Anda di halaman 1dari 6

Variasi Dialek Bahasa Jawa di Kecamatan Langensari Kota Banjar Provinsi Jawa Barat

Linda Sari Wulandari


Universitas Indonesia
lindasariwulandari.17@gmail.com

Abstrak

Makalah ini berjudul “Variasi Dialek Bahasa Jawa di Kecamatan Langensari Kota Banjar
Provinsi Jawa Barat”. Makalah ini mendeskripsikan dan memetakan variasi geografis bahasa Jawa di
Kecamatan Langensari, yang berkaitan dengan unsur fonologi, morfologi, dan leksikal, serta
mendeskripsikan daerah inti pemakaian bahasa Jawa baku (BJB), daerah pengaruh bahasa Sunda (BS),
dan daerah inti pemakaian bahasa Jawa Langensari (BJL). Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode kualitatif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode cakap semuka
dengan teknik pancing, yang terdiri dari dua teknik, yaitu teknik catat dan teknik rekam. Hasil penelitian
variasi geografis bahasa Jawa di Kecamatan Langensari menunjukan adanya perbedaan fonologi sebesar
42%, morfologi sebesar 22%, dan leksikal sebesar 36%. Dari hasil pemetaan variasi geografis bahasa
Jawa di Kecamatan Langensari, dapat diketahui bahwa inti daerah pakai BJB adalah Kecamatan
Langensari, serta inti daerah pakai kosakata BJL adalah Desa Waringinsari, sedangkan daerah yang
banyak terpengaruh unsur BS adalah Desa Kujangsari.
Kata kunci: dialektologi, bahasa Jawa, dan pemetaan bahasa.

1. Pendahuluan
Penyebaran bahasa memunculkan adanya dialek, salah satunya adalah bahasa Jawa yang terdapat
di Kecamatan Langensari Kota Banjar Provinsi Jawa Barat. Kota Banjar merupakan wilayah perbatasan
Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah, serta sebagai gerbang masuk Provinsi Jawa Barat yang sebagian
besar penduduknya menggunakan bahasa Sunda untuk selanjutnya disingkat BS. Kota Banjar terbagi
menjadi empat kecamatan dan salah satunya adalah Kecamatan Langensari.
Secara geografis Kecamatan Langensari berada di sebelah timur Kota Banjar yang berbatasan
langsung dengan Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah. Di Kecamatan
Langensari terdapat percampuran penutur antara BS, BJ, dan BI. Masyarakat penutur BJ yang ada di
Kecamatan Langensari sudah ada sejak zaman penjajahan Jepang dan banyak di antara mereka bermigrasi
dari daerah Jawa yang memiliki dialek BJ yang berbeda, seperti daerah Yogyakarta, Solo, Semarang,
Kebumen, Bumiayu, Purwokerto, dan Malang, tetapi mayoritas penutur bahasa Jawa di Kecamatan
Langensari berasal dari daerah Kebumen.
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan terlihat adanya variasi dialek BJL, seperti variasi
fonologis BJL, misalnya, kata [ɛwan], [kɛwan], [hɛwan] ‘binatang’. Variasi morfologi, seperti [tulisna],
[tulisakɛ], [tulisәn], [tulisnɔ?], [tuliskәn] ‘tuliskan’. Variasi leksikal, seperti [iŋgәk], [ŋlaŋi], [kәburan],
[slibɔn], dan [renaŋ] ‘renang’. Kosakata khas BJL, seperti [mbәsәm] ‘membakar’, [matak] ‘melempar’,
dan [gәluk] ‘ikan asin’.
Setiap bahasa, termasuk BJL mempunyai keseluruhan sistem yang bersifat khas, mengatur, dan
memperlihatkan variasi, baik variasi sosial maupun variasi geografis. Variasi geografis terlihat dalam
dialek-dialek.

2. Metodologi
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan waktu
sinkronis dan diakronis (Mahsun, 2005:84). Metode tersebut berfungsi untuk mendeskripsikan variasi
geografis bahasa Jawa di Kecamatan Langensari Kota Banjar, Provinsi Jawa Barat. Metode yang
digunakan dalam penyediaan data untuk penelitian ini adalah metode cakap. Metode cakap adalah cara
yang ditempuh dalam pengumpulan data itu adalah berupa percakapan antara peneliti dengan informan
(Mahsun, 2005: 121). Metode cakap memiliki teknik dasar berupa teknik pancing (Mahsun, 2005: 94).
Selanjutnya, teknik dasar tersebut dijabarkan ke dalam beberapa teknik lanjutan yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu teknik cakap semuka, teknik catat, dan teknik rekam.

3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini berupa tuturan lisan informan yang disebut dengan pembahan
atau penutur BJL. Adapun sampel atau percontoh dalam penelitian ini adalah penutur BJL yang bertempat
1
2

tingggal di Desa Langensari, Desa Waringinsari, Kelurahan Muktisari, Desa Kujangsari, Desa Rejasari,
dan Kelurahan Bojongkantong. Pembahan yang akan diwawancarai terdiri atas satu atau dua orang
informan dari tiap-tiap titik pengamatan.
Informan terpilih adalah informan dengan kriteria (1) laki-laki, (2) tidak terlalu tua atau tidak
terlalu muda (antara 25 50 tahun), (3) penduduk asli daerah yang diteliti, (4) menguasai BJ (BJL), (5)
berpendidikan tertinggi sekolah dasar, (6) jarang atau tidak pernah berpergian jauh ke luar daerah, (7)
sehat jasmani dan rohani, (8) masih memiliki alat ucap yang lengkap (Ayatrohaedi, 1983: 47 48).

4. Landasan Teori
4.1 Dialektologi
Cabang ilmu bahasa yang khusus mempelajari variasi-variasi bahasa dalam semua aspeknya
disebut dialektologi (Keraf, 1991: 143). Pateda (1990: 104) mengatakan bahwa dialektologi mempelajari
serta membandingkan bahasa-bahasa yang masih serumpun untuk mencari titik persamaan dan titik
perbedaannya. Dialektologi disebut juga variasi bahasa berdasarkan geografisnya.
4.1.1 Dialek
Rumusan yang dibuat oleh Panitia Atlas Bahasa-bahasa Eropa mengenai dialek menyatakan
dialek sebagai sistem kebahasaan yang dipergunakan oleh satu masyarakat untuk membedakannya dari
masyarakat lain yang bertetangga yang mempergunakan sistem yang berlainan walaupun erat
hubungannya (Weijnen dkk., 1975: 62 dalam Ayatrohaedi, 1978: 42).
4.1.2 Pembeda Dialek
Menurut Ayatrohaedi (1983: 3 5), pada tingkat dialek, perbedaan tersebut pada garis besarnya
dapat dibagi menjadi lima macam, kelima macam perbedaan itu ialah: (1) Perbedaan fonologis,
polimorfisme, atau alofonis; (2) Perbedaan semantis; (3) Perbedaan onomasiologis; (4) Perbedaan
semasiologis; dan (5) Perbedaan morfologis.
4.2 Geografi Dialek
Geografi dialek merupakan suatu teknik yang dapat digunakan untuk merekonstruksi sejarah
dalam arti yang terbatas (Keraf, 1991: 143). Geografi dialek kadang-kadang disebut dialektologi regional,
linguistik wilayah, geografi linguistik, dan dialektologi tradisional (Walters, 1988: 120 dalam Wahya,
1995: 26). Geografi dialek merupakan kajian dialek regional atau dialek geografis (Bissantz dkk., 1988:
341 dalam Wahya: 1995: 26).
4.2.1 Batasan Geografi Dialek
Geografi dialek ialah cabang dialektologi yang mempelajari hubungan yang terdapat di dalam
ragam-ragam bahasa, dengan bertumpu kepada satuan ruang atau tempat terwujudnya ragam-ragam
tersebut (Dubois dkk., 1973: 320 dalam Ayatrohaedi, 1978: 78). Geografi dialek menyajikan hal-hal yang
bertalian dengan pemakaian anasir bahasa yang diteliti pada saat penelitian dilakukan sehingga dapat
dibuktikan (Jaberg, 1936: 13 dalam Ayatrohaedi, 1978: 78).
4.2.2 Hubungan dan Kedudukan Geografi Dialek dalam Ilmu Bahasa
Dari kenyataan bahwa negara-negara yang memiliki perkembangan ilmu bahasa yang sudah
lanjut telah memiliki atau sedang mengusahakan pembuatan atlas bahasanya masing-masing, barangkali
dapat diambil kesimpulan bahwa geografi dialek mempunyai kedudukan yang penting di dalam ilmu
bahasa umumnya, dialektologi khususnya. Bahkan kadang-kadang, pengertian geografi itu dirancukan
dengan pengertian dialektologi itu sendiri (Ayatrohaedi, 1983: 31).
4.2.3 Peta Bahasa
Kedudukan dan peranan peta bahasa di dalam kajian geografi dialek merupakan sesuatu yang
secara mutlak diperlukan. Dengan peta-peta itu, baik perbedaan maupun persamaan yang terdapat di
antara dialek-dialek yang diteliti itu dapat merupakan alat bantu yang demikian penting di dalam usaha
“menyatakan” kenyataan-kenyataan tersebut (Ayatrohaedi, 1983: 31 32).
4.3 Dialektometri
Dialektometri ialah ukuran secara statistik yang dipergunakan untuk melihat beberapa jauh
perbedaan dan persamaan yang terdapat di tempat-tempat yang teliti dengan membandingkan sejumlah
bahasa yang terkumpul dari tempat yang diteliti tersebut (Ayatrohaedi, 1983: 32). Agar perhitungan itu
lebih mudah disiapkan 100 peta. Dengan memperhitungkan jumlah bedanya masing-masing dikalikan
dengan 100 lalu di bagi jumlah nyata peta yang dibandingkan, dengan rumus sebagai berikut:
S x 100 = d%
n
S = jumlah beda dengan pengamatan daerah lain.
n = jumlah peta yang diperbandingkan.
3

d = jarak kosakata dalam presentase.


Dalam penelitian ini, untuk penentuan daerah pakai variasi bahasa, tidak akan digunakan metode
dialektometri, tetapi akan digunakan frekuensi pemakaian kosakata BJB, BJL, dan BS pada setiap daerah
inti pemakaian bahasa.
4.4 Penafsiran Peta
Menurut Ayatrohaedi (1978: 112), penafsiran peta hasil penelitian geografi dialek ialah sebagai
berikut: (1) Pengelempokan bahan yang terkumpul dari pupuan yang dilakukan; (2) Pembuatan peta buta;
(3) Pengisian peta dengan berian yang terkumpul, dapat dilakukan dengan berbagai sistem, yaitu (a)
sistem langsung, (b) sistem lambang, (c) sistem petak.

5. Deskripsi Bahasa Jawa yang Dipetakan di Kecamatan Langensari Kota Banjar


Variasi fonemis dalam BJL meliputi hal-hal yang berkaitan dengan fonem vokal, fonem
konsonan, dan gugus konsonan.
Dalam BJL ditemukan enam jenis fonem vokal, yaitu /I/, /u/, /ɛ/, /ә/, /ͻ/, dan /a/, serta ditemukan
20 jenis fonem konsonan, yaitu /p/, /b/, /w/, /t/, /d/, /n/, /m/, /s/, /l/, /r/, /ṭ/, /c/, /j/, /y/, /ñ/, /ŋ/, /?/, /k/, /g/,
dan /h/. Bunyi-bunyi tersebut membedakan makna, sehingga dapat diidentifikasikan sebagai fonem.
Berdasarkan distribusi fonem-fonem BJL dapat diketahui bahwa fonem vokal /ә/ hanya terdapat
di awal dan tengah kata, fonem-fonem konsonan /b/, /w/, /c/, /j/, /ñ/, dan /y/ tidak pernah berada pada
akhir kata, fonem /k/ di akhir kata diucapkan lebih jelas dan lebih tebal, serta kata yang diakhiri dengan
fonem vokal selalu diikuti fonem /?/ di akhir kata.
Gugus konsonan BJL yang terdiri dari dua konsonan ada 18 jenis, yakni /bl/, /cl/, /gr/, /kr/, /mb/,
/ml/, /py/, /nd/, /ñj/, /nr/, /ŋg/, /ŋl/, /ñj/, /pr/, /sl/, /sr/, /tr/, dan /mr/. Gugus konsonan BJL hanya terdapat
pada posisi awal dan tengah kata.
5.1 Pembahasan Peta
Gambaran mengenai peta-peta unsur bahasa BJL dibahas dalam pembahasan peta. Peta-peta
tersebut terdiri atas peta-peta yang memperlihatkan perbedaan atau variasi leksikal dalam bentuk leksikal
penuh dan leksikal sebagian (parsial), seperti fonologis dan morfologis. Peta-peta bahasa menggunakan
sistem lambang. Peta desa yang diteliti ditandai dengan nomor 1, 2, 3, 4, 5, dan 6. Keenam nomor desa itu
secara berurutan menandai (1) Desa Kujangsari, (2) Kelurahan Bojongkantong, (3) Desa Rejasari, (4)
Desa Langensari, (5) Kelurahan Muktisari, dan (6) Desa Waringinsari.
5.1.1 Peta Fonologi
Peta-peta unsur bahasa ini membahas variasi dialek yang bersifat fonologis. Pembahasan variasi
fonologis dalam peta-peta ini berdasarkan pada perubahan bunyi, seperti perubahan vokal, perubahan
konsonan, penghilangan konsonan, penghilangan vokal, dan penambahan konsonan.
1. Perubahan vokal
/a/  /ɔ/, misal: [cakɔt]  [cɔkɔt] ‘gigit’
/ɛ/  /I/, misal: [ɛtuŋ]  [Ituŋ] ‘hitung’
/a/  /ә/, misal: [busak]  [busәk] ‘hapus’
2. Perubahan konsonan
/b/  /w/, misal: [bәŋI?]  [wәŋI?] ‘malam’
/k/  /g/, misal: [kɔsɔk]  [gɔsɔk] ‘gosok’
/c/  /j/, misal: [cәkәl]  [jәkәl] ‘pegang’
3. Penghilangan konsonan /h/
Misal: [hɛwan]  [ɛwan] ‘hewan’
[hawu?]  [awu?] ‘abu’
4. Penghilangan konsonan
Misal: [muntah]  [mutah] ‘muntah’
[pɛdәk]  [ɛdәk] ‘dekat’
[mbәŋI?]  [bәŋI?] ‘malam’
[Iduh]  [Idu?] ‘ludah’
5. Penghilangan vokal
Misal: [Iñɔŋ]  [ñɔŋ] ‘saya’
[uwɔŋ]  [wɔŋ] ‘orang’
[awɔh]  [wɔh] ‘buah’
[әndɔg]  [ndɔg] ‘telur’
4

Dari 100 buah peta yang disajikan, peta fonologi terdiri dari peta (01) (42) atau 42% merupakan
peta yang memperlihatkan perbedaan secara fonologis.
5.1.2 Peta Morfologi
Pembahasan variasi morfologis dalam peta-peta ini berdasarkan pada perbedaan proses
morfologis, seperti penggunaan afiksasi dan reduplikasi.
Dari 100 buah peta bahasa yang disajikan, peta morfologi terdiri dari peta (43) (64) atau 22%
merupakan peta yang memperlihatkan perbedaan secara morfologis.
5.1.3 Peta Leksikal
Peta leksikal yang disajikan dalam penelitian ini terdiri dari peta nomor (65) (100) atau 36%
yang memperlihatkan perbedaaan secara leksikal.
Berikut adalah beberapa gambaran BJB, BJ yang terpengaruh BS, dan BJL dapat dilihat dalam tabel
sebagai berikut..
Tabel 5.1 BJB, BJ yang Terpengaruh BS, dan BJL

Glos BJB BJL BJ yang Terpengaruh BS


ikan asin [grɛh] [gәluk] [gɛsɛk]
kecambah [cambah] [capar] [tɔgɛ?]
danau [tәlaga?] [kubaŋ] [sItu?]
lampu minyak [tɛplɔk] [lampu ŋamblɔk] [damar]
labu siam [waloh] [jIpan] [waluh]
minyak tanah [lәŋa?] [patra?] [latuŋ]

a. Daerah Pakai Kosakata BJB dan Inti Daerah Pakai BJB


(1) Daerah Pakai Kosakata BJB
Parameter kosakata BJB dalam penelitian ini menggunakan kamus BJ. Berdasarkan penelitian
seratus buah peta yang disajikan, untuk menentukan daerah pakai kosakata BJB diambil 36 buah peta
leksikal. Dari 36 buah peta tersebut hanya diambil 20 buah sebagai contoh, seperti beberapa contoh
berikut: peta (65) [lan] ‘dan’, (67) [grɛh] ‘ikan asin’, (68) [cambah] ‘taoge’, (70) [ŋlaŋI?] ‘berenang’, (74)
[tɛplɔk] ‘lampu, dan (91) [kәtIga?] ‘musim kemarau’.
(2) Inti Daerah Pakai BJB
Dari seratus buah peta yang disajikan, hanya dipilih 20 buah peta leksikal yang digunakan untuk
perhitungan persentase inti daerah pakai BJB. Persamaan pemakaian BJB berkisar antara 15% 45%.
Persamaan terbesar terdapat di Desa Langensari/desa 4 sebesar 45%, sedangkan persamaan terendah 15%
terdapat di Desa Rejasari/desa 3.
Adapun gambaran pemakaian inti daerah pakai BJB di tiap-tiap desa sebagai berikut:
a. Desa 1 memperlihatkan persamaan sebesar 30%;
b. Desa 2 memperlihatkan persamaan sebesar 40%;
c. Desa 3 memperlihatkan persamaan sebesar 15%;
d. Desa 4 memperlihatkan persamaan sebesar 45%;
e. Desa 5 memperlihatkan persamaan sebesar 25%;
f. Desa 6 memperlihatkan persamaan sebesar 35%.
b. Daerah Unsur Pengaruh BS dan Inti Daerah Pengaruh BS
(1) Daerah Unsur Pengaruh BS
Parameter untuk menentukan BJL yang dipengaruhi oleh BS, yaitu dengan bertanya kepada
informan yang berlatar belakang BS dan tinggal di desa pemakai BS. Kemudian data BS yang didapat
dari informan penutur BS dibandingkan dengan BJ yang diperoleh dari daerah penelitian. BJL yang
memperlihatkan persamaan dengan BS tersebut merupakan kosakata BJL yang mendapat pengaruh dari
BS, seperti beberapa contoh berikut: peta (68) [tɔgɛ?] ‘tauge’, (71) [sItu?] ‘danau’, (72) [laut] ‘laut’, (73)
[kɔrsI?] ‘kursi’, (74) [damar] ‘lampu minyak’, (75) [sampɔ?] ‘singkong’, dan (77) [ɛŋgal] ‘cepat’.
(2) Inti Daerah Pengaruh BS
Dari dua puluh contoh yang disajikan dapat diberikan gambaran sebagai berikut:
a. Desa 1 memperlihatkan pemakaian kosakata unsur pengaruh BS sebesar 55%;
b. Desa 2 memperlihatkan pemakaian kosakata unsur pengaruh BS sebesar 15%;
c. Desa 3 memperlihatkan pemakaian kosakata unsur pengaruh BS sebesar 20%;
d. Desa 4 memperlihatkan pemakaian kosakata unsur pengaruh BS sebesar 25%;
5

e. Desa 5 memperlihatkan pemakaian kosakata unsur pengaruh BS sebesar 15%;


f. Desa 6 memperlihatkan pemakaian kosakata unsur pengaruh BS sebesar 15%.
Dari gambaran di atas tampak di Desa Kujangsari/desa 1 memperlihatkan persentase pemakaian
BJ yang mendapat unsur pengaruh BS lebih besar daripada desa lainnya, yaitu sebesar 55%. Sedangkan,
desa yang memperlihatkan persentase pemakaian BJ mendapat unsur pengaruh BS terendah, yaitu Desa
Bojongkantong/desa 2, Desa Muktisari/desa 5, dan Desa Waringinsari/desa 6. Hal ini dapat terjadi karena
letak geografis dari desa-desa tersebut.
c. Daerah Pakai Kosakata BJL dan Inti Daerah Pakai Kosakata BJL
(1) Daerah Pakai Kosakata BJL
Dari seratus buah peta yang disajikan, untuk menentukan daerah pakai kosakata BJL diambil 36
buah peta leksikal. Dari 36 buah peta tersebut hanya diambil 20 buah sebagai contoh, seperti beberapa
contoh berikut: (66) [saIpәt] ‘sedikit’, (67) [gɛsɛk] ‘ikan asin’, (68) [ṭɔkɔlan] ‘tauge’, (69) [ŋataŋ-ŋataŋ]
‘berbaring’, dan (70) [slIbɔn] ‘berenang’.
(2) Inti Daerah Pakai Kosakata BJL
Dari dua puluh contoh yang disajikan dapat diberikan gambaran sebagai berikut.
a. Desa 1 memperlihatkan pemakaian kosakata BJL sebesar 10%
b. Desa 2 memperlihatkan pemakaian kosakata BJL sebesar 15%
c. Desa 3 memperlihatkan pemakaian kosakata BJL sebesar 20%
d. Desa 4 memperlihatkan pemakaian kosakata BJL sebesar 25%
e. Desa 5 memperlihatkan pemakaian kosakata BJL sebesar 15%
f. Desa 6 memperlihatkan pemakaian kosakata BJL sebesar 50%
Desa 6 memperlihatkan persentase
pemakaian BJL lebih besar dari desa lainnya, yaitu
sebesar 50%. Inti daerah pakai BJL, terdapat di
desa 6, yaitu Desa Waringinsari. Tidak menutup
kemungkinan kosakata BJL ini, juga dikenal di
daerah lainnya. Dengan cara membandingkan
antara BJL dengan BJB, dapat ditentukan bahwa
BJL merupakan kosakata BJL setempat walaupun
perlu diperkuat lagi dengan bukti lain.
Peta geografi dialek secara konkret
tercemin dalam peta berikut.

Keterangan:
1. Desa Kujangsari
2.Kelurahan Bojongkantong
3. Desa Rejasari
4. Desa Langensari
5. Kelurahan Muktisari
6. Desa Waringinsari
Skala 1:250.000

6. Penutup
6.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data pada bagian 3 dapat disimpulkan hal-hal berikut.
1. Dari seratus unsur bahasa yang diteliti, diperoleh perbedaan unsur bahasa pada peta-peta tersebut
dengan rincian sebagai berikut: (1) Peta (01) (42) atau 42% merupakan peta yang memperlihatkan
perbedaan secara fonologis; (2) Peta (43) (64) atau 22% merupakan peta yang memperlihatkan
perbedaan secara morfologis; (3) Peta (65) (100) atau 36% merupakan peta yang memperlihatkan
perbedaan secara leksikal.
2. Berdasarkan distribusi unsur bahasa di enam desa yang diteliti, peta unsur bahasa memperlihatkan
variasi geografis sebagai berikut:
a. Terdapat 24 buah peta yang memperlihatkan dua variasi geografis;
b. Terdapat 27 buah peta yang memperlihatkan tiga variasi geografis;
c. Terdapat 24 buah peta yang memperlihatkan empat variasi geografis;
d. Terdapat 19 buah peta yang memperlihatkan lima variasi geografis;
e. Terdapat 6 buah peta yang memperlihatkan enam variasi geografis.
6

3. Berdasarkan sampel data yang diperbandingkan dapat diketahui besarnya persentase inti pemakaian
BJB, daerah pengaruh BS, dan inti pakai BJL di lima desa yang diteliti, yaitu Desa Kujangsari,
Kelurahan Bojongkantong, Desa Rejasari, Desa Langensari, Kelurahan Muktisari, dan Desa
Waringinsari.

Tabel 6.2
Persentase Pemakaian BJB, BJL, dan daerah pengaruh BS

Pemakaian
Nama Pemakaian Pemakaian
No Kosakata Daerah
Desa/Kelurahan Kosakata BJB Kosakata BJL
Pengaruh BS
1 Kujangsari 30% 55% 10%
2 Bojongkantong 40% 15% 15%
3 Rejasari 15% 20% 20%
4 Langensari 45% 25% 25%
5 Muktisari 25% 15% 15%
6 Waringinsari 35% 15% 50%

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa inti daerah pakai BJB adalah Desa Langensari, serta
inti daerah pakai kosakata BJL adalah Desa Waringinsari, sedangkan daerah yang banyak terpengaruh
unsur BS adalah Desa Kujangsari.

7. Daftar Pustaka

Alwi, Hasan, dan Dendy Sugono (ed.). 2003. Politik Bahasa: Rumusan Seminar Politik Bahasa.
Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Ayatrohaedi. 1978. “Bahasa Sunda di Daerah Cirebon: Sebuah Kajian Lokabasa”. Disertasi Fakultas
Sastra. Jakarta: Universitas Indonesia.
Ayatrohaedi. 1983. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan danPengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ayatrohaedi. 2003. Pedoman Penelitian Dialek. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Danarhono, Sigit Respati. 1994. “Menelusuri Bahasa Jawa Dialek Banyumas di Kabupaten Cilacap”.
Skripsi Program Studi Jawa. Depok: Universitas Indonesia.
Sugono, Dendy, Sugiono, dan Meity Tadir Qodratillah (ed.). 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa. Cetakan ke-4. Jakarta: Gramedia.
Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. 2010. “Laporan Kuliah Kerja Lapangan
Penelitian Kondisi Sosial, Budaya, Folklor, dan Dialek di Kelurahan Bojongkantong Kecamatan
Langensari Kota Banjar, Jawa Barat 29–30 Mei 2010”. Tersedia di http://www.blogs.unpad.ac.id
(diakses pada 27 Maret 2013).
Keraf, Gorys. 1991. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: Rajawali
Pers.
Pateda, Mansor.1990. Linguistik: Sebuah Pengantar. Bandung: Angkasa.
Prawiraatmaja, Dudu, Agus Suriamiharja, dan Hidayat. 1979. Geografi Dialek Bahasa Sunda di
Kabupaten Ciamis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Tamsyah, Budi Rahayu. 2010. Kamus Lengkap Sunda-Indonesia Indonesia-Sunda Sunda-Sunda.
Bandung: Pustaka Setia.
Wahya. 1995. “Bahasa Sunda di Kecamatan Kandanghaur dan Kecamatan Lelea Kabupaten Indramayu:
Kajian Geografi Dialek”. Tesis Fakultas Sastra. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Wedrawati, Wiwin Erni Siti Nurlina, dan Edi Sutiyanto. 2001. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Windari, Nursam. 2002. Kamus Basa Jawa: Jawa-Indonesia Indonesia-Jawa. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama.

Anda mungkin juga menyukai