Abstrak
Makalah ini berjudul “Variasi Dialek Bahasa Jawa di Kecamatan Langensari Kota Banjar
Provinsi Jawa Barat”. Makalah ini mendeskripsikan dan memetakan variasi geografis bahasa Jawa di
Kecamatan Langensari, yang berkaitan dengan unsur fonologi, morfologi, dan leksikal, serta
mendeskripsikan daerah inti pemakaian bahasa Jawa baku (BJB), daerah pengaruh bahasa Sunda (BS),
dan daerah inti pemakaian bahasa Jawa Langensari (BJL). Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode kualitatif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode cakap semuka
dengan teknik pancing, yang terdiri dari dua teknik, yaitu teknik catat dan teknik rekam. Hasil penelitian
variasi geografis bahasa Jawa di Kecamatan Langensari menunjukan adanya perbedaan fonologi sebesar
42%, morfologi sebesar 22%, dan leksikal sebesar 36%. Dari hasil pemetaan variasi geografis bahasa
Jawa di Kecamatan Langensari, dapat diketahui bahwa inti daerah pakai BJB adalah Kecamatan
Langensari, serta inti daerah pakai kosakata BJL adalah Desa Waringinsari, sedangkan daerah yang
banyak terpengaruh unsur BS adalah Desa Kujangsari.
Kata kunci: dialektologi, bahasa Jawa, dan pemetaan bahasa.
1. Pendahuluan
Penyebaran bahasa memunculkan adanya dialek, salah satunya adalah bahasa Jawa yang terdapat
di Kecamatan Langensari Kota Banjar Provinsi Jawa Barat. Kota Banjar merupakan wilayah perbatasan
Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah, serta sebagai gerbang masuk Provinsi Jawa Barat yang sebagian
besar penduduknya menggunakan bahasa Sunda untuk selanjutnya disingkat BS. Kota Banjar terbagi
menjadi empat kecamatan dan salah satunya adalah Kecamatan Langensari.
Secara geografis Kecamatan Langensari berada di sebelah timur Kota Banjar yang berbatasan
langsung dengan Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah. Di Kecamatan
Langensari terdapat percampuran penutur antara BS, BJ, dan BI. Masyarakat penutur BJ yang ada di
Kecamatan Langensari sudah ada sejak zaman penjajahan Jepang dan banyak di antara mereka bermigrasi
dari daerah Jawa yang memiliki dialek BJ yang berbeda, seperti daerah Yogyakarta, Solo, Semarang,
Kebumen, Bumiayu, Purwokerto, dan Malang, tetapi mayoritas penutur bahasa Jawa di Kecamatan
Langensari berasal dari daerah Kebumen.
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan terlihat adanya variasi dialek BJL, seperti variasi
fonologis BJL, misalnya, kata [ɛwan], [kɛwan], [hɛwan] ‘binatang’. Variasi morfologi, seperti [tulisna],
[tulisakɛ], [tulisәn], [tulisnɔ?], [tuliskәn] ‘tuliskan’. Variasi leksikal, seperti [iŋgәk], [ŋlaŋi], [kәburan],
[slibɔn], dan [renaŋ] ‘renang’. Kosakata khas BJL, seperti [mbәsәm] ‘membakar’, [matak] ‘melempar’,
dan [gәluk] ‘ikan asin’.
Setiap bahasa, termasuk BJL mempunyai keseluruhan sistem yang bersifat khas, mengatur, dan
memperlihatkan variasi, baik variasi sosial maupun variasi geografis. Variasi geografis terlihat dalam
dialek-dialek.
2. Metodologi
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan waktu
sinkronis dan diakronis (Mahsun, 2005:84). Metode tersebut berfungsi untuk mendeskripsikan variasi
geografis bahasa Jawa di Kecamatan Langensari Kota Banjar, Provinsi Jawa Barat. Metode yang
digunakan dalam penyediaan data untuk penelitian ini adalah metode cakap. Metode cakap adalah cara
yang ditempuh dalam pengumpulan data itu adalah berupa percakapan antara peneliti dengan informan
(Mahsun, 2005: 121). Metode cakap memiliki teknik dasar berupa teknik pancing (Mahsun, 2005: 94).
Selanjutnya, teknik dasar tersebut dijabarkan ke dalam beberapa teknik lanjutan yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu teknik cakap semuka, teknik catat, dan teknik rekam.
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini berupa tuturan lisan informan yang disebut dengan pembahan
atau penutur BJL. Adapun sampel atau percontoh dalam penelitian ini adalah penutur BJL yang bertempat
1
2
tingggal di Desa Langensari, Desa Waringinsari, Kelurahan Muktisari, Desa Kujangsari, Desa Rejasari,
dan Kelurahan Bojongkantong. Pembahan yang akan diwawancarai terdiri atas satu atau dua orang
informan dari tiap-tiap titik pengamatan.
Informan terpilih adalah informan dengan kriteria (1) laki-laki, (2) tidak terlalu tua atau tidak
terlalu muda (antara 25 50 tahun), (3) penduduk asli daerah yang diteliti, (4) menguasai BJ (BJL), (5)
berpendidikan tertinggi sekolah dasar, (6) jarang atau tidak pernah berpergian jauh ke luar daerah, (7)
sehat jasmani dan rohani, (8) masih memiliki alat ucap yang lengkap (Ayatrohaedi, 1983: 47 48).
4. Landasan Teori
4.1 Dialektologi
Cabang ilmu bahasa yang khusus mempelajari variasi-variasi bahasa dalam semua aspeknya
disebut dialektologi (Keraf, 1991: 143). Pateda (1990: 104) mengatakan bahwa dialektologi mempelajari
serta membandingkan bahasa-bahasa yang masih serumpun untuk mencari titik persamaan dan titik
perbedaannya. Dialektologi disebut juga variasi bahasa berdasarkan geografisnya.
4.1.1 Dialek
Rumusan yang dibuat oleh Panitia Atlas Bahasa-bahasa Eropa mengenai dialek menyatakan
dialek sebagai sistem kebahasaan yang dipergunakan oleh satu masyarakat untuk membedakannya dari
masyarakat lain yang bertetangga yang mempergunakan sistem yang berlainan walaupun erat
hubungannya (Weijnen dkk., 1975: 62 dalam Ayatrohaedi, 1978: 42).
4.1.2 Pembeda Dialek
Menurut Ayatrohaedi (1983: 3 5), pada tingkat dialek, perbedaan tersebut pada garis besarnya
dapat dibagi menjadi lima macam, kelima macam perbedaan itu ialah: (1) Perbedaan fonologis,
polimorfisme, atau alofonis; (2) Perbedaan semantis; (3) Perbedaan onomasiologis; (4) Perbedaan
semasiologis; dan (5) Perbedaan morfologis.
4.2 Geografi Dialek
Geografi dialek merupakan suatu teknik yang dapat digunakan untuk merekonstruksi sejarah
dalam arti yang terbatas (Keraf, 1991: 143). Geografi dialek kadang-kadang disebut dialektologi regional,
linguistik wilayah, geografi linguistik, dan dialektologi tradisional (Walters, 1988: 120 dalam Wahya,
1995: 26). Geografi dialek merupakan kajian dialek regional atau dialek geografis (Bissantz dkk., 1988:
341 dalam Wahya: 1995: 26).
4.2.1 Batasan Geografi Dialek
Geografi dialek ialah cabang dialektologi yang mempelajari hubungan yang terdapat di dalam
ragam-ragam bahasa, dengan bertumpu kepada satuan ruang atau tempat terwujudnya ragam-ragam
tersebut (Dubois dkk., 1973: 320 dalam Ayatrohaedi, 1978: 78). Geografi dialek menyajikan hal-hal yang
bertalian dengan pemakaian anasir bahasa yang diteliti pada saat penelitian dilakukan sehingga dapat
dibuktikan (Jaberg, 1936: 13 dalam Ayatrohaedi, 1978: 78).
4.2.2 Hubungan dan Kedudukan Geografi Dialek dalam Ilmu Bahasa
Dari kenyataan bahwa negara-negara yang memiliki perkembangan ilmu bahasa yang sudah
lanjut telah memiliki atau sedang mengusahakan pembuatan atlas bahasanya masing-masing, barangkali
dapat diambil kesimpulan bahwa geografi dialek mempunyai kedudukan yang penting di dalam ilmu
bahasa umumnya, dialektologi khususnya. Bahkan kadang-kadang, pengertian geografi itu dirancukan
dengan pengertian dialektologi itu sendiri (Ayatrohaedi, 1983: 31).
4.2.3 Peta Bahasa
Kedudukan dan peranan peta bahasa di dalam kajian geografi dialek merupakan sesuatu yang
secara mutlak diperlukan. Dengan peta-peta itu, baik perbedaan maupun persamaan yang terdapat di
antara dialek-dialek yang diteliti itu dapat merupakan alat bantu yang demikian penting di dalam usaha
“menyatakan” kenyataan-kenyataan tersebut (Ayatrohaedi, 1983: 31 32).
4.3 Dialektometri
Dialektometri ialah ukuran secara statistik yang dipergunakan untuk melihat beberapa jauh
perbedaan dan persamaan yang terdapat di tempat-tempat yang teliti dengan membandingkan sejumlah
bahasa yang terkumpul dari tempat yang diteliti tersebut (Ayatrohaedi, 1983: 32). Agar perhitungan itu
lebih mudah disiapkan 100 peta. Dengan memperhitungkan jumlah bedanya masing-masing dikalikan
dengan 100 lalu di bagi jumlah nyata peta yang dibandingkan, dengan rumus sebagai berikut:
S x 100 = d%
n
S = jumlah beda dengan pengamatan daerah lain.
n = jumlah peta yang diperbandingkan.
3
Dari 100 buah peta yang disajikan, peta fonologi terdiri dari peta (01) (42) atau 42% merupakan
peta yang memperlihatkan perbedaan secara fonologis.
5.1.2 Peta Morfologi
Pembahasan variasi morfologis dalam peta-peta ini berdasarkan pada perbedaan proses
morfologis, seperti penggunaan afiksasi dan reduplikasi.
Dari 100 buah peta bahasa yang disajikan, peta morfologi terdiri dari peta (43) (64) atau 22%
merupakan peta yang memperlihatkan perbedaan secara morfologis.
5.1.3 Peta Leksikal
Peta leksikal yang disajikan dalam penelitian ini terdiri dari peta nomor (65) (100) atau 36%
yang memperlihatkan perbedaaan secara leksikal.
Berikut adalah beberapa gambaran BJB, BJ yang terpengaruh BS, dan BJL dapat dilihat dalam tabel
sebagai berikut..
Tabel 5.1 BJB, BJ yang Terpengaruh BS, dan BJL
Keterangan:
1. Desa Kujangsari
2.Kelurahan Bojongkantong
3. Desa Rejasari
4. Desa Langensari
5. Kelurahan Muktisari
6. Desa Waringinsari
Skala 1:250.000
6. Penutup
6.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data pada bagian 3 dapat disimpulkan hal-hal berikut.
1. Dari seratus unsur bahasa yang diteliti, diperoleh perbedaan unsur bahasa pada peta-peta tersebut
dengan rincian sebagai berikut: (1) Peta (01) (42) atau 42% merupakan peta yang memperlihatkan
perbedaan secara fonologis; (2) Peta (43) (64) atau 22% merupakan peta yang memperlihatkan
perbedaan secara morfologis; (3) Peta (65) (100) atau 36% merupakan peta yang memperlihatkan
perbedaan secara leksikal.
2. Berdasarkan distribusi unsur bahasa di enam desa yang diteliti, peta unsur bahasa memperlihatkan
variasi geografis sebagai berikut:
a. Terdapat 24 buah peta yang memperlihatkan dua variasi geografis;
b. Terdapat 27 buah peta yang memperlihatkan tiga variasi geografis;
c. Terdapat 24 buah peta yang memperlihatkan empat variasi geografis;
d. Terdapat 19 buah peta yang memperlihatkan lima variasi geografis;
e. Terdapat 6 buah peta yang memperlihatkan enam variasi geografis.
6
3. Berdasarkan sampel data yang diperbandingkan dapat diketahui besarnya persentase inti pemakaian
BJB, daerah pengaruh BS, dan inti pakai BJL di lima desa yang diteliti, yaitu Desa Kujangsari,
Kelurahan Bojongkantong, Desa Rejasari, Desa Langensari, Kelurahan Muktisari, dan Desa
Waringinsari.
Tabel 6.2
Persentase Pemakaian BJB, BJL, dan daerah pengaruh BS
Pemakaian
Nama Pemakaian Pemakaian
No Kosakata Daerah
Desa/Kelurahan Kosakata BJB Kosakata BJL
Pengaruh BS
1 Kujangsari 30% 55% 10%
2 Bojongkantong 40% 15% 15%
3 Rejasari 15% 20% 20%
4 Langensari 45% 25% 25%
5 Muktisari 25% 15% 15%
6 Waringinsari 35% 15% 50%
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa inti daerah pakai BJB adalah Desa Langensari, serta
inti daerah pakai kosakata BJL adalah Desa Waringinsari, sedangkan daerah yang banyak terpengaruh
unsur BS adalah Desa Kujangsari.
7. Daftar Pustaka
Alwi, Hasan, dan Dendy Sugono (ed.). 2003. Politik Bahasa: Rumusan Seminar Politik Bahasa.
Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Ayatrohaedi. 1978. “Bahasa Sunda di Daerah Cirebon: Sebuah Kajian Lokabasa”. Disertasi Fakultas
Sastra. Jakarta: Universitas Indonesia.
Ayatrohaedi. 1983. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan danPengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ayatrohaedi. 2003. Pedoman Penelitian Dialek. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Danarhono, Sigit Respati. 1994. “Menelusuri Bahasa Jawa Dialek Banyumas di Kabupaten Cilacap”.
Skripsi Program Studi Jawa. Depok: Universitas Indonesia.
Sugono, Dendy, Sugiono, dan Meity Tadir Qodratillah (ed.). 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa. Cetakan ke-4. Jakarta: Gramedia.
Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. 2010. “Laporan Kuliah Kerja Lapangan
Penelitian Kondisi Sosial, Budaya, Folklor, dan Dialek di Kelurahan Bojongkantong Kecamatan
Langensari Kota Banjar, Jawa Barat 29–30 Mei 2010”. Tersedia di http://www.blogs.unpad.ac.id
(diakses pada 27 Maret 2013).
Keraf, Gorys. 1991. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: Rajawali
Pers.
Pateda, Mansor.1990. Linguistik: Sebuah Pengantar. Bandung: Angkasa.
Prawiraatmaja, Dudu, Agus Suriamiharja, dan Hidayat. 1979. Geografi Dialek Bahasa Sunda di
Kabupaten Ciamis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Tamsyah, Budi Rahayu. 2010. Kamus Lengkap Sunda-Indonesia Indonesia-Sunda Sunda-Sunda.
Bandung: Pustaka Setia.
Wahya. 1995. “Bahasa Sunda di Kecamatan Kandanghaur dan Kecamatan Lelea Kabupaten Indramayu:
Kajian Geografi Dialek”. Tesis Fakultas Sastra. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Wedrawati, Wiwin Erni Siti Nurlina, dan Edi Sutiyanto. 2001. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Windari, Nursam. 2002. Kamus Basa Jawa: Jawa-Indonesia Indonesia-Jawa. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama.