Anda di halaman 1dari 436

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wayang topeng Tengger merupakan salah satu kebudayaan milik masyarakat

Tengger yang sampai sekarang masih bisa tetap eksis di tengah-tengah kehidupan

masyarakat Tengger karena terkait dengan budaya ruwatan yang sampai saat ini masih

dipercaya dan dipegang teguh oleh masyarakat Tengger. Upacara ruwatan dilakukan oleh

masyarakat Tengger yang memiliki anak satu, laki-laki atau putri (ontang-anting),

memiliki anak tiga, pertama putra, kedua putri, dan ketiga putra (sedang diapit pancuran),

mempunyai anak tiga, pertama putri, kedua putra, dan ketiga putri (pancuran diapit

sendang), dan anak lima, laki-laki semua (pandawa lima). Anak-anak tersebut menurut

kepercayaan masyarakat Tengger merupakan makanan Bethara Kala. Agar anak –anak

tersebut tidak dimakan Bethara Kala, perlu diruwat.

Pelaksanaan upacara ruwatan ada dua cara. Pertama, tanpa menggunakan media

pertunjukan Wayang topeng Tengger. Dalang Wayang topeng Tengger Ki Lebari datang

ke tempat upacara ruwatan dengan menggunakan media topeng Bethara Kala. Upacara

ruwatan tersebut pada umumnya dilaksanakan oleh masyarakat Tengger kelas bawah

karena mereka tidak mampu membiayai ruwatan dengan menggunakan media pertunjukan
2

Wayang topeng Tengger. Kedua, upacara ruwatan yang menggunakan media pertunjukan

Wayang topeng Tengger yang dilaksanakan pada waktu malam. Upacara ruwatan tersebut

dilakukan oleh masyarakat Tengger yang kaya karena memerlukan biaya yang mahal. Pada

umumnya upacara ruwatan tersebut sebelumnya sudah didahului oleh berbagai jenis

kesenian yang lain, seperti campur sari, dramben, kuda kepang, dan tayuban yang

dilaksanakan sampai tiga hari tiga malam yang biayanya bisa mencapai sekitar

Rp200.000.000,00--Rp300.000.000,00. Pertujukan Wayang topeng Tengger merupakan

media upacara ruwatan dan sekaligus penutup dari segala acara kesenian dan hajatan

(Wawancara dengan dalang Ki Lebari, di Desa Wonokerso tanggal 8 Februari 2018).

Perkembangan Wayang topeng Tengger terkait dengan budaya ruwatan masyarakat

Tengger karena pada saat masyarakat Tengger melaksanakan upacara ruwatan pada

umumnya menggunakan media pertunjukan Wayang topeng Tengger. Fungsi utama

pertunjukan Wayang topeng Tengger adalah sebagai media upacara ruwatan. Sedang

fungsi lain adalah sebagai hiburan bagi masyarakat. Pertunjukan Wayang topeng Tengger

sebagai media ruwatan adalah ―Lakon Bethara Guru Krama‖.

Bila pertunjukan Wayang topeng Tengger sebagai hiburan saja, lakonnya adalah

―Walang Sumirang‖. Akan tetapi, pertunjukan Wayang topeng Tengger sangat jarang

hanya digunakan sebagai alat hiburan. Bila pertunjukan Wayang topeng Tengger hanya

sebagai hiburan, dikombinasikan dengan berbagai jenis kesenian yang lain, seperti campur

sari dan tayuban, sehingga ceritanya tidak fokus karena waktu yang sangat terbatas. Lakon
3

lain adalah ―Asal-Usul Kasada‖ yang terkait langsung dengan upacara Kasada yang

dilakukan oleh masyarakat Tengger setiap bulan Kasada.

Upacara Kasada mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pertunjukan

Wayang topeng Tengger karena menjadi salah satu sumber dari lakon Wayang topeng

Tengger, yaitu lakon ‗Asal Usul Tengger‖ (Wawancara dengan Ki Lebari, di Desa

Wonokerso, 8 Februari 2018). Upacara Kasada merupakan salah satu budaya yang menarik

dan masih dipegang teguh serta dilestarikan sampai sekarang. Upacara Kasada diadakan

setiap tahun dan dikemas sebagai agenda pariwisata yang bersifat internasional. Adat-

istiadat upacara Kasada tersebut menjadi salah satu andalan pariwisata masyarakat

Probolinggo. Upacara Kasada mempunyai berbagai fungsi bagi Pemerintah Daerah

Probolinggo dan masyarakat Tengger pada khususnya karena (1) dapat meggerakkan

ekonomi masyarakat Probolinggo pada umumnya dan masyarakat Tengger pada khususnya,

karena pada saat upacara Kasada benyak turis lokal maupun internasional yang

berbondong-bondong menyaksikan upacara Kasada, (2) sebagai sarana berdoa kepada para

dewa agar masyarakat Tengger pada khusunya dan masyarakat Indonesia pada umumnya

dijauhkan dari berbagai bencana, khusunya bencana meletusnya gunung Bromo, (3) sebagai

sarana melaksanakan amanah dari nenek moyangnya (Pangeran Kusuma) agar setiap bulan

Kasada, hari ke-14 selalu melaksanakan upacara Kasada dengan berkurban kepada para

Dewa dengan mengorbankan sebagian rezeki yang berupa hasil tanaman terbaik dan
4

binatang ternak sebagi persembahan kepada para Dewa penguasa gunung Bromo, dan (4)

sebagai sarana pengembangan dan pelestarian kepercayaan dan budaya nenek moyangnya.

Pertunjukan Wayang Topeng Tengger terkait dengan hal-hal mistik, seperti

percaya dan menghormati roh para leluhurnya yang sudah mati, para dewa sebagai

penguasa gunung Bromo, dan mereka percaya keturunan Joko Sengger dan Rara Anteng.

Sebagai refleksi dari kepercayaan dan penghormatan terhadap Joko Seger dan Roro

Anteng, maka setiap bulan Kasada, hari keempat belas selalu mengadakan upacara Kasada

sebagai media berdoa dan minta perlindungan kepada dewa dan roh para leluhurnya agar

terhindar dari segala bahaya meletusnya gunung Bromo. Dalam upacara Kasada juga ada

pertunjukan Wayang topeng Tengger yang berfungsi sebagai hiburan (Anas, 2013, p.28).

Masyarakat Tengger memiliki kometmen melestarikan dan mengembangkan

budaya Wayang topeng Tengger sehingga sampai sekarang masih tetap eksis di tengah-

tengah berkembangnya budaya modern bahkan budaya postmodern. Tokoh yang memiliki

peran yang sangat besar dalam melestarikan dan mengembangkan Wayang topeng Tengger

adalah dalang Ki Lebari yang tinggal di Desa Wonokerso, Kecamatan Sumber, Kabupaten

Probolinggo. Tokoh lain yang berjasa melestarikan dan mengembangkan Wayang topeng

Tengger adalah dalang Ki Sutomo. Akan tetapi, yang banyak ditanggap masyarakat bila

ada upacara ruwatan yang paling disenangi masyarakat Tengger adalah dalang Ki Lebari.

Dalang Ki Lebari sangat disenangi masyarakat karena memiliki topeng Bethara Kala.
5

Keunikan Wayang topeng Tengger terletak pada topeng Bethata Kala yang sangat

sakral dan mistik, tidak semua orang mampu memakai topeng Bethara Kala. Orang yang

memakai topeng Bethara Kala akan langsung kemasukan roh Bethara Kala sehingga sikap

dan tindakannya langsung berubah. Seorang tokoh bila sudah memakai topeng Bethara

Kala langsung mempunyai kekuatan yang luar biasa, bisa melompat dari atas panggung ke

halaman yang penuh penonton dan merusak apa saja, sehingga selalu didampingi oleh tiga

sampai lima orang. Untuk mengatasi agar Bethara Kala tidak merusak apa saja, maka

dibuatkan media gerumbul yang terdiri atas beberapa pohon pisang, tebu, kelapa, dan padi,

sebagi media tempat pelampiasan Bethara Kala mengamuk. Gerumbul tersebut akan di

rusak sampai dia menemukan roh anak yang diruwat.

Bila Bethara Kala belum menemukan roh anak yang diruwat yang telah

dipindahkan ke orang sebagai mediator menempatkan roh anak yang diruwat, maka ia akan

mencari terus sampai ditemukan. Bila sudah ditemukan, maka tokoh orang yang berfungsi

sebagai mediator tersebut akan dibunuh. Setelah tokoh mediatot tersebut dibunuh, maka

tokoh yang telah menjadi mayit tersebut di bawa ke panggung, tubuhnya menjadi keras

bagaikan kayu dan ditutupi kain mori putih. Mayit tersebut akan menjadi makanan Bethara

Kala. Namun sebelum di makan, Bathara Kala akan minta bantuan dalang untuk

menyucikan mayit tersebut sesuai pesan Bethari Durga, sebelum mayit dimakan disucikan

dahulu oleh dalang keturunan yang sakti. Dalam keturunan yang sakti tersebut saat ini

adalah dalang Ki Lebari, dalang keturunan ke tujuh. Dalang meminta upah untuk
6

mencucikan mayit tersebut. Bathara Kala akan memberikan upah berupa pusaka pemberian

Bethara Guru, ayah Bethara Kala. Pusaka tersebut menjadi barter dalang untuk minta mayit

agar tidak dimakan. Dalang memberikan dua alternatif kepada Bethara Kala, apakah

memilih pusaka, atau memilih makan mayit. Bathara Kalam akhirnya memilih pusakanya

diminta kembali dan ia segera minta pamit kembalai ke Puncak B29, tempat pertapaan

Bathara Kala. Akhirnya dalang menghidupkan kembali mayat tersebut dengan air suci.

Keunikan Wayang topeng Tengger tersebut tidak dimiliki oleh jenis Wayang

topeng lain dan jenis Wayang pada umumnya yang dimiliki masyarakat Jawa, Bali,

Kalimantan, dan Sasak. Masyarakat Jawa memiliki Wayang kulit purwa, Wayang wong,

Wayang topeng, Wayang krucil, Wayang beber, dan Wayang jemblung. Masyarakat Bali

memiliki Wayang Bali, masyarakat Kalimatan memiliki Wayang Gong, dan masyarakat

Sasak memiliki Wayang Sasak.

Wayang topeng Tengger menarik dan unik karena: (1) sumber ceritanya dari

Mahabarata, Ramayana, Panji, dan Mitos Gunung Bromo (2) dialog dan ceritanya berasal

dari dalang secara naratif, (3) tokohnya berupa manusia yang memakai topeng

memerankan tokoh para dewa, seperti Bethara Guru, Sang Hyang Sis, Sang Hyang

Punggung, Sang Hyang Pongat, dan Sang Hyang Manik Maya, Bethara Narada, dan

Bethara Kala, (4) para tokohnya manusia, tetapi tidak berdialog secara langsung, mereka

hanya melakukan gerakan sebagai penari sesuai dengan karakter tokoh yang diperankan,

(5) durasi pertunjukkan sekitar lima jam, mulai sekitar pukul 12.00 atau 12.30 sampai
7

dengan pukul 05.00 atau 05.30 WIB, (6) bersifat mistik dan sakral, (7) berfungsi sebagai

media upacara ruwatan masyarakat Teengger, dan (8) sebagai media hiburan bagi

masyarakat Tengger.

Pertunjukan Wayang topeng Tengger merupakan refleksi budaya masyarakat

Tengger pada khusunya dan refleksi budaya masyarakat Jawa pada umumnya karena

masyarakat Tengger menurut ceritanya merupakan keturunan masyarakat Jawa Majapahit

yang pada waktu itu melarikan diri ke Tengger untuk menyelamatkan diri dan keluarganya

akibat adanya perang saudara dalam perebutan kekuasaan, sehingga budayanya juga masih

mirif dengan budaya masyarakat Jawa pada umumnya. Masyarakat Jawa pada umumnya

memiliki budaya upacara selamatan sebagai refleksi upacara keagamaan yang

melambangkan kesatuan mistik dan sosial yang melibatkan banyak orang, baik sanak-

saudara, tetangga, arwah nenek moyang yang sudah mati, dewa atau Tuhan, semuanya

duduk bersama yang terikat pada suatu budaya dan kelompok sosial tertentu (Geertz, 2017,

p.3).

Ada persamaan dan perbedaan antara Wayang topeng Tengger dengan Wayang

topeng Malang. Persamaanya dengan Wayang topeng Malang adalah tokohnya sama-sama

manusia dan menggunakan topeng. Perbedaanya, Wayang topeng Tengger sumbernya

campuran cerita Mahabarata, Ramayana, Panji, dan cerita Tengger. Para tokohnya tidak

saling berdialog sendiri, tetapi hanya memerankan gerak sesuai dengan karakter tokoh yang
8

diperankan. Ceritanya secara naratif yang berasal dari dalang. Sedangkan Wayang topeng

Malang sumber ceritanya dari cerita Panji.

Salah satu kebudayaan daerah yang menarik dan unik yang perlu dilestarikan dan

dikembangkan adalah Wayang topeng Tengger, untuk memperkaya khasanah kebudayaan

nasional. Kebudayaan nasional mempunyai berbagai ragam yang menggambarkan

kekayaan budaya bangsa Indonesia yang dapat dijadikan landasan untuk pengembangan

kebudayaan nasional secara keseluruhan.

Keunikan lain pertunjukan Wayang topeng Tengger banyak mengandung nilai etnik

yang masih relevan dengan kehidupan masyarakat Tengger dan dapat dijadikan media

pendidikan karakter bagi masyarakat Tengger pada khususnya dan masyarakat Indonesia

pada umumnya. Pertunjukan Wayang topeng Tengger mengandung simbol etnik, baik

yang berupa bahasa dalang, tokoh, topeng, dan sesaji. Hal tersebut sesuai dengan pendapat

Endraswara (2017,p. 53) bahwa Wayang merupakan pancaran simbolik. Menonton

Wayang berarti menonton simbol-simbol kehidupan manusia yang digambarkan dalam

pertunjukan Wayang .

Menurut Edraswara (2014, p.247) pertunjukan Wayang pada mulanya merupakan

acara ritual keagamaan atau upacara yang bersifat sakaral atau mistik. Simbol ritual dapat

berupa sesaji, tumbal, dan ubarampe atau perlengkapan sesaji. Sesaji merupakan aktualisasi

diri pikiran, keinginan dan perasaan sesorang yang melakukan upacara ritual sebagai upaya

untuk mendekatkan kepada Tuhan serta akumulasi dari budaya suatu masyarakat. Simbol
9

budaya memiliki makna yang dapat dijadikan contoh dan media pendidikan bagi kehidupan

masyarakat sekarang, baik dalam berkeluarga, berpolitik, maupun suksesi kepemimpinan.

Pertunjukan Wayang topeng Tengger lakon ―Bethara Guru Kawin‖ mengandung simbolik

perebutan kekuasaan keempat anak Sang Penguasa Jagad Sang Hyang Pikulun Sas Sis

yaitu; Sang Hyang Punggung, Sang Hyang Pongat, Sang Hyang Lesmana Dewa, dan Sang

Hyang Manik Maya.

Ketiga anak Sang Penguasa Jagad Sang Hyang Pikulun Sas Sis yaitu; Sang Hyang

Punggung, Sang Hyang Pongat, dan Sang Hyang Lesmana Dewa sangat berambisi dan

menggunakan segala strategi yang tidak baik untuk menduduki kekuasaan menggantikan

ayahnya, meskipun harus berusaha membunuh saudaranya sendiri, yaiu Sang Hyang Manik

Maya. Sedangkan Sang Hyang Manikmaya meskipun mempunyai keinginan untuk

menggantikan kedudukan ayahnya, tetapi mereka menempuh cara yang baik, yaitu dengan

cara bertapa dan minta restu kepada ibunya secara batin. Justru kekuasaan akhirnya jatuh ke

tangan Sang Hyang Manik Maya karena mereka berhasil mendapatkan pusaka Arta

Budama dari Bethara Narada. Sedangkan ketiga kakaknya yang sangat berambisi

menggantikan kedudukan ayahnya tidak dapat mencapai ambisinya menggantikan

kedudukan ayahnya karena tidak berhasil mendapatkan pusaka Arta Budama, justru

mendapatkan celaka karena Sang Hyang Punggung disabda menjadi Antaboga, Sang

Hyang Pongat disabda menjadi burung engkuk, dan Sang Hyang Lesmana Dewa disabda

menjadi Semar oleh Sang Hyang Manik Maya


10

Cerita tersebut merupakan simbolik perebutan kekuasaan yang terjadi dalam

kehidupan nyata bahwa dalam perebutan kekuasaan di dunia nyata juga sering terjadi tokoh

yang sangat ambisius untuk menduduki kekuasaan walaupun ditempuh dengan berbagai

cara dengan menggunakan konfirasi melakukan kejahatan dengan menghina, menghujat,

dan mencari kesalahan lawan politiknya. Namun, tokoh yang ambisius yang menempuh

berbagai cara tersebut, justru tidak bisa mencapai cita-citanya karena tidak mendapat

simpati atau dukungan rakyat. Justru pemimpin yang tidak ambisius yang menempuh cara-

cara yang baik, justru mendapat simpati dan dukungan rakyat dan dapat mencapai cita-

citanya meraih kekuasaan.

Pertunjukan Wayang topeng Tengger banyak mengandunng mistik Jawa, yaitu

kepercayaan kepada dewa-dewa, percaya pada mitos gunung Bromo tentang Joko Sengger

dan Rara Anteng, percaya kepada para dewa penghuni gunung Bromo, sehingga setiap

setahun sekali pada bulan Kasada, hari ke-14 selalu mengadakan upacara Kasada sebagai

media upacara persembahan kepada para dewa penunggu kawah gunung Bromo. Dalam

upacara tersebut masyarakat Tengger melakukan persembahan kepada para dewa berupa

berbagai sesaji seperti tumpeng, berbagai jenis hasil tanaman terbaik, dan kepala lembu

dilarung ke kawah gunung Bromo.

Upacara tersebut sebagai media berdoa dan meminta perlindungan kepada para

dewa agar masyarakat Tengger pada khususnya dan masyarakat pada umumnya dijauhkan

dari berbagai malapetaka meletusnya gunung Bromo, diberi rezki yang banyak, dan diberi
11

kedamaian, dan kebahagiaan hidup. Mistik tersebut termasuk mistik Jawa atau mistik

kejawen. Mistik kejawen merupakan suatu upaya spiritual ke arah pendekatan kepada

Tuhan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa (Edraswara, 2014, p.135)

Pertunjukan Wayang topeng Tengger banyak mengandung nilai etnik. Nilai etnik

adalah tatanan atau aturan dan tradisi yang dianggap baik dan dijadikan pedoman dan

contoh dalam kehidupan masyarakat Tengger pada khususnya dan masyarakat Indonesia

pada umumnya. Nilai etnik tersebut antara lain, nilai pendidikan kepada orang tua yang

menjadi penguasa atau raja agar berbuat adil kepada anaknya. Seperti yang dilakukan oleh

Sang Penguasa Jagad Sang Hyang Pikulun Sas Sis yang akan mewariskan kekuasaannya

kepada keempat anaknya. Siapa yang bisa menangkap dan membawa pulang pusaka Arta

Budama, maka dialah yang berhak menggantikan kedudukan ayahnya. Juga mengandung

nilai pendidikan agar manusia yang akan menduduki kekuasaan tidak ambisius dan

menempuh berbagai cara yang tidak baik, tetapi, menempuh cara yang baik, sehingga

mendapat simpati dan dukungan masyarakat. Restu kedua orang tua, khususnya ibu juga

sangat penting untuk mencapai cita-citanya.

Pertunjukan Wayang topeng Tengger menggunakan bahasa Jawa Ngoko dan Jawa

Krama Inggil sesuai tataran dalam bahasa Jawa. Dalang memegang peranan yang sangat

penting dan dominan karena dalang menceritakan lakon Wayang topeng Tengger secara

naratif dan dicampur dengan dialog sesuai dengan konteks isi cerita. Meskipun tokoh

Wayang topeng Tengger adalah orang, tetapi tidak melakukan dialog antartokoh seperti
12

dalam Wayang Wong dan Wayang Kulit Purwa di Jawa. Tokohnya hanya menari-menari

sesuai dengan lakon yang diceritakan oleh dalang.

Wayang berkembang dari zaman-ke zaman, mulai muncul berbagai model Wayang

yang telah ditampilkan oleh banyak dalang. Pertunjukan Wayang topeng Tengger sangat

unik yang berbeda dengan Wayang pada umumnya. Wayang topeng Tengger tokohnya

manusia yang memakai topeng. Wayang topeng Tengger kurang populer dibandingkan

dengan Wayang kulit purwa di Jawa yang identik dengan pertunjukan semalam suntuk.

Percakapan yang diutarakan tidaklah muncul dari mulut sang tokoh melainkan dari sang

dalang secara naratif dan dialog, tokoh hanya menari mengikuti cerita dalang dan musik

pengiringnya dengan gestur dan gerak tubuh sehingga pesan yang diucapkan dalang

tersampaikan kepada penonton.

Wayang topeng di Tengger mirip dengan Wayang topeng Malang, Wayang

topeng Jatiduwur di Jombang, dan tari topeng di Cirebon.Wayang topeng Malang dan

Jatiduwur di Jombang yang sudah populer di kalangan masyarakat.Tari topeng yang

terkenal berada di Cirebon, yang di perkenalkan oleh Didi Ninitowok. Kemiripan Wayang

topeng Tengger dengan Wayang topeng di Malang dan Jombang terletak pada tokohnya

sama-sama manusia yang menggunakan topeng. Sedangkan perbedaannya terletak pada

lakonnya. Wayang topeng di Malang dan Jombang lakonnya bersumber pada cerita Panji.

Sedangkan Wayang topeng Tengger bersumber pada cerita mitos para Dewa, Gunung

Bromo, Gunung Batok, dan Batara Kala. Perbedaan yang sangat menyolok antara Wayang
13

topeng Tengger dengan Wayang topeng di Malang, Jombang, dan Cirebon adalah terletak

pada topeng Bethara Kala yang sangat mistik dan mempunyai kekuatan luar biasa dan tidak

setiap orang kuat untuk memakai topeng tersebut. Hanya ada satu orang yang kuat

memakai dan memerankan Bethara Kala, yaitu Ngatama. Begitu topeng Bethara Kala

dipakai oleh Ngatama, maka perilaku dan karakternya menurut kepercayaan masyarakat

Tengger adalah perilaku dan karakter Bethara Kala, karena dalang Ki Lebari telah

memanggil roh Bethara Kala dan masuk ke topeng Bethara Kala.

Pertunjukan Wayang topeng Tengger merupakan pertunjukan yang mengandung

mistik dan sakral yang tidak dapat dipentaskan atau ditanggap setiap saat oleh masyarakat.

Petunjukkan Wayang topeng Tengger utamanya dipentaskan sebagai media upacara

ruwatan, media persembahan, dan rasa syukur seseorang atau masyarakat terhadap Sang

Hyang Widi yang telah memberi mereka keselamatan serta keharmonisan hidup di dalam

masyarakat agar anggota keluarganya atau masyarakat selamat dari berbagai malapetaka

meletusnya gunung Bromo.

Tokoh dalam Wayang topeng Tengger hanya berperan sebagai mediator cerita,

tidak melakukan dialog antartokoh, tetapi melakukan gerakan tertentu atau menari yang

harus dipatuhi oleh para penarinya. Para penarinya pada umumnya laki-laki. Penari

wanitanya hanya satu orang yang memerankan tokoh Naga Gini. Wayang topeng Tengger

di tampilkan tanpa menggunakan teks melainkan langsung secara lisan yang muncul atas

dasar ingatan dalang. Cerita utama Wayang topeng Tengger, yaitu legenda gunung Bromo,
14

Bathara Kala, Gunung Batok, Asal Mula Masyarakat Tengger, sesuai permintaan

penanggap Wayang tersebut (Wawancara dengan dalang Ki Lebari, di Desa Wonokerso

tanggal 8 Februari 2018).

Wayang topeng yang dijadikan objek penelitian ini adalah Wayang topeng

Tengger yang ada di Desa Wonokerso, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo Group

Sri Margo Rukun pimpinan Ki Lebari. Wayang topeng Tengger sampai sekarang masih

dilestarikan oleh masyarakat desa Wonokerso sebagai media upacara ruwatan. Ruwatan

masyarakat Jawa pada umumnya menggunakan Wayang kulit, tetapi masyarakat Tengger

di desa Wonokerso dan sekitarnya memiliki perbedaan yaitu, dengan mengganti Wayang

kulit dengan Wayang topeng Tengger. Pada umumnya masyarakat di Desa Wonokerso dan

sekitarnya bila ada upacara ruwatan menggunakan media Wayang topeng Tengger, tetapi

ada juga yang tidak menggunakan Wayang topeng Tengger, hanya menggunakan media

topeng Bethara Kala (Wawancara dengan Ki Lebari, tanggal 26 Fabruari 2018, di Desa

Wonokerso).

Bathara Kala merupakan sosok dewa pemakan manusia yang memiliki wujud

raksasa yang berwajak jelek dan menakutkan. Pada seni pertunjukan Wayang topeng

Tengger terdapat topeng yang sakral dan dikeramatkan yaitu, topeng Bathara Kala. Topeng

Betara Kala bersifat magis dan sakral, tidak semua orang mampu memakainya, hanya ada

satu pemain yaitu Bapak Ngatama yang kuat memakai topeng tersebut. Umurnya sudah 57

tahun dan sampai sekarang belum ada tokoh yang mampu menggantikannya. Topeng
15

tersebut setiap harinya di bungkus dengan kantong kain berwarna putih dan disimpan

khusus oleh dalang Ki Laberi di rumahnya, dipisahkan dengan topeng-topeng yang lain

(Wawancara dengan dalang Ki Lebari, di Desa Wonokerso tanggal 8 Februari 2018).

Tokoh Bathara Kala menjadi pusat perhatian dari seni pertunjukan Wayang topeng

Tengger karena pada saat pertunjukan akan dimulai roh Bathara Kala akan memasuki tubuh

sang pemakai topeng tersebut. Topeng Bathara Kala memiliki wajah yang berwarna merah,

mempunyai mata yang melotot, gigi yang panjang, berkumis, dan memiliki jenggot tebal.

Fungsi utama topeng tersebut sebagai simbol tokoh dewa pemakan manusia (Bathara Kala)

dan media masuknya roh ke dalam tubuh tokoh Bethara Kala. Tokoh yang memakai topeng

Bathara Kala ini yang berperan akan memakan anak yang diruwat. Arwah anak yang

diruwat telah dipindahkan ke tubuh tokoh lain, sehingga Bethara Kala tidak memakan

tubuh tokoh anak yang diruwat, tetapi mengejar-ngejar dan membunuh tokoh yang sudah

ditempati roh anak yang diruwat.

Pertunjukkan Wayang topeng Tengger bersifat sakral dan mistik yang tidak bisa

dipertunjukkan setiap saat seperti Wayang purwa pada umumnya. Artinya masyarakat

tidak bisa menanggap Wayang topeng Tengger yang hanya berfungsi sebagai hiburan

semata, seperti untuk hiburan pernikahan, sunatan, dan peringatan hari besar Kemerdekaan

Rebuplik Indonesia setiap tanggal 17 Agustus. Fungsi utamanya sebagai media ruwatan

masyarakat Tengger. Masyarakat Tengger pada saat melaksanakan upacara ruwatan tidak

menggunakan Wayang kulit purwa, karena menurut sejarahnya pada masa buyut dalang Ki
16

Lebari (sekitar tahun 1800-an), masyarakat Tengger bila meruwat anaknya menggunakan

media Wayang kulit purwa, tetapi anaknya justru ada yang sakit, meninggal, nasibnya

tidak baik, dan rejekinya sulit. Akhirnya masyarakat mengalihkan media ruwatan

menggunakan Wayang topeng Tengger sejak buyut dalang Ki Lebari, sampai sekarang

(Wawancara dengan dalang Ki Lebari, di Desa Wonokerso tanggal 8 Februari 2018 dan 26

Februari 2018).

Di Desa Wonokerso saat ini masih ada dua dalang yang sering memimpin upacara

ruwatan dengan media pertunjukan Wayang topeng Tengger, yaitu bernama Ki Lebari dan

Ki Sutomo. Namun, dalang yang sangat terkenal dan sering memimpin upacara ruwatan

saat ini adalah Ki Lebari. Dalang Ki Lebari dan Ki Sutomo mendapat warisan ilmu dari Ki

Adi Sutjipto, seorang dalang yang sangat senior yang telah mewariskan ilmunya kepada

generasi berikutnya dan masih ada hubungan kerabat, yaitu Ki Lebari dan Ki Sutomo.

Dalang Ki Lebari dan Ki Sutomo memunyai grup yang berbeda, Ki Lebari mempunyai

group yang bernama Sri Margo Rukun. Sedangkan Ki Sutomo mempunyai group Wayang

yang bernama Citra Birawa. Keduanya masih kerabat dekat, Ki Lebari dan Ki Sutomo

sama-sama dalang dalam seni pertunjukan Wayang topeng Tengger (Wawancara dengan

dalang Ki Lebari, di Desa Wonokerso tanggal 8 Februari 2018 dan 26 Februari 2018).

Cerita yang wajib dalam acara ruwatan adalah cerita tentang legenda Gunung

Bromo dan Bathara Kala. Masing-masing cerita mempunyai judul saat pertunjukan

berlangsung, Gunung Bromo dengan judul Titahing Kusuma. Sedangkan Bathara Kala
17

dengan Judul ―Bathara Guru Krama‖. Pada saat ini ruwatan di desa Wonokerso tidak

mewajibkan menampilkan cerita legenda Gunung Bromo, melainkan yang diwajibkan

adalah cerita Bathara Kala. Bahasa yang digunakan dalang pertunjukan Wayang topeng

Tengger adalah bahasa Jawa lisan ragam Ngoko dan krama madya (Wawancara dengan

dalang Ki Lebari, di Desa Wonokerso tanggal 8 Februari 2018 dan 27 Februari 2018).

Pemilihan Wayang topeng Tengger sebagai objek penelitian ini di samping

menarik dan unik, juga didasari oleh kurangnya masyarakat mengenal Wayang topeng

Tengger yang berasal dari desa Wonokerso, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo,

sehingga penelitian ini sebagai media penggalian, pelesatarian, dan pengembangan Wayang

topeng Tengger. Di samping itu, sepengetahuan peneliti berdasarkan penelitian pustaka,

pelacakan melalui internet, dan informasi dari dalang Ki Lebari, Wayang topeng Tengger

ini belum pernah diteliti untuk penulisan tesis maupun disertasi (Wawancara dengan Ki

Lebari, di Desa Wonokerso, tanggal 8 Februari 2018).

Pertunjukan Wayang topeng Tengger banyak mengandung simbol etnik, nilai

etnik, dan tindak tutur. Simbol etnik merupakan tanda yang memiliki hubungan yang sudah

terbentuk secara konvensional, contohnya dalam pertunjukan Wayang topeng Tengger (1)

topeng berwarna merah dan bersiung panjang sebagai simbol buta, (2) topeng berwarna

putih sebagai simbol kesatria yang berwatak baik, (3) hidung topeng mancung dan

menghadap ke bawah sebagai simbol kesatria, (4) gunung berwarna hijau sebagai simbul

suku Tengger hidup di lereng gunungTengger yang subur.


18

Simbol sosiobudaya yang terkait dengan ikon, Indeks, dan simbol dalam penelitian

ini mengkaji tentang hubungan kedekatan antara tanda dan penandanya atau objeknya pada

teks naratif saat pertunjukan berlangsung, seperti (1) gambaran pegunungan Bromo yang

hiajau royo-royo, (2) alas Jero Baya yang angker, jalma mara, jalma mati, (3) pergantian

pimpinan dewa secara demokratis, transparan, dan berdasarkan kompensi, (4) budaya

selamatan masyarakat Tengger, seperti entas-entas, ruwatan, dan pujan atau Kasada, (5)

lampu merah yang menyala terang serta suara gemuruh gluduk itu tanda bahwa sang tokoh

Bathara Kala akan muncul, (6) lampu berwarna putih terang dan memancarkan bau wangi-

wangian itu tanda akan munculnya tokoh wanita yang memiliki wajah cantik bagaikan

bidadari, (7) topeng yang memiliki wajah muram itu tanda bahwa tokoh tersebut sedang

merasa sedih, dan (8) topeng berwarna merah, bersiung panjang, mata lebar keluar, dan

jenggot tebal dan panjang tanda tokoh Bethara Kala.

Nilai etnik yang mencakup mistik yang terkait dengan animisme, dinamisme, dan

sinkritisme, nilai kepemimpinan, nilai relgi, nilai sosial, dan nilai pendidikan. Nilai etnik

yang terkadung dalam pertunjukan Wayang topeng Tengger antara lain (1) nilai gotong

royong, seperti masyarakat berbondong-bondong membantu merancang dan memesang

panggung, (2) nilai religius sebelum pertunjukan berlangsung para pemain Wayang topeng

Tengger berdoa yang dipimpin oleh tetua adat dan dalang agar pertunjukan berlangsung

aman, (3) nilai kepemimpinan, memberikan contoh bagaimana suksesi kepemimpinan yang

baik yang tidak banyak menimbulkan korban bagi masyarakat kecil, (4) nilai tanggung
19

jawab seorang pemimpin, (5) nilai kesabaran, ketabahan, dan kerja keras dalam mencapai

cita-cita dalam menghadapi berbagai persoalan hidup.

Mistik merupakan aktivitas spiritual yang menghubungkan antara dua dunia dan

kepercayaan terhadap hal yang dianggap gaib. Mistisisme dalam seni pertunjukan Wayang

topeng Tengger contohnya (1) Adanya upacara sesaji sebelum di adakannya pertunjukan,

(2) pada saat peristiwa dalang meruwat, semua penonton tidak boleh pulang, (3) adanya

sesaji yang telah disiapkan pada saat pertunjukan wayang topeng berlangsung, (4) pada

saat pertunjukan wayang topeng, tokoh yang memakai topeng Bethara Kala langsung

kemasukan roh Bethara Kala, (5) tokoh mediator yang ditipi roh anak yang diruwat

dibunuh oleh Bethara Kala akan dijadikan makanananya, betul-betul mati, dan (6) dalang

bisa menghidupkan tokoh mediator yang telah mati denagn air suci dari tujuh sumber.

Mistisisme memiliki hubungan dengan simbol, baik yang berupa benda atau aktivitas yang

banyak dilakukan oleh masyarakat Tengger pada saat melakukan upacara ritual.

Pragmatik yang terkait dengan tindak tutur yang mencakup lokosi, ilokusi, dan

perlokusi. Tindak tutur yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah tindak tutur dalang

wayang topeng Tengger pada saat pertunjukan Wayang topeng Tengger, yang mencakup

tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi, dan tindak tutur perlokusi. Tindak tutur lokosi

adalah ujaran yang berbentuk kalimat yang diucapkan oleh penutur. Tindak tutur ilokusi

adalah tujuan atau maksud ujaran penutur. Tindak tutur perlokusi adalah reaksi atau
20

tindakan petutur berdasarkan ujaran penutur (Hakim, 2016,p 3-4; Novianti, 2017,p. 131;

Chaer dan Agustina, 2004,p.53).

Penelitian yang relevan terkait dengan objek Wayang topeng Tengger pernah

dilakukan oleh Prasetyo, (2004) yang meneliti Wayang topeng Glagahdowo di Malang.

Hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa Wayang topeng Glagahdowo mengalami

kejayaan pada sekitar tahun 1920-1-42 dan 1940-1970-an. Keberadaan Wayang topeng

Glagahdowo saat ini sangat memprihatinkan karena terdesak oleh kesenian modern yang

lebih disenangi masyarakat. Fungsi kesenian Wayang topeng Glahdowo sebagai penggerak

kesenian tradisional lain, seperti ludruk Malangan, Wayang kulit Malangan, dan tayuban

Malangan.

Penelitian tersebut memilik kesamaan objek penelitian, yaitu sama-sama meneliti

Wayang topeng. Perbedaannya, penelitian tersebut meneliti perkembangan dan fungsi

Wayang topeng Glagahdowo Malang. Sedangkan penelitian yang akan peneliti lakukan

meneliti Wayang topeng Tengger dari aspek simbolisasi sosiobudaya Wayang topeng

Tengger lakon ―Bethara Guru Krama ‖yang mencakup pengindekan, pengikonan, dan

pelambangan yang dikaitkan dengan mistik, pragmatik, dan nilai budaya yang terkandung

dalam Wayang topeng Tengger.

Ratnaningrum, (2011) yang meneliti Wayang topeng Endel. Fokus penelitian ini

mencakup profil Wayang topeng endel, makna simbolik Wayang topeng Endel, serta

fungsi sosial Wayang topeng endel. Hasil penelitian ini adalah pemaknaan karakter penari
21

yang melambangkan karakter masyarakat Tegal khususnya pada kaum perempuan. Simbol

makna Wayang topeng Endel sebagai identitas masyarakat Tegal. Fungsi Wayang topeng

Endel sebagai hiburan masyarakat.

Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti

Wayang topeng dan menggunakan teori simbol. Sedangkan perbedaannya terletak pada

objek penelitian. Penelitian Ratnaningrum objeknya Wayang topeng Endel. Sedangkan

objek penelitian ini adalah Wayang topeng Tengger. Teori yang digunakan juga berbeda.

Penelitian ini menggunakan teori semiotikanyaCharles S. Peirce yang memunculkan

masalah segitiga Perce, yaitu icon, Indexs, simbol serta diintegrasikan dengan teori mistik

dan nilai budaya.

Astrini dkk., (2013) meneliti Wayang topeng Malangan di Desa Kedungmonggo.

Hasil penelitian ini adalah Wayang topeng Malangan memilki beragam warna, ukiran dan

simbol-simbol dalam ragam hias yang khas yang menunjukan karakter para tokohnya.

Karakter tokoh juga dipengaruhi oleh berbagai ragam warna, ragam hias kostum para

penarinya. Wayang topeng Malangan tersebut merefleksikan watak manusia. Bentuk

anatomi manusia seperti, mata, hidunbg, kumis, alis, dan rambut manusia ada dalam setiap

tokoh Wayang topeng Malangan sesuai dengan peranannya. Simbol-simbol dalam tokoh

Wayang topeng Malangan mepresentasikan budaya Jawa yang terkait dengan keindahan

alam beserta isinya.


22

Penelitian tersebut memiliki persaman dengan penelian yang akan peneliti lakukan

yaitu sama-sam objeknya Wayang topeng dan mengkaji aspek semiotiknya. Sedangkan

perbedaannya, penelitian tersebut objekntya Wayang topeng Malangan. Sedangkan objek

penelitian yang akan peneliti lakukan adalah Wayang topeng Tengger tentang semiotik,

mistik, dan nilai budaya.

Windiatmoko, (2014) meneliti tentang Tafsir Simbolik dan Tafsir Falsafah pada

Wayang topeng Glagahdowo, Malang. hasil penelitian ini adalah secara tafsir simbolik

digunakan sebagai media upacara adat atau budaya nyadran, selamatan, dan nyekar. Secara

tafsir falsafah Wayang topeng Glagahdowo tampak pada bentuk gigi yang ada pada topeng

yang bermakna sebagai sarana upacara adat potong gigi atau pangur. Topeng bukan hanya

sekedar bentuk seni, tetapi sebagai bentuk penghormatan kepada arwah para leluhurnya dan

sebagai sarana retual untuk berkomunikasi kepada arwah nenek moyangnya dan arwah

makhluk gaib yang lain.

Penelitian tersebut memiliki keamaan objek dan tafsir simbolik Wayang topeng

Glagahdowo. Sedangkan perbedaanya, penelitian tersebut objeknya Wayang topeng

Glagahdowo, Malang. Ssedangkan penelitian yang akan peneliti lakukan objeknya Wayang

topeng Tengger dan dikaji dari aspek semiotik, mistik, dan nilai budaya ada Wayang

topeng Tengger.

Dewi, (2015). Meneliti pertunjukan Wayang topeng Tengger dijadikan sebagai

media ruwatan masyarakat Tengger karena masyarakat Tengger takut kepada Bethara Kala
23

yang dipercaya sebagai pemakan manusia. Masyarakat Tengger dalam upacara ruwatan

tidak menggunakan Wayang kulit sebagaimana yang dilakukan masyarakat Jawa pada

umumnya, tetapi mengganti dengan Wayang topeng Tengger karena mereka tidak mau

menyamakan tokoh para dewa seperti Dewa Wisnu, Dewa Brahma, dan Bethara Guru

dengan boneka dari Wayang yang dibuat dari kulit, takut para dewa terseinggung. Dalam

upacara ruwatan dipimpin oleh dalang pengruwat. Pertunjukan Wayang topeng Tengger

berbentuk dramatari yang diaminkkan oleh tokoh manusia yang menggunakan topeng.

Pertunjukan wyang topeng Tengger mempunyai kedudukan dan peran yang sangat penting

dalam upacara ruwatan masyarakat Tengger.

Penelitian tersebut mengandung persamaan dengan penelitian yang akan peneliti

lakukan yaitu sama-sama meneliti Wayang topeng Tengger.Perbedaannya, objek

pertunjukan, lokasi, dan waktu pertunjukan berbeda. Penelitian tersebut hanya menekankan

fungsi dan struktur Wayang sebagai media ruwatan masyarakat Tengger. Sedangkan

penelitian ini meneliti tentang pertunjukan Wayang topeng Tengger dari aspek semiotik,

mistik, dan nilai budaya dalam Wayang topeng Tengger.

Yanuartuti, (2016) meneliti pertunjukan drama tari topeng di Jombang. Hasil

penelitian ini adalah struktur pertunjukan drama tari topeng di Jombang, yang mencakup

tema, alur, setting, penokohan, dan konflik. Pertunjukan drama tari di Jombang dilaksanak

an dengan bersifat kekinian untuk menyesuaikan dengan p erkembangan jaman, yaitu (1)

adegan disusun dengan dengan mempertimbangkan kepentingan regenerasi, sehingga ada


24

unsur yang dihilangkan dan ada yang ditambah, (2) durasi waktu pertunjukan dipersingkat,

hanya 1,5 jam, (3) polak gerak baru disesuaikan dengan pola masyarakat desa yang agraris,

sehingga kreatif, khas, dan menarik, (4) musik pengiring dengan memasukkan arasemen

baru dan gending-gending baru, dan (5) pakaian lebih glamor disesuaikan dengan

kesenangan masyarakat jaman sekarang.

Objek penelitian ini adalah drama tari topeng di Jombang yang lebih menekankan

pada analisi struktur pertunjukan lakon dan berbeda dengan penelitian yang peneliti

lakukan, baik dari segi objek maupun teori yang digunakan.

Purnama dan Rachmadian, (2016) meneliti Wayang topeng Malangan. Hasil

penelitian tersebut adalah keberadaan Wayang topeng Malangan telah tergeser oleh tarian

modern. Masyarakat Malang juga kurang perhatian terhadap keberadaan Wayang topeng

Malangan. Sanggar-sanggar kekurangan sarana dan prasarananya, sehingga tidak mampu

mengadakan pertunjukan Wayang topeng Malangan.

Penelitian tersebut memiliki persamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan,

yaitu sama-sama objeknya Wayang topeng. Perbedaannya, objek penelitian tersebut

Wayang topeng Malangan. Sedangkan objek penelian yang peneliti lakukan adalan

Wayang topeng Tengger.

Fauzan. 2016. Hasil penelitian ini adalah Sakura merupan tradisi upacara adat

masyarakat Lampung dengan mengadakan kegiatan upacara pawai tari-tarian yang para

pesertanya menggunakan topeng. Sakura mengandung makna simbolik bahwa bermacam-


25

macam karakter dapat dimainkan oleh manusia. Setiap orang bebas menerapkan berbagai

karakter. Sakura helau dan sakura kamak melambangkan ajakan kepada masyarakat kaya

dan masyarakat miskin untuk bersatu membangun daerahnya.

Penelitian tersebut mempunyai kemiripan objek penelitian, yaitu masalah makna

simbolik topeng. Sedangkan perbedaannya, penelitian yang akan peneliti lakukan adalah

tentang Wayang topeng Tengger yang mencakup semiotik, mistik, dan nilsi simboliknya.

Yanuartuti, (2017) meneliti Wayang topeng Jombang. Hasil penelitian ini adalah

bahwa cerita Wayang topeng Jombang bersumber dari cerita Panji. Cerita Panji ada yang

berbentuk lisan ada yang berbentuk Serat. Cerita panji yang berbentuk lisan

divisualisasikan dalam bentuk drama tari. Drama tari topeng di Jombang tidak ada dialog

antartokoh, tetapi berbentuk cerita naratif hasil transformasi dari cerita Panji. Objek

penelitian ini adalah drama tari topeng Jombang dan yang diteliti adalah transformasi cerita

Panji bentuk lisan ke dalam pertgunjukan drama tari topeng di Jombang.

Penelitian tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan,

yaitu sama-sama Wayang topeng. Penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang

peneliti lakukan, yaitu objeknya Wayang topeng Jombang. Sedangkan penelitian yang

peneliti lakukan adalah Wayang topeng Tengger.

Yanuartuti, (2017) meneliti nilai-nilai Wayang topeng Jombang. Hasil penelitian

ini merupakan usaha untuk menggali dan membangun nilai-nilai lokal yang ada dalam

pertunjukan Wayang topeng di Jombang dengan cara mengadakan pertunjukan Wayang


26

topeng Jombang sebagai hiburan bagi masyarakat di Jombang . Pertunjukan drama tari

topeng Jombang dikemas dengan pemadatan cerita dan diubah menjadi pertunjukan baru,

dipentaskan pada festival panji Nasional di Kediri, sehingga dapat dikenalkan nilai- nilai

yang ada dalam pertunjukan Wayang topeng Jombang.

Penelitian tersebut memiliki kermiripan dengan penelitian yang peneliti lakukan,

yaitu sama-sama meneliti Wayang topeng. Penelitian tersebut berbeda dengan penelitian

yang peneliti lakukan karena objek dan lokasinya Wayang topeng di Jongbang. Sedangkan

penelitian yang peneliti lakukan adalah Wayang topeng Tengger.

Penelitian yang relevan dari segi budaya pernah dilakukan oleh Kusumadinata,

2015yang meneliti budaya masyarakat Tengger.. Hasil penelitian ini adalah bahwa budaya

masyarakat Tengger masih tetap dipelihara dengan baik, meskipun banyak faktor eksternal

mempengaruhi budaya tersebut. Budaya Entas-Entas, Prawala gara, dan Pujan Kapat

merupakan adat istidat yang sampai saat ini masih dipertahankan dan dijaga baik-baik.

Upacara adat masyarakat Tengger pada umumnya menyangkut upacara keluarga dan

upacara yang terkait dengan desa. Pola hubungan masyarakat Tengger sangat menghormati

pemimpinnya, baik pemimpin formal maupun pemimpin nonformal.

Penelitian tersebut mempunyai kesamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan,

yaitu sama-sama meneliti budaya Tengger. Perbedaannya, penelitian yang peneliti lakukan

adalah Wayang topeng Tengger.


27

Harianto, (2016) meneliti kepemimpinan masyarakat Tengger.. Hasil penelitian

tersebut adalah bahwa masyarakat Tengger mempunyai dua tipe pemimpin, yaitu pemimpin

formal dan pemimpin formal dan pemimpin nonformal. Pemimpin formal dipimpin oleh

kepala Pemerintahan Desa, yaitu Kepala Desa. Sedangkan pemimpin nonformal dipimpin

oleh dukun adat. Kedua pemimpin tersebut mempunyai peran masing-masing dalam

mewujudkan tata pemerintahan yang baik melalui pengembangan budaya lokal dan

kearifan lokal masyarakat Tengger.

Penelitian tersebut mempunyai kesamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan,

yaitu sama-sama meneliti tentang budaya Tengger. Perbedaannya, penelitian tersebut

objeknya budaya kearifan lokal melalui kepemimpinan. Sedangkan penelitian peneliti

adalah Wayang topeng Tengger.

Lisnasari dan Sukmawan, (2016) meneliti cerita rakyat Tengger.. Hasil penelitian

ini adalah bahwa dalam cerita rakyat Tengger mengandung nilai-nilai kearifan lokal.

Gambaran masyarakat Tengger yang terefleksikan dalam cerita rakyat Tengger

mencerminkan kesadaran masyarakat Tengger peduli terhadap makhluk alam yang harus

diperlakukan sama denga makhluk lain. Manusi harus mampu menjaga hubungan sesama

makhluk untuk mencapai ketentraman dan kedamaian hidup.

Penelitian tersebut mempunyai kesaman dengan penelitian yang peneliti lakukan,

yaitu sama-sama meneliti budaya masyarakat Tengger. Perbedaannya, adalah penelitian

yang peneliti lakukan objeknya Wayang topeng Tengger.


28

Listiyana dan Mutiah, (2017) meneliti aneka ragam tanaman di Tengger.. Hasil

penelitian ini adalah bahwa masyarakat Tengger mempunyai kekayaan beraneka ragam

jenis tanaman yang dapat dikembangkan untuk obat-obatan, tetapi belum dioptimalkan

untuk bahan pembuatan obat-obatan herbal. Masyarakat Tengger juga memiliki aneka

ragam hasil pertanian seperti kentang, namun belum dkijadikan kemasasan makanan siap

saji.

Penelitian tersebut mempunyai kesamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan,

yaitu sama-sama meneliti budaya masyarakat Tengger. Perbedaannya, penelitian yang

peneliti lakukan adalan objeknya Wayang topeng Tengger.

Bahrudin, Masrukhi, dan Atmaja, (2017) meneliti pergesesran budaya masyarakat

Tengger. Hasil penelitian ini adalah bahwa pergeseran budaya lokal tidak dapat dihindari

karena perkembangan teknologi dan pengaruh agama Islam. Pergeseran budaya lokal

karena adanya pekembangan budaya baru di kalangan remaja, dan pengaruh agama Islam.

Diperlukan sosialisasi dan keteladanan dari para tokoh adat agar generasi muda mengikuti

upacara adat.

Penelitian tersebut mempunyai kesamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan,

yaitu sama-sama tentang budaya Tengger. Perbedaannya adalah penelitian tersebut

objeknya budaya Tengger. Sedangkan penelitian yang peneliti jadikan objek adalah

Wayang topeng Tengger.


29

Penelitian yang relevan dari segi teori pernah dilakukan oleh Anas, 2013 yang

meneliti aspek mistik atau metafisik dalam budaya Tengger. Hasil penelitian ini adalah

bahwa manusia dalam hidupnya tidak hanya membutuhkan sesuatu yang bersifat empiris,

tetapi memerlukan hal-hal yang bersifat metafisik. Manusia harus melakukan perenungan

dalam rangka untuk menemukan makna kehidupan. Refleksi metafisik mampu mengatasi

hal-hal yang bersifa empiri yang sebenarnya adalah penipuan. Demensi metafisik upacara

Kasada masyarakat Tengger pada dasarnya merupakan minatur dari kehidupan manusia.

Penelitian tersebut mempunyai kesamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan,

yaitu sama-sama meneliti aspek mistik atau metafisik dalam budaya Tengger.

Perbedaannya, penelitian tersebut objeknya upacara Kasada. Sedangkan penelitian yang

peneleiti lakukan objeknya Wayang topeng Tengger.

Bahaudin, (2015) meneliti dunia mistik dalam politik dan kekuasaan.. Hasil

penelitian ini adalah tentang dunia politik yang bertumpu kepada mistik. Zaman semakin

modern politik semakin menggila menyebabkan hilangnya akal manusia yang

menghalalkan segara cara agar mendapatkan kekuasaan. Hubungan elite politik dengan

dunia mistik sejak jaman kerajaan-kerajaan di Nusantara hingga periode berdirinya

Republik Indonesia. Para Raja di masa kerajaanatau Presiden di Indonesia; Soekarno,

Soeharto, Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono memiliki guru

spiritual sebagai penasehat atau penopang dalam kekuasaan politik mereka. Bahaudin

berkesimpulan bahwa panggung politik dalam sejarah Indonesia bahkan sejarah Kerajaan di
30

bumi nusantara tidak saja bertumpu pada kekuatan logis tetapi juga penggunaan ilmu

supranatural dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan.

Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti

masalah mistik. Perbedaannya adalah penelitian Baharudin menekankan pada dunia mistik

dalam politik dan kekuasaan. Sedangkan penelitian ini menekankan mistik dalam seni

pertunjukkan Wayang topeng Tengger. Objek peneltiannya juga berbeda.

Wanulu, (2016) meneliti Proses Upacara Adat Cumpe dan Sampua suku Buton di

Samarinda dengan teori interaksi simbolik. Hasil penelitian ini adalah tentang proses

terjadinya interaksi simbolik pada upacara adat cumpe dan sampua cumpe dan sampua

merupakan salah satu bentuk kebudayaan masyarakat Buton yang sampai saat ini

tetap dilestarikan oleh masyarakat Buton yang walaupun bentuk dan cara

pelaksanaanya sudah sedikit berbeda dengan zaman dahulu dengan zaman sekarang.

Kegiatan upacara adat cumpe dan sampua biasanya terdapat beberapa proses - proses

panjang yang harus dilewati setahap demi setahap. Upacara tersebut dipersiapkan selama

7 hari sampai proses upacara tersebut terlaksana. Hari pertama biasanya para dewan

adat, sara, dan keluarga para peserta cumpe dan sampua akan berkumpul untuk

membicarakan persiapan upacara adat Buton tersebut. Dalam perkumpulan tersebut

biasanya para sara akan menjelaskan kepada para keluarga cumpe dan sampua untuk

mempersiapkan perlengkapan – perlengkapan dari proses adat tersebut. Perlengkapan

tersebut disebut juga dengan simbol - simbol yang digunakan pada proses adat
31

berlangsung. Kondisi sosial budaya masyarakat Buton di Samarinda, berkaitan dengan

keadaan kehidupan masyarakat dan dapat dilihat dari segi ras dan etnis, mata pencaharian

penduduknya, agama yang dianut, tingkat kesejahteraan, nilai maupun norma yang dianut

oleh masyarakat. Kondisi sosial masyarakat Buton di Samarinda terbilang sudah

lebih baik dari kehidupan terdahulu. Masyarakat Buton sekarang telah banyak

bekerja dan mengenyam pendidikan walaupun masyarakat Buton masih banyak memilih

bekerja daripada melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Masyarakat Buton di

Samarinda terkenal sebagai masyarakat yang pekerja keras tanpa memiliki sifat

gengsi tinggi. Masyarakat Buton yang ada di Samarinda banyak menjadi orang yang

sukses, menjadi pejabat, staf di instansi maupun di dinas-dinas yang ada di Kota

Samarinda, ada yang menjadi seorang pedagang baik itu di toko sendiri maupun menjadi

pedagang kaki lima di pasar malam.

Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama

menggunakan teori simbol. Sedangkan perbedaannya penelitian Wanulu menggunakan

teori interaksi simbolik yang dikembangkan oleh George Herbert Mead dan Herbert

Blummer. Sedangkan penelitian ini menngunakan teori semiotikanya Charles S. Peirce

yang diintegrasikan dengan teori mistik dan nilai budaya. Objeknya juga berbeda.

Penelitian Wanulu objeknya Proses Upacara Adat Cumpe dan Sampua suku Buton di

Samarinda. Sedangkan penelitian ini objeknya Wayang topeng Tengger.


32

Rahima, (2017) meneliti makna simbolik seloko hukum adat Melayu Jambi. Hasil

penelitian ini berupa temuan dan pembahasan hasil penelitian tentang interpretasi makna

simbolik seloko hukum adat. Makna simbolik seloko hukum adat Melayu Jambi tercermin

dalam teks seloko dasar- dasar hukum adat dan teks seloko Undang-Undang adat Melayu

Jambi. Makna simbolik seloko dasar-dasar hukum adat terkait lima hal yaitu: (1) hukum

adat Melayu Jambi berdasarkan hukum syarak (agama Islam) yang bersumber dari Alquran

dan Hadist, (2) hukum adat Melayu Jambi berdasarkan tradisi lama yang terbukti

mengandung kebenaran atau kebaikan dalam mengayomi masyarakat, (3) hukum adat

Melayu Jambi berdasarkan keadilan, (4) hukum adat Melayu Jambi berpegang teguh pada

kebenaran, (5) hukum adat berdasarkan musyawah dan mufakat.Makna simbolik seloko

undang-undang adat Melayu Jambi terkait delapan bentuk kejahatan pelanggaran hukum.

Bentuk-bentuk kejahatan tersebut meliputi huru-hara, perampokan, penipuan, pembunuhan,

perzinahan, pembakaran, pencurian. Selain itu, dalam undang-undang hukum adat Melayu

Jambi juga terkandung makna simbolik yang berkaitan dengan 12 jenis sangsi yang

menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan yang melagar hukum adat. Jenis-jenis kewajiban

tersebut terkait dengan tindak kejahatan: pembunuhan, perkelahian, pinjam-meminjam,

hutang piutang, gadai-mengadai, pinang-meminang, pergaulan bebas, menempuh sesuatu

yang terlarang, menjaga sawah ladang dan ternak.

Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama

menggunakan teori semiotik. Sedangkan perbedaannya terletak pada teori semiotik yang
33

digunakan. Penelitian Rahima menggunakan teori simbolik Brunvand. Sedangkan

penelitian ini menggunakan teori semiotikanya Charles S. Peirce yang diintegrasikan

dengan teori mistik dan nilai budaya.

Hendriyana, (2017) meneliti simbol-simbol esoterik yang berkaitan dengan ajaran

spiritual dan religi di kalangan dalem keraton. Hasil penelitian ini adalah menguraikan

simbol-simbol esoterik yang berkaitan dengan ajaran spiritual dan religi di kalangan dalem

keraton. Simbol esoterik Liman dan Dalima ini dapat menepis tabir kemistikan yang selama

ini menjadi misteri bagi kalangan masyarakat umum. Dengan adanya hasil penelitian ini

diharapkan juga dapat meminimalisir perselisihan pemahaman dan silang pendapat di

antara kelompok masyarakat di lingkungan keraton Cirebon, di antaranya kelompok

abdidalem, petugas pemandu wisata, dan kelompok-kelompok masyarakattertentu yang

tidak didukung oleh kemampuan pemahaman, pengetahuan dan keilmuannya, sertadata-

data yang jelas. Ada beberapa artifak dianggap memiliki kekuatan mistik, hal tersebut

terjadikarena dibangun oleh anggapan orang yang tidak memiliki pemahaman dan

penjelasan tentangartifak-artifak tersebut. Dengan demikian terdefinisikannya simbol

esoterik, maka terdefinisikanpula kemistikan suatu artifak yang selama ini dipercaya oleh

masyarakat umum.

Persaman penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan

teori simbol. Sedangkan perbedannya penelitian ini menggunakan teri semiotikanya

Charles S. Peirce yang diintegrasikan dengan teori mistik dan nilai budaya. Objek yang
34

digunakan juga berbeda dengan penelitian Hendriyana objeknya ajaran spiritual dan religi

di kalangan dalem keratin. Sedangkan penelitian ini objeknya Wayang topeng Tengger.

Penelitian yang relevan dengan menggunakan teori pragmatik pernah dilakukan

oleh Sait (2015) meneliti wujud kalimat ilokusi dalam novel Kemamang karya Koen

Setyawan. Hasil penelitisn ini menemukan lima wujud kalimat ilokusi dalam novel

Kemamang karya Koen Setyawan, yaitu kalimat (1) asertif, direktif, ekspresif, komisif dan

deklaratif. Tujuan ilokutif, mencakup mengabaikan, mengajak, memberikan, mmberitahu,

dan menolong.

Penelitian tersebut mengandung kesamaan dengan penelitian ini, yaitu sama-sama

menggunakan teori pragmatik, tindak tutur lokotif, ilokutif, dan perlokutif. Perbedaannya

objek penelitian tersebut adalah novel, sedangkan penelitian ini objeknya Wayang topeng

Tengger.

Wijana (2017) meneliti penghambat penutur pembelajar BIPA dari Korea. Hasil

penelitian ini menemukan faktor penghambat penutur pembelajar BIPA dari Korea. Ada

dua faktor penghambat, yaitu faktor linguistik dan faktor nonlinguitik. Faktor linguistik

karena penguasan tata bahasa Indonesia sangat kurang. Sedangkan faktor nonlinguistik

karena adanya perbedaan sosial budaya antara orang Korea dengan orang Indonesia.

Penelitian tersebut mengandung kesamaan dengan penelitian ini, yaitu sama-sama

menggunakan teori pragmatik. Sedangkan pebedaannya terletak pada objek penelitian.


35

Penelitian tersebut objeknya pembelajar BIPA orang Korea. Sedangkan penelitian ini

objeknya Wayang topeng Tengger.

Novianti (2017) meneliti tindak tutur ilokutif dalam iklan perdagangan. Hasil

penelitian ini menemukan tindak tutur ilokutif dalam iklan perdagangan sebanyak 21

ilokutif asertif. 13 tindak tutur direktif, 17 tindak tutur komisif, 8tindak tutur ekspresif,

tindak tutur yang paling menonjol adalah tindak tutur ilokutif asertif. Bahasa iklan yang

paling tepat adalah bersifat informatif dan persuasif. Bahasa iklan atau tuturan iklan dapat

mempengaruhi konsumen untguk tertarik dan membeli produk yang diiklankan.

Penelitian tersebut mengandung persamaan dengan penelitian ini, yaitu sma-sama

menggunakan teori pragmatik. Sedangkan perbedaannya terletak pada objeknya. Penelitian

tersebut adalah tindak tutur bahasa iklan. Sedagkan penelitian ini adalah Wayang topeng

Tengger.

Hakim (2016) meneliti fungsi ilokusi smiling emoji. Hasil penelitian ini menemukan

smiling emoji terdapat tiga fungsi ilokusi, yaitu fungsi ilokosi kompetitif, fungsi ilokusi

menyenagkan, dan fungsi ilokusi bertentangan. Dalam menjaga kesantunan dalam

komunikasi melalui internet perlu memasukkan smiling emoji.

Penelitian tersebut mengandung kesamaan dengan penelitian ini, yaitu sama-sama

menggunakan teori pragmatik tentang fungsi ilokusi.perbedaannya dengan penelitian ini

terletak pada objeknya. Penelitian tersebut objeknya adalah fungsi ilokusi smiling emoji.

Sedangkan penelitian ini objeknya Wayang topeng Tengger.


36

Penelitian yang relevan dengan pendekatan antropologi sastra, pernah dilakukan

oleh Zulianti (2018) meneliti kepercyaan dalam novel Ranggalawe. Hasil penelitian ini

menemukan dalam novel Ranggalawe menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.

Kepercayaan dalam novel tersebut adalah kepercayaan Hindi-Budha. Aspek sosial dalam

novel tersebut mengambarkan tokoh yang berstatus sosial tinggi, seperti raja, dan status

sosial rendah, seperti rakyat biasa.

Penelitian tersebut mengandung kesamaan dengan penelitian ini, yaitu sama-sama

menggunakan pendekatan antropologi sastra. Sedangkan perbedaannya terletak pada

objeknya. Penelitian tersebut objeknya novel. Sedangkan penelitian ini objeknya Wayang

topeng Tengger.

Djirong (2014) meneliti cerita rakyat di Makasar dengan pendekatan antropologi

sastra.. Hasil penelitian ini menemukan aspek antropologi sastra dalam cerita rakyat

Datumuseng di Makasar yang mencakup kepercayaan terhadap mitos yang terjadi pada

masa lampau, adat-istiadat masa lampau, dan mantra. Dalam cerita tersebut

menggambarkan kepercayaan , religi, mitos, dan bahasa masyarakat Makasar pada masa

lampau.

Penelitian tersebut mengandung kesamaan dengan penelitian ini, yaitu sama-sama

menggunakan pendekatan antropologi sastra. Perbedaan penelitian tersebut dengan

penelitian ini terletak pada objeknya. Penelitian tersebut objeknya cerita rakyat Makasar.

Sedangkan penelitian ini objeknya Wayang topeng Tengger.


37

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian terdahulu yang

relevan dengan penelitian ini, masing-masing mempunyai kesamaan dan perbedaan dengan

penelitian yang akan peneliti lakukan. Kesamaannya terletak pada teori yang digunakan,

yaitu sama-sama menggunakan teori semiotik, mistik, nilai budaya, prakmatik, dan

pendekatan antropologi sastra. Perbedaannya terletak pada objek penelitiannya.. Penelitian

terdahulu yang relevan pada umumnya, objeknya adalah Wayang purwa, Wayang Sasak,

Wayang topeng Malang, Wayang topeng Jombang, Wayang topeng Cirebon, budaya,

bahasa iklan, dan novel. Sedangkan objek penelitian yang akan peneliti lakukan adalah

pertunjukan Wayang topeng Tengger di Desa Wonokerso, Kecamatan Sumber, Kabupaten

Probolinggo. Penelitian terdahulu yang relevan pada umumnya menggunakan satu teori

saja. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan menggunakan multi teori, yaitu teori

semiotik, mistik, nilai budaya, dan pragmatik.

Penelitian terdahulu yang relevan tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap

penelitian ini tentang teori dan temuannya, sehingga akan memperkuat dan memantapkan

kajian teori penelitian ini serta sebagai bahan untuk mendekontruksi data-data penelitian ini

sehingga akan menemukan teori baru atau disiplin ilmu baru, yaitu antropragmasemiotika.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penelitian yang akan peneliti lakukan

dengan judul ―Simbolisasi Sosiobudaya Pertunjukan Wayang topeng Tengger lakon

Bethara Guru Krama‖ (Kajian Antropragmasemiotika)‖ tidak banyak dilakukan oleh para

peneliti sebelumnya.
38

B. Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian ini mencakup (1) etnografi Desa Wonokerso yang mencakup

keadaan geografis Desa Wonokerso, jumlah penduduk, pendidikan, mata pencaharian, adat-

istiadat, bahasa, dan kesenian, (2) ikon dalam Pertunjukan Wayang topeng Tengger lakon

Bethara Kala Krama, (3) indek dalam Pertunjukan Wayang topeng Tengger lakon Bethara

Kala Krama, (4) simbol dalam Pertunjukan Wayang topeng Tengger lakon Bethara Kala

Krama, dan (5) sosiobudaya dalam Wayang topeng Tengger lakon Bethara Guru Krama

yang terkait dengan nilai etnik dan mistik.

C. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus penelitian ini dapat dirumuskan sebagai

berikut:

1. Pengikonan yang terkait dengan nilai etnik, mistik, dan pragmatik dalam tuturan

wayang topeng Tengger lakon Bethara Kala Krama.

2. Pengideksan yang terkait dengan nilai etnik, mistik, dan pragmatik dalam tuturan

wayang topeng Tengger lakon Bethara Kala Krama.

3. Pelambangan yang terkait dengan nilai etnik, mistik, dan pragmatik dalam tuturan

wayang topeng Tengger lakon Bethara Kala Krama.


39

D. Tujuan Penelitian

Bedasarkan fokus penelitian di atas, tujuan penelitian ini untuk menemukan dan

mendeskripsikan:

1. Pengikonan yang terkait dengan nilai etnik, mistik, dan pragmatik dalam tuturan

wayang topeng Tengger lakon Bethara Kala Krama.

2. Pengideksan yang terkait dengan nilai etnik, mistik, dan pragmatik dalam tuturan

wayang topeng Tengger lakon Bethara Kala Krama.

3. Pelambangan yang terkait dengan nilai etnik, mistik, dan pragmatik dalam tuturan

wayang topeng Tengger lakon Bethara Kala Krama.

E. Definisi Istilah

1. Pengikonan adalah proses pembentukan tanda yang berhubungan dengan penanda dan

petanda yang memiliki kemiripan dan terkait dengan nilai etnik, mistik, dan

pragmatik dalam wayang topeng Tengger.

2. Pengideksan adalah proses pembentukan tanda yang mempunyai hubungan sebab-

akibat antara penanda dan petanda yang bersifat alamiah dan terkait dengan nilai

etnik, mistik, dan pragmatik dalam wayang topeng Tengger.

3. Simbolisasi sosiobudaya adalah proses pembentukan tanda yang terkait dengan

masalah sosial dan budaya masyarakat yang terkait dengan pengikonan,

pengindekan, pelambangan, nilai etnik, mistik, dan pragmatik dalam wayang topeng

Tengger.
40

4. Antropragmasemiotik adalah suatu disiplin ilmu baru, merupakan hasil konstruksi dari

tiga disiplin ilmu, yaitu antropologi, pragmatik, dan semiotika.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dibagi dua, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoretis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan teori baru

antropragmasemiotika karena penelitian ini akan meneliti tentang pengikonan,

pengindekan, dan pelambangan yang diintegrasikan dengan sosiobudaya yang

terkait dengan mistik, pragmatik, dan nilai etnik yang terdapat dalam pertunjukkan

Wayang topeng Tengger lakon Bethara Kala Krama.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi

bagi pendidikan bahasa, sastra, dan seni budaya di tinggkat Sekolah Dasar sampai

dengan Perguruan tinggi, dapat digunakan sebagai acuan bagi para peneliti

selanjutnya yang akan melakukan penelitian Wayang topeng Tengger yang berada

di Desa Wonokerso, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo serta

memperkaya khasanah kebudayaan daerah pada khusunya dan kebudayaan

nasional pada umumnya.

Penelitian ini juga sebagai sarana penggalian, pelestarian, dan

pengembangan budaya daerah yaitu Wayang topeng Tengger yang banyak


41

mengandung simbolisasi, mistik, pragmatik, dan nilai etnik, yang dapat dijadikan

pedoman hidup bagi masyarakat Tengger pada khusunya dan masyarakat Indonesia

pada umumnya bahkan masyarakat internasional. Nilai budaya yang bersifat

universal dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat lokal, nasional, dan

internasional.
42

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Antropologi Sastra

Hubungan antara antropologi dengan ilmu linguistik sangat erat dan saling

membutuhkan sehingga membentuk ilmu baru yang dikenal dengan ilmu antropologi

lingusitik. Dalam perkembangannya antropologi tetap berhubungan dengan ilmu linguistik.

Ilmu lingusitik juga terus berkembang sehuingga menimbulakn disiplin ilmu baru yang

lebih spesifik, seperti ilmu pragmatik dan semiotika. Bila antropologi terus berkembang

dan berhubungan dengan pragmatik dan semiotik, maka hasil dekonstruksi dari ketiga

disiplin ilmu tersebut dapat membentuk ilmu baru antropragmasemitika.

Antropologi sastra termasuh disiplin ilmu humaniora yang mempelajari sikap dan

perilaku manusia yang digambarkan dalam karya sastra dan budaya secara simbolik.

Manusia dalam bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari ada yang cenderung

baik, tetapi juga ada yang cebderung negatif dengan menggunakan bahasa simbol. Sikap

dan perilaku manusia tersebut sering direfleksikan dalam karya sastra dan budaya secara

simbolik.

Antropologi akhir-akhir ini juga banyak dimanfaatkan oleh para peneliti sastra

yang menggunakan pendekatan antropologi karena antara antropologi dan sastra

mempunyai hubungan yang sangat erat sehingga membentuk disiplin ilmu baru yang
43

dikenal dengan ilmu antropologi sastra. Antropologi sastra termasuk disiplin ilmu baru

yang di Indonesia belum bekembang dengan baik. Antropologi sastra merupakan ilmu yang

bersifat multidisiplin dan lintas budaya karena terkait dengan berbagai disiplin ilmu lain,

seperti ilmu bahasa, ilmu antropologi, ilmu budaya, ilmu sosial, dan ilmu agama.

Sastra banyak yang menggambarkan kehidupan suatu masyarakat sehingga dapat

mencerminkan identitas suatu masyarakat tertentu, seperti masyarakat Jawa, Sunda, Bali,

Tengger. Sastra juga dapat menjadi refleksi kehidupan manusia secara simbolik, yang

menceritakan tentang adat-istiadat, sistem kepercayaan, sisstem relegi, sistem sosial suatu

masyarakat, sehingga sastra dapat dikaji secara antropologi sastra. Melalui studi

antropologi sastra, seorang peneliti akan dapat menemukan aneka ragam pengetahuan dan

budaya yang terrefleksikan dalam karya sastra (Endraswara, 2013, p. 3).

Penelitian antropologi sastra dapat diarahkan kepada tiga ranah, yaitu (1) budaya

pengarang yang diarahkan kepada budaya pengarannya, (2) teks sastra yang diarahkan

kepada sastra sebagai refleksi budaya masyarakat, dan (3) antropologi pembaca yang

diarahkan kepada resepsi pembaca sebagai media pemahaman makna sastra. Penelitian

antropologi sastra dapat memperkaya pendekatan penelitian sastra dan disiplin ilmu baru

serta dapat menutup kekurangan penelitian sastra secara struktural maupun secara sosiologi

sastra.

Hubungan sastra dengan antropologi sangat erat sehingga muncul istilah

antropologi sastra. Para peneliti antropologi sastra harus memiliki pengetahuan tentang
44

fenomena yang digambarkan dalam teks sastra dan memahami budaya masyarakat yang

digambarkan dalam teks sastra. Penelitian antropologi sastra dapat diarahkan kepada (1)

struktur karya sastra dengan mengambil salah satu unsur karya sastra dan ditinjau secara

antropologi sastra, seperti aspek adat istiadat yang ada dalam karya sastra, dan (2) refleksi

sastra, artinya fenomena sosial budaya masyarakat yang terefleksikan ke dalam karya

sastra, seperti adat-istiadat, sistem perkawinan, sistem kepercayaan, bersih desa, simbolik,

pragmatik, dan ruwatan. Karya satra banyak mencerminkan keanekaragaman budaya lokal

suatu masyarakat ksrena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat dalam dunia

nyata (Endraswara, 2013,p. 19 dan 86).

Penelitian sastra yang menggunakan pendekatan antropologi sastra tetap

menfokuskan penelitiannya pada konteks sosial dan budaya yang ada dalam karya sastra

yang di dalamnya mengandung aspek kebudayaan, seperti simbol verbal, simbol

nonverbal, mistik, kepercayaan, budaya masyarakat, mitos, sistem sosial, nilai budaya, dan

adat-istiadat masyarakat.

Peneliti menggunakan kajian antropologi sastra lisa sebagai media pisau bedah

penelitian ini. Ada beberapa hal yang dapat diungkap oleh antropologi sastra lisan, seperti

pemikiran kelompok etnis yang memiliki gambaran tentang ekspresi sastra lisan, pola

kehidupan suatu komunitas yang tergambar dari karya sastra mereka, pandangan dunia

klektif, serta banyaknya keberagaman budaya dalam kehidupan di sastra lisan (Endraswara,

2018: p.128)
45

Geertz (2017, p.3) berpendapat bahwa masyarakat Jawa pada umumnya mempunyai

tradisi atau adat-istiadat melakukan upacara slametan atau kenduran. Slametan merupakan

bentuk upacara keagamaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Jawa pada khusunya

dan masyarakat di dunia pada umumnya. Upacara slametan bersifat mistik dan masal

sebagai refleksi dari kesatuan mistik dan sosial dari masyarakat yang terlibat dalam upacara

slametan, seperti anggota keluarga, saudara, tetangga, dan teman kerja. Budaya slametan

merupakan salah satu bentuk budaya masyarakat pada umumnya yang bertujuan sebagai

bentuk penghormatan dan persembahan kepada roh anggota keluarganya yang sudah

meninggal yang bersifat kekeluargaan, sosial, dan kebersamaan.

Upacara slametan merupakan bentuk budaya yang sangat umum yang banyak

dilakukan oleh masyarakat dunia. Bentuk upacara slametan, seperti kelahiran, pitonan,

sunatan, perkawinan, kematian, pindah rumah, bersih desa, ruwatan juga ada dalam

masyarakat Tengger maupun masyarakat Jawa yang pada umumnya hampir mirip, tetapi

tetap masing-masing mempunyai kekhasan. Kekhasan kebudayaan masyarakat Tengger

tampak pada budaya ruwatan. Masyarakat Tengger maupun masyarakat Jawa masih ada

yang percaya bila seseorang mempunyai anak hanya satu atau ontang-anting, akan menjadi

makanan Bethara Kala bila tidak diruwat. Kekhasannya bila masyarakat Tengger meruwat

anaknya menggunakan media Wayang topeng Tengger. Masyarakat Jawa bila meruwat

memakai media Wayang kulit purwa.


46

Masyarakat Tengger mengakui dan menghormati tokoh-tokoh keramat, seperti Joko

Seger, Maha Meru, Bethara Kala, Raden Kusuma, dan dukun, sehingga setiap desa di

Tengger ada dukunnya yang bertugas memimpin semua bentuk upacara mistik yang terjadi

di Desa. Masyarakat Jawa juga mengakui dan menghormati tokoh-tokoh keramat, seperti

wali sanga.

Masyarakat Tengger dan masyarakat Jawa yang beragama Hindu masih bercaya

mitos tentang penciptaan alam dan manusia, bahwa pencipta alam adalah Dewa Brahma,

pencipta manusia adalah Dewa Wisnu. Percaya pada kematian dan alam baka, sehingga

sering mengadakan upacara slametan. Masyarakat Tengger mengenal slametan 7 hari, atai

9 hari, atau 11 hari (dipilih salah satu) dan upacara slametan entas-entas ( upacara seribu

hari atau nyewu). Masyarakat Jawa mengenal upacara nelung dina, mitung dina, empat

puluh hari, nyeratus, mendak, dan nyewu.

Dalam antropologi sastra lisa peneliti membeda objek tentang wayang. Menurut

Endraswara, (2018: p. 300) wayang dongeng merupakan tradisi lisan yang bercerita tentang

kejadian yang tidak terjadi kenyataannya dan dipadukan dengan seni pertunjukan yang

dimainkan oleh benda ataupun orang. Dalam antropologi wayang etika kehidupan

merupakan fokus utama dalam sebuah pertunjukan wayang. Etika ialah filosofi hidup yang

mengatur tindakan seseorang individu maupun sosial. Selain menyajikan cerita kehidupan

dan nilai moral yang terkandung dalam setiap cerita, antropoloi wayang memberikan
47

sentuhan mistik yang tidak luput dar kehidupan sehari-hari. Mistik bagian dari antropologi

sastra yang membahas tentang segala yang berhubungan dengan kepercayaan dan gaib.

Berbagai kegiatan masyarakat suku bangsa Tengger masih banyak yang terkait

dengan mistik. Dalam pertunjukan Wayang topeng Tengger juga banyak mengandung

mistik, seperti perilaku dalang yang mengundang roh Bathara Kala dari tempat

pertapaannya di Puncak B 29, kepercayaan masyarakat Tengger terhadap keberadaan dewa-

dewa, keberadaan Bathara Kala yang makan manusia, kegiatan meruwat anak ontang-

anting, anak sedang kaapit pancuran, anak pancuran kaapit sendang, dalam pertunjukan

Wayang topeng Tengger harus ada sesaji, bila sesajinya kurang, Bathara Kala akan marah,

para penonton Wayang topeng Tengger pada saat kegiatan meruwat tidak boleh ada

penonton yang pulang, kalau pulang akan celaka, para penonton harus layat dulu sebelum

pulang dan minta air suci dari dalang untuk menghilangkan sangka kala.

B. Pragmatik

Pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu bahasa yang bersifat multidisipliner

karena berhubungan dengan berbagai ilmu yang lain seperti ilmu filsafat, ilmu sastra, ilmu

antropologi, dan ilmu sosial. Pragmatik berhubungan dengan bahasa sebagai alat

komunikasi yang menggunakan bahasa sebagai media untuk menyampaikan maksud atau

makna sesuai dengan konteks di tempat penggunaan bahasa. Pragmatik terkait dengan

informasi yang akan disampaikan oleh seseorang kepada orang lain, enkoding yang
48

berbentuk linguistik, konvensi makna yang bersifat konvensional, konteks tempat

penggunaan bahasa, dan penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi.

Dalam proses komunikasi penutur menyampaikan maksud atau tujuan yang

disampaikan kepada lawan tutur. Lawan tutur berusaha dapat menangkap makna yang

disampaikan oleh penutur yang terkait dengan konteks. Pragmatik berhubungan dengan

tanda-tanda dan penafsirnya untuk memahami makna yang ada dalam tanda-tanda yang

berbentuk tuturan yang terkait dengan konteks pemakai bahasa, mitra tutur, topik, tempat,

dan situasi dalam proses komunikasi. Pragmatik kontrastif dapat digunakan untuk

mempelajari kontrastif lintas budaya yang menjelaskan perbedaan bertutur karena

perbedaan budaya.

Menurut Chaer dan Agustina (2004, p.56-57) pragmatik adalah studi tentang

lambang dengan penafsirannya. Lambang dapat berupa ujaran yang terdiri atas satu kalimat

atau lebih yang mengandung makna berdasarkan penafsiran petuturnya. Pragmatik

mempunyai kesamaan dengan semantik, yaitu sama-sama mempelajari makna. Sedangkan

perpedaannya, pragmatik mempelajari makna yang dikaitkan dengan makna berdasarkan

penafsiran pendengarnya. Semantik mempelajari makna berdarkan hubungan lambang

dengan objeknya.

Setiap manusia dalam bertutur bahasa akan dipengaruhi oleh karakter, situasi,dan

konteks sosial budaya tertentu, seperti status sosial dan umur. Demikian juga, pendengar

dalam memahami makna tuturan seseorang juga dipengaruhi oleh situasi dan konteks sosial
49

budaya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Wijana (2017, p.29) bahwa dalam proses

komunikasi dipengaruhi oleh berbagai faktor,seperti perbedaan budaya, pola pergaulan, dan

lingkungan atau konteks. Pragmatik, tindak tutur, dan budaya saling terkait karena tindak

tutur merupkan proses komunikasi dan merupakan sistem budaya. Dalam proses

berkomunikasi yang menggunakan bahasa tidak bisa lepas dari konteks budaya.masyarakat

dan terikat kepada kesantunan berbahasa, seperti dalam penggunaan kata ganti orang atau

pronomina kamu, saudara, bapak, dan ibu.

Dalam proses komunikasi seseorang dalam memilih kata atau kalimat dipengarugi

oleh konteks sosial budaya, lingkungan, dan status sosial lawan bicaranya. Bila tidak

memperhatikan hal tersebut akan mengganggu proses komunikasi. Contoh seorang anak

yang memanggil orang tuanya tidak akan menggunakan kata ―kamu‖, tetapi akan memilih

kata ―bapak‖. Penggunaan kata ―kamu‖ akan mengganggu proses komunikasi karena tidak

mengindahkan kesantunan berbahasa, sehingga orang tua akan merasa tidak dihargai.

Sebaliknya, penggunaan kata ―bapak‖ menunjukkan bahwa anak tersebut menginfahkan

kesantunan berbahasa, sehingga orang tua merasa dihormati dan dihargai.

Cutting (2002,p.3) membagi konteks menjadi tiga jenis, (1) konteks situasional,

yaitu keadaan fisik tempat komunikasi, (2), konteks epistemik, konteks epistemik ada dua,

yaitu epeitemik umum dan epistemik khusus. Epeistemik umum adalah pengetahuan umum

yang sudah banyak diketahui oleh masyarakat umum. Epistemik khusus adalah

pengetahuan atau pengalaman yang hanya diketahui oleh kedua penutur yang menunjukkan
50

hubungan sangat dekat, (3) konteks ko-tekstual adalah konteks yang dibangun dalam

tuturan yang ditandai dengan kohesi bahasa dan kohesi leksikal.

Dalam proses komunikasi perlu memperhatikan kesantunan berbahasa. Kesantunan

berbahasa berhubungan dengan sikap dan tingkah laku seseorang yang tercermin dalam

wajah yang mencerminkan kedekatan sosial pada saat berinteraksi dengan saudara, kerabat,

keluarga, maupun dengan orang asing. Dalam proses berkomunikasi antara seseorang

dengan orang lain terdapat perbedaan status sosial atau umur, sehingga terdapat jarak atau

kedekatan yang dilakukan oleh para komunikator dalam proses interaksi sosial.

Kesantunan dalam proses berkomunikasi bermaksud untuk saling menghormati dan

menjaga nama baik seseorang atau orang lain atau keinginan untuk dihormati. Yule (2014,

p.104-107) menyebut dengan istilah keinginan wajah, yaitu tindakan untuk saling

melindungi dan menjaga nama baik dalam proses berkomunikasi. Wajah dibagi dua, yaitu

wajah negatif dan wajah positif. Wajah negatif adalah kebutuhan seseorang untuk merdeka

dan bebas beraktivitas serta tidak terikat pada orang lain. Sedangkan wajah posistif adalah

kebutuhan seseorang dalam proses komunikasi agar dapat diterima oleh orang lain.

Proses komunikasi wajah merupakan faktor yang sangat penting. Wajah dibagi

menjadi dua tipe, yaitu wajah negatif dan wajah positif. Wajah negatif adalah keinginan

setiap penutur agar dalam setiap berkomunikasi untuk mencapai tujuannya tidak dihalangi

oleh orang lain. Sedangkan wajah positif adalah keinginan setiap penutur dalam setiap

komunikasi agar dapat diterima, dihargai, dan disenangi oleh pihak lain.
51

Kesantuanan berbahasa menurut Chaer (2010, p. 56-57) dibedakan menjadi tiga,

yaitu (1) tuturan yang semakin panjang akan semakin besar keinginan untuk bersikap

santun kepada orang lain, (2) tuturan yang diucapkan secara tidak langsung, lebih santun

daripada tuturan yang disampaikan secara langsung, dan (3) memerintah dengan kalimat

berita atau tanya dianggap lebih santun daripada dengan kalimat perintah.

Pragmatik berhubungan erat dengan sastra. Dalam perkembangannya, pragmatik

membentuk disiplin ilmu baru yang dinamakan pragmatik sastra, yaitu gambungan ilmu

pragmatik dengan sastra. Pragmatik sastra di Indonesia belum berkembang dengan baik.

Menurut Endraswara (2018, p. 1-3) pragmatik sastra merupakan disiplin ilmu baru yang

tidak hanya menekankan pada teks sastra, tetapi lebih menekankan pada pengaruh sastra

terhadap masyarakat pembaca. Pragmatik sastra mengangkat terapan sastra dalam

kehidupan masyarakat. Pragmatik sastra adalah karya sastra yang diciptakan untuk

kepentingan kehidupan masyarakat.

Pragmatik sastra mengandung dua konsep, yatu (1) pemahaman karya sastra

berdasarkan pengaruh karya sastra terhadap masyarakat pembaca, dan (2) pemahaman

karya sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dengan masyarakat pembaca.

Pragmatik sastra menitik beratkan kepada terapan sastra bagi kehidupan masyarakat

pembaca, yaitu karya sastra sebagai (1) pemghibur diri agar batin manusia bisa senang dan

damai, (2) media mengingatkan manusia yang sudah lupa diri, (3) untuk menemukan
52

pengalaman dan identitas diri, (4) untuk mencegah radikalisme , korupsi, teroris, dan

kemaksiatan, dan (5) mendewasakan taraf berpikir masyarakat pembaca.

Pragmatik sastra lebih menekankan pada pemahaman terhadap karya sastra melalui

penelitian karya sastra yang lebih menitikberatkan pada masyarakat pembaca sebagai terapi

kehidupan, memberi sumbangan pemikiran agar manusia menjadi semakin arif dan bijak,

dan memberi tuntunan kepada masyarakat pembaca.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah suatu ilmu

yang mempelajari makna yang terkait dengan tindak tutur seorang penutur yang

disampaikan kepada lawan tutur. Setiap penutur dalam bertutur mengandung maksud atau

tujuan yang disampaikan kepada lawan tutur. Lawan tutur berusaha menginterpretasi

makna penutur sesuai dengan kontek.

Dalam perkembangannya pragmatik berhubungan erat dengn sastra, sehingga

membentuk disiplin ilmu baru yang bernama pragmatik sastra. Pragmatik sastra lebih

menitikberatkan pada kegunaan karya sastra bagi kehidupan masyarakat pembaca. Karya

sastra berguna sebagai media pendidikan bagi masyarakat pembaca agar semakin arif,

bijaksana, dan berbudi.

Teori pragmatik ini digunakan untuk menganailis teks pertujukan wayang topeng

Tengger. Teori ini sangat tepat digunakan untuk menganalisis teks pertunjukan wayang

topeng Tengger karena teks pertunjukan wayang topeng Tengger berupa teks naratif dalang

yang menceritakan lakon Bethara Guru Krama. Teks tersebut berupa tuturan secara lisan.
53

Dalam teks pertunjukan wayang topeng Tengger banyak mengandung nilai pendidikan,

etika, moral, kepemimpinan, kearifan, dan kebijakan sebagai media pendidikan kepada

masyarakat pembaca.

1. Tindak Tutur

Tindak tutur adalah perilaku berbahasa sesorang yang berbentuk ujaran-ujaran

yang memiliki daya konvensional tertentu, yang bertujuan untuk memberitahu,

mengajak, mengingatkan, melaksanakan. Tindak tutur ilokusi tidak hanya membentuk

kalimat-kalimat ilokusi, tetapi juga mengandung maksud tertentu yang dimaksud oleh

penutur (Sait, 2015. P.3). Menurut Chaer dan Agustina (2004, p. 50) tindak tutur

merupakan gejala ujaran dalam proses komunikasi yang bersifat individual dan

psikologis, dalam pelaksanaannya berdasarkan kemampuan berbahasa penutur dalam

menghadapi situasi. Tindak tutur ditekankan pada proses komunikasi antara penutur

dengan petutur yang lebih ditekankan pada makna.

Tindak tutur dalam pragmatik dianggap suatu tindakan karena dalam proses

berkomunikasi seseorang bukan hanya menyatakan suatu fakta, tetapi diikuti suatu

tindakan seperti meminta maaf, memuji, mengeluh, meminta, dan berjanji. Tindak

tutur dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Tindak tutur lokusi. Tindak tutur lokusi adalah tuturan atau ujaran yang berbentuk

kalimat dan mengandung makna yang mudah dipahami.


54

2. Tindak tutur ilokusi adalah apa yang dilakukan penutur sesuai dengan ujaran yang

sesuai dengan tujuan. Tindak tutur ilokusi dibedakan menjadi lima jenis, yaitu (a),

representatif, yaitu tindak tutur yang berbentuk pernyataan dan deskripsi, (b)

ekspresif, yaitu tindak tutur yang menunjukkan sikap penutur,seperti memberi

ucapan selamat yang bersifat suka cita dan ucapan ikut berduka cita, (c) direktif,

yaitu tindak tutur yang berupa perintah, seperti mengajak, meminta, memaksa,

mendesak, menentang, dan menyuruh, (d) komisif, yaitu tindak tutur yang

menunjukkan penuturnya menjadi terikat untuk melakukan suatu tindakan di masa

depan, seperti menjanjikan dan menawarkan, dan (e) deklarasi, yaitu tindak tutur

yang sudah menjadi institusi di dalam masyarakat.

Fungsi ilokusi ada lima, yaitu (a) fungsi ilokusi kompetitif, yang bertujuan untuk

mengurangi ketidakharmonisan yang dikehendaki punutur kepada petutur dengan

memunculkan kesopanan (b) fungsi ilokutif menyenangkan, yang bertujuan untuk

menciptakan keharmonisan penutur dengan petutur, (c) fungsi ilokutif bekerja sama,

yang bertujuan untuk mengesampingkan tujuan sosial dan kesopanan, dan (d),

fungsi ilokusi bertentangan, yang bertujuan untuk menimbulkan pertentangan

penutur dengan petutur.

3. Tindak tutur perlokusi adalah tindakan yang dilakukan petutur atau reaksi petutur

terhadap ujaran penutur (Leech, 1993: p.162).


55

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah perilaku

berbahasa sesorang yang berbentuk ujaran-ujaran dalam berbentuk kalimat yang

bertujuan untuk memberitahu, mengajak, mengingatkan, melaksanakan, dan

mengandung maksud tertentu yang dimaksud oleh penutur untuk disampaikan

kepada orang lain. Seseorang dalam melakukan tindak tutur akan memperhatikan

situasi dan kondisi lingkungan di tempat berkomunikasi serta memperhatikan status

sosial, umur, dan jenis kelamin untuk menghormati lawan berbicaranya atau

komunikannya.

Teori tindak tutur ini digunakan untuk menganalisis teks pertunjukan Wayang

topeng Tengger karena teks tersebut berisi cerita naratif yang menceritakan proses

komunikasi antar tokoh dalam pertunjukan Wayang topeng Tengger dan masing-

masing tokoh memiliki status sosial, umur, dan jenis kelamin yang berbeeda. Dalam

bercerita secara naratif dalang pun memperhatikan status sosial, umur, dan jenis

umur tokoh yang diceritakan.

C. Semiotika

Istilah semiotika pertama-tama dikemukakan oleh Charles Sanders Peirce dan

Roland Barthez yang dikembangkan dari istilah Semiologi yang dikemukakan oleh

Ferdinand de Sausure dalam ilmu bahasa atau linguistik umum. Semiologi memiliki

bidang kajian yang sangat luas seperti bidang seni, sastra, antropologi, sosial,dan budaya
56

(Barthes,2012,p.9). Semiologi adalah ilmu yang mempelajari tanda yang memiliki

entitas dua sisi tentang tanda dan penanda serta makna (Eco, 2016, p.19).

Perkembangan semiotika diilhami oleh dua orang filosuf bahasa yaitu Ferdinand de

Saussure dan Charles Sanders Peirce (Eco, 2016, p.19). Ferdinand de Saussure

mendasarkan semiotika pada filsafat bahasa, yang merupakan dasar epistemologis

linguistik umum. Sedangkan Peirce mendasarkan semiotika pada tradisi filsafatnya

sendiri yaitu pragmatisme dan logika, yang difokuskan pada ikon, indek, dan simbol

(Merrell, 1997, p.2). Kenyataan bahwa di antara Saussure dan Pierce keduanya tidak

saling mengenal, menunjukkan bahwa meskipun istilah semiotika (menurut Peierce) dan

semiologi (menurut Saussure) berbeda, namun mengacu pada pengertian yang sama.

Namun, pandangan filosofisnya memiliki perbedaan, atau dengan perkataan lain

memiliki kekhasannya masing-masing. Kekhasan dan perbedaan itu dikarenakan pada

latar belakang filosofis yang berbeda.

Teori semiologi yang dikemukakan oleh Ferdinan de Sausure tersebut,

dikembangkan oleh Peirce bersama Roland Barthes dalam ilmu antropologi. Charles

Sanders Peirce adalah seorang ahli matematika dari AS yang tertarik pada persoalan

lambang-lambang. Istilah semiotika dalam antropologi lebih dikenal dengan istilah

antropologi semiotik. Antropologi semiotik dapat digunakan untuk mempelajari berbagi

sistem simbol yang dikaitkan dengan studi etnografi ( SEW, 2016, p.54).
57

Menurut Merrell (1997, p.13) semiotik adalah ilmu yang terkait dengan kata, kata

tersebut diinterpretasi untuk menemukan maknanya. Semiotika memandang bahwa

setiap tanda tidak hanya memiliki satu makna, tetapi memiliki makna yang lain dan

setiap tanda boleh dimaknai seluas-luasnya, tetapi tetap secara sistematis dan logis.

Sedangkan menurut Eco (2016, p.23) tanda adalah sebagai bukti yang mendahului

sebuah konsekuensi dari sesuatu yang sudah ada bila konsekuensi yang sama sudah

diketahui lebih dahulu.

Untuk menganalisis simbol-simbol yang digunakan dalam ungkapan guna

menemukan nuansa kultural masyarakatnya, penelitian ini bertumpu pada kerangka

kerja semiotika. Semiotika versi Peirce didasarkan pada logika karena logika

mempelajari bagaimana orang bernalar dan penalaran tersebut dilakukan melalui tanda-

tanda. Pierce menyebut tanda sebagai suatu pegangan seseorang akibat terbayangkan

dengan tanggapan atau kapasitasnya (Berger, 2000, p.1). Tanda itu sendiri didefisinikan

sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat

dianggap mewakili sesuatu yang lain (Zoest, 1993, p.1).

Manusia memiliki pola berfikir yang memungkinkan syarat sebuah tanda-tanda

muncul dan memberikan makna pada apa yang telah manusia lihat dan fikirkan, manusia

memiliki kemungkinan untuk menerapkan tanda yang ditampilkan oleh alam semesta.

Tanda mengacu pada objek. Acuan objek adalah mewakili, atau menggantikan bukan
58

mengingat. Tanda itu ditangkap agar dapat berfungsi dan memiliki makna (Sahid, 2016,

p.5).

Menurut Noth (2006, p. 44) Peirce mengembangkan tipologi tanda menjadi tiga

bagian yang terkait dengan tanda, objek, dan interpretan menjadi tiga trikotomi. Pertama,

berdasarkan representamen, tanda dibagi tiga bagian, yaitu qualisign, sinsign, dan legisign.

Kedua, berdasarkan hubungan representamen dan objek, tanda dibagi tiga, yaitu ikon,

indeks, dan simbol. Ketiga, menurut hakikat, tanda dibagi tiga, yaitu rheme, dicent, dan

argumen.

Robinson, (2010,p.118) juga berpendapat bahwa Peirce membagi taksonomi tanda

menjadi tiga bagian, (1) pembagian tanda berdasarkan sarana penanda yang mengandung

tanda atau secara sintaktik ada tiga, yaitu qualisign, sinsign, dan legisign, (2) berdasarkan

hubungan tanda dan objeknya atau secara semantik, tanda ada tiga, yaitu ikon, indeks, dn

simbol, dan (3) berdasarkan hubngan tanda dan penafsiran atau pragmatik, tanda ada tiga,

yaitu rema, dicent, dan argumen. Pembagian yang kedua merupakan yang paling familiar

dan terkenal, yaitu ikon, indeks, dan simbol (Robinson, 2010,p.118).

Berdasarkan sifat keterkaitan antara sarana tanda dengan objeknya atau secara

sintaktik, Peirce membagi tanda menjadi qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah

sarana tanda yang menunjukan kualitas sesuai yang dicontohkan. Semua qualisign adalah

ikon, tetapi tidak semua ikon adalah qualisign. Qualisign tidak bisa menandai segala

sesuatu secara mirip dan tidak bisa menjadi tanda, kecuali qualisign dapat menyerupai
59

contoh yang sebenarnya. Contoh sepotong warna kain merupakan qualisign. Tanda warna

bukan sekedar warna saja, tetapi bisa menunjukan kualitas tertentu. Contoh warna ungu

menunjukan kedudukan tinggi.

Sinsign adalah peristiwa tunggal yang menunjukkan suatu tanda dan tidak dibuat

berdasarkan aturan tertentu. Contoh peristiwa Gubernur menjungkirkan meja stafnya.

Gubernur tidak mengulangi lagi dan tidak menganjurkan kepada Kapala Dinas untuk

melakukan hal yang sama dan tidak menganjurkan kepada Kepala Dinas yang lain untuk

menandai sesuatu. Peristiwa tersebut adalah peristiwa khusus yang terjadi secara kebetulan,

tidak direncanakan.

Legisign adalah tanda yang menandai berdasarkan replika/tanda tentang sebuah tipe

tertentu yang diciptakan berdasarkan aturan dan bertujuan untuk memberi tanda tertentu.

Contohnya, rambu lalu lintas. Rambu-rambu lalu lintas dibuat berdasarkan undang Undang

Lalu Lintas. Warna merah bermakna jalan, warna kuning bermakna peringatan/persiapan,

warna hijau bermakna jalan (Robinson, 2010.p.39-40).

Berdasarkan hubungan tanda dan objeknya atau secara semantik, tanda ada tiga,

yaitu ikon, indeks, dan simbol. Trikotomi yang kedua ini yang paling vamiliar dan terkenal

yang dijadikan dasar untuk menganalisis teks pertunjukan Wayang topeng Tengger lakon

Bethara Guru Krama.


60

1. Ikon

Menurut Robinson (2010, p.118-119) ikon adalah hubungan antara tanda dan

acuannya dapat berupa huhungan kemiripan. Misalnya hubungan antara foto dan

orangnya, hubungan peta geografis dengan alam. Icon adalah tanda yang hubungan

antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan

kata lain, icon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat

kemiripan; misalnya: potret dan peta.

Selanjutnya Rabinson (2010,p. 118) berpendapat bahwa ikon adalah tanda yang

menandai objeknya berdasarkan kemiripan antara tanda dan objeknya. Contoh foto

seseorang merefrentasikan kemiripan antara gambar dengan objeknya, meskipun

terdapat berbagai gaya foto yang berbeda, tetapi wajahnya tetap mempunyai

kemiripan. Bila antara foto dengan objeknya berbeda maka tidak bisa disebut foto

karena tidak mengandung kemiripan antara foto seseorang dengan objeknya atau

orangnya. Sedangkan menurut Noth (2006,p 108) ikon adalah tanda yang memiliki

kesamaan antara penanda dengan objeknya, seperti foto memiliki kemiripan dengan

objeknya.

Kedua pendapat tersebut mengandung makna yang sama bahwa ikon adalah tanda

yang memiliki kemiripan antara penanda dan objeknya. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa ikon merupakan tanda yang memiliki hubungan kemiripan

antara objek dengan petandanya, seperti foto dan peta. Teori ikon ini digunakan
61

untuk menganalisis teks pertunjukan Wayang topeng Tengger lakon Bethara Guru

Krama.

2. Indeks

Indexs adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara

tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang

langsung mengacu pada kenyataan. Contoh yang paling jelas ialah asap sebagai

tanda adanya api. Menurut Robinson (2010, p.119) indeks adalah tanda yang

mempresentasikan objeknya berdasarkan hubungan langsung antara tanda dengan

objeknya dan jika objeknya dihapus, maka tanda akan hilang. Contoh hubungan

kausal antara petunjuk arah angin dengan baling-baling cuaca, keberadaan baling-

baling cuaca lebih dulu daripada arah angin. Namun, hubungan langsung antara

tanda dan objeknya tidak selalu bersifat kausal. Contoh indeks yang berupa jari

telunjuk.kesesejajaran yang seseuai dengan jari telunjuk ditentukan oleh posisi atau

perkiraan posisi objeknya, walaupun posisi objeknya tidak menyebabkan

kesejajaran jari telunjuk secara langsung.

Indeks merupakan tanda alami berdasarkan hubngan alami antara tanda dengan

referennya. Indeks berlawanan dengan simbol dan ikon yang tidak hanya terkait

dengan tanda alami, tetapi termasuk tanda konvensional. Indeks berhubungan

dengan objeknya dan merupakan pasangan organik, tetapi dalam

menginterpretasikan tidak ada hubungannya. Seorang yang menginterpretasi tanda


62

akan lebih condong ke objeknya. Contoh indeks adalah petunjuk arah angin, foto,

kayu meteran, ketukan di pintu, jeritan panggilan, dan jari telunjuk (Noth, 2006,

p.113).

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa indeks adalah tanda

yang menunjukkan hubungan langsung secara alamiah antara penanda dengan

objeknya dan tidak dapat dipisahkan. Bila objeknya dihilangkan, maka tidak akan

ada penandanya. Contoh, bila objek orang tidak ada, maka tidak akan ada foto

orang tersebut; bila tidak ada jeritan orang minta tolong, maka tidak akan ada tanda

orang minta tolong. Teori indeks ini digunakan untuk menganalisis indeks yang ada

dalam teks pertunjukkan Wayang topeng Tengger.

3. Simbol

Menurut Noth (2006, p.115) simbol merupakan istilah yang banyak digunakan

dalam bidang humaniora dan antropologi. Dalam pengertian yang lebih luas, simbol

sebenarnya juga termasuk tanda dan dapat dikelompokkan kepada tiga kategori,

yaitu simbol sebagai tanda konvensional, simbol sebagai tanda ikonik, dan simbol

sebagai tanda konotasi. Simbol mencakup simbol verbal dan simbol visual.

Simbol adalah tanda yang tidak menunjukan adanya hubungan alamiah antara

penanda dengan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat arbitrer atau semena,

hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat (Robinson, 2010,p.118-

119). Sedangkan menurut Merrell, 1997, p. 52) simbol adalah tanda yang memiliki
63

makna yang luas yang tidak menunjukan hubungannya dengan petandanya. Untuk

memaknai simbol berdasarkan makna kontektual.

Ketiga pendapat tersebut memiliki makna yang sama bahwa simbol

merupakan tanda yang tidak menunjukan hubungannya dengan petandanya.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa simbol adalah tanda yang

tidak menunjukan hubungannya dengan petandanya, tetapi mempunyai makna yang

luas sesuai dengan konteks. Makna simbol tergantung kepada penafsirnya, tetapi

tetap memperhatikan makna kontektual, yaitu suatu makna yang terkait dengan

situasi sosial budaya masyarakat.

Teori simbol ini sangat tepat untuk menganalis simbol-simbol yang ada pada

teks pertunjukan Wayang topeng Tongger karena Wayang topeng Tengger banyak

mengandung simbol, baik simbol yang terkait dengan teks pertunjukan Wayang

topeng Tengger maupun yang terkait dengan unsur perlengkapan pertunjukan

seperti benda-benda sesaji (simbol verbal maupun simbol visual).

Konsep ketiga kategori tersebut digambarkan dalam model segitiga sebagai

berikut:

Ikon

Simbol Indexs
s
Gambar 1. Model segitiga Peirce
64

Berdasarkan hubungan tanda dan penafsiran tanda atau secara pragmatk,

Pierce membagi tanda menjadi rema (rheme), dicent, dan argumen. Rheme adalah

tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Misalnya, orang

yang merah matanya dapat saja menandakan bahwa orang itu baru menangis, atau

menderita penyakit mata, atau mata dimasuki insekta, atau baru bangun, atau ingin

tidur. Dicent sign atau dicisign adalah tanda sesuai kenyataan. Misalnya, jika pada

suatu jalan sering terjadi kecelakaan, maka di tepi jalan dipasang rambu lalu lintas

yang menyatakan bahwa di situ sering terjadi kecelakaan. Argumen adalah tanda

yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu (Robinson, 2010.p.118;Sobur,

2006, p. 41-42).

Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa semiotik

adalah suatu ilmu yang mempelajari atau mengkaji tanda dan maknanya baik

dalam bahasa, komunikasi, fenomena sosial, dan budaya. Teori semiotik ini

akan digunakan untuk menganalisis simbol-simbol yang ada dalam teks

Wayang topeng Tengger lakon Bethara Kala Krama, baik yang berbentuk

ikon, indek, maupun simbol. Teori tersebut sangat cocok digunakan untuk

menganalisis teks Wayang topeng Tengger lakon Bethara Kala Krama

karena dalam teks tersebut banyak mengandung simbol, baik simbol yang

berupa bahasa teks naratif maupun simbol-simbol yang berupa benda-benda


65

sebagai perlengkapan pertunjukan Wayang topeng Tengger maupun benda

yang berupa sesaji dalam pertunjukan Wayang topeng Tengger.

D. Nilai Etnik

Nilai budaya merupakan konsep-konsep atau ide yang ada dalam alam pikiran

sebagian besar masyarakat tentang apa yang mereka anggap baik, benar, bernilai, berharga,

penting dan telah disepakati dalam masyarakat, sehingga dapat dijadikan pedoman dalam

hidup bermasyarakat (Koentjaraningrat, 1990, p.90; Supratno, 2012, p. 8). Nilai budaya

dapat bermakna sebuah kepercayaan yang didasarkan pada sebuah kode etik di dalam

masyarakat yang terkait dengan hal yang benar dan salah yang harus dilakukan atau

ditinggalkan dalam hidup di masyarakat (Verulitasari dan Agus Cahyono, 2016, p.43).

Sejalan dengan pendapat tersebut Shanie, Sumaryanto, dan Triyanto (2017, p.54)

berpendapat bahwa nilai budaya merupakan seperangkat aturan yang terorganisai yang

tampak dalam perilaku setiap anggota masyarakat.

Nilai budaya adalah hal-hal yang dianggap baik, benar, dan pantas yang disepakati

oleh sebagian besar yang dirumuskan dalam bentuk kebudayaan dan didukung oleh

sebagian besar masyarakat (Septiana dkk., 2016, p.15). Nilai budaya pada umumnya

berhubungan dengan kehidupan manusia sebagai individu, manusia sebagai makhluk sosial,

dan manusia sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa. Nilai-nilai manusia sebagai individu

antara lain mencakup nilai keutuhan jasmani dan rohani, nilai keseimbangan, nilai
66

keselarasan, nilai keberanian, nilai kemanunggalan dengan masyarakat, raja atau penguasa

dan tuhan. Nilai yang berhubungan dengan kehidupan sosial antara lain mencakup nilai

berkorban untuk orang lain, nilai mendahulukan kepentingan orang lain dari pada

kepentingan pribadinya. Nilai berhubungan dengan ketuhanan antara lain mencakup nilai

kemanunggalan dengan Tuhan atau dewa, nilai kesucian, dan nilai keadilan (Amir,1991.

p.15-16).

Nilai budaya adalah sebuah kepercayaan yang didasarkan pada sebuah etik yang

berlaku di dalam masyarakat, yang menunjukan apa yang benar dan apa yang salah, dan

bagaimana hidup yang baik di masa sekarang dan di masa mendatang (Verulitasari &

Cahyono, 2016: 43). Nilai budaya dalam karya satra dapat memberi sumbangan yang

positif bagi kehidupan masyarakat, dapat dijadikan sebagai media pembinaan watak dan

etika dalam kehidupan masyarakat. Nilai budaya yang ada dalam karya satra, khususnya

mitos, masih banyak yang relevan dengan nilai-nilai yang dibutuhkan masyarakat sekarang,

sebagai media pendidikan karakter masyarakat pada umunya (Supratno,2012, p.9).

Nilai budaya memiliki peranan yang sangat penting dalam proses modernisasi dan

pengembangan perilaku masyarakat. Nilai budaya dan tradisi suatu bangsa dapat dijadikan

sebagai sumber kekuatan pembangunan dan proses modernisasi masyarakat serta

mempunyai peranan dan pengaruh bagi kehidupan masyarakat ( Supratno, 2012, p.9).

Wayang sebagai seni budaya yang halus, kompleks, dan sudah berakar di hati

masyarakat sangat terkenal di berbagai wilayah nusantara bahkan dunia. Wayang banyak
67

mengandung nilai budaya yang adiluhung, baik nilai flosofis, simbolis maupun religius

(Geertz, 2017, p.376). Nilai budaya yang terdapat dalam Wayang masih tetap relevan

diterapkan di dalam kehidupan masyarakat saat ini, karena nilai budaya dalam Wayang

bersifat universal yang menyangkut kehidupan kemanusiaan. Nilai-nilai yang terdapat

dalam pertunjukan Wayang , antara lain nilai pendidikan, nilai moral, nilai kepemimpinan,

nilai demokratis, dan nilai keadilan, nilai kesabaran, dan nilai religius (Supratno, 2015,

p.9).

Teori nilai budaya ini sangat tepat digunakan untuk menganalisis nilai-nilai etnik

yang ada dalam teks pertunjukan Wayang topeng Tengger karena dalam pertunjukan

Wayang topeng Tengger tersebut banyak mengandung nilai budaya atau nilai etnik yang

terkait dengan kehidupan masyarakat Tengger.

E. Simbolisasi Sosiobudaya

Manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial (zoon politicon) yang tidak dapat

berdiri sendiri, tetapi membutuhkan orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari dalam

masyarakat, manusia selalu beriteraksi dengan orang lain. Dalam proses berimteraksi

dengan orang lain, manusia menggunakan bahasa yang berterus terang, dengan

menggunakan kata-kata denotatif sehingga maknanya mudah dipahami oleh lawan

bicaranya. Namun, kadang-kadang dalam proses interaksi menggunakan simbol atau

lambang atau isyarat yang maknanya secara implisit yang kadang-kadang hanya dapat

dipahami oleh komunikator dengan komunikan. Maknanya bersifat abstrak yang tidak
68

dapat dilihat, tetapi dapat dirasakan dan dipahami oleh pihak lain yang diajak

berkominikasi (Abidin dan Sebani,2013, p. 7).

Dalam proses interaksi sosial dengam masyarakat, manusia banyak menciptakan

simbol atau lambang sebagai media untuk menyampaikan keinginan, perasaan,

pengalaman, kepercayaan, dan agama yang dikomunikasikan dengan orang lain. Manusia

sebenarnya merupakan kreator kehidupan sosial dan kreator budaya yang dalam

tindakannya berdasarkan kemauan masing-masing, tetapi tidak bisa lepas dari norma sosial

dan norma budaya yang sudah diyakini kebenarannya dan dianut oleh sebagian besar

masyarakat.

Proses interaksi sosial yang berbentuk perilaku sosial manusia terbentuk dari

potensi diri yang sudah diadaptasi dan diintegrasikan dengan norma sosial dan norma

budaya sehingga menjadi simbol atau lambang yang sudah diterima oleh masyarakat dan

menjadi sistem masyarakat atau adat-istiadat yang dianut dan mengikat dalam kehidupan

masyarakat. Manusia tidak bisa lepas dari kehidupan sosiobudaya, seperti kegiatan

selamatan, gotong royong, upacara keagamaam, kepercayaan, upacara adat-istiadat, politik,

pendidikan, dan kesenian.

Menurut Haviland (1999, p. 339) bahwa semua perilaku manusia dimulai dengan

menggunakan simbol atau lambang. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak bisa

terlepas dengan simbol atau lambang. Dalam perilaku ekonomi manusia tidak bisa terlepas

dari simbol atau lambang uang. Uamg adalah simbol dan sebagi media atau alat pertukaran
69

barang. Masjid adalah simbol atau lambang bagi umat Islam. Gereja adalah simbol atau

lambang umat Kristen. Wayang merupakan simbol atau lambang kehidupan manusia atau

dewa.

Simbol atau lambang dapat berupa benda, isyarat, dan bahasa. Namun, simbol yang

paling lengkap maknanya adalah simbol yang berupa bahasa karena semua maksud,

perasan, dan keinginan manusia bisa disampaikan melalui simbol yang berupa bahasa.

Bahasa merupakan simbol fondamental dalam pembentukan kebudayaan manusia. Semua

pranata sosial, politik, agama, organisasi, kesenian, dan agama tidak bisa lepas dari simbol

atau lambang. Dalam proses komunikasi manusia sering menciptakan simbol untuk

menyampaikan gagasan, perasaan, emosi, dan keinginan kepada orang lain. Simbol juga

dapat sebagai media untuk mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi yang lain,

sehingga antara bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang sangat erat. Bahasa

sendiri merupakan ciptaan manusia dan merupakan bagian dari kebudayaan

(Haviland,1999, p. 340).

Sejalan dengan pendapat tersebut Jenks (2013,p. 1) berpendapat bahwa manusia

adalah pencipta atau pemproduk bentuk-bentuk simbol yang diproduk secara sosial.

Penciptaan Simbol sosiobudaya tersebut akan terus berlangsung sesuai dengan

perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya serta perubahan masyarakat yang

akan terus berlangsung. Perubahan tersebut akan membawa dampak negatif maupun positif

bagi kehidupan manusia yang tidak dapat dibendung dan perubahan tersebut khususnya
70

perubahan dalam bidang teknologi yang sangat pesat diterima oleh sebagian besar

masyarakat dan dilegitimasi sebagai kemajuan. Kemajuan harus dimulai dari perubahan.

Pendapat tersebut diperkuat dengan pendapat Ritzer (2014, p.611) bahwa simbol

hanya dapat diciptakan oleh manusia. Simbol dapat berupa gerak isyarat dan dapat

menimbulkan respon bagi orang lain pada saat digunakannya, sehingga orang lain dapat

menangkap makna respon dari seseorang yang menciptakannya. Simbol tersebut dapat

dipakai dalam proses komuniakasi. Proses komunikasi tidak akan dapat berlangsung tanpa

adanya simbol. Simbol signifikan yang paling utama adalah berupa ucapan-ucapan vokal

atau bahasa meskipun tidak semua ucapan vokal dapat berupa simbol yang signifikan.

Fungsi utama gerak isyarat adalah memungkinkan seseorang individu dapat menyesuaikan

dengan lingkungan yang tersirat dalam tindakannya. Sebagai contoh seseorang akan

menyeringai tanpa sengaja pada saat melihat anak kecil yang ada di tepi tebing sebagai

bentuk pencegahan agar anak tidak terjerumus ke dalam tebing. Gerak isyarat juga dapat

sebagai isi pikiran dan perasaan. Pemikiran manusi hanya dapat dilakukan melalui simbol-

simbol signikan yang berupa bahasa. Makna simbol tidak terletak pada proses mental,

tetapi terletak pada proses sosial, artinya makna simbol baru dapat dipahami oleh orang lain

setelah digunakan sebagai alat komunikasi. Sebagai contoh pakain jubah putih dalam

Wayang topeng Tengger tidak ada maknanya apa-apa sebelum dipakai oleh seorang tokoh

dewa Sang Hyang Sis. Setelah jobah putih dipakai oleh tokoh Sang Hyang Sis, baru

bermakna bahwa jobah putih menunjukkan tokohnya orang suci, arif, dan bijaksana.
71

Manusia tidak hanya menciptakan simbol, juga mempelajari makna-makna simbol

dalam proses interaksi sosial. Dalam proses komunikasi seseorang menerima simbol-

simbol tanpa berpikir panjang dan merespon simbol-simbol tersebut dengan penuh

pemikran untuk menangkap maknanya. Simbol merupakan objek-objek sosial yang

digunakan untuk menggantikan atau menggambarkan segala sesuatu yang dapat diterima

atau disetujui oleh orang lain. Simbol tersebut dapat berupa benda fisik, tindakan, dan kata-

kata atau bahasa. Setiap orang dapat menciptakan simbol untuk mengkomunikasikan

dirinya sendiri dengan orang lain atau masyarakat. Sebagai contoh, bila ia sedang marah

dengan orang lain, maka bicaranya kasar dan keras. Bila seseorang kaya, untuk

menunjukkan kekayaannya, ia naik mobil rolls royce untuk menggambarkan kekayaannya.

Bahasa merupakan suatu sistem simbol yang sangat luas dan fleksibel yang dapat

digunakan untuk menggambarkan apa saja. Semua benda, tindakan, perasaan, pengalaman

dapat disimbolisasi dengan bahasa. Simbol secara umum mempunyai fungsi secara spesifik.

1. Memungkinkan manusia dapat beriterasi dan berurusan dengan dunia material dan

sosial serta dapat memberi nama, mengkatagorikan, dan mengingat objek-objek

yang dijumpainya, sehingga manusia dapat menata dunia.

2. Meningkatkan kemampuan manusia memahami lingkungan sehingga dapat

dibedakan lingkungan yang satu dengan lingkungan yang lain.

3. Meningkatkan kemampuan berpikir manusia meskipun terbatas, tetapi dengan

bahasa manusi dapat meningkatkan kemapuan berpikir secara luas.


72

4. Meningkatkan kemampuan berpikr manusia untuk memecahkan berbagai masalah.

Dengan simbol manusia dapat mengambil tindakan berbagai alternatif sehingga

dalam mengambil keputusan tidak salah.

5. Melalui simbol seseorang dapat memungkinkan melampui waktu, ruang, dan

bahkan pribadi seseorang sendiri. Melalui simbol seseorang dapat membayangkan

kehidupan masa lampau dan kehidupan di masa yang akan datang serta dapat

membayangkan dunia dari sudut pandang orang lain.

6. Melalui simbol, seseorang dapat membayangkan suatu realitas metafisik seperti

langit, bulan, matahari, surga, dan neraka.

7. Memungkinkan seseorang dapat menghindari diperbudak oleh lingkungannya dan

dapat aktif mengarahkan tindakannya sendiri ke arah yang baik.

Berdasarkan berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa simbol

diciptakan oleh manusia dan dipakai sebagai alat interaksi sosial untuk menyampaikan

maksud, perasaan, dan pengalaman manusia yang terkait dengan kegiatan sosial dan

budaya. Dalam proses interaksi sosial seseorang tidak bisa terlepas dari simbol dan setiap

beriteraksi sosial dan budaya akan menciptakan dan menggunakan simbol. Simbol dapat

berupa benda, gerak isyarat, tindakan, dan bahasa.

Teori simbol atau simbolisasi sosiobudaya ini digunakan untuk menganilisis

pertunjukan Wayang topeng Tengger yang berfungsi sebagai media ruwatan. Upacara

ruwatan merupakan simbolisasi sosiobudaya masyarakat Tengger karena merupakan


73

integrasi dari berbagai kegiatan atau tindakan sosiobudaya masyarakat Tengger. Dalam

kegiatan ruwatan ada berbagai kegiatan upacara ―Entas-Entas‖, gotong royong,

menyumbang, kesenian kuda lumping, dramben, campur sari, dan puncaknya ditutup

dengan pertunjukan Wayang topeng Tengger.

Pertunjukan Wayang topeng Tengger tidak bisa terlepas dengan upacara ―Entas-

Entas‖ masyarakat Tengger‖ dan merupakan perilaku sosio budaya yang sudah menjadi

adat-istiadat masyarakat Tengger. Dalam upacara ruwatan didahulii oleh upacara ―Entas-

Entas‖, puncaknya pertunjukan Wayang topeng Tengger karena inti upacara ruwatannya

ada dalam pertunjukan Wayang topeng Tengger. Setiap masyarakat Tengger akan

mengadakan upacara ―Entas-Entas‖ setiap setahun sekali, yang dilaksanakan secara

individu maupun secara bersama-sama. Meskipun dilaksanakan secara individu, tetapi tetap

melibatkan seluruh masyarakat dengan cara bergotong royong karena setiap keluarga akan

membantu bekerja menyiapkan segala keperluan upacara dan menyumbang untuk

keperluan upacara tersebut, baik berupa barang mentah (beras, kelapa, kentang, sayur-

sayuran), makanan (kue, jadah, pisang), atupun berupa uang. Nilai nominalnya sesuai

dengan status sosial masyarakat dan disesuaikan dengan barang atau uang yang pernah

diterimanya pada saat seseorang mempunyai hajatan upacara ―Entas-Entas‖.

Upacara ―Entas-Entas‖ masyarakat Tengger tersebut merupakan simbolisasi

sosiobudaya masyarakat Tengger karena merupakan integrasi dari simbolisasi upacara

menyucikan roh nenek moyang, penghormatan kepada roh nenek moyang, kegiatan gotong
74

royong, kepercayaan, upacara adat istiadat, ekonomi, kesenian, dan menunjukkan status

sosial penyelengara hajatan. Upacara tersebut dapat dilaksanakan tiga variasi dan dapat

dipilih sesuai kemampuan masyarakat, dilaksanakan 7 hari, 9 hari, dan 11 hari. Upacara

―Entas-Entas‖ merupakan salah satu rangkaian awal upacara ruwatan dan pertunjukan

Wayang topeng Tengger merupakan puncak acara ruwatan. Upacara ruwatan diakhiri

dengan membawa petra (simbol fisik leluhur tempat bersemayamnya arwah leluhur pada

saat rohnya dipanggil oleh dukun desa) ke Pura Agung/Sanggar Pemujaan Muji Giri Kersa

Agung. Petra tersebut dibakar dan abunya dibawa pulang dan ditempatkan di pedaringan

(tempat menyimpan beras bagi masyarakat Tengger) dengan tujuan agar rezekinya banyak

dan berkah.

Dalam pertunjukan Wayang topeng Tengger banyak mengandung simbolisasi sosio

budaya, seperti bagaimana seorang raja dalam mewariskan tata kerajaan kepada anak-

anaknya, harus dilakukan secara demokratis berdasarkan kompetensi dan kesanktiannya,

bagaimana seorang suami dalam mendidik isteri dan anak-anaknya sehingga tidak

terjerumus ke dalam perbuatan yang tidak baik, bagaimana seorang ibu harus mendidik

anaknya secara baik, bagaimana hubungan antara saudara, jangan berperang hanya berebut

kekuasaan, bagaimana seorang laki-laki harus bisa menhan hawa nafsu birahinya,

bagaimana harus minta tolong orang lain, dan hidup harus tolong menolong, tidak

mengumbar hawa nafsunya.


75

F. Wayang topeng Tengger

Wayang topeng Tengger adalah salah satu jenis kebudayaan daerah Tengger yang

berbentuk tari dan para tokohnya manusia yang memakai topeng. Topeng merupakan

wujud ekspresi simbolik yang dibuat oleh manusia untuk maksud tertentu sebagai penutup

wajah. Topeng merupakan simbol pencerminkan karakter manusia, seperti karakter jahat,

serakah, kebaikan, dan kebajikan. Wayang topeng merupakan pertunjukan pantomim tari

yang dimainkan oleh para aktor yang menggunakan topeng. Tarian dalam kesenian terkait

erat dengan kepribadian dan citra penarinya. Alur ceritanya diceritakan secara naratif oleh

dalang (Dewi, 2015, p.1; Geertz,2017, p.406).

Menurut Astrini dkk., (2013, p. 90) topeng sebagai simbol karakter manusia yang

ada di dunia ini. Karakter topeng tersebut menggambarkan karakter baik dan karakter buruk

manusia. Perkembangan Wayang topeng sesuai dengan perkembangan masyarakat

pendukungnya. Masyarakat Tengger sebagai masyarakat pendukungnya banyak menganut

paham animisme yang masih percaya kepada para dewa, makhluk gaib, dan roh nenek

moyangnya. Keberadaan Wayang topeng Tengger juga selalu dikatkan dengan mistik

sebagai media upacara adat untuk memuja dan berdoa kepada pada dewa roh nenek

moyangnya.

Wayang topeng Tengger tidak banyak mengalami perkembangan. Nasibnya sama

dengan kesenian daerah lain pada umumnya karena terdesak oleh kebudayaan populer yang

banyak disenangi masyarakat, sehingga para seniman, budayawan, dan masyarakat pecinta
76

budaya merasa khawatir Wayang topeng pada umumnya dan Wayang topeng Tengger

pada khususnya akan mengalami kepunahan. Oleh sebab itu, Wayang topeng perlu dimbil

langkah-langkah yang strategis untuk dilesatarikan. Salah satu cara dengan melakukan

penggalian, pelestarian, dan pengembangan Wayang topeng pada umumnya dan Wayang

topeng Tengger pada khususnya melalui penelitian. Dengan menjadikan Wayang topeng

sebagai objek penelitian, baik untuk skripsi, tesis, maupun disertasi, maka keberadaan

Wayang topeng pada umumnya dan Wayang topeng Tengger pada khususnya akan

banyak dikenal masyarakat lokal, nasional, maupun internasional dan sebagai upaya

menyeimbangkan dan mengintegrasikan kebudayaan lokal dengan perkembangan

pariwisata panorama alam, seni budaya, dan kuliner (Astrini dkk., 2013, p.90).

Berdasarkan peran pemainnya, Wayang dibagi menjadi dua, (1) Wayang yang

secara penuh dimainkan oleh dalang, segala gerak dan dialog dilakukan oleh dalang, dan

(2) Wayang yang tidak dimainkan oleh dalang, artinya tokohnya berupa orang, sehingga

disebut Wayang orang (Wayang wong) yang setiap perannya diperankan oleh perorangan.

Dalang hanya berfungsi sebagai narator dalam sebuah pertunjukan. Peran Wayang orang

ada yang tidak menggunakan topeng yang disebut Wayang orang. sedangkan Wayang

orang yang perannya dimainkan oleh orang ynag memakai topeng disebut Wayang topeng.

Nama Wayang topeng di setiap daerah berbeda-beda dan memeiliki karakter yang berbeda

pula, meskipun ada kesamaannya. Wayang topeng di Yogyakarta namanya ―Wayang

topeng‖, di Cirebon, namanya ―topeng dhalang‖, di Madura namanya ―topeng dheleng‖, di


77

Bali namanya ―topeng‖, di Malang namanya ―Wayang topeng Malangan‖, dan di Tengger

namanya ―Wayang topeng Tengger‖(Prasetyo, 2004, p.1-2).

Keberadaan Wayang topeng di Glagahdowo maupun Wayang topeng Tengger

memprehatinkan. Pertunjukkan Wayang topeng tersebut hanya mengandalkan bila ada

masyarakat yang memiliki hajatan meruwat anaknya, baru menanggap Wayang topeng

Tengger sebagai sarana ruwatan.. Masyarakat Tengger memiliki kepercayaan tidak mau

menanggap Wayang kulit karena para dewa penunggu gunung Bromo akan murka,

sehingga mereka lebih senang menanggap Wayang topeng Tengger bila mempunyai

hajatan ruwatan atau sebagai hiburan (Windiatmoko, 2014, p. 2).

Menurut Ki Lebari dalang topeng Tengger, masyarakat Tengger bila mempunyai

hajatan meruwat anaknya menggunakan Wayang topeng Tengger sebagai medianya.

Masyarakat Tengger tidak mau menanggap Wayang kulit purwa sebagai media ruwatan

kardena pada masa lalu pernah ada masyarakat yang meruwat anaknya menggunakan

media Wayang kulit purwa, tetapi anaknya mninggal, keluarganya banyak mengalami

musibah, rezekinya menurut atau sulit, banyak terkena penyakit. Sejak kejadian itu, maka

buyut Ki Lebari yang bernama Buyut Ngatok, sebagai dukun dan dalang Wayang topeng

Tengger mulai banyak diminta masyarakat Tengger untuk melakukan ruwatan dengan

menggunakan media Wayang topeng Tengger (Wawancara, tanggal 8 Februari 2018, di

Desa Wonokerso).
78

G. Kerangka Konseptual

Kerangka pemikiran penelitian ini berangkat dari suatu asumsi bahwa masyarakat

Tengger merupakan suku bangsa yang menarik dan unik yang sampai saat ini masih sangat

berpegang teguh pada adat istiadatnya, percaya kepada roh nenek moyangnya, benda-benda

magis, dan para Dewa. Masyarakat Tengger mempunyai kebudayaan yang sangat menarik

dan unik yang sampai saat ini masih dipelihara dan dipertahankan, yaitu Wayang topeng

Tengger. Keberadaan Wayang topeng Tengger berhubungan erat dengat kepercayaan

masyarakat Tengger tentang budaya ruwatan dan banyak mengandung nilai etnik,seperti

mistik kejawen, mistik Wayang , mistik kebatinan, mistik kosmologi, mistik magis, mistik

sinkretisme, animisme, dinamisme, dan nilai budaya. Pragmatik atau tindak tutur yang

mencakup lokusi, ilokusi, dan prelokusi, dan simbol etnik, baik simbol verbal maupun

simbol benda, seperti boneka Wayang, topeng, dan benda sesaji mistik. Ketiga aspek

tersebut merupakan konsfigurasi yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya secara

integratif. Dalam nilai etnik mengandung mistik dan simbol etnik. Sebaliknya dalam simbol

etnik juga mengadung nilai etnik yang tercermin melalui tindak tutur dalam pertunjukan

Wayang topeng Tengger.

Penelitian ini dalam rangka untuk mengunpulkan data sebanyak-banyaknya tentang

pengikonan, pengindekan, pelambangan, dan sosial budaya masyarakat yang terkait dengan

mistik, pragmatik, dan nilai etnik yng terdapat dalam pertujukan Wayang topeng Tengger.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menemukan sebuah teori baru hasil dekonstruksi dari
79

data-data pertunjukan Wayang topeng Tengger yang menggunakan pendekatan antropologi

sastra, yang dikombinasikan dengan semiotika dan sosiobudaya, yang akan mengahsilkan

disiplin ilmu baru semiososiobudaya.. Kerangka pemikiran penelitian ini, untuk lebih

jelasnya, dapat dilihat pada bagan satu sebagai berikut:

Bagan I
Kerangka Konseptual

ANTROPRAGMASEMIOTIKA

Antropologi Sastra Pragmatik Semiotika

Mistik Nilai Etnik lokusi Ilokusi Perlokusi Ikon Indeks Simbol

Verbal Visual

Kejawen/ Kosmologi Magis Anismisme, Pendidikan Gotong Kepemi Pengendalian


kebatinan s dinamisme royong mpinan nafsu
,sinkritisme dan
demokr
asi
80

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif

merupakan pendekatan penelitian yang mencari, memahami, dan menemukan makna

fenomena sosial yang bersifat alamiah, data spesifik yang berasal dari informan dan hasil

pengamatan, data dianalisis secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-

tema yang umum, berfokus pada makna individual, dan menjelaskan persoalan yang

kompleks sesuai fokus penelitian (Creswell, 2015a, p.4).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena beberapa alasan sebagai

berikut: (1) seting penelitian bersifat alamiah, yaitu pertunjukan Wayang topeng Tengger

dalam rangka upacara ruwatan di Desa Wonokerso. Kecamatan Sumber, Kabupaten

Probolinggo, (2) peneliti berperan sebagai intrumen utama dalam pengumpulan data, (3)

data penelitian bersifat deskriptif berupa kata-kata dan kalimat atau bahasa, benda, dan

dokumen, (4) penelitian ini lebih mengutakan pengalaman partisipan dalam memaknai

hidup, (5) penelitian ini lebih mengutakan proses dan hasil penelitian yang berupa makna

pertunjukan Wayang topeng Tengger, (6) hasil penelitian ini merupakan hasil rekonstruksi

makna yang dipadukan dengan sumber data atau informan, dan (7) peneliti berusaha

bersifat objektif untuk menemukan kebenaran hasil penelitian.


81

Fenomena penelitian ini adalah pertunjukan Wayang topeng Tengger yang berada

di Desa Wonokerto, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo. Penelitian ini berusaha

mencari, memahami, dan menemukan makna pertunjukan Wayang topeng Tengger, yang

terkait dengan semiotik, mistik, dan nilai etnik yang terdapat dalam pertunjukan Wayang

topeng Tengger. Pertunjukan Wayang topeng Tengger merupakan refeleksi dari

kepercayaan, upacara keagamaan, dan adat-istiadat masyarakat Desa Wonokerso pada

khususnya dan masyarakat Tengger pada umumnya. Oleh sebab itu, penelitian ini

menggunakan pendekatan etnografis, yaitu pendekatan secara empiris dan teoritis yang

bertujuan untuk mendeskripsikan secara analisis holistik kebudayaan melalui penelitian

kualitatif.

Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografis untuk meneliti kebudayaan

masyarakat Desa Wonokerso, Pandansari, dan Wonosari, Kecamatan Sumber, Kabupaten

Probolinggo, seperti pertunjukan Wayang topeng Tengger, adat-istiadat, kepercayaan,

mata pencaharian, dan kondisi geografisnya. Peneliti mengadakan pengamatan dan

wawancara langsung di lapangan. Tipe etnografi yang digunakan peneliti adalah etnografi

realis, di mana peneliti berperan sebagai pengamat objektif. Dengan menggunakan

etnografi realis peneliti dapat menelaah kebudayaan yang berada di tempat tersebut yang

tetap mempertahankan ritual, mitos, tradisi, seni dengan berbagai keunikan dan mistisnya.

Kriteria etnografi yang baik mencakup; (1) identifikasi yang jelas tentang kelompok

kebudayaan, (2) spesifikasi tentang tema kebudayaan yang dipelajari, (3) deskripsi detail
82

tentang kelompok kebudayaan tersebut, (4) tema yang dihasilkan dari pemahaman tentang

kelompok kebudayaan, (4) identifikasi persoalan yang muncul di lapangan yang tarkait

dengan hubungan para peneliti dan para partisipan, watak interpretasi dari pelaporan, dan

sensitivitas serta resiprositas dalam penyusunan bersama laporan tersebut, (5) penjelasan.

Objek menyeluruh tentang bagaimana kelompok berkebudayaan tersebut berjalan, (6)

pengungkapan diri dan refleksivitas oleh sang peneliti tenang posisinya dalam riset

tersebut.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini difokuskan di Desa Wonokerso, Kecamatan Sumber,

Kabupaten Proboliggo karena desa tersebut merupakan pusat keberadaan Wayang topeng

Tengger dan tempat kediaman dalang Ki Lebari. Sedangkan lokasi pertunjukan Wayang

topeng Tengger ada di tiga desa, yaitu Desa Wonokerso, Desa Pandansari, dan Desa

Wonosari. Jarak lokasi penelitian dengan kota Probolinggo sekitar 45 km. Lokasi

penelitian ini ada di lerang Gunung Bromo, Puncak 30, yaitu puncak tertinggi Gunung

Bromo. Suhu udara sangat dingin, pada waktu siang sekitar 18 C- 25 C, pada malam hari

suhu udara sekitar 12 C- 16 C.

Untuk mencapai daerah tersebut dapat ditempuh melalui Kecamatan Sukapura atau

melalui Kecamatan Sumber. Bila melalui Kecamatan Sukapura lebih dekat, tetapi jalannya

sangat jelek dan sangat terjal yang berupa batu yang berserakan secara alamiah. Di sebelah
83

kanan dan kiri jurang yang sangat curam, ketinggian dan kecuraman bervariasi antara 50-

1000 m, yang diselimuti kabut di pagi dan sore hari, sehingga pandangan mata hanya

sekitar 50-100 m. Jalan tersebut selebar 2,5 m yang tidak bisa untuk simpangan dua mobil,

bisa dilalui mobil Cool Diesel dan truk engkel yang memuat hasil bumi, seperti sayur-

sayuran.

Peneliti pertama datang ke lokasi penelitian melalui Kecamatan Sukapura dengan

mengendarai kendaraan Nisan Trill melalui medan yang sangat berat dan menakutkan.

Jalannya berupa batu-batu alamiah yang berserakan, sampai ban mobil peneliti meletus dan

harus mengganti ban. Peneliti berangkat dari kota Probolinggo sekitar pukul 12.00 WIB

sampai di Desa Wonokerso sekitar pukul 15.30 WIB. Pada saat peneliti berkunjung ke

rumah dalang Ki Lebari, diterima secara baik dan penuh kekeluargaan. Peneliti langsung

mengadakan wawancara seputar keberadaan Wayang topeng Tengger dan kepercayaan

masyarakat. Peneliti juga mendapat informasi tentang pelaksanaan pertunjukan Wayang

topeng Tengger di Balai Desa Wonokerso yang akan diselenggarakan tanggal 25 Februari

2018, dalam rangka upacara ruwatan.

Pukul 17.00 peneliti meminta pamit pulang melaui Kecamatan Sumber. Jalan

melaui Kecamatan Sumber relatif lebih datar dan baik, bila dibandingkan dengan melalui

Kecamatan Sukapura. Jalannya berbelok-belok berbentuk Z, sangat terjal dan kecuraman

sekitar 100-1000 m, terutama di Jurang Kendil, melalui beberapa hutan jati, hutan maoni,

dan hutan pinus yang angker. Namun, suasana hujan dan waktu menjelang malam, maka
84

jalan gelap dan tertutup kabut, jarak pandang hanya sekitar 5-10 m, sehingga memakan

waktu yang relatif lama, sampai di kota Probolinggo sekitar pukul 21.00 WIB, ditempuh

sekitar empat jam. Pengumpulan data yang selanjutnya peneliti melalui Kecamatan

Sumber.

Pengumpulan data pertunjukan Wayang topeng Tengger banyak dilakukan pada

waktu malam, dari sekitar pukul 21.00 sampai pukul 05.00 WIB. Sedangkan pengamatan

dan wawancara masalah yang terkait dengan Wayang topeng Tengger, etnografi desa dan

sosial budaya masyarakat Tengger banyak di lakukan di siang hari.

C. Cara Memasuki Lokasi Penelitian

Cara memasuki lokasi penelitian untuk pengumpulan data penelitian kualitatif

dengan pendekatan etnografis ditempuh melalui dua cara, yaitu (1) cara formal dan (2)

cara nonformal. Penelitian cara formal adalah suatu prosedur memasuki lokasi penelitian

dengan cara peneliti meminta izin terlebih dahulu kepada pimpinan instansi terkait, baik di

Perguruan Tinggi maupun pimpinan daerah di tempat lokasi penelitian, seperti Bupati,

Camat, Kepala Desa, Ketua RT, dan Ketua RW.

Cara nonformal adalah suatu prosedur memasuki lokasi penelitian tanpa minta izin

kepada pimpinan instansi terkait, baik pimpinan di Perguruan Tinggi maupun pimpinan

daerah. Cara kedua ini ditempuh peneliti pada saat serve awal, peneliti langsung datang

mencari rumah dalang Ki Lebari. Sebaiknya peneliti kualitatif pada saat memasuki lokasi
85

penelitian minta izin lebih dahulu kepada pimpinan instansi baik di Perguruan Tinggi

maupun pimpinan daerah, demi keamanan peneliti yang bersangkutan.

Penelitian ini menggunakan dua cara, yaitu cara nonformal dan cara formal.

Pertama, pada saat penelitian pralapangan dalam rangka penentuan lokasi dan informan,

peneliti menggunakan secara nonformal. Peneliti langsung mencari rumah dalang Ki

Lebari. Kedatangan peneliti diterima secara baik dan penuh kekeluargaan dan dapat

menjalin hubungan kekeluargaan dengan seluruh anggota keluarganya. Peneliti mendapat

suguhan minuman dan kue sebagai simbolik keakraban kekeluargaan meskipun baru kenal

pertama. Di rumah dalang tersebut peneliti langsung mengadakan wawancara dengan

dalang Ki Lebari yang terkait dengan pertunjukan Wayang topeng Tengger, kepercayaan

masyarakat, dan sosial budaya masyarakat Tengger. Bahkan peneliti disetelkan CD tentang

pertunjukan Wayang topeng Tengger sebagai media ruwatan dan sebagai hiburan biasa.

Dengan disetelkan dua CD tersebut peneliti mengetahui gambaran awal tentang pertujukan

Wayang topeng Tengger secara jelas, sambil dijelaskan tentang tokoh dan perannya

masing-masing. Kedua, dengan menggunakan cara formal, artinya peneliti sudah meminta

izin kepada pimpinan Perguruan Tinggi dan minta izin kepada Camat Kecamatan Sumber,

Kepala Desa Wonokerso, dalang Ki Lebari, dan penanggap wayang topeng Tengger.
86

D. Sumber Data dan Data Penelitian

1. Sumber Data

Sumber data penelitian ini adalah empat pertunjukan Wayang topeng Tengger di

Desa Wonokerso, Desa Pandansari, dan Desa Wonosari, Kecamatan Sumber, Kabupaten

Probolinggo pada tanggal 25-27 Februari 2018 dan 28 Maret 2018, yaitu:

a. Pertunjukan Wayang topeng Tengger lakon ―Bethara Guru Krama‖, dalang Ki

Lebari, pada tanggal 25 Februari 2018 (malam). Pertujukan Wayang topeng

Tengger tersebut dilaksanakan di Balai Desa Wonokerso, Kecamatan Sumber,

Kabupaten Probolinggo dalam rangka upacara ruwatan keluarga Ruli, yaitu

meruwat ketiga anaknya yang disebut sendang keapit pancuran, artinya anak

pertama laki-laki, anak kedua wanita, dan anak ketiga laki-laki. Sumber data teks

pertunjukan wayang topeng Tengger satu ini diberi kode (WTT 1).

b. Pertunjukan Wayang topeng Tengger lakon ―Bethara Guru Krama‖, dalang Ki

Lebari, pada tanggal 26 Februari 2018 (malam). Pertujukan Wayang topeng

Tengger tersebut dilaksanakan di rumah keluarga Rahmat di Desa Pandansari,

Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo dalam rangka upacara ruwatan

anaknya wanita yang hanya satu, disebut ontang-anting, artinya anak wanita yang

hanya satu. Sumber data teks pertunjukan wayang topeng Tengger dua ini diberi

kode (WTT 2).


87

c. Pertunjukan Wayang topeng Tengger lakon ―Bathara Guru Krama‖, dalang Ki

Lebari dan Ki Anom Bandik, di Desa Wonosari, Kecamatan Sumber, Kabupaten

Probolinggo, pada tanggal 27 Februari 2018 (malam). Pertujukan Wayang topeng

Tengger tersebut dilaksanakan di Desa Wonosari, Kecamatan Sumber, Kabupaten

Probolinggo dalam rangka upacara ruwatan keluarga Roki, yaitu meruwat

anaknya wanita yang hanya satu disebut ontang-anting, artinya anak wanita yang

hanya satu. Sumber data teks pertunjukan wayang topeng Tengger tiga ini diberi

kode (WTT 3).

d. Pertunjukan Wayang topeng Tengger lakon ―Bethara Guru Krama‖, dalang Ki

Lebari, pada tanggal 28 Maret 2018 (malam). Pertujukan Wayang topeng Tengger

tersebut dilaksanakan di Balai Desa Wonokerso, Kecamatan Sumber, Kabupaten

Probolinggo dalam rangka upacara ruwatan keluarga Slamet Wijaya, yaitu

meruwat dua anaknya laki-laki dan perempuan yang disebut genthana-genthini,

artinya anak pertama laki-laki, anak kedua perempuan. Sumber data teks

pertunjukan wayang topeng Tengger empat ini diberi kode (WTT 4).

Pertunjukan Wayang topeng Tengger tersebut dijadikan objek penelitian

dengan alasan: (1) pertunjukan wayang topeng Tengger menarik dan unik yang

masih tetap hidup dan dipertahankan oleh masyarakat di tengah-tengah kemajuan

masyarakat di era teknologi, (2) keberadaan wayang tersebut ada di Desa

Wonokerso yang terpencil di puncak lereng gunung Bromo dan medannya sulit
88

untuk dijangkaunya. Namun, di balik kesulitan, daerah tersebut pemandangan

panoramanya sangat indah, pegunungan dengan lereng-lereng yang sangat curam,

yang ditata dengan model terasiring yang kelihatan sangat indah, dengan tanaman

sayur-sayuran yang tampak hijau dan subur, (3) Wayang topeng Tengger

merupakan refleksi kepercayaan dan adat-istiadat masyarakat Desa Wonokerso pada

khusunya dan masyarakat Tengger pada umumnya, (4) Wayang topeng Tengger

banyak mengandung semiotik atau simbol, mistik, dan nilai-nilai budaya yang

dijadikan pedoman hidup bagi masyarakat Desa Wonokerso, dan (5) wayang

topeng Tengger yang utama dipentaskan sebagai sarana ruwatan, dan (6) tokoh

Bathara Kala sangat menarik dan mistik karena pada saat orang yang memerankan

tokoh Bethara Kala memakai topeng Bethara Kala, maka mereka langsung tidak

sadar karena sudah kemasukan roh Bethara Kala, sehingga semua perilaku dan

karakternya merupakan perilaku dan karakter arwah Bethara Kala. Empat

pertunjukan Wayang topeng Tengger tersebut sebagai media ruwatan.

Sumber data lain dari informan, sepertw dalang, anggota masyarakat yang

mengetahui tentang Wayang topeng Tengger, seniman, kepala desa, carik (sekretaris

desa), dukun, dan (3) dokumen, yang berisi tentang sosial budaya masyarakat di Desa

Wonokerso.
89

2. Data Penelitian

Data penelitian ini ada tiga jenis, yaitu data (1) Pengikonan yang terkait dengan

nilai etnik, mistik, dan pragmatik dalam tuturan wayang topeng Tengger lakon ―Bethara

Kala Krama‖, (2) Pengideksan yang terkait dengan nilai etnik, mistik, dan pragmatik

dalam tuturan wayang topeng Tengger lakon ―Bethara Kala Krama‖, dan (3)

Pelambangan yang terkait dengan nilai etnik, mistik, dan pragmatik dalam tuturan

wayang topeng Tengger lakon ―Bethara Kala Krama‖.

E. Penentuan Informan

Informan memegang peranan yang sangat penting dalam penelitian kualitatif

dengan pendekatan etnografis, karena akan memberikan informasi atau data yang

dibutuhkan oleh peneliti kualitatif. Peneliti kualitatif dengan pendekatan etnografis, setelah

menentukan objek dan lokasi penelitian, maka langkah yang berikutnya adalah menentukan

informan.

Penentuan informan dapat dilakukan setelah peneliti menentukan objek dan lokasi

penelitian. Informan pertama yang ditemui adalah dalang Ki Lebari. Dalang Ki Lebari

merupakan dalang sonior di Desa Wonokerso yang memiliki pengetahuan yang sangat luas

tentang Wayang topeng Tengger dan sekaligus sebagai sesepuh desa yang sangat disegani.

Dalang Ki Lebari dijadikan informan utama atau informan kunci.


90

Penentuan informan ini menggunakan teknik ―snowball sampling‘‘. Penentuan

informan dalam penelitian kualitatif berfungsi untuk mendapatkan informasi yang

maksimum yang dibutuhkan peneliti. Oleh karena itu, orang yang dijadikan informan

sebaiknya yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Mereka menguasai atau memahami mitos di tempat tinggalnya.

b. Mereka sedang berkecimpung atau terlibat dalam kegiatan upacara adat.

c. Mereka mempunyai cukup waktu untuk diwawancarai.

d. Mereka tidak cenderung menyampaikan informasi hasil kemasannya sendiri.

Penelitian ini memilih informan yang mempunyai wawasan tentang Wayang

topeng Tengger dan ruwatan di desa Wonokerso. Informan yang dipilih tersebut

mempunyai beberapa kriteria seperti (1) penduduk asli, (2) dewasa atau sesepuh desa

setempat, (3) mempunyai pengetahuan yang luas tentang Wayang topeng Tengger,

legenda,cerita, mitos, kesenian di daerah masing-masing, (4) sehat jasmani dan rohan, dan

(5) tokoh masyarakat.

Informan penelitian ini adalah (1) dalang Wayang topeng Tengger Ki Lebari

sebagai informan utama, (2) pemain Wayang topeng Tengger, (3) dukun di desa setempat,

(4) masyarakat, dan (5) tokoh masyarakat, seperti Kepala Desa dan Sekretaris Desa atau

Carik.
91

F. Teknik Pegumpulan Data

Metode pengumpulan data penelitian kualitatif tidak dapat dilepaskan dengan

metode memasuki lokasi penelitian, metode analisis data, interpretasi data, dan penulisan

laporan penelitian.

Teknik pengumpulan data penelitian ini menggunakan teknik (a) observasi, (b)

wawancara, (c) perekaman, (d) pencatatan, (e) dokumentasi. Kelima teknik tersebut akan

dijelaskan satu per satu sebagai berikut:

1. Observasi atau Pengamatan

Observasi atau pengamatan merupakan salah satu alat penting untuk pengumpulan

data kualitatif. Mengamati berarti memperhatikan fenomena di lapangan sesuai fokus

penelitian melalui lima panca indra peneliti dengan bantuan media alat rekaman HP dan

video untuk merekam hasil pengamatan, seperti pertujukan Wayang topeng Tengger,

seting penelitian, fenomena sosial budaya, dan geografis desa Wonokerso.

Ada empat jenis pengamatan di antaranya, (1) partisipasi sempurna, (2) partisipasi

sebagai pengamat, (3) nonpartisipasi/ pengamat sebagai partisipan, dan (4) pengamat

sempurna. Peneliti berperan sebagai partisipasi pengamat. Sebagai seorang pengamat

yang baik membutuhkan keterampilan yang istimewa dalam pengumpulan data yang

memungkinkan dapat mengetahui potensi kebohongan dari informan yang telah

diwawancarai, memiliki sifat sensitif terhadap data yang diperoleh, dan dapat

menangkap makna data sesuai dengan konteks.


92

Tahap pertama, peneliti datang langsung ke tempat penelitian yaitu, Desa

Wonokerso, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo. Perjalanan menuju ke lokasi

penelitian tersebut sangat sulit medannya. Jalannya sangat menanjak dan terjal penuh

dengan batu-batu yang berserakan. Di sebelah kanan dan kiri jurang yang sangat curam.

Dalam perjalanan, peneliti sambil mengamati situasi geografis dan sosial budaya

masyarakat Tengger, dengan bantuan alat rekam tostel dan HP. Suasana panorama alam

yang sangat indah, penuh dengan tanaman sayur-sayuran, seperti klobis, kentang, tomat,

dan brambang. Di sebelah kanan kiri juga tampak gunung-gunung yang menjulang

tinggi penuh dengan beberapa jenis tanaman, seperti pohon cemara dan pohonn jati,

yang diselimuti kabut berwarna putih, semakin menambah keindahan alam pegunungan

Tengger dan Semeru.

Lokasi rumah dalang Ki Lebari terletak di puncak lereng gunung Semeru, peneliti

jalan kaki menaiki lereng gunung menuju ke rumahnya. Setelah sampai di rumah dalang

Ki Lebari, peneliti diterima dengan baik oleh isterinya. Beberapa menit kemudian anak

dalang Ki Lebari dan dalang Ki Lebari menemui peneliti. Sambil menikmati minuman

dan kue, peneliti melakukan wawan cara dengan dalang Ki Lebari tentang masalah

pertunjukan Wayang topeng Tengger dan sosial budaya masyarakat Desa Wonokerso.

Teknik observasi digunakan untuk mengamati pertunjukan Wayang topeng

Tengger, sosial budaya masyarakat Desa Wonokerso, dan kondisi alam atau geografis

seputar di Desa Wonokerso. Teknik pengamatan merupakan metode yang paling tepat
93

untuk pengumpulan data penelitian kualitatif, khususnya dengan pendekatan etnografis.

Langkah-langkah yang dipersiapkan peneliti untuk melakukan pengamatan adalah

sebagai berikut:

a. Menentukan lokasi yang akan diamati, seperti tempat pertunjukan Wayang

topeng Tengger, seting penelitian, kondisi sosial budaya masyarakat, aktivitas

dalang dan pengrawit pada saat pertunjukan Wayang topeng Tengger, kondisi

alam atau geografis Desa Wonokeso dan sekitarnya.

b. Mengidentivikasi informan dan objek benda yang akan diamati, seperti informan,

seting penelitian, lokasi peneleitian, kondisi sosial budaya masyarakat, dan

kondisi alam atau geografis Desa Wonokerso.

c. Peneliti berperan sebagai partisipan pengamat, seperti ikut mengangkut peralatan

wayang dan menata panggung. Namun, kadang-kadang sebagai pengamat.

d. Menyiapkan alat perekam, HP, Tostel, dan Hendicam untuk merekam data yang

sesuai dengan fokus penelitian. Dalam pengamatan dibantu teman (Wahyu,

S,Pd., M.Pd.) dalam merekam berbagai data yang dibutuhkan oleh peneliti sesuai

fokus penelitian berdasarkan permintaan peneliti.

e. Merekam pertunjukan Wayang topeng Tengger, aktivitas penonton atau

masyarakat dan data lain sesuai fokus penelitian.

f. Menyiapkan bloknot dan bolpoin sebagai alat untuk mencatat hasil pengamatan

dan wawancara.
94

g. Pada saat peneliti melakukan pengamatan, peneliti minta kepada dalang untuk

memperkenalkan kepada tokoh masyarakat dan masyarakat agar terjadi

hubungan kekeluargaan yang baik, agar tidak menimbulkan kecurigaan kepada

masyarakat, dan bersikap sopan.

h. Setelah selesai melakukan perekaman, peneliti mengucapkan terima kasih kepada

dalang beserta krunya, penanggap atau tuan rumah, dan oran-orang yang telah

membantu pelaksanaan perekaman.

i. Membuat depkripsi secara naratif hasil pengamatan, baik selama di lokasi

maupun di rumah.

2. Wawancara

Wawancara adalah suatu prosedur atau langkah gegiatan peneliti mengajukan

pertanyaan kepada informan tentang permasalahan yang diteliti sesuai fokus penelitian

yang telah ditentukan sebelumnya ((Creswell, 2015b, p.227). Peneliti pada saat

melakukan wawancara memperhatikan beberapa hal, yaitu (1) waktu untuk wawancara,

diusahakan pada saat informan istirahat, (2) jangan terlalu lama untuk mewawancarai,

(3) jangan menanyakan hal yang terlalu sensitif, (4) jangan menggurui informan, (5)

jangan membantah jawaban informan, (6) tidak boleh menyela pembicaraan informan

(Sudikan, 2013, p.177).

Pada saat peneliti akan melakukan wawancara kepada informan, peneliti telah

menyiapkan perencanaan langkah-langkah sebagai berikut:


95

a. Menyiapkan daftar pertanyaan secara terbuka sesuai fokus penelitian, yaitu tentang

pertunjukan Wayang topeng Tengger, perkembangan Wayang topeng Tengger,

fungsi Wayang topeng Tengger, kepercayaan masyarakat Tengger, sosial budaya

masyarakat Tengger, dan penanggap Wayang topeng Tengger.

b. Mengidentifikasi dan menentukan informan yang akan diwawancarai, yaitu

dalang, tokoh masyarakat, peminat Wayang topeng Tengger, budayawan, dan

seniman.

c. Menentukan tipe wawancara, yaitu dengan wawancara secara langsung dengan

informan dan melalui telepon HP.

d. Menyiapkan alat perekam, seperti HP, toltel, dan Hendicam untuk merekam data

pada saat wawancara dengan informan.

e. Menyiapkan bloknoote dan bolpoin sebagai alat untuk mencatat hasil wawancara

sebagai pendamping atau pelengkap hasil perekaman.

f. Menentukan lokasi wawancara berdasarkan persetujuan bersama antara peneliti

dan informan. Peneliti bersifat aktif mendatangi tempat informan ke rumahnya

atau di kantor.

g. Minta izin kepada informan untuk melalukan wawancara dan merekam

wawancara.

h. Berlaku sopan dan etis pada saat wawancara.


96

i. Mengucapkan terima kasih kepada informan yang telah bersedia diwawancarai

dan minta maaf karena telah menyita waktu dan menggangu informan.

Wawancara dilakukan secara mendalam dengan format bebas yang bersifat

kekeluargaan. Penelitian ini menggunakan teknik wawancara langsung dengan waktu

dan tempat yang berbeda. Wawancara juga menggunakan teknik wawancara

berstruktur dan wawancara tak berstruktur. Teknik wawancara ini digunakan untuk

mengumpulkan data sesuai fokus penelitian, yaitu tentang pertunjukan Wayang

topeng Tengger, sejarah Wayang topeng Tengger, kondisi perkembangan Wayang

topeng Tengger, kepercayaan masyarakat Tengger, fungsi Wayang topeng Tengger,

simbol dan makna topeng wayang Tengger, jenis dan makna sesaji pada saat

pertunjukan wayang topeng Tengger, dan sosial budaya masyarakat Tengger,

khususnya masyarakat Desa Wonoikerso.

Wawancara juga menggunakan media HP untuk menanyakan informsi yang

singkat, seperti kapan ada pertunjukan wayang topeng Tengger dan menanyakan jam

pelaksanaan pertunjukan awyang topeng Tennger, dan klarifikasi istilah dan makna

simbol yang terkait dengan pertunjukan wayang topeng Tengger.

3. Perekaman

Teknik perekaman adalah suatu cara merekam hasil pengumpulan data pada saat

peneliti mengunpulkan data dengan teknik pengamatan dan wawancara.Teknik

perekaman sebenarnya hanya sebagai alat bantu pada saat peneliti melakukan
97

pengamtan dan perekaman data penelitian. Teknik perekaman yang digunakan peneliti

menggunakan teknik perekaman secara alamiah, artinya peneliti merekam pertunjukan

Wayang topeng Tengger yang diadakan masyarakat secara alamiah sesuai dengan

kebutuhan dan kepercayaan masyarakat sebagai media ruwatan, tanpa campur tangan

peneliti pada saat melaksanakan pertunjukan Wayang topeng Tengger .

Teknik perekaman ini digunakan untuk merekam pertunjukan Wayang topeng

Tengger, kondisi sosial budaya masyarakat Tengger, lokasi penelitian, seting penelitian,

aktivitas dalang dan krunya, kondisi alam atau gegrafis Desa Wonokerso, dan daerah

sekitarnya yang relevan dengan fokus penelitian. Perekaman dilakukan dengan alat HP,

tostel, dan hendicam. Pada saat perkaman pertunjukan Wayang topeng Tengger dibantu

teman (Wahyu, S.Pd., M.Pd.).

4. Pencatatan

Teknik pencatatan merupakan cara mencatat hasil pengamatan dan hasil wawancara

dan sebagai alat bantu atau pelengkap data yang sudah direkam. Teknik ini merupakan

teknik yang sering digunakan peneliti yang tidak menggunakan perekaman. Teknik

pencatatan hanya membutuhkan bloknote atau buku tulis dan bolpoin. Dalam penelitian

ini peneliti menggunakan teknik pencatatan sebagai variasi atau pelengkap untuk

mengantisipasi jika file yang sudah terekam terhapus, tidak jelas, hilang, dan rusak atau

hal-hal yang belum masuk dalam rekaman.


98

Peneliti tidak hanya mengandalkan teknik perekaman, juga menggunakan teknik

pencatatan karena dengan adanya catatan data yang diperoleh menjadi lebih banyak dan

aman jika sewaktu-waktu rekaman tersebut hilang atau terhapus. Teknik pencatatan

dilakukan pada saat peneliti melakukan pengumpulan data dengan teknik pengamatan

dan wawancara tentang hal-hal yang terkait dengan fokus penelitian, seperti yang telah

dijelaskan di depan di teknik pengamatan dan teknik wawancara.

5. Teknik dokumentasi

Teknik dokumen adalah cara pengumpulan data dari bahan-bahan dokumen seperti

etnografi desa, hasil pemotretan, hasil rekaman pertunjukan Wayang topeng Tengger

dengan HP dan video atau hendicam. Penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi

untuk mendapatkan bukti data, seperti rekaman video pertunjukan Wayang topeng

Tengger, foto kondisi sosial budaya masyarakat, lokasi pertunjukan Wayang topeng

Tengger, informan, kondisi alam atau geografis Desa Wonokerso dan daerah di

sekitarnya yang relevan dengan fokus penelitian, sehingga bukti data lebih valid dan

kuat.

G.Teknik Analisis Data

Teknik analisis data penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu jenis analisis data dan

prosedur atau tahapan analisis data. Kedua hal tersebut dijelaskan satu per satu sebagai

berikut:
99

1. Jenis Analisis Data

Dalam proses penemuan makna data yang berupa teks pertunjukan Wayang

topeng Tengger, data hasil wawancara, dan data hasil pengamatan melalui proses

hermeneutika objektif. Hermeneutika objektif adalah proses interpretasi data secara

objektif dalam rangka menemukan makna data secara objektif, yang dimulai dari

pemahaman data dari bagian ke keseluruhan dan dari keseluruhan menuju bagi-bagian

secara bergantian dan terus menerus untuk menemukan makna data secara mendalam.

Prosedur analisis data dimulai dari analisis berangkai dan analisis terinci.

Analisis berangkai dimulai dari membagi teks ke dalam topik-topik tertentu dan

dianalisis dalam unit-unit yang lebih kecil serta diinterpretasi untuk menemukan makna

data sehngg maknanya jelas. Analisis secara terinci dengan membagi teks secara

berangkai, tetapi terpisah-pisah dalam bentuk subbab dan subsubbab, kemudian

dinterpretasi untuk menemukan makna secara kontektual dengan mempertimbangkan

makna internal dan eksternal (Ibrahim ed. 2009,p.233-234).

Yang ditulis dalam disertasi ini adalah makna data hasil interpretasi data yang

didukung data.

Proses analisis data penelitian ini sudah dimulai sejak peneliti memperoleh data

hasil observasi awal melalui prapenelitian dan wawancara dengan dalang Wayang

topeng Tengger yang bernama Ki Lebari di Desa Wonokerso, Kecamatan Sumber,

Kabupaten Propolinggo dan beberapa informan lain. Analisis data dalam penelitian
100

kualitatif tidak dapat dipisahkan dengan proses pengumpulan data. Keduanya

dilakukan secara bersamaan, baik selama proses pengupulan data maupun pada saat

analisis data. Hanya pada saat pengumpulan data difokuskan pengumpulan data, tetapi

juga dilakukan proses analisis data. Sedangkan pada saat pengumpulan data di

lapangan sudah selesai, difokuskan pada proses analisis data. Jadi, dalam penelitian

kualitatit antara pengumpulan data dan analisis data tidak dapat dipisahkan secara

diskrit karena tidak ada batas yang tegas antara keduanya.

2. Prosedur Analisis Data

Secara umum, prosedur atau tahapan analisis data penelitian ini sudah dimulai

sejak peneliti melakukan studi pralapangan untuk melakukan observasi lapangan dan

menentukan informan awal. Pemilihan informan awal dapat membukakan pintu untuk

mengenal seluk beluk Wayang topeng Tengger yang diadakan hanya pada waktu

ruwatan. Tahap selanjutnya wawancara langsung dengan informan kunci, yaitu dalang

Ki Lebari. Berdasarkan wawancara tersebut peneliti mendapatkan gambaran secara

realistis tentang sejarah dan keberadaan Wayang topeng Tengger.

Secara spesifik, prosedur analisis data penelitian ini menggunakan tahapan

yang telah dikembangkan oleh Creswell. Tahapan tersebut dianggap sangat cocok

untuk proses tahapan analisis data penelitian Wayang topeng Tengger. Tahapan

tersebut dimodivikasi dan disesuaikan dengan data pertunjukan Wayang topeng

Tengger. Adapun tahapan analisis data penelitian ini adalah sebagai berikut:
101

a. Mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis


Dalam tahapan ini peneliti melakukan langkah-langkah sebagai berikut: (1)

transkripsi data pertunjukan Wayang topeng Tengger dari bahasa Jawa ragam

lisan ke tulisan, (2) menerjemahkan teks pertunjukan wayang topeng Tengger

dari bahasa Jawa ngoko dan Krama Madya ke dalam bahasa Indonesia, (3)

mentranskrip data hasil wawancara yang terkait dengan fokus penelitian, (4)

menyiapkan dokumen foto-foto pertunjukan wayang topeng Tengger, sesaji,

setting penelitian, dan geografis.

b. Membaca keseluruhan teks pertunjukan Wayang topeng Tengger dan

data yang terkait

Tahapan ini peneliti membaca keseluruhan teks pertunjukan Wayang

topeng Tengger, baik yang berupa hasil transkripsi maupun teks terjemahan

wayang topeng Tengger dan hasil transkripsi wawancara.

c. Mengklasifikasi data berdasarkan kategori-kategori

Tahapan ini peneliti melakukan klasifikasi data berdasarkan fokus

penelitian. Data-data diklasifikasi berdasarkan semiotik, mistik, dan nilai etnik

atau nilai budaya. Dengan klasifikasi ini peneliti lebih mudah melakukan

interpretasi data secara sistematis.


102

d. Membuat coding untuk mendeskripsikan data yang akan dianalaisis

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, sehingga sebelum data

dianalisis perlu dibuat coding secara manual, berdasarkan fokus, subbab dan

subsubbab (Saldana, 2009. p, 1 dan 11), baik data teks pertunjukan wayang

topeng Tengger maupun data hasil wawancara. Data teks pertunjukan wayang 1,

2, 3, dan 4, diceri kode (WTT1, WTT2, WTT3, dan WTT4). Data hasil

wawancara dari informan diberi kode nama informan, tanggal, bulan, tahun, dan

tempat wawancara (Ki Lebari, 26-2-208, di Desa Wonokerso).

Tahapan ini peneliti membuat coding setiap masalah sesuai dengan fakus

penelitian, baik data teks transkripsi maupun teks terjemahan pertunjukan

Wayang topeng Tengger. Data teks pertunjukan wayang topeng Tengger diberi

kode sesuai urutan fokus dan dikuti nomor urut data 01,02,3,04, dan seterusnya.

Contoh; Fokus 1 ikon, diberi kode (F1). Subfokus 1, ada subfokus ikon tipologi,

diberi kode (F1.1.01, F1.1.02 F1.1.03, F1.1.04 dan seterusnya), subfokus 2 ikon

diagramatik, diberi kode (F1,2.01, F1,2.02 F1,2.03 F1,2.04 dan seterusnya), dan

subfokus 3 ikon metafor, diberi kode (F1,3.01, F1,3.02, F1,3.03,) F1,3.04 dan

seterusnya). Fokus 2 indeks, diberi kode (F2), diikuti nomor urut data, seperti

(F2.01, F2.02,) F2.03, F2.04, dan seterusnya. Fokus 3, diberi kode (F3), dikuti

nomor urut data, seperti (F3.01, F3.012, F3.03, F3.04, dan seterusnya).
103

Setiap data yang dikutip dari pertunjukan wayang topeng Tengger 1, 2,

3, dan 4, diberi kode (WTT 1, WTT 2,) WTT 3, dan WTT 4), dikuti kode

adegan 1,2,3,4, dan seterusnya, diikuti baris data teks yang dikutif 5—15).

Contoh kutipan data sebagai berikut:

Data F1.1.01

Jarene ndhik Desa Wanakersa ana arek nandang kala, yaiku nurunake
dhalang pangruwatan kang wis turun kaping pitu. Yaiku bakal ngeruwat
siponang jabang bayi nandung kala. Mula sira kabeh kudu ndherekake
tindak lakune pun Kakang.
(Katanya di Desa Wonokersa ada anak sedang dirundung keburukan,
yaitu mendatangkan dalang untuk ruwatan yang ketujuh. Yaitu bakal
meruwat si anak yang dirundung keburukan. Maka dari itu kalian semua
harus mengikuti perjalananku) (WTT 1.2. 45--65).

Kode F1.1.01 bermakna F1, Fokus 1, 1 bermakna ikon tipologi, 01

bermakna nomor urut data. Kode data (WTT 1.2. 45--65), WTT 1 bermakna

pertunjukan wayang topeng Tengger 1, 2 bermakna adegan 2, 45—65

bermakna baris teks data yang dikutip, antara 45—65).

e. Menginterpretasi data pertunjukan Wayang topeng Tengger, hasil

wawancara, dan pengamatan

Semua data yang sesuai dengan fokus penelitian, diinterpretasi dalam rangka

menemukan makna data. Dalam proses interpretasi dilakukan secara

hermeneutik, yaitu dimulai dari pemahaman data yang berupa teks transkripsi,
104

teks terjemahan, dan data dokumen foto yang terkait dengan pertunjukan

Wayang topeng Tengger.

f. Mendeskripsikan makna data secara naratif dalam bentuk draf disertasi

Semua makna data hasil interpretasi data penelitian ini yang terkait dengan

fokus penelitian dideskripsikan secara naratif berdasarkan urutan fokus

peneltian, yaitu simbol sosio budaya dalam pertunjukan Wayang topeng

Tengger, yang mencakup ikon, indeks, dan simbol, prakmatik dan nilai-nilai

budaya dalam pertunjukan Wayang topeng Tengger.

H.Teknik Pengujian Keabsahan Data

Teknik pemeriksaan keabsahan data penelitian ini menggunakan beberapa cara

sebagai berikut: (1) melakukan trianggulasi, (2) teknik peer debriefing (keteralihan), (3)

teknik member check (ketergantungan), dan (4) teknik audit trial (kepastian), (5)

memperlama waktu penelitian di lapangan dalam rangka memahami berbagai fenomena,

lokasi penelitian, dan informan, (6) membuat deskripsi hasil penelitian secara lengkapdan

mendalam, (7) merefleksi diri terhadap hasil penelitian dengan mengklarifikasi hasil

penelitian yang kemunghkinan bias atau negatif (Creswell, 2015b, p.286-288).

Teknik trianggulasi dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : (1)

trianggulasi sumber data, teknik ini digunakan untuk mencari data dari sumber informasi,

yaitu orang yang terlibat langsung dengan objek kajian, (2) trianggulasi pengumpulan data,

teknik ini digunakan untuk mencari data dari banyak sumber informan, (3) trianggulasi
105

pengumpulan data meliputi,observasi, wawancara, perekaman, pencatatan, dan dokumen,

dan (4) trianggulasi teori, digunakan dengan cara mengkaji berbagai teori yang relevan.

Teknik peer debriefing, dilakukan untuk memeriksa data dan menguji hasil analisis

data dengan cara pemeriksaan sejawat melalui Focus Group Discusion. Untuk menguji

hasil kebenaran dan ketepatan, hasil penelitian ini dikonsultasikan kepada pembimbing

secara bertahap hingga hasilnya dianggap benar.

Meminta bantuan auditor ahli untuk memeriksa hasil penelitian/draft disertasi, yaitu

Prof. Dr. Haris Supratno, seorang ahli sosiologi sastra/seni dan wayang Sasak dan Prof. Dr.

Ujang Pairin, M.Pd., seorang ahli sosiolinguistik/ bahasa Jawa untuk memeriksa bahasa dan

terjemahan teks pertunjukan Wayang topeng Tengger.

Teknik member check, yaitu dengan cara mengecek data yang telah diperoleh dari

informan di lapangan. Teknik audit trial digunakan untuk menguji keakuratan data melalui

pemeriksaan data mentah (hasil observasi, wawancara, catatan lapangan, hasil rekaman,

dan foto) hasil analisis data, hasil sintesis data dan pencatatan prosesi yang digunakan

untuk keabsahan data.

Memperlama waktu penelitian dalam rangka untuk memahami berbagai fenomena

sosial dan budaya yang ada di lokasi penelitian, setting penelitian, dan informan penelitian,

sehingga peneliti dapat menyajikini atau mendeskripsikan hasil penelitian lebih valid.

Membuat deskripsi hasil penelitian secara lengkap dan mendalam, sehingga dapat

menggambarkan hasil dan setting penelitian lebih realistis. Melakukan refleksi diri terhadap
106

hasil penelitian terhadap hal-hal yang kemungkinan bersifat bias, sehingga hasil penelitian

benar-benar ebjektif dan valid.

I. Teknik Transkripsi

Transkripsi adalah pemindahan teks dari bentuk lisan ke bentuk tulisan, seperti teks

hasil rekaman pertunjukan Wayang topeng Tengger ke dalam bentuk tulisan. Dalam proses

pemindahan transkripsi peneliti tidak mengadakan perubahan dari teks lisan ke tulisan agar

teks tulisannya tidak berbeda jauh dari teks lisannya.

Namun, dalam proses pemindahan tersebut peneliti mengadakan interpretasi atau

penyesuaian ejaan, seperti pemberian tanda baca titik, koma, dan huruf besar, sehingga teks

tulis mudah dipahami pembaca. Proses pemindahan tersebut menggunakan prinsip

pemindahan secara setia, karena apabila dalam teks lisan ada kata-kata yang salah ucap,

kata tidak jelas, idiom, dan dialek ikut dipindahkan ke dalam teks tulis agar hasil teks tulis

mendekati teks aslinya.

Konsep transkripsi tersebut digunakan sebagai pedoman untuk mentranskripsikan

teks pertunjukan wayang topeng Tengger yang beruta teks lisan dengan menggunakan

bahasa Jawa Ngoko dan Krama Madya yang telah didapat melalui perekaman pada saat

pertunjukan Wayang topeng Tengger.

Ejaan yang digunakan dalam transkripsi teks pertunjukan Wayang topeng Tengger

yang menggunakan bahasa Jawa ragam lisan ngoko dan Krama Madya ke tulisan

berpedoman pada Ejaan Bahasa Jawa.


107

J. Teknik Terjemahan

Kata penerjemahan berasal dari kata bahasa Inggris translition, yaitu proses

pengalihan makna dari satu bahasa ke bahasa yang lain, seperti dari bahasa Jawa ke bahasa

Indonesia. Pengalihan dari bahasa pertama ke bahasa kedua harus mempertahankan

maknanya, sedangkan bentuknya boleh berubah. Dalam proses penerjemahan juga harus

memperhatikan makna kontekstual, yaitu sesuai dengan situasi dan kondisi, latar sosial, dan

latar budaya. Penerjemahan ada dua, yaitu penerjemahan secara harafiah dan penerjemahan

secara idiomatik. Penerjemahan secara harafiah adalah penerjemahan yang berdasarkan

pada bentuk atau kata demi kata.

Terjemahan ada dua cara, yaitu cara lama dan cara baru. Cara lama penerjemah

berusaha untuk menitik beratkan pada bentuk berita dan berusaha mengembalikan ciri

bahasa asli seperti kosa kata, irama, istilah, dan strukturnya. Sedangkan penerjemahan

secara baru, penerjemah berusaha menangkap makna atau pesan dari bahasa sumber.

Dalam proses penerjemahan, peneliti berpedoman pada konsep Larson dan Sadtono,

yaitu dengan menggunakan cara idiomatik. Penerjemaham secara idiomatik adalah proses

pengalihan makna teks bahasa sumber yaitu bahasa Jawa dialek Tengger (campuran bahasa

Jawa ngoko, krama madya, dan kama inggil) ragam lisan ke bahasa Indonesia ragam baku.

Teknik penerjemahan teks asli diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Teks asli bahasa

Jawa dialek Tengger ditulis miring. Sedangkan terjemahannya bahasa Indonesia di bawa

teks asli ditulis tegak ada di dalam kurung. Contoh sebagai berikut:
108

Data F1.1.01

Yen sira pada ndherekake tindak lakune pun Kakang bakal tumuju ing Desa
Wanakersa, mula kanthi ing mengko bakal mlebu ana sakjerone wana jeri baya. Wana
jeri baya pakewa papan kang gawat kliwat, sing ora kena diambah marang titahe
jalma manungsa….
(Kalau kalian semua mengikuti langkahku menuju Desa Wonokerso, maka nanti akan
masuk ke dalam hutan yang penuh bahaya yang tidak terjamah manusia ….) (WTT
1.2.75—95).

Ejaan yang dipakai dalam proses terjemahan teks wayang topeng Tengger yang

menggunakan bahasa Jawa ragam lisan Ngoko dan Krama Madya ke dalam bahasa

Indonesia berpedoman pada Ejaan Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Pembina

dan Pengembangan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


109

K. Alir Penelitian
Bagan 2
SIMBOLISASI SOSIOBUDAYA DALAM WAYANG TOPENG
TENGGER LAKON BETHARA GURU KRAMA

Fokus 1 Fokus 2 Fokus 3


pelambangan
pengikonan nilai pengideksan nilai etnik dan
etnik dan mistik nilai etnik dan mistik dalam
dalam tuturan mistik dalam tuturan wayang
wayang topeng tuturan wayang topeng Tengger
Tengger lakon topeng Tengger lakon Bethara
Bethara Kala lakon Bethara Kala Krama.
Krama Kala Krama

Antropologi Sastra Pragmatik Semiotika

Sumber Data
Pertunjukan Wayang Topeng Tengger
Lakon “Bethara Guru Krama”

Data Penelitian
Pengikonan, Pengindekan, Pelambangan

Teknik Teknik Analisis Teknik Keabsahan


Pengumpulan Data Data Data
Pengamatan, Mengolah,memba Triangulasi, FGD,
Wawancara, ca,mengklasifikasi, Member Chek,
perekaman,Dokum membuat,mengint Pemeriksaan Pakar
entasi, Transkripsi erpretasi

Temuan Proposisi:
1.Wayang topeng Tengger sebagai refleksi sosiobudaya masyarakat pada umumnya.
2.Wayang topeng Tengger sebagai cerminan hubungan cerita masa lampau dengan
masa sekarang.
3.Cerita Bethara Guru Krama merupakan cerminan dari budaya suku Tenger.
110

BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Wayang topeng Tengger merupakan salah satu kebudayaan masyarakat

Tengger yang sampai saat ini masih bisa eksis di tengah-tengah perkembangan

masyarakat di era revolusi industri 4.0 karena masyarakat Tengger sangat

memegang teguh hasil warisan budaya nenek moyangnya dan sangat erat

hubungannya dengan kepercayaan masyarakat Tengger. Masyarakat Tengger

sampai saat ini masih percaya kepada keberadaan dewa-dewa, seperti Bethara

Guru, Bethara Narada, Bethara Kala, roh nenek moyangnya, seperti Joko Seger,

Rara Anteng, percaya kepada tempat-tempat tertentu, benda- benda tertentu ada

penghuninya.

Masyarakat Tengger sampai saat ini juga masih percaya kepada keberadaan

Bethara Kala yang tinggal di Puncak B29. Makanan Bethara Kala adalah manusia

yang mengandung kala, seperti antara lain, anak ontang-anting, anak pancuran

diapit sendang, anak sedang diapit pancuran, anak pandawa lima, orang yang

berjalan di waktu bedhuk tidak istirahat, orang yang memasak dandangnya rubuh,

dan orang yang membangun rumah belum selesai sampai payonnya. Orang –orang

tersebut akan menjadi makanan Bethara Kala kalau tidak diruwat. Oelh sebab itu,

masyarakat Tengger bila mempunyai anak atau orang yang mengandung kala

tersebut harus diruwat agar hidupnya selamat. Bila oramg-orag tersebuttidak dirwat,
111

menurut kepercayaan masyarakat Tengger akan menjadi makanan Bethara Kala,

hidupnya tidak akan bahagia, bila bekerja tidak akan sukses, dan rejekinya akan

sulit.

Agar orang-orang yang mengandung kala tersebut hidupnya selamat, bahagia,

dan sukses dan tidak menjadi makanan Bethara Kala, maka perlu diruwat. Pada saat

mengadakan upacara ruwatan menggunakan media pertunjukan wayang topeng

Tengger.Upacara ruwatan bisa dilaksanakan secara individu bagi keluarga yang

kaya. Bisa juga dilaksanakan secara kelompok tiga atau empat keluarga bagi

keluarga yang tidak mampu. Upacara ruwatan bisa juga dilaksanakan tanpa media

pertunjukan wayang topeng Tengger, tetapi menggunakan media topeng Bethara

Kala. Namun, yang melakukan tetap dalang wayang topeng Tengger.

Pertunjukan wayang topeng Tengger banyak mengadung simbolik, mistik,

prakmatik, dan nilai budaya yang terkait dengan sosiobudaya kehidupan masyarakat

Tengger. Oleh sebab itu, pertunjukan wayang topeng Tengger ini dianalis dengan

pendekatan etnografis, antropologi sastra, prakmatik, dan nilai budaya secara

terintegratif. Teori yang digunakan untuk menganalisis pertunjukan wayang topeng

Tengger ini menggunakan teori payungnya adalah teori semotiknya Pierce dan

didukung dengan teori antropologi sastra, prakmatik, dan teori nilai.


112

Analisis disertasi ini difokuskan pada (1) pengikonan yang terkait dengan

nilai etnik, mistik, dan pragmatik dalam wayang topeng Tengger lakon Bethatara

Guru Krama, (2) pengindekan yang terkait dengan nilai etnik, mistik, dan pragmatik

dalam wayang topeng Tengger lakon Bethatara Guru Krama dan (3) pelambangan

yang terkait dengan nilai etnik, mistik, dan pragmatik dalam wayang topeng

Tengger lakon Bethatara Guru Krama. Ketiga aspek tersebut dijelaskan satu per satu

sebagai berikut:

A. Pengikonan yang terkait dengan nilai etnik, mistik, dan pragmatik dalam
tuturan wayang topeng Tengger lakon Bethara Kala Krama

Pengikonan adalah proses pembentukan ikon dalam tuturan dalang dalam

pertunjukan wayang topeng Tengger. Pada Bab II telah dijelaskan bahwa ikon

adalah hubungan antara tanda dan penandanya yang mempunyai kemiripan. Dalam

pertunjukan wayang topeng Tengger banyak ditemukan ikon. Ikon tersebut

mencakup tiga jenis, yaitu (1) ikon tipologi, (2) ikon diagramatik dan (3) ikon

metaforis. Ketiga jenis ikon tersebut dijelaskan satu per satu sebagai berikut:

1. Ikon tipologi

Ikon tipologi adalah tanda yang mengacu pada kemiripan spesial, seperti

tanda gunung, hutan, dan foto. Hubungan antara tanda dengan penandanya

mempunyai kemiripan. Berdasarkan identivigasi data pada 4 pertunjukan wayang

topeng Tengger, ditemukan 11 ikon tipologi, yaitu (a) Wana Jeribaya, (b) naik
113

gunung dan turun tebing (c) Pedukuhan Karang Kletek desa Klampis Ireng, (d)

burung dara putih, (e) lembu (f) gigi atau suing Anjar Kala (g) selamatan pitu, (h)

nandur palawija katon ijo royo, ana ing puncake, (i) Puncak B29, Randu Pitu, dna

Randu Sanga, (j) jabang banyine Putusin, Lulik, Dwi Lestari, Luki Mustika Aji,

Luisdan (k) nyambut damel tetanen, mikul pacul dhateng tegal pasetrane.

Kesebelas aspek tersebut dijelaskan satu per satu sebagai berikut:

a. Wana Jeribaya

Dalam pertunjukan wayang topeng Tengger mengandung ikon tipologi.

Ikon tipologi Wana Jeribaya tersebut merupakan tanda yang memiliki

kemiripan dengan penandanya, yaitu alas yang sangat angker yang tidak bisa

dimasuki manusia. Siapa yang masuk alas tersebut akan mati. Oleh sebab itu,

bila seseorang akan masuk alas Jeribaya harus minta izin kepada yang

menunggui dan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selamat dari

segala bahaya. Hal tersebut tampak pada data sebagai berikut:

Data F1.1.01

Yen sira pada ndherekake tindak lakune pun Kakang bakal tumuju ing
Desa Wanakersa, mula kanthi ing mengko bakal mlebu ana sak jerone
Wana Jeribaya.Wana Jeribaya pakewa papan kang gawat kliwat,
sing ora kena diambah marang titahe jalma manungsa. Ya cacak
jalma manungsa kudu gandrung baheni benana sak dukure wana kono
bakal lugur temakaning pati. Ning sliramu iki mung anak dewa, ya
karep kate mlebu ya ayo pada nyuwun pamit ben pada kari sambikala
kanthi tekan ana ing tujuan ora eneng alangan siji apa ya, Yayi.
(Kalau kalian semua mengikuti langkahku menuju Desa Wonokerso,
maka nanti akan masuk ke dalam hutan yang penuh bahaya yang tidak
114

terjamah manusia. Kalau ada manusia yang melewatidi atasnya hutan


itu bakal jatuh dan mati tapi dirimu adalah anak dewa, ya kalau ingin
masuk ya ayo terlebih dahulu kita berdoa mohon izin supaya semua
terlepas dari bahaya dan sampai di tempat tujuan tidak ada halangan
satupun,Dik) (WTT 1.2.75--95).

Berdasarkan data di atas, ikon Alas Jeribaya merupakan tempat yang

sangat angker, tidak bisa dilewati manusia. Siapa yang masuh atau lewat alas

tersebut akan mati karena makhluk halus atau kecelakaan yang lain. Kalau

akan masuk alas tersebut harus berdoa dan minta izin agar selamat tidak ada

halangan apa pun, dapat sampai di tujuan dengan selamat.

Alas Jeribaya yang sangat angker tersebut merupakan gambaran alas

yang ada di sekitar Desa Wonokersa. Untuk menuju desa tersebut baik

melalui arah Timur Kecamatan Sukapura maupun dari arah Utara,

Kecamatan Sumber harus melalui hutan belantara yang sangat luas dan

angker. Jalannya sangat terjal dengan bebatuan yang berserakan secara

alamiah. Baik dari arah Timur mapun dari arah Utara jalannya sangat

menanjak dengan ketinggian 50-99°. Bila turun dari Desa Wonokersa baik

melalu sebelah Timur maupun Utara, jalannya menurun sangat tajam dan

berbelok-belok leter z. Di kanan-kiri jalan jurang yang sangat dalam sekitar

500-1000 m. Di sore hari tempatnya selalu diselimuti kabut tebal yang jarak

pandangnya bila waktu sore hanya sekitar 5-10 m. Bila malam hari jarak

pandang hanya sekitar 2-3 m.


115

Bila waktu malam banyak orang yang tidak berani melewati jalan

menuju Desa Wonokersa karena hutan tersebut dikenal sangat angker,

banyak dihuni oleh makhluk halus dan banyak begalnya. Bila ada orang di

tengah malam jalan di hutan Jeribaya banyak yang takut kecelakaan karena

makhluk halus atau kecelakaan yang lain dibegal atau kendaraannya masuk

jurang yang sangat dalam. Bila lewat di jalan menuju Desa Wonokersa,

betul-betul sangat menakutkan, baik secara mistik maupun secara geografis.

Bila berjalan menuju Desa Wonokerso melalui Kecamatan Sumber,

jalannya relatif lebih baik. Beberapa tempat pernah diaspal tetapi sekarang

sudah rusak sangat parah. Sebagian tempat lain sudah dicor semen, sehingga

jalannya relatif baik. Namun, ada tempat yang sangat mengerikan dan

menakutkan bila sudah sampai di Jurang Kendil. Jalannya berbelok-belok

sangat tajam, bahkan ada yang leter z dan sangat curam. Kecuraman jurang

di kanan kiri jalan sekitar 500-1000 m. Di beberapa tempat di sebelah kanan

tebing yang sangat tinggi. Di sebalah kiri jurang yang sangat dalam. Atau

sebaliknya, di sebelah kiri tebing yang sangat tinggi, dan sebelah kanan

jurang yang sangat dalam. Betul-betul sangat menakutkan dan mengerikan

bila lewat jalan menuju Desa Wonokersa, terutama orang yang belum pernah

melewati jalan tersebut.


116

Secara pragmatik data tersebut (WTT 1.2.75--95) merupakan lokusi

atau bentuk ujaran. Ilokusinya mengandung maksud atau tujuan bahwa bila

akan menuju Desa Wonokersa akan melewati hutan belantara yang sangat

angker dan sangat menakutkan. Oleh sebab itu, bila mau lewat harus berdoa

dan minta izin agar selamat tidak ada halangan suatu apa pun dan dapat

sampai pada tujuan dengan selamat.

Perlokusi atau tindakan yang dilakukan oleh para masyarakat pada

saat melewati hutan yang angker tersebut selalu berhati-hati sambil berdoa

dan minta ijin kepada yang menjaga hutan tersebut agar tidak diganggu dan

selamat dari segala gangguan makhluk halus maupun gangkuan yang lain.

Masyarakat Tengger sudah sangat paham dengan maksud ucapan

dalang tersebut. Setiap akan melewati hutan, masyarakat selalu berdoa dan

minta izin agar tidak ada halangan apa-apa dan dapat sampai tujuan dengan

selamat. Bahkan penulis pun dinasihati oleh dalang Ki Lebari bila lewat

hutan harus berhati-hati sambil berdoa. Bila naik sepeeda motor atau mobil,

bila lewta hutan belantara tersebut harus minta izin dengan cara

membunyikan klakson tiga kali dan mengedim-ngedim lampu sepeda motor

atau mobil.

Bagi masyarakat Tengger sudah sangat memahami dan sudah biasa

bila melewati hutan belantara tersebut juga selalu berhati-hati sambil berdoa.
117

Bagi yang mengendarai sepeda atau mobil, bila meliwati jalan hutan yang

angker tersebut juga berdoa dan minta izin dengan membunyikan klakson

tiga kali sambil mengedim-ngedimkan lampu. Hal tersebut sesuai hasil

wawancara dengan dalang Ki Lebari sebagai berikut:

Data F1.1.02

Bila masyarakat melewati hutan, terutama hutan jurang kedil harus


berdoa dan minta izin kepada yang menungguhi hutan tersebut karena
setiap hutan ada makhluk gaib yang menungguhi hutan tersebut. Bagi
yang naik sepeda motor atau mobil harus membunyikan klakson tiga
kali dan mengedim-ngedimkan lampu tiga kali sebagai tanda minta
izin akan lewat dan agar tidak diganggu oleh makhluk halus yang
menunggui hutan (Wawacra tanggal 26 Maret 2018, di Desa
Wonokersa, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo).

Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat

Tengger percaya bahwa hutan belantara Jurang Kendil sangat angker karena

dihuni oleh banyak makhluk lelembut yang sering menggangu orang yang

lewat. Bahkan banyak begal yang sering mencelakahi orang yang lewat jalan

Jurang Kendil tersebut. Tempatnya betul-betul mengerikan dan menakutkan

terutama pada waktu malam.

Data tersebut ( F1.1.02) mengandung nilai pendidikan kepada

masyarakat bila melewati alas Jurang Kendil minta izin kepada penghuninya

dan berhati-hati karena sangat anggker, banyak dihuni oleh makhluk halus

dan banyak begalnya. Bila naik kendaraan sepeda motor atau mobil
118

membunyikan klakson tiga kali dan mengedim-ngedim lampu tiga kali

sebagai tanda minta izin bagi penghuni alas Jurang Kendil.

Alas Jeribaya sebagai ikon tipologi hutan yang anggker yang banyak

dihuni makhluk gaib, seperti setan, jin, gendruwo, peri, dan sundol bolong

serta binatang buas sangat berbahaya bagi manusia, siapa yang datang ke

alas tersebut akan mati, juga terdapat dalam petunjukan wayang topeng

Tengger 3 (WTT 3. 2.65—70).

b. Naik gunung dan turun tebing

Naik gunung turun gunung merupakan ikon tipologi yang

memiliki kemiripan dengan situasi alam di pegunungan Bromo. Geografis

pegunungan Bromo terdiri atas tanah berbukit-bukit penuh dengan tebing.

Kecuraman tebing sekitar 50 sampai 500 m, di tempat-tempat tertentu bisa

mencapai 1000 m. Pegunungan Bromo menyatu dengan pegunungan Semeru

yang kawasannya sangat luas dan dikenal dengan kawasan Cagar Bromo-

Semeru. Sebagian kawasan untuk hutan lindung, sebagian untuk kawasan

pertanian sayur-sayuran.

Meskipun kawasan pegunungan Bromo tanahnya berbentuk

pegunungan dengan tebing yang sangat terjal, tetapi di kawaan yang dikelola

untuk pertanian sayur-sayuran, tanahnya ditata secara terasiring yang

kelihatan sangat indah, penuh dengan tanaman sayur-sayuran yang kelihatan


119

hijau royo-royo. Suasana udaranya sangat sejuk, penuh dengan tanaman

pepohona pinus, sengon, dan jati, kelihatan sangat rindang. Itulah yang

menyebabkan kawasan pegunungan Bromo dilenal dengan kawasan

pemendangan yang sangat indah yang disenangi turis domistik maupun turis

internasional. Bahkan kawasan Bromo pernah masuk menjadi kawasan

wisata terindah di dunia.

Ikon naik gunung turun gunung merupakan simbol hambatan bagi

seseorang yang akan mencapai cita-citanya. Seseorang yang akan mencapai

cita-citanya tidak mudah, diperlukan kerja keras, kesabaran, ketabahan, dan

doa serta banyak hambatan yang menghadangnya. Demikian juga yang

dialami oleh keempat putra Sang Hyang Pipulun Sang Sis dalam menempuh

cita-citanya agar dapat menangkap pusaka Hargadumilah dan menyerahkan

kembali kepada ayahnya sebagai prasyarat untuk menggantikan kedudukan

ayahnya sebagai Bethara Guru. Untuk mencapai cita-citanya tersebut

keempat putra Sang Hyang Sis, memerlukan kerja keras, kesabaran,

ketabahan dan mendapat banyak hambatan.

Kerja keras dan hambatan dalam mencapai cita-cita tersebut

disimbolkan dalam bentuk naik gunung, turun jurang, dan kepleset-pleset

dalam rangka mencari dan menangkap pusaka Hargadumilah, sebagai

prasyarat untuk bias menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bethara


120

Guru di Kayangan Junggring Saloka. Kerja keras dan hambatan tersebut

tampak pada data sebagai berikut:

F1.1.03

Lo...lo...lo...lo... mbok mbok jagad dewa batharalan jagad


pramundhita bayalanggeng tak rewangi munggah gunung mudhun
jurang keplorot-plorot panjenenganingsun durung nemokake kang
kawujud pusaka tindhih Kahyangan Jonggring Saloka. Ya pusaka
Hargadumilah lungsungan jagad murbeng alam pratingkah.Loh
puncake gunung galunggung kok kaya wujude pusaka tindhih
Kahyangan murupe cahyane gere nyata iki pusakane kanjeng Rama
tak cekele wae ora kurang pengajaran.Oeshh loh iki apaa dikempit
karo sing kuru iki ayo ayo dilungne apa ora ayo mbalik iki sing nang
kuru iki tak rudapeksa. Oish oish lolololo, hong wilaheng sekaring
bawana jejagad dewa bathara. Ora nyana ra mangiraake yen
panjenenganingsun bisa ngelampah nyekel pusaka tindhih Kahyangan
Jonggring Saloka ya aja sing sisih gampanga para kencur ki siji sijine
kuwatingsun bakal mukti kelakon derenge lubere kanjeng Rama
jumeneng nata dadi Bathara Guru ning Kahyangan Jonggring Saloka.
(Lo...lo...lo...lo... mbok mbok alamnya Dewa Bethara yang abadi, saya
bela-bela naik gunung turun jurang, sampai terpeleset tapi aku belum
bisa menemukan pusaka tindhih kayangan Jonggring Saloka, ya
pusaka Hargadumilah yang mengayomi alam semesta. Lo puncak
gunung galunggung kok seperti ada wujudnya pusaka Hargadumilah
cahayanya nyata. Ini pasti pusakanya Ayah. Saya tangkap saja. Oesh
loh ini apa ini dejapit sama yang kurus ini. Ayo berikan apa tidak ayo,
kemvali ke yang kurus ini saya perkosa. Oish ois lolololo hong
wilaheng sekaring bawana tidak kuduga dan kukira jika saya bisa
menangkap pusaka tindhih kayangan Jonggring Saloka. Ya jangan
gampang seperti kekuatanku akan terlaksana perintah Ayah
menduduki sebagai Bethara (WTT 1. 5. 0--40).

Ikon tipologi ―... munggah gunung mudhun jurang keplorot-plorot....

merupakan gambaran geografis kawasan pegunungan Tengger-Semeru.

Kawasan pegunungan Tengger-Semeru merupakan kawasan yang letak


121

geografisnya berupa pegunungan dan penuh dengan jurang-jurang yang

sangat curam. Jalannya sempit penuh dengan batu-batu yang masih secara

alamiyah berserakan, sebagian jalan sudah dicor beton, sebagian jalan

mengalami keusakan yang sangat parah yang belum mendapat perhatian dari

Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Jalannya naik dan turun

sangat tajam dan berkelol-kelok, bahkan banyak tekongan leter z yang

sangat berbahaya untuk pengendara mobil. Sebelah kanan-kira jalan berupa

jurang yang sangat curam atau tebing-tebing yang sangat tinggi sekitar 500-

1000 m.

Udaranya sangat dingin, pada waktu siang sekitar 20-23 °, di malam

hari sekitar 13-15 °. Tanahnya subur, ditata secara tera siring yang kelihatan

sangat rapi dan banyak ditanami sayur-sayuran yang berupa kentong, klobis,

dan brambang pre, yang kelihatan hamparan tanaman sayur-sayuran yang

sangat hijau.

Data di atas (WTT 1. 5. 0--40) merupakan lokusi. Ilokusinya atau

maksudnya untuk menangkap pusaka Hargadumilah memerlukan usaha yang

keras, penuh hambatan, dengan naik gunung, turun jurang, sampai

terpeleset-pleset, tetapi belum bisa menemukan pusaka Hargadumilah.

Untuk mencapai cita-cita seorang anak bukan hanya semata-mata berbekal


122

usaha dan kerja keras, tetapi juga memerlukan ijin, doa, dan restu kedua

orang tuanya.

Perlokusinya atau tindakan yang telah dilakukan oleh Sang Hyang

Lesmana Dewa adalah berusaha mencari dan menangkap pusaka

Hargadumilah dengan kerja keras dan penuh hambatan, harus naik gunung,

turun jurang, sampai kepleset-pleset, tetapi belum bisa menemukan pusaka

Hargadumilah, karena dia tidak minta doa dan restu kedua orang tuanya. Dia

hanya berusaha secara fisik, tetapi tidak disertai dengan bedoa kepada Tuhan

Yang Maha Esa. Padahal berdoa kepada Tuhan itu sangat penting, di

samping berusaha. Sedangkan hasilnya diserahkan kepada Tuhan Yang

Maha Esa.

Data tersebut mengandung (WTT1.5.0--40) nilai pendidikan kepada

masyarakat, terutama generasi muda untuk mencapai cita-cita harus selalu

berusaha dan bekerja keras serta meminta izin, doa, dan restu kepada kedua

orang tuanya. Izin, doa, dan restu kedua orang tua sangat penting bagi anak-

anak yang akan mencapai cita-citanya. Namun, keberhasilannya diserahkan

kepada Tuhan Yang Maha Esa. Manusia hanya wajib berusaha, tetapi Tuhan

yang menentukan semua usaha dan doa manusia.

Ikon tipologi munggah gunung, mudun gunung juga terdapat dalam

pertujukan wayang topeng Tengger 3 (WTT 3.0—5).


123

c. Pedukuhan Karang Kletek desa Klampis Ireng

Ikon tipologi Pedukuhan Karang Kletek Desa Klampis Ireng

merupakan simbol tempat pertapaan Semar untuk minta ampun kepada

Tuhan atas kesalahannya yang memilki sifat tidak baik, iri hati, ingin

merebut pusaka Hargadumilah yang telah dimiliki Manikmaya dan akan

membunuhnya. Setelah Semar jiwanya menjadi suci, dia diberi tugas untuk

mengemong Pandawa Lima dan sampai saat ini pertapaan Semar tetap ada di

gunung Gamping yang terletak di Pedukuhan Kletek, Desa Klampis Ireng.

Masyarakat Tengger sampai saat ini masih percaya bahwa gunung

Gamping yang terletak di Pedukuhan Kletek, Desa Klampis Ireng

merupakan tempat pertapaan Semar. Tempat tersebut dikeramatkan oleh

masyarakat Tengger dan banyak didatangi oleh masyarakat dengan berbagai

niat, seperti minta kekayaan, kesuksesan, jabatan, dan pangkat. Hal tersebut

tampak pada data sebagai berikut:

F1.1.04
Lha pun Kakang iki kosekek neng ndi, Dhik?
(Hla kakak ini kau tempatkan di mana Dik?)
Rika lakonana mertapa dhisik ana puncake gunung Gamping.
nyuwuna pangapura rika kang nduweni watak candhala hangkara
murka. Nyuwuna marang kang kuwasa yen rika wis antuk pangapura
124

rika besuk dumununga ana pedukuhan Karang Kletak ya ning telatah


Kelampis Ireng iku papan panggonan rika, Kang.
(Kakak lakukan pertapaan dulu di gunung gamping. Mintalah maaf
terhadap perilaku burukmu kepada yang maha kuasa. Jika sudah
mendapat maaf tinggalah di pedukuhan Karang Kletak ya di Klampis
Ireng itu tempat kakak) (WTT 1.8. 470--480).
Data tersebut menunjukan bahwa tempat pertapaan Semar adalah di

gunung Gamping yang terletak di pedukuhan Karang Kletak di Desa

Klampis Ireng. Tempat tersebut sampai sekarang oleh masyarakat Tengger

dianggap tempat yang keramat yang sering didatangi orang untuk minta

sesuatu, seperti kekayaan, kesuksesan, jabatan, dan pangkat. Hal tersebut

diperkuat dengan pendapat Ki Lebari sebagai berikut:

F1.1.05
Sang Hyang Lesmana Dewa setelah perang melawan Manikmaya
kalah, ia disabda menjadi Semar. Kemudian ia disuruh bertapa di
Gunung Gamping untuk bertobat dan menyucikan jiwanya dengan
cara bertapa. Setelah jiwanya suci, ia diberi tugas untuk ngemong
Pandawa Lima, putranya Pandu. Gunung Gamping oleh mayarakat
Tengger dianggap tempat yang keramat karena tempat pertapaan
Semar dan banyak didangi orang untuk meminta sesuatu seperti
kekayaan, perjodohan, jabatan, dan pangkat (Wawancara dengan Ki
Lebari, tanggal 27 Maret 2018, di Desa Wonokersa, Kecamatan
Sumber, Kabupaten Probolinggo).
Secara pragmatik data tersebut (WTT 1.8. 470--480) merupakan

lokusi. Ilokusinya atau maksudnya Manikmaya meminta Sang Hyang

Lesmana Dewa atau Semar pergi ke pertapaan gunung Gamping yang

terletak di pedukuhan Karang Kletak, Desa Klampis Ireng dan menjadi

tempat tinggalnya.
125

Perlokusinya atau tindakan Sang Hyang Lemana Dewa atau Semar

segera pegi ke gunung Gamping dengan menaiki burung merpati putih

sebagai simbol kesucian Semar yang akan menjadi pelindung dan pengasuh

Pndawa Lima.

Data tersebut (WTT 1.8. 470--480) dan (WTT 1.8. 470--480)

mengandung nilai pendidikan kepada masyarakat bahwa bila manusia

mempunyai dosa harus segera minta ampun kepada Tuhan Yang Maha Esa

agar jiwanya menjadi suci. Bila sudah suci baru boleh menjadi pembimbing

dan pelindung bagi generasi muda agar menjadi orang yang baik.

Ikon tipologi Padukungan Karang Kletek, Desa Klampis Ireng sebagi

ikon tempat pertapaan Semar juga terdapat dalam pertunjukan wayang

topeng Tengger 2 (WTT 2. 16. 0—5), WTT 3. 16. 60—65), dan (WTT 4.

17.85—90)

d. Burung dara putih

Burung dara putih merupakan ikon tipologi yang memiliki kemiripan

dengan burung dara putih yang ada dalam masyarakat. Burung dara putih

merupakan lambang kesucian dan kesetiaan. Burung dara merupakan salah

satu jenis burung yang memiliki sifat sangat setia kepada pasangannya dan

tidah pernah ingkar janji. Semar oleh Manikmaya diberi teman setia yang
126

tidak akan pernah ingkar janji dan sekaligus sebagai kendaraanya yang akan

mengantarkan ke tempat pertapaannya di gunung Gamping yang terletak di

Pedukungan Kletek, Desa Klampis Ireng dan menjadi tempat pertapaan

Semar selamanya.

Burung dara putih juga melambangkan kesucian Semar, karena

Semar mempunyai jiwa yang suci yang diberi tugas membina dan mendidik

Pandawa Lima, maka kendaraanya pun harus suci. Tokoh Semar selalu

mengabdi kepada tokoh yang baik, sambil membibing dan mendidik

Pandawa Lima agar menjadi orang yang baik, jujur, dan selalu berjuang

menegakkan kebenaran. Hal tersebut tampak pada data sebagai berikut:

F1.1.06
Ngawe-ngawe piyambakipun Manikmaya tumurunipun dara putih
nyelak nyelak dhateng kaki semar menika dipuntumpaki beta mabur
dumujuk puncak Gunung Gamping. Kaki semar ngelampahi tapa
brata minta dhateng Kang Kuwasa.
(Melambaikan tanganlah Manikmaya, datanglah Burung Merpati
putih mendekat ke kaki Semar. Ini dinaiki dan dibawa terbang ke
gunung gamping. Semar menjalani pertapa minta kepada Yang
Mahakuasa) (WTT 1.8. 480--490).
Data tersebut juga menggambarkan bahwa Manikmaya masih

mempunyai hati yang baik, meskipun kakaknya sudah punya niat yang tidak

baik kepada dirinya. Ia tetap masih mempunyai rasa kasihan kepada

kakaknya. Setelah disabda menjadi Semar dan diberi tugas membimbing dan

mendidik atau ngemong Pandawa Lima, ia masih diberi kendaraan yang suci
127

dan setia yang berupa burung dara putih yang akan mengantarkan dirinya ke

pertapaan gunung Gamping dan menjadi kendaraan selamanya.

Dalam tradisi kehidupan masyarakat Indonesia, bila mempunyai

hajatan seperti pernikahan, Pemilihan Umum, perinagatan hari besar

nasional seperti Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, dalam acara

pembukaan sering melepaskan burung merpati, sebagai simbol kejujuran,

kesetiaan, dan agar hajatannya dapat berjalan dengan baik dan sukses.

Data tersebut (WTT 1.8. 480--490) merupakan lokosi. Ilokusinya

atau maksudnya adalah Manikmaya memanggil burung dara putih agar

mengantarkan Semar menuju ke gunung Gamping untuk bertapa sebagai

media minta maaf kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kesalahannya

yang telah memiliki sifat iri hati dan akan membunuh adinya sendiri yang

bernama Manikmaya.

Perlokusinya atau tindakan Semar adalah segera menaiiki burung

dara putih yang telah ada di hadapannya untuk pergi ke gunung Gamping

menjaankan bertapa sebagi media minta maaf kepada Tuhan Yang Maha Esa

atas segala kesalahannya. Burung dara putih menjadi kendaraan Semar dan

menjadi symbol kesucian dan kesetiaan.

Dalam kehidupan masyarakat Tengger pada khususnya dan

masyarakat Indonesia pada umumnya, bila mempunyai hajatan besar dalam


128

pembukaannya melepaskan burung dara putih. Tujuannya agar hajatan

tersebut dapat berjalan dengan lancer dan tidak ada hambatan apa pun.

Data tersebut (WTT 1.8. 480--490) mengandung nilai pendidikan

kepada masyarakat bahwa hubungan persaudaraan itu sangat penting.

Sesama saudara harus saling membantu. Namun, bila terpaksa saudara

tersebut telah melakukan kejahatan, harus tetap diberi hukuman secara adil

sesuai perbuatannya. Di samping itu, bila seseorang telah melakukan

kesalahan, harus segera sadar dan bertaubat, minta ampun kepada Tuhan

Yang Maha Esa serta berjanji tidak akan melakukan kesalahan lagi.

Ikon tipologi burung dara putih sebagai lambang kendaraan Semar,

lambang kesucian sebagai pembimbing dan pengasuh Pandawa, dan lambing

kesetiaan Semar kepada Pandawa, terdapat dalam pertunjukan wayang

topeng Tengger 3 (WTT3.16.85—90).

e. Lembu

Lembu sebagai ikon tipologi yang memiliki kemiripan dengan lembu

atau sapi yang ada dalam dunia nyata. Lembu sebagai simbol kendaraan

Bethara Guru bila meninjau rakyatnya. Lembu bagi orang Hindu dianggap

suci dan tidak boleh disembelih untuk dimakan dagingnya. Lembu sebagi

simbol kendaraan untuk menuju kayangan, sehingga orang Hindu bila


129

meninggal dan di ngaben dimasukkan dalam patung lembu sebagai simbol

kendaraan untuk mengantar roh menuju kayangan menghadap Sang Dewa.

Lembu ini juga sebagai simbol hewan pemeliharaan Bethara Guru dan

sekaligus menjadi kendaraannya yang sangat disayanginya. Pada saat

Manikmaya diangkat menjadi Bethara Guru, ayahnya berpesan kepada

Manikmaya agar memelihara dengan baik Lembu Andini dan tidak boleh

sampai satu bulunya pun lepas. Artinya Manikmaya harus betul-betul

memelihara dan menyanyangi lembu Andini. Lembu Andini juga sebagai

simbol keadaan Kayangan Junggring Saloka. Bila Lembu itu subur, maka

kayangan akan baik-baik saja. Sebaliknya bila lembu Andini kurus, sebagai

lambang Kayangan Junggring Saloka akan mengalami kesusahan. Hal

tersebut tampak pada data sebagai berikut:

Data F1.1.07
Dur sliramu mari adus keramas ganti busana rupamu wis ngembari
karo pun kanjeng Rama, Rama mung kala yuswa tuwa, ya ya ngger
sedurunge sliramu tak angkat genteni pelungguhane pun Rama
takpasrahi pethetan lan kekembangan ing Kahyangan Jonggring
Saloka iki aja sampek sira rusak yen pethetan iki subur tandane
Kahyangan nemoni makmur. Yen pethetan iki rusak, tandane
Kahyangan bakal nemoni susah. Lembu Andini sing kee petang puluh
papat, aja sampek ana kang bodhol ulune, Siji kanggo tumpakan
mbok menawa sliramu kepengin ngendhangi marang kawulamu ya,
Ngger.
(Dan ganti pakaian, wujudmu sudah mirip dengan Ayah. Ayah sudah
tua, Ya nak sebelum kamu saya angkat menggantikan kedudukan
Ayah, saya beri peliharaan dan perhiasan di Kayangan Junggring
Saloka. Jangan sampai kamu rusak peliharaan dan perhiasan itu. Jika
130

peliharaan itu subur tandanya Kayangan makmur. Jika peliharaan


rusak, tandanya kayangan akan mengalami kesusahan. Lembu Andini
jangan sampai ada yang lepas bulunya. Jadikan dia kendaraanmu
bila kamu ingin mengunjungi rakyatmu, ya anakku! )
Nun injih kanjeng, Rama.
(Iya Ayah) (WTT 1.11.0--20).
Data tersebut menggambarkan bahwa lembu sebagai ikon kendaraan

Bethara guru. Orang Hindu menganggap lembu sebagai binatang suci yang

tidak boleh disembelih untuk dimakan dagingnya. Lembu sebagai simbol

kendaraan roh orang Hindu yang sudah meninggal untuk menuju ke

Kayangan Junggring Saloka menghadap Sang Dewa.

Secara pragmatik data tersebut (WTT 1.11.0--20) merupakan lokusi.

Ilokusinya atau maksudnya adalah Sang Hyang Sis berpesan kepada

Manikmaya agar memelihara lembu dengan baik, tidak boleh bulunya

sampai lepas. Lembu sebagai simbol keadaan di Kayangan Junggring

Saloka. Bila lembu dalam keaaan subur, melambangkan keadaan Kayangan

Junggring Saloka baik. Sebaliknya, bila lembu dalam keadaan kurus, berarti

keadaan Kayangan Junggring Saloka akan meengalami kesusahan.

Perlokusinya atau tindakan Manikmaya adalah mematuhi nasihat

ayahnya akan memelihara lembu Andini dengan baik dan akan

menggunakan lembu Andini sebagai kendaraannya bila akan meninjau

rakyatnya.
131

Data tersebut (WTT 1.11.0--20) mengandung nilai pendidikan agar

orang tua yang sedang menjabat, bila sudah tua jabatannya harus diserahkan

kepada generasi yang lebih muda untuk meneruskan estapet

kepemimpinannya. Jangan sampai para pejabat yang sudah tua tidak mau

berhenti dari jabatannya dan masih mempertahnkan jabatannya dengan

segala cara. Seorang anak bila diberi nasihat orang tua juga harus dipatuhi

dan dijalankan. Bila diberi amanah piaraan dari orang tua, harus dijaga

secara baik. Jangan sampai piaraan tersebut kurus, bahkan mati karena tidak

mendapat perhatian dari orang yang memeliharanya.

f. Gigi atau siung Anjar Kala

Gigi merupakan salah satu organ mulut manusia atau binatang yang

befungsi sebagai alat untuk menguyah makanan, Gigi tersebut dibagi tiga

jenis, yaitu gigi seri, gigi bam, dan gigi suing. Gigi seri bentuknya kecil

letakknya di dalam mulut bagian depan. Gigi bam bentuknya lebih besar

daripada gigi seri, letaknya dalam mulut di bagian belakang. Gigi siung

bentuknya kecil dan lebih panjang daripada gigi seri dan gigi bam, letaknya

di dalam mulut bagian kanan dan kiri.

Dalam konteks dunia pewayangan, gigi merupakan simbol karakter

tokoh. Tokoh satriya yang berwatak baik, giginya kecil-kecil, rapi, dan tidak

kelihatan. Tokoh raksasa pemakan manusia mempunyai gigi yang panjang-


132

panjang, yang kelihatan, dan siungnya panjang. Anjar Kala merupakan tokoh

raksasa, anaknya Bethara Guru dengan Naga Gini, hasil nafsu birahi Bethara

Guru yang tidak tertahankan. Air mani Bethara Guru langsung masuk ke

perut Naga Gini pada saat berjalan berduaan ke laut Selatan. Air mani

tersebut akhirnya keluar dari perut Naga Gini di tengah hutan dan ditemu

Anta Boga. Air Mani tersebut dimasukan dalam mulut Anta Boga dan

disemprotkan ke luar menjadi ujut anak yang berujut raksasa. Anak tersebut

oleh Anta Boga diberi nama Anjar Kala.

Anjar Kala menanyakan ayah dan ibunya kepada Anta Boga. Anta

Boga memberitahu bahwa ayah dan ibunya adalah Bethara Guru dan Naga

Gini yang tinggal di Kayangan Junggring Saloka. Anjar Kala mencari ayah

dan ibunya ke Kayangan Junggring Saloka diantar Anta Boga. Setelah Anjar

Kala bertemu ayah dan ibunya, Bethara Guru tidak mau mengakuinya

sebagai anaknya. Setelah Anjar Kala menjelaskan bahwa menurut Anta

Boga, Bethara Guru dan Naga Gini adalah ayah dan ibunya. Akhirnya

Bethara Guru mau mengakui sebagai anaknya, dengan syarat harus mau

mandi untuk mennyucikan diri. Setelah bersih, ia disuruh bertapa di

Kayangan Ondar-andir, tempat pertapaan para dewa. Setelah ia bertapa di

Kayangan Ondar-andir, Kayangan menjadi bergetar. Anjar Kala akhirnya

dibuang ke Kawah Candradimuka oleh Bethara Narada. Dalam kawah


133

tersebut Anjar Kala di hujani berbagai pusaka Kayangan, tetapi tidak mati.

Semua senjata sakti kayangan tersebut masuk ke dalam tubuh Anjar Kala

dan tumbuh menjadi siung Anjar Kala. Anjar Kala semakin menjadi raksasa

yang besar.

Anjar Kala pulang kembali ke Kayangan Junggring Saloka, minta

makan kepada ayah dan ibunya. Oleh ayah dan ibunya diberi makan

matahari dan bulan. Setelah dimakan terasa panas dan tidak enak, tetapi

tidak pernah merasa kenyang dan puas. Anjar Kala minta makan manusia.

Oleh ibunya disanggupi, tetapi giginya yang berjumlah empat puluh empat

tersebut akan dikurangi. Anjar Kala setuju giginya dikurangi. Gigi Anjar

Kala dicabut oleh ibunya, sebagian yang empat puluh dibuang ke Madura,

sehingga orang Madura senang kepada senjata clurit. Sebagian yang empat

dibuang ke empat arah, sehingga menjadi arah mata angin Barat, Timur,

Selatan, dan Utara.

Gigi atau siung Anjar Kala harus dikurangi agar tidak menghabiskan

manusia di bumi. Bila gigi atau siung Anjar Kala tidak dikurangi, akan

menghabiskan manusia di bumi anak keturunan adam. Setelah gigi Anjar

Kala dicabut oleh ibunya, ia diberi tahu bahwa makanannya adalah manusia

di bumi dan anak nadang kala, yaitu antara lain adalah anak ontang anting,

pancuran diapit sendang, sedang diapit pancuran, Pandawa Lima, orang


134

yang berjalan di waktu bedhug tidak istirahat, orang yang masak dandangnya

roboh, dan orang yang membangun rumah tidak selesai sampai diberi atap.

Anjar Kala disuruh turun ke dunia dan bertapa di Puncak B29, Randu Pitu,

dan di Randu Sanga. Anjar Kala minta pamit kepada ibu dan ayahnya untuk

turun ke dunia dan akan bertapa di Puncak B29, Randu Pitu, dan di Randu

Sanga. Bethara Guru memberikan Pusaka Hargadumilah kepada Anjar Kala

sebagai bekala dan tameng dirinya pada saat didunia. Gambaran Anjar Kala

minta makanan manusia kepada ibunya, tampak pada kutipan sebagai

berikut:

Data F1.1.08

Yen sliramu pingin jaluk pangan jalma manungsa, durung wayahe.


Ibu gelem menehi pangan wujude jalma manungsa kang nandang
kala marang sliramu. Watone sliramu gelem taklongi untumu sebab
untumu kait petang puluh papat. Yen ora tak longi mesti ngentekne
anak putu adam, anak awang-awang, anak owong-owong, ana isine
jagad iki kang lungguh ana tengah dirani uwong uwong mesti kabehe
mengko dipangan marang sliramu. Jagad iki kotang ora ana sliramu
watone powake gelem tak longi sliramu bakal takwenehi yaiku
pangan jalma manungsa, arek kang nandung kala.
(Kalau kamu ingin meminta makan manusia syaratnya ibu minta
gigimu berjumlah empat puluh empat kalau tidak aku kurangi akan
menghabiskan anak cucu adam. Maulah aku ambil gigimu, maka
akan aku beri makanan wujud manusia.)
Iya longana, Kanjeng Ibu, longana!
(Iya kurangilah, Ibu, kurangilah!) (WTT 1. 25.0--15).

Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa gigi atau siung

Anjar Kala merupakan simbol bahwa Anjar Kala merupakan raksasa


135

pemakan manusia. Makluk yang tidak pernah merasa puas, yang selalu

menuruti hawa nafsunya, yang tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya.

Agar Anjar Kala dapat mengendalikan hawa nafsunya, maka ia harus bertapa

di Puncak B29, Randu Pitu, dan di Randu Sanga.

Data tersebut (WTT 1. 25.0--15) merupakan bentuk lokusi.

Ilokusinya atau maksudnya adalah Anjar Kala minta makanan manusia.

Ibunya mau memberi makanan manusia, dengan syarat giginya akan

dikurangi empat puluh empat agar tidak menghabiskan manusia di dunia.

Perlokusinya atau tindakan Anjar Kala adalah ia menyetujui

persyaratan yang diminta ibunya yang akan mengurangi giginya empat puluh

empat. Ibunya mencabut gigi Anjar Kala. Anjar Kala kemudian disuruh

turun ke dunia dan bertapa di Puncak B29, Randu Pitu, dan di Randu Sanga.

Gigi atau siung Anjar Kala yang dibuang ke Madura juga

mngandung makna menyebabkan orang Madura suka kepada senjata tajam

yang disebut clurit. Ke mana-mana orang Madura kesenangannya

menyekelit clurit di balik bajunya sebagai senjata dan tameng dirinya, untuk

menjaga keselamatan dirinya dari berbagai bahaya. Kesenangan orang

Madura tersebut sama seperti kesenangan Bethara Kala yang selalu

membawa atau menyengkelit pusaka Hargadumilah ke mana saja tidak boleh

lepas dari dirinya sejarah rambut pun, sebagaimana pesan ayahnya.


136

Gambaran gigi Bethara Kala yang dibuang ke Madura tersebut yang

menyebabkan orang Madura mempunyai kesenangan membawa senjata

clurit ke mana saja, tampak pada data sebagai berikut:

Data F1.1.09
Kanjeng ibu, kanjeng ibu, lah kanjeng ibu untuku wis kok longi sing
petang puluh. Wis kok buwak ngalor ngetan rutuha ning telatah
Medura. Eleng den pangiling besok yen ana kanthi reja-rejane jaman,
yaiku kena gandane yaning untuku. Besok wong Medura mesti
senenganing yaiku nyengklitan gaman. Lah iki kok inginake sumpah
pat, iki majas maknane gek kaya apa kanjeng ibu.
(Ibu, gigiku empat puluh sudah kamu buang ke arah timur laut di
daerah Madura. Nanti diwaktu yang akan dayang Madura akan
senang dengan membawa senjata disengkelitkan dibajunya) (WTT
1.25. 40—55).

Berdasarkan data tersebut menurut mistik Tengger dapat

disimpulkan bahwa asal mula orang Madura senang kepada clurit, karena

gigi atau siung Bethara Kala setelah dicabut oleh ibunya dibuang ke Madura.

Orang Madura senang membawa atau menyengkelitkan clurit di balik

bajunya sebagai tameng atau perisai dirinya dari berbagai bahaya.

Dara tersebut (WTT 1.25. 40—55) merupakan bentuk lokusi.

Perlokusinya atau maksudnya adalah orang Madura pada umumnya senang

membawa atau menyengkelitkan senjata tajam atau clurit karena paa saat

Ibunya Bethara Kala mencabut giginya Bethara Kala dibuang kea rah Utara
137

Timur dan jatuh di Madura, sehingga orang Madura terkena pengaruh zoning

giginya Bethara Kala.

Perlokosinya atau tindakan tersebut ternyata terbukti bahwa orang

Madura sampai sekarang mempunyai kesenangan kepada senjata clurit. Ke

mana-mana orang Madura membawa clurit, terutama apabila mereka sedang

konflik dengan orang lain.

Kedua data tersebut (WTT 1. 25.0--15) dan (WTT 1.25. 40—55)

mengandung nilai budaya bahwa setiap manusia seharusnya bisa

mengendalikan diri atau hawa nafsunya, tidak boleh mengikuti hawa

nafsunya. Seorang ibu dalam membimbing dan mendidik anaknya, tidak

boleh menuruti segala permintaannya, bila permintaannya merugikan dirinya

atau orang lain. Seperti Bethara Kala minta makanan yang berupa manusia,

berarti merugikan Bethara Kala sendiri karena harus turun ke dunia untuk

mencari manusia yang mengandung kala untuk dijadikan makanannya.

Bethara Kala harus banyak membunuh manusia untuk dijadikan

makanannya, berarti banyak merugikan orang lain.

Di samping itu, data tersebut mengandung nilai pendidikan kepada

masyarakat Madura pada khususnya dan masyarakat umum bahwa

menyenangi sejata tajam yang berupa clurit adalah boleh, hanya sekedar
138

hiasan dan menjaga diri dari segala kemungkinan bahaya. Akan tetapi, tidak

boleh digunakan untuk menganiaya bahkan membunuh orang lain.

Ikon tipologi gigi atau suing sebagai lambing karaktor tokoh raksasa

sebagai pemakan manusia juga terdapat dalam pertunjukan wayang topeng

Tengger 4 (WTT4.32.20-25).

g. Selamatan pitu

Selamatan pitu merupakan bentuk ikon yang memiliki kemiripan

dengan upacara selamatan yang sering diselenggarakan oleh masyarakat

Jawa, Madura, dan Sasak. Dalam tradisi masyarakat Jawa dan masyarakat

Madura setiap bulan sawal hari ketujuh pada umumnya mengadakan

selamatan setelah selesai puasa sunat sawal selama enam hari. Puasa sawal

pahalanya sangat besar bagaikan puasa selama satu tahun. Namun, tidak

banyak masyarakat yang kuat menjalankan puasa sawal selama enam hari

karena pada hari pertama sampai hari ketujuh merupakan hari Raya Idul

Fitri yang banyak makanan yang enak-enak.

Selamatan pitu dalam tradisi masyarakat Jawa biasanya membawa

ketupat dengan lauk-pauknya seperti sambel goreng kentang, tahu, tempe,

dan opor ayam ke masjid atau langgar. Hari raya ketujuh dikenal dengan hari

Raya Ketupat karena masyarakat pada umunya selamatannya berupa kupat.

Dalam tradisi masyarakat Madura, hari Raya Kupat dirayakan secara besar-
139

besaran, bahkan lebih besar dari pada hari Raya Idul Fitri. Upacara tersebut

dikenal dengan upacara Telasan. Bagi masyarakat Sasak dikenal dengan

upacara Lebaran Tupat, yang dirayakan secara besar-besaran, bahkan sudah

menjadi agenda pariwisata untuk menarik wisatawan domistik maupun

wisatawan asing (Supratno, 2010, p.105).

Selamatan pitu sebenarnya merupakan tradisi selamatan yang terkait

dengan budaya Islam. Namun, budaya tersebut juga dilaksanakan oleh

sebagian masyarakat Tengger, meskipun sebagian besar masyarakat Tengger

beragama Hindu. Hal tersebut sesuai pendapat Ki Lebari bahwa:

Data F1. 10

Selamatan pitu merupakan adat-istiadat. Meskipun masyarakat


Tengger beragama Hindu, tetapi sebagian masyarakat juga
mengadakan selamatan pitu, karena ini merupakan budaya masyarakat
Jawa. Masyarakat Tengger juga merupakan bagian dari masyarakat
Jawa. Nenek moyang masyarakat Tengger juga orang Jawa dari
Majapahit (Wawancara tanggal 26 Maret 2018 di rumah Ki Lebari).

Selamatan pitu merupakan budaya sehingga masyarakat yang tidak

beragama Islam pun ikut terpengaruh oleh budaya tersebut. Apalagi budaya

masyarakat Tengger juga banyak terpengaruh oleh budaya Jawa. Sama

seperti hari Raya Idul Fitri, sebenarnya adalah hari Rayanya umat Islam.

Akan tetapi, seluruh masyarakat Indonesia, suku apa pun dan beragama apa

pun ikut merayakan dan merasakan suasana hari Raya Idul Fitri.
140

Tujuan selamatan pitu adalah sebagai sarana berdoa kepada Tuhan

Yang Maha Esa agardirinya, keluarganya, dan masyarakat selamat, tidak

ada halangan suatu apa pun dalam menempuh kehidupan di hari-hari

berikutnya serta sebagai sarana berdoa agar segala dosa-dosanya dan

keluarganya baik yang masih hidup atau sudah meninggal. Tradisi selamatan

pitu tampak pada data sebagai berikut:

Data F1.1.11

Dora mbok menawi ku keparengaken kula badhe ndherek nyelameti


kadang kula.
(Dora kalau saya persilakan saya mau ikut memperingati saudara
saya.)
Oleh sabare diselameti karo selametana lebaran, selametana
saenteke yaiku diselameti riyaya pitu riyaya syawalan. Jare wong
Medura diarani telasan, kaya mangkono
(Boleh diselamati dengan selamatilah lebaran, selamatilah
sehabisnya hari raya ketujuh, hari raya Sawal. Kata orang Madura
dinamakan hari raya Telasan.)
Dora mbok menawi ku keparengaken kula badhe ndherek nyelameti
kadang kula.
(Dora kalau saya persilakan saya mau ikut memperingati saudara
saya.)
Oleh sabare diselameti karo selametana lebaran selametana saenteke
yaiku diselameti riyaya pitu riyaya syawalan jare wong Medura
diarani telasan kaya mangkono
Boleh diselamati. Selamatilah lebaran selamatipah sehabisnya hari
raya syawal kata orang Madura seperti itu) (WTT 1.30.60—75).
141

Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa budaya selametan

pitu merupan selamatan yang diadakan oleh masyarakat Jawa, Madura, dan

Sasak setiap hari ketujuh bulan sawal. Dalam upacara tersebut masyarakat

membuat kupat dan dibawa ke masjid atau di langgar dimakan bersama-

sama setelah didoakan oleh ustad atau kiai.

Data tersebut (WTT 1.30.60—75) merupakan bentuk lokusi.

Ilokusinya atau maksudnya adalah Dora akan ikut mengadakan selamatan

atas kematian saudaranya Sembada karena berkelahi dengan Dora. Pekelaian

tersebut karena pada saat Dora diutus oleh Ajisaka mengambil pusakanya

tidak diberi surat tugas, sehingga menimbulakan kesalahpahaman di antara

berdua. Sembada mempertahanka pusaka karena memegang amanah dari

Ajisaka untuk menjaga pusakanya. Dora juga memegang amanah dari

Ajisaka untuk mengambil pusaka milik Ajisaka.

Perlokusinya atau tindakan yang dilakukan oleh masyarakat adalah

melaksanakan selamatan pitu setiap hari Raya Idul Fitri hari ketujuh.

Masyarakat Jawa menyebut selamatan pitu hari Raya Kupat, masyarakat

Madura menyebut hari Raya Telasan, dan masyarakat Sasak menyebut hari

Raya Lebaran Kupat.

Data tersebut (WTT 1.30.60—75) mengandung nilai pendidikan agar

masyarakat mengadakan selamatan setiap hari Raya Idul Fitri hari ketujuh
142

sebagai media berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar dirinya, keluarga,

dan masyarakat hidupnya selamat, tidak ada halangan apa pun dan sebagai

sarana bersodakoh dan beriteraksi sosial dengan anggota masyarakat yang

lain, khususnya para tetangga.

h. Nandur palawijo katon ijo royo, ana ing puncake

Nandur palawijo katon ijo royo, ana ing puncake merupakan ikon

tipologi yang mempunyai kemiripan dengan kodisi alam di puncak

pegunungan Bromo. Ikon tersebut menggambarkan kondisi alam

penggunangan Bromo yang kelihatan hamparan tanaman palawijo yang

hijau. Mekipun kondisi tanahnya pada umumnya kemiringannya 50 sampai

90 derajat, tetapi tertata secara rapi dengan terasiring, penuh dengan tanaman

palawijo yang kelihatan sangat hijau. Tanaman palawijo seperti kentang,

klubis, brambang pre, tomat, dan lombok merupakan tanaman utama di

daerah pegunungan Bromo serta merupakan mata pencaharian utama

masyarakat yang tinggal di puncak pegunungan Bromo. Gambaran kondisi

alam pegunungan Bromo tampak pada data sebagai berikut:

Data F1.1.11
Wis kerasan nandur palawija palawiji katon ijo royo ana ing
puncake, ya mulai wiwitan wetan sampek pangulon. Neng kene yaiki
jailirta ngger. Yo ing kono omong-omongan yaiku mbokne Rara
Anteng karo Jaka
Seger…………………………………………………………………..
.…....
143

(Sudah senang bercocok tanam rempah-rempah kelihatan sangat


hijau di puncak gunung, mulai dari Timur sampai ke Barat. Di
situlah percakapan Rara Anteng dan Jaka
Seger……………………………) (WTT 1.31.75—130).
Data tersebut (WTT 1.31.75—130) juga meggambarkan bahwa

hubungan Rara Anteng dan Jaka Seger semakin baik. Mereka berdua bisa

membina keluarga yang baik, hidup tenang, damai, dan bahagia.

Ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan kehidupan masyarakat Tengger

yang hidup dipuncak pegunungan Bromo, tergambarkan dalam hamparan

tanaman palawija yang kelihatan subur dan hijau, yang membentang dari

arah Timur ke Barat.

Perlokusinya hubungan Rara Anteng dan Jaka Seger semakin baik

dan dapat membina keluarga yang bahagia dan mendapatkan keturunan yang

jumlahnya dua puluh lima orang. Kedua puluh lima orang tersebut menurut

kepercayaan masyarakat Tengger sampai sekarang mendiami dan menjadi

penunggu di masing-masing puncak pegunungan Brama-Semeru.

Data tersebut (WTT 1.31.75—130) merupakan bentuk lokusi.

Ilokusinya atau maksudnya bahwa kehidupan Rara Anteng dan Jaka Seger

sudah bisa membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera. Mata

pencaharian utamanya adalah menanam tanaman palawiaja di puncak


144

pegunungan Bromo dari arah Timur sampai ke Barat, yang kelihatan sangat

subur dan hijau.

Data tersebut secara implisit menagndung nilai pendidikan kepada

masyarakat Tengger agar dapat membina kehidupan berumah tangga secara

baik, bahagia, dan sejahtera. Setiap hari rajin bekerja, menanam tanaman

palawija, seperti kentang, klubis, brambang pre, tomat, dan Lombok sebagai

mata pencaharian utamanya.

i. Puncak B 29, Randu Pitu, Randu Sanga

Puncak B 29, Randu Pitu, Radu Sanga merupakan ikon tipologi

yang memiliki kemiripan dengan salah satu kawasan Puncak Pegunungan

Bromo-Semeru. Menurut kepercayaan masyarakat Tengger, Puncak B29,

Randu Pitu, Radu Sanga merupakan tempat tinggal dan pertapaan Sang

Hyang Bethara Kala, yang berada di kawasan Alas Parangalas. Tempat

tersebut oleh masyarakat Tengger dianggap keramat dan ada tempat tertentu

yang tidak boleh di jamah (dilewati, dipetik tanaman dan bunganya,

membawa benda-benda lain, dan merusak) manusia. Siapa yang menjamah

tempat tersebut akan mendapat halangan bahkan bisa sampai mati. Puncak B

29 tersebut sampai sekarang menjadi salah satu tujuan objek wisata di

kawasan Puncak Pegunungan Bromo-Semeru, serta menjadi salah satu


145

tujuan para pendaki atau pecinta alam. Gambaran Puncak B 29 tersebut

tampak pada data sebagai berikut

Data F1.1.12

Ing riku piyambakipun sang pramesthi Bathara Guru kondur papan


dhateng Kahyangan Jonggring Saloka, nyenyuwun mugi putranipun
sang Bathara Karisambi kala triwancinipun Sang Bathara Kala
menika sampun manggen Puncak Sangalikur, Randu Pitu, Randu
Sanga. Menika kamindahanipun wonten ing telatah parangalas.
Menika nyecepe ilmu dados ngarsane Hyang pikulun dewane
bathara. Sampun cekap titiwancinipun menika badhe mandap
dhateng arcapada pados memangsane si ponang jabang bayi
ingkang nandungkala. Ngingek mandap ketingal menggok gedhug
bumi kaping tiga. Sang Hyang Bathara Kala menika netra lembuh
Andini mandapipun kledang-kledang menika dumujuk wontening
ara-ara Japles tujuanipun Bathara Kala.

(Disitu Batara Guru pulang ke Kayangan Jonggring Saloka meminta


anaknya. Batara Kala sudah berada dipuncak dua Sembilan, Randu
Tujuh, Randu Sembilan, bertapa seperti menuntut ilmu ke dewa.
Setelah cukup, segera turun ke bumi untuk mencari mangsa bayi
yang menyandang kala. Meminjak bumi tiga kali. Sang Hyang Batara
Kala melihat lembu Andini kelihatan nenuju ke alas yang dituju
Behara Kala).
Oey kanjeng ibu, hm lah iki aku wis mudhun saka Puncak
Sangalikur, Randhu Pitu, Randhu Sanga antuk paringi layong
pikulun dewane Bathara. Dina iki aku kudu oleh memangsan si
ponang jabang bayi kang nandung kala.

(Kanjeng ibu, aku sudah turun dari puncak dua sembilan randu tujuh
randu sembilan. Hari ini aku harus mendapat makan berupa jabang
bayi yang menyandang kala) (WTT 1.29. 0—20).
146

Berdasarkan data tersebut (WTT 1.29. 0—20)

menggambarkan bahwa Puncak B 29 merupakan ikon tempat tinggal dan

pertapaan Sang Bethara Kala. Bethara Kala pada saat minta makan

manusia kepada ibu dan ayahnya, disuruh turun kedunia dan bertapa di

Puncak B 29, sebelum mencari anak manusia yang menyandang kala.

Bethara Kala diberi pusaka Hargadunilah oleh ayahnya sebagai senjata

dan perisai dirinya. Pusaka tersebut untuk memotong-motong mayat

anak yang mengandung kala yang akan di makannya, setelah disucikan

dengan air suci oleh dalang keturunan wayang topengTengger.

Data tersebut (WTT 1.29. 0—20) merupakan lokusi.

Ilokusinya atau maksudnya adalah Bethara Guru segera naik ke

Kayangan Suralaya untuk berdoa agar Bethara Kala dalam menjalankan

Bertapa di Puncak B 29 di daerah Alas Parangalas tidak ada halangan

apa pun. Tujuan bertapa adalah untuk mencari ilmu dari dewa Sang

Hyang Pikulun. Setelah mendapat ilmu yang cukup, maka segera

mencari makanan anak yang nyadang kala.

Perlokusinya atau tindakan Bethara Kala adalah segera

menjalankan perintah ibu dan ayahnya, turun ke dunia dan melakukan

bertapa di Puncak B 29. Bethara Kala harus melakukan bertapa dulu di


147

Puncak B 29, sebelum mencari makanan yang berupa anak manusia

yang menyandang kala.

Data tersebut mengandung nilai pendidikan kepada orang tua agar

selalu mendoakan anaknya dalam mencapai cita-citanya, tidak ada

halangan suatu apa pun dan mendapat ilmu yang bermanfaat untuk

kebahagiaan anaknya. Demikian juga seorang anak agar selalu mematuhi

nasihat kedua orang tuanya, agar dalam mencari ilmu bisa lancar dan

mendapat imu yang bermanfaat. Setelah mendapat ilmu dapat digunakan

sebagai sarana untuk mencapai cita-citanya. Dalam mencari ilmu akan

mendapatkan berbagai hambatan. Oleh sebab itu, dalam mencari ilmu

memerlukan kesabaran, ketabahan, dan berdoa kepada Tuhan Yang

Mahakuasa.

Ikon tipologi Puncak B 29, Randu Pitu, dan Randu Sanga sebagai

lambang tempat pertapaan Bethara Kala juga terdapat dalam pertunjukan

wayang topeng Tengger 2 (WTT 2. 3..33-50), (WTT 3. 3..33-50), dan

(WTT 4. 3..33-50),

j. Jabang bayine Putusin, Lulik, Dwi lestari, Luki Mustika Aji, Luis

Jabang bayine Putusin, Lulik, Dwi lestari, Luki Mustika Aji, Luis

merupakan ikon tipologi yang memiliki kemiripan dengan anak yang

mengandung kala yang sedang diruwat oleh dalang. Anak yang


148

mengandung kala tersebut jumlahnya empat yang bernama Putusin, Lulik,

Dwi lestari, Luki Mustika Aji, Luis. Menurut kepercayaan masyarakat

Tengger, bila mempunyai anak empat wanita semua, berarti keempat

tersebut anak yang mengandung kala. Artinya anak yang mengandung

masalah dan menjadi calon makanan Bethara Kala. Agar keempat anak

tersebut hilang kalanya atau masalahnya, perlu diruwat dengan

menggunakan media wayang topeng Tengger. Kalua keempat anak

tersebut tidak diruwat, menurut kepercayaan masyarakat Tengger akan

menjadi makanan Bethara Kala, hidupnya tidak akan bahagia, bila

pegawai kariernya tidak akan baik, bila bertani atau berdagang akan

gagal. Hal tersebut tampak pada data sebagai berikut:

Data F1.1.13

Ing ngriku Sang Hyang Bathara Kala nyirep sedaden jalma


manungsa, lubeta ing dosa kala. Ing ganda si ponang jabang bayi
sekawan cacahipun. Jabang bayine Putusin, Lulik, Dwi lestari, Luki
Mustika Aji. Luis Artika lare nandung kala sekawan cacaheipun
menika simbaripun bumi kang gedhug kaping tiga dumujuk
pelapahanipun jalalika.
(Di situ Sang Batara Kala menyirep semua manusia, yang
mengandung kala. Berdasarkan baunya anak tersebut jumlahnya
empat, yaitu Lulik, Dwi Lestari, Luki Mustika Aji. Luis Artika anak
yang menyangdang kala, empat jumlahnya ini. Mnginjak bumi tiga
kali sampai di tempat yang dituju) (WTT 1.33.0—10).

Berdasarkan data tersebut (WTT 1.33.0—10) Bethara Kala menyirep

semua manusia yang menyandang kala agar mudah ditangkap untuk


149

dijadikan makanannnya. Melalui bau manusia, Bethara Kala dapat

mengetahui keberadaan dan jumlah anak yang mengandung masalah. Bila

Bethara Kala berbau anak yang mengandung masalah, ia cukup

menginjakkan kaki tiga kali, maka ia sudah bisa sampai di tempat

keberadaan anak yang bermasalah.

Dalang wayang topeng Tengger pada saat meruwat anak yang

mengandung kala dapat memanggil Bethara Kala. Dalam upacara ruwatan

tersebut Bethara Kala akan membunuh seluruh anak yang mengandung kala

yang sedang diruwat yang akan dijadikan makanannya. Untuk

menyelamatkan anak tersebut dalang wayang topeng Tengger mempunyai

strategi dengan cara memindahkan arwah anak tersebut ke tubuh tokoh

mediator. Jadi, yang dibunuh Bethara Kala bukan anak yang mengandung

kala yang sedang diruwat, tetapi yang dikejar dan dibunuh adalah tokoh

mediatornya. Tokoh mediatornya melihat Bethara Kala ketakutan berusaha

lari ke mana-mana untuk menyelamatkan dirinya. Bethara Kala mengejar

dan menangkap tokoh mediator dan dibunuh. Hal tersebut tampak pada data

sebagai berikut:

Data F1.1.14
Jabang bayi Lulik, jabang bayine Luki, jabang bayine Luis, melayu
nang endi lah iki jabang bayine Lulik wis takcekel kari jabang bayine
Luki karo jabang bayine Luis.
150

(Bayinya Lulik, bayinya Luki, bayinya Luis laru dimana lah ini
bayinya Lulik sudah aku pegang tinggal bayinya Luki dan Layinya
Luis.)
Mak neya! Mak tulung Mak.
(Mak, kesinilah! Mak. tolong, Mak) (WTT 1.33.125—135).

Berdasarkan data tersebut (WTT 1.33.125—135) Bethara Kala

berusaha mengejar kempat anak yang sedang diruwat. Akan tetapi yang di

kejar adalah tokoh mediator yang ditipi arwah anak yang sedang diruwat.

Keempat anak tersebut bisa ditanggkap dan dibunuh. Setelah dibunuh, mayat

tokoh mediator ditutupi kain jarit dan dibawa ke atas pentas sampai

pertunjukan selesai. Mayat mediator tersebut betulbetul dalam keadaan mati.

Bethara Kala bernafsu segera akan memakan mayat tersebut, tetapi

ingat nasihat ibunya bahwa ―Mayat anak yang sudah dibunuh tidak boleh

langsung dimakan, tetapi harus disucikan dulu dengan air suci oleh dalang

keturunan wayang topeng Tengger. Bethara Kala akhirnya mencari dalang

tersebut dan minta tolong untuk menyucikan mayat tersebut yang akan

dimakan agar mayatnya menjadi bersih ―. Hal tersebut tampak pada data

sebagai berikut:

Data F1.1.15
Lah Sang Hyang Bathara Kala sliramu perlu apa kok nggoleki aku.
(Lah Sang Hyang Batara Kala dirimu ada perlu apa?)
151

Lah mengkenen bapak dalang aku mudhun saka pertapanku Puncak


Sangalikur, Randhu Pitu, Randhu Sanga, golek memangsan si
ponang jabang bayi kang nandung kala. Jur ing kono aku tumurun,
aku oleh pangan papat cacahe arek nandung kala, jabang bayine
Putusi, jabang bayine Lulik, jabang bayine Luki, jabang bayine Luis.
Iki karep tak tadhah kala mangsa, ganda-gandane arus. Yen nitik
wejangane kajaba dalang kanjeng rama. Yen aku oleh memangsan si
ponang jabang bayi kang nandung kala. Yen karep kate tak tahdah
kalamangsa kudu dikumbah dhisik. Ya sing isa ngumbah Bapak
Dhalang Lebari. Saiki aku jaluk tulung karo rika kumbahen arek
papat iki. Ruwaten arek papat iki sing bersih. Yen nek wis mari rika
ruwat mengko tak pangane karo.
(Begini, aku turun dari pertapaanku Puncak Duasembilan, Randu
Tujuh, Randu Sembilan, untuk mencari mangsa jabang bayi yang
menyandang kala. Lalu di situ saya bertemu empat bayi yang
menyandang kala. Baunya amis dan busuk, teringat wejangan ayah,
jika aku mendapat mangsa, saya harus mencucinya terlebih dahulu.
Yang bias menyuci Bapak Dhalang Lebari. Sekarang saya minta
tolong kepada kamu, cucilah empak anak ini. Ruwaten anak empat
ini yang bersih. Kalua sudah selesai kamu ruwat, nanti akan saya
makan).
Sang Hyang Bathara Kala aku gelem-gelem ae dikongkon ngeruwat,
nolak ya emoh, nantang ya emoh, waton ana opahe.
(Batara Kala, saya mau-mau saja disuruh meruwat, nlak saya tidak
mau, menantang ya tidak, yang penting ada upahnya) (WTT
1.33.15—40).
Dalang wayang topeng Tengger mau membantu menyucikan mayat

yang akan dimakan Bethara Kala, tetapi minta upah. Bethara Kala tidak

punya harta benda, yang dimiliki hanya Pusaka Hargadumilah pemberian

ayahnya. Dalang pun mau menerima upah yang berupa Pusaka

Hargadumilah. Pusaka tersebut segera diserahkan Bethara Kala kepada

dalang. Dalang segera menyucikan mayat tersebut dengan air suci yang
152

diambil dari tujuh sumber. Setelah mayatnya suci, kain jaritnya diganti

dengan kain mori putih, sebagai tanda mayat sudah suci.

Dalang segera memberi tahu kepada Bethara Kala bahwa mayat

sudah suci. Dalang Ki Lebari memberi dua alternative kepada Bethara Kala,

apakah mau makan mayat kempat anak yang sudah suci, tetapi pusaka

Hargadumilah menjadi milik dalang. Bethara Kala segera ingat pesan

ayahnya bahwa pusaka Hargadumilah tidak boleh terpisah dari jasad Bethara

Kala walaupun serambut. Bethara Kala takut dimarahi ayahnya dan pusaka

Hrgadumilah merupakan pusaka andalannya dan perisai dirinya. Akhirnya

Bethara Kala lebih meilih pusaka Hargadunilah diminta kembali. Dalang

segera menyerahkan pusaka Hrgadunilah kepada Bethara Kala dan mayat

tidak jadi dimakan oleh Bethara Kala. Bethara Kala akhirnya minta maaf

kepada dalang dan segera minta pamit pulang ke Puncak B 29.

Dalang segera menghidupkan keempat mayat yang sudah disucikan

dengan memercikan air suci ke atas keempat mayit tersebut. Keempat mayat

tersebut bisa hidup kembali. Arwah kempat anak yang mengandung kala

tersebut dikembalikan ke keempat anak yang diruwat. Berarti kala keempat

anak tersebut sudah tidak ada dan anak tersebut tidak lagi menjadi makanan

Bethara Kala. Bila upcara ruwatan sudah selesai, maka kedua orang tuanya,
153

anak, dan seluruh anggota keluarga merasa bahagia karena anaknya sudah

terlepas dari kala dan tidak lagi menjadi calon makanan Bethara Kala.

Data tersebut (WTT 1.33.0—10) merupakan bentuk lokusi.

Ilokusinya atau maksudnya adalah Bethara Kala menyirep semua manusia

yang mengandung kala akan dijadikan makanannya. Ada empat anak yang

mengandung kala, yaitu Putusin, Lulik, Dwi lestari, Luki Mustika Aji, Luis.

Perlokusinya atau tindakan Bethara Kala segera datang ke tempat

keberadaan keempat anak tersebut di tempat pertunjukan wayang

topengTengger, akan menangkap dan membunuh keempat anak yang

mengadung kala untuk dijadikan makanannya.

Data (WTT 1.33.125—135) merupakan bentuk lokusi. Ilokusinaya

atau maksudnya adalah Bethara Kala mengejar-ngejar keempat anak yang

mengandung kala, yaitu Putusin, Lulik, Dwi lestari, Luki Mustika Aji,

danLuis. Namun, yang dikejar-kejar Bethara Kala tersebut adalah tokoh

mediator yang telah dititipi arwah anak yang mengandung kala yang sedang

diruwat. Tokoh mediator berlari-ke mana-mana berusaha menyelamatkan

diri. Bethara Kala berhasil menangkap keempat tokoh mediator. Tokoh

mediator berteriak minta tolong.

Perlokusinya atau tindakan keempat tokoh mediator tersebut berlari-

lari bersembunyi untukmenyelamatkan diri dari kejaran Bethara Kala.


154

Setelah ditangkap oleh Bethara Kala, keempat tokoh mediator tersebut

berteriak=teriak minta tolong dan memanggil-manggil ibunya.

Kedua data tersebut mengandung nilai pendidikan kepada

masyarakat Tengger agar bila mempunyai anak yang mengandung kala,

supaya segera diruwat agar hidupnya dan keluarganya menjadi tenang dan

bahagia, karena anaknya sudah terbebas dari kala dan tidak menjadi

makanan Bethara Kala. Bila orang tuanya tidak segera meruwat anaknya

yang mengandung kala, akan menjadi beban hidup bagi keluarga, baik kedua

orang tua maupun anaknya.

Data (WTT 1.33.15—40) merupakan bentuk lokusi. Ilokusinya atau

maksudnya adalah Bethara Kala mencari dalang Ki Lebari ingn minta tolong

menyucikan mayat yang akan dimakannya agar suci. Bethara Kala sudah

dipesan ibunya agar mayat manusia yang akan dimakan harus disucikan dulu

oleh dalang keturunan wayang topeng Tengger.

Perlokusinya atau tindakan dalang adalah mau menolong Bethara

Kala menyucikan keempat mayat yang akan dimakan. Akan tetapi, dalang

Ki Lebari minta upah kepada Bethara Kala. Bethara Kala memberi upah

berupa pusaka Hargadumilah pemberian ayahnya. Dalang Ki Lebari segera

menyucikan keempat mayat tersebut.


155

Data di atas (WTT 1.33.15—40) mengandung nilai pendidikan agar

orang tua yang memiliki anak yang mengandung kala, agar segera diruwat

sehingga tidak menjadi makanan Bethara Kala. Bila tidak segera diruwat,

anak dan orang tuanya akan menjadi beban dalam hidupnya, karena

masyarakat Tengger mayoritas percaya, bila mempunyai anak yang

mengandung kala harus diruwat agar tidak menjadi makanan Bethara Kala.

Di samping itu, teks tersebut juga mengandung nilai pendidikan kepada

masyarakat, kalau mau makan apa pun, khususnya daging mentah, harus

dicuci dulu agar bersih dan tidak mengandung penyakit yang akan

membahayakan kehidupan manusia.

k. Nyambut damel tetanen, mikul pacul dhateng tegal pasetrane

Nyambut damel tetanen, mikul pacul dhateng tegal pasetrane

merupakan ikon tipologi yang memiliki kemiripan dengan kehidupan sehari-

hari masyarakat Tengger, yaitu bekerja bertani, memikul pacul pergi ke

ladang tempat bekerja. Ikon tersebut menggambarkan bahwa kehidupan

masyarakat Tengger mayoritas sebagai petani. Setiap hari masyarakat pergi

ke ladang, dengan memikul pacul untuk bekerja di ladang sebagai petani

sayur-sayuran, seperti kentang, klubis, brambang pre, tomat, dan Lombok.

Tanaman unggulan masyarakat Tengger adalah kentang. Tanaman sayur-

sayuran palawija kelihatan sangat subur, dan hasilnya sangat baik, sehingga
156

masyarakat Tengger pada umunya kaya raya dari hasil tanaman sayur-

sayuran. Kehidupan suami-isteri bisa hidup bahagia. Namun, tiba-tiba

merasa pusing karena memikirkan anak-cucunya yang nyandang kala, yang

akan diruwat dengan menanggap campur sari dan wayang topeng Tengger.

Hal tersebut tampak pada data sebagai berikut:

Data F1.1.16

... Pak Ruli kalian Ibu Ruli menika temungkul kang anggonipun
nyambut damel tetanen, mikul pacul dhateng tegal pasetrane.
Namaaken wesi pulasane nyuwun pamit dhateng Ibu Ruli dalem
nitipaken palawija-palawiji. Nyuwun kanthi subur makmur, ijo sugih
gembel amber, kumarep kanthi ngatas donya brana. Menika sampun
kelampahan enget nggadhahi putra kalian putu nandung kala.
Menika wangsul saking petegalan mikul pacul. Jejer jumejer dhateng
kalian kang garwa mlebet gelaripun menika lenggaha nang
pajengipun. Ning kala kama dipunsing saka guru sekawet menika
rembakan badhe wujudan menika nanggap campursari kalian
wayang topeng. Menika badhe ngeruwat putranipun sanalika.

(… Pak Ruli dan Ibu Ruli kelihatan dalam bekerja bertani, memikul
cangkul, menitipkan palawija, meminta kesuburan, hijau, bayak
buahhnya sehingga bisa kaya raya. Sekarang sudah tercapai dan ingat
memiliki anak cucu menyandang kala. Sekarang pulang dari ladang
memikul cangkul, duduk berjajar berdua dengan isterinya, tetapi
merasa pusing karena membicarakan akan menanggap campursari
dan wayang topeng sekaligus untuk meruwat anaknya) (WTT
1.33.30—50).

Berdasarkan data tersebut (WTT 1.33.30—50) dapat disimpulkan

bahwa masyarakat Tengger pada umumnya mata pencahariannya petani

sayur-sayuran, seperti kentang, klubis, brambang pre, tomat, dan Lombok.


157

Tanaman sayur-sayuran pada umumnya sangat subur, sehingga masyarakat

Tengger pada umumnya kaya dari hasil tanaman sayur-sayuran. Setelah

kehidupan masyarakat kaya, biasanya dipusingkan karena anak-cucunya

yang nyandang kala sehingga harus diruwat dengan menanggap campursari

dan wayang topeng Tengger. Sedangkan untuk melaksanakan upacara

ruwatan biayanya sangat mahal, sekitar Rp200.000.000—Rp300.0000.000.

Data tersebut (WTT 1.33.30—50) merupakan lokusi. Ilokusi atau

maksudnya adalah masyarakat Tengger mayoritas mata pencahariannya

adalah petani sayur-sayuran. Tanaman sayur-sayuran sangat subur sehingga

hasil panennya banyak. Masyarakat Tengger pada umumnya kaya dari hasil

panen palawija, seperti kentang, klubis, brambang, tomat, dan Lombok,

sehingga hidupnya bahagia. Namun, kehidupan masyarakat menjadi pusing

karena memikirkan anak-cucu yang mengandung kala, sehingga perlu

diruwat agar tidak menjadi makanan Bethra Kala.

Perlokusinya atau tindakan orang tua yang memiliki anak yang

mengandung kala adalah melakukan upara ruwatan dengan menanggap

berbagai jenis kesenian, seperti campur sari dan wayaang topeng Tengger.

Untuk melakukan upacara ruwatan biayanya mahal karena pestanya

dilaksanakan selama tigahari. Bagi keluarga yang kaya, upacara bisa

dilaksanakan sampai tujuh hari dengan menanggap berbagai jenis kesenian,


158

seperti kuda lumping, dramben, campur sari, dan wayang topeng Tengger

sebagai upacara penutupnya.

Data tersebut (WTT 1.33.30—50) mengandung nilai pendidikan

kepada masyarakat Tengger agar bekerja keras di ladang menanam sayur-

sayuran seperti kentang, klubis, brambang pre, tomat, dan Lombok.

Masyarakat Tengger bisa hidup bahagia dan kaya karena hidup secara

bertani sayur-sayuran. Bila orang tua memiliki anak yang mengandung kala,

bila sudah punya dana segera melaksanakan upacara ruwatan, agar anak dan

kedua orang tuanya segera terbebas dari beban yang harus meruwat anaknya

yang mengandung kala.

2. Ikon diagramatik

Ikon diagramatik adalah tanda yang memiliki kemiripan relasional yang

menunjukan strata atau tingkatan dalam suatu masyarakat, seperti antara lain:

dewa, raja, patih, presiden, menteri, gubernur, bupati, dan rakyat. Berdasarkan

identivigasi data pada 4 pertunjukan wayang topeng Tengger, ditemukan 7 ikon

diagramatik, yaitu (a) Perbedaan jabatan antara Raja dengan Menteri, Bupati, dan

rakyar biasa, (b) Perbedaan status sosial antara kakak dengan adik (c) Perbedaan

status sosial antara kakak dengan adik, (d) Perbedaan status sosial antara Raja

dengan prajurit kerajaan (d) Perbedaan status sosial antara Raja dengan prajurit
159

kerajaan (e) Perbedaan status sosial para dewa (f) Perbedaan status sosial antara

ayah dan anak, dan (g) perbedaan penguasaan ilmu dan keberuntungan. Ketujuh

aspek tersebut dijelaskan satu per satu sebagai berikut:

a. Perbedaan jabatan antara Raja dengan Menteri, Bupati, dan rakyar

biasa

Dalam kehidupan masyarakat tradisional pada masa lampau maupun

masyarakat masa kini dibagi tiga lapisan sosial atau golongan. Pertama,

lapisan social atau golongan elit, seperti raja, presiden, menteri, pengusaha.

Kedua , lapisan atau golongan menengah, seperti dosen, pegawai negeri, dan

guru. Ketiga, golongan bawah, seperti buruh tani, buruh pabrik, tukang becak,

kuli, dan pengemis.

Pertunjukan wayang topeng Tengger pada dasarnya juga merefleksikan

kondisi masyarakat yang dibagi dalam berbagai kelas, seperti ada raja, ada

menteri, ada bupati, dan rakyat biasa. Perbedaan kelas sosial tersebut tercemin

dalam jabatan raja, meneteri, bupati, dan rakyat. Bisa juga dilihat dari tutur

bahasa. Masyarakat Jawa dari golongan bangsawan bia bicara dengan rakyat

biasa akan mengguakan bahasa Jawa ngoko. Sedangkan masyarakat biasa

akan menggunakan bahasa krama madya atau krama inggil, tergantung pada

tinggi rendahnya status sosianya. Gambaran ikon diagramatik tampak pada

data sebagai berikut:


160

Data F1,2.01

Kaya Kadang Sunarya! Yayi, kadangingsun Banya Sasi, Banya 0ra,


Cindraksa-Cindraksi kabeh para Menteri, Bupati, ayo padha mara
seba kinumpul ing alun alun.
(Dhik, Saudaraku Cindraksa-Cindraksi semua para pegawai
pemerintahan, Bupati ayo bersama-sama berkumpul di alun-alun)
Yayi Cindraksa! Inggih kula dherekaken lampahipun Panjenengan
Yayi.
(Iya saya ikuti perjalanan Bapak, Yayi)
Wee ladalah jagad Dewa Bathara, bot-bote Panjenenganingsun
namung marang sekabeh para kawula ingsun tak weweh udan
kudanan, panas kepanasan. Mlebu alas, metu alas jaga kahanane
negara.
(Wee ladalah jagad Dewa Bathara, aku berat kepada semua para
rakyatku, aku beri hujan kehujanan, panas kepanasan. Masuk hutan,
keluar hutan menjaga keadaan negara)
Inggih, Kang!
(Iya Kakak!) (WTT 1.1.0--15).

Data tersebut (WTT 1.1.0--15) menggambarkan perbedaan strata atau

lapisan sosial antara Raja dengan menteri, bupati, dan rakyat biasa. Hal

tersebut terlihat dari perbedaan jabatan dan tutur bahasanya. Jabatan raja lebih

tinggi daripada jabatan menteri dan bupati. Jabatan bupati lebih tinggi

daripada rakyat biasa. Perbedaan strata sosial bisa juga dilihat dari

penggunaan bahasa. Raja dalam meminta atau memerintahkan para menteri,

bupatai, dan rakyat biasa menggunakan bahasa Jawa ngoko karena kedudukan

raja lebih tinggi daripada menteri, bupati, dan rakyat biasa, seperti ucapan raja

sebagai berikut ―… kadangingsun Banya Sasi, Banya 0ra, Cindraksa-

Cindraksi kabeh para Menteri, Bupati, ayo padha mara seba kinumpul ing
161

alun-alun“. (...saudaraku Cindraksa-Cindraksi semua para pegawai

pemerintahan, Bupati ayo bersama-sama berkumpul di alun-alun) (WTT

1.1.0--15).

Data tersebutk (WTT 1.1.0—15) merupakan lokusi. Ilokusinya atau

maksudnya adalah raja mengajak para menteri, bupati, dan rakyat biasa untuk

berkumpul di alun-alun untuk mengetahui keadaan rakyatnya. Raja yang baik

akan sering mengadakan pertemuan dengan para menteri, bupati, dan

rakyatnya, untukmengetahui keadaan rakyatnya. Dengan mengadakan

pertemuan akan diketahui permasalahan yang dihadapi rakyatnya dan

dicarikan solusinya.

Perlokusinya atau tindakan saudaranya, Banya Sasi, Banya 0ra,

Cindraksa-Cindraksi, para Menteri, Bupati, dan rakyat segera mengikuti

perintah raja dan segera berkumpul di alun-alun. Raja ingin mengetahui

keadaan rakyatnya.

Data tersebut mengandung nilai pendidian kepada para pemimpin agar

mempunyai perhatian kepada rakyatnya. Untuk mengetahui keadaan

rakyatnya dengan sering mengadakan pertemuan dengan para menteri dan

bupati. Dengan sering mengadakan pertemuan akan mengetahui keadaan

rakyatnya. Bila ada masalah yang dihadapi rakyatnya segera bisa diatasi.
162

b. Perbedaan status sosial antara kakak dengan adik

Dalam kehidupan keluarga ada hubungan kekerabatan yang dikenal

sebutan kakak dan adik. Prabu Patih Manik Kusuma adalah kakak Banyak

Sasi yang memiliki jabatan patih. Status sosial Prabu Patih Manik Kusuma

lebih tinggi daripada status sosial Banyak Sasi sebagai adiknya. Status sosial

kakak lebih tinggi daripada adik, apalagi kakaknya memiliki jabatan patih

dikerajaan, maka status sosialnya tinggi. Orang yang status sosialnya rendah

akan menghormati orang yang statusnya lebih tinggi. Dalam hubungan

kekeluargaan yang baik dan harmonis, seorang adik akan menghormati

adiknya. Sebaliknya seorang kakak juga akan menghormati adiknya. Akan

tetapi, bentuk penghortan masing-masing berbeda. Bentuk penghormatan

seorang adik kepada kakak dan penghormatan kakak kepada adiknya tampak

pada sikap dan bahasa yang digunakan sebagai berikut:

Data F1.2.02

Sinuwun Prabu Patih Manik Kusuma sowanipun Panjenengan kula


tansah ngestoaken sembah pangabekti konjuk, Kang Mas!
(Sinuwun Prabu Patih Manik Kusuma atas kedatangan anda, saya
menghaturkan sembah bakti kepada Kakak!)
Ya Yayi Banyak Sasi, Sira ngunjukake sembah marang
Panjenenganingsun. Ingsun wis nampa sesembahanira. Ora liwat puja
pangestuningsun enggal tampanana, Yayi.
(Ya Dik Banyak Sasi, anda menghaturkan sembah kepada aku. Aku
sudah menerima sembahmu. Tak terlewatkan pangestuku terimalah,Dik)
(WTT 1.1.55--65).
163

Data tersebut (WTT 1.1.55--65) menunjukan adanya perbedaan strata

sosial antara Prabu Patih Manik Kusuma dengan adiknya Banyak Sasi.

Hubungan antara kakak dengan adiknya baik saling menghormati. Adiknya

yang strata sosialnya lebih rendah baik dari segi jabatan dan hubungan

kekerabatan daripada kakaknya, sangat menghormati kakaknya. Sebaliknya,

kakaknya yang status sosialnya lebih tinggi daripada adiknya, juga sangat

menghormati adiknya.Penghormatan adik kepada kakaknya tampak pada

sikap dan turu bahasanya sebagai berikut; ― Sinuwun Prabu Patih Manik

Kusuma sowanipun Panjenengan kula tansah ngestoaken sembah pangabekti

konjuk, Kang Mas! (Sinuwun Prabu Patih Manik Kusuma atas kedatangan

anda, saya menghaturkan sembah bakti kepada Kakak!) (WTT 1.1.55--65).

Sebaliknya bentuk penghormatan kakak dengan adiknya tampak pada

sikap dan tutur bahasa sebagai berikut: ― Ya Yayi Banyak Sasi, Sira

ngunjukake sembah marang Panjenenganingsun. Ingsun wis nampa

sesembahanira. Ora liwat puja pangestuningsun enggal tampanana, Yayi. (Ya

Dik Banyak Sasi, anda menghaturkan sembah kepada aku. Aku sudah

menerima sembahmu. Tak terlewatkan pangestuku, Dik) (WTT 1.1.55--65).

Data tersebut (WTT 1.1.55--65) merupakan bentuk lokusi. Ilokusinya

atau maksudnya adalah Prabu Patih Manik Kusuma meminta para menteri,

bupati, dan rakyat berkumpul di laun-alun. Raja ingin mengetahui keadaan


164

rakyatnya. Perlokusinya atau tidakan Banyak Sasi, para menteri, bupati, dan

rakyat mematuhi perintah raja berkumpul di alun-alun.

Data tersebut mengandung nilai pendidikan kepada masyarakat agar

hubungan antara anggota keluarga baik, saling menghormati antara anggota

keluarga yang satu denga yang lain. Antara suami dengan isteri, antara orang

dengan anak, antara adik dengan kakak, antara kakak dengan adik harus saling

menghormati, meskipun berbeda strata sosialnya, baik secara jabatan maupun

hubungan kekerabatan.

c. Perbedaan status sosial antara Raja dengan prajurit kerajaan

Dalam sistem kerajaan, dikenal istilah raja, patih, prajurit atau tamtama,

dan kawula atau rakyat biasa. Keempat strata sosial tersebut memiliki

hirarkhi, tugas, dan tanggung jawab masing-masing yang berbeda. Kedudukan

social yang paling tinggi dan tanggung jawab yang paling berat terhadap

kerajaan dan rakyat adalah raja. Kemudian urutan kedua adalah patih.

Patih mempunyai status social dn tanggung jawab yang tinggi di bawah raja.

Ia bertanggungbjawab kepada raja. Urutan ketiga adalah prajurit. Prajurit

mempunyai tanggung jawab kepada patih untuk menjaga keamanan dan

kedamaian kerajaan dan rakyat. Urutan keempat adalah rakyat. Rakyat

memiliki strata social dan kekuasaan yang paling rendah bila dibandingkan

raja, patih, dan prajurit. Bahkan rakyat tidak mempunyai kekuasaan apa-apa di
165

hadapan raja, patih, dan prajurit. Gambaran strata dan kekuasaan tersebut

tampak pada data sebagai berikut:

Data F1,2.03

... Prabu Patih Malika Kusuma, ngawontenaken pasewaken agung


ngempaleken sedaya para tamtamane ing praja....
(... Patih Malika Kusuma mengadakan pasewakan besar
mengumpulkan semua para prajurit di negara.... )
Mengkene, Yayi. Sepisan Panjenenganingsun kepengin mangerteni
pawartane negara apa ya wis kanthi tentrem ayem sekabehing para
kawula cilik, ora ana kang sami kekurangan sandang kelawan
pangan?
(Begini, Yayi. Sekali aku ingin mengerti berita negara apa ya sudah
tentram tanpa masalah semua rakyat kecil, tidak ada yang kekurangan
sandang dan pangannya?)
Inggih kepareng matur. Menawi sedaya para kawula mboten wonten
ingkang kekirangan sandang. Kedah kawastan negari tanah Jawi
menika gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem, raharja nggih
rajanipun para kawula rahajanipun sedaya para priyayi agung
sedaya!
(Iya, perbolehkan saya berbicara. Kalau semua para rakyat tidak ada
yang kekurangan sandang dan pangannya.Harus dinamai negara tanah
Jawa ini gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem, raharja ya raja dan
para rakyatnya semua para orang senegara)(WTT 1.2.10--15).

Berdasarkan data tersebut (WTT 1.2.10--15) menggambarkan

perbedaan strata sosial, jabatan, kekuasaan, dan tanggung jawa antara raja,

patih, prajurit dan rakyat biasa. Raja memiliki status social, kedudukan,

kekuasaan, dan tanggung jawab yang paling tinggi dan paling berat terhadap

keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan rakyatnya. Kemudian dikuti secara

berurutan oleh patih, prajurit dan rakyat. Bahkan secara individu rakyat

biasa tidak mempunyai kekuasaan apa-apa, tetapi bila rakyat bersatu bisa
166

menumbangkan kekuasaan.Perbedaan strata social, kedudukan, jabatan, dan

tanggung jawab di sebuah kerajaan atau pemerintahan sampai sekrang masih

tetap terjadi.

Data tersebut (WTT 1.2.10--15) merupakan bentuk lokusi. Ilokusinya

atau maksudnya adalah raja ingin mengadakan pertemuan agung seluruh

pejabat kerajaan, ingin mengetahui keadaan kerajaan dan rakyatnya. Apakah

keadaan rakyatnya tidak kekuranga makanan dan pakaian. Perlokusinya atau

tindakan para pejabat negara melaporkan kepada raja bahwa kerajaan dalam

keadaan aman dan damai. Seluruh rakyat dalam keadaan bahgia, damai, dan

bahagia, tidak kekurangan makanan dan pakaian. Bila keadaan rakyat

tenang, damai, dan sejahtera, maka raja pun akan bahagia.

Data tersebut mengandung nilai pendidikan kepada para pemimin atau

penguasa agar selalu memperhatikan keadaan kerajaan atau negara dan

keadaan rakyatnya, terutama masalah kebutuhan dasar rakyat seperti

makanan dan pakaian. Jangan sampai seorang pemimpin kerajaan atau

negara hanya mementingkan keluarga, golongan, dan partainya. Seorang

tokh partai setelah menjadi pemimpin, bukan lagi pemimpinnya salah satu

partai tertent, tetapi menjadi pemimpinnya seluruh rakyat, sehingga harus

memikirkan kesejahteraan seluruh rakyatnya.


167

d. Perbedaan status sosial para dewa

Dalam kehidupan masyarakat, manusia dibagi dalam tataran kelas sosial.

Ada kelas elit atau tinggi, kelas menengah, dan kelas bawah. Dalam

kehidupan para dewa yang hidup di Kayangan Suralaya pun mempunyai

perbedaan kedudukan dan status sosial yang berbeda. Ada dewa Wisnu, Dewa

Brahma, Dewa Siwa, Dewa Narada, Dewa Surya, Dewa Sambu, dan Dewa

Yamadimati. Setiap dewa mempunyai kedudukan dan tugas yang berbeda.

Dalam kehidupan masyarakat Tengger sampai saat ini mayoritas masih

percaya kepada adanya para Dewa, seperti Bethara Guru, Bethara Narada,

Bethara Yamadipati, Bethara Indra, dan Bethara Surya. Para dewa tersebut

tinggalnya di Kayangan. Kedudukan para dewa pun mempunyai tataran status

sosial yang berbeda. Yang dianggap paling Tinggi kedudukannya adalah Sang

Hyang Wenang atau dewa Wisnu, yang dianggap sebagai Dewa Pencipta alam

semesta. Dewa Brahma sebagai dewwa pemelihara alam. Dewa Siwa sebagai

dewa penghancur alam dunia. Ketika dewa tersebut memiliki kedudukan

yanag sama, namun mempunyai tugas yang berbeda. Ada juga kepala para

dewa, yaitu Bethara Guru. Jabatan ini ada batasnya, sehingga bila sudah tua

bisa pensiun.

Di samping itu, ada dewa yang dianggap paling tua dan memegang

peranan yang sangat penting sebagai utusan para dewa untuk menemui
168

manusia di alam dunia, yaitu Dewa Narada. Dewa Narada bertugas untuk

membawa wahyu dari para dewa kepada para kesatria yang tinggal di alam

dunia. Selain itu, masih bayak nama dewa lain yang mempunyai kedudukan

yang sama, tetapi memiliki tugas yang berbeda, seperti Dewa Surya, bertugas

menjaga Mataharai, Dewa Yamadipat, bertugas mencabut nyawa manusia.

Gambaran perbedaan status social para dewa tampak pada data sebagai

berikut:

Data F1,2.04

Inggeh pande Suralaya Bathara Narada, Bathara Brama, Bathara


Sambu.
(Iya penghuni Suralaya, Bathara Narada, Bethara Brama, Bethara
Sambu)
Yamadimati, Bathara Surya, sedaya sami dipun aturi ngempal wonten
ing Kahyangan Suralaya perkempalanipun menika sedaya dewa
Hyang Pikulun Sang Hyang Guru Wenang, nggeh Sang Hyang Giri
Nata, mboten gagas nganti murcaning Kahyangan. Kahyangan
sampun tentrem ayem sedaya para widadara widadari mboten wonten
kekirangan sandang, ana dipun tedan. Nggih menika ngawotenaken
pasewenang agung. Namung kersa badhe mangsiunaken Sang Sis
ingkang jumeneng nata, dados Bathara Guru, wonten ing Kahyangan
Jonggring Saloka sebab yuswanipun sampun sepuh sanget. Kersane
dipun gentos dhateng senatare mudha. Calone dewa ingkang
dumunung wonten ing Kahyangan Jonggring Saloka. Kanthi dipun
sekseni dhateng kadang sepuh pande Suralaya, Bathara Narada,
Bathara Brama, Bathara Sambu Yamadimati, Bathara Surya.
Piyambakipun Sang Sis nembe dipun pensiunaken. Nggeh gadhahe
beselit naminipun pusaka Hargadumilah, lungsungune jagad murbeng
alam. Pratingkah angsalipun ngelampahi tapa brata wonten
puncakipun Gunung Jamur Dipa. Sesarengan medalipun kalian
wujudipun lisah tala, nggih lisah jayeng katon, nggeh naminipun lisah
tala, nggih lisah jayeng katon.
169

(Yamadipati, Bethara Surya, semua diminta untuk berkumpul di


kayangan Suralaya. Yang ikut dalam pertemuan ini semua dewa
Hyang Pikulun Sang Hyang Guru Wenang, ya Sang Hyang Giri Nata.
Kayangan sudah tentram semua para bidadari tidak ada yang
kekurangan ada yang dimakan, untuk mengadakan pertemuan agung.
Sang Sis yang sedang menjabat, menjadi Bethara Guru di Kayangan
Jonggring Saloka karena umurnya sudah tua sekali, supaya diganti
yang lebih muda. Calon Dewa yang bertempat tinggal di Kayangan
Jonggring Saloka. Dengan disaksikan para generasi tua Bethara
Narada Bathara Brama, Bathara Sambu Yamadimati, Bathara Surya,
beliau baru saja dipensiunkan dan memiliki pusaka namanya
Hargadumilah yang menjaga alam, yang didapatkan dari bertapa di
puncak gunung Jamur Dipa, bersama keluarnya wujud Lisah Tala ya
Minyak Jayeng Katon) (WTT 1.3.10--45).

Data tersebut (WTT 1.3.10--45) menunjukan bahwa dalam kehidupan

para dewa pun mngenal lapisan sosial dan kedudukan para dewa. Ada dewa

yang memiliki kedudukan yang paling tingi yaitu Dewa Wisnu, Dewa

Brahma, dan Dewa Siwa. Para dewa juga dipimpin oleh seorang kepala

dewa yang bernama Bethara Guru. Jabatan pemimpin dewa juga ada masa

pensiunnya. Bila dewa sudah pension karena umurnya sudah tua bisa

digantikan generasi yang lebih muda. Seperti Dewa Sang Hyang Sis setelah

umurnya tua dipensiun dan digantikan oleh anaknya yang keempay yang

bernama Sang Hyang Manikmaya.

Data tersebut (WTT 1.3.10--45) merupakan bentuk lokusi. Ilokusinya

atau maksdunya adalah para dewa disuruh berkumpul di Kayangan Suralaya,

akan diadakan petemuan agung para dewa. Dalam pertemuan tersebut Dewa

Narada akan mengumumkan bahwa Sang Hyang Sis telah dipensiunkan oleh
170

Sang Hyang Wisnu atau Sang Hyang Giri Nata. Calon penggantinya adalah

keempat putranya.

Perlokusinya atau tindakan para dewa segera menuju ke Kayangan

Suralaya untuk mengikuti pertemuan para dewa dan mendengarkan

pengumuman dari Dewa Nrada bahwa Sang Hyang Sis sudah dipensiunkan

oleh Sang Hyang Wisnu atau Sang Hyang Giri Nata. Calon penggantinya

adalah keempat putranya, Sang Hyang Punggung, Sang Hyang Pongat, Sang

Hyang Lesman Dewa, dan Sang Hyang Manikmaya.

Data tersebut (WTT 1.3.10—45 mengandung nilai pendidikan kepada

masyarakat bahwa jabatan itu bersifat sementara dan merupakan amanah.

Oleh sebab itu, seseorang yang sedang menjabat harus menyadari bahwa

suatu saat jabatan itu akan lepas secara alamiah karena memasuki usia

pensiun karena umur sudah tua atau habis masa jabatannya. Seseorang yang

sedang menjabat sudah harus mempersiapkan diri secara iklas melepaskan

jabatannya dan mempersiapkan dengan berbgai kesibukan yang lain,

sehingga pada masa pension tidak setres. Orang yang sudah pension,

waktunya dikonsentrasikan untuk beribadah kepada Than Yang Mahakuasa

dan banyak berbuat baik kepada keluarga dan masyarakat.


171

Perbedaan status sosial para dewa juga dicertakan pada pertunjukan

wayang topeng Tengger 2 (WTT 2. 3.5—15, (WTT 3. 3.5—15), (WTT 4.

3.5—15).

e. Perbedaan status sosial antara Bethara Guru dengan Naga Gini

Dalam kontek wayang topeng Tengger, lakon Bethara Guru Kawin,

pertama yang menjabat Bethara Guru adalah Sang Hyang Sas Sis. Karena ia

usianya sudah tua, dipensiunkan oleh Sang Hyang Wenang, dan akan

digantikan yang lebih muda. Calonnya adalah keempat anaknya yang bernama

Sang Hyang Punggung, Sang Hyang Pongat, Sang Hyang Lesmana Dewa, dan

Sang Hyang Manikmaya.

Untuk bisa menggantikan kedudukan ayahanya sebagaia Bethara Guru,

Sang Hyang Sas Sis tidak menunjuk anaknya yang pertama sebagai

penggantinya. Akan tetapi melalui sayembara berdasarkan kompetensinya,

siapa yang bisa menangkap dan menyerahkan kembali pusaka Hargadumilah

ke ayahnya, dialah yang berhak menggantikan kedudukan ayahnya sebagai

Bethara Guru. Ternyata yang berhasil menangkap pusaka Hargadumilah

adalah Sang Hyang Manikmaya, putra ragil atau terakhir Sang Hyang Sas Sis.

Meskipun anak yang paling kecil, ia memiliki kesaktian, kesabaran, dan kuat

terhadap segala cobaan, sehingga pusaka Hargadumilah diberikan kepadanya


172

pada saat ia bertapa di Gua Gandamayit oleh Bethara Narada. Bethara Guru

dalam konteks lakon Bethara Guru Krama adalah Sang Hyang Manikmaya.

Bethara Guru sebagai pejabat baru, yang mempunyai kedudukan yang

sangat tinggi, ternyata tidak kuat menahan nafsu seknya kepada wanita yang

sanagat cantik yang bernama Naga Gini yang datang kepadanya. Bethara

Guru jatuh cinta kepada Naga Gini. Sedangkan Naga Gini adalah manusia

biasa, putra Pandita Sukma Sejati dari Padepoaan Gunung Wertawai, tidak

punya kedudukan yang tinggi. Ia adalah orang yang miskin, tidak punya apa-

apa. Ia hanya punya jarik sobek dan baju sobek, sebagai ikon orang biasa

yang miskin, tidak punya apa-apa, kecuali jarik sobek dan baju sobek. Hal

tersebut untuk menguji kesetiaan Bethara Guru, apakah ia betul-betul

mencintai dirinya, bukan karena pangkat, harta dan keturunan, sebagaimana

yang sering menjadi persyaratan perkawinan bagi masyarakat Jawa.

Masyarakat Jawa pada umumnya dalam perkawinan atau memilih jodoh,

menggunakan pertimbangan, bibit (keturunan), bobot ( kedudukan/jabatan),

dan bebet (harta/kekayaan). Perbedaan status sosial antara Bethara Guru

dengan Naga Gini tampak pada data sebagai berikut:

Data F1.2. 05

Yen kula mangke mpun purun, kula niki wanci larene soke sakesa
melarat ra nduwe napa-napa, nduwe kula nggih namung jarik suwek
klambi suwek. Kaya ngeten njenengan niku tiyang kebek donya,
173

bandha, badungan mijeh raja brana. Nanging kula pun dipun siya-siya
nggih,Kang Mas.
(Kalau saya nanti mau, saya ini anak dari desa yang miskin, didak
punya apa-apa,, punya saya hanya jarik sobek, baju sobek. Sedangkan
Anda orang yang kaya raya, banyak harta. Saya jangan disia-siakan,
Kang Mas) (WTT 1.14.105--115).

Data tersebut menunjukan adanya perbedaan status sosial antara

Bethara Guru dengan Naga Gini. Bethara Guru adalah seorang Dewa dan

kepala para dewa yang hidup di Kayangan. Sedangkan Naga Gini adalah

manusia biasa yang hidup di alam dunia nyata yang ditempai manusia dan

makluk lain. Ternyata Bethara Guru benar-benar sudah jatuh cinta kepada

Naga Gini yang kelihatan sangat cantik karena sudah diberi aji-aji

pengasihan oleh ayahnya yang berupa lenga bonddet, sehingga Bethara

Guru langsung jatuh cinta kepada Naga Gini. Tidak lagi menggunakan

pertimbangan bobot, bibit, dan bebet. Aji aji pengasihan yang telah

diberikan Pandita Sukma Sejati kepada Naga Gini tampak pada data

sebagai berikut:

Data F1.2. 06

Loh sliramu iki putra pendhita, Ndhuk, mula sedurunge sliramu


budhal ing mengko bakal taksangoni lenga bodhet.
(Lho kamu itu kan anak pandita, nak. Maka, sebelum kamu
berangkat kamu bakal aku beri Minyak Bodhet).
O kados ngoten ta, Rama.
(O begitu, ayah.)
174

Bathara Guru bakal lali marang tata kerjane mala-malange gendengi


marang kowe.
(Batara Guru bakal lupa dengan apapun dan mencintaimu.)
Napa saestu ta kanjeng, Rama.
(Apakah benar, ayah?)
Lah nyapa wong tuwa kok goroh?
(Kenapa aku membohongimu?) (WTT 1.12. 95--110).
Data tersebut juga merefleksikan adat-istiadat masyarakat Tengger

yang sampai saat ini masih percaya pada mistik, bahwa untuk menundukkan

seorang laki-laki agar jatuh cita kepada wanita atau sebaliknya menggunakan

perantara dukun. Seorang dukun dianggap bisa membantu seseoang untuk bisa

mencapai apa yang dicita-citakan. Bila masyarakat Tengger mengalami suatu

masalah atau sakit, pada umumnya minta pertolongan kepada dukun. Jadi,

dukun memegang peranan yang sangat penting bagi masyarakat Tengger.

Setiap pedukungan dan desa ada stu dukun. Dukun di Tengger merupakan

salah satu unsur perangkat desa.

Secara pragmatik data F1.2.01 merupakan lokusi. Ilokusinya atau

maksudnya adalah Naga Gini mengaku sebagai orang miskin, tidak punya

apa-apa, punyanya hanya jarik sobek dan baju sobek. Sedangkan Bethara

Guru mempunyai derajat yang tinggi sebgai kepala dewa dan kaya raya. Ia

minta kelak Bethara Guru tidak menyia-nyiakan dirinya, karena seorang laki-
175

laki pada umumnya hanya mencintai seorang wanita pada saat senang saja dan

pada saat sudah bosan, disia-siakan begitu saja. Dalam pepatah dikatakan

―habis manis, sepah dibuang‖.

Perlokusinya atau tindakan Bethara Guru ternyata betul-betul

mencintainya karena sudah terkena guna-guna minyak bondhet yang dibawa

Naga Gini pemberian ayahnya. Bethara Guru langsung melamar Naga Gini

untuk dijadikan istrinya dan Naga Gini pun mau. Naga Gini kemudian diajak

jalan-jalan ke laut Selatan. Dalam perjalanan nafsu Bethara Guru tidak bisa

ditahan dan langsung masuk ke pert Naga Gini. Nag Gini perutnya merasa

sakit dan akhirnya keluar kama (air mani). Kama tersebutlah yang akhirnya

menjadi Bethara Kala.

f. Perbedaan status sosial antara ayah dan anak

Sang Hyang Sas Sis dan keempat putranya, yaitu Sang Hyang

Punggung, Sang Hyang Pongat, Lesmana Dewa, dan Manikmaya merupakan

ikon diagramatik. Antara Sang Hyang Sas Sis dengan keempat putranya

mempunyai perbedaan jabatan dan status sosial di kalangan para dewa. Sang

Hyang Sas Sis merupakan salah satu dewa yang memegang jabatan sebagai

Bethara Guru, kepala para dewa di Kayangan Suralaya. Sedangkan keempat

anaknya tidak mempunyai jabatan apa-apa. Usia Sang Hyang Sas Sis sudah

tua dan akan dipensiunkan oleh Sang Hyang Giri Noto. Sebagai penggantinya
176

adalah para generasi muda, anaknya sendiri yang berjumlah empat orang,

yaitu Sang Hyang Punggung, Sang Hyang Pongat, Lesmana Dewa, dan

Manikmaya. Sang Hyang Sas Sis mengyumpulkan keempat anaknya akan

diberi tahu bahwa dirinya akan dipensiunkan oleh Sang Hyang Giri Noto atau

Sang Hyang Wenang karena usianya sudah tua. Sebagai penggantinya adalah

keempat anaknya. Hal tersebut tampak pada data sebagai berikut:

Data F1.2. 07

Ooo ngger para putraku papat Sang Hyang Punggung, Sang Hyang
Pongat Lesmana Dewa, lan Manikmaya, sira pada tak aturi marang
coba ngadhepa ing arcapadane Rama pikulun ana ing pertamanan sari
kene wis padha midhangetake padha sowan bebarengan katon rukun
kaya mangkono dadekake bungahipun Rama ngger. Piye kabar
wusanane sasuwening Kahyangan Jonggring Saloka tak tinggal
munggah ning Kahyangan Suralaya, ngadegana arcapadane hyangmu
pikulun Sang Hyang Guruwenang apa kabeh para widadara widadari
ora ana kang kekurangan sandang kelawan angan ngger.
(Ooo keempat anakku Sang Hyang Punggung, Sang Hyang Pongat
Lesmana Dewa, lan Manikmaya, kamu semua saya minta untuk
menghadap Ayah di pertamanan sari ini sudah mendengarkan dan
menghadap bersama terlihat rukun seperti itu membuat hati Ayah
senang. Bagaimana kabar setelah selama Ayah menghadap Sang Hyang
Guru wenang? Apa semua bidadari dan bidadara tidak ada kekurangan
makan dan pakaian nak?)
Kanjeng rama angsal berkah pangestunipun kanjeng rama sedaya para
widadara widadari mboten wonten ingkang kekirangan sandang pangan
jo papan kanjeng rama.
(Ayah mendapat berkah dan doa Ayah, semua bidadari dan bidadara
tidak ada yang kekurangan makan dan pakaian) (WTT 1.4.90--115).
177

Data di atas (WTT 1.4.90--115) menujukan adanya perbedaan jabatan antara

Sang Hyang Sas Sis dengan keempat putranya. Sang Hyang Sas Sis karena

usianya sudah tua maka akan segera pensiun. Sebagai calon penggantinya adalah

keempat anaknya.

Peristiwa tersebut merupakan refleksi dari kenyataan yang ada dalam dunia

nyata bahwa jabatan merupakan amanah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha

Esa kepada seseorang dan suatu saat jabatan tersebut akan diambil kembali oleh-

Nya. Seorang yang menjabat, suatu saat setelah usianya sudah tua atau memasuki

usia pensiun, pasti akan mengalami pensiun. Oleh sebab itu, seseorang pada saat

menjabat harus sadar bahwa jabatan yang sekarang diembannya adalah hanya

sementara. Pada saat seseorang menjabat harus digunakan sebaik-baiknya untuk

berbuat baik dan banyak menolong rakyatnya atau anak buahnya. Jangan justru

digunakan untuk menyakiti dan menganiaya rakyatnya. Pada saat sudah tua dan

pensiun harus rela melepaskan jabatannya agar digantikan oleh generasi muda

untuk meneruskan estapet kepemimpinannya.

Secara pragmatik data di atas (WTT 1.4.90--115) merupakan lokusi.

Ilokusinya atau maksudnya adalah Sang Hyang Sas Sis mengumpulkan keempat

putranya, yaitu Sang Hyang Punggung, Sang Hyang Pongat, Lesmana Dewa, dan

Manikmaya untuk diberi tahu bahwa dirinya usianya sudah tua akan

dipensiunkan oleh Sang Hyang Giri Noto. Sebagai penggantinya adalah keempat
178

anaknya. Selama ditinggal ke Kayangan Suralanya, Sang Hyang Sas Sis minta

khabar tentang keadaan di Kayangan Junggring Saloka. Apakah para bidardara

dan bidadari dalam keadaan baik=baik saja, tidak kekurang makan dan sandang.

Perlokusinya atau tindakan keempat anaknya memberitahukan kepada

ayahnya bahwa selama ditinggal ayahnya ke Kayangan Suralaya, keadaan para

bidadara dan bidadari dalam keadaan bai-baik saja, tidak kekurang makan dan

pakaian. Peristiwa tersebut merupakan gambaran bahwa seorang pemimpin atau

orang tua yang baik, bila bepergian yang jauh dan lama, maka setelah pulang

sebaiknya menanyakan keadaan rakyatnya atau keluarganya yang telah lama

ditinggal. Hal tersebut menunjukkan adanya perhatian pimpinan atau orang tua

kepada rakyatnya atau anaknya.

Data di atas (WTT 1.4.90--115) mengandung nilai pendidikan kepada

seseorang yang sedang menjabat bahwa jabatan itu adalah amanah dan bersifat

sementara. Suatu saat akan diambil kembali oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh

sebab itu, selama menjabat harus banyak berbuat baik dan banyak menolong

orang lain yang membutuhkannya. Jangan justru banyak menyakiti dan

menganiaya orang lain. Setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban baik

di dunia maupun di akhirat. Bila memasuki usia pensiun, jabatan harus rela

dilepaskan, jangan justru takut kehilangan jabatan, sehingga harus

mempertahankan dengan berbagai cara yang melanggar etika, moral, dan agama.
179

Di samping itu, bila seorang pemimpin atau orang tua bepergian jauh dalam

waktu lama, setelah datang sebaiknya menanyakan keadaan rakyatnya atau

anaknya. Apakah dalam keadaan bai-baik saja, tidak kekurangan makanan dan

pakaian. Hal tersebut menunjukkan bahwa pimpinan atau orang tua mempunyai

perhatian terhadap rakyatnya atau anaknya.

g. Perbedaan penguasaan ilmu dan keberuntungan

Penguasan ilmu antara seseorang dengan orang lain berbeda. Ada orang

yang penguasan ilmunya tinggi dan luas. Ada juga seseorang yang penguasaan

ilmunya rendah dan sempit. Orang yang menguasai ilmu agama yang tinggi

dikenal dengan gelar kiai dan ustad, ada juga yang bergelar akademik

Profesor.Dr. Orang yang menguasai ilmu umun dapat dilihat dari gelar

akademiknya, seperti Prof., Dr., Ir, Drs, M.A., M.Pd., dan Sarjana. Perbedaan

gelar akademik tersebut secara formal membedakan tingkatan penguasaan ilmu

seseorang. Namun, ada juga orang yang tidak memiliki gelar akademik, tetapi

memiliki ilmu yang tinggi dan luas, bahkan penguasaan ilmunya bisa menyamai

atau bahkan lebih tinggi dari seseorang yang bergelar Profesor dan Dr., seperti

K.H. Hasyim Asy‘ari, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Abdurrahman Wahid, K.H.

Wahid Hasyim.
180

Para dewa pun penguasaan ilmunya juga berbeda-beda. Dewa Wisnu

memiliki ilmu yang sangat tinggi dan luas, paling berkuasa serta dapat

menciptakan Kayangan dan alam semesta beserta isinya. Dewa Brahma memiliki

ilmu yang tinggi dan luas sehingga dapat memelihara alam semesta. Dewa Siwa

memiliki ilmu yang tinggi sehingga mampu menhancurkan alam dunia beserta

isinya. Bethara Guru juga memiliki ilmu yang tinggi sehingga dapat menjadi

kepala para dewa di Kayangan Suralaya.

Dalam pertunjukan wayang topeng Tengger digambarkan bahwa setiap

dewa memiliki ilmu yang berbeda. Dewa yang ilmunya tinggi belum tentu dalam

hidupnya memperoleh keberuntungan yang baik dan dapat menduduki jabatan

tertentu. Keempat putra Sang Hyang Sis, yaitu Sang Hyang Punggung, Sang

Hyang Pongat, dan Sang Hyang Lesman Dewa penguasaan ilmunya lebih tinggi

daripada adiknya yang berbama Sang Hyang Manikmaya. Akan tetapi, ketiga

anak Sang Hyang Sis tersebut yang penguasaan ilmunya tinggi, tidak bisa

memperoleh keberuntungan, sehingga tidak bisa memegang pusaka

Hargadumilah sebagai prasyarat bisa menggantikan kedudukan ayahnya sebagai

Bethara Guru yang sudah pensiun. Justru Sang Hyang Manikmaya yang ilmunya

masih rendah, bahkan masih dianggap bodoh oleh ayahnya bisa memperoleh

keberuntungan dapat memegang puska Hrgadumilah dan dapat menyerahkan


181

kembali ke ayahnya, sehingga ialah yang berhak untuk menggantikan kedudukan

ayahnya sebgai Bethara Guru.

Hal tersebut menggambarkan bahwa orang yang ilmunya tinggi belum tentu

dalam hidupnya lebih beruntung daripada orang yang ilmunya lebih rendah.

Contoh dalam kehidupan para dewa tersebut, Sang Hyang Punggung, Sang

Hyang Pongat, dan Sang Hyang Lesmana Dewa, yang ilmunya lebih tinggi

daripada Sang Hyang Manikmaya, ternyata yang beruntung Sang Hyang

Manikmaya. Artinya, keberuntungan para dewa atau seseorang tidak hanya

ditentukan oleh penguasan ilmunya, tetapi juga ditentukan oleh kerja keras, doa

dan restu dari kedua orang tua, kesabran, dan ketabahan, tapa brata, puasa, dan

berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

Ketiga putra Sang Sis menguasai ilmu yang tinggi, tetapi hanya bekerja

keras, tidak diserati doa dan restu dari kedua orang tuanya, tidak mau taba brata,

sehingga hidupnya tidak beruntung, tidak bisa memegang pusaka Hargadumilah

sebagai prasyarat bisa mengantikan kedudukan ayahnya sebagai Bethara Guru.

Sedangkan Sang Hyang Manikmaya, yang ilmunya masih rendah, bahkan masih

dianggap bodoh oleh ayahnya, karena mau bekerja keras, mendapat doa dan restu

dari kedua orang tuanya, bersabar, tabah, dan mau bertapa brata, serta berdoa

kepada Dewa, sehingga ialah yang bisa mendapatkan pusaka Hargadumilah dan
182

menyerahkan kembali kepada ayahnya, sehingga ia yang berhak diangkat

mengantikan kedudkan ayahnya sebagai Bethara Guru.

Dalam kehidupan di masyarakat Indonesia juga banyak orang pinter bergelar

Profesor, Dr., tetapi tidak bisa jadi Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, dan

Wali Kota, karena tidak beruntung. Yang beruntung kebanyakan justru orang-

orang yang tidak menguasai ilmu yang tinggi, tidak bergelar Profesor dan

Doktor, tetapi bisa menjadi Presiden, Menteri, Bupati, dan Wali Kota. Hal

tersebut bisa terjadi di Indonesia karena ukuran bisa menjadi pejabat di Indonesia

bukan kepandaian seseorang semata, tetapi karena punya kedekatan dengan

penguasa dan punya modal harta. Ongkos politik di Indonesia sangat tinggi.

Orang-orang yang pandai di negeri Indonesia, yang bergelar Profesor dan

Doktor, pada umumnya tidak memiliki modal yang cukup untuk bisa

mencalonkan Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Dalam dunia perguruan tinggi juga banyak orang yang pandai yang bergelar

Profesor dan Doktor, tetapi belum tentu beruntung bisa menjadi Rektor atau

Dekan. Akan tetapi, banyak dosen yang tidak bergelar Profesor dan Doktor,

tatapi bisa menduduki jabatan Rektor, Wakil Rektor, dan Dekan, karena ada

keberuntungan dalam dirinya dan ada kedekatan dengan penguasa. Jadi, nasib

dewa atau manusia tidak semata-mata ditentukan oleh penguasaan ilmunya yang
183

tinggi, tetapi ditentukan oleh keberuntungan atau nasib. Gambaran tingkatan

penguasaan ilmu dan keberuntungan tampak pada data sebagai berikut:

Data F1.2. 08
Kamangka para kadangmu sepuh Sang Hyang Punggung, Sang Hyang
Pongat, Lesmana Dewa mau nyecep ilmu ara kang sitik, kang kelepasan,
kang dumadi ana ngarsane Hyang Dewa Kahyangan Suralaya padha
cukup. Ning dheweke mau ora ana kang padha bisa nyekel. Jebule
sliramu iki bocah jik bodho kila-kilo Rama ya ra nate mejang ilmu apa
apa marang sliramu kok sliramu bisa nyekel iki lantarane dalan saka
apa,Ngger?
(Padahal kakak-kakamu Sang Hyang Punggung Sang Hyang Pongat
Lesmana Dewa sudah memiliki ilmu yang cukup. Tapi mereka tidak ada
yang bisa menangkapnya. Lha kamu anak kecil yang masih bodoh dan
Ayah belum pernah memberi nasihat apapun kepadamu kok bisa
mendapatkan pusaka itu?)
Sanjang terusipun kanjeng Rama kula lumampah siang dalu mlebet
wana, medal wana, minggah redi, mandap redi. Ngantos kula rencangi
mboten dahar mboten nginum kepingin nyambung watang putung kula
dhateng kanjeng Rama. kados kula sirep sakedap ipun netra wonten
satengahipun anak kula angsal izin kanjeng ibu kula saget nyepeng
pusaka tindhih Kahyangan watonipun kula purun ngelampahi tapabrata
wonten guwa Pasetran Ganda Mayit pertapanipun Hyang Pikulun
dewane bathara. Lajeng kula lampahi kula angsal pitulunganipun Hyang
Pikulun pandi Suralaya, Bathara Narada kertaken pusaka menika, Rama.
(Kata Ayah berjalanlah siang malam masuk hutan dan keluar hutan, naik
gunung turun gunung sampai saya tidak makan dan minum ingin
menyambungkan badan saya dengan Ayah. Jadi saya bersemedi sebentar
dan memohon doa Ibu saya bisa mendapatkan pusaka Tindhih Kayangan,
karena saya mau bertapa di goa Pasetran ganda mayit tempat pertapaan
Pandi Suralaya, bathara Narada memberikan pusaka ini Ayah (WTT 1.
10.70--100).
184

Data tersebut (WTT 1. 10.70--100) menggambarkan bahwa nasib para dewa

atau seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh penguasaan ilmu, tetapi

ditentukan oleh keberuntungan atau nasib. Banyak orang pinter, tetapi nasibnya

tidak baik karena tidak beruntung. Banyak orang yang tidak pandai, tetapi

nasibnya baik, sehingga hidupnya beruntung, bisa jadi Presiden, Menteri,

Gubernur, Buptai, Wali Kota, Rektor, Wakil Rektor, dan Dekan.

Data tersebut (WTT 1. 10.70--100) merupakan bentuk lokusi. Ilokusinya

atau maksudnya adalah ketiga anak Sang Hyang Sis, Sang Hyang Punggung,

Sang Hyang Pongat, dan Sang Hyang Lesmana Dewa ilmunya lebih tinggi

daripada Sang Hyang Manikmaya, tetapi kenapa tidak bisa memegang pusaka

Hargadumilah. Akan tetapi, yang dapat memegang pusaka Hargadumilah justru

Sang Hyang Manikmaya yang ilmunya belum tinggi, masih bodoh dan ayahnya

juga belum pernah memberi ilmu apa-apa. Ayahnya merasa heran yang bisa

menangkap dan mengembalikan pusaka Hargadumilah justru Sang Hyang

Manukmaya yang masih anak-anak dan masih bodoh.

Perlokusinya atau tindakan Sang Hyang Manikmaya memberitahukan

kepada ayahnya bahwa ia siang dan malam berusaha sekuat tenaga naik gunung,

turun gunung, masuk hutan keluar hutan, selalu berdoa kepada Tuhan Yang

Mahakuasa, berdoa dan minta bantuan kedua ibunya, dan melakukan tapa brata,

sehingga ditolong oleh Bethara Narada. Pusaka Hargadumilah diserahkan


185

Bethara Narada kepadanya pada saat melakukan tapabrata di Gua Gonda Mayit.,

tempat pertapaan para dewa.

Data tersebut (WTT 1. 10.70--100) mengandung nilai pendidikan kepada

masyarakat bahwa untuk mencapai cita-cita yang mulia tidak hanya dengan

berusaha bekerja keras, tetapi diperlukan kesabaran, ketabahan, keprihatinan,

doa, dan restu dari keua orang tuan, serta berdoa kepada Tuhan Yang

Mahakuasa.

3. Ikon metaforis
Ikon metaforis adalah tanda yang tidak menunjukkan kemiripan antara tanda

dengan acuannya. Yang mirip adalah dua acuan yang diacu oleh tanda yang sama

(Sahid, 2016: 6). Berdasarkan identivikasi data pada 4 teks pertunjukan wayang

topeng Tengger, ditemukan 11 ikon metafor, yaitu (1) Banyu wening, (2)

Ginggang sak rambut saka jiwa ragamu,(3) Kucing, manuk perkutut, dan

jaran,(4) Mangkurating Tengger,(5) Kucing, manuk perkutut, dan jaran,(6)

Pujan,(7) Anak nandung kala,(8) Semar,(9) Klambi Limar Kinanti dan Sabuk

Sakti Jaludamang,(10) Gunung Gamping, (11) Tegal Durseta. Kesebelas

ikonmetafor tersebut dijelaskan satu per satu sebagai berikut:

a. Banyu wening

Banyu wening merupakan ikon jenis metaforis. Banyu wening

merupakan air suci yang diambil dari tujuh sumber dari Gunung Bromo,
186

Gunung Semeru, Gunung Merapi, dan Laut Selatan. Air tersebut digunakan

untuk memandikan anak yang diruwat agar badan dan jiwanya menjadi suci

dan tidak menjadi makanan Bethara Kala. Hal tersebut sesuai dengan

pendapat Ki Lebari bahwa ―air suci adalah air yang diambil dari tujuh sumber

yang ada di Gunung Bromo, Gunung Semeru, Gunung Merapi, dan Laut

Selatan yang digunakan untuk membersihkan badan dan jiwa anak yang

mengandung kala yang diruwat agar tidak menjadi akanan Bethara Kala‖

(Wawancara tanggal 27 Pebruari 2018, di rumah Ki Lebari, Desa Wonokerso,

Kecamatan Sumbur, Kabupaten Propolinggo). Hal tersebut sesuai data sebagai

berikut:

Data F1.3.01

Ya ya ngger kudu sliramu pamita karo ramamu. ananging ngger ibu


menehi pangan semuno kehe marang sliramu. Senajan kepethuk arek
nandung kala, aja kesusu mbok cekel mbok pangan, mesti nyereti karo
gorokanmu. Iku kudu kok sira umbah karo banyu sing suci, banyu
sing wening.
(Ya ya, nak. Walau ibumu memberi makanan sebegitu banyaknya
kepadamu, kamu jangan tergesa-gesa untuk memakannya. Kamu harus
mencucinya memakai air yang suci.)
Lah banyu apa sing suci, Kanjeng Ibu?
(Air apa yang suci, Ibu?)
Yaiku sing diarani banyu sumber pitu, banyu pitu, banyu segara, yaiku
pengadusane si ponang jabang bayi kang nandung kala.
(Yaitu air yang dinamakan air sumber tujuh, air tujuh, air laut yaitu
untuk memandikan anak yang nandang kala).
O dadi kaya mangkono kanjeng Ibu, lha neng ndi aku golek?
(O jadi begitu, Ibu. Di mana saya mencari? (WTT 1.26. 0—20).
187

Bethara Kala pada saat turun ke dunia, mendapat nasihat dari ibunya,

bila mendapatkan anak yang mengandung kala tidak boleh langsung dimakan,

tetapi harus dibersihkan dulu dengan air suci, agar bila dimakan tidak berhenti

di tenggorakan.

Air suci tersebut diletakan dalam manci besar atau baskom yang

dicampur dengan berbagai jenis bunga, ada bunga mawar, bunga kantil, dan

diberi mantra-mantra oleh dalang Ki Lebari. Air suci tersebut di letakkan di

depan dalang selama pertunjukan wayang topeng berlangsung.

Setelah Bethara Kala minta bantuan dalang Ki Lebari untuk

membersihkan mayat tokoh mediator yang dititipi arwah anak yang

mengandung kala dengan upah pusaka Hrgadumilah, dalang Ki Lebari segera

membersihkan mayat tersebut. Setelah suci mayat tersebut dibontel dengan

kain mori putih sebagai tanda mayit tersebut telah suci. Dalang memberikan

dua alternative kepada Bethara Kala, apakah tetap akan memakan mayat anak

yang mengandung kala, tetapi pusaka Hrgadumilah menjadi milik dalang.

Atau tidak jadi memakan mayit anak yang mengandung kala, tetapi pusaka

Hrgadumilah akan dikembalikan ke Bethara Kala. Karena Bethara Kala takut

dimarahi ayahnya, maka ia lebih memilih pusaka Hargadumilah diminta

kembali. Dalang segera memberikan pusaka Hargadumilah kepada Bethara

Kala dan mayat tersebut tidak jadi dimakan Bethara Kala.


188

Dalang Ki Lebari segera mempersilakan para penonton yang

mempunyai penyakit agar naik ke atas panggung, minta tolong kepada

Bethara Kala untuk menyembuhkan segala penyakit yang diderita masyarakat

penonton. Masyarakat penonton yang memiliki penyakit segera ke atas

panggung. Bethara Kala menyembuhkan berbagai penyakit masyarakat

penonton dengan cara, ada yang dipijat, ada yang diberi mantra-mantra, ada

yang diciumi, ada yang ditempeli pusaka Hargadumilah. Setelah Bethara Kala

selesai mengobati penyakit para penonton, tiba-tiba melocat dari panggunga

pertunjukan wayang topeng Tengger yang tingginya sekitar satu meter ke arah

penonton mencari Profesor Dr. Haris Supratno untuk diajak salaman dan

seluruh tubuhnya diciumi oleh Bethara kala. Beliau merasa ketakutan luar

biasa, karena selama hidupnya belum pernah mengalami peristiwa seperti itu.

Selesai pertunjukan, penulis bertanya kepada dalang Ki Lebari tentang

peristiwa tersebut, kata dalang Ki Lebari bahwa Bethara Kala tahu ada tamu,

sehingga ia berusaha berkenalan dan menyapa tamunya. perpisahan

(Wawancara tanggal 25 Pebruari 2018, di Desa Wonoketo). Peristiwa ini

berlangsung selama pertunjukan pertama di Balai Desa Wonokerso, tanggal

25 Pebruari 2018.

Peristiwa tersebut juga terjadi pada saat pertunjukan keempat di Desa

Wonosari, tanggal 28 Pebruari 2018. Pada saat pertunjukan terakhir tersebut,


189

sebelum Bethara Kala meninggalkan tempat panggung pertunjukan wayang

topeng Tengger, juga melompat ke arah penonton dan langsung menuju ke

tempat duduk Prof Dr. Haris Supratno, memeluk dan menciumi seluruh

tubuhnya. Padahal Profesor DR. Haris Supratno sudah bersembunyi, duduk di

paling belakang berbaur dengan masyarakat penonton yang lain, dalam

suasana yang gelap. Akan tetapi Bethara Kala tahu tempat duduk beliau. Hal

tersebut betul-betul mistik, bila orang biasa tidak akan tahu keberadaan Prof.

Dr. Haris Supratno. Setelah selesai pertunjukan juga saya tanyakan kepada

dalang Ki Lebarai. Menurut dalang Ki Lebarai, tujuannya adalah memberikan

ucapan selamat perpisahan (Wawancara tanggal 1 Maret 2018, pukul 05, di

Desa Wonosari). Bethara Kala segera kemali ke atas panggung dan minta

pamit kepada dalang Ki Lebari dan masyarakat penonton untuk pulang ke

Puncak B 29, tempat tinggal dan pertapaan Bethara Kala.

Setelah Bethara Kala meninggalkan panggung pertujukan wayang

topeng Tengger, dalang Ki Lebari minta para penonton dipersilakan melayat

ke atas panggung pertunjukan wayang topeng Tengger. Dalang memercikkan

air suci ke seluruh penonton yang melayat ke atas panggung agar terhindar

dari segala bahaya dan untuk menyebuhkan berbagai penyakit yang diderita

masyarakat penonton. Dalang Ki Lebari segera menghidupkan mayat

mediator yang dititipi arwah anak yang mengandung kala dengan


190

memercikkan air suci ke mayat mediator yang telah mati selama proses

ruwatan berlangsung selama 3 jam dari pukul 03—06.

Selama proses ruwatan, para penonton tidak diperbolehkan

meninggalkan arena pertunjukan. Bila ada penonton yang meninggalkan arena

pertunjukkan selama proses ruwatan, menurut kepercayaan masyarakat

Tengger akan mendapatkan masalah. Berdasarkan pengamatan penulis,

selama proses ruwatan tidak ada masyarakat penonton yang berani

meninggalkan arena pertunjukkan wayang topeng Tengger. Selam proses

ruwatan suasana betul-betul tegang, menakutkan, dan penuh dengan mistik.

Data tersebut (WTT 1.26. 0—20) merupakan bentuk lokusi.

Ilokusinya atau maksudnya adalah Bethara Kala agar minta pamit ke ayahnya.

Ibunya berpesan kepada Bethara Kala, bila di dunia nanti menemukan anak

yang mengandung kala, tidak boleh langsung ditangkap dan dimakan, bisa

berhenti di tonggorokan, tetapi harus dicuci dulu dengan air suci atau air

wening dengan minta tolohg dalang keturunan. Perlokusinya atau tindakan

Bethara Kala memahami pesan ibunya dan menaati pesan ibunya. Ia bertanya

kepada ibunya di mana mencari air suci tersebut?

Data tersebut (WTT 1.26. 0—20) mengandung nilai pendidikan kepada

masyarakat bahwa bila akan memakan sesuatu harus dibersihkan dulu agar
191

penyakit dan baunya hilang. Setelah barang yang akan dimakan bersih, baru

dapat dimakan agar tidak bau dan tidak menyebabkan penyakit.

b. Ginggang sak rambut saka jiwa ragamu

Ginggang sak rambut saka jiwa ragamu merupakan bentuk ikon

metaforis.

Ginggang sak rambut saka jiwa ragamu mengandung makna bahwa pusaka

Hargadumilah milik Bethara Guru yang telah diberikan kepada Bethara Kala

merupakan perisai dirinya dan tidak boleh lepas dari badannya sedikit pun.

Walaupun sejarak rambut, artinya pusaka Hargadumilah tidak boleh lepas dari

badan Bethara Kala. Klau lepas bisa membahayakan diri Bethara Kala. hal

tersebut tampak pada data sebagai berikut:

Data F1.3.02

Nalikane semuno jur pusaka iki takwarisne marang sliramu. Jenenge


duduk yaiku wujud pusaka Hargadumilah maneh yaiki takjuluki gaman
Bedhama, gaman cakra, pemecahe si ponang jabang bayi kang
nandhang kala. Ning pusaka iki, yen wis takpasrahake marang sira, aja
sampek ginggang sakrambut saka jiwa ragamu. Tangeh lamun sira
nemu pangan hyang ngapik nggonmu ngeramut penak goleke pangan
ya. Yen kaya mangkono kanjeng Rama inggal lungna taktampa
tanganku loro, Rama.
(Begini, ayah ini punya pusaka yang dinamai pusaka Hargadumilah
lungsuran dari dunia seisinya yang tertanam nyawa sekalir dari ayah
yang bertapa di puncak Gunung Jamurdipa ketika itu pusaka aku
wariskan ke dirimu namanya Bedama Cakra pemecahe jabang bayi yang
menyandang kala. Kalau pusaka ini aku pasrahkan ke dirimu jangan
192

sampai dari dirimu. Mustahil bagimu menemukan makanan. Terimalah


dengan kedua tanganmu.
Ngenengake cipta sekedapipun netra Sang Hyang Dewa Bathara Kala
sang pramedi Bathara Guru jabut pusaka menika saking sengklitan pun
dipunlungaken dhateng Sang Hyang Dewa Sang Hyang Bathara Kala,
Bathara Kala gedhug bumi kaping tiga, menika nyamber pusaka menika
minggah gegana menika arsa jumujug pertapane pun puncak sanga
likur, randhu pitu, randhu sanga. Menika papan panggenipun Bathara
Kala.
(Mengheningkan cipta sang Batara Kala dan Batara Guru mencabut
pusaka tersebut dari sengkelit lalu diberikan ke Batara Kala. Batara Kala
memijak bumi tiga kali lalu menyambar terbang ke pertapaannya di
Puncak Dua Sembilan, Randu Tujuh, Randu Sembilan (WTT 1.27.20—
35 ).

Bethara Kala pada saat mau turun ke dunia dan disuruh oleh ibunya

bertapa di Puncak B 29, Randu Pitu, dan Randu Sanga, oleh ibunya disuruh

minta izim dahulu kepada ayahnya, Bethara Guru. Ia diberi bekal pusaka

Hargadumilah oleh Bethara Gurudan dipesan pusaka tersebut tidak boleh

lepas dari tubuh Bethara Kala sedikitpun. Agar dirinya selamat dan dapat

sukses mencari ilmu dari para dewa melalui bertapa di Puncak B 29, Randu

Pitu, dan Randu Sanga. Pusaka tersebut selalu terselip di tubuh bagian kiri

Bethara Kala dan pernah terlepas setelah diserahkan ke dalang Ki Lebari

sebagai upah dalang membersihkan mayat anak yang mengandung kala yang

akan dimakannya.

Menurut pengakuan dalang Ki Lebari, pusaka Hargadumilah

disimpan secara khusus bersama topeng Bethara Kala, disimpan dalam

kantong berwarna putih dan disimpan di lemari khusus milik dalang Ki


193

Lebari. Setiap hari jumat diberi makan berupa bunga, kemeyan, dan air bening

(Wawancara tanggal 26 pebruari 2018 di rumahnya, di Desa Wonokerso).

c. Bumi sak udeng, segembala geni

Bumi sak udeng merupakan metafor tanah selebar ikat kepala

seseorang, yang bila diukur dari maknanya atau harganya sangat ringan bagi

seorang raja. Permintaan Aji Saka yang hanya meminta tanah selebar ikat

kepala manusia sangat ringan, bila dibandingkan dengan pengorbanan Aji

Saka yang akan mengorbankan dirinya untuk menjadi makanan enak Prabu

Dewata Cengkar. Oleh sebab itu, permintaan Aji Saka dikabulkan oleh Prabu

Dewata Cengkar. Sedangkan segembala geni merupakan nama ikat kepala Aji

Saka yang mempunyai kesaktian luar biasa. Udeng gembala geni milik Aji

Saka memiliki kesaktian luar bias. Meskipun kelihatan sempit, hanya selebar

ikat kepala manusia, sekitar satu meter segi empat, tetapi bila dibuka bisa

selebar bumi.

Sebelum Aji Saka menjadi santapan Prabu Dewata Cengkar, udeng

gembala geni diserahkan kepada Prabu Dewata Cengkar. Dua sisi ujungnya di

sebelah kiri dipegang Aji Saka dan dua ujung di sebelah kanan dipegang

Prabu Dewata Cengkar. sambil berjalan mundur ke arah Selatan. Ternyata

udeng gembala geni terus melebar tidak ada henti-hentinya, terus sampai di
194

tepi Laut Selatan. setelah Prabu Dewata Cengkar ada di tepi Laut Selatan, Aji

Saka segera mengibaskan udeng gembala geni, Prabu Dewata Cengkar jatuh

ke Laut Selatan dan menjelma menjadi buaya putih. Aji Saka akhirnya

menjadi raja di Medang Kamu dari tahun 21 sampai tahun 29 M,

menggantikan kedudukan Prabu Dewata Cengkar. Hal tersebut tampak pada

data sebagai berikut:

Data F1.3.04

Sedurunge dipangan sapenjaluke Ajisaka dituruti karo Prabu Dewata


Cengkar. Ning penjaluke Ajisaka ra jaluk apa apa, jaluk bumi bani
sak
udenge kanggo tinggalan anak putu adam. Besok yen kanthi ana reja-
rejane jaman kanggo tempat sembahyang miturun agamane dhewe-
dhewe. Jur rikana dipalilahi karo Prabu Dewata Cengkar, wujud
segembala geni dibukak dikebas ngebeki jagad prabu Dewata
Cengkar mundur mundur, jegur ana ing segara kidul. Sirna wujude
prabu Dewata Cengkar kanthi wujud bajul putih. Gugure Prabu
Dewata Cengkar karo Ajisaka ya kang nduduki lingguh dadi ratu ya
sang Ajisaka, ngolehi tahun selikur tumekaning sangalikur juring kono
dipawartakna marang para kawulane.
(Hla ini aku berada di Jemplak. Dari tahun sembilan belas sampai
tahun dua puluh satu Prabu Dewata Cengkar punya Patih Trenggana
setiap hari Dewata Cengkat memakan manusia. Trenggana selalu
diperintah mencarikan makanan setiap harinya, sampai suati hari
kehabisan stok manusia. Lalu datanglah Ajisaka yang ganteng dan
masih muda dari Pulau Majeti. Trenggana meminta tolong Ajisaka,
lalu ditolonglah ia oleh Ajisaka. Prabu Dewatacengkar bertemu dengan
Ajisaka lalu terbahak-baha tertawa mengetahui makanan yang masih
muda. Sebelum mati, Ajisaka diberi satu permintaan lalu meminta
bumi ini untuk dijadikan tempat sembahyang bagi segala kepercayaan
195

masing-masing lalu diizinkan oleh Dewatacengkar berwujud kobaran


api. Dewatacengkar mundur-mundur sampai tercebur kelaut selatan
berubah wujud menjadi buaya putih. Ajisaka menjadi raja dari tahun
dua puluh satu sampai dua puluh sembilan) (WTT 1. 30. 10—40 ).

Data tersebut (WTT 1. 30. 10—40) menggambarkan bahwa Aji Saka

adalah seorang yang sangat sakti, mempunyai karakter yang baik, suka

menolong masyarakat yang sedang menderita yang akan menjadi santapan

rajanya setiap hari. Aji Saka merelakan dirinya menjadi korban menjadi

santapan Prabu Dewata Cengkar. Namun, ia meminta bumi selebar

udengnya yang bernama gembala geni, sebagai strategi untuk meleyapkan

Prabu Dewata Cengkar sebagai simbol keangkaramurkaan dari muka bumi.

Data di atas (WTT 1. 30. 10—40 ) merupakan lokusi. Ilokusinya atau

maksudnya adalah Aji Saka sebelum menjadi makanan Prabu Dewata

Cengkar, disuruh minta apa pun akan dikabulkan oleh Prabu Dewata Cengkar,

tetapi Aji Saka tidak minta barang atau apa pun. Ia hanya minta tanah selebar

udengnya yang bernama gembala geni sebagai strategi untuk meleyapkan

Prabu Dewata Cengkar dari muka bumi.

Perlokusinya atau tindakan Prabu Dewata Cengkar mengabulkan

permintaan Aji Saka. Permintaan Aji Saka tersebut dianggap sangat ringan

hanya tanah selebar udeng gembala geni miliknya. Prabu Dewata Cengkar

segera menerima udeng gembala geni dari Aji Saka dan segera membukanya

dengan memegang dua ujungnya di sebelah kanan, sambal berjalan mundur


196

sampai di tepi Laut Selatan dan jatuh ke Laut Selatan karena udeng gembala

geni dikibaskan oleh Aji Saka. Prabu Dewata Cengkar Jatuh ke Laut Selatan

dan menjelma menjadi buaya putih.

Data di atas (WTT 1. 30. 10—40) mengandung nilai pendidikan bahwa

seseorang harus mau membantu orang lain yang sedang membutuhkan karena

ditimpa suatu musibah atau bahaya. Masyarakat Medang Kamulan sedang

merasa takut dan sedih karena suatu saat akan menjadi makanan Prabu

Dewata Cengkar. Pada saat Patihnya mencari orang yang bisa menolong

rakyatnya, Aji Saka secara sabra dan iklas siap dikorbankan untuk dimakan

Prabu Dewata Cengkar, sebagai strategi untuk meleyapkan Prabu Dewata

Cengkar. Untuk mengalahkan lawan, tidak harus berperang secara fisik, yang

harus mengorbankan rakyat kecil yang tidak berdosa, tetapi menggunakan

strategi secara halus, tetapi berhasil seperti yang dilakukan Aji Saka

meleyapkan Prabu Dewata Cengkar dari dunia, sehingga masyarakat bisa

hisup tenang, damai, dan bahagia.

Data di atas (WTT 1. 30. 10—40) juga merefleksikan budaya

masyarakat Jawa yang mempunyai kebiasaan sehari –hari memakai udeng

atau ikat kepala. Budaya tersebut samapai sekarang masih dilakukan oleh

sebagian masyarakat Jawa yang tinggal di pedesaan, khususnya pada saat ia

bekerja sebagai penutup kepala. Udeng ini sampai sekarang masih dipakai
197

oleh sebagian masyarakat Jawa, masyarakat Tengger, masyarakat Baduwi,

masyarakat Bali, dan masyarakat Sunda, bahkan menjadi salah satu penanda

kebudayaannya masing-masing. Meskipun bentuk, model, dan namanya

berbeda, tetapi mempunyai fungsi yang hampir sama. Di samping sebagai

penutup dan pelindung kepala, juga sebagai simbol identitas masyarakat

tertentu.

d. Kucing, manuk perkutut, dan jaran

Kucing, manuk perkutut, dan jaran merupakan metafor binatang

piaraan kesenangan seseorang, terutama yang sudah berkeluarga. Dalam

kehidupan keluarga masyarakat Jawa, pada umumnya memelihara binatang

piaraan seperti kucing, manuk perkutut, dan jaran. Bahkan kadang-kadang

seorang suami lebih mencintai dan memperhatikan binatang piaraannya

daripada isteri dan anak-anaknya. Ada seseorang yang tidur pun dengan

binatang piaraannya. Bila isteri dan anaknya lupa atau belum memberikan

makan binatang piaraannya, isteri dan anaknya dimarahinya.

Kucing merupakan metaphor binatang piaraan yang sangat manut dan

dekat dengan tuanya dan sangat dicintai Rasulullah SAW. Pada jaman

Rasulullah SAW ada seorang sahabat yang mengurung kucing selam tiga hari

tiga malam lupa tidak memberi makan, kemudian kucing tersebut mati.
198

Sahabat tersebut setelah mati masuk neraka. Dalam kehidupan keluarga

banyak dijumpai memelihara kucing.

Manuk perkutut merupakan metafor binatang piaraan seseorang dan

menjadi simbol status sosial masyarakat Jawa, khususnya orang Jawa yang

tinggal di Jawa Tengah. Orang Jawa di Jawa Tengah yang status sosialnya

tinggi banyak yang memelihara manuk perkutut sebagai kesenangan dan

simbol status sosial mereka. Harga manuk perkutut yang baik, suaranya kong

(besar dan menggema) relative sangat mahal, sampai puluhan juta.

Kuda merupakan metafor binatang piaraan yang sangat mahal dan

menjadi kesenangan serta status social seseorang. Tidak banyak masyarakat

yang mampu memelihara kuda karena harga kuda yang baik sangat mahal.

Kuda balap dan kuda lompat indah yang pernah memenangkan suatu lomba di

tingkat nasional atau internasional, harganya mencapai ratusan dan bahkan

milyatan. Gambaran suatu keluarga yang menyenangi memelihara binatang

piaraan kucing, manuk perkutut, dan kuda tampak pada kutipan sebagai

berikut:

Data F1.3.08

Lha ing kono Dewi Muktrim gagal dadi bojone kakek Bima kepingin
duwe anak tanpa wong lanang yaiku nemoni Empu Permadi, pinuju
gawe keris lemah lempung putih dikepel kepel dadi keris. Sing nekseni
siji bojone, loro kucing, telu manuk perkutut, papat jaran. Wong
bebojowan yen tepak kuthane, ya kadang gelis ndang kepenak, ngingu
199

manuk perkutut. Yen ana katuranggane, ya gendhong nyenengna atine


ngingu kucing. Sing sangga guna ya ndadhikake senenge ngingu jaran
(WTT 1.31.40—50).
(Di situ Dewi Miktrim gagal menjadi isteri Bima, tetapi mempunyai
keinginan mempunyai anak tanpa berhubungan dengan orang laki-laki.
Ia menemui Empu Permadi yang sedang membuat keris dari tanah
lempung putih dengan dikepel-kepel menjadi keris. Yang menjadi
saksi, satu isterinya, dua kucing, tiga, manuk perkutut, empat kuda.
Orang berkeluarga bila beruntung cepat bahagia, sambil memelihara
manuk perkutut, kuda, dan kucing. Yang paling menyenangkan
memelihara kuda) (WTT 1.31.40—50).
Berdasarkan data di atas (WTT 1.31.40—50) dapat disimpulkan bahwa

suatu keluarga yang bahagia banyak yang memelihara binatang piaraan

kucing, manuk perkutut, dan kuda. Tujuannya untuk kesenangan, bagi orang

yang sudah pensiun sebagai hiburan dan kesibukan. Binatang piraan manuk

perkutut dan kuda dapat berfungsi sebagai gambaran status sosial tinnggi

suatu keluarga. Artinya hanya orang kaya yang bisa memelihara perkutut dan

kuda yang harganya jutaan atau milyatan.

Data di atas (WTT 1.31.40—50) merupakan lokusi. Ilokusinya atau

maksunya adalah membina keluaga itu tidak mudah. Akan tetapi, bila

beruntung, membina keluarga juga bisa cepat sukses dapat membina keluarga

yang bahagia dan sejahtera. Gambaran masyarakat Jawa pada khususnya dan

masyarakat pada umunya, bila kehidupan rumah tangganya bahagia dan

sejahtera, ditandai dengan memelihara burung perkutut dan kuda. Dewi


200

Muktrim termasuk salah satu contoh tokoh yang gagal dalam membina

keluarga. Ia gagal menjadi isteri Bima.

Perlokusinya atau tindakan Dewi Muktrim setelah gagal kawin dengan

Bima, ingin mendapatkan anak tanpa berhubungan dengan seorang laki-laki.

Ia segera menemui Empu Permadi yang sedang membuat keris dari tanah liat

putih dengan dikepal-kepal menjadi keris.

Data di atas (WTT 1.31.40—50) mengandung nilai budaya bahwa

masyarakat Jawa pada khusunya dan masyarakat pada umumnya bila sudah

keluarga memelihara binatang piaraan kucing, burung perkutut, dan kuda.

Burung perkutut dan kuda menjadi simbol status sosial bagi seseorang.

Seseorang yang memelihara burung perkutut dan kuda yang harganya jutaan

atau milyatan seabagi simbol seseorang yang kaya dan memiliki status sosial

yang tinggi.

Keluarga yang kaya, rumahnya besar, tanahnya pekarangannya luas,

burung perkutut akan dicantilkan di pojok-pojok rumahnya atau di sekitar

pepohonan di sekitar rumahnya, setiap pagi dan sore, akan menikmati suara

kong burung perkutut yang harganya jutaan. Ia akan mersa senang dan puas

mendengarkan dan menikmati sura kong burung perkututnya.


201

Hanya keluarga kaya dan mempunyai status sosial yang tinggi yang

mampu memelihara kuda yang baik, khususnya kuda balap atau kuda lomba

loncat indah. Untuk memelihara kuda tersebut memerlukan kadang kuda yang

luas, dan tanah pekarangan yang luas sebagian ditanami rumput untuk

makanan kuda, dan sebagian untuk arena latihan balapan dan loncat indah.

Orang yang status sosialnya tinggi dan kaya raya yang memelihara kuda balap

dan kuda loncat indah, contohnya adalah Letnan Jenderal (Purnawirawan)

Prabowo Subiyanto.

e. Mangkurating Tengger

Mangkurating Tengger merupakan bentuk metafor penguasa atau

pemimpin. Jaka Seger mempunyai cita-cita ingin memiliki anak yang

berjumlah 25. Bila ia sudah mempunyai anak dua puluh lima, ia akan menjadi

penguasa atau pemimpin di Tengger. Akan tetapi, bagaimana agar ia memiliki

anak yang berjumlah 25 orang. Ia minta saran kepada isterinya, Rara Anteng.

Rara Anteng mengajak suaminya pergi ke puncak Gunung Bromo, bertapa

mlumah di aas batu kuta tempat pertapaannya ibu Rara Anteng. Jak Seger

Setuju. Keduanya segera ke puncak Gunung Bromo melakukann tapa

mplumah meminta anak 25 kepada Dewa. Dewa mengabulkan permohonan

Rara Anteng dan Jaka Seger, dengan syarat anaknya yang terakhir menjadi
202

anak asuh Dewa. Rara Anteng dan Jaka Seger setuju. Gambaran tersebut

tampak pada data sebagai berikut:

Data F1.3.10

Rara Anteng wes tah diangen-angenku yen aku kelakon duwe anak
cacahe selawe aku kepingin dadi mangkurating tengger kene, Rara
Anteng, cara apa ya, Rara Anteng?
(Rara Anteng, sudah ku angan-angan kalau aku berhasil memiliki anak
dua puluh lima aku ingin menjadi penguasanya tengger sini, Rara
Anteng. Bagaimana caranya ya?)
Kang nek ngunu ayo budhal tapa ning nggone kanjeng ibu mertapane
watu kutha ya,Kang?
(Kalau begitu ayo kita bertapa di batu kota ya, kang?
Ayo, Yayi, ayo.
(Ayo, yayi. Ayo.)
Ayo, Kang.
(Ayo, kang.)
Jur rika dilakoni mertapa melumah ana ing watu kutha ing kono
puncake gunung ana suara ghaib suara maneg kaya mangkene.
(Lalu kamu bertapa di batu kuta kora puncaknya gunung ada suara
gaib seperti ini.)
Haey Jaka Seger lan Rara Anteng guitapa melumah setahun lawase
kepingin duwe turun cacahe selawe, ya bisa kelakon bisa kelakon
ananging besok yen sing lair pungkasan kudu dadi momongaku ya
Jaka Seger lan Rara Anteng
(He Jaka Seger dan Rara Anteng kau bertapa setahun lamanya ingin
punya keturunan berjumlah dua puluh lima, ya bisa terjadi tapi besok
yang terakhir ketika lahir akan menjadi milikku) (WTT 1.32.15—40).
203

Berdasarkan data di atas (WTT 1.32.15—40) dapat disimpulkan

bahawa Jaka Seger mempunyai cita-cita ingin menjadi penguasa di Tengger,

bila sudah mempunyai anak 25. Untuk mewujudkan cita0citanya tersebut,

bersama isterinya pergi ke puncak Gunung Bromo melakukan bertapa

mplumah di atas batu kuta tempat pertapaan ibu Rara Anteng. Akahirnya

permintaan Jaka seger dan Rara Anteng dikabulkan oleh Dewa dan dikarunia

anak 25, dengan syarat, anaknya yang terakhir menjadi anak asuh Dewa. Rara

Anteng dan Jaka Seger setuju. Setelah Rara Anteng dan Jaka Seger

mempunyai anak 24 orang, mereka berdua pergi ke puncak Gunung Bromo

beserta ke-24 anaknya. tiba-tiba Gunung Bromo meletus, dan anak dalam

kandungan Rara Anteng seketiga hilang, diambil Sang Dewa.

Data di atas (WTT 1.32.15—40) merupakan bentuk lokusi. Ilokusinya

atau maksudnya adalah Jaka Seger mempunyai cita-cita ingin menjadi

penguasa atau pemimpin diTengger. Jaka Seger berkonsultasi kepada Rara

Anteng. Rara Anteng mengajak Jaka Seger ke puncak Gunung Bromo untuk

melakuka tapa mpumah di atas batu kuta tempat ibunya dahulu bertama.

Perlokusinya atau tindakan Rara Anteng dan Jaka Seger segera pergi

ke puncak Gunu Bromo melakukan tapa mplumah di atas batu kuta, sambal

berdo kepada dewa agar dikarunia anak 25 orang. Permintaan Rara nteng dan
204

Jaka Seger dikabulkan Dewa dengan syarat anaknya yang ke-25 diberikan

kepada Dewa untuk menjadi anak asuhnya.

Data dia atas (WTT 1.32.15—40) mengandung nilai pendidikan

kepada masyarakat, bila ingin meminta sesuatu, langsung meminta kepada

Tuhan Yang Mahakuasa, tidak melalui dukun. Dalam kehidupan masyarakat

Tengger ada budaya bila meminta sesuatu biasanya pergi ke dukun. Dukun

memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat

Tengger. Oleh sebab itu, setiap padukuan ada satu dukun. Setiap desa juga ada

dukun desa. Dukun desa dan dukun di pedukuhan merupakan anggota

perangkat desa.

f. Pujan

Pujan merupakan metafor upacara Kasada yang dilaksanakan oleh

masyarakat Tengger setiap bulan Kasada, tanggal 15 dan 16. Upacara Kasada

merupakan upacara yang terbesar yang dilaksanakan oleh masyarakat Tengger

setiap tahun. Pada saat upacara tersebut dihadiri oleh ratusan ribu masyarakat,

baik masyarakat Tengger maupun masyarakat di luar Tengger, bahkan banyak

turis lokal maupun internasional. Upacara Kasada merupakan metafor

penghormatan dan memenuhi wasiat Pangeran Kusuma agar dirinya setiap

bulan Kasada dikirim hasil tanaman palawija yang terbaik dan dilarung ke

Kawah Candradimuka di puncak Gunung Bromo.


205

Pangeran Kusuma merupakan anak Rara Anteng dan Jaka Seger yang

ke-25. Menurut perjanjian Rara Anteng dan Jaka Seger pada saat tapa brata

mplumah meminta keturunan kepada Dewa, doanya dikabulkan dewa dengan

syarat anaknya yang bungsu diminta dewa dijadikan anak asuhnya. Rara

Anteng dan Jaka Seger setuju. Akhirnya Rara Anteng mempunyai anak 24.

Pada saat hamil anak yang ke-25, Rara Anteng, Jaka Seger dan ke-24 anaknya

diajak ke puncak Gunung Bromo. Tiba-tiba Gunung Bromo meletus sangat

dahsyat. Pada saat Gunung Bromo meletus sangat dahsyat, tiba-tiba anak yang

ada dalam kandungan Rara Anteng hilang. Ibu, ayah, dan kakak-kakaknya

mencari keberadaan adiknya yang hilang. Tiba-tiba ada suara gaib, agar ia

diiklaskan saja. Ia telah rela menjai korban ibu-dan ayahnya. Ia minta diberi

nama. Kedua orang tuanya memberi nama Pangeran Kusuma. Ia juga minta

agar kakaknya setiap bulan Kasada, tanggal 15 dan 16 selalu mengadakan

upacara Kasada dengan mengirim hasil tanaman palawiaja dengan dilarung ke

Kawah Candradimuka.

Gambaran upacara pujan dapat dilihat pada data sebagai berikut:

Data F1.3.12

Bapa dhukun nganakke pujan kapan nyelawet keblate jagad pujan kulu
nyaman, yaiku pelungguhake sandang, rejeki, pujan kesanga ngadhege
kekirim ana ing kawah Gunung Brama yaiku ngirim Raden Dewa
Kusuma. Diareng yana riyaya karo kerukunaning manungsa.Antaraning
manungsa senajan seje agama manunggal sawiji ajining bersatu padu
gotong royong.
206

(Bapak dukun mengadakan upacara pujan, selamatan kiblatnya dubia,


yaitu pujan kulu nayaman, selamatan sandang pangan. Pujan kasangka,
selamatan dengan mengirim ke kawah gunung Brama, yaitu mengirim
Raden Kusuma. Seperti hari raya sebgai bentuk keakrapan manusia.
Antara manusia meskipun berbeda agama, tetapi bersatu padu,
bergotong royong (WTT 1.32.140—150).

Data di atas (WTT 1.32.140—150) menggambarkan seorang dukun

sedang mengadakan upacara pujan untuk memperingati kiblatnya jagad, yaitu

Kawah Gunung Bromo. Upacara pujan juga dikenal upacara pujan kasanga

sebagai simbol kemakmuran, persaudaraan, persatuan, dan gotong masyarakat

Tengger, meskipun berbeda agama.

Masyarakat Tengger merasa keturunan Rara Anteng dan Jaka Seger

menghormati dan memenuhi permintaan Pangeran Kusuma, sehingga sampai

saat ini, setiap bulan Kasada tanggal 15 dan 16, selalu mengadakan upacara

Kasada. Dalam upacara Kasada dipinpin oleh kepala dukun di Bromo.

Masyarakat Tengger hidupnya tidak bisa lepas dukngan dukun, sehingga di

Bromo setiap padukuhan ada satu dukun, setiap desa ada satu dukun. Semua

dukun di pedukuhan dan desa dipimpin oleh kepada dukun. Kepala dukun

inilah yang memimpin upacara Pujan pada saat masyarakat melaksanakan

upacra Kasada.
207

Data di atas (WTT 1.32.140—150) merupakan bentuk lokusi. Ilokusinya

atau maksudnya adalah Bapak dukun sedang mengadakan upacara pujan

untuk memperingati keblatnya dunia, yaitu Kawah Gunung Bromo.

Perlokusinya atau tindakan masyarakat Tengger, setiap bulan Kasada

tanggal 15 dan 16, membawa hasil tanaman palawija yang terbaik untuk

dikirimkan kepada Pangeran Kusuma sebagai bentuk penghormatan atas jasa-

jasa baiknya, yang telah dengan iklas berkorban demi kedua orang tua dan

saudara-saudaranya untuk dikorbankan dan dipersembahkan kepada Sang

Dewa untuk memenuhi janji kedua orang tuanya.

Data di atas (WTT 1.32.140—150) mengandung nilai budaya bahwa

masyarakat Tengger sampai sekarang masih memegang teguh adat, setiap

bulan Kasada tanggal 15 dan 16 selalu mengadakan upacara Kasada sebagai

bentuk penghormatan kepada Pangeran Kusuma. Di samping itu, juga

mengandung nilai pendidikan kepada masyarakat agar dalam menjalankan

upacara adat untuk melestarikan nilai-nilai budaya warisan nenek moyang,

tidak membedakan agama. Upacara adat dapat dijadikan media untuk

mempererat persaudaraan, persatuan, dan gotong royong sesame anggota

masyarakat, meskipun berbeda agama.


208

g. Nyecep ilmu gunung kasektian

Orang-orang pada masa lalu, seperti jaman Kerajaan Majapahit,

Kerajaan Mataram, Kerajaan Singosari, Kerajaan Pasundan, dan Kerajaan

Kediri, terutama para tokoh masyarakat, raja atau patih, bila ingin mencari

ilmu atau kesaktian, banyak yang bertapa di gua atau di gunung. Dalam dunia

pewayangan pun, banyak diceritakan, bila seorang kesatria ingin mendapatkan

ilmu, kesaktian, dan pusaka dari para Dewa, mereka juga melalui bertapa di

gunung atau di gua.

Nyecep ilmu gunung kasektian merupakan metafor orang atau dewa

yang ingin mendapatkan ilmu, kesaktian, atau pusaka dari dewa atau Tuhan

Yang Mahakuasa. Dalam pertunjukan wayang topeng Tengger juga

diceritakan, Naga Gini memerintahkan kepada anaknya yang bernama Bethara

Kala agar bertapa di Puncak 29, Randu Pitu, Randu Sanga, untuk

mendapatkan ilmu dari para dewa. Untuk mendapatkan ilmu atau kesaktian

tidak mudah, harus didahului dengan bertapa, sebagai metafor membersihkan

jiwa dan raga, serta sebagai sarana berdoa kepada Sang Dewa atau Tuhan

Yang Mahakuasa untuk meminta ilmu atau kesaktian. Gambaran tersebut

tampak pada data sebagai berikut:


209

Data F1.3.13

Kanjeng ibu... lha sak iki untuku wis mari rika lo, sak iki aku wis kari
nagih janji, endi panganku kanjeng ibu.
(Kanjeng ibu, .... sekarang gigi saya sudah sembuh. Sekarang aku
menagih janji, mana makananku, Ibu!)
Ya..ya ngger kanjeng ibu ora bakal salah janji karo sliramu. Yen
sliramu pingin jaluk mangan karo kanjeng ibu kudu gelem ngrungokne.
Yen sliramu wis cukup mertapane neng pertapan puncak Sangalikur,
Randu Pitu, Randu Sanga. Ya sliramu nyecep ilmu gunung kasektian.
(Baiklah Nak ...., ibu tidak mungkin ingkar janji nak..., Bila kau minta
jatah makan kepada ibu, harus mau mendengarkan nasehat ibu. Bila
kamu sudah selesai bertapa di pertapaan Puncak Gunung Randu Pitu
dan Randu Sanga. Kamu harus memiliki ilmu gunung kasekten) (WTT
3. 31.5—15).

Data di atas (WTT 3. 31.5—15) menggambarkan bahwa Bethara Kala

menagih janji kepada ibunya, setelah giginya empat puluh dicabut, ia meminta

makanan manusia. Naga Gini memberi nasihat kepada Bethara Kala, agar

sebelum turun ke dunia, untuk mencari makanan manausia, ia harus bertapa

dahulu di Puncak B 29, Randu Pitu, Randu Sanga, untuk mencarai ilmu dan

kesaktian agar pada saat mencari makanan manusia di dunia mendapat

kemudahan dan tidak halangan apa pun.

Data di atas (WTT 3. 31.5—15) merupakan merupakan lokusi.

Ilokusinya atau maksudnya adalah Bethara Kala menagih janji kepada ibunya,

minta diberi makanan manusia, setalah giginya empat puluh dicabut dan

dibuang ke arah Utara Timur, dan jatuh ke Madura. Perlokusinya atau

tindakan ibunya, justru Bethara Kala sebelum mencari makanan manusia di


210

dunia, agar bertapa lebih dahulu di Puncak B 29, Randu Pitu, Randu Sanga,

untuk mencari ilmu keaktian dan sebagai sarana membersihkan jiwa dan

raganya.

Data di atas (WTT 3. 31.5—15) mengandung nilai pendidikan kepada

masyarakat agar kalau mau meminta sesuatu kepada Tuhan Yang Mahakuasa,

melakukan pembersihan jiwa dan raga, melalui mendekatkan diri kepada

Tuhan Yang Mahakuasa, melalui berdoa, salat, dan puasa. Bila manusia

meminta dengan sabar dan khusuk, Tuhan akan mengabulkannya, baik

kebaikan di dunia maupun kebaikan di akhirat.

h. Semar

Semar merupakan metafor dari seorang Dewa yang menjelma menjadi

abdi atau pembantu yang baik dan setia kepada majikannya. Ia hanya mau

mengabdi kepada kesatria yang berwatak baik seperti Pandawa Lima. Semar

sebenarnya merupakan jelmaan Sang Hyang Lesmana Dewa, putra Sang

Hyang Sis. Pada saat berebut mengejar dan menangkap pusaka Hargadumilah

milik ayahnya, ia bersaing dengan ketiga saudaranya, yaitu Sang Hyang

Punggung, Sang Hyang Pongat, dan Sang Hyang Manikmaya, sebagai

prasyarat untuk menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bethara Guru, bila

bisa menangkap pusaka Hargadumilah yang dilepaskan di dunia maya.


211

Sang Hyang Lesmana Dewa setelah berusaha menangkap pusaka

Hrgadumilah gagal, bersekutu dengan kedua saudaranya yang bernama Sang

Hyang Punggung, dan Sang Hyang Pongat untuk merebut pusaka

Hrgadumilah yang telah dipegang oleh Sang Hyang Manikmaya, bahkan

berusaha untuk membunuhnya. Pada saat Sanh Hyang Lesmana Dewa perang

berebut pusaka Hargadunilah dengan Sang Hyang Manikmaya, Sanh Hyang

Lemana Dewa kalah. Ia disamda oleh Sang Hyang Manikmaya menjadi

Semar dan diberi tugas untuk mendidik dan membimbing Pandawa, putra

Pandu. Namun sebelumnya, ia disuruh bertapa di Gunung Gamping, di

Padukuhan Karang Kletek, Desa Klampis Ireng sebagai sarana bertobat

kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Setelah tobatnya diterima oleh Tuhan Yang

Mahakuasa dan jiwa dan raganya menjadi bersih dan suci, baru disuruh

menjadi pengasuh Pandawa Lima. Oleh sebab itu, Semar juga sebagai metafor

orang yang bersih dan suci, sehingga ia diberi kendaraan burung dara putih

oleh Sang Hyang Manikmaya. Hal tersebut tampak pada data sebagai berikut:

Data F1.3.15

Ya kamu harus bertempat di Pedukuhan Karang Kletak, Klampis Ireng


Lha penggaweanku Dhi! (Lha pekerjaanku Dhi?
Sepisan rika ki ya nyatetana manungsa kang salah antaraning sing bener,
sing salah catheten tangan rika sing kiwa, sing bener catheten tangan
rika sing tengen
212

Pertama pekerjaanmu mencatat manusia yang salah dan yang benar,


yang salah catatlah degan tangan kiri dan yang benar catatlah dengan
tangan kanan
Lha yen manungsa akeh salahe kalau manusia banyak salahnya?
Besok cegurna neraka (besok masukkan ke neraka)
Yen akeh benere dhi. (Kalau banyak benarnya dhik)
Unggahna suwarga (naikkan ke surga)
Ooo dadi kaya mengkono dhi..jadi seperti itu Dhik! (WTT 4.17.85—
100).

Dalam dunia pewayangan di Jawa, Semar dikenal mempunyai anak tiga

orang, yaitu Petruk, Gareng, dan Bagong. Keempatnya mengabdi kepada

Janaka. Sedangkan dalam wayang topengTengger, Semar tidak mempunyai

anak, seperti Petruk, Gareng, dan Bagong. Semar sampai sat ini oleh

masyarakat Tengger dikenal sbagai pertapa di Gunung Gamping, di

Padukuhan Karang Kletek, Desa Klampis Ireng. Tempat tersebut sampai saat

ini dikeramtkan oleh masyarakat Tengger.

Data di atas (WTT 4.17.85—100) merupakan lokusi, Ilokusinya atau

maksudnya adalah Semar diperintahkan oleh Sang Hyang Manikmaya untuk

tinggal di Padukuhan Karang Kletek, Desa Klampis Ireng dan diberi tugas

mencatat segala amal kebaikan manusia dengan tangan kanan dan mencatat

amal kebaikan manusia yang jelek dengan tangan kiri. Yang banyak amal

baiknya dimasukkan ke surge. Yang banyak amal jeleknya, dimasukkan ke

neraka.
213

Perlokusinya atau tindakan Semar segera pergi ke Padukuhan Karang

Kletek, Desa Klampis Ireng dengan mengendarai burung dara putih. Untuk

segera bertapa di Gunung Gamping sebagai sarana minta ampun kepada

Tuhan Yang Mahakuasa, agar jiwa dan raganya menjadi bersih dan suci,

sebelum menjadi pengasuh Pandawa Lima.

Data di atas (WTT 4.17.85—100) mengandung nilai pendidikan agar

bila seseorang jiwanya kotor, banyak dosanya, segera minta ampun kepada

Tuhan Yang Mahakuasa, agar semua dosa-dosanya baik kepada Tuhan Yang

Mahakuasa atau kepada manusia diampuni oleh Tuhan Yang Mahakuasa,

sehingga jiwa dan raganya menjadi bersih dan suci. Data tersebut juga

mengandung nilai budaya masyarakat pada masa lalu, bila minta maaf kepada

Tuhan Yang Mahakuasa melalui bertapa. Bila masyarakat sekarang bila minta

maaf kepada Tuhan Yang Mahakuasa dengan banyak beristihfar, dan

menjauhi segala larangannya dan menjalankan segala perintah-Nya.

i. Klambi Limar Kinanti dan Sabuk Sakti Jaludamang

Data ―klambi Limar Kinanti‖ mengacu pada jarit berwarna kota-kotak

hitam dan putih yang bermakna agar Semar mengabdi kepada orang baik,

bersih, dan jujur, yaitu Pandawa Lima (Punta Dewa, Bima, Janaka, Nakula,

dan Sadewa). Tanda ‖klambi Limar Kinanti‖ tidak ada hubungan kemiripan
214

dengan acuannya, tetapi memiliki kemiripan kedua acuan yaitu memiliki ciri

bersih.

Bila Sabuk Sakti Daludamana kendor, maka negara dalam keadan tidak

stabil atau mengalami kegaduhan. Sebaliknya, bila Sabuk Sakti Daludamana

kencang, maka keadaan negara kuat dan stabil. Hal tersebut tampak pada data

sebagai berikut:

Data F1.3.16
Klambi rika iku senajan cekak ora cekak, landung ora landung, klambi
rika iku diwenehi jejuluk klambi limar kinanthi.
(Baju kamu itu walaupun pendek dinamakan baju limar kinanthi)
Ooo iki diarani klambi limar kinanthi, guno manfaate Dhi ?
(O ini dinamakan baju limar kinanthi, apa manfaatnya?)
Iku kanggo tameng dedayane semar, itu buat perisai kekuatan semar.
Lha sabukku dodot lawe wenang iki dhi. Lha sabukku berupa ikatan
tali benang ini Dhi!
Iku sabuk iku diarani sabuk rika iku juluke sabuk jaludamang itu
sabuk yang dinamakan sabuk jaludamang!
(Lha guna manfaate sabuk iki dhi apa manfaatnya dhi?)
Iku mung kanggo tandha, yen sabuke Semar iki kendho, gonjang
ganjing negara bakal nemoni susah, akeh prahara, akeh godha, rencana
akeh bebaya
(Itu hanya digunakan untuk tanda jika sabuk semar tidak kencang,
Negara akan menemui prahara dan bahaya menimpa)
Lha nek sabukku singset dhi
(Kalau sabukku kencang dhi?)
215

Negara bakal tenteram ayem, priyayi agung padha ayem (Negara akan
tentram, pejabat akan damai) (WTT 4.17.90—115).

Data tersebut mengandung ikon metaforis, yaitu Dara Putih. Data

tersebut tidak ada kemiripan dengan acuannya. Data tersebut bermakna

kebaikan dan kesucian. Semar sebagai tanda tokoh yang suci, maka

kendaraannya juga harus suci yang dilambangkan Dara Putih. Dalam

kehidupan masyarakat Jawa bahkan Indonesia, bila mempunyai hajatan besar,

biasanya ditandai dengan melepas burung dara putih sebagai simbul bahwa

niat hajatan tersebut baik dan suci dan tidak mendapatkan halangan suatu apa

pun

j. Gunung Gamping

Gunung Gamping merupakan metafor tempat pertapaan Semar. Semar

disuruh bertapa di Gunung Gamping sebagai sarana meminta ampun kepada

Tuhan Yang Mahakuasa agar jiwa dan raganya menjadi bersih dan suci dari

segala sifat iri hati dan angkara murka serta ingin membunuh adiknya sendiri.

Bila Tuhan sudah mengampuninya, jiwa dan raganya menjadi bersih dan suci,

maka segera pegi ke pedukuhan KarngKletek, Desa Klampis Ireng. Hal tersebut

tampak pada data sebagai berikut:


216

F1.3.17

Rika aja kesusu dhisik manggona ning pendhukuhan Karang Kletak. Ya


Klampis Ireng, watak rika kang candhala hangkara murka mau leburen
dhisik lakonana tapa brata dhisik ana ing puncake Gunung Gamping
ngapura maring kang kuwasa. Yen rika wis kantuk pangapura gugura
mertapa jumenengana Pedhukuhan Karang Kletak. Ya Klampis Ireng.
(Jangan terburu-buru bertempatlah ke pedukuhan karangkletak klampis
ireng, sifat murkamu dihilangkan terlebih dahulu dengan cara tapa brata
di gunung gamping. Memohon maaf pada yang maha kuasa. Jika sudah
dimaafkan segeralah menuju ke pedukuhan karang Kletak Klampis
Ireng)
Ya yen kaya mangkono Dhi! Bakal tak tindakake, wis pun Kakang
nyuwun pamit tak budhal mertapa kang ati ati sliramu ya dhi..
(Ya jika seperti itu akan kulakukan, aku minta pamit berangkat ke
tempat tapa, hati-hati ya dhik) (WTT 4.17.135—150)

Berdasarkan data di atas (WTT 4.17.135—150) dapat disimpulkan

bahwa Gunung Gamping yang terletak di pedukuhan Karang Kletek, Desa

Klampis Ireng merupakan tempat pertapaan dan tempat tinggal Semar.

Masyarakat Tengger yang tinggal di sekitarnya, percaya bahwa di puncak

Gunung Gamping merupakan tempat pertapaan dan tempat tinggal Semar.

Oleh sebab itu, Gunung Gamping tersebut oleh masyarakat Tengger

dikeramatkan dan bayak dikunjungi masyarakat untuk meminta sesuatu,

seperti kekayaan, pangkat, jabatan, dan pelarisan.

Data di atas (WTT 4.17.135—150) merupakan lokusi, ilokusinya atau

makasudnya adalah Semar tidak boleh tergesa-gesa bertempat tinggal di

Pedukuhan Karang Kletek, Desa Klampis Ireng. Akan tetapi, ia disuruh oleh

Manikmaya supaya lebih dulu bertapa di puncak Gunung Gambing, sebagai


217

sarana minta ampun kepada Tuhan Yang Mahakuas. Setelah Tuhan Yang

Mahakuasa mengampuni dosa-dosa Semar, jiwanya menjadi bersih dan suci,

baru disuruh pergi ke Pedukuhan Karang Kletek, Desa Klampis Ireng.

Perlokusinya atau tindakan Semar adalah mengikuti perintah

Manikmaya. Ia segera minta pamit kepada Manikmaya pergi ke Gunung

Gamping. Data tersebut mengandung nilai pendidikan kepada masyarakat,

bila banyak melakukan kesalahan dan banyak dosanya agar minta ampun

kepada Tuhan Yang Mahakuasa, agar jiwa dan raganya menjadi bersih dan

suci.

k. Tegal Durseta

Tegal Durseta merupakan metafor tempat pertempuran Perang

Baratayuda Jaya Binangun antara Pandawa melawan Kurawa. Perang

Baratayudata Jaya Binangun merupakan peristiwa peperangan yang terbesar

dalam sejarah pewayangan. Kurbannya sangat banyak, baik dari pihak

Pandawa maupun Kurawa. Semua Pandawa Lima masih utuh karena di bawah

perlindungan Bathara Kresna. Sedangkan di pihak Kurawa, semua anak

Distarata yang jumlahnya serratus mati semua. Dalam perang Baratayuda,

tempat peperangan tersebut dikenal dengan nama tegal Kurusetra. Dalam

wayang topeng Tengger disebut Tegal Durseta.


218

Tempat tersebut juga melambangkan tempat yang sangat luas dan

mengerikan karena di tempat tersebut banyak prajurit Pandawa maupun

Kurawa banyak yang mati. Manik maya dalam mencari senjata Asta Dumilah

sudah sampai tegal Durseta, tetapi juga belum menemukan tanda-tanda

keberadaan senjata Asta Dumilah. Gambaran data tersebut tampak pada data

sebagai berikut:

F1.3.18

Manikmaya lampahan nggih menika bujang wontenipun gaman Asta


Dumilah. Nanging ngantos dumugi wonten ing Wanadel Boyo mboten
saged ngginiaken wujude Asta Dumilah saking saene Manikmaya nggih
menika leres sautawis wonten ing sak ngandhape kuwi ingkang anggih
nggih menika hamba para lampah wonten ing tegal Durseta.
(Manikmaya jalan ya itu bujang adanya pudaka Asta Dumilah namun
hingga saat ini di Wanadel Boyo tidak bisa menggubakan wujudnya
Asta Dumilah sampai sekarang Manikmaya memang benar sampai
sekarang ada dihadapannya itu yang kelihatan itu saya para pejalan kaki
di tegal Durseta) (WTT 2.10.45—55).

Data di atas (WTT 2.10.45—55) menggambarkan Manikmaya sudah

berusaha mencari senjata Asta Dumilah sudah sampai di Alas Wana Boyo,

tetapi belum berhasil menemukan senjata Asta Dumilah, bahkan sudah sampai

Tegal Dursela, tempat terjadinya peperangan Barata yuda antara Pandawa

dengan Kurawa.

Data di atas (WTT 2.10.45—55) merupakan bentuk lokusi. Sedngakan

ilokusinya atau maksudnya adalah Manik maya sudah berusaha sekuat tenaga
219

mencari pusaka Asta Dumilah sudah sampai Alas Wana Boyo bahkan sudah

sampai Tegal Dursela, tetapi belum bisa menemukan pusaka tersebut.

Perlokusinya atau tindakan Manikmaya akhirnya, ia memutuskan

bertapa di Gua Gandamayit, tempat pertapaan para dewa. Akhirnya

Manikmaya berhasil mendapatkan senjata Asta Dumilah dengan cara bertapa,

dan senjata Asta Dumilah diberikan kepadanya oleh Bethara Narada.

Data tersebut (WTT 2.10.45—55) mengandung nilai pendidikan agar

generasi muda bila ingin mencapai cita-cita yang luhur, harus bekerja keras,

sabar, dan tidak takut halangan apa pun. setiap usaha mencapai cita-cita yang

luhur, dipastikan ada halangannya, baik halangan kecil maupun besar.

B. Pengindekan yang terkait dengan nilai etnik, mistik, dan pragmatik

dalam tuturan wayang topeng Tengger lakon Bethara Kala Krama

Pengindekan adalah proses pembentukan indek dalam tuturan dalang

dalam pertunjukan wayang topeng Tengger. Index adalah tanda yang

mempunyai hubungan kedekatan dengan acuannya yang mempunyai

hubungan sebab-akibat. Artinya, bila ada suatu tindakan karena ada

penyebabnya. Seperti mengapa anak harus diruwat karena anak tersebut

mengandung kala atau keburukan yang akan menjadi makanan Bethara Kala.

Agar anak tersebut tidak menjadi makanan Bethara Kala,maka anak tersebut
220

harus diruwat dengan media pertunjukan wayang topeng Tengger. Dalam

pertunjukan wayang topeng Tengger banyak mengandung indeks.

Berdasarkan identivikasi 4 teks pertunjukan wayang topeng Tengger,

ditemukan 6 indek, yaitu yaitu (1) Anak yang mengandung kala atau

keburukan, (2) Menyiapkan berbagai jenis senjata karena melewati hutan yang

berbahaya, (3) Untuk mencapai cita-cita diperlukan usaha lahir dan batin, (4)

Suatu usaha yang sungguh-sungguh akan menghasilkan keberhasil,(5)

Nagagini siang-malam tidak bisa tidur dan mau makan, dan (6) Nagagini

siang-malam tidak bisa tidur dan mau makan. Keenam indek yang ada dalam

pertunjukan wayang topeng Tengger adalah sebagai berikut:

1. Anak yang mengandung kala atau keburukan

Masyarakat Tengger mempunyai kepercayaan apabila ada seorang hanya

mempunyai anak satu laki-laki maupun wanita (ontang-anting), anak pertama

wanita, anak kedua laki-laki, anak ketiga wanita (pancuran kapit sendang),

anak pertama laki-laki, anak kedua wanita, anak ketiga laki-laki (sendang

kapit pancuran), anak lima laki-laki semua dan lain-lain, maka anak tersebut

termasuk anak yang menyandang kala, artinya anak tersebut mengandung

keburukan dan menjadi makanannya Bethara Kala. Untuk menghindarkan agar

jangan menjadi makanan Bethara Kala, maka anak tersebut harus diruwat
221

dengan menggunakan pertunjukan wayang topeng Tengger. Hal tersebut

tampak pada data sebagai berikut:

Data F2. 01

... Jarene ndhik Desa Wanakersa ana arek nandang kala, Yaiku nurunake
dhalang pangruwatan kang wis turun kaping pitu. Yaiku bakal ngeruwat
siponang jabang bayi nandung kala. Mula sira kabeh kudu ndherekake
tindak lakune pun Kakang. Ayo melu nyekseni sebabe iki bapak dhalang
bakal nurunake Hyang Dewa, Hyang Dewi, Hyang Bathara, Hyang
Bethari. Kabeh disuwun tumurun kanthi nyekseni ya, Yayi!
(... Katanya di Desa Wonokersa ada anak sedang dirundung keburukan,
yaitu mendatangkan dalang untuk ruwatan yang ketujuh. Yaitu bakal
meruwat si anak yang dirundung keburukan. Maka dari itu kalian semua
harus mengikuti perjalananku. Ayo menjadi saksi, sebab bapak dalang
bakal menurunkan Hyang Dewa, Hyang Dewi, Hyang Bathara, Hyang
Bethari. Semua diminta turun untuk menyaksikan,Dik!) (WTT 1.2. 45--
65).

Data tersebut mengandung indeks, yaitu ―Yaiku bakal ngeruwat

siponang jabang bayi nandung kala.‖( Yaitu bakal meruwat si anak yang

dirundung keburukan). Dalang melakukan tindakan meruwat anak tersebut

karena anak tersebut termasuk kategori anak ontang-anting dan menjadi

makanan Bethara Kala. Agar anak tersebut tidak menjadi makanan Bethara

Kala, menurut kepercayaan masyarakat Tengger harus diruwat oleh dalang

keturunan dengan mengadakan pertunjukan wayang topeng Tengger.

Masyarakat Tengger sampai saat ini masih percaya bila mempunyai

anak ontang-anting, sedang kapit pancuran, pancuran kaapit sendang, atau

pandawa lima, anak tersebut mengandung kala atau keburukan dan akan
222

menjadi makanan Bethara Kala. Untuk menhindarkan agar anak tersebut tidak

menjadi makanan Bethara Kala, maka anak tersebut harus diruwat. Yang

meruwat harus dalang keturunan dengan menanggap wayang topeng Tengger.

Kepercayaan masyarakat Tengger tersbutlah yang mengakibatkan wayang

topeng Tengger sampai saat ini masih tetap bisa eksis di tengah-tengah era

revolusi industri 4.0.

Secara pragmatik data di atas (WTT 1.2. 45--65) merupakan lokusi.

Ilokusinya atau maksudnya bila seseorang mempunyai anak, anak ontang-

anting, sedang kapit pancuran, pancuran kaapit sendang, atau pandawa lima,

harus diruwat.

Perlokusinya masyarakat Tengger juga sudah memahami bahwa bila

mempunyai anak anak ontang-anting, sedang kapit pancuran, pancuran kaapit

sendang, atau pandawa lima, akan melakukan ruwatan agar anaknya selamat

dari Bethara Kala dan hidupnya tidak lagi menyandang kala atau keburukan,

sehingga bisa hidup bahagia. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dalang Ki

Lebari yang mengatakan bahwa: ―Bila anak tersebut tidak diruwat, maka akan

menjadi makanan Bethara Kala, hidupnya tidak bahagia, bila menjadi pegawai

kariernya tidak akan sukses‖ (Wawancara dengan dalang Ki Lebari, tanggal 28

Maret 2018, di Desa Wonokerso, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo).


223

Data tersebut (WTT 1.2. 45--65) mengandung nilai pendidikan kepada

masyarakat Tengger agar bila mempunyai anak seperti anak ontang-anting,

sedang kapit pancuran, pancuran kaapit sendang, atau pandawa lima, harus

diruwat agar anak tersebut hilang kalanya atau keburukannya sehingga tidak

menjadi makanan Bethara Kala dan dapat hidup bahagia. Orang yang kaya

dapat mengadakan upacara ruwatan secara individu. Masyarakat yang tidak

punya bisa mengadakan upacara ruwatan secara berkelompok. Bisa juga

melakukan upacara ruwatan hanya dengan mengundang dalang ke rumahnya.

Dalang akan datang dan melakukan upacara ruwatan hanya dengan

menggunakan media topeng Bethara Kala. Kepercayaan masyarakat Tengger

terhadap Bethara Kala sangat kuat karena menurut kepercayaan masyarakat

Tengger Bethara Kala tinggal di Puncak B29, Randu Pitu, dan Randu Sanga.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat dalang Ki Lebari:

Data F2. 02

Bila orang tengger punya anak anak ontang-anting, sedang kapit


pancuran, pancuran kaapit sendang, atau pandawa lima, orang, masak
dandangnya roboh, orang yang membangun rumah yang belum selesai
dan belum ada payonnya, orang yang berjalan di waktu bedhuk,
matahari ada di tengah-tengah tidak istirahat, akanmenjadi makanan
Bethara Kala. Agar onak dan orang-orang tersebut tidak di makan
Bethara Kala, maka harus diruwat. Cara meruwat bila orang kaya bisa
secara individu. Bila tidak kuat bisa secara berkelompok, atau cukup
mengundang dalang ke rumahnya. Dalang akan datang ke rumah
mengadakan acara ruwatan dengan menggunakan media topeng Bethara
Kala (Wawancara tanggal 28 Maret 2018, di Desa Wonokerso,
Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo).
224

Data tersebut menunjukan bahwa masyarakat Tengger sampai saat ini

masih percaya bahwa bila mempunyai anak anak ontang-anting, sedang kapit

pancuran, pancuran kaapit sendang, atau pandawa lima, melakukan upacara

ruwatan dengan menanggap wayang topeng Tengger bagi masyarakat yang

mampu.i masyarakat yang tidak mampu melaksanakan upacara ruwatan

dilakukan secara berkelompak dan gotong royong, sehingga biayanya bisa

dilakukan secara gotong royong. Bagi yang masyarakat yang kurang mampu,

bisa juga melaksanakan upacara ruwatan dengan mengundang dalang wayang

topeng Tengger. Dalang wayang topeng Tengger akan melakukan upacara

ruwatan dengan menggunakan media topeng Bethara Kala saja, tanpa

menggunakan pertunjukan wayang topeng Tengger.

Anak yang mengandung kala juga diceritakan dalam pertunukan wayang

topeng Tengger 2 (WTT 2.30.10—90), (WTT 3.31.10—20), (WTT 4.31.70—

120).

2. Menyiapkan berbagai jenis senjata karena melewati hutan yang

berbahaya

Pemimpin memerintahkan agar para prajurit menyiapkan segala perlatan

perang seperti pedang, klewang, tombak, jangan ada yang ketinggalan karena
225

akan melewati hutan yang angker dan berbahaya yang dapat dipakai sebagai

alat perisai diri bila diganggu makhluk halus dn bisa dipakai sebagai alat untuk

menyingkirkan makhluk halus yang mengganggunya. Hal tersebut tampak pada

data sebagai berikut:

Data F 2. 02
Mula sedurunge budhal sawernane gegaman-gamane tamtamane praja
pedhang, klewang, tumbak, aja ana kang kari, mbok menawa awak dhewe
ketemu boranawa sajroning wana kana kanggo nyingkirake ya, Yayi.
(Maka sebelum berangkat senjata-senjata tamtamanya negara pedang,
klewang, tombak, jangan ada yang ketinggalan. Siapa sangka kita
menemukan boranawa di dalam hutan sana bisa untuk
menyingkirkannya,Dik)
Inggih Sinuwun!
(Iya yang mulia).
Nun injih, Kaka Prabu!
(Iya Kakak Prabu) (WTT 1.2.100-110).

Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa mengapa pemimpin

memerintahkan kepada para tentara agar menyiapkan berbagai peralatan

perang, seperti pedang, klewang, dan tombak karena akan melewati hutan yang

berbahanya yang banyak dihuni oleh makhluk halus.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Tengger sudah terbiasa bila

bepergian melalui jalan hutan, membawa senjata tajam seperti pedang , arit,

atau bentuk lain sebagai alat perisai diri bila di jalan diganggu oleh makhluk

halus atau makhluk lain. Masyarakat Tengger sudah biasa bila pergi ke sawah

atau hutan juga membawa senjata tajam sepeti arit sebagai perisai diri bila

diganggu oleh makhluk halus atau makluk lain. Secara geografis, di Tengger
226

banyak tempat yang sangat curam dan dihuni oleh makhluk halus. Hal tersebut

diperkuat dengan pendapat dalang Ki Lebari sebagai berikut:

Data F 2. 03

Di Tengger banyak tempat angker, yang banyak dihuni oleh makhluk


halus. Oleh sebab itu, bila kita pergi ke tempat-tempat tertentu harus
hati-hati, menyiapkan senjata tajam sebagai pelindung diri apabila ada
gangguan dari makhluk halus atau makhluk lain. Bila bepergian ke
ladang atau ke hutan membawa senjata tajam, hatinya sudah tenang
karena telah membawa senjata tajam sebagai perisai diri dan bisa untuk
mengusir makhluk yang akan mengganggunya (Wawancara tanggal 28
Maret 2018, di Desa Wonokersa, Kecamatan Sumber, Kabupaten
Probolinggo).

Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Tengger

sudah mempunyai kebiasan bila pergi ke suatu tempat melewati hutan yang

berbahaya atau pergi ke ladang atau ke hutan membawa senjata tajam sebagai

perisai diri dan untuk mengusir makhluk yang akan menggagunya.

Secara pragmatik data tersebut (WTT 1.2.100--110) merupakan lokusi.

Ilokusinya atau maksudnya agar para prajurit mempersiapkan senjata seperti

klewang, pedang, dan tombak karena akan melewati hutan yang angker dan

berbahaya, sebagai alat untuk mengusir binatang atau makluk lain yang akan

mengganggu dirinya. Perlokusinya para prajurit juga sudah

memahami maksud perintah pimpinannya. Para prajurit segera menyiapkan

berbagai peralatan seperti klewang, pedang, dan tombak sebagai alat untuk

mengusir makhluk ataubinatang yang akan mengganggunya.


227

Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Tengger

mempunyai kebiasaan bila bepergian ke suatu tempat dan melewati hutan yang

angker atau pergi ke ladang membawa senjata tajam seperti arit atau pedang

sebagai perisai diri untuk mengusir makhluk lain yang akan mengganggunya.

Data tersebut (WTT 1.2.100-110) mengandung nilai pendidikan kepada

masyarakat agar bila akan bepergian melewati hutan yang angker dan

berbahaya membawa perisai diri senjata tajam sebagai alat untuk mengusir

makhluk lain yang akan mengganggunya.

3. Untuk mencapai cita-cita diperlukan usaha lahir dan batin

Seseorang yang akan mencapai cita-citanya untuk mendapatkan suatu

jabatan atau kedudukan diperlukan usaha lahir dan batin. Sang Hyang

Manikmaya melakukan tapa brata karena ingin mendapatkan pusaka

Hargadumilah sebagai syarat untuk dapat menggantikan kedudukan ayahnya

sebagai Bethara Guru, pimpinan para dewa. Ia harus berusaha mencari pusaka

tersebut yang telah dilepaskan ayahnya di dunia. Ia keluar masuk hutan, naik

gunung, turun gunung, demi mendapatkan pusaka Hrgadumilah.

Sang Hyang Manikmaya tidak hanya berusaha keras secara lahir, dengan

masuk hutan, keluar hutan, naik gunung dan turun gunung, tetapi juga

melakukan usaha secara batin dengan tapa brata, memisahkan nyawa dan
228

raganya di Gua Gandawatyit sebagai sarana berdoa dan minta kepada Sang

Dewa untuk mendapatkan pusaka Hargadumilah yang telah dilepaskan ayahnya

di dunia. Dalam bertapa brata, ia harus sabar, kuat menahan segala godaan, dan

menghilangkan segala rasa takut dari segala macam godaan, karena setiap ingin

mencapai cita-cita akan mendapatkan godaan atau ujian. Hal tersebut tampak

pada data sebagai berikut:

Data F2.03

Dhi... kowe ngelakoni tapabrata, gayuh kamukten, kepingin kedunungan


pusakane kanjeng rama sing kok lepasake nalikane semana dhi, mbok ya
wis aja dhi.... Kowe kok sampek mecah nyawa ninggal raga kaya ngene
dhi ...., pun Kakang ora tega dhi.
(Dik, kamu bertapa untuk mendapatkan kesaktian ingin mendapatkan
kedudukan Ayah, sudahlah Dik, Kamu kok sampai bertaruh nyawa
seperti ini. Kakak tidak tega Dik)
Ya ya ngger Manikmaya, teruske kowe tapabrata aja pati pati gugur
sliramu yen durung nampa pusaka tindhih Kahyangan. Ya lun senajan
memba wujud macan putih kaya mangkene ulun Bathara Brama ngger.
Wis teruske sira tapabrata, tak aturake marang Hyang Pikulun Sang
Hyang Guruwenang. Mesti sira sok sok nampa kamukten. Tak tinggal,
Ngger!
(Ya nak Manikmaya, teruskan saja pertapaanmu, jangan sampai kamu
pergi sebelum mendapatkan pusaka Tindhih Kayangan ya. Walaupun
menyamar menjadi harimau putih seperti ini. Saya Bethara Brama Nak!
Sudah teruskan saja pertapaanmu. Nanti saya sampaikan kepada Hyang
Pikulun Sang Hyang Guru Wenan. Pasti kamu mendapatkan kebahagiaan.
Saya tinggal Nak!)(WTT 1.6. 55--75)
Data tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang akan mencapai cita-

citanya, tidak hanya berusaha secara lahiriyah, tetapi memerlukan usaha secara
229

batiniyah, dengan melakukan tapa brata, sebagai sarana menyucikan dirinya

dari segala dosa dan meminta sesuatu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bila

seseorang sudah berusaha dan meminta sesuatu kepada Tuhan Yang Maha Esa,

Tuhan akan mengabulkan apa yang diminta.

Tapa brata merupakan salah satu cara yang banyak dilakukan oleh

masyarakat Jawa pada masa lalu, sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri

kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk meminta sesuatu kepada Tuhan Yang

Maha Esa. Tapa brata bagi orang Jawa merupakan perilaku mistik dalam rangka

menghindarkan dan menghilangkan dari segala dosa. Bila seseorang telah suci

dari segala dosa, maka hubungan antar manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa

semakin dekat, sehingga bila meminta sesuatu kepada Tuhan Yang Maha Esa

akan dikabulkan.

Data tersebut (WTT 1.6.55--75) merupakan lokusi. Ilokusinya atau

maksudnya adalah untuk mencapai cita-cita seseorang perlu berusaha secara

sungguh-sungguh baik secara lahir maupun batin. Dalam usaha diperlukan

kesabaran, ketabahan, dan menghilangkan segala rasa ketakutan kepada siapa

pun dan apa pun. Usaha secara batin orang-orang Jawa pada masa lalu dengan

cara tapa brata, sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha

Esa, menghilangkan dan menjauhkan diri dari segala dosa, sehingga jiwa dan

raganya suci tanpa dosa. Bila diri seseorang sudah suci dari segala dosa, maka
230

ia semakin dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa. Bila dirinya sudah suci,

permintaannya akan mudah dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa sesuai

dengan permintaannya.

Perlokusinya adalah Sang Hyang Manikmaya sudah melakukan

berbagai usaha secara lahir maupun batin. Usaha lahir dengan cara mencari

pusaka Hargadumilah dengan cara masuk hutan, keluar hutan, naik gunung,

turun gunung. Hutan dan gunung yang sangat angker, dan tidak takut kepada

siapa pun dan apa pun. Sedangkan usaha secara batin dengan melakukan tapa

brata, sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, sarana

berdoa dan meminta kepada Dewa agar permintaannya dikabulkan oleh Dewa.

Dengan usaha secara sungguh-sungguh, akhirnya permohonan Sang Hyang

Manikmaya dikabulkan oleh Dewa. Pusaka Hargadumilah dintarkan oleh Dewa

Narada, Dewa Brahma, dan Dewa Yamadipati.

Data tersebut (WTT 1.6. 55--75) mengandung nilai pendidikan kepada

masyarakat bahwa untuk mencapai cita-cita diperlukan usaha secara sungguh-

sungguh baik secara lahir maupun batin. Agar permintaan kepada Tuhan

dikabulkan, maka seseorang harus semakin mendekatkan dirinya kepada Tuhan

Yang Maha Esa, menjahui segala larangannya dan menjalankan segala perintah

Tuhan dan Rasulnya, menghilangkan dan menjauhkan dari segala dosa, agar

permintaanya dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.


231

Data untuk mencapai cita-cita, seseorang perlu kerja keras secara lahir

dan batin juga dapat dilihat pada Adegan 10, baris 80—90 sebagai berikut:

Data F2.04

Sanjang terusipun kanjeng Rama kula lumampah siang dalu mlebet wana,
medal wana, minggah redi, mandap redi. Ngantos kula rencangi mboten
dahar mboten nginum kepingin nyambung watang putung kula dhateng
kanjeng Rama. kados kula sirep sakedap ipun netra wonten satengahipun
anak kula angsal izin kanjeng ibu kula saget nyepeng pusaka tindhih
Kahyangan watonipun kula purun ngelampahi tapabrata wonten guwa
Pasetran Ganda Mayit pertapanipun hyang pikulun dewane bathara.
Lajeng kula lampahi kula angsal pitulunganipun hyang pikulun pandi
Suralaya, Bathara Narada kertaken pusaka menika, Rama.
(Kata Ayah berjalanlah siang malam masuk hutan dan keluar hutan, naik
gunung turun gunung sampai saya tidak makan dan minum ingin
menyambungkan badan saya dengan Ayah. Jadi saya sirep sebentar dan
memohon doa Ibu saya bisa mendapatkan pusaka Tindhih Kayangan,
karena saya mau bertapa di goa Pasetran ganda mayit tempat pertapaan
Pandi Suralaya, bathara Narada memberikan pusaka ini Ayah.)
O dadi oleh pitulungane Hyang Pikulun Suralaya, Bathara Narada ya ya
ngger derajat pangkat mau kang nentokake gusti sing....(Ooo jadi
mendapatkan pertolongan pikulun Suralaya, Bathara Narada ya nak.
Derajat pangkat itu yang menentukan Tuhan ya nak.... (WTT 1.10.80--
110).
Data tersebut semakin memperkuat bahwa seorang anak yang akan

mencapai cita-citanya perlu berusaha keras lahir maupun batin. Siang dan

malam ia berjalan masuk hutan keluar hutan, menaiki jalan yang menanjak dan

menuruni jalan yang menurun, dan tidak makan tidak minum. Setelah bekerja

keras juga tidak boleh lupa, minta doa dan restu kepada kedua prang tuanya dan

meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bila seseorang sudah berusaha keras
232

lahir dan batin , minta doa dan restu kedua orang tua, serta berdoa untuk minta

sesuatu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan akan mengabulkan permintaan

seseorang.

Sebagaimana yang dilakukan Manikmaya, sebelum ia berangkat mencari

pusaka Hargadumilah, ia minta doa dan restu kepada kedua orang tuanya. Ia

bekerja keras mencari pusaka Hargadumilah dengan masuk hutan keluar hutan,

naik gunung, turun gunung. Di samping itu ia juga menjalani tapa brata di guwa

Pasetran Ganda Mayit, tempat pertapaan para dewa. Akhirnya Manikanya

diberi pusaka Hargadumilah oleh Bethara Narada.

Secara pragmatik data tersebut (WTT 1.10.80--110) merupakan lokusi.

Ilokusinya atau maksudnya adalah Manikmaya menceritakan kepada ayahnya

bahwa untuk mencari pusaka Hargadumilah, ia bekerja keras dengan masuk

hutan keluar hutan, naik gunung ke luar gunung. Ia juga melakukan tapa brata

di guwa Pasetran Ganda Mayit, tempat pertapaan para dewa. Akhirnya ia

mendapat bantuan Bathara Narada. Bathara Narada datang ke tempat pertapaan

Ganda Mayit sambil menyerahkan pusaka Hargadumilah kepada Manikmaya.

Perlokusinya adalah Sang Hyang Sang Sis, ayah Manikmaya memahami

cerita Manikmaya bahwa memang untuk mencapai-cita-cita seorang anak

memerlukan doa dan restu dari kedua orang tuanya serta berdoa kepada Tuhan

Yang Maha Esa. Dengan usaha keras lahir dan batin, serta berdoa kepada
233

Tuhan. Hasilnya diserahkan kepada Tuhan. Jabatan dan pangkat itu yang

menentukan adalah Tuhan Yang Maha Kuasa.

4. Suatu usaha yang sungguh-sungguh akan menghasilkan keberhasilan

Seseorang bila akan mencapai cita-citanya untuk mendapatkan sesuatu

harus disertai usaha yang sungguh-sungguh dengan kerja keras, baik secara

lahir maupun batin. Usaha yang sungguh-sungguh akan menghasilkan suatu

keberhasilan, seperti yang dilakukak Sang Hyang Manikmaya. Sang Hyang

Manikmaya untuk mendapatkan pusaka Hargadumilah yang telah dilepaskan

ayahnya di dunia, ia mencari dengan masuh hutan, keluar hutan, naik gunung,

turun gunung, disertai dengan tapa brata. Akhirnya Sang Hyang Manikmaya

dapat berhasil mendapatkan pusaka Hargadumilah yang diantarkan oleh

Bathara Narada, Bathara Brama, dan Bathara Temboro. Hal tersebut tampak

pada data sebagai berikut:

Data F 2.04
Ya yen kaya mangkono ayo pada minta marang ngarsane kang kuwasa
muga bocah iki kuwat bisa ngayemi para kawula iki ngger pusaka sing
kok angen-angen pusaka deneh Kahyangan Jonggring Saloka
Hargadumilah. Iki tampanen taksekek dhadhamu ya ngger ning pusaka
iki yen wis kok cekel aja sampek gindal sakrambut saka jiwaragamu
mesti nemoni bebayana saktengahe dedalan satindak lakumu yen apik
anggonmu ngeramut mesti sliramu bisa mulya kelakon genteni
pelungguhane Ramamu ngayomi marang para kawula ya ngger. Wis
ulun ora bisa suwe maneh ketemu marang sliramu. Wis ulun takbakal
bali bebarengan karo Hyangmu Bathara Brama karo Bathara Tembor
234

Hyangmu Bathara Brama karo Bathara Temboro o wis karia selamet


aku tak bali, Ngger!
(Jika seperti itu ayo memohon kepada Tuhan yang maha kuasa, anak ini
kuat menerima pusaka Kayangan Jonggring Saloka Hargadumilah. Ini
terimalah saya taruh di dadamu ya nak. Jika pusaka ini sudah kamu
pegang jangan sampai lepas dari ragamu walaupun kamu sedang
mengalami bahaya. Jika tingkah lakumu baik maka kamu akan mulia
dan menggantikan Ayahmu memberi pengayoman kepada rakyatmu.
Sudah saya tidak bisa bertemu alam denganmu, saya harus segera
kembali. Semoga selamat, saya pulang, Nak!) (WTT 1. 7.)

Data tersebut membuktikan bahwa suatu usaha yang sunggug-sungguh

baik secara lahir maupun batin akan menhasilkan sesuatu yang dicita-citakan

oleh Sang Hyang Manikmaya untuk mendapatkan pusaka Hargadumilah

sebagai syarat menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bethara Guru dan

melindungi rakyatnya.

5. Sifat iri hati karena keberhasilan orang lain

Sifat iri hati merupakan saah satu jenis penyakit hati manusia yang tidak

merelakan orang lain bila mencapai kesuksesan. Hal ini dialami oleh saudara-

saudara Sang Hyang Punggung, Sang Hyang Pongat, dan Sang Hyang Lesman

Dewa, merasa iri hati karena keberhasilan saudaranya sendiri Manikmaya yang

berhasil menemukan pusaka Hargadumilah dan akan menggantikan kedudukan

ayahnya sebagai Bethara Guru, pimpinan para dewa. Sifat keririhatian tersebut

mengakibatkan ketiganya berkonspirasi ingin merebut pusaka Hargadumilah


235

dari tangan Manikmaya. Kalau perlu akan membunuh Manikmaya dan

memasukan jenazahnya ke Kawah Candradimuka. Hal tersebut tampak pada

data sebagai berikut:

Data F2.05

Yen sampek Manikmaya melu melu ngoleki pusaka tindhih Kahyangan


bisa nyekel, ning tangeh lamun kelakon nggenteni pelungguhane kanjeng
Rama.Kaya kaya yen Manikmaya sampek bisa nyekel pusakane kanjeng
Rama. Kayanipun Kakang ora nerimakake. Sliramu ya pa lega lila yen
Manikmaya bisa nyekel pusaka genteni pelungguhane kanjeng Rama.
(Jika sampai Manikmaya ikut mencari pusaka tindhih Kayangan dan bisa
menangkapnya, tetapi tidak mungkin dia bisa menggantikan kedudukan
Ayah. Sepertinya jika Manikmaya bisa menangkap pusaka Ayah,
sepertinya Kakak tidak terima, kamu apakah juga relah jika Manikmaya
bisa menangkap dan menggantikan kedudukan Ayah?)
Lah senajan awakku ya ga nerimakke, Kang Mas.
(Lah walaupun saya juga tidak menerimanya juga, Kakak)
Lha Lesmana Dewa?
(Lha Lesmana Dewa?)
Panjenenganingsun ya ora nerimakake, Kakang.
(Saya juga tidak terima Kakak)
Lha yen wis kowe kabeh pada ra nerimakake saiki ayo andum gawe ana
kang ngalor ana kang ngidul sepisan ngoleki pusaka kang kaping pindho
mbok menawa methuk Manikmaya.
(Lha jika kamu semua tidak terima, sekarang ayo berbagi pekerjaan ada
yang ke utara, selatan, yang pertama mencari pusaka. Yang kedua
mungkin bertemu Manikmaya
.......................................................................................................
Kudu sira bisa mateni Manikmaya yen wis mati cemplungna kawah
Candradimuka aja sampek ana kawula cilik kang mangerteni liwat tudung
surpeng banyu kenek iwakke aja sampek butheg banyune, ngerti?
(Kamu harus bisa membunuh Manikmaya. Jika sudah mati masukan ke
Kawah Candradimuka saja. Ada rakyat kecil yang melihat jangan sampai
keruh airnya ketika kamu menangkap ikan itu, paham?)
Ya ngerti, Kakang.
(Ya, Paham Kak) (WTT 1.8.20-65).
236

Data tersebut memperkuat bukti sifat iri hati ketiga saudara Manikmaya

karena keberhasilannya menangkap pusaka Hargadumilah dan akan

menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bethara Guru, pimpinan para dewa.

Ketiga saudara Manikmaya tega merampas pusaka Hargadumilah dari tangan

Manikmaya bahkan berusaha untuk membunuhnya, meskipun Manikmaya

merupakan saudaranya sendiri.

Dalam kehidupan di masyarakat banyak ditemukan orang atau

sekelompok masyarakat yang mempunyai rasa iri hati kepada keberhasilan

orang lain, sehingga melakukan berbagai usaha atau berkonspirasi untuk

mencelakakan orang lain, walaupun dengan saudaranya sendiri.

Data tersebut (WTT 1.8.20--65) merupakan lokusi. Ilokusinya atau

maksudnya adalah orang yang mempunyai sifat iri hati tidak akan senang

melihat keberhasilan orang lain, meskipun dia saudaranya sendiri. Rasa iri hati

bisa mendorong seseorang akan melakukan konspirasi dengan orang lain atau

kelompok lain untuk mencelakakan atau mengganngu orang lain. Seperti yang

dialami Sang Hyang Punggung, Sang Hyang Pongat, dan Sang Hyang Lesmana

Dewa yang iri hati kepada keberhasiln Manikmaya yang berhasil menangkap

pusaka Hargadumilah. Ketiga orang tersebut berkonspirasi untuk merebut

pusaka Hargadumilah dari tangan Manikmaya, agar Manik maya tidak bisa

menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bethara Guru.


237

Perlokusinya ketiga saudara Manikmaya telak melakukan tindakan

dengan berusaha merebut pusaka Hargadumilah yang berada di tangan

Manikmaya, mesipun tidak berhasil. Niat jahat belum tentu dapat berhasil.

Manikmaya berhasil mempertahankan pusaka Hargadumilah yang ada pada

dirinya. Bahkan ketiga saudaranya dapat dikalahkan. Sebagai kesatria yang

berkarakter baik, ia tidak tega untuk membunuh ketiga kakaknya, tetapi

masing-masing disabda, Sang Hyang Punggung disabda mnjadi Antaboga,

Sang Hyang Pongat disabda menjadi burung, dan Sang Hyang Lesmana Dewa

menjadi Semar.

Data tersebut (WTT 1.8.20--65) mengandung nilai pendidikan kepada

masyarakat agar tidak mempunyai sifat iri hati kepada keberhasilan orang lain.

Sifat iri hati tidak baik dan merupakan penyakit hati yang harus dibuang. Bila

seseorang mempunyai sifat iri hati, maka hidupnya tidak akan bahagia, karena

setiap melihat keberhasilan orang lain, ia akan merasa iri hati dan berusaha

akan mencelakakan dan menfitnah orang lain. Sifat iri hati juga bisa mendorong

seseorang melakukan konspirasi dengan orang lain untuk mencelakakan atau

menfitnah orang lain, bahkan membunuhnya.


238

6. Nagagini siang-malam tidak bisa tidur dan mau makan

Bila seorang wanita terutama yang masih gadis ada perubahan sikap,

perilaku, dan tutur bahasa dalam kehidupan sehari-hari, siang –malam tidak

bisa tidur, tidak mau makan, tidak mau bicara, dan selalu merasa sedih, berarti

anak wanita tersebut sedang mengalami jatuh cinta. Pada umumnya seorang

wanita yang masih gadis bila sedang jatuh cinta ada perubahan perilaku dalam

kehidupan seharai-hari, siang- malam tidak bisa tidur dan tidak mau makan.

Perilaku tersebut dialami Nagagini, siang malam tidak bisa tidur, tidak mau

makan, tidak mau bicara, dan selalu merasa sedih, merupakan indek, sebagai

tanda bahwa Nagagini sedang jatuh cita kepada Bethara Guru, tetapi tidak

berani berterus terang dan tidak berani berbicara kepada ayahnya yang bernama

Pendhita Sukma Sejati dari Padepokan Gunung Wertawi. Hal tersebuttampak

pada data sebagai berikut:

Data F2.06

Nembeke mawon Sang Sis ngangkat putranipun Manikmaya jumenaken


nata dados Bathara Guru kanoman winten ing Kahyangan Jonggring
Saloka kocap kacarita kidala nyeriosaken padepokan bukdi nggih
menika kacariosaken Padepokan Gunung Wertawi nggih wonten
Pendhita Sukma Sejati gadhahi putra setunggal estri naminipun Nini
Nagagini. Piyambakipun Nini Nagagini ing semulinten antawisipun
dalu tansah mular manik maca durasa, mular tegese nangis maca susah
durasa pangrasa napa ingkang dipun raosaken kalian Nagagini menika
gandrung kapirangu kalian sang pramidi Bathara Guru Manikmaya.
Menawi dalu menika mboten saget sare, siang mboten kolu dahar,
tansah ketingalke mawon dhateng cahyanipun sang pramesthi Bathara
239

Guru, kanthi rembakan dhateng kalian kang raka Rama awrat


anggenipun badhe matur.
(Baru saja sang sis mengangkat anaknya Manikmaya menjadi Batara
Guru di Kahyangan Jonggring Saloka. Diceritakan, disebuah Padepokan
Gunung Wertawi ada pandita Sukma Sejati mempunyai anak perempuan
yang bernama Nini Nagagini. Nagagini siang malam perilakunya
menangis dan sedih tidak jelas apa yang diraskan. Ternyata Nagagini
sedang jatuh cinta kepada Manikmaya yang sedang diangkat menjadi
Bethara Guru. Kalau waktu siang dan malam Nagagini menangis karena
selalu teringat kepada wajah Batara Guru. Kalau malam tidak bisa tidur,
kalau siang tidak mau makan, selalu terbayang-bayang Bathara Guru.
Mau bermusyawarah dengan ayahnya merasa berat berbicara dengan
ayahnya) (WTT 1.12.0--20).

Data tersebut menggambarkan bila seorang wanita yang masih gadis sedang

jatuh cinta, pada umumnya ada perubahan sikap, perilaku, dan tutur bahasanya. Dia

tidak mau makan, tidak bisa tidur siang dan malam, tidak mau bicara dengan

sesame bahkan kepada kedua orang tuanya. Mau bicara dengan sesamanya atau

orang tuanya merasa malu kareana menurut adat Jawa seorang wanita tidak boleh

menyatakan cintaya lebih dahulu kepada seorang laki-laki, meskipun sangat

mencintai seorang laki-laki. Seorang wanita bila jatuh cinta kepada seorang laki-

laki, berusaha menahan diri dan menunggu dari pihak laki-laki menyatakan

cintanya. Pada saat seorang wanita menahan dan menunggu rasa citanya kepada

seorang laki-laki yang dicintainya itulah terjadi perubahan sikap, perilaku dan tutur

bahasanya.

Data tersebut (WTT 1.12.0--20) merupakan bentuk lokusi. Ilokusinya atau

maksudnya adalah di Kayangan Junggring Saloka baru saja Sang Hyang Sis
240

mengangkat anaknya menjadi Bethara Guru. Kemudian, dalang menceritakan

bahwa di Padepokan Gunung Wertawi ada seorang Pendita yang bernama Sukma

Sejati, ia mempunyai anak yang bernama Nagagini. Dalam dirinya ada perubahan

sikap, perilaku, dan tutur Bahasa, siang dan malam tidak mau makan, tidak mau

tidur, dan mau bicara, diam saja. Orang tuanya merasa sedih dan bingung.

Perlokusinya atau tindakan ayahnya adalah berusaha bertanya kepada

anaknya mengapa tidak mau kakan, tidak mau tidur, dan tidak mau bicara dengan

ayahnya. Sebenarnya, sebagai orang tua dan sebagai pendita, ayahnya sudah tahu

apa yang dialamai anaknya. Dengan pendekatan penuh kesabaran dan kasih sayang,

akhirnya Nagagini berterung kepada ayahnya bahwa ia sedang jatuh cinta kepada

Bethara Guru.

Data tersebut (WTT 1.12.0--20) mengandung nilai pendidikan kepada orang

tua, kalau melihat perubahan sikap, perilaku, dan tutur Bahasa anaknya wanita yang

masih gadis, harus bisa memahami makna perubahan sikap, perilaku, dan tutur

Bahasa anaknya. bahwa anaknya sedang jatuh cinta. Oleh sebab itu, harus dilakukan

pendekatan, bimbingan, dan ditanya dengan penuh kasih saying agar anaknya mau

berterung terang. Bila anaknya sudah berterung terang, orang tua harus membantu

dan mencarikan jalan keluar apa yang dialami anaknya. Berusaha membantu

anaknya agar bisa mencapai cita-citanya.


241

C. Pelambangan yang terkait dengan nilai etnik, mistik, dan pragmatik dalam

tuturan wayang topeng Tengger lakon Bethara Kala Krama

Pelambangan adalah proses pembentukan lambang atau simbol dalam

bahasa tuturan oleh dalang dalam pertunjukan wayang topeng Tengger.

Lambang atau simbol merupakan tanda yang memiliki makna tertentu atau

menyatakan maksud tertentu. Maknanya luas sesuai dengan situasi dan kondisi

budaya masyarakat tertentu atau sesuai dengan konteks. Pertunjukan wayang

topeng Tengger banyak ditemukan simbol verbal. Simbol verbal adalah tanda

yang berupa bahasa yang digunakan dalang wayang topeng Tengger. Bahasa

yang digunakan dalang menggunakan bahasa Jawa baru dialek Tengger ragam

lisan dengan gaya naratif. Ragam naratif artinya sejak awal sampai akhir cerita,

dalang bercerita secara naratif dicampur denga gaya dialog. Berdasarkan

identivukasi 4 teks pertunjukan wayang topeng Tengger, ditemukan 26

lambang atau simbol, yaitu (1) Penghargaan pimpinan terhadap kerja keras

bawahannya,(2) Menyiapkan berbagai jenis senjata karena melewati hutan yang

berbahaya, (3) Pusaka Hargadimilah sebagai pusaka andalan Kayangan

Junggring Saloka (4) Pergantian pimpinan secara demokratis dan berdasarkan

kompetensi (5) Raja yang arif, bijaksana,, adil, dan demokratis,Abisi dan tidak

menghormati orang tuanya, (6) Abisi dan tidak menghormati orang tuanya, (7)

Doa dan resto kedua orang tua sangat dibutuhkan anak dalam mencapai cita-
242

citanya, (8) Doa dan resto kedua orang tua sangat dibutuhkan anak dalam

mencapai cita-citanya, (9) Perebutan jabatan dan kekuasaan (10) Semar, (11)

Adigang adigung adiguna, kedung jero, segara jembar, (12) Tidak boleh

meghina wanita, (13) Orang tua bagaikan kendi kebak, dicangking entheng, (14)

Naga Gini mempunyai sugih kendel men, (15) Jarik suwek, klambi suwek,(16)

Tapa brata,(17) Menyiapkan berbagai jenis senjata karena melewati hutan yang

berbahaya, (18) Pangeran Dewa Kusuma(19) HANACARAKA

DATASAWALA PADHAJAYANYA MAGABATHANGA, (20) Dewi

Muktrim, (21) Batu Kuta, (22) Grumbul, (23) Anjar Kala atau Bethara Kala,

dan (24) Naga Gini, (25) Gemala Geni, dan (26) Entas-entas. Kedua puluh

enam lambang tersebut dibicarakan satu per satu sebagai berikut:

1. Penghargaan pimpinan terhadap kerja keras bawahannya

Seorang pemimpin pada dasarnya adalah pelayan, yang harus melayani

rakyatnya atau anak buahnya dan harus menghargai dan menghormati atas

segala hasil kerja keras anak buahnya. Untuk mengetahui hasil kerja anak

buahnya, seorang pemimpn harus sering mengadakan pertemuan dalam rangka

untuk mengetahui hasil kerja anak buahnya dan untuk mengetahui keadaan

masyarakatnya. Pertemuan seorang pemimpinkepada anak buah atau rakyat

sangat penting, sebagai media komunikasi untuk mengakrabkan antara pimpnan

dan anak buah atau rakyat dan untuk mengetahui berbagai persoalan yang
243

dihadapi anah buahnya serta mencari jalan keluar berbagai permasalahan yang

dihadapinya. Dengan pertemuan antara pemimpin dan anak buah atau rakyat

berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat dapat segera diatasi. Hal tersebut

terefleksikan pada data sebagai berikut:

Data F3.01

Kaya Kadang Sunarya! Yayi, kadangingsun banya sasi banya ora.


Cindraksa-Cindraksi kabeh para mantri, bupati, ayo padha maraseba
kinumpul ing alun alun.
(Dhik, Saudaraku Cindraksa-Cindraksi semua para pegawai pemerintahan,
bupati ayo bersama-sama berkumpul di alun-alun)
Yayi Cindraksa! Inggih kula dherekaken lampahipun Panjenengan Yayi.
(Iya saya ikuti perjalanan Bapak, Yayi)
Wee ladalah jagad Dewa Bathara, bot-bote Panjenengan ingsun namung
marang sekabeh para kawula ingsun tak weweh udan kudanan, panas
kepanasan. Mlebu alas, metu alas jaga kahanane negara.
(Wee ladalah jagad Dewa Bathara, aku berat kepada semua para rakyatku,
aku beri hujan kehujanan, panask epanasan. Masuk hutan, keluar hutan
menjaga keadaan negara) (WTT 1. 1. 0--15).
Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa pertemuan antara

pemimpin dengan rakyat sangat penting dan banyak manfaatnya, antara lain

mempererat hubungan tali silaturahmi antara pemimpin dengan rakyat, untuk

mengetahui berbagai informasi yang terjadi di pemerintahan dan di masyarakat,

bermusyawarah untuk mengatasi masalah yang dihadapi secara bermusyawarah.

Budaya musyawarah merupakan kebiasaan yang dilakukan masyarakat

desa adat Tengger. Masyarakat secara rutin mengadaan pertemuan antara tokoh

masyarakat dengan masyarakat dalam rangka untuk saling mengakrabkan dan


244

untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi masayarakat. Masyarakat

Tengger sangat kuat mempertahankan adat istiadad Tengger dan banyak

mengadakan musyawarah untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi

masyarakat. Dengan sering mengadakan pertemuan untuk musyawarah, maka

hubungan silaturahmi masyarakat Tengger dapat dijaga secara baik. Artinya

hubungan masyarakat satu dengan yang lain sangat akrab. Bahkan masyarakat

Tengger juga sangat menghormati tamunya walaupun belum pernah kenal.

Secara pragmatik data tersebut (WTT 1. 1. 0--15) mengandung maksud

bahwa Raja meminta agar para menteri dan bupati diajak berkumpul. Raja ingin

mengetahui kinerja para menteri dan bupati serta minta laporan tentang kondisi

masyarakat. Para menteri dan bupati dapat memahami permintaan raja, sehingga

mereka berkumpul bersama-sama di alun-alun. Hal tersebut dapat dilihat pada

data sebagai berikut:

Data F3.02
Kaya Kadang Sunarya! Yayi, kadangingsun banya sasi banya ora.
Cindraksa-Cindraksi kabeh para mantri, bupati, ayo padha maraseba
kinumpul ing alun alun.
(Dhik, Saudaraku Cindraksa-Cindraksi semua para pegawai pemerintahan,
bupati ayo bersama-sama berkumpul di alun-alun)
Yayi Cindraksa! Inggih kula dherekaken lampahipun Panjenengan Yayi.
(Iya saya ikuti perjalanan Bapak, Yayi) (WTT 1. 1. 0--15).

Data tersebut mengandung maksud bahwa raja minta agar para menteri dan

bupati berkumpul bersama-sama di alun-alun. Para menteri dan bupati dapat


245

memahami maksud raja, maka para menteri dan bupatai mengikuti permintaan

raja untuk pergi mengiringi raja ke alun-alun.

Dalam pertemuan tersebut raja sangat menghargai kerja keras para menteri,

bupati, dan rakyatnya yang telah bekerja keras, tidak mengenal lelah demi

menjaga keamanan negara. Mereka tidak mengenal lelah dan takut meskipun

harus kehujanan, kepanasan, masuk, dan keluar hutan. Hal tersebut tampak pada

data sebagai berikut:

Data F3.03
Wee ladalah jagad Dewa Bathara, bot-bote Panjenengan ingsun namung
marang sekabeh para kawula ingsun tak weweh udan kudanan, panas
kepanasan. Mlebu alas, metu alas jaga kahanane negara.
(Wee ladalah jagad Dewa Bathara, aku berat kepada semua para rakyatku,
aku beri hujan kehujanan, panask epanasan. Masuk hutan, keluar hutan
menjaga keadaan negara) (WTT 1. 1. 0--15).
Data tersebut mengandung maksud bahwa raja sangat menghormati kerja

keras para rakyatnya yang telah menjaga negara. Demi cintanya kepada negara,

mereka tidak takut pada hujan, panas, dan keluar-masuk hutan.

Data tersebut mengandung nilai pendidikan kepada para pemimpin dan rakyat

agar para pemimpin banyak mengadakan rapat atau pertemuan dengan para

stafnya untuk mengetahui kinerja stafnya dan mengetahui kondisi yang dialami

masyarakat, sehingga masalah yang dihadapi stafnya dan masyarakat dapat

segera diatasi. Demikian juga, para staf dan rakyat harus bekerja keras, tidak

takut pada hujan, panas, masuk, dan keluar hutan, demi menjaga ketentraman

dan kedamaian masyarakat.


246

2. Perhatian pimpinan terhadap rakyatnya

Pemimpin yang baik akan selalu merindukan dan mencintai rakyatnya. Ia

ingin selalu bertemu kepada rakyatnya untuk mengetahui kondisi kehidupan

rakyatnya. Apakah dalam kondisi bahagia, tenang, dan damai? Atau sebaliknya,

kehidupan rakyatnya dalam keadaan menderita, banyak menghadapi masalah,

dan hidup dalam kemiskinan?Pemimpin tidak boleh hanya berpikir bagaimana

cara mempertahankan jabatan dan kekuasaannya dengan berbagai cara meskipun

harus melanggar nilai-nilai etika, moral, perundangan, dan agama.

Untuk mengetahui kondisi kehidupan rakyatnya, maka seorang pemimpin

harus banyak mendengar, melihat, dan merasakan apa yang dialami oleh

rakyatnya dengan cara banyak mengadakan pertemuan dengan para staf

pembantunya dan mengunjungi rakyatnya. Hal tersebut terefleksikan dalam

pertunjukan wayang topeng Tengger bahwa raja mengumpulkan para stafnya

untuk mengetahui kondisi kehidupan masyarakat tentang kebutuhan dasar

rakyatnya, yaitu pangan, sandang, dan papan. Para stafnya pembantunya pun

banyak melaporkan kepada raja bahwa keadaan kehidupan rakyatnya dalam

keadaan hidup bahagia, tidak kekurangan pangan dan pakaian.

Pemimpin yang baik, akan selalu berpikir bahwa kebahagiaan pemimpin

juga merupakan kebahagiaan rakyatnya. kesengsaraan rakyat juga merupakan

kesengsaraan pemimpinnya. Hal tersebut tampak pada data sebagai berikut:


247

Data F3. 04

Mengkene, Yayi. Sepisan Panjenenganingsun kepengin mangerteni


pawartane negara apa ya wis kanthi tentrem ayem sekabehing para
kawula cilik, ora ana kang sami kekurangan sandang kelawan pangan?
Begini, Yayi. Sekali aku ingin mengerti berita negara apa ya sudah
tentram tanpa masalah semua rakyat kecil, tidak ada yang kekurangan
sandang dan pangannya?)
Inggih kepareng matur. Menawi sedaya para kawula mboten wonten
ingkang kekirangan sandang. Kedah kawastan negari tanah Jawi menika
gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem, raharja nggih rajanipun para
kawula rahajanipun sedaya para priyayi agung sedaya!
(Iya, perbolehkan saya berbicara. Kalau semua para rakyat tidak ada yang
kekurangan sandang dan pangannya.Harus dinamai negara tanah Jawa ini
gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem, raharja ya raja dan para
rakyatnya semua para orang senegara)
Ya kaya mangkono sing tak suwun. Sliramu iki klebu dadi pamong ing
praja pengayomane sekabehane para kawula. Aja sampek ndadekake
kuciwaning para kawula cilik!
(Ya seperti itu yang aku minta. Dirimu ini termasuk jadi pamong di
negara mengayoni semua para rakyat. Jangan sampai menjadian
kecewanya para rakyat kecil) (WTT 1.2.5--25).

Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin

yang baik, arif, dan bijaksana akan selalu mencintai dan merindukan

rakyatnya atau bawahannya, ingin mengetahui kondisi kehidupan rakyatnya

apakah hidup dalam kebahagiaan, ketentraman, dan kedamaian atau sebalinya.

Tidak ada rakyat kecil yang kekurangan makanan dan pakaian. Para pejabat

negara harus selalu melindungi rakyatnya, memeikirkan kepentingan rakyat.

Bukan justru sibuk memperkaya dirinya, keluarganya, dan kelompoknya serta

menyusun dan bersinergi untuk mempertahankan jabatan dan kekuasaannya.


248

Pemimpin yang memilki karakter seperti di atas, dalam konteks

kehidupan masyarakat di Indonesia sangat sulit ditemukan dan sangat jarang.

Dalam konteks kehidupan masyarakat di Indonesia saat ini justru yang banyak

ditemukan adalah pemimpin yang kurang peduli terhadap nasib rakyatnya,

sibuk memperkaya dirinya, keluarganya, dan kelompoknya, sibuk

berkonspirasi untuk dapat mempertahankan jabatan dan kekuasaanya dengan

berbagai strategi meskipun harus melanggar nilai-nilai etika, moral,

perundangan, dan agama.

Secara pragmatik data tersebut (WTT 1.2.5--25) mengandung maksud

raja berkeinginan mengadakan pertemuan dengan para pejabatnya untuk

mengetahui keadaan rakyatnya. Apakah rakyatnya dalam keadaan yang

bahagia, tentram, dan damai, tidak kekurangan makanan dan pakaian?

Maksud raja tersebut telah dipahami secara baik oleh para pejabat dan

membuat laporan bahwa rakyatnya dalam kehidupan yang bahagia, tentram,

dan damai, tidak kekurangan makanan dan pakaian. Hal ini tampak pada data

sebagai berikut:

Data F3.05
Mengkene, Yayi. Sepisan Panjenenganingsun kepengin mangerteni
pawartane negara apa ya wis kanthi tentrem ayem sekabehing para
kawula cilik, ora ana kang sami kekurangan sandang kelawan pangan?
249

(Begini, Yayi. Sekali aku ingin mengerti berita negara apa ya sudah
tentram tanpa masalah semua rakyat kecil, tidak ada yang kekurangan
sandang dan pangannya?) (WTT 1.2.5--25).

Data tersebut menunjukan bahwa raja ingin mengetahui keadaan

negaranya. Apakah rakyat kecil sudah hidup tentram dan bahagia, tidak ada

masalah, tidak kekurangan makanan dan pakaian. Maksud raja tersebut telah

dipahami oleh para pejabat dan melaporkan keadaan negara bahwa rakyatnya

hidup tentram, bahagia, tidakkekurangan makanan dan pakaian.

Data tersebut (WTT 1.2.5--25) mengandung nilai pendidikan kepada

para pemimpin agar mempunyai cinta dan kepedulian terhadap kondisi

kehidupan rakyatnya, apakah telah hidup tentram dan bahagia, tidak

kekurangan makanan dan pakaian? Setiap pejabat negara harus melindungi

rakyatnya, jangan sampai mengecewakan rakyatnya, apalagi berbuat

sewenang-wenang dan bahkan membunuh rakyatnya demi mempertahankan

jabatan dan kekuasaannya. Hal tersebut tampak pada data sebagai berikut:

Data F3.06
Ya kaya mangkono sing tak suwun. Sliramu iki klebu dadi pamong ing
praja pengayomane sekabehane para kawula. Aja sampek ndadekake
kuciwaning para kawula cilik!
(Ya seperti itu yang aku minta. Dirimu ini termasuk jadi pamong di
negara mengayoni semua para rakyat. Jangan sampai menjadian
kecewanya para rakyat kecil) (WTT 1.2.5--25).
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin

atau pejabat harus selalu melindungi rakyatnya, tidak boleh membuat kecewa

terhadap rakyatnya, terutama rakyat kecil. Jangan sampai demi menjaga


250

citranya dan mempertahankan jabatan dan kekuasaannya justru mengorbankan

dan mengecewakan rakyat kecil. Saat ini di Indonesia justru banyak

ditemukan pemimpin di Indonesia yang karakternya justru sebaliknya. Mereka

banyak sibuk memperkaya diri, keluarga, dan kelompoknya serta banyak

mengecewakan rakyat, terutama rakyat kecil. Demi menjaga citranya atau

keindahan kotanya, justru harus rakyat kecil yang dikorbankan. Tanah dan

rumahnya harus digusur sehingga rakyat harus terusir dari tempat tinggalnya

yang sudah berpuluh-puluh tahun dihuninya.

Bahkan demi mempertahankan jabatan dan kekuasaannya, banyak

pemimpin yang harus membukam kebebasan rakyatnya bahkan tidak segan-

segan melalui aparat kekuasaan rela membunuh rakyat kecil yang tidak

berdoasa. Mereka sibuk membangun konspirasi untuk mempertahankan

jabatan dan kekuasaannya.

3. Pusaka Hargadimilah sebagai pusaka andalan Kayangan Junggring

Saloka

Hargadumilah merupakan pusaka andalan Kayangan Junggring Saloka,

sebagai lambang wadahnya alam dunia dan sekaligus sebagai tanda

Kayangan Junggring Saloka. Bila alam dunia dalam keadaan baik, tenang,

tidak ada peristiwa apa pun, maka keadaan Kayangan Junggrimg Saloka juga
251

tenang. Sebaliknya bila di alam dunia keadaannya tidak baik, maka Kayangan

Junggring Saloka juga akan kacau. Pusaka ini juga merupakan simbol

kekuasaan Bethara Guru sebagai pimpinan para dewa. Bila Bethara Guru

sudah pensiun, tidak boleh diberikan kepada salah satu anaknya. Bila pusaka

Hargadumilah diberikan kepada salah satu anaknya, maka akan terjadi saling

iri hati di antara anaknya, sehingga akan terjadi perselisihan antara mereka.

Bethara Guru telah pensiun dari jabatan sebagai kepalanya dewa. Ia

telah rela pensiun karena jabatan hanyalah titipan sementara dan suatu saat

pasti akan digantikan oleh generasi berikutnya. Oleh sebab itu, Bethara Guru

akan mengundang keempat anaknya, yaitu Sang Hyang Punggung, Sang

Hyang Pongat, Sang Hyang Lesmana Dewa, dan Sang Hyang Manikmaya,

akan diberi tahu bahwa dirinya telah pensiun sebagai kepala dewa. Hal

tersebut tampak pada data sebagai berikut:

Data F3.07

Kamangka Panjenenganingsun kedunu pusakasaka Hargadumilah


lungsungane jagad murbeng alam pratingkah minangka kanggo tindhih
Kahyangan Jonggring Saloka.Yen Panjenenganingsun wis pensiun
pusaka iki ora entuk tak lungake siji siji putrane, kudu tak lepasake ana
satengahe jagad raya. Sepisan Panjenenganingsun nguji daya kasektene
para putra ningsun, kang kaping pindho ora dadekake padudoning ya
para putraningsun. Hem jagad Dewa Bathara hyang jagad pramundhita
bayalanggeng derajat pangkat, mung trima titipan saka ngersaning gun
tekan ora sangkan, ora wani ya mbok menawa Gusti wis nyumung
numung tekan sawing wing anggone Panjenenganingsun ngagem derajat
252

pangkat, ya ora apa apa, wis lega lila panjenenganingsun, luwih becik
para putraningsun papat, Sang Hyang Punggung, Sang Hyang Pongat
Lesmana Dewa, lan Manikmaya durung mangerteni pensiune
panjenenganingsun. Luwih becik pada tak aturane wae maraseba
ngadeng nang arcapadane ingsun ing mengko bakal tak kandani lan tak
critani ben ora ana kang pada kaget. Ngger para putraningsun papat
Sang Hyang Punggung, Sang Hyang Pongat Lesmana Dewa, lan
Manikmaya. Aja sok sliramu bungah girang guyu nglungguhi kursi
gadhing damel derta kencana sajeroning Kahyangan mbok ya pada
sowan tumuju ana ing pertamanan sariking padha ngadep arcapadane
Rama pikulun mengko bakal tak critani lan tak kandani olehe Rama
pikulun saka Kahyangan Suralaya dhawuh eyangmu pikulun Sang
Hyang Guru Wenang.
(Padahal Saudara ketempatan pusaka Hargadumilah yang menjaga
alam raya sebagai yang dituakan di Jonggring Saloka. Jika saya sudah
pensiun pusaka pusaka ini tidak langsung saya berikan kepada salah
satu anakku, harus saya lepaskan ke bumi. Yang pertama untuk menguji
kesaktian anak-anaku, yang kedua supaya tidak menjadikan
pertengkaran dari anak-anakku. Hmm Alam ini hanya fana hanya
titipan. Saya sudah ikhlas atas diambilnya pangkat derajat dari Tuhan,
lebih baik keempat putraku Sang Hyang Punggung, Sang Hyang Pongat
Lesmana Dewa, lan Manikmaya belum mengetahui pensiunya saya.
Lebih baik saya minta untuk menghadap kepadaku nanti akan saya
beritahu dan saya beri cerita supaya tidak terkejut. Nak keempat anakku
Sang Hyang Punggung, Sang Hyang Pongat Lesmana Dewa, lan.
Jangan kau berbahagia dulu menduduki kursi gadhing kencana di
Kayangan, kesinilah mnuju pertamanan untuk menghadap Ayah. Nanti
Manikmaya akan saya beritahu dan saya beri cerita yang disampaikan
kakekmu Sang Hyang Guru Wenang) (WTT 1.3.50--65).
Pusaka Hargadumilah tersebut pada masa pemerintahan Sang Hyang

Manikmaya menjadi Bethara Guru diberikan kepada anaknya yang bernama

Bethara Kala. Bethara Kala minta makanan manusia dan oleh Ibunya yang

bernama Naga Gini diizinkan dan disuruh turun ke dunia untuk mencari

makanan manusia, seperti anak ontang-anting, sodang kaapit pancuran,


253

pancuran kaapit sendang, pandawa lima, dan yang lain, maka pada saat minta

izin kepada ayahnya, yaitu Bethara Guru diberi sangu berupa Pusaka

Hargadumilah sebagai pegangan ketika ada di dunia.

Duplikat pusaka Hargadunilah dipegang oleh dalang Ki Lebari,

disimpan dalam tas kantong putih besama dengan topeng Bethara Kala dan

disimpan di rumah dalang Ki Lebari. Setiap hari Jumat diberi sesajen berupa

bunga, kemeyan, dan air bening, Menurut dalang Ki Lebari, pusaka dan

topeng Bethara Kala mengandung mistik, tidak boleh sembarang orang boleh

memegang dan memakainya. Tidak semua orang kuat memakai topeng

Bethara Kala, hanya satu orang Pak Sutarna yang kuat memakai topeng

Bethara Kala. Bila topeng tersebut sudah dipakai oleh Pak Sutama, maka

tingkah lakunya bukan lagi tingkah laku manusia, tetapi tingkah laku Bethara

Kala, mempunyai kekuatan luar biasa, sehingga tokoh Bethara Kala selalu

didampingi oleh 3-5 orang untuk mengendalikan dan menjaganya, sehingga

bila marah bisa dikendalikan .

Hargadumilah dan topeng Bethara Kala disimpan secara khusus.

Pusaka tersebut diberikan kepada tokoh Bethara Kala pada saat pertunjukan

wayang topeng Tengger dan menjadi senjata utama Bethara Kala.


254

Secara pragmatik data di atas (WTT 1.3.50--65) merupakan lokusi.

Ilokusinya atau maksudnya adalah bahwa Bethara Guru sudah pensiun, maka

pusaka tersebut tidak boleh diberikan kepada salah satu anaknya. Bila

diberikan kepada salah satu anaknya, maka akan terjadi saling iri di antara

keempat anaknya. Pusaka harus di lepas di dunia nyata, siapa di antara

keempat anaknya yang bisa memegang dan menyerahkan kembali ke ayahnya,

dialah yang berhak menggantikan kedudukan ayahnya sebagai kepala dewa,

yang bergelar Bethara Guru.

Perlokusinya adalah keempat anaknya sudah bisa memahami maksud

ayahnya bahwa Pusaka Hargadumilah tidak diberikan kepada salah satu

anaknya agar tidak menimbukan keirian satu dengan yang lain. Pusaka

Hargadumilah dilepas ke dunia, juga sebagai simbul untuk menguji kesaktian,

kesabaran, dan keteguhan putr-putranya. Siapa diantara mereka yang paling

saktu, sabar, dan tangguh terhadap ujian, dialah yang akan mampu menangkap

danmenyerahkan kembali Pusaka Hargadumilah kepada ayahnya.

Dalam konteks masyarakat Tengger sudah sangat memahami bahwa

Pusaka Hargadumilah merupakan pusaka sakti milik Bethara Kala yang

tinggal di Pertapaan Puncak B29 dan merupakan senjata andalan Bethara

Kala. Pusaka tersebut bisa digunakan oleh Bethara Kala sebagi media untuk
255

mengobati orang yang sakit (Wawancara tanggal 26 Pebruari 2019, di Desa

Wonokersa, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo).

4. Pergantian pimpinan secara demokratis dan berdasarkan kompetensi

Model pergantian pimpinan yang terefleksikan dalam pertunjukan

wayang topeng Tengger merupakan simbol pergantian pimpinan secara

demokratis dan berdasarkan kompetensi calon pemimpin. Sang Hyang Sis

pada saat pensiun sebagai kepala dewa yang bergelar Bethara Guru, tidak

menunjuk salah satu dari keempat anaknya, yaitu Sang Hyang Punggung,

Sang Hyang Pongat, Lesmana Dewa , dan Manikmaya. Akan tetapi

menggunakan semacam model sayembara. Sang Hyang Sis melepaskan

pusaka Hargadumilah ke dunia nyata. Barang siapa diantara keempat anaknya

yang mampu menangkap Pusaka Hargadumilah dan dapat mengembalikan

kepada Sang Hyang Sis, dialah yang berhak menggantikan kedudukan

ayahnnya sebagai kepala dewa yang begelar Bethara Guru, yaitu menjadi

kepalanya para dewa di Kayangan Junggring Saloka.

Pusaka Hargadumilah merupakan pusaka andalan Bethara Guru dan

merupakan rangkanya dunia serta sebagai simbol Kayangag Junggring Saloka.

Siapa diantara keempat anaknya Sang Hyang Sis yang dapat menangkap

pusaka tersebut yang telah dilepas dibunia nyata, akan dinobatkan sebagai
256

Bethara Guru menggantikan kedudukan ayahya yang telah pensiun. Orang

yang dapat menangkap dan mengembalikan Pusaka Hargadumilah, berarti

orang yang mempunyai kesaktian luar biasa, orang yang suka bertapa, orang

yang sabar yang dapat mengendalikan nafsunya. Model pergantian pimpinan

secara demokratis dan berdasarkan kompetensi tersebut tampak pada data

sebagai berikut:

Data F 3.08
Menawi sampun dipun pensiunaken dhateng Sang Sis ing mbenjang
pusaka kedah dipun lepasaken satengahe jagad raya, oncatipun
pusaka ing mbenjang saking Kahyangan Jonggring Saloka.
Putranipun sekawan Sang Hyang Punggung, Sang Hyang Pongat,
Lesmana Dewa kalian Manikmaya bujeng sinten ingkang saget
nyepeng dipun beta kondur dipun aturaken kalian Sang Hyang Sis
badhe dipun angkat jumeneng nata, dados Bathara Guru kanoman
wonten ing Kahyangan Jonggring Saloka. Bibare pasewakan wonten
ing Kahyangan Suralaya konduripun sedaya para dewa, Sang Hyang
Sis konduripun ing semutan sanandang sungkawa mboten dumujuk
wonten salebetipun Kahyangan Jonggring Saloka.Kledhang kledhang
wonten ing pertamanan menika tansah gagas ing mangke medalipun
pusaka.
(Jika sudah dipensiunkan, Pusaka tersebut harus dilepaskan ke tengah-
tengah bumi, lepasnya pusaka itu dari kayangan Jonggring Saloka.
Keempat anak Sang Hyang Punggung Sang Hyang Pongat Lesmana
Dewa kalian Manikmaya mengejar siapa yang bisa menangkap dan
membawa pulang ke Kayangan Jonggring Saloka. Setelah pertemuan
di kayangan Suralaya sepulangnya semua para dewa, sang Sis
pulangnya sedang gelisah dan sedih namun tidak ditunjukan di
kayangan Jonggring Saloka. Terlihat di taman akan keluarnya pusaka
tersebut) (WTT 1.3. 65--85).
Data di atas merupakan simbol pergantian pimpinan secara

demokratis dan berdasarkan kompetensi calon pimpinan. Calon pemimpin


257

harus memenuhi berbagai kriteria tertentu, mempunyai ilmu yang tinggi,

sakti, sabar, tidak ambisius, suka bertapa, bekarakter baik, dan tahan dari

segala ujian atau godaan harta dan wanita.

Model pergantian pimpinan tersebut sangat berbeda dengan sistem

pergantian pimpinan yang ada di dunia saat ini. Dalam negara yang masih

menggunakan sistem kerajaan, pegantian pimponan bedasrkan urutan putra

mahkota, artinya harus anak pertama dan pada umumnya laki-laki. Dalam

sistem negara yang menggunakan sistem Pemerintahan Republik dengan

sistem partai, menggunakan pemilihan secara demokratik, walaupun

kenyataannya tidak dilakukan secara demokratik bahkan penuh dengan

ketidakjujuran dan kecuranagan. Akan tetapi, justru yang menonjol adalah

berdasarkan uang atau modal. Siapa yang punya uang atau modal banyak,

dialah yang berani mencalonkan sebagai pemimpin di negeri Indonesia.

Jabatan publik yang paling bawah, dari tinggkat Kelurahan/desa, Camat,

Kepala Bagian, Kepala Sekolah,, Kepala Dinas, Bupati/Wali Kota,

Gubernur, DPR, sampai Presiden memerlukan uang atau modal yang

banyak, jutaan, milyatan, bahkan trilyunan, tergantung pada tingkatan

jabatan. Bahkan persyaratan penguasan ilmu dan akhlak kurang diperhatikan

bahkan ada kesan diabaikan. Mau jadi pemimpin di Indonesia kalau tidak

kaya tidak bisa, sehingga semua pemimpin di negeri ini adalah orang kaya.
258

Bahkan ukuran kompetensi dan moral banyak diabaikan. Itylah yang

menyebabkan banyak pejabat di Indonesia yang terlibat korupsi dan masuk

penjara.

Sedangkan orang-orang yang pandai dan baik, tidak bisa menjadi

pemimpin di negeri Indonesia karena tidak punya uang atau modal yang

cukup untuk memenuhi persyaratan menjadi pemimpin di negeri ini. Orang-

orang yang pandai di negeri ini pada umumnya telah menjadi Aparatus Sipil

Negara yang tidak boleh berafiliasi ke politik atau partai. Di Indonesia

banyak orang pandai yang bergelar Doktor dan Profesor, tetapi tidak punya

uang atau modal yang cukup untuk mencalokan sebagai pemimpin Bupati

atau Gubernur yang membutuhkan modal milyatan, sehingga orang-orang

yang pandai dan baik dipimpin oleh orang-orang yang tidak pandai tetapi

mempunyai modal atau kaya. Inilah yang menjadi salah satu faktor negara

Indonesia sulit menjadi negara maju karena dipimpin oleh orang - orang

yang kompetensinya rendah.

Secara pragmatik data tersebut WTT 1.3. 65--85) merupakan ilokusi.

Ilokusinya atau maksunya adalah bahwa Sang Hyang Sis sudah pensiun

sebagai BetharaGuru atau kepala dewa, maka akan menyerahkan

kepemimpinannya sebagai Bethara Guru kepada anaknya. Akan tetapi, tidak

menunjuk salah satu anaknya agar tidak saling iri, maka menggunakan
259

sistem pergantian pimpinan secara demokratis dan berdasarkan kompetensi.

Sang Hyang Sis melepaskan Pusaka Hargadumilah ke dunia nyata. Siapa

diantara keempat anaknya yang dapay mnangkap dan mengembalikan

Pusaka Hargadumilah ke ayahnya, maka dialah yang berhak menggantikan

kedudukan ayahnya sebagai Bethara Guru di Kayamgan Junggring Saloka

Perlokusinya adalak keempat anaknya, Sang Hyang Punggung, Sang

Hyang Pongat, Sang Hyang Lesmana Dewa, dan Sang Hyang Manik Maya

segera berusaha dan berebut dapat menangkap dan menyerahkan kembali

pusaka Hargadumilah kepada ayahnya sebagai syarat bisa mengantikan

kedudukan ayahnya sebagai Bethara Guru, pemimpin para dewa di

Kayangan Junggring Saloka.

Data tersebut (WTT 1.3. 65--85) mengandung nilai pendidikan

kepada masyarakat Indonesia pada khususnya dan masyarakat dunia bahwa

dalam pergantian pimpinan sebaiknya dilaksanakan secara demokratis dan

berdasarkan kompetensi. Dalam pemilihan pimpinan harus dilakukan secara

jujur dan adil, tidak boleh direkayasa dengan penuh kecurangan dan

kebohongan, sehingga akan menghasilkan pemimpin yang baik yang

memiliki kompetensi sebagai pemimpin, pandai, berakhlak, jujur, dapat

dipercaya, sabar, dan tahan terhadap berbagai godaan baik jabatan, harta,

dan wanita.
260

Banyak pemimpin atau pejabat publik di Indonesia yang kurang

kompetensinya sebagai pemimpin dan akhlaknya tidak baik, tetapi karena

mempunyai modal uang dan akses ke salah satu partai politik, bisa jadi

pemimpin atau pejabat publik. Pemimpin tersebut pada umumnya tidak akan

kuat menghadapi godaan jabatan, uang, dan wanita. Sebagai contoh, ada

pejabat Bupati yang belum habis masa jabatannya, sudah tergoda jabatan

yang lebih tinggi, ingin jadi Gubernur. Orang sudah menjadi Gubernur

belum habis masa jabatannya ingin jadi menteri atau Presiden. Kalau sudah

menjabat, mereka pada umumnya tidak kuat menahan godaan uang,

sehingga dia korupsi. Kalau uangnya sudah banyak, pada umumnya tidak

kuat menahan godaan wanita. Bahkan banyak pejabat yang korupsi karena

faktor dorongan seorang wanita, wanita bisa istrinya sendiri yang sah, bisa

juga wanita simpanannya.

5. Raja yang arif, bijaksana, adil, dan demokratis

Raja yang arif, bijaksan, adil, dan demokratis dalam kaitannya dengan

pergantian pimpinan kayangan Juggring Saloka, tidak mau langsung menunjuk

salah satu dari keempat anaknya yang dikehendaki, tetapi melalui musyawarah

dan berdasarkan kompetensi tertentu. Keempat anaknya dipanggil diajak

musyawarah tentang model pergantian pimpinan di Kayangan Junggring

Saloka. Ayahnya tidak akan memberikan Pusaka Hargaumilah kepada salah


261

dari keempat anaknya, tetapi diadakan semacam sayembara. Siapa diantara

keempat anaknya yang dapat menangkap dan mengembalikan Pusaka

Hargadumilah kepada ayahnya, maka dialah yang berhak menggantikan

kedudukan ayahnya sebagai Bethara Guru, pimpinan dewa di Kayangan

Junggring Saloka. Pagi atau sore, siapa saja yang bisa menangkap dan

mengembalikan Pusaka Hargadumilah akan langsung diangkat menjadi

pimpinan dewa yamg bergelar Bethara Guru. Hala tersebut tampak pada data

sebagai berikut:

Data F3. 09
Pusaka iki ora entuk tak lungake siji siji ning para putraningsun .Yen
ingsun wis pensiun, ing mengko pusaka bakal dalepasake ana satengahe
jagad raya yen pusaka wis tak lepasake, sok sapa putraningsun papat
kang bisa nututi nyekel nggo bali diaturake marang arcapadane
Rama,pikulun ora isuk ora sore bakal kanthi taksengkakake kaluhur
jumeng nata dadi Bathara Guru, genteni pelungguhane kanjeng Rama
dumunung ana ing Kahyangan Jonggring Saloka kene ngger, piye?
(Pusaka ini tidak boleh diberikan kepada salah satu anak-anak saya.
Ketika Ayah sudah pension, nanti pusaka ini akan dilepaskan di Bumi.
Jika pusaka ini sudah saya lepaskan, siapa saja anak saya berempat, yang
bisa menangkapnya dan membawa pulang ke hadapan Ayah, tidak pagi
tidak sore akan saya jadikan Penguasa jadi Bethara Guru, memggantikan
kedudukan Ayah di Kayangan Jonggring Saloka ini Nak, Bagaimana?)
(WTT 1.4.200-215).

Data di atas menunjukan sifat kearifan, kebijaksanaan, keadilan, dan

demokratis Raja. Sang raja dalam memilih penggantinya, tidak menunjuk salah
262

anaknya, tetapi dengan sayembara. Siapa yang bisa menangkap dan

mengembalikan Pusaka Hargadumilah ke ayahnya, maka dialah yang berhak

menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bethara Guru. Pagi atau sore akan

segera diangkat sebagai Bethara Guru di Kayangan Junggring Saloka.

Secara pragmatik data di atas (WTT 1.4.200-215) merupakan bentuk lokusi.

Ilokusinya atau maksudnya adalah bahwa kedua orang tuanya tidak akan

memberikan Pusaka Hargadumilah kepada keempat anaknya. Pusaka tersebut

akan dilepas di dunia. Siapa diantara keempat anaknya yang bisa menangkap dan

memberikan kepada ayahnya, maka dialah yang berhak menggantikan

kedudukan ayahnya sebagai Bethara Guru, pemimpin para dewa di Kayangan

Junggring Saloka. Pagi atau sore akan segera dinobatkan sebagai Bethara guru

menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bethara Guru.

Perlokusinya adalah keempat anaknya segera berebut mengejar dan berusaha

menangkap Pusaka Hargadumilah. Namun kenyataannya menangkap Pusaka

Hargadumilah tidak gampang. Tidak semua anaknya bisa menangkap Pusaka

Hargadumilah. Hanya anak yang memiliki ilmu yang tinggi, dapat doa dan restu

kedua orang tuanya, sabar, suka bertapa, dan tahan dari segala godaan yang akan

mampu menangkap dan mengembalikan Pusaka Hargadumilah kepada ayahnya.


263

Data tersebut (WTT 1.4.200-215).mengandung nilai pendidikan kepada

masyarakat, khusunya para raja atau pemimpin, bila akan memilih pemimpin,

maka harus dilakukan secara adil dan demokratis. Bila pelaksanaan dilakukan

secara adil dan demokratis, akan menghasilkan pemimpin yang baik yang

dicintai dan dipercaya rakyatnya. Pergantian pemimpin yang dilakukan secara

curang dan penuh kebohongan, akan membuat situasi negara tidak tenang, penuh

dengan gejolak dan penolakan rakyat dan akan menghasilkan pemimpin yang

curang, tidak adil, tidak legitimit, dan tidak dipercaya rakyatnya.

6. Abisi dan tidak menghormati orang tuanya

Ambisi seseorang dapat menghilangkan rasa hormat kepada orang lain

meskipun itu orang tuanya sendiri dan sekaligus sebagai gurun lawanya.

Seseorang yang berambisi terhadap jabatan akan menghilangkan rasa hormat

terhadap orang lain, bahkan mengakibatkan hilangnya etika dan moral pada diri

seseorang. Untuk meraih jabatan tertentu harus ditempuh berbagai cara,

meskipun harus menyakiti orang lain, saudaranya, bahkan rela mebunuh lawan-

lawan politiknya.

Sang Hyang Punggung dan Sang Hyang Pongat mempunyai ambisi yang

kuat akan menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bethara Guru, kepalanya

para dewa di Kayangan Junggring Saloka. Begitu Pusaka Hargadumilah

diluncurkan oleh ayahnya, mereka segera lari mengejar pusaka tersebut tanpa
264

minti izin kepada ayahnya. Padahal seseorang yang mau meraih cita-citanya

tidak bisa lepas dari restu dan doa orang tuanya, khususnya dari ibunya.

Sang Hyang Punggung dan Sang Hyang Pongat merupakan simbol dari

seseorang yang berambisi kepada jabatan, sehingga kehilangan etika dan hormat

kepada orang tuanya. Sesorang anak yang akan meraih cita-citanya tanpa restu

dan doa kedua orang tuanya, akan kesulitan atau bahkan tidak bisa mencapai

cita-citanya. Restu dan doa kedua orang tua sangat penting bagi seorang anak

yang akan mencapai cita-citanya. Gambaran tersebut tampak pada data sebagai

berikut:

Data F3. 10

Lo...lo...lo...lo... Kakang Sang Hyang Punggung dalah Kakang Sang


Hyang Pongat! Sak oncate pusaka budhal tanpa pamit marang kanjeng
Rama. Lolololo kamangka kanjeng Rama kelebu guru kang sejati kang
ngukir jiwa ragane ing dheweke kepingin kedunuhan derajat pangkat,
sampek lali marang guru sejati. Ya apa ya bisa kelakon kaya
Panjenenganingsun. Ya putrane kanjeng Rama kang angka telu ya jejuluk
ingsun Lesmana Dewa. Yen wis kahanane Kahyangan oncate pusaka
Kahyangan katon peteng dhedhet limunan goncange sekabehane kawula
kaya mangkene.Yen panjenenganisun tetep beguguk makutha waton kaya-
kaya duduk satriya sejati putra dewa ing kahyang Jonggring Saloka.
Luwih becik panjenenganingsun tak nyuwun idin kalihan aring kanjeng
Rama. Tak ndherek tindak lakune Kakang Sang Hyang Punggung dalah
Kakang Sang Hyang Pongat. Yaiku deleki pusaka tindhih
Kahyangan.Dhuh kanjeng Rama kula ningali oncatipun pusaka saking
Kahyangan ing Kahyangan ketingal peteng dhedhetipun kados katon
diningpun dur para kawulane. Kakang Sang Hyang Punggung dalah
Kakang Sang Hyang Pongat sampun nilaraken Kahyangan Jonggring
Saloka. Hamila Rama kula nyuwun idin pangestunipun kanjeng Rama.
Kula badhe ndherek ndherek madosi pusaka tindhih Kahyangan. Kula
nyuwun palilahe pun kanjeng Rama!
265

(Lololololo kakak Sang Hyang Punggung dan kakak Sang Hyang pongat
setelah lepasnya pusaka berangkat tanpa pamit kepada Ayah. Lololololo
padahal Ayah termasuk Guru yang sejati yang mengukir jiwa raganya
padanya. Dia ingin mendapatkan derajat dan pangkat sampai lupa kepada
guru sejati ya apakah akan terlaksana seperti saya ya anak Ayah yang
ketiga ya disebut Lesmana Dewa jika keadaan kayangan sudah
terlepasnya pusaka, Kayanga terlihat gelap gulita menggoncangkan
semua yang ada. Jika saya tetap terdiam tidak bergerak seolah-olah bukan
satria sejati putra Dewa Kayangan Jonggring saloka. Lebih baik aya
memohon ijin kepada Ayah untuk ikut Kakak Sang Hyang Punggung dan
sang Hyang Pongat untuk mencari pusaka Kayangan. Duh Ayah saya
melihat lepasnya pusaka dari kayangan di kayangan terlihat gelap gulita
seperti terlihat kejahatan rakyatnya Kakak Sang Hyang Punggung dan
Kakak Sang Hyang Pongat sudah meninggalkan Kayang Jonggring
Saloka, maka saya mohon ijin dan doanya Ayah saya akan ikut mencari
pusaka Kayangan. Saya mohon ijinya Ayah.) (WTT 1.5. 0-40).
Data tersebut menunjukkan dan sekaligus sebagai simbol seorang anak

yang mempunyai ambisi akan menggantikan kedudukan ayahnya sebagai

Bethara Guru, pimpinan para dewa di Kayangan Junggring Saloka. Ambisinya

menyebabkan hilangnya rasa hormat kepada orang tuanya. Ambisi seseorang

terhadap suatu jabatan juga bisa menghilangkan etika dan moralnya, demi

untuk meraih cita-citanya dengan berbagai cara, meskipun kadang-kadang

melanggar etika, moral, perundangan, dan agama.

Secara pragmatik data tersebut (WTT 1.5.0-40) merupakan lokusi. Ilokusi

tersebut mengandung maksud atau tujuan agar keempat anaknya dapat

menangkap Pusaka Hargadumilah dan menyerahkan kembali ke ayahnya

sebagai syarat akan dilantik menjadi Bethara Guru menggantikan kedudukan

ayahnya yang telah memasuki pensiun. Sang Hyang Sis imgij berbuat adil
266

kepada keempat anaknya sehingga tidak menunjuk salah satu anaknya untuk

menggantikan kedudukannya sebagai kepala dewa, agar tidak menimbulkan

kecemburuan antara yang satu dengan yang lain.

Di samping itu, sambil menguji siapa diantara keempat anaknya yang

paling layak atau kompenten untuk menggantikan ayahnya. Seorang kepala

dewa harus pandai, jujur, sakti, sabar, dan tahan dari segala ujian atau cobaan.

Sedangkan perlokusinya, keempat anaknya begitu Pusaka Hargadunilah

dilepas segera pergi meninggalkan ayahnya tanpa minta pamit karena ambisi

segera dapat menangkap Pusaka Hargadumilah dan segera menyerahkan kepada

ayahnya agar bisa dilantik menjadi Bethara Guru menggantikan ayahnya. Sang

Hyang Punggung dan Sang Hyang Pongat karena punya ambisi untuk

menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bethara Guru, maka mereka segera

meninggalkan ayahnya tanpa minta pamit dan doa restu kepada ayahnya.

Data tersebut mengandung nilai pendidikan kepada masyarakat bahwa

seorang anak harus menghormati kepada orang tuanya. Bila seorang anak akan

bepergian dan ayahnya ada dihadapannya, maka harus minta izin dan doa restu

kepada orang tuanya. Demikian juga, bila seorang anak akan mencapai cita-

citanya, sebaiknya minta doa dan restu kedua orang tuanya. Doa dan restu

kedua orang tua, terutama ibu sangat mustajab bagi anaknya. Tanpa doa dan
267

restu kedua orang tua, seorang anak akan sulit bahkan tidak bisa mencapai cita-

citanya, bahkan seorang anak bisa menjadi anak durhaka kepada kedua orang

tuanya.

7. Doa dan restu kedua orang tua sangat dibutuhkan anak dalam

mencapai cita-citanya

Doa dan resto kedua orang tua kepada anak-anaknya sangat penting. Oleh

sebab itu, setiap orang tua harus mau dan rela memberikan doa dan restu

kepada anak-anaknya yang akan mencapai cita-caitanya agar apa yang dicita-

citakan anaknya dapat dicapai dengan mudah, tanpa ada hambatan apa pun.

Pada umumnya, bila seorang anak akan mencapai cita-citanya, banyak cobaban

dan godaan. Namun, bila seorang anak sabar, tambah, dan kuat dalam

menghadapi segala cobaan yang menimpanya selama menempuh cita-citanya,

dengan iringan doa dan restu kedua orang tuanya, akan bisa mencapai cita-

citanya. Seorang anak yang akan mencapai cita-cita, diaharpapkan tidak lupa

minta doa dan restu kepada kedua orang tuanya, agar dalam mencapai cita-

citanya diberikan kemudahan dan ketabahan dalam menghadapai segala obaan

selama menempuh cita-citanya. Hal tersebut tampak pada data sebagai berikut:

Data F3. 11

Ora nyana ra mangirakake ngger gelagat lakumu bodho kila kila ning
atimu watak satriya sejati ngger.Ngetenake tekan semunu rama
268

malilahi ngger budhal goleka ning angiling ngiling ngger kowe karo
budhal jembang kapalampangan bumi gedhugen ping telu aja
ambegan ngger yen nyuwuna marang kanjeng ibumu kang suwargi
mbok menawa bisa misah marang sliramu ana ndi papan dunungipun
saikiramamu ya, Ngger.
(Tidak kusangka dan kuduga nak, gelagatmu seperti orang bodoh tapi
hatimu kesatriya sejati nak. Sampai seperti itu Ayah memberimu ijin
nak untuk berangkat mencari pusaka. Hati-hati nak berangkatlah ke
bumi, jika ada kesulitan hentakan kakimu ke bumi 3 kali jangan
bernafas, mintalah bantuan kepada almarhum ibumu mungkin bisa
membantumu membawamu kesini nak)
Nun injih,Kanjeng Rama. Kula nyuwun puji pangestuni njenengan kula
bidhal, Rama!.
(Iya Ayah. Sya mohon doa puji Ayah. Saya berangkat Ayah)
Iya budhala, Ngger
(Iya berangkatlah Nak) (WTT. 5. 100--120).

Berdasarkan data di atas semakin menguatkan bahwa doa dan restu kedua

orang tua sangat penting untuk anak-anaknya dalam mencapai cita-citanya.

Oleh sebab itu, setiap anak yang akan mencapai cita-citanya, diharapkan tidak

lupa minta doa dan restu kedua orang tuanya agar mendapat kemudahan dan

dijauhkan dari berbagai cobaan, diberi kekuatan dan kesabaran dalam

menghadapai segala cobaan.

Dalam kehidupan di masyarakat banyak ditemukan bahwa orang-orang

yang sukses mencapai cita-citanya, dapat hidup bahagia, sukses kariernya, baik

jabatan maupun hartanya, tidak dapat lepas dari doa dan restu kedua orang
269

tuanya. Bila kedua orang tuanya mencintai anak-anaknya, mendorong dan

memotivasi serta memberikan doa dan restu kepada anak-anaknya, maka bila

anaknya dapat hidup sukses, kedua orang tuanya akan selalu dicintai dan

dihormati oleh anak-anaknya sampai tua, bahkan sampai meninggal.

Sebaliknya, dalam kehidupan di masyarakat juga banyak ditemukan

orang-orang yang sukses, yang tidak mendapatkan dukungan, motivasi, dan

perhatian dari kedua orang tuanya pada saat mencapai-cita-citanya, maka pada

saat anaknya dapat hidup sukses, baik karier maupun harta, banyak anak yang

tidak memperhatikan kepada orang tuanya, melupakan jasa-jasa kedua orang

tuanya, bahkan kedua orang tuanya dicampakkan dan tidak diakui sebagai

kedua orang tuanya. Bahkan pada saat, kedua orang tuanya, ingin mengakui

sebagai anaknya, ia tidak mau dianggap sebagai anaknya, merasa malu dan

tidak mau mengakui sebagai kedua orang tuanya dalam keadaan miskin dan

menderita. Di dalam masyarakat sering ditemukan seorang anak yang durhaka

mengirim kedua orang tuanya yang sudah tua dan tidak berdaya ke Pantai

Jompo atau Pantai Asuhan karena orang tuanya dianggap mengganggu dan

merepotkan anaknya. Bahkan banyak ditemukan dalam masyarakat, orang tua

yang diusir dari rumahnya sendiri.

Secara pragmatik data di atas (WTT 1.5.100--120) merupakan lokusi.

Ilokusinya atau maksudnya adalah bahwa Sang Hyang Sis memberikan nasihat,
270

doa, dan restu kepada anaknya Sang Hyang Manikmaya agar minta izin, doa,

dan restu kepada ibunya (walaupun ibunya sudah meninggal) dalam mencapai

cita-cita ingin mencari pusaka Budama, sebagai prasyarat agar dapat

menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bethara Guru, pimpinan dewa di

Kayangan Junggring Saloka.

Manikmaya dalam mencapai cita-cita ingin ikut menangkap pusaka

Budama sebagai prasyarat menggantikan kedudukan yahnya sebagai Bethara

Guru, bukan-semata-mata didasari ambisi pribadi, tetapi berdasarkan rasa

tanggung jawab sebagai anak kepada orang tuanya yang selalu ingin mengabdi

dan membantu ayahnya.

Prelokusinya adalah Sang Hyang Manikmaya segera pergi dan minta

pamit, doa, dan retu kepada ayahnya ingin ikut mencari pusaka budama sebagai

syarat menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bethara Guru, pimpinan dewa

di Kayangan Junggring Saloka, serta minta doa dan resto kepada ibunya secara

gaib meskipun ibunya sudah meninggal.

Data tersebut (WTT 1.5.100--120) mengandung nilai pendidikan kepada

orang tua dan anak. Orang tua diharapkan selalu memberikan moti vasi,

perhatian, doa, dan restu kepada anak-anaknya dalam mencapai cita-citanya,

agar anak-anaknya dapat mencapai cita-citanya dengan mudah dan tidak ada
271

halangan atau cobaan apa pun serta diberikan kesabaran dalam menghadapi

segala cobaan selama menempuh cita-citanya.

Sebaliknya, seorang anak bila ingin mencapai cita-citanya minta izin, doa,

restu dari kedua orang tuanya agar diberikan kemudahan dalam mencapai cita-

cita dan dijauhkan dari berbagai hambatan serta diberikan kesabaran dan

kekuatan dalam menghadapai segala cobaan. Izin, doa, dan restu dari kedua

orang tua sangat penting untuk anak-anaknya. Doa seorang ibu khusunya sangat

mustajab bagi anak-anaknya. Berbakti kepada kedua orang tua hukumnya

wajib, terutama berbakti kepada ibu.

8. Tidak semua orang bisa dan kuat memegang pusaka atau jabatan

Lesmana Dewa merupakan putra ketiga Sang Hyang Sis yang

mempunyai ambisi untuk menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bethara

Guru. Begitu pusaka Hargadumilah dilepas, ia segera lari mengejar pusaka

Hargadumilah tanpa minta izin, doa, dan restu ayahnya. Ia seakan-akan

melupakan dan tidak menghormati ayahnya. Ayahnya begitu saja ditinggal

tanpa minta pamit, doa, dan restunya, hanya karena ambisi untuk segera bisa

menangkap pusaka Hargadumilah dan segera diserahkan ayahnya agar ia bisa

segera menggantikan ayahnya sebagai Bethara Guru.


272

Lesmana Dewa sebenarnya sudah bisa menangkap pusaka Hargadumilah.

Namun, tangannya merasa semakin berat dan panas, seakan-akan terkena

pengaruh dari pusaka itu. Akhirnya pusaka Hargadumilah lepas lagi. Ini

menunjukkan bahwa Lesmana Dewa tidak kuat memegang pusaka kayangan

yang sangat mistik dan tidak setiap orang mampu untuk menangkap dan

memegang pusaka Hrgadumilah. Hanya orang-orang kesatria yang berilmu

tinggi, sakti, keturunan dewa, sabar, dan tahan menghadapi segala tantangan

serta mendapat izin, doa, dan restu dari kedua orang tuanya dan dewa yang bisa

menangkap dan kuat memegang pusaka Hargadumilah. Hal tersebut tampak

pada data sebagai berikut:

Data F1. 12
Ing riku Lesmana Dewa saget anggenipun nyepeng wujudipun pusaka
tindhih kayangan. Ananging pusaka ghaib pusaka angker agemanipun
paradewa kalian tukang cepet antyasipun ingkang kiwa mboten keraos
wujud ipun pusaka nyirep Lesmana Dewa kadoh kenging serep kondur
durjana petbyar pepet ical sak nalika pusaka ingkang bejebel.
(Di situ Lesmana Dewa bisa menangkap pusaka tindhing kayangan tapi
pusaka gaib dan angker milik para dewa yang kiri tidak terasa wujudnya
menghipnotis Lesmana terkena kejahatan terang gelap dan hilang lagi
pusaka tersebut)
Lo...lo...lo...lo.... jagad dewa bathara, kok becik pusaka wis tak cekel ana
ing tanganku gawe taturake marang kanjeng Rama. Durung kapura suwe
tak rasake saya abot, saya abot, pet-byar pet, kaya panjenenganisun kena
sirepe durjana. iku pusaka kok ilang musna. Lha iki ilange pusaka iki,
lugurna wit witan duka adoh pusaka tak tututane ngulon ngalor, panjeran
oshh pusaka Hargadumilah mandheg no sliramu sekedhepe netra. Iki
Lesmana kang nututi sliramu.
273

(Lo...lo...lo...lo... Jagad Dewa Baethara, kok bagus pusaka sudah


kutangkap akan kuberikan ke Ayah. Belum begitu lama saya rasakan
semakin berat, semakin berat dan terang-gelap seperti saya terkena
hipnotis kejahatan pusaka tersebut hilang leyap. La hilangnya pusaka ini
jatuh di pepohonan yang jauh. Pusaka akan sya ikuti ke Barat Utara.
Oshhh pusaka Hargadumilah berhenti di kamu sekejap mata. Ini
Lesmana yang mengejarmu) (WTT 1.5. 235-260).
Berdasarkan data tersebut semakin jelas bahwa tidak semua orang

mampumemegang pusaka yang mengandung nilai magis. Apalagi kalau pusaka

tersebut pusaka yang sakti milik dan sekaligus sebagai simbol kerajaan atau

kayangan. Apalagi pusaka Hargadumilah merupakan pusaka milik Bethara Guru

dan sekaligus simbol kerangkanya dunia yang memilki nilai magis.

Lesmana Dewa kuat memegang pusaka Hargadumilah juga merupakan

simbolik bahwa tidak semua orang memiliki trah sebagai pejabat. Artinya

sesorang bisa menjadi pejabat, juga merupakan trah dari nenek moyangnya atau

orang tuanya. Meskipun sama-sama anak dewa atau pejabat, tidak semua anak

memiliki trah sebagai pejabat yang bisa menggantikan dan meneruskan

kedudukan ayahnya. Hanya anak yang memiliki trah, yang mampu dan kuat

memegang pusaka kerajaan dan mampu menggantikan dan meneruskan

kedudukan ayahnya.

Secara pragmatik data di atas (WTT 1.5. 235-260) merupakan lokusi.

Ilokusinya atau maksudnya bahwa tidak semua orang mampu memegang pusaka

Hargadumilah yang sangat magis dan sakti. Meskipun Lesmana Dewa sudah bisa
274

memegang pusaka Hrgadumilah, tetapi hanya sebentar saja ia tidak kuat,

sehingga akhirnya pusaka lepas lagi.

Perlokusinya atau tindakan yang dilakukan Lemana Dewa adalah dia tetap

berusaha untuk mengejar dan akan menangkap pusaka Hargadumilah dan akan

diserahkan kepada ayahnya agar bisa segera menggantikan kedudukan ayahnya

sebagai Bethara Guru. Akan tetapi, meskipun Lesmana Dewa sudah berusaha

sekuat tenaga, pusaka tersebut akhirnya terlepas lagi. Artinya Lesmana Dewa

tidak memiliki trah menjadi Bethara Guru menggantikan dan meneruskan

kedudukan ayahnya.

Data tersebut (WTT 1.5. 235-260) mengandung nilai pendidikan kepada

masyarakat, terutama yang mempunyai ambisi untuk menjadi pemimpin tertentu,

seperti Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Waki Kota, Rektor, wakil Rektor,

Dekan, Kepala Dinas, dan jabatan yang lain, perlu berusaha semaksimal mungkin

dengan berbagai cara yang baik, dengan memperhatikan dan menjujung tinggi

nilai-nilai etika, moral, perundangan, dan agama. Bila sudah berusaha sekuat

tenaga, hasilnya diserahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tuhanlah yang telah

menentukan dan mengatur segala-galanya bagi nasib manusia. Tidak perlu harus

menempuh berbagai cara yang melanggar etika, moral, perundangan, dan agama.
275

9. Perebutan jabatan dan kekuasaan

Keempat putra Sang Hyang Sis, yaitu Sang Hyang Punggung, Sang Hyang

Pongat, Sang Hyang Lesmana Dewa, dan Sang Hyang Manikmaya berebut

jabatan dan kekuasaan. Keempatnya berebut ingin mennggantikan kedudukan

ayahnya sebagai Bethara Guru, pimpinan para dewa di Kayangan Junggring

Saloka. Ketiga kakak Manikmaya berkonspirasi dan tidak rela bila Manikmaya

dapat memegang pusaka Hargadumilah dan berhasil menggantikan kedudukan

ayahnya sebagai Bethara Guru. Pada saat Manikmaya berhasil memegang pusaka

Hargadumilah, ketiga kakaknya berkonspirasi ingin merebutnya sehingga terjadi

peperangan antara ketiga kakak Manikmaya dengan Manikmaya. Kakaknya yang

pertama, Sang Hyang Punggung berusaha merebut pusaka Hargadumilah yang

telah dipegang Manikmaya, sehingga terjadi perang tanding. Sang Hyang

Punggung dapat dikalahkan, tetapi tidak dibunuh, disabda menjadi Antaboga dan

dijadikan kepalanya ikan di laut Selatan. Hal tersebut tampak pada data sebagai

berikut:

Data F3.13
Yen sliramu tetep beguguk makutha waton, abot pusaka titira dina kang
guri sedheng wilaksana gubet genderan yen ana mobat-mabite pedang
sokaya oo iki bakal ninggal jagad. Coba Kang Masmu mriki anggene.
Jika kamu tetap bersikukuh membela pusaka itu, hari ini jika ada pedang
jangan tanya. Ooooo ini akan meninggalkan Jagad. Coba Masmu ini!)
Waduh mati aku, waduh waduh, Dhi jaluk sepura ra kuwat pun Kakang
nandingi sliramu, senajan sliramu cilik sasada leren, sekti digdaya. Sirahku
276

koantem kaya ajur lebur dadi banyu. Jajatine sliramu iki ngembani aji-aji
apa?
(Wadhuh mati aku, waduh Dik maaf dika Kakak tidak kuat menandingimu.
Wlaupun kamu kecil seperti lidi, kamu kuat sekali. Kau pukul kepalaku
bakal hancur lebur menjadi air. Sebenarnya kamu memiliki jurus apa?)
...............................................................................................................
Kakang Sang Hyang Punggung he panjenenganingsun mulyakake dadi
kaya wingi karo rika ora yaiku tanda-tandane rika duweni watak candhala
angkara murka kebna sing kuning hyang pikulun para dewa kanthi rika sak
iki ora wujud Kakang Sang Hyang Punggung rika saiki wis wujud
Antaboga.
(Kakak sang Hyang Punggung hee,… saya muliakan seperti kemarin, kamu
memiliki tanda-tanda watak angkara murka yang tidak sesuai
denganwatak ewa. Dengan Kakak menjadi wujud raja ular (antaboga
)(WTT 1.9.170--235).
Data tersebut menggambarkan peperangan antara Sang Hyang

Punggung dengan adiknya yang bernama Manikmaya karena berebut pusaka

Hargadumilah. Sang Hyang Punggung dapat dikalahkan oleh Manikmaya, tetapi

tidak dibunuh, disabda menjadi Antaboga serta diberi tempat di laut Selatan

sebagai rajanya seluruh ikan.

Data tersebut (WTT 1.9.170--235) merupakan lokusi. Ilokusinya

mengandung maksud bahwa Sang Hyang Punggung ingin meminta pusaka

Hargaddumilah yang dipegang oleh Manikmaya. Manikmaya tidak boleh sehingga

terjadi peperangan. Sang Hyang Punggung dapat dikalahkan dan disabda menjadi

Antabuga, diberi tempat di laut Selatan sebagai raja dari segala ikan.
277

Perlokusinya, tindakan yang dilakukan Manikmya tidak membolehkan

pusaka Hargadumilah diminta Sang Hyang Punggung dan berusaha

mempertahankannya serta melawan kakaknya dan bisa mengalahkan kakaknya.

Kakaknya disabda menjadi Antaboga..

Sang Hyang Pongat tidak menerima atas kekalahan kakaknya Sang Hyang

Punggung dan mmenutut balas kepada Manikmaya, sehingga terjadi peperangan

antara Sang Hyang Pongat dengan Manikmaya. Sang Hyang Pongat pun dapat

dikalahkan oleh Manikmaya, tetapi juga tidak dibunuh, disabda menjadi burung

yang bertugas sebagai sekretaris Tuhan untuk mengantarkan surat bila ada

kelahiran dan kematian. Hal tersebut tampak pada data sebagai berikut:

Data F3. 14

Oo nek ngunu awak pena ora nganggep kadang marangpun kakang


nganggeppun wani sumbar petanitalan tingkala wireksa pedake bumi lapis
pitu ya yen sliramu tetep apun karo pusaka mbok titenana dina kang buri
sedeng braojana bubut genderane lena penyakamu setinta pancal dhadhamu
pancal karo pasopata wooo kalogati tumbal ooo ning plataran Tegal
Kurusetra.
(Kalau begitu kamu tidak menganggap aku saudara, walaupun ke lapis bumi
ketuju jika kamu tetap tidak memberikan pusaka itu. Kamu akan terbunuh
dengan pusaka pasopata yang menancap di dadamu. Woooo kau akan saya
jadi tumbal di plataranTegal Kurusetra!)
...............................................................................................................
Aduh aduh aduh dhik jaluk sepura awakku gak kuwat, ga ngerti awak pena
sekti mandraguna kaya ngene jaluk sepura ya dik wenana pangapura kadang.
278

(Aduh Aduh dik kakak minta maaf kakak tidak kuat. Kakak tidak tau kalau
kamu sakti sekali seperti ini. Kakak minta maaf ya Dik)
O yen wis kedadean kaya mangkene rika jaluk pangapura.
(Kalau sudah seperti ini Kakak minta maaf)
Lha rika saiki wis dadi manuk ning manuk kang nduweni daya kasekten rika
bakal ing mengko tak sekek ana puncake gunung andaka rika takwenehi
pegawean ngeterake surat ana ngarsane ning carike gusti Allah pangeran bok
menawa ana manungsa ngelairake si ponang jabang bayi ulan apa dina apa
sing ngeterake surat dhisik ya rika bok menawa ana manungsa iki wis
wayahe balik yaiku marang ngarsane gusti kasare mati sing ngeterke surat
dhisik ya rika ya, Kakang.
(La kakak sekarang sudah menjadi burung, tapi burung yang memiliki
kesaktian. Kakak nanti akan saya tempatkan di puncak Gunung Andaka.
Kakak saya beri tugas menyampaikan pesan kepada Allah Tuhan. Jika ada
bayi ulan hari ini antarkan pesan dulu ya. Jika ada manusia yang akan mati,
yang mengantarkan pesan adalah Kakak) (WTT 1.9. 300--320).
Data tersebut menggambarkan peperangan antara Sang Hyang

Pongat dengan Manikmaya karena menuntut balas kekalahan kakaknya Sang

Hyang Punggung. Sang Hyang Pongat kalah dan minta maaf. Manik maya tidak

memberi maaf dan disabda menjadi burung tukang mengantarkan surat Tuhan bila

ada kelahiran dan kematian.

Secara pragmatik data tersebut (WTT 1.9. 300--320) merupakam lokusi.

Ilokusinya atau maksudnya Sang Hyang Pongat meminta pusaka Hrgadumilah dan

menuntut balas kekalahan kakaknya, Sang Hyang Punggung dan perang melawan

Manikmaya. Sang Hyang Pongat dapat dikalahkan dan disabda menjadi burung

dan diberi tugas mengantarkan surat Tuhan bila ada kelahiran dan kematian.
279

Sang Hyang Lesmana Dewa juga tidak menerima atas kekalahan kakaknya

Sang Hyang Pongat dan menuntut balas kepada Manikmaya, sehingga terjadi

peperangan antara Sang Hyang Lesmana Dewa dengan Manikmaya. Sang Hyang

Lemana Dewa pun dapat dikalahkan oleh Manikmaya, tetapi juga tidak dibunuh,

disabda menjadi Semar. Ia disuruh bertapa dulu di gunung Gamping untuk

bertobat. Setelah itu disuruh turun ke Dukuh Kletek dan menjadi pertapa di

gunung Kletek sambil diberi tugas untuk mengemong Pandawa Lima, putra Pandu.

Hal tersebut tampak pada data sebagai berikut:

Data F3. 15

Tak jaluk pusaka!


(Kuminta pusaka itu!)
Besok ra tak aturake, aja cacah tumekane cara senajan tumekani pati yen
kepungkur takpathoki.
(Tidak kuberikan, walaupun sampai mati akan saya jaga)
Ora pengjaran antang marangipun Kakang yayi wis sekti bukak dhadhamu
bakal takpecah marang pusaka
(Kurang ajar kepada Kakak Dik, sudah sakti kamu! Bukalah dadamu akan
kupecah dengan senjataku)
...............................................................................................................
Rika sak iki ora wujud Kakang Lesmana Dewa maneh rika sak iki wujud
Dewa Wiranti. Ya rika iki sing diarani kaki Semar Budhagati, Nayantaka
asem peteng marang padhang rika iki lungguh dadi lurahe danyange tanah
Jawa yaiku sok-sok rika iki kang momong marang sekabehing anak pandu
ya para Pendhawa.
280

(Kakak sekarang sudah tidak berwujud Kakak Lesmana Dewa lagi, kakak
sekarang menjadi Dewa Wiranti ya disebut Semar Budhagati, Kakak ini
akan menjadi kepala/yang berkuasa di tanah Jawa, dan Kakaklah yang
memelihara anak Pandu ya para Pandawa) (WTT 1.9. 400--465).
Data tersebut menggambarkan Sang Hyang Lesmana Dewa meminta

pusaka Hargadumilah yang telah dipegang Manikmaya. Manikmaya tetap

mempertahankannya sampai titik darah yang penghabisan. Maka terjadilah

peperangan antara Sang Hyang Lesmana Dewa dengan Manikmaya. Manikmaya

dapat mengalahkan Sang Hyang Lesmana Dewa dan disabda menjadi Dewa

Wiranti atau Semar dan diberi tugas untuk mengemong Pandawa Lima, anak

Pandu.

Data tersebut (WTT 1.9. 400--465) merupakan lokusi. Ilokusinya atau

maksudnya adalah Sang Hyang Lesmana Dewa akan meminta pusaka

Hargadumilah yangtelah dikuasai Manikmaya dan menuntut kekalahan kakaknya

Sang Hyang Punggung dan Sang Hyang Pongat.

Perlokusinya atau tindakan Manikmaya tidak memberikan pusaka

Hargadumilah dan mempertahankan sampai darah penghabisan serta perang

melawan Sang Hyang Lesmana Dewa. Manikmaya dapat mengalahkan Sang

Hyang Lesmana Dewa dan disabda menjadi dewa Wiranti atau Semar. Semar di

Bertapa di gunung Gamping sambil bertapa minta ampun kepada Tuhan serta

diberi tugas untuk mengemomg Pandawa Lima anaknya Pandu.


281

Perebutan jabatan dan kekuasaan banyak terjadi dalam kerajaan maupun

dalam suatu negara. Pada jaman dahulu, banyak kerajaan yang anaknya saling

berebut kekuasaan, seperti Kerajaan Majapahit, sehingga terjadi peperangan

natarsaudara. Dalam sebuah negara pun banyak perbutan jabatan dan kekuasaan,

seperti yang baru saja dialami bangsa Indonesia. Kubu Prabowo-Sandi berebut

jabatan dan kekuasaan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Rebuplik Indonesia

periode 2019-2024, yang sampai saat ini (pada saat disertasi ini ditulis) belum

selesai, walaupun Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan bahwa

Jakowi-Makruf Amin sebagai pemenangnya. Secara resmi kemenangan kubu

Jokoei-Ma‘ruf Amin belum sah karena pihak kubu Prabowo-Sandi melayangkan

gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pertempuran kedua kubu belum selesai,

sehingga masyarakat Indonesia terbelah menjadi dua kubu, antara kubu Jakowo-

Ma‘ruf Amin dengan kubu Prabowo-Sandi.

Ketiga data di atas mengandung nilai pendidikan kepada masyarakat bahwa

jabatan itu adalah amanah yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada

hambanya dan bersifat sementara. Suatu saat jabatan tersebut akan diambil

kembali oleh Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan telah menentukan semua nasib

manusia, termasuh, umur, jabatan harta, dan jodohnya. Oleb sebab itu, bila

sesorang sudah berusaha sekuat tenaga ingin berjuang menjadi salah satu

pimpinan di mana pun dan jabatan apapun, hasilnya diserahkan kepada Tuhan
282

Yang Maha Esa. Tuhanlah yang telah menentukan segala nasib baik dan nasib

buruk semua manusia. Manusia hanya diwajibkan oleh Tuhan Yang Maha Esa

berusaha sekuat tenga. Sedangkan hasilnya diserahkan ke pada Yuhan Yang

Maha Esa. Tidak perlu harus berebut jabatan dengan berbagai cara yang

melanggar etika, moral, perundangan, dan agama.

10. Semar
Semar merupakan salah tokoh panakawan dalam wayang purwa. Dalam

pandangan masyarakat Jawa, semar merupakan simbol kesucian jiwa, simbol

kawula alit yang mengabdi kepada tokoh yang baik. Semar sebagai jelmaan Sang

Hyang Lesmana Dewa, yang tinggal di dunia, yang bertugas untuk mendidik dan

membimbing Pandawa Lima. Semar juga sebagai simbol dewa yang bersalah

karena mempunyai rasa iri hati kepada adinya yang bernama Sang Hyang

Manikmaya, bahkan berencana akan membunuhnya karena rebutan pusaka

Hargadumilah. Semar sudah bertobat, sudah menucikan dirinya dengan bertapa

di gunung Gamping. Setelah bertapa, dirinya menjadi suci dan tidak lagi ambisi

memikirkan jabatan, kekuasaan, hanya bertugas mendidik dan membimbing

Pandawa Lima ke arah kebaikan. Ia rela tidak lagi hidup di Kayangan Junggring

Saloka, yang penuh dengan kebahagiaan dan keindahan. Ia tinggal di dunia,

sebagai pertama di gunung Gamping, Padukuhan Kletek, Desa Klampis Ireng,

sehingga ia juga dikenal dengan sebutan Nayantaka, artinya tinggal di dunia.


283

Bagi masyarakat Tengger, Semar sebagai simbol orang yang pernah berbuat

kesalahan yang berwatak iri hati terhadap kesuksesan orang lain, yang akhirnya

mau bertobat dan menjalani tapa brata, tidak lagi memikirkan jabatan, kekuasaan,

harta, dan wanita. Dia ahirnya menjadi pertapa di gunung Gamping di Pedukuhan

Kletek, Desa Klampis Ireng, untuk menyucikan jiwanya dengan minta maaf

kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kesalahannya dan selalu menolong

masyarakat yang membutuhkan. Hal tersebut tampak pada data sebagai berikut:

Data F3.16
Ngawe-ngawe piyambakipun Manikmaya tumurunipun dara putih nyelak
nyelak dhateng kaki semar menika dipuntumpaki beta mabur dumujuk
puncak gunung Gamping kaki Semar ngelampahi tapabrata minta
dhateng kang kuwasa.
(Melambaikan tanganlah Manikmaya, datanglah Burung Merpati putih
mendekat ke kaki Semar. Ini dinaiki dan dibawa terbang ke gunung
gamping. Semar menjalani pertapa minta kepada yang maha kuasa)(WTT
1.9. 485--495).
Data tersebut menggambarkan bahwa Semar akhirnya pergi menuju

gunung Gamping dengan menaiki burung dara putih untuk menjalankan tapa

brata, sebagai sarana menyucikan diri dengan minta maaf kepada Tuhan Yang

Maha Esa atas segala kesalahannya yang telah mempunyai sifat iri hati dan ingin

merebut Pusaka Hargdumilah yang telah dikuasai Manikmaya.

Secara pragmatik data tersebut (WTT 1.9. 485--495) merupakan lokusi.

Ilokusinya atau maksudnya adalah Manikmaya memanggil burung dara putih


284

untuk mengantarkan Semar ke gunung Gamping untuk menjalankan tapa brata

sebagai sarana minta ampun kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesalahannya

yang telah memiliki sifat iri hati, ingin membunuh saudaranya sendiri hanya

karena perebutan pusaka Hargadumilah sebagai syarat menduduki jabatan

Bethara Guru menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bethara Guru.

Perlokusinya atau tindakan Semar adalah segera menaiki burung merpati

putih yang telah dipanggil oleh Manikmaya untuk menuju ke gunung Gampin

untuk melakukan tapa brata sebagai sarana mennyucikan jiwanya dan minta maat

kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Data tersebut (WTT 1.9. 485--495) mengandung nilai pendidikan kepada

masyarakat agar menjauhkan dari sifat iri hati atas kesuksesan orang lain. Sifat iri

hati tidak baik dan merupakan penyakit hati. Bila ada orang lain sukses, apalagi

saudaranya sendiri, seharusnya merasa senang dan justru mendukung agar

saudaranya sukses.

11. Adigang adigung adiguna, kedung jero, segara jembar

Sang Hyang Sis berpesan kepada Manikmaya, meskipun kamu

mempunyai jabatan dan pangkat, jangan sampai mempunyai sifat adigang

adigung adiguna, yaitu merasa sombong, sok kuasa, dan berbuat sewenang-

wenang kepada rakyatnya dengan menggunakan kekuasaan dan jabatannya.


285

Akan tetapi, mempunyi watak kedung jero, segara jembar, artinya mempunyai

watak yang baik, bisa menerima kritikan dan saran dari mana pun dan siapa pun,

mudah memaafkan segala kesalahan orang lain, serta melindungi rakyatnya

secara baik. Hal tersebut tampak pada data sebagai berikut:

Data F3.17

Kang kaping telu, Ngger, senajan sliramu wis kedunungan derajat,


pangkat, aja sok ngendelake adigang adigung adiguna, sapa sira sapa
ingsun, duwe watak kedhung jero, segara jembar ya ngger, ayomana kang
becik kawulamu ya, Ngger.
(Yang ketiga nak, walaupun kamu sudah mendapatkan derajat, pangkat,
janganlah angkuh, milikilah watak seperti sungai yang dalam dan lebar
seperti laut, lindungilah rakyatmu secara baik-baik, ya anakku!)
Nun injih kanjeng, Rama.
(Iya Ayah) (WTT 1.11.15--30)

Data tersebut menggabarkan bahwa Sang Hyang Sis, ayah Manikmaya

menasihati kepada anaknya agar meskipun dirinya mempunyai jabatan dan

kekuasaan, tetapi tidak boleh mempunyai sifat sombong karena jabatan dan

kekuasaannya. Akan tetapi, harus mempunyai watak yang baik, bisa menerima

kritik dan saran dari siapa pun dan dari mana pun, dapat dan mudah memaafkan

segala kesalahan orang lain serta dapat melindungi rakyatnya secara baik-

baik.Orang yang punya jabatan dan kekuasaan, pada umumnya merasa sombong,

merasa sok kuasa, sehingga berbuat sewenang-wenang kepada rakyatnya atau

orang lain.
286

Secara pragmatik data tersebut (WTT 1.11.15--30) merupakan lokusi.

Ilokusnya atau maksudnya ayah Manikmaya memberikan nasihat kepada

Manikmaya agar setelah menjadi Bethara Guru tidak sombong, tidak merasa sok

kuasa, tidak merasa pandaai sendiri, sehingga berbuat sewenang-wenang kepada

rakyatnya atau orang lain. Akan tetapi, harus mempunayai watak yang baik, yang

bisa menerima saran dan kritikan dari mana pu dan siapa pun, bisa dan suka

memaafkan kesalahan orang serta meelindungi rakyatnya secara baik-baik.

Perlokusinya atau tindakan Manikmaya bisa menerima saran dari ayahnya dengan

baik dan akan menjalankan semua nasihat dari ayahnya.

Data tersebut (WTT 1.11.15--30) mengandung nilai pendidikan kepada

mayarakat bila mempunyai jabatan dan kekuasaan jangan sombong, sok kuasa,

dan berlaku sewenang-wenang kepada rakyatnya atau orang lain. Akan tetapi

harus mempunyai sifat yang baik, bisa menerima saran dan kritik dari mana pun

dan dari siapa pun, serta dapat m elindungi rakyatnya atau anak buahnya secara

baik.

12. Tidak boleh menghina wanita

Sang Hyang Sis, menasihati Manikmaya, bila suatu saat kedatangan

seorang wanita, berasal dari mana pun, cantik atau jelek, miskin, dan tidak punya

apa-apa, jangan dihina, dan jangan dibenci. Semua sudah ditentukan oleh Tuhan

Yang Maha Kuasa, seperti jabatan, pangkat, rejeki, dan isteri. Siapa tahu wanita
287

yang datang tersebut adalah calon isterimu. Seorang pemimpin harus menghormati

wanita dan tamunya. Seorang laki-laki pada umumnya hanya akan menghormati

tamunya yang cantuk, tetapi menyia-nyiakan dan menhina tamunya yang miskin

dan jelek. Hal tersebut tampak pda data sebagai berikut:

Data F3.18
Kang kaping telu ngger sliramu wis tak jumenengake ana ing Kahyangan
Jonggring Saloka kene wis tentrem ayem ning Kahyangan. Sok sok mbok
menawa sliramu iki kerawuhan wanita mbuh sangkan saka ngendi, Rama
ya mangerteni ala tanpa rupa, melarat kerat ora duwe apa apa, aja
sampek mbok ina, mbok benci. Kabeh mau wis kinodrat saka gusti ya
Ngger!
(Yang ketiga kamu sudah saya lantik menjadi penguasa kayangan Jonggrig
Saloka ini sudag tentram. Nanti jika kamu bertemu dengan wanita entah
dari mana, ayah tau bagaimanapun wujudnya jangan kau benci. Itu semua
sudah ditakdirkan oleh Tuhan)
Nun injih, Kanjeng Rama.
(Iya Ayah) (WTT 1. 11. 25--40).
Berdasarkan data tersebut (WTT 1. 11. 25--40) dapat disimpulkan bahwa

seorang laki-laki harus menghormati tamu wanita yang datang kepadanya,

asalnya dari mana pun, kaya atau miskin, cantik atau jelek. Siapa tahu wanita

yang datang tersebut calon jodohnya yang dikirim oleh Tuhan Yang Maha Kuasa

karena semua yang dialami manusia adalah kehendak-Nya.

Secara pragmatik data tersebut (WTT 1. 11. 25--40) merupakan lokusi.

Ilokusinya atau maksudnya adalah agar Manikmaya setealah dilantik jadi Bethara
288

Guru di Kayangan Junggring Saloka, bila suatu saat kedatangan tamu wanita

aslnya dari mana pun, cantik atau jelek, kaya atau miskin dan tidak punya apa-

apa tidak boleh dihina dan dibenci. Siapa tahu wanita tersebut merupakan

jodohnya. Semuanya yang dialami manusia, Tuhan yang menentukan.

Perlokusinya atau tindakan yang dilakukan Manikmaya mematuhi nasehat

ayahnya, sehingga pada waktu Manikmaya kedatangan wanita yang mau mencari

pekerjaan, yang bernama Nagagini, akhirnya dilamar untuk dijadikan isterinya.

Data tersebut (WTT 1. 11. 25--40) mengandung nilai pendidikan kepada

masyarakat agar bila ada tamu siapa pun, berasal dari mana pun, kaya atau

miskin harus dihormati, tidak boleh diusir. Menghormati tamu hukumnya wajib.

13. Orang tua bagaikan kendi kebak, dicangking entheng

Orang tua bagaikan kendi kebak, dicangking entheng merupakan

simbol tanggung jawab dan kasih sayang terhadap anaknya. Orang tua

mempunyai tanggung jawab dan kasih sayang yang sangat besar terhadap

anaknya. Orang tua meskipun tidak punya, kalau anaknya meminta sesuatu akan

selalu berusaha untuk memenuhinya. Kasih saying orang tua terhadap anaknya

tidak ada batasnya sampai dewasa atau sampai hidup keluarga sendiri. Meskipun

seorang anak sudah keluarga, sudah punya isteri dan anak, masih tetap

mempunyai tanggung jawab dan kasih saying terhadap anaknya. Bila anaknya
289

minta sesuatu kepada orang tuanya masih tetap berusaha memenuhinya sesuai

batas kemampuannya.

Bila anak dalam keadaan sedih, orang tua juga ikut mersakan sedih. Ada

pepatah ―kasih sayang orang tua kepada anaknya, sepanjang jalan, sedangkan

kasih sayang anak kepada orang tuanya sepanjang galah‖. Artinya, tanggung

jawab dan kasih sayang orang tua kepada anaknya tidak ada batasnya, meskipun

anak sudah dewas dan sudah keluarga pun, orang tua masih ikut merasa tanggung

jawab dan kasih sayang kepada anaknya. akan tetapi, kasih sayang anak kepada

orang tuanya, sangat terbatas. Seorang anak bila sudah keluarga, sudah punya

isteri, dan anak, banyak yang lupa kepada kedua orang tuanya. Bila anak laki-

laki, ia sudah merasa mempunyai tanggung jawab sendiri terhadap keluarganya,

isteri dan anaknya. Ia sudah lupa kepada kedua orang tuanya. Kalau mau

memberi sesuatu kepada kedua orang tuanya, takut atau sungkan kepada

isterinya, sehingga dala masyarakat sering ada istilah ―suami takut isteri‖. Bila

anak wanita mau memberi sesuatu kepada kedua orang tuanya, takut atau

sungkan kepada suaminya, karena merasa tidak ikut mencari uang. Bahkan takut

dimarahi suamiya. Hal tersebut tampak pada data sebagai berikut:

Data F3.19

Ndhuk, Nagagini anakku siji sing ayu pisan. Ora orane sliramu iki
gelagat polahe kok ora pada kaya wingen-wingenane. Dina iki awan ora
290

gelem mangan, bengi ora bisa turu, apa sing mbok pikirna? Matura
blaka karo pun Rama. Rama iki diarani wong tuwa pawakan kendi kebek
dicangking enteng ketanting, yen sliramu susah Rama melu susah apa
sing kok pikirna?
(Nak, Nagagini anakku yang cantik. Tidak seperti hari-hari biasa, hari ini
kalau siang tidak mau makan kalau malam tidak mau tidur apa yang kamu
pikirkan, nak? Bilanglah kepada ayah. Ayah ini sangat terbawa dengan
kesedihanmu.)
Nggih wonten, Rama.
(Iya ada apa, ayah) (WTT 1.12.20--35).
Berdasarkan data di atas (WTT 1.12.20--35) dapat disimpulkan bahwa

tanggung jawab orang tua terhadap anaknya tidak ada batasnya. Selama orang

tua masih hidup, selama anaknya juga masih hidup, orang tua tetap mempunyai

tanggunga jawab dan kasih sayang kepada anaknya. Sedangkan tanggung jawab

anak kepada orang tuanya sangat terbatas. Kalau anak sudah keluarga sendiri,

sudah punya isteri dan anak, pada umumnya tanggung jawab dan kasih sayang

anak kepada kedua orang tuanya, sudah semakin berkurang, bahkan hilang sama

sekali. Bahkan dalam masyarakat sering terjadi, anak mengusir orang tuanya,

anak tidak mau mengakui orang tuanya sebagai ayah atau ibunya.

Data di atas (WTT 1.12.20--35) merupakan bentuk lokusi. Ilokusinya atau

maksudnya tanggung jawab dan kasih sayang orang tua kepada anaknya sangat

besar, sehingga bila anaknya dalam keadaan sedih, orang tuanya ikut merasakan

sedih. Meskipun orang tua banyak masalah dan tanggung jawab, tetapi bila

anaknya meminta sesuatu atau mengeluh kepada orang tuanya, orang tuanya
291

akan merasa ringan memberikan sesuatu bantuan, baik berupa materi maupun

nasihat.

Perlokusinya atau tindakan Naga Gini akhirnya mau berterus kepada

ayahnya bahwa ia sedang jatuh cinta kepada Bethara guru. Naga Gini bersikeras

harus bisa menjadi isterinya Bethara Guru. Kalau tidak bisa terlaksana mnjadi

isterinya Bethara Guru, ia lebih baik mati. Melihat keadaan anaknya yang sedang

jatuh cinta dan tekatnya yang sangat kuat, orang tuanya pun berusaha membantu

anaknya, agar bisa mencapai cita-citanya, bisa menjadi isterinya Bethara Guru.

Naga Gini disuruh pergi ke Kayangan Junggring Saloka untukmenemui Bethara

Guru dengan diberi minyak bondhet. Minyak bondhet merupakan symbol aji-aji

pengasihan, agar Bethara Guru jatuh cinta kepada Naga Gini. Bethara Guru

akhirnya jatuh cinta kepada Naga Gini dan dijadikan isterinya. Hal tersebut

tampak pada data sebagai berikut:

Data F3.20
Loh sliramu iki putra pendhita, Ndhuk, mula sedurunge sliramu budhal
ing mengko bakal tak sangoni lenga bodhet.
(Lho kamu itu kan anak pandita, nak. Maka, sebelum kamu berangkat
kamu bakal aku beri Minyak Bodhet.)
O kados ngoten ta, Rama.
(O begitu, ayah.)
Bathara Guru bakal lali marang tata kerjane mala-malange gendengi
marang kowe.
292

(Batara Guru bakal lupa dengan apapun dan mencintaimu.)


Napa saestu ta kanjeng, Rama.
(Apakah benar, ayah?)
Lah nyapa wong tuwa kok goroh?
(Kenapa aku membohongimu?)(WTT 1.12. 95--110).
Data di atas (WTT 1.12. 95--110) menggambarkan bahwa tanggung

jawab ayah Naga Gini sangat besar kepada anaknya. Naga Gini diberi aji-aji

pengasihan yang berupa minyak bondhet agar Bethara Guru jatuh cinta kepada

Naga Gini. Seseorang bila terkena aji-aji pengasihan, logikanya akan hilang. Ia

hanya selalu berpikir dan merindukan orang yang telah memberikan aji-aji

pengasihan tersebut. Ia tidak mau makan, tidak bisa tidur, pikirannya hanya

ingin bertemu dan merindukan kepada orang yang memberi aji-aji pengasihan.

Seperti Brthara Guru setelah terkena aji-aji pengasihan minyak bondhet, ia

langsung jatuh cinta kepada Naga Gini, langsung dilamar dan dijadikan

isterinya. Tanpa berpikir panjang, tidak berkonsultasi kepada orang tuanya

sendiri maupun orang tua Naga Gini.

Dalam kehidupan masyarakat, banyak terjadi bila seseorang wanita jatuh

cinta kepada seorang laki-laki menggunakan jasa dukun, dengan minta aji-aji

pengasihan, agar laki-laki yang dicintainya jatuh cinta kepadanya. Seorang

laki-laki bila jatuh cinta kepada seorang wanita juga banyak yang menggunakan
293

jasa dukun. Hal tersebut merupakan salah satu budaya masyarakat Jawa, bahkan

masyarakat di luar Jawa pun ada budaya tersebut.

Data di atas (WTT 1.12. 95--110) merupakan lokusi. Ilokusinya atau

maksudnya adalah Naga Gini sebelum pergi ke Kayangan Junggring Saloka

menemui Bethara Guru akan diberi aji-aji minyak bondhet, agar Bethara guru

jatuh cinta kepada Naga Gini. Perlokusinya atau tindakan Naga Gini menerima

saran dan pemberian minyak bondhet dari ayahnya dan dibawa pada saat

menghadap Bethara Guru. Bethara Guru, ternyata juga jatuh cinta kepada Naga

Gini.

Data di atas (WTT 1.12. 95--110) mengandung nilai budaya yang

sering terjadi dalam masyarakat di Indonesia tentang aji-aji pengasihan.

Seorang laki-laki bila jatuh cinta kepada seorang wanita dan wanita tersebut

tidak mau, biasanya seorang laki-laki akan menggunakan aji-aji pengasihan

agar wanita tersebut jatuh cinta kepada laki-laki tersebut. Apa lagi bila seorang

wanita tersebut menghina laki-laki. Maka seorang laki-laki akan menggunakan

jasa dukun untuk menaklukkan wanita tersebut. Seorang wanita pun banyak

melakukan hal yang sama. Bila wanita jatuh cinta kepada laki-laki dan laki-laki

tersebut tidak mau, wanita tersebut juga bisa menggunakan jasa dukun, agar

laki-laki yang dicintainya bisa jatuh cinta kepadanya. Di Banyuwangi aji-aji


294

pengasihan tersebut sangat kuat dan terkenal dengan istilah ―aji-aji pengasihan

jarang goyang‖.

14. Naga Gini mempunyai sugih kendel men

Sugih kendel men merupakan simbol keberanian yang dimiliki Naga Gini

sebagai seorang wanita. Naga Gini adalah anak Begawan Sukma Sejati, seorang

begawan yang mempunyai ilmu dan kesaktian yang tinggi. Naga Gini sebagai

anak seorang begawan juga mempunyai ilmu dan kesaktian yang tinggi sehingga

mempunyai keberanian yang luar biasa. Sebagai seorang wanita bisa pergi ke

Kayangan Junggring Saloka, tempat kediaman para Dewa, kalau tidak

mempunyai ilmu, kesaktian, dan keberanian tidak akan bisa pergi ke Kayangan

Junggring Saloka dan berani menghadap Bethara Guru, kepala para dewa.

Keberanian Naga Gini pergi ke Kayangan Junggring Saloka untuk menemui

Bethara Guru karena didorong rasa cintanya yang sangat kepada Bethara Guru

dan ingin menjadi isteri Bethara Guru. Bahkan ia mempunyai tekat yang sangat

kuat lebih baik mati, kalau tidak bisa menjadi isteri Bethara Guru. Keinginan

tersebut semakin diperkuat setelah ia diberi bekal aji-aji pengasihan yang berupa

minyak bondhet dari ayahnya. Kasiat aji-aji pengasihan minyak bondhet

tersebut adalah agar Bethara Guru jatuh cinta kepada Naga Gini, tanpa berpikir

asal usul, bobot, bibit, dan bebet. Pikiran Bethara Guru tidak logis lagi, hanya
295

berpikir dan selalu merindukan Naga Gini. Bethara Guru pun jatuh cinta kepada

Naga Gini dan dilamar untuk dijadikan isterinya. Keberanian Naga Gini tersebut

tampak pada data sebagai berikut:

Data F3.21

Loh, kamangka mlebu alan welas padepokanmu iku adoh saka


Kahyangan, kok sugih kendel men!
(Lho padahal padepokanmu itu jauh dari kayangan kok berani kamu?)
Nggih sampun nekad kula Kang Mas, napa diterami kula, Kang Mas?
(Saya nekat, kang mas. Apa saya diterima?)
Ya sik, taktrima taktrima, apa ya sliramu karo garwamu.
(Ya sebentar. Nanti aku terima. Apa kamu dengan suamimu?)
Kula dereng kagungan garwa pun Kang Mas, kula isih perawan tir.
(Saya belum punya suami, saya masih perawan.)
Kok umpamane sliramu iki anak sing ngarepna mundhut garwa ngunua
ya apa kanthi sliramu bisa nampa katrisnane priya kang nresnani
sliramu.
(Seandainya kamu ada yang menhendaki akan dijadikan istri, apakah
kamu bisa menerima cinta dari pria yang mencitaimu?)(WTT1.13.60--
80).

Data tersebut (WTT1.13.60--80) memberikan gambaran bahwa Naga

Gini mempunyai keberanian untuk pergi ke Kayangan Junggring Saloka untuk

menemui Bethara Guru. Bethara Guru pun akhirnya jatuh cinta kepada Naga

Gini dan dilamar untuk dijadikan isterinya. Namun, cintanya Bethara Guru

kepada Naga Gini bukan cinta suci yang lahir dari hati sanubarinya, tetapi

terpemgaruh oleh aji-aji pengasihan minyak bondhet yang dibawa Naga

Gini, pemberian ayahnya.


296

Perkawinan yang tidak dilandasi cinta yang suci dari kedua belah

pihak, tidak akan bisa bertahan lama. Setelah pengaruh aji-aji pengasihan

minyak bondhet hilang, maka cintanya akan hilang dan kehidupan rumah

tangganya akan hancur. Naga Gini pun akhirnya dicerai dan diusir dari

Kayangan Junggring Saloka oleh Bethara Guru dan disabda menjadi Bethari

Durga, serta menjadi ratu oara makhluk lelembut di Alas Ganda Manyit.

Perkawinan yang tidak sah, yang hanya berdasarkan hawa nafsu, juga

akan menghasilkan anak yang berkarakter tidak baik, seperti Bethara Kala.

Bethara Kala merupakan hasil perkawinan Bethara Guru dan Naga Gini yang

tidak sah, karena tidak memenuhi syarat perkawinan, yaitu ada kedua

mempelai, saling mencitai, wali, ijab, dan qobul. Perkawinan Bethara Guru dn

Naga Gini hanya memenuhi satu syarat yaitu ada dua calon mempelai, syarat

yang empat, yaitu saling mencinta, wali dari pihak wanita, ijab, da n qobul

tidak ada.

Data di atas (WTT1.13.60--80) merupakan bentuk lokusi. Ilokusinya

atau maksudnya adalah Bethara Guru merasa heran kepada Naga Gini.

Sebagai seorang wanit mempunayi keberanian luar biasa, beranidan bisa pergi

ke Kayangan Junggring Saloka untuk menemui Bethara Guru. Padahal tidak

boleh manusia pergi ke Kayangan, apalagi menghadap Bethara Guru,

kepalanya para dewa. Untuk menuju Kayangan tempatnya sangat jauh.


297

Perlokusinya atau tindakan Naga Gini adalah mempunyai keberanian

yang luar biasa sebagai seorang wanita pergi ke Kayangan Junggring Saloka

tempatnya para dewa untuk menemui Bethara Guru. Padahal Kayangan

Junggring Saloka tempatnya sangat jauh dari tempat tinggal Naga Gini di

Padepokan Gunung Wertawi.

Data di atas (WTT1.13.60--80) mengandung nilai pendidian kepada

kaum laki-laki agar berhati-hati bila bertemu dengan seorang wanita cantik,

jangan mudah jatuh cinta kepada wanita yang belum pernah dikenalnya, baru

bertemu sekali langsung jatuh cinta. Hal tersebut dapat berdampak yang tidak

baik, bila seorang wanita mempunyai maksud yang tidak baik, seperti

mencintai seorang laki-laki hanya berdasarkan harta dan tahta. Kelemahan

seorang wanita adalah tidak bisa menahan dari godaan harta dan tahta. Pada

umumnya, seorang wanita jatuh cinta kepada seorang laki-laki karena harta

dan tahta. Bila seorang laki-laki, pada umumnya tidak bisa tahan dari godaan

wanita yang cantik, sehingga banyak laki-laki yang mempunyai jabatan yang

tinggi dan banyak harta ada kecenderungan mempunyai wanita lain, selain

isterinya yang sah.


298

15. Jarik suwek, klambi suwek

Jarik suwek, klambi suwek merupakan simbol merendahkan diri, seorang

yang miskin, tidak punya apa. Naga gini pada saat dilamar Bethara Guru, yang

mempunyai jabatan yang tinggi sebagai kepala para dewa di Kayangan Junggring

Saloka dan banyak hartanya, apa mau mempunyai seorang isteri yang miskin dan

tidak mempunyai apa-apa seperti dirinya. Hal tersebut merupakan strategi Naga

Gini mengetes perasaan cinta dan kesungguhannya kepada dirinya. Bila Bethara

Guru sungguh-sungguh mencintainya, maka jiwa dan raganya diserahkan

sepenuhnya kepada Bethara Guru. Namun, besuk jangan sampai dirinya disia-

siakan. Naga Gini sudah sangat mengetahu bahwa sifat seorang laki-laki pada

saat mencintai seorang wanita sangat perhatian, sangat mencintai, dan

mempunyai keingnan yang kuat untuk memilikinya. Namun, setalah tidak

mencintainya lagi, dicampakkan begitu saja. Hal tersebut tampak pada data

sebagai berikut:

Data F3.22

Yen kula mangke mpun purun kula niki wanci larene soke sakesa
melarat, ra nduwe napa-napa nduwe kula nggih namung jarik suwek,
klambi suwek, kaya ngeten. Jenengan niku tiyang kebek donya bandha
badungan mijeh raja brana nanging kula pun dipunsiya-siya nggi, Kang
Mas!
(Kalau saya sudah mau, saya ini orang miskin, tidak punya apa-apa,
hanya punya jarik sobek, baju sobek. Saudara orang yang kaya raya,
tetapi saya jangan Saudara sia-siakan, Kakak!)
299

Ora ora ora wong ayu! Dadi kowe gelem?


( Tidak, tidak, orang cantik! Jadi kamu mau?)
Njih kula purun jiwaraga kula kula pasrahaken kaling njenengan, Kang
Mas.
(Iya saya mau. Jiwa raga saya pasrahkan kepada anda, kang mas)
(WTT.14.105--115).

Data di atas (WTT.14.105--115) menggambarkan bahwa seorang

wanita, bila dilamar seorang laki-laki sangat hati-hati, karena banyak

pengalaman sifat dan karakter seorang laki-laki. Pada saat jatuh cinta, seorang

laki-laki pada umumnya, penuh perhatian dan segera ingin memilikinya

sebagai isterinya. Seorang laki-laki pada umumnya tidak mampu menahan

hasrat nafsu seknya sebagaimana sifat Behara Guru yang tidak mampu

menahan nafsu birahinya pada saat berjalan bersamaan dengan Naga Gini.

Data tersebut (WTT.14.105--115) merupakan bentuk lokusi, Ilokusinya

atau maksudnya adalah Naga Gini sebelum menjawab lamaran Bethara Guru

untuk dijadikan isterinya, ia menguji kesetiaan Bethara Guru kepada dirinya,

apakah betul-betul mencintai dirinya karena dirinya seorang wanita yang

miskin dan tidak mempunyai apa-apa. Jangan sampai setelah ia mau menjadi

isterinya, kelak disia-siakan begitu saja.

Perlokusinya atau tindakan yang dilakukan Bethara Guru, menyakinkan

kepada Naga Gini bahwa ia betu-betul mencintainya dan tidak akan menyia-

nyiakan Naga Gini kelak dikemudian hari.


300

Data tersebut (WTT.14.105--115) mengandung nilai pendidikan kepada

seorang wanita, bila dilamar seorang laki-laki agar berhati-hati bila mau

menerima lamarannya. Jangan hanya memandang ketampanan, jabatan, dan

kekayaannya yang hanya bersifat sementara. Dasar utama seorang yang mau

berumah tangga adalah cinta dan iman. Bila suami isteri saling mencintai dan

memiliki iman yang kuat, maka hubungan rumah tangga akan bertahan lama

sampai tua. Dalam istilah jawa, sampai kaken-kaken, ninen-ninen. Artinya,

perkawinan dapat berlangsung sampai tua, hanya bisa dipisahkan dengan

kematian.

16. Tapa brata

Tapa brata merupakan simbol sarana seseorang membersihkan jiwa dan

raganya agar menjadi bersih dan suci dari berbagai sifat yang tidak baik,

menjadi media minta ampun atas segala dosa-dosanya, media berdoa kepada

Tuhan yang Mahakuasa untuk mencapai cita-citanya. Budaya bertapa

merupakan refleksi masyarakat Jawa pada masa lalu, terutama tokoh-tokoh

pada masa lalu yang sangat terkenal, seperti Prabu Brawijaya, Ken Arok,

Hamengku Buwana, Patih Gajah Mada, dan Pangeran Diponegoro. Tokoh-

tokoh tersebut merupakan gambaran orang-orang yang suka bertapa, sehingga


301

mempunyai kesaktian yang luar biasa, ilmu yang tinggi, dan pengaruh yang

besar sampai sekarang.

Bethara Guru pun memerintahkan Bethara Kala untukbertapa di

Kayangan Ondar-Andir tempat pertapaan para dewa, untuk membersihkan

jiawa dan raganya serta untuk mendapatkan restu dari Dewa Narada. Bila ia

sudah bertapa dan ada bukti sudah mendapatkan restu dari Bethara Narada,

maka ia akan diakui sebagai anaknya. gambaran tersebut tampak pada data

sebagai berikut:

Data F3.23

Ora jaluk donya bandha, Rama gelem menehi pangan marang sliramu
ning sliramu lelakua dhisik ngelakonana tapabrata ana ing
Kahyangan ondar-andir bawana hyangmu pikulun pandi suralooya
Bathara Narada karo Bathara Brama sak iki ijik pinuju ngelakoni
tapabrata nguatna jagad raya iki kang dipanngeni marang kabeh
jalma manungsa meminta marang kang kuwasa lha watu kunasa kang
tengah iku nggonmu mertapa aja pati pati gugur sliramu mertapa yen
durung nampa wangsite hyangmu pikulun dewane Bathara.Rupa apa
kang den aturake marang kanjeng rama yen gawa bukti saka hyangmu
pikulun bakal tak aku anak sejati bakal takwenehi pangan yen ora
gawa tanda bukti paringane hyangmu ya sliramu iki duduk putraku.

(Aku bakal memberimu makan kalau kamu sudah bertapa di Kayangan


Ondar-andir Bawana. Pamanmu Narada dan Bathara brama sekarang
juga sedang bertap meminta kepada tuhan untuk menguatkan jagad.
Jangan kamu bangun jika belum menerima wangsit dewa. Jikk sudah
kamu bakal aku akui sebagai anakku.)
Wot abot ujiane ya nek nguno, Kanjeng Rama, dadia kaya apa ya
taklakonane, Kanjeng Rama, wis aku nyuwun pamit aku takbudhal
mertapa ya kanjeng ibu pangestu rika takjaluk, Kanjeng Rama jaluk
puji rika lo aku takbudhal tapa.
302

(Berat ternyata ujiannya. Walau bagaimana akan tetap aku lakukan.


Aku pamit dan minta pangestu ayah ibu) (WTT 1.21. 0--25).

Data di atas (WTT 1.21. 0--25) memberikan gambaran bahwa agar

seseorang jiwa dan raganya menjadi bersih dan suci dapat melalui bertapa.

Bertapa sebagai media minta ampun dan berdoa kepada Tuhan Yang

Mahakuasa. Bertapa merupakan kebiasaan yang banyak dilakukan oleh para

raja Jawa pada masa lalu. Dengan bertapa seseorang raja akan mendapatkan

kesaktian, senjata, dan charisma yang luar biasa.

Data di atas (WTT 1.21. 0--25) merupakan bentuk lokusi. Ilokusinya atau

maksudnya adalah Bethara Guru mau mmberi makan kepada Bethara Kala

dengan syarat Bethara Kala agar bertapa di Kayangan Ondar-Andir tempat

pertapaan Bethara Narada dan Bethara Brahma untuk memperkuat dunia yang

ditempati manusia. Jangan sampai membatalkan tapanya sebelum mendapat

pesan dari Sang Hyang Pikulun berupa apa saja.

Perlokusinya atau tindakan Behara Kala dapat memahami perintah

ayahnya dan siapa akan menjalankan bertapa di Kayangan Ondar-Andir tempat

pertapaan Bethara Narada dan Bethara Brahma.

Data tersebut (WTT 1.21. 0--25) mengandung nilai budaya dan religi

masyarakat pada masa lampau, khususnya para raja, sering melakukan bertapa

dalam rangka, untuk menyucikan jiwa dan raga, sarana minta ampun dan
303

berdoa kepada Sang Dewa. Budaya bertapa tersebut saat ini tidak lagi dilakukan

oleh masyarakat sekarang, kalau pun masih ada, jumlahnya tidak banyak.

Bertapa berhari-hari, atau berbulan-bulan, bahkan bertahun tahun bagi

orang Islam, tidak diperintahkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa dan Rasulullah.

Bertapa bagi orang Islam adalah dalam bentuk lain, sesuai ajaran syariat Islam,

seperti beriktikaf di masjid, berpuasa di buan Ramadhan dan puasa Sunnah, dan

salat malam, sebagai sarana menyucikan jiwa dan raga, sarana minta ampun

dan berdoa minta sesuatu kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

17. Selametan wali


Selametan wali merupakan simbol upacara yang diselenggarakan oleh

suatu keluarga masyarakat Tengger bila mempunyai hajatan akan mengawinkan

anaknya. Selametan wali dilasanakan satu hari sebelum anaknya diijab-kabulkan,

baik oleh keluarga laki-laki maupun wanita. Kalau keluarga wanita, selametan

wali pada umumnya dilasanakan sebelum siraman. Upacara selametan wali ada

juga yang dilaksanakan bersamaan dengan upacara siraman calon penganten

wanita, yang diundang hanya kaum wanita. Upacara tersebut dalam kehidupan

masyarakat Jawa disebut upacara selametan walimahan.

Upacara selametan wali yang diselenggarakan masyarakat Tengger terjadi

karena pada saat Rara Anteng dikawinkan dengan Jaka Seger oleh Eyang Ki

Dhada Putih, kedua orang tuanya sebagai wali tidak datang. Sehingga
304

masyarakat Tengger bila akan mengawinkan anaknya harus melaksanakan

upacara selametan wali. Tujuannya agar dalam melaksanakan hajatan, seluruh

anggota keluarga, khusunya kedua penganten selamat, tidak ada halangan suatu

apa pun dan dapat menempuh kehidupan yang bahagia dan sejahtera. Hal

tersebut tampak pada data sebagai berikut:

Data F3.24

Jur ing kono Rara Anteng reraketan karo Hyang Jaka Seger. Ya dijak
mampir nang gubuke. Njur ditemokake karo Eyang Ki Dhadha Putih.
Disawang kok pada ngelairake daya katrisnan. Jur ing kono ditemokne,
dikawinake. Wong tuwane ora teka, yaiku ora ana waline. Ya eling den
pangiling, besok ning pagunungan kene sok sapa ngawina anake kudu
ana selametan wali gara resik bumi, masuk ing marang danyang banyu.
Jur ketemune Jaka Seger karo Rara Anteng wis katon rukun yaiku Hyang
Ki Dhadha Putih dipek aksaraning Jaka Seger karo Rara Anteng
digabungna dadi siji yaiku ketemune Jaka Seger karo Rara Anteng….

(Lalu di sana Rara Anteng berhubungan erat dengan Jaka Seger dan
diajak mampir di gubugnya. Lalu ditemukan dengan Eyang Ki Dhadha
Putih. Keduanya kelihatannya saling jatuh cinta, kemudian keduanya
dinikahkan. Orang tuanya tidak dating, jadi tidak ada walinya. Menjadi
pengingat, besok dipegunungan ini kalau menikahkan anaknya harus ada
selamatan wali gara bersih bumi, masuk di danyang air. Jaka Seger dan
Rara Anteng sudah kelihatan saling mencintai. Hyang Ki Dhada Putih
diambil aksaranya Jaka Seger dan Rara Anteng digabung menjadi satu,
yaitu bertemunya Jaka Seger dengan Rara Anteng ….) (WTT 1.31. 65—
130).
Data di atas (WTT 1.31. 65—130) menggambarkan Rara Anteng pada

saat dikawinkan dengan Jaka Seger, kedua orang tuanya tidak datang, sehingga

masyarakat Tengger bila mengadakan upacara perkawinan harus melakuan


305

upacara selametan wali agar seluruh anggota akeluarga, khusunya kedua

penganten selamat dan tidak ada halangan apa pun.

Data di atas (WTT 1.31. 65—130) merupakan lokusi. Ilokusinya atau

maksudnya adalah Jaka Seger diajak singgah di rumah Eyang Dhada Putih,

yang mengasuh Rara Anteng. Rara Anteng dan Jaka Seger sudah kelihatan

sangat akrab. Perlokusinya atau tindakan yang dilakukan Eyang Dhada Putih

adalah segera mengawinkan Rara Anteng dengan Jaka Seger. Kedua orang tua

penganten sebagai wali, tidak datang pada saat Rara Anteng dan Jaka Seger

dikawinkan. Oleh sebab itu, masyarakat Tengger bila mengawinkan anaknya

harus mengadakan upacara selametan wali.

Data di atas (WTT 1.31. 65—130) mengandung nilai budaya masyarakat

Tengger pada khususnya dan masyarakat Jawa pada umumnya, bila akan

mengawinkan anaknya harus melaksanakan upacara selametan wali atau

upacara walimahan.

18. Pangeran Dewa Kusuma

Pangeran Dewa Kusuma merupakan simbol seorang anak yang iklas

dikorbankan oleh kedua orang tuanya untuk dipersembahkan kepada Dewa

untuk memenuhi janjinya kepada Dewa. Pada saat Rara Anteng dan Jaka Seger

belum mempunyai anak, keduanya pergi ke puncak Gunun Bromo, bertapa


306

mplumah (tidur terlentang) selam setahun di atas Batu Kuta, tempat bertapanya

Dewi Muktrim, ibunya Rara Anteng. Doa Rara Anteng dan Jaka Seger diterima

Dewa, akan diberi keturunan dua puluh lima anak, dengan syarat salah satu

anaknya yang terakhir, diserahkan kepada Dewa, akan menjadi anah asuh

Dewa. Rara Anteng dan JAKA Seger menerima persyaratan tersebut.

Rara Anteng dan Jaka Seger sudah mendapat keturunan yang jumlahnya

dua puluh empat. Terakhir ia mengandung anaknya yang nomor dua puluh

lima. Kehamilannya sudah berumur sembila bulan. Keduanya segera pergi ke

puncak Gunung Bromo beserta kedua puluh empat anaknya. Setelah mereka

sampai di puncak Gunung Bromo, tiba-tiba Gunung Bromo meletus. Anak yang

masih ada dalam kandungan Rara Anteng tiba-tiba hilang. Semua saudaranya

dan ayah dan ibunya mencari anak tersebut, tetapi tidak ditemukan. Dari arah

kawah bekas letusan Gunung Bromo yang dikenal dengan nama Kawah

Candradimuka, tiba-tiba terdengar suara gaib, ada suaranya, tetapi tidak ada

wujudnya. Suara tersebut intinya berbunyi ia minta kepada ibunya agar

direlakan saja menjadi korban dosa-dosa saudaranya dimasukkan ke dalam

Kawah Sndradimuka. Ia juga minta kepada ibunya agar selalu diingat bahwa

setelah ia dikorbankan dimasukkan ke dalam Kawah Candradimuka akan

menjadi penyebab anak-cucunya bila menanam palawija akan subur dan dapat

menghasilkan buah yang banya, dapat hidup bahagia, adil, dan sejahtera, tidak
307

kekurangan pakaian dan makanan. Ia juga meminta di kawasan Kawah

Candradimuka ini dinakana Kawasan Panembahan Gunung Bromo. Ia

mempunyai permintaan kepada ibunya dan semua saudaranya agar setiap bulan

Kasada, tanggal lima belas dan enam belas, selalu mengadakan upacara Kasada.

Ia meminta kiriman secara iklas dengan membawa hasil tanaman palawija yang

terbaik sepikul. Desa Kusuma akan menjadi sinar bila di bumi ada mendung,

dan bila ada sinar pada saat mendung, dialah Dewa Kusuma. Hal tersebut

tampak pada data sebagaberikut:

Data F3.25
Wes lilakno reang ya dadi korban dosane dulure reang, sing plang sea
gorerne reang, sing nyangga cinuplung ning kawah Candradimuka kene
ya, Yung. Ning eling den pangeling, Yung.Ya sakorban reang jinegurna
ning kawah Candradimuka kene. Reang tansah dumadi lunga marang
sekabehing anak putu senadur palawija-palawiji, mandar bali subur
makmur, ripah, sugih, mara kembang betmelepet. Aja sampek kang
kurang disandhang kelawan dipangan. Aja sasing pengeran ana ing kang
Candradimuka kene iki julukana kawasan Penembahan Gunung Bromo,
ya Yung. Lilakna reang ning reang Yung duwe penjaluk karo sedulur
kang kabeh bisa yen ana Ulan-ulan Kesada tanggal limalas, nembelas,
padhang-padhange bulan Yung. Reang jaluk melarsi ya Yung kirimen
hasil tandur luwih palawijane. Takenteni ana ing Panembahan Gunung
Bromo kene ya Yung. Nek Bapa dukana gak ana alangane, reang jaluk
welas sakpikul ya Yung. Ya ngadapa ajur mudha karo reang ya Yung.
Dewa Kusuma nek ana mendung cahyane bumi minangka bokor, yen ana
cahyane mendung aku parupaning.
(Jadi namaku Dewa Kusuma. Terimakasih ya, ibu. Sudah relakan aku jadi
korban dosanya saudara-saudaraku. Aku akan masuk ke Kawah
Candradimuka sini, Ibu. Ingatlah, setelah ini senantiasa kembali
semuanya anak cucu menanam palawija dan kembali subur makmur. Saya
minta kalau bisa dibulan-bulan purnama tanggal lima belas enam belas,
308

saya meminta melarsi ya, Ibu. Kirimlah hasil bumi itu ke Gunung Brama
sini ya Ibu. Kalau ayah tidak marah, saya meminta asih sepikul. Dewa
Kusuma kalau ada mendung saya cahaya bumi. Kalau ada cahaya
mendung, itu adalah wajah saya) (WTT 1.32.95—125).
Data di atas merupakan bentuk lokusi. Ilokusinaya atau maksudnya

adalah Pangeran Dewa Kusuma ikhlas dikorbankan oleh kedua orang tuanya

untuk dipersembahkan kepada Dewa. Ia minta saudara-saudaranya setiap bulan

Kasa tanggal 15 dan 16 mengirim korban kepada Pangeran Dewa Kusuma

berupa hasil tanaman palawija yang terbaik untuk dilarung di kawah

Candradimuka.

Perlokusinya atau tindakan saudaranya dan anak keturunannya, sampai

sekarang setiap bulan Kasada, tanggal 15 dan 16 mengadakan upacara Kasada

sebagai simbol penghormatan kepada Pangeran Dewa Kusuma yang telah rela

dikorbankan oleh kedua orang tuanya kepada Dewa.

Data di atas mengandung nilai budaya masyarakat Tengger yang selalu

mengadakan upacara Kasada setiap bulan Kasada, tanggal 15 dan 16. Upacara

Kasada mengandung nilai budaya dan religi sebagai berikut: (1) sebagai bentuk

menjalankan permintaan Pangeran Dewa Kusuma agar saudara dan anak cucunya

melaksanakan upacara Kasada pada setiap bulan Kasada tanggal 15 dan 16,

karena tanggal tersebut sinar bulan sangat terang dan indah, (2) sebagai bentuk

penghormatan dan penghargaan kepada Pangeran Dewa Kusuma yang telah rela
309

berkorban demi kedua orang tuanya untuk memenuhi janjinya kepada Dewa

bahwa anaknya yang kedua puluh lima harus dikorbankan untuk Dewa, (3)

sebagai bentuk nilai gotong royong masyarakat Tengger pada khususnya dan

masyarakat pada umumnya untuk mempersiapkan secara bergotong royong

pelaksanaan upacara Kasada, (4) sebagai bentuk nilai sosial dan solidaritas

karena pada saat upacara Kasada tersebut mayoritas masyarakat Tengger pergi

bersma-sama ke tempat upacara Kasada dengan membawa berbagai jenis

makanan dan persembahan hasil tanaman palawija yang terbaik untuk

dipersembahkan kepada Pangeran Dewa Kusuma, (5) sebagai bentuk upacara

religi untuk berdoa dan meminta kepada Tuhan Yang Mahakuasa, agar dirinya,

keluarganya, masyarakat Tengger pada khusunya, dan masyarakat Indonesia

pada umumnya diberikan keselamatan, kedamaian, ketenangan, kebahagiaan,

tanamannya subur dan hasilnya berlimpah, dan (6) sebagai media pemberdayaan

dan meningkatkan ekonomi masyarakat karena pada saat upacara berlangsung

potensi ekonomi masyarakat sangat meningkat, melalui berbagai jenis menjual

jasa, seperti makanan dan minuman, jasa parkir, jasa angkutan mobil, sepeda,

dan kuda, jualan berbagai jenis suvernir, dan jasa penginapan, baik rumah

maupun hotel.

Upacara Kasada bukan hanya semata-mata peristiwa adat-istiadat dan religi

yang dilaksanakan masyarakat Tengger, tetapi sudah dikemas sebagai media


310

promosi Pariwisata di tingkat daerah maupun nasional, bahkan internasional.

Upacara Kasada merupakan upacara adat yang paling besar dan puncak dari

segala upacara adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Tengger. Upacara

Kasada juga menjadi salah satu sumber cerita lakon wayang topeng Tengger. Hal

tersebut sesuai pendapat dalang Ki Lebari sebagai berikut:

Data F 3. 26
Upacara Kasada merupakan upacara adat terbesar dan merupakan puncak
dari segala upacara adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Tengger yang
dilaksanakan setiap bulan Kasada, tanggal 15 dan 16 setiap tahun. Upacara
tersebut mengandung nilai budaya, nilai reli, nilai sosial, dan solidaritas
sosial karena hampir semua masyarakat Tengger berduyun-duyun menuju
ke tempat upacara Kasada dengan membawa berbagai macam makanan
yang enak-enak dan hasil tanaman palawija yang terbaik untuk
dipersembahkan kepada Pengeran Dewa Kusuma. Dalam upacara tersebut
yang hadir bukan hanya masyarakat Tengger, tetapi dihadiri oleh
masyarakat di sekitar Tengger, bahkan dihadiri oleh ribuan bahkan jutaan
masyarakat, baik sebagai turis domistik maupun turis asing. Pada saat
pelaksanaan upacara Kasada jalan menuju Bromo penuh, jalan saja susah,
semua jenis kendaraan tidak boleh. Jalan menuju Bromo penuh manusia
seperti semut, antriannya berkilo-kilo meter. Sejak Kecamatan Sukapura
jalan sudah macet berpuluh-puluh kilo meter (Wawancara tanggal 2
Pebruari 2018 di rumah dalang Ki Lebari, di Desa Wonokersa, Kecamatan
Sumber, Kabupaten Probolinggo).

19. HANACARAKA DATASAWALA PADHAJAYANYA


MAGABATHANGA

HANACARAKA DATASAWALA PADHAJAYANYA

MAGABATHANGA merupakan simbol peristiwa terjadinya perselisihan antara

dua utusan Aji Saka yang bernama Sembada dan Dora. Aji Saka mempunyai
311

pusaka menugaskan kepada Sembada agar menunggui pusakanya, tidak boleh

orang lain mengambil kecuali Aji Saka sendiri. Namun, suatu saat Aji Saka

menyuruh Dora untuk mengambil pusakanya, tetapi tidak memberi surat tugas,

sehingga Sembada menolak memberikan pusaka Aji Saka kepada Dora. Dora

sendiri bersikeras merebut pusaka Aji Saka. Keduanya saling berkelai, sama-

sama saktinya, dan keduanya meninggal.

Untuk memperingati peristiwa meninggalnya kedua utusan Aji Saka

tersebut, Aji Saka menciptakan huruf Jawa jumlahnya dua puluh huruf, yang

dikenal dengan huruf Jawa, yaitu HANA CARAKA DATA SAWALA PADHA

JAYANYA MAGA BATHANGA”. Artinya, ada dua utusan, keduanya saling

berkelai, keduanya sama-sama sakti, dan keduanya sama-sama meninggal. Kedua

puluh huruf Jawa tersebut juga menjadi simbol asal usul jumlah bulan dalam

setiap tahun, jumlah tahun dalam setiap windu, jumlah hari pasaran setiap

minggu, jumlah syarat penganten, jumlah isinya dunia, jumlah Tuhan Yang

Mahakuasa, dan asal usul serta kembalinya manusia dari alam gelap, ke alam

terang, dan kembali ke alam gelap lagi setelah mati. Hal tersebut tampak pada

data sebagai berikut:

Data F3.27

Aksara Jawa rong puluh cacahe ―HANACARAKA DATASAWALA


PADHAJAYANYA MAGABATHANGA”, hanacaraka tan ana titipan
mesti ana sing jupuk, padajayanya pada digdayane , magabathanga digdaya
kaya apa besuk manungsa yen diwenehi urip utang sing ora kena dinyang
312

mung siji pati mesti tumekane pati nyawiji ana ngarsane gusti , lha aksara
jawa rong puluh cacah e diwilang dijupuk wolu kari rolas sing rolas iku
dilungguhno ana tahun saben setahun mesti rolas ulan sing wolu
dilungguhake ana ing windu mesti saben sewindu wolung taun kari rolas,
rolas dijupuk pitu kari lima anji surupe sing lima dilungguhake ana ing
pasaran sing pitu iku lungguhe ana ing dina, ya Minggu, Senen, Selasa,
Rebo, Kemis, Jumuwah, Setu, sing lima Pon, Kliwon, Wage, Manis,
Pahing, lah kari pitu, pitu dijupuk telu kari papat, sing papat lunggune ana
keblate jagad Wetan, Kidul, Kulon, Lor, sing telu lungguhe ana kemanten
anane penganten lanang penganten wadon kudu ana waline yen ora ana
waline iku kurang sah kaya mangkono, lha kari telu, telu dijupuk siji kari
loro, lha sing loro lungguhe ana awan ana bengi ana lanang ana wadon ana
ala ana becik iki isine jagad raya lah kari siji panceren urip, siji dijupuk siji
nul, kok diarani nul asal usul e manungsa iki saka ing babagan mertapan
guwa garbane wong tuane wedok mertapa sangang ulang sepuluh dina
biyung enggan yaiku ngandung diewangi tapabrata memuji keselametane si
ponang jabang bayi jur ning kono tansah nyuwun keselametane bayi ing
mengko lahir , njur lair ana jero mertapan diarani bayi diarani ana ing
babagan lair yaiku dijuluki lare ngancik diwasa dijuluki wong dadi iku
jeneng ana telu cacahe kaya mangkono, siji dijupuk siji nul, lah asale saka
guwa padhang ora padhang peteng ora peteng ya mertapa ana ing dhateng
wongtuwa wedok akhire yen balik nang jaman kelanggengan ya mesti ana
ing guwa peteng kaya mangkono.
(Ya semeninggalnya kedua punakawanku, Ajisaka membuat Aksara Jawa
berjumlah dua puluh “HANACARAKA DATASAWALA
PADHAJAYANYA MAGABATHANGA”, yang artinya, hanacaraka ada
titipan yang harus diambil, padajayanya sama saktinya, magabathanga
keduanya sama-sama meninggal. Hla aksara jawa dua puluh ini dipisah
menjadi dua bagian yaitu dua belas dan delapan lalu yang dua belas
dijadikan jumlah bulan dalan setahun kalau delapan menjadi jumlah tahun
dalam satu windu. Dua belas diambil tujuh tinggal lima. Yang tujuh
berada dijumlah hari dalam seminggu, ya Minggu, Senin, Selasa, Rabu,
Kamis, Jum’at, dan Sabtu. Yang lima untuk pasaran dalam penanggalan
Pon, Kliwon, Wage, Manis, Pahing. Yang tujuh tadi diambil tiga tinggal
empat dan menjadi kiblat empat Timur, Barat, Utara, dan Selatan. Yang
tiga menjadi jumlah orang menikah satu temanten pria, satu temanten
putri, dan satu walinya yang mengesahkan. Tinggal tiga diambil satu
tinggal dua, yang dua menjadi isinya dunia. Ada siang ada malam, ada
baik ada buruk. Yang satu adalah tuhan yang maha esa. Satu diambil jadi
nol, asal-usulnya manusia itu dari rahim perempuan bertapa didalamnya
313

selama sembilan bula sepuluh hari ibu bertapa meminta keselamatan


anaknya yang nanti lahir. Filosofinya dari alam gelap menuju cerah dan
nantinya akan kembali ke kegelapan setelah mati) (WTT1.30.75—120).
Berdasarkan data tersebut (WTT1.30.75—120) secara filosofi Jawa, huruf

Jawa yang jumlahnya dua puluh, dibagi menjadi dua bagian yaitu dua belas

dandelapan. Dua belas dijadikan jumlah bulan dalam satu tahun. Delapan

menjadi jumlah tahun dalam satu Windu. Dua belas diambil tujuh tinggal lima.

Yang tujuh menjadi jumlah hari dalam seminggu, yaitu Senin, Selasa, Rabu,

Kamis, Jum‘at, Sabtu, dan Minggu. Yang lima menjadi jumlah pasaran dalam

penanggalan Jawa, yaitu Paing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi. Yang tujuh tadi

diambil tiga tinggal empat. Yang tiga menjadi jumlah syarat orang menikah,

yaitu satu temanten pria, satu temanten putri, dan satu walinya yang

mengesahkan pernikahan. Yang empat menjadi arah kiblat, yaitu Timur, Barat,

Utara, dan Selatan. Tinggal tiga diambil satu tinggal dua. Satu sebagai simbol

Tuhan Yang Mahakuasa. Yang dua menjadi simbol isinya dunia, yaitu ada siang

ada malam, ada baik ada buruk, ada ibu ada anak, ada sedih ada gembira. Satu

diambil satu menjadi nol, sebagai simbol asal-usulnya kehidupan manusia, dari

tidak ada, menjadi ada, dan menjadi tidak ada lagi. Manusia pertama hidup di

alam gelap, yaitu alam di kandungan ibu selama sembilan bulan sepuluh hari.

Kemudian lahir di alam padang, alam dunia yang penuh dengan noda dan dosa.

Kemudian mati dan hidup di alam gelap, yaitu di alam kubur. Secara simbolik
314

kehidupan manusia dimulai dari alam gelap, menuju ke alam padang, dan

kembali ke alam gelap lagi.

Data di atas (WTT1.30.75—120) merupakan bentuk lokusi. Ilokusinya atau

maksudnya adalah Aji Saka menciptakan huruf Jawa dua puluh merupakan

simbol dari peristiwa terjadinya peperangan antara dua utusan Aji Saka karena

kesalahan Aji Saka yang memerintah kedua utusannya, Sembada disuruh

menjaga pusakanya, tidak boleh diambil oleh siapa pun. Ternyata Aji Saka juga

menyuruh Dora untuk mengambil pusakanya, tanpa diberi surat keteranagan

bahwa Dora adalah betul-betul utusan Aja Saka untuk mengambil pusakanya

yang telah dijaga oleh Sembada.

Perlokusinya atau tindakam kedua utusan tersebut sama-sama

mempertahankan perintah Aji Saka. Sembada mempertahankan pusaka Aki Saka

dan tidak mau menyerahkan kepada Dora. Dora memaksa Sembada agar pusaka

Aji Saka diserahkan kepadanya karena ia disuruh oleh Aji Saka mengambil

puskanya. Akhirnya keduanya saling berselisih dan berperang, keduanya sama-

sama sakti, dan keduanya meninggal.

Data di atas (WTT1.30.75—120) mengandung nilai pendidikan dan

peringatan kepada masyarakat agar tidak memerintahkan kepada dua orang

kepercayaannya yang saling bertentangan tanpa adanya surat keterangan,


315

sehingga menimbulkan komunikasi yang keliru. Akhirnya mengakibatkan

terjadinya perselisihan dan peperangan yang mengakibatkan keduanya

meninggal.

20. Dewi Muktrim

Dewi Muktrim merupakan simbol wanita yang suci, yang bisa hamil dan

mempunyai anak tanpa harus berhubungan badan dengan seorang laki-laki. Dewi

Muktrim setelah gagal dilamar Bima karena Bima tidak bisa memenuhi

permintaannya membuatkan sumur di puncak Gunung Bromo yang harus selesai

satu malam. Kegagalan Bima karena pengkhianatan Dewi Muktrim yang

membuat strategi minta bantuan kepada para wanita di lereng Gunung

Pananggungan untuk bangun dan menumbuk lesung. Suara bunyi lesung

membangunkan ayam jantan dan betina dan saling berkokok sebagai tanda hari

sudah pagi, meskipun sebenarnya hari masih malam. Akhirnya Bima marah dan

tempurung yang dibuat menggali dan masih ada tanahnya dilembar, melayang di

angkasa, kemudian jatuh menjadi Gunung Batok.

Dewi Muktrim akhirnya melakukan tapa brata mplumah ( bertapa dengan

tidur terlentang) di atas Batu Kuta di puncak Gunung Bromo selama satu tahun.

Dewa akhirnya mengabulkan permohonan Dewi Muktrim dan hamil. Setelah

lahir anak tersebut berjenis kelamin wanita dan dalam keadaan diam saja, tidak

menangis seperti layaknya bayi yang lahir biasanya selalu menangis sebagai
316

simbol peneyesalan telah lahir ke dunia yang penuh dengan dosa. Anak tersebut

diberi nama Rara Anteng. Rara berarti anak wanita yang masih gadis. Anteng

berarti diam saja, tidak bergerah, dan tidak menangis. Hal tersebut dapat dilihat

pada data sebagai berikut:

Data F3.28
Dewi Muktrim gagal dadi bojone kakek Bima kepingin duwe anak tanpa
wong lanang yaiku nemoni empu Permadi pinuju gawe keris lemah
lempung putih dikepel kepel dadi keris sing nekseni siji bojone loro kucing
telu manuk perkutut papat jaran wong bebojowan yen tepak kuthanet ya
kadang gelis ndang kepenak ngingu manuk perkututyen ana katuranggane
ya gendhong nyenengna atine ngingu kucing sing sangga guna ya ndadhik
ake senenge ngingu jaran sing pliturane ringin kerung ya ndedhikke
senenge ing kono Dewi Muktrim jaluk tulung kepingin duwe anak tanpa
wong lanang yaiku dikongkon mertapa ana ing watu kutha melumah
suwene setahun jur ning kono hyang resi brahmana pinunggu lelaku
ngangkrang jagad kok ana bocah wadon ngelakoning mertapa melumah
apa sing dijaluk ya kepingi jaluk momongan jur ing kono disunahke
marang gusti banyu gaban putih kelakon bobot mbok Yayi Dewi Muktrim
jur wancine wis sangang ulan sepuluh dina karep lair ora ana kanca
kancane jur beldose kawah laire si ponang jabang bayi sempir didelok kok
lair wadon dijenengake RaraAnteng jur Rara Anteng iki mau wis dimong
saya suwe saya gedhe wis nganti remaja putri dititipna marang Hyange Ki
Dhadha (WTT1.31.40—60).
(Dewi Muktrim gagal menjadi istrinya Bima ingin punya anak laki-laki
lalu menemui empu Permadi yang membuat keris tanah liat dikepal-kepal
menjadi keris. Kalau ada katuranggan ya memelihara kucing yang sangga
buma ya menjadikan senangnya memelihara kuda. Dewi Muktrim meminta
anak laki-laki lalu diperintah untuk bertapa di batu kota selama satu tahun
lalu disitu resi brahmana mengelilngi dunia kok ada wanita yang bertapa
apa yang diminta ya ingin momongan lalu disitu diwujudkan oleh gusti air
gaban putih lalu mengandunglah Dewi Muktrim lalu saatnya sudah
sembilah bulan sepuluh hari dilihat kok lahir perempuan dinamakan Rara
Anteng. Rara Anten ini dibesarkan hingga dewasa lalu dititipan ke Hyang
Ki Dhada Putih (WTT 1.31. 105—120).
317

Data tersebut menguatkan bahwa Dewi Muktrim merupakan simbol

seorang wanita yang suci, bisa hamil dan mempunyai anak tanpa harus

berhubungan badan dengan seorang laki-laki karena melakukan tapa brata

mplumah di atas Batu Kuta, sebagai bentuk pelampiasan kekecewaannya karena

gagal kawin dengan Bima. Sebenarnya Dewi Mutrim juga mau di kawin oleh

Bima, tetapi takut karena kesaktian Bima yang luar biasa, mau takut, tidak mau

ya takut. Hal tersebuut juga merupakan simbol karakter wanita. Seorang wanita

Jawa pada jaman dulu, kalau dilamar seorang laki-laki pada umumnya diliputi

dengan perasaan ragu-ragu. Akan berkata mau berterus terang merasa takut dan

malu, tetapi dalam hatinya mau. Itulah sifat wanita Jawa pada masa lalu.

Peristiwa kehamilan Dewi Muktrim mempunyai kemiripan dengan cerita

Maryam. Maryam bisa hamil dan mempunyai anak yang bernama Isa, yang

kemudian menjadi nabi, meskipun tidak pernah berhubungan dengan seorang

laki-laki karena kekuasaan Tuhan Yang Mahakuasa. Kemiripan cerita Dewi

Muktrim dengan Maryam (1) keduanya sebagai simbol wanita yang cantik dan

suci, bisa hamil dan mempunyai anak tanpa berhubungan badan dengan laki-laki,

(2) keduanya sama-sama berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa, Dewi Muktrim

melalui tapa brata mplumah di Batu Kuta. Maryam beriktikaf di Mihrob di

dalam Kakbah, (3) keduanya melahirkan seorang anak yang sama-sama tidak
318

mempunyai ayah, tetapi menjadi orang yang sangat terpandang dan terkenal

sampai sekarang.

Data di atas merupakan bentuk lokusi. Ilokusinya atau maksudnya Dewi

Muktrim dilamar Bima merasa takut, mau menerima lamarannya takut, tidak

menerima lamarannya juga takut. Akhirnya ia bisa menerima lamaran Bima

dengan minta syarat agar dibuatkan sumur di puncak Gunung Bromo yang harus

selesai satu malam sebelum fajar terbit sebagai simbol hari sudah pagi.

Perlokusinya atau tindakan Dewi Muktrim melakukan pengkhianatan agar

pekerjaan Bima membuat sumur gagal dengan minta bantuan wanita di lereng

Gunung Pananggungan agar bangun dan menumbuk lesung. Bunyi lengsung

membangunkan ayam jantan dan betina dan saling berkokok bersautan sebagai

tanda hari sudah pagi.

Karakter orang tua biasanya akan menurun kepada anaknya. Karakter Dewi

Muktrim, sifat keraguan, dan apa yang dilakukannya ditiru oleh anaknya yang

bernama Rara Anteng. Pada saat Rara Anteng dilamar Bajak Sakti juga

mempunyai sifat ragu. Mau menerima dia sudah tua, jelek, dan kejam, mau

menolak takut dibunuh beserta anggota keluarganya. Akhirnya Rara Anteng

menerima lamaran Bajak Sakti dengan syarat bisa membuatkan lautan di puncak

Gunung Bromo yang harus selesai satu malam sebelum fajar menyingsing
319

sebagai tanda hari sudah pagi. Rara Anteng pun perkhianat untuk menggagalkan

pekerjaan Bajak Sakti dengan minta bantuan para wanita di lereng pegunaungan

Pananggungan agar bangun dan menumbuk lesung. Suara lesung membangunkan

ayam jantan dan betina, saling berkokok bersautan sebagai tanda hari sudah pagi.

Bajak Sakti marah,tempurung sebaga alat menggalai tanah dibuang ke angkasa,

kemudian jatuh tengkurup menjadi Gunung Batok.

21. Batu Kuta

Batu Kuta merupakan simbol tempat pertapaan mplumah (bertapa dengan

tidur terlentang) Dewi Muktrim pada saat berdoa dan minta anak kepada Dewa.

Akhirnya Dewa mengabulkan permohonannya, Dewi Muktrim hamil tanpa

berhubungan badan dengan seorang laki-laki, yang akhirnya melahirkan anaknya

yang diberi nama Rara Anteng. Pada saat Rara Anteng sudah berkuarga dengan

Jaka Seger tidak dikarunia anak. Rara Anteng dan Jaka Seger juga melakukan

tapa brata mplumah di Batu Kuta tempat pertapaan ibunya dahulu. Dewa juga

mengabulkan permintaan Rara Anteng dan Jaka Seger dan diberi keturunan dua

puluh lima anak, dengan perjanjian anaknya yang kedua puluh lima diserahkan

kepada Dewa untuk dijadikan anak asuh. Hal tersebut tampak pada data sebagai

berikut:
320

Data F3.29
Dewi Muktrim jaluk tulung kepingin duwe anak tanpa wong lanang yaiku
dikongkon mertapa ana ing watu kutha melumah suwene setahun jur ning
kono hyang resi brahmana pinunggu lelaku ngangkrang jagad kok ana
bocah wadon ngelakoning mertapa melumah apa sing dijaluk ya kepingi
jaluk momongan jur ing kono disunahke marang gusti banyu gaban putih
kelakon bobot mbok Yayi Dewi Muktrim jur wancine wis sangang ulan
sepuluh dina karep lair ora ana kanca kancane jur beldose kawah laire si
ponang jabang bayi sempir didelok kok lair wadon dijenengake
RaraAnteng jur Rara Anteng…. (WTT1.31.40—55).
Dewi Muktrim meminta anak laki-laki lalu diperintah untuk bertapa di batu
kota selama satu tahun lalu disitu resi brahmana mengelilngi dunia kok ada
wanita yang bertapa apa yang diminta ya ingin momongan lalu disitu
diwujudkan oleh gusti air gaban putih lalu mengandunglah Dewi Muktrim
lalu saatnya sudah sembilah bulan sepuluh hari dilihat kok lahir perempuan
dinamakan Rara Anteng…. (WTT 1.32.110—115).
………………………………………………………………………………
…….

Data F3.30
Jur rika dilakoni mertapa melumah ana ing watu kutha ing kono puncake
gunung ana suara ghaib suara maneng kaya mangkene.
(Lalu kamu bertapa dibatu kora puncaknya gunung ada suara gaib seperti
ini.)
Haey Jaka Seger lan Rara Anteng, gue tapa melumah setahun lawase
kepingin duwe turun cacahe selawe, ya bisa kelakon bisa kelakon ananging
besok yen sing lair pungkasan kudu dadi momongaku ya Jaka Seger lan
Rara Anteng
(He Jaka Seger dan Rara Anteng, Kamu bertapa setahun lamanya ingin
punya keturunan berjumlah dua puluh lima, ya bisa terjadi tapi besok yang
terakhir ketika lahir akan menjadi milikku) (WTT 1.32.25—40).
321

Kedua data di atas (WTT1.31.40—55) dan (WTT 1.32.25—40) semakin

memperkuat bahwa Batu Kuta sebagai simbol tempat tapa brata Dewi Muktrim

dan Rara Anteng. Karakter dan perilaku Dewi Muktrim ditiru oleh anaknya.

Untuk minta anak, mereka melakukan tapa brata di Batu Kuta di puncak Gunung

Brama, langsung minta kepada Dewa, tanpa melalui perantara dukun atau dokter

sebagaimana masyarakat sekarang. Masyarakat posmodern sekarang bila

meminta sesuatu, jabatan, pangkat, karier, jodih, dan rezeki, banyak yang lari ke

dukun, tidak langsung meminta kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

Data di atas (WTT1.31.40—55) merupakan lokusi. Ilokusinya atau

maksudnya adalah Dewi Muktrim gagal kawin dengan Bima karena karakternya

yang serba ragu dan melakukan pengkhianatan kepada Bima. Perlokusinya atau

tindakan yang dilakukan Dewi Muktrim adalah melakukan tapa brata mplumah

selama satu tahun di BATU Kuta di puncak Gunung Bromo.Akhirnya, Dewi

Muktrim dapat hamil tanpa berhubungan dengan laki-laki dan mempunyai anak

yang diberi nama Rara Anteng.

Data (WTT 1.32.25—40) juga merupakan lokusi. Ilokusinya atau

maksudnya adalah Jaka Seger dan Rara Anteng sudah lama berkeluarga, tetapi

belum punya anak. Perlokusinya, keduanya pergi ke puncak Gunung melakukan

tapa mplumah di atas batu kuta selama satu tahun untuk berdoa kepada Dewa

agar dikarunia anak 25 oang. Dewa mengabulkan permintaan Jaka Seger dan
322

Rara Anteng, dengan syarat anaknya yang ke-24 diberikan kepada Dewa

dijadikan anak asuhnya.

Data di atas mengandung nilai religi bahwa seseorang bila menginginkan

sesuatu, seperti pangkat, jabatan, rezeki, karier, jodoh, dan lain-lain hendaknya

langsung berdoa dan meminta kepada Tuhan Yang Mahakuasa, tidak melalui

perantara dukun. Meminta sesuatu kepada selain Tuhan Yang Mahakuasa bisa

termasuk musyrik.

22. Grumbul

Grumbul merupakan suatu tempat yang penuh dengan pepohonan, tempat

makhluk halus, seperti setan, jin, peri, dan gendruwo, sehingga tempat tersebut

menakutkan. Grumbul tersebut merupakan simbol tempat yang menakutkan,

tempatnya setan dan tempat bersembunyi arwah anak yang mengandung kala

yang akan menjadi makanan Bethara Kala. Arwah anak yang mengandung kala

telah dipindahkan oleh dalang ke tokoh mediator. Tokoh mediator tersebut

karena takut kepada Bethara Kala, maka mereka bersembunyi di tempat grumbul.

Bethara Kala mengetahui bahwa grumbul tersebut tempat bersembunyi tokoh

mediator. Grumbul tersebut di rusak oleh Bethara Kala agar tidak menjadi tempat

persembunyian tokoh mediator. Pepohonan yang ada dalam grumbul tersebut

terdiri atas beberapa tanaman seperti pohon tebu, jagung, pisang, kelapa, dan
323

padi. Pepohonan tersebut merupakan simbol kebutuhan dasar manusia. Hal

tersebut tampak pada data sebagai berikut:

F 3. 31
Iki ana grumbul, kanggo singitane ponang jabang bayi tak rusake. Lah iki
wit tebu minangka tebu, iki jagung, wite pala, sandhang pangane siponang
jabang bayi.
(Ini ada grumbul, tempat jabang bayi akan kurusak.ada pohon tebu, ini
jagung pohon pala makanan jabang bayi)
Heyek Sang Hyang Bethara Kala menika sampun ngangklang wonten
pelampahanipun Bapak Slamet Wijaya ganda kalian siponang jabang bayi
menika ketingal met peteng dhedhet limunan wontene dhusun Wanakersa.
Kocap cinarita menika Pak Slamet Wijaya kalian Ibu Slamet Wijaya.
Menika tansah tumungku tengkul saben dinten anggehinipun mikul pacul
dhateng tegal
parsebanipun...............................................................................
(Sang Hyang Bethara Kala sudah menuju ke Bapak Slamet Wijaya dengan
anaknya. Ini kelihatan gelap gulita ada di Desa Wanakersa. Menceritakan
Pak Slamet Wijaya dengan Ibu Slamet Wijaya. Setiap hari selalu memikul
cangkul ke ladang ............................................................ (WTT 4.34.0--
20).
Simbol grumbul tersebut di tanam di halaman, di depan panggung

pertunjukan wayang topeng Tengger, yang terdiri atas pohon tebu, pohon pisang,

jagung, padi, dan kelapa. Tanaman tersebut berupa pohon yang lunak agar bila

nanti dirusak Bethara Kala lebih mudah sampai rata tanah, sehingga tempatnya

menjadi terang dan tidak menjadi tempat persembunyian tokoh mediator yang

dititipi roh anak yang diruwat. Dengan hancurnya grumbul tersebut Bethara Kala

lebih mudah mencari tokoh mediator. Ke mana saja lari, Bethara Kala tahu dan
324

akan dikejar sampai tertangkap. Bila sudah ketangkap dibunuh sehingga tokoh

mdiator tersebut betul-betul mati dan segera di bawah ke atas panggung dittutup

jarit.

Adegan pertunjukan wayang topeng Tengger paling mencekam dan

menakutkan adalah adegan Bethara Kala merusak dan mencari tokoh mediator.

Mediator lari ke mana pun, bersembunyi di mana pun, walaupun sudah bercampur

dengan para penonton, Bethara Kala tahu di mana tokoh mediator bersembunyi.

Adegan kejar-kejaran Bethara Kala dan tokoh mediator tersebut betul-betul sangat

mencekam, menakutkan, menarik, dan sangat dramatik secara alamiyah. Pada saat

Bethara Kala menagkap dan membunuh tokoh mediator juga betul-betul bersifat

alamiayah, bukan dibuat-buat seperti dalam pertunjukan sandiwara atau film.

Karakter dan perilaku keras, bunyi pernapasan yang keras, dan liur yang selalu

keluar dari Bethara Kala secara alamiayah, bukan dibuat-buat. Data di atas (WTT

4.34.0--20) merupakan bentuk lokusi. Ilokusinya atau maksudnya adalah Bethara

Kala mengetahui ada gerunbul tempat persembunyian roh anak yang mengandung

kala. Perlokusinya Bethara Kala segera merusak grumbul tersebut agar tidak

menjadi tempat persembunyian tokoh mediator yang telah dititipi roh anak yang

mengandung kala.

Data tersebut mengadung nilai budaya bahwa bila seseorang mempunyai

anak yang mengandung kala agar segera diruwat agar tidak menjadi makanan
325

Bethara Kala. Kedua orang tua dan keluarganya juga tidak mempunyai

tanggungan lagi. Masyarakat Tengger bila mempunyai anak yang mengandung

kala, bila belum diruwat menjadi beban kedua orang tua dan keluarganya. Untuk

melaksanakan upacara ruwatan biayanya juga mahal, anatar Rp200.000.000—

Rp300.000.000. Oleh sebab itu, masyarakat Tengger yang tidak mampu, biasanya

melakukan upacara ruwatan secara patungan beberapa keluarga, sehingga

biayanya bisa ditanggung bersama.

Bagi keluarga yang mampu pelaksanaan upacara ruwatan dipadukan dengan

upacara memanggil roh nenek moyangnya. Pelaksanaan tiga hari, tiga malam dan

dilaksanakan di Balai Desa. Masyarakat pada umumnya menyumbang berupa

makanan atau barang kebutuhan pokok seperti beras, gula, minyak, dan

sebagainya. Setiap masyarakat yang menyumbang dicatat dan dianggap sebagai

hutang. Suatu saat bila ada masyarakat yang melakukan upacara ruwatan harus

mengembalikan minimal sama dengan barang yang pernah diterima, atau boleh

lebih (Wawancara dengan Slamet, tanggal 27 Pebruari 2018, di Desa Wanasari,

Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo).


326

23. Anjar Kala atau Bethara Kala

Anjar Kala atau Bethara Kala merupakan simbol raksasa yang sangat besar

dan menakutkan. Dalam mitos masyarakat Jawa, Bethara Kala adalah raksasa yang

sering makan bulan dan mataharai. Bila ada gerhana bulan, menurut kepercayaan

masyarakat Jawa bulannya dimakan Bethara Kala. Untuk mengusir Bethara Kala,

masyarakat Jawa sering melakukan kotekan lesung. Bunyi lesung sebagai media

mengusir Bethara Kala agar tidak memakan bulan. Demikian juga, bila ada

gerhana matahari, menurut kepercayaan masyarakat Jawa, matahari dimakan

bulan.

Dalam mitos masyarakat Jawa, Bethara Kala juga pemakan manusia. Bila

ada orang yang mempunyai anak ontang anting, pancuran diapit sendang, sedang

diapit pancuran, pandawa lima, dan lain-lain, akan menjadi makanan Bethara

Kala kalau tidak segera diruwat. Untuk menghindari agar anak tersebut tidak

menjadi makanan Bdthara Kala, maka anak tersebut menurut kepercayaan

masyarakat Tengger pada khususnya dan masyarakat Jawa pada umumnya, anak

tersebut haraus diruwat dengan menanggap wayang topeng Tengger bagi

masyarakat Tengger dan menanggap wayang kulit purwa bagi masyarakat Jawa.

Anjar Kala atau Bethara Kala juga merupakan simbol anak yang dilahirkan

dari hasil perkawinan Bethara Guru dan Naga Gini yang tidak sah karena

keduanya secara resmi belum melakukan pernikahan. Anjar Kala merupakan anak
327

hasil nafsu birahi Bethara Guru yang tidak bisa ditahan, pada sa Bethara Guru ke

Laut Selatan. Keduanya berjalan berduaan dengan mesra. Bethara Guru tidak

mampu menahan nafsu birahinya, sehingga mengeluarkan airmani dan langsung

masuk ke perut Naga Gini . Naga Gini menjadi hamil. Pada saat perjalanan ke

Laut Selatan, perut Naga Gini merasa sakit, akhirnya keluar kama di jalan. Kama

tersebut oleh Bethara Guru ditutupi daun jati.

Kama tersebut ditemukan oleh Antaboga, kakak Bethara Guru, jelmaan

Sang Hyang Punggung. Kama tersebut ditelan oelek Antaboga dan disemprotkan,

lalu menjadi anak kecil. Anak kecil tersebut mencari ayahnya. Oleh Antaboga

diberi tahu bahwa bahwa ayahnya adalah Bethara Guru yang ada di Kayangan

Jungring Saloka. Anak tersebut diantarkan oleh Antaboga ke Kayangan Junggring

Saloka. Pada awalnya Bethara Guru dan Naga Gini tidak mau mengakui sebagai

anaknya. Setelah dijelaskan oleh anak kecil tersebut bahwa ia diberi tahu oleh

Anta boga bahwa ayahnya adalah Bethara Guru dan Ibunya Naga Gini. Bethara

Guru akhirnya mengakui anak kecil tersebut sebagai anaknya. Ia akhirnya disuruh

mandi membersihkan badannya. Setelah mandi, anak tersebut diberi nama Kama

Kala. Kama Kala akan diakui sebagai anaknya, tetapi disuruh bertapa dulu di

Kayangan Ondar-Andir tempat pertapaan para Dewa. Kayangan Junggring Saloka

menjadi goncang karena ada anak yang bernama Kama Kala yang sedang bertapa.
328

Kama Kala dibuang ke Kawah Candradimuka oleh Bethara Narada dan

dilempari berbagai senjata sakti dari Kayangan Junggring Saloka. Kama Kala

tidak mati, justru semakin besar dan menjadi raksasa yang besar. Sejata kayangan

tersebut menjadi gigi dan taring Kama Kala. Kama Kali akhirnya pulang ke

Kayangan Jungring Saloka menemui ayah dan ibunya. Naga Gini terkejut dan

takut kedatangan raksasa yang sangat Besar dan segera memanggil suaminya.

Bethara Guru dan Naga Gini tidak mengakui sebagai anaknya. Setelah dijelaskan

bahwa ia adalah Kama Kala yang telah bertapa di Kayangan Ondar-Andir dan

telah bertemu dengan Bethara Narada. Bethara Guru dan Naga Gini, akhirnya mau

menerima Kama Kala sebagai anaknya. Kama Kala diberi nama Anjar Kala.

Anjar Kala merasa lapar, ia minta makanan kepada ayah dan ibunya.

Ayahnya hanya bisa memberikan makanana yang tidak nyeliliti anaknya, seperti:

1) Anak kecil menanam bambu kalau bambu itu sampai miring dan bambu
tadi salah satunya.

2) Kalau ada hari rabu legi Nak, ada orang bertiga jalan yang tengah tidak
mau minggir, lah anak yang tengah tadi.

3) Kalau ada orang mengasah di tengah pintu apa lagi hujan lebat sampai
petir.

4) Kalau ada orang menanam labu, lalu buahnya hanya satu, lalu kalau
sudah dimasak tidak dibagi dengan tetangga, yang makan labu

5) Kalau ada orang membangun rumah, belum sampai selesai juga belum
dipesankan ampik-ampi.
329

Anjar Kala meskipun sudah diberi banyak makanan oleh ayahnya, tetapi

tidak pernah merasa kenyah, masih selalu lapar, dan minta lagi. Bethara Guru

hanya memberi makanan itu saja. Selanjutnya Anjar Kala disuruh minta makanan

kepada ibunya. Anjar Kala segera pergi ke iunya dan minta makanan manusia.

Ibunya juga memberi banyak makanan manusia, tetapi Anjar Kala tidak pernah

merasa kenyang, selalu merasa lapar, tidak puas, dan selalu minta lagi. Makanan

manusia yang diberikan Naga Gini kepada Anjar Kala adalah:

1) Kalau ada anak lahir jumlahnya seperti pandawa atau berjumlah lima laki

atau perempuan.

2) Kalau ada orang memasak, dandangnya ditabrak hewan, ayam atau hewan

lainnya sampai tumpah nasinya, yang makan nasi tadi akan menjadi

makananmu Bethara Kala.

3) Sendhang kapit pancuran, pancuran kaapit sendang.


Anjar Kala atau Bethara Kala mekipun sudah deberi makanan oleh

ibunya, juga tidak pernah merasa puas, masih merasa lapar, dan selalu minta

lagi. Akhirny ibunya menyeuruh Bethara Kala segera turun keduania untuk

mencari makanan yang berupa manusia. Akan tetapi, ia disuruh bertapa dulu di

Puncak B 29, Randu Pitu, dan Randu Sanga. Gambaran keserakahan dan tidak

pernah merasa puas, dan kenyang walaupun sudah makan apa saja dan berapa

saja, tampak pada data sebagai berikut:


330

Data F3.32

Ngger yen ana arek cilik nandur tebu iki ora padha karo kancane, ...
(Nak, kalau ada anak kecil menanam tebu tidak sama dengan
temannya....)
Ngger yen ana bocah cilik nandur pring iku yen nganti pring mau nganti
tumiyung lan pring mau kang salah siji....
(Nak kalau ada anak kecil menanam bambu kalau bambu itu sampai
miring dan bambu tadi salah satunya ...)
Rama njaluk maneh.
(... Kanjeng Rama minta lagi.)
... Yen ana dina rebo legi Ngger, mlaku ana wong telu sing tengah ora
gelem ilen ilen, lah bocah sing mlaku ana ing tengah mau ...)
(... kalau ada hari rabu legi Nak, ada orang bertiga jalan yang tengah
tidak mau minggir, lah anak yang tengah tadi....)
......................................................................................................................
...
Lha nek ana wong asah-asah Ngger, ana asah-asah satengahe lawang apa
maneh udan deres nganti ana bledheg...
(Lah ada orang mengasah Nak, ada orang yang mengasah di tengah
pintu apa lagi hujan lebat sampai petir,...)
Kanjeng Rama njaluk maneh aku.
(... Kanjeng Rama aku minta lagi.)
Yen ana wong nandur waluh wohe mung siji Ngger, kathik yen wis
dimasak ora didum karo bala tangga, mula sing mangan waluh mau
Ngger,...
(Kalau ada orang menanam labu lalu buahnya hanya satu Nak, lalu
kalau sudah dimasak tidak dibagi dengan tetangga, dari situ yang makan
labu tadi Nak,....)
... lega sik kurang wareg, njaluk maneh Kanjeng Rama.
(... lega masih kurang kenyang, minta lagi Kanjeng Rama.)
Yen ana wong adhen-adhen omah, yen nganti durung mari uga durung
dipeseni ampik-ampik....
(Kalau ada orang membangun rumah, kalau belum sampai selesai juga
belum dipesankan ampik-ampik....)
Nah iki kaya kaya aku sik durung wareg lembengaku njaluk maneh
Kanjeng Rama njaluk maneh.
(Lah ini sepertinya aku belum kenyang perutku minta lagi Kanjeng Rama
minta lagi.)
331

Ngene Ngger Kanjeng Rama ora bakal menehi akeh akeh, saiki njaluka
ning Kanjeng Ibumu ya Ngger.
(Gini Nak Kanjeng Rama tidak akan memberikan banyak, sekarang minta
Kanjeng Ibumu ya Nak.)
Lah Kanjeng Ibu, aku njaluk pangan nang rika, Kanjeng Rama wis cukup
kari rika Kanjeng Ibu njaluk mangan njaluk mangan Kanjeng Ibu.
(Lah Kanjeng Ibu, aku minta makan, Kanjeng Rama sudah cukup tinggal
Kanjeng Ibu minta makan minta makan Kanjeng Ibu.)
Ngger Ibu mung bisa menehi titik wae marang kowe ya Ngger, mula yen
nganti ana yaiku bocah lair kimau cacah pandawa utawa cacah lima
Ngger utawa lanang lima utawa wadon lima kuwi diarani bocah
pandawamu yen ora diruwat kuwi dadi sandhang panganmu Ngger.
(Nak Ibu hanya bisa memberi sedikit saja kepadamu ya, Nak, jadi kalau
ada anak lahir jumlahnya seperti pandawa atau berjumlah lima Nak atau
laki lima atau perempuan lima itu dinamakan anak pandawamu kalau
tidak diruwat itu menjadi makananmu Nak.)
Laah hahahaha Kanjeng Rama Kanjeng Ibu aku kurang wareg njaluk
maneh aku njaluk maneh.
(Laah hahahaha Kanjeng Rama Kanjeng Ibu aku kurang kenyang minta
lagi aku minta lagi.)
Ngger yen ana wong adang, lha trus sablukane mau diterak kewan mbuh
pitik mbuh apa nganti kutah segane aja nganti dipangan yen nganti
dipangan sing mangan sega kuwi maeng bakal dadi sandhang panganmu
Ngger.
(Nak kalau ada orang adzan lah lalu sablukannya ditabrak hewan ayam
apa lainnya sampai tumpah nasinya itu jangan sampai dimakan kalau
sampai dimakan yang makan nasi tadi akan menjadi makananmu Nak.)
Laaah hahaha nggaa wareg wareg goronganmu ing njaluk tambah njaluk
tambah Kanjeng Ibu.
(Laaah hahaha tidak kenyang kenyang ini anakmu minta tambah minta
tambah Kanjeng Ibu.)
Ngger yen nganti ana bocah lair yaiku kang diarani sendhang kapit
pancuran kang diarana sendhang kalawadon lan pancang kuwi lanang
sendhang kapit pancuran kuwi wadon loro lanang siji kang manggana ing
tengah kuwi diarani sendhang kaping pancuran yen ora diruwat kuwi
bakal dadi sandhang panganmu Ngger.
(Nak kalau sampai ada anak lahir yaitu yang dinamakan sendhang kapit
pancuran misalnya anak perempuan dan pancangnya itu laki-laki
sendhang kapit pancuran itu dua perempuan dan satu laki-laki yang
332

bertempat di tengah itu dinamakan sendhang kapit pancuran kalau tidak


diruwat itu menjadi makananmu Nak.)
Laaah Kanjeng Ibu kurang jik kurang Kanjeng Ibu. Iya wis kaya kaya
wareg rasane bu.
(Laaah Kanjeng Ibu kurang masih kurang Kanjeng Ibu. Iya sudah
sepertinya kenyang rasanya bu.)
Ya Ngger yen kaya mangkana Ngger kowe wis enggal menyanga papan
panggonanmu ya Ngger.
(Ya Nak kalau begitu Nak kamu cepatlah berangkat ke tempatmu ya Nak.)
(WTT.2. 28.1-60).

Berdasarkan data di atas (WTT.2. 28.1-60) dapat disimpulkan bahwa

Anjar Kala merupakan anak yang tidak bisa menahan hawa nafsunya. Sifat

tersebut merupakan warisan dari ayahnya yang bernama Bethara Guru. Bethara

Guru adalah seorang Dewa yang tidak bisa menahan hawa nafsu birahinya pada

saat berjalan dengan Naga Gini ke Laut Selatan, yang kemudian keluar air

maninya dan langsung masuk ke perut Naga Gini sehingga Naga Gini hamil,

yang akhirmya kama, kemudian menjadi Anjar Kala.

Data di atas (WTT.2. 28.1-60) merupakan bentuk lokusi. Ilokusinya atau

makasudnya adalah Anjar Kala lapar dan minta makan kepada ayah dan ibunya.

Perlokusinya atau tindakan ayah dan ibunya memberi makan Anjar Kala

dengan berbagai jenis makanan manusia, tetapi ia juga tidak pernah puas,

merasa lapar terus, dan selalu minta lagi. Anjar Kala atau Bethara Kala

akhirnya disuruh ibunya segera turun kedunia, mencari makanan anak manusia

yang mengandung kala. Akan tetapi, ia disuruh bertapa dulu untuk mencari

ilmu di Puncak B 29, Randu Pitu, dan Randu Sanga.


333

Data di atas (WTT.2. 28.1-60) mengandung nilai pendidikan kepada

masyarakat agar bisa mengendalikan nafsu sahwatnya, nafsu makan, dan nafsu

yang bersifat keduniawian. Orang tua juga harus mempunyai sifat atau karakter

yang baik karena sifat atau karakter orang tua bis menurun kepada anaknya.

Kalau sifat orang tua baik, akan menurunkan sifat yang baik kepada anaknya.

Sebaliknya , bila sifat orang tua jelek, akan menurun sifat jelek kepada

anaknya. Dalam pepatah Jawa berbunyi, Kacang ora niggal lanjaran. Artinya,

sifat orang tua akan menurun kepada anaknya. Bila sifat orang tua baik, akan

menurunkan sifat baik kepada anaknya. Bila sifat orang tua jelek, akan

menurunkan sifat jelek kepada anaknya. Sifat anak, di samping faktor

keturunan, bisa juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan faktor lingkungan

sosial pengaruhnya sangat kuat terhadap pembentukan karakter seorang anak.

24. Naga Gini

Naga Gini merupakan simbol wanita yang mempunyai karakter yang

tidak baik, membiarkan hawa nafsunya, dan tidak bisa mendidik anaknya,

sehingga anaknya minta makanan manusia pun diberi, sehingga akan

membahayakan bagi kehidupan manusia. Oleh sebab itu, Naga Gini dicerai

oleh Bethara Guru dan diusir dari Kayangan Junggring Saloka serta disabda

menjadi Bethari Durga dan menjadi Ratunya makhluk halus. Hal tersebut

tampak pada data sebagai berikut:


334

Data F3.33
Nagagini Nagagini, ora nyana ra mangirakake sliramu iki takpundhut
garwa tak boyongning Kahyangan Jonggring Saloka namanira
NiniNagagini yaiku takganti jejuluk Dewi Reni keslamatane Dewi Reni
sliramu sipate wanita wedia marang barang kang ana wania barang kang
bener watakmu sing angkara murka iku mau kudu bisa ngelereni malah
malah saya sira umbar kaya mangkono, kakean gonmu menehi pangan
putramu Bathara Kala sampik semana kehe sampik semana kehe pun
Kakang ora nyarujuki marang sliramu tetep sliramu ngumbar hangkara
murka untung ora ana kawula kang mangerteni mindah ana mangerteni
wirang apa sing taksangka.
(Nagagini, Nagagini. Tidak menyangka tidak mengira kamu aku nikahi
dan ku ubah namamu dari Nagagini menjadi Dewi Reni. Kamu wanita
takutlah oleh kesalahan, beranilah dengan kebenaran. Watakmu yang
angkara murka itu harus tidak berhenti namun malah semakin
membesar. Terlalu banyak makanan yang kau berikan kepada Batara
Kala. Untung tidak ada hyang mengetahui, kalau ada maluku bukan
main.)
Nggih ngapunten kangmas mbok menawi kula kekathahen
marangtedhan dhateng putra kula kaki Bathara Kala nggih jennegan
kedah marangi pangapunten kalian kula, Kang Mas.
(Iya maaf kalau terlalu banyak yang aku berikan kepada Batara Kala.
Maaf, kang mas.)
Paring pangapura tangeh lamun menehi pangapura karo sliramu mula
mbok menawa gusti wis mancekna dinane iki kudu sepisan ning sliramu
karo panjenenganingsun tinggalna Kahyangan Jonggring Saloka moh
panjenenganingsun tetep mudhun garwa sliramu.
(Mustahil kalau memberi maaf kepadamu. Mungkin gusti sudah
memutuskan. Kau dan aku bercerai sekarang) (WTT.1.28.0--30).
Data tersebut (WTT.1.28.0—30) menggambarkan bahwa Bethara Guru

sangat marah kepada isterinya karena mempunyai karakter yang tidak baik,

tidak bisa menahan nafsunya, dan membiarkan anak minta makana manusia
335

pun diberi, sehingga akan merugikan bagi kehidupan manusia. Karena

karakter yang tidak baik, yang mengumbar hawa nafsunya, maka Naga Gini

dicerai dan diusir dara Kayangan Junggring Saloka turun ke dunia menjadi

Ratunya makhluk halus.

Data di atas (WTT.1.28.0—30) merupakan bentuk lokusi. Ilokusinya

atau maksudnya Bethara Guru sangat marah kepada isterinya karena

mempunyai karakter yang tidak baik, tidak bisa menahan nafsunya, dan

memberikan makanan kepada anaknya secara berlebihan dan melampui batas,

dengan memberikan makanan manusia. Hal tersebut akan sangat

membahayakan kehidupan manusia dan akan menghabiskan manusia di dunia.

Perlokusinya atau tindakan Naga Gini adalah meminta maaf kepada

Bethara Guru karena telah memberikan makanan manusia kepada Bethara

Kala secara berlebihan. Namun, Bethara Guru tidak bisa memaafkan Naga

Gini. Naga Gini tetap dicerai dan diusir dari Kayangan Junggring Saloka serta

menjadi Ratunya para makhluk halus.

Data di atas (WTT.1.28.0—30) mengandung nilai pendidikan kepada

orang tua pada umumnya dan seorang ibu pada khususnya agar bisa

mengendalikan nafsunya, bisa mendidik dan membimbinga anknya ke arah

jalan yang benar. Jangan nafsu anaknya dibiarkan berkembang, minta apa saja
336

diberi. Hal tersebut tidak baik bagi berkembangan jiwa anak. Bila seorang ibu

tidak bisa menahan nafsunya dan membiatrkan nafsu anaknya berkembang

tanpa dikenadalikan, akan bisa merugikan dirinya maupun orang lain.

Dalam kehidupan masyarakat, banyak terjadi orang kaya, para pejabat

yang sibuk mengejar karier, mengurusi orang lain, tetapi tidak bisa dan tidak

sempat mendidik dan membimbing anaknya sendiri ke jalan yang benar,

sehingga banyak anak orang kaya dan pejabat yang anaknya mempunyai

karakter yang tidak baik, orientasi hidupnya materi untuk kepentingan

duniawi semata, lupa memikirkan akhirat. Kehidupan sehari-hari sudah

terbiasa mewah, tidak kekurangan apa pun, tidak pernah hidup menderita,

tidak memperhtikn lingkungannya atau orang lain karena merasa bisa hidup

sendiri tanpa membutuhkan orang lain.

Kedua orang tuanya merasa bahwa anak bila sudah dicukupi semua

kebutuhan materinya dianggap sudah cukup, tetapi kurang mendapat perhatian

dan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Sebagai bentuk pelarian anak

tersebut banyak ke kehidupan malam, minum-minuman keras, berkelahi, dan

kecanduan narkoba. Oleg sebab itu, orang tua tidak boleh hanya mengejar

materi, jabatan, dan karier, tetapi kurang atau bahkan tidak memberikan

perhatian, kasih sayang, dan pendidikan kepada anak-anaknya. Anak-anak

yang karakternya tidak baik, terkena narkoba, dan menjadi gelandangan, pada
337

umumnya kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari kedua orang

tuanya.

25. Gemala Geni

Gembala Geni merupakan nama udeng Aji Saka yang mempunyai kesaktian

luar biasa. Meskipun kelihatan sempit yang hanya dipakai sebagai udeng

kepala Aji Saka, ternyata pada saat diberikan kepada Dewata Cengkar untuk

mengukur lebar tanah yang diminta Aji Saka, sebagai syarat dirinya menjadi

makanan Dewata Cengkar, udeng tersebut terus melebar tidak ada habis-

habisnya sampai di tepi Laut Selatan. Pada saat Dewata Cengkar berada di

tepi Laut Selatan, udeng udeng tersebut dikebutkan oleh Aji Saka, sehingga

Dewata Cengkar masuk ke Laut Selatan menjadi buaya putih. Gambaran

kesaktian udeng Aji Saka tersebut tampak pada data sebagai berikut:

Data F3.34

Saya yang salah. Dia saya suruh mengambil senjata pusaka, membawa
surat tetapi tanpa tanda tanganku. Sehingga Dora lan Sembada perkelai.
Kelak di tempat ini untuk mengenang kedua sahabatku. Supaya tidak
celaka di pegunungan ini harus ada selamatan untuk Prabu Dewata
Cengkar. Karena Dewata Cengkar dikalahkan oleh Ajisaka. Dia
tenggelam masuk Laut Selatan menjadi buaya putih. Kesaktiannya
dikalahkan oleh buaya. Dia memiliki sejata, Gumala Geni. Senjata yang
sangat sakti (WTT 3.38.0--10).

Data di atas (WTT 3.38.0--10) menggambarkan kesaktian udeng milik

Aji Saka yang mempunyai kesaktian luar biasa, yang kelihatannya semit,
338

tetapi lebarnya bisa menutupi bumi. Aji Saka bisa mengelabui Dewata

Cengkar. Dia hanya minta tanah selebar udengnya. Menurut pemikiran

Dewata Cengkar, tidak keberatan kalau hanya minta tanah selebar udeng Aji

Saka, maka Dewata Cengkar menyetujui permintaan Aji Saka. Ternyata

udeng Aji Saka bisa mengakibatkan terjatuhnya Dewata Cengkar ke Laut

Selatan dan menjadi buaya puti. Jatuhnya Dewata Cengkar ke Laut Selatan

juga merupakan simbol lenyapnya sifat keangkaramurkaan di bumi, sehingga

masyarakat bisa hidup tenang, dan damai, tidak merasa ketakutan lagi akan

menjadi makanan Dewata Cengkar.

Data di atas (WTT 3.38.0--10) merupakan lokusi. Ilokusinya atau

maksudnya adalah penyesalan Aji Saka atas kematian kedua sahabatnya,

karena kesalahannya. Dia telah menyuruh Sembada menjaga Gembala Geni

pusakanya, tetapi ia juga menyuruh Dora untuk mengambil pusakanya diberi

surat, tetapi tidak ditandatangani, sehingga mengakibatkan keduanya saling

bersitegang, berkelahi, dan keduanya meninggal.

Perlokusinya atau tindakan masyarakat Tengger saat ini sering

mengadakan upacara Selamatan aga masyarakat dapat selamat tidak ada

gangguan apa pun dan sebagai media berdoa dan meminta kepada Tuhan

Yang Mahakuasa agar masyarakat Tengger bisa hidup damai dan makmur,

tanaman palawijanya bisa subur dan hasilnya banyak.


339

Data di atas (WTT 3.38.0--10) mengandung peringatan atau nilai

pendidikan kepada masyarakat agar bila suatu saat minta kepada seseorang

untuk menunggu barang miliknya, kalau menyuruh orang lain untuk

mengambil barang tersebut, harus ada surat yang jelas dan ditandatangani,

sehingga tidak menimbulkan salah pengertian antara keduanya.

26. Entas-entas

Masyarakat Tengger dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari

upacara selametan, dari upacara daur hidup, seperti upacara kehamilan,

kelahiran, kematian, karo, unan-unan, dan upacara entas-entas. Upacara entas-

enntas merupakan simbul upacara memanggil dan menyucikan roh nenek

moyangnya beserta seluruh keluarganya yang sudah meninggal. Upacara

entas-entas merupakan upacara yang biasanya disatukan dengan upacara

ruwatan anak-anak yang mengandung kala. Waktu upacara entas-entas tidak

boleh diundur, tetapi boleh dimajukan dari waktu yang seharusnya dilakukan.

Waktu hari baik pelaksanaannya yang menentukan dukun desa. Gambaran

upacara ruwatan dan entas-entas tampak pada data sebagai berikut:

Data F3.35

Bapak Dhalang aku taktakon karo rika, rika kok kumawani ngruwat
usatenge kalangan?
(Bapak Dalang aku akan bertanya kepada Anda, Anda kok berani
meruwat seluruh kalangan?)
340

Ngene Bathara Kala, apa sebabe nganti aku wani ngruwat ana
satengahe kalangan merga ing kana wis jangkep ana sesajen lan pirang
tilih dandanan, ana dandanan tingkepan ana dandanan sayup ana
dandanane wong mulih uga ana dandane wong entas-entas, iki kabeh
minangka kanggo dandanan ruwatan sing diarani ngeruwat si ponang
jabang bayi ning kana ana cepel, cepel kagunane kanggo yaiku diiseni
banyu suci kanggo ngumbah utawa ngedusi si ponang jabang bayi.
(Gini Bathara Kala, apa sebabnya sampai aku berani meruwat di tengah-
tengah kalangan karena di sana sudah lengkap ada sajen dan banyak
pilih dandanan, ada dandanan tingkepan ada dandanan sayup ada
dandanannya orang yang pulang juga ada dandanannya orang ntas-ntas,
semua itu sebagai dandanan ruwatan yang dinamakan meruwat si
ponang jabang bayi di sana ada cepel, cepel kegunaannya untuk wadah
yang diisi oleh air suci untuk mencuci atau memandikan si ponang
jabang bayi) (WTT 2.38.15—30).

Upacara entas-entas dilaksanakan mendahului upacara ruwatan dan

dilaksanakan selama 7 hari, atau 9 hari, atau 11 hari. Lamanya waktu upacara

tergantung kepada kemampuan keluarga. Keluarga yang sederhana 7 hari, dan

keluarga yang mampu bisa 9 atau 11 hari. Dalam upacara tersebut seluruh

anggota masyarakat menyumbang secara gotong royong, ada yang membawa

berbagai jenis barang seperti kue, pisang, beras, gula, kelapa, minyak, dan mi.

Barang-barang yang dibawa oleh masyarakat tersebut dicatat oleh yang

mempunyai hajatan dan bila nanti ada anggota masyarakat yang mengadakan

upacara entas-entas, wajib mengembalikan minimal sama dengan yang

dibawa dulu atau boleh lebih. Ada juga masyarakat yang menyumbang berupa

uang. Jumlah barang yang dibawa tergantung kepada kemampuan masing-

masing anggota masyarakat. Upacara entas-entas ini merupakan upacara


341

keluarga yang terbesar setelah upacara Kasada. Upacara tersebut bisa juga

dilaksanakan secara berkelompok bagi masyarakat yang kurang mampu.

Semua tamu undangan atau yang tidak diundang akan datang, pesta siang

sampai malam. Berbagai jenis makanan dan minuman tersedia. Upacara entas-

entas yang dilaksanakan secara kelompok biasanya dilaksanakan di balai desa

karena pestanya secara besar-besaran. (Wawancara dengan Sutiono Kepala

Desa dan Sapayana Sekretaris Desa, tanggal 25 Pebruari 2018, di Balai Desa

Wonokerso).

Dalam upacara entas-entas ada berbagai jenis sajen, yang berupa: (1)

tumpeng putih (simbol arah Timur), tumpeng merah (simbol arah Selatan),

tumpeng kuning (simbol arah Barat), tumpeng hitam (simbol arah Utara), dan

tumpeng biru (simbol arah Tengah), lengkap dengan lauk-pauknya dan

ingkung, (2) makanan dan minuman sama dengan jenis makanan yang

disajikan kepada para tamu, seperti nasi, kue, jadah, jenang, apem, lemper,

pisang, dan minuman seperti fanta, sprait, dan aqua. Sesajen yang wajib

adalah juhadah dan pepes atau apem. (Wwancara dengan Mbok Kernayu,

tanggal 25 Pebruari 2018, di Balai Desa Wonokerso).

Ada juga boneka sebanyak anggota keluarga yang sudah meninggal

yang namanya seperti nama anggota keluarga yang meninggal. Namanya tidak

boleh salah atau lupa, bila salah atau lupa bisa ada akeluarganya yang gila
342

atau mati. Boneka tersebut dibuat dari daun alang, tlalok, kembang keningkir,

dan daun pampung. Boneka tersebut namanya Petra, dijajar ditepi tembok,

sedang di tengah penuh dengan sesajen yang berpa berbagai jenis makanan,

minuman, dan bunga. Boneka sebagai simbol roh nenek moyang dan seluruh

anggota keluarganya yang sudah meninggal tersebut dibawa ke Pure Sanggar

Pamujan di pagi hari terakhir pesta, setelah pada malamnya ada acara ruwatan

dengan pertujukan wayang topeng Tengger. Seluruh anggota keluarga

membawa boneka tersebut satu-satu di bawa ke makam. Semua boneka Petra

dibakar di Pure Sanggar Pamujan. Abunya di bawa pulang dan diletakkan di

darangan agar rezekinya banyak. Upacara di makam merupakan acara terakhir

sebagai penutup upacara entas-entas dan upacara ruwatan (Wawancara dengan

dukun desa Mulyono Hadi dan Sumartam, tanggal 25 Pabruari 2018, di Balai

Desa Wonokersa).

Data di atas (WTT 2.38.15—30) merupakan lokusi. Ilokusinya atau

maksudnya adalah Bethara Kala bertanya kepada dalang Ki Lebari, mengapa

sampai berani meruwat di tempat terbuka? Perlokusinya atau tindakan dalang

Ki Lebari menjawab karena semua sesajen sudah lengkap dan ia juga

keturunan dalang sejati, sehingga berani meruwat. Kalau sesajinya belum

lengkap, atau saya bukan dalang keturunan sejati, bisa mati atau anggota
343

keluarga saya. Sesaji yang menyiapkan orang khusus yang punya ilmu, Mbok

Kernayu.

Kelengkapan sesaji tersebut juga diperiksa oleh Bethara Kala, bila salah

satu jenis sesaji ada yang kurang, Bethara Kala bisa marah. Meja tempat sesaji

bisa dirusak. Oleh sebab itu, pada saat Bethara Kala memeriksa sesaji harus

didampingi oleh tiga sampai lima orang, agar bila Bethara Kala marah karena

ada sesaji yang kurang, segera bisa diatasi. Bila ada sesaji yang kurang bisa

diganti dengan uang, diberikan ke Bethara Kala dengan diselipkan di salah

satu pakaiannya. Kejadian tersebut pernah terjadi pada saat pertunjukan

wayang topeng Tengger di Desa Wonosari, tempat keluarga Rahmat.

Sesajinya kurang rokok, Bethara Kala marah karena dukunnya tidak siap

uang, sehingga Bethara Kala marah. Setelah diganti uang, kemarahan Bethara

Kala bisa reda.

Data di atas (WTT 2.38.15—30) mengandung nilai mistik bahwa setiap

upacara ruwatan dengan menanggap wayang topeng Tengger, sesajinya tidak

boleh ada yang kurang, bila ada yang kurang Bethara Kala bisa marah. Di

samping itu, juga sebagai peringatan bagi masyarakat bahwa bila bukan

dalang keturunan jangan menjadi dalang ruwat, bisa mati atau anggota

keluarganya. Tidak semua orang bisa menjadi dalang ruwat, bila tidak

keturunan dalang. Bila bukan dalang keturunan, bila meruwat, dalang bisa
344

mati atau anggota keluarganya. Oleh sebab itu, sampai saat ini di Tengger

hanya ada dua dalang ruwat, yaitu dalang Ki Lebari dan Ki Sutomo. Namun,

yang paling laris adalah dalang Ki Lebari (Wawancara dengan Ki Lebari,

tanggal 27 Pebruari 2018, di rumahnya).


345

BAB V
DISKUSI HASIL PENELITIAN

Dalam Bab V ini dibahas diskusi hasil penelitian yang mencakup (1)

diskusi teori, (2) diskusi temuan hasil penelitian , dan (3) proposisi.

A. Diskusi Teori

Diskusi teori yang dibicarakan dalam Bab V ini merupakan teori yang

digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini, yang mencakup teori antropologi

sastra, pragmatik, semiotik, nilai etnik atau nilai budaya, dan konsep wayang.

Kelima teori tersebut dibicarakan satu per satu sebagai berikut:

1. Antropologi Sastra

Antropologi merupakan disiplin ilmu yang membicarakan manusia dan

budayanya. Ilmu antropologi banyak berhubungan dengan disiplin ilmu lain,

seperti ilmu budaya, ilmu linguistik, dan ilmu sastra. Ilmu antropologi

berhubungan erat dengan budaya, sehingga membentuk disiplin ilmu baru

antropologi budaya.

Ilmu antropologi berhubungan erat dengan ilmu linguistik karena dalam

mempelajari antropologi memerlukan bahasa sebagai media mendeskripsikan

benda-benda atau budaya suatu masyarakat. Hubungan antara ilmu antropologi

dengan ilmu linguistik membentuk disiplin ilmu baru yang dikenal dengan

antropologi linguistik.
346

Ilmu antropologi berhubungan dengan ilmu satra, sehingga membentuk

disiplin ilmu baru antropologi sastra. Antroplogi sastra di Indonesia merupakan

salah satu disiplin ilmu baru yang belum banyak dikembangkan di Indonesia.

Namun, saat ini para pakar peneliti sastra sudah mulai berminat untuk

mengembangkan penelitiannya dengan menggunakan pendekatan antropologi

sastra. Penelitian sastra yang menggunakan pendekatan antropologi dikenal

dengan pendekatan antropologi sastra. Peneliti dan pakar sastra yang saat ini

sedang mengembangkan antropologi sastra adalah Endraswara.

Menurut Endraswara, (2013, p. 3) antropologi sastra termasuh disiplin ilmu

humaniora yang bersifat multidisiplin dan lintas budaya, yang mempelajari sikap

dan perilaku manusia. Sikap dan perilaku manusia ada yang baik, ada yang buruk

yang digambarkan dalam karya sastra secara simbolik merupakan refleksi dari

sifat manusia.

Karya sastra merupakan hasil ekspresi pengarang yang menggambarkan

kehidupan masyarakat tertentu, sehingga dapat merefleksikan kehidupan suatu

masyarakat dan identitas suatu masyarakat tertentu, seperti masyarakat Jawa,

Sunda, Bali, Tengger. Karya sastra juga dapat merefleksikan adat istiadat, sistem

kepercayaan, sistem relegi, dan sistem social masyarakat terstentu, sehingga

karya sastra dapat diteliti melalui pendekatan antropologi sastra.


347

Objek penelitian antropologi sastra mencakup (1) budaya pengarang yang

difokuskan kepada budaya pengarangnya, (2) teks sastra yang difokuskan kepada

sosiobudaya masyarakat yang terefleksikan di dalam teks sastra, seperti sistem

budaya, sistem relegi, sistem kepecayaan, dan sistem sosial masyarakat tertentu,

dan (3) antropologi pembaca yang difokuskan kepada diarahkan kepada

tanggapan pembacat terhadap karya sastra. Penelitian karya sastra dengan

pendekatan antropologi sastra dapat memperkaya khasanah pendekatan

penelitian karya sastra, yang selama ini lebih banyak difokuskan pada

pendekatan struktural dan pendekatan sosiologi sastra.

Pendekatan struktural sastra dapat diarahkan kepada salah satu unsur karya

sastra dan ditinjau secara antropologi sastra, seperti aspek adat istiadat yang

terefleksikan dalam karya sastra. Pendektan sosiologi sastra dapat difokuskan

pada fenomena sosial budaya masyarakat yang terefleksikan ke dalam karya

sastra, seperti adat-istiadat, sistem kepercayaan, mistik, dan nilai eknik, simbolik,

prakmatik, upacara selamatan, dan ruwatan (Endraswara, 2013, p. 19 dan 86).

Penelitian antropologi sastra lisan tetap menfokuskan pada sosial budaya

yang ada dalam teks satra lisan, akan menemukan berbagai pengetahuan, seperti

pemikiran kelompok etnis masyarakat tertentu, pola kehidupan masyarakat

tertentu, sistem kepercayaan masyarakat tertentu, sistem budaya masyarakat

tertentu, dan keanegaragaman budaya masyarakat (Endraswara, 2018: p.128).


348

Menurut Endraswara, (2018: p. 300) pertunjuknan wayang merupakan

budaya atau tradisi lisan yang bercerita tentang kejadian masa lampau yang

dialami oleh tokoh-tokoh pewayangan. Cerita dalam pewayangan merupakan

refleksi dari kejadian yang dialamai manusia nyata. Dalam cerita tersebut

mengandung contoh-contoh sikap dan perilaku tokoh-tokh pewayangan yang

dapat dijadikan media pendidikan bagi masyarakat.

Dalam cerita wayang topeng Tengger ada kejadian yang dianggap benar-

benar terjadi pada masa lampau oleh masyarakat Tengger. Seperti cerita yang

terkait dengan tokoh Rara Anteng, Jaka Seger, Pangeran Kusuma, dan Bethara

Kala. Masyarakat Tengger percaya dan mengakui bahwa mereka adalah anak

keturunan Rara Anteng dan Jaka Seger, sehingga setiap bulan Kasada tanggal 15

dan 16 sampai sekarang masih mengadakan upacara Pamujan atau Kasada

sebagai bentuk penghormatan dan mengirim hasil palawija yang terbaik untuk di

larung ke Kawah Candradimuka di Puncak Gunung Bromo.

Dalam pertunjukan wayang mengandung berbagai nilai budaya, etika,

moral, dan mistik yang terkait dengan kehidupan dan kpercayaan masyarakat,

yang dapat menjadi objek kajian antropologi sastra. Pertunjukan wayang topeng

Tengger penuh dengan mistik yang berhubungan dengan kepercayaan dan hal-hal

yang gaib, seperti kepercayaan terhadap tokoh Bethara Kala yang mendiami

Puncak B 29. Setiap pertujukan wayang topeng Tengger lakon Behara Guru
349

Krama, dalang Ki Lebari memanggil roh Bethara Kala dan masuk ke tokoh

Bethara Kala. Kepercayaan masyarakat Tengger terhadap keberadaan dewa-dewa

Wisnu, Dewa Brahma, Dewa Narada, dan Dewa Nyamadipati, keberadaan

Bathara Kala yang makan anak manusia yang mengandung kala yang harus

diruwat agar tidak dimakan Bethara Kala, seperti anak ontang-anting, anak

sedang kaapit pancuran, anak pancuran kaapit sendang, para penonton Wayang

topeng Tengger pada saat kegiatan meruwat tidak boleh ada penonton yang

pulang, agar selamat. Bila melanggar akan celaka. Agar penonton selamat, maka

para penonton harus layat dulu, dan dibersihkan dengan air suci dari tujuh agar

kalanya hilang.

Pandangan Endraswara tersebut diperkuat dengan pendapat Geertz (2017,

p.3) bahwa masyarakat Jawa pada umumnya mempunyai tradisi atau adat-istiadat

melakukan upacara slametan atau kenduren. Kehidupan masyarakat Jawa pada

umumnya dan masyarakat dunnia tidak bias lepas dari upacara slametan. Upacara

slametan merupakan salah satu bentuk upacara relegi atau keagamaan. Upacara

slametan bersifat mistik dan masal yang melibatkan mayoitas anggota keluarga,

saudara, tetangga, dan teman sejawat

Budaya slametan merupakan salah satu bentuk budaya masyarakat pada

umumnya yang bertujuan sebagai bentuk penghormatan dan persembahan

kepada roh anggota keluarganya yang sudah meninggal yang bersifat


350

kekeluargaan, sosial, dan kebersamaan. Budaya slametan merupakan budaya

yang sangat umum yang banyak dilakukan oleh masyarakat, bukan hanya

masyarakat Jawa, masyarakat Tengger juga banyak melakukan upacara slametan

yang terkait dengan upacara daur hidup, seperti slametan kehamilan, slametan

kelahiran, slametan tugel kuncung, slametan tugel gombak, slametan sunatan,

slametan perkawinan, slametan kematian, slametan mendidirkan rumah, dan

slametan menempati rumah. Slametan yang terkait dengan desa, upacara Karo,

upacara Unan-unan, upacara Barian, dan upacara Pujan atau Kasada. Upacara

yang paling besar dan meriah yang dilaksanakan masyarakat Tengger adalah

upacara pujan atau Kasda.

Upacara slametan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa pada umumnya

dan yang dilakukan oleh masyarakat Tengger banyak kemiripannnya, meskipun

masing-masing mempunyai karakteristik, seperti upacara ruwatan. Perbedaannya

yang mencolok adalah media ruwatan. Dalam masyarakat Jawa upacara ruwatan

menggunakan media pertunjukan wayang kulit purwa. Upacara ruwatan

masyarakat Tengger menggunakan media wayang topeng Tengger. Upacara

ruwatan masyarakat Tengger yang paling khas, sangat mistik, dan menakutkan

adalah adanya tokoh Bethara Kala yang hadir secara fisik dan membunuh tokoh

mediator yang ditiipi roh anak yang diruwat.


351

Teori Endraswara dan Geertz tersebut sesuai dengan kepercayaan

masyarakat Jawa dan masyarakat Tengger yang sering mengadakan upacara

slametan yang terkait dengan upacara daur hidup atau upacara keluarga, upacara

yang terkait dengan upacara slametan desa. Masyarakat Tengger mengakui dan

menghormati tokoh-tokoh keramat, seperti Dewi Mutrim, Joko Seger, Rara

Anteng, Bethara Kala, Raden Kusuma, Maha Meru, dan dukun. Masyarakat

Tengger setiap desa memiliki dukun yang bertugas memimpin semua bentuk

upacara mistik yang terjadi di Desa. Masyarakat Jawa juga mempunyai

kepercayaan dan mengormati tokoh-tokoh keramat, seperti wali sanga,

Masyarakat Jawa dan masyarakat Tengger yang beragama Hindu masih

bercaya mitos penciptaan alam dan manusia, bahwa pencipta alam adalah Dewa

Brahma, pencipta manusia adalah Dewa Wisnu. Percaya pada kematian dan alam

baka, sehingga sering mengadakan upacara slametan. Masyarakat Jawa sering

melaksanakan upacara nelung dina, mitung dina, empat puluh hari, nyatus,

mendak, dan nyewu. Masyarakat Tengger sering melaksanakan upacara entas-

entas 7 hari, atai 9 hari, atau 11 hari (dipilih salah satu). Meskipun nama dan

caranya yang berbeda, upacara yang terkait dengan kematian tersebut

mengandung tujuan dan makna yang sama, yaitu menghormati dan mem-

ndoakan kepada para arwah nenek moyang dan anggota keluarganya yang telah
352

meninggal. Secara singkat teori Endraswara dan Geertz dapat dilihat pada tabel 1

sebagai berikut:

Tabel 1
Teori Antropologi Sastra

No. Nama Pakar Teori/Konsep


1. Endraswara 1. Antropologi sastra termasuh disiplin ilmu
humaniora yang bersifat multidisiplin dan
lintas budaya, yang mempelajari sikap dan
perilaku manusia. Sikap dan perilaku
manusia ada yang baik, ada yang buruk
yang digambarkan dalam karya sastra
secara simbolik merupakan refleksi dari
sifat manusia.
2. Objek penelitian antropologi sastra
mencakup (1) budaya pengarang yang
difokuskan kepada budaya pengarangnya,
(2) teks sastra yang difokuskan kepada
sosiobudaya masyarakat yang terefleksikan
di dalam teks sastra, seperti sistem budaya,
sistem relegi, sistem kepecayaan, dan sistem
sosial masyarakat tertentu, dan (3)
antropologi pembaca yang difokuskan
kepada diarahkan kepada tanggapan
pembacat terhadap karya sastra. Penelitian
karya sastra dengan pendekatan antropologi
sastra dapat memperkaya khasanah
pendekatan penelitian karya sastra, yang
selama ini lebih banyak difokuskan pada
pendekatan struktural dan pendekatan
sosiologi sastra.
3. Penelitian antropologi sastra lisan tetap
menfokuskan pada sosial budaya yang ada
dalam teks satra lisan, akan menemukan
353

No. Nama Pakar Teori/Konsep


berbagai pengetahuan, seperti pemikiran
kelompok etnis masyarakat tertentu, pola
kehidupan masyarakat tertentu, sistem
kepercayaan masyarakat tertentu, sistem
budaya masyarakat tertentu, dan
keanegaragaman budaya masyarakat.
4. Pertunjuknan wayang merupakan budaya
atau tradisi lisan yang bercerita tentang
kejadian masa lampau yang dialami oleh
tokoh-tokoh pewayangan. Cerita dalam
pewayangan merupakan refleksi dari
kejadian yang dialamai manusia nyata.
Dalam cerita tersebut mengandung contoh-
contoh sikap dan perilaku tokoh-tokh
pewayangan yang dapat dijadikan media
pendidikan bagi masyarakat.
5. Dalam cerita wayang topeng Tengger ada
kejadian yang dianggap benar-benar terjadi
pada masa lampau oleh masyarakat
Tengger. Seperti cerita yang terkait dengan
tokoh Rara Anteng, Jaka Seger, Pangeran
Kusuma, dan Bethara Kala. Masyarakat
Tengger percaya dan mengakui bahwa
mereka adalah anak keturunan Rara Anteng
dan Jaka Seger, sehingga setiap bulan
Kasada tanggal 15 dan 16 sampai sekarang
masih mengadakan upacara Pamujan atau
Kasada sebagai bentuk penghormatan dan
mengirim hasil palawija yang terbaik untuk
di larung ke Kawah Candradimuka di
Puncak Gunung Bromo.
6. Dalam pertunjukan wayang mengandung
berbagai nilai budaya, etika, moral, dan
mistik yang terkait dengan kehidupan dan
kpercayaan masyarakat, yang dapat menjadi
objek kajian antropologi sastra.
2. Geertz 1. Masyarakat Jawa pada umumnya
354

No. Nama Pakar Teori/Konsep


mempunyai tradisi atau adat-istiadat
melakukan upacara slametan atau
kenduren. Kehidupan masyarakat Jawa
pada umumnya dan masyarakat dunnia
tidak bias lepas dari upacara slametan.
Upacara slametan merupakan salah satu
bentuk upacara relegi atau keagamaan.
Upacara slametan bersifat mistik dan masal
yang melibatkan mayoitas anggota
keluarga, saudara, tetangga, dan teman
sejawat
2. Budaya slametan merupakan salah satu
bentuk budaya masyarakat pada umumnya
yang bertujuan sebagai bentuk
penghormatan dan persembahan kepada roh
anggota keluarganya yang sudah meninggal
yang bersifat kekeluargaan, sosial, dan
kebersamaan. Budaya slametan merupakan
budaya yang sangat umum yang banyak
dilakukan oleh masyarakat, bukan hanya
masyarakat Jawa, masyarakat Tengger juga
banyak melakukan upacara slametan yang
terkait dengan upacara daur hidup, seperti
slametan kehamilan, slametan kelahiran,
slametan tugel kuncung, slametan tugel
gombak, slametan sunatan, slametan
perkawinan, slametan kematian, slametan
mendidirkan rumah, dan slametan
menempati rumah. Slametan yang terkait
dengan desa, upacara Karo, upacara Unan-
unan, upacara Barian, dan upacara Pujan
atau Kasada. Upacara yang paling besar
dan meriah yang dilaksanakan masyarakat
Tengger adalah upacara pujan atau Kasda.
3. Upacara slametan yang dilakukan oleh
masyarakat Jawa pada umumnya dan yang
dilakukan oleh masyarakat Tengger banyak
kemiripannnya, meskipun masing-masing
355

No. Nama Pakar Teori/Konsep


mempunyai karakteristik, seperti upacara
ruwatan. Perbedaannya yang mencolok
adalah media ruwatan. Dalam masyarakat
Jawa upacara ruwatan menggunakan media
pertunjukan wayang kulit purwa. Upacara
ruwatan masyarakat Tengger menggunakan
media wayang topeng Tengger. Upacara
ruwatan masyarakat Tengger yang paling
khas, sangat mistik, dan menakutkan adalah
adanya tokoh Bethara Kala yang hadir
secara fisik dan membunuh tokoh mediator
yang ditiipi roh anak yang diruwat.

2. Pragmatik

Bahasa memegang peranan yang sangat penting dalam proses komunikasi

karena dalam proses komunikasi menggunakan Bahasa sebagai medianya

yang paling praktis dan komunikatif. Salah satu cabang ilmu bahasa yang

mempelajari bahasa sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan maksud

atau tujuan sesuai dengan konteks di tempat berkomunikasi. Penutur

menyampaikan tujuan atau maksud kepada lawan tutur. Lawan tutur berusaha

memahami maksud yang disampaikan penutur sesui dengan konteks. makna

yang disampaikan oleh penutur yang terkait dengan konteks. Dalam proses

berkomunikasi penutur menggunakan bahasa sebagai tanda, lawan tutur

berusaha menangkap makna tanda yang disampaikan oleh penutur. Dalam


356

memahami makna tanda dipengaruhi oleh tempat, budaya, dan situasi pada

saat proses komunikasi berlangsung.

Menurut Chaer dan Agustina (2004, p.56-57) pragmatik adalah suatu

ilmu yang mempelajari lambang beserta proses interpretasinya untuk

menemukan maknanya berdasarkan interpretasi pendengarnya atau lawan

tuturnya. Lambang dapat berupa kata, frase, dan kalimat atau wacana yang

mengandung makna berdasarkan penafsiran petuturnya.d Pragmati

mempunyai kesamaan dengan semantic, yaitu sama-sama mempejari makna.

Perbedaannya, pragmatic mempelajari makna berdasarkan konteks. Semantic

mempelajari makna berdasarkan hubungan antara tanda dengan objeknya.

Pendapat Chaer dan Agustina tersebut diperkuat dengan pendapat

Wijana (2017, p.29) bahwa dalam proses komunikasi setiap manusia akan

dipengaruhi oleh karakter, status sosial budaya, umur, dan lingkungan. Lawan

tutur dalam memahami makna tanda bahasa yang digunakan juga dipengaruhi

oleh karakter, budaya, umur, dan lingkungan atau konteks. Dalam proses

komunikasi, antara pragmatik, tindak tutur, budaya, dan kontek saling terkait

dan tidak bisa dipisahkan karena komunikasi merupakan sistem budaya.

Dalam penggunaan kata sapaan pun terikat pada etika, umur, budaya, dan

status sosial seseorang. Contoh seseorang yang umurnya lebih tua dari pada

lawan bicaranya, status sosialnya lebih tinggi daripada lawan bicaranya, maka
357

bila menyapa atau memanggil lawan bicaranya bisa menngunakan kata kamu

atau saudara, tidak mungkin menggunakan kata Bapak atau Tuan. Sebaliknya,

seseorang yang umurnya lebih muda dari pada lawan bicaranya, status

sosialnya lebih rendah daripada lawan bicaranya, maka bila menyapa atau

memanggil lawan bicaranya bisa menngunakan kata Bapak atau Tuan, tidak

mungkin menggunakan kata kamu.

Kedua teori di atas diperkuat dengan pendapat Cutting (2002,p.3) bahwa

dalam proses pengambilan makna tanda bahasa dalam komunikasi terkait

dengan konteks. Konteks dibagi menjadi tiga jenis, yaitu konteks situasional,

konteks epistemik, konteks epistemik ada dua, yaitu epistemik umum dan

epistemik khusus. (3) konteks ko-tekstual.

Menurut Cutting (2002, p. 3) dalam berkomunikasi tidak hanya terikat

dengan konteks, tetapi memerlukan kesantunan berbahasa, yang terlihat dalam

wajah atau mimik, sikap, perilaku dan pilihan kata, yang akan merefleksikan

kedekatan sosial dan keakraban antara komunikator. Perbedaan umur,

budaya, dan status sosial, akan dapat mempengaruhi proses komunikasi, akan

terjadi jarak atau kedekatan atarkomunikator dan komunikan.

Teiri Cutting tersebut diperkuat oleh pendapat Yule (2014, p.104-107)

bahwa dalam proses berkomunikasi memerlukan kesantunan berbahasa untuk

saling menghormati dan menjaga nama baik seseorang. Kesantunan dalam


358

proses berkomunikasi bermaksud untuk saling menghormati dan menjaga

nama baik seseorang atau orang lain atau keinginan untuk dihormati.

Yule (2014, p.104-107) menyebut kesantunan berbahasa menyamakan

dengan istilah keinginan wajah untuk saling menjaga dan melindungai nama

baik seseorang dalam proses berkomunikasi. Keninginan wajah ada dua,

wajah posistif dan wajah negative. Wajah posistif adalah kebutuhan seseorang

agar dpat diterima oleh orang lain dalam proses komunikasi. Wajah negatif

adalah kebutuhan seseorang agar tidak terikat dan bebas dalam

berkomuniakasi.

Ketiga teori Chaer, Cutting, dan Yule memiliki kesamaan, yaitu sama-

sama berpendapat bahwa dalam proses komunikasi memerlukan kesantunan

berbahasa dalam rangka melindungi dan mengormati orang lain dalam proses

berkomunikasi. Chaer (2010, p. 56-57) semakin memperkuat pandangan

bahwa dalam berkomunikasi memerlukan kesantunan. Untuk menjaga

kesantunan dalam berkomunikasi, maka dalam berkomunikasi memerlukan

tuturan yang semakin panjang untuk menghormati orang lain, akan lebih baik

diam daripada bertuturan secara langsung, dan bila memerintah memakai

kalimat berita atau kalimat Tanya akan lebih santun daripada menggunakan

kalimat perintah.
359

Endraswara (2018,p. 1-3) telah memperkenalkan dan mempopulerkan

istilah pragmatik sastra karena pragmatik berhubungan erat dengan sastra.

Pragmatik sastra adalah suatu disiplin ilmu baru gabungan antara pragmatik

dan sastra, yang mempelajari tindak tutur dalam karya sastra, baik karya sastra

tulis maupun karya sastra lisan. Teks wayang topeng Tengger merupakan

produk tuturan dalang dengan bahasa lisan yang disampaikan secara naratif.

Teks tersebut sangat tepat dibahas dari segi pragmatic sastra.

Menurut Endraswara (2018, p. 1-3) kajian pragmatik sastra lebih

menekankan pada teks sastra dan pengaruh sastra terhadap masyarakat

pembaca. Pragmatik sastra mengangkat terapan sastra dan fungsi karya sastra

untuk kepentingan dalam kehidupan masyarakat, yaitu sebagai media hiburan

agar manusia menjadi senang, alat untuk mengingatkan manusia yang sudah

lupa diri, untuk mencari pengalaman dan pengetahuan, media pendidikan bagi

manusia pembaca agar semakin arif dan bijaksana dengan menyontoh sikap,

perilaku, dan tutur bahasa tokoh dalam karya sastra.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa prakmatik adalah suatu

ilmu yang mempelajari makna tindak tutur yang terkait dengan konteks yang

disampaikan penutur kepada lawan tutur. Setiap tuturan seseorang yang

disampaikan kepada orang lain mengandung tujuan atau maksud. Lawan tutur

berusaha menginterpretasi tanda yang disampaikan penutur untuk memahami


360

maknanya sesuai dengan konteks. Dalam proses komunikasi memerlukan

kesantunan berbahasa untuk melindungi dan menghirmati lawan tuturnya.

Pragmatik sastra adalah suatu disiplin ilmu baru gabungan antara pragmatik

dengan sastra. Teori pragmatik sastra sangat tepat digunakan untuk

menganalisis teks pertunjukan wayang topeng Tengger karena teks tersebut

merupakan tuturan dalang yang disampaiakan secara naratif pada saat

mendalang. Dalam tuturan dalang juga memperhatikan kesantunan untuk

melindungi dan menghormati antartokoh dalam proses berkomunikasi. Contoh

Sang Hyang Punggung, Sang Hyang Pongat, Sang Hyang Lesmana Dewa, dan

Sang Hyang Manikmaya, dalam berkomunikasi dengan ayahnya, Sang Hyang

Sis, menggunakan kata Rama dalam menyebut atau memanggilnya, tidak

menngunakan kata riko. Hal tersebutuntuk melindungidan menghormati

kedudukan ayahnya sebagai kepala Dewa. Sang Hyang Sis sebagai ayah,

memanggil keempat anaknya menggunakan kata Ngger, kata sebutan atau

panggilan anak yang sangat disayangi, untuk melindungi dan menghormati

keempat anaknya. Bila Sang Hyang Sis, tidak menghormati anaknya, maka

Sang Hyang Sis bisa memanggil anaknya dengan kata sebutan riko atau koen.

Secara singkat teori tersebut dapat dilihat pada table 2 sebagai berikut:

Tabel 2
Teori Pragmatik

No. Nama Pakar Teori/Konsep


361

No. Nama Pakar Teori/Konsep


1. Chaer dan Agustina Pragmatik adalah suatu ilmu yang
mempelajari lambang beserta proses
interpretasinya untuk menemukan maknanya
berdasarkan interpretasi pendengarnya atau
lawan tuturnya. Lambang dapat berupa kata,
frase, dan kalimat atau wacana yang
mengandung makna berdasarkan penafsiran
petuturnya.d Pragmati mempunyai kesamaan
dengan semantic, yaitu sama-sama mempejari
makna. Perbedaannya, pragmatic mempelajari
makna berdasarkan konteks. Semantic
mempelajari makna berdasarkan hubungan
antara tanda dengan objeknya.

2. Chair Dalam berkomunikasi memerlukan


kesantunan. Untuk menjaga kesantunan dalam
berkomunikasi, maka dalam berkomunikasi
memerlukan tuturan yang semakin panjang
untuk menghormati orang lain, akan lebih
baik diam daripada bertuturan secara
langsung, dan bila memerintah memakai
kalimat berita atau kalimat Tanya akan lebih
santun daripada menggunakan kalimat
perintah.
3. Wijana Dalam proses komunikasi setiap manusia akan
dipengaruhi oleh karakter, status sosial
budaya, umur, dan lingkungan. Lawan tutur
dalam memahami makna tanda bahasa yang
digunakan juga dipengaruhi oleh karakter,
budaya, umur, dan lingkungan atau konteks.
Dalam proses komunikasi, antara pragmatik,
tindak tutur, budaya, dan kontek saling terkait
dan tidak bisa dipisahkan karena komunikasi
merupakan sistem budaya. Dalam penggunaan
kata sapaan pun terikat pada etika, umur,
budaya, dan status sosial seseorang. Contoh
seseorang yang umurnya lebih tua dari pada
lawan bicaranya, status sosialnya lebih tinggi
362

No. Nama Pakar Teori/Konsep


daripada lawan bicaranya, maka bila menyapa
atau memanggil lawan bicaranya bisa
menngunakan kata kamu atau saudara, tidak
mungkin menggunakan kata Bapak atau Tuan.
Sebaliknya, seseorang yang umurnya lebih
muda dari pada lawan bicaranya, status
sosialnya lebih rendah daripada lawan
bicaranya, maka bila menyapa atau
memanggil lawan bicaranya bisa
menngunakan kata Bapak atau Tuan, tidak
mungkin menggunakan kata kamu.
4. Cutting 1. Dalam proses pengambilan makna tanda
bahasa dalam komunikasi terkait dengan
konteks. Konteks dibagi menjadi tiga jenis,
yaitu konteks situasional, konteks
epistemik, konteks epistemik ada dua, yaitu
epistemik umum dan epistemik khusus. (3)
konteks ko-tekstual.
2. Dalam berkomunikasi tidak hanya terikat
dengan konteks, tetapi memerlukan
kesantunan berbahasa, yang terlihat dalam
wajah atau mimik, sikap, perilaku dan
pilihan kata, yang akan merefleksikan
kedekatan sosial dan keakraban antara
komunikator. Perbedaan umur, budaya,
dan status sosial, akan dapat
mempengaruhi proses komunikasi, akan
terjadi jarak atau kedekatan
atarkomunikator dan komunikan.
3. Proses berkomunikasi memerlukan
kesantunan berbahasa untuk saling
menghormati dan menjaga nama baik
seseorang. Kesantunan dalam proses
berkomunikasi bermaksud untuk saling
menghormati dan menjaga nama baik
seseorang atau orang lain atau keinginan
untuk dihormati.
5. Yule Kesantunan berbahasa disamakan dengan
istilah keinginan wajah untuk saling menjaga
363

No. Nama Pakar Teori/Konsep


dan melindungai nama baik seseorang dalam
proses berkomunikasi. Keninginan wajah ada
dua, wajah posistif dan wajah negative. Wajah
posistif adalah kebutuhan seseorang agar dpat
diterima oleh orang lain dalam proses
komunikasi. Wajah negatif adalah kebutuhan
seseorang agar tidak terikat dan bebas dalam
berkomuniakasi.
6. Endraswara
1. Pragmatik sastra adalah suatu disiplin ilmu
baru gabungan antara pragmatik dan sastra,
yang mempelajari tindak tutur dalam karya
sastra, baik karya sastra tulis maupun karya
sastra lisan. Teks wayang topeng Tengger
merupakan produk tuturan dalang dengan
bahasa lisan yang disampaikan secara
naratif. Teks tersebut sangat tepat dibahas
dari segi pragmatic sastra.
2. Kajian pragmatik sastra lebih menekankan
pada teks sastra dan pengaruh sastra
terhadap masyarakat pembaca. Pragmatik
sastra mengangkat terapan sastra dan fungsi
karya sastra untuk kepentingan dalam
kehidupan masyarakat, yaitu sebagai media
hiburan agar manusia menjadi senang, alat
untuk mengingatkan manusia yang sudah
lupa diri, untuk mencari pengalaman dan
pengetahuan, media pendidikan bagi
manusia pembaca agar semakin arif dan
bijaksana dengan menyontoh sikap,
perilaku, dan tutur bahasa tokoh dalam
karya sastra.
364

1. Tindak Tutur

Tindak tutur adalah perilaku berbahasa sesorang yang berbentuk ujaran-

ujaran yang mempunyai maksud atau tujuan untuk memberitahu, mengajak,

mengingatkan, dan melaksanakan. Menurut Chaer dan Agustina (2004, p. 50)

tindak tutur merupakan gejala ujaran dalam proses komunikasi yang bersifat

individual dan psikologis, dalam pelaksanaannya berdasarkan kemampuan

berbahasa penutur dalam menghadapi situasi. Tindak tutur ditekankan pada

proses komunikasi antara penutur dengan petutur yang lebih ditekankan pada

maknanya.

Teori atau konsep Chaer dan Agustina tersebut diperkuat dengan teori

Leech, (1993: p.162) bahwa dalam pragmatik tindak tutur dianggap tindakan

karena dalam proses komunikasi, penutur tidak hanya menyampaikan atau

mengucapkan ujaran, tetapi diikuti oleh suatu tindakan, baik oleh penutur

maupun petutur. Tindak tutur dibagi menjadi tiga, yaitu: (1)Tindak tutur

lokusi. Tindak tutur lokusi adalah tuturan atau ujaran yang berbentuk kalimat

dan mengandung makna yang mudah dipahami, (2)Tindak tutur ilokusi adalah

apa yang dilakukan penutur sesuai dengan ujaran yang sesuai dengan

tujuan,(3)Tindak tutur perlokusi adalah tindakan yang dilakukan petutur atau

reaksi petutur terhadap ujaran penutur.Teori Leech ini lebih terinci dan lebih

luas bila dibandingkan konsep yang dikemukakan Chaer dan Agustina.


365

Kedua teori tentang tindak tutur tersebut sejalan dengan dan semakin

diperkuat dengan pendapat Said (2015. p.3) bahwa tindak tutur adalah

perilaku berbahasa sesorang yang berbentuk ujaran-ujaran yang bertujuan

untuk memberitahu, mengajak, mengingatkan, melaksanakan kepada orang

lain. Tindak tutur ilokusi tidak hanya membentuk kalimat-kalimat ilokusi,

tetapi juga mengandung maksud tertentu yang dimaksud oleh penutur.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah

perilaku berbahasa sesorang yang berbentuk ujaran-ujaran dalam berbentuk

kalimat yang bertujuan untuk memberitahu, mengajak, mengingatkan,

melaksanakan, dan mengandung maksud tertentu yang dsampaikan kepada

orang lain. Dalam melakukan tindak tutur, seorang harus memperhatikan

konteks, karena konteks mempengaruhi makna ujaran.

Teori tindak tutur ini digunakan untuk menganalisis teks pertunjukan

Wayang topeng Tengger karena teks tersebut berisi cerita naratif yang

menceritakan proses komunikasi antar tokoh dalam pertunjukan Wayang

topeng Tengger dan masing-masing tokoh memiliki status sosial, umur, dan

jenis kelamin yang berbeeda. Dalam bercerita secara naratif dalang pun

memperhatikan status sosial, umur, dan jenis umur tokoh yang diceritakan.

Teori tindak tutur secara singkat dapat dilihat pada tabel 3 sebagai berikut:
366

Tabel 3
Teori Tindak Tutur

No. Nama Pakar Teori/Konsep


1. Chaer dan Agustina Tindak tutur merupakan gejala ujaran dalam
proses komunikasi yang bersifat individual
dan psikologis, dalam pelaksanaannya
berdasarkan kemampuan berbahasa penutur
dalam menghadapi situasi. Tindak tutur
ditekankan pada proses komunikasi antara
penutur dengan petutur yang lebih
ditekankan pada maknanya.

2. Leech Pragmatik tindak tutur dianggap tindakan


karena dalam proses komunikasi, penutur
tidak hanya menyampaikan atau
mengucapkan ujaran, tetapi diikuti oleh suatu
tindakan, baik oleh penutur maupun petutur.
Tindak tutur dibagi menjadi tiga, yaitu:
(1)Tindak tutur lokusi. Tindak tutur lokusi
adalah tuturan atau ujaran yang berbentuk
kalimat dan mengandung makna yang mudah
dipahami, (2)Tindak tutur ilokusi adalah apa
yang dilakukan penutur sesuai dengan ujaran
yang sesuai dengan tujuan,(3)Tindak tutur
perlokusi adalah tindakan yang dilakukan
petutur atau reaksi petutur terhadap ujaran
penutur.Teori Leech ini lebih terinci dan lebih
luas bila dibandingkan konsep yang
dikemukakan Chaer dan Agustina.

3 Said Tindak tutur adalah perilaku berbahasa


sesorang yang berbentuk ujaran-ujaran yang
bertujuan untuk memberitahu, mengajak,
mengingatkan, melaksanakan kepada orang
lain. Tindak tutur ilokusi tidak hanya
membentuk kalimat-kalimat ilokusi, tetapi
juga mengandung maksud tertentu yang
dimaksud oleh penutur.
367

2. Semiotika

Charles Sanders Peirce dan Roland Barthez merupakan tokoh yang sangat

berjasa dalam pengembangan teori semiotika. Istilah semiotika merupakan

pengembangan dari istilag semiologi yang dikemukakan oleh Ferdinand de

Sausure yang diterapkan dalam ilmu bahasa. Istilah semiologi tersebut masih

terlalu umum dan obeknya juga sangat luas. Berdasarkan dua istilah

semiologi yang dikemukakan oleh Ferdinand de Sausure dan semiotika yang

dikemukakan oleh Charles Sanders Peirce, banyak para pakar linguitik dan

antroplogi yang membahas tentang dua istilah tersebut sampai sekarang.

Istilah semiotic sampai sekarang lebih terkenal daripada istilah semiologi

Menurut Barthes (2012, p.9) semiologi mempunyai objek yang sangat luas

yang mencakup ilmu bahasa, imu sastra, ilmu seni, ilmu antropologi, ilmu

sosial dan ilmu budaya. Sejalan dengan pendapat tersebut Eco (2016, p.19)

juga berpendapat bahwa semiologi adalah ilmu yang mempelajari tanda yang

mempunyai entitas dua sisi, yaitu tanda dan penandanya serta maknanya.

Perkembangan semiotika diilhami oleh dua orang filosuf bahasa yaitu

Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce (Eco, 2016, p.19).

Pengembangan Ferdinand de Saussure mengembangkan semiologi

berdasarkan pada filsafat bahasa yang merupakan dasar epistemologi


368

linguistik umum. Sedangkan Charles Sanders Peirce mengembangkan

semiotika berdasarkan pada filsafat pragmatisme dan logika, yang difokuskan

pada ikon, indek, dan simbol. Ketiga istilah inilah yang paling berkembang

dan terkenal dan banyak dipakai oleh para peneliti sebagi pisau bedah dalam

penelitian sastra, antropologi, dan sosial (Merrell, 1997, p.2). Semiotik dapat

digunakan untuk mempelajari berbagi sistem simbol yang dikaitkan dengan

studi etnografi ( SEW, 2016, p.54).

Pakar lain yang membahas teori semiotic adalah Murrell. Menurut Merrell

(1997, p.13) semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda atau kata beserta

maknanya. Kata atau tanda tersebut diinterpretasi untuk meemukan

maknanya. Setiap kata tidak hanya mempunyai satu makna, tetapi mempunyai

makna yang luas sesuai konteknya. Sejalan dengan pendapat di atas, Zoest

(1993, p.1) juga berpendapat bahwa semiotik adalah ilmu yang mempelajari

tanda dan maknanya. Makna tanda dibangun atas dasar konvensi sosial dan

konvensi budaya serta dapat mewakili sesuatu yang lain.

Noth (2006, p. 44) merupakan ilmuwan yang juga tertarik kepada semiotik.

Ia lebih tertarik kepada teori Peirce yang membagi tanda menjadi tiga bagian,

yaitu tanda, objek, dan interpretan yang disebut trikotomi, yaitu (1)

berdasarkan representamen, tanda dibagi tiga bagian, yaitu qualisign, sinsign,

dan legisign, (2) berdasarkan hubungan representamen dan objek, tanda dibagi
369

tiga, yaitu ikon, indeks, dan simbol, dan (3) menurut hakikat, tanda dibagi

tiga, yaitu rheme, dicent, dan argumen. Dari tiga pembagian tersebut, yang

paling terkenal adalah pembagian berdasarkan representamen dan objek.

Robinson, (2010,p.118) juga tertarik kepada pembagian tanda oleh Peirce

yang dikenal dengan taksonomi, yaitu tanda dibagi tiga bagian, (1)

berdasarkan sarana penanda sintaktik, tanda ada tiga, yaitu qualisign, sinsign,

dan legisign, (2) berdasarkan hubungan tanda dan objeknya atau secara

semantik, tanda ada tiga, yaitu ikon, indeks, dn simbol, dan (3) berdasarkan

hubungan tanda dan penafsiran atau pragmatik, tanda ada tiga, yaitu rema,

dicent, dan argumen. Pembagian yang kedua merupakan yang paling familiar

dan terkenal, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Pembagian yang ketiga ini yang

digunakan peneliti untuk menganalisis teks pertujukan wayang topeng

Tengger karena sangat tepat dan teks wayang topeng Tengger banyak

mengandung ikon, indek, dan simbol sosiobudaya, yaitu nilai etnik, mistik,

pragmatic. Untuk lebih jelasnya tentang teori atau konsep semiotic dapat

dilihar pada tabel 4 sebagai berikut:

Tabel 4
Teori Semiotik

No. Nama Pakar Teori/Konsep


1. Menurut Barthes Semiologi mempunyai objek yang sangat luas
yang mencakup ilmu bahasa, imu sastra, ilmu
370

No. Nama Pakar Teori/Konsep


seni, ilmu antropologi, ilmu sosial dan ilmu
budaya.

2. Eco Semiologi adalah ilmu yang mempelajari tanda


yang mempunyai entitas dua sisi, yaitu tanda
dan penandanya serta maknanya.

3. Merrell Ferdinand de Saussure mengembangkan


semiologi berdasarkan pada filsafat bahasa yang
merupakan dasar epistemologi linguistik umum.
Sedangkan Charles Sanders Peirce
mengembangkan semiotika berdasarkan pada
filsafat pragmatisme dan logika, yang
difokuskan pada ikon, indek, dan simbol. Ketiga
istilah inilah yang paling berkembang dan
terkenal dan banyak dipakai oleh para peneliti
sebagi pisau bedah dalam penelitian sastra,
antropologi, dan sosial.
4. Zoest Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda
dan maknanya. Makna tanda dibangun atas
dasar konvensi sosial dan konvensi budaya serta
dapat mewakili sesuatu yang lain.

5. Noth Peirce yang membagi tanda menjadi tiga bagian,


yaitu tanda, objek, dan interpretan yang disebut
trikotomi, yaitu (1) berdasarkan representamen,
tanda dibagi tiga bagian, yaitu qualisign,
sinsign, dan legisign, (2) berdasarkan hubungan
representamen dan objek, tanda dibagi tiga,
yaitu ikon, indeks, dan simbol, dan (3) menurut
hakikat, tanda dibagi tiga, yaitu rheme, dicent,
dan argumen. Dari tiga pembagian tersebut,
yang paling terkenal adalah pembagian
berdasarkan representamen dan objek
371

No. Nama Pakar Teori/Konsep


6. Robinson, Tanda dibagi tiga bagian, (1) berdasarkan sarana
penanda sintaktik, tanda ada tiga, yaitu
qualisign, sinsign, dan legisign, (2) berdasarkan
hubungan tanda dan objeknya atau secara
semantik, tanda ada tiga, yaitu ikon, indeks, dn
simbol, dan (3) berdasarkan hubungan tanda dan
penafsiran atau pragmatik, tanda ada tiga, yaitu
rema, dicent, dan argumen. Pembagian yang
kedua merupakan yang paling familiar dan
terkenal, yaitu ikon, indeks, dan simbol.
Pembagian yang ketiga ini yang digunakan
peneliti untuk menganalisis teks pertujukan
wayang topeng Tengger karena sangat tepat dan
teks wayang topeng Tengger banyak
mengandung ikon, indek, dan simbol
sosiobudaya, yaitu nilai etnik, mistik,
pragmatik.

3. Nilai Etnik

Nilai Etnik sering dikenal dengan istilah nilai budaya, yaitu

seperangkat aturan atau norma yang dianut dan berlaku dalam suatu

masyarakat tertentu. Menurut Koentjaraningrat (1990, p.90) nilai budaya

merupakan konsep-konsep atau ide yang ada dalam alam pikiran sebagian

besar masyarakat tentang sesuatu yang dianggap baik, benar, bernilai, dan

penting apa yang mereka anggap baik, benar, bernilai, berharga, penting dan

telah disepakati oleh sebagianbesar masyarakat, sehingga dapat dijadikan

pedoman hidup dalam masyarakat.


372

Nilai etnik yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu atau etnik

tertentu terefleksikan dalam wayang. Nilai budaya yanaag berlaku dalam

masyarakat Jawa terefleksikan daam wayang purwa. Nilai etnik yang berlaku

dalam masyarakat Tengger terefleksikan dalam wayang topeng Tengger.

Menurut (Geertz, 2017, p.376) wayang sebagai bentuk seni budaya yang

halus, kompleks, dan sangat terkenal di berbagai wilayah nusantara banyak

mengandung nilai budaya yang adiluhung, baik nilai sosiologis, filosofis, dan

religious.

Pendangan Geertz tersebut sesuai dengan pendapat Supratno (2015, p.9)

bahwa wayang banyak mengandung nilai budaya, seperti nilai kepemimpinan,

nilai, moral, nilai demokratis, nilai religius, nilai sosial, nilai kesabaran, dan

nilai keadilan. Nilai-nilai tersebut sampai saat ini masih tetap relevan dan

dapat dijadikan pedoman hidup dalam masyarakat. Nilai etnik atau nilai

budaya terkait dengan individu, seperti nilai kejujuran, nilai keberanian, nilai

kesabaran, dan nilai keprihatinan. Nilai yang terkait dengan kehidupan sosial,

seperti nilai gotong royong, nilai tolong-menolong, nilai, nilai mengutamakan

kepetingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri. Nilai yang terkait

dengan Tuhan, seperti nilai religi, nilai manunggaling kawula lan gusti, nilai

manungaling Gusti lan kawula, nilai mendekatkan diri kepada Tuhan Yang

Mahakuasa.
373

Konsep nilai tersebut sejalan dengan pendapat Verulitasari dan Agus

Cahyono (2016, p.43) bahwa nilai budaya adalah sebuah kepercayaan yang

terkait dengan kode etik yang berlaku dalam mamsyarakat, terkait dengan hal-

hal yang baik dan benar yang harus diikuti dan dilaksanakan, dan mana yang

tidak baik yang haraus dijauhi dan ditinggalkan.

Shanie, Sumaryanto, dan Triyanto (2017, p.54) memperkuat berbagai

pendapat di atas tentang konsep nilai, bahwa nilai budaya adalah seperangkat

norma atau aturan yang terorganisasi yang ditaati dan dilaksanakan dalam

kehidupan sehari-hari yang tampak pada sikapdan perilaku anggota

masyarakat.

Berbagai konsep nilai di atas pada dasarnya hampir sama dan saling

memperkuat. Hal ini juga sejalan dengan kosep (Septiana dkk., (2016, p.15)

bahwa nilai budaya adalah segala sesuatu yang dianggap baik, benar, pantas,

yang telah disepakati oleh sebagaian besar masyarakat dan telah dilaksanakan

dalam bentuk tatanan sosial, peristiwa budaya, dan upacara adat.

Teori etnik atau nilai budaya tersebut digunakan sebagai dasar untuk

menganalisi teks pertunjukan wayang topeng Tengger, karena dalam teks

wayang topeng Tengger tersebut banyak mengandung nilai etnik atau nilai

budaya, seperti nilai kepemimpinan, nilai kepedulian pimpinan kepada

bawahan, nilai kesabaran, nilai keprihatinan, nilai keiklasan, nilai berkorban,


374

dan nilai kerja keras. Nilai etnik atau nilai budaya yang ada dalam pertujukan

wayang topeng Tengger merupakan refleksi dari budaya masyarakt Tengger.

Teori atau konsep nilai etnik atau nilai budaya tersebut dapat dilihat pada table

5 sebagai berikut:

Tabel 5
Teori Nilai Etnik

No. Nama Pakar Teori/Konsep


1. Koentjaraningrat Nilai budaya merupakan konsep-konsep atau ide
yang ada dalam alam pikiran sebagian besar
masyarakat tentang sesuatu yang dianggap baik,
benar, bernilai, dan penting apa yang mereka
anggap baik, benar, bernilai, berharga, penting dan
telah disepakati oleh sebagianbesar masyarakat,
sehingga dapat dijadikan pedoman hidup dalam
masyarakat.

2. Geertz Wayang sebagai bentuk seni budaya yang


halus,kompleks, dan sangat terkenal di berbagai
wilayah nusantara banyak mengandung nilai
budaya yang adiluhung, baik nilai sosiologis,
filosofis, dan religius.

3. Supratno Wayang banyak mengandung nilai budaya,


seperti nilai kepemimpinan, nilai, moral, nilai
demokratis, nilai religius, nilai sosial, nilai
kesabaran, dan nilai keadilan. Nilai-nilai tersebut
sampai saat ini masih tetap relevan diterapkan
dalaam bbebrbagai kehidupan di dalam
masyarakat dan dapat dijadikan pedoman hidup
dalam masyarakat. Nilai etnik atau nilai budaya
ada yang terkait dengan individu, seperti nilai
kejujuran, nilai keberanian, nilai kesabaran, dan
nilai keprihatinan. Nilai yang terkait dengan
375

kehidupan sosial, seperti nilai gotong royong,


nilai tolong-menolong, nilai, nilai mengutamakan
kepetingan orang lain daripada kepentingan diri
sendiri. Nilai yang terkait dengan Tuhan, seperti
nilai religi, nilai manunggaling kawula lan gusti,
nilai manungaling Gusti lan kawula, nilai
mendekatkan diri kepada Tuhan Yang
Mahakuasa.

4. Verulitasari dan Nilai budaya adalah sebuah kepercayaan


yangterkait dengan kode etik yang berlaku dalam
Agus Cahyono mamsyarakat, terkait dengan hal-hal yang baik
dan benar yang harus diikuti dan dilaksanakan,
dan mana yang tidak baik yang haraus dijauhi
dan ditinggalkan.

5. Shanie, Nilai budaya adalah seperangkat norma atau


aturan yang terorganisasi yang ditaati dan
Sumaryanto, dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari yang
tampak pada sikapdan perilaku anggota
Triyanto masyarakat.

6. Septiana Nilai budaya adalah segala sesuatu yang


dianggap baik, benar, pantas, yang telah
disepakati oleh sebagaian besar masyarakat dan
telah dilaksanakan dalam bentuk tatanan sosial,
peristiwa budaya, dan upacara adat.

4. Simbolisasi Sosiobudaya

Abidin dan Sebani (2013, p. 7) berpendapat bahwa manusia dalam hidup di

masyarakat akan saling berinteraksi dan berkomunikasi dengan menggunakan

bahasa. Bahasa yang dipakai kadang-kadang menggunakan bahasa atau kata-


376

kata denotative, yang maknanya sudah jelas, akan tetapi, kadang-kadang

menggunakan simbol yang maknanya masih abstrak yang membutuhkan

penafsiran.

Dalam proses komunikasi manusia banyak menciptakan simbol yang

mengandung maksud yang akan disampaikan kepada orang lain atau lawan

bicaranya,

tentang keinginan, perasaan, dan pengalamannya. Pada dasarnya manusia

adalah pencipta kehidupan sosial dan budaya yang berdasarkan

pengalamannya, tetapi tetap terikat pada nilai sosial dan nilai budaya yang

telah diakui kebenarannya yang berlaku dalam masyarakat.

Manusia hidup dalam masyarakat tidak bisa lepas dari sistem norma sosial

dan sistem norma budaya yang sudah berlaku dalam masyaratakat. Perilaku

sosial dan perilaku budaya masyarakat merupakan adaptasi antara potensi diri

dengan norma sosial dan norma budaya, sehingga menjadi simbol budaya

yang sudah diterima oleh sebagian besar masyarakat dalam bentuk kegiatan

selamatan, gotomg royong, upacara adat, dan upacara keagamaan.

Teori atau konsep Abidin dan Sebani tersebut sejalan dan diperkuat dengan

teori Haviland (1999, p. 339) yang berpendapat bahwa perilaku manusia

dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa lepas dari simbol atau lambang. Dalam

transaksi perdagangan atau jual beli, menggunakan simbol atau lambang uang.
377

Uang adalah simbol transaksi dalam perdagangan atau jual beli. Dalam ibadah

salat Jumat tidak bisa lepas dari simbol atau lambang masjid Masjid

merupakan simbol orang Islam. Dalam ibadah orang Kristen tidak bisa lepas

dari simbol atau lambang Gereja. Gereja merpakan simbol orang Kristen.

Dalam kehidupan masyarakat Jawa, tidak bisa lepas dari kebudayaan wayang.

Wayang merupan simbol budaya masyarakat Jawa. Wayang merupakan

simbol kehihiduapan manusia dan dewa.

Simbol atau lambang dapat berupa benda atau isyarat. Namun, simbol yang

paling praktis dan paling lengkap maknanya adalah simbol yang berupa

bahasa. Dengan bahasa seseorang dapat menyampaikan perasaan, gagasan,

pengalamannya. Bahasa merupakan simbol yang paling fundamental dalam

proses pembentukan pranata sosial, politik, dan budaya.

Teori atau konsep Abidin dan Sebani dan Haviland tersebut diperkuat

dengan teori Jenks (2013, p. 1) yang berpendapat bahwa manusia adalah

pencipta simbol yang diproduk secara sosial. Selama manusia masih hidup

akan selalu memproduk simbol sosiobuadaya sesuai dengan perkembangan

ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, sesuai dengan perbahan masyarakat

yang akan terus berlangsung. Perubahan tersebut tidak akan bisa dicegah,

terutama karena pengaruh perkembangan teknologi yang semakin cepat.


378

Penguasaan, perubahan, dan kemajuan teknologi melegitimasi kemajuan

seseorang dan masyarakat. Kemajuan harus dimulai dari suatu perubahan.

Ketiga teori atau konsep Abidin dan Sebani, Jenks, dan Haviland di atas

diperkuat dengan teori Ritzer (2014, p. 611) bahwa hanya manusia yang dapat

menciptakan simbol. Simbol dapat berupabenda fisik, gerak isyarat yang

dapat menimbulkan respon kepada orang lain. Simbol yang paling utama dan

sangat signivikan adalah simbol yang berupa bahasa, meskipun tidak semua

bahasa merupakan simbol.

Makna simbol baru dapat dipahami oleh seseorang pada saat ssimbol

digunakan sebagai alat komunikasi. Sebagai conntoh, topeng Bethara Kala

tidak bermakna apa-apa sebelum dipakai oleh seseorang sebagai tokoh

Bethara Kala. akan tetapi, setelah topeng Bethara Kala dipakai oleh seseorang,

baru dapat diketahui bahwa topeng Bethara Kala mempunyai nilai mistik dan

magis, pemakainya mempunyai kekuatan luar biasa karena telah dikendalikan

roh Betahara Kala.

Dalam proses komunikasi, manusia tidak hanya memproduksi sismbol,

tetapi juga mempelajari dan menginterpretasi simbol yang diguanakan dalam

proses komunikasi. Setiap orang dapat menciptakan simbol dalam proses

komunikasi dengann orang lain. Sebagai contoh dalam pertujukan wayang

topeng Tengger, dalam memproduksi simbol bahasa yang halus pada saat
379

Bethara Guru menanya Naga Gini, seorang wanita yang cantic karena ia jatuh

cinta kepada Naga Gini. Seandainya Bethara Guru tidak senang dengan

kehadiran Naga Gini sebagai manusia yang datang ke Kayangan Junggring

Saloka, Bethara Guru akan bertanya dengan menggunakan bahasa dengan

nada yang kasar, atau tidak menerimanya karena tidak kenal, atau bahkan

mengusir Naga Gini dari Kayangan Junggring Saloka.

Berdasarkan uraian dia atas dapat disimpulkan bahwa manusia adalah

pemproduk simbol dan sekaligus memepelajari simbol dalam proses

komunikasi. Dengan simbol, seseorang dapat menyampaikan perasaan,

pikiran, pengalamannya kepada orang lain. Simbol dapat berupa benda, gerak

isyarat, dan bahasa. Namun, simbol yang palin praktis, luas, dan lengkap

maknanya adalah simbol bahasa. Teori simbolisasi sosiobudaya ini digunakan

untuk menganalisis teks pertunjukan wayang topeng Tengger karena banyak

mengandung pengikonan, pengindekan, dan pelambangan yang terkait dengan

nilai etnik, mistik, dan pragmatik. Secara singkat teori dan konsep tersebut

dapat dilihat pada table 6 sebagai berikut:

Tabel 6
Teori Simbolisasi Sosiobudaya

No. Nama Pakar Teori/Konsep


1. Abidin dan 1. Manusia dalam hidup di masyarakat akan
saling berinteraksi dan berkomunikasi
Sebani, dengan menggunakan bahasa. Bahasa yang
dipakai kadang-kadang menggunakan
380

No. Nama Pakar Teori/Konsep


bahasa atau kata-kata denotative, yang
maknanya sudah jelas, akan tetapi, kadang-
kadang menggunakan simbol yang
maknanya masih abstrak yang
membutuhkan penafsiran.
2. Dalam proses komunikasi manusia banyak
menciptakan simbol yang mengandung
maksud yang akan disampaikan kepada
orang lain atau lawan bicaranya, tentang
keinginan, perasaan, dan pengalamannya.
Pada dasarnya manusia adalah pencipta
kehidupan sosial dan budaya yang
berdasarkan pengalamannya, tetapi tetap
terikat pada nilai sosial dan nilai budaya
yang telah diakui kebenarannya yang
berlaku dalam masyarakat.
3. Manusia hidup dalam masyarakat tidak bisa
lepas dari sistem norma sosial dan sistem
norma budaya yang sudah berlaku dalam
masyaratakat. Perilaku sosial dan perilaku
budaya masyarakat merupakan adaptasi
antara potensi diri dengan norma sosial dan
norma budaya, sehingga menjadi simbol
budaya yang sudah diterima oleh sebagian
besar masyarakat dalam bentuk kegiatan
selamatan, gotomg royong, upacara adat,
dan upacara keagamaan.
2. Haviland 1. Perilaku manusia dalam kehidupan sehari-
hari tidak bisa lepas dari simbol atau
lambang. Dalam transaksi perdagangan atau
jual beli, menggunakan simbol atau
lambang uang. Uang adalah simbol
transaksi dalam perdagangan atau jual beli.
Dalam ibadah salat Jumat tidak bisa lepas
dari simbol atau lambang masjid Masjid
merupakan simbol orang Islam. Dalam
ibadah orang Kristen tidak bisa lepas dari
simbol atau lambang Gereja. Gereja
381

No. Nama Pakar Teori/Konsep


merpakan simbol orang Kristen. Dalam
kehidupan masyarakat Jawa, tidak bisa
lepas dari kebudayaan wayang. Wayang
merupan simbol budaya masyarakat Jawa.
Wayang merupakan simbol kehihiduapan
manusia dan dewa.
2. Simbol atau lambang dapat berupa benda
atau isyarat. Namun, simbol yang paling
praktis dan paling lengkap maknanya
adalah simbol yang berupa bahasa. Dengan
bahasa seseorang dapat menyampaikan
perasaan, gagasan, pengalamannya. Bahasa
merupakan simbol yang paling fundamental
dalam proses pembentukan pranata sosial,
politik, dan budaya.
3. Jenks, Manusia adalah pencipta simbol yang
diproduk secara sosial. Selama manusia
masih hidup akan selalu memproduk simbol
sosiobuadaya sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, budaya,
sesuai dengan perbahan masyarakat yang
akan terus berlangsung. Perubahan tersebut
tidak akan bisa dicegah, terutama karena
pengaruh perkembangan teknologi yang
semakin cepat. Penguasaan, perubahan, dan
kemajuan teknologi melegitimasi kemajuan
seseorang dan masyarakat. Kemajuan harus
dimulai dari suatu perubahan.

4. Ritzer Hanya manusia yang dapat menciptakan


simbol. Simbol dapat berupa benda fisik,
gerak isyarat yang dapat menimbulkan
respon kepada orang lain. Simbol yang
paling utama dan sangat signivikan adalah
simbol yang berupa bahasa, meskipun tidak
semua bahasa merupakan simbol.
382

5. Wayang topeng Tengger

Menurut Geertz (2017, p.406) wayang merupakan salah satu bentuk

kebudayaan daerah yang dimiliki oleh masyarakat Jawa dan merupakan

kebudyaan Jawa. Wayang merupakan simbolisasi dari kehidupan manusia dan

kehidupan dewa. Melalui wayang dapat diketahui bagaimana gambaran

kehidupan manusia dan para dewa, berbagai problem kehidupan, konflik,

perebutan kekuasaan, karakter baik, karakter jahat, dan gambaran

pertempuran antara kebaikan dengan kejahatan atau keangkaramurkaan.

Pandawa merupakan simbol kebaikan dan Kurawa merupakan simbol

kejahatan dan keangkaramurkaan. Antara kebaikan dan kejahatan dan

keangkaramurkaan selalu akan berperang. Kebaikan pada akhirnya akan dapat

mengalahkankejahatan dan keangkaramurkaan, walupun melalui suatu

perjuangan yang sangat hebat dan sangat mengerikan serta banyak korban

manusia, seperti yang digambarkan dalam perang Brantayuda Jayabinangun.

Wayang kult purwa sering dipakai sebagai media ruwatan bagi masyarakat

Jawa.

Wayang topeng Tengger juga merupakan gambaran dari kehidupan para

dewa, yang memiliki karakter yang baik, memiliki karakter yang jahat dan

angkara muka, saling berebut kekuasaan, saling berkonspirasi dalam perbutan

kekuasaan, tidak pandang saudara, tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya,


383

dan tidak bisa lepas dari dukun. Wayang topeng Tengger juga merupakan

simbolisasi dan refleksi dari kehidupan masyarakat Tengger, yang masih

percaya kepada keberadaan para dewa, menghormati roh para leluhur dan

anggota keluarganya yang sudah meninggal, percaya pada mistik, keberadaan

Bethara Kala yang akan makan anak-anak yang mengandung kala, sehingga

perlu diruwat agar selamat dari ancaman Bethara Kala/

Teori Geertz tersebut sejalan dengan pendapat Dewi (2015, p.1) bahwa

wayang topeng Tengger merupakan salah satu jenis kebudayaan daerah

Tengger dan milik masyarakat. Wayang topeng Tengger berbentuk tari dan

para tokohnya manusia yang memakai topeng. Topeng merupakan wujud

ekspresi simbolik pencerminan karakter manusia, seperti karakter jahat,

serakah, kebaikan, dan kebajikan. Wayang topeng merupakan pertunjukan

pantomim tari yang dimainkan oleh tokoh manusia yang memakai topeng.

Para tokoh yang menari mengikuti dan menyesuaikan dengan irama music da

nisi cerita yang diceritakan dalang secara naratif.

Teori Geertz dan Dewi tersebut sejalan dan diperkuat dengan

pendapat Astrini dkk., (2013, p. 90) bahwa topeng merupakan simbol

karakter manusia yang ada di dunia, karakter baik dan karakter buruk.

Karakter baik disimbolkan tokoh Sang Hyang Sis, Pandita Sejati, Sang Hyang

Manimaya, dan Bethara Narada. Sedangkan tokoh jahat, angkara murka, dan
384

ambisius dismbolkan tokoh San Hyang Punggung, Sang Hyang Pongat, Sang

Hyang Lesmana Dewa, dan Bethara Kala.

Teori atau pendapat Geertz, Dewi, dan Astrini dkk. Tentang wayang sebagai

simbolisasi kehidupan manusia, kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan

para dewa, dan fungsi wayang sebagai media ruwatan tersebut diperkuat

dengan pendapat Windiatmoko (2014, p. 2) bahwa wayang topeng Tengger

fungsi utamanya adalah sebagai media ruwatan bagi masyarakat Tengger, bila

mempunyai hajatan meruwat anaknya yang dianggap mengandung kala.

masyarakat Tengger bila meruwat anaknya menggunakan media wayang

topeng Tengger, tidak memakai media wayang kulit purwa. Bila masyarakat

Tengger meruwat anaknya menggunakan media wayang kulit purwa, para

dewa penunggu Gunung Bromo akan marah. Teori dan konsep di atas, secara

singkat dapat dilihat pada table 7 sebagai berikut:

Tabel 7
Teori/Konsep Wayang

No. Nama Pakar Teori/Konsep


1. Geertz Wayang merupakan salah satu bentuk kebudayaan
daerah yang dimiliki oleh masyarakat Jawa dan
merupakan kebudyaan Jawa. Wayang merupakan
simbolisasi dari kehidupan manusia dan kehidupan
dewa. Melalui wayang dapat diketahui bagaimana
gambaran kehidupan manusia dan para dewa,
385

No. Nama Pakar Teori/Konsep


berbagai problem kehidupan, konflik, perebutan
kekuasaan, karakter baik, karakter jahat, dan
gambaran pertempuran antara kebaikan dengan
kejahatan atau keangkaramurkaan. Pandawa
merupakan simbol kebaikan dan Kurawa merupakan
simbol kejahatan dan keangkaramurkaan. Antara
kebaikan dan kejahatan dan keangkaramurkaan selalu
akan berperang. Kebaikan pada akhirnya akan dapat
mengalahkankejahatan dan keangkaramurkaan,
walupun melalui suatu perjuangan yang sangat hebat
dan sangat mengerikan serta banyak korban manusia,
seperti yang digambarkan dalam perang Brantayuda
Jayabinangun. Wayang kult purwa sering dipakai
sebagai media ruwatan bagi masyarakat Jawa.

2. Dewi Wayang topeng Tengger merupakan salah satu jenis


kebudayaan daerah Tengger dan milik masyarakat.
Wayang topeng Tengger berbentuk tari dan para
tokohnya manusia yang memakai topeng. Topeng
merupakan wujud ekspresi simbolik pencerminan
karakter manusia, seperti karakter jahat, serakah,
kebaikan, dan kebajikan. Wayang topeng merupakan
pertunjukan pantomim tari yang dimainkan oleh
tokoh manusia yang memakai topeng. Para tokoh
yang menari mengikuti dan menyesuaikan dengan
irama musik dan isi cerita yang diceritakan dalang
secara naratif.

3. Astrini dkk. Topeng merupakan simbol karakter manusia yang


ada di dunia, karakter baik dan karakter buruk.
Karakter baik disimbolkan tokoh Sang Hyang Sis,
Pandita Sejati, Sang Hyang Manimaya, dan Bethara
Narada. Sedangkan tokoh jahat, angkara murka, dan
ambisius dismbolkan tokoh San Hyang Punggung,
Sang Hyang Pongat, Sang Hyang Lesmana Dewa,
dan Bethara Kala.
386

No. Nama Pakar Teori/Konsep


4. Windiatmoko Wayang topeng Tengger fungsi utamanya adalah
sebagai media ruwatan bagi masyarakat Tengger, bila
mempunyai hajatan meruwat anaknya yang dianggap
mengandung kala. masyarakat Tengger bila meruwat
anaknya menggunakan media wayang topeng
Tengger, tidak memakai media wayang kulit purwa.
Bila masyarakat Tengger meruwat anaknya
menggunakan media wayang kulit purwa, para dewa
penunggu Gunung Bromo akan marah

B. Diskusi Temuan Penelitian

Masyarakat Tengger merupakan salah satu suku bangsa yang menarik

dan unik yang mendiami di sekitar kawasan lereng pegunungan Bromo yang

mencakup empat wilayah kabupaten. Kawasan wilayah Timur masuk wilayah

Kabupaten Propolinggo, kawasan wilayah Barat masuk Kabupaten Malang,

kawasan Utara masuk Kabupaten Pasuruan, dan kawasan wilayah Selatan

masuk Kabupaten Lumajan. Masyarakat Tengger sampai saat ini masih

mempertahankan adat-istiadat warisan nenek moyangnya. Mereka masih

percaya pada animism dan dinamisme, percaya pada keberadaan para dewa,

seperti Dewa Wisnu, Dewa Brahma, Dewa Siwa, Dewa Narada, Dewa Surya,

Dewa Lemana Dewa atau Semar, Dewa Bethara Guru, dan Dewa Bethara

Kala.

Menurut kepercayaan masyarakat Tengger ada dua dewa yang sampai saat

ini mendiami wilayah pegunungan Bromo, yaitu Dewa Lesmana Dewa yang
387

disabda oleh Dewa Manikmaya menjadi Semar, tinggal dan bertapa di Gunung

Gambing, wilayah Pedukungan Karang Kletek, Desa Klampis Ireng, dan Bethara

Kala yang Tinggal dan bertapa di Puncak B 29, Randu Pitu, Randu Sanga. Kedua

tempat tersebut dianggap keramat oleh masyarakat Tengger. Bethara Kala

makanannya anak yang mengandung kala. oeleh sebab itu, masyarakat Tengger bila

mempunyai anak yang mengandung kala, harus diruwat agar tidak menjadi

makanan Bethara Kala. Dalam setiap ada peristiwa ruwatan anak yang mengandung

kala dengan menanggap wayang topeng Tengger, roh Bethara Kala selalu diundang

oleh dalang Ki Lebari dan masuk ke orang atau aktor yang memerankan tokoh

Bethara Kala. Temuan tersebut sesuai dengan pendapat Geertz (2017, p.3) bahwa

masyarakat Jawa tidak bisa lepas dari pengaruh animism dan dinamisme, masih

percaya kepada makhluk halus dan setiap tempat atau benda ada penunggunya.

Wayang topeng Tengger merupakan salah satu kebudayaan masyarakat

Tengger yang menarik dan unik. Daya Tarik dan keunikannya terletak pada (1)

aktor yang memerankan tokoh Bethara Kala, begitu memakai topeng Bethara Kala,

roh Bethara Kala langsung masuk ke tubuh aktor tersebut dan mempunyai kekuatan

yang luar biasa, bisa meloncat dari panggung ke halaman, mengetahui tamu baru

yang datang melihat pertunjukan, mengajak salaman dan memeluknya sebagai tanda

perkenalan dan mengucapkan selamat datang, mengetahui bila ada salah satu

persyaratan sesajen yang kurang dan ia akan marah, (2) roh anak yang mengandung
388

kala yang diruwat dipindahkan ke aktor penggati, aktor pengganti ini yang dicari,

dikejar, dan dibunuh sampai meninggal secara nyata dan mayatnya di tutupi jaret,

dibawa dan diletakkan di atas panggung sampai disucikan dan dihidupkan kembali

oleh dalang dengan air suci, (3) selama upacara ruwaan berlangsung, masyarakat

penonton tidak boleh meninggalkan arena pertunjukan, kalau ada penonton yang

meninggalkan arena pertunjukan, menurut kepercayaan masyarakat Tengger akan

celaka, bahkan bisa meninggal, (4) tindak tutur atau tuturan dalam secara naratif

yang tidak berhenti sejak awal pertunjukan sampai selesai. Leech (1993, p. 315)

menyebut tindak tutur dengan tindak ujaran.

Tindak tutur atau tuturan dalang secara naratif tersebut banyak mengandung

pengikonan, pengindekan, dan perlambangan. Ketiga hal tersebut dibahas satu per

satu sebagai berikut:

1. Pengikonan
Pengikonan adalah proses pembentukan ikon oleh dalang melalui tindak

tutur atau tuturan dalang dalam pertunjukan wayang topeng Tengger. Menurut

Leech (1993, p. 315) para peneliti tidak hanya mempejarai tindak ujaran, tetapi

yang lebih penting lebih menekankan pada maknanya. Setiap tindak tutur atau

tindak ujaran mengadung tiga jenis, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Dalam

pertunjukan wayang topeng Tengger banyak ditemukan ikon. Ikon adalah hubungan

antara tanda dan penandanya yang mempunyai kemiripan. Ikon tersebut mencakup
389

tiga jenis, yaitu (1) ikon tipologi, (2) ikon diagramatik dan (3) ikon metaforis.

Ketiga jenis ikon tersebut dijelaskan satu per satu sebagai berikut:

a. Ikon tipologi

Ikon tipologi adalah tanda yang mengacu pada kemiripan spesial,

seperti tanda gunung, hutan, dan foto. Hubungan antara tanda dengan

penandanya mempunyai kemiripan. Namun, kemiripan tersebut menurut

Noth (2006, p.126) bersifat relatif, tidak bersifat alami atau dobjektif.

Berdasarkan analisis data pada Bab IV, ditemukan 11 ikon tipologi,

yaitu (1) Wana Jeribaya, alas yang angker, bila mau masuk harus minta izin

kepada penguasa atau penguninya, (2) Naik gunung dan turun tebing,

sebagai ikon ujian atau hambatan bagi orang yang akan mencapai cita-

citanya, (3) Pedukuhan Karang Kletek, Desa Klampis Ireng, sebagai ikon

tempat pertapaan Semar, (4) Burung dara putih, sebagai ikon kesucian dan

ketaatan seorang hamba kepada tuannya, (5) Lembu, sebagi ikon binatang

yang sangat disayangi Brthara Guru dan sebagai bintang kendaraannya, (6)

Gigi atau siung Anjar Kala, sebagai ikon karakter manusia atau raksasa

yang tidak baik, (7) Selamatan pitu, sebagai ikon selamatan hari raya Idul

Fitri ketujuh yang dikenal hari Raya Ketupat, (8) Nandur palawijo katon ijo

royo, ana ing puncake, sebagai simbol mata pencaharian masyarakat

Tengger dan sebagai simbol kesuburan tanah pegunungan Bromo, (9)


390

Puncak B 29, Randu Pitu, Randu Sanga, sebagai ikon tempat pertapaan

Bethara Kala, (10) Jabang bayine Putusin, Lulik, Dwi lestari, Luki Mustika

Aji, Luis, sebagai ikon anak yang mengandung kala, yang harus diruwat

oleh dalang wayang topeng Tengger, dan (11) Nyambut damel tetanen,

mikul pacul dhateng tegal pasetrane.

Kesebelas data tersebut merupakan lokusi dan setiap lokusi

mengandung maksud atau ilokusi. Setiap maksud atau ilokusi diinterpretasi

oleh penutur dan melakukan tindakan sesuai pemahaman penutur.

Kesebelas data tersebut mengandung sebelas nilai etik atau nilai

budaya, yaitu (1) bila amelewati alas Jeribaya atau Jurang Kendil agar minta

izin kepada penghuni, atau penguasa alas, (2) seorang anak bila ingin

mencapai cita-citanya agar minta doa danrestu kedua orang tuanya, (3) bila

manusia berdosa segera minta ampun kepada Tuhan, (4) sesame saudara

harus saling tolong menolong, (5) pejabat yang sudah tua harus

menyerahkan estafet kepemimpinannya kepada generasi muda, (6) manusia

agar dapat mengendalika hawa nafsunya, (7) setiap hari Raya Idul Fitri hari

ketujuh agar mengadakan selamata ketupat agar selamat, (8) hidup berumah

tangga untuk membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera, (9) orang tua

agar selalu mendoakan anaknya agar bisa mencapai cita-citanya dan selamat

dalam hidupnya, (10) orang tua yang mempunyai anak yang mengandung
391

kala agar segera diruwat, agar tidak menjadi makanan Bethara Kala, dan

(11) masyarakat Tengger agar bekerja keras menanam palawija dan sayur-

sayuran agar bisa hidup bahagia dan sejahtera.

b. Ikon diagramatik

Berdasarkan analisis data pada Bab IV ditemukan 7 ikon diagramatik.

Tujuh ikon diagramatik tersebut pada umumnya mereflesikan perbedaan

status sosial dan pekerjaan masyarakat pada masa lampau maupun

masyarakat sekarang dan para dewa, serta perbedaan pengusaan ilmu

pengetahuan dan keberuntungan para dewa. Ikon diagramatik yang

merefleksikan perbedaan status sosial manusi ada 5 ikon, yaitu (1)

menggambarkan perbedaan status sosial masyarakat antara raja, (2) menteri,

bupati dengan rakyat, (3) perbedaan status sosial antara kakak dengan adik,

(4) perbedaan status sosial antara ayah dengan anak, dan (5) perbedaan ststus

sosial raja dengan rakyat, perbedaan status sosial antara raja dengan prajurit.

Yang mereflesikan perbedaan status sosial dewa satu ikon diagramatik,

yaitu menggambarkan perbedaan status sosial jabatan dan pekerjaan para

dewa. Dewa ada yang berkedudukan sebagai kepala dewa, seperti Bethara

Guru, ada dewa yang diberi tugas sebagai pembawa dan menyampaikan

wahyi, seperti Bethara Narada, ada dewa yang bertugas menjaga mataharai,
392

seperti Dewa Surya. Ada dewa yang bertugas mencabut nyawa, seperti

Dewa Yamadipati.

Ada yang menggambarkan perbedaan penguasaan ilmu penegatahuan

satu ikon diagramatik, yaitu penguasaan imu pengetahuan Sang Hyang

Punggung, Sang Hyang Pongat, dan Sang Hyang Lesmana Dewa lebih tinggi

daripada Manikmaya. Akan tetapi, orang yang lebih pandai seperti Sang

Hyang Punggung, Sang Hyang Pongat, nasibnya tidak baik, tidak bisa

menggantikan kedudukan ayahnya sebagai kepala dewa atau Bethara Guru.

Sedangkan adiknya, Lesmana Dewa, meskipun penguasaan ilmunya lebih

rendah daripada ketiga kakaknya, nasibnya lebih baik daripada ketiga

kakaknya. Lesmana Dewa bisa menangkap pusaka Hargadunilah dan

menyerahkannya kepada ayahnya sebagai prasyarat untuk dianggkat menjadi

kepala dewa pengganti ayahnya. Akhirnya yang berhasil diangkat menjadi

Bethara Guru sebagai pengganti kedudukan ayahnya adalah Lesmana Dewa.

Dalam pepatah Jawa mengatakan: iperteran ora bisa ngalahake kabejan,

kabejan bisa ngalahake kepinteran. Wong pinter kalah karo wong bejo

(Kepandaian tidak bisa mengalahkan orang yang beruntung, tetapi

keberuntungan bisa mengalahkan orang yang pandai. Orang pandai kalah

dengan orang yang beruntung).


393

Ketujuh ikon diagramatik tersebut merefleksikan status sosial

masyarakat pada masa lampau dan masyarakat sekarang, perbedaan status

sosial dan perbedaan tugas para dewa, dan menggambarkan perbedaan

penguasan ilmu pengetahuan dan keberuntungan.

Secara pragmatik, tujuh data yang berupa tuturan dalang masuk kategori

ikon diagramatik mengandung tujuh lokusi. Setiap lokusi mengandung 7

ilokusi atau maksud. Setiap lokusi ada 7 proses interpretasi oleh petutur,

yang kemudian ditindaklanjuti dengan 7 tindakan atau aktivitas oleh petutur.

Setiap data tuturan tersebut mengandung nilai budaya (1) agar setiap

pemimpin mempunyai perhatian kepada rakyatnya atau anak buahnya

dengan sering mengadakan koordinasi atas rapat, (2) agar setiap anggota

keluarga saling tolong- menolong, saling menghormati, antara suami-istri,

antara orang tua-anak, dan antara saudara, (3) seorang pemimpin harus

memikirkan kesejahteraan rakyat, sehingga tidak kekurangan makanan,

pakaian, dan tempat tinngal, tidak hanya berpikir golongan dan partainya.

Seorang raja atau presiden, bukan raja atau presisennya golongan

tertentu,agama tertentu, dan partai tertentu, tetapi menjadi raja atau

presidennya seluruh rakyat, sehingga harus bisa adil kepada semua

rakyatnya, (4) bahwa jabatan adalah amanah yang bersifat sementara, maka

suatu saat pada saat sudah tua atau sudah pension harus rela melepaskan
394

jabatannya kepada generasi muda untuk meneruskan estafet

kepemimpnannya, (5) seorang pemimpin harus bisa mengendalikan hawa

nafsunya, terutama nafsu birahinya kepada wanita, (6) seorang pemimpin

harus mempunyai perhatiaan kepada rakyatnya. Orang tua juga harus

mempunyai perhatian kepada anaknya. seorang pemimpin dan orang tua bila

setelah bepergian jauh, sekembalinya harus menanyakan keadaan rakyatnya

atau anaknya, sebagai bentuk perhatiannya, dan (7) untuk mencapai cita-cita

yang baik dan luhur, tidak hanya dengan bekerja keras, tetapi diperlukan

kesabaran, keiklasan, keprihatinan, dan berdoa kepada Tuhan Yang

Mahakuasa.

c. Ikon metaforis
Ikon metaforis ada 11 ikon metafor, yaitu (1) Banyu wening, adalah

air suci yang diambil dari tujuh sumber yang berasal dari Gunung Bromo,

Gunung Semeru, Gunung Merapi, dan Laut Selatan, (2) Ginggang sak

rambut saka jiwa ragamu, mengandung makna bahwa pusaka Hargodumilah

tidak boleh lepas dari badan Bethara Kala karena sebagai perisai dirinya

ketika turun ke dunia, (3) Bumi sak udeng, segembala geni, merupakan

pusaka Ajisaka yang berupa udeng. Udeng tersebut kelihatan sempit, tetapi

setelah dipegang oleh Prabu Dewata Cengkar sangat lebar sampai ditepi

Laut Selatan, (4) Kucing, manuk perkutut, dan jaran, sebagai tanda binatang
395

yang paling banyak disengai dan dipelihara oleh masyarakat. Burung

perkutut bahkan mengandung nilai mistik, orang yang memelihara burung

perkutut putih banyak mendatangkan rezeki. Kuda sebagai lambang status

sosial tingkat elit masyarakat. (5) Mangkurating Tengger, maknanya sebagai

pemimpin atau penguasa masyarakat Tengger, (6) Pujan, merupakan nama

lain upacara Kasada, suatu upacara masyarakat Tengger yang paling sacral

dan paling besar dan meriah yang dikemas sebagai promosi pariwisata

secara nasional dan internasional, (7) Nyecep ilmu gunung kasektian,

mengandung makna bertapa di gunung untuk mencari lmu dari para dewa

dan sebagai sarana membersihkan jiwa dan raganya, (8) Semar, sebagai

lambang kesucian dan kesetiaan seorang hamba kepada tuannya, (9) Klambi

Limar Kinanti, sebagai lambang Semar mengabdi kepada orang yang baik,

yaiu Pandawa. Sedangkan dan Sabuk Sakti Jaludamang , sebagi lambang

keadaan negara. Bila sabuk semar kencang, keadaan negara baik. Bila sabuk

Sakti Jaludamang kendor sebagai tanda negara dalam keadaan bahaya, (10)

Gunung Gamping, sebagai lambang tempat pertapaan Semar untuk minta

maaf kepada Tuhan yang Mahakuasa dan membersihkan jiwa dan raganya,

dan (11) Tegal Durseta, sebagai lambang tempat pertempuran Brantayuda

Jayabinangun antara Pandawa dan Kurawa, sebagai tempat yang mengerikan

karena banyakkurban, baik dari Kurawa maupun Pandawa.


396

Kesebelas data tersebut merupan lokusi. Kesebelas tuturan tersebut

mengandung sebelas maksud. Kesebelas maksud tersebut akan diinterpretasi

oleh petutur dan akan melakukan sebelas tindakan sesuai pemehaman

petutur.

Keselas data tersebut mengandung nilai etik atau budaya (1) budaya

masyarakat Tengger sehari-hari mempunyai budaya memakai udeng)

mengandung nilai pendidikan kepada masyarakat bahwa bila akan memakan

sesuatu harus dibersihkan dulu agar penyakit dan baunya hilang. Setelah

barang yang akan dimakan bersih, baru dapat dimakan agar tidak bau dan

tidak menyebabkan penyakit. (2) budaya masyarakat memelihara binatag

piaraan seperti kucing, perkutut, dan kuda, (3) budaya masyarakat Tengger

bila meminta sesuatu, pergi ke dukun, (4) budaya masyarakat Tengger setiap

bulan Kasada, hari ke15 dan 16 selalu mengadakan upcara Kasada sebagai

media mengirim hasil tanaman palawija ke Pangeran Kusuma, (5) hidup

dalam masyarakat harus salong tolong menolonf, (6) bila mempunyai dosa

kepada Tuhan harus meminta ampun kepada Tuhan, (7) mengandung nilai

pendidikan kepada masyarakat agar kalau mau meminta sesuatu kepada

Tuhan Yang Mahakuasa, (8) kalau mau meminta sesuatu kepada Tuhan

Yang Mahakuasa, melakukan pembersihan jiwa dan raga, melalui

mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Mahakuasa, melalui berdoa, salat, dan
397

puasa, (9)mengandung nilai pendidikan kepada masyarakat, bila banyak

melakukan kesalahan dan banyak dosanya agar minta ampun kepada Tuhan

Yang Mahakuasa, agar jiwa dan raganya menjadi bersih dan suci, (10) untuk

mencapai cita-cita diperlukan kerja keras, kesabara, keprihatina, dan berdoa

kepada Tuhan, dan (11) setiap usaha mencapai cita-cita yang luhur,

dipastikan ada halangannya, baik halangan kecil maupun besar.

2. Pengindekan

Pengindekan merupakan proses pembentukan indek melalui tuturan

dalang dalam pertunjukan wayang topeng Tengger. Index adalah tanda yang

mempunyai hubungan kedekatan dengan acuannya yang mempunyai

hubungan sebab-akibat. Dalam pertunjukan wayang topeng Tengger,

ditemukan 6 indek, yaitu yaitu (1) Anak yang mengandung kala atau

keburukan, yang harus druwat, kalua tidak diruwat menurut kepercayaan

masyarakat Tengger akan menjadi makanan Bethara Kala (2) Menyiapkan

berbagai jenis senjata karena melewati hutan yang berbahaya, sebagai alat

perisai diri dari gangguan makhluk halus maupun begal, (3) Untuk mencapai

cita-cita diperlukan usaha lahir dan batin, kerja keras serta diiringi doa kepada

Tuhan Yang Mahakuasa,(4) Suatu usaha yang sungguh-sungguh akan

menghasilkan keberhasilan,(5) sifat iri hati karena kesuksesan orang lain, (6)
398

Nagagini siang-malam tidak bisa tidur dan mau makan, karena jatuh cinta

kepada Bethara Guru.

Keenam data tersebut merupakan lokusi. Kenam lokusi tersebut

megandung enam maksud. Keenam maksud tersebut diinterpretasi oleh

penutur, kemudian ditindak lanjuti. Ada enam tindak lanjut yang dilakukan

petutur.

Keenam data tersebut mengandung nilai etik atau nilai pendiidikan

sebagai berikut (1) bila mempunyai anak yang mengandung kala harus

diruwat, (2) bila melewati huta, haruss menyiapkan senjata sebagai perisai diri

dar I berbagai gangguab, (3) untuk mencapai cita-cita diperlukan kerja keras,

keprihatinan, kesabaran, dan disertai berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa,

(4)untuk mencapai cita-cita seorang anak, di samping bekerja keras, berdoa,

juga perlu doa dan restu dari kedua orang tua, (5) bekerja keras akan

menghasilkan hasil yang baik, (6) manusia tidak boleh mempunyai sifat iri

hati atas kesuksesan orang lain, dan (6) orang tua harus memahami perubahan

karakter anaknya, terutama kepada anak wanitanya.

3. Pelambangan

Pelambangan adalah proses pembentukan lambang melalui tuturan dalang

pada saat mendalang pertunjukan wayang topeng Tengger. Lambang


399

merupakan tanda yang memiliki makna yang luas sebagai bentuk perhatian

kepada anak buahnya, sesuai dengan konteks. Dalam pertunjukan wayang

topeng Tengger ditemukan 26 lambang, yaitu (1) Penghargaan pimpinan

terhadap kerja keras bawahannya,(2) Menyiapkan berbagai jenis senjata karena

melewati hutan yang berbahaya, sebagai perisai diri dari berbagai gangguan

manusia maupun makhluk halus, (3) Pusaka Hargadimilah sebagai pusaka

andalan Kayangan Junggring Saloka sebagai lambang keadaan duniaserta

sebagai kerangka dunia, (4) Pergantian pimpinan secara demokratis dan

berdasarkan kompetensi, bukan berdasarkan putra mahkota, golongan, agama,

dan harta (5) Raja yang arif, bijaksana, adil, dan demokratis, sehingga memilih

calon penggantinya berdasarkan kompetensi, (6) Abisi dan tidak menghormati

orang tuanya, untuk mencapai cita-cita diperlukan doa dan restu dari kedua

orang tuanya, (7) Doa dan resto kedua orang tua sangat dibutuhkan anak dalam

mencapai cita-citanya, (8) Tidak semua orang bisa dan kuat memegang pusaka

atau jabatan, (9) Perebutan jabatan dan kekuasaan dengan konspirasi (10)

Semar, sebagai lambang ketaatan dan kesucian, (11) Adigang adigung adiguna,

kedung jero, segara jembar, (12) Tidak boleh meghina wanita, (13) Orang tua

bagaikan kendi kebak, dicangking entheng, (14) Naga Gini mempunyai sugih

kendel men, (15) Jarik suwek, klambi suwek,(16) Tapa brata,(17) Menyiapkan

berbagai jenis senjata karena melewati hutan yang berbahaya, (18) Pangeran
400

Dewa Kusuma(19) HANACARAKA DATASAWALA PADHAJAYANYA

MAGABATHANGA, (20) Dewi Muktrim, (21) Batu Kuta, (22) Grumbul, (23)

Anjar Kala atau Bethara Kala, dan (24) Naga Gini, (25) Gemala Geni, dan (26)

Entas-entas.

Kedua puluh enam lambang tersebut merupakan lokusi. Kedua puluh

enam tersebut mengandung dua puluh enam maksud. Maksud tersebut

diinterpretasi oleh penutur. Petutur melakukan dua puluh enam tindakan sesuai

maksud penutur sesua dengan pemahaman petutur.

Kedua puluh enam lambang tersebut mengandung nilai etnik atau nilai

budaya, yaitu (1) pemimpin harus banayak koordinasi dengan stafnya untuk

mengetahui masalah yang dihadapi anak buahnya, (2) seorang pemimpin harus

bisa mensejahterkan rakyatnya, sehingga tidak kekurangan pangan, sandang,

dan tempat tinggal, sehingga rakyat sejahtera, (3) seorang pemimpin harus bisa

melindungi rakyatnya, tidak boleh menindas rakyatnya, dan tidak boleh hanya

memperyahankan citra dan kekuasaannya harus mengorbankan rakyatnya, (4)

pemilihan pemimpin sebaiknya berdasarkan kompetensi, bukan berdasarkan

golongan, agama, dan uang, (5) pergantian pemimpin sebaiknya dilakukan

secara jujur, adil, dan demokratis, (6) seorang anak harus menghormati kedua

orang tuanya, bila mau pergi harus minta izin, (7) orang tua harus selalu

memberi motivasi kepada anaknya agar bisa dengan mudah mencapai cita-
401

citanya, (8) bila seseorang akan menjadi pemimin, harus menempu secara baik

dan tidak melanggar nilai0nilai etika, moral, dan agama, (9) jabatan adalah

amanah dan suatu saat akan diambil Tuhan, (10) manusia harus menjauhkan diri

dari sifat iri hati, (11) seorang pemimin tidak boleh sombong dan arogan, (12)

menghormti tamu siapa pun, tanpa membedakan status sial, golongan, dan

agama, (12) kebiasaan atau budaya masyarakat yang sering minta bantuan

dukun untuk menaklukkan cinta seseorang, (13) seorang laki-laki jangan mudah

tergoda oleh kecantikan wanita, (14) seorang wanita harus hati-hati bila dilamar

seorang laki-laki, (15) masyarakat dahulu sering bertapa untuk meminta atau

mencapai seseuatu, (16) budaya masyarakat Tengger bila akanmmengawinkan

anaknya mengadakan upacara walimahan, (17) budaya masyarakat Tengger

pada bulan Kasada melalkukan upacara Kasada, (18) tidak boleh seorang

pemim[in memberikan perintah kepada kedua bawahannya yang saling

bertentangan, (19) karakater orang tua akan menurun kepada anaknya, sehingga

orang tua harus mempunyai karakter yang baik dan bisa menjadi contoh bagi

anaknya, (20) bila sesorang minta sesuatu, mintalah kepada Tuhan, jangan minta

kepada dukun, (21) bila masyarakat Tengger mempunyai anak yanh

mengandung kala, harus segera diruwat agar tidak menjadi beban kedua orang

tuanya dan keluarganya, serta naknya, (22) agar manusia bisa mengendalikan

hawa nafsunya, (23) orang tua harus bisa mendidik anak-anaknya agar menjadi
402

anak yang baik, (24) peringatan kepada masyarakat agar bila menyuruh orang

diberikan suarat tugas, dan (25) bila menaggap wayang topeng Tengger

sesajinya harus lengkap.

Sedangkan temuan peneliti terdahulu yang relevan dari segi objek budaya

wayang, kepercayaan, dan sastra lisan, teori pragmatik, dan antropologi sastra,

dapat dilihat pada tabel 8 sebagai berikut:

Tabel 8
Temuan Penelitian

No. Nama Peneliti/ Pakar Hasil Penelitian


1. Prasetyo, (2004) Wayang topeng Glagahdowo mengalami
kejayaan pada sekitar tahun 1920-1-42 dan
1940-1970-an. Keberadaan Wayang topeng
Glagahdowo saat ini sangat memprihatinkan
karena terdesak oleh kesenian modern yang lebih
disenangi masyarakat. Fungsi kesenian Wayang
topeng Glahdowo sebagai penggerak kesenian
tradisional lain, seperti ludruk Malangan,
Wayang kulit Malangan, dan tayuban
Malangan.

2. Ratnaningrum, (2011) Fokus penelitian ini mencakup profil Wayang


topeng endel, makna simbolik Wayang topeng
Endel, serta fungsi sosial Wayang topeng endel.
Hasil penelitian ini adalah pemaknaan karakter
penari yang melambangkan karakter masyarakat
Tegal khususnya pada kaum perempuan. Simbol
makna Wayang topeng Endel sebagai identitas
masyarakat Tegal. Fungsi Wayang topeng Endel
sebagai hiburan masyarakat.
403

No. Nama Peneliti/ Pakar Hasil Penelitian


3. Astrini dkk., (2013) Wayang topeng Malangan memilki beragam
warna, ukiran dan simbol-simbol dalam ragam
hias yang khas yang menunjukan karakter para
tokohnya. Karakter tokoh juga dipengaruhi oleh
berbagai ragam warna, ragam hias kostum para
penarinya. Wayang topeng Malangan tersebut
merefleksikan watak manusia. Bentuk anatomi
manusia seperti, mata, hidunbg, kumis, alis, dan
rambut manusia ada dalam setiap tokoh Wayang
topeng Malangan sesuai dengan peranannya.
Simbol-simbol dalam tokoh Wayang topeng
Malangan mepresentasikan budaya Jawa yang
terkait dengan keindahan alam beserta isinya.

4. Windiatmoko, (2014 Tafsir Simbolik dan Tafsir Falsafah pada


Wayang topeng Glagahdowo, Malang. Hasil
penelitian ini adalah secara tafsir simbolik
digunakan sebagai media upacara adat atau
budaya nyadran, selamatan, dan nyekar. Secara
tafsir falsafah Wayang topeng Glagahdowo
tampak pada bentuk gigi yang ada pada topeng
yang bermakna sebagai sarana upacara adat
potong gigi atau pangur. Topeng bukan hanya
sekedar bentuk seni, tetapi sebagai bentuk
penghormatan kepada arwah para leluhurnya dan
sebagai sarana retual untuk berkomunikasi
kepada arwah nenek moyangnya dan arwah
makhluk gaib yang lain.

5. Dewi, (2015) Wayang topeng Tengger dijadikan sebagai


media ruwatan masyarakat Tengger karena
masyarakat Tengger takut kepada Bethara Kala
yang dipercaya sebagai pemakan manusia.
Masyarakat Tengger dalam upacara ruwatan
tidak menggunakan Wayang kulit sebagaimana
yang dilakukan masyarakat Jawa pada
umumnya, tetapi mengganti dengan Wayang
topeng Tengger karena mereka tidak mau
menyamakan tokoh para dewa seperti Dewa
404

No. Nama Peneliti/ Pakar Hasil Penelitian


Wisnu, Dewa Brahma, dan Bethara Guru dengan
boneka dari Wayang yang dibuat dari kulit,
takut para dewa terseinggung. Dalam upacara
ruwatan dipimpin oleh dalang pengruwat.
Pertunjukan Wayang topeng Tengger berbentuk
dramatari yang diaminkkan oleh tokoh manusia
yang menggunakan topeng. Pertunjukan wyang
topeng Tengger mempunyai kedudukan dan
peran yang sangat penting dalam upacara
ruwatan masyarakat Tengger.

6. Yanuartuti, (2016 Struktur pertunjukan drama tari topeng di


Jombang, yang mencakup tema, alur, setting,
penokohan, dan konflik. Pertunjukan drama tari
di Jombang dilaksanak an dengan bersifat
kekinian untuk menyesuaikan dengan p
erkembangan jaman, yaitu (1) adegan disusun
dengan dengan mempertimbangkan kepentingan
regenerasi, sehingga ada unsur yang dihilangkan
dan ada yang ditambah, (2) durasi waktu
pertunjukan dipersingkat, hanya 1,5 jam, (3)
polak gerak baru disesuaikan dengan pola
masyarakat desa yang agraris, sehingga kreatif,
khas, dan menarik, (4) musik pengiring dengan
memasukkan arasemen baru dan gending-
gending baru, dan (5) pakaian lebih glamor
disesuaikan dengan kesenangan masyarakat
jaman sekarang.

7. Purnama dan Wayang topeng Malangan telah tergeser oleh


tarian modern. Masyarakat Malang juga kurang
Rachmadian, (2016) perhatian terhadap keberadaan Wayang topeng
Malangan. Sanggar-sanggar kekurangan sarana
dan prasarananya, sehingga tidak mampu
mengadakan pertunjukan Wayang topeng
Malangan.

8. Fauzan. 2016. Sakura merupan tradisi upacara adat masyarakat


Lampung dengan mengadakan kegiatan upacara
405

No. Nama Peneliti/ Pakar Hasil Penelitian


pawai tari-tarian yang para pesertanya
menggunakan topeng. Sakura mengandung
makna simbolik bahwa bermacam-macam
karakter dapat dimainkan oleh manusia. Setiap
orang bebas menerapkan berbagai karakter.
Sakura helau dan sakura kamak melambangkan
ajakan kepada masyarakat kaya dan masyarakat
miskin untuk bersatu membangun daerahnya.

9. Yanuartuti, (2017 Wayang topeng Jombang bersumber dari cerita


Panji. Cerita Panji ada yang berbentuk lisan ada
yang berbentuk Serat. Cerita panji yang
berbentuk lisan divisualisasikan dalam bentuk
drama tari. Drama tari topeng di Jombang tidak
ada dialog antartokoh, tetapi berbentuk cerita
naratif hasil transformasi dari cerita Panji. Objek
penelitian ini adalah drama tari topeng Jombang
dan yang diteliti adalah transformasi cerita Panji
bentuk lisan ke dalam pertgunjukan drama tari
topeng di Jombang.

10. Yanuartuti, (2017) Penelitian ini merupakan usaha untuk menggali


dan membangun nilai-nilai lokal yang ada dalam
pertunjukan Wayang topeng di Jombang dengan
cara mengadakan pertunjukan Wayang topeng
Jombang sebagai hiburan bagi masyarakat di
Jombang . Pertunjukan drama tari topeng
Jombang dikemas dengan pemadatan cerita dan
diubah menjadi pertunjukan baru, dipentaskan
pada festival panji Nasional di Kediri, sehingga
dapat dikenalkan nilai- nilai yang ada dalam
pertunjukan Wayang topeng Jombang.

11. Harianto, (2016) Masyarakat Tengger mempunyai dua tipe


pemimpin, yaitu pemimpin formal dan
pemimpin formal dan pemimpin nonformal.
Pemimpin formal dipimpin oleh kepala
Pemerintahan Desa, yaitu Kepala Desa.
Sedangkan pemimpin nonformal dipimpin oleh
406

No. Nama Peneliti/ Pakar Hasil Penelitian


dukun adat. Kedua pemimpin tersebut
mempunyai peran masing-masing dalam
mewujudkan tata pemerintahan yang baik
melalui pengembangan budaya lokal dan
kearifan lokal masyarakat Tengger.

12. Lisnasari dan Cerita rakyat Tengger mengandung nilai-nilai


Sukmawan, (2016) kearifan lokal. Gambaran masyarakat Tengger
yang terefleksikan dalam cerita rakyat Tengger
mencerminkan kesadaran masyarakat Tengger
peduli terhadap makhluk alam yang harus
diperlakukan sama denga makhluk lain. Manusi
harus mampu menjaga hubungan sesama
makhluk untuk mencapai ketentraman dan
kedamaian hidup.

13. Listiyana dan Mutiah, Masyarakat Tengger mempunyai kekayaan


(2017) beraneka ragam jenis tanaman yang dapat
dikembangkan untuk obat-obatan, tetapi belum
dioptimalkan untuk bahan pembuatan obat-
obatan herbal. Masyarakat Tengger juga
memiliki aneka ragam hasil pertanian seperti
kentang, namun belum dkijadikan kemasasan
makanan siap saji.

14. Bahrudin, Masrukhi, Pergesesran budaya masyarakat Tengger. Hasil


dan Atmaja, (2017) penelitian ini adalah bahwa pergeseran budaya
lokal tidak dapat dihindari karena perkembangan
teknologi dan pengaruh agama Islam. Pergeseran
budaya lokal karena adanya pekembangan
budaya baru di kalangan remaja, dan pengaruh
agama Islam. Diperlukan sosialisasi dan
keteladanan dari para tokoh adat agar generasi
muda mengikuti upacara adat.

15. Anas, 2013 Aspek mistik atau metafisik dalam budaya


Tengger. Hasil penelitian ini adalah bahwa
manusia dalam hidupnya tidak hanya
membutuhkan sesuatu yang bersifat empiris,
407

No. Nama Peneliti/ Pakar Hasil Penelitian


tetapi memerlukan hal-hal yang bersifat
metafisik. Manusia harus melakukan perenungan
dalam rangka untuk menemukan makna
kehidupan. Refleksi metafisik mampu mengatasi
hal-hal yang bersifa empiri yang sebenarnya
adalah penipuan. Demensi metafisik upacara
Kasada masyarakat Tengger pada dasarnya
merupakan minatur dari kehidupan manusia.

16. Bahaudin, (2015) Dunia politik yang bertumpu kepada mistik.


Zaman semakin modern politik semakin
menggila menyebabkan hilangnya akal manusia
yang menghalalkan segara cara agar
mendapatkan kekuasaan. Hubungan elite politik
dengan dunia mistik sejak jaman kerajaan-
kerajaan di Nusantara hingga periode berdirinya
Republik Indonesia. Para Raja di masa
kerajaanatau Presiden di Indonesia; Soekarno,
Soeharto, Abdurrahman Wahid, Megawati dan
Susilo Bambang Yudhoyono memiliki guru
spiritual sebagai penasehat atau penopang dalam
kekuasaan politik mereka. Bahaudin
berkesimpulan bahwa panggung politik dalam
sejarah Indonesia bahkan sejarah Kerajaan di
bumi nusantara tidak saja bertumpu pada
kekuatan logis tetapi juga penggunaan ilmu
supranatural dalam meraih dan mempertahankan
kekuasaan.

17. Wanulu, (2016) Proses terjadinya interaksi simbolik pada


upacara adat cumpe dan sampua cumpe dan
sampua merupakan salah satu bentuk
kebudayaan masyarakat Buton yang sampai
saat ini tetap dilestarikan oleh masyarakat
Buton yang walaupun bentuk dan cara
pelaksanaanya sudah sedikit berbeda dengan
zaman dahulu dengan zaman sekarang.
Kegiatan upacara adat cumpe dan sampua
biasanya terdapat beberapa proses - proses
408

No. Nama Peneliti/ Pakar Hasil Penelitian


panjang yang harus dilewati setahap demi
setahap. Upacara tersebut dipersiapkan selama 7
hari sampai proses upacara tersebut terlaksana.
Hari pertama biasanya para dewan adat, sara,
dan keluarga para peserta cumpe dan sampua
akan berkumpul untuk membicarakan
persiapan upacara adat Buton tersebut. Dalam
perkumpulan tersebut biasanya para sara akan
menjelaskan kepada para keluarga cumpe dan
sampua untuk mempersiapkan perlengkapan –
perlengkapan dari proses adat tersebut.
Perlengkapan tersebut disebut juga dengan
simbol - simbol yang digunakan pada proses
adat berlangsung. Kondisi sosial budaya
masyarakat Buton di Samarinda, berkaitan
dengan keadaan kehidupan masyarakat dan
dapat dilihat dari segi ras dan etnis, mata
pencaharian penduduknya, agama yang dianut,
tingkat kesejahteraan, nilai maupun norma yang
dianut oleh masyarakat. Kondisi sosial
masyarakat Buton di Samarinda terbilang
sudah lebih baik dari kehidupan terdahulu.
Masyarakat Buton sekarang telah banyak
bekerja dan mengenyam pendidikan walaupun
masyarakat Buton masih banyak memilih
bekerja daripada melanjutkan pendidikan yang
lebih tinggi. Masyarakat Buton di Samarinda
terkenal sebagai masyarakat yang pekerja
keras tanpa memiliki sifat gengsi tinggi.
Masyarakat Buton yang ada di Samarinda
banyak menjadi orang yang sukses, menjadi
pejabat, staf di instansi maupun di dinas-dinas
yang ada di Kota Samarinda, ada yang
menjadi seorang pedagang baik itu di toko
sendiri maupun menjadi pedagang kaki lima di
pasar malam.

18. Rahima, (2017) Interpretasi makna simbolik seloko hukum adat.


Makna simbolik seloko hukum adat Melayu
409

No. Nama Peneliti/ Pakar Hasil Penelitian


Jambi tercermin dalam teks seloko dasar- dasar
hukum adat dan teks seloko Undang-Undang
adat Melayu Jambi. Makna simbolik seloko
dasar-dasar hukum adat terkait lima hal yaitu: (1)
hukum adat Melayu Jambi berdasarkan hukum
syarak (agama Islam) yang bersumber dari
Alquran dan Hadist, (2) hukum adat Melayu
Jambi berdasarkan tradisi lama yang terbukti
mengandung kebenaran atau kebaikan dalam
mengayomi masyarakat, (3) hukum adat Melayu
Jambi berdasarkan keadilan, (4) hukum adat
Melayu Jambi berpegang teguh pada kebenaran,
(5) hukum adat berdasarkan musyawah dan
mufakat.Makna simbolik seloko undang-undang
adat Melayu Jambi terkait delapan bentuk
kejahatan pelanggaran hukum. Bentuk-bentuk
kejahatan tersebut meliputi huru-hara,
perampokan, penipuan, pembunuhan,
perzinahan, pembakaran, pencurian. Selain itu,
dalam undang-undang hukum adat Melayu
Jambi juga terkandung makna simbolik yang
berkaitan dengan 12 jenis sangsi yang menjadi
tanggung jawab pelaku kejahatan yang melagar
hukum adat. Jenis-jenis kewajiban tersebut
terkait dengan tindak kejahatan: pembunuhan,
perkelahian, pinjam-meminjam, hutang piutang,
gadai-mengadai, pinang-meminang, pergaulan
bebas, menempuh sesuatu yang terlarang,
menjaga sawah ladang dan ternak.

19. Hendriyana, (2017) Simbol-simbol esoterik yang berkaitan dengan


ajaran spiritual dan religi di kalangan dalem
keraton. Simbol esoterik Liman dan Dalima ini
dapat menepis tabir kemistikan yang selama ini
menjadi misteri bagi kalangan masyarakat
umum. Dengan adanya hasil penelitian ini
diharapkan juga dapat meminimalisir
perselisihan pemahaman dan silang pendapat di
antara kelompok masyarakat di lingkungan
410

No. Nama Peneliti/ Pakar Hasil Penelitian


keraton Cirebon, di antaranya kelompok
abdidalem, petugas pemandu wisata, dan
kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang
tidak didukung oleh kemampuan pemahaman,
pengetahuan dan keilmuannya, serta data-data
yang jelas. Ada beberapa artifak dianggap
memiliki kekuatan mistik, hal tersebut
terjadikarena dibangun oleh anggapan orang
yang tidak memiliki pemahaman dan penjelasan
tentangartifak-artifak tersebut. Dengan demikian
terdefinisikannya simbol esoterik, maka
terdefinisikanpula kemistikan suatu artifak yang
selama ini dipercaya oleh masyarakat umum.

20. Sait (2015) Hasil penelitisn ini menemukan lima wujud


kalimat ilokusi dalam novel Kemamang karya
Koen Setyawan, yaitu kalimat (1) asertif,
direktif, ekspresif, komisif dan deklaratif. Tujuan
ilokutif, mencakup mengabaikan, mengajak,
memberikan, mmberitahu, dan menolong.

21. Wijana (2017) Faktor penghambat penutur pembelajar BIPA


dari Korea. Ada dua faktor penghambat, yaitu
faktor linguistik dan faktor nonlinguitik. Faktor
linguistik karena penguasan tata bahasa
Indonesia sangat kurang. Sedangkan faktor
nonlinguistik karena adanya perbedaan sosial
budaya antara orang Korea dengan orang
Indonesia.

22. Novianti (2017) Meneliti tindak tutur ilokutif dalam iklan


perdagangan. Hasil penelitian ini menemukan
tindak tutur ilokutif dalam iklan perdagangan
sebanyak 21 ilokutif asertif. 13 tindak tutur
direktif, 17 tindak tutur komisif, 8tindak tutur
ekspresif, tindak tutur yang paling menonjol
adalah tindak tutur ilokutif asertif. Bahasa iklan
yang paling tepat adalah bersifat informatif dan
persuasif. Bahasa iklan atau tuturan iklan dapat
411

No. Nama Peneliti/ Pakar Hasil Penelitian


mempengaruhi konsumen untguk tertarik dan
membeli produk yang diiklankan.

23. Hakim (2016) Meneliti fungsi ilokusi smiling emoji. Hasil


penelitian ini menemukan smiling emoji terdapat
tiga fungsi ilokusi, yaitu fungsi ilokosi
kompetitif, fungsi ilokusi menyenagkan, dan
fungsi ilokusi bertentangan. Dalam menjaga
kesantunan dalam komunikasi melalui internet
perlu memasukkan smiling emoji.

24. Zulianti (2018) Meneliti kepercyaan dalam novel Ranggalawe.


Hasil penelitian ini menemukan dalam novel
Ranggalawe menggunakan bahasa Jawa dan
bahasa Indonesia. Kepercayaan dalam novel
tersebut adalah kepercayaan Hindi-Budha.
Aspek sosial dalam novel tersebut
mengambarkan tokoh yang berstatus sosial
tinggi, seperti raja, dan status sosial rendah,
seperti rakyat biasa.

25. Zulianti (2018) Meneliti kepercayaan dalam novel Ranggalawe.


Hasil penelitian ini menemukan dalam novel
Ranggalawe menggunakan bahasa Jawa dan
bahasa Indonesia. Kepercayaan dalam novel
tersebut adalah kepercayaan Hindi-Budha.
Aspek sosial dalam novel tersebut
mengambarkan tokoh yang berstatus sosial
tinggi, seperti raja, dan status sosial rendah,
seperti rakyat biasa.

26. Zulianti (2018) Penelitian ini menemukan dalam novel


Ranggalawe menggunakan bahasa Jawa dan
bahasa Indonesia. Kepercayaan dalam novel
tersebut adalah kepercayaan Hindi-Budha.
Aspek sosial dalam novel tersebut
mengambarkan tokoh yang berstatus sosial
tinggi, seperti raja, dan status sosial rendah,
seperti rakyat biasa.
412

No. Nama Peneliti/ Pakar Hasil Penelitian

27. Djirong (2014) Meneliti cerita rakyat di Makasar dengan


pendekatan antropologi sastra.. Hasil penelitian
ini menemukan aspek antropologi sastra dalam
cerita rakyat Datumuseng di Makasar yang
mencakup kepercayaan terhadap mitos yang
terjadi pada masa lampau, adat-istiadat masa
lampau, dan mantra. Dalam cerita tersebut
menggambarkan kepercayaan , religi, mitos, dan
bahasa masyarakat Makasar pada masa lampau.

28. Resdianto Permata 1. Masyarakat Tengger adalah suku bagsa yang


Raharjo (2019) hidup di sekitar lereng Gunung Bromo yang
tersebar di empat Kabupaten, yaitu
Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Malang,
Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten
Lumajang.
2. Masyarakat Tengger memegang teguh adat-
istiadat warisan dari nenek moyangnya dan
masih menganut animism dan dinamisme,
dan sebagian kecil sinkritisme.
3. Wayang topeng Tengger sangat menarik dan
unik karena banyak mengandung nilai etnik
dan mistik.
4. Fungsi utama pertunjukan wayang topeng
Tengger sebagai media upacara ruwatan dan
sebagai hiburan.
5. Pertunjukan wayang topeng Tengger
merefleksikan keadaan sosial budaya
masyarakat Tengger, seperti kepercayaan,
mata pencaharian, dan status sosialnya.
6. Pertunjukan wayang toeng Tengger
merefleksikan status sosial dan tugas para
dewa.
7. Sumber cerita wayang topeng Tengger dari
413

No. Nama Peneliti/ Pakar Hasil Penelitian


cerita Ramayana, cerita Mahabarata, cerita
Rara Anteng dan Jaka Seger, dan Aji Saka.
8. Pertujukan wayang topeng Tengger banyak
mengandung pengikonan, pengindekan, dan
pelambangan. Pengindekan ada tiga jenis (1)
indek tipologi, ada 11 indek, (2) indek
diagramati ada 7 indeks, dan (3) indek
metafor ada 11 indeks, pada umumnya terkait
dengan keadaan alam, sosial budaya
masyarakat Tengger, status sosial dan tugas
para dewa.
9. Pertunjukan wayang topeng banyak
mengandung pengindekan, ada 6 indeks yang
pada umumnya terkait dengan kehidupan
seharai-hari masyarakat Tengger.
10. Pertunjukan wayang topeng Tengger banyak
mengandung pelambangan. Ada 26 lambang,
yang pada umumnya terkait dengan sosial
budaya masyarakat Tengger, status sosial,
dan tugas para dewa.
11. Setiap tuturan dalang wayang topeng
Tengger merupakan lokusi. Dan setiap lokosi
ada maksdunya atau ilokusinya. Setiap
ilokusi dinterpretasi oleh petutur yang
kemudian akan ditindaklanjuti dengan
aktivitas sesuai pemahaman petutur.
12. Pertunjukan wayang topeng Tengger banyak
mengandung nilai etnik atau nilai budaya
yang dapat dijadikan contoh dalam
kehidupan seharai-hari masyarakat Tengger
pada khusunya dan masyarakat pada
umumnya.
414

C. Proposisi

Berdasarkan temuan penelitian dapat dirumuskan proposisi sebagai berikut:

1. Wayang topeng Tengger sampai sekarang masih bisa eksis di tengah-tengah

perubahan masyarakat Tengger karena terkait langsung dengan kepercayaan

masyarakat Tengger bahwa bila seseorang mempunyai anak yang mengandung

kala harus diruwat dengan menanggap wayang topeng Tengger agar tidak

dimakan Bethara Kala.

2. Wayang topeng Tengger sangat menarik dan unik karena mengandung nilai

etnik dan mistik terefleksikan pada tokoh Bethara Kala yang kemasukan roh

Bethara Kala.

3. Wayang topeng Tengger merefleksikan sosial budaya masyarakat Tengger

karena banyak terkait dengan kepercayaan, mata pencaharian, kerja keras

menanam palawija dan sayur-sayuran.

4. Wayang topeng Tengger banyak mengandung pengikonan melalui tuturan

dalang wayang topeng Tengger yang terkait dengan keadaan alam pegunungan

Bromo, sosial budaya, status sosial dan tugas para dewa serta masyarakat.

5. Wayang topeng Tengger banyak mengandung pengindekan melalui tuturan

dalang wayang topeng Tengger yang terkait dengan konteks sosial budaya

masyarakat Tengger.
415

6. Wayang topeng Tengger banyak mengandung pelambangan yang terkait

dengan konteks sosial budaya masyarakat Tengger, nenek moyang masyarakat

Tengger, dan para dewa, khusunya Bethara Guru dan Bethara Kala.

7. Tindak tutur atau tuturan dalang wayang topeng Tengger merupakan lokosi.

Setiap lokusi mengandung maksud yang diinterpretasi oleh penutur dan

ditindaklanjuti melalui tindakan sesuai maksud yang dipahami oleh penutur.

8. Wayang topeng Tengger banyak mengandung nilai etnik atau nilai budaya, nilai

religi, nilai pendidikan yang dapat dijadikan contoh dalam kehidupan sehari-

hari bagi masyarakat Tengger pada khususnya dan masyarakat umum.

9. Sumber cerita wayang topeng Tengger berasal dari cerita Ramayana,

Mahabarata, Panji, mitos Gunung Bromo, dan Aji Saka.


416

BAB VI

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan analisis dan pembahasan pada Bab IV dapat disimpulkan bahwa

pertunjukan wayang topeng Tengger banyak mengandung pengindekan, pengikonan,

dan perlambangan. Pengikonan terdiri atas tiga jenis, yaitu pengikonan tipologi,

pengikonan diagramatik, dan pengikonan metafor. Pengikonan tipologi ada 11 ikon

tipologi, yaitu (1) Wana Jeribaya, (2) naik gunung dan turun tebing (3) Pedukuhan

Karang Kletek desa Klampis Ireng, (4) burung dara putih, (5) lembu (6) gigi atau suing

Anjar Kala (7) selamatan pitu, (8) nandur palawija katon ijo royo, ana ing puncake, (9)

Puncak B29, Randu Pitu, dna Randu Sanga, (10) jabang banyine Putusin, Lulik, Dwi

Lestari, Luki Mustika Aji, Luisdan (11) nyambut damel tetanen, mikul pacul dhateng

tegal pasetrane.

Secara pragmatic, kesebelas data tersebut merupakan lokusi dan setiap lokusi

mengandung maksud atau ilokusi. Setiap maksud atau ilokusi diinterpretasi oleh penutur

dan melakukan tindakan sesuai pemahaman penutur.

Kesebelas data tersebut mengandung sebelas nilai etik atau nilai budaya, yaitu (1)

bila melewati alas Jeribaya atau Jurang Kendil agar minta izin kepada penghuni, atau
417

penguasa alas, (2) seorang anak bila ingin mencapai cita-citanya agar minta doa danrestu

kedua orang tuanya, (3) bila manusia berdosa segera minta ampun kepada Tuhan, (4)

sesame saudara harus saling tolong menolong, (5) pejabat yang sudah tua harus

menyerahkan estafet kepemimpinannya kepada generasi muda, (6) manusia agar dapat

mengendalika hawa nafsunya, (7) setiap hari Raya Idul Fitri hari ketujuh agar

mengadakan selamata ketupat agar selamat, (8) hidup berumah tangga untuk

membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera, (9) orang tua agar selalu mendoakan

anaknya agar bisa mencapai cita-citanya dan selamat dalam hidupnya, (10) orang tua

yang mempunyai anak yang mengandung kala agar segera diruwat, agar tidak menjadi

makanan Bethara Kala, dan (11) masyarakat Tengger agar bekerja keras menanam

palawija dan sayur-sayuran agar bisa hidup bahagia dan sejahtera.

Pengikonan diagramatik ada 7 ikon diagramatik, yaitu: (1) Perbedaan jabatan

antara Raja dengan Menteri, Bupati, dan rakyar biasa, (2) Perbedaan status sosial antara

kakak dengan adik (3) Perbedaan status sosial antara Raja dengan prajurit kerajaan (4)

Perbedaan status sosial antara Raja dengan prajurit kerajaan (5) Perb6daan status sosial

para dewa (6) Perbedaan status sosial antara ayah dan anak, dan (7) perbedaan

penguasaan ilmu dan keberuntungan.

Secara pragmatik, tujuh data yang berupa tuturan dalang masuk kategori ikon

diagramatik mengandung tujuh lokusi. Setiap lokusi mengandung 7 ilokusi atau maksud.
418

Setiap lokusi ada 7 proses interpretasi oleh petutur, yang kemudian ditindaklanjuti

dengan 7 tindakan atau aktivitas oleh petutur.

Setiap data tuturan tersebut mengandung nilai budaya (1) agar setiap pemimpin

mempunyai perhatian kepada rakyatnya atau anak buahnya dengan sering mengadakan

koordinasi atas rapat, (2) agar setiap anggota keluarga saling tolong- menolong, saling

menghormati, antara suami-istri, antara orang tua-anak, dan antara saudara, (3) seorang

pemimpin harus memikirkan kesejahteraan rakyat, sehingga tidak kekurangan makanan,

pakaian, dan tempat tinngal, tidak hanya berpikir golongan dan partainya. Seorang raja

atau presiden, bukan raja atau presisennya golongan tertentu,agama tertentu, dan partai

tertentu, tetapi menjadi raja atau presidennya seluruh rakyat, sehingga harus bisa adil

kepada semua rakyatnya, (4) bahwa jabatan adalah amanah yang bersifat sementara,

maka suatu saat pada saat sudah tua atau sudah pension harus rela melepaskan

jabatannya kepada generasi muda untuk meneruskan estafet kepemimpnannya, (5)

seorang pemimpin harus bisa mengendalikan hawa nafsunya, terutama nafsu birahinya

kepada wanita, (6) seorang pemimpin harus mempunyai perhatiaan kepada rakyatnya.

Orang tua juga harus mempunyai perhatian kepada anaknya. seorang pemimpin dan

orang tua bila setelah bepergian jauh, sekembalinya harus menanyakan keadaan

rakyatnya atau anaknya, sebagai bentuk perhatiannya, dan (7) untuk mencapai cita-cita

yang baik dan luhur, tidak hanya dengan bekerja keras, tetapi diperlukan kesabaran,

keiklasan, keprihatinan, dan berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.


419

Pengikonan metafor adalah tanda yang tidak menunjukkan kemiripan antara

tanda dengan acuannya. Yang mirip adalah dua acuan yang diacu oleh tanda yang sama

(Sahid, 2016: 6). Ikon metafor ada 11 ikon metafor, yaitu (1) Banyu wening, (2)

Ginggang sak rambut saka jiwa ragamu,(3) Kucing, manuk perkutut, dan jaran,(4)

Mangkurating Tengger,(5) Kucing, manuk perkutut, dan jaran,(6) Pujan,(7) Anak

nandung kala,(8) Semar,(9) Klambi Limar Kinanti dan Sabuk Sakti Jaludamang,(10)

Gunung Gamping, (11) Tegal Durseta.

Secara pragmatik, kesebelas data tersebut merupan lokusi. Kesebelas tuturan

tersebut mengandung sebelas maksud. Kesebelas maksud tersebut akan diinterpretasi

oleh petutur dan akan melakukan sebelas tindakan sesuai pemehaman petutur.

Pengikonan metafor tersebut mengandung nilai etik (1) budaya masyarakat

Tengger sehari-hari mempunyai budaya memakai udeng) mengandung nilai pendidikan

kepada masyarakat bahwa bila akan memakan sesuatu harus dibersihkan dulu agar

penyakit dan baunya hilang. Setelah barang yang akan dimakan bersih, baru dapat

dimakan agar tidak bau dan tidak menyebabkan penyakit. (2) budaya masyarakat

memelihara binatag piaraan seperti kucing, perkutut, dan kuda, (3) budaya masyarakat

Tengger bila meminta sesuatu, pergi ke dukun, (4) budaya masyarakat Tengger setiap

bulan Kasada, hari ke15 dan 16 selalu mengadakan upcara Kasada sebagai media

mengirim hasil tanaman palawija ke Pangeran Kusuma, (5) hidup dalam masyarakat

harus salong tolong menolonf, (6) bila mempunyai dosa kepada Tuhan harus meminta
420

ampun kepada Tuhan, (7) mengandung nilai pendidikan kepada masyarakat agar kalau

mau meminta sesuatu kepada Tuhan Yang Mahakuasa, (8) kalau mau meminta sesuatu

kepada Tuhan Yang Mahakuasa, melakukan pembersihan jiwa dan raga, melalui

mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Mahakuasa, melalui berdoa, salat, dan puasa,

(9)mengandung nilai pendidikan kepada masyarakat, bila banyak melakukan kesalahan

dan banyak dosanya agar minta ampun kepada Tuhan Yang Mahakuasa, agar jiwa dan

raganya menjadi bersih dan suci, (10) untuk mencapai cita-cita diperlukan kerja keras,

kesabara, keprihatina, dan berdoa kepada Tuhan, dan (11) setiap usaha mencapai cita-

cita yang luhur, dipastikan ada halangannya, baik halangan kecil maupun besar.

Pengindekan adalah proses pembentukan indek melalui tuturan dalang dalam

pertunjukan wayang topeng Tengger. Index adalah tanda yang mempunyai hubungan

kedekatan dengan acuannya yang mempunyai hubungan sebab-akibat. Artinya, bila ada

suatu tindakan karena ada penyebabnya. Pengindekan ada 6 indek, yaitu (1) Anak yang

mengandung kala atau keburukan, (2) Menyiapkan berbagai jenis senjata karena

melewati hutan yang berbahaya, (3) Untuk mencapai cita-cita diperlukan usaha lahir dan

batin, (4) Suatu usaha yang sungguh-sungguh akan menghasilkan keberhasil,(5)

Nagagini siang-malam tidak bisa tidur dan mau makan, dan (6) Nagagini siang-malam

tidak bisa tidur dan mau makan.


421

Keenam data tersebut merupakan lokusi. Kenam lokusi tersebut megandung enam

maksud. Keenam maksud tersebut diinterpretasi oleh penutur, kemudian ditindak lanjuti.

Ada enam tindak lanjut yang dilakukan petutur.

Pngindekan tersebut mengandung nilai etik dan nilai pendiidikan sebagai berikut

(1) bila mempunyai anak yang mengandung kala harus diruwat, (2) bila melewati huta,

haruss menyiapkan senjata sebagai perisai diri dar I berbagai gangguab, (3) untuk

mencapai cita-cita diperlukan kerja keras, keprihatinan, kesabaran, dan disertai berdoa

kepada Tuhan Yang Mahakuasa, (4)untuk mencapai cita-cita seorang anak, di samping

bekerja keras, berdoa, juga perlu doa dan restu dari kedua orang tua, (5) bekerja keras

akan menghasilkan hasil yang baik, (6) manusia tidak boleh mempunyai sifat iri hati atas

kesuksesan orang lain, dan (6) orang tua harus memahami perubahan karakter anaknya,

terutama kepada anak wanitanya.

Pelambangan ada 26 lambang atau simbol, yaitu (1) Penghargaan pimpinan

terhadap kerja keras bawahannya,(2) Menyiapkan berbagai jenis senjata karena

melewati hutan yang berbahaya, (3) Pusaka Hargadimilah sebagai pusaka andalan

Kayangan Junggring Saloka (4) Pergantian pimpinan secara demokratis dan berdasarkan

kompetensi (5) Raja yang arif, bijaksana,, adil, dan demokratis,Abisi dan tidak

menghormati orang tuanya, (6) Abisi dan tidak menghormati orang tuanya, (7) Doa dan

resto kedua orang tua sangat dibutuhkan anak dalam mencapai cita-citanya, (8) Doa dan

resto kedua orang tua sangat dibutuhkan anak dalam mencapai cita-citanya, (9)
422

Perebutan jabatan dan kekuasaan (10) Semar, (11) Adigang adigung adiguna, kedung

jero, segara jembar, (12) Tidak boleh meghina wanita, (13) Orang tua bagaikan kendi

kebak, dicangking entheng, (14) Naga Gini mempunyai sugih kendel men, (15) Jarik

suwek, klambi suwek,(16) Tapa brata,(17) Menyiapkan berbagai jenis senjata karena

melewati hutan yang berbahaya, (18) Pangeran Dewa Kusuma(19) HANACARAKA

DATASAWALA PADHAJAYANYA MAGABATHANGA, (20) Dewi Muktrim, (21)

Batu Kuta, (22) Grumbul, (23) Anjar Kala atau Bethara Kala, dan (24) Naga Gini, (25)

Gemala Geni, dan (26) Entas-entas.

Secara pragmatic, kedua puluh enam lambang tersebut merupakan lokusi. Kedua

puluh enam tersebut mengandung dua puluh enam maksud. Maksud tersebut

diinterpretasi oleh penutur. Petutur melakukan dua puluh enam tindakan sesuai maksud

penutur sesua dengan pemahaman petutur.

Pelambangan tersebut mengandung nilai etnik (1) pemimpin harus banayak

koordinasi dengan stafnya untuk mengetahui masalah yang dihadapi anak buahnya, (2)

seorang pemimpin harus bisa mensejahterkan rakyatnya, sehingga tidak kekurangan

pangan, sandang, dan tempat tinggal, sehingga rakyat sejahtera, (3) seorang pemimpin

harus bisa melindungi rakyatnya, tidak boleh menindas rakyatnya, dan tidak boleh

hanya memperyahankan citra dan kekuasaannya harus mengorbankan rakyatnya, (4)

pemilihan pemimpin sebaiknya berdasarkan kompetensi, bukan berdasarkan golongan,

agama, dan uang, (5) pergantian pemimpin sebaiknya dilakukan secara jujur, adil, dan
423

demokratis, (6) seorang anak harus menghormati kedua orang tuanya, bila mau pergi

harus minta izin, (7) orang tua harus selalu memberi motivasi kepada anaknya agar bisa

dengan mudah mencapai cita-citanya, (8) bila seseorang akan menjadi pemimin, harus

menempu secara baik dan tidak melanggar nilai0nilai etika, moral, dan agama, (9)

jabatan adalah amanah dan suatu saat akan diambil Tuhan, (10) manusia harus

menjauhkan diri dari sifat iri hati, (11) seorang pemimin tidak boleh sombong dan

arogan, (12) menghormti tamu siapa pun, tanpa membedakan status sial, golongan, dan

agama, (12) kebiasaan atau budaya masyarakat yang sering minta bantuan dukun untuk

menaklukkan cinta seseorang, (13) seorang laki-laki jangan mudah tergoda oleh

kecantikan wanita, (14) seorang wanita harus hati-hati bila dilamar seorang laki-laki,

(15) masyarakat dahulu sering bertapa untuk meminta atau mencapai seseuatu, (16)

budaya masyarakat Tengger bila akanmmengawinkan anaknya mengadakan upacara

walimahan, (17) budaya masyarakat Tengger pada bulan Kasada melalkukan upacara

Kasada, (18) tidak boleh seorang pemim[in memberikan perintah kepada kedua

bawahannya yang saling bertentangan, (19) karakater orang tua akan menurun kepada

anaknya, sehingga orang tua harus mempunyai karakter yang baik dan bisa menjadi

contoh bagi anaknya, (20) bila sesorang minta sesuatu, mintalah kepada Tuhan, jangan

minta kepada dukun, (21) bila masyarakat Tengger mempunyai anak yanh mengandung

kala, harus segera diruwat agar tidak menjadi beban kedua orang tuanya dan

keluarganya, serta naknya, (22) agar manusia bisa mengendalikan hawa nafsunya, (23)
424

orang tua harus bisa mendidik anak-anaknya agar menjadi anak yang baik, (24)

peringatan kepada masyarakat agar bila menyuruh orang diberikan suarat tugas, dan (25)

bila menaggap wayang topeng Tengger sesajinya harus lengkap.

B. Temuan

Berdasarkan pembahasan pada Bab IV, penelitian ini menemukan 6 temuan, yaitu:

1. Masyarakat Tengger merupakan salah satu suku bagsa yang mendiami di sekitar

lereng Gununng Tengger yang tersebar di empat wilayah kawasan Tengger,

yaitu bagian Timur masuk Kabupaten Probolinggo, wilayah Barat masuk

Kabupaten Malang, wilawah Utara masuk Kabupaten Pasuruan, dan wilayah

Selatan masuk Kabupaten Lumajang.

2. Masyarakat Tengger sangat mempertahankan budaya hasil warisan nenek

moyangnya, seperti kepercayaan terhadap keberadaan para dewa, Dewa Wisnu,

Dewa Brahma, Dewa Siwa,Bethara Guru, Dewa Narada, Dewa Surya, Dewa

Nyawadipati, dan Dewa Bethara Kala, mereka anak keturunan Rara Anteng dan

Jaka Seger, Pangeran Dewa Kusuma, dan wayang topeng Tengger.

3. Wayang topeng Tengger sangat menarik dan unik karena banyak mengandung

mistik, seperti tokoh Bethara Kala pada saat memakai topeng Bethara Kala

langsung kemasukan roh Bethara Kala, sehingga tidak sadarkan diri. Semua

tindakannya merupakan tindakan roh Bethara Kala, mempunyai kekuatan luar

biasa, mengetahui apa yang manusia biasa tidak mengetahui, tokoh mediator
425

yang dititipi roh para anak yang mengandung kala mati betul dibunuh oleh

Bethara Kala, dalang bisa menghidupkan tokoh mediator yang mati dengan air

suci, pada saat upacara ruwatan berlangsung, masyarakat penonton tidak boleh

meninggalkan arena pertunjukan, bila meninggalkan,menueurt kepercayaan

masyarakat Tengger akan mendapat celaka, bahkan sampai mati, tokoh Bethara

Kala dapat mengobati masyarakat penonton dari berbagau jenis penyakit.

4. Fungsi utama pertunjukan wayang topeng Tengger sebagai media upacara

ruwatan anak yang mengandung kala dan sebagai hiburan.

5. Pertunjukan wayang topeng Tengger merefleksikan keadaan sosial budaya

masyarakat Tengger, seperti kepercayaan, mata pencaharian, dan status

sosialnya.

6. Pertunjukan wayang toeng Tengger merefleksikan status sosial dan tugas para

dewa.

7. Sumber cerita wayang topeng Tengger dari cerita Ramayana, cerita Mahabarata,

cerita Rara Anteng dan Jaka Seger, dan Aji Saka.

8. Pertujukan wayang topeng Tengger banyak mengandung pengikonan,

pengindekan, dan pelambangan. Pengindekan ada tiga jenis (1) indek tipologi,

ada 11 indek, (2) indek diagramati ada 7 indeks, dan (3) indek metafor ada 11

indeks, pada umumnya terkait dengan keadaan alam, sosial budaya masyarakat

Tengger, status sosial dan tugas para dewa.


426

9. Pertunjukan wayang topeng banyak mengandung pengindekan, ada 6 indeks

yang pada umumnya terkait dengan kehidupan seharai-hari masyarakat

Tengger.

10. Pertunjukan wayang topeng Tengger banyak mengandung pelambangan. Ada

26 lambang, yang pada umumnya terkait dengan sosial budaya, status sosial,

nenek moyang masyarakat Tengger, serta status sosial dan tugas para dewa.

11. Setiap tuturan dalang wayang topeng Tengger merupakan lokusi dan setiap

lokosi mengandung maksdunya atau ilokusinya. Setiap ilokusi dinterpretasi

oleh petutur yang kemudian akan ditindaklanjuti dengan aktivitas.

12. Pertunjukan wayang topeng Tengger banyak mengandung nilai etnik atau yang

dapat dijadikan contoh dalam kehidupan seharai-hari masyarakat Tengger pada

khusunya dan masyarakat pada umumnya.

C. Implikasi Hasil Penelitian

Secara teoritis, hasil penelitian ini menemukan disiplin ilmu baru

antropragmasemiotik, yaitu bidang ilmu baru antropologi sastra hasil dari integrase

ilmu antropologi, pragmatic, dan semiotic. Di samping itu, hasil penelitian ini dapat

semakin memperkaya khasanah penelitian sastra denga pendekatan ilmu antropologi

sastra dan memberi kontribusi dalam pengembangan ilmu sastra pada umumnya dan

antropologi sastra pada khusunya.


427

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan atau sumber

pembelajaran ilmu sastra, baik dari tingkat pendidikan dasar dan Mengengah, sampai di

perguruan tinggi, menjadi bahan referensi bagi para peneliti berikutnya untuk

dikembangkan dengan pendekatan lain.

Hasil penelitian ini juga sebagai sarana penggalian, pelestarian, dan pengembangan

wayang topeng Tengger sehingga dapat berkembang lebih baik daripada keadaan

sekarang, baik sarana dan prasarana pertunjukana wayang topeng Tengger, seperti

panggung, gamelan, topeng wayang, dan kesejahteraan dalang dan para aktornya.
428

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Hazim. (1991). Nilai-Nilai Etis dalam Wayang. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Anas, Muhammad. (2013). ―Telaah Metafisik Upacara Kasada, Mitos dan Kearifan Hidup
dalam Masyarakat Tengger‖. Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam.
Volume 7, Nomor 1, Juni, 21-52.

Andriani, Fitriya. (2016). ―Modern Camera Connotation: Semiotics Profit Accounting in


Perspective Roland Baerthes‖. International Conference on Education. Prosiding
Education the 21th Century: Responding to Current Issues. Malang: Graduat
Schoole, University of Malang, 284-291.

Andriyanto. ( 2017). ―Analisa Semiotik Denotasi, Konotasi, dan Mitos Iklan Inddomie
Versi 45. Anniversary di Televisi‖. Jurnal Manajemen Bisnis dan Kewirausahaan,
Volume 1, No.1, September, 113-121.

Anggraini, Dian. (2017). ―Budaya Lampung dalam Cerpen ―Sebambangan‖ Karya Budi P.
Hatees‖. Aksara, Vol. 29. No. 1, Juni, p.49-62.

Asfina, Risda & Ririn Ovilia. (2016). ―Be Proud of Indonesian Cultural Heritage Richneess
and be Alert of ITS Preservation Efforts in the Global World‖. Humanus.
Vol.XV, No.2. Oktober, 195-206

Astrini dkk., (2013). ―Semiotika Rupa Topeng Malangan (Studi Kasus Dusun
Kedungmonggo, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang)‖. Jurnal Ruas.
Vol.11, No. 2. Desember, 89-98.

Bahaudin. (2015). Mistik dan Politik: Praktik Perdukunan dalam Politik Indonesia. Jurnal
Keamanan Nasional, Vol. 1, No. 3.

Babbul, Masrukhi & Hamdan Tri Atmaja. (2017). ―Pergeseran Budaya Lokal Remaja Suku
Tengger di Desa Argosari Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang‖. Journal of
Education Social Studies, JESS 6 (1), 20-28.

Barker, Chris. (2004). Cultural Studies (Nur Hadi, Penerjemah). Bantul: Kreasi Wacana
429

Barker, Chris. (2005). Cultural Studies (Tim Kunci Cultural Studies Center, Penerjemah).
Bantul: Bintang.

Barthes, Roland, (2012). Elemen-Elemen Semiologi (Terjemahan oleh


M.Ardiansyah).Yogyakarta; IRCiSoD.

Berger, Artur Asa. (2000). Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana Yogya.

Brown, Penelope and Stephen C..Levinson. (1987). Politeness: Some Universal in


Language Usage. Cambridge University Press.

Budiman, Kris. (2011). Semiotka Visual, Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas.Yogyakarta.
Jalasutra.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustin. (2004). Sosiolinguistik, Perkenalan Awal. Jakarta:
Rineka Cipta.

Colopietro, Vincent Michael. (1989). Peirc’s Approach to the Self: A Semiotic Perspevtive
on Human Subjectivity: Albany: State University of New York Press.

Creswell, John W. (2015a). Research Design, Penedekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan


Mixed (edisi ke-5). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Creswell, John W. (2015b). Metode Penelitian Kualitatif & Desain Penelitian


.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Cutting, Joan. (2002) Pragmatics and Discourcse. London and New York: Routledge

Dewi, Faourin Indra. (2015). ―Pertunjukan Wayang Topeng Tengger dalam Uapacara
Ruwatan di Desa Wono kerso Kabupaten Probolinggo‖. Apron Jurnal Pemikiran Seni
Pertunjukan, Vo.2, No. 7. 1-15 (http/ejournal.unesa.ac.id.).

Djirong, Salmah. (2014). ―Kaajian Antropologi Sastra, Cerita Rakyat Datumuseng dan
Maipa Deapati‖. Sawerigading, Vol. 20, N0. 2, Agustus, p. 215-226).

Endraswara, Suwardi. (2013). Metode Penelitian Antropologi Sastra. Yogyakarta: Ombak.

Endraswara, Suwardi. (2017). Mistik Kejawen, Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme


dalam Budaya Spiritual Jawa.. Yogyakarta: Narasi.
430

Endraswara, Suwardi. (2017). Antropologi Wayang, Simbolisme, Mistisisme, dan Realisme


Hidup. Yogyakarta: Murfalingua.

Eco, Umberto. (2016). Teori Semiotika, Signifikasi Komunikasi, Teori Kode, Setra Teori
Produksi-Tanda (Terjemahan Insiak Ridwan Munsir) . Bantul: Kreasi Wacana
Offset.

Fauzan. (2016). ―Makna Simbolik Topeng Sakura Pada Masyarakat Adat Lampung”.
Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam: Vol 10, No 1, Juni, 223-256..

Furiassi, Cristiano. (2018). ―Macaroni English goes Pragmatic: False Phraseologikal


Anglicisms in Italian as Illocutionary Acta‖. Journal of Pragmatics. xxx (2018)
1-14, p. 1-14.

Greertz, Clifford. (2017). Agama Jawa Abangan, Santri, Priyai dalam Kebudayaan Jawa.
Depok: Komunitas Bambu.

Hakim, Fauzia Zahira Munirul. 2018. ―Fungsi Ilokusi Smiling Emoji Sebagai Strategi
Kesantunan‖(e-mail: zhrfauzia @gmail.com, diakses tanggal 23 September 2018).

Hammersley, M., & Atkinson, P. (1995). Ethography: Principles In Practice (edisi ke-2).
New York: Routledges.
.
Harianto, Dani. (2016).―Pengembangan Laboratorium Budaya Suku Tengger Untuk
Mewujudkan Sistem Pemerintahan Desa yang Baik (Good Village Governance)‖.
Maksigama Jurnal Hukum, Thun 9, Nomor 1, Mei,58-76.

Haviland, William A. (1999). Antropologi. Jakarta: Airlangga.

Hendrajati, Enie (2017). ―Strategi Pragmatik Bahasa Humor dalam Acara ―MARIO Teguh
Golden Ways‖. Jurnal Sosial Humaniora. Volume 10,Ed.1.p.16-33.

Hendriyana, Husen. (2017). ―Makna Estetik dan Simbolik Motif Liman dan Dalima Dalam
Konsep Sadguna Pada Keraton Cirebon Periode Kasepuhan I (1678-1698) -
Kasepuhan (1698- 1723)‖. Idealogyjournal.Art, Design & Civilization, Vol. 2, No. 1,
164-177.

Hutomo, Suripan Sadi. (1993). Mutiara yang Terlupakan, Pengantar Studi Satra Lisan.
Surabaya: Hiski Jawa Timur..
431

Ibrahim, Abdul Sukur (Editor). Metode Analisi Teks & Wacana. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Jazuli. (1999). ―Idiologi Dalang Wayang Kulit Purwa (Disertasi)‖. Surabaya: Program
Pascasarjana Universitas Airlangga.

Kaelan. (2009). Filsafat Bahasa Semiotika dam Hermeneutika. Yogjakarta: Paradigma.

Khotimah, Khusnul. (2017). ―Tingkat Kesantunan Berbahasa dalam Interaksi Antarsantri di


Pondok Pesantren At- Taa‘wun Bangkalan Madura (Kajian Pragmatik)‖. Jurnal
Inovasi Pendidikan, Volume 1, Nomor 2, September, p. 19-27.

Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Djambata

Koentjaraningrat. (1991). Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta. Gramedia

Koentjaraningrat. (1994) Kebudayaan Jawa. Jakarta. Balai Pustaka

Kusumadinata. (2015). ―Proses Inkulturasi Dalam Budaya Entas-Entas, Praswala Gara, dan
Pujan Kapat (Sistem Sosial Lokal: Antar Etnis Kabupaten Probolinggo)‖. Jurnal
Komunikatio, Volime 1, Nomor 1,17-29.

Larson, Mikred L. (1989). Penerjemahan Berdasarkan Makana: Pedoman untuk


Pemadaman Antarbahasa. Jakarta: Penerbit Arcan.

Lisnasari dan Sukmawan. (2016). ―Berhulu Welasasih Pepitu, Bermuara Narasi Arkadia:
Kajian Ekokritik Cerita Rakyat Tengger‖. Jurnal Ilmiah Edukasi & Sosial, Volume
7, Nomor 2, 167-176.

Listiyana dan Mutiah. (2017). ―Pemberdayaan Masyarakat Suku Tengger Ngadas


Poncokusumo Kabupaten Malang dalam Mengembangkan Potensi Tumbuhan Obat
dan Hasil Pertanian Berbasis ―Etnofarmasi‖ Menuju Terciptanya Desa Mandiri‖.
Jurnal of Islamic Medicine, Volume 1 (1), 1-8.

Locher, Miriam A. 2015. ―Interpersonal pragmatics and its link to (im) politeness
research‖. Journal of Pragmatics 86 (2015 5-10).P.5-10.

Marataus, Ika dkk., (2017). ―Local Wisdom Reflected in The Symbols in Masjid Saka
Tunggal Banyumas‖. Jurnal Kebudayaan Islam. Vol. 15, No.1, Mei, 165-178.
432

Marzuki, Ahmad. (2016). ―Nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Unan-Unan Masyarakat
Suku Tengger‖. al-Murabbi, Volume 1, Nomor 217-242.

Mawadati, Asqina dkk.,( 2017). ―The of Writing Learning Media For Bipa Sudents to
Understand Local Culture‖. Komposisi; Jurnal Pendidikan BAHASA, Sstra, dan
Seni, Volume XVIII, No. 1, Mei. P. 66-79.

Merrell, Floyd. 1997. Peirce, Signs, and Meaning. Toronto Buffalo London: University of
Toronto Press

Nasution. (1988). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung; Tarsito.

Novianti, Hasmi. (2017). ―Analisi Tindak Tutur Ilokusi Iklan Perdagangan di Radio Harau
FM Payakumbuh Periode Februari –April 2016‖. Bahastra. Volume 37, Nomor 2, Edisi
Oktober. 129-137.

Nurfaidah, Resti. (2016). ―Adinda dalam Keterbacaan Simbol‖. Jurnal Bebasan, Vol.3,
No.2, Desember. 148-159.

Peterson, Elizabeth (2018). ―Introduction to the special issue: Linguistics and pragmatic
autcomes of contact with English‖. Journal Pragmatics. 133 (2018) 105-108.p.105-
108.

Prastyo, Djoko Adi (2004). ―Wayang Topeng Glagahdowo‖.Journal Masyarakat


Kebudayaan/Politik. Vol. 17, No. 4. 1-15 (Journal.unair.ac.id).

Purnama, Yolanda Priska. (2016). ―Pengaruh Masuknya Budaya Asing Terhadap


Pelestarian Kebudayaan tari Tradkisional Wayang Topeng Malang di Malang Raya,
Jawa Timur‖. Pesona, Vol.2, Nomer 01, Desember, 621.

Puspoprodjo. (1987). Interpretasi. Bnadungh: Remaja Karya.

Rahima, Ade. (2017). ―Interpretasi Makna Simbolik Ungkapan Tradisional Seloko Hukum
Adat Melayu Jambi‖. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi: Vol 17, No.1,
250- 267.

Ratna, Nyoman Kutha. (2011). ―Antropologi Satra: Perkenalan Awal‖. METASASTRA, Vol
4, No.2, Desember, p. 150-159.
433

Ratna, Nyoman Kutha. (2012). ―Antropologi Satra: Penggunaan Teori dan Metode Secara
Ekletik dan Metodologi Campuran ‖. Pustaka. Vol XII, No.1, Februari, p. 52-
64.

Ratnaningrum, Ika. (2011).‖Makna Simbolik dan Peranan Wayang Topeng Endel‖.


Harmonia: Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, 11 (2) 125-
129.(http://journal.unnes.ac.id/nju/ index.php/ harmoni/ jurnal pengetahuan dan
pemikiran seni/11(2)(2011), 125-129.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-DESA) Tahun 2016-2021. (2016)


Probolinggo: Desa Wonokerso.

Robinson, Andrew. (2010). God and the World of Signs: Trinity, Evolution, and the
Metaphysical Semiotics of C.S.Peirce. Leiden. Boston: Brill.
Robson, SO. (1994). Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: Rul.
Sahid,Nur. (2016). Semiotika untuk Teater, Wayang, Wayang Purwa, dan Film. Semarang:
Gigih Pustaka Mandiri.
Sait, La Ode Irman. (2009). The Coding Manual for Qualitative Researchers. London: Sage
Publications Ltd.

Saldana, Johnny, (2009). The Coding Manual for Qualitative Researchers Sage . London :
Publicatons Ltd.

Sari, Dina Purnama, (2016). ―Travel Writing Sebagai Inovasi Pendidikan pada Novel
Etnografi Manusia Langit Karya J.A. Sonjaya‖. Jurnal Poetika,, Vol. III, No. 1, Juli,
p. 32-40.
Sartini, Heddy Shri Ahimsa-Putra, Al Maki. (2016). ―A Pleliminary Survey on Islamic
Mysticism in Java‖. Analisis, Volume XVI, Nomor 2, Desember. 1-40.
434

Septiana, Opta, Totok Sumaryono, dan Agus Cahyono, (2016). ―Nilai Budaya Petunjukan
Musik Terbangan pada Masyarakat Semende‖. Catarsis: Jurnal of Arts Education
5 (2). 142- 149.
SEW. (2016). ―Analisis Kajian Sastera: Semiotik dalam Novel Anwar Ridhan‖. Akademika
86 (2), 53-63.
Shanie, Arsan, Totok Sumaryanto, dan Triyanto, (2017). ―Busana Aesan Gede dan Rgam
Hiasnya sebagai Ekspresi Nilai-Nilai Bidaya Masyarakat Palembang‖.
Catharsis:Journal of Arts Education, 6 (1).p. 49-56

Sholikhah, Ika Maratus, Dian Adiati, Asrofin Nur Kholifah. (2017). ―Local Wisdom
Reflected in the Symbols in Majid Saka Tunggal Banyumas‖. Jurnal Kebudayaan Islam.
Vol. 15, No.1, Mei, p.165-178.

Sobur, Alex.( 2006). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Spradley, James P. (2007). Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Subadyo, A. Tutut. (2016). ―Arsitektur Pekarangan Suku Tengger di Kantung Taman


Nasional Bromo Tengger Semeru‖. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI. Pusat Studi Tata
Lingkungan dan Bentang Alam, Jurusan Arsitektur Unmer Malang.

Sudikan, Setya Yuwana. (2001). Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya : Citra Wacana

Sudikan, Setya Yuwana. (2014). Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Pustaka
Ilalang.

Sudikan, Setyo Yuwono. (1999). ―Pergelaran Wayang Krucil di Desa Janjang, Kecamatan
Jiken, Kabupaten Blora Era 1990-an‖ (Disertasi). Surabaya: Program Pascasarjana
Universitas Airlangga.Sugiyono. (2009). Pengertian Teknik Sampling. Bandung:
Alfabeta.

Supratno, Haris (Penyunting). (2003). Konstruksi Teori Ilmu-Ilmu Sosial, Kumpulan


Ringkasan Disertasi Program Studi Ilmu-Ilmu Sosial Program Pascasarjana
Uiversitas Airlangga Surabaya. Surabaya. Unesa Univertity Press.

Supratno, Haris (2010). Sosilogi Seni, Wayang Sasak Lakon Dewi Rengganis dalam
Konteks Perubahan Masyarakat di Lombok. Surabaya: Unesa University Press.
435

Supratno, Haris. (2015). Sosiologi Seni, Foklor Setengah Lisan Sebagai Media Pendidikan
Karakter Mahasiswa. Surabaya: Unesa University Press.

Suripan, Sadi Hutom. (1991). Mutiara yang Terlupakan, Pengantar Studi Sasyra Lisan.
Surabaya: Kiski Jawa Timur.
Suryawinata, Zuchridin. (1989). Terjemahan PengantarTeori dan Praktik. Malang:
Depdikbud
Sutarto, Ayu. (2006). ―Sekilas Tentang Masyarakat Tengger”. Makalah disampaikan pada
acara pembekalan Jelajah Budaya 2006 yang diselenggarakan oleh Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarata, tanggal 7-10 Agustus.

Verulitasari, Esti dan Agus Cahyono. (2016).‖Nilai Budaya dalam Pertunjukan Rapai
Geleng Mencerminkan Identitas Budaya Aceh‖. Catharcis: Jurnal of Ars
Education 5 (1), 41-47.

Wanulu, Rukyah. (2016). ―Makna Interaksi Simbolik Pada Proses Upacara Adat Cumpe
dan Sampua Suku Buton di Samarinda‖. eJournal Ilmu Komunikasi, Volume 4, Nomor
3. p.265-279.

Winditmoko, Doni Uji. (2014).‖Tafsir Simbolik dan Tafsir Falsafah pada Wayang Topeng
Glagahdowo‖. Jurnal Orasi (Otonomi, Refoemasi, & Transparansi). Vol. 8, No. 1,
Desember, p.1-8 (unim.ac.id/jurnal- orasi , volume 8, no.1).

Yanuartuti, Setyo dkk., (2016). Pengembangan Struktur Dramatik Cerita Panji dalam
Pertunjukan Drama tari Topeng di Jombang sebagai Upaya Pengenalan Kembali
Lokal Genius Kepada Generasi Muda. Laporan Penelitian Skim Stranas. Surabaya:
Unesa.

Yanuartuti, Sety dkk., (2017). Konservasi Wayang Topeng Jombang sebagai Upaya
Membangun Kembali Nilai-Nilai Budaya Bangsa. Laporan Penelitian Skim
Stranas.Surabaya: Unesa.

Yanuartuti, Setyo dkk., (2017).Tranformasi Cerita Panji dalam Drama Tari Topeng
Jombnag sebagai Produk Kreatif. Laporan Penelitian Skim Stranas. Surabaya:Unesa.

Yule, George. (1996). Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


436

Yuliantini, Yanti Dwi dan Adita Widara Putra. (2017). ―Semiotika dalam Novel Rembulan
Teenggelam di Wajahmu karya Tere Liye‖. Jurnal Literasi. Volime 1, Nomor 2,
Oktober, p. 65—72.

Wijana, I Dewa Putu. (2017). ―Tindak Tutur Meminta Oleh Kajian Pembelajaran BIPA dari
Korea: Kajian Pragmatik Bahasa Antara (Interlanguage Pragmatics) Jurnal
Penelitian Humaniora, Vol. 18, No.1, Februari, p. 27-40.

Wolfreys, Julian (Editor). (1999). Literary Theories, a Reader & Guide. New York: New
York University Press.

Zoest, Aaart Van. (1993).Semiotika. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

Zoest, Aart Van. (1980).Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik. Yogyakarta: Van
Gorcum Assen.

Zuliyanti, Sisfiyah. (2018). ―Kajian Antropologi Sastra dalam Novel Ranggalawe:


Mendung di Langit Majapahit Karya Gesta Bayuadhy‖. Pentas: Jurnal Iliah Pendidikan
Bahasa dan Satra Indonesia. Vol. 4, No.(1), Mei, p. 33-40.

Anda mungkin juga menyukai