Anda di halaman 1dari 26

CERITA WAYANG

2 VERSI
Versi I
PRABU WATUGUNUNG (1) – Merengek-rengek Terus karena Kelaparan

GERHANA bulan maupun gerhana matahari acap kali terjadi di kerajaan Gilingwesi,
gempa mengguncang tujuh kali sehari, hujan deras dengan kilat halilintar bersautan, dan
badai memporakporandakan segalanya. Rakyat hidup dalam suasana serba ketakutan
karena bencana alam yang mengerikan. Prabu Watugunung sangat sedih hatinya
menyaksikan penderitaan rakyatnya. Siang malam sang Nata berprihatin diri, berdoa dan
mohon ampun kepada yang Maha Kuasa agar rakyatnya segera dibebaskan dari
cobaanNya yang memilukan.
Siang itu Prabu Watugunung liyer-liyer terkantuk-kantuk karena semalaman hampir tidak
memejamkan mata saking khusuknya beliau berdoa memohon pertolongan Yang Maha
Kuasa agar negerinya segera terbebas dari bencana. Dengan ogah-ogahan Sang Prabu
melepas kuluk mahkotanya, diletakkan di sampingnya, lalu beliau nglekar begitu saja
meski bukan di tempat kebiasaannya beliau tidur.

Jegagik. Dewi Sinta istrinya kaget memandangi kepala sang Prabu yang tidak berkuluk,
ternyata kepala itu pelang dan kayaknya bekas luka yang tidak ditumbuhi rambut.

“Maaf, Sinuwun Prabu. Apakah hamba diperkenankan jika menanyakan sesuatu?”, tanya
Dewi Sinta sambil memandangi wajah suaminya. “Boleh. Apa yang akan kamu tanyakan
adinda?”Sejak kita menikah puluhan tahun silam dan telah dikaruniai beberapa orang
anak baru kali ini aku melihat kepala Sinuwun Prabu itu pelang. Kenapa bisa pelang
begitu? “Hmmm… pelang di kepalaku? Tapi diajeng tidak kecewa kan dengan pelang
tadi?” “Tidak Sinuwun Prabu. Aku hanya bertanya saja kok”.

Prabu Watugunung tersenyum, sejenak dipandanginya wajah istrinya. Ia memang masih


cantik meski sudah berkali-kali melahirkan anak-anaknya yang kini sudah menginjak
dewasa.

“Begini, Diajeng. Waktu aku masih kanak-kanak dulu ibuku sedang menanak nasi di
dapur. Karena kebelet kelaparan aku merengek-rengek minta makan. Ibuku sudah
memegang enthong akan menyenduk nasi namun ternyata belum matang, masih jemek.
“Sabar ya, Nak. Nasinya belum matang, sebentar lagi ya!”, bujuk ibuku dengan kata-kata
yang manis.

PRABU WATU GUNUNG (2) – Bingung karena Telah Menikahi Anak Sendiri

“Begini, Diajeng. Waktu aku masih kanak-kanak dulu ibuku sedang menanak nasi di
dapur. Karena kebelet kelaparan aku merengek-rengek minta makan. Ibuku sudah
memegang enthong akan menyenduk nasi namun ternyata belum matang, masih jemek”.

AKU tidak mau disabar-sabarkan karena perutku keburu keroncongan, aku berteriak-
teriak minta makan sambil menangis. Ibuku jengkel, kesabarannya habis maka dipukullah
kepalaku dengan enthong di tangannya, ‘Plok’
“Waduuuuh biyuuuung, kepalaku sakit sekali!”, teriakku sambil berlari keluar dari dapur.
Entah mengapa kepala ini rasanya pening tujuh keliling membuatku terus berlari
menjauhi rumah, berlari, berlari, berlari, dan terus berlari entah sampai dimana. Akhirnya
aku memutuskan tidak akan pulang kembali ke rumah. Aku mengembara ke berbagai
negeri, berguru ke berbagai Padepokan lalu menjadi prajurit dan bergaul dengan para
sentana dalem. Berkat berbagai macam pengalaman dan ilmu-ilmu kanuragan yang aku
dapatkan selama mengembara aku bisa menjadi penguasa di Kerajaan Gilingwesi ini,”
kata Sang Prabu bercerita tentang masa lalunya.

Dewi Sinta tersentuh hatinya, haru. Disekanya air mata yang turun meleleh di pipinya. Ia
jadi teringat, dulu dirinya pernah memukul anaknya dengan enthong. Anak itu menangis
kesakitan dan berlari pergi dari rumah sampai kini tak pernah kembali lagi. Jangan-jangan
Sang Prabu ini adalah anakku yang dulu pergi dan tak pernah kembali lagi itu?.

Duh, Gusti. Lelakon ini kok begini ruwetnya? Tolonglah hamba, berilah jalan terang dalam
hidupku ini.

Dewi Sinta merenung-renung sendiri, judheg. Bagaimana mungkin dirinya bisa dinikahi
seorang raja yang tak lain dan tak bukan adalah anak kandung sendiri? Ah, semuanya
sudah terlanjur terjadi.

“Diajeng Sinta, kenapa kamu tadi mrebes mili lalu sekarang nampak tercenung-
cenung?Apakah kamu bingung?”, bertanya Sinuwun Prabu Watugunung.
“Tidak apa-apa. Aku sedang berpikir, Kangmas” “Wouw, berpikir apaan? Apa berpikir
tetang diriku?” “Betul, Kangmas Prabu. Kangmas itu akan menjadi lebih sempurna
keluhurannya jika mempunyai permaisuri Bidadari dari Suralaya”, kata Dewi Sinta.
“Stststststttt… bukan permaisuri. Tetapi selir seorang Bidadari dari Suralaya. Bukankah
permaisuriku itu kamu? Kamu itu paling sip jika jadi permaisuriku, pas, dan neplek.
Makanya Bidadri dari Suralaya usulanmu itu akan aku jadikan selir saja”, jawab Sinuwun
Prabu.
PRABU WATU GUNUNG (3) – Menyerang Suralaya untuk Melamar Bidadari

“Bukan permaisuri. Tetapi selir seorang Bidadari dari Suralaya. Bukankah permaisuriku
itu kamu? Kamu itu paling sip jika jadi permaisuriku, pas, dan neplek. Makanya Bidadri
dari Suralaya usulanmu itu akan aku jadikan selir saja”, kata Sinuwun Prabu.

DEWI Sinta tersenyum, ia mengerling suaminya dengan sudut matanya yang berbulu
lentik. Ini sebuah strategi manis yang harus dilakukannya dengan cara mendorong
suaminya agar mau sowan ke Suralaya melamar Bidadari. Di sana para dewa pasti akan
marah melihat kunjungan Prabu Watugunung yang dianggapnya nranyak dan
cecingkrakan di negeri Dewata. Jika kemudian terjadi peperangan semogalah Sinuwun
Prabu kalah, mati. Inilah jalan untuk bisa lepas dari suaminya yang ternyata juga anak
kandungnya sendiri itu.
Hasrat Sinuwun Prabu Watugunung menyala-nyala di balik dadanya. Beliau sangat ingin
segera datang ke Suralaya untuk melamar salah satu Bidadari di sana. Siapapun
Bidadari itu asal tidak lemu dia mau. Sebab kalau si Bidadari lemu sementara dia sendiri
tubuhnya ukuran kelas berat dikhawatirkan ranjang di Kerajaan Gilingwesi akan cepat
ambrol.

Sementara itu di Suralaya Bethara Guru telah mendengar kabar akan kedatangan raja
dari Kerajaan Gilingwesi. Maka segera dipanggillah para Dewa dan mereka ditanya satu-
satu, berani atau tidak menghadapi Prabu Watugunung yang murang tata kumawani
datang ke Suralaya?

“Tidak, Guru. Tidak, tidaaak, tidaaaakk….” jawab para dewata itu beramai-ramai.
“Kenapa kalian tidak berani?”. “Kami semua takut dengan Prabu Watugunung, dia sakti
mandraguna dan kebal terhadap senjata macam apa saja”, jawab para Dewa menyerah.
“Begini saja, Adi Guru”, kata Sanghyang Narada mencoba menyampaikan solusi.
“Bagaimana, Kakang Narada?”, desak Bathara Guru kebelet pingin tahu.
“Panggil saja anakmu Bethara Wisnu yang kini ada di Marcapada suruh dia menghadapi
musuh sebab hanya dia satu-satunya yang mampu melawan Prabu Watugunung”.

Sejenak Batahara Guru terdiam, wajahnya sedikit mrengut. Beliau teringat akan Wisnu
anaknya yang sengaja diusir dari Suralaya karena berkasih-kasihan dengan wanita
simpanannya. Eh, turun ke Marcapada mereka berdua malah menggila cintanya lalu
menikah, hamil, dan punya anak lelaki yang kini sudah berangkat dewasa bernama
Raden Srigati.

“Bagaimana, Adi Guru? Kok kamu malah bengong?”, desak Sanghyang Narada.
“Ya ya ya, Kakang. Aku setuju ajaklah Wisnu kemari!”, jawab Bethara Guru, terpaksa.

Sanghyang Narada kemudian turun ke Marcapada mencari Bethara Wisnu untuk diajak
ke Suralaya menghadapi musuh karena ayahnya (Bethara Guru) tidak berani
menghadapinya.
PRABU WATU GUNUNG (4) – Perang Tanding Diganti dengan Cangkriman

Sanghyang Narada turun ke Marcapada mencari Bethara Wisnu untuk diajak ke


Suralaya, menghadapi musuh karena ayahnya (Bethara Guru) tidak berani
menghadapinya.

TAK urung kedatangan Bethara Wisnu mengungkit kembali amarahnya. Namun Bethara
Guru berusaha menekannya kuat-kuat di dalam rongga dadanya.
“Huuuuuhh…, siapa anak yang duduk di belakang Wisnu itu, Kakang Narada?”, bertanya
Bethara Guru nggetem menahan gejolak amarahnya. “Itu Raden Srigati, Adi Guru”.
“Siapa raden Srigati itu? Kenapa ikut ke Suralaya?”. “Dia cucumu, anaknya Wisnu
dengan putri dari Mendang” Cengkelak, Bethara Guru bangkit dari kursi tahtanya. Beliau
lalu masuk meninggalkan bangsal Kedewataan. Sanghyang Narada buru-buru
mengejarnya masuk ke kamar. Dia mengerti Bethara Guru sedang marah besar. “Kakang
Narada, suruh si Wisnu segera melabrak Prabu Watugunung! Sedangkan Srigati seretlah
kemari akan aku bunuh”, berkata Bethara Guru. “Jangan, Adi Guru. Nanti si Wisnu tidak
akan mau melawan Prabu Watugunung jika anak ini kamu bunuh. Sabarlah, Adi Guru.
Masa lalu biarlah berlalu masa sekarang inilah yang mesti kita pikirkan. Kamu kan sudah
sepuh? Makanya soal cintamu dengan putri dari Mendang dulu lupakanlah. Sebab
kenyataanya putri dari Mendang itu melabuhkan cintanya kepada Wisnu yang lebih
muda, lebih cakep, dan lebih sakti. Begitu kan? Iya kan?” Bethara Guru akhirnya menuruti
apa yang dinasihatkan Sanghyang Narada, dia merasakan dirinya menjadi Rajanya para
Dewa di Suralaya namun tidak memiliki kesaktian yang mumpuni. Sementara itu, Bethara
Wisnu sudah berhadap-hadapan dengan Prabu Watugunung. Meski mereka
menggengam senjata masing-masing namun wajah Prabu Watugunung tidak
menyiratkan kebencian sama sekali. “Bethara Wisnu, diantara kita tidak perlulah
berperang tanding. Cukuplah jika kamu bisa menebak cangkrimanku aku rela kamu
bunuh tanpa melawan. Tetapi apabila kamu salah menebak cangkrimanku maka semua
Dewa di Suralaya ini harus takluk kepadaku dan semua Bidadari harus kamu serahkan
kepadaku untuk kujadikan istri”, kata Prabu Watugunung menawarkan. “Baiklah, aku
setuju. Apa cangkrimanmu itu?”, jawab Bethara Wisnu. “Begini cangkriman itu, ‘Ada
pohon Adikih, adakah buahnya? Ada pohon Adakah adikih buahnya. Apakah itu?”.
PRABU WATU GUNUNG (5) – Tangis Dewi Sinta Membuat Suralaya Dilanda Gara-
gara

“Baiklah, aku setuju. Apa cangkrimanmu itu?”, jawab Bethara Wisnu. “Begini cangkriman
itu, ‘Ada pohon Adikih, adakah buahnya? Ada pohon Adakah adikih buahnya. Apakah
itu?”

SEJENAK Bethara Wisnu berpikir, “Pohon Adikih adakah buahnya itu Semangka.
Sedangkan pohon Adakah adikih buahnya itu Beringin”.
Prabu Watugunung tercekat diam merasa cangkrimannya dapat ditebak lawannya, dia
terbengong-bengong. Bethara Wisnu lalu menyerang Prabu Watugunung dengan senjata
cakra tepat mengenai lehernya, kepalanya jatuh menggelundung.

Dewi Sinta yang berada di kerajaan Gilingwesi mendengar kabar kematian suaminya
sangat sedih, ia menangis. Karena kesaktiannya maka tangisnya tadi menimbulkan gara-
gara. Suralaya terguncang oleh gempa, badai bertiup kencang mengobrak-abrik
segalanya hingga menjadi berantakan semuanya. Para Dewa bingung baru kali ini
Suralaya diamuk oleh kekuatan dahsyat yang tidak diketahui dari mana asalnya.

“Kakang Narada, coba kamu cari apa yang menyebabkan terjadinya gara-gara ini?”, kata
Bethara Guru. “Adi Guru, yang menjadi penyebab gara-gara di Suralaya ini adalah
tangisnya Dewi Sinta istrinya Prabu Watugunung yang berada di Kerajaan Gilingwesi”.
“Kenapa Dewi Sinta menangis?”

“Hahahaaaa…. bodoh amat kau, Adi Guru. Dewi Sinta itu menangis ya tentu karena
sedih, suaminya mati dibunuh oleh Bethara Wisnu” “Nah, bujuklah agar Dewi Sinta
menghentikan tangisnya!”, perintah Bethara Guru.

“Baik. Saat ini juga aku turun ke Marcapada lalu ke Kerajaan Gilingwesi. Kalau soal
membujuk Dewi Sinta akulah jagonya”, jawab Sanghyang Narada bethara cebol yang
suka sombong itu.

Di kerajaan Gilingwesi Dewi Sinta masih tersedu-sedu, sedih. Suaminya yang perkasa
itu kini mati di tangan Bethara Wisnu. Tidak cuma itu saja, Dewi Sinta juga teringat akan
cacat pelang di kepala Prabu Watugunung yang menandakan kemungkinan besar
suaminya yang selama ini dicintainya tidak lain adalah anaknya sendiri.

“Sintaaa, Ulun datang Sintaaa…?”, kata Sanghyang Narada sestiba di Keraajaan


Gilingwesi. “Ulun siapa ya?”. “Ulun, Sanghyang Narada”, jawab Bethara cendhik lemu itu
seraya mendekati kamar Dewi Sinta dan melangkah masuk. “Kamu mengapa mesti
datang kemari?”, tanya Dewi Sinta mendelik seakan kurang berkenan dengan kehadiran
Bethara dari Suralaya itu. “Emmm… begini, Dewi Sinta. Bethara Guru sebagai
penguwasa di Suralaya meminta kesediaanmu agar kamu menghentikan tangismu.
Sebab tangismu itu membuat huru hara di Suralaya sehingga warga di sana ketakutan”.

“Tidak bisa. Aku menangis karena sedih, suamiku mati terbunuh. Aku akan menangis
terus menerus biarlah Suralaya jadi porak poranda dan kalang kabut”.
“Jangan begitu, Dewi Sinta. Kalau dikau mau berhenti menangis suamimu akan aku
hidupkan kembali. Sudahlah, aku pamit dulu akan terbang ke Suralaya menghidupkan
suamimu”.
PRABU WATU GUNUNG (6) – Minta Anak dan Istri Diboyong ke Suralaya

“Aku menangis karena sedih, suamiku mati terbunuh. Aku akan menangis terus menerus
biarlah Suralaya jadi porak poranda dan kalang kabut,” kata Dewi Sinta. “Jangan begitu,
Dewi Sinta. Kalau dikau mau berhenti menangis suamimu akan aku hidupkan kembali.
Sudahlah, aku pamit dulu akan terbang ke Suralaya menghidupkan suamimu,” kata
Sanghyang Narada.

DI SURALAYA para Dewa masih mengerumuni jenazah Prabu Watugunung.


Sanghyang Narada lalu menyibak kerumunan para Dewa dan berdiri di samping Jenazah
sambil umak-umik dia menyambungkan kepala yang lepas ke tempatnya semula, lalu dia
berkata “Bim salabim hidup lagi… prok prok prok”. Prabu Watugunung yang tadi
nggejojor tak bernafas kini mulai ngolet, angop, bersin, ngentut, ucek-ucek, membuka
mata, duduk sebentar, kemudian bergegas berdiri. Dipandanginya para Dewa yang ada
di situ, “He, siapa yang membangunkan tidurku?”.
“Enak aja tidur? Dikau tadi mati, Watugunung. Nih, yang menghidupkan Sanghyang
Narada”, bethara yang tak pernah lupa pakai sepatu itu menepuk dada, bangga.
“Kalau begitu terima kasih, Sanghyang Narada”, ucap Prabu Watugunung.
“Tidak cukup terima kasih. Dikau harus segera turun ke Marcapada menemui istrimu
Dewi Sinta. Sebab jika ia sudah melihat dikau hidup kembali pasti tidak akan nangis lagi”

“Tidak. Aku tidak mau turun ke Marcapada, aku sudah kerasan tinggal di Suralaya. Jika
Sanghyang Narada menginginkan istriku tidak menangis maka bawalah istri dan anak-
anakku kemari!” jawab Prabu Watugunung.

“Uuuukh, sialan. Ulun malah dikau jadikan tukang jemput? Tetapi, baiklah. Yang penting
nanti dalam penerbangan dari Marcapada ke Suralaya istrimu akan ulun peluk erat-erat
supaya tidak jatuh. Bukankah Dewi Sinta tidak dapat terbang?”. “Lalu anak-anakku
bagaimana?”. “Ulun akan sewa Wildata dan Wilmuna kepada Gatotkaca dan Seteja. Dua
ekor garuda itu rasanya cukup untuk mengangkut anak-anakmu”. Prabu Watugunung
mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju.
PRABU WATU GUNUNG (7-HABIS) – Bethara Wisnu Diturunkan ke Marcapada

“Aku tidak mau turun ke Marcapada, aku sudah kerasan tinggal di Suralaya. Jika
Sanghyang Narada menginginkan istriku tidak menangis, maka bawalah istri dan anak-
anakku kemari!” jawab Prabu Watugunung.

DI SURALAYA Bethara Guru menyelenggarakan pertemuan dengan para Dewata


setelah negeri itu tentram kembali. “Para Dewa di Suralaya yang ulun hormati, syukurlah
bahwa Suralaya kini sudah tenteram kembali. Agar di kelak kemudian hari tidak terjadi
gara-gara lagi bagaimana menurut pendapat kalian?”. “Adi Guru, aku berpendapat begini.
Sebaiknya Bethara Wisnu diturunkan ke Marcapada menjadi rajanya para lelembut. Dia
kita beri kekuasaan di delapan tempat di Gunung Merapi, Pamantingan, Kebareyan,
Lodaya, Kuwu, Wringin pitu, Kayu Ladeyan, dan Alas Roban”, usul Sanghyang Narada.
“Kenapa mesti begitu, Kakang Narada?”, bertanya Bethara Guru. “Untuk mencegah agar
Bethara Wisnu tidak perang tanding lagi dengan Prabu Watugunung. Sebab kecuali
sekarang Prabu Watugunung manggon di Suralaya juga karena dia sudah tidak memiliki
cangkrimann lagi selain yang berhasil ditebak oleh Bethara Wisnu?”.
“Setuju para Dewa yang terhormat?”, seru Bethara Guru minta pertimbangan dewata.
“Setujuuuu…!”
“Ada lagi pendapat Kakang Narada?”, tanya Bethara Guru.
“Satu pendapat lagi, Adi Guru. Begini, berhubung Prabu Watugung sekarang tinggal di
Suralaya maka sebaiknya Bethara Brama juga diturunkan ke Marcapada untuk menjadi
Raja di kerajaan Gilingwesi”. Bethara Guru manthuk-manthuk, “Pendapat yang bagus
sekali ulun setuju”, jawab penguasa negeri Suralaya sambil pandangan matanya tak
henti-hentinya menatap wajah wanita cantik yang duduk di samping Prabu Watugunung.
Ia warga baru di Suralaya dimana Bethara Guru berjanji dalam hati akan selalu
memanjakan dan memperlakukan dengan baik warga baru tadi.
VERSI 2

Watugunung Gugur
Kisah ini menceritakan Prabu Watugunung dibantu Batara Kala melamar tujuh bidadari
Kahyangan Suralaya atas permintaan Dewi Sinta Basundari. Batara Indra lalu meminta
bantuan Resi Satmata yang kemudian berhasil menewaskan Prabu Watugunung.
Selanjutnya, satu persatu anggota keluarga Prabu Watugunung diangkat ke kahyangan
dan peristiwa ini menjadi asal-usul terciptanya Pawukon.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi
Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

PRABU WATUGUNUNG HENDAK MELAMAR TUJUH BIDADARI DEMI DEWI SINTA

Batara Kala di Kahyangan Selamangumpeng dihadap para murid yang dipimpin Ditya
Pulasya. Tidak lama kemudian datang Prabu Watugunung dari Kerajaan Gilingwesi
bersama Patih Suwelacala dan Ditya Brekutu. Prabu Watugunung datang menghadap
untuk menyampaikan permasalahannya, yaitu sang permaisuri Dewi Sinta sudah
beberapa bulan ini tidak pernah lagi mau disentuh olehnya. Kadang sang istri mengaku
sedang datang bulan, kadang mengaku sedang tidak enak badan. Sampai akhirnya,
ketika Prabu Watugunung mengancam hendak menggunakan kekerasan, Dewi Sinta
pun mengajukan syarat bahwa dirinya bersedia kembali melayani sang suami asalkan
dimadu dengan tujuh bidadari unggulan Kahyangan Suralaya, yaitu Batari Supraba,
Batari Wilutama, Batari Warsiki, Batari Surendra, Batari Gagarmayang, Batari Irimirim,
dan Batari Tunjungbiru.

Batara Kala heran mendengar kisah tersebut dan menasihati Prabu Watugunung supaya
tidak usah mengabulkan permintaan aneh Dewi Sinta itu. Namun, perasaan cinta Prabu
Watugunung terhadap Dewi Sinta sudah terlalu mendalam, dan ia rela melakukan apa
saja demi mendapatkan kembali cinta kasih sang permaisuri. Bahkan, Patih Suwelacala
juga ikut kena marah karena menyarankan supaya Prabu Watugunung menahan diri dan
tidak terlalu menuruti hawa nafsu.

Prabu Watugunung lalu menjelaskan maksud dan tujuannya menghadap Batara Kala
adalah untuk meminta petunjuk bagaimana caranya mengabulkan permintaan aneh
tersebut. Batara Kala akhirnya bersedia membantu Prabu Watugunung. Ia menjelaskan
bahwa manusia biasa tidak mungkin menikah dengan bidadari, kecuali orang yang
memiliki jasa sangat besar terhadap kahyangan. Maka, sebaiknya Prabu Watugunung
mempersembahkan hadiah kepada Batara Indra sebagai pengganti jasa, dan hadiah itu
bisa berupa busur Bajra dan panah Herawana.

Meskipun busur Bajra dan panah Herawana adalah benda pusaka warisan ayahnya
(Prabu Palindriya), tapi Prabu Watugunung rela kehilangan keduanya demi mewujudkan
permintaan Dewi Sinta. Batara Kala lalu mengutus Ditya Pulasya dan Ditya Brekutu untuk
menyerahkan kedua pusaka itu kepada Batara Indra di Kahyangan Suralaya. Setelah
kedua raksasa berangkat, Prabu Watugunung lalu mohon pamit pulang ke Kerajaan
Gilingwesi.

BATARA INDRA MENOLAK LAMARAN PRABU WATUGUNUNG

Ditya Pulasya dan Ditya Brekutu telah sampai di Kahyangan Suralaya dan langsung
menghadap Batara Indra. Kedua raksasa ayah dan anak itu lalu mempersembahkan
busur Bajra dan panah Herawana supaya ditukar dengan tujuh bidadari unggulan. Batara
Indra menerima kedua pusaka itu dan menjelaskan bahwa busur Bajra dan panah
Herawana dulunya memang milik Kahyangan Suralaya sebelum dihadiahkan kepada
mendiang Prabu Palindriya saat masih bernama Raden Respati. Jika Prabu Watugunung
mengembalikan kedua pusaka itu kepada Kahyangan Suralaya, maka Batara Indra tetap
menganggapnya sebagai sebuah jasa. Batara Indra pun berjanji kelak jika Prabu
Watugunung meninggal, maka jiwanya akan diangkat sebagai dewa dan mendapatkan
istri bidadari.

Ditya Pulasya dan Ditya Brekutu mohon pamit meninggalkan Kahyangan Suralaya untuk
melapor kepada Prabu Watugunung. Namun, di tengah jalan Ditya Pulasya merasa ada
yang aneh pada keputusan Batara Indra tadi. Padahal, Batara Indra telah menerima
busur Bajra dan panah Herawana, tetapi mengapa ia menunda untuk mengabulkan
permohonan Prabu Watugunung? Ditya Pulasya lalu mengajak Ditya Brekutu dan
segenap pasukan raksasa yang mengawal untuk kembali ke Kahyangan Suralaya.

Para raksasa itu menghadap Batara Indra dan meminta supaya ketujuh bidadari
diserahkan saat ini juga. Batara Indra marah dan mengerahkan pasukan Dorandara.
Terjadilah pertempuran di mana pasukan raksasa berhasil dipukul mundur keluar dari
Kahyangan Suralaya. Ditya Pulasya lalu mendirikan perkemahan di kaki Gunung
Jamurdipa, sedangkan Ditya Brekutu diperintah untuk pulang dan melapor kepada Prabu
Watugunung.

PRABU WATUGUNUNG MENGIRIM BALA BANTUAN

Ditya Brekutu telah sampai di Kerajaan Gilingwesi dan langsung menghadap Prabu
Watugunung. Saat itu Prabu Watugunung sedang menerima kedatangan sekutunya,
yaitu Prabu Santakya, raja raksasa Kerajaan Malawa. Mendengar laporan Ditya Brekutu,
bahwa Batara Indra tidak bersedia menyerahkan ketujuh bidadari, Prabu Watugunung
menjadi sangat marah. Ia lalu memerintahkan Prabu Santakya untuk memimpin pasukan
menyerang Kahyangan Suralaya.

Sebelum berangkat, Prabu Santakya meminta dibantu para arya yang memiliki sifat
seperti harimau, gajah, kambing, kera, ular, dan banteng. Prabu Watugunung lalu
memilih enam orang adiknya, yaitu Arya Kurantil yang bersifat seperti harimau, Arya
Julungwangi yang bersifat seperti gajah, Arya Mandasiya yang bersifat seperti kambing,
Arya Tambir yang bersifat seperti kera, Arya Prangbakat yang bersifat seperti ular, dan
Arya Dukut yang bersifat seperti banteng. Prabu Santakya sendiri juga menunjuk empat
orang raksasa anak buahnya sebagai para pemimpin pasukan, yaitu Ditya Pragalba,
Ditya Prabata, Ditya Keswari, dan Ditya Arimoha. Setelah pasukan siap, mereka pun
berangkat menyerang Kahyangan Suralaya untuk membantu Ditya Pulasya.

RESI SATMATA MENERIMA TUGAS MENGAMANKAN KAHYANGAN

Batara Indra di Kahyangan Suralaya menerima kunjungan Batara Guru dan Batara
Narada dari Kahyangan Jonggringsalaka. Batara Guru menjelaskan bahwa Batara Indra
tidak mungkin bisa mengalahkan Prabu Watugunung yang dilindungi Batara Kala. Satu-
satunya yang bisa mengalahkan raja Gilingwesi itu hanyalah Batara Wisnu yang saat ini
sedang menjelma sebagai Resi Satmata. Batara Indra mematuhi nasihat tersebut. Batara
Guru lalu meminta Batara Narada untuk mencari dan menjemput Resi Satmata. Batara
Narada pun mohon pamit dan berangkat melaksanakan tugas tersebut.

Resi Satmata sendiri sedang menjalani tapa rame, dengan menjadi dukun pengobatan
yang hidup berpindah-pindah. Kali ini ia bertempat tinggal di Gunung Candrageni
(sekarang Gunung Merapi), dan sedang menerima kedatangan tiga orang adik iparnya,
yaitu Batara Laksmanasadu, Batara Penyarikan, dan Batara Satyawaka. Mereka bertiga
ikut prihatin atas hukuman pengasingan yang dijalani Resi Satmata akibat kemarahan
Batara Guru. Padahal, kejadian itu sudah belasan tahun berlalu, tapi mengapa sampai
sekarang Batara Guru belum juga memberikan pengampunan padanya?

Tidak lama kemudian, Batara Narada datang di Gunung Candrageni. Resi Satmata dan
ketiga adik iparnya menyembah dengan hormat. Batara Narada menjelaskan bahwa
kedatangannya adalah untuk menjemput Resi Satmata sebagai jago Kahyangan
Suralaya menghadapi serangan bala tentara Prabu Watugunung. Resi Satmata sangat
gembira karena hal ini bisa menjadi sarana baginya untuk memperoleh pengampunan
Batara Guru.

Setelah Batara Narada kembali ke kahyangan, Resi Satmata segera memanggil


kendaraannya yang berwujud kuda sembrani berwarna putih bersih. Ia pun mengendarai
kuda itu dengan berboncengan sekaligus bersama ketiga adik iparnya meninggalkan
Gunung Candrageni

RESI SATMATA BERTEMU DEWI SRIYUWATI DAN RADEN SRIGATI

Dalam perjalanan terbang mengendarai kuda sembrani, rombongan Resi Satmata


melewati sebuah desa bernama Waringinsapta. Di desa itu Resi Satmata melihat istrinya,
yaitu Dewi Sriyuwati sedang duduk bersama seorang pemuda remaja di halaman rumah.
Resi Satmata sangat marah dan langsung turun ke darat untuk menanyai istrinya itu.
Namun, Dewi Sriyuwati dengan tenang menjelaskan bahwa pemuda remaja itu adalah
anak mereka sendiri.

Ternyata dulu sewaktu Resi Satmata pergi meninggalkan padepokan di Hutan Kuyana,
saat itu Dewi Sriyuwati sedang hamil muda. Kini anak yang dikandung itu telah tumbuh
menjadi remaja tampan dan diberi nama Raden Srigati. Resi Satmata pun meminta maaf
atas kesalahannya dulu yang pergi tanpa pamit karena tidak ingin melibatkan Dewi
Sriyuwati dalam menjalani hukuman pengasingan. Ia sengaja berbuat demikian supaya
sang istri kembali ke istana Medang Kamulan, atau mungkin bergabung dengan
saudaranya, yaitu Patih Suwelacala di Kerajaan Gilingwesi.

Tak disangka, Dewi Sriyuwati ternyata memilih untuk pergi mencari ke mana Resi
Satmata pergi. Dalam keadaan hamil ia terlunta-lunta sampai akhirnya memasuki Desa
Waringinsapta. Di desa inilah ia melahirkan Raden Srigati dan hidup membaur bersama
rakyat jalata.

Resi Satmata sangat terharu mendengar cerita Dewi Sriyuwati. Ia berjanji tidak akan
meninggalkan anak dan istrinya lagi. Namun, saat ini ia harus menjalankan tugas dari
Batara Guru terlebih dulu, yaitu menumpas Prabu Watugunung yang telah menjadi
musuh kahyangan. Kelak setelah memenangkan pertempuran dan mendapat
pengampunan, maka ia berjanji akan datang lagi untuk menjemput Dewi Sriyuwati dan
Raden Srigati. Ia juga memperkenalkan ketiga dewa yang menyertainya kali ini adalah
tiga orang adik iparnya saat menjadi Batara Wisnu di Kahyangan Utarasegara. Mereka
adalah Batara Laksmanasadu adik Batari Srilaksmi, Batara Penyarikan adik Batari
Sriyati, dan Batara Setyawaka adik Batari Srisatyawarna.

Dewi Sriyuwati mendoakan supaya sang suami memenangkan pertempuran. Namun, ia


juga memiliki permintaan supaya Resi Satmata jangan membunuh saudara kandungnya,
yaitu Patih Suwelacala. Resi Satmata menyanggupi permintaan tersebut. Ia lalu
berangkat bersama ketiga adik iparnya menuju Gunung Mahameru, tempat Kahyangan
Suralaya berada.

RADEN SRIGATI MENUMPAS PARA RAKSASA

Resi Satmata, Batara Laksmanasadu, Batara Penyarikan, dan Batara Setyawaka telah
sampai di Kahyangan Suralaya dan menghadap Batara Guru. Tampak para dewa lainnya
sudah berkumpul di sana, antara lain Batara Narada, Batara Indra, Batara Surya, Batara
Brahma, Batara Bayu, Batara Yamadipati, dan Batara Wrehaspati.

Batara Guru terkesan melihat perbuatan mulia Resi Satmata dengan menjadi dukun
pengobatan yang menolong masyarakat tanpa pilih kasih. Batara Guru pun memberikan
pengampunan atas segala kesalahan Resi Satmata, serta merestui perkawinan putranya
itu dengan Dewi Sriyuwati yang dulu sempat membuatnya sangat murka. Resi Satmata
bersyukur, dan ia pun mohon restu hendak keluar menghadapi bala tentara Kerajaan
Gilingwesi.

Tiba-tiba di luar sudah terdengar adanya pertempuran. Ternyata Raden Srigati diam-
diam menyusul ayahnya naik ke Kahyangan Suralaya dan langsung bertarung melawan
para raksasa Kerajaan Malawa. Meskipun selama ini tinggal di desa, namun pada
dasarnya ia adalah putra Batara Wisnu sehingga memiliki kesaktian alami sejak lahir.
Prabu Santakya dan keempat punggawanya akhirnya tewas satu persatu di tangan
Raden Srigati.

Arya Kurantil dan kelima adiknya segera maju menyerang Raden Srigati. Kali ini Raden
Srigati merasa kewalahan dan terdesak menghadapi keenam punggawa yang masih
terhitung pamannya itu. Melihat putranya terdesak, Resi Satmata segera terjun ke
pertempuran dan berhasil menewaskan keenam arya tersebut.

PRABU WATUGUNUNG TERJUN KE PERTEMPURAN

Prabu Watugunung, Batara Kala, Patih Suwelacala, beserta para arya lainnya datang
menyusul ke Kahyangan Suralaya. Saat itu yang tertinggal menjaga istana hanyalah
Danghyang Suktina. Melihat bala tentara Gilingwesi dan Malawa telah dihancurkan oleh
Resi Satmata dan Raden Srigati, mereka sangat marah dan langsung terjun ke medan
pertempuran. Para arya pun maju mengeroyok Resi Satmata, namun mereka satu
persatu jatuh berguguran menemui ajal terkena senjata Cakra Sudarsana.

Prabu Watugunung sangat marah melihat semua adiknya tewas, kecuali Patih
Suwelacala. Batara Kala dapat melihat bahwa Resi Satmata tidak lain adalah penjelmaan
Batara Wisnu. Maka, ia segera merasuki tubuh Prabu Watugunung untuk menjadikannya
lebih kuat. Prabu Watugunung kemudian maju menghadapi lawan. Resi Satmata pun
melepaskan senjata Cakra Sudarsana namun ternyata tidak mampu melukai kulit raja
Gilingwesi itu.

Maka, terjadilah pertarungan sengit antara Resi Satmata melawan Prabu Watugunung.
Keduanya terlihat sama-sama kuat dan sama-sama sakti. Prabu Watugunung yang
sudah dirasuki Batara Kala dapat mengubah wujudnya menjadi raksasa sebesar gunung
dan mengamuk merusak bangunan Kahyangan Suralaya. Resi Satmata pun
mengimbanginya dengan bertriwikrama menjadi raksasa yang lebih besar lagi. Dalam
pertempuran tersebut, raksasa penjelmaan Resi Satmata berhasil mengeluarkan Batara
Kala dan mengusirnya pergi, sehingga membuat Prabu Watugunung kembali ke wujud
semula.

PRABU WATUGUNUNG DIHUKUM MATI

Meskipun telah ditinggal Batara Kala, namun Prabu Watugunung tetap tangguh dan tidak
dapat dibunuh. Resi Satmata yang telah kembali ke wujud manusia segera menghentikan
pertempuran. Ia lalu menantang Prabu Watugunung adu kepandaian daripada bertarung
tanpa akhir. Prabu Watugunung diminta mengajukan sebuah teka-teki, dan Resi Satmata
siap menjawabnya. Jika teka-teki itu bisa ditebak, maka Prabu Watugunung harus
dihukum mati. Tapi jika teka-teki itu tidak dapat ditebak, maka Prabu Watugunung boleh
pulang dengan membawa tujuh bidadari unggulan.

Prabu Watugunung menerima tantangan Resi Satmata. Ia lalu mengajukan sebuah teka-
teki untuk diterjemahkan Resi Satmata dan ditafsirkan apa maknyanya. Teka-teki itu
berbunyi:
“Supila silapa, supila kupala, kupila supala."

Resi Satmata menjawab bahwa arti dari teka-teki itu adalah: “Wit dhakah woh dhakah
(pohon besar, buah besar); wit dhakah who dhikih (pohon besar, buah kecil); dan wit
dhikih who dhakah (pohon kecil, buah besar).”

Adapun tafsir dari teka-teki tersebut adalah:

• Pohon besar buahnya besar adalah kelapa. Maknanya ialah jika Prabu
Watugunungtewas, maka anak keturunannya tidak boleh dibunuh dan harus
dimuliakan.
• Pohon besar buahnya kecil adalah beringin. Maknanya ialah jika Prabu
Watugunung tewas, maka istrinya jangan sampai diganggu.
• Pohon kecil buahnya besar adalah semangka. Maknanya ialah kedudukan para
arya yang gugur supaya diwariskan kepada anak-anak mereka.

Prabu Watugunung terkesan pada jawaban Resi Satmata dan ia pun merelakan dirinya
untuk dihukum mati. Namun, Resi Satmata mengaku tidak tahu bagaimana caranya bisa
membunuh raja Gilingwesi itu. Prabu Watugunung pun menjelaskan bahwa segala
kesaktiannya berasal dari ajaran Begawan Radi, dan hanya Begawan Radi yang
mengetahui apa kelemahannya.

Resi Satmata lalu menemui Batara Surya yang dulu pernah turun ke dunia sebagai
Begawan Radi. Batara Surya diminta untuk menjelaskan apa kelemahan Prabu
Watugunung. Batara Surya tak kuasa menolak dan ia terpaksa mengatakan bahwa
muridnya itu hanya bisa dibunuh dengan Kereta Jatisurya miliknya.

Resi Satmata lalu meminjam Kereta Jatisurya milik Batara Surya itu dan segera
mengendarainya untuk melindas tubuh Prabu Watugunung. Raja Gilingwesi itu pun
tewas dengan tubuh lumat dan kemudian berubah menjadi bukit.

ASAL MULA TERCIPTANYA PAWUKON


Patih Suwelacala yang dibiarkan hidup oleh Resi Satmata segera pulang ke Kerajaan
Gilingwesi untuk melapor kepada Dewi Sinta perihal kematian Prabu Watugunung.
Mendengar laporan itu, Dewi Sinta pun menangis keras-keras hingga suara jeritannya
terdengar sampai ke Kahyangan Suralaya.

Batara Narada datang dari kahyangan untuk menenangkan wanita itu. Dewi Sinta
memohon kepada Batara Narada supaya para dewa mengampuni kesalahan Prabu
Watugunung, yaitu suami sekaligus putranya tersebut. Batara Narada mengatakan
bahwa Batara Guru telah mengampuni dosa-dosa Prabu Watugunung dan berniat
mengangkat rohnya naik ke kahyangan. Tidak hanya itu, satu persatu roh anggota
keluarga Prabu Watugunung juga akan diangkat ke kahyangan setiap tujuh hari sekali
pada hari Radite.

Dewi Sinta sangat bersyukur. Maka, pada hari Radite pekan ini ia dijemput Batara
Yamadipati untuk diangkat ke kahyangan. Tujuh hari kemudian giliran Dewi Landep (adik
Dewi Sinta, atau ibu kandung Dewi Sriyuwati dan Patih Suwelacala) yang dijemput naik
ke kahyangan. Pada hari Radite berikutnya, Patih Suwelacala dikembalikan namanya
menjadi Arya Wukir dan dijemput naik ke kahyangan. Tujuh hari kemudian giliran roh
Arya Kurantil yang dijemput, disusul dengan roh para arya lainnya setiap hari Radite,
sampai akhirnya giliran roh Prabu Watugunung yang dijemput sebagai penutup. Dengan
demikian lengkap sudah tiga puluh roh telah dijemput naik ke kahyangan setiap tujuh hari
sekali.

Untuk mengenang peristiwa tersebut, Batara Surya lalu menciptakan sebuah penanda
waktu baru untuk memperkaya tata cara penanggalan di Pulau Jawa. Penanda waktu ini
disebut pawukon yang berjumlah tiga puluh wuku, di mana setiap wuku terdiri atas tujuh
hari, mulai hari Radite sampai hari Saniscara. Ketiga puluh wuku tersebut adalah:

• Wuku Sinta
• Wuku Landep
• Wuku Wukir
• Wuku Kurantil
• Wuku Tolu
• Wuku Gumbreg
• Wuku Warigalit
• Wuku Warigagung
• Wuku Julungwangi
• Wuku Julungsungsang
• Wuku Galungan
• Wuku Kuningan
• Wuku Langkir
• Wuku Mandasiya
• Wuku Julungpujud
• Wuku Pahang
• Wuku Kuruwelut
• Wuku Marakeh
• Wuku Tambir
• Wuku Medangkungan
• Wuku Maktal
• Wuku Wuye
• Wuku Manahil
• Wuku Prangbakat
• Wuku Bala
• Wuku Wugu
• Wuku Wayang
• Wuku Kulawu
• Wuku Dukut
• Wuku Watugunung

BATARA BRAHMA DITUNJUK MENJADI RAJA GILINGWESI


Batara Guru sangat senang atas keberhasilan Resi Satmata alias Batara Wisnu
dalam usahanya mengamankan Pulau Jawa dari kejahatan Batara Kala. Sebagai
hadiah, Kerajaan Gilingwesi pun diserahkan kepada Batara Wisnu. Akan tetapi,
Batara Wisnu mengusulkan supaya Kerajaan Gilingwesi diserahkan kepada
Batara Brahma saja, karena negeri itu dulunya bernama Medang Gili yang
didirikan oleh kakaknya tersebut. Batara Wisnu mengaku sudah sangat bahagia
bisa mendapatkan restu dan pengampunan dari Batara Guru, dan jika ia diizinkan
kembali menjadi raja Medang Kamulan, baginya itu sudah lebih dari cukup.
Maka, Batara Guru pun menyerahkan Kerajaan Gilingwesi kepada Batara Brahma
supaya menjadi raja di sana. Untuk itu, Batara Brahma lalu menggunakan gelar
Prabu Brahmaraja, sedangkan Batara Wisnu (Resi Satmata) kembali menjadi raja
Medang Kamulan dengan bergelar Prabu Wisnupati.

Anda mungkin juga menyukai