penelitian, hal itu digunakan sebagai pedoman dan langkah untuk menelaah
dengan penelitian yang sedang dikaji tidak sama hasinya. Pada sub-sub judul
kajian terdahulu akan dipaparkan beberapa penelitian terdahulu yang sejenis dan
relevan dengan topik kajian yaitu tradisi lisan/ percakapan dengan menggunakan
analisis pengkajian yang berbeda-beda, agar lebih jelas dipaparkan di bawah ini:
penuturnya. Konsep referensi dan inferensi dalam analisis wacana dari Brown &
karena ujaran-ujaran ini sangat erat kaitannya dengan adat istiadat dan pandangan
20
Universitas Sumatera Utara
hidup masyarakat Tapanuli Selatan maka untuk memahaminya diperlukan
Penelitian lain ialah yang dilakukan oleh Matondang dan Hasibuan (2001)
kontribusi dalam sumber data penelitian yaitu dari Batak Toba. Data dikumpulkan
action. Dari analisis data ditemukan bahwa struktur wacana dalam gilir bicara
(turn taking) dimulai dari suhut yang punya hajat pesta, anak boru suhut menantu
yang punya hajat, pisang raut ipar dari anak boru, paralok-alok, pesta
musyawarah yang turut hadir, hatobangan „raja adat di kampung tersebut, raja
torbing balok “raja adat dari kampung sebelah”, dan Raja Panusunan Bulung raja
di raja adat/ pimpinan sidang. Topik percakapan dalam wacana lisan upacara
sidang.
menunjukkan adanya stereotip gender pada perintah bahasa Batak Toba yang
digunakan suami dengan istri pada masyarakat Batak Toba yakni bagaimana
bentuk penggunaan kalimat perintah yang digunakan oleh suami terhadap istrinya
pada masyarakat Batak Toba, bagaimana pula bentuk penggunaan perintah istri
terhadap suaminya.
Batak Toba, karya: Selviana Napitupulu (2008). Penelitian ini bertujuan Marhata
ujaran yang mengatur topik, gilir bicara, dan pasangan berdekatan yang
gilir bicara dapat diaplikasikan, namun kaidah pertama lebih dominan di setiap
situasi tutur. 3) Kategori rangkaian marhata acara adat perkawinan Batak Toba
bervariasi; ada yang lengkap dan ada yang tidak lengkap. Struktur yang lengkap
terdiri dari urutan awal, inisiasi, sela, dan respon. Urutan percakapan yang tidak
Respon terhadap inisiasi yang diberikan terdiri dari 16 (enam belas) pola
pola pasangan tidak disukai. Ketiga hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
hubungan sosial antara masyarakat Batak Toba nyata direfleksikan dan diatur
dalam suatu sistem yang disebut DNT. Pihak perempuan memiliki status yang
Kemudian ketika JBPL hendak memberi gilir bicara kepada JBPP, sistem
respon bentuk pasangan tidak disukai banyak digunakan. Hal ini menunjukkan
bahwa juru bicara marhata dalam upacara adat haruslah orang yang pintar
dalam bahasa Inggris disebabkan perbedaan yang luas dalam struktur kedua
upacara tradisional Mandailing yang memiliki nilai budaya yang tinggi. Teks
berbasis makna; sebuah metode yang mentransfer makna teks sumber ke dalam
teks sasaran untuk mencapai terjemahan yang akurat, terbaca dan berterima.
Mangupa horja godang yang kaitannya dengan penelitian yang dilakukan ini
(2009) yang berjudul: “Strategi Percakapan Bahasa Batak Toba dalam Acara
pola gilir bicara. Penelitian ini mengkaji bagaimana cara memulai dan
serta implikatur. Acara Jou-Jou Tano Batak adalah sebuah acara radio
Karisma yang menggunakan BBT. Dalam acara ini terdapat percakapan antara
Berdasarkan analisis yang dilakukan, strategi percakapan BBT dalam acara Jou-
Jou Tano Batak ternyata memiliki sejumlah cara dalam mewujudkan percakapan
yang lancar dan efektif. Penyiar dan pendengar juga memiliki kerja sama yang
Batak Toba Dalam rapat Adat: Suatu Kajian Pragmatik. Kajian ini membahas
fungsi, jenis dan komponen tindak tutur umpasa masyarakat Batak Toba pada
upacara adat yakni rapat adat atau musyawarah uang emas kawin (marhata
sinamot) yang dihadiri oleh ketiga unsur Dalihan Na Tolu, yaitu hula-hula
„pemberi istri‟, dongan sabutuha/ dongan tubu „kerabat semarga‟, dan boru
„penerima istri‟ dari kedua pihak yang mempergunakan umpasa sebagai tindak
tutur pada acara tersebut. Dideskripsikan jenis tindak tutur, dan fungsi maupun
komponen tindak tutur yang menyangkut makna lokusi, makna ilokusi, dan
makna perlokusi pada umpasa yang digunakan oleh hula-hula (pihak pemberi
istri), dongan sabutuha/ dongan tubu „kerabat semarga‟, dan boru „penerima istri‟.
(2011) dengan judul: Penerjemahan Teks Pabuat Boru dari bahasa Mandailing ke
dengan budaya.
merupakan kearifan lokal (lokal wisdom) karena, berfungsi mengatur sistem nilai,
kepercayaan dan religi, begitu pula pada upacara perkawinan adat. Realitas di
semakin berkurang.
upacara perkawinan adat. Remaja tidak mengetahui apa pengukur besar kecilnya
tidak memahami leksikon adat dan mereka tidak berusaha untuk mencari tahu
beberapa faktor, seperti: ketua adat (pelaku adat) belum maksimal mengajari adat,
benda-benda adat yang dipakai pada upacara perkawinan adat, remaja tidak
yang dipakai mengiringinya begitu pula buku-buku berbahasa daerah jarang terbit.
Pagelaran budaya adat sangat jarang kecuali pada upacara perkawinan adat,
perlombaan budaya daerah tidak pernah ada kecuali lomba busana daerah,
makna dan bentuk-bentuk umpasa bahasa Batak Toba yang stereotip gender.
bangunan (upacara melepas masa lajang/ gadis). Upacara adat mangupa horja
adat yaitu agar terhindar dari marabahaya atau terhindar dari peristiwa
niat (nazar) sebagai rasa syukur karena selesainya studi (naik kelas, meraih gelar
dari penyakit, tercapai harapan, mendapat rezeki (anak lahir, masuk rumah baru).
menguatkan semangat (tondi) pada tubuh kasar (mangupa horja godang tondi
dohot badan) sehingga semangat yang telah pergi akan kembali ke tubuh. Di sisi
yang lain, upacara adat mangupa horja godang merupakan perwujudan rasa
Tradisi lisan mangupa horja godang adat memiliki kearifan lokal, dan
nilai-nilai yang diyakini sudah menyatu dan merupakan perekat masyarakat adat,
hal tersebut yang berupaya diungkap pada tulisan ini. jadi, pada tulisan ini yang
menjadi objek kajian adalah performansi upacara mangupa horja godang adat
Angkola, analisis dilakukan dari kata-kata pada tradisi lisan mangupa horja
berupa kata-kata nasihat, hidup berkeluarga, hormat terhadap orang tua, hidup
ilmu linguistik sebagai payung ilmu yang digeluti, dan fokus pada
mangupa horja godang adat Angkola dan perubahan upacara mangupa horja
jalan untuk mengupas upacara mangupa horja godang yang dijadikan objek
kajian dengan menggunakan teori upacara yang dikemukakan oleh Smith (1846-
1894) dan untuk mengetahui tradisi lisan dipakai teori Perspektif Folley (1988),
tradisi lisan Ong (2007:37-56), Finnegan (1992:151). Tol dan Pudentia (1995:2)
dengan melihat bentuk dengan mengkaji teks, ko-teks, dan konteks, kemudian
mengkaji isi dengan melihat nilai kearifan lokal dan norma dengan fokus kajian
fungsi dan makna. Dari pengkajian itu dilakukan upaya merevitalisasi pola
pelestarian.
dalam menganalisis tradisi lisan mangupa horja godang sebagai interaksi lisan
menguatkan kajian dalam penelitian ini antara lain: 2.1. Kajian pustaka, 2.2.
Kerangka konsep 2.3. Kerangka teori terdiri atas: 2.2.1. Tradisi lisan, 2.2.2
2.2.3.2 Indeksikalitas, 2.2.3.3 Partisipan, 2.2.4 Fungsi dan Makna 2.2.5 Nilai-
nilai dan norma, 2.2.6 Kearifan Lokal, 2.3.7 Revitalisasi tradisi mangupa horja
godang adat Angkola. Agar lebih jelas dipaparkan satu persatu, selanjutnya
dipaparkan satu per satu pada kerangka teori yang dipakai dalam penelitian ini.
Soekanto (1993:520) tradisi adalah suatu pola perilaku atau kepercayaan yang
telah menjadi bagian dari suatu budaya yang telah lama dikenal sehingga menjadi
secara turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain baik
tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan yang memiliki ciri fisik sosial dan
sekelompok orang yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan
merupakan kolektif yang memiliki tradisi yang diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan menurut Tol dan
Oral traditions do not only contain folktales, myths, and legends (…), but store
adat law, medication….” (“...tradisi lisan tidak hanya berisikan pada cerita rakyat,
mitos, dan legenda saja, tetapi berupa sistem kognasi kekerabatan lengkap,
tradisional...”).
lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang diwariskan secara
turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain baik tradisi
itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lisan yang bukan lisan
inherited orally from one generation to the other generation; either the tradition
is verbal or non-verbal.
Tradisi lisan yang masuk dalam kategori yaitu: a) bahasa rakyat (folk
speech), logat, julukan, pangkat tradisional, dan gelar kebangsawanan (gelar adat),
teki) Finnegan (1992:151). Tradisi lisan merupakan penggabungan unsur lisan dan
teater rakyat, tari rakyat, dan pesta rakyat. Demikian juga yang dikemukakan oleh
William Bascom (1973) pada proses penuturan seni pertunjukan (Verbal Art) pada
tradisi cerita rakyat. Lebih jauh Bascom dalam Dananjaya (2002) menjelaskan,
tradisi lisan memiliki empat fungsi yaitu: 1) tradisi lisan berfungsi sebagai
depan. Tradisi lisan itu diturunkan dari generasi ke generasi dalam kehidupan
adalah implementasi senyatanya dari teks-teks lisan itu. Sehingga, kelisanan itu
dari waktu ke waktu dari tradisi lisan primer ke tradisi lisan sekunder menurut
Ong (2007).
Lebih jauh Ong (2007:37-56) tradisi lisan primer memiliki ciri-ciri yang
konservatif, yaitu tetap memegang teguh nilai tradisional sebagai cara untuk
tetap kompetitif dan mampu bersaing dengan pengetahuan dan tradisi baru. g)
bersifat khas sesuai dengan situasi masyarakat setempat dan kurang abstrak.
merambah melalui media cetak, radio, televisi, dan rekaman CD, DVD. kegiatan
tradisi lisan tidak lepas dari budaya tulis sehingga saling ketergantungan antara
lisan dan tulisan. Tradisi primer terus berkembang ke tradisi lisan sekunder
sehingga peralihan ke budaya modern yang telah merambah budaya cetak dan
lisan kelompok besar, tradisi lisan lokal, dan tradisi lisan individual
(idosinkratik). Salah satu warisan budaya yang amat berharga dan penting dalam
satu unsur penting dalam ICH adalah tradisi lisan (Pudentia 2010).
berkurang. Hal ini akibat proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai
cepat. Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam upaya
menjaga tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan pada masa sekarang dan yang
Kerangka tradisi lisan dapat dilihat sebagai suatu peristiwa budaya atau
kebudayaan, yang karena suatu alasan tertentu perlu dijaga dari kepunahannya.
bertahan, berkembang atau punah, kepunahan itu disebabkan terlalu lama tidak
didengar lagi.
Sumber utama objek kajian pada penelitian adalah penutur, pelaku adat
sebagai informan kunci yang diteliti juga yang meliputi masyarakat pemilik atau
samping tradisi lisan mangupa horja godang, nara sumber yang tetap bertahan
dan tradisi tersebut (memory traditions) juga dimasukkan dalam kategori ini
tradisi lisan. Begitu pula data skunder yaitu masyarakat adat, dokumenter, buku-
buku adat.
kajian bentuk dan fungsi, padahal sejatinya kajian tradisi lisan menganalisis
aktifitas performansi tradisi karena dapat meretas nilai-nilai kearifan lokal yang
hampir hilang. Berbagai pengetahuan lokal yang hanya diperoleh pada proses
performansi saja. Hal ini sejalan dengan pendapat Fine (1994:58) mengatakan
komunikasi sosial sebagai model estetika antara pelaku adat dengan komunitas
masyarakat adat yang memiliki karaktersitik adat yang sesuai dengan kondisi
Kerangka tradisi lisan tidak dapat dipisahkan antara produk budaya dan
ditransmisikan secara lisan. Selain itu, pelestarian tradisi lisan ini sangat
tersebut (Sinar dan Takari, 2015:20). Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-
satunya yang terpenting dalam upaya menjaga tradisi lisan sebagai sumber
pengetahuan pada masa sekarang dan yang akan datang adalah sistem
model dan revitalisasi tradisi lisan, khususya tradisi lisan mangupa horja godang
2.2.3 Antropolinguistik
seperti manusia dengan bahasa sebagai wadah untuk berkomunikasi, begitu pula
satu sisi manusia adalah kreator kebudayaan, di sisi yang lain kebudayaan
bentuk register dan gaya yang berbeda, mengkaji struktur dan hubungan
kebudayaanan.
kemampuan bernalar. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Cassier
digunakan pada tradisi lisan mangupa horja godang . Di samping itu, dari
pendekatan itu akan menghasilkan informasi yang berharga, yang tidak hanya
mengkaji cara masyarakat adat berkomunikasi adat, tetapi juga akan mengkaji
horja godang .
mengidentifikasi hal-hal yang dianggap memiliki arti khusus dalam upacara adat
mangupa horja godang tersebut, sehingga dipahami latar belakang adat sehingga
Tradisi lisan mangupa horja godang sebagai objek kajian penelitian ini,
point) yang tepat. Untuk membahas pemaknaan pada objek tradisi lisan mangupa
horja godang digunakan teori semiotik untuk melihat lebih dalam makna sebagai
perlambang.
akan mengkaji unsur verbal dan nonverbal tradisi lisan mangupa horja godang
konteks budaya, konteks ideologi, konteks sosial, dan konteks situasi tradisi lisan
dalam kerangka kerja linguistik. Penelitian tradisi lisan mangupa horja godang
ini, serta menggali nilai, norma, kearifan lokal (isi) tradisi lisan mangupa horja
Tradisi lisan mangupa horja godang sebagai bagian bahasa yang erat
pencipta kebudayaan, oleh karenanya terjalin hubungan sebab akibat yang cukup
erat dan padu antara keduanya, yaitu manusia, kebudayaan, tradisi dengan bahasa
sebagai medianya.
berkomunikasi dengan orang lain dalam kegiatan sosial dan budaya lain secara
tepat sesuai dengan teks dan konteks budayanya merupakan fokus kajian
antropolinguistik.
konteks pemakaiannya. Oleh karena itu, ada tiga bagian penting dalam
seseorang dengan orang lain dalam kegiatan sosial dan budaya tertentu sesuai
penggunaan maupun tanpa menggunakan bahasa dalam bentuk register dan gaya
anthropological concept, culture, and such, seeks to uncover the meaning behind
the use, misuse, or non-use of language, its different forms, registers and style. It
dalam konteks budaya maupun sosial yang memiliki peran menyokong dan
dengan sosiolinguistik, disebabkan memiliki ranah kajian yang sama yaitu fungsi
Agar lebih jelas Sibarani (2004:51) memaparkan, ada tiga relasi penting
dimulai dari unsur struktur dan formula unsur verbal dan nonverbal tradisi lisan
struktur/ bentuk (teks, koteks, dan konteks), isi (nilai dan norma, dan kearifan
dan proses pewarisan) tradisi lisan yang sedang diteliti, Sibarani (2012:288).
komunikasi pada konteks budaya. Linguistik sebagai payung ilmu untuk mengkaji
dan konteks). Secara mikro mengkaji fungsi bahasa sebagai kebutuhan personal
dalam kehidupan bersosialisasi, antara lain: fungsi nalar, fungsi emosi, fungsi
fungsi tekstual, fungsi sosiologis. Penjabaran di atas dapat dipetik suatu fungsi
bahasa sebagai alat komunikasi yang dipakai pada tradisi adat mangupa horja
Oleh karena itu, penulis mengambil data di lapangan dengan emik dan etik, yang
material manifestation that can be identified by any characteristic that strikes the
erya”, dan emic yaitu, “a formal unit within a closed system”. Jadi, emik adalah
satuan formal dalam satu sistem tertutup dan etik adalah manifestasi material yang
Pengkajian lebih jauh tentang objek tradisi lisan mangupa horja godang ,
terhadap tradisi lisan mangupa horja godang , yang akan mengkaji unsur verbal
dan nonverbal tradisi lisan mangupa horja godang dapat dijelaskan melalui
permasalahan yang mengkaji struktur teks, koteks, dan konteksnya dengan objek
2.2.3.1 Performansi
tempat peristiwa budaya terjadi. Hal ini sesuai dengan pendapat Richard
adat sebagai tanggung jawab moral sesama komunitas adat. Hal itu, berbeda
audiens, hal itu sebaliknya performansi tidak akan sukses bila pelaku tidak
dilakukan pada saat bersamaan. Konsep komposisi tidak dapat dilepaskan dari
tertentu (sakral).
Angkola yang tidak ditampilkan dihadapan audiens karena kondisi tertentu dan
upacara mangupa horja godang adat hanya diikuti oleh suhut sihabolonan, tokoh
audiens, dan (b) performansi yang tidak ditampilkan di hadapan audiens sesuai
hiburan, dan model kedua dimanfaatkan untuk tujuan sakral. Ia juga mengatakan
struktur, dan isi serta proses pengolahan teks lisan melalui penerjemahan,
tradisi lisan mangupa horja godang , tradisi lisan mangupa horja godang
tidak membutuhkan penonton dan bahkan yang tidak terlibat pada prosesi
upacara adat tidak memiliki tempat pada prosesi upacara mangupa horja
mangupa horja godang adalah pelaku adat dan tokoh adat (performer),
Sanders Pierce tentang konsep indeksikalitas dibedakan tanda atas tiga jenis yakni
perspektif tradisi mangupa horja godang sebagai aktivitas adat Angkola yang
melibatkan unsur performer (orang yang melakukan pertunjukan dalam hal ini
tokoh adat), audies dan partisan (orang-orang yang terlibat pada upacara adat
mangupa horja godang ), media (sarana dan prasarana yang digunakan, baik
tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). dan partisipasi
adalah perspektif tradisi mangupa horja godang sebagai aktivitas adat Angkola
dilakukan pada saat bersamaan. Konsep komposisi tidak dapat dilepaskan dari
1993:3) performansi: pelaku adat dan tokoh adat (performer), pengantin dan
masyarakat adat (audience), performansi adat (konteks situasi, tempat dan waktu).
Performansi tradisi lisan mangupa horja godang berbeda hanya dari sudut
bahan pangupa yang digunakan psebagai bahan dasar mangupa yaitu seekor
(pada tradisi tersebut) sehingga komposisi dan performansi merupakan dua hal
yang dilakukan pada saat bersamaan .lebih jauh ia menjelaskan dalam buku The
komposisi dan performansi merupakan dua hal yang dilakukan pada saat
bersamaan.
ada. Para penyair lisan dalam melantunkan puisi lisan (lagu) tidak akan sama
Dengan demikian, hal semacam ini dapat memberi penegasan tentang proses yang
terjadi dalam proses transmisi dalam tradisi lisan. Lord (1981) dalam bukunya The
performansi, dan transmisi; tetapi justru Finnegan, dengan berpijak pada paparan
proses penciptaan sastra lisan atau cara sastra lisan disusun atau dihidupkan.
Konsep komposisi tidak dapat dilepaskan dari konteks latar belakang penciptaan,
dan teks-bebas.
kemudian diuraikan Nagy (2001) sebagai lanjutan dari apa yang selama ini
menjadi pertanyaan Parry dan Lord dalam mengkaji puisi Homer. Hal terpenting
dari hasil analisis Nagy (2001:3-10) adalah ia merumuskan tentang apa yang
pernah dilakukan oleh Parry dan Lord, menjadi sepuluh kelompok konsep yang
menjadi unsur terpenting dalam mengkaji sebuah tradisi lisan. Menurut Nagy,
performance, (4) diffusion, (5) theme, (6) formula, (7) economy (thrift),(8)
tradition vs innovation, (9) unity and organization, and (10) author and texs.
kajian sastra lisan pada saat disajikan dengan tujuan menggambarkan sistem
aktual yang hidup terus menerus oleh sebuah tradisi (Nagy, 2001: 3-4).
sebagaimana ilmu lain seperti filologi, sejarah sastra, ataupun ilmu kritik sastra.
Karena sifat tradisi lisan dinamis dan komposisi disajikan pada saat penyajian
untuk melihat variasi yang muncul dan selalu berbeda disetiap penyajian. Dengan
kata lain tradisi lisan bukan objek mati, tetapi justru merupakan tradisi
(author) dan khalayak. Dari interaksi ini, terjadilah proses penyebaran (diffusion),
baik pengetahuan maupun informasi yang diperoleh dari teks lisan (texs).
ditemukan oleh Parry dan Lord adalah teori sastra lisan. Menurutnya, sastra
ataupun puisi adalah satu “fakta” yang diketahui dari hasil kerja lapangan. Dari
hasil analisis tersebut, Nagy mengatakan bahwa tanpa performansi tradisi lisan
tidak akan tersaji dalam bentuk lisan. Tanpa performansi, gagasan utama tradisi
dikemukakan oleh Finnengan (1991) dalam bukunya Oral Poetry: Its Nature,
tiga aspek penting yang harus diperhatikan dalam mengkaji penyajian sastra lisan
dan gendre yang beragam seperti gaya (bahasa), isi, musik, plot, ideologi ataupun
ciri khas penyajian itu sendiri, (2) transmission, yaitu proses regenerasi ataupun
melanjutkan tradisi lisan tersebut, dan (3) audience, yaitu unsure khalayak atau
pada sejumlah gagasan dan teori yang overlapping yang berkaitan dengan karya
seni dan ekspresi lisan. Tapi, pendekatan pada performansi cenderung dapat
pemiliknya berkaitan dengan budaya lisan itu sendiri. Dalam pendekatan etnografi,
performansi dapat dipandang sebagai satu “lahan” lain di samping teks sebagai
salah satu unit deskripsi dan analisis yang fundamental dalam mendukung
laku yang aktual pada saat penyajian lisan yang bersifat artistik dalam kehidupan
didukung oleh media seperti musik, tempat dan waktu penyajian (Bauman, 1993:
3). Finnegan dalam buku Oral Tradition and Verbal Art (1992.98-100),
memperkaya tiga aspek di atas dengan membagi aspek audience menjadi empat
kelompok, yaitu (1) primary audience, yaitu orang yang berkepentingan dengan
pelaksanaan tradisi lisan, (2) secondary audience, yaitu orang yang tidak hanya
hadir untuk sekedar menikmati penyajian, tetapi juga merekam dan mengambil
gambar dokumentasi, (3) integral audience, yaitu orang yang memang wajib
untuk datang karena penyajian adalah satu bagian tertentu yang sudah melekat
dalam diri dan kesehariannya, dan (4) accidental audience, yaitu orang
(kelompok) yang mendapat informasi dari pemberitaan lisan ataupun media massa.
memperhatikan aspek gaya, struktur, dan isi serta proses pengolahan teks lisan
Hal yang sama juga dikemukan oleh Fine bahwa ada tiga fokus yang perlu
diperhatikan dalam kajian performansi sastra lisan, yaitu (1) sebagai model
budaya khusus dan varibel dari studi lintas-budaya (Fine, 1984: 58). Oleh karena
itu, metode penelitian sastra lisan, harus diarahkan dalam dua aspek, yang pertama
adalah berkaitan dengan konten atau isi daritradisi lisan, dan kedua adalah
hubungan dengan model komunikasi khusus yang berbeda dengan pidato antara
Selain itu, performansi sastra lisan juga merupakan ruang ekspresi budaya
Performansi juga merupakan variasi budaya yang penting dalam studi lintas
budaya. Oleh karena itu, kajian mengenai performansi sastra lisan merupakan
kekayaan kajian di masa yang akan datang. Lebih lanjut , Finnegan mengatakan
bahwa performansi dalam tradisi lisan dapat dibedakan menjadi dua yaitu (1)
model kedua dimanfaatkan untuk tujuan sakral. Ia juga mengatakan bahwa dalam
audies dan partisan (orang-orang yang terlibat pertunjukan), serta media (sarana
kelisanan dari sebuah penyajian tradisi lisan diantaranya komposisi, transmisi, dan
muncul, baik dalam teks maupun dalam performansi tradisi lisan itu sendiri.
adalah mengkaji performer sebagai tokoh adat mangupa dalam melakukan tradisi
pada tradisi lisan mangupa horja godang, yang akan mengkaji unsur verbal dan
permasalahan yang mengkaji struktur teks, koteks, dan konteksnya dengan objek
2.2.3.2 Indeksikalitas
dimensi tindakan dengan tanda tertentu yang dapat ditafsirkan sehingga tindakan
mangupa horja godang akan mengkaji unsur verbal dan nonverbal tradisi lisan
mangupa horja godang dapat dijelaskan melalui pemahaman struktur teks, koteks,
Sanders Pierce yang membedakan tanda atas tiga jenis yakni indeks (index),
simbol (symbol), dan ikon (icon). Indeks adalah tanda yang mengindikasikan
bahwa ada hubungan alamiah dan eksistensial antara yang menandai dan yang
2.2.3.3 Partisipan
upacara adat perkawinan adat Angkola adalah seluruh komunitas adat Angkola
yang terlibat dalam rangka terwujudnya tradisi lisan mangupa horja godang
tersebut. Dengan demikian, partisipan bukan hanya mereka yang ada pada upacara
mempersiapkan tradisi lisan mangupa horja godang tersebut. Hal itu karena
tradisi lisan mangupa horja godang melibatkan berbagai pihak. Partisipan yang
terlibat dalam tradisi lisan mangupa horja godang , antara lain yang menyiapkan
bahan pangupa, memasak, dan mereka turut bekerja dan menyiapkan tradisi lisan
1) Teks
penelitian mengkaji bentuk dan isi, bentuk dikaji atas teks, koteks, dan konteks.
memiliki struktur yang dapat dikaji dari struktur makro, struktur alur, dan struktur
Teks, menurut Halliday dan Hasan (1985: 10), sebagai bahasa yang
fungsional, bahasa yang melakukan tugas tertentu dalam konteks tertentu, yang
berbeda dengan kata-kata atau kalimat-kalimat yang berdiri sendiri. Teks juga
adalah unit dari pengguna bahasa (Halliday & Hasan 1978: 1). Teks itu dibatasi
sebagai unit bahasa yang fungsional dalam konteks sosial (Halliday 1994). Semua
menunjukkan sesuatu untuk beberapa tujuan. Teks merupakan suatu proses yang
dapat dimengeri, tidak terbuka bagi persepsi yang langsung, dari menegosiasikan
sebuah pesan. Teks kemudian akan menjadi penanda maknanya sendiri, apapun
konteks. Bagi Halliday dan Hasan (1985: 5), jalan menuju pemahaman tentang
bahasa terletak dalam kajian teks. Teks terdiri atas makna-makna walaupun teks
terdiri atas kata-kata dan kalimat. Teks pada dasarnya merupakan satuan makna.
Teks harus dipandang dari dua sudut yang bersamaan yaitu sebagai produk dan
sebagai proses karena sifatnya sebagai satuan makna. Sebagai produk, teks
merupakan luaran, sesuatu yang dapat direkam dan dipelajari karena mempunyai
sistematik. Teks juga merupakan suatu proses dalam pengertian bahwa teks
ketekunan agar teks tradisi lisan ditafsirkan secara detail (explication de texte),
yang tersirat dan tersembunyi pada teks mangupa horja godang yang dianalisis.
Hal ini sesuai dengan pendapat Van Dijk dalam Sibarani (2012:312) agar dapat
memahami teks mangupa horja godang diperlukan kerangka struktur teks makro,
super struktur, dan struktur mikro, karena teks terbangun dari ketiga unsur
tersebut.
analisis dari unsur subjektifitas dalam pemaknaan teks mangupa horja godang
karena pengkodean akan lebih mudah menelaah topik, tema, secara sistematis.
Teks yang dianalisis dipadukan dengan ko-teks dan konteksnya agar tema dan
gagasan mudah dipahami. Ada asumsi tema sebuah teks sering juga menjadi judul
sebuah teks, tetapi sering juga tidak terlihat secara eksplisit di dalam teks, tetapi
bahasa (stilistik) dan bahasa kiasan (figuratif). Jadi, struktur makro digunakan
juga dalam menganalisis teks tradisi lisan mangupa horja godang dengan
keseluruhan teks tradisi lisan mangupa horja godang agar diperoleh tema yang
menjadi ide dasar teks mangupa horja godang , memahami topik sebagai konsep
dasar yang membangun teks mangupa horja godang . Begitu pula memahami
kerangka dasar teks mangupa horja godang dengan memahami struktur alur atau
Sibarani (2012:315) menyebutkan sebuah teks tradisi lisan secara garis besar
tersusun atas tiga elemen yaitu pendahuluan (Introduction), bagian tengah (body),
koheren.
tradisi lisan mangupa horja godang dikodekan agar objektif dalam proses analisis
dari unsur pemaknaan teks mangupa horja godang agar lebih mudah menelaah
topik, tema, secara sistematis. Performansi teks yang dianalisis dipadukan dengan
ko-teks dan konteksnya agar tema dan gagasan mudah dipahami Kajian struktur
mikro ini dapat dilaksanakan secara bersama-sama, tetapi dapat juga dipilih
tataran tertentu sesuai kebutuhan analisi dan sesuai dengan karakteristik teks yang
akan dikaji.
2) Ko-teks
Sibarani (2012:319) pemaknaan teks tradisi lisan mangupa horja godang
sebagai tanda verbal harus digunakan secara serempak dengan tanda-tanda yang
lain. Teks tradisi lisan Mangupa horja godang dapat dipahami dengan tanda-
tanda seperti: ko-teks, ko-teks terdiri atas paralinguistik, kinetik, proksemik, dan
unsur material lain, ko-teks berfungsi untuk mempejelas pesan atau makna sebuah
teks. Di samping itu teks tradisi lisan mangupa horja godang perlu dianalisis
berdampingan dengan teks sebagai tanda verbal dan tidak dapat dipisahkan dari
teks itu. fungsi paralinguistik hanya menjelaskan makna atau maksud unsur-unsur
mangupa horja godang akan mengkaji menurut teori yang dikemukakan Charles
Sander Peirsce yaitu mengkaji ikon, indeks, dan simbol pada perangkat pangupa
3) Konteks
Konteks bahasa hanya dapat dipahami dengan melihat cara bahasa itu
konteks merupakan teks yang menyertai konteks tersebut (Halliday & Hasan
1985:5) (Fowler & Kress, 1979:30). Eggins (1994,2004) menyatakan ini sebagai
dimensi yang berpengaruh kuat dari konteks situasi langsung dari suatu peristiwa
bahasa pada cara bahasa itu digunakan. Dengan demikian, konteks afek pilihan
bahasa yang dibuat oleh seorang penutur atau penulis tergantung pada setting
yang diberikan.
konteks situasi tradisi lisan dalam kerangka kerja linguistik. Penelitian tradisi
lisan mangupa horja godang ini, serta menggali nilai, norma, kearifan lokal (isi)
tradisi lisan mangupa horja godang dengan melihat konteks tradisi lisan
Antropolog Inggris ini menempatkan kata-kata dalam konteks ujaran pada situasi
lingkungan sebagai bagian dari tradisi lisan sehingga dipahami dan diperhatikan
dihubungkan.
asumsi yang dibangun secara psikologis oleh penutur dan pendengar sesuai
dengan pengetahuannya tentang dunia. Konteks ini tidak hanya terbatas pada
ujaran saat ini dan ujaran sebelumya, tetapi menyangkut semua yang dapat terlibat
kondisi yang dipakai untuk memahami tradisi lisan sebagai sesuatu yang khusus
namun berbeda dengan tuturan yang lain. Pemahaman tentang tradisi adat sudah
melekat dan dimiliki komunitas adat dianggap sebagai latar belakang pengetahuan
digunakan dalam tradisi lisan dalam upacara, sehingga bahasa tidak hanya
berfungsi dalam interaksi adat, tetapi tradisi lisan juga membentuk tatanan
abstrak yang didasari oleh bentuk tindak tutur, lingkungan sosial komunitas adat
Pada sisi lain, Halliday dan Hasan (1992:16:62) membagi konteks situasi
menjadi tiga; yaitu (1) sebagai medan wacana menunjuk pada sesuatu yang
sedang terjadi pada sifat (keformalan) tindakan sosial yang sedang berlangsung,
(2) sebagai pelibat wacana, dan (3) sebagai sarana wacana, yang merujuk kepada
bagian yang diperankan oleh bahasa seperti, organisasi teks, kedudukan dan
Oleh karena itu, tradisi lisan mangupa horja godang hanya memiliki
makna jika berada dalam suatu konteks situasi. Kebermaknaan sebuah tradisi lisan
dalam semua aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan.
Konteks tuturan mencakupi aspek fisik atau latar sosial yang berupa ekspresi yang
a) Makna tidak terdapat pada unsur-unsur lepas yang berwujud kata adat,
trialis (kata, acuan, tafsiran), tetapi makna merupakan satu fungsi atau tugas
sangat tergantung pada ragam ungkapan atau teks yang dikaji. Kajian tradisi lisan
mangupa horja godang akan mengkaji konteks budaya, konteks sosial, konteks
situasi, dan konteks ideologi agar dipahami makna, maksud, pesan, dan fungsi
tradisi lisan, agar pengkajian nilai dan norma budaya dalam bingkai tradisi lisan
mangupa horja godang sebagai objek, serta memahami kearifan lokal yang
yang memiliki fungsi sosial yang membangun egaliter dan solidaritas sesama
komunitas adat, memiliki ikatan batin yang kuat, hal tersebut terbangun menjadi
tatanan adat cukup erat. Wujud upacara adat mangupa horja godang dengan
tradisi lisan memiliki hubungan konteks sosial dengan bahasa sesama guyub tutur
Angkola.
Konteks sosial
Bahasa
(teks)
posisi pada dalihan na tolu. Sehingga menjadi sistem hubungan sosial masyarakat
horja godang yang menunjukkan strata posisi adat pada konteks sosial yang
strata posisi adat pada konteks sosial terbangun menjadi ideologi bagi masyarakat
adat di Luhak Angkola. Sehingga, setiap orang tua yang belum melakukan
upacara adat mangupa horja godang (diadati) maka, orang tua atau anak akan
terjadi dari tiga unsur, yaitu konteks situasi, konteks sosial, konteks budaya, dan
konteks ideologi. Konteks yang paling konkret adalah konteks situasi karena
konteks ini langsung berhubungan tradisi lisan mangupa horja godang , konteks
situasi mangupa horja godang merupakan pintu konteks sosial terhadap tradisi
Ideologi
Bahasa
Konteks
Bahasa
konteks ini paling jauh dari tradisi lisan mangupa horja godang karena yang
dipakai adalah bahasa adat Angkola Konteks Sosial mengacu pada faktor-faktor
sosial yang mempengaruhi atau menggunakan teks yang mengacu pada manfaat
pemakaian teks pada tradisi lisan, dengan tujuan peristiwa budaya yang digunakan
pada tradisi lisan mangupa horja godang . Faktor-faktor sosial seperti perbedaan:
jenis kelamin, stratifikasi sosial, kelompok etnik, tempat, tingkat pendidikan, dan
perbedaan usia. Sedangkan konteks situasi mengacu pada waktu, tempat, dan cara
penggunaan teks tradisi lisan. Deskripsi konteks situasi waktu akan menghasilkan
waktu pelaksanaan tradisi mangupa horja godang yaitu bila waktu mangupa
horja godang dilaksanakan apakah pagi hari, siang hari, sore hari atau pada
malam.
mangupa horja godang , di dalam rumah atau di luar rumah. Sedangkan konteks
kepercayaan serta keyakinan akan nilai yang dianut bersama oleh komunitas adat
2.2.5 Semiotik
Secara etimologi semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu kata seme
atau semeion, yang berarti penafsiran tanda, semiotika adalah ilmu tentang tanda-
yang lebih baik terhadap dunia. Dengan demikian, manusia adalah homo
semioticus.
adalah ilmu yang mempelajari sistem-sistem tanda: bahasa, kode, perangkat sinyal,
dan lain-lain. Menurut definisi ini, bahasa merupakan bagian dari semiologi.
Namun, secara umum bahasa memiliki status istimewa dan otonom, dan ini
linguistik. Semiology is the science which studies sign systems : language, codes,
status, and this allows semiology to be defined as the study of non-linguistic sign
systems (1971:229-239).
Jadi, ilmu yang mengkaji tanda lebih dikenal dengan semiotik yang
sebagai suatu “sistem pemaknaan” (Danesi dan Perron 1999:23). Kemudian Eco
(1976) menyatakan bahwa makna tanda adalah hasil suatu konvensi, suatu prinsip
analisis untuk mengkaji tanda dalam kehidupan manusia (Hoed, 2007:3). Ilmu ini
whatever their substance and limits; images, gestures, musical sounds, objects,
and the complex associations of all of these, which form the content of ritual,
bertujuan untuk mengambil dalam setiap sistem tanda-tanda, apa pun substansi
dan batas mereka; gambar, gerakan, suara musik, benda, dan asosiasi kompleks
semua ini, yang membentuk isi dari ritual, konvensi atau hiburan umum: ini
memberikan tempat yang sentral kepada tanda. Teks dapat diteliti sebagai tanda.
kehidupan asalkan prasyaratnya dipenuhi yakni ada arti yang diberikan, ada
dengan mengetahui apa yang dilakukan dengan tanda, apa reaksi terhadap tanda,
yang kesemuanya bermuara pada tanda yang dihasilkan dan arti yang dihasilkan
oleh tanda tersebut. Oleh karena itu, semiotik akan membahas tanda sebagai hasil
(1857-1913) seorang ahli linguistik berkebangsaan Swis dan seorang ahli filsafat
dipergunakan nama semiologi untuk ilmu itu, sedang di Amerika lebih banyak
(signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formal yang menandai
sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai
oleh penanda itu, jadi tanda yang terjadi dari petanda dan penanda merupakan
suatu kesatuan.
Tanda ada beberapa macam antara lain ikon, indeks, dan simbol semua
merupakan tanda yang berhubungan dengan sifat alamiah antara penanda dan
untuk satu makna berarti adanya “manasuka” tanda yang digunakan sebagai
lambang bahasa.
Ada banyak cara yang ditawarkan dalam rangka menganalisis karya sastra
adanya tanda-tanda sebagai ciri khas yang meliputi seluruh kehidupan manusia,
dari komunikasi yang paling alamiah hingga sistem budaya yang paling kompleks,
pertimbangan bahwa bahasa dianggap sebagai salah satu sistem tanda yang sangat
kompleks.
petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Konotasi
dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.
dan petanda terdapat juga pada tanda-tanda bukan bahasa. Menurut Barthes
(1985:89) sebuah ekspresi (expression) atau tanda, bisa memiliki beberapa isi
(content) atau penanda melalui sebuah relasi (relation) tertentu. Dengan demikian,
untuk menganalisis makna teks mangupa horja godang ini akan digunakan
yang memaknai tanda sebagai proses komunikasi, tanda hanya dianggap seperti
yang dimaksudkan pengirim dan penerima. Contoh: rambu lalu lintas ditelaah
karena tanda sebagai interpretabel yang diterima dipahami secara berbeda oleh
penerimanya.
Memaknai nilai dan norma suatu tradisi bukanlah pekerjaan yang mudah,
begitu pula pada upacara mangupa horja godang yang perlu pengkajian nilai dan
penerus. Oleh karena itu, diperlukan model yang dapat dijadikan ancangan tradisi
lisan mangupa horja godang adat Angkola. Untuk dapat meretas nilai dan norma
yang tersembunyi dibutuhkan pisau potong pengkajian yaitu teori semiotika yang
dikembangkan Peirce.
Istilah pragmatis adalah teori makna yang menekankan hal-hal yang dapat
mangupa horja godang adat Angkola digunakan kajian semiotika pragmatis yang
interpretant, yaitu makna yang didatangkan dari tanda itu atau „makna‟
object, yaitu sesuatu yang berada di luar tanda yang merupakan acuan.
Jadi, subjek interpretasi subjek tentang objek kajian upacara mangupa horja
godang adat Angkola yang digunakan dengan kajian semiotika, untuk lebih jelas
Bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain.
dan ditandai.
interpretant
------------------------------------------
representamen object
Contoh pemahaman semiotik tentang kata telur ayam (pira manuk) yang
kepada objek (benda berbentuk bulat yang di hasilkan oleh ayam, 3) penafsiran
tentang telur ayam (pira manuk), proses 1) disebut dengan proses pemaknaan
secara teoretis akan memberikan pedoman dalam memahami tradisi dapat dilihat
dari aspek waktu yaitu pada masa lalu, kini, dan nanti. Selanjutnya Sibarani
menyatakan lagi :
memberikan tiga peluang interpretasi pada setiap tanda yang menjadi tanda yang
dimaksudkan atau tanda itu sendiri (in itself), sehingga ada hubungan masing-
masing tanda, petanda, dan penanda sebagai perantara di atara objek dan
sinsign, dan legisign,2) ikonis, indeks, dan simbol , 3) term (rheme), proposisi
(dicent), dan argument, agar lebih jelas perhatikan tabel di bawah ini:
Tabel 1
Klasifikasi Sepuluh Tanda yang Utama dari Peirce
(Noth 1996:45)
Relasi dengan Relasi dengan Relasi dengan
representamen objek Interpretan
Kepertamaan Bersifat potensial Berdasarkan Terms (rheme)
(firstness) (qualisign) keserupaan (ikonis)
Keduaan Bersifat Berdasarkan Suatu pernyataan
(secondness) keterkaitan penunjukkan yang bisa benar bisa
(sinsign) (indeks) salah (proposisi atau
dicent)
Ketigaan Bersifat Berdasarkan Hubungan proposisi
(thirdness) kesepakatan kesepakatan yang dikenal dalam
(legisign) (simbol) bentuk logika tertentu
(internal) (argumen)
tanda menjadi tanda yang lainnya terus berkembang dalam konsep komunikasi
interpretan pada konsep upacara adat mangupa horja godang , maka perlulah
dengan jeli meretas makna tanda yang digunakan komunitas adat dalam
3) Memahami Simbol-simbol
Telah dijabarkan pada segitiga semiotik di atas (lihat gambar 3) lebih jelas
Charles Sanders Peirce mengungkapkan bahwa ada tiga komponen tanda yaitu: 1)
representemen, yaitu bentuk yang menyatakan tanda atau „kenderaan tanda‟ setara
tanda itu atau „makna‟ yang dibuat seseorang; setara dengan signified, dan 3)
object, yaitu sesuatu yang berada di luar tanda yang merupakan acuan.
urutan abduksi, deduksi, dan induksi kemudian melalui “sistem triadic”, yakni
relasi antar unsur tanda dengan mengkaji setiap tahap dan kaitan masing-masing
dalam konsep semiosis secara langsung atau tidak langsung antara objek dan
realitas (garis terputus pada gambar 1). Pada tahap semiosis Hubungan triadik
dengan tiga trikotomi menurut Pierce seperti yang diuraikan pada bagan di bawah,
Tabel 2
Rangkuman Tiga Trikotomi Tanda Menurut Peirce
1. Qualisign Sinsign Legisign
G
R (suatu kualitas yang (sin = “hanya sekali”, (Hukum atau
O merupakan suatu tanda, peristiwa yang konvensi yang
U
N
mis “keras” suara sebagai merupakan sebuah berupa tanda. Setiap
D tanda) tanda, mis “keruh” tanda konvensional
Penelitian tradisi lisan yang bertujuan untuk menggali nilai dan norma
mengangkat nilai dan norma budaya itu. Bungin (2006:7-8) menjelaskan ilmu
menjadi dua kelompok besar, yaitu (1) aliran teori yang memandang budaya
sebagai suatu sistem atau organisasi makna. Budaya dianggap semacam pita
mana yang dianggap benar dan mana yang dianggap salah, mana yang dianggap
baik dan mana yang dianggap buruk, serta mana yang dianggap lebih berharga
dan mana yang dianggap kurang berharga; (2) aliran teori yang memandang
budaya sebagai sistem atau organisasi makna tersebut, memahami tradisi lisan
bukan hanya memahami bentuk (struktur teks, ko-teks, dan konteks) sebagai
lapisan permukaan (surface behavior), tetapi harus sampai pada isi (makna dan
fungsi, nilai dan norma budaya serta kearifan lokal) ke lapisan paling dalam (tacit
knowledge). Tradisi lisan dan lapisan luar (outer layer) hanya memperlihatkan
sesuatu yang dapat ditonton, didengar dan dinikmati secara empiris, tetapi lapisan
tengah (middle layer) suatu tradisi lisan akan memperlihatkan makna, fungsi, nilai,
dan norma tradisi lisan tersebut, sedangkan bagian inti (the core layer) akan
dasar yang dapat menyelesaikan persoalan hidup yang dihadapi manusia dalam
komunitasnya. Dalam uraian sebelumnya ketiga hal itu disebut dengan lapisan
bentuk (teks, ko-teks, dan konteks), lapisan isi (makna dan nilai budaya), dan
lapisan kearifan lokal. Lapisan bentuk itu dapat juga dinamai dengan lapisan
permukaan (the surface layer), lapisan isi dinamai dengan lapisan tengah (the
middle layer), sedangkan lapisan kearifan lokal dinamai dengan lapisan inti (the
core layer).
tengah-tengah komunitasnya. Atas dasar teori adaptasi budaya ini, adalah sangat
yang tampak di permukaan (surface behavior atau outer layer), termasuk pola
perilaku manusia sehari-hari hanyalah suatu gejala atau fenomena dari apa yang
permukaan baru bisa dipahami atau dijelaskan manakala bisa mengungkap atau
membongkar apa yang tersembunyi karena realitas itu bersifat subjektif dan
seseorang.
Untuk itu, peneliti perlu membenamkan diri sedemikian rupa ke tengah situasi
demi lapisan perlu dibuka untuk dapat memahaminya. Untuk memahami budaya
suatu kelompok masyarakat, tidak ada jalan lain terkecuali harus menghunjam
bagaimana etos, jiwa atau watak khas suatu kelompok masyarakat. Oleh karena
(surface behavior), tetapi juga menghunjam hingga ke tingkat paling dalam (tacit
objek penelitian harus lebih teliti mengamati untuk menemukan makna yang ada
lebih dalam menyelidiki makna perilaku, jika melihat objek kajian artefak dan
benda-benda alam, benda budaya harus lebih jauh meretas makna sebab-sebab,
manfaat dan makna yang ada pada benda-benda alam/ budaya. Jika peneliti
menemukan dan menyingkap makna dari setiap fenomena dan strata emosional
pendekatan penelitian yang tidak saja mendalam, tetapi harus holistik karena
budaya dalam perspektif ini juga dipandang sebagai suatu kombinasi antara bias
budaya (berupa norma, nilai, dan kepercayaan) dan preferensi di tingkat perilaku,
suatu corak penelitian yang bersifat holistik, mementingkan perspektif emik, dan
teori fenomenologi ini dapat diterapkan dengan memperlihatkan bahwa apa yang
tampak dalam bentuk atau struktur permukaan (teks, ko-teks, dan konteks)
hanyalah merupakan gejala atau fenomena yang terjadi karena adanya yang
tersembunyi dari dalamnya, yang tersembunyi itu adalah isi (nilai, norma budaya
atau kearifan lokal) sebagai kmangupa horja godang an tradisi lisan. Teori
fenomenologi secara tidak langsung mensyaratkan bahwa nilai atau kearifan yang
berada pada lapisan tengah dan lapisan inti itulah yang lebih dahulu dipahami
untuk dapat memahami lapisan luarnya. Pemahaman terhadap isi tradisi lisan
yang tersembunyi itu dengan cara proses penghayatan (verstehen) juga sangat
kualitatif.
Sebagai saudara muda yang datang lebih kemudian, etnometodologi secara lebih
hal yang dihadapi. Diyakini bahwa “cara kerja” ilmuwan (melakukan observasi
masyarakat, dan itu dilakukan oleh siapapun juga, termasuk orang awam
merupakan suatu pancaran dari pola pikir, jalan pemikiran, dalil, teori, serta
1) Manusia bertindak terhadap sesuatu (benda, orang, atau ide) atas dasar makna
2) Makna tentang sesuatu itu diperoleh, dibentuk dan direvisi melalui proses
terhadap simbol-simbol itu didapatkan melalui proses interaksi yang “akrab” dan
“terus-menerus” dengan tradisi lisan, peneliti tradisi lisan akan memahami makna,
nilai dan norma simbol-simbol yang ada dalam tradisi lisan. Teori interaksionisme
Angkola masih relevan diterapkan untuk penelitian tradisi lisan atau tradisi
secara etnik tentang tradisi mangupa horja godang dengan tujuan idealnya adalah
etnografi, jenis etnografi apa saja, dapat dimanfaatkan untuk penelitian tradisi
lisan apabila penelitian itu bertujuan untuk membuat profiling dan pendeskripsian
sebuah tradisi lisan. Sumber informasi awal penelitian tradisi mangupa horja
godang adat Angkola dalam pendekatan etnografi berasal dari keadaan tradisi
lisan itu sekarang ini di tengah-tengah komunitasnya. Berawal dari keadaan tradisi
lisan sekarang ini, peneliti dapat menggali keadaan pewarisan masa lalu tradisi
lisan dan kemudian pendeskripsian model pewarisan tradisi lisan itu ke masa
depan.
mangupa horja godang maka dilakukan pendekatan yang dipaparkan di atas dapat
kualitatif ada 4 (empat) “aliran teori” dalam yang meliputi: 1) teori tentang
Religion of The Semithes (1889) yang berisikan tentang teori sesaji yang
agama Islam dan Kristen ke Angkola pelaksanaan upacara adat terjadi akulturasi
Agama Islam atau Kristen. Pelaksanaan upacara mangupa horja godang adat
itu, masyarakat yang terbentuk atas dalihan na tolu sehingga ada ikatan yang kuat
antara sesama komunitas adat, yang terbangun menjadi tatanan adat cukup erat.
upacara tersebut, karena bahan mangupa horja godang terdiri atas telur, ayam,
kambing, dan kerbau hal itu disesuaikan dengan besar kecilnya upacara mangupa
horja godang . Walaupun kini yang terlihat bahan mengupa yang besar pada
upacara perkawinan tetap ada kepala kambing yang masih utuh 4 kakinya, ayam,
dan telur yang diletakkan di atas anduri (tampi/ tampah). Apakah tidak ada
lahiriah (overt culture). Karena budaya inti yang merupakan sistem keyakinan,
nilai budaya, adat istiadat yang dipelajari sejak dini akan sulit berubah,
hidup, mode, pakaian. Jadi, hewan sebagai sajian yang semulanya digunakan
sajian pada upacara mangupa horja godang hanya sebagai wadah untuk
Pengkajian fungsi dan makna sebagai langkah memahami isi tradisi lisan
mangupa horja godang agar dapat menemukan nilai-nilai kearifan lokal sebagai
inti upacara mangupa horja godang adat Angkola. Dengan memahami fungsi dan
makna pada tingkatan isi yang pertama dan pada tingkatan kedua akan mengkaji
nilai-nilai kearifan lokal yang merupakan nilai dan norma budaya dalam menata
kehidupan sosial secara arif. Fungsi tradisi lisan mangupa horja godang bagi
masyarakat adat Angkola terbentuk dari keyakinan yang terpatri cukup baik
dengan sesuatu yang tidak terlihat (digora na so tarida) yang bersifat mistis. Agar
Tradisi lisan mangupa horja godang bagi masyarakat adat Angkola juga
ke anak cucu. Di samping itu, tradisi lisan mangupa horja godang berisi tuntunan
hidup berumah tangga sebagai pedoman hidup berumah berumah tangga. Tradisi
mangupa horja godang memiliki bagi masyarakat adat Angkola memiliki empat
tuntunan hidup berumah tangga yang disampaikan oleh tokoh adat dalihan natolu
dan seluruh keluarga. Tradisi lisan mangupa horja godang adat memiliki makna
fakta pada konteks tradisi lisan agar unsur nilai tradisi yang ada pada tradisi
tersebut dapat diretas, sehingga nilai tradisi lisan dapat diterima setiap orang
walaupun menurut apresiasi setiap orang nilai tersebut dapat berbeda-beda (Sinar
nilai yang bersifat abstrak, nilai yang tidak dapat dipahami tanpa dikaitkan
dengan tanda tertentu, misalnya nilai “hormat” yang terkandung dalam hati
Sebaliknya anggukan kepala tidak hanya berfungsi sebagai tanda nilai “hormat”
tetapi juga alat untuk menyatakan nilai “persetujuan”, “ya” atau “nilai gembira”
mengikuti irama musik. Nilai menunjukkan arti atau guna. Jadi, setiap yang
mengandung arti (dalam arti makna) atau guna (mannfaat, nikmat bagi pelaku
perbandingan fakta pada objek tradisi lisan (teks, ko-teks, dan konteks) agar
unsur nilai tradisi yang ada pada tradisi tersebut dapat diretas, sehingga nilai
tradisi lisan dapat diterima setiap orang, walaupun apresiasi setiap orang tentang
etos kerja, bahkan cara bagaimana dinamika sosial itu berlangsung (Pudentia,
2003:1).
inilah yang merupakan objek kajian, sehingga yang menjadi kajian adalah nilai-
nilai yang telah tertanam dalam diri komunitas adat dan lingkungannya, melalui
kata nasihat, cara, benda-benda yang diharuskan ada agar upacara mangupa
horja godang dapat diselenggarakan (seperti sirih, telur, ayam, kambing, lembu
dan lain-lain). Pada upacara mangupa horja godang akan dikaji transmisi nilai-
nilai tradisi lisan upacara mangupa horja godang lebih berguna, lebih
Oleh karena itu, transmisi nilai memerlukan cara dan alat atau media
yang disertakan pada upacara adat mangupa horja godang agar dapat dinyatakan
mangupa horja godang akan dilihat kajian nilai yang telah tertanam pada
semakin banyak pula nilai-nilai yang terbungkus pada upacara mangupa horja
dapat diungkap.
sebagai warisan budaya, disebabkan bahasa yang digunakan pada tradisi lisan
berkaitan dengan subyek; 2) nilai tampil dalam konteks praktis, di mana subyek
subyek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh obyek, nilai tidak dimiliki oleh obyek.
Barthes (1966:8) lebih jauh menjabarkan kajian semiotik ada tiga tataran
Aspek semantika yaitu aspek yang hadir yang memiliki hubungan dengan
unsur yang dalam teks dengan acuannya (di luar dunia kebahasaan) atau
disebut aspek in absentia, yaitu hubungan antara unsur yang hadir dalam
teks yang tidak hadir dalam teks, ada dalam pemikiran pendengar/
dikuatkan oleh Fortes dalam Tilaar (2000:54-55), dari pewarisan budaya sebagai
pendukung sebagai kearifan lokal atau lokal wisdom dan menjadikan upacara
Peletak teori dasar nilai dirintis oleh Clyde Kluckhohn dan Florence
teori nilai jabarkan lebih mendalam oleh Florence Kluckhohn dan Strodtbeck
dalam buku Variations in Value Orientation (1961) kelima bagian ini dianggap
sebagai orientasi nilai budaya (value orientations) kelima nilai budaya tersebut
manusia ada lima hal: a) human nature, atau makna hidup manusia; b) man
manusia tentang waktu; d) activity, nilai pekerjaan, karya, dan amal perbuatan
keprihatinan (evil) sebagai orientasi nilai budaya, di sisi yang lain kehidupan
bervariasi, ada yang berasumsi bahwa alam itu ganas secara alami sehingga
seluruh anasir kehidupan seperti: agama, pengetahuan adat istiadat, kerja keras,
cara yang kehidupan bermasyarakat sehingga tatanan masyarakat lokal lebih terib
dan teratur. Upacara adat pada setiap komunitas memiliki nilai-nilai kearifan lokal
Kearifan lokal tersebut dijadikan pedoman atau acuan oleh masyarakat dalam
strategi yang dilakukan secara turun temurun yang diwujudkan dalam aktifitas
Menurut Avonina (2006) kearifan lokal yaitu segala sesuatu yang terkait
terciptalah kedamaian rasa tenteram dalam interaksi dengan interaksi itu diperoleh
Di sisi yang lain, pada tradisi lisan terkandung nilai-nilai kearifan lokal,
arif dan bijaksana yang pada gilirannya membentuk karakteristik etnik yang
tatanan kehidupan masyarakat yang terbias pada nilai-nilai luhur yang dapat
lokal genius deriving from the lofty value of cultural tradition in order to manage
tradisi budaya sehingga menjadi tuntunan yang tidak tertulis tetapi tertanam serta
diikuti oleh anggota masyarakat suatu komunitas. Hal ini ditegaskan oleh
yang luhur untuk kepentingan hidup bersama. Pada tahap penerapan, kearifan
oleh komunitas yang diperoleh melalui pengalaman hidup sebagai ciri-ciri budaya
etnik. Dengan kata lain, seorang anggota masyarakat budaya menjadi cerdas
Pada hakikinya, nilai yang terkandung pada tradisi lisan sebagai sesuatu
yang menyangkut baik dan buruk, sedangkan norma adalah sesuatu yang
menyangkut benar dan salah. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang baik dan buruk
dapat disebut sebagai nilai dan sesuatu yang benar dan salah disebut norma. Nilai
dan norma budaya merupakan pedoman atau prinsip umum yang dianut oleh
setiap anggota masyarakat terutama dalam bersikap, berperilaku, dan juga menjadi
bertindak dan berperilaku. Sistem nilai dan norma pada umumnya begitu kuat
meresap dan berakar di dalam jiwa masyarakat sehingga menjadi bagian dari
keyakinannya. Karena telah berakar, maka sistem nilai dan norma itu sulit
berubah dalam waktu yang singkat. (Sibarani 2012: 179). Nilai dan norma budaya
yang dapat digunakan untuk menata kehidupan manusia itulah yang disebut
kerukunan dan penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif, dan rasa syukur
(sebagai penunjang) sehingga terdapat beberapa jenis kearifan lokal yaitu kearifan
lokal inti (core lokal wisdoms) kesejahteraan yang meliputi budaya kerja atau
pelestarian dan kreativitas budaya, peduli lingkungan serta kearifan lokal inti
yang menganggap tradisi lisan itu kuno, ketinggalan zaman. Yang berdampak
pada ketidak pedulian bahkan yang lebih parah lagi dengan membiarkan serta
menelantarkan tradisi lisan. Oleh karena itu, perlu menjaga tradisi lisan dalam
horja godang adat Angkola yang sarat dengan aturan-aturan dan seremonial adat
identitas Dalihan na tolu sebagai penguat identitas, nilai estetis nasihat, sehingga
sesuai watak dan identitas budaya setempat yang telah berlangsung secara turun
Nasional Tahun 2004-2009 pada program 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu
Program 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu, 2004:11) dalam sinar (2011:168).
lokal yang memerlukan perhatian agar tidak mati, karena semuanya merupakan
kenyataan hidup (living reality) yang tidak dapat dihindari dari manifestasi
gagasan dan nilai-nilai kearifan lokal sehingga saling menguatkan dan untuk
Kearifan lokal (lokal wisdom) merupakan bagian dari sistem budaya yang
yang dimilikinya.
bahasa minoritas itu sebagai reformasi sosial yang membawa pada apresiasi
Jadi, Kelompok etnis semacam ini tidak mengenal status hukum (legal
dan memelihara bahasa dan budaya tersebut. Lebih jauh, Fishman menjabarkan
berdampak pada terjadinya pergeseran suatu tradisi, begitu pula upacara mangupa
horja godang salah satu fenomenanya adalah pada upacara mangupa horja
godang adat Angkola yang biasanya dilaksanakan pada pagi hari (sebelum tengah
hari), tetapi kini telah terjadi pergeseran waktu pelaksanaan upacara mangupa
horja godang tersebut yaitu dilaksanakan pada sore hari setelah kembali dari
rentang dengan satu titik di ujungnya merupakan bahasa (budaya) yang aman atau
selamat dari ancaman kepunahan dan di titik ujung lain bahasa (budaya) yang
punah. Dengan mengikut pendapat Grenoble dan Whaley (2006:18) yang merujuk
(3) Mulai Terancam, (4) Kondisi Parah, (5) Hampir Punah, dan (6) Punah.
dan 3) pewarisan budaya/ bahasa yang terancam punah melalui berbagai aktivitas
Angkola sebagai langkah awal yang konkrit dan upaya strategis yang sangat
stake holder Adat sebagai terapan dan implementasi kebijakan budaya (culture
police) sebagai upaya yang sangat mendesak dan menjadi langkah-langkah yang
sangat strategis
godang , tidak lagi dilaksanakan pada pagi hari, tetapi dilaksanakan pada sore hari
pencegahan agar tradisi lisan yang selama ini berlangsung pada komunitas adat,
oleh karena itu, perlulah dilakukan suatu bentuk upaya dengan Pembuatan model
horja godang adat Angkola sebagai upaya pentransmisian tradisi dari satu
penelitian tradisi lisan mangupa horja godang adat Angkola sebagai proses
menjadikan suatu upacara mangupa horja godang adat Angkola sebagai hal yang
penting karena tradisi tersebut menjadi salah satu ciri penanda dan identitas kultur
yang membedakan antara yang satu dengan yang lain sehingga upacara mangupa
horja godang adat Angkola tetap terpelihara dengan baik. Revitalisasi tradisi
dilaksanakan agar tradisi mangupa horja godang adat Angkola ini dapat hidup di
Angkola ini, perlu dilakukan tindakan penguatan kembali fungsi tradisi mangupa
horja godang adat Angkola untuk berkomunikasi dalam berbagai ranah seperti
mangupa horja godang adat Angkola khususnya sebagai sarana komunikasi bagi
agar tetap hidup sejajar dengan bahasa-bahasa lokal lainnya di wilayah Kabupaten
adat Angkola karena telah terjadi pergeseran tradisi tersebut dalam kehidupan
tradisi lisan pada upacara mangupa horja godang adat Angkola sehingga tidak
terjadi kehilangan tradisi mangupa horja godang adat Angkola tersebut. Perlunya
air atau tanah kelahiran; f) Derajat kesamaan antara bahasa mayoritas dan bahasa
menurut Grenoble dan Whaley (2006:18) yang diadaptasi dari Whaley (2003),
tradisi digunakan oleh orang yang jumlahnya terbatas di wilayah yang sama. 3)
Hilang, adat dan budaya yang pemakaiannya semakin menurun jumlah guyub
tutur, sehingga proses regenerasi komunitas pemakai adat dan tradisi dari satu
dikatakan hampir mati apabila pengguna adat semakin menurun jumlah penutur
punah, bila pengguna guyub tutur hanya sebagian kecil yang menggunakan. 6)
Punah, bila suatu adat dan budaya, yang tidak lagi memiliki penutur asli maka,
dengan objek tradisi lisan upacara mangupa horja godang adat Angkola, dengan
pendekatan tersebut akan dikaji bentuk dan isi. Performansi bentuk akan mengkaji
teks, ko-teks, dan konteks. Pengkajian isi yang akan diulas yaitu nilai dan norma,
nilai akan berupaya mengkaji nilai-nilai tradisi lisan mangupa horja godang adat
Agar lebih jelas kerangka teori yang telah dikemukakan pada penelitian ini
tradisi lisan mangupa horja godang adat Angkola; 2) Mengetahui bentuk dan isi
4) Mengetahui teks akan dikaji struktur makro, struktur alur, dan struktur mikro;
unsur material lainnya dengan kajian Pierce; 6) Mengkaji konteks dengan kajian
konteks budaya, sosial, situasi, dan ideologi dengan menggunakan teori upacara
sesaji Smith; 7) Mengetahui isi yang akan dikaji yaitu nilai dan norma; 8)
Pengkajian nilai akan mengkaji nilai-nilai tradisi lisan mangupa horja godang
adat Angkola dengan menggunakan kajian nilai yang dikemukakan oleh Barthes
yang terdapat pada tradisi lisan upacara mangupa horja godang adat Angkola;
10) Upaya revitalisasi tradisi mangupa horja godang adat Angkola sebagai model
model penelitian tradisi lisan mangupa horja godang adat Angkola sebagai
model. Upaya revitalisasi tradisi mangupa horja godang adat Angkola sebagai
STUDI STUDI
PENDAHULUAN PENELITI KEPUSTAKAAN
TRADISI LISAN
MANGUPA
PERFORMANSI
BENTUK ISI:
Keterangan Gambar:
Masyarakat Adat Angkola. Pengkajian isi yang akan diulas yaitu nilai dan norma,
nilai akan berupaya mengkaji nilai-nilai tradisi lisan mangupa horja godang adat
(1957) dan Kluckhohn (1961), kemudian norma akan dikaji fungsi dan makna.
Bagian akhir kajian adalah menemukan kearifan lokal dari upacara mangupa
Agar lebih jelas kerangka teori yang telah dikemukakan pada penelitian ini
4) Mengetahui teks akan dikaji struktur makro, struktur alur, dan struktur mikro,
6) Mengkaji konteks dengan kajian konteks budaya, sosial, situasi, dan ideologi
8) Pengkajian nilai akan mengkaji nilai-nilai tradisi lisan mangupa horja godang
9) Mengetahui kearifan lokal apakah yang terdapat pada tradisi lisan upacara
10) Pembuatan model penelitian tradisi lisan mangupa horja godang adat