Anda di halaman 1dari 81

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP


DAN KERANGKA TEORETIK

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka penelitian terdahulu yang relevan bermanfaat bagi

penelitian, hal itu digunakan sebagai pedoman dan langkah untuk menelaah

penelitian sebelumya, sebagai bahan perbandingan untuk kajian yang sedang

diteliti. Kajian terdahulu dilakukan bertujuan agar penelitian yang sebelumnya

dengan penelitian yang sedang dikaji tidak sama hasinya. Pada sub-sub judul

kajian terdahulu akan dipaparkan beberapa penelitian terdahulu yang sejenis dan

relevan dengan topik kajian yaitu tradisi lisan/ percakapan dengan menggunakan

analisis pengkajian yang berbeda-beda, agar lebih jelas dipaparkan di bawah ini:

Kajian penelitian terdahulu yang dikemukakan oleh Asrul Siregar alumni

Universitas Indonesia (1994) dengan judul: Ujaran-ujaran pada Upacara

Mangupa horja godang Masyarakat Tapanuli Selatan: Analisis Wacana. Pada

kajian ujaran-ujaran pada Upacara Mangupa horja godang Masyarakat Tapanuli

Selatan mengandung bentuk-bentuk silih yang sukar menetapkan anteseden atau

rujukannya. Ujaran-ujaran itu juga mengandung bentuk-bentuk metafora yang

selalu membutuhkan penafsiran agar sampai kepada apa yang dimaksudkan

penuturnya. Konsep referensi dan inferensi dalam analisis wacana dari Brown &

Yule (1986) dipakai sebagai landasan berpijak menetapkan rujukan dan

mengungkapkan makna-makna yang tersimpan dalam ujaran tersebut. Oleh

karena ujaran-ujaran ini sangat erat kaitannya dengan adat istiadat dan pandangan

20
Universitas Sumatera Utara
hidup masyarakat Tapanuli Selatan maka untuk memahaminya diperlukan

pengetahuan tentang latar belakang masyarakat pemilik upacara ini.

Penelitian lain ialah yang dilakukan oleh Matondang dan Hasibuan (2001)

tentang teks dan analisis wacana lisan upacara perkawinan Angkola-Mandailing.

Analisis wacana lisan upacara perkawinan Angkola-Mandailing memberikan

kontribusi dalam sumber data penelitian yaitu dari Batak Toba. Data dikumpulkan

dengan teknik rekam dan dianalisis dengan menggunakan pasangan berdekatan

(adjacency pairs),moves, reciprocal acts, topics, precondition, dan request for

action. Dari analisis data ditemukan bahwa struktur wacana dalam gilir bicara

(turn taking) dimulai dari suhut yang punya hajat pesta, anak boru suhut menantu

yang punya hajat, pisang raut ipar dari anak boru, paralok-alok, pesta

musyawarah yang turut hadir, hatobangan „raja adat di kampung tersebut, raja

torbing balok “raja adat dari kampung sebelah”, dan Raja Panusunan Bulung raja

di raja adat/ pimpinan sidang. Topik percakapan dalam wacana lisan upacara

perkawinan tersebut adalah ucapan terimakasih dan permohonan mengadakan

sidang pesta, mengiring mora (pihak mertua), memberikan jawaban atas

permintaan suhut, anak boru/pisang raut, menjawab permintaan, dan memutuskan

sidang.

Penelitian Ida Basaria (2008) Jurnal Ilmiah Indonesia berjudul: Stereotip

Gender Bentuk Perintah Bahasa Batak Toba. Pembahasan masalah diatas

menunjukkan adanya stereotip gender pada perintah bahasa Batak Toba yang

digunakan suami dengan istri pada masyarakat Batak Toba yakni bagaimana

bentuk penggunaan kalimat perintah yang digunakan oleh suami terhadap istrinya

pada masyarakat Batak Toba, bagaimana pula bentuk penggunaan perintah istri

terhadap suaminya.

Universitas Sumatera Utara


Kajian penelitian disertasi: Marhata dalam Upacara Adat Perkawinan

Batak Toba, karya: Selviana Napitupulu (2008). Penelitian ini bertujuan Marhata

dalam upacara adat perkawinan Batak Toba adalah acara untuk 1)

mendeskripsikan realisasi bentuk pengenalan topik-topik peristiwa tutur marhata

2) merumuskan pola gilir bicara, dan 3) merumuskan pola pasangan berdekatan.

Masing-masing tujuan tersebut dilaksanakan pada 3 (tiga) situasi tutur; situasi

marhusip, marpudunsaut, dan marunjuk pada upacara adat mangupa horja

godang Batak Toba.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan

menerapkan kerangka berpikir pragmatik. Data yang dianalisis adalah ujaran-

ujaran yang mengatur topik, gilir bicara, dan pasangan berdekatan yang

sudah diverifikasi dan ditriangulasi.

Data dianalisis berdasarkan isi sekuensial untuk menemukan pola yang

muncul berkali-kali dengan menggunakan pendekatan analisis percakapan. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa: 1) pengenalan topik baru dikenalkan dengan

realisasi bentuk kalimat perintah, pertanyaan, dan pernyataan. 2) Ketiga kaidah

gilir bicara dapat diaplikasikan, namun kaidah pertama lebih dominan di setiap

situasi tutur. 3) Kategori rangkaian marhata acara adat perkawinan Batak Toba

bervariasi; ada yang lengkap dan ada yang tidak lengkap. Struktur yang lengkap

terdiri dari urutan awal, inisiasi, sela, dan respon. Urutan percakapan yang tidak

lengkap terdiri dari inisiasi/pemicu dan respon.

Respon terhadap inisiasi yang diberikan terdiri dari 16 (enam belas) pola

pasangan berdekatan yaitu 8 (delapan) pola pasangan disukai dan 8 (delapan)

pola pasangan tidak disukai. Ketiga hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

hubungan sosial antara masyarakat Batak Toba nyata direfleksikan dan diatur

dalam suatu sistem yang disebut DNT. Pihak perempuan memiliki status yang

Universitas Sumatera Utara


lebih tinggi sehingga ketika mengenalkan topik-topik baru, JBPP

merealisasikannya dalam kalimat perintah permintaan.

Kemudian ketika JBPL hendak memberi gilir bicara kepada JBPP, sistem

kekerabatan rajanami atau raja i/hula-hula nami digunakan sebagai rujukan

ke penutur pihak perempuan. Kemudian, dalam konteks meminang (marhusip),

respon bentuk pasangan tidak disukai banyak digunakan. Hal ini menunjukkan

bahwa juru bicara marhata dalam upacara adat haruslah orang yang pintar

sehingga dia disebut raja parhata.


Penelitian Lubis (2009) yang berjudul Penerjemahan Teks Mangupa horja

godang dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris. Penelitian ini

menerjemahkan teks Mangupa horja godang , sebuah teks budaya Mandailing ke

dalam bahasa Inggris disebabkan perbedaan yang luas dalam struktur kedua

bahasa. Kemudian berusaha mempertahankan dan memperkenalkan bahwa

upacara tradisional Mandailing yang memiliki nilai budaya yang tinggi. Teks

mangupa horja godang diterjemahkan dengan menerapkan metode penerjemahan

berbasis makna; sebuah metode yang mentransfer makna teks sumber ke dalam

teks sasaran untuk mencapai terjemahan yang akurat, terbaca dan berterima.

Adapun penelitian terdahulu ini mempunyai pokok bahasan mengenai teks

Mangupa horja godang yang kaitannya dengan penelitian yang dilakukan ini

bertumpu pada objek masalah kajian Mangupa horja godang .

Penelitian tentang analisis percakapan pernah dilakukan oleh Siagian

(2009) yang berjudul: “Strategi Percakapan Bahasa Batak Toba dalam Acara

Jou-jou Tano Batak”. Penelitian ini memberikan kontribusi dalam penentuan

pola gilir bicara. Penelitian ini mengkaji bagaimana cara memulai dan

mengakhiri percakapan, cara pengambilan giliran bicara, cara membetulkan

Universitas Sumatera Utara


ujaran-ujaran yang tidak jelas, cara mengembalikan dan mengalihkan topik,

serta implikatur. Acara Jou-Jou Tano Batak adalah sebuah acara radio

Karisma yang menggunakan BBT. Dalam acara ini terdapat percakapan antara

penyiar dan pendengar yang bergabung melalui sambungan telepon. Data

dikumpulkan dengan menggunakan metode simak, teknik rekam dan catat.

Berdasarkan analisis yang dilakukan, strategi percakapan BBT dalam acara Jou-

Jou Tano Batak ternyata memiliki sejumlah cara dalam mewujudkan percakapan

yang lancar dan efektif. Penyiar dan pendengar juga memiliki kerja sama yang

baik dalam mewujudkan percakapan yang baik.

Penelitian Flansius Tampubolon (2010) berjudul: Umpasa Masyarakat

Batak Toba Dalam rapat Adat: Suatu Kajian Pragmatik. Kajian ini membahas

fungsi, jenis dan komponen tindak tutur umpasa masyarakat Batak Toba pada

upacara adat yakni rapat adat atau musyawarah uang emas kawin (marhata

sinamot) yang dihadiri oleh ketiga unsur Dalihan Na Tolu, yaitu hula-hula

„pemberi istri‟, dongan sabutuha/ dongan tubu „kerabat semarga‟, dan boru

„penerima istri‟ dari kedua pihak yang mempergunakan umpasa sebagai tindak

tutur pada acara tersebut. Dideskripsikan jenis tindak tutur, dan fungsi maupun

komponen tindak tutur yang menyangkut makna lokusi, makna ilokusi, dan

makna perlokusi pada umpasa yang digunakan oleh hula-hula (pihak pemberi

istri), dongan sabutuha/ dongan tubu „kerabat semarga‟, dan boru „penerima istri‟.

Kajian penelitian terdahulu yang dikemukakan oleh Irfah Zukhairiyah,

(2011) dengan judul: Penerjemahan Teks Pabuat Boru dari bahasa Mandailing ke

dalam bahasa Inggris, pengkajian ini bertujuan untuk menerjemahkan teks

Universitas Sumatera Utara


percakapan pabuat boru dengan menggunakan teknik yang tepat yang tetap terikat

dengan budaya.

Hasil penelitian Amri (2011) berjudul, berjudul: Tradisi Lisan pada

Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan: Pemahaman Leksikon Remaja di

Padangsidimpuan. Pengkajian Tradisi lisan yang digunakan pada upacara adat

merupakan kearifan lokal (lokal wisdom) karena, berfungsi mengatur sistem nilai,

pengetahuan tradisional (lokal knowledge), hukum, pengobatan, sistem

kepercayaan dan religi, begitu pula pada upacara perkawinan adat. Realitas di

masyarakat menunjukkan bahwa, para penutur dan komunitas tradisi lisan

semakin berkurang.

Penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada

upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan di Padangsidimpuan, karena faktor

internal penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada

upacara perkawinan adat di Kota Padangsidimpuan, karena remaja tidak

memahami upacara perkawinan adat Angkola. Remaja tidak memahami urutan/

kronologis upacara perkawinan adat dan remaja tidak memahami jenis-jenis

upacara perkawinan adat. Remaja tidak mengetahui apa pengukur besar kecilnya

upacara perkawinan adat. Remaja lebih menyenangi musik pop (modern)

daripada musik tradisional. Remaja jarang mendengar leksikon pronomina dan

tidak memahami leksikon adat dan mereka tidak berusaha untuk mencari tahu

(bertanya) agar memahami makna leksikon tersebut kepada pelaku adat.

Faktor eksternal penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon

tradisi lisan pada upacara perkawinan adat di Kota Padangsidimpuan ada

beberapa faktor, seperti: ketua adat (pelaku adat) belum maksimal mengajari adat,

Universitas Sumatera Utara


lembaga adat belum mensosialisasikan adat pada remaja, remaja tidak mengenal

benda-benda adat yang dipakai pada upacara perkawinan adat, remaja tidak

pernah manortor sehingga tidak mengetahui nama-nama alat musik tradisional

yang dipakai mengiringinya begitu pula buku-buku berbahasa daerah jarang terbit.

Pagelaran budaya adat sangat jarang kecuali pada upacara perkawinan adat,

perlombaan budaya daerah tidak pernah ada kecuali lomba busana daerah,

Penelitian Damanik (2013) berjudul: Stereotip Gender dalam Bentuk

Perumpamaan Bahasa Batak Toba: Kajian Atropolinguistik, untuk menjelaskan

makna dan bentuk-bentuk umpasa bahasa Batak Toba yang stereotip gender.

2.2 Kerangka Konsep dan Kerangka Teoretik

Upacara perkawinan adat Angkola berpuncak pada upacara mangupa

horja godang , upacara tersebut dilakukan setelah upacara tu tapian raya

bangunan (upacara melepas masa lajang/ gadis). Upacara adat mangupa horja

godang dianggap cukup sakral, karena pandangan masyarakat adat Angkola

semakin kental tingkat paradatan seseorang semakin tinggi pula kedudukannya

pada masyarakat adat.

Kepercayaan masyarakat Angkola pada upacara mangupa horja godang

adat yaitu agar terhindar dari marabahaya atau terhindar dari peristiwa

kemalangan/ musibah (siluluton), perasaan suka cita karena tercapainya sesuatu

niat (nazar) sebagai rasa syukur karena selesainya studi (naik kelas, meraih gelar

kesarjanaan) meraih kedudukan (pangkat/ jabatan, berkarir), naik haji, sembuh

dari penyakit, tercapai harapan, mendapat rezeki (anak lahir, masuk rumah baru).

Dengan tercapainnya keinginan itu, orang tua bersyukur dengan

menyelenggarakan upacara mangupa horja godang .

Universitas Sumatera Utara


Hakikinya, pelaksanaan upacara adat mangupa horja godang secara

filosofis diyakini masyarakat adat berfungsi untuk mengembalikan dan

menguatkan semangat (tondi) pada tubuh kasar (mangupa horja godang tondi

dohot badan) sehingga semangat yang telah pergi akan kembali ke tubuh. Di sisi

yang lain, upacara adat mangupa horja godang merupakan perwujudan rasa

kegembiraan, karena tercapainya suatu keinginan yang telah lama diidamkan.

Tradisi lisan mangupa horja godang adat memiliki kearifan lokal, dan

nilai-nilai yang diyakini sudah menyatu dan merupakan perekat masyarakat adat,

hal tersebut yang berupaya diungkap pada tulisan ini. jadi, pada tulisan ini yang

menjadi objek kajian adalah performansi upacara mangupa horja godang adat

Angkola, analisis dilakukan dari kata-kata pada tradisi lisan mangupa horja

godang yang dilakukan sebagai bagian pada upacara perkawinan (siriaon),

berupa kata-kata nasihat, hidup berkeluarga, hormat terhadap orang tua, hidup

bermasyarakat, dan hidup beragama. Analisis pengkajian digunakan perspektif

ilmu linguistik sebagai payung ilmu yang digeluti, dan fokus pada

antropolinguistik sebagai jalan masuk (entry point) pengkajian, untuk melihat

makna dikaji dengan konsep teori semiotik.

Penelitian ini mendeskripsikan performansi tradisi lisan pada upacara

mangupa horja godang adat Angkola dan perubahan upacara mangupa horja

godang adat Angkola tersebut. Pengkajian antropolinguistik sebagai pembuka

jalan untuk mengupas upacara mangupa horja godang yang dijadikan objek

kajian dengan menggunakan teori upacara yang dikemukakan oleh Smith (1846-

1894) dan untuk mengetahui tradisi lisan dipakai teori Perspektif Folley (1988),

tradisi lisan Ong (2007:37-56), Finnegan (1992:151). Tol dan Pudentia (1995:2)

Universitas Sumatera Utara


dalam Hoed (2008:184) dan pembuka cakrawala pengkajian tradisi lisan yang

dikemukakan Sibarani (2012:47) mengkaji tradisi lisan sebagai objek kajian

dengan melihat bentuk dengan mengkaji teks, ko-teks, dan konteks, kemudian

mengkaji isi dengan melihat nilai kearifan lokal dan norma dengan fokus kajian

fungsi dan makna. Dari pengkajian itu dilakukan upaya merevitalisasi pola

pelaksanaan prosesi mangupa horja godang adat Angkola sebagai model

pelestarian.

Menurut pendapat Eggin and Slade (1997:23) terdapat beberapa perspektif

dalam menganalisis tradisi lisan mangupa horja godang sebagai interaksi lisan

dalam upacara mangupa horja godang dengan menggunakan metode etnografi,

yang dikemukakan Spreadley, antropolinguistik, dan semiotik. Perspektif

etnografi/ dengan pendekatan tradisi lisan dilakukan dengan antropolinguistik

sebagai jalan masuk.

Kerangka konseptual yang dibahas pada BAB II berupaya memaparkan

hal-hal dengan mengupas objek kajian yang membahas, menganalisis, dan

menguatkan kajian dalam penelitian ini antara lain: 2.1. Kajian pustaka, 2.2.

Kerangka konsep 2.3. Kerangka teori terdiri atas: 2.2.1. Tradisi lisan, 2.2.2

Kerangka Kajian Tradisi lisan, 2.3.3 Antropolinguistik, 2.2.3.1 Performansi,

2.2.3.2 Indeksikalitas, 2.2.3.3 Partisipan, 2.2.4 Fungsi dan Makna 2.2.5 Nilai-

nilai dan norma, 2.2.6 Kearifan Lokal, 2.3.7 Revitalisasi tradisi mangupa horja

godang adat Angkola. Agar lebih jelas dipaparkan satu persatu, selanjutnya

dipaparkan satu per satu pada kerangka teori yang dipakai dalam penelitian ini.

2.2.1 Tradisi Lisan

Universitas Sumatera Utara


Aktifitas kebudayaan yang bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari

sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh

kebutuhan kehidupan, sehingga hal tersebut berkembang menjadi tradisi. Menurut

Soekanto (1993:520) tradisi adalah suatu pola perilaku atau kepercayaan yang

telah menjadi bagian dari suatu budaya yang telah lama dikenal sehingga menjadi

adat istiadat dan kepercayaan turun temurun.

Pada hakikatnya tradisi lisan sebagai kegiatan budaya yang diwariskan

secara turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain baik

tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan yang memiliki ciri fisik sosial dan

kebudayaan. Menurut Dundes (dalam Danandjaja, 2002:1) folk adalah

sekelompok orang yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan

khusus, sehingga dapat dibedakan dari kelompok lain. Dengan demikian

merupakan kolektif yang memiliki tradisi yang diwariskan dari satu generasi ke

generasi berikutnya.

Pengetahuan tradisi lisan merupakan berbagai pengetahuan dan adat

istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan menurut Tol dan

Pudentia (1995: 2) dalam Hoed (2008:184) harus mencakup hal-hal yakni: “…

Oral traditions do not only contain folktales, myths, and legends (…), but store

complete indigeneous cognate system. To name a few: histories, legal practices,

adat law, medication….” (“...tradisi lisan tidak hanya berisikan pada cerita rakyat,

mitos, dan legenda saja, tetapi berupa sistem kognasi kekerabatan lengkap,

misalnya: seluruh sejarah hukum adat, praktik hukum, dan pengobatan

tradisional...”).

Universitas Sumatera Utara


Sejalan dengan pendapat di atas Sibarani (2012:47) menjelaskan, Tradisi

lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang diwariskan secara

turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain baik tradisi

itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lisan yang bukan lisan

(non-verbal). Oral Traditions are the community‟s traditionally cultural activities

inherited orally from one generation to the other generation; either the tradition

is verbal or non-verbal.

Tradisi lisan yang masuk dalam kategori yaitu: a) bahasa rakyat (folk

speech), logat, julukan, pangkat tradisional, dan gelar kebangsawanan (gelar adat),

b) ungkapan seperti: pribahasa, pepatah, pameo. c) pertanyaan tradisional (teka-

teki) Finnegan (1992:151). Tradisi lisan merupakan penggabungan unsur lisan dan

nonlisan seperti: kepercayaan tradisional, permainan rakyat, adat istiadat, upacara,

teater rakyat, tari rakyat, dan pesta rakyat. Demikian juga yang dikemukakan oleh

William Bascom (1973) pada proses penuturan seni pertunjukan (Verbal Art) pada

tradisi cerita rakyat. Lebih jauh Bascom dalam Dananjaya (2002) menjelaskan,

tradisi lisan memiliki empat fungsi yaitu: 1) tradisi lisan berfungsi sebagai

proyeksi (cerminan) angan-angan kolektif, 2) tradisi lisan berfungsi sebagai alat

legitimasi pranata kebudayaan, 3) tradisi lisan berfungsi sebagai alat pendidikan,

4) tradisi lisan berfungsi sebagai alat pemaksa atau pengontrolagar norma

masyarakat selalu dipatuhi anggota kolektifnya.

Tradisi lisan menghubungkan generasi masa lalu, sekarang, dan masa

depan. Tradisi lisan itu diturunkan dari generasi ke generasi dalam kehidupan

sehari-hari, pemikiran perkataan, dan perilaku secara individu dan kelompok

adalah implementasi senyatanya dari teks-teks lisan itu. Sehingga, kelisanan itu

Universitas Sumatera Utara


bersifat mengikuti perkembangan zaman, sehingga kedinamisan terus berkembang

dari waktu ke waktu dari tradisi lisan primer ke tradisi lisan sekunder menurut

Ong (2007).

Lebih jauh Ong (2007:37-56) tradisi lisan primer memiliki ciri-ciri yang

bersifat umum seperti: a) aditif, gaya penuturan disesuaikan kepada pendengar.

b) agregatif, menggunakan ungkapan yang bersifat menyatukan komunitas adat

tertentu. c) redundan atau copio, ungkapan yang diulang-ulang dan terasa

berlebihan yang tujuannya untuk memudahkan pemahaman dan tetap diingat. d)

konservatif, yaitu tetap memegang teguh nilai tradisional sebagai cara untuk

mempertahankan tradisi lisan yang dianggap bernilai tinggi. e) dekat dengan

dunia kehidupan manusia. f) agonistic, menjaga agar pengetahuan dan tradisi

tetap kompetitif dan mampu bersaing dengan pengetahuan dan tradisi baru. g)

empatetis-partisipatori, belajar dan mengetahui dalam masyarakat tradisi yang

berarti terlibat langsung, menghormati, dan membentuk kesadaran bersama, h)

homestatik, masyarakat budaya lisan berupaya membangun keseimbangan hidup,

i) situasional, dalam masyarakat budaya lisan konsep-konsep yang berlaku

bersifat khas sesuai dengan situasi masyarakat setempat dan kurang abstrak.

Lebih lanjut Ong (2007:37-56) menjelaskan tradisi lisan sekunder

memiliki ciri-ciri: Kehidupan manusia telah mengenal tulisan. Budaya lisan

merambah melalui media cetak, radio, televisi, dan rekaman CD, DVD. kegiatan

tradisi lisan tidak lepas dari budaya tulis sehingga saling ketergantungan antara

lisan dan tulisan. Tradisi primer terus berkembang ke tradisi lisan sekunder

sehingga peralihan ke budaya modern yang telah merambah budaya cetak dan

elektronik, sehingga perkembangannya lebih dapat diikuti oleh generasi muda.

Universitas Sumatera Utara


Perspektif Folley (1988) atas ciri-ciri tradisi lisan terbagi atas: tradisi

lisan kelompok besar, tradisi lisan lokal, dan tradisi lisan individual

(idosinkratik). Salah satu warisan budaya yang amat berharga dan penting dalam

pembentukan identitas dan karakter bangsa adalah Intangible Cultural Heritage

(ICH). UNESCO dalam konvensi tanggal 16 Oktober 2003 menyebutkan salah

satu unsur penting dalam ICH adalah tradisi lisan (Pudentia 2010).

Realitas di masyarakat, para penutur dan komunitas tradisi lisan semakin

berkurang. Hal ini akibat proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai

dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan

cepat. Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam upaya

menjaga tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan pada masa sekarang dan yang

akan datang adalah perubahan dalam sistem pewarisannya.

2.2.2 Kerangka Kajian Tradisi Lisan

Kerangka tradisi lisan dapat dilihat sebagai suatu peristiwa budaya atau

sebagai suatu bentuk kebudayaan yang diciptakan kembali (invented culture)

untuk dimanfaatkan, dikembangkan, dan dilestarikan sebagai suatu bentuk

kebudayaan, yang karena suatu alasan tertentu perlu dijaga dari kepunahannya.

Menggali dan mengembangkan potensi tradisi lisan, termasuk perlindungan

kekayaan intelektual budaya Indonesia, melalui penelitian yang terstruktur dan

berkelanjutan. Menurut Olrik (1992:62) tradisi lisan mempunyai peluang

bertahan, berkembang atau punah, kepunahan itu disebabkan terlalu lama tidak

Universitas Sumatera Utara


diingat karena tidak digunakan oleh komunitas adat sehingga tidak pernah

didengar lagi.

Sumber utama objek kajian pada penelitian adalah penutur, pelaku adat

sebagai informan kunci yang diteliti juga yang meliputi masyarakat pemilik atau

pendukung yang berkaitan dengan tradisi lisan mangupa horja godang . Di

samping tradisi lisan mangupa horja godang, nara sumber yang tetap bertahan

merupakan living traditions, ingatan kolektif yang tersimpan dalam masyarakat

dan tradisi tersebut (memory traditions) juga dimasukkan dalam kategori ini

tradisi lisan. Begitu pula data skunder yaitu masyarakat adat, dokumenter, buku-

buku adat.

Memang, pada umumnya penelitian tradisi lisan banyak difokuskan pada

kajian bentuk dan fungsi, padahal sejatinya kajian tradisi lisan menganalisis

aktifitas performansi tradisi karena dapat meretas nilai-nilai kearifan lokal yang

hampir hilang. Berbagai pengetahuan lokal yang hanya diperoleh pada proses

performansi saja. Hal ini sejalan dengan pendapat Fine (1994:58) mengatakan

bahwa penelitian tradisi lisan seharusnya diarahkan kepada performansi tradisi

lisan, karena dalam performansi tersebut dipertontonkan proses dan gaya

komunikasi sosial sebagai model estetika antara pelaku adat dengan komunitas

masyarakat adat yang memiliki karaktersitik adat yang sesuai dengan kondisi

sosial masyarakat adat, peristiwa upacara adat.

Kerangka tradisi lisan tidak dapat dipisahkan antara produk budaya dan

masyarakat sebagai komunitasnya. Keduanya sangat tergantung satu sama lain.

Tanpa masyarakat pendukungnya, tradisi tidak akan pernah dapat dihadirkan

Universitas Sumatera Utara


apalagi diteruskan. Sebaliknya, tanpa tradisi, masyarakat pemiliknya akan

kehilangan identitas kemanusiaannya dan kehilangan banyak hal penting,

khususnya pengetahuan tradisional, kearifan lokal, dan nilai-nilai yang pernah

menghidupi dan sudah menyatu pada komunitas tersebut.

Kerangka tradisi lisan sebagai sumber “yang tidak tertulis” yang

ditransmisikan secara lisan. Selain itu, pelestarian tradisi lisan ini sangat

tergantung pada memori (generasi-generasi) manusia pendukung tradisi lisan

tersebut (Sinar dan Takari, 2015:20). Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-

satunya yang terpenting dalam upaya menjaga tradisi lisan sebagai sumber

pengetahuan pada masa sekarang dan yang akan datang adalah sistem

pewarisannya. Sistem pewarisan pembentukan identitas, perlu dilakukan

pengelolaan tradisi lisan mangupa horja godang seperti: pelindungan, preservasi,

model dan revitalisasi tradisi lisan, khususya tradisi lisan mangupa horja godang

masyarakat adat Angkola.

2.2.3 Antropolinguistik

Hubungan antara manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan, sama

seperti manusia dengan bahasa sebagai wadah untuk berkomunikasi, begitu pula

manusia dengan kebudayaan tetap menggunakan bahasa sebagai perantaranya. Di

satu sisi manusia adalah kreator kebudayaan, di sisi yang lain kebudayaan

membutuhkan bahasa sebagai alat mewujudkan kebudayaan itu.

Hal ini sesuai dengan pendapat Levi-Strauss (1972:68) bahasa merupakan

hasil kebudayaan, maksudnya bahasa yang dipergunakan atau yang diucapkan

oleh kelompok masyarakat adalah refleksi keseluruhan kebudayaan tersebut. Jadi,

Universitas Sumatera Utara


ada keterjalinan hubungan timbal balik yang sangat erat dan padu antara manusia,

bahasa, dan kebudayaan menjadi kajian antropolinguistik.

Antropolinguistik mengkaji budaya untuk mencari makna dibalik

penggunaan, ketimpangan penggunaan maupun tanpa menggunakan bahasa dalam

bentuk register dan gaya yang berbeda, mengkaji struktur dan hubungan

kekeluargaan melalui istilah kekerabatan dengan payung linguistik. Kajian

antropologi linguistik juga menelaah bagaimana kemampuan manusia sebagai

anggota masyarakat yang saling berkomunikasi dengan menggunakan simbol-

simbol dan lambang pada upacara adat dengan menggunakan konsep

kebudayaanan.

Kemampuan manusia mengembangkan bahasa sebagai alat komunikasi

dengan menggunakan lambang atau simbol-simbol manasuka yang cukup rumit,

hal ini terwujud karena kemampuan dasar manusia dalam mengembangkan

kemampuan bernalar. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Cassier

(1951:32) manusia sebagai makhluk yang paling mahir dalam mengembangkan

simbol-simbol sehingga manusia disebut makhluk yang banyak menggunakan

simbol (homo symbolicum).

Jadi, dengan dasar itulah pengkajian tradisi mangupa horja godang

menggunakan pengkajian antropolinguistik sebagai jalan masuk (entry point) dan

berperan karena antropoglinguistik dapat mendeskripsikan suatu bahasa yang

digunakan pada tradisi lisan mangupa horja godang . Di samping itu, dari

pendekatan itu akan menghasilkan informasi yang berharga, yang tidak hanya

mengkaji cara masyarakat adat berkomunikasi adat, tetapi juga akan mengkaji

Universitas Sumatera Utara


simbol-simbol yang digunakan oleh komunitas adat dalam upacara adat mangupa

horja godang .

Pengkajian antropolinguistik dapat membantu memahami dan

mengidentifikasi hal-hal yang dianggap memiliki arti khusus dalam upacara adat

mangupa horja godang tersebut, sehingga dipahami latar belakang adat sehingga

tradisi yang humanis dapat dipahami dengan mengamati fenomenologis

pengalaman dan pemahaman adat mengupa komunitas Angkola.

Tradisi lisan mangupa horja godang sebagai objek kajian penelitian ini,

dengan mempertimbangkan saran yang disampaikan oleh penguji pada sidang

seminar proposal (kolokium) disertasi, begitu pula berdasarkan buku referensi

yang dibaca maka penulis memutuskan antropolinguistik jalan masuk (entri

point) yang tepat. Untuk membahas pemaknaan pada objek tradisi lisan mangupa

horja godang digunakan teori semiotik untuk melihat lebih dalam makna sebagai

perlambang.

Kajian Antropolinguistik terhadap tradisi lisan mangupa horja godang

akan mengkaji unsur verbal dan nonverbal tradisi lisan mangupa horja godang

dapat dijelaskan melalui pemahaman struktur teks, koteks, dan konteksnya

sehingga pemahaman bentuk juga menjadi pemahaman performansi tradisi lisan

mangupa horja godang . Antropolinguistik mempelajari teks, koteks, dan konteks

(bentuk) performansi tradisi lisan dalam kerangka kerja antropologi, mempelajari

konteks budaya, konteks ideologi, konteks sosial, dan konteks situasi tradisi lisan

dalam kerangka kerja linguistik. Penelitian tradisi lisan mangupa horja godang

ini, serta menggali nilai, norma, kearifan lokal (isi) tradisi lisan mangupa horja

Universitas Sumatera Utara


godang serta akhirnya menemukan model penelitian sehingga dilakukan

revitalisasi sebagai pewarisan tradisi lisan mangupa horja godang .

Tradisi lisan mangupa horja godang sebagai bagian bahasa yang erat

kaitannya dengan kebudayaan sehingga antropolinguistik merupakan pilihan yang

tepat untuk mengkaji tradisi lisan mangupa horja godang . Hakikinya,

antropolinguistik mempelajari variasi dan penggunaan bahasa yang berhubungan

dengan kebudayaan suatu suku bangsa. Antropolinguistik juga sebagai

pengetahuan yang mempelajari manusia dan kebudayaan, manusia sebagai kreator

pencipta kebudayaan, oleh karenanya terjalin hubungan sebab akibat yang cukup

erat dan padu antara keduanya, yaitu manusia, kebudayaan, tradisi dengan bahasa

sebagai medianya.

Sibarani (2004:50) menyebutkan hubungan antara bahasa dan kebudayaan

pada komunitas di masyarakat memiliki peranan yang cukup penting sebagai

sarana komunikasi. Penggunaan bahasa serta bagaimana cara seseorang

berkomunikasi dengan orang lain dalam kegiatan sosial dan budaya lain secara

tepat sesuai dengan teks dan konteks budayanya merupakan fokus kajian

antropolinguistik.

Antropologi linguistik atau antropolinguistik disebut juga dengan

etnolinguistik yang menelaah struktur, fungsi dan pemakaiannya dalam konteks

situasi sosial budaya. Melalui pendekatan antropolinguistik, perlu mencermati

yang dilakukan oleh manusia dengan kebudayaannya dengan menggunakan

bahasa sebagai ujaran-ujaran yang diproduksi, bahasa dihubungkan dengan

konteks pemakaiannya. Oleh karena itu, ada tiga bagian penting dalam

Universitas Sumatera Utara


antropolinguistik modern, menurut Duranti (2001:14) menyatakan pendekatannya

melalui (1) performance, (2) indexcality, dan (3) participation.

Jadi, performansi sebagai peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi

proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya, dan estetik (Finnegan

(1992:92-93). Performansi sebagai bentuk aktifitas tindakan dengan tanda tertentu

yang dapat ditafsirkan sehingga tindakan komunikasi dapat dipahami.

Performansi tradisi tuturan yang diperagakan sebagai objek kajian sesuai

kontekstual dengan menonjolkan suasana adat.

Menurut Sibarani (2004:50) fokus kajian antropolinguistik yaitu hubungan

dan peranan bahasa dan kebudayaan pada masyarakat serta bagaimana

hubungannya pada terminologi budaya. Komunikasi verbal dan nonverbal antara

seseorang dengan orang lain dalam kegiatan sosial dan budaya tertentu sesuai

dengan konteks budayanya, dan bagaimana bahasa masyarakat dahulu sesuai

dengan perkembangan budayanya.

Antropolinguistik memandang bahasa dari konsep inti antropologi yang

mengkaji budaya untuk mencari makna di balik penggunaan, ketimpangan

penggunaan maupun tanpa menggunakan bahasa dalam bentuk register dan gaya

yang berbeda. Hakikinya, antropolinguistik memuat interpretasi bahasa untuk

menemukan pemahaman secara budaya.

“Antropological linguistics views language through the prism of the core

anthropological concept, culture, and such, seeks to uncover the meaning behind

the use, misuse, or non-use of language, its different forms, registers and style. It

understandings.” (Foley, 1997:3)

Universitas Sumatera Utara


Penjelasan Foley‟s (1997:3) di atas dapat dijabarkan maksudnya, linguistik

antropologi sebagai subdisiplin linguistik yang berkaitan dengan tempat bahasa

dalam konteks budaya maupun sosial yang memiliki peran menyokong dan

menempa praktik-praktik kultural dan struktural sosial.

Antroplogical linguistics is that sub-field of linguistics which is


concern with the place of language in its wider sosial and cultural
context, its role in forging dan sustaining cultural practices and
sosial structures. Such, it may be seen to overlap with another sub-
field with a similar domain, sociolinguistics, and in practice this
may indeed be so. (Foley, 2003:3)

Walaupun istilah keduanya sering bertukar tempat antara antropolinguistik

dengan sosiolinguistik, disebabkan memiliki ranah kajian yang sama yaitu fungsi

bahasa sebagai media komunikasi pada guyub tutur.

Agar lebih jelas Sibarani (2004:51) memaparkan, ada tiga relasi penting

kajian antropolinguistik yang memiliki hubungan yang patut jadi kajian:

 Hubungan antara satu bahasa dengan satu budaya yang


bersangkutan. Yang berarti bahwa ketika mempelajari suatu
budaya, kita juga harus mempelajari bahasanya, dan ketika kita
mempelajari bahasanya kita juga harus mempelajari budayanya.
 Hubungan bahasa dengan budaya secara umum yang berarti bahwa
setiap ada satu bahasa dalam suatu masyarakat, maka ada satu
budaya dalam masyarakat itu. Bahasa mengindikasikan budaya,
perbedaan bahasa berarti perbedaan budaya atau sebaliknya.
 Hubungan antara linguistik sebagai ilmu bahasa dengan
antropologi sebagai ilmu budaya.

Tradisi lisan mangupa horja godang sebagai objek kajian dengan

menggunakan antropolinguistik sebagai jalan masuknya (entry point), pengkajian

dimulai dari unsur struktur dan formula unsur verbal dan nonverbal tradisi lisan

mangupa horja godang . Lebih jelas pengkajian dilakukan dengan pemahaman

struktur/ bentuk (teks, koteks, dan konteks), isi (nilai dan norma, dan kearifan

Universitas Sumatera Utara


lokal) dan model revitalisasi (pengaktifan atau penghidupan kembali, pengelolaan,

dan proses pewarisan) tradisi lisan yang sedang diteliti, Sibarani (2012:288).

Peranan kebudayaan dalam memahami bahasa yang berfungsi sebagai

sarana komunikasi, maka pengguna bahasa menggunakannya sebagai media

komunikasi pada konteks budaya. Linguistik sebagai payung ilmu untuk mengkaji

difokuskan pada antropolinguistik yang merupakan subbidang dari linguistik.

Lebih jauh dijabarkan, pemahaman struktur (bentuk) dan kajian


nilai, norma, dan kearifan lokal, sehingga bila dikaji dengan lebih
mendalam akan didapat sistem proses pewarisan melalui
revitalisasi. Nilai dan norma budaya tradisi lisan dikristalisasi dan
ditemukan makna dan fungsinya. Dari makna dan fungsi bagian-
bagian tradisi lisan serta makna dan fungsi keseluruhan tradisi
lisan sebagai wacana yang lengkap akan dapat diungkapkan nilai
dan norma sebuah tradisi lisan melalui proses interpretasi yang
dikaitkan dengan konteksnya. (Sibarani 2012:305)

Antropolinguistis menyadari kajian bahasa melalui pendekatan pragmatik,

fungsional maupun analisis wacana dengan menggunakan pendekatan analisis

mikrostruktural dan makrostruktural untuk mengkaji struktur bahasa (teks, koteks,

dan konteks). Secara mikro mengkaji fungsi bahasa sebagai kebutuhan personal

dalam kehidupan bersosialisasi, antara lain: fungsi nalar, fungsi emosi, fungsi

komunikatif, fungsi perekam, fungsi pengidentifikasian, fungsi fatis, fungsi

memberikan rasa senang. Fungsi makro digunakan dalam kaitannya dengan

penutur, meliputi: fungsi ideasional, fungsi interpersonal, fungsi estetika bahasa,

fungsi tekstual, fungsi sosiologis. Penjabaran di atas dapat dipetik suatu fungsi

bahasa sebagai alat komunikasi yang dipakai pada tradisi adat mangupa horja

godang , sehingga amanat dan pesan yang disampaikan ketika berkomunikasi.

Oleh karena itu, penulis mengambil data di lapangan dengan emik dan etik, yang

Universitas Sumatera Utara


dimaksud dengan etik dan emik yang berhubungan dengan analisis data lapangan

dalam kajian antropolinguistik.

Hal ini dijabarkan oleh Bolinger (1975:520) tentang etic adalah, “a

material manifestation that can be identified by any characteristic that strikes the

erya”, dan emic yaitu, “a formal unit within a closed system”. Jadi, emik adalah

satuan formal dalam satu sistem tertutup dan etik adalah manifestasi material yang

teridentifikasi lewat ciri-ciri pemeriannya.

Pengkajian lebih jauh tentang objek tradisi lisan mangupa horja godang ,

lebih jelas dengan jalan masuk menggunakan pengkajian antropolinguistik

terhadap tradisi lisan mangupa horja godang , yang akan mengkaji unsur verbal

dan nonverbal tradisi lisan mangupa horja godang dapat dijelaskan melalui

permasalahan yang mengkaji struktur teks, koteks, dan konteksnya dengan objek

kajian tradisi lisan mangupa horja godang dengan kajian antropolinguistik.

2.2.3.1 Performansi

Performansi merupakan suatu peristiwa komunikasi yang memiliki

dimensi proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya, dan estetik.

Performansi menunjukkan perilaku yang memberikan kebermaknaan yang

semuanya bermuara pada konteks yang relevan. Pada konteks dapat

diidentifikasi pada berbagai tingkat dalam hal pengaturan upacara, misalnya,

tempat peristiwa budaya terjadi. Hal ini sesuai dengan pendapat Richard

Bauman (1978:26): We view the act of ferformance as situated behavior,

situated within and rendered meaningful with reference to relevant contexts.

Such contexts maybe identified at a variety of levels-in terms of settings, for

example, the culturally defined places where ferformance occurs.

Universitas Sumatera Utara


Performansi budaya menunjukkan kinerja paling menonjol pada

masyarakat Angkola, performansi upacara mangupa horja godang memiliki

aturan-aturan yang harus dipenuhi, aturan-aturan hanya berlaku pada

lingkup budaya pada masyarakat karena melibatkan seluruh elemen

komunitas adat. aturan-aturan adat masyarakat yaitu melakukan upacara

adat sebagai tanggung jawab moral sesama komunitas adat. Hal itu, berbeda

pada performansi pertunjukan pelaku bertanggung jawab kepada audiens,

sehingga kompetensi performer diharapkan melatihkan skil komunikasi

verbal serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan untuk dapat

berkomunikasi dengan pendekatan sosial humanis.

Martha C Sims dan Martine Stephens (2011:131-132) menambahkan

performansi pertunjukan sebagai kegiatan ekspresif yang membutuhkan

partisipasi pengetahuan dan pengalaman yang berimbas pada respon

audiens. Sehingga, performansi mampu dipahami dan ditafsirkan oleh

audiens, hal itu sebaliknya performansi tidak akan sukses bila pelaku tidak

menunjukkan kemampuan yang baik bila ekspresi audiens penuh dengan

kekecewaan. Lebih jauh Bauman (1978:29) menjelaskan struktur peristiwa

performansi melibatkan patisipan, pemain (s) dan audiens. fungsi

performensi sebagai dimensi utama dari pola pertunjukan pada masyarakat.

Lord mengatakan dalam performansi (1981:13-29) ada tiga tahap proses

berupa 1) komposisi, 2) performansi dan 3) transmisi. Lebih jauh dijelaskan

komposisi, yaitu a) peletakan pondasi dengan cara mendengarkan atau melakukan

penyerapan, b) penerapan atau aplikasi, dan c) pelantunan di hadapan pendengar.

Ditambahkannya bahwa proses komposisi tersebut dilanjutkan dengan proses

Universitas Sumatera Utara


mengakumulasi, mengkombinasi dan memodelkan kembali formula yang telah

ada. Atau, pembuatan komposisi dilakukaan saat ia melakukan performansi

(pertunjukan) sehingga komposisi dan performansi merupakan dua hal yang

dilakukan pada saat bersamaan. Konsep komposisi tidak dapat dilepaskan dari

konteks latar belakang penciptaan, seperti keterkaitannya dengan faktor individu

dan kolektif, keterkaitannya dengan performansi, keterkaitannya dengan

memorisasi, keterkaitannya dengan teks-pasti dan teks-bebas.

Performansi menurut Ruth Finnengan. (1991) (1992, 98-100), Sims dan

Martine Stephens (2011:131), Bauman (1978:29), Nagy dan Koenjtaraningrat

(1985:243) dapat diisimpulkan kerangka konsep performansi tradisi lisan terbagi

atas dua, a) performansi yang ditampilkan di hadapan audiens (hiburan) dan b)

performansi yang tidak ditampilkan di hadapan audiens sesuai dengan kondisi

tertentu (sakral).

Sehingga pengkajian performansi upacara mangupa horja godang adat

Angkola yang tidak ditampilkan dihadapan audiens karena kondisi tertentu dan

upacara mangupa horja godang adat hanya diikuti oleh suhut sihabolonan, tokoh

adat, pelaku adat, harajaon, hatonangon, dan pandongani.

Finnegan mengatakan bahwa performansi dalam tradisi lisan dapat

dibedakan menjadi dua yaitu (a) performansi yang ditampilkan di hadapan

audiens, dan (b) performansi yang tidak ditampilkan di hadapan audiens sesuai

dengan kondisi tertentu. Model performansi pertama dimanfaatkan untuk tujuan

hiburan, dan model kedua dimanfaatkan untuk tujuan sakral. Ia juga mengatakan

bahwa dalam performansi melibatkan unsur performer (orang yang melakukan

pertunjukan), audies dan partisan (orang-orang yang terlibat pertunjukan), serta

Universitas Sumatera Utara


media (sarana dan prasarana yang digunakan, baik verbal maupun material).

Pendekatan performansi dapat dijadikan sebagai ide dalam mengkaji bagaimana

kegiatan masyarakat pemiliknya berkaitan dengan budaya lisan.

Finnengan juga memberikan sejumlah panduan yang dapat diaplikasikan

dalam menganalisis dan membandingkan teks dengan memperhatikan aspek gaya,

struktur, dan isi serta proses pengolahan teks lisan melalui penerjemahan,

pendeskripsian, dan presentasi. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa

Berdasarkan fenomena performansi seni pertunjukan berbeda dengan

tradisi lisan mangupa horja godang , tradisi lisan mangupa horja godang

tidak membutuhkan penonton dan bahkan yang tidak terlibat pada prosesi

upacara adat tidak memiliki tempat pada prosesi upacara mangupa horja

godang tersebut. Jadi, pengkajian tradisi lisan mangupa horja godang

digunakan kajian antropolinguistik yang dikemukakan oleh Duranti (1997:14)

dengan fokus objek kajian pada: performansi (performance), indeksikalitas

(indexicality), partisipasi (participation). Pada performansi tradisi mangupa

horja godang sebagai puncak upacara perkawinan adat Angkola berupa

penyampaian kalimat-kalimat nasihat kepada pengantin. Sejalan dengan

pendapat di atas Bauman (1993:3) menjelaskan performansi pada upacara

mangupa horja godang adalah pelaku adat dan tokoh adat (performer),

pengantin dan masyarakat adat (audience), performansi adat (konteks situasi,

tempat dan waktu).

Performansi adat merupakan unsur lingual memiliki nilai-nilai kearifan

lokal sebagai sumber pengetahuan hidup berumah tangga. Pemikiran Charles

Sanders Pierce tentang konsep indeksikalitas dibedakan tanda atas tiga jenis yakni

Universitas Sumatera Utara


indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). dan partisipasi adalah

perspektif tradisi mangupa horja godang sebagai aktivitas adat Angkola yang

melibatkan komunitas adat sebagai guyub tutur adat.

Pada upacara Kemudian tahapan performansi yaitu: performer, audies,

partisan (orang-orang yang terlibat pertunjukan), dan media. Performansi

melibatkan unsur performer (orang yang melakukan pertunjukan dalam hal ini

tokoh adat), audies dan partisan (orang-orang yang terlibat pada upacara adat

mangupa horja godang ), media (sarana dan prasarana yang digunakan, baik

verbal maupun material).

Charles Sanders Pierce tentang konsep indeksikalitas dibedakan tanda atas

tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). dan partisipasi

adalah perspektif tradisi mangupa horja godang sebagai aktivitas adat Angkola

yang melibatkan komunitas adat sebagai guyub tutur adat.

Ditambahkannya bahwa proses komposisi tersebut dilanjutkan dengan

proses mengakumulasi, mengkombinasi dan memodelkan kembali formula yang

telah ada. Atau, pembuatan komposisi dilakukaan saat ia melakukan performansi

(pertujukan) sehingga komposisi dan performansi merupakan dua hal yang

dilakukan pada saat bersamaan. Konsep komposisi tidak dapat dilepaskan dari

konteks latar belakang penciptaan, seperti keterkaitannya dengan faktor individu

dan kolektif, keterkaitannya dengan performansi, keterkaitannya dengan

memorisasi, keterkaitannya dengan teks-pasti dan teks-bebas.

Menurut partisipan, pemain (s) dan audiens. fungsi performensi sebagai

dimensi utama dari pola pertunjukan pada masyarakat. (Bauman, 1993:3).

penyaji (performer), audience, situasi dan pengorganisasian penyajian yang

Universitas Sumatera Utara


didukung oleh media seperti musik, tempat dan waktu penyajian, Bauman

1993:3) performansi: pelaku adat dan tokoh adat (performer), pengantin dan

masyarakat adat (audience), performansi adat (konteks situasi, tempat dan waktu).

Performansi tradisi lisan mangupa horja godang berbeda hanya dari sudut

bahan pangupa yang digunakan psebagai bahan dasar mangupa yaitu seekor

kerbau yang dugunakan untuk mangupa pengantin. Sehubungan dengan

performansi tersenut, Lord (1981:13-29) menekankan aspek-aspek kelisanan puisi

Yugoslavia berupa komposisi, performansi dan transmisi. Dikemukakannya lagi,

bagi penyair lisan, pembuatan komposisi dilakukan saat ia melakukan performansi

(pada tradisi tersebut) sehingga komposisi dan performansi merupakan dua hal

yang dilakukan pada saat bersamaan .lebih jauh ia menjelaskan dalam buku The

Singer of Tales (1981), Lord memberi deskripsi eksplisit mengenai konsep

komposisi, performansi, dan transmisi. Menurutnya bagi penyair lisan, pembuatan

komposisi dilakukaan saat ia melakukan performansi (pertujukan) sehingga

komposisi dan performansi merupakan dua hal yang dilakukan pada saat

bersamaan.

Lebih lanjut Lord (1981:13).mengatakan ada tiga tahap dalam proses

komposisi, yaitu peletakan pondasi dengan cara mendengarkan atau melakukan

penyerapan, penerapan atau aplikasi, dan pelantunan di hadapan pendengar.

Ditambahkannya bahwa proses komposisi tersebut dilanjutkan dengan proses

mengakumulasi, mengkombinasi dan memodelkan kembali formula yang telah

ada. Para penyair lisan dalam melantunkan puisi lisan (lagu) tidak akan sama

persis, meskipun bersumber dari puisi lisan yang sama.

Universitas Sumatera Utara


Hal ini disebabkan karena penyair lisan hanya menghafal formulanya saja,

sehingga dalam performansi terdapat perubahan, penambahan atau kesalahan.

Dengan demikian, hal semacam ini dapat memberi penegasan tentang proses yang

terjadi dalam proses transmisi dalam tradisi lisan. Lord (1981) dalam bukunya The

Singer of Tales, tidak memberi deskripsi eksplisit mengenai konsep komposisi,

performansi, dan transmisi; tetapi justru Finnegan, dengan berpijak pada paparan

Lord, mendeskripsikan secara eksplisit ketiga konsep tersebut.

Menurut Finnengan komposisi dimaksudkan sebagai suatu cara atau

proses penciptaan sastra lisan atau cara sastra lisan disusun atau dihidupkan.

Konsep komposisi tidak dapat dilepaskan dari konteks latar belakang penciptaan,

seperti keterkaitannya dengan faktor individu dan kolektif, keterkaitannya dengan

performansi, keterkaitannya dengan memorisasi, keterkaitannya dengan teks-pasti

dan teks-bebas.

Pembicaraan mengenai komposisi yang diungkapkan oleh Lord tersebut,

kemudian diuraikan Nagy (2001) sebagai lanjutan dari apa yang selama ini

menjadi pertanyaan Parry dan Lord dalam mengkaji puisi Homer. Hal terpenting

dari hasil analisis Nagy (2001:3-10) adalah ia merumuskan tentang apa yang

pernah dilakukan oleh Parry dan Lord, menjadi sepuluh kelompok konsep yang

menjadi unsur terpenting dalam mengkaji sebuah tradisi lisan. Menurut Nagy,

sepuluh unsur yang harus dipertimbangkan dalam mengkaji komposisi tradisi

lisan adalah : (1) fieldwork, (2) syncrony vs diachrony, (3) composition-in-

performance, (4) diffusion, (5) theme, (6) formula, (7) economy (thrift),(8)

tradition vs innovation, (9) unity and organization, and (10) author and texs.

Universitas Sumatera Utara


Diperlukan pendekatan sinkronis dan diakronis (syncrony vs diachrony)

untuk melihat perkembangan dan variasi satu tradisi (tradition vs

innovation).Perspektif sinkronis berkaitan dengan kerja lapangan (fieldwork)

kajian sastra lisan pada saat disajikan dengan tujuan menggambarkan sistem

aktual yang hidup terus menerus oleh sebuah tradisi (Nagy, 2001: 3-4).

Sedangkan pendekatan diakronis dilakukan untuk melihat bagaimana tradisi

tersebut, sejak pertama kali disajikan hingga sekarang.

Pendekatan ini dimaksudkan bukan untuk mengklasisfikasi sejarahnya

sebagaimana ilmu lain seperti filologi, sejarah sastra, ataupun ilmu kritik sastra.

Karena sifat tradisi lisan dinamis dan komposisi disajikan pada saat penyajian

(composition-in-performansi) (Lord, 1981:13), maka prinsip diakronis diperlukan

untuk melihat variasi yang muncul dan selalu berbeda disetiap penyajian. Dengan

kata lain tradisi lisan bukan objek mati, tetapi justru merupakan tradisi

komunikasi yang berbentuk dan berubah dalam interaksi antara penyampai

(author) dan khalayak. Dari interaksi ini, terjadilah proses penyebaran (diffusion),

baik pengetahuan maupun informasi yang diperoleh dari teks lisan (texs).

Ditegaskan kembali leh Nagy bahwa selama ini telah terjadi

kesalahpahaman peneliti sastra lisan yang menganggap bahwa konsep yang

ditemukan oleh Parry dan Lord adalah teori sastra lisan. Menurutnya, sastra

ataupun puisi adalah satu “fakta” yang diketahui dari hasil kerja lapangan. Dari

hasil analisis tersebut, Nagy mengatakan bahwa tanpa performansi tradisi lisan

tidak akan tersaji dalam bentuk lisan. Tanpa performansi, gagasan utama tradisi

lisan akan kehilangan keutuhan (unity and organization) dan integritasnya.

Universitas Sumatera Utara


Berkaitan dengan performansi, perlu juga melihat pemikiran yang

dikemukakan oleh Finnengan (1991) dalam bukunya Oral Poetry: Its Nature,

Significance and Social Contexs, memperlihatkan hasil kajian di bidang lain

berupa seni pertunjukan dan tradisi lisan., ia mengungkapkan bahwa terdapat

tiga aspek penting yang harus diperhatikan dalam mengkaji penyajian sastra lisan

yaitu (1) composition, suatu proses bentuk-bentuk lisan dikomposisi (digubah)

dengan mempertimbangkan relasi antara tradisi dan kreasi individual yang

mampu mengembangkannya ke dalam beberapa dimensi yang berbeda, budaya,

dan gendre yang beragam seperti gaya (bahasa), isi, musik, plot, ideologi ataupun

ciri khas penyajian itu sendiri, (2) transmission, yaitu proses regenerasi ataupun

proses penyeleksian terhadap individual tertentu yang akan mewarisi dan

melanjutkan tradisi lisan tersebut, dan (3) audience, yaitu unsure khalayak atau

penikmati yang menentukan sukses tidaknya sebuah performansi.

Lebih lanjut, Finnengan (1992:91-111) menguraikan lebih luas bahwa

pada sejumlah gagasan dan teori yang overlapping yang berkaitan dengan karya

seni dan ekspresi lisan. Tapi, pendekatan pada performansi cenderung dapat

dijadikan sebagai ide sentral untuk mengkaji bagaimana kegiatan masyarakat

pemiliknya berkaitan dengan budaya lisan itu sendiri. Dalam pendekatan etnografi,

performansi dapat dipandang sebagai satu “lahan” lain di samping teks sebagai

salah satu unit deskripsi dan analisis yang fundamental dalam mendukung

kerangka kerja empiris bagi pemahaman terhadap sastra lisan.

Etnografi sebagai sebuah pendekatan, menaruh perhatian pada tingkah

laku yang aktual pada saat penyajian lisan yang bersifat artistik dalam kehidupan

masyarakat tertentu. Beberapa komponen yang berperan dalam penyajian adalah

Universitas Sumatera Utara


penyaji (performer), audience, situasi dan pengorganisasian penyajian yang

didukung oleh media seperti musik, tempat dan waktu penyajian (Bauman, 1993:

3). Finnegan dalam buku Oral Tradition and Verbal Art (1992.98-100),

memperkaya tiga aspek di atas dengan membagi aspek audience menjadi empat

kelompok, yaitu (1) primary audience, yaitu orang yang berkepentingan dengan

pelaksanaan tradisi lisan, (2) secondary audience, yaitu orang yang tidak hanya

hadir untuk sekedar menikmati penyajian, tetapi juga merekam dan mengambil

gambar dokumentasi, (3) integral audience, yaitu orang yang memang wajib

untuk datang karena penyajian adalah satu bagian tertentu yang sudah melekat

dalam diri dan kesehariannya, dan (4) accidental audience, yaitu orang

(kelompok) yang mendapat informasi dari pemberitaan lisan ataupun media massa.

Lebih jauh, Finnengan juga memberikan sejumlah panduan yang dapat

diaplikasikan dalam menganalisis dan membandingkan teks dengan

memperhatikan aspek gaya, struktur, dan isi serta proses pengolahan teks lisan

melalui penerjemahan, pendeskripsian, dan presentasi. Selanjutnya, ia

mengatakan bahwa performansi adalah suatu peristiwa komunikasi yang memiliki

dimensi proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya, dan estetik.

Pertunjukan memiliki model tindakan dengan tanda tertentu yang dapat

ditafsirkan sehingga tindakan komunikasi dapat dipahami. Tindakan komunikasi

diperagakan, diperkenalkan dengan objek luar, dan dibangun dari lingkungan

kontekstualnya. Pertunjukan budaya merupakan konteks pertunjukan yang

menonjolkan suasana komunitas, yang berkaitan dengan ruang dan waktu.

Hal yang sama juga dikemukan oleh Fine bahwa ada tiga fokus yang perlu

diperhatikan dalam kajian performansi sastra lisan, yaitu (1) sebagai model

Universitas Sumatera Utara


estetika dan gaya komunikasi, 2) berhubungan dengan peristiwa tertentu, 3)

budaya khusus dan varibel dari studi lintas-budaya (Fine, 1984: 58). Oleh karena

itu, metode penelitian sastra lisan, harus diarahkan dalam dua aspek, yang pertama

adalah berkaitan dengan konten atau isi daritradisi lisan, dan kedua adalah

berhubungan dengan performansi yang merupakan ruang tersendiri yang memiliki

hubungan dengan model komunikasi khusus yang berbeda dengan pidato antara

performer dengan pendengarnya.

Selain itu, performansi sastra lisan juga merupakan ruang ekspresi budaya

yang berhubungan dengan peristiwa budaya tertentu di dalam suatu masyarakat.

Performansi juga merupakan variasi budaya yang penting dalam studi lintas

budaya. Oleh karena itu, kajian mengenai performansi sastra lisan merupakan

kekayaan kajian di masa yang akan datang. Lebih lanjut , Finnegan mengatakan

bahwa performansi dalam tradisi lisan dapat dibedakan menjadi dua yaitu (1)

performansi yang ditampilkan di hadapan audiens, dan performansi yang tidak

ditampilkan di hadapan audiens sesuai dengan kondisi tertentu.

Model performansi pertama dimanfaatkan untuk tujuan hiburan, dan

model kedua dimanfaatkan untuk tujuan sakral. Ia juga mengatakan bahwa dalam

performansi melibatkan unsur performer (orang yang melakukan pertunjukan),

audies dan partisan (orang-orang yang terlibat pertunjukan), serta media (sarana

dan prasarana yang digunakan, baik verbal maupun material).

Konsep performansi yang digunakan dalam kajian ini aspek-aspek

kelisanan dari sebuah penyajian tradisi lisan diantaranya komposisi, transmisi, dan

audience. Analisis mengenai aspek-aspek tersebut dapat dianalisis melalui

Universitas Sumatera Utara


prespektif sinkronis dan diakronis sehingga ditemukan perubahan-perubahan yang

muncul, baik dalam teks maupun dalam performansi tradisi lisan itu sendiri.

Pengkajian performasi tentang objek tradisi lisan mangupa horja godang ,

adalah mengkaji performer sebagai tokoh adat mangupa dalam melakukan tradisi

lisan mangupa dalam kajian antropolinguistik terhadap orang-orang yang terlibat

pada tradisi lisan mangupa horja godang, yang akan mengkaji unsur verbal dan

nonverbal tradisi lisan mangupa horja godang dapat dijelaskan melalui

permasalahan yang mengkaji struktur teks, koteks, dan konteksnya dengan objek

kajian tradisi lisan mangupa horja godang dengan kajian antropolinguistik.

2.2.3.2 Indeksikalitas

Pemahaman indeksikalitas sebagai peristiwa komunikasi yang memiliki

dimensi tindakan dengan tanda tertentu yang dapat ditafsirkan sehingga tindakan

komunikasi dapat dipahami. Kajian Antropolinguistik terhadap tradisi lisan

mangupa horja godang akan mengkaji unsur verbal dan nonverbal tradisi lisan

mangupa horja godang dapat dijelaskan melalui pemahaman struktur teks, koteks,

dan konteksnya. Pemahaman indeksikalitas tradisi lisan mangupa horja godang,

menurut Duranti (2001:14) menyatakan pendekatannya melalui (1) performance,

(2) indexcality, dan (3) participation.

Konsep indeksikalitas ini berasal dari pemikiran filosof Amerika Charles

Sanders Pierce yang membedakan tanda atas tiga jenis yakni indeks (index),

simbol (symbol), dan ikon (icon). Indeks adalah tanda yang mengindikasikan

bahwa ada hubungan alamiah dan eksistensial antara yang menandai dan yang

ditandai. Konsep indeks (indeksikalitas) diterapkan pada ekspresi linguistik

seperti pronomina demonstratif (demonstrative pronouns), pronomina diri

Universitas Sumatera Utara


(personal pronouns), adverbia waktu (temporal expressions), dan adverbia

tempat (spatial expressions).

2.2.3.3 Partisipan

Partisipan yang dimaksud dalam tradisi lisan mangupa horja godang

upacara adat perkawinan adat Angkola adalah seluruh komunitas adat Angkola

yang terlibat dalam rangka terwujudnya tradisi lisan mangupa horja godang

tersebut. Dengan demikian, partisipan bukan hanya mereka yang ada pada upacara

mangupa tersebut, tetapi orang-orang yang juga dapat berpartisipasi dalam

mempersiapkan tradisi lisan mangupa horja godang tersebut. Hal itu karena

tradisi lisan mangupa horja godang melibatkan berbagai pihak. Partisipan yang

terlibat dalam tradisi lisan mangupa horja godang , antara lain yang menyiapkan

bahan pangupa, memasak, dan mereka turut bekerja dan menyiapkan tradisi lisan

mangupa horja godang. .

2.2.4 Teks, Koteks, dan Konteks

1) Teks

Performansi teks tradisi lisan mangupa horja godang sebagai objek

penelitian mengkaji bentuk dan isi, bentuk dikaji atas teks, koteks, dan konteks.

Menurut Sibarani (2012:242) performansi teks merupakan unsur verbal yang

memiliki struktur yang dapat dikaji dari struktur makro, struktur alur, dan struktur

mikro. Performansi koteks memiliki elemen yang mendampingi teks seperti

unsur: paralinguistik, proksemik, kinetik, dan unsur material lainnya. Dan

Universitas Sumatera Utara


performansi konteks memiliki kondisi yang formulanya berkenaan dengan budaya,

sosial, situasi, dan ideologi.

Teks, menurut Halliday dan Hasan (1985: 10), sebagai bahasa yang

fungsional, bahasa yang melakukan tugas tertentu dalam konteks tertentu, yang

berbeda dengan kata-kata atau kalimat-kalimat yang berdiri sendiri. Teks juga

adalah unit dari pengguna bahasa (Halliday & Hasan 1978: 1). Teks itu dibatasi

sebagai unit bahasa yang fungsional dalam konteks sosial (Halliday 1994). Semua

teks merupakan penggunaan bahasa yang dihasilkan dengan maksud untuk

menunjukkan sesuatu untuk beberapa tujuan. Teks merupakan suatu proses yang

dapat dimengeri, tidak terbuka bagi persepsi yang langsung, dari menegosiasikan

sebuah pesan. Teks kemudian akan menjadi penanda maknanya sendiri, apapun

konteks atau tujuan dari produknya (Widdowson 2007: 6-8).

Bahasa, khususnya, bahasa evaluatif di dalam teks sangat tergantung pada

konteks. Bagi Halliday dan Hasan (1985: 5), jalan menuju pemahaman tentang

bahasa terletak dalam kajian teks. Teks terdiri atas makna-makna walaupun teks

terdiri atas kata-kata dan kalimat. Teks pada dasarnya merupakan satuan makna.

Teks harus dipandang dari dua sudut yang bersamaan yaitu sebagai produk dan

sebagai proses karena sifatnya sebagai satuan makna. Sebagai produk, teks

merupakan luaran, sesuatu yang dapat direkam dan dipelajari karena mempunyai

susunan tertentu teks dan dapat dideskripsikan dengan peristilahan yang

sistematik. Teks juga merupakan suatu proses dalam pengertian bahwa teks

terbentuk melalui proses pemilihan makna terus menerus.

Performansi teks tradisi lisan yang ditafsirkan memerlukan ketelitian dan

ketekunan agar teks tradisi lisan ditafsirkan secara detail (explication de texte),

Universitas Sumatera Utara


karena dapat menguak umpan balik sehingga dapat mengungkapkan sesuatu

yang tersirat dan tersembunyi pada teks mangupa horja godang yang dianalisis.

Hal ini sesuai dengan pendapat Van Dijk dalam Sibarani (2012:312) agar dapat

memahami teks mangupa horja godang diperlukan kerangka struktur teks makro,

super struktur, dan struktur mikro, karena teks terbangun dari ketiga unsur

tersebut.

Lebih jauh Halliday (1992:14) menyebutkan agar dapat lebih mudah

dalam memahami teks alangkah baik dikodekan agar menghilangkan proses

analisis dari unsur subjektifitas dalam pemaknaan teks mangupa horja godang

karena pengkodean akan lebih mudah menelaah topik, tema, secara sistematis.

Teks yang dianalisis dipadukan dengan ko-teks dan konteksnya agar tema dan

gagasan mudah dipahami. Ada asumsi tema sebuah teks sering juga menjadi judul

sebuah teks, tetapi sering juga tidak terlihat secara eksplisit di dalam teks, tetapi

terintegrasi pada keseluruhan teks melalui jalinan kohesif yang padu.

Sibarani (2012:316) menyebutkan linguistik teoretis mencakup tataran

bahasa seperti bunyi (Fonologis), makna (semantik), maksud (pragmatik), gaya

bahasa (stilistik) dan bahasa kiasan (figuratif). Jadi, struktur makro digunakan

juga dalam menganalisis teks tradisi lisan mangupa horja godang dengan

melakukan beberapa tahapan seperti: membaca, mengamati, dan menghayati

keseluruhan teks tradisi lisan mangupa horja godang agar diperoleh tema yang

menjadi ide dasar teks mangupa horja godang , memahami topik sebagai konsep

dasar yang membangun teks mangupa horja godang . Begitu pula memahami

kerangka dasar teks mangupa horja godang dengan memahami struktur alur atau

superstruktur teks mangupa horja godang . Dengan memahami anasir yang

Universitas Sumatera Utara


membangun teks mangupa horja godang yang padu dan kohesif. Lebih jauh

Sibarani (2012:315) menyebutkan sebuah teks tradisi lisan secara garis besar

tersusun atas tiga elemen yaitu pendahuluan (Introduction), bagian tengah (body),

dan penutup (conclusion) yang masing-masing harus saling mendukung secara

koheren.

Paparan di atas dapat disimpulkan dalam memahami performansi teks

tradisi lisan mangupa horja godang dikodekan agar objektif dalam proses analisis

dari unsur pemaknaan teks mangupa horja godang agar lebih mudah menelaah

topik, tema, secara sistematis. Performansi teks yang dianalisis dipadukan dengan

ko-teks dan konteksnya agar tema dan gagasan mudah dipahami Kajian struktur

mikro ini dapat dilaksanakan secara bersama-sama, tetapi dapat juga dipilih

tataran tertentu sesuai kebutuhan analisi dan sesuai dengan karakteristik teks yang

akan dikaji.

2) Ko-teks
Sibarani (2012:319) pemaknaan teks tradisi lisan mangupa horja godang

sebagai tanda verbal harus digunakan secara serempak dengan tanda-tanda yang

lain. Teks tradisi lisan Mangupa horja godang dapat dipahami dengan tanda-

tanda seperti: ko-teks, ko-teks terdiri atas paralinguistik, kinetik, proksemik, dan

unsur material lain, ko-teks berfungsi untuk mempejelas pesan atau makna sebuah

teks. Di samping itu teks tradisi lisan mangupa horja godang perlu dianalisis

dengan unsur-unsur suprasegmental seperti: intonasi, aksen, jeda, dan tekanan.

Istilah lain untuk suprasegmental itu adalah paralinguistik. Paralinguistik selalu

berdampingan dengan teks sebagai tanda verbal dan tidak dapat dipisahkan dari

teks itu. fungsi paralinguistik hanya menjelaskan makna atau maksud unsur-unsur

Universitas Sumatera Utara


segmental atau teks lisan dalam tindak komunikasi. Pada kajian koteks upacara

mangupa horja godang akan mengkaji menurut teori yang dikemukakan Charles

Sander Peirsce yaitu mengkaji ikon, indeks, dan simbol pada perangkat pangupa

yang digunakan sebagai landasan/ dasar dilakukannnya upacara mangupa horja

godang adat Angkola.

3) Konteks

Konteks bahasa hanya dapat dipahami dengan melihat cara bahasa itu

digunakan dalam konteks tertentu, baik budaya maupun situasionalnya. Penulis

atau penutur bahasa menggunakan konfigurasi sumber-sumber linguistik di dalam

konteks tertentu. Konteks merupakan faktor kunci di dalam pemilihan bahasa,

konteks merupakan teks yang menyertai konteks tersebut (Halliday & Hasan

1985:5) (Fowler & Kress, 1979:30). Eggins (1994,2004) menyatakan ini sebagai

dimensi yang berpengaruh kuat dari konteks situasi langsung dari suatu peristiwa

bahasa pada cara bahasa itu digunakan. Dengan demikian, konteks afek pilihan

bahasa yang dibuat oleh seorang penutur atau penulis tergantung pada setting

yang diberikan.

Antropolinguistik dalam menganalisis teks, koteks, dan konteks (bentuk)

performansi tradisi lisan mangupa horja godang dalam kerangka kerja

antropologi, mempelajari konteks budaya, konteks ideologi, konteks sosial, dan

konteks situasi tradisi lisan dalam kerangka kerja linguistik. Penelitian tradisi

lisan mangupa horja godang ini, serta menggali nilai, norma, kearifan lokal (isi)

tradisi lisan mangupa horja godang dengan melihat konteks tradisi lisan

mangupa horja godang , sehingga lebih dahulu perlu dijabarkan perspektif

konteks tradisi lisan mangupa horja godang .

Universitas Sumatera Utara


Menurut Malinowski konteks lisan berdasarkan situasi, karena kata-kata

sebagai bagian tradisi lisan sebagai konteks situasi (context of situation).

Antropolog Inggris ini menempatkan kata-kata dalam konteks ujaran pada situasi

lingkungan sebagai bagian dari tradisi lisan sehingga dipahami dan diperhatikan

konteks situasi. Fokus analisis konteks situasi dapat memecahkan aspek-aspek

bermakna bahasa hingga aspek linguistik dan aspek nonlinguistik dapat

dihubungkan.

Menurut Sperber dan Wilson (1998:15) konteks disebutkan seperangkat

asumsi yang dibangun secara psikologis oleh penutur dan pendengar sesuai

dengan pengetahuannya tentang dunia. Konteks ini tidak hanya terbatas pada

ujaran saat ini dan ujaran sebelumya, tetapi menyangkut semua yang dapat terlibat

dalam interpretasi. Sejalan dengan pendapat di atas Shiffrin (1994:367)

menjabarkan, konteks merupakan latar belakang pengetahuan yang disebut

“kaidah-kaidah konstitutif” merupakan pengetahuan mengenai kondisi-

kondisi yang dipakai untuk memahami tradisi lisan sebagai sesuatu yang khusus

namun berbeda dengan tuturan yang lain. Pemahaman tentang tradisi adat sudah

melekat dan dimiliki komunitas adat dianggap sebagai latar belakang pengetahuan

bersama yang dimiliki yang terbangunnya implikasi dalam tuturan untuk

memaknai tradisi lisan mangupa horja godang .

Menurut Duranti (1997) bahasa (tradisi lisan) dan konteks saling

mendukung satu sama lain. Tradisi lisan membutuhkan konteks dalam

pemakaiannya, begitu pula sebaliknya, konteks baru memiliki makna jika di

digunakan dalam tradisi lisan dalam upacara, sehingga bahasa tidak hanya

berfungsi dalam interaksi adat, tetapi tradisi lisan juga membentuk tatanan

Universitas Sumatera Utara


kegiatan pada konteks adat. Konteks pada tradisi lisan merupakan pengetahuan

abstrak yang didasari oleh bentuk tindak tutur, lingkungan sosial komunitas adat

yang dapat diinterpretasikan dalam realitas yang nyata (Sciffrin, 1994:371).

Pada sisi lain, Halliday dan Hasan (1992:16:62) membagi konteks situasi

menjadi tiga; yaitu (1) sebagai medan wacana menunjuk pada sesuatu yang

sedang terjadi pada sifat (keformalan) tindakan sosial yang sedang berlangsung,

(2) sebagai pelibat wacana, dan (3) sebagai sarana wacana, yang merujuk kepada

bagian yang diperankan oleh bahasa seperti, organisasi teks, kedudukan dan

fungsi yang dimiliki, saluran yang digunakan, serta model retorikanya.

Oleh karena itu, tradisi lisan mangupa horja godang hanya memiliki

makna jika berada dalam suatu konteks situasi. Kebermaknaan sebuah tradisi lisan

diinterpretasikan melalui tradisi dengan memperhatikan konteks, sebab konteks

akan memberikan makna tradisi berdasarkan situasi. Artinya, konteks situasi

sangat berpengaruh dalam berinteraksi. Konteks tradisi lisan adalah konteks

dalam semua aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan.

Konteks tuturan mencakupi aspek fisik atau latar sosial yang berupa ekspresi yang

dapat mendukung kejelasan maksud disebut dengan ko-teks. Konteks merupakan

situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian.

Pada hakikatnya konteks dalam tradisi lisan merupakan semua latar

belakang pengetahuan (background knowledge) yang dipahami bersama pada

komunitas adat. Jadi, teori konteks antara lain:

a) Makna tidak terdapat pada unsur-unsur lepas yang berwujud kata adat,

tetapi secara keseluruhan terpadu pada ujaran tradisi lisan.

Universitas Sumatera Utara


b) Makna tidak boleh ditafsirkan secara dualis (kata dan acuan) atau secara

trialis (kata, acuan, tafsiran), tetapi makna merupakan satu fungsi atau tugas

yang terpadu dalam tutur yang dipengaruhi oleh situasi.

Lebih jauh Sibarani (2012:324) memaparkan performansi konteks itu

sangat tergantung pada ragam ungkapan atau teks yang dikaji. Kajian tradisi lisan

mangupa horja godang akan mengkaji konteks budaya, konteks sosial, konteks

situasi, dan konteks ideologi agar dipahami makna, maksud, pesan, dan fungsi

tradisi lisan, agar pengkajian nilai dan norma budaya dalam bingkai tradisi lisan

mangupa horja godang sebagai objek, serta memahami kearifan lokal yang

diterapkan untuk menata kehidupan sosialnya.

Pengkajian performansi upacara mangupa horja godang adat Angkola

yang memiliki fungsi sosial yang membangun egaliter dan solidaritas sesama

komunitas adat, memiliki ikatan batin yang kuat, hal tersebut terbangun menjadi

tatanan adat cukup erat. Wujud upacara adat mangupa horja godang dengan

tradisi lisan memiliki hubungan konteks sosial dengan bahasa sesama guyub tutur

Angkola.

Konteks sosial

Bahasa

(teks)

Gambar 1. bahasa dan konteks sosial sebagai semiotik konstrual

Universitas Sumatera Utara


Tradisi lisan mangupa horja godang adat Angkola selalu memperhatikan

posisi pada dalihan na tolu. Sehingga menjadi sistem hubungan sosial masyarakat

adat dengan menekankan perhatian pada realisasi fungsional. Upacara mangupa

horja godang yang menunjukkan strata posisi adat pada konteks sosial yang

dapat berganti-ganti sesuai hubungannya dengan suhut sihabolonan. Pemahaman

strata posisi adat pada konteks sosial terbangun menjadi ideologi bagi masyarakat

adat di Luhak Angkola. Sehingga, setiap orang tua yang belum melakukan

upacara adat mangupa horja godang (diadati) maka, orang tua atau anak akan

merasa berhutang secara adat.

Bahasa yang digunakan pada upacara adat mempengaruhi konteks situasi

(register), budaya (culture), dan ideologi (ideologi). Sehingga, konteks sosial

terjadi dari tiga unsur, yaitu konteks situasi, konteks sosial, konteks budaya, dan

konteks ideologi. Konteks yang paling konkret adalah konteks situasi karena

konteks ini langsung berhubungan tradisi lisan mangupa horja godang , konteks

situasi mangupa horja godang merupakan pintu konteks sosial terhadap tradisi

lisan mangupa horja godang.

Ideologi

Budaya Konteks Sosial


Situasi

Bahasa
Konteks
Bahasa

Gambar 2. Hubungan Konteks Sosial dengan Konteks Bahasa (Martin, 1993:494)

Universitas Sumatera Utara


Sementara itu, konteks yang sangat abstrak adalah konteks ideologi karena

konteks ini paling jauh dari tradisi lisan mangupa horja godang karena yang

dipakai adalah bahasa adat Angkola Konteks Sosial mengacu pada faktor-faktor

sosial yang mempengaruhi atau menggunakan teks yang mengacu pada manfaat

pemakaian teks pada tradisi lisan, dengan tujuan peristiwa budaya yang digunakan

pada tradisi lisan mangupa horja godang . Faktor-faktor sosial seperti perbedaan:

jenis kelamin, stratifikasi sosial, kelompok etnik, tempat, tingkat pendidikan, dan

perbedaan usia. Sedangkan konteks situasi mengacu pada waktu, tempat, dan cara

penggunaan teks tradisi lisan. Deskripsi konteks situasi waktu akan menghasilkan

waktu pelaksanaan tradisi mangupa horja godang yaitu bila waktu mangupa

horja godang dilaksanakan apakah pagi hari, siang hari, sore hari atau pada

malam.

Deskripsi situasi tempat akan menghasilkan lokasi pelaksanaan tradisi lisan

mangupa horja godang , di dalam rumah atau di luar rumah. Sedangkan konteks

ideologi adalah pandangan masyarakat adat tentang ikatan kekuatan yang

memengaruhi teks tradisi lisan, sejauh mana pandangan masyarakat, sehingga

kepercayaan serta keyakinan akan nilai yang dianut bersama oleh komunitas adat

yang berdampak pada pemertahanan tradisi lisan mangupa horja godang .

2.2.5 Semiotik

Secara etimologi semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu kata seme

atau semeion, yang berarti penafsiran tanda, semiotika adalah ilmu tentang tanda-

tanda. Teori semiotika mengulas tentang pengkajian yang sistematis tentang

interpretasi tanda. Dengan mempelajari penafsiran tanda sehingga dimaknai

Universitas Sumatera Utara


manfaatnya dalam kehidupan, sehingga cara kerjanya dipahami untuk bekerja

sama sesama anggota masyarakat. sesamanya sekaligus mengadakan pemahaman

yang lebih baik terhadap dunia. Dengan demikian, manusia adalah homo

semioticus.

Secara eksplisit, Winfried Noth mengungkapkan pandangan: semiologi

adalah ilmu yang mempelajari sistem-sistem tanda: bahasa, kode, perangkat sinyal,

dan lain-lain. Menurut definisi ini, bahasa merupakan bagian dari semiologi.

Namun, secara umum bahasa memiliki status istimewa dan otonom, dan ini

memungkinkan semiologi didefinisikan sebagai studi tentang sistem tanda non-

linguistik. Semiology is the science which studies sign systems : language, codes,

sets of signals, etc. According to this definition, language is part of semiology.

However, it is generally accepted that language has a privileged and autonomous

status, and this allows semiology to be defined as the study of non-linguistic sign

systems (1971:229-239).

Jadi, ilmu yang mengkaji tanda lebih dikenal dengan semiotik yang

mengkaji tanda-tanda sebagai gejala kebudayaan. Semiotik melihat kebudayaan

sebagai suatu “sistem pemaknaan” (Danesi dan Perron 1999:23). Kemudian Eco

(1976) menyatakan bahwa makna tanda adalah hasil suatu konvensi, suatu prinsip

dalam kehidupan berkebudayaan. Semiotik (semiotika) adalah ilmu atau metode

analisis untuk mengkaji tanda dalam kehidupan manusia (Hoed, 2007:3). Ilmu ini

menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan itu merupakan

tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-

konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.

Universitas Sumatera Utara


Barthes declared that 'semiology aims to take in any system of signs,

whatever their substance and limits; images, gestures, musical sounds, objects,

and the complex associations of all of these, which form the content of ritual,

convention or public entertainment: these constitute, if not languages, at least

systems of signification' (Barthes, 1967:9). Barthes menyatakan bahwa 'semiologi

bertujuan untuk mengambil dalam setiap sistem tanda-tanda, apa pun substansi

dan batas mereka; gambar, gerakan, suara musik, benda, dan asosiasi kompleks

semua ini, yang membentuk isi dari ritual, konvensi atau hiburan umum: ini

merupakan, jika tidak bahasa, di sistem setidaknya signifikasi '(Barthes, 1967:9).

Pendekatan semiotik menggantikan tanda dengan kebudayaan dan

memberikan tempat yang sentral kepada tanda. Teks dapat diteliti sebagai tanda.

Apabila tanda itu, mengalami proses pemaknaan, manusia di lingkungan kultural

yang memofuskan kajian pada analisis semiotik. Perangkat pengkajian semiotik

(tanda pemaknaan, denotatum, interpretan) dapat diterapkan pada semua bidang

kehidupan asalkan prasyaratnya dipenuhi yakni ada arti yang diberikan, ada

pemaknaan, ada interpretasi (van Zoest 1993:54).

Menurut T. Christovmy (2004:80) dan van Zoest (1993:56) pada saat

seseorang membahas manfaat semiotik maka mereka juga mengkaji pragmatik

dengan mengetahui apa yang dilakukan dengan tanda, apa reaksi terhadap tanda,

yang kesemuanya bermuara pada tanda yang dihasilkan dan arti yang dihasilkan

oleh tanda tersebut. Oleh karena itu, semiotik akan membahas tanda sebagai hasil

dari konvensi, prinsip dalam kehidupan berkebudayaan yang membahas tanda,

penanda, dan petanda.

1) Tanda, Penanda dan Petanda

Universitas Sumatera Utara


Pelopor semiotik yang dianggap sebagai peletak dasar adalah Saussure

(1857-1913) seorang ahli linguistik berkebangsaan Swis dan seorang ahli filsafat

yaitu, Peirce (1839-1914) berkebangsaan Amerika, dan Rolland Barthes

berkebangsaan Prancis. Saussure menyebut ilmu itu dengan nama semiologi,

sedang Peirce menyebutnya semiotik (semiotics). Kemudian nama itu sering

dipergunakan berganti-ganti dengan pengertian yang sama. Di Perancis

dipergunakan nama semiologi untuk ilmu itu, sedang di Amerika lebih banyak

dipakai nama semiotik.

Pemikiran mereka menjabarkan tanda dibentuk atas aspek, yaitu penanda

(signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formal yang menandai

sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai

oleh penanda itu, jadi tanda yang terjadi dari petanda dan penanda merupakan

suatu kesatuan.

Tanda ada beberapa macam antara lain ikon, indeks, dan simbol semua

dikategorikan berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Ikon

merupakan tanda yang berhubungan dengan sifat alamiah antara penanda dan

petandanya, yaitu hubungan persamaan. Indeks menggambarkan hubungan sebab-

akibat penanda dan petandanya. Simbol menunjukkan hubungan yang bersifat

arbitrer dan alamiahnya hubungan penanda dengan petandanya, Aneka tanda

untuk satu makna berarti adanya “manasuka” tanda yang digunakan sebagai

lambang bahasa.

Ada banyak cara yang ditawarkan dalam rangka menganalisis karya sastra

secara semiotik. Abrams dalam Ratna (2004:105), dilakukan dengan

menggabungkan empat aspek, yaitu: a) pengarang (ekspresif), b) semestaan

Universitas Sumatera Utara


(mimetik), c) pembaca (pragmatik), dan objektif (karya sastra itu sendiri). Dengan

adanya tanda-tanda sebagai ciri khas yang meliputi seluruh kehidupan manusia,

dari komunikasi yang paling alamiah hingga sistem budaya yang paling kompleks,

maka bidang penerapan semiotika pada dasarnya tidak terbatas. Penerapan

semiotika dalam ilmu sastra jelas merupakan masalah tersendiri, dengan

pertimbangan bahwa bahasa dianggap sebagai salah satu sistem tanda yang sangat

kompleks.

Penganalisisan teks mangupa horja godang yang digunakan semiotika

yang dikemukakan oleh Barthes. Barthes (2000:82) adalah penerus pemikiran

Saussure. Barthes mengembangkan semiotik pada denotasi dan konotasi.

Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan

petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Konotasi

adalah tingkat pertandaan yang menjalaskan hubungan penanda dan petanda di

dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.

Roland Barthes menegaskan bahwa komponen-komponen tanda, penanda

dan petanda terdapat juga pada tanda-tanda bukan bahasa. Menurut Barthes

(1985:89) sebuah ekspresi (expression) atau tanda, bisa memiliki beberapa isi

(content) atau penanda melalui sebuah relasi (relation) tertentu. Dengan demikian,

untuk menganalisis makna teks mangupa horja godang ini akan digunakan

semiotika yang dikemukakan oleh Barthes.

Barthes (1985) yang menekuni makna kedua di balik bentuk Semiotik

yang memaknai tanda sebagai proses komunikasi, tanda hanya dianggap seperti

yang dimaksudkan pengirim dan penerima. Contoh: rambu lalu lintas ditelaah

secara denotatif si penerima. Jadi, semiotik komunikasi hanya memperhatikan

Universitas Sumatera Utara


denotasi suatu tanda. Semiotik konotasi memahami makna konotatif dan tanda,

karena tanda sebagai interpretabel yang diterima dipahami secara berbeda oleh

penerimanya.

2) Pendekatan Semiotika Budaya

Memaknai nilai dan norma suatu tradisi bukanlah pekerjaan yang mudah,

begitu pula pada upacara mangupa horja godang yang perlu pengkajian nilai dan

norma-norma yang patut ditransmisikan serta direalisasikan pada generasi

penerus. Oleh karena itu, diperlukan model yang dapat dijadikan ancangan tradisi

lisan mangupa horja godang adat Angkola. Untuk dapat meretas nilai dan norma

yang tersembunyi dibutuhkan pisau potong pengkajian yaitu teori semiotika yang

dikembangkan Peirce.

Teori semiotik menurut Peirce dapat dikembangkan secara pragmatisme.

Istilah pragmatis adalah teori makna yang menekankan hal-hal yang dapat

ditangkap dan mungkin berdasarkan pengalaman subjek. Maka pada upacara

mangupa horja godang adat Angkola digunakan kajian semiotika pragmatis yang

dikemukakan oleh Charles Sanders Peirce mengungkapkan bahwa ada tiga

komponen tanda yaitu:

 representemen, yaitu bentuk yang menyatakan tanda atau „kenderaan

tanda‟ setara dengan penanda (signifier),

 interpretant, yaitu makna yang didatangkan dari tanda itu atau „makna‟

yang dibuat seseorang; setara dengan signified, dan

 object, yaitu sesuatu yang berada di luar tanda yang merupakan acuan.

Secara konkret ketiga penjabaran di bawah dapat digambarkan sebagai

segitiga semiotik, hubungan antara objek dan representamen digambarkan sebagai

Universitas Sumatera Utara


garis terputus-putus, sedangkan interaksi antara representamen, objek dan objek

sebagai semiosis. Pengembangan teori makna yang dikemukakan oleh Peirce

memokuskan pada hal-hal yang dapat ditangkap berdasarkan pengalaman subjek.

Jadi, subjek interpretasi subjek tentang objek kajian upacara mangupa horja

godang adat Angkola yang digunakan dengan kajian semiotika, untuk lebih jelas

lihat gambar 3 di bawah.

Christomy (2004:115) dasar pemikiran tersebut menjabarkan bentuk tiga

pihak gejala secara fenomenologis seperti:

 Bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain.

 Bagaimana hubungan gejala tersebut dengan realitas di luar dirinya yang

hadir dalam ruang dan waktu. dan

 Bagaimana gejala tersebut dimediasi direpresentasikan, dikomunikasikan,

dan ditandai.

 Perhatian yang dikemukakan Peirce dengan model tiga dimensi atau

trikotomis yang memusatkan perhatiannya pada tanda (sign) yang

dimaksudkan oleh Peirce tentang tanda adalah, “Sesuatu yang mewakili

sesuatu bagi seseorang dalam sesuatu kapasitas (something which stand to

somebody for something in some respect or capacity)”.

interpretant

------------------------------------------
representamen object

Universitas Sumatera Utara


Gambar 3. Segitiga Semiotik

Lebih jelas yang dimaksudkan adalah pengalaman fisik manusia maupun

pengalaman mental/ emosional manusia. Jadi, pengalaman fisik manusia maupun

pengalaman mental/ emosional yang diwakili oleh tanda.

Contoh kalimat mangupa horja godang adat Angkola:

Di tonga ni pira manuk na nihobolan Di tengah-tengah telur ayam


diletakkan garam yang rasanya asin.
i di baen do i sira na macim pandai- Apa pula maknanya? Semoga murah
an, dia ma i na nidokna, sai mura ma rezeki dan mudah pencaharian. Duri
rasoki dohot pancarian duri ni pangkat itulah duri rotan Kemana
pangkat ma i tu duri ni hotang tu dia kamu pergi selalu kamu mendapat
hamu mangalakka sai dapot-dapotan
Dirobek barse-barse di bawah
nisuak barse-barse di toru ni lambak pelepah pinang ringgit tumpah ruah,
pining marringgit maruse-use mar ayam berterbangan di dinding.
manuk habangan ding-ding

Contoh pemahaman semiotik tentang kata telur ayam (pira manuk) yang

dimaksudkan oleh Peirce dengan representamen, pemaknaan yang dimaksudkan

melalui, 1) pemaknaan indrawi (representamen) yaitu telur ayam, 2) mengacu

kepada objek (benda berbentuk bulat yang di hasilkan oleh ayam, 3) penafsiran

berdasarkan pengalaman (interpretan) tentang telur ayam. Dari pemaknaan

tentang telur ayam (pira manuk), proses 1) disebut dengan proses pemaknaan

indrawian individu, dan 2) dan 3) terjadi pada benak masing-masing individu

sesuai dengan pengalaman individu.

Sibarani (2012:248) menyebutkan agar dapat memahami tradisi lisan

secara teoretis akan memberikan pedoman dalam memahami tradisi dapat dilihat

dari aspek waktu yaitu pada masa lalu, kini, dan nanti. Selanjutnya Sibarani

menyatakan lagi :

Universitas Sumatera Utara


Tanpa membongkar ketiga dimensi itu penelitian tradisi lisan
hanya sebagai inventarisasi yang akan tersimpan di perpustakaan.
Teori ini akan dilengkapi oleh teori pragmatis yang berusaha untuk
melihat manfaat sebuah tradisi, betapapun abstraknya, mulai dari
pemahaman tradisi masa lalu, mengaitkannya dengan manfaat
masa kini dan proyeksi manfaat pada masa mendatang.

Buah pemikiran terbentuk tak terlukiskan (inefable) yang dapat “dinamai”

dan dapat diinterpretasikan/ dijelaskan yang keseluruhannya sebagai realitas yang

memberikan tiga peluang interpretasi pada setiap tanda yang menjadi tanda yang

dimaksudkan atau tanda itu sendiri (in itself), sehingga ada hubungan masing-

masing tanda, petanda, dan penanda sebagai perantara di atara objek dan

interpretan. Penjabaran trikotomi dalam sepuluh tanda antara lain: 1) qualisign,

sinsign, dan legisign,2) ikonis, indeks, dan simbol , 3) term (rheme), proposisi

(dicent), dan argument, agar lebih jelas perhatikan tabel di bawah ini:

Tabel 1
Klasifikasi Sepuluh Tanda yang Utama dari Peirce
(Noth 1996:45)
Relasi dengan Relasi dengan Relasi dengan
representamen objek Interpretan
Kepertamaan Bersifat potensial Berdasarkan Terms (rheme)
(firstness) (qualisign) keserupaan (ikonis)
Keduaan Bersifat Berdasarkan Suatu pernyataan
(secondness) keterkaitan penunjukkan yang bisa benar bisa
(sinsign) (indeks) salah (proposisi atau
dicent)
Ketigaan Bersifat Berdasarkan Hubungan proposisi
(thirdness) kesepakatan kesepakatan yang dikenal dalam
(legisign) (simbol) bentuk logika tertentu
(internal) (argumen)

Mengamati tabel di atas semiotik pragmatik berfungsi untuk

merekonstruksi proses tanda dalam konsep berkomunikasi, pengembangan suatu

tanda menjadi tanda yang lainnya terus berkembang dalam konsep komunikasi

pada masyarakat yang berbudaya. Sehingga setiap masyarakat yang berbudaya

dapat mengamati, memperhatikan, dan memaknai adanya hubungan masing-

Universitas Sumatera Utara


masing tanda, petanda, dan penanda sebagai perantara di antara objek dan

interpretan pada konsep upacara adat mangupa horja godang , maka perlulah

dengan jeli meretas makna tanda yang digunakan komunitas adat dalam

menyampaikan pesan sebagai bagian komunikasi diantara komunitas sebagai

bentuk ikatan dan pemahaman makna tanda tersebut.

3) Memahami Simbol-simbol

Telah dijabarkan pada segitiga semiotik di atas (lihat gambar 3) lebih jelas

Charles Sanders Peirce mengungkapkan bahwa ada tiga komponen tanda yaitu: 1)

representemen, yaitu bentuk yang menyatakan tanda atau „kenderaan tanda‟ setara

dengan penanda (signifier), 2) interpretant, yaitu makna yang didatangkan dari

tanda itu atau „makna‟ yang dibuat seseorang; setara dengan signified, dan 3)

object, yaitu sesuatu yang berada di luar tanda yang merupakan acuan.

Proses semiosis terjadi melalui proses “logical argumentation” dalam

urutan abduksi, deduksi, dan induksi kemudian melalui “sistem triadic”, yakni

relasi antar unsur tanda dengan mengkaji setiap tahap dan kaitan masing-masing

dalam konsep semiosis secara langsung atau tidak langsung antara objek dan

realitas (garis terputus pada gambar 1). Pada tahap semiosis Hubungan triadik

semiosis antara tanda (ground/ representament), objek dan interpretant diperjelas

dengan tiga trikotomi menurut Pierce seperti yang diuraikan pada bagan di bawah,

Noth (1995:44-45), Susanto (2005:230-231), dan Sibarani (2012:255-256).

Tabel 2
Rangkuman Tiga Trikotomi Tanda Menurut Peirce
1. Qualisign Sinsign Legisign
G
R (suatu kualitas yang (sin = “hanya sekali”, (Hukum atau
O merupakan suatu tanda, peristiwa yang konvensi yang
U
N
mis “keras” suara sebagai merupakan sebuah berupa tanda. Setiap
D tanda) tanda, mis “keruh” tanda konvensional

Universitas Sumatera Utara


pada sungai sebagai adalah legisign, mis
tanda hujan di hulu) rambu lalu lintas
sebagai tanda)
2. Ikon Index (petunjuk) Symbol
O
B (Tanda yang penanda dan (Tanda yang penanda (Sebuah tanda yang
J petandanya ada kemiripan, dan petandanya ada penanda dan
E
K
mis potret, peta) hubungan alamiah, petandanya arbitrer
mis asap) konvensional, mis
kata-kata)
3. Rheme Dicent Sign Argument
I
N (Tanda suatu (Tanda eksistensi (Tanda suatu aturan,
T kemungkinan kualitatif, aktual suatu objek, yang langsung
E
R
yaitu yang memungkinkan mis. Tanda larangan memberikan alasan,
P menafsirkan berdasarkan parkir adalah mis. Gelang akar
R pilihan, mis “mata merah” kenyataan tidak boleh bahar dengan alasan
E
T
bisa baru menangis, tapi parkir) kesehatan)
A bisa juga yang lain)
N
T

Penelitian tradisi lisan yang bertujuan untuk menggali nilai dan norma

budaya perlu mempertimbangkan penerapan berbagai teori agar dapat

mengangkat nilai dan norma budaya itu. Bungin (2006:7-8) menjelaskan ilmu

sosial-budaya yang mengkaji penelitian kualitatif ada 4 (empat) “aliran teori”

dalam yang meliputi: 1) teori tentang budaya, 2) teori tentang fenomenologi, 3)

teori tentang etnometodologi, dan 4) teori tentang interaksionisme simbolik

Aliran pertama, yaitu teori-teori tentang budaya, dapat disederhanakan

menjadi dua kelompok besar, yaitu (1) aliran teori yang memandang budaya

sebagai suatu sistem atau organisasi makna. Budaya dianggap semacam pita

kesadaran tempat tersimpan memori kolektif suatu kelompok masyarakat tentang

mana yang dianggap benar dan mana yang dianggap salah, mana yang dianggap

baik dan mana yang dianggap buruk, serta mana yang dianggap lebih berharga

dan mana yang dianggap kurang berharga; (2) aliran teori yang memandang

budaya sebagai sistem adaptasi suatu kelompok masyarakat terhadap

lingkungannya. Budaya ditempatkan sebagai keseluruhan cara hidup suatu

Universitas Sumatera Utara


masyarakat yang diwariskan, dipelihara, cara hidup suatu masyarakat yang

diwariskan, dipelihara, dan dikembangkan secara turun menurun sesuai dengan

tuntutan lingkungan yang dihadapi.

Sibarani (2012:260-266) menjelaskan teori budaya yang memandang

budaya sebagai sistem atau organisasi makna tersebut, memahami tradisi lisan

bukan hanya memahami bentuk (struktur teks, ko-teks, dan konteks) sebagai

lapisan permukaan (surface behavior), tetapi harus sampai pada isi (makna dan

fungsi, nilai dan norma budaya serta kearifan lokal) ke lapisan paling dalam (tacit

knowledge). Tradisi lisan dan lapisan luar (outer layer) hanya memperlihatkan

sesuatu yang dapat ditonton, didengar dan dinikmati secara empiris, tetapi lapisan

tengah (middle layer) suatu tradisi lisan akan memperlihatkan makna, fungsi, nilai,

dan norma tradisi lisan tersebut, sedangkan bagian inti (the core layer) akan

memperlihatkan kearifan lokal yang menjadi keyakinan, kepercayaan dan asumsi

dasar yang dapat menyelesaikan persoalan hidup yang dihadapi manusia dalam

komunitasnya. Dalam uraian sebelumnya ketiga hal itu disebut dengan lapisan

bentuk (teks, ko-teks, dan konteks), lapisan isi (makna dan nilai budaya), dan

lapisan kearifan lokal. Lapisan bentuk itu dapat juga dinamai dengan lapisan

permukaan (the surface layer), lapisan isi dinamai dengan lapisan tengah (the

middle layer), sedangkan lapisan kearifan lokal dinamai dengan lapisan inti (the

core layer).

Teori budaya yang memandang budaya sebagai sistem adaptasi

menyiratkan bahwa tradisi lisan sebagai gambaran atau cerminan kehidupan

komunitas yang harus diwariskan yang mengalami transformasi yang sesuai

perkembangan zaman. Teori ini sangat penting untuk membicarakan bagaimana

Universitas Sumatera Utara


model revitalisasi dan pengelolaan tradisi lisan dapat berterima dan hidup di

tengah-tengah komunitasnya. Atas dasar teori adaptasi budaya ini, adalah sangat

penting meneliti dan merumuskan model revitalisasi serta melakukan pengelolaan

tradisi lisan sebagai bagian dari pewarisan budaya.

Aliran teori fenomenologi yang pada dasarnya berpandangan bahwa apa

yang tampak di permukaan (surface behavior atau outer layer), termasuk pola

perilaku manusia sehari-hari hanyalah suatu gejala atau fenomena dari apa yang

tersembunyi di “kepala” sang pelaku. Perilaku apapun yang tampak di tingkat

permukaan baru bisa dipahami atau dijelaskan manakala bisa mengungkap atau

membongkar apa yang tersembunyi karena realitas itu bersifat subjektif dan

maknawi. Sesuai pada persepsi, pemahaman, pengertian dan anggapan-anggapan

seseorang.

Di situlah letak kunci jawaban terhadap apa yang terekspresi atau

menggejala di tingkat perilaku. Tanpa memahami dunia konseptual para pelaku

dipandang mustahil bisa memahami berbagai gejala yang muncul di tingkat

permukaan. Karenanya, proses penghayatan (verstehen) menjadi sangat

diperlukan untuk bisa memahami berbagai rupa fenomena sosial sehari-hari.

Untuk itu, peneliti perlu membenamkan diri sedemikian rupa ke tengah situasi

komunitas bersama-sama dengan orang-orang yang sedang diteliti sehingga

diperoleh suatu tingkat penghayatan yang semendalam mungkin.

Sibarani (2012:258-259) oleh karena budaya seperti tradisi lisan yang

dimiliki suatu kelompok menampakkan diri secara berlapis-lapis, maka lapisan

demi lapisan perlu dibuka untuk dapat memahaminya. Untuk memahami budaya

suatu kelompok masyarakat, tidak ada jalan lain terkecuali harus menghunjam

Universitas Sumatera Utara


hingga ke lapisan inti (the core) karena lapisan inti itulah yang bisa menjelaskan

bagaimana etos, jiwa atau watak khas suatu kelompok masyarakat. Oleh karena

itu, pendekatan penelitian yang tidak hanya bergerak di tingkat permukaan

(surface behavior), tetapi juga menghunjam hingga ke tingkat paling dalam (tacit

knowledge). Karenanya, para peneliti budaya lazim menyatakan:

1) The ethnographer observes behavior, but gos beyond it to


inquire about the meaning of that behavior “
Di kala peneliti etnografi mengobservasi perilaku, dia pergi lebih
jauh ke seberangnya untuk menyelidiki makna perilaku itu”.
2) The ethnographer sees artifacts and natural objects, but goes
beyond them to discover what meaning assigned to those
objects.„
Di kala peneliti etnografi melihat artefak dan benda-benda alam,
dia pergi lebih jauh ke seberangnya untuk menemukan makna
apa yang ada dalam benda-benda itu”.
3) The ethnographer observes and records emotional states, but
goes beyond them to discover the meaning of fear, anxiety, anger,
and other feelings.
“Di kala peneliti etnografi mengobservasi dan merekam
keadaan-keadaan yang emosional, dia pergi lebih jauh ke
seberangnya untuk menemukan makna ketakutan, kegelisahan,
kemarahan atau perasaan-perasaan lain.”
Di kala peneliti etnografi mengobservasi perilaku, dia pergi lebih
jauh ke seberangnya untuk menyelidiki makna perilaku itu.”

Paparan di atas dapat disimpulkan, peneliti etnografi dalam mengkaji

objek penelitian harus lebih teliti mengamati untuk menemukan makna yang ada

pada objek penelitian, ketika peneliti etnografi mengobservasi perilaku, harus

lebih dalam menyelidiki makna perilaku, jika melihat objek kajian artefak dan

benda-benda alam, benda budaya harus lebih jauh meretas makna sebab-sebab,

manfaat dan makna yang ada pada benda-benda alam/ budaya. Jika peneliti

etnografi mengobservasi dan merekam fenomena objek emosional, harus teliti

menemukan dan menyingkap makna dari setiap fenomena dan strata emosional

ketakutan, kegelisahan, kemarahan atau perasaan-perasaan lain

Universitas Sumatera Utara


Menempatkan budaya sebagai suatu sistem adaptasi juga menuntut

pendekatan penelitian yang tidak saja mendalam, tetapi harus holistik karena

budaya dalam perspektif ini juga dipandang sebagai suatu kombinasi antara bias

budaya (berupa norma, nilai, dan kepercayaan) dan preferensi di tingkat perilaku,

suatu gabungan segi-segi bersifat kognitif dan segi-segi bersifat behavioral.

Karenanya, untuk memahami budaya suatu kelompok masyarakat diperlukan

suatu corak penelitian yang bersifat holistik, mementingkan perspektif emik, dan

mendalam hingga ke inner behavior (perilaku bagian dalam).

Pengkajian tradisi lisan yang dikemukakan oleh Sibarani (2012:262-266)

teori fenomenologi ini dapat diterapkan dengan memperlihatkan bahwa apa yang

tampak dalam bentuk atau struktur permukaan (teks, ko-teks, dan konteks)

hanyalah merupakan gejala atau fenomena yang terjadi karena adanya yang

tersembunyi dari dalamnya, yang tersembunyi itu adalah isi (nilai, norma budaya

atau kearifan lokal) sebagai kmangupa horja godang an tradisi lisan. Teori

fenomenologi secara tidak langsung mensyaratkan bahwa nilai atau kearifan yang

berada pada lapisan tengah dan lapisan inti itulah yang lebih dahulu dipahami

untuk dapat memahami lapisan luarnya. Pemahaman terhadap isi tradisi lisan

yang tersembunyi itu dengan cara proses penghayatan (verstehen) juga sangat

diperlukan. Untuk itu, teori fenomenologi sejalan dengan paradigma penelitian

kualitatif.

Pada aliran teori etnometodologi pada dasarnya relatif serupa dengan

aliran fenomenologi karena kehadiran etnometodologi itu sendiri juga diilhami

oleh fenomenologi. Keduanya bisa dikatakan semacam “saudara kandung”.

Sebagai saudara muda yang datang lebih kemudian, etnometodologi secara lebih

Universitas Sumatera Utara


cerdik berargumen bahwa ungkapan sehari-hari, isi percakapan sehari-hari di

tengah masyarakat bisa dijadikan indikasi bagaimana kerangka berpikir beserta

asumsi-asumsi mereka di dalam memahami, menafsirkan, dan menyikapi berbagai

hal yang dihadapi. Diyakini bahwa “cara kerja” ilmuwan (melakukan observasi

dan menafsirkan) juga berlangsung dalam kehidupan sehari-hari di tengah

masyarakat, dan itu dilakukan oleh siapapun juga, termasuk orang awam

sekalipun. Itu dimungkinkan oleh adanya basis perbendaharaan “metodologi”

yang berupa kerangka pemikiran, asumsi, dalil dan teori sehari-hari.

Basis perbendaharaan “metodologi” dalam mengamati, menafsirkan,

mengkonstruksikan, dan menyikapi berbagai hal sebagai bentuk ungkapan,

percakapan sehari-hari. Oleh karena itu, realitas sosial sesungguhnya bersifat

konstruksi sosial (sosially constructed). karena fenomena sosial dalam kehidupan

merupakan suatu pancaran dari pola pikir, jalan pemikiran, dalil, teori, serta

anggapan-anggapan yang tersimpan di dunia kesadaran sang manusia pelaku.

Pada etnometodologi yang analisis adalah performansi percakapan beserta

ekspresi-ekspresi indeksikal yang muncul di tingkat interaksi, agar dapat

memahami makna dan kerangka berpikir. Maka, diperlukan proses observasi

terhadap percakapan sehari-hari di tingkat interaksi sehingga dipahami bagaimana

sesungguhnya susunan “struktur dalam” yang menjadi kerangka berpikir, dalil,

teori, serta asumsi-asumsi mereka dalam memahami, mengkonstruksi, dan

menyikapi sesuatu hal. Jadi, teori etnometodologi membutuhkan peneliti

berinteraksi secara terus-menerus dengan objek yang ditelitinya sesuai dengan

karakteristik paradigma kualitatif.

Universitas Sumatera Utara


Lebih jauh Sibarani (2012:265-266) menjelaskan aliran interaksionisme

simbolik, memiliki tiga premis utama, yaitu:

1) Manusia bertindak terhadap sesuatu (benda, orang, atau ide) atas dasar makna

yang diberikan kepada sesuatu itu,

2) Makna tentang sesuatu itu diperoleh, dibentuk dan direvisi melalui proses

interaksi dalam kehidupan sehari-hari, dan

3) Pemaknaan terhadap sesuatu dalam bertindak atau berinteraksi tidaklah

berlangsung melalui mekanisme tertentu, melainkan melibatkan proses

interpretasi. Itu menunjukkan bahwa tindakan dan pemahaman manusia

terhadap sesuatu kental bersifat situasional, yaitu bergantung pada definisi

situasi yang dihadapi di tingkat interaksi itu sendiri .

Dengan teori interaksionisme simbolis, peneliti tradisi lisan berusaha

mengungkapkan makna yang dikandung tradisi lisan dengan cara

menginterpretasi segala simbol-simbol yang ada dalam tradisi lisan. Interpretasi

terhadap simbol-simbol itu didapatkan melalui proses interaksi yang “akrab” dan

“terus-menerus” dengan tradisi lisan. Melalui interaksinya yang “akrab” dan

“terus-menerus” dengan tradisi lisan, peneliti tradisi lisan akan memahami makna,

nilai dan norma simbol-simbol yang ada dalam tradisi lisan. Teori interaksionisme

simbolis membutuhkan teknik interpretasi yang ditawarkan oleh semiotik.

Pendekatan etnografi dalam tradisi lisan mangupa horja godang adat

Angkola masih relevan diterapkan untuk penelitian tradisi lisan atau tradisi

budaya. Pendekatan etnografi melakukan penelitian dengan melakukan deskripsi

secara etnik tentang tradisi mangupa horja godang dengan tujuan idealnya adalah

membuat profiling dan pendeskripsian tentang objek penelitian dengan hasil

Universitas Sumatera Utara


sebuah deskripsi informatif yang dapat dimanfaatkan untuk publikasi dan sumber

rekomendasi tentang pengembangan objek penelitian. Dalam hal ini, pendekatan

etnografi, jenis etnografi apa saja, dapat dimanfaatkan untuk penelitian tradisi

lisan apabila penelitian itu bertujuan untuk membuat profiling dan pendeskripsian

sebuah tradisi lisan. Sumber informasi awal penelitian tradisi mangupa horja

godang adat Angkola dalam pendekatan etnografi berasal dari keadaan tradisi

lisan itu sekarang ini di tengah-tengah komunitasnya. Berawal dari keadaan tradisi

lisan sekarang ini, peneliti dapat menggali keadaan pewarisan masa lalu tradisi

lisan dan kemudian pendeskripsian model pewarisan tradisi lisan itu ke masa

depan.

Kajian berbagai perspektif kajian untuk mengurai objek tradisi lisan

mangupa horja godang maka dilakukan pendekatan yang dipaparkan di atas dapat

disimpulkan pengkajian ilmu sosial-budaya yang mengkaji suatu penelitian

kualitatif ada 4 (empat) “aliran teori” dalam yang meliputi: 1) teori tentang

budaya, 2) teori tentang fenomenologi, 3) teori tentang etnometodologi, dan 4)

teori tentang interaksionisme simbolik.

4) Teori upacara sesaji Smith

W. Robertson Smith (1846-1894) dalam bukunya berjudul: Lectures on

Religion of The Semithes (1889) yang berisikan tentang teori sesaji yang

dijabarkan oleh Koentjaraningrat (1987:67-68) ada tiga hal yang fundamental

dalam melakukan upacara/ religi: a) Keyakinan masyarakat dan doktrin, b)

pelaksanaan upacara dilaksanakan oleh masyarakat, dan c) penyajian upacara

biasanya dengan menyertakan hewan sebagai bahan upacara tersebut.

Universitas Sumatera Utara


Komunitas adat memiliki sistem keyakinan upacara adat sebagai

perwujudan pemahaman atas keyakinan masyarakat adat, tetapi setelah masuknya

agama Islam dan Kristen ke Angkola pelaksanaan upacara adat terjadi akulturasi

dalam pelaksanaan upacara, yang disesuaikan dengan latar belakang keyakinan

Agama Islam atau Kristen. Pelaksanaan upacara mangupa horja godang adat

Angkola dilaksanakan oleh masyarakat memiliki fungsi sosial, sehingga kegiatan

upacara membangun egaliter dan solidaritas sesama komunitas adat. di samping

itu, masyarakat yang terbentuk atas dalihan na tolu sehingga ada ikatan yang kuat

antara sesama komunitas adat, yang terbangun menjadi tatanan adat cukup erat.

Sehingga, terbentuk menjadi bertanggung jawab pada tatanan dalihan na tolu.

Setiap penyajian upacara ada hewan yang digunakan sebagai bahan

upacara tersebut, karena bahan mangupa horja godang terdiri atas telur, ayam,

kambing, dan kerbau hal itu disesuaikan dengan besar kecilnya upacara mangupa

horja godang . Walaupun kini yang terlihat bahan mengupa yang besar pada

upacara perkawinan tetap ada kepala kambing yang masih utuh 4 kakinya, ayam,

dan telur yang diletakkan di atas anduri (tampi/ tampah). Apakah tidak ada

akulturasi yaitu terjadinya proses saling memengaruhi kebudayaan yang lambat

laun diakomodasi dan diintegrasikan ke dalam adat istiadat Angkola.

Hal sesuai ini sesuai yang dijabarkan R. Linton (1984:357-360) yaitu,

terjadinya perbedaan percepatan budaya inti (covert culture) dengan budaya

lahiriah (overt culture). Karena budaya inti yang merupakan sistem keyakinan,

nilai budaya, adat istiadat yang dipelajari sejak dini akan sulit berubah,

dibandingkan dengan budaya lahiriah berupa benda-benda fisik, rumah, gaya

hidup, mode, pakaian. Jadi, hewan sebagai sajian yang semulanya digunakan

Universitas Sumatera Utara


sebagai persembahan sebelum masuknya agama Islam dan Kristen, kini hewan

sajian pada upacara mangupa horja godang hanya sebagai wadah untuk

melengkapi upacara mangupa horja godang , yang digunakan sebagai benda

kiasan yang dimaknai sebagai pedoman hidup bermasyarakat.

2.2.6 Fungsi dan Makna

Pengkajian fungsi dan makna sebagai langkah memahami isi tradisi lisan

mangupa horja godang agar dapat menemukan nilai-nilai kearifan lokal sebagai

inti upacara mangupa horja godang adat Angkola. Dengan memahami fungsi dan

makna pada tingkatan isi yang pertama dan pada tingkatan kedua akan mengkaji

nilai-nilai kearifan lokal yang merupakan nilai dan norma budaya dalam menata

kehidupan sosial secara arif. Fungsi tradisi lisan mangupa horja godang bagi

masyarakat adat Angkola terbentuk dari keyakinan yang terpatri cukup baik

dengan sesuatu yang tidak terlihat (digora na so tarida) yang bersifat mistis. Agar

yang tidak terlihat (digora na so tarida) tidak mengganggu keberlangsungan

hidup berumah tangga maupun pribadi secara personal.

Tradisi lisan mangupa horja godang bagi masyarakat adat Angkola juga

berfungsi untuk meningkatkan harkah (prestise), merasa terhormat (mora), tradisi

lisan mangupa horja godang dipercaya akan melanggengkan perkawinan hingga

ke anak cucu. Di samping itu, tradisi lisan mangupa horja godang berisi tuntunan

hidup berumah tangga sebagai pedoman hidup berumah berumah tangga. Tradisi

lisan mangupa horja godang berfungsi melegitimasi keturunan. Tradisi lisan

mangupa horja godang memiliki bagi masyarakat adat Angkola memiliki empat

fungsi sesuai dengan yang dikemukakan oleh Bascom.

Universitas Sumatera Utara


Makna yang dapat dipetik dari nasihat hidup dapat dipedomani sebagai

tuntunan hidup berumah tangga yang disampaikan oleh tokoh adat dalihan natolu

dan seluruh keluarga. Tradisi lisan mangupa horja godang adat memiliki makna

pada bahan-bahan pangupa yang digunakan dari tumbuh-tumbuhan, hewan dan

dari alam yang diretas dari makna bahan-bahan pangupa tersebut.

2.2.7 Nilai-nilai dan Norma

Memahami nilai dengan baik, maka perlu dilakukan perbandingan dengan

fakta pada konteks tradisi lisan agar unsur nilai tradisi yang ada pada tradisi

tersebut dapat diretas, sehingga nilai tradisi lisan dapat diterima setiap orang

walaupun menurut apresiasi setiap orang nilai tersebut dapat berbeda-beda (Sinar

dan Takari, 2015:22).

Sejalan dengan pendapat di atas, Ndraha (2005:30) menjelaskan konsep

nilai yang bersifat abstrak, nilai yang tidak dapat dipahami tanpa dikaitkan

dengan tanda tertentu, misalnya nilai “hormat” yang terkandung dalam hati

hanya bisa dilihat (kelihatan) jika diungkapkan melalui “anggukan kepala”.

Sebaliknya anggukan kepala tidak hanya berfungsi sebagai tanda nilai “hormat”

tetapi juga alat untuk menyatakan nilai “persetujuan”, “ya” atau “nilai gembira”

mengikuti irama musik. Nilai menunjukkan arti atau guna. Jadi, setiap yang

mengandung arti (dalam arti makna) atau guna (mannfaat, nikmat bagi pelaku

budaya dan bagi lingkungannya tertentu disebut bernilai.

Memahami nilai dengan baik perlu dilakukan pengkajian serta

perbandingan fakta pada objek tradisi lisan (teks, ko-teks, dan konteks) agar

unsur nilai tradisi yang ada pada tradisi tersebut dapat diretas, sehingga nilai

tradisi lisan dapat diterima setiap orang, walaupun apresiasi setiap orang tentang

Universitas Sumatera Utara


nilai tersebut dapat berbeda-beda. Tradisi lisan merupakan produk kultural,

memang berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas

pemiliknya, misalnya sistem nilai, kepercayaan dan agama, kaidah-kaidah sosial,

etos kerja, bahkan cara bagaimana dinamika sosial itu berlangsung (Pudentia,

2003:1).

Kata-kata nasihat yang disampaikan pada upacara mangupa horja godang

inilah yang merupakan objek kajian, sehingga yang menjadi kajian adalah nilai-

nilai yang telah tertanam dalam diri komunitas adat dan lingkungannya, melalui

kata nasihat, cara, benda-benda yang diharuskan ada agar upacara mangupa

horja godang dapat diselenggarakan (seperti sirih, telur, ayam, kambing, lembu

dan lain-lain). Pada upacara mangupa horja godang akan dikaji transmisi nilai-

nilai tradisi lisan upacara mangupa horja godang lebih berguna, lebih

bermanfaat, dan memiliki nilai-nilai yang bermakna sehingga, upacara dapat

menjadi perekat komunitas adat.

Oleh karena itu, transmisi nilai memerlukan cara dan alat atau media

yang disertakan pada upacara adat mangupa horja godang agar dapat dinyatakan

dalam bahasa, diamati, dirasakan, dan ditransmisikan menjadi nilai-nilai ko-teks

(vehicle) menganggukkan kepala, memberikan beras kuning ke kepala,

memberikan tepung tawar, menyerahkan daun sirih (manyurduon burangir), dan

meletakkan perangkat upa-upa ke atas kepala. Dinamika kegiatan upacara

mangupa horja godang akan dilihat kajian nilai yang telah tertanam pada

kegiatan tersebut, sehingga semakin dalam mengkaji ko-teks (vehicle), akan

semakin banyak pula nilai-nilai yang terbungkus pada upacara mangupa horja

Universitas Sumatera Utara


godang akan dapat pula meretas nilai-nilai kearifan lokal yang tersembunyi

dapat diungkap.

Penegasan pentingnya memahami tradisi lisan mangupa horja godang

sebagai warisan budaya, disebabkan bahasa yang digunakan pada tradisi lisan

mangupa horja godang mengandung nilai-nilai filosofis adat yang tercermin

pada performansi nilai-nilai adat, nilai-nilai kekerabatan, norma-norma adat,

nilai-nilai estetis serta nilai-nilai lainnya.

Barthes (1957:140-142) ada tiga ciri-ciri nilai, yaitu: 1) nilai yang

berkaitan dengan subyek; 2) nilai tampil dalam konteks praktis, di mana subyek

ingin membuat sesuatu; 3) nilai menyangkut sifat-sifat yang „ditambah‟ oleh

subyek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh obyek, nilai tidak dimiliki oleh obyek.

Barthes (1966:8) lebih jauh menjabarkan kajian semiotik ada tiga tataran

yang perlu dikemukakan yaitu:

 Tataran peristiwa, yaitu hubungan unsur-unsur teks secara sintagmatik

(bunyi, unsur suprasegmental, kalimat)

 Tataran tindakan, yaitu hubungan unsur-unsur teks secara paradigmatik.

Aspek semantika yaitu aspek yang hadir yang memiliki hubungan dengan

unsur yang dalam teks dengan acuannya (di luar dunia kebahasaan) atau

disebut aspek in absentia, yaitu hubungan antara unsur yang hadir dalam

teks yang tidak hadir dalam teks, ada dalam pemikiran pendengar/

pembaca seperti: semiotik, semantik,

 Tataran pengujaran (discours).

Sejalan dengan pendapat yang dikemukan Rolland Barthes, juga

dikuatkan oleh Fortes dalam Tilaar (2000:54-55), dari pewarisan budaya sebagai

Universitas Sumatera Utara


variabel-variabel yang perlu dicermati yakni: unsur-unsur yang ditransmisikan

(diwariskan), proses pewarisan, dan cara pewarisannya. Yang ditransmisikan

adalah unsur-unsur yang diwariskan sebagai nilai-nilai budaya, tradisi-tradisi

masyarakat, filosofis dan pandangan hidup masyarakat yang mengandung

kearifan lokal, kebenaran esensial, dan ide. Pengetahuan tradisional atau

indigenous knowledge (IK) memungkinkan masyarakat pemilik dan atau

pendukung sebagai kearifan lokal atau lokal wisdom dan menjadikan upacara

mangupa horja godang adat sebagai elemen yang mempererat persaudaraan

pada komunitas adat.

Peletak teori dasar nilai dirintis oleh Clyde Kluckhohn dan Florence

Kluckhohn, mereka merupakan sepasang suami istri yang menguraikan berbagai

tulisan tentang orientasi teori nilai (1951;1953;1956). Pengembangan konsep

teori nilai jabarkan lebih mendalam oleh Florence Kluckhohn dan Strodtbeck

dalam buku Variations in Value Orientation (1961) kelima bagian ini dianggap

sebagai orientasi nilai budaya (value orientations) kelima nilai budaya tersebut

menjabarkan tentang nilai-nilai yang paling tinggi dalam kebudayaan hidup

manusia ada lima hal: a) human nature, atau makna hidup manusia; b) man

nature, makna hubungan manusia dengan alam sekitarnya; c) time, persepsi

manusia tentang waktu; d) activity, nilai pekerjaan, karya, dan amal perbuatan

manusia; e) relational, hubungan manusia dengan sesama manusia. Lebih jauh

pemahaman konsepsi pemaknaan nilai hidup manusia adalah penderitaan dan

keprihatinan (evil) sebagai orientasi nilai budaya, di sisi yang lain kehidupan

adalah sumber kesenangan, keindahan, kenyamanan (good).

Universitas Sumatera Utara


Pemahaman kebudayaan tentang hubungan manusia dengan alam

bervariasi, ada yang berasumsi bahwa alam itu ganas secara alami sehingga

budaya tertentu perlu mengajarkan bagaimana meretas rahasia dan bagaimana

dapat hidup dan berdampingan dengan alam. Sehingga, pemahaman konsepsi

alam dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga terjadi

keselarasan hidup dengan alam. Pengajaran budaya hidup berdampingan dengan

alam telah ditanamkan kepada komunitas adat sejak masih kecil.

2.2.8 Kearifan Lokal

Upacara adat merupakan sistem pemenuhan kebutuhan yang meliputi

seluruh anasir kehidupan seperti: agama, pengetahuan adat istiadat, kerja keras,

organisasi sosial, kesenian, dan identitas masyarakat adat. Upacara adat

seharusnya terus dipertahankan dan dikembangkan karena mampu mengatur tata

cara yang kehidupan bermasyarakat sehingga tatanan masyarakat lokal lebih terib

dan teratur. Upacara adat pada setiap komunitas memiliki nilai-nilai kearifan lokal

sebagai pengetahuan yang diperoleh dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Kearifan lokal tersebut dijadikan pedoman atau acuan oleh masyarakat dalam

bertindak atau berperilaku dalam praksis kehidupannya.

Kearifan lokal sebagai pengetahuan yang diperoleh dengan berbagai

strategi yang dilakukan secara turun temurun yang diwujudkan dalam aktifitas

keseharian oleh masyarakat lokal untuk menghadapi persoalan kehidupan dan

memenuhi berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari. Kearifan setempat yang

dianggap sebagai pengetahuan setempat dalam menjawab berbagai persoalan

Universitas Sumatera Utara


kehidupan bermasyarakat sering disebut dengan“lokal wisdom” atau pengetahuan

setempat “lokal knowledge”atau kecerdasan setempat “lokal genious”.

Menurut Avonina (2006) kearifan lokal yaitu segala sesuatu yang terkait

dengan bentuk-bentuk tradisional sebagai suatu berdasarkan budaya tertentu.

Kearifan lokal diperoleh dalam berinteraksi dengan komunitas adat sehingga

terciptalah kedamaian rasa tenteram dalam interaksi dengan interaksi itu diperoleh

nilai-nilai kebaikan, sehingga tercipta kepribadian yang santun sebagai cermin

nilai-nilai adat yang teratur.

Di sisi yang lain, pada tradisi lisan terkandung nilai-nilai kearifan lokal,

yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara

arif dan bijaksana yang pada gilirannya membentuk karakteristik etnik yang

berkepribadian budaya lokal. Sehingga, dengan pengetahuan lokal dapat mengatur

tatanan kehidupan masyarakat yang terbias pada nilai-nilai luhur yang dapat

cerminkan nilai-nilai budaya. The lokal wisdom is the community‟s wisdom or

lokal genius deriving from the lofty value of cultural tradition in order to manage

the community‟s social order or social life.

Kearifan lokal memiliki elan vital karena berkaitan kebiasaan, suatu

tradisi budaya sehingga menjadi tuntunan yang tidak tertulis tetapi tertanam serta

diikuti oleh anggota masyarakat suatu komunitas. Hal ini ditegaskan oleh

Rahyono (2009:4-11) kearifan akan menghasilkan nilai-nilai dan norma-norma

yang luhur untuk kepentingan hidup bersama. Pada tahap penerapan, kearifan

akan mengarahkan penerapan nilai-nilai dan norma-norma tersebut dalam wujud

perilaku secara benar, bukan menyimpangkan atau membelokkan nilai ataupun

norma tersebut untuk kepentingan individual.

Universitas Sumatera Utara


Kearifan lokal atau lokal genius sebagai kecerdasan etnik yang dimiliki

oleh komunitas yang diperoleh melalui pengalaman hidup sebagai ciri-ciri budaya

etnik. Dengan kata lain, seorang anggota masyarakat budaya menjadi cerdas

berkat pengalaman hidup yang dihayatinya. Ia memiliki kecerdasan karena proses

belajar yang dilakukannya dalam perjalanan pengalaman hidup. Kearifan budaya

selayaknya dihayati dan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat secara

berkesinambungan. Kearifan secara terus-menerus diterapkan dalam kehidupan

akan meningkatkan martabat komunitas adat.

Pada hakikinya, nilai yang terkandung pada tradisi lisan sebagai sesuatu

yang menyangkut baik dan buruk, sedangkan norma adalah sesuatu yang

menyangkut benar dan salah. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang baik dan buruk

dapat disebut sebagai nilai dan sesuatu yang benar dan salah disebut norma. Nilai

dan norma budaya merupakan pedoman atau prinsip umum yang dianut oleh

setiap anggota masyarakat terutama dalam bersikap, berperilaku, dan juga menjadi

patokan untuk mengevaluasi dan mencermati bagaimana individu dan kelompok

bertindak dan berperilaku. Sistem nilai dan norma pada umumnya begitu kuat

meresap dan berakar di dalam jiwa masyarakat sehingga menjadi bagian dari

keyakinannya. Karena telah berakar, maka sistem nilai dan norma itu sulit

berubah dalam waktu yang singkat. (Sibarani 2012: 179). Nilai dan norma budaya

yang dapat digunakan untuk menata kehidupan manusia itulah yang disebut

dengan kearifan lokal.

Nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal dapat tercermin dalam

kehidupan sehari-hari. Adapun kearifan lokal yang mencerminkan nilai budaya

diantaranya adalah kesejahteraan, kerja keras, disiplin, pendidikan, kesehatan,

Universitas Sumatera Utara


gotong-royong, pengelolaan gender, pelestarian dan kreativitas budaya, peduli

lingkungan, kedamaian, kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan sosial,

kerukunan dan penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif, dan rasa syukur

(Sibarani 2012:133-134) yang dikelompokkan menjadi kearifan lokal inti yakni

kearifan lokal kesejahteraan dan kearifan lokal kedamaian.

Pada masing-masing kearifan lokal terdapat kearifan lokal tambahan

(sebagai penunjang) sehingga terdapat beberapa jenis kearifan lokal yaitu kearifan

lokal inti (core lokal wisdoms) kesejahteraan yang meliputi budaya kerja atau

etos kerja, disiplin, pendidikan, kesehatan, gotong-royong, pengelolaan gender,

pelestarian dan kreativitas budaya, peduli lingkungan serta kearifan lokal inti

(core lokal wisdoms) kedamaian yang meliputi kesopansantunan, kejujuran,

kesetiakawanan sosial, kerukunan dan penyelesaian konflik, komitmen, pikiran

positif dan rasa bersyukur

Pengkajian tradisi lisan dalam masyarakat perlu dilakukan, sehingga

transformasi budaya sehingga paradigma dan sikap masyarakat harus diubah

yang menganggap tradisi lisan itu kuno, ketinggalan zaman. Yang berdampak

pada ketidak pedulian bahkan yang lebih parah lagi dengan membiarkan serta

menelantarkan tradisi lisan. Oleh karena itu, perlu menjaga tradisi lisan dalam

bentuk pendokumentasian yang berfungsi untuk mencegah dan atau

memperlambat terjadinya proses kepunahan.

Pengkajian yang dilakukan pada tradisi lisan, dapat bermanfaat untuk

memahami unsur-unsur kearifan lokal ditemukan dalam tradisi lisan mangupa

horja godang adat Angkola yang sarat dengan aturan-aturan dan seremonial adat

mangupa horja godang yang mengadung nilai-nilai kekeluargaan, nilai gotong

Universitas Sumatera Utara


royong, kerukunan, nilai falsafah kerukunan, nilai keikhlasan bekerja, nilai

identitas Dalihan na tolu sebagai penguat identitas, nilai estetis nasihat, sehingga

nilai-nilai kearifan lokal upacara mangupa horja godang dapat memiliki

penghargaan yang tinggi.

Dengan pengkajian tradisi mangupa horja godang akan lebih

menghargai nilai-nilai kearifan lokal yang terstruktur akan mengoptimalkan

cultural identity, yaitu suatu identitas/ kepribadian budaya bangsa yang

menyebabkan sebuah bangsa mampu menyerap dan mengolah kebudayaan daerah

sesuai watak dan identitas budaya setempat yang telah berlangsung secara turun

temurun dari generasi ke generasi.

Salah satu butir Agenda Pembangunan Jangka Pembangunan Menengah

Nasional Tahun 2004-2009 pada program 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu

adalah, revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal sebagai salah satu dasar

pengembangan etika pergaulan sosial untuk memperkuat identitas nasional; serta

meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap budaya dan produk-produk dalam

negeri. (Agenda Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009,

Program 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu, 2004:11) dalam sinar (2011:168).

Padahal sejatinya elan vital nilai-nilai budaya lokal perlu tereksplorasi

sebagai muatan dasar kurikulum pendidikan yang mampu menyerap nilai-nilai

kebudayaan lokal. Sehingga nilai-nilai kearifan lokal dapat terakomodir pada

kurikulum pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya lokal secara

terencana dan berkesinambungan pada kurikulum pendidikan, agar pendidikan

berkarakter kultur Angkola (Tapanuli) yang memiliki kemampuan memfilter dan

berkemampuan bertahan terhadap budaya luar.

Universitas Sumatera Utara


Tradisi mangupa horja godang Angkola merupakan sumber kearifan

lokal yang memerlukan perhatian agar tidak mati, karena semuanya merupakan

kenyataan hidup (living reality) yang tidak dapat dihindari dari manifestasi

gagasan dan nilai-nilai kearifan lokal sehingga saling menguatkan dan untuk

meningkatkan wawasan dalam saling mengapresiasi. Sehingga menjadi bahan

perbandingan untuk menemukan persamaan pandangan hidup yang berkaitan

dengan nilai kebajikan dan kebijaksanaan (virtue and wisdom).

Kearifan lokal (lokal wisdom) merupakan bagian dari sistem budaya yang

biasanya yang mengatur hubungan sosial kemasyarakatan. Setiap masyarakat

diharapkan mengembangkan kearifan lokal sesuai dengan kondisi lingkungan

sosialnya maupun lingkungan alamnya serta sistem pengetahuan adat istiadat

yang dimilikinya.

2.2.9 Revitalisasi Tradisi Mangupa horja godang Adat Angkola

Fishman (2001) memperkenalkan demokrasi budaya sebagai sesuatu yang

penting sebagai upaya-upaya pemeliharaan dan menghidupkan kembali budaya/

bahasa minoritas itu sebagai reformasi sosial yang membawa pada apresiasi

keindahan dan keberbedaan budaya lainnya. Penolakan terhadap hak-hak budaya

masyarakat minoritas merupakan persoalan tanggung jawab moral masyarakat

mayoritas tentang pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat. Hak budaya terletak

pada kelompok-kelompok etnokultural.

The denial of cultural rights to minorities is as disruptive of the


moral fabric of mainstream society as is the denial of civil rights.
Civil rights, however, are focused on the individual, while cultural
rights must focus on ethnocultural groups. Such groups have no
recognized legal standing in many Western democracies where
both establishment capitalist thought and anti-establishment

Universitas Sumatera Utara


Marxist thought prophesies the eclipse of culturally distinct
formations and the arrival of a uniformized, all-inclusive “modern
proletarian” culture. (Fishman, 1994:70)

Jadi, Kelompok etnis semacam ini tidak mengenal status hukum (legal

standing) dalam sistem demokrasi Barat umumnya. Pentingnya mempertahankan

dan memelihara bahasa dan budaya tersebut. Lebih jauh, Fishman menjabarkan

upaya untuk menghidupkan kembali budaya/ bahasa minoritas seharusnya

dilakukan secara sukarela dan lebih baik memfasilitasi dan memungkinkan

daripada menganggapnya sebagai kewajiban dan tanggung jawab.

Budaya yang terus berkembang sesuai dengan perubahan zaman,

berdampak pada terjadinya pergeseran suatu tradisi, begitu pula upacara mangupa

horja godang salah satu fenomenanya adalah pada upacara mangupa horja

godang adat Angkola yang biasanya dilaksanakan pada pagi hari (sebelum tengah

hari), tetapi kini telah terjadi pergeseran waktu pelaksanaan upacara mangupa

horja godang tersebut yaitu dilaksanakan pada sore hari setelah kembali dari

upacara adat to tapian raya bangunan (secara simbolik ke pinggir sungai).

Grenoble dan Whaley (2006) dalam Saragih (2010:1) menyebutkan,

revitalisasi merupakan proses penambahan daya (vitality) budaya/ bahasa yang

terancam kemusnahan dengan tujuan agar memenuhi fungsinya bagi

komunitasnya. Penambahan daya bahasa mencakupi upaya perlindungan dan

pengembangan bahasa serta pembinaan penutur bahasa. Skala itu menunjukkan

rentang dengan satu titik di ujungnya merupakan bahasa (budaya) yang aman atau

selamat dari ancaman kepunahan dan di titik ujung lain bahasa (budaya) yang

punah. Dengan mengikut pendapat Grenoble dan Whaley (2006:18) yang merujuk

kriteria yang digunakan UNESCO itu, tingkat keterancaman dan kepunahan

Universitas Sumatera Utara


bahasa di deskripsi sebagai mencakupi enam skala, yakni: (1) Aman, (2) Beresiko,

(3) Mulai Terancam, (4) Kondisi Parah, (5) Hampir Punah, dan (6) Punah.

Lebih jauh Grenoble dan Whaley (2006) menjelaskan bahwa konsep

revitalisasi budaya/ bahasa secara opersional mencakup tahapan: 1) penggalian

kondisi budaya/ bahasa, 2) pengkajian potensi pengembangan budaya/ bahasa,

dan 3) pewarisan budaya/ bahasa yang terancam punah melalui berbagai aktivitas

yang bertujuan untuk meningkatkan fungsi bahasa dalam berbagai ranah

komunikasi. Tahapan penggalian kondisi budaya/ bahasa yang direvitalisasi,

pengkajian potensi pengembangan dan melakukan upaya pewarisan dengan

memperkenalkan, memberdayakan, dan mengoptimalkan. tradisi mangupa horja

godang adat Angkola.

Berdasarkan pemikiran yang dikemukakan di atas sistem pewarisan yang

difokuskan pada pemberdayaan (revitalisasi) tradisi mangupa horja godang adat

Angkola sebagai langkah awal yang konkrit dan upaya strategis yang sangat

penting, dengan mengelaborasi, kodifikasi, dan penemuan fakta yang berfungsi

sebagai patokan dalam memberdayaan budaya/ adat (culture empowering) dengan

strategi: 1) memperkenalkan kondisi kekinian tradisi mangupa horja godang

adat Angkola, 2) memberdayakan stake holder Adat, dan 3) mengoptimalkan

stake holder Adat sebagai terapan dan implementasi kebijakan budaya (culture

police) sebagai upaya yang sangat mendesak dan menjadi langkah-langkah yang

sangat strategis

Jadi, telah terjadi perubahan waktu pelaksanaan upacara mangupa horja

godang , tidak lagi dilaksanakan pada pagi hari, tetapi dilaksanakan pada sore hari

Universitas Sumatera Utara


bila satu persatu bagian tradisi itu mulai bergeser, lambat laun akan hilangnya

bagian demi bagian tradisi, sehingga suatu komunitas secara kolektif

meninggalkan kebiasaan-kebiasan tradisi yang sebelumnya telah berlangsung dari

satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi yang mulai ditinggalkan

komunitasnya dalam kehidupan sehari-hari perlu dilakukan tindakan dan upaya

pencegahan agar tradisi lisan yang selama ini berlangsung pada komunitas adat,

oleh karena itu, perlulah dilakukan suatu bentuk upaya dengan Pembuatan model

penelitian tradisi lisan mangupa horja godang adat Angkola.

Pentingnya revitalisasi sebagai model penelitian tradisi lisan mangupa

horja godang adat Angkola sebagai upaya pentransmisian tradisi dari satu

generasi ke generasi lainnya secara berkesinambungan. Pembuatan model

penelitian tradisi lisan mangupa horja godang adat Angkola sebagai proses

menjadikan suatu upacara mangupa horja godang adat Angkola sebagai hal yang

penting karena tradisi tersebut menjadi salah satu ciri penanda dan identitas kultur

yang membedakan antara yang satu dengan yang lain sehingga upacara mangupa

horja godang adat Angkola tetap terpelihara dengan baik. Revitalisasi tradisi

mangupa horja godang adat Angkola mencakup upaya pengembangan fungsinya,

pembinaan penuturnya, dan pelindungan tradisi mangupa horja godang adat

Angkola sebagai upaya pemeliharaan yang harus segera direncanakan dan

dilaksanakan agar tradisi mangupa horja godang adat Angkola ini dapat hidup di

tengah masyarakat adat. .

Sehubungan dengan revitalisasi tradisi mangupa horja godang adat

Angkola ini, perlu dilakukan tindakan penguatan kembali fungsi tradisi mangupa

horja godang adat Angkola untuk berkomunikasi dalam berbagai ranah seperti

Universitas Sumatera Utara


ranah peradatan (acara adat), dan kegiatan sosial kemasyarakatan, transaksi jasa

dan nonjasa, dan sebagainya. Tindakan penguatan (revitalisasi) fungsi tradisi

mangupa horja godang adat Angkola khususnya sebagai sarana komunikasi bagi

adat Angkola dimaksudkan sebagai upaya memelihara martabat adat Angkola

agar tetap hidup sejajar dengan bahasa-bahasa lokal lainnya di wilayah Kabupaten

tradisi mangupa horja godang adat Angkola.

Sejalan dengan pendapat di atas revitalisasi tradisi mangupa horja godang

adat Angkola karena telah terjadi pergeseran tradisi tersebut dalam kehidupan

masyarakat. Maka, sebagai upaya revitalisasi perlu dilakukan proses pemeliharaan

tradisi lisan pada upacara mangupa horja godang adat Angkola sehingga tidak

terjadi kehilangan tradisi mangupa horja godang adat Angkola tersebut. Perlunya

dilakukan revitalisasi hal tersebut karena ada 10 faktor perlunya dilakukan

revitalisasi, seperti: a) Kekuatan secara kuantitatif antara kelompok mayoritas

dengan kelompok minoritas; b) Kelas sosial; c) Latar belakang agama dan

pendidikan; d) Pola perkampungan/ kemasyarakatan; e) Kesetiaan terhadap tanah

air atau tanah kelahiran; f) Derajat kesamaan antara bahasa mayoritas dan bahasa

minoritas; g) Luas mangupa horja godang campuran; h) Sikap mayoritas dan

minoritas; i) Kebijakan pemerintah terhadap pengawasan bahasa dan pendidikan

bahasa; j) Pola-pola penggunaan bahasa. (Romaine, 1995:40)

Faktor-faktor yang memenentukan vitalitas budaya dan adat yang

mengalami kepunahan, sebagai indikator keterancaman dalam proses revitalisasi

menurut Grenoble dan Whaley (2006:18) yang diadaptasi dari Whaley (2003),

Kinkade (1991), dan Wurm (1998) kategori keterancaman adalah:

Universitas Sumatera Utara


1) Aman, suatu tradisi dianggap aman ketika generasi masih

menggunakan tradisi dalam kehidupan sehari-hari. 2) Beresiko, apabila suatu

tradisi digunakan oleh orang yang jumlahnya terbatas di wilayah yang sama. 3)

Hilang, adat dan budaya yang pemakaiannya semakin menurun jumlah guyub

tutur, sehingga proses regenerasi komunitas pemakai adat dan tradisi dari satu

generasi ke generasi berikutnya semakin berkurang bahkan hilang. 4) Sekarat,

dikatakan hampir mati apabila pengguna adat semakin menurun jumlah penutur

tradisi lisan, sehingga tidak lagi diturunkan ke generasi berikutnya. 5) Hampir

punah, bila pengguna guyub tutur hanya sebagian kecil yang menggunakan. 6)

Punah, bila suatu adat dan budaya, yang tidak lagi memiliki penutur asli maka,

adat dan budaya tersebut akan punahya.

Penelitian ini menggunakan teori antropolinguistik sebagai jalan masuk

dengan objek tradisi lisan upacara mangupa horja godang adat Angkola, dengan

pendekatan tersebut akan dikaji bentuk dan isi. Performansi bentuk akan mengkaji

teks, ko-teks, dan konteks. Pengkajian isi yang akan diulas yaitu nilai dan norma,

nilai akan berupaya mengkaji nilai-nilai tradisi lisan mangupa horja godang adat

Angkola dengan menggunakan kajian nilai yang dikemukakan oleh Barthes

(1957) dan Kluckhohn (1961), kemudian norma, fungsi dan makna.

Agar lebih jelas kerangka teori yang telah dikemukakan pada penelitian ini

meliputi beberapa tahap seperti: 1) Mendeskripsikan tahap-tahap performansi

tradisi lisan mangupa horja godang adat Angkola; 2) Mengetahui bentuk dan isi

dengan menggunakan kajian antropolinguistik sebagai jalan masuk kajian; 3)

Menganalisis bentuk performansi dengan menganalisis teks, ko-teks, dan konteks.

4) Mengetahui teks akan dikaji struktur makro, struktur alur, dan struktur mikro;

Universitas Sumatera Utara


5) Menjabarkan ko-teks akan mengkaji paralinguistik proksemik, kinetik, dan

unsur material lainnya dengan kajian Pierce; 6) Mengkaji konteks dengan kajian

konteks budaya, sosial, situasi, dan ideologi dengan menggunakan teori upacara

sesaji Smith; 7) Mengetahui isi yang akan dikaji yaitu nilai dan norma; 8)

Pengkajian nilai akan mengkaji nilai-nilai tradisi lisan mangupa horja godang

adat Angkola dengan menggunakan kajian nilai yang dikemukakan oleh Barthes

(1957) dan Kluckhohn (1961); 9) Mengetahui nilai-nilai kearifan lokal apakah

yang terdapat pada tradisi lisan upacara mangupa horja godang adat Angkola;

10) Upaya revitalisasi tradisi mangupa horja godang adat Angkola sebagai model

yang dapat didokumentasikan sebagai upaya pelestarian; dan 11) Pembuatan

model penelitian tradisi lisan mangupa horja godang adat Angkola sebagai

model. Upaya revitalisasi tradisi mangupa horja godang adat Angkola sebagai

model yang dapat didokumentasikan sebagai upaya pelestarian.

STUDI STUDI
PENDAHULUAN PENELITI KEPUSTAKAAN

TRADISI LISAN
MANGUPA

PERFORMANSI

BENTUK ISI:

1. Tahapan Performansi 3. Fungsi dan


Makna (Bascom)
Finnegan (1992, 98-100),

2. Analisis performansi 4. Nilai-nilai dan


Teks, Koteks, dan Konteks Norma

Universitas Sumatera Utara


5. Kearifan Lokal

6. Revitalisasi (Grenoble dan Whaley,


2006) Mangupa Adat Angkola
Dan Pembuatan Model Penelitian

Gambar 4. Alur Penelitian Tradisi Lisan

Keterangan Gambar:

= Garis penelitian pendahuluan dan studi kepustakaan/


lapangan

= Elaborasi Kajian teks, ko-teks, konteks dan Tradisi


Lisan

= Garis penelitian lanjutan

= Garis hasil penelitian/ pembuktian kebenaran hasil


penelitian

= Aplikasi penelitian dalam wujud pembuktian temuan agar


diperoleh kearifan lokal yang tersembunyi

= dan pola revitalisasi pelaksanaan tradisi lisan Upacara


Mangupa horja godang adat Angkola.

Berdasarkan pembahasan di atas, maka kerangka teori yang digunakan

dalam penelitian yang berjudul: Tradisi Lisan Mangupa horja godang

Masyarakat Adat Angkola. Pengkajian isi yang akan diulas yaitu nilai dan norma,

nilai akan berupaya mengkaji nilai-nilai tradisi lisan mangupa horja godang adat

Universitas Sumatera Utara


Angkola dengan menggunakan kajian nilai yang dikemukakan oleh Barthes

(1957) dan Kluckhohn (1961), kemudian norma akan dikaji fungsi dan makna.

Bagian akhir kajian adalah menemukan kearifan lokal dari upacara mangupa

horja godang adat Angkola.

Agar lebih jelas kerangka teori yang telah dikemukakan pada penelitian ini

meliputi beberapa tahap seperti:

1) Mendeskripsikan tahap-tahap performansi tradisi lisan mangupa horja

godang adat Angkola.

2) Mengetahui bentuk dan isi dengan menggunakan kajian antropolinguistik

sebagai jalan masuk kajian.

3) Menganalisis performansi dengan menganalisis teks, ko-teks, dan konteks.

4) Mengetahui teks akan dikaji struktur makro, struktur alur, dan struktur mikro,

5) Menjabarkan ko-teks akan mengkaji paralinguistik proksemik, kinetik, dan

unsur material lainnya dengan kajian Pierce,

6) Mengkaji konteks dengan kajian konteks budaya, sosial, situasi, dan ideologi

dengan menggunakan teori upacara sesaji Smith.

7) Mengetahui isi yang akan dikaji yaitu nilai dan norma,

8) Pengkajian nilai akan mengkaji nilai-nilai tradisi lisan mangupa horja godang

adat Angkola dengan menggunakan kajian nilai yang dikemukakan oleh

Barthes (1957) dan Kluckhohn (1961),

9) Mengetahui kearifan lokal apakah yang terdapat pada tradisi lisan upacara

mangupa horja godang adat Angkola, dan

10) Pembuatan model penelitian tradisi lisan mangupa horja godang adat

Angkola sebagai model.

Universitas Sumatera Utara


11) Upaya revitalisasi tradisi mangupa horja godang adat Angkola sebagai

model yang dapat didokumentasikan sebagai upaya pelestarian.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai