Anda di halaman 1dari 6

Sejauh ini, cukup banyak yang memiliki pemahaman bahwa dialektologi amat identik dengan pemetaan bahasa.

Namun, sesungguhnya dialektologi bukanlah sekadar pemetaan bahasa (Lauder, 2007: 25). Secara lebih lanjut, Lauder menjelaskan pula bahwa dialektologi pada dasarnya memiliki isu teoritis tersulit yang salah satunya adalah bagaimana menentukan kriteria yang tepat, akurat dan komprehensif untuk membedakan antara sosok sebuah bahasa dan sosok sebuah dialek. Kemudian, kriteria-kriteria tersebut dibutuhkan untuk menentukan status sebuah variasi bahasa di daerah tertentu untuk kemudian hasilnya berdampak pada pengelompokan dan penghitungan jumlah bahasa di seluruh dunia oleh para ahli dialektologi. Bidang dialektologi memiliki cakupan penelitian yang amat luas. Makna dasar dari dialektologi sendiri adalah ilmu tentang dialek atau ilmu tentang variasi bahasa. Variasi bahasa yang terdapat di mana-mana, dapat ditemui dalam bentuk tertulis maupun bentuk lisan, serta dapat ditemui dalam seluruh tataran linguistik membuat dialektologi menjadi ilmu yang seolah-olah terbagi ke dalam beberapa fokus penelitian. Variasi bahasa yang tersebar secara horizontal atau spasial menjadi fokus penelitian dialektologi, sedangkan variasi bahasa yang tersebar secara vertikal di berbagai kalangan strata sosial menjadi fokus penelitian sosiolinguistik. Karena baik dialektologi maupun sosiolinguistik samasama membahas masalah variasi bahasa, pada kenyataannya cukup banyak ditemukan penelitian dialektologi yang juga membicarakan variasi bahasa dari sudut sosiolinguistik dan demikian pula sebaliknya. Jika ditinjau kembali, pada awalnya dialektologi berkembang sebagai ilmu linguistik yang mempelajari dialek atau variasi bahasa yang terbagi atas geografi dialek dan sosiolinguistik. Geografi dialek hadir untuk menangani masalah variasi bahasa yang muncul dalam lingkup ruang atau spasial, sedangkan sosiolinguistik hadir guna menangani masalah-masalah variasi bahasa yang muncul dalam lingkup strata sosial (Lauder, 2007: 33). pada perkembangan selanjutnya, sosiologi berkembang cukup pesat sehingga pembagian cabang ilmu variasi bahasa bergeser menjadi sosiolinguistik yang terbagi atas sosiolinguistik dan dialektologi. Seiring dengan laju perkembangan dialektologi yang tak kalah pesat pula,

dialektologi lebih banyak dikenal orang karena kegiatan geografi dialeknya. Geografi dialek adalah salah satu bidang dalam dialektologi yang bertugas melakukan pemetaan bahasa dan melakukan analisis kebahasaan yang dikaitkan dengan faktor-faktor geografi setempat. Sejak saat itu, variasi bahasa yang berkaitan dengan dengan strata sosial (masyarakat) dianggap merupakan bagian dari sosiolinguistik dan variasi bahsa yang berkaitan dengan tempat pemakaian bahasa dianggap merupakan bagian dialektologi. Karena sama-sama mempelajari hubungan yang terdapat dalam ragam-ragam bahasa, dapat dilihat bahwa geografi dialek, salah satu bidang dalam dialektologi, memiliki hubungan yang amat erat dengan lingusistik bandingan. Geografi dialek sesungguhnya adalah "anak" atau salah satu cabang dari linguistik bandingan. Keduanya cenderung menelaah kesejarahan ragam-ragam bahasa. Hal ini sesuain dengan teori-teori linguistik pada abad XIX yang menuntut penjelasan ilmiah bersifat historis. Karena dialektologi mulanya berinduk pada linguistik historis komparatif, maka kediakronisan pada dasar penelitiannya dianggap wajar oleh beberapa ahli lingusitik. Namun, tidak selamanya pula hasil penelitian dialektologi yang berupa peta-peta bahasa bersifat diakronis. Data-data tersebut dapat pula dianalisis secara sinkronis atau dapat pula ditinjau secara struktural, fungsional, generatif, atau transformasional. Dalam dialektologi yang hadir sebagai ilmu yang membahas masalah variasi bahasa yang muncul dalam lingkup ruang, peta sebagai alat untuk memvisualisasikan variasi bahasa merupakan salah satu sarana wajib. Semua gejala bahasa serta distribusinya baru akan tampak jelas jika telah ditampilkan dalam peta. Selain itu, distribusi dari dialek yang dimaksud sebagai variasi bahasa berdasarkan tempat hadir pula sebagai faktor utama yang diperhatikan oleh para ahli dialektologi. Dialektologi secara tak langsung bersentuhan pula dengan permasalahan bahasa yang terancam punah (endangered languages), kematian bahasa (languages death), hak berbahasa-ibu (linguistic human rights), pemusnahan bahasa (linguistic genocide), dan ekologi bahasa (ecolingusitic). Dikenal pula tiga macam aliran dalam dialektologi, yaitu dialektologi tradisional, dialektologi struktural, dan dialektologi transformasi (Alwi, 2002: 126). Dialektologi struktural diawali oleh penelitian Weinreich (1954) yang hasilnya disampaikan dalam satu seminar dalam bentuk makalah yang berjudul Is Structural Dialectology Possible? dari aliran ini diketahui bahwa setiap bahasa memiliki supersistem dan subsistem.

Dialektologi merupakan salah satu ilmu bahasa yang memerhatikan varian-varian bahasa. Varian-varian bahasa itu dijadikan objek penelitian dengan tujuan antara lain melihat penyebaran, sejarah, dan dialek-dialek yang dimiliki oleh bahasa yang bervarian tersebut (Alwi, 2002: 126--127). Dialektologi struktural meneliti varian-varian struktur bahasa. Struktur bahasa yang paling bervarian adalah fonologi. Menurut dialektologi struktural, setiap bahasa memiliki diasistem atau supersistem. Supersistem itu dimiliki oleh satu varian bahasa yang dianggap menjadi acuan dari varian sistem-sistem lainnya. Varianvarian sistem yang bukan varian sistem super tersebut disebut sub-sub sistem (dialek) dari bahasa itu. Metode yang dapat digunakan dalam penelitian dialektologi struktural adalah metode pupuan sinurat, yaitu peneliti turun langsung ke lapangan dengan menanyai informan yang telah dituju sebelumnya. Hal yang diteliti dari informan mengenai dialektologi struktural ini adalah struktur unsur fonologi bahasanya. Setelah terkumpul data subsistem maupun data supersistemnya, barulah data tersebut dapat kemudian diteliti dan dianalisis. Analisis yang dipakai dalam meneliti dialektologi struktural ini adalah analisis perbandingan. Varian supersistem fonologi suatu bahasa dibandingkan dengan varian subsistem fonologi bahasa tersebut. Selain melalui analisis perbandingan, pendekatan yang dapat dilakukan untuk meneliti dialektologi struktural ini adalah pendekatan diakronis dan sinkronis serta diatopsis dan sintopsis (pendekatan-pendekatan tersebut sama halnya dengan pendekatan yang digunakan dalam meneliti dialektologi dengan aliran lainnya). Jika objek yang diteliti bersifat kesejarahan, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan diakronis, sedangkan jika objek penelitian tersebut dalam satu masa saja, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sinkronis. Contoh penelitian yang telah dilakukan dengan cara kerja dialektologi struktural adalah dengan melihat realisasi fonem /a/ dalam bahasa Bali pada posisi sebelum jeda. Fonem vokal /a/ bahasa Bali pada posisi sebelum jeda direalisasikan menjadi empat bunyi vocal, yaitu [a]. [ [0], dan [Y]. ], Analisis dialektologi, termasuk dialektologi struktural, dilakukan melalui analisis perbandingan. Varian supersistem fonologi suatu bahasa diperbandingkan dengan varian subsistem fonologi bahasa tersebut.

Selain itu, terdapat pula dialektologi generatif. Deaktologi generatif dapat menggambarkan dan membandingkan dialek yang berbeda-beda dari suatu daerah. Di dalam pendekatan dialektologi generatif ini terdapat dua pendekatan, yaitu meneliti fonologi dialek tersebut dari apa yang telah tertulis sebagai bentuk leksikal dan berdasarkan bagaimana bunyi dari fonologi itu sendiri ketika disebutkan (dibunyikan). Biasanya, dari satu huruf atau bunyi fonologi dapat muncul turunan-turunan dari bunyi itu sendiri. Bunyi awal fonologi ini dapat menjadi perwakilan dari bunyi-bunyi tersebut yang memudahkan penutur asli tersebut berbicara. Dialektologi generatif bekerja pada pemahaman bahwa bentuk dasar tunggal dapat dihubungkan dengan dialek terkait dan juga yang dapat menerangkan bahwa suatu dialek dapat berbeda dengan dialek lainnya berdasarkan aturan fonologi yang berlaku untuk bentuk yang mendasarinya, aturan yang berlaku di lingkungan yang bersangkutan dengan fonologi tersebut, dan bagaimana fonologi itu dapat diterapkan sesuai yang diinginkan oleh penggunanya. Pada dasarnya dialektologi merupakan ilmu tentang dialek; atau cabang dari linguistik yang mengaji perbedaan-perbedaan isolek dengan memerlakukan perbedaan tersebut secara utuh (Mahsun, 1995: 11). Istilah isolek dalam pengertian ini digunakan sebagai istilah netral untuk perbedaan dialek atau bahasa, seperti yang disarankan oleh Hudson (dalam Mahsun, 1995: 11). Dialektologi adalah cabang linguistik yang memelajari variasi-variasi bahasa dengan memerlakukannya sebagai struktur yang utuh (Kridalaksana, 2001: 42). Dialektologi ingin memelajari serta membanding-bandingkan bahasa-bahasa yang masih serumpun untuk mencari titik persamaan dan titik-titik perbedaannya. Dialektologi disebut pula variasi bahasa berdasarkan geografi, tetapi hendaknya kita ingat bahwa dialektologi tidak sama dengan studi tentang dialek (Pateda, 1988: 51). Antropologi linguistik atau biasa juga disebut Etnolinguistik merupakan bagian dari antropologi yang mengkhususkan penelitiannya terhadap penyebaran bahasa umat manusia di seluruh permukaan bumi. Para ahli antropologi linguistik melihat adanya pertalian bahasa di antara bahasa-bahasa tertentu terutama yang serumpun, seperti bahasa Indonesia dan Austronesia. Pertalian bahasa itu dalam ilmu linguistik disebut "perbendaharaan yang mendasar" atau basic vocabulary. Basic vocabulary banyak terdapat pada nama tumbuh-

tumbuhan, binatang, nama bilangan, dan lain-lain. Berdasarkan analisis terhadap basic vocabulary, para ahli antropologi linguistik dapat membuat hipotesis mengenai sejarah penyebaran bahasa dan umat manusia pengguna bahasa tersebut. Antropologi linguistik di Indonesia mempelajari bahasa-bahasa daerah yang disebut sebagai bahasa-bahasa nusantara. Jadi dapat disimpulkan bahwa para ahli antropologi linguistik menelaah atau mempelajari timbulnya bahasa dan bagaimana terjadinya variasi dalam bahasa-bahasa selama jangka berabad-abad. Dari penjabaran tersebut, dapat dilihat bahwa ada persamaan yang mengaitkan antara dialektologi dengan etnolinguistik. Persamaan di antara keduanya adalah adanya objek penelitian tentang bahasa manusia yang bervariasi. Jika di dalam dialektologi dibahas mengenai variasi-variasi bahasa yang ada pada suatu manusia atau masyarakat daerah tertentu, sedangkan di dalam etnolinguistik dibahas mengenai proses terjadinya suatu variasi-variasi bahasa tersebut dan penyebarannya. Oleh karena itu, antara dialektologi dan etnolinguistik memiliki keterkaitan yang erat yang saling memengaruhi satu sama lainnya.

Daftar Pustaka

Alwi, Hasan dan Sugono, Dendy. 2002. Telaah Bahasa dan Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ayatrohaedi. 1983. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Ayatrohaedi. 2002. Pedoman Penelitian Dialektologi. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Chambers, J.K, dan Trudgill, Peter. 1999. Dialectology. New York: Cambridge University Press. Ihromi, T.O. 2006. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik: Edisi Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kushartanti, Untung Yuwono dan Multamia RMT Lauder. 2007. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Lauder, Multamia R.M.T. 2007. Sekilas Mengenai Pemetaan Bahasa. Jakarta: Penerbit Akbar. Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pateda, Mansoer. 1988. Linguistik (Sebuah Pengantar). Bandung: Angkasa PT Rineka Cipta. Sutardi, Tedi. 2007. Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya. Bandung: PT Setia Purna Inves Junaidi. Antropologi Linguistik atau Etnolinguistik. http://wawanjunaidi.blogspot.com/2010/04/antropologi-linguistik-etnolinguistik.html (25 September 2011).

Anda mungkin juga menyukai