Anda di halaman 1dari 142

Penulis : Pupt Yolasari

Penyunting : Puput Yolasari

Desain Sampul : Puput Yolasari

Peneta Isi : Puput Yolasari

Qalsum Education Center

Jl. Jendral Aahmad Yani, No. 7 Masamba, Luwu Utara,


Sulawesi Selatan.

Telepon : 0473 21 435

Surel : qac_msb@gmail.com

PENGANTAR PENULIS

1
Segala puji bagi Allah Swt, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan novel
ini dengan tepat waktu sebagai tugas yang diberikan.
Tak lupa shalawat serta salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
Saw. Yang telah membawa kita keluar dari jalan yang
gelap menuju jalan yang terang.

Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada guru yang


telah membimbing saya, ibu Minayanti S.Pd. Serta
kepada teman-teman yang telah menemani saya
begadang dalam mencari ide sehingga novel ini dapat
saya selesaikan.

Saya menyadari bahwa dalam penulisan novel ini masih


terdapat banyak kekurangan. Untuk iti, mohon maaf
apabila dalam penulisan novel saya ini terdapat salah-
salah kata, mohon di maklumi

Terima Kasih Semuanya

Puput Yolasari

Daftar Isi

2
Pengantar Penulis.............................................2

Daftar isi...........................................................3

Biografi Tokoh Ken Arok................................4

Arok..................................................................5

Menjadi anak angkat Ki Bango Sampara .......25

Tanca................................................................43

Berguru pada Bapa Tantripala..........................49

Bertemu sang Mahaguru...................................55

Ki Lembung......................................................60

Perjalanan menjadi seorang Brahmana............73

Bertemu Umang...............................................95

Nyi Lembung,Emakku.....................................106

Prajurit Tumapel..............................................112

Paramesywari Tumapel...................................122

Biografi Pnulis................................................143

3
BIOGRAFI TOKOH
Ken Arok atau sering disebut juga sebagai “ Sri Ranggah
Rajasa ” ( diperkirakan lahir di Jawa Timur pada tahun
1182, dan wafat di Jawa Timur pada tahun 1247 ). Ken
Arok adalah seorang pendiri Wangsa Rajasa yang
menurunkan raja-raja besar di tanah Jawa, mulai dari
singhasari sampai kerajaan Majapahit. Ken Arok ini
memerintah dengan gelar raja Sri Rajasa Bhatara Sang
Amuwarbhumi pada tahun 1222-1247 Masehi.
Tidak ada yang mengetahui secara pasti siapa orang tua
dari Ken Arok, menurut kisah dari kitab Pararaton, Ken
Arok disebut sebagai putra tunggal dari Dewa Brahma
yang diturunkan melalui rahim seorang budak
perempuan bernama Ken Endog.

Ken Arok juga dikenal sebagai tokoh yang


memerdekakan Tumapel dari pengaruh kerajaan Kediri,
yang menjadi awal mulai terjadinya perang Ganter antara
Tumapel dan rajanya sendiri Sri Baginda Kretajaya.
Yang kembali dimenangkan oleh Ken Arok sehingga
kekuasaan Tumapel semakin luas dan kerajaan Kediri
runtuh setelahnya.

4
AROK
Tetesan air hujan membasahi sepanjang derap langkah
ku yang tergesa-gesa sore hari itu, namun naungan awan
kelabu itu tak juga menghalangi sang surya yang sudah
hampir tenggelam ketika aku sampai Di kebun buah
Bapa Dang Hyang Lohgawe. Sengaja ku tepiskan
langkah ku untuk menghindari mahaguru dan segera
mencari tempat air. Adalah tidak patut jika aku
ditemukan dalam keadaan begini kotornya.Usai
berbenah diri akupun berganti pakaian dan masuk ke
pemondokan menyusul teman-teman seperguruanku.

Tujuh orang itu sedang sibuk menghadapi rontal (helai-


helai daun yang biasanya digunakan untuk menulis
aksara atau naskah-naskah kuno ) rupanya tengah
menghafal paramasastra Sansakerta (Tata bahasa dalam
sansekerta), ketahuan dari dengung ucapan mereka yang
pelahan.

"Tiada Bapa menanyakan aku?" tanyaku menyela


hafalan mereka . Semua mengangkat kepala. " Tiada."
ujar Tanca yang berada di dekat ku.

Mereka menyingkirkan rontalnya dan dengan


pandangan penuh tanya menatapku.

5
"Dari mana saja kau? Mukamu sudah hitam biru begitu.
Sudah lama kau tak belajar."

"Kau bisa diusir," seseorang memperingatkan, "biarpun


ingatanmu mendapatkan pancaran dari Hyang Ganesya
(dewa ilmu pengetahuan; berkepala gajah.)."

Aku tak pernah belajar paramasastra Sansakerta


berulang-ulang seperti mereka. Menurutku setiap mata
pelajaran itu terlalu mudah untuk kusimpan dalam
ingatanku ini. Dan ternyata malam itu bukan
paramasastra yang keluar.

Bapa Dang Hyang Lohgawe agak lama duduk


termenung di atas tikar pandan berwarna warni. Kami
tengah menunduk menanti beliau untuk berucap. Dan
waktu ia angkat pandangnya, matanya tertuju padaku,
wajahnya yang begitu tenang kini terlihat serius, makin
ku tundukkan pandanganku hendak menghidarinya,
sedikit ku merasa khawatir akan tegurannya lagi.

"Sudah lama aku timbang-timbang. Kau seorang muda


yang cerdas, giat, gesit, ingatanmu sangat baik, berani,
tabah menghadapi segalanya. Aku tidak tahu apakah
yang kau perbuat selama ini tumbuh dari hatimu yang
suci dan pertimbanganmu yang masak," ia buka sebuah
bungkusan dan mengeluarkan dari dalamnya seikatan
tebal rontal. "Kau kenal tulisan ini?"

6
"Kenal, ya, Bapa mahaguru."

"Bukankah ini tulisan gurumu yang lama?"

"Benar, ya, Bapa mahaguru, Bapa Tantripala."

"Apa kau tahu yang ditulisnya di sini?"

"Tahu, ya, mahaguru, catatan tentang pribadi sahaya."

"Benar. Apakah kau lebih dahulu telah


membacanyasebelum kau serahkan padaku pada hari
pertama kau datang ke sini ?"

"Ampun, ya Bapa, itu bukan menjadi hak sahaya untuk


membacanya, maka tak pernah sahaya lakukan."

Bapa Dang Hyang Lohgawe menghembuskan nafas.


Sinar lampu damar itu menyoroti lehernya yang dihiasi
dengan keriputan usia.

"Kau semestinya mengerti, aku tak boleh ragu-ragu.


Apakah yang kau perbuat di luar pengetahuanku selama
ini keluar dari hati yang sakit ataukah hati ikhlas yang
dapat menampung karunia, biarlah malam ini kita
selesaikan dengan baik. Setelah ini, kau bebas tanpa
ikatan padaku. Kalau benar tulisan Tantripala ini kau
seorang pemuda yang bisa merusakkan kehidupan dan
aturan, itu pun terserah padamu. Setelah ini aku tidak

7
lagi mengharapkan kedatanganmu, sekalipun kau bebas
datang dan pergi. Kau mengerti maksudku?"

"Ya, Bapa mahaguru, sahaya telah menimbulkan


kekhawatiran Bapa mahaguru Lohgawe, itu sesuatu hal
yang semestinya tidak terjadi, dan tidak perlu terjadi."

"Baik. Tentu kau belum pernah melihat laut."

"Belum, ya, Bapa."

"Apakah yang lain-lain belum pernah ke Gresik?" Tanya


Bapa Dang Hyang Lohgawe, Kami hanya menggeleng .
Ternyata seorang pun belum pernah meninggalkan
Tumapel. Bapa Dang Hyang Lohgawe tersenyum tipis
seakan mengisyaratkan maklum.

"Baik. Mari aku ceritakan. Ada sebuah daerah luas di


selatan Gresik. Seluas pandang ditebarkan, hanya sawah,
sawah dan sawah - sawah untuk musim kering seperti
sekarang ini. Dan kau diamlah, kau dengarkan saja,"
Bapa Dang Hyang Lohgawe memperingatkan padaku.

"Coba, seorang di antara kalian sekarang terangkan


alasannya," ia menuding pada salah satu temanku dengan
lidi enau yang tak pernah lepas dari genggamannya,
kemudian dilanjutkan oleh temanku yang lain sesuai

8
dengan yang ditunjuk Bapa Dang Hyang Lohgawe.
Semua teman-temanku dapat meneruskan giliran
penjelasannya dengan apik,bukti bahwa mereka telah
banyak belajar. Bapa Dang Hyang Lohgawe tersenyum
puas.

"Dilaksanakan pada tahun Saka Seribu ..." Bapa Dang


Hyang Lohgawe mengisyaratkan cukup untuk teman ku
yang terakhir itu,kemudian mendeham. Ia memindahkan
perhatianya kepadaku tanpa bicara, isyarat bahwa ini
giliranku.

"Ya, Bapa Mahaguru, sahaya belum pernah melihat


Gresik, hingga penanggulan kali Brantas pada bagian-
bagian yang diperlukan. Semua untuk kesejahteraan
kawula dan negeri, mengurangi penyakit dan bencana
tahunan, meningkatkan perdagangan dan pertahanan
negeri"

Bapa Dang Hyang Lohgawe untuk kedua kali


mendeham.

"Katakan apa yang kau ketahui, bukan malah


pendapatmu "

Seketika aku tahu bahwa Bapa Dang Hyang Lohgawe


tengah menguji ku. "Ya, Bapa, apalah artinya
pengetahuan tanpa pendapat?" tanyaku balik

9
"Baik, aku harus percaya bahwa kau telah mengetahui
semua itu, dan kemudian berpendapat. Wahai muridku,
tiadakah kau tahu bahwa berpendapat tanpa
berpengetahuan memiliki hukuman mati bagi seorang
calon brahmana?. Dia takkan mungkin jadi brahmana
yang bisa dipercaya jika demikian rupa."

"Sahaya, Bapa." Aku menundukkan kepalaku sekali


lagi.

"wahai engkau muridku, Kau telah dapat membaca


sendiri rontal tanpa bantuanku lagi. Ingin aku
mengetahui sampai di mana dan seberapa
pengetahuanmu." Sunggingan senyum tipis kembali
terlihat diantara lekukan pipinya yamg telah mengeriput,
Bapa Dang Hyang lohgawe kembali terdiam, menutup
matanya seperti hendak memulai samadhi. Ia membuka
mata dan mengangguk tenang, "Baik, apa pendapatmu
tentang Sri Baginda Kretajaya?"

Sejenak aku terdiam mendengar nama itu,"Sri Baginda


Kertajaya" ,si Raja bengis itu,manusia terlampau angkuh
yang mengaku dirinya adalah dewa dan memaksa
semua orang untuk menyembahnya,tanpa sadar tangan
ini mulai mengepal begitu mengingat Sang Prabu, telah
begitu banyak penderitaan yang ia tebarkan bersama

10
Akuwunya, Tunggul Ametung (akuwu: dibawah dari
pemerintahan kerajaan,sekarang setingkat dengan bupati)

" Ada apa? " Bapa Dang Hyang Lohgawe


membangunkanku dari ingatan tentang sang prabu dan
akuwunya yang senang merampok hak rakyat itu.

Aku mencoba tenang,telah kupikir matang-matang pula


jawaban untuk pertanyaan Bapa Dang Hyang Lohgawe
tadi, namun aku sedikit khawatir akan tanggapan balik
darinya nanti.

"Pendapat sahaya, dengan tegas sekarang ini ialah, Bapa


Mahaguru Dang Hyang Lohgawe tidak suka pada Sri
Baginda Kretajaya, apalagi pada akuwunya di Tumapel,
Tunggul Ametung. Bapa telah percaya pada kami semua
ini,Bapa Mahaguru Dang Hyang Lohgawe menimbang
kami semua telah dewasa untuk bergabung dalam
persekutuan para brahmana, guna mendudukkan kembali
Hyang Mahadewa Syiwa pada cakrawartinya. Ampuni
sahaya, ya Bapa Mahaguru."

Nafasku seketika tertahan saat melihat Bapa Dang


Hyang Lohgawe membelalak akan pendapatku tadi. Lidi
enau jatuh dari genggamannya. Aku hanya pura-pura
tidak tahu dan meneruskan pendapatku "Bapa Mahaguru

11
Dang Hyang Lohgawe telah bersekutu dengan kami
semua, suka ataupun tidak, hendak bersekutu melawan
Akuwu Tumapel Tunggul Ametung dan Sri Baginda
Kretajaya."

Lantas mereka semua semakin terbelalak mendengar


ucapanku itu

"Tak pernah aku katakan itu!" bantah Bapa Dang Hyang


Lohgawe. Terlihat dagunya terangkat menantang.

"Tidak percuma Bapa Mahaguru pernah ajarkan pada


kami tenung sikap tak suka kaum brahmana terhadap
bangsa Isana, keturunan Sri Baginda Erlangga."

"Dengarkan kata-katanya, hai, kalian," Bapa Dang


Hyang Lohgawe berpaling pada para teman-temanku
yang lainnya,kini wajahnya terlihat mulai serius kembali
" Memang tidak lain dari aku sendiri yang selalu
memuji-muji Sri Baginda Erlangga sebagai raja
pembangun terbesar,berkali-kali ia menanggul kali-kali
(sungai-sungai) dan dikeduk untuk lalu lintas dan
keselamatan pertanian dan kawulanya, banyak pelabuhan
dan rumah-rumah suci yang beliau dirikan, bendungan
dan jalanan negeri di mana-mana,hingga karunia prasasti
dan dharma pada para pembangun juga ada di mana-
mana " Bapa Dang Hyang Lohgawe meluruskan.

12
" Ya Bapa,memang tiada yang dapatmembantah bahwa
Sri Baginda Erlangga adalah seorang pembangun besar.
Namun satu hal yang akan Bapa Mahaguru katakan
nantinya ialah: hanya satu yang tidak pernah
dibangunkannya, yakni kedudukan kaum brahmana."
Aku terhenti oleh Tanca yang menarik sedikit kain
sarung penutup celanaku.

"Hei Temu!!.." peringat Tanca padaku. Aku hanya


melihatnya sekilas tak peduli akan
peringatannya,kemudian ku lanjutkan kembali ucapanku.

" Dan yang belum lagi yang pernah Bapa katakan: Sri
Baginda Erlangga melecehkan ajaran agama kita,
menjungkir-balikkan para dewa Hindu yang kita semua
puja yang, kita semua harapkan karunianya dan takuti
murkanya. Dan diagungkannya Hyang Wisynu sebagai
dewa tertinggi karena Hyang Wisynu saja yang menitis
pada manusia terbaik di seluruh negeri, manusia
terbijaksana di jagad pramudita ini ,maka dengan
demikian ia sendiri malah menyatakan diri sebagai
titisan dari Hyang Wisynu.Ya, Bapa Mahaguru, dengan
demikian dia sendiri telah dapat mengangkat dirinya
sebagai seorang dewa dengan segala kebesaran dan
kekuasaan yang dimilikinya, serta mengangkat nenek-
moyangnya yang disukainya, raja-raja terdahulu..."

13
"Kau .... !" tegah Bapa Dang Hyang Lohgawe.

"Bapa Mahaguru menghormati Sri Erlangga sebagai


pembangun agung bagi kemakmuran dan kesejahteraan
negeri dan kawula, tapi juga dirugikannya kaum
brahmana. Sahaya beserta semua teman sahaya ini masih
ingat kecaman Bapa atas diri Sri BagindaErlangga
sebagai pen-dangkal ajaran. Bukankah atas perintahnya,
Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha dalam Jawa, dan
karena parwa itu mirip dengan riwayat Sri Baginda
sendiri? Bukankah dengan demikian baginda telah
mendangkalkan kitab agung itu? Bahkan baginda tidak
menyerahkan tugas itu pada pertimbangan kaum
brahmana yang lebih berhak!.
Masih ingatkah Bapa Mahaguru pada ucapan Bapa
sendiri: Hendak menandingi Sansakerta? Kemuliaannya
hilang dan kedangkalan yang menggantikan?"

Aku sendiri tak dapat mengartikan pandangan Bapa


Dang Hyang yang terlihat begitu serius dan khidmat,
sementara teman-teman sepengajaranku terlihat telah
tenggelam dalam pidato ku itu.

"Ya,Bapa.. Hal ini tidak sepatutnya untuk


dilupakan,sahaya juga tidak patut diam membisukan
suatu hal bahwa para brahmana siapa saja yang pernah
sahaya temui, hanya mengecam-ngecam, menyumpah

14
dan mengutuk. Namun anehnya tak seorang pun pernah
berniat atau berani menghadap Sri Baginda Kretajaya
untuk mempersembahkan pendapatnya. Bukankah Kaum
brahmana itu sendiri yang sebenarnya tak punya
keberanian?, mereka justru ketakutan sebelum berbuat,
ketakutan untuk berbuat itu yang menyebabkan para
brahmana telah kehilangan kedudukannya selama dua
ratus tahun ini. Apakah sebabnyaialah rasa ketakutan?,
Ya, Bapa Mahaguru? Bukankah itu juga merupakan
pendapat sendiri? Dan apalah artinya mengetahui,
berpendapat, kemudian takut padanya? Lihatlah, ini
murid Bapa sudah angkat bicara."

Begitu leganya terasa hati ini setelah mengungkapkan


semua itu, rasanya kini aku justru tidak khawatir akan
tangapan apapun yang nantinya aku dengar dari Bapa
Dang Hyang lohgawe.

Terlihat Bapa Dang Hyang Lohgawe yang perlahan


menunduk dengan mata tertutup, kini bukan lagi
senyum tipis yang disunggingnya,namun ia tersenyum
lebar seakan mengatakan bahwa ia puas dengan
pendapatku, melihat hal tersebut Tanca yang sedari tadi
turut khawatir saat aku berbicara,sekarang telah
menghela nafas lega.

15
"Cukup," Dang Hyang Lohgawe membuka matanya.
"Hai engaku Temu muridku, aku menikmati
kefasihanmu dan buah daripada pelajaran yang telah
kuberikan padamu. Kata-kata mu itu turun naik, sarat
dan kosong, melesit tinggi dan jauh menukik. "

" Sahaya,ya Bapa " gembira rasanya mendengarkan hal


itu dari Mahaguru, tak lupa ku tundukkan kepala sekali
lagi hormat padanya.

"Kau masih sangat, sangat muda Temu. Hatimu berani


dan mulutmu lebih berani lagi. Sebagai akibat dari
pengetahuan dan pendapatmu itu, apakah engkau
sanggup berbicara seperti itu juga di hadapan Sri
Baginda Kretajaya?"

"Ya,Bapa.. Dia yang terlalu tinggi di atas singgasana


tidak pernah melihat telapak kakinya. Dia bahkan tak
pernah ingat, pada tubuhnya ada bagian yang bernama
telapak kaki. Pendengarannya pun tidak untuk
menangkap suara dewa, juga tidak untuk segala yang di
bawah telapak kakinya. ia hanya mendengarkan diri
sendiri. Suara murid Bapa ini takkan sampai kepadanya.
Untuknya yang paling tepat hanya dijolok."

16
Dijolok?" Bapa Dang Hyang Lohgawe kembali
tercengang.

Sengaja ku tekankan kata terakhir itu, kata itu begitu pas


untuk menggambarkan pemikiranku pada Sri Bagida
Kretajaya, dengan kuasa yang ia miliki, ia merasa telah
begitu tinggi. Orang semacam dia lebih baik di
gulingkan secara paksa suatu hari nanti.

"Dijolok?" Bapa Dang Hyang Lohgawe kembali


tercengang.

" pemikiranku pada Sri Baginda Kretajaya, dengan kuasa


yang ia miliki, ia merasa telah begitu tinggi. Ampun
Ya,Bapa.. hanya dengan demikianlah dia akan
berdamaidengan telapak kakinya sendiri.

Bapa Dang Hyang lojgawe lambat-lambat berdiri,


membenarkan kain pakaian putihnya itu, kemudian
iaberjalan hati-hati menghampiri aku yang masih juga
duduk tak berpindah dari tempat semula, saat itu aku
masih saja terus menghamburkan kata-kata pendapatku..
Ia meletakkan tangan kirinya pada bahu ku, menutup
mulutku dengan telapak tangan kanannya , dan
kemudian berkata pelan:

"Jangan..jangan teruskan sekarang. Ada waktunya kau


ucapkan semua itu di suatu tempat yang lebih baik. Yang

17
kudengar tadi bukan lagi keluar dari mulut seorang calon
brahmana.Hal itu lebih patut diucapkan oleh seorang
calon raja, di medan perang, di medan tikai, kemudian di
atas singgasana."

Semua diam seakan takut bergerak. Damar itu menyala


dengan api yang tak henti – hentinya menari terkena
puputan angin yang menerobosi dinding bambu.

"Medan perang, medan tikai dan singgasana," Bapa Dan


Hyang Lohgawe meneruskan.

"Tidak sia-sia kuberikan ilmu padamu muridku. Kaulah


harapan bagi semua brahmana." Ia buka tangan dari
mulut ku, melepas destar yang aku kenakan itu,
kemudian mencium ubun-ubunku.

"Dengan api Hyang Bathara Guru dalam dadamu,


dengan ketajaman para-syu Hyang Ganesya, dengan
keperkasaan Hyang Durga Mahisa-suramardini, kaulah
AROK ( sang pembangun.).

kaulah yang kelak pembangun ajaran, pembangun negeri


ini sekaligus. Dengarkan kalian semua.. " Pandangan
Bapa Dang Hyang Lohgawe beralih ke semua teman
sepengajaranku yang lain.

" Sejak detik ini, dalam kesaksian Hyang Bathara Guru,


yang berpadu dalam Brahma, Syiwa dan Wisynu dengan

18
semua kesyaktian-Nya, aku turunkan pada anak ini nama
yang akan membawanya pada kenyataan sebagai bagian
dari cakrawarti ( pemerintahan ). Kenyataan itu kini
masih, dan semoga selamaya akan membara dalam
dirimu. AROK namamu."

Mendengarnya,semua murid pun mengangkat sembah.

" A-R-O-K.... A-R-O-K .. " Ingat-ingatku dalam hati

Malam itu acara ditutup dengan samadhi. Bapa Dang


Hyang Lohgawe meninggalkan tempat belajar ketika
memasuki malam. Baru sesaat setelah bBapa Dang
Hyang Lohgawe hilang terlihat dari dalam bilik,semua
teman sepengajaranku kini berkumpul mengitari ku.

" Wahh Temu, sekarang kami harus terbiasa


memanggilmu dengan nama baru mu itu.. " ucap salah
seorang temanku.

" Yaa!!.. Nama itu memiliki arti yang besar, mahaguru


begitu menyayangi engkau.. " Terus seorang temanku
yang lain lagi.

" Teman- teman , sesungguhnya Bapa Mahaguru


menyayangi kita semua, dan pasti mengharapkan hal
yang sama pada kita semua, tak Cuma pada ku, Bapa
ingin melihat kita semua berjaya.. "

19
Melihat mereka yang turut bangga padaku , rasanya
hatiku menjadi semakin kuat dalam memimpin rencana
kali ini. Mereka pun masih riuh ramai bercerita dan
bercanda satu sama lain, sejenak aku masih terdiam
menatap mereka sembari memikirkan rencanaku.
Di tengah- tengah itu,aku meminta perhatian mereka
sekali lagi, mereka merapatkan lingkaran dan
mengepungku lebih dekat .

"Salah seorang di antara kalian berangkatlah besok pagi-


pagi benar ke Kapundungan ( sebuah desa
tempat Arok menjadi anak angkat ki bango
samparan,sekarang di daerah dinoyo ). Dalam beberapa
hari ini Bapa Mahaguru masih memerlukan aku, tak
semestinya aku dapat pergi meninggalkannya.
Sampaikan pada mereka untuk tetap bekerja selama aku
tidak ada. Berhati-hati lah kamu. Dan sekarang,
tidurlah!"

Mereka semua mengangguk mengerti dengan


maksudku, semua menyanggupi dan bersedia untuk
pergi esok pagi. Dan mereka pun meninggalkan bilik
pengajaran menuju ke bilik tidur masing-masing.

Kini aku tinggal seorang diri, masih duduk ditempat


yang sama di bilik pengajaran. Ku ambil bungkusan
rontal hadiah dari Bapa Dang Hyang Lohgawe. Rontal

20
itudi bungkus dengan kain hitam yang nampak telah
berdebu. Tetapi aku sama sekali belum mempunyai
selera untuk membacanya. Aku masih juga tak dapat
merumuskan perasaan apa yang sedang menggelombang
di dalam dada ini. Bahagia namun arghh entahlah .

Nama yang diberikan Bapa Mahaguru padaku ini adalah


tanda lulus setinggi-tingginya. Untuk mendapat
pengakuan dari para Dewan agar menjadi seorang
brahmana, aku tinggal meminta pada Bapa Mahaguru
untuk dihadapkan. Namun aku kembali berpikir, apa
kemudian setelah jadi brahmana? Aku masih terlalu
muda untuk itu. Kemudian apa yang bisa dicapai seorang
brahmana? Apa hanya akan seperti yang lain-lain, hanya
mengecam-ngecam Erlangga sampai Kretajaya dan tidak
bisa berbuat apa – apa ?

Saat lulus yang tak diduga-duga itu seakan membuatku


kehilangan mata arah. Entah apakah yang selanjutnya
akan terjadi. Kulihat kembali rontal itu, lalu perlahan
aku angkat tali dari rontal itu, terlihat beberapa kata
yang mulai terbuka, tetapi mata ini justru menolak untuk
membacanya. Sejenak aku mengankat kepala dan
kembali menyandarkan punggungku pada tiang bilik ini,
aku masih terus memikirkannya, padahal Bapa
Mahaguru telah sedari tadi sekali meninggalkan bilik

21
ini,namun rasanya aku masih dapat mendengar bisikan
terakhirnya.

"Arok muridku,sejak detik ini kau boleh pergi dan


datang, boleh meninggalkan aku untuk sementara atau
selama-lamanya. Hanya satu pintaku, tinggallah kau
dalam beberapa hari ini bersama denganku."

Aku sangat penasaran dengan apa maksud dari Bapa


Mahaguru meminta demikian, boleh jadi ia masih
hendak mendengarkan pendapatku tentang rontal ini.
Baiklah, rupanya rontal ini benar – benar harus aku baca.

Dan dengan demikian aku mulai membaca rontal ini.


Setumpuk tulisan itu adalah catatan Bapa Tantripala,
guruku yang pertama, Bapa Tantripala pernah berkata
padaku bahwa isi darirontal ini adalah catatan tentang
diriku.Isi daripada rontal Tulisan Bapa Tantripala ini,
lebih kurang sebagai berikut:

Pada suatu sore yang suram dengan gerimis tipis datang


ke perguruan Tantripala dua orang bocah, bernama
Temu dan Tanca.

"Siapa yang menyuruh kalian belajar kemari'" Tanya


guru itu

"Bapa Bango Samparan." ( ki Bango, bangau )

22
Siapa tidak mengenal nama Ki Bango Samparan?
Seorang penjudi yang lebih sering ditemukan di tempat
perjudian daripada di rumah? Seorang penjudi yang
mengirimkan bocah-bocah untuk belajar.

Dari pengelihatan sekilas Ki Bango Samparan segera


tertarik pada si Temu. Ia seorang anak yang lincah,
cerdas, dan matanya jernih memancar, hanya tak bisa
tenang. Temannya, si Tanca, adalah kebalikannya,
seorang yang tenang, juga cerdas, hanya tidak lincah,
lebih tepat dapat dikatakan lamban.

Hanya dalamkurun waktutiga bulan, dua-duanya telah


bisa baca tulis dan mulai mempelajari paramasastra
Jawa.Kecerdasan mereka menyebabkanTantripalaingin
tahu tentang orangtua mereka. Akupun memanggil
Bango Samparan untuk bertanya tentang asal-usul kedua
anak anak manis ini. Tanca adalah anak petani biasa,
yang turun-temurun tinggal di desa Karang-ksetra.
Hanya Temu yang tidak jelas siapa orangtuanya.Temu
sendiri juga mengaku belum pernah bertemu kedua
orang tua kandungnya. ( Dalam beberapa cerita
disebutkan orangtuanya bernama Ken Endog. Endog,
berarti telur, artinya orangtuanya tidak jelas.)

Setahun kemudian Temu meninggalkan Tanca dalam


pelajaran, karena Bapa Tantripala menganggapnya telah

23
cukup kuat untuk mempelajari Sansakerta. Ternyata anak
itu mempunyai semangat tinggi dalam belajar. Ingatan
dan kecerdasannya melebihi dari dugaannya. Sekali lagi
Bapa Tantripala memanggil Ki Bango Samparan, hendak
menanyakan kembali bagaimana cerita sesungguhnya
tentang asal anak itu.

Ki Bango Samparan datang lagi dan mengulangi


ceritanya yang dulu.

"Bagaimana anak ini sampai menjadi anak-pungutmu?"

Sampai pada bagian itu aku tersenyum. Aku singkirkan


sejenak rontal itu dan melengkapinya dengan ingatanku
sendiri .

MENJADI ANAK ANGKAT KI


BANGO SAMPARAN
Dengan serombongan anak-anak desa Randualas kami
melintangi jalanan dengan batang-batang pisang. Sebuah
kereta Tumapel dalam pengawalan prajurit berkuda
terhenti di depan batang-batang lintangan itu.
Rombongan itu ragu-ragu untuk menyerang, walau

24
mereka tahu, kereta tertutup dengan pengawalan
demikian selalu membawa upeti emas dan perak ke
Kediri. keragu-raguan itulah yang mengakibatkan
penyerangan itu gagal. Anak-anak itu terpaksa buyar
melarikan diri, melalui jalan-jalan yang tak dapat
ditempuh oleh kuda, melompati pagar, terjun kesungai,
dan bahkan ada yang bersembunyi di bawah jembatan
kecil. Juga tak terkecuali si Temu yang melarikan diri ke
jurusan barat. Untuk anak seusianya,Temu kecil
mempunyai susunan otot yang kuat, dan paru-paru lebih
kuat lagi, ia sangat handal dalam berlari, gesit dalam
menghindar dari serangan, serta ada saja akal yang ia
pakai dalam menjalankan rencananya.

Aku masih dapat mengingat dengan jelas saat itu. Aku


berlari sekuat tenaga memasuki desa Karangksetra.
Telah begitu jauh aku berlari, kini nyeri pada bagian
bawah perutku mulai terasa,rasanya napasku sudah
hampir putus waktu aku tiba di sebuah ladang, jika
masih terus berlari,maka aku akan melamban dan
mereka para prajurit akan dengan mudah menangkapku .
Saat melintasi sebuah ladang, kulihat seorang Bapak
dan lima orang anaknya sedang mencangkul. Sementara
itu, telah terdengar suara prajurit - prajurit itu ramai
bersorak jauh dibelakangku, mereka menyuruh
penduduk yang ada disekitar untuk membantu
menangkapku beserta teman-temanku yang lain .

25
Memasuki desa ini aku pasti tertangkap jika mereka
dibantu penduduk beramai-ramai.

Aku melihat sebatang pacul ( cangkul ) yang berdiri tak


dipergunakan. Aku berlari cepat mengambil pacul itu
dan kemudian mulai ikut mencangkul. Suara sorak para
prajurit itu semakin mendekat. Aku menatap khawatir
pada Bapak dan lima orang anaknya yang
memperhatikanku , Bapak itu mengangguk mengerti apa
yang sedang terjadi, tersenyum memberi tenang padaku,
dan meneruskan pekerjaan mereka seakan tiada terjadi
sesuatu pun.

"Ya, kerja saja yang tenang," kata bapak itu. Aku pun
ikut mencangkul dengan irama ayunan seperti mereka.
Para prajurit pengejar itu memasuki ladang dan
memeriksa kami berenam, bertanyalah salah seorang
prajurit pada bapak itu: "Siapa saja semua ini?"

"Mereka ini Anakku semua tuan," jawabnya, kemudian


menuding ke jurusan rumah, "dan itu disana adalah
rumahku."

Para prajurit pengejar itu hanya melihat kami sekali lagi,


lalu meneruskan pemburuannya dan tak kembali lagi.

Tak lama kemudian datang seorang anak perempuan


memikul air.

26
"Lihat itu, kalau si umang anak perempuanku tidak aku
suruh pergi mengambil air, tak mungkin kau ikut
mencangkul. Dan sudah pasti di sini juga kau tadi
tertangkap." Kata bapak itu.

"Terimakasih, Bapak." Jawabku sembari merehatkan


kaki dan tangan diatas tanah ladang itu

Sejak saat itulah ,aku diambil anak pungut oleh Ki


Bango Samparan, sampai di bagian itu aku mulai
membaca rontal itu lagi. Aku ingat betul kata-kata Ki
Bango Sampar-an waktu itu:

"Prajurit-prajurit itu! Kerjanya hanya memburu-buru


kita, mengancam kita yang terlambat menyerahkan upeti.
Anak kecil sepertimu,mengapa kau dikejar mereka?"

Lalu aku duduk dan menceritakan perkaranya.

"Bukankah emas dan perak dalam kereta itu kita semua


yang punya pak? . Jadi tidak ada salahnya kalau kita
mengambilnya kembali. Hanya, tidak patut kalau
dimakan sendiri. Perbuatan itu akan menjadi hal yang
sama dengan apa yang mereka perbuat."

Kemudian aku angkat kedua pandang mata ku dan


menatap wajah Ki Bango Samparan. Aku begitu senang
mendengar seorang tua yang pertama kali membenarkan
tindakanku itu. Selama ini prajurit-prajurit Tumapel

27
mengejarku, orang-orang lain mengecamku, anak-anak
lain menjauhi, menganggap diriku dan teman-temanku
sebagai brandalan. Namun orang tua yang satu ini
membenarkan. Tentu dia mempunyai alasan,bukan?.

Saat aku hendak bertanya lagi, Ki Bango Samparan


mendahului ku dengan seruannya

"Jagad Pramudita! Mata apakah yang sedang


memandang padaku sekarang ini?" Ki Bango Samparan
mendekatiku dan memperhatikan mataku. Aku merasa
sedikit terkejut dan bingung. Kemudian: "Ini bukan mata
sembarang mata!" lanjutnya

" Ah, bapak ini, sahaya hanya anak biasa. Pandai benar
bapak memuji " Aku terkekeh pelan

" Tapi matamu itu benar-benar cerah indah memancar "


kata Ki Bango Samparan sambil mengacak-acak
rambutku yang memang telah berantakan itu.

Kemudian ia berdiri dari rehatnya, dan melihat sang


surya yang sebentar lagi akan tenggelam. Disuruhnya
semua anak – anak nya untuk menyudahi pekerjaan, dan
diajaknya aku pula pulang ke rumahnya. Kulihat anak

28
perempuan itu kesulitan memikul kendi air dan hendak
meraih cangkul. Sedangkan ke empat abangnya pun
telah mendahuluinya dengan memikul cangkul,dan
barang bawaannya masing-masing. Ku hampirilah anak
perempuan itu, lalu membantu membawakan kendi air
yang besarnya meliputi hampir setengah badannya itu.
Dan anak perempuan itu hanya tersenyum, dan
setelahnya kami berjalan beriringan sampai di rumah.

Sesampainya dirumah, aku disuruh untuk membersihkan


diri dahulu di kali kecil belakang rumah, dan aku
kembali bertemu dengan anak perempuan kecil itu, kini
ia hanya membawa satu kendi air yang lebih kecil dan
menaiki bebatuan hendak naik ke dalam rumah, lalu
tersenyum padaku. Sedari perjalanan pulang tadi hingga
aku berpapasan kembali dengannya di kali, tak
sedikitpun ia berbicara, hanya beberapa kali
mengangguk,dan tersenyum padaku. Wajar saja jika ia
bersikap demikian,toh aku juga baru ditemuinya
beberapa saat lalu, dan tiba – tiba turut diajak pulang
oleh bapaknya.

Setelah aku selesai membersihkan diri,aku kembali


masuk ke dalam rumah dan di tuntun oleh Ki Bango
Samparan menuju ruang makan, berkumpul lah anak-
anak dan istri dari Ki Bango Samparan. Di sebalik
tudung nasi tersaji sebakul serapah godok ( singkong

29
rebus ), ulekan cabe, dan sego jagung ( Nasi yang terbuat
dari gilingan jagung ) yang masih mengepul asapnya
tanda ia baru masak.

"Tentunya kau lapar setelah lari-lari sejauh itu."

Istri Ki Bango Samparan. yang kemudian jadi ibu


angkatku itupun menjamunya. Aku makan dengan
lahap,di suguhkannya beberapa serapah dan sego jagung
untukku. Dan dua orang tua itu memperhatikan aku yang
sedang makan dengan gembira.

Hidangannya terlihat sederhana namun terasa begitu


mewah bagiku, sebab terlihat keluarga kecil itu sangat
menikmatinya dengan kebahagiaan yang diwarnai
dengan tawa candaan dan riuh pertengkaran saudara
karena berebut serapah. Hangat sekali rasanya,
pemandangan yang membuatku merasakan sedikit iri di
hati ini,arti kebahagiaan sebuah keluarga yang belum
pernah ku rasai.

"Siapa namamu?" Tanya Ki Bango Samparan.

"Orang memanggil sahaya si Temu." jawabku

"Mengapa orang memanggilmu si Temu? Bagaimana


orang-tuamu memanggil?" Giliran Istri Ki Bango yang
bertanya

30
"Tidak pernah."

"Tidak pernah!?" Istri Ki Bango menatapku


kebingungan

"Tak ada yang tahu siapa orangtua sahaya. Sahaya


sendiri pun tidak tahu." Aku hanya tersenyum miris

"Jagad Pramudita! Anak secakap ini, dengan mata


bersinar seperti ini. Para dewa telah mengirimkan anak
ini kepada kita, Nyi," kata Ki Bango pada istrinya.

"Ya, Dewa jadikanlah anak ini sebagai keberkahan untuk


keluarga kami" seru istri Ki Bango padaku.

Sedangkan Ki Bango sendiri masih saja berdiri di


hadapanku dan mengagumiku. Sementara itu di sebalik
pintu dapur, anak perempuan itu hanya mengintip dan
dipanggil oleh ibunya dan berkata padaku.

"Nah, ini kau mendapat abang baru. Namanya Temu.


Nah, Temu, ini saudaramu yang bungsu, si Umang."

Anak perempuan itu hanya berlari kecil dan belindung


dibawah ketiak ibunya, sesekali ia mengintip dan
tersenyum malu melihatku.

Memang semua itu tidak ditulis oleh Bapa Tantripala,


sebab ia tidak mengetahui. Mungkin juga dianggapnya

31
tidak penting. Dalam rontal itu disebutkan bekas guruku
ini telah bertahun-tahun mencari keterangan siapa
sesungguhnya diriku, dan ia tidak pernah berhasil. Bapa
Tantripala bahkan pernah menanyaiku langsung, dan aku
tidak memberikan sesuatu kejelasan apapun padanya.
Biarlah orang hanya tahu sampai pada menjadi anak-
pungut Ki Bango Samparan.

Tulisan Bapa Tantripala itu tiba-tiba menimbulkan


perasaan terimakasih yang mendalam pada orangtua
angkat itu. Dan ia berjanji pada suatu kali akan
membalas semua kebaikannya. Juga pada semua saudara
angkatnya, juga pada Umang si gadis kecil yang suka
melebihkan jatah makan untuknya.

Aku tersenyum. Barangkali anak itu kini sudah mulai


dewasa. Umang! Begitu pemalu dan sakit-sakitan ia dulu
semasa kecil.

Dan aku masih ingat betul hari pertama aku tinggal di


rumah keluarga itu. Umang masih menungguiku waktu
Ki Bango Samparan datang padaku dan berkata:

"Semoga kau memang putra tunggal Hyang Brahma.


Sini, biar beruntung aku hari ini," dan diciumnya ubun-
ubunku. Ki Bango pun berpamitan hendak pergi bekerja
pada kami semua.

32
Keesokan harinya, aku pergi ke ladang untuk menggarap
lahan, sebagaimana yang dilakukan para saudara
angkatku, setiap saat aku ditemani si Umang, memang
ia tak mampu mebantu banyak dalam pekerjaan ladang,
namun ia adalah anak yang pantang menyerah dan
senang membantu, sebuah labu kerdil kering yang
berisikan air selalu dibawakannya padaku. Pekerjaanku
terasa tidak terlalu melelahkan sebab umang ternyata
adalah anak yang benar-benar ceria dan banyak bicara,
tak jarang celotehannya itu dapat menimbulkan gelak
tawa ku. Kemudian tak berselang berapa lama,Ki Bango
datang di tempat kerjaku di ladang, langsung
memelukku dan mencium ubun-ubunku, seraya berseru:

"Brahmaputra, ya, Brahmaputra, sehat-sehat kau


anakku!!.." sambil ia sorongkan pada genggamankusatu
kantung kain berisi lima buah mata uang perak dari
masing-masing satu catak, Ki Bango mengelus kepala
Umang, dan kembali pamit untuk bekerja. Aku tak tahu
pekerjaan apalagi yang selalu dikatakan oleh Ki Bango
itu, ia juga sangat jarang ditemukan di rumah, dan hanya
membantu ke 5 anaknya di ladang kala sore hari saja.

" Bapak memberikan Kakang uang? " Tanya si Umang


melihat isi kantung itu, dan hanya diikuti oleh
anggukanku.

33
Setelahnya,aku dan Umang pun bergegas pulang.
Pikirku para saudara-saudara angkat ku akan gembira
jika aku membagikan masing-masing satu perak itu pada
mereka. Apa artinya lima catak untukku? Aku bahkan
bisa memegang dan memiliki ratusan kali jumlah itu dari
hasil jarahan upeti. Sewaktu aku sampai dirumah, para
saudara angkatku baru saja pulang dari menggarap
ladang, tampak dari pakaian mereka yang nampak kotor
dipenuhi debu dan lumpur, wajah mereka terlihat lusuh
dan letih.

" Apa bapak pergi lagi kang? ",tanya Umang pada salah
satu kakaknya

" Yahh, begitulah setiap hari kelakuannya."

" Kelakuannya?, bukankah bapak pamit untuk bekerja? "


Tanyaku

" pekerjaan yang bapak maksud itu adalah berjudi, bapak


terkenal sebagai pemain dadu " jelas saudara angkatku
yang lain.

Setelah mendengarnya, aku tidak lagi bertanya dan


merogoh kantung berisi uang perak dari Ki Bango.
Mereka menatap ku heran danmenerimanya tidak dengan
wajah gembira. Bahkan yang tertua dengan nada protes
bersungut

34
"Apa sebabnya uang ini datang ke tangan kami melalui
tanganmu?"

Itu adalah pertama kalinya aku berbicara pada mereka


sejak awal aku datang ke rumah ini. Pada waktu itu juga
aku mengerti situasinya, mereka cemburu pada kasih
bapak mereka kepada diriku, seorang pendatang yang tak
menentu asalnya. Dan aku berjanji pada diriku sendiri,
tidak akan melakukannya lagi.

Bertahun-tahun aku tinggal di keluarga itu. Setiap hari


aku bekerja bersama saudara-saudara angkatku. Bila Ki
Bango Samparan pergi, aku pun pergi, mengumpulkan
teman-temankudi desa Karangksetra. Kembali aku
memimpin mereka melakukan gangguan di pusat-pusat
pengumpulan dana negeri Tumapel, mempersenjatai
barisan mereka, dan membangunkan dana sendiri untuk
mereka, dengan Tanca sebagai pengurusnya.

Bertahun-tahun? Berapa tahun? Tidak lebih dari tiga.


Dan cemburu saudara-saudaraku meningkat jadi tiga
kali. Ki Bango Samparan semakin sayang padaku, Ki
Bango hampir tak lagi turun ke sawah atau ladang, tiap
hari hanya menjadi bandar dadu, dan selalu membawa
pulang kemenangan.

35
Semakin banyak yang diberikannya padaku,
makasemakin banyak pula yang aku sembunyi-sembunyi
berikan pada Umang.

"Biar aku simpankan untuk Kakang," sambutnya selalu.

"Buat apa aku? Untuk kau sendiri."

Dengan diam-diam Umang menyimpan uang-uang itu


untuk diriku. Dan aku semakin terpikat pada budi
bahasanya yang manis tanpa pamrih. Sayang umang
adalah gadis yang tak rupawan, sering aku menyesali
Umang.

Cemburu saudara-saudara angkatku kemudian pecah


menjadi kebencian waktu mereka menemukan simpanan
Umang dan mulai memeriksanya. Dengan menangis
gadis itu mengadu pada Nyi Bango Samparan, mengakui
itu adalah uang milik ku yang disimpankannya.
Kemudian giliran datang padaku yang diperiksa oleh
mereka, dari mana datangnya catak sebanyak itu.

"Kami tahu, kau datang kemari hanya badan berlapis kan


baju. Kau curi dari mana harta sebanyak ini?" Ujar si
tertua

"Jangan katakan aku mencuri." Aku membantah


mereka, bagiku kata-katanya itu sangat tidak sesuai

36
dengan jerih payah yang kulakukan dibalik setiap
penyergapannya.

"Banyak sudah orang yang menduga kau pencuri.


Banyak sekali pencurian terjadi. Biarpun kau tidak
tertangkap, tapi kami tahu kau sering pergi keluar
malam."

"Sayang kalian saudara-saudaraku ..." Aku


menyayangkan ujaran mereka itu, aku tak dapat
menyangkal hal itu, namun lebih tak mungkin juga
kuberitahukan apa yang kulakukan di sebalik tindakanku
itu.

"Apa yang disayangkan? Kami tak pernah menyayangi


pencuri. Tak pernah kami ceritakan kepada siapa pun
bahwa kau pernah merampok kereta upeti. Tak perlu
kau sayangi kami!. Sekiranya kami tidak mengingat
bapak kami yang begitu menyayangimu, prajurit
Tumapel pastinya sudah datang untuk membekuk kau.
Sudah sejak pertama kali kau datang kemari!"

Terdengar suara pintu rumah yang terbuka, rupanya itu


adalah Ki Bango Samparan yang pulang dari bermain
dadu, saat mencapai ruang tengah tempat kami
berkumpul, dilihatnya umang yang telah serak menangis
dan memelukku, serta Nyi Bango Samparan yang
berusaha menenangkan ke 4 anak lelakinya yang lain

37
"Ada apa ini ramai-ramai?" Tengah Ki Bango Samparan.

Kemudian mengadulah saudara-saudara angkatku itu


pada bapaknya.Ki Bango Samparan yang menyedari,
hanya dapat melihatku dengan sendu, Ki Bango lebih
mengasihiku, tak mungkin ia dapat mengatakan semua
uang itu berasal dari hadiahnya, jika tak ingin keadaan
semakin runyam, aku dapat mengerti sepenuhnya posisi
Ki Bango saat itu.

Saat itu hanya keheningan yang menyelimuti seisi


rumah, pembisuan hanya pandang mata yang tertuju
padaku, dan suara tangis sayup dari Umang. Aku
mengerti bahwa Ki Bango tengah berada diposisi yang
sulit,aku tak ingin kehadiranku tambah menyulitkan
keluarga ini. Aku mengangkat sembah pada ayah dan ibu
angkatku itu dan bermohon diri untuk pergi
meninggalkan mereka.

"Kau hendak ke mana, Temu?" tanya Nyi Bango


Samparan.

"Ya, Mak, anakmu ini datang kemari tanpa asal. Apakah


salah jika pergi juga ke mana saja tanpa tujuan?"

Ki Bango Samparan hanya terdiam dan terus


menatapku tanpa sepatah kata pun yang ia keluarkan.
Umang langsung menjerit dan menghampiriku.

38
"Kalau Kakang pergi, bawalah sahaya."

"Kau masih kecil, Umang," tegah nyi Bango yang juga


turut mengusap-usap air mata.

"Dengarkan Umang, jangan ikuti aku. Kau masih kecil.


Simpanan itu adalah milikmu, tak ada yang berhak selain
kau yang menerima itu. Barang-barang itu bukan dari
curian, tapi dari pemberian seorang yang mengasihi
Kakang." Aku kembali melirik Ki Bango dan tersenyum.

Aku menyembah Ki Bango dan Nyi Bango untuk yang


terakhir kali, kemudian kini langkah ku mulai
meninggalkan rumah itu sebagaimana tiga tahun yang
lalu aku datang.

"Temu, jangan pergi dulu!" Teriak Ki Bango.

Aku berbalik dan menghampiri ayah angkatku itu, kini


Umang kembali meronta lepas dari pelukan Nyi
Bango,dan berlari mendekapku lagi.

"Barangkali para dewa telah menentukan kau harus pergi


dari sini Temu. Kau seorang anak yang cerdas, lincah,
pandai dan ingatanmu sempurna. Biar aku tuliskan
surat." Tampak Ki Bango yang pergi menyiapkan pena
dan menulis sampai tiga lembar rontal.

39
"Pergilah kau pada Bapa Tantripala di desa
Kapundungan. Belajarlah kau baik-baik di sana. Kau
seorangtani. Itu kau jangan lupa. Walaupun kau sudah
dibenarkan oleh Bapa Tantripala untuk meninggalkan
rumahnya, kau harus selalu ingat bahwa kau seorang
tani." Untuk terakhir kali Ki Bango buka destar kepala
ku dan diciumnya ubun-ubunku.

Belum lagi Umang yang kembali menjerit tak ingin


melepaskanku dari pegangannya. Aku hanya menunduk
untuk menyambutnya. Mengelus lembut kepala Umang
yang setinggi dadaku itu. Aku merangkulnya, dan terus
ia masih saja terus menangis, minta dibawa ikut.

"Umang, jangan seperti ini. Kakang memang harus


pergi. Pada suatu saat aku akan kembali mendapatkan
mu. Percayalah."

"Aku ikut." Umang makin mengeratkan pelukannya.

"Kakang bilang, tidak. Umang, apakah Kakang pernah


berbohong padamu?.Baik-baiklah kau disini dan jangan
pikirkan aku, percayalah pada suatu saat aku akan
datang."

"Aku ikut" Umang masih saja bersikeras.

"Kalau kau tak mau dengarkan, tidak ada gunanya aku


datang lagi nanti. Kau dengarkan atau tidak?" Kataku

40
dengan tegas, Umang hanya mengangguk dan masih
menangis. Kemudian dilepaskannya rangkulan itu.
Kucium kening Umang untuk yang terakhir, dan pergi
dengan di iringi tangisan pilu Umang.

Anak itu mungkin sudah besar dan sudah melupakan


aku. Aku pandangi sekelilingku, berdiri, meniup mati
damar, dan menyusul teman-temanku di pondok. Aku
lihat mereka telah tidur nyenyak dengan nafas bersahut-
sahutan. Pemandangan itu selalu berhasil memancing
tawa kecilku. aku letakkan rontal hadiah itu di atas
bantal, dan kemudian merebahkan diri juga.

Sebagai terimakasih batin pada Bapa Dang Hyang


Lohgawe, sisa dari malam ini hendak kupergunakan
untuk mengenangkan kembali masa silamku. Bapa
Tantripala tentunya tidak mungkin dapat melengkapi
masa laluku itu. Hanya diriku sendiri yang mungkin, dan
dengan demikian memperbaiki yang kurang patut dan
meningkatkan apa yang kuanggap telah tepat

Aku tampilkan kembali Umang pada mata


batinku .Mengapa anak itu lebih mengasihiku daripada
saudara-saudaranya sendiri? Mengapa dia selalu
melakukan segala hal yang bisa mendatangkan
kesenanganku? Adakah secara naluriah Umang telah
mencintaiku sejak awal?

41
Aku tidak pernah mengenal cinta selama ini. Pada
teman-temanku aku mendapat kesetiaan. Namun dari
orang-orang yang lebih tua tidak pernah. Ki Bango
Samparan dan istrinya begitu mengasihiku. Tetapi
Umang?, kasih sebagai saudara atau cintakah yang
ditaburkannya pada diriku?. Aku telah berjanji untuk
menemuinya suatu hari nanti, dan mungkin harus ku
pertimbangkan sekali lagi bagaimana seharusnya aku
berlaku terhadap Umang. Dan aku mulai terlelap tidur,
menikmati kenangan itu.

TANCA
Setelah meninggalkan rumah Bango Samparan, aku
pergi ke sawah. Kudapati Tanca yang sedang
mempersiapkan sawah milik Bapaknya menjelang
musim penghujan itu. Dari kejauhan pun ia telah
melihatku, dan menghentikan pekerjaannya sejenak.
Tanca, dia sahabat sekampungku di karangksetra ini, dia
seorang yang cerdas, pekerja keras,cepat tanggap, dan
selalu setia di sisi ku.

"Tanca, aku akan tinggalkan Karangksetra ini."

"Aku ikut denganmu."

42
"Kau harus membantu keluargamu." Sembari ku tepuk
pundak Tanca.

"Terserah padamu bagaimana aku harus membantu,


tetapi aku ikut denganmu. Ke mana kau hendak pergi?"

"Bapa Bango Samparan menyuruh aku belajar, pada


Bapa Tantripala di Kapundungan."

"Kalau begitu aku ikut denganmu."

"Kau punya orangtua, mintalah restunya." Aku terkejut


dengan Tanca yang berkata demikian, namun aku pula
tak memiliki niat untuk menolak kemauan Tanca.

Kemudian Tanca naik ke pematang sawah, mengangkat


pacul dan berangkat pulang.

"Kau mau ke mana sekarang?" tanyanya sembari


melihatku yang tidak menemaninya pulang.

" Tunggu lah, aku hendak menemui teman-teman. Aku


akan susul kau nanti."

Siang itu teman-teman di Karangksetra mengepungku.


Mereka terus saja membujukku agar tidak pergi
meninggalkan desa ini. Kemudian kuberikan nasihat
kepada mereka agar jangan khawatir dan tetap berseiya-
sekata seperti semula. Aku akan tetap memberikan

43
pengarahan walaupun dari Kapundungan nantinya,dan
kuminta pada mereka semua agar membantu ayah Tanca,
karena Tanca akan kubawa pergi belajar pada Bapa
Tantripala. Setelah itu kami saling mengucapkan salam
perpisahan satu sama lain, dan kutinggalkan mereka
yang turut melambaikan tangan pada ku.

Saat tiba dirumah Tanca, telah kudapati temanku itu


telah siap dengan sekantung barang bawaannya.
Orangtuanya sangat gembira anaknya punya keinginan
hendak belajar pada Bapa guru Tantripala. Aku pun
merasa senang melihat Tanca temankuitu dilepas dengan
rela dan restu oleh keluarganya. Tak lupa kami haturkan
sembah pada orang tua Tanca sebelum pergi memulai
perjalanan kami. Dan Bapak Tanca berpesan padaku

" Temu, kau adalah anak yang kuat, maka sertailah


Tanca, anak kami yang lemah ini. Lindungilah dia.
Jangan sampai ada perselisihan diantara kalian. Dan
semoga Dewa memberkati niat baik kalian untuk pergi
berguru ini. Berhati-hatilah. "

Aku menyanggupi permintaan dari Bapak Tanca itu,


kemudian kami beranjak dari posisi sembah kami, dan
bersama Tanca ku palingkan langkahku untuk memulai
perjalanan.

44
Di tengah perjalanan ke desa Kapundungan, Tanca
memperlihatkan dua catak perak pesangon dari
orangtuanya. Dan aku sendiri mendapat pesangon rontal
untuk diberikan pada Bapa Tantripala. Kemudian
sepanjang jalan itu, kami membicarakan harta benda
milik bersama yang disimpan dalam sebuah gua di
hutan.

"Barang-barang itu takkan mungkin berpindah tempat.


Kecuali jika ada yang berkhianat." Ujar Tanca Padaku

Kemudian kami terdiam, membayang-bayangkan


bagaimana pengalaman belajar yang bakal datang.

"Ki Bango Samparan benar, dia kirimkan aku pada Bapa


Tantripala."

"Aku pun benar, mengikuti kau belajar" Tanca berbalik


dan tersenyum padaku.

"Ya, kita harus belajar Tanca. Kalau tidak, kita akan


begini-begini saja." jawabku

"Kita harus bisa tandingi mereka."

"Bukan menandingi, tapi kalahkan mereka."

"Kalahkan?Tapi bisakah kita kalahkan mereka, Temu?

"Bukankah kita sudah sering mengalahkan mereka?"

45
"Mereka tak pernah kalah,Temu. hanya kehilangan."

"Dan kita pun tak pernah kalah, tapi mendapat."

"Tapi kita belum pernah kalahkan mereka." Tanca mulai


serius dengan nada bicaranya itu.

"Kita sering mengalahkan mereka. Hanya mereka terlalu


banyak dan kita terlalu sedikit. Kekuatan mereka tak
habis-habisnya, dan kita terbatas. Maka dari itu kita akan
belajar, Tanca.Kemudian kita akan tahu lebih banyak,
mengalahkan dengan lebih gemilang nantinya"

Tanca pun mengangguk mengerti dan kembali bertanya

"Kalau kau menang, kau akan jadi raja, Temu?"

"Jika suatu hari nanti Dewa memberkatiku menjadi


seorang raja, maka kau akan jadi patihku."

"Selama ini kan aku sudah jadi patihmu." Ucapannya itu


membuat kami berdua tertawa terbahak.

"Hanya usaha dan kerajaan kecil-kecilan, Tanca."

"Jadi kita belajar untuk bisa besar-besaran?" Sekali lagi


aku terbahak tawa mendengar ucapannya itu. Kemudian
aku lari mendahului. Dan Tanca lari mengikuti, seperti
bayanganku sendiri. Tanca begitu setia di sisi ku.

46
Aku menengok untuk melihat Tanca yang terlelap tidur
tak jauh dariku. Dari sinar pelita itu aku dapat lihat
pemuda itu tidur dengan mulut dan kelopak mata
setengah terbuka. Pagi belum juga datang, langit masih
saja gelap dan semua masih terlelap dalam nikmat mimpi
mereka masing-masing. Sekali lagi kulihat Tanca,betapa
jelek kau kalau tidur seperti itu. Aku beranjak dan
menutupkan selembar kain pada mulutnya. Nah, begitu
kau kelihatan lebih patut. Aku pun berbisik pada
telinganya.

"Patih Tanca. aku perintahkan padamu untuk bertemu


dengan Ki Bango Samparan, dan
persembahkanlahpadaku bagaimana keadaannya, Nyi
Bango, dan Umang." Tanca hanya
merespon bisikan itu dengan garukan kepala,dan
dengkuran yang kian keras. Aku tertawa kecil melihat
sahabatku itu.

Aku masih saja tersenyum-senyum kembali ke ambin


(Ranjang tidur). Kemudian kuteruskan tinjauan pada
masa laluku itu.

47
BERGURU PADA BAPA
TANTRIPALA
Sejak bertemu pertama kali, aku tahu Bapa Tantnpala
jatuh kasih padaku. Sama seperti Ki Bango Samparan,
beliau sering memuji mataku ini. " Mata itu! " aku sering
sekali mendengar Bapa Tantripala menyebutnya. Entah
apa sebenarnya yang ada pada mataku ini, aku sendiri
belum pernah melihatnya.Didalam bilik pemondokan
Bapa Tantripala, terdapat sebuah cermin perak besar, dan
untuk pertama kali pula dalam hidupku, aku dapat
melihat wajahku sendiri pada cermin perak itu,
kemudian aku teralihkan perhatian pada mataku sendiri,
dan ku lihat memang berbeda dari yang lain-lain.
Telengnya besar, cerah dan bersinar-sinar. Berbeda
dengan yang lalu-lalu, aku hanya dapat melihat
bayangan wajahku yang terpantul di air curuk atau kali
yang tenang.

48
Dalam perguruan ini aku tinggalkan semua teman-
temanku. Sedangkan BapaTantripala tak mengerti apa
harus diajarkannya lagi padaku. Pada suatu kali untuk
menyatakan kasihnya, Bapa Tantripala membawanku
masuk ke dalam hutan. Di sana secara rahasia aku di ajar
tentang atman dan brahman, bagaimana mencapai yoga
tantri untuk mendapatkan siddhi ( kesaktian) ,
diawali dengan sumpah untuk tidak akan menyampaikan
hal ini pada siapa pun.

Bapa Tantripala berkata padaku

" Kaum brahmana dari aliran lama di Jawa pada


umumnya menentang Buddha, termasuk yoga dan tantri.
Namun aku menganggapnya sebagai ilmu yang bisa
dipelajari dan dipergunakan. Tetapi aku juga tak mau
bertikai dengan para brahmana lain, maka hal ini tak
perlu diketahui oleh mereka, kau mengerti?. "

" Sahaya sanggup ya, Bapa. "

" Tetapi untukmu, kau pemuda penuh harapan, boleh jadi


kau membutuhkan ini sebagai pesangon hidupmu. Suatu
hari nanti rebutlah tempat dalam kasta satria. Sri
Erlangga pernah menjatuhkan titah, bahwa triwangsa
bukan hanya ditentukan oleh para dewa, juga manusia
bisa melakukan perpindahan kasta karena dharmanya,
sudra bisa jadi satria, sudra bisa jadi brahmana. Sejak itu

49
triwangsa sudah tidak murni lagi. Aku sendiri adalah
seorang brahmana yang bukan karena keturunan, tapi
karena ilmuku. Dan kau, Temu, kau bisa jadi satria
karena kemampuanmu. Tingkah lakumu bukan lazim
pada seorang sudra, tapi satria.Matamu bukan mata
satria, tapi brahmana. Kau patut mendapat kelengkapan
secukupnya. Jadilah pemimpin yang pemberani nan arif
kelak."

" Dengan restu Bapa, sahaya akan melakukan sekuat


kemampuan sahaya "

Hari pertama pelatihan rahasia di hutan itu, aku diajar


melakukan darana
( konsentrasi ). sampai pada pratyahara, berlatih
sekaligus pranayama ( pengaturan nafas) untuk mencapai
ekagrata ( tinggal satu titik yang diperhatikan yang
nampak )latihan ini serupa dengan cerita sewaktu Arjuna
berlatih membidik anak panahnya.

Di luar dugaan Bapa Tantripala, hanya dalam tiga kali


latihan aku telah berhasil menguasai ilmu itu. Bapa
Tantripala terlihat sangat terkejut, ia tak berucap apapun
dan hanya melanjut pengajarannya tentang memasukkan
cipta krasa dalam ekagrata yang begitu sulitnya. Satu
minggu waktu yang kupergunakan untuk berlatih dan

50
menguasai ilmu-ilmu itu. Bapa Tantripala terpaku lemah
pada tanah melihat hal itu.

" Jagad Dewa!!..Tiga tahun lamanya aku baru berhasil


menguasai ilmu ini, tapi anak ini hanya dalam seminggu.
Ya,Dewa! pimpinlah anak ini. Dia akan mencapai segala
yang diimpikannya. Dia akan menjadi mahasiddha
(orang yang memiliki siddhi /orang sakti.) Hanya
Engkaulah yang bisa memberi petunjuk baginya, Ya
Dewa!.. Janganlahengkau biarkan dia tumbuh tanpa
petunjuk-Mu, dia akan jadi penjahat yang dapat
memusnahkan manusia." Kemudian Bapa Tantripala
memelukku.

Aku tak dapat berkata-kata mendengar ucapan guruku


itu. Bapa Tantripala sudah tak berani memimpinku lebih
lanjut untuk menjadi seorang mahasiddha. Beliau merasa
tanggungjawabnya sebagai seorang guru terlalu
berat.Sebelum menyuruhku pergi ke tempat
pemondokan guruku selanjutnya, sekali lagi ia
membawa ku ke hutan, memantapkan ilmuku dan
berpesan:

" Temu, muridku. Aku sudah tak berani tuk mengajarmu


lagi, kau telah mencapai lima tingkat dalam tata
pendidikan (cantrik, mangayu, jejanggan, uluguntung
dan cikil), dengan begitu singkat. Aku sangat bangga

51
sekaligus khawatir padamu. Akankah kau bawa kemana
raga dengan kemampuan luarbiasa ini?. Akankah kau
dapat merubah tata kepemimpinan dan membuat seluruh
kawulamu sejahtera, ataukah justru kau akan terlena dan
bertindak seperti halnya dengan para penguasa kejam
itu?. "

" Ampun Ya, Bapa. Saya telah menimbulkan


kekhawatiran dari Bapa Tantripala. Percayalah pada
murid Bapa si Temu ini. Sahaya akan gunakan ilmu ini
dengan sebaik-baiknya. "

" Baiklah, Bapa Mahaguru Dang Hyang Lohgawe akan


membantumu. Namun jangan sekalipun kau beritahukan
padanya apa saja yang telah ku latihkan padamu. Cukup
kau berikan saja rontal yang kutulis ini padanya. Berhati-
hati lah."

" Ampun, Ya, Bapa. Tetapi bagaimana dengan Tanca


sahabat sahaya? "

" Kau dan Tanca adalah sama-sama anak yang cerdas,


Temu. Kalian telah belajar padaku selama setahun. Dan
kau, kau telah lebih siap untuk belajar sansekerta,
belajarlah 3 tingkat tata pendidikan lagi pada Bapa
Mahaguru Dang Hyang Lohgawe. Tanca akan baik-baik
saja disini bersamaku. Lagipun tak lama lagi, Tanca juga
pasti akan menyusulmu , dan akan kukirim pula ia ke

52
pemondokan Bapa Dang Hyang Lohgawe. Kau akan
bertemu lagi dengannya " Jelas Bapa Tantripala sembari
menepuk-nepuk belakang punggungku.

Sudah lama aku mengamati Bapa Tantripala, dan


sekarang dengan pesan terakhirnya padaku, untuk
merahasiakan pelatihan ini, telah benar-benar jelas
bahwa Bapa Tantripala adalah seorang Buddha yang tak
memperlihatkan kebuddhaannya. Ucapan itu juga
menjelaskan padaku bahwa kini aku telah melewati lima
tingkatan pendidikan, yakni cantrik, mangayu, jejang-
gan, uluguntung. Dan kini aku sudah sampai pada
tingkat cikil, tingkat kelima dalam tata pendidikan. Dan
di atasnya masih ada tiga tingkatan lagi, yakni wasi, resi
dan bagawan. Meneruskan belajar pada Bapa Dang
Hyang Lohgawe , berarti aku akan mencapai tingkat
wasi.

Kutinggalkan pemondokan Bapa Tantripala di


kangkserta itu, juga Tanca yang masih ditahan untuk
menyelesaikan perguruannya pada Bapa Tantripala.

53
BERTEMU SANG
MAHAGURU
Setelah menempuh perjalanan kaki yang cukup jauh, dan
beberapa kali menumpang pada dokar milik orang.
Akhirnya aku tiba di Pangkur. Sepanjang jalan, aku
masih saja terpikiran oleh ucapan Bapa Tantripala.

Bapa Dang Hyang Lohgawe ialah seorang brahmana


yang benar-benar dihormati. Sehingga dalam suatu
sidang brahmana, mungkin tujuh tahun yang lalu, kata
Bapa Tantripala. Telah dikeluarkan gelar“ Dang Hyang”
untuknya dan“ Lohgawe ” sebagai sebutan untuk
pribadinya yang tak jera-jera bekerja demi kemuliaan
Hyang Dewa Syiwa. Juga untuk ketinggian dan
keluasan ilmu yang dikuasainya. Sejak itu ia dipanggil
oleh oranng“ Dang Hyang Lohgawe.”Para brahmana
percaya, semua yang diusahakannya, seperti yang sudah-
sudah, pasti berhasil dan akan berhasil, tak pernah
mereka mengingat pada satu kekurangan yang sangat
menyolok dari padanya. Yakni, Bapa Dang Hyang

54
Lohgawe tak dapat lancar bicara Sansakerta, tak seperti
para brahmana lainnya. Sekalipun ia telah melewati
pendidikan di negeri Hindu. Dan kekurangan ini selalu
berhasil menjadi penghalangnya, terutama dalam sidang-
sidang kaum brahmana dari banyak negeri.

Dari kejauhan pun juga telah nampak, bahwa


pemondokan ber pura besar itu adalah kediaman sang
Mahaguru.

Aku memasuki pura setelah gerbang utama, dan


kutemukan sosok pria tua , berpakaian serba putih,
dengan janggut panjang ciri khas para brahmana. Itulah
Bapa Mahaguru Dang Hyang Lohgawe, yang sedang
duduk bersila dan khusyuk bersamadhi. Kemudian ku
haturkan sembah padanya, sembari berlutut.

“ Dirgahayu, Bapa Mahaguru ” .

Kemdudian Bapa Mahaguru membuka kedua matanya,


dan menjawab salamku.“ Dirgahayu engkau pemuda.. ”

Mendengar jawaban dari salam itu, aku mengangkat


wajah dan menatap Bapa Mahaguru. Wajahnya begitu
tenang dan memancarkan kharisma seorang pemuka
agama yang arif bijaksana. Benar kata Bapa Tantripala.

" Mata yang indah. " Bapa Mahaguru tersenyum

55
Lagi-lagi mata ini yang selalu dipuji oleh orang-orang.
Kemudian kusampaikan tujuanku kemari, dan ku
serahkan rontal dari Bapa Tantripala padanya. Rontal itu
tak langsung dibacanya. Kemudian diajaknya aku
berkeliling pemondokan. Dan diperkenalkan pada murid
seperguruan yang lain.

Dan semua pertanyaan Mahaguru tentang diriku telah ku


jawab, kecuali dua hal, yoga pelatihan dari
BapaTantripala dan masa kecilku. Selalu kuingat pesan
Bapa Tantripala untuk menjaga kerahasiaan itu, aku
sekarang mengerti, Boleh jadi Bapa Mahaguru yang
tinggi peradabannya itu akan mengusirku bila
mengetahuinya. Sebab Bapa Mahaguru Dang Hyang
Lohgawe bukanlah seorang mahasiddha, ia adalah
seorang yang menolak segala yang bersifat Buddha, tak
terkecuali pengajaran Bapa Tantripala. Sehingga
kupertimbangkan segala tingkah dan tutur kata ku.

Sampai di situ aku menyimpulkan bahwa, tidak semua


kebenaran dan kenyataan perlu dikatakan pada seseorang
atau pada siapa pun. Pengusiran seorang guru tidak akan
memberikanku sesuatu kebaikan nantinya. Aku merasa
haus akan ilmu dan kurasakan seirama dengan haus
keadilan, kasih dan sayang. Dan betapa aku haus akan
kasih sayang itu. Kasih sayang keluarga, terlebih kedua
orang tuaku yang tak ku ketahui siapa mereka.

56
Sebagai pelajar yang ikut tinggal didalam pemondokan,
aku membantu menggarap ladang dan sawah untuk
penghidupanku. Di waktu senggang aku pimpin teman-
temanku yang dulu di Karangksetra, Kapundungan dan
juga sekarang di Pangkur. Beberapa kali aku berpindah
tempat untuk berguru, kawanku pun semakin banyak.

Bila mendapat kesempatan menyendiri, aku teruskan


melatih ilmu dari Bapa Tantripala dengan diam-diam.
Aku tahu, dengan ilmu itu aku dapat menguasai siapa
saja, bukan sekedar mempengaruhi. Dan Bapa Dang
Hyang Lohgawe tidak memimpinku menjadi
mahasiddha. Ia membawaku ke jalan arah brahmana .

Dengan Bapa Dang Hyang Lohgawe yang bukan


seorang mahasiddha, akupun menimbang-nimbang
segala ilmu dan pengetahuan yang kumiliki.Bapa
Mahaguru itu juga menaruh kasih padaku karena
kemampuanku. Aku mendapat kebebasan penuh darinya.
Kebebasan itu pula ku pergunakan terus untuk
memimpin para pemuda menyerbui mana saja dan apa
saja yang dirampas oleh Tanggul Ametung. Sehingga
Tumapel tidak pernah tenang. Dan satu hal lagi yang
belum aku dapat adalah menemukan sumber emas Sang
Akuwu.

57
Dari yang aku ketahui, semua pejabat Tumapel menaruh
takut pada sang Akuwu bukan hanya sekedar hormat
pada para pemimpin, ataupun kuasanya. Namun
kejahatan yang dilakukan sang Akuwu yang telah terlalu
banyak, seakan menimbulkan teror bagi rakyat rendahan
seluruh negeri.

Aku berpaling pada Tanca yang masih juga nyenyak


dalam tidurnya. Banyak petualangan telah yang telah
mengikatkan diriku pada teman yang seorang ini. Dan
aku sepenuhnya percaya dan sayang pada Tanca. Dan
teman-teman ku, tak ada seorang pun yang pernah
berkhianat. Bahkan dari hasil rampasan-rampasan itu,
sebuah di antaranya pernah dipersembahkan untuk diriku
pribadi , sebuah mata uang emas yang indah dengan
gambar wajah seorang yang indah pula sampai leher,
dengan tulisan aneh yang aku sendiri tak pernah dapat
membacanya. Tak tahu uang itu asal dari negeri mana.

Kemudian kupalingkan pandanganku dari Tanca dan


meneruskan meneropong masalal. Sudah terlalu sering
aku melakukannya, karena pekerjaan mawas diri
( mengoreksi diri sendiri secara jujur dan apa adanya )
adalah juga syarat untuk menjadi seorang brahmana yang
baik. Dan aku belum pernah mengubah penilaianku
selama ini.

58
KI LEMBUNG
Kini untuk pertama kali aku hendak menilai masalaluku
sebelum menjadi anak pungut Ki Bango Samparan.

Aku tampilkan Ki Lembung di hadapan mata-batinku.


Tubuhnya tinggi. Otot-ototnya nampak berserat-serat
dan mengandung kekuatan yang tangguh. Ia seorang
yang gesit dan bermata jeli, baik di siang maupun malam
hari. Dialah juga yang mengajarinya dapat melihat
dalam kegelapan, dan masih banyak lagi.

Ki Lembung. Dialah orang pertama di dunia ini yang aku


kenal sebagai orang yang mengasihiku. Aku kini
menaruh rindu padanya. Menurut ceritanya dahulu, Ki
Lembung sendiri juga yang menemukan diriku yang
masih bayi, dibuang oleh orangtuaku di gerbang sebuah
pura desa dekat kuburan, pada tengah malam:

"Aku dengar tangis bayi kedinginan. Gelap waktu itu.


Tapi aku dapat melihat kau. Dewa Bathara!, kau masih
bayi, begitu kecil, tergolek pada selembar tikar usang,
dengan lumuran darah yang masih segar. Bayi sekecil itu
disuruh menjaga gerbang! Siapakah yang menaruh kau

59
di situ? Aku angkat kau, masuk dalam pelataran pertama
pura, melalui paduraksa ( pintu gerbang halaman
kedua pura) mengintip ke halaman kedua. Sepi sunyi.
Tak ada orang didalamnya. Kemudian aku dekapkan kau
pada dadaku.

Tetapi kau masih juga menangis. Aku lepas destar dan


kuselimutkan padamu. Halaman kedua itu kosong, juga
halaman ketiga. Orang tua mu benar-benar
meninggalkanmu. Kau masih juga terus menangis. Aku
batalkan maksudku untuk mencari orang tuamu dan
kubawa kau pulang."

Ki Lembung ( Lembung, arti aksarawi adalah: pencuri.


Tidak jelas apakah nama pribadi sesungguhnya atau
nama ejekan.) Ia tinggal di tengah hutan, seorang petani
yang memiliki banyak kerbau. Diserahkannya aku yang
masih bayi itu pada istrinya.

" Nyi.. Nyi !!.. Lihatlah Nyi !!. Para dewa telah
mengirimkan pada kita bayi lelaki yang seorang ini.
Pelihara dan kasihilah dia seperti anak sendiri."

Aku tidak pernah tidak merasa berterima kasih jika


mengenang suami-istri petani di Randualas itu.
Merekalah yang membesarkanku tanpa pamrih.
Menginjak umur enam tahun aku sudah terbiasa bergaul
dengan kerbau, memandikan dan menggembalakan,

60
menggiringnya ke sawah dengan Ki Lembung memikul
garu ( garpu besar untuk memindahkan jerami ) atau
luku ( alat untuk menggemburkan tanah ) di
belakangnya.

Memasuki umur sepuluh tahun aku mulai membantu Ki


Lembung untuk bertani. Dan dalam perawatanku kerbau
itu berbiak menjadi puluhan.

Nyi Lembung ialah seorang wanita mandul. Ia tak


punya teman bermain di rumah. Tempat penggembalaan
adalah medan ia bermain dengan teman-temannya.
Kegesitan, kekuatan, kecerdasan dan kekukuhan
menyebabkan ia hampir selalu keluar sebagai pemenang
dalam permainan atau perkelahian. Dengan sendirinya
sebagai murid dari pengalamannya, akupun dapat
meningkatkan diri berkat mereka, serta menjadi jago dan
pemimpin bagi teman-temanku.

Ki Lembung dan Nyi Lembung sangat bangga padaku.


Dan aku tak pernah mengadu untuk meminta atau perlu
sesuatu. Aku, sebisanya selalu dapat mengatasi
persoalanku sendiri. Sering pula aku serahkan
penggembalaan hewan ternak ku pada teman-temanku,
dan dengan beberapa orang di desa aku mengembarai
hutan dan desa-desa lain.

61
Pengetahuanku menjadi jauh lebih banyak daripada
teman-temanku. Selalu ada saja hal membuatku
penasaran dan ingin terus mengembari melihat dan
mengamati hal-hal baru. Sepulang dari pengembaraan
singkat itu, aku dapat bercerita tentang hewan, tanaman
dan manusia yang pernah kutemui pada teman-temanku.
Dan jadilah aku guru bagi teman-temanku.

Dalam pengembaraannku, untuk pertama kali aku


melihat seorang prajurit Tumapel memasuki rumah
penduduk dan merampas kambing milik mereka. Dan
terlihat Seorang bocah menangisi binatang
kesayangannya itu. Prajurit itu tidak peduli, dan binatang
itu terus juga diseret pergi. Rasanya hati ini berontak
melihat pemandangan itu. Aku datang menghibur anak
itu, dan ku janjikan padanya untuk membawa anak
kambing nya kembali. Dicurinya seekor anak kambing
dan diantarkannya kepada bocah itu. Ia mendapatkan
Saat prajurit itu sedang lengah, ku curi kembali se ekor
anak kambing yang semula milik bocah kecil itu.
Menerima kembali anak kambingnya, anak itu benar-
benar bahagia sampai memelukku dan berterima kasih.
Dan aku merasakan kebahagiaan dengan perbuatan itu.
Dan dengan demikianlah awal mula aku dan teman-
temanku mencuri, dan merampas kembali harta benda
yang di ambil oleh para prajurit.

62
Sekali lagi aku teringat pada sebuah peristiwa lalu, aku
melihat beberapa orang prajurit menyeret seorang gadis
dan dibawa masuk ke dalam hutan. Dan aku kerahkan
semua temanku untuk mengikuti prajurit-prajurit itu,
Kami mengganggu mereka, sehingga terpaksa
melepaskan korban mereka. Dan para penduduk desa
yang mengtahui perbuatan kami itu, hanya membiarkan
dan pura-pura tidak tahu. Bahkan beberapa dari para
penduduk desa membenarkan perbuatan kami, sebab
melihat kian banyak nya kesewenang-wenangan yang
dilakukan pihak penguasa pada kami para rakyat
rendahan.

Aku tersenyum senang mengingat hal tersebut. Dari hal-


hal demikianlah aku mulai memimpin temanku dalam
perbuatan-perbuatan berbahaya. Aku simpulkan, justru
karena perbuatan prajurit-prajurit Tumapel itu sendiri
yang membuat aku dan teman-temanku menjadi semakin
berani dan penentang. Aku tidak pernah sekalipun
menyesali perbuatanku ini. Aku justru bangga. Hal itu
mengajarkan kami untuk berbesar hati, dan saling
membantu pada yang membutuhkan. dan karena itu
tubuhku tumbuh dengan cepat dengan kekuatan yang
berlipat ganda. Sudah menjadi kebiasaanku untuk
memasuki medan perkelahian di desa-desa lain untuk
merebut keunggulan.

63
Ki Lembung. Seorang bapak yang berwibawa dan
pengasih itu. Darinya aku mendapatkan ilmu cara
menangkis dan menyerang, dengan tongkat
kemudiandengan senjata tajam. Betapa aku hormat dan
sayang padanya. Kini aku benar-benar ingin mengetahui
kabarnya. Ki Lembung adalah guruku yang pertama.

Kemudian datanglah bencana itu. Bencana yang


mungkin berisi karunia para dewa, karena sebab bencana
itu aku memulai pengembaraanku yang sebenarnya
hingga detik ini. Hari itu aku pulang dari pengembaraan,
dan langsung mendatangi tempat dimana hewan ternak
ku di gembala. Saat tiba disana, tempat itu begitu
sepi.Tak ada nampak seekor kerbau pun. Dan teman-
teman yang menggembalakan ternakku lari
mendatangiku dengan wajah pucat.

" Temu !!.. Temu !!.. kami semua lari. Juga ternak-ternak
kita. Seekor macan tiba-tiba datang entah dari mana
asalnya, dan telah menyeret seekor kerbau
kepunyaanmu."

"Jagad Dewa!" Aku sangat terkejut dan mulai merasakan


khawatir apa yang akan dikatakan Ki Lembung nantinya.

Bersama dengan teman-temanku, Aku menggiring


semua hewan ternak itu untuk dikumpulkan. Dan
pulanglah kami ke rumah masing-masing. Sepanjang

64
perjalanan aku menggiring kerbau ku yang berpuluh-
puluh itu, aku merasa sangat cemas sekaligus takut.
Sedangkan Ayahku, Ki Lembung seperti biasa
menunggu di depan pintu kandang, dan menghitung
kerbau-kerbau itu seekor demi seekor, dan:

"Kurang satu," katanya. Hatiku mulai bergetar.

Ki Lembung masuk ke dalam kandang dan


menghitungnya sekali lagi. "Kurang satu," katanya lebih
keras, ia menghitung lagi. "Kurang satu!" pekiknya.
"Sini, kau hitung sendiri!"

Aku merasakan dingin pada kedua tanganku dan detakan


jantungku yang mulai kencang, seakan Ki Lembung
sendiri juga dapat mendengarnya.

Walaupun demikian, aku tak mungkin berohong pada


orang tua kesayanganku itu, dengan badan setengah
gemetar aku katakan

"Memang kurang satu, diterkam macan!"

Mata Ki Lembung langsung melotot dan berkata

"Ke mana saja kau sampai kerbau diterkam macan?"

Itulah untuk pertama kali nya kulihat Ki Lembung yang


begitu mengasihiku marah luar biasa. Aku tahu

65
marahnya Ki Lembung bukan karena kehilangan seekor
kerbaunya, melainkan karena aku tidak dapat menjaga
pada tugas yang yang diberikannya padaku. Sekejap aku
melihat wajah Ki Lembung yang marah membara. Aku
tak dengar lagi perkataan apa saja yang
disemburkannya padaku. Aku sangat malu pada diriku
sendiri, kemudian aku memilih untuk berbalik dan lari.
Kudengar pula Ki Lembung yang teriak memanggilku
berulang kali, dengan nada yang mulai terdengar
Khawatir. Tapi rasa malu ku lebih besar saat itu,
sehingga aku enggan untuk menoleh dan terus lari
sembari menangis sekencang-kencangnya.

Sampai di luar Randu Alas aku baru berhenti berlari,


kemudian berjalan pelan-pelan menyusun pikiran. Dan
kupertimbang kembali tindakanku itu. Aku mengakui
tidak setia pada tugasku untuk menggembala kerbau itu.
Tapi apakah dengan demikian aku harus selalu jadi
penggembala dalam kesetiaanku ini?. Selama
mengembara, banyak hal-hal baru yang kutemui, ada
hal-hal lebih berharga dan lebih penting daripada kerbau.
Dan dengan demikian aku memutuskan untuk tidak akan
kembali lagi ke rumah orang tua angkat yang
menyayangiku itu.

Dan bermulalah kehidupanku yang membusa-busa.


Perrkelahian, penyerbuan, pencurian, perampokan,

66
pencegatan sendiri atau dengan teman-temanku yang
mengikuti ku selama ini. Melukai dan dilukai, kalah dan
menang. aku keluar masuk desa-desa, untuk
mengumpulkan jarahan upeti dari tumapel untuk
kediri.Bergabung dengan para penjahat besar untuk
kemudian menaklukkan dan ditaklukkan, dan kemudian
meninggalkannya.

Aku menilai masa petualanganku selama ini banyak


mengandung kekeliruan dan pengawuran. Ada beberapa
kejadian yang aku sesali hingga kini, dan lebih banyak
lagi yang membuatku bangga pada perbuatanku. Yang
keliru dan ngawur itu takkan aku ulangi lagi. Dan yang
benar akan aku kembangkan.

Aku merasa bersalah tak pernah lagi mengunjungi Ki


Lembung dan istrinya. Aku telah meninggalkan mereka
lebih dari enam tahun. Aku begitu merindukan belaian
kasih lembut Nyi Lembung yang dulunya tiap hari
kudapatkan. Dan aku rindu pada Ki Lembung yang
selalu mengajariku ilmu-ilmu beladiri baru dengan canda
tawanya.kemudian aku putuskan untuk sekali waktu
datang ke sana, sebagai seorang anak yang tahu
membalas budi. Aku harus datang....

Ayam telah berkeruyuk untuk kedua kalinya. Sang


surya pun mulai memancarkan sinar indahnya. Teman-

67
teman sepengajaranku pun bangun. Juga diriku yang
menyadari hal itu juga bangun dari pengembaraan pada
masalaluku. Tubuhku masih tetap tergeletak di Ambin.
Malas rasanya untuk beranjak pergi dari posisi ini. Aku
terlalu hanyut dalam ingatan-ingatan yang berharga itu.

"Temu !!.. eh.. maksudku..Arok !!.." Tanca


membangunkanku.

"Ceritakan tentang impianmu, Tanca."

"Ya, aku bermimpi kau menyuruhku pulang ke


Karangksetra. Dan aku pergi, Arok. Tahukah kau
bagaimana aku impikan mereka? Lima anak lelaki Ki
Bango Samparan telah meninggalkan orang-tuanya.
Semua turun ke Gresik untuk bekerja. Mungkin mereka
belayar. Mereka pergi karena Ki Bango jatuh miskin.
Tiada sutupun harta benda yang kini ia miliki. Uang
yang kau berikan pada Umang pula telah habis pula di
medan judi. Ki Bango sudah tak mau membayar semua
hutangnya. Mungkin sebentar lagi ia akan diseret dalam
perbudakan. Betapa buruknya mimpi itu, Arok!!..."
Tanca yang baru bangun dari tidunya itupun gemetaran.

"Tiada kah kau impikan si Umang, Tanca?"

"Aku impikan dia sangat kurus kering. Dan emaknya


telah meninggal."

68
Hati ini terasa sakit sekaligus resah mendengar mimpi
dari Tanca.

"Dengar Tanca, Mungkin Bapa Mahaguru akan


membutuhkan aku dalam beberapa hari ini. Pergilah kau
ke Karangksetra. Barangkali impianmu
benar.Perasaanku menjadi tidak tenang. Suruh pemuda-
pemuda itu untuk melindungi Ki Bango. Tak boleh dia
diseret ke dalam perbudakan. Dan jangan lupa katakan
pada si Umang, aku akan datang dalam beberapa minggu
atau bulan ini."

Jelasku memegang kedua pundak Tanca. Dan kemudian


Tanca bergegas membersihkan diri dan keluar dari
pemondokan menuju karangksetra.

Teman-teman seperguruanku sedang bersiap-siap untuk


pergi ke Huma. Kini hanya tinggal aku seorang diri
didalam bilik. Aku tahu masa belajarku pada Bapa Dang
Hyang Lohgawe telah selesai. Aku bukanlah seorang
pelajar lagi. Aku telah menjadi seorang Wasi. ( tingkat 6,
dalam tata pendidikan ).

Sekarang aku mulai memusatkan pikiranku untuk


mempersiapkan haridepan. Sebagai seorang yang
terdidik untuk jadi pandita, aku telah terlatih untuk
melakukan segala sesuatu dengan penuh perencanaan
dan pertimbangan.

69
Aku merasa amat geram terhadap sang akuwu, Tanggul
ametung. Lebih-lebih pada Raja yang kejam itu, Sri
Baginda Kretajaya. Kini aku merasa telah mempunyai
kekuatan cukup, ilmu dan pengetahuan yang memadai.
Aku akan gulingkan Tunggul Ametung, Akuwu
Tumapel. Aku akan kerahkan semua temanku di desa-
desa sebelah barat Tumapel. Tetapi jumlah dan peralatan
mereka belum mencukupi. Sepertinya aku harus
mempersiapkan banyak hal. Dan bila Tunggul Ametung
tidak digulingkan oleh diriku, siapa yang berani
melakukan?. Dua puluh tahun, seumur hidupku ini,
Akuwu itu telah merajalela menjadi seorang perampok
dan peneror besar yang diberi penggada oleh Sri Baginda
Kretajaya.

Kalau Tunggul Ametung dapat aku gulingkan,


balatentara dari Kediri pasti akan datang. Sampai di situ
aku berhenti berpikir. Aku belum tahu jalan apa yang
akan kutempuh selanjutnya. Aku harus mempelajari
segala kemungkinan yang akan terjadi itu.

Dan kala matahari mulai memancarkan sinarnya dari


balik puncak gunung, aku bangun dari tidurku, dan
hendak menyusul teman-temanku yang pergi ke huma.
Sesampainya disana, tak kudapati lagi Tanca,

70
ia sudah pergi melaksanakan suruhanku rupanya. Aku
mengambil alat-alatku dan mulai bekerja.

PERJALANAN MENJADI SEORANG


BRAHMANA

71
Aku masih tetap duduk berlutut dihadapan Bapa Dang
Hyang Lohgawe. Malam pun semakin sunyi dan
diselingi oleh gelepar kalong ( kelelawar ) yang
menyerbui tajuk pepohonan buah.

"Kau adalah garuda harapan kaum brahmana."

" Garuda harapan kaum brahmana," ku ulangi perkataan


Bapa Mahaguru dengan pelan.

"Para dewa tidak tunjukkan padamu untuk jadi seorang


talapuan." ( Talapuan, di sini dimaksudkan sebagai kata
ejekan untuk pertapa Buddha.)

"Para dewa tiada tunjukkan pada sahaya untuk jadi


talapuan," ulangnku lagi.

Aku tahu, bahwa Bapa Dang Hyang Lohgawe tentunya


telah mengetahui pengajaran apa yang telah diberikan
Bapa Tantripala padaku sejak pertama kali aku datang ke
pemondokan ini. Walaupun aku tak mengatakannya
sekalipun. Dengan sebutan " talapuan " itu, aku mengerti
bahwa Bapa Mahaguru benar-benar menolak pada
pengajaran Buddha

Namun jika demikian, mengapa Bapa Mahaguru masih


tetap menerima ku menjadi muridnya waktu itu?.

72
"Kau akan kembalikan cakrawarti Bathara Guru Sang
Mahadewa Syiwa."

"Kembalikan cakrawarti Bathara Guru Sang Mahadewa


Syiwa." Ulangku kembali.

"Kembalikan keseimbangan Jagad Pramudita."

"Kembalikan keseimbangan Jagad Pramudita." Dan


sekali lagi ku ulangi perkataan guruku itu.

"Hei, Arok muridku, malam sudah larut. Kembalilah ke


dalam bilik mu. Dan jangan tinggalkan rumah. Besok
akan kujemput kau dan akan kubawa." dan dengan itu
Bapa Mahaguru mengusap ubun-ubun ku yang saat itu
tiada berdestar ( penutup kepala), dengan dua belah
tangannya, Bapa Mahaguru memegangi bahukudan
menarikku untuk berdiri, kemudian ia sendiri tertatih-
tatih pergi meninggalkan ku.

Ke esokan harinya, kami berdua masih juga dalam


perjalanan. Dari awal perjalanan, Bapa Mahaguru selalu
di depan, dan aku berada di belakangnya dengan
memikul tongkat tangkai tombak pada pundakku, yang
berisikan bungkusan barang keperluan Bapa Mahaguru
dalam kain biru ini

Hanya kadang aku perhatikan kaki tua guruku yang


memakai terompah itu telah menjadi kuning coklat

73
karena debu jalanan, aku dibuat heran melihatnya,
mengapa kaki tua itu belum juga lelah berjalan sejauh
ini. Dan baru sekali ini aku saksikan guruku itu
menempuh perjalanan sejauh ini.

Selama perjalanan perhatiankulebih tertarik pada


sekeliling, gunung – gunung yang serasa tiada habis-
habisnya, dan berlapis-lapis seolah-olah menyentuh
langit. Sesaat kemudian kami melewati Jalanan negeri
yang sudah lama ditinggalkan. Juga jalanan desa.
Sekarang aku memasuki daerah yang kurang terawat,
dan yang juga paling menarik perhatianku.
Aku simak dan pelajari selintas bekas-bekas manusia
dan binatang di jalanan itu, menaksir kapan kiranya
mereka melalui terakhir kali. Juga ranting-ranting di
atasnya, apakah patah karena terinjak atau karena jatuh
dari dahan, atau memang karena sudah terlalu lama
terkapar di udara terbuka. Juga suara angin dan suara
kicauan di dahan-dahan pohon. Juga
warna-warni di hutan sekelilingku. Sungguh
pemandangan yang menyejukkan mata dan perasaan.

Sedangkan Bapa Dang Hyang Lohgawe belum juga


mengatakan kami ini hendak ke mana. Yang jelasnya
aku tahu bahwa jalan yang kami tempuhn ini menuju ke
Gunung Kawi. Kami masih berada di dalam hutan, dan
menemui sebuah pohon asam yang besar. Sampai di

74
bawah pohon asam hutan itu, Bapa Mahaguru baru
berhenti berjalan. Buru-buru Aku menghampiri,
mengambil bungkusan pada ujung tongkat tombak dan
membukanya di hadapan Bapa Mahaguru.Bapa
Mahaguru hanya memakan sekepal ketan dengan daging
serbuk, kemudian minum tiga sampai empat teguk air
yang terisi didalam sebuah buah labu kerdil. Dan sisa
separuh dari perbekalan itu, disorongnya kepadaku,
menyuruhku untuk menghabiskannya.

"matahari telah tenggelam," katanya.

"Ya, Bapa."

"Kita akan sampai tepat pada waktunya."

"Barangkah lebih cepat, Bapa." Jawabku sembari


membereskan kembali barang perbekalan kami.

Kami hanya duduk berdiam-diam sambil menikmati


burung-burung yang ramai berkicau di seluruh hutan.
Bapa Mahaguru mengamati pada tongkat miliknya yang
berdebu, kemudian menyekanya dengan selembar
luruhan daun kering.

"Hari ini kau kubawa pergi. Apa kau tahu ke mana?"

"Tidak, ya, Bapa. Mungkinkah ke Kawi?"

75
"Ya, ke Kawi. Tahu untuk apa?"

"Tidak, ya, Bapa. Barangtentu untuk keperluan sangat


penting, ya. Bapa."

"Setidak-tidaknya juga untuk kepentinganmu sendiri


sebagai garuda kaum brahmana. Ada kau dengar karunia
yang dijanjikan oleh Tunggul Ametung?"

"Dengar, Bapa."

Bapa Mahaguru tak bicara lagi, kemudian berdiri dan


mulai meneruskan perjalanan, langsung menuju ke
Gunung Kawi. Jalan itu turun naik, gelap oleh payungan
pepohonan. Aku masih saja berpikir keras tentang
maksud Bapa Mahaguru itu. Aku menduga barangkali
Bapa Mahaguru hendak mengajakku bersamadhi
bersama di suatu tempat suci. Seorang brahmana, yang
telah tua pula, tak mungkin meninggalkan pedepokan
dan menempuh jarak begitu jauhnya, tanpa terpanggil
oleh sesuatu yang terlalu penting. Hari makin gelap dan
makin gelap.

"Belumkah Bapa memerlukan penerangan?"

Bapa Dang Hyang Lohgawe berhenti, memberi


kesempatan padaku untuk menyalakan obor damar. Dan
kini kami berjalan berjajar. Aku berada di kiri dengan
obor di tangan kiriku. Langit dan bulan tidak nampak

76
oleh kami. Hanya pohon, cabang, ranting dan dedaunan,
yang seakan menutupi sinar rembulan itu seperti sebuah
tembok.

" Ya, Bapa Mahaguru. Apakah tak pernah ada yang baik
pada para penyembah Buddha, ya, Bapa Mahaguru?"
Tanya ku penasaran sebab mengapa alasan Bapa Dang
Hyang Lohgawe begitu menolak Buddha.

"Apa kau lupa, Arok ?.. tentang apakah yang terjadi pada
Mataram dulu? Berapa sudah candi-candi agung
dirobohkan oleh balatentara nya. Batu-batu candi yang
mulia itu justru mereka jadikan umpak ( penyangga )
untuk kuil mereka? Kita tak pernah lakukan itu, maka
kita pun tak dapat memberikan ampun bagi mereka."

Aku hanya terdiam untuk mengerti.

"Adakah Tantripala pernah mengajarkan padamu


tentang ilmu-ilmu itu?"

"Tidak, Bapa."

"Jadi apa saja kau pelajari dari dia?"

"Hanya baca tulis, Ya Bapa."

"Baca tulis apa?"

"Parwa, Bapa, Weda, Purana."

77
"Sansakertamu baik. Semua itu langsung dalam
Sansakerta tentunya."

Kemudian Bapa Dang Hyang Lohgawe mendeham, aku


mengerti maksud dari dehaman itu adalah mengenai diri
Bapa Mahaguru sendiri, yang tidak lancar berbicara,
menulis maupun membaca sansekerta.

" Tentu saja akan banyak hal baik yang harus kau dengar
dari banyak guru yang patut kau muliakan."

Aku mengerti, ternyata aku hendak dibawanya ke Sidang


kaum brahmana. Aku tersenyum, mengetahui bahwa aku
nanti akan mendapat kehormatan diperkenalkan sebagai
sudra-satria-brahmana muda, yang umurnya masih
hampir-hampir dua puluh tahun.

Selebih itu aku tak lagi banyak memperhatikan ucapan


Bapa Mahaguru, aku masih saja banyak meneliti daerah
seluas mata dapat memandang. Setelah melewati hutan,
aku melihat berpuluh-puluhan kunang-kunang
kemerahan bersaing dengan cahaya bulan di atas,
mengelilingi sebuah candi. Itulah tujuan perjalanan
kami. Bapa DAng Hyang Lohgawe kini berjalan di
depan ku. kemudian kami berlutut dan mengangkat

78
sembah ke jurusan candi.dan aku menancapkan obor di
tanah, kemudian mengikuti sesembahannya.

Tepat dibelakang candi itu, berdiri sebuah biara yang


nampak kilat-kilatan cahaya damar dari dalam biara Dari
kilatannya itu, siapa pun akan segera tahu bahwa kilatan
itu berasal dari perunggu dan setiap hari digosok. Di
depan pintu biara kami berhenti

"Dang Hyang Lohgawe," Bapa Mahaguru berbisik pada


pintu.

Pintu pun terbuka, dan sinar damar membungah


menyambut kami. Ruangan itu nampak kosong. Hanya
seorang yang berada di dekat pintu, lalu meneruskan:

"Yang terhormat Dang Hyang Lohgawe!"

Seketika itu juga muncul berpuluh-puluh orang entah


keluar dari ruangan mana saja. Mereka pun
menghampiri Bapa Mahaguru sambil mengangkat
sembah.

"Dirgahayu, dirgahayu, dirgahayu, ya, Mahaguru."

Karena begitu banyaknya orang, aku terpisah dari


guruku yang kini berada dalam lingkaran para brahmana.
Dengan bungkusan yang kupikul ini,aku berdiri di dekat
pintu sambil memandangi orang-orang yang mengangkat

79
sembah pada guruku itu.Kemudian seseorang datang
menghampiriku dan mengambil bungkusan dan tombak
itu dari tanganku. Kemudian dipersilahkannya aku untuk
menggabungkan diri dengan mereka.

Tak lama kemudian, semua para Brahmana kini mulai


duduk berbanjar-banjar dan Aku mengambil tempat
paling belakang. Dan Bapa Mahaguru Dang Hyang
Lohgawe mengetuai pertemuan ini.

Pedupaan mulai dipasang di setiap pojokan ruangan,


menyebarkan harum padawaktu menjelang pagi itu.
Upacara memanjatkan terimakasih pun selesai. Dan
suasanamenjadi hening. Suara burung-burung
berkicauan di pagi hari pun mulai terdengar kembali,
dan semua orang keluar untuk melakukan hajat masing-
masing. Dan aku memilih untuk keluar biara, berjalan-
jalan melihat sejuknya pemandangan sekitar, kemudian
menyongsong Hyang Surya. Dengung nyanyi puji-pujian
dari dalam biara itu membuatku merasa mengantuk dan
kusandarkan diriku pada pohon. Aku mulai menutup
kedua mataku, dengan pendengaran tetap siaga
menangkap semua yang penting untuk keselamatanku
sendiri. Memang tidak tenang rasanya, namun aku telah
terbiasa tidur dengan sikap demikian.

80
Malam harinya, para brahmana kembali melaksanankan
persidangan.Aku hanya duduk terdiam memperhatikan
jalannya panas pertikaian sidang tanpa mencampuri
sedikit pun. Malam menjadi begitu gelap bermendung.
Suara hujan yang deras di sertai kilatan petir sampai
terdengar oleh kami semua yang berada didalam biara.
Kemudian pintu tembaga itu mulai digedor-gedor
dengan keras. Sidang pun terhenti, dan mereka
memasang sikap siaga. Lalu para brahmana pun kembali
ke dalam ruang persmbunyiannya. Dan tersisa seorang
yang tugasnya membuka pintu tadi. Kemudian dibuka
kannya pintu itu. Semua mengawasi dari celah-celah
dinding yang kecil, menunggu muka siapa yang bakal
masuk lebih dahulu. Nampak seorang wanita yang
datang berlari masuk ke dalam biara masih dengan
membawa obor. Badannya telah basah oleh keringat dan
hujan deras diluar bercampur debu. Suaranya hampir tak
terdengar sebab derasnya hujan dan kilatan petir yang
seakan sahut menyahut. Rambutnya kacau balau. Lalu
menjatuhkan diri di ruang tengah biara kehabisantenaga.

kami yang melihatnya dari celah dinding biara pun


kembali keluar menghampiri wanita yang telah tak
berdaya itu. Awalnya kami mengira bahwa gedoran
pintu yang keras itu mungkin saja pasukan Tumapel
yang sedang dikerahkan untuk menindas sidang kaum

81
brahmana ini. Kemudian mulai terdengar keluh dari
wanita malang itu.

"Siapa kau!" tanyaku, melihat tubuh wanita yang


kehabisan tenaga itu, terbujur di samping obornya yang
masih menyala.

"Sahaya ialah kawula Mpu Parwa. Berilah sahaya


minum."

Kemudian dipanggilkannya sang Mpu Parwa yang


kemudian krluar bersama Bapa Dang Hyang Lohgawe
serta para biarawati yang membawa secawan air . Orang
itu minum dalam keadaan masih terbujur. Kemudian
disingkirkannya cawan itu dan memanggil – manggil
pada Mpu Parwa.

"Kau, mengapa kau jadi begini?. Bangunlah !!.." tegur


Mpu Parwa

"Ampun, Tuanku. sahaya sudah tidak mampu lagi untuk


bangun. Delapan pekan sudah sahaya mencari Tuanku di
mana-mana, keliling seluruh Kediri dan Tumapel."

"Siapa suruh kau mencari aku?" Mpu Parwa menaikkan


satu alisnya

"Ampun, Tuanku, rumah sahaya tinggalkan, justru untuk


membawa berita ini, Tuanku."

82
"Kau, perempuan, kelilingi negeri seorang diri begini?
Berita apakah yang hendak kau sampaikan padaku "

"Ampun, Tuanku. Sepeninggal Tuanku, ayu Dedes..."

"Mengapa Dedes?" Mpu parwa mulai terlihat khawatir

"Ayu dedes.. diculik oleh Sang Akuwu."

"Jagad Bathara!" Mpu Parwa terpekik.

"Delapan pekan yang lalu?" Dang Hyang Lohgawe


menengahi sambil menutup kembali pintu ruang bawah
biara.

"Terkutuk dia oleh semua dewa!" seru Mpu Parwa tak


dapat mengendalikan amarahnya. Ia pun hampiri kawula
perempuan itu, dan mengguncang-guncang kedua
bahunya.

"Mengapa tak kau lindungi dia?"

"Apakah daya sahaya, tuanku?.. para emban yang lain


ada yang dibunuh sebab menghalangi sang akuwu "

Mpu Parwa tak sanggup untuk berdiri, wajahnya


memerah akibat amarah yang tak terbendung. Kemudian
mengalirlah air mata seorang ayah yang amat sangat
menyayangi anak dara satu-satunya itu. Semua orang
tercengang mendengar berita itu. Bapa Dang Hyang

83
Lohgawe menarik Mpu Parwa dari perempuan yang
masih tergeletak tak kuat berdiri itu.

"Ampun, Tuanku, hanya itu yang sahaya dapat


persembahkan."

Empat orang biarawati mengangkat perempuan itu dan


menggotongnya masuk ke belakang untuk mendapatkan
perawatan.

"Sabar, Yang Terhormat," kata Bapa Dang Hyang


Lohgawe.

" terkutuk engkau Tanggul Ametung!!.. matilah engkau


nanti tertusuk sebilah keris " Petir yang amat kencang
pun menggelegar hingga membuat dengungan pada
telinga masing-masing.

"tak dapat kita berbuat sesuatu terhadap mereka kali ini.


Tetapi, seorang anak brahmana yang diambil dari
rumahnya dengan jalan sekurangajar itu, memang tidak
dapat ditenggang lagi. Anakmu Dedes akan dapat kau
temukan di pekuwuan Tumapel. Hanya harga kaum kita
yang semakin jatuh. Sebaiknya Yang Terhormat
beristirahat dulu, jangan terganggu oleh perasaan
pribadi. "

84
Bapa Dang Hyang Lohgawe dan aku mengantarkan
Mpu Parwa ke belakang. Dalam perjalanan balik ke
sidang Bapa Mahaguru bertanya padaku.

"Adakah kau perhatikan uraian daripada persidangan


tadi,Arok?"

"Seluruhnya, ya, Bapa."

"Mampu kau ucapkan tanpa rontal Salyaparwa itu dalam


Sansakerta?"

"Suatu kehormatan bagi sahaya untuk mengucapkannya


di hadapan sidang yang mulia kaum brahmana. Bapa
Mahaguru."

"Baik. Jangan kecewakan gurumu ini.."

Bapa Dang Hyang Lohgawe kembali di depan sidang


dan memberitahukan terjadinya suatu peristiwa yang
memaksudkan kelemahan, ketidak berdayaan kaum
brahmana, mencakup semua yang telah dibicarakan,
diuraikan dan dipertikaikan tadi, Bapa DangHyang
Lohgawe menganggap pertemuan para brahmana
semacam ini terlampau berlarut selama dua abad ini. Dan
mengusulkan cara baru. Sementara sidang yang sedari

85
tadi telah lelah tidak mendapatkan sesuatu keputusan
pegangan itu, sertamerta menyetujui.

"Kalau demikian, kau!" perintahnya sambil


menunjukku.

"ucapkanlah Salyaparwa dalam Sansakerta, bukan dalam


Jawa."

Dan aku mulai berkisah tentang Parwa ke-9 Mahabharata


itu.

"Prabu Salya bersia-psiap akan berangkat ke medan-


perang. menjadi sang senopati Kaurawa. Ia temui
Paramesywari Dewi Setyawati, yang masyhur akan
kecantikannya. seorang anak perempuan dari Resi
Bagaspan, bernama Pujawati.. "

Dan kulihat para pendengar terpesona oleh bacaanku.


Dan aku tahu ucapanku itu sangat patut demi pelajaran
ucapan yang kuterima dari Bapa Dang Hyang Lohgawe
selama ini.

"Cukup, dan terimakasih." Ucap Bapa Mahaguru padaku


dengan dua kali anggukannya. Dan aku tidak
meneruskan.

"Kekurangan ku dalam menggunakan Sansakerta ini,"


Bapa Dang Hyang Lohgawe kemudian meneruskan,

86
"tidak atau jangan dianggap sebagai awal kemerosotan
para brahmana, juga tidak akan mengurangi satu titik
pun hal penting yang akan kusampaikan. Kita telah
menahan-nahan kejengkelan selama ini. Lihatlah ini,"

dengan telapak tangan kanan ia tepuk leherku, "seorang


pemuda, Inilah Arok muridku, seorang yang tahu
bagaimana menghadapi Akuwu Tumapel. Terimalah dia,
perpaduan antara brahmana dan satria yang berasal dari
sudra ini."

Aku mengangkat sembah pada sidang, dan semua orang


yang awalnya terlihat terkagum padaku, tiba-tiba
memancarkan pandang menyelidik padaku.

"Bicara, kau, garuda kaum brahmana, dengan berat dan


ketajaman parasyu Hyang Ganesya, dengan ketajaman
kilat Sang Muncukunda..."

Aku mensansakertakan ucapan Bapa Dang Hyang


Lohgawe, kemudian meneruskan perkataannya dengan
sansekerta.

"Sahaya telah ikuti semua uraian dan pembicaraan,


pertikaian dan saran. Hanya satu yang tidak pernah
disinggung, yakni di manakah sebenarnya kekuatan
kaum brahmana? Seluruh ilmu dan pengetahuan, milik

87
paling berharga dari kaum brahmana yang tak dapat
diragukan ini, namun mengapa dikerahkan hanya untuk
memburuk-burukkan yang tidak disukai ?, tidak menjadi
kekuatan yang dapat mengungguli yang lain-lain."

" suara yang keluar dari tenggorokan yang belum lagi


lama memasuki kedewasaan itu terdengar segar. seorang
yang nampak masih bocah, berperawakan sehat, mata
bersinar-sinar, dengan Sansakerta yang mencukupi dan
persoalan yang menyangkut semua.. sungguh sempurna
kau.." Ucap Brahmana lain.

"Suaramu lantang, Arok, seakan semua dewa Kahyangan


memimpinmu. Siapa guru Sansakertamu?" Tanya
Brahmana yang satunya lagi.

"Bapa Tantripala." Jawabku

"Jagad Pramudita!" seru Kutridenta (salah satu brahmana


tinggi). Kemudian melanjutkan

. "Apakah kau bermaksud mengatakan, semua jataka


(kitab Buddha berisi dongengan). Kau pikul di
pundakmu?"

"Tidak, Yang Terhormat, baru sampai ..."

"Dan tidakkah harimu tak lain dari Hyang


Kamahayanikan?" ( buku suci Buddha Mahayana ).

88
"Tidak, Yang Terhormat. Sahaya tinggalkan Bapa
Tantripala, setelah sahaya mendengarkan ajarannya
tentang tata tertib selama tiga tahun."

"Selidikilah brahmana muda ini." Bapa Dang Hyang


Lohgawe mencoba meredakan penyelidikan.

" Namun sinar matamu itu tidak menandakan


kebohongan," seorang lain memberikan perhatian.

"Memang ada sinar Muncukunda ( seorang dalam


mitologi hindu yang memancarkan cahaya sinar indah
seperti sang surya. ) "

"Sudah lama kita tak dengarkan suara sesegar itu " Puji
yang lainnya lagi

"Tidak ada salahnya eorang brahmana muda


mempelajari tatatertib ajaran lain." Yang satunya juga
mendukung.

"Teruskan, garuda!" Bapa Dang Hyang Lohgawe


memberanikan ku.

"Kekuatan, para Yang Terhormat dan Yang Suci," Aku


meneruskan untuk menghindari penyelidikan lebih lanjut
oleh para brahmana itu.

89
"barangsiapa tidak tahu kekuatan dirinya, dia tidak akan
tahu kelemahan dirinya. Dan barangsiapa tidak tahu akan
kedua-duanya, dia pusing dalam ketidaktahuannya."

"Dari rontal siapa itu, Arok?" Tanya brahmana lain.

"Dari sahaya sendiri."

"Kekuatan brahmana ada pada ilmu dan


pengetahuannya," seseorang menyela, kemudian
melanjutkan

"dari sujudnya pada para dewa."

"Apa yang kau maksudkan kekuatan itu adalah tombak


dan pedang oleh kaum satria?"

"Kekuatan tanpa Nandi, berkaki empat, bersintuhan


langsung dengan bumi, tidak mungkin
mengejawantahkan diri sebagai kekuatan di atas bumi.
Dia tinggal kekuatan dalam angan-angan," jelas seorang
itu. Kemudian aku tersenyum.

"Empat kaki Nandi, para Yang Terhormat, yakni teman,


kesetiaan, harta dan senjata Jika ke empat kekuatan itu di
gabungkan, pemberontakan kita tak akan berhenti hanya
pada sebuah angan-angan. Bersama kita akan
kembalikan kemurnian triwangsa."

90
( Nandi, ialah lembu tunggangan dewa syiwa,
mempunyai empat kaki yang menjejak ke bumi.
Empatkaki nandi inilah sebagai modal pemberontakan
Ken Arok nantinya, yakni teman, kesetiaan, uang dan
senjata. )

Semua yang mendengar perkataanku benar-benar larut di


dalamnya.

"Kau, anak muda, mengaku sanggup melakukan semua


itu?" Mpu Panuluh meremehkanku.

"Inilah sahaya, yang sanggup, ya, Yang Suci Mpu


Panuluh. "

" Siapa gurumu?. maka beranikah kau persembahkan


lehermu? "

" Hyang Ganesya sendiri. "

"Jagad Dewa. Jagad Pramudita, tiadakah kau sayang


pada kemudaanmu? "

" Sekiranya tiada lagi yang sanggup, inilah leher sahaya,


ya, Yang Suci. "

Tidak ada sebaris pun di antara parwa-parwa Sansakerta


itu keliru aku ucapkan tanpa rontal. Penyalinan dalam
Jawa membuat sidang dewan penguji terheran-heran.

91
" Anak semuda itu. Bahkan Sri Baginda Jayabaya sendiri
seharusnya memerlukan datang untuk menemui mu."

Dikalungkan untaian melati itu pada leherku, itu tanda


nya aku lulus, melebihi yang diharapkan para dewan
sidang penguji, sekaligus dari ujian tadi aku juga
mendapatkan gelar "Mpu. "

Aku mengangkat sembah pada para dewan sidang


menandakan ucapanku telah berakhir. Waktu aku
berpaling pada Dang Hyang Lohgawe, aku tersenyum
melihat Mahaguru ku itu menitikkan airmata karena
kefasihankudalam Sansakerta, keberanianku untuk
berkisah dengan caraku sendiri, dan keberanianku
menyatakan pendapat pada sidang tertinggi kaum
brahmana yang tidak berdaya itu.

"Jagad Dewa!"

Dan seruan-seruan lain yang sedari tadi mulai


bersahutan memuji atas berkat yang diberikan padaku.

92
BERTEMU UMANG
Setelah lulus sebagai siswa begini, aku merasa bebas
untuk pergi ke mana pun yang aku suka. Tapi tiada
kudapati para pemuda di desa karangksetra, mereka
semua telah pergi meniinggalkan desanya. Dengan
melalui jalan hutan, kini aku menuju ke Desa Randu
Alas, ke rumah orangtua angkat pertamaku, yakni Ki
Lembung.

Matahari telah tenggelam. Dan aku masih berada di


daerah hutan karangksetra.waktu dalam hutan itu tiba-
tiba muncul serombongan pemuda, semua bersenjata.
Aku terkepung di tengah-tengah mereka, dan berdiri
tanpa bergerak.

93
Dari atas pohon terdengar lengkingan suara yang
memanggilku "Arok!!!"

Suara itu sangatlah familiar ditelingaku ini, aku


mengangkat muka ke arah datangnya suara itu, aku lihat
seorang pemuda melompat turun dari pohon, hanya
menggunakan pakaian bawah yang sederhana dan
nampak kumal. Pada tangannya memegang sebatang
tombak dan pada pinggangnya tergantung sebuah
parang. Dan tiba-tiba orang yang mengepungku
berlutut.

"Tanca!!!" Aku langsung sumringah menyadari bahwa


itulah Tanca.

"Ya. akulah Tanca," kami saling berepelukan.

" Dasar kau!!.. Bapa Mahaguru terus saja


menanyakanmu!. Kau membuatku cemas." kataku
sambil memukul kecil pundak Tanca.

"Tak bisa aku kembali pulang pada Bapa Mahaguru,


Arok. Lihatlah mereka semua ini menahan aku. Aku
telah pergi ke karangksetra seperti yang kau suruhkan.
Umang!!.." pekiknya memanggil.

Dan dari belakang lingkaran pengepung itu bergerak


seorang gadis, juga hanya berpakaian seadanya, pada
tangannya juga membawa tombak, pada pinggangnya

94
tergantung parang. Seperti yang lain-lain juga badannya
kotor. Dengan kaki dan hati ragu ia berdiri gemetaran.
Aku mengikuti kearah mana Tanca memandang. Dan
berbisikklah ia padaku.

"Itulah Umang. Ia lari tepat pada waktunya. Sesuai


perintahmu, Arok."

Umang terlihat masih berdiri ragu. "Maju kau sini. Inilah


Arok, pemimpinmu. Abangmu telah datang menemuimu,
Umang ." Ucap Tanca tegas.

Rupanya, selagi aku tidak ada, Tanca memimpin para


pemuda-pemuda itu dengan baik dan tegas,sehingga ia
pun disegani oleh mereka.

Umang melangkah kecil, dan kaki itu nampak gemetar.


Dan kuhampiri dia yang masih saja melangkah dengan
ragu itu, menyambutnya, menangkap pada bahunya.

"Umang?"

Umang mengangkat sebelah tangan, menggosok mata


dan terhisak-hisak.

"Mengapa kau menangis, Umang?" tegur Tanca,


"bukankah semestinya kau gembira bertemu dengan
abangmu?"

95
Kaki Umang semakin menggigil, kemudian jatuh
berlutut.

"Ampuni aku, Umang, ayah sudah terburu dibudakkan."


Ucapku menunduk bersalah pada Umang.

Umang tak kunjung bicara, menjatuhkan seluruh


badannya ketanah dan menangis sejadi-jadinya.

"Bangun, kau prajurit!" perintah Tanca. Umang tak


mendengarkan dan tangisannya menjadi semakin keras.

"Umang!" panggil ku "bangun kau, dan dengarkan aku."


Umang dengan badan yang gemetaran pun akhirnya
bangun, berdiri di hadapan ku dan membuang muka.

"Dengarkan aku Umang !.. aku bersumpah untuk


membebaskan ayah!.."

Dan kemudian aku menoleh pada yang lain dan berucap


tegas.

"Siapa yang tidak sanggup membantu?"

Kepungan orang itu sontak berdiri, setelah mendengar


perintahku.

"Perintahkan! Perintahkan!"

96
"Kau dengar, Umang? semua teman-teman mu sedia
membantu."

"Dengan pimpinanmu, Arok, pimpinanmu sendiri."


Tanca menepuk pundak ku.

"Selama ini kalian telah dipimpin Tanca. Sekarang


akulah yang akan memimpin kalian disisni."

Hari telah gelap dan didalam hutan gelap itu bergema-


gema sorak sorai para prajurit yang kini aku pimpin.
Umang masih saja menangis dengan keras. Aku menarik
bahunya dan kubawa ia berjalan ke arah Randu Alas.
Yang lain-lain mengikuti di belakang.

"Belok ke kanan, Arok,"Tanca mendahului berjalan. "


Dan pasang damar di jalan , kami!" perintahnya.

Obor damar itupun turun naik menerangi jalanan hutan,


jalanan setapak yang gundul. Tanca berjalan paling
depan. Dibarengi oleh aku dan Umang dibelakangnya.

Sementara aku menangkap wajah Umang saat ini.


Airmata gadis itu masih juga meleleh, dan aku
menyekanya tanganku. Umang tidak membalas
pandangku dan menepis kasar tanganku yang menyentuh
wajahnya.

97
"Gadis kecil beringus dulu ini, kini sudah besar," desau
ku .

" Asal kau tahu Arok, gadis cengeng yang menangis di


hadapanmu itu, adalah gadis terganas dari seluruh
rombongan teman-teamnnya. Pada para prajurit yang
menghalanginya, tak ada di antara mereka yang
dikasihnya ampun. Dia begitu haus darah.
Kesehariannya hampir tak pernah bicara dan lebih sering
melamun."

"Benarkah itu, Umang?" Aku mencoba menghibur


Umang,

"Barangkali ia melamunkan datangnya saat ini." Tambah


Tanca.

"Umang! Umang! gadis kecilku yang beringus-ingus


dulu!" Aku hendak meraih tangan Umang.

"Bicaralah kau, Umang. Biar semua dengar," perintah


Tanca.

Sekali lagi Umang tak menggubrisku, ia mendahului


langkah kami, dan tetap tidak bicara.

98
"Sini damar itu," perintah Tanca. "Tidak patutkah Arok
datang jauh-jauh mencari kau? Bahkan senyum pun kau
tidak?. Umang lihat kemari..!! "

Bukannya menurut, Umang lari mendahului dan


menangis meraung-raung.

"Hibur dia, Arok. Lihat, dia masuk ke dalam hutan


sendirian."

Aku pun lari menyusul. Tentunya Tanca dan rombongan


tidak mengikuti aku masuk. Kulihat sebuah damar lain
ditancapkan di pinggir jalanan hutan, dan mereka pergi
meninggalkan tempat itu.

"Umang! Umang!" panggil ku.

Hutan itu tiada ditumbuhi banyak semak-semak, hanya


batang-batang pohon raksasa. Sehingga dengan mudah
aku dapat temukan Umang. Aku dengar tangis Umang,
dan kudapati gadis itu bersujud di bawah sebatang
pohon. Aku menghampirinya, duduk di sebelahnya dan
mengusap-usap rambutnya, aku tegakkan badan Umang,
Umang memberontak tak ingin ku sentuh.. Dan gadis itu
masih juga menangis tersengal-sengal.

"Mengapa kau menangis semacam ini? Bukankah semua


temanmu cukup memperhatikan mu selama ini,Umang?"

99
" Tidak kah Abang tahu penderitaanku selama ini?.. "
Teriak Umang padaku.

" Maafkan aku,Umang . "

Umang tak menjawab lagisedikitpun. Kami hanya duduk


bersebelahan, dan ku tunggu agara tangis itu mulai
menjadi reda.

Kemudian terlintas di pikiranku untuk menceritakan


pengembaraanku selama ini, negeri-negeri jauh yang
pernah aku datangi. Dan satu dongeng kesukaan Umang
sewaktu kecil.

"Dengarkan abang akan bercerita, ada satu negeri lagi


jauh di barat sana, di tempat Hyang Surya setiap sore
masuk ke peraduannya. Di situ ada seorang petani
mempunyai seekor babi betina. Hanya itu miliknya yang
berharga.Tapi sayang babi itu bongkok....

"Khik," terdengar Umang tertawa, teringat pada cerita itu


semasa kecilnya.

Aku merasa sedkit senang, namun nampak tidak peduli,


dan pura-pura tidak tahu. Kemudia kulanjutkan cerita
itu.

"Petani yang bernama Tumpal itu setiap hari bicara pada


babinya yang bongkok, dinamainya babi itu Ratu

100
Lengkungsari, karena punggungnya begitu
melengkungnya seakan pada bongkoknya tepat seorang
dewa yang selalu menariknya ke atas. Pada suatu hari,
Tumpal mengumpani babi-bongkoknya dengan
potongan-potongan ubi mentah. Apa katanya sekali ini?"
Aku menengok pada Umang yang sudah mulai tenang
dan mulai menahan tawa.

"Dia bilang; aduh, aduh Sri Ratu Lengkungsari,betapa


indah bongkokmu ini, sampai semua babi hormat
padamu, tak berani mendekat tak berani menegur.
Mendadak terjadi sesuatu. Ratu Lengkungsari berhenti
makan, berhenti mengunyah, kupingnya berdiri
mengangkat kepala dan memasang moncongnya pada
Tumpal, berkata dengan suara besar: "Ha-ha-ha, yang
berani dekati cuma engkau, si Tumpal. Tumpal pun
sampai jatuh terpelanting saking kagetnya."

"Khik-khik-khik," Umang tertawa mengikik. "Dulu tak


begitu ceritanya." Sambung Umang.

"Bagaimana cerita nya yang dulu?"

"Tak tahu, ah."

"Kau sudah besar, Umang. Kau sudah dewasa." Umang


duduk tegak aku raih badannya tuk berbaring di
pangkuanku, Umang sangat terkejut, dan teganglah

101
badannya itu. "Sudah bertiduran saja di pangkuanku."
Sejenak Umang tak bisa bicara.

" Aku tahu kini aku tidak sedang menghadapi Temu


yang dahulu, tapi seorang lelaki dewasa bernama Arok,
yang telah lulus belajar dari seorang brahmana yang
dihormati orang di seluruh negeri ini... Maafkan aku
Bang.. "

"Mari kita menyusul yang lain-lain," Aku berdiri dan


memperbaiki tegak badan Umang.

"Mengapa kau menangis tadi? Dan begitu lama pula?"


Tanyaku

" Apalah artinya tangisan itu dibandingkan dengan aku


yang menunggu selama enam tahun?"

"Benar kau menunggu-nunggu aku, Umang?"

"Kau harapkan sebagai apa waktu aku datang?"

"tentunya sebagai kau sekarang ini."

Aku mulai berjalan, dan Umang kini mengikutiku.

"Baik, Umang. Kita akan bebaskan ayah dulu. Mari, kita


menyusul mereka."

102
Kami keluar dari hutan, mencabut damar di pinggir
jalanan desa dan lari memburu rombongan kami.

Sesekali kulirik wajah Umang di bawah sinar damar


yang kupegangi itu. Ia tidak rupawan seperti gadis-gadis
lain yang pernah kutemui. Aku kembali teringat akan
semua kebaikan Ki Bango Samparan dan istrinya, juga
gadis di sampingku ini, yang kini lari di malam hari
hanya dalam pakaian kumal,dan penuh robek jahitan
seadanya, rambut terurai, dan dingin udara tak
dirasakannya sama sekali. Kami berdua telah bermandi
keringat waktu mencapai rombongan.

103
NYI LEMBUNG,
EMAKKU.
Menjelang esok paginya, kami telah mengepung Desa
Randu Alas yang terpencil di dalam hutan itu. Desa kecil
itu kini telah padat dengan gubuk-gubuk para pelarian
dari Tumapel. Sawah dan ladang telah melebar lebih
sepuluh kali lipat. Sangat berbeda saat kutinggalkan
enam tahun lalu. Tetapi tak ada satupun prajurit Tumapel
yang nampak saat kami tiba.

Rumah Ki Lembung yang dulu berada di tengah hutan,


kini berada di tengah-tengah desa. Aku maju tanpa ragu-
ragu ke rumah, kemudian berbalik dan memeriksa
kandang di samping rumah, yang nampak telah reyot.
Hanya seekor anak kerbau yang mendekam tercencang
kakinya sendirian.

Aku mengitari rumah sambil memanggil-manggil pelan


emakku. Aku dengar ambin( ranjang tidur ) di dalam
rumah berkerait. Dan kemudian bersuara

104
"Suara siapa itu yang memanggil-manggil kalau bukan
suara anakku?"

"Emakk!!. Lihatlah anakmu ini,makk!.. "

"Temu, anakku?"

"Temu, Mak."

Pintu depan itu terbuka.

"Temu? Temu? Di mana, kau?"

Aku tak mampu menahan rinduku, dan kemudian


tubuhku jatuh di hadapan wanita tua yang belum lagi
kulihat wajahnya itu, merangkul kaki kanannya. Wanita
itu berlutut dan menciumi wajahku..

"Aku tahu pada suatu hari kau akan datang, inikah


Temu anakku?.." ia menangis. "Kau begitu keterlaluan,
begitu lama kau baru kembali ..."

Kemudian aku berdiri dan membopong emakku itu


masuk ke rumah. Dari sinar damar dapat aku lihat wanita
itu bukan seorang ibu muda yang dulu, tetapi telah tua
dengan wajahnya yang telah dirusak oleh usia.

"Mak, aku tak mengira bahwa kau mengharapkan


kedatanganku."

105
"keterlaluan kau Temu!!.." ia terhisak-hisak

"Emakku, emakku sendiri," Aku mengayun-ayunkan


Nyi Lembung dalam boponganku ini. Wanita tua itu tak
dapat berbuat sesuatu apapun kecuali menangis.

"Kau tidak sayang padaku, Temu."

"Inilah sahaya datang, Mak."

"Kau biarkan aku sendirian selama ini."

Kemudian kuletakkan Nyi Lembung di atas ambin, dan


wanita itu merangkulku, seakan takkan dilepaskan untuk
selama-lamanya.

"Mak.. Ikutlah dengan sahaya,kalau emak mau aku


bawa..."

"Hendak kau bawa ke mana emakmu ini?"

"Ke mana saja emakku suka."

"Begitu kecil kau datang ke rumah ini dahulu anakku..


dan sekarang bukan lagi tangis kedinginan yang
terdengar."

Ia terhenti untuk melepaskan hisaknya, kemudian


melanjutkan.

106
"Kau tidak diganggu prajurit tadi?"

"Prajurit, Mak? Anakmu ini juga prajurit, Mak."

"Prajurit?!" Nyi Lembung melepaskan pelukannya,


turun dari ambin dan mengawasiku, raut wajahnya
terlihat terkejut dan memerah.

"Prajurit? Yang ikut menangkap bapakmu sendiri?"

"Ampun Mak,tidak, sahaya bukan prajurit Tumapel," ku


dekati lagi Nyi Lembung, dan wanita tua itu
menghindariku. "Mengapa, Mak?"

"Jangan sentuh aku."

Ku Bopong Nyi Lembung lagi dan aku berkata pelan.

"Bukan prajurit Tumapel, Mak, bukan."

"Bapakmu mereka tangkap di desa Kidal, Temu. Dan


tidak pernah kembali lagi, sudah lima tahun berselang,"
ia mulai menangis lagi, dengan tersengkal-sengkal. Saat
mendengarnya langsung dari Emak, rasanya hati ini
begitu sesak dan teriris rasanya.

" Sudahlah, Mak, aku sudah dengar. Inilah anakmu yang


akan membalaskan dendam mu Mak. Sahaya akan
mencari Bapak. "

107
Dalam Boponganku ituNyi Lembung memeluk leherku,
dan kurasakan air mata nya menetes pada rambut dan
wajahku.

"Aku percaya, anakku akan lakukan itu. Kau anak yang


kuat, Temu !.."

"Mari, Mak, akan aku bawa Emak ke tempat lain."


Ucapku sambil mendongak ke atas melihat Emakku itu.

"Tidak, Temu. Ttempatku di sini. Kau saja yang sering


datang ke mari."

"Anak kerbau siapa yang di kandang, Mak?"

" Kerbau itu milik para prajurit, dan aku yang diharuskan
memeliharanya."

"Kurangajar! Aku bunuh anak kerbau itu, Mak." Aku


mendadak menjadi geram mengetahuinya. Mereka telah
menangkap Bapakku Ki Lembung, merampas segala
harta benda yang kami miliki, lalu menimpakan tugas
seperti ini pada Emakku yang telah tak beraya.

"Jangan Temu. Aku akan dihukum juga bila kau


lenyapkan anak kerbau itu. Aku tetap tinggal di sini,
Temu."

108
" Ayolah Mak!!..Siapa yang akan memelihara Mak
kalau sakit?"

"Tak pernah sakit." Bantahnya padaku.

"Bagaimana makannya?"

"Apa saja yang bisa dimakan"

"Mari aku bawa, Mak."

"Tidak. Biarkanlah aku mati di desa ini, Temu."

Kemudian matahari mulai terlihat terbit, ayam-ayam


mulai berkeruyuk, dan semestinya aku harus segera
membawa Emak pergi saat ini. Namun Emak terus saja
menolaknya.

"Mak, ayam sudah pada berkeruyuk, Sebentar lagi


matahari terbit... Aku.. "

"Ya, pergilah kau. Sering-sering kau datang ke mari,


anakku "

Dan untuk terakhir Emak mengecup kening ku,


mengusap-usap kepala ku dan memelukku dengan erat
sekali lagi. Akhirnya, dengan berat hati aku menuruti
kemauan Emak untuk meninggalkannya disini sendiri.
Akupun sangat berharap agar dapat mengunjunginya lagi
dalam waktu dekat ini.

109
PRAJURIT TUMAPEL.
Masih di Karangksetra. Setelah kembali dari rumah
Emakku, siangnya aku dan rombonganku mengepung
tempat penampungan para budak yang sebelumnya
dijaga oleh para prajurit Tumapel . Aku memasuki
penampungan itu. Pengap rasa hawanya. Ruang gelap
tertutup dan berjerujikan besi seperti sebuah sangkar
raksasa. Baru memasuki beberapa langkah saja, bau tak
sedap telah terbau menyengat olehku. Melihat pintu
utama dari sebalik kerangkeng dibuka. Orang-orang itu
berkumpul. Sungguh memprihatinkan kondisi mereka
itu. Rata semua kurus kering, dan sangat kumal.

"Siapa di antara kalian bernama Ki Bango Samparan?"


Ucapku lantang

"Ki Bango! Ki Bango!" orang berseru-seru memanggil.


Dari tengah-tengah kumpulan budak itu keluar seorang
lelaki jangkung yang sudah mulai agak bongkok,
berjalan dengan langkah tegap maju menghampiri Arok.

110
"Inilah Bango Samparan, Yang Mulia!" Aku melompat
turun dari batu, membuka kerangkeng itu, kemudian
bersujud dan mencium kakinya. Ki Bango melangkah
mundur kemudian juga berlutut mencium tanah, sembari
ketakutan.

"Biarlah aku memuliakan engkau, Bapak. Inilah anakmu,


anakmu sendiri si Temu."

"Jagad Dewa! Temu? Temu anakku?" Berdua kami


bangkit dan kami berangkul-rangkulan melepas rindu.
Aku memimpin Ki Bango Samparan naik ke atas batu,
dan melihat kesekluruhan budak.

"Inilah Ki Bango Samparan, bapakku. Hormati dia


seperti kalian menghormati aku, karena sebentar lagi aku
akan tinggalkan tempat ini. Bapakku ini yang akan
memimpin kalian. Jangan kalian tinggalkan tempat ini
sebelum pasukan Tumapel nanti dapat dikalahkan.
Semua masuk ke dalam hutan!."

akuterdiam sebentar dan menebarkan pandang ke


sekeliling budak sekali lagi. Dengan lambaian tangan,
aku memberi isyarat pada Umang yang sedari tadi
menunggu di depan pintu utama,untuk maju menemui
bapaknya.

111
Dan Umang pun beregegas lari mengangkat sembah
pada Ki Bango Samparan "Bapak, inilah Umang."

Umang menangis, tersedu-sedu. Ia tinggalkan


tombaknya pada Tanca Budak-budak itu maju
melingkari batu itu, bertanya satu pada yang lain.

"Kalian para budak, sahaya tidak ingin mendengar


adanya lagi kata, ‘ budak ’ yang dibudakkan, ataupun
orang lain yang terseret jadi budak karena orang lain
pula. Rukunlah kalian. Untuk selanjutnya tak boleh
terjadi lagi hal seperti ini, baik karena judi, hutang
maupun tak kuat membayar upeti. Kalian mengerti?
Maaf-memaafkan kalian mulai hari ini. Nah, beramah-
tamahanlah kalian sekarang dengan semua prajurit yang
telah membebaskan kalian!" Ucapku dengan lantang

Budak-budak itu kembali mengepungku, berebutan lebih


dulu untuk mencium kulitku, sebagai tanda terima-kasih.
ia berikan semua senjatanya pada Tanca.

Akupun memimpin rombongan budak itu kedalam area


hutan yang aman, dan ku percayakan beberapa pemuda
untuk membantu mereka. Dan akupun berpisahan pada
Ki Bango Samparan. Aku berjalan seorang diri
memasuki Kutaraja ( ibukota Tumapel ), dan terus
menuju ke utara, kemudian membelok ke barat, ke kaki
Gunung Arjuna.

112
Esok harinya, baru saja aku sampai di Pangkur, Sakit
rasanya seluruh badan ini menempuh jalanan sejauh itu,
kemudian langsunglah aku masuk ke dalam asrama. Tak
kujumpai teman seperguruanku, teryata semua siswa
sudah berangkat ke sawah. Dan kemudian tidurlah aku di
ambin tempatku yang lama.

Saat memasuki pemondokan, rasanya aku tadi sekilas


melihat Bapa Dang Hyang Lohgawe, tentu saja Bapa
Mahaguru telah melihat ku jika demikian. Yang.
Terdengar kerincing pada kaki kuda. Aku mengintip
melalui jendela.dan ternyata kereta itu berasal dari
Kutaraja. Dan mulai terdengar pula derap langkah Bapa
Mahagur yang mulai mendekat. Aku berpura-pura ia
masuki asrama dan membangunkannya, menyuruhnya
mandi.

Dalam kereta Arok baru mendengar maksud gurunya: ia


hendak dibawa menghadap Tunggul Ametung untuk
meredakan kerusuhan di bagian selatan negeri.

"Garudaku!" bisik Bapa Dang Hyang Lohgawe,


kemudian melanjutkan

"hanya kau yang dapat tumbangkan Akuwu Tumapel.


Hanya cara ini yang bisa ditempuh. Kau harus
mendapatkan kepercayaan dari Tunggul Ametung.
Dengan kepercayaan itu kau harus bisa

113
menggulingkannya. Semua brahmana di Tumapel,
Kediri, di seluruh pulau Jawa, akan menyokongmu.
Dengan Tumapel di tanganmu kau akan bisa hadapi
Kediri. Demi Hyang Mahadewa, kau pasti bisa." Bapa
Dang Hyang Lohgawe meyakinkanku.

Aku terpesona dan bangga oleh tugas yang datang secara


mendadak pada ku itu. Dari medan pertempuran, kini
aku harus pindah ke medan siasat. Dan kereta kami pun
lari melaju Kutaraja ( ibukota Tumapel ).

"Kau pasti bisa," ulang Bapa Dang Hyang Lohgawe.

"Sahaya pasti bisa." Aku mengulagi ucapannya

"Pegang Tumapel dan hadapi Kediri."

"Pegang Tumapel dan hadapi Kediri, ya. Bapa


Mahaguru."

"Demi Hyang Mahadewa."

"Demi Hyang Mahadewa." Kembali aku mantapkan


hatiku untuk melakukan tugas ini.

"Aku tahu, kau sudah mengerti seluruh sangkut-paut dari


tugasmu. Kau tidak akan mengecewakan."

"Sahaya tidak akan mengecewakan, ya Bapa Mahaguru.

114
Aku memejamkan kedua mata ini . Dalam hati aku
tempa rencana dalam hubungan dengan semua orang
yang mengasihiku.Kereta kami telah tiba di Kutaraja dan
hendak menuju Pakuwuan. Saat mendekati Pakuwuan,
kereta kami berhenti dan dan naiklah seorang yang
mengaku sebgai kepala prajurit Tumapel, ia memimpin
kusir untuk membelok ke belakanng.

Pakuwuan.sekilas dapat kulihat pura dalam terkurung


pagar tanah liat.

Kereta berhenti tepat di depan pintu gerbang pertama


pura. Semua turun. Kepala prajurit mengetuk pintu
gerbang belakang pekuwuan. Waktu pintu itu terbuka
kepala prajurit menjatuhkan diri dan mengangkat
sembah. Dan Bapa Dang Hyang Lohgawe mengangkat
tangan. "Dirgahayu, Yang Terhormat," sapa Tunggul
Ametung.

"Dirgahayu!" sapa Bapa Dang Hyang Lohgawe.

Akhirnya, aku berhadapan langsung dengan Akuwu ini.


Ini bukan kali pertama aku bertemu dengannya, aku
pernah menghadapinya pada saat aksi perampasan yang
lalu-lalu. Baik sewaktu aksi perampasan dan saat ini, ia
nampak begitu menyelidik padaku. Barangkali ia
mengenali ku waktu itu.

115
Tunggul Ametung pun memimpin kami sebagai dua
orang tamunya untuk duduk di bangku. Kepala prajurit
itu menutup pintu dan pergi. Sedari tadi aku hanya
berdiri di belakang Bapa Dang Hyang Lohgawe.

"Siapakah yang Bapa bawa?"

"Dia-lah Arok, orang yang sahaya janjikan, yang mulia."

Tunggul Ametung berdiri, menghampiriku dan


menyelidik dengan matanya. Tiba-tiba ia membuang
muka sebentar dan kemudian menyelidik lagi dengan
matanya.

"Aku pernah melihatmu," katanya. "Arok rupanya


namamu. Di mana sekarang kumismu?"

"Hormati Sang Akuwu, Arok!" perintah Bapa Dang


Hyang Loh-gawe, dan aku baru menjatuhkan diri dan
mengangkat sembah pada akuwu itu.

"Yang Terhormat Bapa Dang Hyang, aku mengenal mata


itu. Suruhlah dia mengaku asalnya, dan tentang
perbuatannya selama ini."

"Yang Mulia membutuhkan bantuannya untuk


memadamkan kerusuhan. Kalau perjanjian yang
didasarkan permintaan dari Yang Mulia tidak berlaku,
sebaiknya kami tinggalkan tempat ini sekarang juga"

116
" Tunggu! " Tanggul Ametung berbalik. kemudian
berjalan mondar-mandir dari tempat itu ke pintu Bilik
Agung.

"Begitulah tingkah seorang sudra yang tak tahu


diuntung, dia tak bisa menghormati orang lain, dan tidak
dapat menghormati dirinya sendiri" . kata Bapa Dang
Hyang Lohgawe,

Kemudian aku tertunduk mempersiapkan pikiran untuk


dapat menjatuhkan penguasa liar ini. Pada waktu itu
Tunggul Ametung keluar dari Bilik Agung. Di
belakangnya muncul seorang wanita yang mengintip dan
mengangkat sembah pada Bapa Dang Hyang Lohgawe
dari sebalik pintu. Dan Bapa Dang Hyang Lohgawe
mengangguk membalas. Dan wanita itupun hilang lagi
dari sebalik pintu. Aku tak dapat melihatnya dengan
jelas dan tak sempat meneliti pada pakaiannya dengan
waktu seperkian detakan itu.

Tunggul Ametung langsung duduk di hadapan Bapa


Dang Hyang Lohgawe, dan berkata

"YangTerhormat," katanya dengan nada yang tiba-tiba


menjadi hormat

"Yang Mulia Paramesywari Tumapel menghendaki agar


Tumapel mempercayai Yang Terhormat."

117
"Setiap persetujuan menuntut biaya, Yang Mulia." Ucap
Bapa Dang Hyang Lohgawe.

"Boleh saja." Tanggul Ametung menyanggupi.

"Arok datang karena persetujuan denganku, bukan atas


perintah Yang Mulia. Dia tidak akan menerima perintah
Yang Mulia sebelum sahaya ini meminta padanya untuk
menjalankannya." Tegas Bapa Dang Hyang Lohgawe.

"Baik. Seperti kita perbincangkan sebelumnya, Bapa


menjanjikan seorang yang akan dapat meredakan dan
menindas kerusuhan di Tumapel."

"jadi Yang Mulia terima anak ini?"

"Kau, Syiwa, Wisynu ataukah Buddha?"

"Dia datang tidak untuk diperiksa, Yang Mulia," tegur


Bapa Dang Hyang Lohgawe. Dan kembali meneruskan
"Dia telah bersedia untuk meredakan dan memadamkan
kerusuhan, dan itu sudah segala-gala yang Yang Mulia
kehendaki. Persetujuan telah kita terima, sisanya hanya
pelaksanaan. Apa katamu, Arok?"

"Sahaya akan datang membawa anak buah sahaya."


Jawabku

118
"Baik Panggil anak buahmu yang dulu, guna
memperkuat pasukan pengawal pekuwuan sebelum kau
siap meredakan dan memadamkan kerusuhan." Tanggul
Ametung ikut memerintah padaku.

Dan hari itu pula Tanggul Ametung resmi mengangkatku


sebagai prajurit Tumapel kepercayaanya.

119
PARAMSYWARI
TUMAPEL
Telah genap satu iringan purnama aku berlatih di
Tumapel, dan di bangunkan sebuah bilik kepunyaanku
sendiri, dari ujung jalan yang lain aku melihat sebuah
tandu dipikul oleh empat orang emban ( pembantu,
Dayang ) wanita dengan tapas penutup kepala. Segera
aku ketahui bahwa di dalam tandu itu adalah Yang Mulia
Paramesywari Ken Dedes .

Dalam iringan dua orang prajurit yang berlatih


bersamaku, aku memelankan jalan. Tandu itu berhenti di
depan pintu gerbang belakang pekuwuan. Aku berhenti
untuk memberi hormat dan menhentakkan pangkal
tombak ke tanah. Tirai penutup tandu terbuka dari
dalam. Dan sebuah tangan mengulur keluar untuk di
pegangi, salah seorang emban menangkap tangan itu dan
turunlah sang Paramesywari dari tandu, ia nampak
tunduk untuk membenarkan pakaiannya itu. Tak sengaja
aku melihat betis dari Yang mulia paramesywari sebab
pakaiannya yang indah itu tertiup dan terselingkap oleh
angin. Kulitnya gading. Betisnya memancarkan cahaya
yang memukau ku.

120
“ jagad Dewa!!.. cahaya apakah yang aku lihat ini ?..
adakah mungkin yang mulia mendapatkan berkah dari
para dewa?..” Ucapku dalam hati.

Bapa Dang Hyang Lohgawe pernah bercerita padaku,


bahwa ada ramalan Dewi Pradnya Paramita akan menitis
menjadi satu-satunya Ardhanareswari, yaitu wanita yang
akan menurunkan raja-raja besar di tanah Jawa ini. Ciri-
ciri Ardhanareswari pun telah kesemuanya dimilki oleh
Dedes, Ia adalah seorang Brahmani murni dengan
cerminan ilmu pengetahuan yang luas. Sejak itu pula
akum akin jatuh hati pada Dedes, akan kuperistrikan dia
nanti bila Tanggul Ametung berhasil aku gulingkan.

Ken Dedes pun telah keluar sepenuhnya dari tandu, aku


mengangkat pandang dan melihat wajahnya.Mahluk
apakah yang kini ada di hadapanku?, Dewi se ayu
inidengan betis yang memancarkan mukjizat para dewa.
Aku begitu terpesona oleh kecantikannya.

Mata kami saling bertemu, Ah Dedes.. kau membuat


aku bagaikan terpakukan pada bumi. Beberapa saat
wajahnya yang ayu itu nampak terkejut melihatku
kemudian menundukkan kepala, Kini aku merasa mata
seorang dewi sedang menumpahkan pengaruh atas diriku
ini. Ia tampak gemetar. Dengan tangan menggigil ia
buka pintu Taman Larangan itu, tapi tak mampu. Dan

121
aku datang membantunya, dan mendengar suara dewi
itu.

" siapa nama mu ?.. " Suaranya lembut dan segan.

"Sahayalah Arok yang mulia, orang kepercayaan Yang


Suci Dang Hyang Lohgawe."

"Dirgahayu untukmu, Arok." Senyuman kecil yang


mempesona pun tersungging pada wajahnya yang
berhidung bangir ( mancung ) itu.

"Beribu terimakasih. Yang Mulia."

Pintu itu terbuka. Aku dapat melihat Taman Larangan


itu. Taman yang dipenuhi bunga dan pepohonan buah,
nampak sangat tenangdidalamnya. Dedes akhirnya
masuk ke dalam Taman itu dan pintu ditutup kembali.

"Makhluk kahyangan, Arok," bisik salah seorang prajurit


yang bersamaku.

" Hustt.. jaga sikapmu, banyak yang melihat "

Dan kami meninggalkan taman larangan menuju tempat


pelatihan kami lagi. Beberapa kali latihan ini, wajah ayu
Dedes selalu tampil dalam pikiranku. Betapa terpana nya
hati ini melihat anak dara Mpu Parwa yang satu ini. Ia
berbeda dengan semua gadis jelita yang selama ini

122
kutemui, keayuan nya itu benar-benar menawan hati.
Dengan darah brahmana murni yang mengalir dalam
tubuhnya, tentu saja Tanggul Ametung ingin
menjadikannya sebagai barang awal kejatuhan kaum
brahmana. Aku teringat kembali masa disaat aku
pertama kali melihat tandu iring-iringan Dedes.

Saat itu menjelang matahari tenggelam di Pangkur, aku


sedang bersama Tanca melihat dari bukit di belakang
pasar. Terdengar teriak para peseru Tumapel bahwa akan
berlalunya Yang Mulia Akuwu, Yang Mulia
Paramesywari Ken Dedes dan Yang Suci Belakangka
dengan Sang Patih Tumapel. Aku sangat tahu bahwa
iring-iringan itu menuju ke padepokan kami.

" Mereka inginkan apa dengan bertemu Bapa Mahaguru?

" Entahlah Tanca,barangkali Akuwu yang bodoh itu


akhirnya hendak mencari pencerahan dari Bapa
Mahaguru.. " Aku mengira-ngira demikian.

" Dan dia juga turut membawa sang paramesywari


rupanya.. hahaha " Tanca tertawa kecut.

"Dedes, Tanca. Anak dara Mpu Parwa. Diculik dari


desanya di Panawijil. Sungguh malang dia "

"Semua sudah dengar." Singkat Tanca

123
"Waktu Mpu Parwa ada bersama kami di persidangan
para brahmana lalu "

"Ya, benar-benar memalukan akuwu itu "

"Anak keturunan brahmana. Tentunya cantik.. bukan


begitu Tanca ? "

"Yaahh..semua yang tercantik kepunyaan Tunggul


Ametung," Tanca mulai menyengir tak senang.

"kemari kau, Tanca. kita lihat mereka dari tempat yang


lebih tinggi. "

Dan kami mendaki tebing sehingga dari kejauhan telah


nampak iring-iringan itu maju dengan terlalu lambat,
didahului dan diikuti oleh pasukan kuda.

"Dalam tandu itu, pasti Dedes adal didalamnya. Kau tahu


Arok ?.. Orang bilang Paramesywari Tumapel tidak
berbahagia." Tanca melaporkan.

"Kerbau betina pun takkan berbahagia dengan orang


dungu seperti Tanggul Ametung itu, Tanca."

"Untuk apa kau hendak melihat Dedes? Bukankah


sebentar kau akan memiliki Umang sebagai istri mu?"

124
"Sebentar lagi Tunggul Ametung jatuh, Tanca." Jawabku
penuh keyakinan.

"Dia takkan dapat mengelakkan nasibnya. Dan Dedes.?..


apa itu artinya kau akan?.."

" Ya, Tanca. Aku yang akan mendampinginya setelah


itu. "

" Sudahlah Arok, kita harus berusaha lebih untuk


mencapai itu semua. Ayolah, tak perlu kita melihat
mereka, Arok. Mari langsung ke Randu Alas. Yang lain-
lain sudah lama menunggu kita." Ajak Tanca sambil
beranjak dari tempat duduknya.

" Akuwu brengsek!!.. " Teriak Tanca menghinakan


Tanggul Ametung dari atas tebing.

Aku dibuat tertawa oleh sahabatku yang satu ini, dan


kami pun meneruskan perjalanan menuju ke Randu Alas.

Belum juga usai aku melengkapi ingatan itu, Seorang


prajurit lain muncul dari ujung jalan dan menghadap
padaku

"Demi perintah Yang Mulia Akuwu, kau, Arok,


diharapkan menghadap sekarang juga di Taman
Larangan."

125
Dan saat itu juga aku berangkat lagi ke belakang gedung
pekuwuan. Tempat pertama aku melihat wajah ayu
Dedes tadi. Pintu gerbang itu tidak terkunci dari dalam.
Aku hanya menyorongnya dan terbuka. Dua orang
pengawal gerbang itu mengangguk mempersilahkan ku
masuk. Setelah menutup pintu itu, aku pun mengangkat
sembah pada Sang Akuwu yang duduk bersanding
dengan Dedes di bangku kayu taman, di bawah
rindangan pepohonan.

Aku duduk bersila di hadapan Akuwu dan mengangkat


sembah.

"Inilah Arok, jago pilihan Yang Terhormat Dang


Hyang." ia dengar Tunggul Ametung memulai.

aku mengangkat sembah pada Paramesywari Ken Dedes.

"Jadi kaulah yang bernama Arok," kata Dedes. Suaranya


agak gemetar. Dan masih tertunduk saat menatapku.

"Inilah sahaya, Yang Mulia."

"Berapa umurmu?" Dedes mulai mengangkat


pandangnya.

"Dua puluh, Yang Mulia Paramesywari."

126
"Pernah kau belajar pada Yang Suci Dang Hyang
Lohgawe?"

"Sampai tamat, Yang Mulia Paramesywari."

"Semuda itu sudah tamat? Ampuni aku, berapa banyak


syair dalam karya Mpu Panuluh Hariwangsa?"

"Enam belas ribu bait, Yang Mulia."

"Bisakah kau mengucapkan barang sepuluh bait?"

Aku membacakan bagian awal syairnya dalam


Sansakerta.

"Sansakerta!" Dedes mendesis, "Jagad Dewa." Matanya


membeliak dan ditebarkan membikin lingkaran berdiri
pada alam semesta. Berkata pada Tunggul Ametung.

"Dalam Sansakerta seindah itu. Bukan manusia, dewa


itu sendiri." Ia berdiri, seperti orang yang tak tau harus
berbuat apa, matanya sebak.

"Tidak patut kau duduk di tanah begitu rupa." Lanjut


Dedes

"Arok,"Akuwu itu memulai, "ketahuilah, Yang Mulia


Paramesywari Tumapel telah berkenan untuk mengenal
dirimu."

127
Dan aku mengangkat sembah terimakasih.

"Tunjukkan pada kemurahan Yang Mulia


Paramesywari, bahwa kau akan segera dapat
memadamkan kerusuhan di selatan Tumapel." Perintah
Akuwu itu.

"Inilah Arok, Prajurit Yang Mulia sendiri."

"Yang Mulia Akuwu sebaiknya belajar percaya


padanya."

"Baik, padamkan kerusuhan di selatan. Kau akan


mendapat tambahan lima ratus prajurit lama yang
berpengalaman. Dengan kepala pasukannya kau akan
pelajari medan."

"Sedia, Yang Mulia." Jawabku masih dengan sikap


hormatku.

Sementara itu Dedes tetap mengawasi dan


memperhatikanku.

"Ada apa, Permata?" bisik mesra Tunggul Ametung.


Rasanya aku ingin sekali mendengus kesal melihatnya.
Dedes nampak tak nyaman dengan sikap suaminya itu.

128
"Coba katakan padaku yang masih bodoh ini," Dedes
meneruskan,"apa saja yang kau ketahui dari ucapan
Kramasara tentang wanita?"

" Wanita adalah Dewa; Wanita adalah Kehidupan;


Wanita adalah Perhiasan untuk pria ...Yang Mulia.
Sahaya membenarkan, hanya alasannya tidak. Yang
Mulia, menyesatkan ..."

"Jagad Dewa, Jagad Pramudita!" Mata Dedes berbinar-


binar melihatku, ia berdiri dan tiba-tiba menjatuhkan diri
di hadapanku, dan mengangkat sembah.

" Jagad Dewa! Jagad Pramudita! " Ia mengulangi


perkataannya dan getaran suara Dedes makin menjadi-
jadi saja.

" Apa yang kau lakukan permata ?.. menjatuhkan diri


dihadapan seorang prajurit rendahan begini.. sama saja
mempermalukan diri..berdirilah " Tunggul Ametung
terkejut melihat sikap aneh istrinya itu.

" Bukan semestinya dia duduk di tanah begitu di


hadapan Dedes kanda!!.."

" Mengapa? " Tanggul Ametung bertanya.

" Akulah yang semestinya menyeka kakinya. " Dedes


menitikkan air mata

129
Tunggul Ametung dengan nada sengit berkata "
Mengapa?.. Cukup Dedes!!.. kemari kau"

Tanggul Ametung menangkap kasar lengan Dedes, Dewi


itu nampak meringis kesakitan, namun masih saja
bersikeras dalam posisi sembahnya padaku. Aku sebagai
seorang prajurit tentu tak dapat berbuat apapun melihat
hal ini, sebab jika salah sedikit saja aku mengambil
tindakan, Tanggul Ametung tak akan lagi percaya
padaku.

" Dari Sansakertanya jelas dia telah kuasai semua ilmu.


Dia tahu yang aku tidak tahu, seorang sudra yang
mendaki naik ke tempat brahmana. Sungguh hebat jago
yang satu ini. Seharusnya kaulah yang menjadi
pendampingku.. " Ucap Dedes yang masih terisak.

Walaupun tak mengucapkan segala suatu yang


berlebihan, Tanggul Ametung nampak telah terbakar api
rasa cemburu, ia menarik dan menggendong paksa
Dedes dari hadapanku. Dedes berusaha memberontak
namun tak mampu. Aku merasa sakit yang luar biasa
melihat kejadian didepan mataku ini, sebab tak ada satu
hal pun yang dapat kulakukan. Dalam pikiranku terus
saja merencanakan cara apa yang patut aku gunakan
untuk membunuh Tanggul Ametung nantinya.

130
" Enyah kau dari hadapanku " perintah Tanggul
Ametung padaku. Dan aku pun hanya dapat
mengepalkan kedua tangan ini menahan segala bentuk
amarah yang melanda hati.

Hari demi hari pun kami lewati dengan latihan, dan


penyerangan terhadap titik-titik pemberontakan di
Tumapel. Dalam pimpinanku, tak ada satupun dari
prajurit itu yang tewas di medan perang. Kami
memadamkan pemberontakan di sebelah barat Tumapel,
dekat gunung kawi dan kelud, dengan membawa
kemenangan yang membanggakan.

Saat Tiba di Pakuwon Tumapel, para prajurit telah


berbaris rapih untuk menyambut kemenangan kami.
Sorak- sorai para emban dan prajurit lain mulai ramai
terdengar.

Malam harinya aku kembali diminta menghadap pada


Akuwu dan para pesuruhnya untuk membicarakan
strategi penyerangan terhadap banyaknya
pemberontakan di Tumapel ini. Damar-damar di dalam
pendopo itu telah ditambah dengan sepuluh lagi,
semakin teranglah sekitarnya. Empat orang menteri
Tumapel dan Yang suci Belakangka ( penasehat Akuwu
Tumapel ) hadir. Tetapi Sang Akuwu belum juga
muncul.

131
Akhirnya pintu Bilik Agung terbuka. Yang muncul
bukan Akuwu, tetapi Paramesywari dalam pakaian
kebesaran yang serba gemilang. Diiringkan oleh para
menteri dan Belakangka ia menyeberangi pendopo,
berdiri pada anak tangga. Dan mengumumkan:

"Yang Mulia Sang Akuwu sedang berhalangan untuk


datang ke hadapan kalian saat ini, ia telah berangkat
pada siang hari tadi ke sebelah barat Tumapel."

Aku yang berdiri di depan pasukanku pun mengerti,


Sang Akuwu itu sedang memimpin sendiri penindasan
kerusuhan di sebelah barat. Sementara itu aku
melaporkan rencana penyerangan selanjutnya,dan hasil
pertempuran yang aku menangkan

"Arok, setiawan Tumapel, terimakasih atas jasamu yang


sangat besar pada Tumapel. Asramakan anak buahmu
untuk kemudian menghadap padaku." Ucap Perdana
menteri.

Penghadapan itu terjadi di pendopo. Ken Dedes sebagai


Paramesywari Tumapel duduk di Singgasana
menggantikan Sang Akuwu. Empat orang menteri duduk
di bawah mengapitnya. Yang Suci Belakangka berdiri,
bertumpu pada tongkat.

132
Aku mengangkat muka dan kembali mengagumi
kecantikan Dedes. Dalam hati aku membenarkan
Tunggul Ametung yang memberinya tahta pada tahta
Tumapel. Ia adalah mahkota untuk kerajaan mana pun,
karena kecantikannya, karena pengetahuannya, karena
ke-brahmanaannya, karena ketangkasannya, karena
keinginannya untuk mengetahui persoalan negeri.
Dedes.. suatu hari nanti kau harus jadi milikku.

"Selesai, Yang Mulia Paramesywari."

"Terimakasih Arok, akan aku teruskan pada Yang Mulia


Akuwu, "

" Siapa diantara kalian yang mengerti sansekerta??.. "

Semuanya menggaruk-garuk kepala,rupanya para


petinggi negeri itupun tak ada satupun yang mengerti
sansekerta.. Dan Dedes mengangguk seakan memberikan
isyarat padaku. Dedes tersenyum. Kesempatan itu ia
pergunakan untuk berpesan padaku agar menemuinya di
Taman Larangan nanti tengah malam.

Dan dengan demikian penghadapan bubar. Dan kami


menuju ke pendopo dan bilik masing-masing. Aku
menunggu tengah malam tiba. Dan menuju taman
larangan untuk menemui Dedes. Aku tahu, Tindakan
Dedes ini sedang menantang maut untuk dirinya sendiri.

133
Aku menaiki pohon dan melompati gerbang untuk
masuk diam-diam ke taman larangan tersebut. Tak lama
kemudian, terlihat pintu gerbang taman yang dibuka
dengan ragu-ragu. Siapa lagi kalau itu bukan Dedes.
Dengan selendang panjang menutupi kepalanya itu.
Lambat-lambat ia menutup pintu, nampaknya sambil
memperhatikan apakah para pengawal telah pergi.
Memang mereka semua telah pergi dan berbaliklah
Dedes menghadap ke Taman Larangan. Mata nya
membelalak terkejut, melihat sosok ku yang keluar dari
kegelapan tempat persembunyianku. Hampir saja ia
terpekik, dan langsung aku tutup mulutnya yang mungil
itu menggunakan tanganku.

"Dirgahayu untukmu, anak Mpu Parwa.. Tenanglah.. ini


aku,Arok"

Dedes langsung berlutut dan mengangkat sembah:


"Dirgahayu, ya, Guru."

"Ketahuilah, telah aku antarkan ayahmu Mpu Parwa


kembali ke Gunung Kawi setelah pulang melihat
rumahmu yang dibakar habis oleh Tunggul Ametung."

"Terimakasih beribu kali, ya, Guru.. bagaimanakah kabar


ayahanda saya?.."

134
" Mpu Parwa amat sangat merindukanmu Dedes.. ia
marah besar begitu mengetahui kau diculik oleh Tanggul
Ametung.. Ayahmu takkan sudi melihat mu sebelum
suamimu tumpas karena senjata."

" Sahaya mendengarkan, ya, Guru."

"Ketahuilah, bahwa persidangan kaum brahmana puncak


di candi Agastya, Gunung Kawi, saat itu telah berjanji
untuk menjatuhkan Tunggul Ametung Suami mu dan
Kediri. Kaulah yang menyebabkan persidangan ini
mengutuk dan menghukum penculikan itu. Kau mengerti
semua yang aku katakan, Dedes?"

"Sahaya mendengarkan, ya, Guru."

"Belum patut aku jadi gurumu, Dedes" Kataku sambil


mengelus pelan ubun-ubun Dedes yang hanya terpaut
tiga tahun lebih muda dariku itu.

"Beribu terimakasih atas pemberitaan itu, ya, Kakanda."


Begitu bergetar hati ini melihat Dewi se ayu Dedes yang
anggun.

"Katakan padaku, pada pihak siapa kau berada."

135
"Sahaya ada pada pihak para brahmana, pada pihak
Kakanda." Kata Dedes meyakinkan.

"Apakah cukup dengan hanya pemihakan Dedes?.. Apa


yang membuatku harus percaya padamu ?.."

"Sahaya serahkan suami sahaya, hidup dan matinya,


pada Kakanda," beberapa saat ia menunduk, kemudian
mengangkat kepalanya lagi dengan penuh keyakinan
berucap

"semua yang dituntun oleh tangan Dang Hyang Lohgawe


pasti kebenaran yang tak dapat ditawar."

"Apakah kau tidak akan menyesal kehilangan suami?"

"Sahaya serahkan diri dan hidup sahaya kepada


Kakanda, demi Hyang Mahadewa." Dedes telah
bersumpah. Aku menarik kedua bahu Dedes yang
mungil itu untuk berdiri, dan aku rasai tubuh nya
menggigil. Angin malam berhembus membikin kedua
bahunya itu terasa dingin, aku benarkan selendang yang
ia pakai itu, dan aku rapihkan rambutnya yang terurai
indah itu.

"Bangun kau, Dedes. Dan kembali kau ke Bilik Agung


sebelum ada yang menyadari kau menghilang dari dalam
bilik."

136
"Akan Kakanda tinggalkan sahaya begini seorang diri?"
Dedes memelukku, dan mendongakkan pandangnya ke
atas menatapku dengan murung.

"Tidak. Setiap saat aku akan kunjungi kau di sini.


Terserah pada panggilanmu." Aku mengelus kepala
Dedes. Aku pun mengetahui bahwa baik aku maupu
Dedes memiliki perasaan yang sama.

Aku memimpinnya ke arah Bilik Agung. Sampai di


tangga aku minta diri dan melangkah cepat
menyeberangi gerbang belakang pekuwuan, kemudian
keluar dari taman larangan.

Dedes masuk ke Bilik Agung dengan tubuh menggigil.


Begitu aku menyatakan tentang kesanggupanku, ia
mengerti, bahwa ia telah bersekutu denganku , untuk
menjatuhkan Tunggul Ametung Suaminya sendiri.
Dedes telah berkorban untuk berhasilnya pengguligan
kekuasaan ini.

Aku masih saja terpikirkan mengapa betis Dedes dapat


memancarkan cahaya itu, kemudian aku menemui Bapa
Dang Hyang Lohgawe

Malam selanjutnya pun seperi itu, Dedes memanggilku


ke taman Larangan lagi. Sebagai seorang brahmani, ia
memang haus akan ilmu. Tak terhitung lagi pertanyaan

137
yang ia berikan padaku setiap aku menemuinya. Dan
kuceritakan isi dari berbagai rontal, hingga kisah
pengembaraanku sebelum menjadi prajurit Tumapel
seperti sekarang ini. Aku sadar bahwa Dedes merupakan
istri kepunyaan orang lain. Lebih tepatnya, kepunyaan
Tanggul Ametung, musuhku sendiri. Aku benar-benar
harus menumpas perampok rakyat itu demi mendapatkan
Dedes sepenuhnya. Aku paham betul keadaan Dedes di
dalam Pakuwon Tumapel ini, memang benar ia seorang
paramesywari, namun bagaikan terkurung dalam sangkar
dan neraka yang dibikin oleh suaminya sendiri. Sungguh
malang dia.

" Setelah ini Dedes.. permataku.. kau tak perlu menyesali


keputusan yeng telah kau ambil .. Bahkan calon anak
yang ada di dalam kandunganmu ini juga berhak hidup
di dunia yang lebih baik.. Dunia yang dikehendaki para
Dewa.. " Ku usap perut Dedes yang mulai membuncit
itu.

" Kakanda.. Aku tahu persis apa yang ada di pikiran


Kakanda.. Aku memang paramesywari Tumapel. Namun
tak pernah sedikit pun aku sudi mengikuti Tanggul
Ametung, suamiku sendiri. Dia membawaku kemari
dengan cara yang tak hormat, ia menghancurkan
rumahku di Panawiji, dan mengancam hendak

138
membunuh Ayahanda.. " Ucap Dedes sembari
membenarkan posisi badannya yang bersandar padaku.

" Apakah nantinya kau pun sudi menerima aku, seorang


pemuda sudra ini.. yang tak dialiri darah Hindu setetes
pun ?.. "

Dedes nampak begitu tenang dan masih nyaman


bersandar padaku,sembari berkata

" Memang seharusnya kakanda lah yang menjadi


suamiku... seorang yang demikian fasih berbahasa ilmu
para Dewa, penuh kemahiran, dan bijaksana.. Kakanda
lah yang patut memegang kuasa atas Tumapel, Hanya
kakanda yang dapat mengembalikan dan memuliakan
cakrawati sang Hyang Syiwa

Dan Dedes membiarkan dirinya di kecup oleh diriku,


seorang lelaki yang bukan suaminya. Dan kami pun
tenggelam dalam nikmatnya memadu kasih.

Sementara Dari sebalik pintu gerbang taman, ia amati


sejak tadi Arok dan Dedes tengah bermesraan. Awalnya
ia hanya hendak mengunjungi Arok setelah beberapa
bulan tak jumpa, dan tak sengaja mendengar gelak
ketawa pelan dari sebalik gerbang. Pemandangan dari
celah gerbang taman itu, membuat sesak luarbiasa di

139
dalam dadanya, ia pandangi genangan bekas air hujan
didekatnya.

" Sadarlah Umang!!.. Kau tak pernah sebanding dengan


paramesywari Ken Dedes, Kakang Arok lebih pantas
bersamanya daripada denganku, gadis desa yang kumal,
tak tahu cara bersolek dan merawat diri ini "

Air mata Umang pecah, sejenak ia kedipkan matanya,


melihat kembali bentuk kasih dari Arok dan Dedes. Dari
hatinya yang terdalam, ia merasa sangat tak rela.
Kemudian ia membungkam mulutnya sendiri untuk
menahan tangis, dan lari meninggalkan gerbang taman
larangan di iringi dengan deru angina dan guntur yang
mulai bersahut-sahutan.

BIOGRAFI PENULIS

140
Puput Yolasari, ia adalah anak pertama dari tiga
bersaudara. Lahir di Sragen, Jawa Tengah pada 24
Januari 2006. Ia sangat gemar menggambar, dan
membaca komik. Pendidikannya dimulai dari TK
Pembina Masamba, kemudian melanjutkannya di SDN
087 Katokkoan, lalu bersekolah di SMPN 4 Masamba
sebelum bersekolah di sekolah favoritnya yaitu SMAN 8
Luwu Utara.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.pdfdrive.com>arokdedes

https://www.rakyatmembaca.com/arokdedes

https://www.academia.education/kenarok

141
142

Anda mungkin juga menyukai