berdekatan beberapa tombak , maka akan mengeluarkan bau yang khas,
bagi hidung orang-orang dipadepokan kami. Lagi pula sejak di serahkan ke
Perbendaharaan pusaka Demak,kemudian pindah ke gedong pusaka Pajang, dan terakhir
di gedong pusaka Mataram, ada murid guru yang ikut merawatnya Kyai", karena itulah
saya tahu persis dimana lontar itu berada, sekarang ini saya bertugas di gedong
perbendaharaan pusaka Mataram ". Lanjutnya "Jadi, engkaukah yang memberikan lontar
itu kepada Swandaru,muridku?" Sahut Kyai Gringsing. "Bukan Kyai , ... Saya hanya
menyetujui rencananya dan membantu pelaksanaannya". "Lalu siapa yang
melakukannya?" Saut Kyai Gringsing. "Aku yakin tentu Kyai sudah dapat menduganya,
meskipun aku tidak me nyebutnya". Balas Samparan. "Memang aku sudah menduga, namun
juga ingin memastikannya". "Benar Kyai, Raden Sutawijaya menginginkan Swandaru
melengkapi ilmunya, disamping yang berasal dari Kyai Gringsing. Kelak Raden
Sutawijaya bermaksud mengangkat Swandaru menjadi orang penting di Jatianom, Mataram
. Sedangkan Untara mungkin akan dibawa masuk ke dalam Kraton Mataram". "Aku mohon
maaf Kyai, seolah olah kami telah mencampuri urusan guru dan murid, yang
sesungguhnya di luar wewenang padepokan kami'.. "Aah. Tidak apa-apa. Disatu sisi
memang gurumu telah mempercaya kan lontar itu kepadaku,dan alasanya pun bisa
diterima. "Kemudian .... Memang tidak salah dugaan ku, karena itu, kalau engkau
kembali ke Mataram sampaikan terima kasihku pada Raden Sutawijaya. Demikianlah ,
pada akhirnya Ki Samparan berhasil meyakinkan Kyai Gringsing agar bersedia
menyimpan lontar yang ke dua. "Baiklah Ki Samparan, aku bersedia merawat lontar itu
, bukan karena aku tamak terhadap ilmu Kanuragan, tetapi karena wasiat dari
gurumu , dan yang paling utama karena lontar itu akan dipelajari muridku dan
istrinya. Biarlah mereka menambah perbendahaaraan ilmunya dengan
ilmu yang berlainan dengan yang telah pernah dipelajarinya, karena akan sangat
berguna bagi mereka". Pembicaraaan mereka berakhir, ketika kokok ayam jantan
berbunyi yang ke 3 kalinya. Sebagai seorang petani , Ki Samparan tahu persis
mengapa Kyai Gringsing membawa cangkul. Namun alangkah terkejutnya ketika Ki
Samparan dan Kyai Gringsing beranjak dari tempat duduknya. Mereka melihat api
membubung tinggi di arah hutan Lemah Cengkar. " Agaknya kita mendapat tambahan
pekerjaan Ki Samparan!" Berkata Kyai Gringsing. "Benar Kyai, kalau hutan itu
terbakar habis maka , penduduk pedukuhan disekitarnya akan menderita untuk waktu
sangat lama". Balas Kyai Gringsing. "Benar.. mereka akan kehilangan sumber
kehidupan , pangan, kayu ,lauk dan lainnya . Yang paling penting dan berbahaya
mungkin mereka akan kehilangan mata air. "Mari kita tengok, sukur-sukur kita bisa
menghambat kebakaran hutan itu. Keduanya segera bergegas menuju ke Lemah Cengkar.
Karena keduanya orang-orang yang mumpuni , mereka dapat bergerak dengan cepat
sekali. Bagaikan angin saja, keduanya kehilangan bentuk badannya. Bagaikan Siluman
yang bergentayangan dalam kegalapan, keduanya bagaikan bayangan hitam yang melesat
sangat cepat. Bila ada orang yang melihat mungkin akan ketakutan melihat dua
bayangan hitam berkejaran. Namun ketika keduanya sampai di tempat kebakaran, mereka
melihat api sudah membesar dan tidak bisa lagi di atasi. "Kyai kita sudah terlambat
, api sudah terlalu besar, kita tidak bisa apa apa lagi". Mata Samparan. "Benar Ki
Samparan , namun kita masih bisa membatasi agar api tidak menjalar, kita korbankan
sedikit pohon pohon sepanjang lebar api yang menyala itu , agar api tidak merembet
lebih luas lagi". Demikianlah , karena saat itu tidak ada orang lain , keduanya
segera bergerak. Cambuknya segera diayunkan sendal pancing. deb.....deb... deb...
pohon pohon segera bertumbangan ke arah datangnya api. Ki Samparan ternganga
mulutnya melihat tandang orang bercambuk yang lebih tua darinya itu. Namun dia
segera sadar, dan kemudi an , segera ikut bergerak. Sebuah pedang meluncur deras ke
pohon pohon yang ada didepannya , crack... crak .... crack..... crak setiap tebasan
menumbangkan sebuah pohon, tidak peduli besar atau kecil pohon itu. Seperti juga
Kyai Gringsing semua pohon rebah ke arah datangnya api. Karena keduanya mempunyai
kesamaan berfikir mengatasi permasalahan yang dihadapi saat itu. Keduanya mempunyai
tandang yang mengerikan,demi menyelamat kan masa depan orang orang pedukuh an
disekitar hutan. Apabila ada orang melihat tentu akan terkejut dan terperangah
melihat akibat tindakan ke dua orang itu. Beberapa saat seperti orang gila ,
keduanya merobohkan tumbuhan yang ada didepannya. Ketika sampai di arah ujung api,
keduanya segera berhenti dan melihat hasil kerjanya. Sungguh mengejutkan, di depan
mereka telah terbentuk suatu lorong melingkar, dari arah datangnya api. di pinggir
hutan itu penuh dengan dahan dahan kayu yang bertumbangan. "Agaknya sudah cukup
Kyai, semoga api tidak akan merembet lagi ke mana-mana". "Ya , semoga akan sedikit
membantu". Dua orang yang sudah sepuh itu memang selalu merendah. Sebenarnya lah
bahwa keduanya telah menyelamatkan kehidupan orang banyak, tidak hanya disekitar
alas Lemah Cengkar , namun sampai jauh ke sebelah selatan karena hutan itu termasuk
daerah penyangga air bagi daerah yang lebih bawah, bahkan sampai ke Sangkal Putung.
"Apakah kita akan menunggu Kyai?" Kata Samparan. "Sebaiknya memang kita tunggu
sampai api tiba disini. Setelah api tidak menjalar baru lah kita pulang". Sahut
Kyai Grinsing. Ke duanya masih berbincang-bincang sambil menunggu batang –batang
yang melintang didekat mereka dapat menghambat laju api. *Ketika api sudah sampai
di situ , dan tidak menjalar lagi, keduanya segera berjalan, ke luar hutan. "Ki
Samparan, engkau harus mampir ke Jatianom, ". Kata Kyai Grinsing sambil berjalan
menuju kearah dia berbincang-bincang. "Terima kasih Kyai , tugasku sudah selesai,
karena itu aku bersedia,namun aku harus pamitan lebih dahulu ke Mataram".
Sementara itu Ki Samparan yang mampir di padepokan Jatianom , setelah menganggap
cukup bertamu segera berpamitan pada penghuni Padepokan. "Kyai aku mohon pamit
untuk pulang , dan berpamitan ke Mataram. Setelah itu nanti akan ke Jatianom. Kalau
diperbolehkan bahkan aku akan tinggal di padepokan ini". "Tentu saja boleh, namun
tentunya Ki Samparan tahu tugas,hak, dan kewajiban penghuni padepokan. Tidak hanya
makan dan tidur" kata Kyai Grinsing sambil bercanda. "Hahaha, sayangnya aku orang
malas Kyai, jadi mungkin aku tidak Kerasan tinggal disini". Balas Ki Samparan.
Suasana menjadi ramai karena candaan mereka. Demikian berpamitan Ki Samparan
segera beranjak keluar dari padepokan. Namun bukan menuju ke Mataram, tapi justru
ke Lemah Cengkar. Perasaannya yang halus merasakan ada sesuatu yang tidak beres
dihutan itu. Mengapa bisa terbakar? Tentu adayang membakar! Setidaknya ada yang
menyebabkan terbakar. Karena itulah dia bermaksud melihat keadaan di sisi lain
hutan Lemah Cengkar. Saat berjalan-jalan mengamati asal muasal api, pendengarannya
yang tajam dapat menangkap suara yang mencurigakan. Dengan menerapkan ilmu yang
telah dikuasainya Ki Samparan segera mendekat ke arah sumber suara itu. "Apakah
guru sudah datang?" Tanya seorang yang baru saja turun dari gubuk liar ditengah
hutan. "Belum... Malas rasanya menunggu dihutan. Banyak nyamuk yang menggigit.
Kulitku jadi bentol-bentol" jawab seorang lagi. "Bukankah engkau tinggal menerapkan
Ilmu kebalmu. Tentu nyamuk nya kesulitan menggigit kulitmu". "Huh..... Ada -ada
saja. Sungguh aneh memang, dibacok pedang tidak terluka namun terhadap ujung mulut
nyamuk, aku tidak berkutik". Jawab orang itu. "Bunuh saja nyamuk itu, bukankah
engkau yang minta pada guru untuk membunuh anak demang itu?" "Ya akulah yang pengin
jadi algojo perguruan kita. Dendam kita harus terbalas ,rasanya seperti sudah
belasan tahun kita menahan dendam itu". "Tetapi kenyataannya kita masih harus
menunggu kedatangan guru dan kawannya. Seberapa kuat , keluarga itu sebenarnya ,
kenapa harus sampai 50 orang,untuk menumpas satu orang saja?" "Kabarnya yang perlu
diperhitungkan ada dikademangan itu adalah Swandaru dan istrinya yang berilmu
tinggi, kemudian baru kemungkinan ada adik perempuan dan suaminya. Masih ada
kemungkinan gurunya juga di kademangan, dan para peronda". Kata seorang yang
disuruh mengamati. Yang sulit diperkirakan adalah para pengawal kademangan. Kalau
mereka bisa berkumpul dengan cepat, tentu kita yang akan dilibasnya. "Aah mereka
kan hanya pemuda kademangan, pastilah kita yang akan membantai mereka" "Itulah...,
yang harus diperhitungkan kalau jumlahnya terlalu banyak, kita akan kesulitan.Bila
guru dan orang berilmu tinggi kita bisa melibas keluarga kademangan dan gurunya,
barulah kita bisa melibas para pengawal. "Tapi berapa lama kita harus menunggu
disini, apakah kita tidak boleh berjalan-jalan ke luar hutan?" Salah satu orang
berbicara. "Kabar terakhir guru dan kawan-kawannya akan datang besuk Kamis Wage".
Jawab temannya. "Uuh , masih lama kita harus menunggu" sungut orang yang lain.
Pada akhirnya banyak , anggota gerombolan itu yang keluar dari hutan. Mula –mula
memang hanya satu dua, namun akhirnya banyak juga yang keluar. Setelah berhasil
mendengarkan pembicaraan orang-orang gerombolan liar itu Ki Samparan segera
mengendap endap mundur. Setelah merasa terlepas dari pengamatan gerombolan,
kemudian Ki Samparan berjalan biasa menuju luar hutan. Namun, tak tersangka sangka
pendengarannya yang tajam menangkap suara geseran langkah ke arah dirinya. Urat-
urat di seluruh tubuhnya menegang. Mempersiapkan diri untuk mengungkap segala ilmu
yang dikuasai. Tetapi sebelum kelihatan batang hidungnya , orang itu telah
mendahuluinya menyapa: "Kenapa tadi tidak berangkat bersama saja Ki Samparan?"
"Kyai.... Aah. Sudah habis keberanian ku. Ternyata Kyai Gringsing juga ada disini.
Kini tenanglah hatiku!!" "Apakah Mataram sudah pindah di Lemah Cengkar ?" Kyai
Gringsing berkata sambil menghampiri Ki Samparan. "Hmm. Apakah padepokan Kyai juga
pindah di Lemah Cengkar?" Samparan balik bertanya. Keduanya tertawa bersama
meskipun ditahan-tahan. "Kalau tahu akan kesini, kita bisa berangkat bersama Kyai".
"Loh bukankan engkau pamitnya ke Mataram?" "Maaf Kyai , hatiku merasakan kecurigaan
terhadap kebakaran hutan itu, maka saya ke sini ingin melihat penyebab nya".
"Yah.. Aku pun sama, lalu berita apa yang kau dapat? Balas Kyai Gringsing. "Mereka
akan membalas dendam kepada Swandaru Kyai"Bisik Ki Samparan. "Marilah kita bicara
sambil ber jalan "ajak Kyai Gringsing. "Kita akan mampir sebentar di utara
padepokan". Keduanya terus berjalan menyusuri jalan setapak ditepi hutan, setelah
itu barulah mereka menerabas menyusur galengan ditengah hamparan sawah yang
menghijau untuk menuju jalan yang lebih besar. Mereka saling menya pa , ketika
melihat petani sedang beristirahat di gubuk. Begitu sampai di halaman rumah Untara
, keduanya segera disambut oleh prajurit jaga. "Selamat pagi Kyai berdua, ada
keperluan apakah kalian disini". Sapa prajurit jaga. "Saya ingin bertemu Nak Mas
Untara, cobalah mohon katakan pada Nak Mas, Kyai Gringsing datang berkunjung''
balas Kyai Gringsing. Prajurit jaga itu sudah sering mendengar nama Kyai Gringsing
disebut sebut oleh Senopatinya namun belum pernah berkenalan. Karena itulah dia
segera bergegas ke rumah induk, setelah mempersilah kan untuk menunggu. "Silahkan
duduk dahulu, aku akan melapor ke dalam!" Katanya. Tak lama kemudian Untara segera
menyambut Kyai Gringsing didepan pendapa rumahnya. "Marilah Kyai ber dua, silahkan
masuk!" Sambut Untara. Setelah beramah tamah tentang kabar masing-masing barulah
Kyai Gringsing mengutarakan maksudnya. "Nak Mas Untara, sebelumnya kenal kan dahulu
ini adalah Ki Samparan dari lereng Gunung Slamet,yang ngenger di gedong pusaka
Mataram. Saat ini men jadi tamuku". "Dan ini Untara
, Ki Samparan , Senopati Mataram di Jatianom dan sekitarnya". "Terima kasih Kyai
sudah diperkenalkan dengan Senopati besar Mataram" sahut Ki Samparan. "Ah Kyai
bisa saja, yang belakangan tidak perlu disebutkan" Balas Untara. "Nak Untara,
sebelumnya aku minta maaf karena telah mengganggu kesibukanmu" lanjut Kyai
Gringsing. "Tidak jadi soal Kyai, karena kalau tidak sangat penting tentu tidak
akan berkunjung kesini" Balas Untara. "Apa yang bisa saya bantu Kyai". Lanjut kata
Untara. Namun pembicaraan itu terpenggal , karena Nyi Untara masuk membawa minuman
hangat dan bebarapa potong makanan. "Silahkan Kyai, sekedar untuk menghangatkan
badan'" Nyi Untara mempersilahkan. Sesaat setelah Nyi Untara keluar lagi dari
bilik itu, kemudian Ki Samparan dan Kyai Gringsing menceritakan hasil sadapan
pembicaraan orang-orang di Lemah Cengkar itu dan peristiwa hutan yang sengaja
dibakar. "Nak Mas Untara di Lemah Cengkar telah berkumpul segerombolan orang yang
bermaksud melakukan hal-hal yang kurang baik bagi paugeran ing bebrayan". "Mereka
itu bermaksud membalas dendam Kepada Swandaru. Namun kukira itu hanya sebuah dalih
saja. Karena mereka mempunyai tujuan utama untuk memotong dahan penyangga Mataram
satu persatu". "Kalau begitu sekarang juga kita sergap Kyai, mumpung belum
bergerak" potong Untara. "Tunggu nak Mas , kita belum menge tahui kekuatan mereka
sebenarnya, yang Ku ketahui baru yang ada di Leman Cengkar. Disana ada 50 an
orang, beberapa diantaranya tentu orang berilmu. Sedangkan penggerak utamanya belum
banyak kita ketahui. Menurut keterangan yang bisa ku sadap guru mereka dan kawannya
belum datang. Kata Kyai Gringsing, dan kemudian di iyakan oleh ki Samparan.
Sekarang akan lebih baik bila kita dapat mengetahui lebih banyak tentang gerakan
mereka". Sebagai senopati yang berwawasan luas, Untara dapat menerima alasan Kyai
Gringsing. Sementara itu Ki Samparan hanya mendengarkan saja, karena hasil
sadapannya tidak lebih banyak dari yang diperoleh Kyai Gringsing. "Kalau begitu
akan aku perintahkan telik sandi untuk mendalami dan mencari bahan-bahan bertindak"
Kata Untara. "Baiknya memang begitu Nak Mas, aku sendiri juga akan melakukan hal
yang sama"sambung Kyai Gringsing. “Seyogyanya hanya yang berilmu tinggi saja
petugas sandi yang masuk hutan” lanjut ki Samparan. "Nah untuk saat ini hanya itu
yang bisa kita lakukan, nanti akan kita bicarakan lebih lanjut disesuaikan dengan
hasil petugas sandi. Untuk selanjutnya kami mohon pamit". Kata Kyai Gringsing.
"Mengapa tergesa-gesa Kyai?"sahut Untara . "Sudah cukup Nak Mas, saya kira sudah
hilang rasa lelah dan sudah kenyang pula. Lagi pula Ki Samparan ini,harus segera
pergi ke Mataram. "Ki Samparan, kalau sudah tiba di Mata ram,mohon disampaikan
salam bakti ku kepada Ki Juru Mertani. Sekalian melaporkan tentang perkembangan di
Jati anom". Kata Untara. "Tapi Nak Mas saya jarang menghadapKi Juru". jawab Ki
Samparan. "Ya bilang salam dari Jatianom" imbuh Kyai Gringsing. "Baiklah ,saya akan
mencoba menghadap beliau". Sementara itu di Sangkal Putung Swandaru bergantian
mempelajari lontar yang didapatnya. Meskipun yangdipelajari berbeda sifat, sesuai
dengan pesan Kyai Gringsing. Mula mula memang tiada pengaruh apa apa bagi ke
duanya. Apalagi bagi Swandaru yang hanya mempelajari kulitnya saja. Selain menambah
ilmu tata pergaulan masyarakat umumnya. Namun ternyata ke duanya mulai menemukan
sesuatu yang sangat menarik. "Wangi apakah engkau juga melihat tanda-tanda yang
kurang wajar pada lontar itu?" "Ya kakang, mula-mula setiap tanda-tanda aksara
tertentu (sandangan ) di hilangkan. Kemudian pada pupuh yang lain juga dihilangkan
tetapi pada aksara yang berbeda pula". Kata Pandan Wangi. "Lalu, sudahkah engkau
menangkap maksudnya?" "Belum Kakang, tetapi disetiap akhir pupuh ada petunjuk-
petunjuk yang perlu mendapat perhatian khusus,agaknya kita akan memerlukan bantuan
gurumu'' lanjut Pandan Wangi. “Baiklah, nanti malam kita akan ke Jati Anom”, kata
Swandaru pada istrinya. “Sekarang cobalah kita ke sanggar sebentar Wangi, aku ingin
meyakini temuan yang sudah kau kembangkan itu”. Demikianlah, Swandaru suami istri
menuju sanggar terbuka yang ada di belakang rumahnya. Setelah keduanya cukup
melakukan pemanasan, keduanya berhadapan seperti akan bertempur. “Terapkan
temuanmu itu Wangi, dan jangan ragu ragu untuk menyerang padaku.” Kata Swandaru.
Keduanya segera serang menyerang seperti orang bertempur sesungguhnya. Keringat
telah menetes netes di tanah tempat berpijak, namun keduanya masih saling serang
dan menghindar sedemikan rupa sehingga kadang Pandan wangi harus mengeluh. Karena
keyakinan akan kemampuan suaminya Pandan wangi segera menerapkan ilmu yang sudah
ditemukannya, dan bahkan sudah dikembangkannya. Ketika suatu saat, Swandaru
melihat bahwa tangan Pandan Wangi bermaksud menyerang lambungnya yang kosong,
Swandaru melihat bahwa jarak antara tangan Pandan Wangi dengan lambungnya masih
berjarak 2 jengkal. Karena itu Swandaru bermaksud menghindar atau dengan
menangkis setelah jarak tinggal sejengkal saja. Namun alangkah terkejutnya Swandaru
, ketika bermaksud menghindar dari garis serang pukulan Pandan Wangi maka ujung
pukulan itu masih mengenai lambungnya. Swandaru sangat terkejut, bahwa serangan
Pandan Wangi telah ia hindari ketika jarak tangan dengan lambungnya tinggal
sejengkal. Namun nyatalah bahwa lambungnya masih terkena pukulan Pandan Wangi.
Padahal Swandaru merasa benar-benar telah menghindar. “Maaf kakang , aku telah
memukulmu” Kata Pandan Wangi. “Tidak apa-apa Wangi, pukulanmu seperti gudir saja,
teruslah menyerang seperti tadi” Jawab Swandaru. Padahal sebenarnya Swandaru
menyadari bahwa serangan itu benar-benar telak menyentuh lambungnya. Tetapi
Swandaru memang berhasil menahan sakitnya dengan mengerahkan daya tahan tubuhnya.
Disamping itu Swandaru juga belum percaya penuh akan hasil penelisikan Pandan Wangi
tersebut. Selapis demi selapis Pandan Wangi meningkat kan ilmunya untuk menyerang
suaminya. Karena itulah maka pertempuran itu semakin menguras tenaga masing masing.
Ilmu yang diperoleh Pandan Wangi dari Ayahnya, bukan lah Kanuragan pasaran yang
bisa di dapat dari padepokan bayaran. Tetapi berasal dari ilmu ilmu keluarga a yang
diwariskan secara turun temurun dan slalu di jaga kemurniannya. Karena itulah
Swandaru merasakan tekanan yang lebih berat , saat Pandan wangi meningkatkan
ilmunya. Namun pada akhirnya Swandaru menyadari bahwa Pandan Wangi telah berhasil
mengungkap ilmu yang dapat mendahului wujudnya. Demikianlah Swandaru harus
mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengatasi gempuran Pandan Wangi. Sementara
itu , Swandaru merasa sangat jengkel terhadap dirinya sendiri. Untuk meladeni
Pandan Wangi istrinya saja dia harus mengerahkan ilmunya sampai hampir ke puncak.
Barulah akhirnya Swandaru menyadari bahwa apa yang telah diyakininya sekian lama
itu ternya salah sama sekali. Barulah terbuka mata Swandaru , bahwa ilmunya benar
benar belum siap untuk berjalan di dunia kanuragan tingkat tinggi. Terbukti melawan
seorang perempuan saja dia merasa kewalahan. Belum lagi bila nanti melawan Sekar
Mirah, Glagah Putih, Terlebih melawan kakang Agung Sedayu. Melihat kenyataan ini ,
bergolak batin di dada Swandaru menyesali kelakuannya. Karena pergolakan batinnya
itulah pukulan –pukulan Pandan Wangi sempat mampir di lambung dan danya. “Cukup
wangi… !!! Cukup!!! Kita sudahi latihan kita kali ini. Seru Swandaru Geni pada
istrinya. Pandan Wangi pun segera menghentikan serangannya dan segera surut
melompat ke belakang. Peluh bagaikan membanjr dari tubuh suami istri itu.
Betapapun cuma latihan, namun keduanya benar benar mengeluarkan jurus jurus
andalannya masing masing sehingga keduanya benar benar seperti berkelahi. “Sungguh
ilmu mu luar biasa Pandan Wangi,… aku harus mengeluarkan kemampuanku hampir sampai
ke puncak. Aku tak pernah menyangka bila kanuragan mu sedemikian dalam” kata
Swandaru secara tulus memuji istrinya. “Tidak begitu kakang, sendainya. Tenaga
cadangan kakang lebih kuat lagi, tentu aku takkan bias mengimbangimu” jawab Pandan
Wangi. “ Yakin kah engkau Pandan Wangi?” Bisik Swandaru Geni. “Yakin sekali,
kakang. Hal ini kusadari ketika aku masih menyadap kanuragan dari Ayah Argapati.
Begitu aku mendalami tenaga cadangan , kurasakan loncatan ilmu yang sangat tajam.
“. Prastawa yang hampir bersamaan belajar- nya dengan aku sampai heran. Dan sampai
sekarang Prastawa tidak bisa mengimbangi ilmu kanuragan ku” Lanjut Pandan Wangi.
“Baiklah Wangi latihan pada malam ini benar-benar telah membuka pemahamanku . Aku
benar-benar merasa seperti katak dalam tempurung”. Demikian lah, keduanya
bergantian membersihkan diri di pakiwan dan kemudian masuk ke bilik mereka. Pagi
hari , Sangkal Putung sangat cerah. Mentari mulai memancarkan sinar kasihnya untuk
segenap mahluk hidup. Sinar itu lah yang menghidupkan segala sendi
kehidupan .Hewan, manusia , terlebih-lebih tumbuhan sangat membutuhkan sinar
matahari untuk menghidupi dirinya sendiri dan meluas , menghidupi ddimensi
kehidupan lain. Namun wajah Swandaru tak sebening matahari pagi , pada saat
mendengar ada warga pedukuhan di wilayah Kademangan yang dirampok. Kudanya segera
berderap menuju sudut Kademangan Sangkal Putung sebelah timur laut Kademangan.
Pedukuhan Kikis memang masih bersebelahan dengan hutan, sehingga mungkin penjahat
sangat leluasa. Ketika sampai di tempat keributan, ternyata di sana masih banyak
orang yang mengerubuti pedagang Wesi aji dan permata yang dirampok. Mereka ingin
tahu kejadian yang sebenarnya telah terjadi. Hal yang sangat jarang , telah
terjadi. Setelah kehancuran kelompok pengacau dari Jipang puluhan tahun lalu, tidak
pernah ada kejadian seperti ini Diantara orang orang berkerumun tersebut terselip
beberapa orang lurah prajurit Mataram dibawah pimpinan Untara. Mereka telah
mendengar adanya berita perampokan tersebut. Terlebih mereka sebelumnya telah
mendapat tugas dari
Senopati Untara untuk menilisik orang orang liar yang ada di Lemah Cengkar. Karena
itulah mereka segera menghubungkan orang orang tersebut sebagai orang yang
dicurigai bersarang di hutan Lemah Cengkar Dari sekian prajurit yang ada di sana,
seorang prajurit bahkan telah memohon diri dari lurah Sabungsari , untuk melacak
keberadaan perampok tersebut. "Baiklah, ikuti dan lidik keberadaan orang- orang
itu, tapi jangan bertindak sebelum melaporkan padaku" Kata lurah Sabungsari.
"Baiklah. Aku segera berangkat" kata prajurit. Swandaru Geni segera menemui
pedagang tersebut dan menanyakan ciri-ciri gerombolan yang telah merampoknya. "Enam
orang. Wajah mereka tidak menunjukkan tampang orang baik-baik, terlihat keras dan
kasar. Dari tutur kata yang di ucapkan , nampak sekali kalau mereka berasal dari
bang wetan. Setelah menyekap kami sekeluarga, mereka mencari seluruh harta
berharga milik kami, dan dibawa pergi" kata pedagang tersebut. "Ke arah mana mereka
pergi?" Lanjut Swandaru Geni. "Aku tidak bisa melihatnya, karena kami di sekap.
Mungkin ada tetangga yang melihatnya" kata pedagang itu. Kami pun lepas dari
sekapan mereka, setelah mereka pergi dan kami teriak minta tolong pada tetangga.
"Baiklah kita akan segera menangkap begundal begundal itu". Sambut Swandaru.
"Tenang sajalah, mereka belum pergi jauh, dan dapat kita kejar". Mungkin pula
mereka hanya bersembunyi di hutan hutan sekitar pedukuhsn ini. Lanjut Swandaru .
Ketika keluar disambanginya Sabungsari yang masih berbincang-bincang dengan warga
sekitar. "Kira kira dimana mereka sembunyi, kakang Sabungsari." Tanya Swandaru.
"Tenanglah Adi Swandaru , ada prajuritku yg telah berangkat melacak mereka. Semoga
dia bisa berhasil melacak nya. " Balas Sabungsari. "Kita harus menangkapnya,
kakang. Mereka telah mencoreng mukaku" geram Swandaru. Sabungsari tersenyum, tidak
hanya Sangkal Putung yang tersinggung Swandaru!! Tetapi bahkan Mataram. Sambung
Sabungsari. "Kenapa dengan Mataram?" Bukankah ini hanya terjadi di Sangkal putung?
Tanya Swandaru. Karena ketika itu mereka sedang berada di kerumunan orang orang,
Sabungsari segera menggamit lengan Swandaru untuk menepi. "Ada apa Kakang?"
Sesampai mereka tiba di tempat tersendiri. "Kalau sempat mampirlah ke Jatianom.Ada
hal penting yang harus kamu ketahui". Jawab Sabungsari. Swandaru terkejut, katanya:
Apakah ada hubungannya dengan peristiwa pagi ini?" Balas Swandaru. "Benar, bahkan
lebih besar lagi persoalannya. Kukira perampokan ini hanya akibat dari tujuan
gerakan itu sendiri. Agaknya mereka telah kekurangan makan dan bekal , sehingga
mencari dengan jalan pintas. Karena itu kamu jangan bertindak sendiri Adi
Swandaru,. Ki Untara sudah merencanakan tindakan terperinci, bahkan sudah sampai
Mataram laporannya' sambung Sabungsari. Meskipun suasana kurang mengenakkan namun
ketinggian hati Swandaru masih nampak sekali. Saat merasa wilayah kademangannya
dijadikan sasaran rampok. Hati Swandaru sangat tersinggung atas kejadian itu.
Sabungsari sendiri hanya menyeringai ketika Swandaru mengatakan persoalan
pribadinya. "Kakang Sabungsari, kakang pernah bertempur dengan kakang Sedayu,
benarkah dia mempunyai ilmu Kanuragan yang sering aku dengar kabarnya itu? Wajah
Sabungsari memerah sejenak , namun kematangannya sebagai lurah prajurit telah
terbentuk lama bisa menguasai batinnya , sehingga kemarahannya tak nampak di
wajahnya "Benar Adi Swandaru, kalau boleh ku anggap , sekarang dia adalah guruku.
Karena dialah yang memberikan petunjuk membuka jalur jalur ilmuku sehingga sekarang
lebih lancar. Kini aku bukanlah tandingan nya lagi. Sangat sukar untuk dapat
menandinginya. Bahkan oleh keponakannya Glagah Putih pun aku sudah sudah
ketinggalan. Meskipun tidak seluruh ilmu Glagah Putih diserap dari Kakang Agung
Sedayu. " Swandaru terkejut sekali mendengar perkataan Sabungsari. Namun masih
juga kesombongan menggelayut di hatinya. Katanya" Sayang aku belum pernah
melihatnya". Padahal seharusnya dia ingat ketika berdua dengan Sabungsari bertempur
melawan orang dari Pasir Endut. Dia tidak dapat mengalahkan adik seperguruan orang
Pasir Endut, sehingga berhasil melarikan diri. Sedangkan Sabungsari berhasil
menewaskan kakak seperguruan musuhnya. Meskipun bukan ukuran , namun bisa menjadi
pembanding. Setidaknya. Karena kejengkelannya itulah Sahungsari bermaksud membuka
sedikit pintu hati Swandaru agar percaya perkataannya. "Kau ingin salah satu
bukti Swandaru? Katanya. "Ya. " Jwab Swandaru tegas . "Nah .. Adi Swandaru..
kebetulan aku mempunyai salah satu ilmu yang se irama dengan yang dimiliki Kakang
Sedayu', nah kau mundur lah kira kira 10 tombak. Dan kerahkan pertahanan mu sekuat
mungkin. Di seluruh tubuh mu. Aku akan menyerangmu' Kata Sabungsari. Swandaru
terkejut sekali mendengar tantangan Sabungsari. Namun ternyata dia melangkah juga
10 tombak ke belakang. "Aku akan menyerangmu begitu , kamu sampai di tempat kau
berhenti" Kata Sabungsari geram. "Ingat Adi Swandaru, kita hanya membuktikan.
Bukan akan berkelahi" lanjut Sabungsari. "Baiklah. Kata Swandaru sambil melangkah
mundur dan mempersiapkan tenaganya untuk menahan serangan Sabungsari. Swandaru
tidak melihat sama sekali ,Sikap Sabungsari akan menyerangnya. Terlihat olehnya
Sabungsari bersedekap tangannya. Dan kaki berdiri tegak kokoh menyangga tubuhnya.
Namun terlihat olehnya mata Sabungsari menyala. Alangkah terkejutnya Swandaru ,
begitu langkahnya terhenti di jarak tombak ke sepuluh , kakinya dari lutut ke bawah
bagai di serang oleh seribu jarum berujung api. Belum lagi, hilang kagetnya tiba-
tiba jantungnya serasa di remas-remas oleh tangan yang tak tampak. Sakitnya bukan
kepalang . Swandaru segera meningkatkan daya tahannya dan bermaksud menyerang
Sabungsari. Namun Sabungsari segera mengurai kuda-kudanya dan tersenyum, hingga
Swandaru mengurungkan serangannya. Maafkan aku, Adi Swandaru, aku telah
mengejutkanmu. Swandaru pun kembali tersenyum , dan mereka kembali berbincang
bincang. Namun suasana hati Swandaru sudah sedemikian rupa. Di hatinya telah
tumbuh keyakinan bahwa kakak seperguruannya itu memang memiliki kelebihan dari
dirinya. Kelengkapan ilmunya , kekebalan terhadap racun dan lainnya. Karena
tidak ada yang dapat dilakukan dan sudah cukup menelisik bekas bekasnya maka mereka
segera berencana berpisah, dan pulang. Sabungsari segera melanjutkan pekerjaan
yang telah menjadi tugasnya. Dan Swandaru berkenan mampir ke Jatianom. Ke barak
prajurit Mataram. Namun sebelum mereka berangkat , dari jauh terdengar derap
kuda , dan debu tampak mengepul menyertai derap langkah rombongan berkuda. Beberapa
orang segera bersiap , mereka menyempatkan diri untuk memutar keris, atau
mempersiapkan pedang nya agar siap pakai. Swandaru dan Sabungsari serta beberapa
prajurit yang masih tinggal disitu segera keluar pedukuhan menyongsong datangnya
rombongan berkuda tersebut. Sedangkan warga pedukuhan yang ketakutan segera pulang
ke rumah masing masing. Para pengawal pedukuhan segera pula mempersiapkan diri.
Pedang di pinggang siap dicabut , tombak yang merunduk kembali tegak. Siap untuk
berperang. Sementara itu dari arah berlawanan dengan datangnya rombongan berkuda,
tampak prajurit sandi Jatianom berjalan tergesa-gesa ke arah pedukuhan itu. Dia
terkejut juga melihat serombongan orang berkuda berjalan ke arah pedukuhan pula.

Anda mungkin juga menyukai