Anda di halaman 1dari 20

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penelitian Relevan

Penelitian mengenai Perbedaan Dialek Pemalang Desa Pulosari dengan Dialek

Banyumas Desa Serang-Purbalingga Tahun 2016 (Kajian Proses Morfologis dan

Struktur Leksikal Semantis). Penelitian yang peneliti lakukan berbeda dengan

penelitian yang sudah ada sebelumnya. Untuk membuktikannya, peneliti meninjau

dua penelitian mahasiswa yang terdapat di Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Penelitian relevan mengenai perbandingan kosakata dasar yang sudah pernah

dilakukan. Penelitian tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

1. Perbandingan Kosakata Dasar Dialek Banyumas di Kabupaten Banjarnegara


Kecamatan Kalibening dengan Dialek Pekalongan di Kabupaten Pekalongan
Kecamatan Paninggaran tahun 2011

Penelitian tersebut dilakukan oleh Gugus Tri Nur Rochman yang dilakukan pada

tahun 2011 dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Penelitian Gugus Tri Nur

Rochman meneliti mengenai perbedaan fonologi yang terjadi di antaranya: (a)

penambahan fonem, meliputi: penambahan fonem di depan kata disebut protesis,

penambahan fonem di tengah kata disebut epentesis, dann penambahan fonem pada

akhir kata paragog. (b) penghilangan fonem, meliputi: penghilangan fonem di depan

kata disebut afaresis, penghilangan fonem di tengah kata disebut sinkop, dann

penghilangan fonem pada akhir kata apokop, dan gejala penggantian fonem disebut

replasif.

Perbedaan Dialek Pemalang..., Faefsi Maelani, FKIP, UMP, 2017


9

Perbedaan penelitian Gugus Tri Nur Rochman dengan penelitian yang peneliti

lakukan terletak pada kajian penelitian, dan sumber data penelitian. Penelitian Gugus

Tri Nur Rochman membahas mengenai perbedaan fonologis dan semantis, dialek

Banyumas dengan dialek Pekalongan, dengan sumber data dalam penelitian adalah

delapan belas informan penduduk asli Kecamatan Kalibening yang terdiri dari Desa

Gununglangit, Desa Bedana, Desa Sirukun dan Kecamatan Paninggaran yang terdiri

dari Desa Kaliboja, Desa Kaliombo, Desa Botosari.

Adapun dalam penelitian yang peneliti lakukan kajian yang digunakan adalah

kajian proses morfologis. Selain itu juga kajian struktur leksikal semantis dialek

Pemalang Desa Pulosari dengan dialek Banyumas Desa Serang-Purbalingga. Sumber

data dalam penelitian yang peneliti lakukan yaitu enam informan. Tiga informan

penduduk asli dari wilayah Desa Pulosari Kecamatan Pulosari Kabupaten Pemalang.

Kemudian tiga informan Desa Serang Kecamatan Karangreja Kabupaten Purbalingga.

2. Dialek Perbatasan Kabupaten Kebumen, Purworejo, dan Magelang (Kajian


Fonologis dan Semantis) tahun 2014

Penelitian tersebut dilakukan oleh Puthut Arif Widyanto yang dilakukan pada

tahun 2014 dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Penelitian Puthut Arif

Widyanto meneliti mengenai perbedaan fonetis yang terjadi di antaranya: (a)

penambahan fonem, meliputi: penambahan fonem di depan kata disebut protesis,

penambahan fonem di tengah kata disebut epentesis, dann penambahan fonem pada

akhir kata paragog. (b) penghilangan fonem, meliputi: penghilangan fonem di depan

kata disebut afaresis, penghilangan fonem di tengah kata disebut sinkop, dan

penghilangan fonem pada akhir kata apokop, dan gejala penggantian fonem disebut

replasif.

Perbedaan Dialek Pemalang..., Faefsi Maelani, FKIP, UMP, 2017


10

Perbedaan penelitian Puthut Arif Widyanto dengan penelitian yang peneliti

lakukan terletak pada kajian penelitian, dan sumber data penelitian. Penelitian Puthut

Arif Widyanto membahas mengenai fonologis dan semantis, dialek perbatasan

Kabupaten Kebumen, Purworejo, dan Magelang dengan sumber data empat puluh dua

informan penduduk asli Desa Tunggal Roso Kabupaten Kebumen, Desa Butuh

Kabupaten Purworejo, dan penduduk asli Desa Margoyoso Kabupaten Magelang.

Adapun dalam penelitian yang peneliti lakukan menggunakan kajian perbedaan

proses morfologis dan struktur leksikal semantis, dialek Pemalang Desa Pulosari

dengan dialek Banyumas Desa Serang-Purbalingga. Sumber data dalam penelitian

yang peneliti lakukan adalah enam informan penduduk asli dari wilayah penelitian.

Tiga informan asli penduduk Desa Pulosari Kecamatan Pulosari Kabupaten Pemalang.

Tiga informan asli Desa Serang Kecamatan Karangreja Kabupaten Purbalingga.

Berdasarkan kedua penelitian relevan di atas. Dapat disimpulkan bahwa adanya

perbedaan antara penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan peneliti lakukan.

Perbedaan kedua penelitian tersebut dengan penelitian yang akan peneliti lakukan

terdapat pada kajian yang digunakan. Selain itu juga terdapat pada sumber data dalam

penelitian. Sehingga penelitian yang peneliti lakukan perlu dilakukan.

B. Pengertian Bahasa

Menurut Keraf (2004: 2) bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang

mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer, yang dapat

diperkuat dengan gerak-gerik badaniah yang nyata. Ia merupakan simbol karena

rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dengan makna tertentu.

Simbol adalah tanda yang diberikan makna tertentu, yang mengacu kepada seseatu

Perbedaan Dialek Pemalang..., Faefsi Maelani, FKIP, UMP, 2017


11

yang dapat diserap panca indra.Bahasa adalah sebuah sistem, artinya bahasa itu

dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan

(Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 11)

Menurut Chaer (2010:14) bahasa adalah sebuah sistem, lambang bunyi yang

bersifat arbitrer yang digunakan manusia sebagai alat komunikasi atau alat interaksi

sosial. Sebagai sebuah sistem maka bahasa itu mempunyai struktur dan kaidah tertentu

yang harus ditaati oleh para penuturnya. Sebagai sebuah sistem, bahasa juga bersifat

sistematis dan sistemis. Bersifat sistematis, artinya secara keseluruhan bahasa itu ada

kaidah-kaidahnya, sedangkan sistemis artinya sistem bahasa itu bukan merupakan

sistem tunggal, melainkan ada subsistem-subsistemnya, yaitu subsistem gramatikal

dan subsistem semantik.

Jadi dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah sebuah sistem komunikasi yang

digunakan manusia sebagai alat berinteraksi sosial. Alat berinteraksi sosial tersebut

berupa lambang bunyi. Lambang bunyi tersebut dibentuk oleh sejumlah komponen

berpola secara tepat dan bersifat arbitrer. Bersifat arbitrer berarti semau-maunya yang

memiliki struktur dan kaidah tertentu. Kemudian struktur dan kaidah tertentu yang

harus diperhatikan oleh para penuturnya.

C. Variasi Bahasa

Istilah variasi bahasa mempunyai makna ‘ragam bahasa’ menurut pemakaian

yang berbeda-beda. Chaer dan Leonie Agustina (2004: 62) membagi variasi bahasa

menjadi berberapa segi, yaitu: (1) variasi bahasa dari segi penutur, (2) variasi bahasa

dari segi pemakaian, (3) variasi bahasa dari segi keformalan, (4) variasi bahasa dari

segi sarana. Dalam pembahasan kali ini, peneliti hanya membatasi mengenai variasi

bahasa dari segi penuturnya.

Perbedaan Dialek Pemalang..., Faefsi Maelani, FKIP, UMP, 2017


12

Variasi bahasa dari segi penuturnya dibagi menjadi beberapa macam, yaitu: (1)

Idiolek adalah variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Setiap orang mempunyai ciri

khas masing-masing, (2) Dialek adalah variasi bahasa yang digunakan oleh

sekelompok penutur yang jumlahnya relatif yang berada pada satu tempat, wilayah,

atau area tertentu, (3) Kronolek atau dialek temporal, yakni variasi bahasa yang

digunakan oleh kelompok social pada masa tertentu, (4) Sosiolek atau dialek sosial,

yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para

penuturnya.

D. Bahasa Jawa

Bahasa Jawa merupakan bahasa pertama penduduk Jawa yang tinggal di

Propinsi Jawa Tengah dan sekitarnya. Bahasa Jawa menempati ke-11 dalam hal

jumlah penutur terbanyak.Bahasa Jawa atau disebut bahasa Jawa baru/ modern

dipakai oleh masyarakat Jawa sekitar abad 16 sampai sekarang (Wedhawati, 2006: 1).

Bahasa Jawa mengenal beberapa tingkatan dalam penggunaannya, yaitu bahasa

ngoko, dan krama. Bahasa ngoko merupakan bahasa yang digunakan untuk orang

yang kira-kira derajatnya sama atau kepada yang lebih rendah, serta memperlihatkan

derajat keakraban diantara mereka yang berbicara. Misalnya anak dengan anak, dan

orang tua kepada anak. Adapun dalam bahasa krama merupakan bahasa halus yang

dipakai oleh orang muda kepada orang yang lebih tua atau yang derajatnya lebih

tinggi, untuk menyatakan rasa hormat mereka kepada orang yang diajak berbicara

(Purwadi, 2005: 12).

Perbedaan Dialek Pemalang..., Faefsi Maelani, FKIP, UMP, 2017


13

E. Dialek

1. Pengertian Dialek

Dialek berasal dari kata Yunani dialektos yang berpadanan dengan logat.Kata-

kata ini mula-mula digunakan untuk menyatakan sistem kebahasaan yang digunakan

oleh suatu masyarakat yang berbeda dari masyarakat lainnya yang bertetangga tetapi

menggunakan sistem yang erat hubungannya (Zulaeha, 2010: 1). Dialek ialah suatu

sistem kebahasaan yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk membedakannya dari

masyarakat lain yang bertetangga yang mempergunakan sistem yang berlainan

walaupun erat hubungannya (Nadra dan Reniwati, 2009:1). Menurut Chaer dan

Leonie Agustina (2004: 63) dialek adalah variasi bahasa yang digunakan oleh

sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah,

atau area tertentu.

Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa dialek ialah

sistem kebahasaan yang digunakan oleh suatu masyarakat yang berbeda dari

masyarakat lainnya, yang digunakan oleh sekelompok masyarakat dengan jumlahnya

relatif, yang berada pada satu tempat di suatu daerah tertentu. Sistem bahasa tersebut

digunakan oleh suatu masyarakat untuk membedakannya dari masyarakat lain yang

bertetangga. Walaupun masih erat hubungannya antara bahasa yang satu dengan

bahasa yang lainnya.

2. Jenis-Jenis Dialek

Menurut Zulaeha (2010: 27) berdasarkan objek kajiannya, dialek dibedakan atas

dialek geografis dan dialek sosial. Sesuai dengan pembatasan masalah, maka dalam

penelitian ini objek kajian yang digunakan yaitu objek kajian dialek geografis. Dialek

Perbedaan Dialek Pemalang..., Faefsi Maelani, FKIP, UMP, 2017


14

geografis merupakan cabang linguistik yang bertujuan mengkaji semua gejala

kebahasaan secara cermat yang disajikan berdasarkan pada bahasa yang ada. Salah

satu tujuan umum dalam kajian ini yaitu pemetaan gejala kebahasaan dari semua data

yang diperoleh dalam daerah penelitian (Zulaeha, 2010: 27). Adapun menurut Nadra

dan Reniwati (2009: 20) dialek geografis, yaitu dialek yang mempelajari variasi-

variasi bahasa berdasarkan perbedaan lokasi (tempat) dalam suatu wilayah bahasa.

Perbedaan dialek dalam sebuah bahasa ditentukan oleh letak geografi kelompok

pemakainya, karena itulah dialek disebut dengan dialek geografi. Perbedaan lokasi

(tempat) dan batasan-batasan dengan alam inilah yang akhirnya membedakan

penggunaan dialek antara yang satu dengan yang lain.

a. Dialek Banyumas

Dialek Banyumas merupakan dialek yang digunakan oleh penduduk

Banyumasan, selain digunakan oleh penduduk Banyumas dialek Banyumas juga

digunakan oleh penduduk Purbalingga. Menurut Wedhawati (2006: 17) dialek

Banyumas meliputi wilayah Karisidenan Banyumas yaitu Kabupaten Banjarnegara,

Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banyumas, dan Kabupaten Cilacap. Dalam

penelitian ini peneliti akan membatasi penelitian yang akan di lakukan yaitu di

Kabupaten Purbalingga. Kabupaten Purbalingga memiliki lima belaskecamatan salah

satunya yaitu Kecamatan Karangreja.

Kecamatan Karangreja terletak pada dataran tinggi pegunungan bagian utara,

berbagai desa yang terdapat di Kecamatan Karangreja yaitu Desa Gondang, Desa

Tlahab Kidul, Desa Karangreja, Desa Siwarak, Desa Tanah Lor, Desa Katabawa, dan

Perbedaan Dialek Pemalang..., Faefsi Maelani, FKIP, UMP, 2017


15

Desa Serang. Tetapi dalam penelitian ini peneliti memfokuskan penelitian di Desa

Serang, karena Desa Serang termasuk wilayah perbatasan antara Kabupaten

Purbalingga dengan Kabupaten Pemalang. Letak Desa Serang yang berada di lereng

Gunung Slamet yang masih terpencil, dan juga kehidupan sosial penduduk Serang

yang masih rendah. Selain Desa Serang yang menjadi perbatasan, ada juga desa lain

yaitu Desa Karangreja Kecamatan Karangreja. Desa Karangreja terletak berada di

jalan utama menuju Pemalang yang memungkinkan tercampurnya dialek asli

Purbalingga dengan Pemalang atau wilayah lainnya, selain itu juga karena wilayah

Desa Karangreja yang sudah lebih maju, memungkinkan banyaknya penduduk asing

dari berbagai wilayah yang akan bertempat tinggal di wilayah Desa Karangreja,

menyebabkan tercampurnya dialek asli Desa Karangreja yaitu dialek Banyumasan

dengan dialek lainnya.

Dialek Banyumasan meliputi bahasa Jawa ngoko dan bahasa krama. Akan tetapi

bahasa yang umum digunakan oleh masyarakat Banyumas yaitu bahasa ngoko.

Bahasa krama dipergunakan sesekali saja setelah mengetahui lawan tuturnya. Dalam

penelitian ini peneliti memfokuskan pada bahasa ngoko. Bahasa ngoko bahasa yang

sering digunakan oleh seluruh masyarakat Banyumas, karena sebagian penduduk

Pemalang memperlihatkan derajat keakraban di antara mereka yang berbicara.

b. Dialek Pemalang

Dialek Pemalang merupakan dialek yang digunakan oleh seluruh penduduk

Pemalang. Dialek yang digunakan oleh penduduk Pemalang ialah bahasa Jawa ngoko

dan krama, tetapi bahasa yang sering digunakan yaitu bahasa ngoko, dan bahasa

ngoko digunakan untuk berkomunikasi kepada orang seumuran atau sebaya sehingga

Perbedaan Dialek Pemalang..., Faefsi Maelani, FKIP, UMP, 2017


16

menjalin keakraban. Bahasa krama digunakan sesekali oleh penduduk Pemalang,

karena bahasa krama digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua,

atau menyatakan rasa hormat kepada lawan berbicaranya. Dalam penelitian yang

peneliti lakukan, peneliti lebih memfokuskan pada bahasa ngoko, karena sebagian

penduduk Pemalang memperlihatkan derajat keakraban di antara mereka yang

berbicara.

Kabupaten Pemalang memiliki empat belas kecamatan salah satunya yaitu

Kecamatan Pulosari. Kecamatan Pulosari terdiri dari Desa Pulosari.Desa Pulosari ini

terletak di paling ujung perbatasan antara Kabupaten Pemalang dengan Kabupaten

Purbalingga. Letak Desa Pulosari ini berada di lereng Gunug Slamet yang masih

terpencil, dan juga kehidupan sosial penduduk yang rendah. Selain Desa Pulosari yang

menjadi perbatasan, ada juga desa lain yaitu Desa Belik Kecamatan Belik. Letak Desa

Belik berada di jalan utama menuju Pemalang yang memungkinkan tercampurnya

dialek asli Pemalang dengan Purbalingga atau wilayah lainnya. Selain itu juga karena

wilayah Desa Belik yang semakin berkembang, memungkinkan banyaknya penduduk

asing dari berbagai wilayah yang akan bertempat tinggal di wilayah Desa Belik,

menyebabkan tercampurnya dialek asli desa tersebut dengan dialek lainnya.

3. Ciri Pembeda dan Penentu Dialek dan Bahasa

Dialek merupakan sub bahasa. Sebagai sub bahasa dialek memiliki ciri-ciri yang

dimiliki bahasa. Untuk menentukan apakah evidensi yang dituturkan suatu masyarakat

di daerah tertentu adalah bahasa ataukah dialek. Perlu diketahui ciri-ciri yang dapat

membedakan keduanya secara jelas. Kapan evidensi itu disebut bahsa dan kapan

evidensi itu disebut dialek.

Perbedaan Dialek Pemalang..., Faefsi Maelani, FKIP, UMP, 2017


17

a. Pembeda dan Penentu Dialek

Dalam bahasa Indo-Eropa, Meillet dalam Zelaeha (2010: 31) mencatat bahwa

dialek tidak dapat ditentukan secara pasati kecuali ditetapkan berdasarkan system

fonetis-fonologis, morfologis, sintaksis, dan leksikal. Sejalan dengan Guiraud dalam

Zulaeha (2010: 31) menyatakan bahwa ada lima macam ciri pembeda dialek. Kelima

perbedaan itu dapat dilihat sebagai berikut:

1) Perbedaan fonetik ini berada di bidang fonologi dan umumnya penutur dialek

atau bahasa itu tidak menyadari adanya perbedaan tersebut. Perbedaan fonetik

dalam suatu dialek dapat terjadi pada vocal maupun konsonan.

2) Perbedaan semantis yaitu terciptanya kata-kata baru berdasarkan perubahan

fonologis atau gerakan bentuk dan bentuk kata yang berbeda. Dalam peristiwa

tersebut biasanya terjadi pula geseran makna kata itu. Geseran tersebut bertaliam

dengan dua corak, yaitu sinonim dan homonim. Dalam hal ini sinonim atau padan

kata atau sama makna adalah pemberian nama (penanda) yang berbeda untuk

suatu objek (petanda) yang sama di beberapa tempat yang berbeda. Geseran yang

dikenal dengan homonim yaitu pemberian nama yang sama untuk hal yang

berbeda di beberapa tempat yang berbeda.

a) Perbedaan onomasiologis yang menunjukkan nama yang berbeda berdasarkan

satu konsep yang diberikan di beberapa tempat yang berbeda (Zulaeha, 2010:

33)

b) Perbedaan semasiologis yang merupakan kebalikan dari perbedaan

onomasiologis, yaitu pemberian nama yang sama y=untuk beberapa konsep

yang berbeda.

Perbedaan Dialek Pemalang..., Faefsi Maelani, FKIP, UMP, 2017


18

3) Perbedaan morfologis yang dibatasi oleh adanya system tata bahasa yang

bersangkutan oleh frekuensi morfem-morfem yang berbeda oleh kegunaannya

yang berkerabat, oleh wujud fonetisnya oleh daya rasanya, dan oleh sejumlah

faktor lainnya.

4. Perbedaan Unsur-Unsur Kebahasaan dalam Dialektologi

Bidang dialektologi dibedakan berdasarkan unsur-unsur kebahasaan. Deskripsi

perbedaan unsur-unsur kebahasaan dalam dialektologi mencakup semua bidang dalam

kajian linguistik. Unsur kebahasaan dalam dialektologi terdiri atas: fonologi,

morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantis (Zulaeha, 2010: 41). Dalam pembahasan

kali ini peneliti hanya membatasi mengenai perbedaan proses morfologis dan

semantis. Pada bidang morfologi mengkaji tentang kata, dan pada bidang semantis

mengkaji tentang makna.

a. Perbedaan Proses Morfologis

Perbedaan Proses morfologis yang dimaksudkan menyangkut semua perbedaan

aspek kajian morfologi, yang terdapat dalam bahasa. Morfologi adalah bagian dari

ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta

pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata, serta

fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatikal maupun fungsi

semantik (Ramlan, 2001:21). Menurut Zulaeha (2010: 44) perbedaan kajian morfologi

dapat menyangkut mengenai proses morfologis yang meliputi afiksasi, reduplikasi,

dan pemajemukan. Hal itu ditegaskan oleh Ramlan (2001:52) bahwa dalam bahasa

Indonesia terdapat tiga proses morfologi, ialah afiksasi, pengulangan, dan

pemajemukan.

Perbedaan Dialek Pemalang..., Faefsi Maelani, FKIP, UMP, 2017


19

1) Afiksasi

Menurut Chaer (2012: 177) afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada

sebuah dasar atau bentuk dasar. Menurut Putrayasa (2010: 5) afiksasi yaitu proses

pembentukan kata dengan membubuhkan afiks (imbuhan) pada bentuk dasar, baik

bentuk dasar tunggal maupun kompleks. Dalam pembentukan kata dengan proses

afiksasi, afikslah yang menjadi dasar untuk membentuk kata. Afiks adalah bentuk

linguistik yang pada suatu kata merupakan unsur langsung dan bukan kata atau pokok

kata, yang memiliki kemampuan melekat pada bentuk-bentuk lain untuk membentuk

kata atau pokok kata baru (Putrayasa, 2010: 5). Afiks pada bahasa Jawa dibagi

menjadi empat macam, yaitu ater-ater (prefiks), seselan (infiks), panambang (sufiks),

dan imbuhan bebarengan (simulfiks) (Sasangka, 2008: 41).

a) Ater-Ater (Prefiks atau Awalan)

Ater-ater (prefiks) merupakan imbuhan yang terdapat pada sebelah kiri atau

imbuhan yang terdapat di depan (awalan) kata dasar (Sasangka, 2008: 41). Ater-ater

dalam bahasa Jawa terdiri atas ater-ater anuswara atau ater-ater A- (terdiri atas m-, n-

, ng-, dan ny-), ater-ater a-, ater-ater ma-, ater-ater mer-, ater-ater maA- dapat

menjadi man-, mang-, many-, ater-ater ka-, ater-ater ke-, ater-ater di- (dipun-), ater-

ater sa- dapat menjadi se-, sa?-, ater-ater pa- anuswara (paA atau paN- terdiri atas

pa-, pam-, pan-, pang-,dan pany-), ater-ater pe-, ater-ater pi-, ater-ater pra-, ater-ater

pri-, ater-ater tar-, dan ater-ater kuma-, kami-, dan kapi-.

Contoh:
m- + pacul macul ‘mencangkul’
n- + tutup nutup ‘menutup’
ng- + keplak ngeplak ‘memukul di kepala’

Perbedaan Dialek Pemalang..., Faefsi Maelani, FKIP, UMP, 2017


20

ny- + sambel nyambel ‘menyambal’


a- + wujud awujud ‘berupa’
ma- + guru maguru ‘berguru’
mer- + tobat mertobat ‘bertobat’
man- + tunggal manunggal ‘bercampur’
mang- + wetan mangetan ‘ke timur’
many- + sembah manyembah ‘menyembah’
ke- + gawa kegawa ‘terbawa’
di- + wulang diwulang ‘diajar’
dipun-+ waos dipunwaos ‘di baca’
sa- + wengi sawengi ‘satu malam’
sak- + sendok sa?sendok ‘satu sendok’
pa- + warta pawarta ‘berita’
pam- + panggih pamanggih ‘pendapat’
pan- + deleng pandeleng ‘mau melihat’
pang- + ageng pangageng ‘pemimpin’
pany- + candra panyandra ‘pancaindra’
pi- + tutur pitutur ‘nasihat’
pra- + sangka prasangka ‘dugaan’
pri- + bumi pribumi ‘penduduk asli’
tar- + buka tarbuka ‘terbuka’
kuma- + wani kumawani ‘terlalu berani’
kapi- + adreng kapiadreng ‘berkeinginan, penasaran

b) Seselan (Infiks atau Sisipan)

Menurut Ramlan (2001: 58) penambahan afiks yang terletak dilajur tengah

disebut dengan infiks, karena selalu melekat di tangah kata dasar. Infiks dalam bahasa

Jawa disebut dengan seselan. Seselan (infiks) merupakan imbuhan yamg terdapat di

tengah yang disisipi kata dasar (Sasangka, 2008: 58). Imbuhan seselan dalam bahasa

Jawa terdiri atas imbuhan –um-. Imbuhan –um- dapat menjadi -em-, -in-, -er-, dan -el-

Contoh:
singkir + -um- sumingkir ‘menyingkir’
tulis + -in- tinulis ‘di tulis’

Perbedaan Dialek Pemalang..., Faefsi Maelani, FKIP, UMP, 2017


21

c) Panambang (Sufiks atau Akhiran)

Menurut Ramlan (2001: 60) afiks-afiks yang terletak di lajur paling belakang

disebut dengan sufiks. Sufiks dalam baha Jawa disebut dengan panambang. Menurut

Sasangka (2008:64) panambang (sufiks atau akhiran) yaitu imbuhan sing dumunung

ing buri (imbuhan yang terletak di belakang kata). Panambang (sufiks) merupakan

imbuhan yang terdapat di akhir kata dasar. Panambang dalam bahasa Jawa terdiri atas

-i, -a, -e (-ipun), -en, -an, -na,-ana, -ane, -ake (-aken, -ke)

Contoh:
antem + -i antemi ‘pukuli’
bali + -a balia ‘pulanglah’
pacul + -e pacule ‘cangkulnya’
rebut + -an rebutan ‘berebutan’
omong + -na omongna ‘bicarakan’
tutup + -en tutupen ‘tutuplah’
tulis + -ane tulisane ‘tulisannya’
titip + -aken titipaken ‘menitipkan’
gawe + -ake gaweake ‘buatkan’

d) Imbuhan bebarengan (konfiks)

Sasangka (2008: 86) menyebutkan bahwa imbuhan bebarengan yaitu imbuhan

yang berwujud ater-ater (prefiks) dan panambang (sufiks). Imbuhan bebraengan pada

kata dasar tersebut dapat diberikan secara bersamaan. Imbuhan beberangan dalam

bahasa Indonesia disebut dengan konfiks. Konfiks yaitu imbuhan tunggal yang terjadi

dari perpaduan awalan dan akhiran yang membentuk satu kesatuan. Imbuhan

bebarengan dibagi menjadi dua, yaitu imbuhan bebarengan rumaket dan imbuhan

bebarengan renggang.

Perbedaan Dialek Pemalang..., Faefsi Maelani, FKIP, UMP, 2017


22

(1) Imbuhan Bebarengan Rumaket

Imbuhan bebarengan rumaket yaitu imbuhan yang merupakan ater-ater

(awalan) dan panambang (akhiran) yang diimbuhkan secara serentak (bersama).

Imbuhan bebarengan rumaket dalam bahasa Jawa terdiri atas ke- -an, ke(A)- -en

(terdiri atas ke- -en, kem- -en, ken- -en, keng- -en, dan keny- -en), pa(A)- -an (terdiri

atas pa- -an, pam- -an, pan- -an, pang- -an, dan pany- -an)

Contoh:
ke- + maling + - an kemalingan ‘kecurian’
ke- + panas + -en kepanasen ‘kepanasan’
kem- + pinggir + -en keminggiren ‘ketepian’
keng- + kulon + -en kengulonen ‘kebaratan’
pa- + desa + -an padesan ‘pedesaan’
pan- + titip + -an panitipan ‘penitipan’

(2) Imbuhan Bebarengan Renggang

Imbuhan bebarengan renggang yaitu imbuhan yang merupakan ater-ater

(awalan) dan panambang (akhiran) yang diimbuhkan secara tidak serentak (tidak

bersamaan).Imbuhan bebarengan renggang terdiri atas imbuhan A-(m-,n-, ng-, ny-) -i

(anuswara–i), imbuhan A-(m-,n-, ng-, ny-)-a (Anuswara –a), imbuhan A-(m-,n-, ng-,

ny-)-ake (anuswara–ake), imbuhan A-(m-,n-, ng-, ny-)-ana (anuswara –ana), imbuhan

A-(m-,n-, ng-, ny-)-e (anuswara –e), imbuhan di- -i, imbuhan di- -na, imbuhan di- -

ake, imbuhan (–in-) –an/-ake/-ana, imbuhan (–um-)-a, imbuhan sa- -e.

Contoh:
m- + lumpat + -i mlumpati ‘melompati’
n- + tutup + -i nutupi ‘menutupi’
ng-+ gulung + -i nggulungi ‘menggulungi’
m- + paring + -ake maringake ‘memberikan’
n- + tulis + -ake nulisake ‘menuliskan’
ng-+ uncal + -ake nguncalake ‘melemparkan’

Perbedaan Dialek Pemalang..., Faefsi Maelani, FKIP, UMP, 2017


23

ny- + silih + -ake nyilihake ‘meminjamkan’


n- + tulis + -e nulise ‘menulisnya’
ny- + cekel + -e nyekele ‘megangnya’
di- + tugas + -i ditugasi ‘ditugaskan’
di- + tulis + -na ditulisna ‘dituliskan’
di- + crita + -ake dicritaake ‘diceritakan’

2) Reduplikasi (Tembung Rangkep)

Reduplikasi adalah proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara

keseluruhan, secara sebagian (parsial), maupun dengan perubahan bunyi (Chaer, 2012:

182). Menurut Ramlan (2001:63) reduplikasi adalah pengulangan satuan gramatikal,

baik seluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Hasil

pengulangan itu disebut kata ulang. Kata ulang dalam bahasa Jawa disebut dengan

tembung rangkep. Tembung rangkep dibagi menjadi tiga, yaitu tembung dwipurwa,

tembung dwilingga, dan tembung dwiwasana (Sasangka, 2008: 103).

a) Tembung Dwipurwa

Dalam bahasa Jawa pengulangan dengan mendapat suku kata awal disebut

dengan tembung dwipurwa. Menurut Sasangka (2008: 104) tembung dwipurwa adalah

tembung kang dumadi saka pangrangkepe purwane tembung (pengulangan dua suku

kata awal dari sebuah kata dasar). Tembung dwipurwa merupakan kata yang diulang

berdasarkan suku kata dasar (Setiyanto, 2007: 86). Dapat disimpulkan tembung

dwipurwa adalah dua suku kata awal yang diulang dari kata dasarnya.

Contoh:
bungah bubungah bebungah ‘bahagia’
resik reresik ‘bersih-bersih’

Perbedaan Dialek Pemalang..., Faefsi Maelani, FKIP, UMP, 2017


24

b) Tembung Dwilingga

Menurut Setiyanto (2007: 81) tembung dwilingga ialah kata yang diucapkan dua

kali. Bentuk pengulangannya yaitu lingga+lingga (bentuk dasar + bentuk dasar).

Tembung dwilingga adalah kata dasar yang diulang (Sasangka, 2008:106). Jadi dapat

disimpulkan bahwa tembung dwilingga adalah pengulangan kata dari kata dasarnya.

Menurut Sasangka (2008: 106) dwilingga dibagi menjadi empat tembung dwilingga.

Tembung dwilingga yang pertama yaitu dwilingga utuh. Tembung dwilingga yang

kedua yaitu dwilingga salin swara. Tembung dwilingga yang ketiga yaitu dwilingga

semu. Kemudian tembung dwilingga keempat yaitu dwilingga yang mendapat

imbuhan.

(1) Dwilingga Wutuh : kata dasar yang diulang secara keseluruhan tanpa ada yang

berubah sama sekali.

Contoh :
takon takon-takon ‘berkali-kali tanya’
pinter pinter-pinter ‘pintar-pintar’

(2) Dwilingga Salin Swara: kata dasar yang pengulangannya mengalami perubahan

suara.

Contoh:
takon tokan-takon ‘berkali-kali tanya’
celuk celak-celuk ‘memanggil-manggil’

(3) Tembung Dwilingga Semu: kata yang berupa memper tembung dwilingga, tetapi

bukan termasuk ke dalam tembung dwilingga. Karena tidak dapat ditemukan

tembung linggane (kata dasarnya).

Contoh:
ondhe-ondhe
anting-anting

Perbedaan Dialek Pemalang..., Faefsi Maelani, FKIP, UMP, 2017


25

(4) Tembung Dwilingga yang Mengalami Imbuhan: tembung dwilingga yang dapat

diimbuhi imbuhan yang berupa ater-ater, seselan, dan panambang.

Contoh:
ciwit-ciwitan ‘cubit-cubitan’
dialon-alonake ‘dipelan-pelankan’

c) Dwiwasana

Dalam bahasa Jawa pengulangan dengan mendapat suku kata di akhir disebut

dengan dwiwasana. Dwiwasana adalah salah satu bentuk tembung rangkep dalam

bahasa Jawa. Disebut dengan tembung dwiwasana karena proses pembentuknya

dengan mengulang bagian akhir suku kata dari bentuk dasarnya. Menurut Sasangka

(2008: 112) dwiwasana adalah kata ulang yang pengulangannya diulang pada bagian

akhir dari suku kata bentuk dasar. Menurut Setiyanto (2007: 88) dwiwasana

merupakan kata ulang yang direkati suku kata di akhir kata.

Contoh:
cenges cengesnges cengenge ‘tertawa yang kurang sopan’
cekak cekakkak cekakak ‘tertawa yang keras’

3) Pemajemukan (Tembung Camboran)

Pemajemukan adalah peristiwa yang bergabungnya dua morfem dasar atau lebih

secara padu dan menimbulkan arti yang relatif baru (Muslich, 2009: 57). Menurut

Ramlan (2001:76) pemajemukan adalah gabungan dua kata yang menimbulkan satu

kata baru. Kata yang terjadi dari gabungan dua kata itu disebut kata majemuk. Kata

majemuk adalah kata yang terdiri dari dua kata sebagai unsurnya (Ramlan, 2001:76).

Dalam bahasa Jawa kata majemuk disebut juga dengan tembung camboran, yaitu dua

kata atau lebih yang digabung jadi satu yang menimbulkan kata baru dan arti baru

Perbedaan Dialek Pemalang..., Faefsi Maelani, FKIP, UMP, 2017


26

juga. Tembung camboran (kata majemuk) bisa mendapat imbuhan apa saja (Sasangka,

2008: 112). Tembung camboran (kata majemuk) dibedakan menjadi dua, yaitu

camboran wutuh dan camboran tugel.

a) Camboran Wutuh: gabungan dua kata atau lebih dari kata-kata yang masih utuh.

Contoh:
semar mendem ‘nama makanan dari ketan’
raja lele ‘nama beras yang enak’

b) Camboran Tugel: gabungan dua kata atau lebih yang masih utuh dan masing-

masing kata tersebut hanya diambil atau dipakai sebagian suku katanya saja.

Contoh:
panastis panas + atis ‘penyakit’
lunglit balung + kulit ‘kurus sekali’
bangjo abang + ijo ‘lampu lalu lintas’

b. Perbedaan Semantis (Struktur Leksikal)

Perbedaan semantis yaitu perbedaan yang membahas mengenai makna.

Perbedaan semantis masih memiliki pertalian antara makna yang digunakan pada

daerah pengamatan tertentu dengan makna yang digunakan pada daerah pengamatan

yang lainnya. Dari perbedaan tersebut, muncullah hubungan makna (struktur leksikal)

yang beragam. Hubungan makna kata itu dapat berwujud: sinonim, antonim, polisemi,

hominim, dan hiponimi (Keraf, 2010: 34). Namun dalam penelitian ini peneliti hanya

akan membatasi permasalahan mengenai sinonim dan homonim.

1) Sinonim

Menurut Keraf (2010: 34) sinonim adalah suatu sistem yang dibatasi sebagai,

(1) telaah mengenai bermacam-macam kata yang memiliki makna yang sama, (2)

keadaan di mana dua kata atau lebih memiliki makna yang sama. Sebaliknya sinonim

Perbedaan Dialek Pemalang..., Faefsi Maelani, FKIP, UMP, 2017


27

adalah kata-kata yang memiliki makna sama. Sinonim atau sinonimi adalah hubungan

semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan

satuan ujaran lainnya (Chaer, 2012: 297). Sedangkan menurut Djajasudarma (2009:

55) sinonim itu digunakan untuk menyatakan sameness of meaning (kesamaan arti).

Dari beberapa pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sinonim adalah kata

yang memiliki perbedaan pada nama untuk benda yang sama, dan maknanya sama.

2) Homonim

Homonim adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya ‘kebetulan’

sama; maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau

bentuk ujaran yang berlainan (Chaer, 2012: 297). Sedangkan menurut Djajasudarma

(2009: 64) homonim adalah hubungan makna dan bentuk bila dua buah makna atau

lebih dinyatakan dengan sebuah bentuk yang sama. Homonim adalah dua kata atau

lebih tetapi memiliki bentuk yang sama (Keraf, 2010: 36). Dapat disimpulkan bahwa

homonim adalah kata yang memiliki nama yang sama untuk benda dan bentuk yang

berbeda dan maknanya berbeda.

Perbedaan Dialek Pemalang..., Faefsi Maelani, FKIP, UMP, 2017

Anda mungkin juga menyukai