BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penelitian Relevan
Penelitian tersebut dilakukan oleh Gugus Tri Nur Rochman yang dilakukan pada
tahun 2011 dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Penelitian Gugus Tri Nur
penambahan fonem di tengah kata disebut epentesis, dann penambahan fonem pada
akhir kata paragog. (b) penghilangan fonem, meliputi: penghilangan fonem di depan
kata disebut afaresis, penghilangan fonem di tengah kata disebut sinkop, dann
penghilangan fonem pada akhir kata apokop, dan gejala penggantian fonem disebut
replasif.
Perbedaan penelitian Gugus Tri Nur Rochman dengan penelitian yang peneliti
lakukan terletak pada kajian penelitian, dan sumber data penelitian. Penelitian Gugus
Tri Nur Rochman membahas mengenai perbedaan fonologis dan semantis, dialek
Banyumas dengan dialek Pekalongan, dengan sumber data dalam penelitian adalah
delapan belas informan penduduk asli Kecamatan Kalibening yang terdiri dari Desa
Gununglangit, Desa Bedana, Desa Sirukun dan Kecamatan Paninggaran yang terdiri
Adapun dalam penelitian yang peneliti lakukan kajian yang digunakan adalah
kajian proses morfologis. Selain itu juga kajian struktur leksikal semantis dialek
data dalam penelitian yang peneliti lakukan yaitu enam informan. Tiga informan
penduduk asli dari wilayah Desa Pulosari Kecamatan Pulosari Kabupaten Pemalang.
Penelitian tersebut dilakukan oleh Puthut Arif Widyanto yang dilakukan pada
penambahan fonem di tengah kata disebut epentesis, dann penambahan fonem pada
akhir kata paragog. (b) penghilangan fonem, meliputi: penghilangan fonem di depan
kata disebut afaresis, penghilangan fonem di tengah kata disebut sinkop, dan
penghilangan fonem pada akhir kata apokop, dan gejala penggantian fonem disebut
replasif.
lakukan terletak pada kajian penelitian, dan sumber data penelitian. Penelitian Puthut
Kabupaten Kebumen, Purworejo, dan Magelang dengan sumber data empat puluh dua
informan penduduk asli Desa Tunggal Roso Kabupaten Kebumen, Desa Butuh
proses morfologis dan struktur leksikal semantis, dialek Pemalang Desa Pulosari
yang peneliti lakukan adalah enam informan penduduk asli dari wilayah penelitian.
Tiga informan asli penduduk Desa Pulosari Kecamatan Pulosari Kabupaten Pemalang.
perbedaan antara penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan peneliti lakukan.
Perbedaan kedua penelitian tersebut dengan penelitian yang akan peneliti lakukan
terdapat pada kajian yang digunakan. Selain itu juga terdapat pada sumber data dalam
B. Pengertian Bahasa
mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer, yang dapat
rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dengan makna tertentu.
Simbol adalah tanda yang diberikan makna tertentu, yang mengacu kepada seseatu
yang dapat diserap panca indra.Bahasa adalah sebuah sistem, artinya bahasa itu
dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan
Menurut Chaer (2010:14) bahasa adalah sebuah sistem, lambang bunyi yang
bersifat arbitrer yang digunakan manusia sebagai alat komunikasi atau alat interaksi
sosial. Sebagai sebuah sistem maka bahasa itu mempunyai struktur dan kaidah tertentu
yang harus ditaati oleh para penuturnya. Sebagai sebuah sistem, bahasa juga bersifat
sistematis dan sistemis. Bersifat sistematis, artinya secara keseluruhan bahasa itu ada
Jadi dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah sebuah sistem komunikasi yang
digunakan manusia sebagai alat berinteraksi sosial. Alat berinteraksi sosial tersebut
berupa lambang bunyi. Lambang bunyi tersebut dibentuk oleh sejumlah komponen
berpola secara tepat dan bersifat arbitrer. Bersifat arbitrer berarti semau-maunya yang
memiliki struktur dan kaidah tertentu. Kemudian struktur dan kaidah tertentu yang
C. Variasi Bahasa
yang berbeda-beda. Chaer dan Leonie Agustina (2004: 62) membagi variasi bahasa
menjadi berberapa segi, yaitu: (1) variasi bahasa dari segi penutur, (2) variasi bahasa
dari segi pemakaian, (3) variasi bahasa dari segi keformalan, (4) variasi bahasa dari
segi sarana. Dalam pembahasan kali ini, peneliti hanya membatasi mengenai variasi
Variasi bahasa dari segi penuturnya dibagi menjadi beberapa macam, yaitu: (1)
Idiolek adalah variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Setiap orang mempunyai ciri
khas masing-masing, (2) Dialek adalah variasi bahasa yang digunakan oleh
sekelompok penutur yang jumlahnya relatif yang berada pada satu tempat, wilayah,
atau area tertentu, (3) Kronolek atau dialek temporal, yakni variasi bahasa yang
digunakan oleh kelompok social pada masa tertentu, (4) Sosiolek atau dialek sosial,
yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para
penuturnya.
D. Bahasa Jawa
Propinsi Jawa Tengah dan sekitarnya. Bahasa Jawa menempati ke-11 dalam hal
jumlah penutur terbanyak.Bahasa Jawa atau disebut bahasa Jawa baru/ modern
dipakai oleh masyarakat Jawa sekitar abad 16 sampai sekarang (Wedhawati, 2006: 1).
ngoko, dan krama. Bahasa ngoko merupakan bahasa yang digunakan untuk orang
yang kira-kira derajatnya sama atau kepada yang lebih rendah, serta memperlihatkan
derajat keakraban diantara mereka yang berbicara. Misalnya anak dengan anak, dan
orang tua kepada anak. Adapun dalam bahasa krama merupakan bahasa halus yang
dipakai oleh orang muda kepada orang yang lebih tua atau yang derajatnya lebih
tinggi, untuk menyatakan rasa hormat mereka kepada orang yang diajak berbicara
E. Dialek
1. Pengertian Dialek
Dialek berasal dari kata Yunani dialektos yang berpadanan dengan logat.Kata-
kata ini mula-mula digunakan untuk menyatakan sistem kebahasaan yang digunakan
oleh suatu masyarakat yang berbeda dari masyarakat lainnya yang bertetangga tetapi
menggunakan sistem yang erat hubungannya (Zulaeha, 2010: 1). Dialek ialah suatu
sistem kebahasaan yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk membedakannya dari
walaupun erat hubungannya (Nadra dan Reniwati, 2009:1). Menurut Chaer dan
Leonie Agustina (2004: 63) dialek adalah variasi bahasa yang digunakan oleh
sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah,
Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa dialek ialah
sistem kebahasaan yang digunakan oleh suatu masyarakat yang berbeda dari
relatif, yang berada pada satu tempat di suatu daerah tertentu. Sistem bahasa tersebut
digunakan oleh suatu masyarakat untuk membedakannya dari masyarakat lain yang
bertetangga. Walaupun masih erat hubungannya antara bahasa yang satu dengan
2. Jenis-Jenis Dialek
Menurut Zulaeha (2010: 27) berdasarkan objek kajiannya, dialek dibedakan atas
dialek geografis dan dialek sosial. Sesuai dengan pembatasan masalah, maka dalam
penelitian ini objek kajian yang digunakan yaitu objek kajian dialek geografis. Dialek
kebahasaan secara cermat yang disajikan berdasarkan pada bahasa yang ada. Salah
satu tujuan umum dalam kajian ini yaitu pemetaan gejala kebahasaan dari semua data
yang diperoleh dalam daerah penelitian (Zulaeha, 2010: 27). Adapun menurut Nadra
dan Reniwati (2009: 20) dialek geografis, yaitu dialek yang mempelajari variasi-
variasi bahasa berdasarkan perbedaan lokasi (tempat) dalam suatu wilayah bahasa.
Perbedaan dialek dalam sebuah bahasa ditentukan oleh letak geografi kelompok
pemakainya, karena itulah dialek disebut dengan dialek geografi. Perbedaan lokasi
a. Dialek Banyumas
penelitian ini peneliti akan membatasi penelitian yang akan di lakukan yaitu di
berbagai desa yang terdapat di Kecamatan Karangreja yaitu Desa Gondang, Desa
Tlahab Kidul, Desa Karangreja, Desa Siwarak, Desa Tanah Lor, Desa Katabawa, dan
Desa Serang. Tetapi dalam penelitian ini peneliti memfokuskan penelitian di Desa
Purbalingga dengan Kabupaten Pemalang. Letak Desa Serang yang berada di lereng
Gunung Slamet yang masih terpencil, dan juga kehidupan sosial penduduk Serang
yang masih rendah. Selain Desa Serang yang menjadi perbatasan, ada juga desa lain
Purbalingga dengan Pemalang atau wilayah lainnya, selain itu juga karena wilayah
Desa Karangreja yang sudah lebih maju, memungkinkan banyaknya penduduk asing
dari berbagai wilayah yang akan bertempat tinggal di wilayah Desa Karangreja,
Dialek Banyumasan meliputi bahasa Jawa ngoko dan bahasa krama. Akan tetapi
bahasa yang umum digunakan oleh masyarakat Banyumas yaitu bahasa ngoko.
Bahasa krama dipergunakan sesekali saja setelah mengetahui lawan tuturnya. Dalam
penelitian ini peneliti memfokuskan pada bahasa ngoko. Bahasa ngoko bahasa yang
b. Dialek Pemalang
Pemalang. Dialek yang digunakan oleh penduduk Pemalang ialah bahasa Jawa ngoko
dan krama, tetapi bahasa yang sering digunakan yaitu bahasa ngoko, dan bahasa
ngoko digunakan untuk berkomunikasi kepada orang seumuran atau sebaya sehingga
karena bahasa krama digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua,
atau menyatakan rasa hormat kepada lawan berbicaranya. Dalam penelitian yang
peneliti lakukan, peneliti lebih memfokuskan pada bahasa ngoko, karena sebagian
berbicara.
Kecamatan Pulosari. Kecamatan Pulosari terdiri dari Desa Pulosari.Desa Pulosari ini
Purbalingga. Letak Desa Pulosari ini berada di lereng Gunug Slamet yang masih
terpencil, dan juga kehidupan sosial penduduk yang rendah. Selain Desa Pulosari yang
menjadi perbatasan, ada juga desa lain yaitu Desa Belik Kecamatan Belik. Letak Desa
dialek asli Pemalang dengan Purbalingga atau wilayah lainnya. Selain itu juga karena
asing dari berbagai wilayah yang akan bertempat tinggal di wilayah Desa Belik,
Dialek merupakan sub bahasa. Sebagai sub bahasa dialek memiliki ciri-ciri yang
dimiliki bahasa. Untuk menentukan apakah evidensi yang dituturkan suatu masyarakat
di daerah tertentu adalah bahasa ataukah dialek. Perlu diketahui ciri-ciri yang dapat
membedakan keduanya secara jelas. Kapan evidensi itu disebut bahsa dan kapan
Dalam bahasa Indo-Eropa, Meillet dalam Zelaeha (2010: 31) mencatat bahwa
dialek tidak dapat ditentukan secara pasati kecuali ditetapkan berdasarkan system
Zulaeha (2010: 31) menyatakan bahwa ada lima macam ciri pembeda dialek. Kelima
1) Perbedaan fonetik ini berada di bidang fonologi dan umumnya penutur dialek
atau bahasa itu tidak menyadari adanya perbedaan tersebut. Perbedaan fonetik
fonologis atau gerakan bentuk dan bentuk kata yang berbeda. Dalam peristiwa
tersebut biasanya terjadi pula geseran makna kata itu. Geseran tersebut bertaliam
dengan dua corak, yaitu sinonim dan homonim. Dalam hal ini sinonim atau padan
kata atau sama makna adalah pemberian nama (penanda) yang berbeda untuk
suatu objek (petanda) yang sama di beberapa tempat yang berbeda. Geseran yang
dikenal dengan homonim yaitu pemberian nama yang sama untuk hal yang
satu konsep yang diberikan di beberapa tempat yang berbeda (Zulaeha, 2010:
33)
yang berbeda.
3) Perbedaan morfologis yang dibatasi oleh adanya system tata bahasa yang
yang berkerabat, oleh wujud fonetisnya oleh daya rasanya, dan oleh sejumlah
faktor lainnya.
morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantis (Zulaeha, 2010: 41). Dalam pembahasan
kali ini peneliti hanya membatasi mengenai perbedaan proses morfologis dan
semantis. Pada bidang morfologi mengkaji tentang kata, dan pada bidang semantis
aspek kajian morfologi, yang terdapat dalam bahasa. Morfologi adalah bagian dari
ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta
pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata, serta
fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatikal maupun fungsi
semantik (Ramlan, 2001:21). Menurut Zulaeha (2010: 44) perbedaan kajian morfologi
dan pemajemukan. Hal itu ditegaskan oleh Ramlan (2001:52) bahwa dalam bahasa
pemajemukan.
1) Afiksasi
Menurut Chaer (2012: 177) afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada
sebuah dasar atau bentuk dasar. Menurut Putrayasa (2010: 5) afiksasi yaitu proses
pembentukan kata dengan membubuhkan afiks (imbuhan) pada bentuk dasar, baik
bentuk dasar tunggal maupun kompleks. Dalam pembentukan kata dengan proses
afiksasi, afikslah yang menjadi dasar untuk membentuk kata. Afiks adalah bentuk
linguistik yang pada suatu kata merupakan unsur langsung dan bukan kata atau pokok
kata, yang memiliki kemampuan melekat pada bentuk-bentuk lain untuk membentuk
kata atau pokok kata baru (Putrayasa, 2010: 5). Afiks pada bahasa Jawa dibagi
menjadi empat macam, yaitu ater-ater (prefiks), seselan (infiks), panambang (sufiks),
Ater-ater (prefiks) merupakan imbuhan yang terdapat pada sebelah kiri atau
imbuhan yang terdapat di depan (awalan) kata dasar (Sasangka, 2008: 41). Ater-ater
dalam bahasa Jawa terdiri atas ater-ater anuswara atau ater-ater A- (terdiri atas m-, n-
, ng-, dan ny-), ater-ater a-, ater-ater ma-, ater-ater mer-, ater-ater maA- dapat
menjadi man-, mang-, many-, ater-ater ka-, ater-ater ke-, ater-ater di- (dipun-), ater-
ater sa- dapat menjadi se-, sa?-, ater-ater pa- anuswara (paA atau paN- terdiri atas
pa-, pam-, pan-, pang-,dan pany-), ater-ater pe-, ater-ater pi-, ater-ater pra-, ater-ater
Contoh:
m- + pacul macul ‘mencangkul’
n- + tutup nutup ‘menutup’
ng- + keplak ngeplak ‘memukul di kepala’
Menurut Ramlan (2001: 58) penambahan afiks yang terletak dilajur tengah
disebut dengan infiks, karena selalu melekat di tangah kata dasar. Infiks dalam bahasa
Jawa disebut dengan seselan. Seselan (infiks) merupakan imbuhan yamg terdapat di
tengah yang disisipi kata dasar (Sasangka, 2008: 58). Imbuhan seselan dalam bahasa
Jawa terdiri atas imbuhan –um-. Imbuhan –um- dapat menjadi -em-, -in-, -er-, dan -el-
Contoh:
singkir + -um- sumingkir ‘menyingkir’
tulis + -in- tinulis ‘di tulis’
Menurut Ramlan (2001: 60) afiks-afiks yang terletak di lajur paling belakang
disebut dengan sufiks. Sufiks dalam baha Jawa disebut dengan panambang. Menurut
Sasangka (2008:64) panambang (sufiks atau akhiran) yaitu imbuhan sing dumunung
ing buri (imbuhan yang terletak di belakang kata). Panambang (sufiks) merupakan
imbuhan yang terdapat di akhir kata dasar. Panambang dalam bahasa Jawa terdiri atas
-i, -a, -e (-ipun), -en, -an, -na,-ana, -ane, -ake (-aken, -ke)
Contoh:
antem + -i antemi ‘pukuli’
bali + -a balia ‘pulanglah’
pacul + -e pacule ‘cangkulnya’
rebut + -an rebutan ‘berebutan’
omong + -na omongna ‘bicarakan’
tutup + -en tutupen ‘tutuplah’
tulis + -ane tulisane ‘tulisannya’
titip + -aken titipaken ‘menitipkan’
gawe + -ake gaweake ‘buatkan’
yang berwujud ater-ater (prefiks) dan panambang (sufiks). Imbuhan bebraengan pada
kata dasar tersebut dapat diberikan secara bersamaan. Imbuhan beberangan dalam
bahasa Indonesia disebut dengan konfiks. Konfiks yaitu imbuhan tunggal yang terjadi
dari perpaduan awalan dan akhiran yang membentuk satu kesatuan. Imbuhan
bebarengan dibagi menjadi dua, yaitu imbuhan bebarengan rumaket dan imbuhan
bebarengan renggang.
Imbuhan bebarengan rumaket dalam bahasa Jawa terdiri atas ke- -an, ke(A)- -en
(terdiri atas ke- -en, kem- -en, ken- -en, keng- -en, dan keny- -en), pa(A)- -an (terdiri
atas pa- -an, pam- -an, pan- -an, pang- -an, dan pany- -an)
Contoh:
ke- + maling + - an kemalingan ‘kecurian’
ke- + panas + -en kepanasen ‘kepanasan’
kem- + pinggir + -en keminggiren ‘ketepian’
keng- + kulon + -en kengulonen ‘kebaratan’
pa- + desa + -an padesan ‘pedesaan’
pan- + titip + -an panitipan ‘penitipan’
(awalan) dan panambang (akhiran) yang diimbuhkan secara tidak serentak (tidak
(anuswara–i), imbuhan A-(m-,n-, ng-, ny-)-a (Anuswara –a), imbuhan A-(m-,n-, ng-,
A-(m-,n-, ng-, ny-)-e (anuswara –e), imbuhan di- -i, imbuhan di- -na, imbuhan di- -
Contoh:
m- + lumpat + -i mlumpati ‘melompati’
n- + tutup + -i nutupi ‘menutupi’
ng-+ gulung + -i nggulungi ‘menggulungi’
m- + paring + -ake maringake ‘memberikan’
n- + tulis + -ake nulisake ‘menuliskan’
ng-+ uncal + -ake nguncalake ‘melemparkan’
Reduplikasi adalah proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara
keseluruhan, secara sebagian (parsial), maupun dengan perubahan bunyi (Chaer, 2012:
baik seluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Hasil
pengulangan itu disebut kata ulang. Kata ulang dalam bahasa Jawa disebut dengan
tembung rangkep. Tembung rangkep dibagi menjadi tiga, yaitu tembung dwipurwa,
a) Tembung Dwipurwa
Dalam bahasa Jawa pengulangan dengan mendapat suku kata awal disebut
dengan tembung dwipurwa. Menurut Sasangka (2008: 104) tembung dwipurwa adalah
tembung kang dumadi saka pangrangkepe purwane tembung (pengulangan dua suku
kata awal dari sebuah kata dasar). Tembung dwipurwa merupakan kata yang diulang
berdasarkan suku kata dasar (Setiyanto, 2007: 86). Dapat disimpulkan tembung
dwipurwa adalah dua suku kata awal yang diulang dari kata dasarnya.
Contoh:
bungah bubungah bebungah ‘bahagia’
resik reresik ‘bersih-bersih’
b) Tembung Dwilingga
Menurut Setiyanto (2007: 81) tembung dwilingga ialah kata yang diucapkan dua
Tembung dwilingga adalah kata dasar yang diulang (Sasangka, 2008:106). Jadi dapat
disimpulkan bahwa tembung dwilingga adalah pengulangan kata dari kata dasarnya.
Menurut Sasangka (2008: 106) dwilingga dibagi menjadi empat tembung dwilingga.
Tembung dwilingga yang pertama yaitu dwilingga utuh. Tembung dwilingga yang
kedua yaitu dwilingga salin swara. Tembung dwilingga yang ketiga yaitu dwilingga
imbuhan.
(1) Dwilingga Wutuh : kata dasar yang diulang secara keseluruhan tanpa ada yang
Contoh :
takon takon-takon ‘berkali-kali tanya’
pinter pinter-pinter ‘pintar-pintar’
(2) Dwilingga Salin Swara: kata dasar yang pengulangannya mengalami perubahan
suara.
Contoh:
takon tokan-takon ‘berkali-kali tanya’
celuk celak-celuk ‘memanggil-manggil’
(3) Tembung Dwilingga Semu: kata yang berupa memper tembung dwilingga, tetapi
Contoh:
ondhe-ondhe
anting-anting
(4) Tembung Dwilingga yang Mengalami Imbuhan: tembung dwilingga yang dapat
Contoh:
ciwit-ciwitan ‘cubit-cubitan’
dialon-alonake ‘dipelan-pelankan’
c) Dwiwasana
Dalam bahasa Jawa pengulangan dengan mendapat suku kata di akhir disebut
dengan dwiwasana. Dwiwasana adalah salah satu bentuk tembung rangkep dalam
dengan mengulang bagian akhir suku kata dari bentuk dasarnya. Menurut Sasangka
(2008: 112) dwiwasana adalah kata ulang yang pengulangannya diulang pada bagian
akhir dari suku kata bentuk dasar. Menurut Setiyanto (2007: 88) dwiwasana
Contoh:
cenges cengesnges cengenge ‘tertawa yang kurang sopan’
cekak cekakkak cekakak ‘tertawa yang keras’
Pemajemukan adalah peristiwa yang bergabungnya dua morfem dasar atau lebih
secara padu dan menimbulkan arti yang relatif baru (Muslich, 2009: 57). Menurut
Ramlan (2001:76) pemajemukan adalah gabungan dua kata yang menimbulkan satu
kata baru. Kata yang terjadi dari gabungan dua kata itu disebut kata majemuk. Kata
majemuk adalah kata yang terdiri dari dua kata sebagai unsurnya (Ramlan, 2001:76).
Dalam bahasa Jawa kata majemuk disebut juga dengan tembung camboran, yaitu dua
kata atau lebih yang digabung jadi satu yang menimbulkan kata baru dan arti baru
juga. Tembung camboran (kata majemuk) bisa mendapat imbuhan apa saja (Sasangka,
2008: 112). Tembung camboran (kata majemuk) dibedakan menjadi dua, yaitu
a) Camboran Wutuh: gabungan dua kata atau lebih dari kata-kata yang masih utuh.
Contoh:
semar mendem ‘nama makanan dari ketan’
raja lele ‘nama beras yang enak’
b) Camboran Tugel: gabungan dua kata atau lebih yang masih utuh dan masing-
masing kata tersebut hanya diambil atau dipakai sebagian suku katanya saja.
Contoh:
panastis panas + atis ‘penyakit’
lunglit balung + kulit ‘kurus sekali’
bangjo abang + ijo ‘lampu lalu lintas’
Perbedaan semantis masih memiliki pertalian antara makna yang digunakan pada
daerah pengamatan tertentu dengan makna yang digunakan pada daerah pengamatan
yang lainnya. Dari perbedaan tersebut, muncullah hubungan makna (struktur leksikal)
yang beragam. Hubungan makna kata itu dapat berwujud: sinonim, antonim, polisemi,
hominim, dan hiponimi (Keraf, 2010: 34). Namun dalam penelitian ini peneliti hanya
1) Sinonim
Menurut Keraf (2010: 34) sinonim adalah suatu sistem yang dibatasi sebagai,
(1) telaah mengenai bermacam-macam kata yang memiliki makna yang sama, (2)
keadaan di mana dua kata atau lebih memiliki makna yang sama. Sebaliknya sinonim
adalah kata-kata yang memiliki makna sama. Sinonim atau sinonimi adalah hubungan
semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan
satuan ujaran lainnya (Chaer, 2012: 297). Sedangkan menurut Djajasudarma (2009:
55) sinonim itu digunakan untuk menyatakan sameness of meaning (kesamaan arti).
Dari beberapa pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sinonim adalah kata
yang memiliki perbedaan pada nama untuk benda yang sama, dan maknanya sama.
2) Homonim
Homonim adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya ‘kebetulan’
sama; maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau
bentuk ujaran yang berlainan (Chaer, 2012: 297). Sedangkan menurut Djajasudarma
(2009: 64) homonim adalah hubungan makna dan bentuk bila dua buah makna atau
lebih dinyatakan dengan sebuah bentuk yang sama. Homonim adalah dua kata atau
lebih tetapi memiliki bentuk yang sama (Keraf, 2010: 36). Dapat disimpulkan bahwa
homonim adalah kata yang memiliki nama yang sama untuk benda dan bentuk yang