Anda di halaman 1dari 19

Komparatif Sinkronis Pengaruh Bahasa Banjar Sebagai Lingua Franca pada

Ketahanan Bahasa Dusun Deah [dun] di Pangelak & Dayak Meratus [bvu] di
Loksado
Christ Sempati Boni Pius B,
Arbentia Pratama Sumbung
Ethnologue Project Indonesia
Christ_Barasa@suluh.org
Arbentia_Sumbung@suluh.org

ABSTRAK
Indonesia adalah negara multikultural yang memiliki ragam bahasa dimana keberagaman ini
membutuhkan media untuk dapat berkomunikasi dan bergaul satu dengan yang lainnya. Dalam
skala nasional, Bahasa Indonesia berperan sebagai bahasa pemersatu dari keberagaman budaya
dan bahasa. Sedangkan dalam skala regional, bahasa-bahasa yang kuat dan memiliki penutur
yang meluas berperan sebagai Lingua Franca atau bahasa perantara antarkomunitas bahasa.
Dalam memenuhi kebutuhan komunikasi antarkomunitas bahasa, penggunaan bahasa yang lebih
luas tidak dapat dihindari. Menanggapi ini, bahasa yang lebih luas diadopsi oleh komunitas
dengan bahasa ibu yang berbeda. Hal ini kemudian akan berpengaruh pada perkembangan
penggunaan bahasa. Seiring waktu, penggunaan Lingua Franca menurut Samarin (1987)
memiliki konsekuensi yang sangat besar terhadap penutur asli, dimana secara perlahan bahasa
ibu dapat tergantikan. Menanggapi fenomena yang dijelaskan diatas, penelitian ini dilakukan
untuk memperhatikan pengaruh Lingua Franca terhadap ketahanan suatu bahasa. Kepentingan
untuk pemertahanan bahasa dimulai dari memahami hal yang mempengaruhi ketahanan suatu
bahasa. Pola penggunaan bahasa dan transmisi bahasa menjadi kajian yang tepat untuk
memahami ketahanan bahasa. Penelitian ini menggunakan pendekatan komparatif sinkronis
dimana perbandingan deskriptif mengenai transmisi dan penggunaan bahasa dilakukan pada dua
bahasa yang didominasi oleh sebuah Lingua Franca. Penelitian ini mengambil bahasa Dusun
Deah [dun] dan Dayak Meratus [bvu] sebagai sampel. Bahasa Dusun Deah [dun] adalah bahasa
yang dituturkan di Kabupaten Tabalong dan Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan. Adapun
bahasa Dayak Meratus [bvu] juga dituturkan di area perbukitan Kabupaten Tabalong, Kabupaten
Hulu Sungai Selatan dan beberapa kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan Untuk komunitas
Dusun Deah [dun] dan Dayak Meratus [bvu] dapat berkomunikasi dengan komunitas lain
disekitarnya, dari hasil beberapa penelitian terdahulu seperti Kasmilawati (2016), Komalasari
(2017), dan keterangan dari komunitas itu sendiri, mereka menggunakan bahasa Banjar. Dari
kedua sumber diatas secara berurut membahas pemertahanan bahasa Dusun Deah [dun] dan
pergeseran bahasa Dayak Meratus [bvu], dimana pembahasan oleh kedua peneliti tersebut
didasari oleh pengaruh bahasa Banjar. Selain sumber diatas, beberapa sumber lain juga
disebutkan dalam penelitian ini mengenai situasi-kondisi bahasa Dusun Deah dan Dayak
Meratus dan bahasa Banjar sebagai bahasa yang digunakan secara luas. Perbandingan deskriptif
mengenai pengaruh bahasa yang lebih luas dilakukan secara horizontal atau dalam kurun waktu
yang sama, beberapa persamaan yang telah diketahui dari kedua komunitas bahasa ini, adalah; 1)
Persebaran di area yang sama, 2) Penutur yang multilingual, 3) Lingkungan majemuk, dan 4)
Sejarah yang cukup sama tercatat dan diketahui dari kedua komunitas bahasa ini dalam beberapa
penelitian terdahulu dan keterangan dari komunitas adalah untuk menghindar dari komunitas
Banjar. Melalui alat survei roda ketahanan bahasa, kita dapat melihat penggunaan bahasa oleh 3
generasi pada komunitas Bahasa Dusun Deah dan Dayak Meratus, dan alat survei penggunaan
bahasa akan menjelaskan lebih lanjut pada ranah apa bahasa Dusun Deah dan Dayak Meratus
digunakan serta frekuensi penggunaannya. Hasil alat survei akan menghasilkan perbandingan
horizontal dari pengaruh lingua franca dalam proses transmisi bahasa dan pola penggunaan
bahasa di kedua komunitas bahasa yang dikaji.

Kata Kunci: Lingua Franca, Komparatif Sinkronis, Ketahanan Bahasa, Dusun Deah, Dayak
Meratus

ABSTRACT

Indonesia is a multicultural country that has a variety of languages, where this diversity requires
a media to communicate and to get along with one another. On a national scale, Indonesian
functions as a unifying language for cultural and linguistic diversity. Meanwhile, on a regional
scale, languages that are vigorous and have widespread speakers function as Lingua Franca or
intermediary languages between language communities. In order to meet the need for
communication needs among language communities, wider language use cannot be avoided. In
response to this, a broader range of languages is adopted by communities with different mother
tongues. This will then influence the development of language use. Over time, the use of Lingua
Franca according to Samarin (1987) has huge consequences for native speakers, where the native
language can slowly be replaced. In response to the phenomenon described above, this research
is conducted to see the influence of Lingua Franca on the resilience of a language. The
importance of language preservation begins with understanding the things that influence the
resilience of a language. Patterns of language use and language transmission are appropriate
studies to understand the language resilience. This research uses a synchronic comparative
approach where descriptive comparisons regarding language transmission and use are carried
out in two languages dominated by a Lingua Franca. This research uses Dusun Deah [dun] and
Dayak Meratus [bvu] languages as samples. As for the Dusun Deah [dun] and Dayak Meratus
[bvu] communities are able to communicate with each other and communities around them,
from the results of several previous studies such as (2016), Komalasari (2017)), and according to
the community, they speak Banjar language. The two sources above sequentially discuss the
preservation of the Dusun Deah language [dun] and the shift to the Dayak Meratus language
[bvu], where the discussion by the two researchers is based on the influence of the Banjar
language. Apart from the sources above, several other sources were also mentioned in this
research regarding the conditions of the Dusun Deah and Dayak Meratus languages and Banjar
language as a widely used language. The Dusun Deah [dun] language is a language spoken in
Tabalong and Balangan Districts, South Kalimantan Province. The Dayak Meratus language
[bvu] is also spoken in the hilly areas of Tabalong Regency, Hulu Sungai Selatan Regency and
several districts in South Kalimantan Province. These two languages exist with the Banjar
community and several other Dayak communities. Descriptive comparisons regarding broader
language influences are carried out horizontally or within the same time period, several
similarities that are known from these two language communities are; 1) Distribution in the same
area, 2) Multilingual speakers, 3) Plural environment, and 4) Their history is recorded from
previous studies and it shows similar information which is to avoid the Banjar community.
Using the wheels of vitality, we can see language use through three generations in the Dusun
Deah and Dayak Meratus language communities, and the language use survey tool will explain
further, in what domains the Dusun Deah and Dayak Meratus languages are used and the
frequency of their use. The results of the survey tool will produce a horizontal comparison of the
influence of the Lingua Franca on language transmission processes and language use patterns in
both language communities studied.

Keywords: Lingua Franca, Comparative Synchronicity, Language Vitality, Dusun Deah, Dayak
Meratus

Pendahuluan
Sebagai negara majemuk, Indonesia terdiri dari beragam komunitas bahasa yang saat ini
teridentifikasi oleh Ethnologue memiliki 724 ragam bahasa daerah. Dalam pengantarnya
mengenai komunitas bahasa (Speech Community), Nuryani et al. (2021: 81), mengutip
Bloomfield (1933) yang menyatakan bahwa komunitas bahasa merupakan sekumpulan orang
yang secara bersama-sama mempunyai aturan-aturan bahasa (linguistic rules) yang sama dan
Fishman (1991) menyatakan aturan-aturan fungsional itulah yang menetapkan wajar-tidaknya
suatu ujaran. Nuryani et al. (2021), kemudian menguraikan tiga pendekatan untuk memahami
konsep komunitas bahasa. Pertama, dipandang dari sudut bentuk bahasa yang dimiliki bersama
(shared linguistic forms). Kedua dari segi kaidah-kaidah sistem bahasa yang dimiliki bersama,
dan ketiga dari sudut pandang konsep-konsep kebudayaan yang dianut bersama.
Komunitas bahasa yang beragam di Indonesia, dalam berkehidupan sosial maupun
terjadinya mobilisasi penduduk, pada hakikatnya akan muncul kebutuhan untuk berinteraksi
dengan komunitas bahasa lain di sekitarnya. Untuk memenuhi kebutuhan ini, Bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional berdiri sebagai jembatan penghubung. Disamping hadirnya Bahasa
Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan bahasa ibu menjadi suatu kepentingan bagi
komunitas bahasa dalam mempertahankan nilai-nilai kebudayaan dan identitas. Hal ini akan
berpengaruh kepada perkembangan penggunaan bahasa dimana kebutuhan untuk dapat
berinteraksi dipenuhi dengan penguasaan bahasa baru selain bahasa ibu. Proses interaksi antara
dua komunitas bahasa atau lebih akan memunculkan kontak bahasa yang menurut Thomason
(2001: 1) dalam artian yang paling sederhana adalah peristiwa penggunaan lebih dari satu bahasa
di lokasi dan waktu yang sama. Selanjutnya, penutur dari suatu komunitas bahasa ataupun
komunitas bahasa itu sendiri akan menggunakan lebih dari satu bahasa dan memiliki status
sebagai bilingual atau multilingual.
Secara berkelanjutan, penggunaan dua bahasa atau lebih akan berpengaruh pada proses
transmisi bahasa kepada anak-anak sebagai generasi penerus. Bila penggunaan bahasa pada
ranah kehidupan sudah beralih ke bahasa lain dan bahasa yang ditransmisikan bukanlah bahasa
ibu, maka pergeseran bahasa sudah mulai terjadi, ketahanan bahasa mulai tergerus. Ketahanan
bahasa itu sendiri, menurut Stanford dan Whaley (2010) merupakan indikator dari keberlanjutan
bahasa, dan sejauh mana intervensi pemeliharaanya diperlukan. Ketahanan atau vitalitas,
bukanlah properti dari suatu bahasa maupun para penuturnya, tetapi merupakan gambaran dari
‘hubungan’ antara suatu bahasa dengan penuturnya, konteks linguistik, sosial, dan politik secara
luas. Dapat dikatakan ketahanan bahasa merupakan suatu kekuatan dari bahasa atau lebih
sederhana lagi merupakan kondisi kesehatan suatu bahasa.
Sejauh ini, dapat dipahami bahwa ketahanan bahasa memiliki keterkaitan dengan
pergeseran bahasa dan pemertahanan bahasa. Pergeseran bahasa yang terjadi dan upaya
pemertahanan yang dilakukan oleh penutur, menjadi faktor yang membentuk ketahanan bahasa.
Lebih lanjut, Karan (2000: 65) menjelaskan bahwa ketahanan bahasa dan pergeseran bahasa
memiliki hubungan secara intrinsik. Dimana ada vitalitas yang berkelanjutan, maka tidak akan
ada pergeseran dalam suatu bahasa. Dalam proses bergesernya, maka orang-orang cenderung
menggunakan satu bahasa dan bahasa lain semakin jarang digunakan. Dalam kasus ini, bahasa
mengalami tantangan terhadap ketahanannya. Prognosis dari ketahanan bahasa dalam suatu
komunitas dapat dengan tepat diartikan sebagai prognosis pergeseran bahasa.
Saat ini kita menghadapi problematika dimana beberapa generasi muda dan anak-anak,
sudah tidak fasih menuturkan bahasa ibu. Dapat kita pahami bersama bahwa bahasa-bahasa yang
menggambarkan dan membentuk kita sebagai suatu komunitas, sebagian sudah dalam proses
bergeser. Pergeseran yang dikarenakan oleh beberapa hal seperti, adopsi bahasa yang dapat
dimengerti secara luas maupun karena mobilisasi penduduk, merupakan ancaman bagi kekayaan
ragam suku, budaya, dan bahasa di Indonesia. Proses ‘transmisi’ dan ‘penggunaan bahasa’ dalam
kehidupan sehari-hari mungkin dapat ditelisik sebagai sumber awal untuk komunitas bahasa
maupun pihak yang berkepentingan mencari jalan keluar dalam merumuskan pemertahanan
bahasa.
Ketahanan bahasa yang semakin melemah, menjelaskan bahwa bahasa perlahan bergeser.
Bahasa lain yang diadopsi dapat menggeser posisi bahasa ibu saat penggunaannya berkembang
seiring waktu. Hal ini kemudian dapat mengaburkan identitas dari suatu komunitas dimana
Katubi (2010) menjelaskan bahwa “Bahasa bukan sekadar mengemban fungsi wahana interaksi
semata, tetapi juga fungsi lain dalam kehidupan manusia. Salah satunya ialah mengemban fungsi
wahana nilai simbolik. Dengan mengadopsi bahasa tertentu, sebuah kelompok, sebuah bangsa,
atau sebuah negara mendeklarasikan identitas yang ingin ditunjukkan sebagai ‘diri’ yang berbeda
dengan ‘liyan’.” dan Budiman (1987) juga menjelaskan salah satu dari beberapa fungsi bahasa
adalah fungsi Kultural: dimana bahasa digunakan sebagai alat untuk menyimpan, menyebarkan
dan mengembangkan kebudayaan. Hingga dapat dikatakan bila suatu bahasa sudah bergeser dan
tergantikan, maka suatu kebudayaan juga sedang dalam prosesnya untuk menghilang atau punah.
Penelitian ini mengkaji pengaruh lingua franca atau bahasa perantara sebagai bahasa
yang digunakan secara luas terhadap ketahanan bahasa-bahasa disekitarnya. Menurut
Barančicová (2015) lingua franca adalah bahasa yang digunakan secara luas di antara orang-
orang yang berbicara dalam bahasa ibu yang berbeda. Bahasa ini diadopsi oleh komunitas bahasa
ketika bahasa ibu mereka berbeda dan di satu sisi terdapat keperluan untuk berkomunikasi
karena berbagai alasan, seperti perdagangan, administrasi, ataupun diplomasi.
Menanggapi keberadaan lingua franca sebagai fungsi dari bilingualisme, Samarin (1987),
menjelaskan konsekuensinya terhadap komunitas penutur asli bisa sangat besar bahkan dapat
mengganti bahasa asli mereka. Misalnya, saat bahasa asli tersebut sudah mengalami perubahan
karena telah digunakan selama berabad-abad sebagai bahasa kedua. Kehadiran lingua franca
juga dapat mengubah pola penyebaran bahasa asli dan menimbulkan masalah dalam menentukan
hubungan antar-bahasa yang dituturkan. Fenomena yang dituliskan dalam bab ini, bagi
komunitas bahasa yang hidup berdampingan kontak bahasa tidak dapat dihindari. Penggunaan
lebih dari satu bahasa secara tidak langsung menjadi ciri khas dari lingkungan yang majemuk.
Selanjutnya, bagi bahasa-bahasa yang hidup dalam satu lingkungan yang sama, pemertahanan
bahasa mereka terhadap pengaruh lingua franca sebagai bahasa yang digunakan secara luas
maupun bahasa yang lain, akan menjadi penentu vitalitas atau ketahanan bahasa mereka.
Sampel dalam penelitian ini adalah bahasa Dusun Deah [dun], bahasa Dayak Meratus
[bvu] dan bahasa Banjar [bjn] sebagai lingua franca yang berada di Kalimantan Selatan. Bahasa
Dusun Deah termasuk dalam klasifikasi kelompok Barito Timur yang secara spesifik merupakan
bagian Central East Barito. Kelompok bahasa yang paling dekat secara kekerabatan dengan
Dusun Deah adalah isolek Northeast Barito dan Southeast Barito seperti yang ditunjukkan pada
gambar dibawah ini. Kekerabatan bahasa Dusun Deah yang paling tinggi ada di angka 53%,
yaitu dengan Samihim (Hudson 1967).

Gambar 1. Pengelompokan Bahasa Barito (Hudson 1967)

Sedangkan bahasa Dayak Meratus merupakan klasifikasi dari Malayo-Chamic, Malayic,


Malay. Bahasa Dayak Meratus [bvu] memiliki kekerabatan yang dekat dengan bahasa Banjar
[bjn], klasifikasi bahasa Dayak Meratus dan bahasa Banjar dapat dilihat pada gambar dibawah
ini.
Gambar 2. Pengelompokan Bahasa Malay (Eberhard, Simons & Fennig 2023)

Humaidi et al. (2017) menjelaskan bahwa “bahasa Banjar telah lama digunakan sebagai
lingua franca bukan hanya di daerah asalnya, tetapi juga di sebagian wilayah di luar Kalimantan
Selatan”. Dalam Ethnologue (2023) bahasa Banjar diketahui sebagai bahasa yang digunakan
secara luas, dan tersebar di beberapa provinsi di Pulau Kalimantan seperti; Kalimantan Utara,
Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat.
Beberapa penelitian terdahulu mengenai komunitas bahasa Dusun Deah dan Dayak
Meratus, membahas tentang pergeseran bahasa, pemertahanan bahasa dan hubungan kedua
bahasa ini dengan bahasa Banjar. Kawi et al. (1983) dan Kasmilawati (2016) dalam
penelitiannya menjelaskan bahwa komunitas Dusun Deah dapat disebut sebagai penutur
bilingual karena mereka lancar menggunakan bahasa Banjar saat bertemu dengan penutur
Banjar. Kedua sumber ini juga mengkonfirmasi bahwa bahasa Dusun Deah merupakan bahasa
yang terisolasi di wilayah pemakaian bahasa Banjar. Sedangkan Komalasari et al. (2017) dalam
penelitiannya mengidentifikasi bahwa mulai terjadi pergeseran pada bahasa Dayak Meratus
karena proses pengalihan bahasa yang kurang oleh generasi orang tua kepada generasi muda.
Sebagai komunitas bahasa yang hidup berdampingan dengan komunitas bahasa lain,
komunitas Dusun Deah dan Dayak Meratus memiliki bahasa Banjar sebagai pegangan.
Penggunaan bahasa Banjar sebagai lingua franca telah mempengaruhi ketahanan bahasa, seperti
penjelasan dalam penelitian-penelitian yang dijelaskan di paragraf sebelumnya. Untuk melihat
pengaruh bahasa Banjar sebagai lingua franca lebih jauh, penelitian ini menggunakan
perbandingan secara sinkronis, dengan menggunakan alat partisipatoris untuk melihat transmisi
bahasa dan pola penggunaan bahasa. Transmisi bahasa dan pola penggunaan bahasa seperti yang
dijelaskan sebelumnya dapat menentukan ketahanan suatu bahasa.
Gambar 3. Persebaran bahasa Dusun Deah dan Dayak Meratus di Kalimantan Selatan (Global Recordings Network)

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan komparatif sinkronis
dan orientasi teoritisnya sosiolinguistik. Menurut Bogdan et al. (2015: 7) secara luas metodologi
kualitatif mengacu pada penelitian yang menghasilkan data deskriptif berdasarkan tulisan
ataupun perkataan orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Analisis data dari hasil penelitian dilakukan dengan pendekatan komparatif sinkronis.
Menurut Prihadi (2006: 2), pendekatan sinkronis atau komparatif sinkronis merupakan
perbandingan bahasa pada suatu tingkat perkembangan tertentu tanpa mempersoalkan urutan
waktu sama sekali. Perbandingan ini bersifat horizontal. Pendekatan ini melihat apa yang ada
pada masing-masing bahasa, kemudian membandingkan keadaan bahasa satu dengan yang
lainnya. Pendekatan ini juga dinamakan pendekatan deskriptif, dengan dasar kenyataan yang ada
pada saat itu, sehingga penelitiannya benar-benar objektif. Fokus dari pendekatan ini adalah
perbandingan deskriptif pola penggunaan bahasa dan proses transmisi bahasa sebagai dasar
untuk melihat pengaruh lingua franca terhadap ketahanan bahasa.
Data-data dalam penelitian ini merupakan gabungan data primer dan sekunder mengenai
ketahanan bahasa dan penggunaan bahasa. Penelitian ini berangkat dari data Ethnologue untuk
memahami situasi dan kondisi dari tiga bahasa yang akan dikaji; bahasa Dusun Deah [dun],
Dayak Meratus [bvu] dan bahasa Banjar [bjn] sebagai bahasa yang digunakan secara luas atau
lingua franca. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan alat survei
partisipatoris berupa;

1. Survei Roda Ketahanan Bahasa; alat ini diadaptasikan dari Grummitt (2014). Penggunaan alat
ini berdasarkan beberapa unsur seperti jumlah penutur, transmisi lintas generasi, domain
kehidupan dan sikap penutur. Lewis dan Simons (2017) juga menjelaskan bahwa penggunaan
alat survei Roda Ketahanan Bahasa dapat menjadi awal untuk membuat keputusan
pengembangan bahasa berdasarkan pandangan komunitas suatu bahasa. Berikut adalah langkah-
langkah Survei Roda Ketahanan Bahasa:
1) Fasilitator menunjukkan gambar/foto yang merepresentasikan setiap kelompok
usia (i.e. anak-anak, remaja, bapak, ibu, dan kakek/nenek).
2) Minta partisipan menyebutkan nama komunitas dan nama vernacular/bahasa
daerah mereka. Fasilitator lain menuliskan nama komunitas dan
vernacular/bahasa daerah yang mereka sebutkan pada potongan kertas persegi
kemudian letakan di lantai.
3) Tanyakan lagi pada komunitas, apakah ada bahasa daerah lain yang mereka
gunakan selain bahasa daerah mereka dalam kehidupan sehari-hari. Jika ada,
maka minta mereka menuliskan semua nama bahasa tersebut pada potongan
kertas dan letakan di lantai.
4) Tandai vernacular/bahasa daerah dengan sebuah keping berwarna merah
kemudian bahasa lain dengan keping berwarna kuning (warna keping bisa
disesuaikan). Fasilitator harus menjelaskan secara detail serta memastikan para
partisipan arti dari warna yang berbeda tersebut.
5) Susun gambar-gambar yang merepresentasikan setiap usia di lantai dengan bentuk
lingkaran, kemudian letakan gambar ayah di tengah.
6) Letakkan dua tanda panah secara berlawanan antara gambar ayah dengan setiap
generasi usia (tanda panah menunjukkan komunikasi yang terjadi).
7) Diskusi dimulai dengan pertanyaan ‘bahasa apa yang dipakai ayah saat
berkomunikasi dengan generasi yang lain’. Jika ayah menggunakan
vernacular/bahasa daerah maka taruh keping/label berwarna merah di atas tanda
panah. Jika ayah menggunakan bahasa lain, maka taruh keping/label berwarna
kuning di atas tanda panah. Jika menggunakan keduanya maka taruh kedua
keping/label di atas tanpa panah. Begitu juga sebaliknya saat generasi lain
berbicara dengan ayah.
8) Ulangi langkah 5-7 dengan menaruh gambar lain ditengah (anak-anak/Ibu).
9) Hal yang perlu diperhatikan:
a. Jika ayah menggunakan vernacular/bahasa daerah dengan satu kelompok
usia pada komunitas maka langkah 5-9 dilakukan lagi dengan meletakkan
gambar anak di tengah.
b. Jika ayah tidak menggunakan vernacular/bahasa daerah pada satu
kelompok usia di komunitas maka lakukan langkah 5-9 dengan
meletakkan gambar ibu di tengah sebelum menuju ke tahap gambar anak
di tengah.
Gambar 4. Contoh digitalize Roda Ketahanan Bahasa

Terdapat beberapa skala untuk mengukur vitalitas atau ketahanan suatu bahasa. Skala
ukur yang digunakan pada penelitian ini adalah skala EGIDS (Expanded Graded
Intergenerational Disruption Scale). Melalui hasil alat survei Roda Ketahanan Bahasa, data yang
diperoleh selanjutnya akan didiagnosa menggunakan EGIDS. Lewis dan Simon (2010)
menjelaskan bahwa EGIDS, merupakan skala multidimensi yang berfokus pada berbagai aspek
vitalitas pada tingkat yang berbeda. Skala ini adalah pengembangan dari GIDS (Graded
Intergenerational Disruption Scale) oleh Fishman (1991). Juga menurut Lewis (2010), fokus
utama GIDS adalah bahasa-bahasa yang terancam punah, dan EGIDS merupakan skala yang
sama untuk mengkategorikan vitalitas dan perkembangan untuk setiap bahasa di dunia. Dalam
mengkaji ketahanan bahasa, posisi 5 (Memiliki sistem tulis) sampai dengan 8b (Menuju punah)
adalah posisi yang paling relevan. Informasi rinci mengenai skala EGIDS dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.

Tabel 1. Skala EGIDS (Lewis & Simons 2010)


Level Label Deskripsi Unesco

0 Internasional Bahasa digunakan secara internasional untuk berbagai Aman


fungsi.

1 Nasional Bahasa digunakan dalam ranah pendidikan, pekerjaan, Aman


media masa, dan pemerintah pada tingkat nasional.

2 Regional Bahasa digunakan dalam media masa lokal dan Aman


regional serta dalam layanan pemerintah.
3 Perantara Bahasa digunakan untuk kegiatan lokal dan regional Aman
oleh penutur asli dan pendatang.

4 Pendidikan Keaksaraan dari suatu bahasa ditransmisikan melalui Aman


sistem pendidikan.

5 Sistem tulis Bahasa digunakan secara lisan oleh semua generasi Aman
dan secara efektif digunakan dalam bentuk tertulis
oleh sebagian komunitas

6a Kuat Bahasa digunakan secara lisan oleh semua generasi Aman


dan dipelajari oleh anak-anak sebagai bahasa pertama
mereka

6b Terancam Bahasa digunakan secara lisan oleh semua generasi, Rentan


tetapi hanya beberapa dari generasi yang melahirkan
anak yang meneruskannya kepada anak-anak mereka

7 Bergeser Generasi yang melahirkan anak mengetahui bahasa Terancam


tersebut dengan cukup baik untuk digunakan di antara
mereka sendiri tetapi tidak ada yang meneruskannya
kepada anak-anak mereka

8a Hampir Penutur aktif yang tersisa adalah generasi kakek- Sangat


punah nenek Terancam

8b Menuju Penutur aktif yang tersisa adalah generasi kakek- Kritis


punah nenek atau buyut yang mempunyai sedikit
kesempatan dalam menggunakan bahasanya

9 Terbengkalai Bahasa berfungsi sebagai pengingat identitas warisan Punah


untuk komunitas etnis. Tidak ada yang memiliki
kemampuan lebih dari simbolik

10 Punah Tidak ada yang mempertahankan rasa identitas etnis Punah


yang terkait dengan bahasa tersebut, bahkan untuk
tujuan simbolis

2. Survei Penggunaan Bahasa; alat survei ini bertujuan untuk melihat penggunaan bahasa daerah
dan frekuensi penggunaannya oleh komunitas bahasa pada setiap ranah dalam kehidupan sehari-
hari. Dijelaskan oleh Hasselbring (2012), dalam proses diskusinya, alat survei ini dapat
membantu meningkatkan kesadaran komunitas bahasa terhadap penggunaan bahasa mereka
dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah langkah-langkah Survei Penggunaan Bahasa di
Ranah Umum:
1) Tanyakan ke komunitas, bahasa yang paling banyak mereka gunakan sehari-hari
kemudian tuliskan di dua potong kertas persegi panjang.
2) Kemudian tanyakan ke komunitas dalam kegiatan apa saja bahasa-bahasa itu
digunakan. Contoh: melaut, berladang, belajar dan mengajar di sekolah,
perkantoran, acara adat, dan sektor kehidupan yang lain.
3) Setelah semua nama kegiatan dituliskan, minta komunitas bahasa untuk
mengkategorikan kegiatan-kegiatan yang sudah dituliskan berdasarkan frekuensi
penggunaannya dengan skala ‘Sering’ atau ‘Jarang’. Sebagai catatan, tekankan
kepada komunitas bahwa frekuensi sering atau jarang dalam diskusi ini, mengarah
kepada ‘penggunaan bahasa’ bukan sering atau jarang nya suatu kegiatan.
3. Wawancara.
Wawancara menjadi salah satu metode yang digunakan dalam penelitian ini. Metode ini
digunakan untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan mengenai situasi dan kondisi bahasa
dan komunitasnya.

Hasil dan Pembahasan


Bab ini secara berurut akan membahas komunitas bahasa, alat survei roda ketahanan bahasa dan
alat survei penggunaan bahasa dalam ranah umum. Diskusi alat survei dan pengambilan
informasi dari komunitas dilakukan pada pertengahan September hingga awal Oktober 2023.
Hasil temuan dan analisis terkait alat survei dalam penelitian ini akan berfokus pada penggunaan
bahasa antar generasi penutur, transmisi pada generasi penerus, skala ketahanan bahasa
berdasarkan EGIDS, frekuensi penggunaan bahasa oleh komunitas bahasa, dan analisis pengaruh
bahasa Banjar sebagai lingua franca pada komunitas Dusun Deah dan Dayak Meratus. Perlu
ditekankan bahwa penelitian ini menggunakan pendekatan partisipatoris dimana seluruh
informasi dan hasil temuan sepenuhnya adalah situasi yang sedang terjadi dan merupakan
sepengetahuan komunitas bahasa.

Komunitas Bahasa Dusun Deah [dun]


Dalam sejarahnya, pengaruh penggunaan bahasa Banjar oleh dua komunitas bahasa yang dikaji,
tidak lepas dari sejarah kerajaan Banjar dan kondisi politik etnis yang terjadi. Komunitas Dusun
Deah mengkonfirmasi bahwa mereka merupakan komunitas yang dahulu menolak untuk
menerima agama kerajaan Banjar dan lari ke daerah pegunungan. Kata ‘deah’ sendiri memiliki
arti ‘menolak’. Penamaan ini ditujukan untuk menyatakan kampung ini adalah kampung yang
menolak. Komunitas Dusun Deah sendiri tersebar di Kabupaten Balangan dan Kabupaten
Tabalong, Kalimantan Selatan (Kasmilawati 2016). Dalam tingkat kecamatan, penutur asli
Dusun Deah berada di Kecamatan Haruai, Kecamatan Muara Uya, dan Kecamatan Upau (Kawi,
Durasid & Djinal 1983). Penelitian ini sendiri dilakukan di Desa Pangelak, Kec. Upau, Kab.
Tabalong, Kalimantan Selatan.
Melalui proses diskusi, komunitas mengkonfirmasi bahwa mereka hidup berdampingan
dengan komunitas Banjar, Dayak Ma’anyan, Dayak Paser, Dayak Bakumpai, Dayak Tabojan,
dan Dayak Lawangan. Dalam proses interaksinya, seluruh komunitas ini cenderung
menggunakan bahasa Banjar untuk dapat saling mengerti. Dapat dikatakan komunitas Dusun
Deah dan komunitas bahasa lain sebagai pendatang adalah multilingual. Dari hasil penelitian
latar belakang, perlu diketahui bahwa bahasa Dayak Bakumpai [bkr] yang teridentifikasi oleh
Ethnologue (Eberhard, Simons & Fennig 2023) juga merupakan bahasa yang digunakan secara
luas. Dalam skala EGIDS bahasa Bakumpai sama dengan bahasa Banjar, kedua nya berada pada
posisi 3 sebagai bahasa perantara. Melalui hasil diskusi, diketahui bahwa bahasa Banjar lebih
signifikan penggunaanya oleh komunitas Dusun Deah dan komunitas bahasa daerah lain.

Roda Ketahanan Bahasa Dusun Deah [dun]


Dalam diskusi ketahanan bahasa dengan poros ayah, hasil diskusi menunjukkan bahwa ayah
sebagai generasi orang tua masih menggunakan bahasa Dusun Deah dengan semua generasi.
Akan tetapi percampuran bahasa sudah terjadi dengan kelompok usia lain. Dari kelompok
ibu/istri penggunaan bahasa bercampur dengan bahasa Banjar karena adanya perkawinan
campuran. Kelompok ibu pada penelitian ini terkonfirmasi banyak berasal dari komunitas bahasa
lain. Pada generasi anak dan remaja, percampuran dengan bahasa Banjar juga terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Namun demikian, bahasa Dusun Deah masih menjadi bahasa dominan
yang dipakai anak-anak dan remaja ketika berkomunikasi dengan generasi ayah. Walaupun
proses pencampuran bahasa terjadi, bahasa Dusun Deah masih tetap diteruskan ke generasi muda
melalui interaksi sehari-hari sehingga penggunaannya masih kuat dan dominan digunakan oleh
generasi muda. Pada generasi orang tua (ayah dan ibu) yang merupakan pendatang dan sudah
menetap lama akhirnya juga menyesuaikan penggunaan bahasa menjadi Dusun Deah.
Percampuran bahasa juga terjadi pada roda ketahanan dengan poros anak, di mana
generasi anak-anak menggunakan bahasa Dusun Deah dan bahasa Banjar serta Bahasa Indonesia
dalam berkomunikasi dengan seluruh generasi. Dalam diskusi mengenai ketahanan bahasa ini,
masyarakat mengatakan bahwa hampir seluruh anak fasih berbahasa ibu dan hanya sekitar 20%
anak yang kurang fasih berbahasa ibu. Angka 20% ini merupakan estimasi dari masyarakat
semata, bukan perhitungan statistik tertentu. Melalui alat Roda Ketahanan Bahasa ini, dapat
diketahui ketahanan bahasa Dusun Deah berdasarkan skala EGIDS berada di posisi 6b
(Terancam), dimana bahasa Dusun Deah dituturkan oleh sebagian generasi anak.

Gambar 5. Roda Ketahanan Bahasa Dusun Deah

Penggunaan Bahasa Dusun Deah [dun]


Dalam penggunaan bahasa di Ranah Umum, komunitas Dusun Deah menggunakan tiga bahasa
dalam kehidupan sehari-hari, yaitu bahasa Dusun Deah, bahasa Banjar dan Bahasa Indonesia.
Bahasa Banjar adalah bahasa yang digunakan secara umum oleh berbagai komunitas di Desa
Pangelak. Dalam kehidupan sehari-hari, komunitas Dusun Deah menggunakan bahasa Banjar di
kegiatan-kegiatan yang bersifat besar dan mengharuskan interaksi dengan penutur bahasa lain.
Di sisi lain, bahasa Dusun Deah terkonfirmasi banyak digunakan pada kegiatan-kegiatan adat
dan pekerjaan sehari-hari dimana kontak antarsesama penutur Dusun Deah lebih banyak terjadi.
Sebagai tambahan, bahasa Dusun Deah dan Banjar juga digunakan dalam ranah keluarga
sebagaimana dijelaskan pada subbab sebelumnya. Sementara, Bahasa Indonesia lebih sering
digunakan dalam kegiatan-kegiatan formal karena dapat dimengerti oleh semua kalangan umur
dan juga pendatang. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
Dari seluruh kegiatan yang telah dituliskan oleh komunitas Dusun Deah, frekuensi
penggunaan bahasa ibu secara umum tertulis lebih banyak daripada bahasa Banjar. Terlihat
kontras penggunaan Dusun Deah dan Banjar didasarkan pada kontak dengan siapa komunikasi
dilakukan. Kemajemukan komunitas bahasa yang didasari oleh mobilisasi penduduk, membuat
pola penggunaan bahasa terbentuk. Dalam kasus ini, dapat disimpulkan bahwa seluruh generasi
penutur Dusun Deah sampai dengan selanjutnya akan menggunakan bahasa Banjar menghadapi
kemajemukan di wilayah bahasa mereka.

Tabel 2. Hasil diskusi penggunaan bahasa Dusun Deah di ranah umum.

Komunitas Bahasa Dayak Meratus [bvu]


Komunitas Dayak Meratus yang tercatat dalam beberapa penelitian terdahulu oleh Ismail et al.
(1979), Tsing (1993), dan Mujiburrahman et al. (2011) membahas tentang sejarah dan
penggunaan bahasa Banjar dan Meratus. Ketiga sumber ini membahas tentang komunitas yang
lari ke daerah Pegunungan Meratus karena menolak penyebaran agama Islam oleh kerajaan
Banjar. Penelitian ketiga sumber ini juga menjelaskan bahwa komunitas bahasa Meratus dapat
mengerti bahasa Banjar, tetapi tidak untuk sebaliknya. Komunitas Banjar tidak dapat mengerti
bahasa Meratus, hal ini juga dikonfirmasi saat berdiskusi dengan komunitas Meratus.
Bahasa Meratus sendiri adalah bahasa yang dituturkan di sepanjang pegunungan Meratus,
di Kabupaten Tabalong, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, dan Hulu Sungai
Selatan (Ismail et al. 1979). Pengambilan data ketahanan bahasa Dayak Meratus dilakukan di
Desa Loksado, Kec. Loksado, Kab. Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Ethnologue dan
beberapa penelitian terdahulu yang juga dikutip dalam tulisan ini, mengidentifikasi bahwa
penamaan bahasa komunitas ini adalah Dayak Bukit. Seluruh penelitian yang membahas Dayak
Bukit, merujuk kepada Dayak Meratus. Dikonfirmasi oleh komunitas bahasa bahwa penamaan
komunitas mereka oleh orang luar, terasa tidak baik dan menggambarkan mereka sebagai
komunitas terbelakang/primitif. Berikut kronologis penamaan etnis yang juga sebagai nama
bahasa mereka sampai dengan saat ini;
1. Hulu Banyu.
2. Bukit.
3. Meratus.

Sama seperti komunitas sebelumnya, komunitas Dayak Meratus juga hidup dilingkungan
yang majemuk. Desa Loksado terkenal sebagai desa pariwisata yang memiliki banyak destinasi
wisata. Mobilitas penduduk terjadi dengan cepat dan memberikan pengaruh pada situasi dan
kondisi bahasa, seperti yang dijelaskan dalam hasil pembahasan alat berikut ini.

Roda Ketahanan Bahasa Dayak Meratus [bvu]


Dalam diskusi ketahanan bahasa, generasi ayah masih memakai bahasa Dayak Meratus saat
berkomunikasi dengan semua generasi. Namun, bahasa Banjar dan Bahasa Indonesia lebih
dominan dipakai saat ayah berkomunikasi dengan generasi remaja dan anak. Hal ini terjadi
karena generasi ayah ingin menyiapkan anak-anak mereka untuk dapat berkomunikasi dan
bekerja di luar desa atau daerah tempat mereka tinggal. Percampuran bahasa terjadi pada
generasi orangtua dan anak-anak.
Melalui diskusi roda ketahanan dengan poros anak, percampuran bahasa juga terjadi pada
seluruh generasi penutur. Generasi anak-anak masih menggunakan bahasa Dayak Meratus, tetapi
juga bahasa Banjar dan Bahasa Indonesia. Dari hasil diskusi, didapat informasi bahwa anak-anak
lebih sering menggunakan bahasa lain, yakni bahasa Banjar dan Bahasa Indonesia. Seringnya
penggunaan bahasa Banjar dan Indonesia oleh anak-anak, dikarenakan kondisi pariwisata di
Loksado yang memudahkan komunikasi dengan pendatang, serta efek dari media sosial dan
pergaulan antarsuku. Terlihat pada gambar roda ketahanan bagaimana anak-anak dalam
berkomunikasi dengan generasi orang tua, remaja, dan juga sesama anak-anak, bahasa Banjar
dan Indonesia lebih dominan digunakan dari pada bahasa ibu. Mengikuti perkembangan ini
komunitas Dayak Meratus dalam penelitian ini, sepakat bahwa generasi kunci mereka, generasi
anak-anak sebagian besar sudah tidak mampu berbahasa ibu. Dalam skala persen, angka 80%
dianggap paling sesuai oleh komunitas dalam menggambarkan jumlah anak yang kurang fasih
atau tidak mampu berbahasa ibu. Dari hasil alat ini, dapat diketahui ketahanan bahasa Dayak
Meratus berdasarkan skala EGIDS berada di posisi 6b (Terancam), dimana saat ini bahasa ibu
dituturkan oleh sebagian generasi anak.
Informasi terdahulu mengenai ketahanan bahasa Dayak Meratus dari sumber Ethnologue,
berbeda dengan hasil penelitian ini. Dari informasi yang disajikan oleh Ethnologue (Eberhard,
Simons & Fennig 2023), ketahanan bahasa Dayak Meratus berdasarkan skala EGIDS adalah 6a
(Kuat). Membandingkan dengan penelitian komalasari (2017) mengenai pergeseran bahasa
Dayak Meratus di Loksado, mengindikasikan ketahanan bahasa yang tercatat oleh Ethnologue
mulai menurun hingga akhirnya penelitian ini memberikan informasi terbaru. Dibutuhkan
penelitian lebih lanjut mengenai ketahanan bahasa Dayak Meratus di beberapa daerah
persebarannya di luar Desa Loksado untuk memvalidasi temuan ini.
Gambar 6. Roda Ketahanan Bahasa Dayak Meratus

Penggunaan Bahasa Dayak Meratus [bvu]


Dalam diskusi penggunaan bahasa di Ranah Umum, komunitas Dayak Meratus juga
menggunakan tiga bahasa dalam kehidupan sehari-hari, yaitu bahasa ibu, bahasa Banjar dan
Bahasa Indonesia. Komunitas Dayak Meratus menggunakan bahasa ibu saat mereka
berkomunikasi dengan sesama mereka. Komunitas menjelaskan bahwa bahasa ibu banyak
digunakan di ranah privat. Seperti yang mereka tuliskan dalam diskusi ini, semua kegiatan yang
menggunakan bahasa ibu, adalah kegiatan yang berkontak dengan sesama mereka.
Bahasa Banjar dan Bahasa Indonesia dalam ranah umum sama seringnya digunakan oleh
komunitas di daerah Loksado. Kedua bahasa tersebut lebih sering digunakan dalam kegiatan-
kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat umum (antar-suku), seperti saat diadakannya
kegiatan kesenian, rapat, di pasar, puskesmas, tempat wisata dan di tempat umum lainnya seperti
di sekolah, kantor, dan polsek. Komunitas harus menggunakan bahasa Banjar dan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa untuk berkomunikasi dengan pendatang. Hasil dari alat survei
penggunaan bahasa komunitas Dayak Meratus dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 3. Hasil diskusi penggunaan bahasa Dayak Meratus di ranah umum.


Komparasi Sinkronis pengaruh bahasa Banjar sebagai lingua franca
Dalam bagian pembahasan alal survei, telah diketahui bahwa saat ini kedua bahasa yang dikaji
berada di posisi 6b (Terancam) skala EGIDS. Subbab ini akan menjelaskan secara deskriptif
perbandingan temuan alat yang selanjutnya menggambarkan bagaimana pengaruh lingua franca
pada ketahanan dari kedua bahasa.

Tabel 4. Komparasi temuan alat Roda Ketahanan Bahasa


Hasil alat diskusi Roda Dusun Deah [dun] Dayak Meratus [bvu]
Ketahanan

Generasi yang menuturkan Seluruh generasi. Generasi Seluruh generasi


bahasa ibu remaja dan anak lebih dominan
menuturkan bahasa ibu.

Generasi yang menuturkan Seluruh generasi Seluruh generasi. Generasi


lingua franca orang tua, remaja dan anak lebih
dominan menuturkan lingua
franca

Generasi yang mentransmisikan Seluruh generasi, tetapi generasi Seluruh generasi


bahasa ibu ke generasi penerus orang tua lebih dominan
(Kakek-nenek & orang tua) mentransmisikan bahasa ibu.

Generasi yang mentransmisikan Generasi kakek-nenek dan Generasi kakek-nenek dan


lingua franca ke generasi generasi orang tua generasi orang tua, tetapi
penerus (Kakek-nenek & orang generasi orang tua lebih
tua) dominan mentransmisikan
lingua franca

Generasi penerus yang mampu 80% dari total keseluruhan 20% dari total keseluruhan
berbahasa ibu dalam persen generasi penerus generasi penerus
(*informasi berdasarkan
sepengetahuan dan pengamatan
komunitas bahasa)

Melalui alat Roda Ketahanan Bahasa, beberapa unsur-unsur yang dikaji melalui alat dan diskusi
dapat dilihat pada tabel perbandingan diatas. Diketahui bahwa proses transmisi bahasa pada
generasi penerus cukup berbeda dari kedua bahasa yang dikaji. Dalam komunitas Dusun Deah,
bahasa ibu teridentifikasi ditransmisikan secara intens oleh generasi orang tua. Sebaliknya
dengan komunitas Dayak Meratus, lingua franca lebih dominan ditransmisikan. Dari pernyataan
kalimat sebelumnya, persentase generasi penerus yang mampu berbahasa ibu, dapat berfungsi
sebagai validasi.
Sedikit mengupas berdasarkan sisi alur waktu, gambar dibawah menjelaskan secara
kronologis (diakronis) mengenai ketahanan bahasa Dusun Deah dan Dayak Meratus. Penelitian
mengenai pergeseran bahasa atau pemertahanan bahasa yang ada secara luas pada komunitas
Dayak Meratus, tidak lepas dari pengaruh lingua franca seperti yang dijelaskan oleh paragraf
sebelumnya.
Penelitian Penelitian saat
terdahulu ini

Dusun Deah = Dusun Deah =

Dayak Meratus = Dayak Meratus =


Gambar 7. Ketahanan bahasa Dusun Deah [dun] dan Dayak Meratus [bvu] berdasarkan kronologis (diakronis)

Tabel 5. Komparasi temuan alat Roda Ketahanan Bahasa


Hasil alat diskusi penggunaan Dusun Deah [dun] Dayak Meratus [bvu]
bahasa

Penggunaan bahasa ibu Saat kontak dengan sesama Saat kontak dengan sesama
komunitas Dusun Deah. komunitas Dayak Meratus

Penggunaan lingua franca Saat kontak dengan komunitas Saat kontak dengan komunitas
Banjar dan komunitas pendatang Banjar dan komunitas pendatang

Dari hasil pembahasan alat penggunaan bahasa, dapat diketahui bahwa komunitas bahasa lain
yang juga hidup atau singgah ke area dua komunitas bahasa yang dikaji, fasih dalam
menggunakan bahasa Banjar. Pola penggunaan bahasa yang terbentuk dalam komunitas Dusun
Deah dan Komunitas Dayak Meratus, bisa dikatakan sangat dipengaruhi oleh faktor
kemajemukan dan kontak antar-komunitas bahasa.
Dalam proses penggunaan

Melalui alat yang digunakan, dan komparasi hasil alat beberapa faktor dapat teridentifikasi
sebagai pengaruh lingua franca terhadap ketahanan bahasa yang dikaji, antara lain:
1. Lingkungan majemuk. Lingua franca mendominasi bukan hanya dari persebaran
komunitas Banjar, tetapi juga dari beberapa komunitas lain sebagai pendatang maupun
wisatawan yang menggunakan bahasa Banjar.
2. Pola transmisi bahasa. Kedua komunitas yang dikaji, sama-sama secara umum
mentransmisikan tiga bahasa ke generasi anak, yakni; bahasa ibu, bahasa Banjar dan
Bahasa Indonesia. Perbedaan kontras pola transmisi bahasa dari kedua komunitas ini
tampak pada komunitas Dusun Deah yang lebih intens dalam mentransmisikan bahasa
ibu dibandingkan komunitas Meratus. Pola transmisi bahasa ini adalah untuk memenuhi
kebutuhan komunikasi di lingkungan yang majemuk dan beberapa kepentingan pribadi
seperti mempersiapkan anak untuk hidup diluar desa.
3. Pola penggunaan bahasa. Dalam kehidupan sehari-hari, pemilihan penggunaan bahasa
oleh kedua komunitas dalam berkomunikasi selalu mengikuti latar belakang individu atau
kelompok. Bahasa ibu digunakan hanya saat berkomunikasi antarsesama mereka.
Kesimpulan
Melalui penelitian ini, teridentifikasi pengaruh bahasa Banjar sebagai lingua franca sudah
sampai kepada proses transmisi bahasa ke generasi penerus. Hasil alat survei dan diskusi
menunjukkan bahwa anak-anak di kedua komunitas bahasa sebagai generasi penerus, sudah
cukup fasih dalam penggunaan bahasa Banjar. Berdasarkan skala EGIDS, kedua bahasa berada
di posisi 6b dengan status ’terancam’.
Lingua franca sebagai bahasa yang digunakan secara luas, mengambil peran dalam
membentuk pola penggunaan bahasa yang juga berpengaruh pada proses transmisi bahasa. Pada
proses transmisi bahasa, terdapat sedikit perbedaan dimana bahasa ibu pada komunitas Dusun
Deah lebih tinggi tingkat transmisinya ke generasi anak dibanding pada komunitas Dayak
Meratus. Seiring waktu, mengikuti pola transmisi bahasa dan penggunaan bahasa yang
ditemukan di dua komunitas bahasa ini, pentur yang mampu berbahasa ibu akan semakin
berkurang. Generasi anak yang mampu berbahasa ibu mulai berkurang. Saat mereka bertumbuh
mengikuti pola yang ada saat ini, generasi anak yang mampu berbahasa ibu di era mereka juga
akan semakin berkurang. Dengan pola ini, perlahan lingua franca akan menggantikan bahasa ibu
dan mengaburkan identitas asli. Menanggapi ini, proses pemeliharaan bahasa dan pemertahanan
bahasa yang tepat terhadap pengaruh lingua franca menjadi penentu keberlangsungan dan
ketahanan suatu bahasa.

Daftar Pustaka
Bloomfield, L. 1933. Language. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Bogdan, Robert, Steven J Taylor & Marjorie L DeVault. 2015. Introducing to Qualitative
Methods. A Guidebook and Resource. 4th edn. New York: John Wiley & Sons Inc.
Budiman & Sumiati. 1987. Sari sastra Indonesia. Surakarta: PT Intan Pariwara.
Eberhard, David M., Gary F Simons & Charles D. Fennig (eds.). 2023. Ethnologue: Languages
of the World. Twenty-sixth edition. Dallas, Texas: SIL International.
http://www.ethnologue.com/.
Fishman, Joshua A. 1991. Reversing language shift. Clevedon, UK: Multilingual Matters.
Global Recordings Network, Leaflet. Peta persebaran bahasa. Global Recordings Network.
https://grnmapapp.org/#. (15 April, 2024).
Hasselbring, Sue. 2012. Nine participatory tools for use with partners. Unpublished ms.
Hudson, Alfred B. 1967. The Barito isolects of Borneo: a classification based on comparative
reconstruction and lexicostatistics (Data Paper 68). Ithaca, NY: Cornell University.
Humaidi, Akhmad, Kamariah & Haswinda Harpriyanti. 2017. Infleksi Dalam Bahasa Banjar.
Stilistika: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya 2. 262–272.
Ismail, Abdurachman, A Aini, M Yusni & N Nasusfi. 1979. Bahasa Bukit. Jakarta: Pusat Bahasa.
Jana Barančicová. 2015. English as a Lingua Franca Used at International Meetings.
Karan, Mark. 2000. Motivations: language vitality assessments using the perceived benefit
model of language shift. In M. Paul Lewis & Gloria Kindell (eds.), Assessing
ethnolinguistic vitality: theory and practice. Selected papers from the Third International
Language Assessment Conference (Publications in Sociolinguistics 3), 65–77. Dallas:
SIL International.
Kasmilawati, Isna. 2016. Pemertahanan bahasa Dayak Deah desa Pangelak kecamatan Upau
kabupaten Tabalong. Jurnal Bahasa, Sastra Dan Pembelajarannya 6(1). 92–102.
Katubi. 2010. Bahasa, Identitas, dan Konflik. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Kawi, Djantera, Durdje Durasid & Aris Djinal. 1983. Struktur bahasa Dusun Deyah. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Komalasari, Ida, Kamal Hasuna & Heppy Lismayanti. 2017. Pergeseran bahasa Dayak pada
masyarakat Loksado kabupaten Hulu Sungai Selatan provinsi Kalimantan Selatan.
Jurnal Hadratul Madaniyah 4(2). 1–8.
Lewis, M. Paul. 2010. The Sustainable Use Model and the Expanded Graded Intergenerational
Disruption Scale (EGIDS). Presented at the International Language Assessment
Conference 6, Penang, Malaysia, 3-10 November 2010.
Lewis, M. Paul & Gary Simons. 2010. Assessing endangerment: expanding Fishman’s GIDS.
Revue Roumaine de Linguistique 55(2). 103–120.
Lewis, M. Paul & Gary F. Simons. 2017. Sustaining Language Use: Perspectives on
Community-Based Language Development. Dallas: SIL International.
Mujiburrahman, Ahmad Syadzali & Alfisyah. 2011. Badingsanak Banjar - Dayak: Identitas
Agama dan Ekonomi Etnisitas Kalimantan Selatan. Yogyakarta : CRCS.
Nuryani, Siti Isnaniah & Ixsir Eliya. 2021. Sosiolinguistik dalam pengajaran bahasa berbasis
multikultural: Teori dan Praktik Penelitian. 1st edn. Bogor, Indonesia: Penerbit IN
MEDIA.
Prihadi, M, Hum. 2006. Linguistik Historis Komparatif. Yogyakarta: Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta.
Samarin, William. 1987. Lingua Franca. In. Berlin: Walter de Gruyter.
Stanford, James & Whaley Lindsay. 2010. The Sustainability of Languages. International
Journal of Environmental, Cultural, Economic and Social Sustainability.
Thomason. 2001. Language Contact: An Introduction.
Tsing, Anna Lowenhaupt. 1993. In The Realm of The Diamond Queen. Princeton University
Press.

Anda mungkin juga menyukai