Anda di halaman 1dari 107

STSD-03

kembali ke STSD-02 | lanjut ke
STSD-04

Bagian 1
KETIKA Ki Rangga kemudian
mendengar Ki Waskita terbatuk-
batuk kecil, barulah Ki Rangga
teringat akan pertanyaan Ki
Waskita itu. Maka jawabnya
kemudian, “Ki Waskita, pada
awalnya memang ada niat untuk
meninggalkan Ki Kebo Mengo dan
kemudian mengejar Eyang Guru.
Namun entah mengapa tiba-tiba
saja terbersit di dalam hatiku untuk
mengetrapkan aji kakang
pembarep dan adi wuragil
sekaligus. Dengan demikian aku
berharap kedua ujud semuku akan
dapat menghadapi lawan-lawanku
secara terpisah,” Ki Rangga
berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian, “Namun yang terjadi
kemudian justru telah membuat aku
benar-benar tidak habis mengerti.
Dengan mengetrapkan aji kakang
pembarep dan adi wuragil,
pengetrapanku terhadap aji
pengangen-angen menjadi
melemah dan akhirnya aku
tersadar dari samadiku.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-
dalam sambil mengangguk-
anggukkan kepalanya mendengar
penjelasan Ki Rangga. Setelah
terdiam beberapa saat, barulah
dengan suara yang sangat sareh Ki
Waksita pun berkata, “Ngger,
memang tidak ada ilmu yang
sempurna di atas bumi ini. Pada
dasarnya aji kakang pembarep dan
adi wuragil mempunyai sifat dan
watak yang berbeda dengan aji
pengangen-angen, walaupun
keduanya bertumpu pada ujud
semu yang sama,” Ki Waskita
berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian, “Aji kakang pembarep
adi wuragil menuntut kehadiran
wadagmu sedekat mungkin,
bahkan menuntut wadagmu untuk
ikut dalam setiap keberadaan ujud
semu itu. Sedangkan aji
pengangen-angen tidak menuntut
akan kehadiran ujud wadagmu.
Justru aji pengangen-angen akan
meninggalkan wadagmu sejauh
dapat engkau lakukan,
menyeberangi lautan misalnya.
Semua itu tergantung dari kekuatan
pancaran ilmu dari sumbernya,
yaitu  wadagmu sendiri.”
Sejenak Ki Rangga termenung.
Berbagai tanggapan dan harapan
sedang bergolak di dalam dadanya.
“Dalam sebuah kancah
pertempuran pasukan segelar
sepapan yang sebenarnya, aji
pengangen-angen ini tidak dapat
berdiri sendiri, tetapi membutuhkan
bantuan orang lain,” berkata ki
Waskita selanjutnya,
“Kehadirannya mungkin akan
sempat membingungkan lawan.
Namun jika lawan sempat
mengetahui kelemahannya dan
menemukan tempat
persembunyian ujud wadagnya,
tentu akan sangat berbahaya.
Demikian juga jika seseorang
diminta secara khusus untuk
menjaga wadagnya selama dia
dalam puncak samadinya,
siapakah yang dapat menjamin jika
orang yang menjaganya itu tidak
akan berkhianat?”
Ki Rangga masih berdiam diri dan
belum menanggapi penjelasan Ki
Waskita. Angan-angannya sedang
menerawang entah ke mana.
“Ngger,” berkata Ki Waskita
seterusnya begitu melihat Ki
Rangga masih termangu-mangu,
“Berbeda dengan aji kakang
pembarep dan adi wuragil yang
kehadirannya di medan
pertempuran yang sebenarnya
akan sangat berarti. Lawan akan
memperhitungkan keberadaan
bentuk semu itu karena engkau
telah mampu memancarkan
ilmumu melalui kedua ujud semu
itu. Sehingga lawan akan
mendapatkan perlawanan tiga kali
lipat dari kekuatan yang
sesungguhnya,” Ki Waskita
berhenti sejenak sambil mencoba
mengamati raut wajah Ki Rangga.
Lanjutnya kemudian, “Jika angger
ingin menggabungkan kedua aji itu,
tentu diperlukan laku khusus yang
tentu akan melibatkan persyaratan
dari kedua cabang ilmu itu. Dengan
demikian, apabila seseorang telah
mampu menguasai gabungan
kedua aji tersebut, dia akan benar-
benar mampu menjaga wadagnya
dengan salah satu bentuk
semunya, sedangkan bentuk semu
yang lain akan mampu bergerak ke
tempat yang sangat jauh, sejauh
angan-angan dari manusia itu
sendiri.”
Kali ini Ki Rangga mengangguk-
anggukkan kepalanya. Walaupun
tampaknya memang masih ada
yang membebani pikirannya.
Agaknya Ki Waskita dapat
membaca wajah Ki Rangga yang
terlihat sedang menyimpan sebuah
beban dalam hatinya itu. Maka
katanya kemudian, “Ngger, aku
melihat sebuah kegelisahan yang
terpancar pada wajah angger. Jika
memang aku boleh
mengetahuinya, apakah
sebenarnya yang masih menjadi
beban di hati angger?”
Ki Rangga menarik nafas dalam-
dalam terlebih dahulu sebelum
menjawab. Setelah membetulkan
letak duduknya, barulah Ki Rangga
menjawab, “Ki Waskita,
penggabungan aji kakang
pembarep dan adi wuragil dengan
aji pengangen-angen itu sebaiknya
kita pikirkan di kemudian hari,” Ki
Rangga berhenti sejenak untuk
sekedar menarik nafas panjang.
Lanjutnya kemudian, “Adapun yang
masih membebani hatiku sampai
saat ini adalah, sejak aku
mendalami aji pengangen-angen,
aku merasakan sesuatu yang aneh
sedang terjadi dalam diriku,
terutama panggraitaku. Beberapa
kali aku merasakan sepertinya aku
mendapatkan firasat tentang
sesuatu. Ketika aku
menganggapnya itu hanyalah
sebagai bentuk kegelisahanku saja,
ternyata firasat itu benar-benar
terjadi. Namun tidak jarang aku
tidak mampu mengurai makna
firasat itu sehingga yang terjadi
kemudian hanyalah sebuah
kegelisahan yang tak berujung
pangkal. Aku tidak tahu apakah
kejadian dalam diriku ini ada
hubungannya dengan usahaku
untuk menekuni aji pengangen-
angen?”
Untuk beberapa saat Ki Waskita
termenung. Setelah menarik nafas
dalam-dalam, barulah Ki Waskita
menjawab, “Ngger, agaknya
angger sedang mengalami
keadaan yang sebenarnya wajar
bagi angger. Aji pengangen-angen
itu pada awalnya adalah suatu
bentuk ilmu yang hanya
berlandaskan pada sebuah angan-
angan. Kemudian dengan
memusatkan nalar dan budi serta
menyelaraskan ilmu itu dengan
pikiran serta persangkaan orang
lain, maka akan terciptalah bentuk-
bentuk semu sesuai dengan apa
yang ada di dalam angan-angan
kita,” Ki Waskita berhenti sejenak
untuk membasahi
kerongkongannya yang tiba-tiba
saja menjadi kering. Lanjutnya
kemudian, “Semasa mudaku dulu,
aku hanya mampu mempelajari
sampai batas ini, walaupun guruku
telah memberikan tuntunan sampai
sejauh apa yang telah tertulis
dalam kitab perguruan kami. Aku
memang terlampau puas dengan
apa yang telah aku capai waktu itu,
tanpa memperhitungkan bahwa
ternyata ilmu itu jika
disempurnakan dan dikembangkan
akan mempunyai kekuatan yang
sangat ngedab-edabi.”
Ki Rangga tidak menjawab, hanya
kepalanya saja yang terlihat
terangguk-angguk. Sementara Ki
Waskita meneruskan kata-katanya,
“Dalam mendalami ilmu ini, aku
pun pada awalnya juga mengalami
seperti apa yang sedang engkau
alami, ngger. Ketika hal itu aku
sampaikan kepada guruku,
ternyata aku telah diberi wawasan
yang luas bagaimana cara
mempelajari dan kemudian
mempertajam panggraita kita
dalam menyikapi peristiwa itu. Aku
pun kemudian justru telah tertarik
untuk mengembangkan ilmu dalam
mengurai isyarat yang merupakan
cabang dari aji pengangen-angen
dan telah mengabaikan kelanjutan
dari aji pengangen-angen itu
sendiri sehingga kemampuanku
tidak lebih dari sebuah permainan
kanak-kanak,” Ki Waskita berhenti
sejenak sambil kembali mencoba
mengamati perubahan wajah Ki
Rangga. Namun Ki Rangga hanya
menundukkan kepalanya saja.
Maka Ki Waskita pun melanjutkan
kata-katanya, “Ngger, jika memang
engkau tertarik dengan ilmu dalam
mengurai isyarat ini, usahakan
untuk mendalami dan meresapi
setiap isyarat yang muncul.
Memang kadang-kadang kita salah
dalam menafsirkan makna isyarat
itu karena memang sesungguhnya
tiada daya dan upaya kecuali atas
seijin Yang Maha Agung. Oleh
karena itu, ngger, semakin kita
mendekatkan diri dengan Dzat
Yang Maha Mengetahui seluruh
alam semesta ini, akan semakin
terbukalah cakrawala angan-angan
kita sehingga kita akan diijinkan
untuk mengetahui sedikit rahasia
yang selama ini tersembunyi.”
Kembali Ki Rangga mengangguk-
anggukkan kepalanya. Kini hatinya
mulai tertata kembali. Tidak ada
kegelisahan yang selama ini selalu
menggelayuti hatinya. Semuanya
yang telah terjadi, sedang terjadi
maupun yang akan terjadi adalah di
dalam genggamanNYA, di dalam
kekuasaanNYA. Jika memang
seorang hamba diperkenankan
untuk mengetahui sedikit dari apa
yang akan terjadi di hari esok,
sesungguhnyalah itu adalah
sebuah karunia yang tiada taranya.
“Ngger,” tiba-tiba suara Ki Waskita
membuyarkan lamunannya, “Jika
aku boleh mengetahuinya,
sebenarnya isyarat apakah yang
sekarang ini sedang angger
terima?”
Sejenak Ki Rangga mengerutkan
keningnya. Ada sedikit keragu-
raguan yang tampak terpancar dari
sorot kedua matanya. Namun
akhirnya meluncur juga kata-kata
dari bibirnya, “Ki Waskita, akhir-
akhir ini aku sedang digelisahkan
oleh sebuah isyarat yang
berhubungan dengan masa depan
Kademangan Sangkal Putung
sepeninggal Adi Swandaru. Aku
sering diperlihatkan sebuah
pemandangan yang mengerikan,
baik dalam mimpi-mimpiku maupun
sebuah firasat yang tiba-tiba saja
terasa mencengkam jantungku
sehingga telah menggelisahkan
hatiku. Namun aku tidak tahu
dengan pasti, firasat apakah itu
sebenarnya. Yang justru kemudian
muncul dalam benakku adalah
wajah-wajah yang begitu aku kenal,
Sekar Mirah dan Pandan Wangi.”
Sejenak Ki Waskita menahan
nafas. Apa yang disampaikan Ki
Rangga itu telah menggores
jantungnya. Ayah Rudita yang juga
diberi karunia untuk menerima
isyarat tentang masa depan itu
sejenak  bagaikan telah membeku.
“Ngger,” berkata Ki Waskita
akhirnya sambil menarik nafas
dalam-dalam, “Sebagaimana
angger, aku juga menerima isyarat
yang kurang menyenangkan
tentang masa depan Sangkal
Putung. Akan tetapi, marilah semua
itu kita kembalikan kepada Yang
Maha Mengetahui. Kita sebagai
hambaNYA hanya dapat berusaha
dan berdoa, sekiranya kita dapat
membantu Sekar Mirah maupun
Pandan Wangi untuk semakin
memajukan Sangkal Putung
maupun Tanah Perdikan Menoreh.”
Mendengar Ki Waskita menyebut
kedua wilayah itu, tiba-tiba saja
dada Ki Rangga berdesir tajam.
Tanpa sadar Ki Rangga berdesis
perlahan, “Siapakah sebenarnya
yang berhak atas kedua wilayah
itu?”
Ki Waskita hanya menarik nafas
panjang mendengar pertanyaan Ki
Rangga. Kedua daerah yang subur
itu memang kelak di kemudian hari
tidak menutup kemungkinan akan
menjadi bahan persengketaan oleh
beberapa pihak yang
berkepentingan maupun yang tidak
berkepentingan.
“Ngger,” berkata Ki Waskita
kemudian setelah sejenak mereka
terdiam, “Sangkal Putung harus
segera mengambil sikap
sehubungan dengan niat Pandan
Wangi untuk kembali ke Menoreh.”
Untuk kesekian kalinya Ki Rangga
menarik nafas dalam-dalam.
Beberapa hari setelah pemakaman
suaminya, Pandan Wangi memang
secara khusus telah berbicara
dengannya tentang masa depan
Bayu Swandana.
“Kakang,” berkata Pandan Wangi
pada saat itu ketika mereka berdua
saja sedang duduk-duduk di
pringgitan, “Sepeninggal kakang
Swandaru, rasa-rasanya sudah
tidak ada lagi yang dapat
mengikatku di Kademangan ini,
kakang.”
“Wangi?” terkejut Ki Rangga
mendengar ucapan Pandan Wangi,
“Mengapa engkau berkata
demikian? Bukankah masih ada Ki
Demang sebagai mertuamu? Serta
Bayu Swandana sebagai penerus
Adi Swandaru yang kelak akan
memimpin Kademangan Sangkal
Putung?”
Pandan Wangi sejenak termangu-
mangu. Pandangan matanya jatuh
ke tikar tempat duduknya. Seakan-
akan Pandan Wangi sedang
menghitung helai demi helai
anyaman tikar pandan itu di setiap
jengkalnya.
“Wangi,” kembali terdengar Ki
Rangga bertanya ketika dilihatnya
Pandan Wangi hanya tertunduk
diam, “Apakah engkau mempunyai
keinginan untuk kembali ke
Menoreh?”
Kali ini Pandan Wangi mengangkat
wajahnya. Ketika dua pasang mata
itu saling beradu, alangkah
terkejutnya Ki Rangga. Sepasang
mata itu terlihat sayu dan penuh air
mata. Betapa sepasang mata itu
dulu pernah menatapnya seperti
itu, berpuluh tahun yang lalu. Masih
jelas dalam ingatan Ki Rangga
yang pada saat itu menggunakan
nama Gupita, dia harus
menyampaikan pesan adik
seperguruannya, Gupala kepada
putri Menoreh itu.
“Sepasang mata yang kecewa,
tanpa harapan dan cinta,” desis Ki
Rangga dalam hati sambil
mencoba menghindari tatapan
mata Pandan Wangi. Dilemparkan
pandangan matanya jauh keluar
pintu pringgitan yang terbuka lebar.
“Kakang,” tiba-tiba terdengar lirih
kata-kata Pandan Wangi, “Aku
sudah cukup menderita di Sangkal
Putung ini, walaupun sebagai istri,
aku telah berusaha menjadi istri
yang baik. Aku tetap berharap
kakang Swandaru dengan
bersungguh-sungguh berusaha
untuk memperbaiki hubungan kami
sebagaimana dulu pertama kali kita
telah berjanji untuk merajut masa
depan bersama,” Pandan Wangi
berhenti sejenak. Nafasnya
menjadi sesak bersamaan dengan
air mata yang mulai tumpah
membasahi wajahnya. Sambil
berusaha menghapus air mata
dengan ujung lengan bajunya,
Pandan Wangi pun kemudian
meneruskan kata-katanya
walaupun terdengar timbul
tenggelam dalam isak tangisnya,
“Kakang, salahkan aku jika aku
ingin menghapus kenangan masa
laluku yang begitu pahit ini? Aku
ingin kembali ke tanah kelahiranku
untuk memulai hidup baru sekalian
membesarkan anakku serta
menunjukkan baktiku kepada orang
tuaku yang telah tua dan renta.”
Ki Rangga terdiam. Hanya degup
jantungnya saja yang terdengar
bertalu-talu.
“Ngger,” tiba-tiba terdengar suara
Ki Waskita membangunkan Ki
Rangga dari lamunannya,
“Sebaiknya memang permasalahan
Sangkal Putung segera dibicarakan
bersama. Jika Pandan Wangi
berkeinginan untuk pulang ke tanah
kelahirannya, berarti harus segera
ditunjuk Pemangku sementara
kademangan Sangkal Putung untuk
mendampingi Ki Demang yang
sudah sangat sepuh itu.”
“Ki Waskita benar,” jawab Ki
Rangga, “Namun siapakah yang
berhak untuk menjadi pemangku
sementara, sedangkan Bayu
Swandana masih terlalu kecil?
Sementara Pandan Wangi sebagai
istri Adi Swandaru serta ibu Bayu
Swandana telah menyampaikan
keinginannya untuk kembali ke
Menoreh?”
Ki Waskita tersenyum sekilas.
Jawabnya kemudian, “Masih ada
saudara sedarah Ki Swandaru
yang dapat menjadi pemangku
sementara di kademangan Sangkal
Putung.”
Ki Rangga mengerutkan keningnya
dalam-dalam sambil memandang
tajam ke arah Ki Waskita. Katanya
kemudian dengan nada yang
sedikit ragu-ragu, “Maksud Ki
Waskita, Sekar Mirah?”
“Ya, ngger,” jawab Ki Waskita
sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Sekar Mirah dapat
ditunjuk untuk menjadi pemangku
sementara sambil menunggu Bayu
Swandana dewasa.”
“Tidak, Ki Waskita,” dengan serta-
merta Ki Rangga menyela, “Akulah
yang berkeberatan jika Sekar Mirah
yang akan ditunjuk menjadi
pemangku sementara kademangan
Sangkal Putung.”
Ki Waskita terkejut mendengar
kata-kata Ki Rangga. Orang tua itu
sejenak termangu-mangu sambil
mengerutkan keningnya dalam-
dalam. Adalah hal yang diluar
kewajaran jika seseorang dengan
sadar telah menolak sebuah
kedudukan, pangkat dan derajat
baik bagi dirinya sendiri maupun
bagi keluarganya.
“Ngger,” berkata Ki Waskita
kemudian dengan sareh, “Nyi
Sekar Mirah mempunyai hak untuk
menerima itu walaupun angger
sebagai suaminya juga mempunyai
hak untuk menentukan seberapa
jauh seorang istri diperbolehkan
oleh suaminya untuk berbuat diluar
dunianya. Jangan tergesa-gesa
untuk memutuskannya sekarang,
ngger. Ajaklah istrimu untuk
bermusyawarah.”
Untuk beberapa saat Ki Rangga
terdiam.  Berbagai persoalan
sedang bergulat di dalam
benaknya.
“Alangkah beruntungnya Bayu
Swandana,” berkata Ki Rangga
dalam hati, “Dari garis ibunya dia
mewarisi Tanah Perdikan Menoreh
yang luas, sedangkan dari garis
ayahnya, dia adalah pewaris
kademangan Sangkal Putung yang
subur.”
Tiba-tiba dada Ki Rangga berdesir
tajam. Ingatannya melayang
kepada anak laki-laki satu-satunya,
Bagus Sadewa. Dan tiba-tiba saja
hati Ki Rangga telah tersentuh
“Bagus Sadewa,” hampir saja
nama itu terloncat dari bibirnya,
namun cepat-cepat ki Rangga
menelan kembali kata-katanya
sendiri yang sudah berada di ujung
bibirnya.
“Aku takut seandainya Sekar Mirah
ditunjuk menjadi Pemangku
sementara Kademangan Sangkal
Putung, Bagus Sadewa setelah
beranjak dewasa akan mempunyai
tanggapan tersendiri atas hak
Kademangan Sangkal Putung,”
berkata Ki Rangga dalam hati
kemudian sambil menarik nafas
dalam-dalam, “Apalagi jika Sekar
Mirah sebagai ibu ingin melihat
anak laki-laki satu-satunya
mempunyai masa depan yang lebih
baik, tentu akan timbul
pertentangan yang justru berawal
dari dalam keluarga sendiri.”
Diam-diam Ki Rangga mengeluh
dalam hati. Isyarat yang
diterimanya tentang masa depan
Sangkal Putung benar-benar telah
menggelisahkan hatinya.
“Ngger,” kembali kata-kata Ki
Waskita membuyarkan lamunan Ki
Rangga, “Biarlah urusan Sangkal
Putung kita kesampingkan terlebih
dahulu. Sekarang sebaiknya kita
bicarakan kemungkinan-
kemungkinan yang akan kita
lakukan sehubungan dengan telah
diketahuinya kehadiran kita di
Padukuhan Klangon ini.”
Ki Rangga berpikir sejenak.
Jawabnya kemudian, “Ki Waskita,
salah satu pengikut Trah Sekar
Seda Lepen yang disebut Eyang
Guru itu telah mengetahui
kehadiranku. Demikian juga
dengan orang yang selama ini telah
menghantui Perdikan Matesih,
Raden Surengpati. Tidak menutup
kemungkinan tempat ini akan
segera diserbu oleh para pengikut
Trah Sekar Seda Lepen.”
Ki Waskita menarik nafas panjang
sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. Memang kemungkinan
itulah yang bisa terjadi dalam waktu
dekat ini, dan mereka benar-benar
harus mempersiapkan diri.
“Kita menunggu Ki Jayaraga dan
yang lainnya, ngger,” berkata Ki
Waskita kemudian, “Semoga
pekerjaan mereka segera selesai
dan tidak ada satu aral pun yang
melintang dalam perjalanan
mereka kembali ke banjar ini.”
Ki Rangga tidak menjawab. Hanya
tampak kepalanya saja yang
terangguk-angguk.
Dalam pada itu Ki Jayaraga, Ki
Bango Lamatan dan Glagah putih
telah selesai mengubur mayat
orang yang belum diketahui jati
dirinya itu. Dengan berjalan sedikit
tergesa-gesa, ketiganya pun telah
memutuskan untuk segera kembali
ke banjar padukuhan.
Namun sesampainya mereka di
kelokan jalan yang mengarah ke
banjar padukuhan itu, ketiga orang
itu telah dikejutkan oleh bayangan
seseorang yang tampak berjalan
perlahan-lahan di dalam kegelapan
malam berlawanan arah dengan
mereka.
Agaknya orang itu pun juga melihat
Ki Jayaraga dan kawan-kawannya
yang sedang berjalan ke arahnya.
Tanpa sadar orang itu pun telah
menghentikan langkahnya.
“Guru,” desis Glagah Putih yang
tampak berjalan di sebelah kiri
gurunya sambil memanggul
cangkul di pundaknya, “Siapakah
orang itu?”
“Aku tidak tahu Glagah Putih,”
jawab gurunya, Ki Jayaraga sambil
terus melangkah, “Dalam keadaan
seperti ini, kita harus berhati-hati
dan waspada ketika berhadapan
dengan siapapun yang belum kita
ketahui jati dirinya.”
Glagah Putih menarik nafas dalam-
dalam sambil berpaling ke arah Ki
Bango Lamatan. Namun
tampaknya Ki Bango Lamatan
sedang sibuk mengamati orang
yang berdiri tegak di atas kedua
kakinya yang renggang di tengah
jalan itu.
Ketika jarak antara mereka tinggal
beberapa tombak, tiba-tiba saja
orang yang berdiri tegak itu tanpa
membuat sebuah ancang-ancang,
demikian saja melontarkan
tubuhnya ke samping dan
menghilang di antara gerumbul-
gerumbul perdu yang banyak
berserakan di tepi jalan.
Bagaikan sudah berjanji
sebelumnya, Ki Jayaraga dan Ki
Bango Lamatan pun segera
meloncat memburu ke tempat
orang itu menghilang. Sementara
Glagah Putih harus melempar
cangkulnya terlebih dahulu ke tepi
jalan sebelum menyusul kedua
orang tua itu kemudian.
Sejenak kemudian, terjadilah kejar-
kejaran di antara keempat orang
itu. Ki Jayaraga yang berlari di
depan sendiri merasa heran. Guru
Glagah Putih itu telah
mengerahkan segenap
kemampuannya, namun orang itu
masih saja berada beberapa
langkah di depannya.
Untuk beberapa saat mereka masih
berputar-putar di sekitar tempat itu.
Memang ada beberapa petak
rumah yang telah di bangun di
sekitar kelokan jalan itu, namun
selebihnya masih berupa gerumbul
perdu dan tanah kosong yang
ditumbuhi rumput tinggi rapat
berjajar-jajar.
Tanpa terasa keempat orang yang
sedang bermain kejar-kejaran itu
telah merambah pada kemampuan
ilmu mereka yang tinggi, baik
kemampuan dalam berlari maupun
kemampuan untuk menyerap bunyi
yang dapat ditimbulkan oleh suara
gesekan mereka dengan alam
sekitarnya.
Tiba-tiba saja orang yang sedang
mereka kejar itu telah mengubah
arah larinya. Dia tidak lagi lari
berputar-putar, namun telah berlari
menjauhi tempat itu menuju ke
barat.
Ketika orang itu kemudian
menyusup ke dalam rimbunan
pohon bambu yang tumbuh
membujur di belakang sebuah
rumah kecil di tepi jalan, tiba-tiba
saja Ki Jayaraga dan kawan-
kawannya telah kehilangan jejak.
Serentak mereka bertiga segera
menghentikan langkah.
“Kemana perginya orang itu,
Guru?” bertanya Glagah Putih
kemudian sambil mengatur
nafasnya yang sedikit tersengal.
KI Jayaraga tidak menjawab.
Disilangkan kedua tangannya di
depan dada sambil menundukkan
kepalanya dalam-dalam. Ternyata
Ki Bango Lamatan pun telah
berbuat serupa.

……….“Sudahlah Ki Sanak. Tidak


ada gunanya lagi untuk
bersembunyi. Lebih baik Ki Sanak
segera berterus terang apa maksud
Ki Sanak melakukan semua ini?”
Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan
hanya memerlukan waktu sekejap
untuk mengetahui keberadaan
buruannya. Sambil mengangkat
kepalanya dan mengurai kedua
tangannya, Ki Jayaraga pun
kemudian berkata, “Sudahlah Ki
Sanak. Tidak ada gunanya lagi
untuk bersembunyi. Lebih baik Ki
Sanak segera berterus terang apa
maksud Ki Sanak melakukan
semua ini?”
Tidak ada jawaban. Sementara itu
Glagah Putih telah mencoba
mempertajam penglihatannya
dengan lambaran aji sapta
pandulu. Segera saja tampak
beberapa tombak di depannya, di
bawah sebatang pohon keluwih
yang tumbuh beberapa langkah
dari gerumbul pohon bambu itu,
bayangan seseorang sedang
berdiri bersandaran pada batang
pohon keluwih itu dengan asyiknya.
“Ki Sanak,” Ki Bango Lamatan
yang jarang berbicara itu telah
maju selangkah, “Apa maksud Ki
Sanak melakukan semua ini?
Jangan salahkan kami jika Ki
Sanak tidak dapat memberikan
alasan yang jelas dan masuk akal,
kami akan menangkap Ki Sanak.”
Tiba-tiba terdengar bayangan di
bawah pohon keluwih itu tertawa
perlahan-lahan. Suara tawa yang
benar-benar memuakkan.
Berkata bayangan itu kemudian di
sela-sela tawanya, “Dan
selanjutnya akan diserahkan
kepada Ki Jagabaya Dukuh
Klangon? Begitu?”
Ketiga orang itu terkejut. Orang itu
telah menyebut Ki Jagabaya Dukuh
Klangon. Tentu orang itu telah
mengetahui serba sedikit tentang
mereka dalam hubungannya
dengan Ki Jagabaya Dukuh
Klangon.
Namun sebelum Ki Jayaraga
menjawab, orang itu telah berkata
lagi, “Bagaimana mungkin kalian
mau menangkap aku, berlari saja
kalian masih seperti kanak-kanak,”
orang itu berhenti sejenak.
Lanjutnya kemudian, “Nah, aku
akan berlari lagi. Silahkan kalau
mau menangkap aku jika kalian
merasa mampu.”
Selesai berkata demikian, hampir
tidak kasat mata, bayangan itu pun
melesat meninggalkan tempat itu
menuju ke arah barat.
Ki Jayaraga dan kawan-kawannya
merasa tertantang untuk mengejar
bayangan itu. Maka sejenak
kemudian kejar-kejaran di antara
keempat orang itu pun terjadi lagi.
Semakin lama mereka telah
semakin jauh meninggalkan
padukuhan Klangon dan kini tak
terasa mereka telah mendekati
tapal batas antara Padukuhan
Klangon dengan Tanah Perdikan
Matesih sebelah barat.
Sesekali ketiga orang itu kembali
kehilangan buruan mereka
sehingga ketiga orang itu pun telah
menghentikan langkah mereka
untuk sejenak. Namun entah
mengapa, dengan sengaja orang
yang sedang mereka cari itu tiba-
tiba saja telah menampakkan diri
lagi tidak jauh dari tempat mereka
berhenti, sehingga kejar-kejaran itu
pun kembali terjadi.
Ketika ketiga orang itu merasakan
tanah yang mereka lewati
kemudian terasa agak landai,
tahulah mereka bahwa sebentar
lagi mereka akan mencapai sebuah
sungai yang mengalir di sepanjang
sisi barat Tanah Perdikan Matesih,
kali Praga.
Tiba-tiba saja Ki Jayaraga yang
berlari di paling depan telah
memperlambat langkahnya. Lamat-
lamat Ki Jayaraga mendengar
suara aliran air. Sedangkan kedua
kawannya yang berlari di
belakangnya pun kemudian ikut
memperlambat langkah mereka.
“Kita kehilangan jejak kembali,”
desis Ki Jayaraga sambil mengatur
pernafasannya yang sedikit
memburu. Sementara Ki Bango
Lamatan dan Glagah Putih pun
telah berbuat serupa.
“Apa maksud orang itu membawa
kita ke tepian kali Praga ini?”
geram Ki Bango Lamatan sambil
menekan lambungnya untuk
mengurangi rasa sakit yang tiba-
tiba saja terasa menyengat.
“Orang gila,” geram Glagah Putih
yang berdiri tersengal-sengal di
sebelah Ki Bango Lamatan, “Orang
itu berlari seperti setan dan
sepertinya memang dengan
sengaja dia ingin mempermainkan
kita.”
“Sudahlah,” berkata Ki Jayaraga
kemudian ketika pernafasannya
sudah teratur kembali, “Kita coba
untuk turun ke tepian, barangkali di
sana ada sesuatu yang perlu
mendapat perhatian.”
Ki Bango Lamatan dan Glagah
Putih tidak menjawab. Hanya
kepala mereka saja yang terlihat
mengangguk.
Sejenak kemudian ketiga orang itu
pun mulai menuruni tebing yang
agak curam. Ketika sisi tebing itu
mulai landai, mereka pun kemudian
mulai berjalan di tepian kali Praga
yang berpasir lembut.
Namun baru saja mereka berjalan
beberapa langkah, pendengaran
mereka yang tajam telah
mendengar langkah beberapa
orang yang tampak tergesa-gesa
menyusuri tepian dari arah yang
berlawanan. Memang masih cukup
jauh namun ketiga orang itu
dengan sangat jelas telah
mendengar suara mereka.
Bagaikan sudah berjanji
sebelumnya, ketiga orang itu pun
segera berloncatan dan
bersembunyi di balik gerumbul-
gerumbul perdu yang banyak
bertebaran di sisi tebing.
Sejenak kemudian tampak dalam
kegelapan malam, beberapa orang
muncul dari kelokan sungai.
Dengan langkah yang tergesa-gesa
mereka menyusuri tepian yang
berpasir basah.
“Sebelum ayam jantan berkokok
untuk terakhir kalinya, kita sudah
harus sampai di banjar Padukuhan
Klangon,” berkata seseorang yang
berjalan paling depan. Tubuhnya
tinggi menjulang dengan sebuah
tombak pendek di tangan
kanannya, “Perintah Kakang Putut
Sambernyawa sudah jelas, kita
kepung banjar Padukuhan Klangon
tepung gelang agar tidak ada
seekor semut pun yang dapat lolos
dari pengamatan kita.”
“Kakang Putut Jangkung,” menyela
seseorang yang bertubuh gemuk
dan pendek yang berjalan di
sebelahnya, “Menurut Kakang
Putut Sambernyawa tadi, kita
sebaiknya membuat hubungan
terlebih dahulu dengan Ki Kebo
Mengo, orang kepercayaan Raden
Wirasena.”
“Persetan dengan Kerbau bodoh
itu,” geram Putut Jangkung sambil
menghentakkan kakinya ke tanah.
Segera saja terasa bumi di sekitar
tempat itu bergetar, “Aku sudah
muak sebenarnya dengan orang
yang menyebut dirinya Trah Sekar
Seda Lepen beserta para
pengikutnya itu. Mereka telah
merayu Guru untuk mendukung
perjuangan mereka. Dengan
berbekal keyakinan seolah-olah
wahyu keprabon itu akan menjadi
milik mereka, Guru telah dirayu
dengan janji-janji yang
memabokkan.”
“Apakah janji mereka?” pertanyaan
itu dengan serta merta telah
terloncat begitu saja hampir dari
mulut setiap orang.
Putut Jangkung menarik nafas
panjang sebelum menjawab.
Sambil mengeluarkan sebuah
dengusan dari hidungnya dia
menjawab, “Guru dijanjikan akan
diangkat menjadi seorang Adipati
jika perjuangan mereka berhasil.”
“Sebuah mimpi yang indah,” tiba-
tiba saja seseorang yang berjalan
di belakang Putut Jangkung
terdengar menyahut.
Ki Jangkung berpaling sekilas ke
belakang. Katanya kemudian,
“Engkau benar, Ki Brukut. Sebuah
mimpi yang indah, bahkan terlalu
indah jika kita bermimpi ingin
menjadi seorang Adipati.”
Ki Brukut menarik nafas panjang.
Katanya kemudian, “Kedatanganku
ke Padepokan Sapta Dhahana
sebenarnya sama sekali tidak ada
hubungannya dengan segala
tingkah polah orang-orang yang
menyebut dirinya sebagai pewaris
Trah Sekar Seda Lepen itu.”
“Nah, mengapa Ki Brukut ikut
rombongan kami?”” sahut orang
yang berperawakan gemuk dan
pendek yang berjalan di samping
Putut Jangkung dengan serta-
merta.
Ki Brukut tertawa pendek.
Jawabnya kemudian, “Aku datang
ke Padepokan Sapta Dhahana
sekedar untuk menengok keadaan
anakku, Putut Sambernyawa.
Anakku lah yang telah meminta aku
untuk mengikuti kalian ke Dukuh
Klangon, dan memastikan bahwa
kalian akan sampai di sana dengan
selamat.”
Hampir saja setiap mulut
mengumpat mendengar kata-kata
Ki Brukut. Namun mereka segera
menyadari siapakah Ki Brukut itu.
Ayah dari Putut Sambernyawa,
Putut tertua dan terpercaya dari
Kiai Damar Sasangka, pemimpin
tertinggi padepokan Sapta
Dhahana.
“Menilik rasa hornat yang
diperlihatkan oleh Guru kepada Ki
Brukut ini, tentu tingkat ilmunya
tidak jauh berbeda dengan Guru,”
demikian beberapa orang yang
berada dalam rombongan itu
berkata dalam hati.
“Atau mungkin keseganan Guru
hanya karena Ki Brukut adalah
ayah kakang Putut Sambernyawa,
bukan tingkat ilmunya,” yang lain
justru mempunyai tanggapan yang
berbeda.
Tak terasa langkah orang-orang itu
pun telah mendekati tempat
dimana Ki Jayaraga dan kawan-
kawannya sedang bersembunyi.
“Lima belas orang,” berkata Ki
Jayaraga dalam hati. Berbagai
pertimbangan tengah hilir-mudik
dalam benaknya.
Agaknya Ki Bango Lamatan dan
Glagah Putih pun juga telah ikut
menghitung jumlah orang-orang
yang sedang lewat beberapa
langkah di hadapan mereka itu.
“Terlalu banyak dan terlalu berat
akibat yang akan ditimbulkan,”
berkata Ki Bango Lamatan dalam
hati. Memang melawan lima belas
orang dengan tingkatan ilmu yang
belum mereka ketahui sama saja
dengan membunuh diri.
Demikianlah ketika rombongan itu
telah berlalu dan tidak tampak lagi
bayangannya, ketiga orang yang
sedang bersembunyi itu pun
berniat untuk keluar dari
persembunyiannya. Namun baru
saja mereka beringsut setapak,
tiba-tiba pendengaran mereka
menangkap kembali langkah-
langkah mendekati tempat itu.
Bahkan sekarang terdengar
langkah-langkah itu lebih banyak
dari yang pertama.
Segera saja ketiga orang itu
membenamkan diri mereka kembali
ke dalam gerumbul-gerumbul perdu
sambil menahan nafas.
Ternyata yang lewat kemudian
adalah serombongan orang yang
berjumlah sangat besar, hampir
dua kali lipat dari yang pertama.
Rombongan yang kedua itu pun
kemudian disusul dengan
rombongan yang ketiga, keempat
dan rombongan kelima adalah
rombongan yang terbesar, hampir
lima puluh orang.
“Gila!” geram KI Jayaraga perlahan
sambil bangkit dari
persembunyiannya ketika dirasa
sudah tidak ada lagi rombongan
yang akan lewat. “Agaknya murid-
murid Padepokan Sapta Dhahana
telah dikerahkan untuk menutup
setiap jalan keluar dari Padukuhan
Klangon.”
“Kakang Agung Sedayu dan Ki
Waskita pasti akan menemui
kesulitan, jika tidak segera
diberitahu,” sahut Glagah Putih
sambil bangkit berdiri dan
mengibas-kibaskan kain
panjangnya yang terkena pasir
tepian.
Sedangkan Ki Bango Lamatan
tampak mengerutkan keningnya
dalam-dalam. Katanya kemudian,
“Kita harus berterima kasih kepada
orang yang telah membawa kita ke
tepian ini. Secara tidak langsung
dia telah memberitahukan kepada
kita, gerakan padepokan Sapta
Dhahana yang akan mengepung
banjar Padukuhan Klangon.”
Dada Ki Jayaraga dan Glagah
Putih berdesir tajam begitu
mendengar kata-kata Ki Bango
Lamatan. Secara tidak langsung
orang itu telah membantu mereka
dengan memberitahukan bahaya
besar yang akan mengancam jika
mereka tetap bertahan di banjar
padukuhan.
“Marilah kita segera kembali ke
banjar,” berkata Ki Jayaraga
kemudian sambil melangkah
tergesa-gesa menaiki tebing,
“Sesampainya di atas tebing, kita
akan berlari kembali sesuai jalur
yang telah ditunjukkan oleh orang
tadi. Agaknya jalur tadi adalah jalan
pintas. Semoga kita dapat
mendahului rombongan orang-
orang padepokan Sapta Dhahana.”
“Ya, Ki,” sahut Ki Bango Lamatan
sambil mengikuti langkah Ki
Jayaraga, “Ki Rangga dan Ki
Waskita harus segera menyingkir
sebelum kedatangan orang-orang
itu.”
Glagah Putih yang melihat kedua
orang tua itu telah menaiki tebing
segera menyusul. Dengan cepat
dia segera meloncat di antara batu-
batu yang menjorok di lereng untuk
menyusul kedua orang tua yang
sudah hampir mencapai bibir
tebing.
Dalam pada itu di banjar
Padukuhan Klangon Ki Rangga
dan Ki Waskita masih belum
menyadari bahwa bahaya sedang
mendekat ke arah mereka. Murid-
murid perguruan Sapta Dhahana
dari lereng Gunung Tidar secara
bergelombang telah memasuki
Padukuhan Klangon dari arah
barat.
Namun kedua orang yang telah
mempelajari ilmu dari sumber yang
sama itu ternyata hampir
bersamaan panggraita mereka
telah menerima getaran-getaran
isyarat yang mendebarkan.
Hampir bersamaan keduanya pun
segera menyilangkan kedua tangan
di depan dada. Sambil
menundukkan kepala dalam-dalam
dan memejamkan mata, keduanya
berusaha memusatkan segenap
nalar dan budi untuk memperjelas
getaran-getaran isyarat yang
mereka terima.
Sejenak kemudian keduanya telah
tenggelam dalam pemusatan nalar
dan budi. Namun baru beberapa
saat berlalu, mereka berdua telah
terganggu dengan kedatangan Ki
Jayaraga bertiga.
Segera saja Ki Waskita
menghentikan usahanya untuk
mempertajam panggraitanya.
Sambil menarik nafas dalam-dalam
dan mengurai kedua tangannya
yang bersilang di dada, Ki Waskita
pun segera menyapa Ki Jayaraga
bertiga.
“Bagaimana keadaan kalian
bertiga?” bertanya Ki Waskita
kemudian sambil mempersilahkan
mereka bertiga untuk duduk di atas
tikar, “Apakah semuanya dapat
berjalan lancar?”
Ketiga orang itu saling pandang
sejenak. Perhatian mereka masih
tertuju kepada Ki Rangga yang
tampak masih mencoba
menghentakkan kemampuan
panggraitanya untuk memantau
keadaan di sekitar Padukuhan
Klangon.
Melihat ketiga orang itu tidak
menjawab dan justru telah tertarik
melihat apa yang sedang dilakukan
oleh Ki Rangga, Ki Waskita pun
kemudian berusaha memberikan
penjelasan, “Ki Rangga sedang
berusaha mempertajam
panggraitanya. Agaknya tempat ini
sudah tidak nyaman dan aman lagi
bagi kita.”
“Benar, Ki Waskita,” tiba-tiba Ki
Rangga menyahut sambil
membuka kedua matanya dan
mengurai kedua tangannya yang
bersilang di dada, “Sepertinya
Padukuhan Klangon ini telah
kedatangan banyak orang dari arah
utara. Aku tidak tahu mereka
berasal dari Perdikan Matesih
ataukah Gunung Tidar.”
Mendengar Ki Rangga menyebut
gunung Tidar, Ki Jayaraga segera
beringsut maju. Katanya kemudian,
“Ki Rangga, kami bertiga tadi
sempat menjumpai murid-murid
gunung Tidar sedang berbondong-
bondong menuju ke Padukuhan
Klangon,” Ki Jayaraga berhenti
sebentar sambil memandang ke
arah Ki Bango Lamatan dan
Glagah Putih yang tampak
mengangguk-angguk. Lanjut Ki
Jayaraga kemudian, “Bahkan kami
sempat mendengar percakapan
mereka. Murid-murid perguruan
Sapta Dhahana itu memang
sengaja dikirim ke Padukuhan
Klangon untuk mengepung serta
menutup semua jalan keluar
terutama di banjar padukuhan ini.”
Kemudian secara singkat Ki
Jayaraga segera menceritakan
tentang orang aneh yang telah
dengan sengaja menuntun mereka
ke tepian kali Praga yang terletak di
sebelah barat Perdikan Matesih.
Mendengar cerita Ki Jayaraga,
tampak kening Ki Rangga berkerut-
merut. Berbagai dugaan telah
muncul dalam benaknya tentang
orang yang dengan sengaja
membawa ketiga orang itu ke
tepian Kali Progo.
Namun Ki Rangga benar-benar
tidak dapat menduga dengan pasti,
siapakah sebenarnya orang itu.
“Ngger,” berkata Ki Waskita
kemudian menyadarkan Ki Rangga
dari lamunannya, “Apakah tidak
sebaiknya kita segera menyingkir?”
Sejenak Ki Rangga memandang ke
arah orang-orang yang berada di
ruangan itu. Ketika semuanya
terlihat mengangguk, Ki Rangga
pun segera berkata, “Baiklah, kita
segera berkemas. Besok pagi
sebelum wayah pasar temawon,
salah satu dari kita harus
menghubungi Ki Gede Matesih
agar membatalkan rencananya
untuk mengundang kita.”
Hampir bersamaan yang lainnya
telah mengangguk-angguk.
Demikianlah, sejenak kemudian
kelima orang itu pun telah
berkemas dan meninggalkan
tempat itu melalui pintu butulan.
Ketika Ki Rangga sempat melihat
para pengawal yang tertidur silang
melintang di teritisan, Ki Rangga
pun hanya dapat menarik nafas
dalam-dalam sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya.
“Sebuah sirep yang sangat halus,”
desis Ki Rangga kemudian sambil
berjalan di sebelah Ki Waskita,
“Seseorang telah menebarkan
sirep yang sangat halus sejak sore
tadi. Hampir tidak ada seorang pun
dari kita yang menyadarinya.”
“Ya, ngger,” sahut Ki Waskita
sambil mendahului melangkahi
tlundak pintu butulan di pagar
belakang, “Aku hanya merasakan
udara begitu sejuk dan sangat
nyaman untuk beristirahat sehingga
aku tidak menyadari bahwa
seseorang telah menebarkan
sirep.”
Glagah Putih yang mendengar
kata-kata Ki Waskita hanya dapat
mengangguk-anggukkan kepala.
Sementara Ki Jayaraga dan Ki
Bango Lamatan yang mempunyai
pengalaman dalam hal ilmu yang
dapat membuat orang kehilangan
kesadaran itu justru telah
tersenyum.
“Diperlukan ketelatenan dalam
mengetrapkan sirep sejenis ini,”
berkata Ki Jayaraga dalam hati,
“Berbeda dengan sirep tajam yang
dengan serta merta akan
mempengaruhi orang dengan rasa
kantuk yang tak tertahankan. Sirep
halus ini harus terus menerus
ditebarkan di sepanjang waktu
dengan kekuatan yang tidak terlalu
tajam untuk menyamarkan
keberadaan sirep itu sendiri.”
Sedangkan Ki Bango Lamatan
yang pernah menebarkan sirep di
kediaman Ki Gede Menoreh
beberapa waktu yang lalu telah
berkata dalam hati, “Aku belum
pernah mempelajari sirep jenis ini.
Aku lebih senang menebarkan
sirep yang langsung dapat
membuat orang jatuh pingsan
sehingga apa yang menjadi tujuan
kita segera dapat tercapai,” Ki
bango Lamatan berhenti berangan-
angan sejenak. Kemudian sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya
Ki Bango Lamatan pun
meneruskan angan-angannya,
“Namun dengan demikian jika ada
seseorang yang mempunyai
kemampuan mumpuni akan segera
menyadari bahwa seseorang
sedang menebarkan sirep.”
Tak terasa langkah-langkah
mereka telah semakin jauh
meninggalkan banjar Padukuhan
Klangon.
Dalam pada itu, ketika ayam jantan
telah berkokok untuk terakhir
kalinya, banjar padukuhan itu
benar-benar telah terkepung rapat
dari segala penjuru. Tidak ada
sejengkal tanah pun yang luput dari
pengamatan murid-murid
Padepokan Sapta Dhahana.
Namun mereka belum menyadari
bahwa buruan mereka telah lolos
beberapa saat yang lalu.
Ketika kepungan itu semakin
merapat dan mulai mendekati regol
banjar, mereka pun mulai melihat
sebuah keanehan. Tidak tampak
seorang penjaga pun yang sedang
berdiri di depan regol.
“He? Kemana perginya para
penjaga itu?” geram Putut
Jangkung yang memimpin
pengepungan itu.
“Apakah mereka belum menyadari
akan kehadiran kita?” bertanya
kawannya yang bertubuh gemuk
dan pendek, “Bukankah kita juga
telah mengirimkan para cantrik
untuk membantu Ki Dukuh?”
Putut Jangkung tidak menjawab.
Sejenak dipicingkan kedua
matanya untuk mempertajam
penglihatannya. Jarak mereka
dengan regol banjar itu hanya
tinggal beberapa tombak saja,
namun Putut Jangkung masih
belum melihat seorang penjaga
pun yang berdiri di sebelah
menyebelah regol.
“Mereka tentu telah tertidur
nyenyak di bawah selimut kain
panjang mereka!” geram Putut
Jangkung. Kemudian katanya
kepada orang yang di sebelahnya,
“Putut Pendek, ajak tiga cantrik
untuk menemanimu melihat
keadaan regol terlebih dahulu.”
“Baik kakang,” jawab Putut Pendek
sambil memberi isyarat tiga orang
cantrik di dekatnya untuk
mengawaninya.
Tanpa meninggalkan
kewaspadaan, keempat orang itu
pun kemudian segera berjalan
mengendap-endap mendekati
regol. Masing-masing telah
menggenggam tangkai senjata
mereka dan setiap saat siap untuk
dihunus.
“Sepi,” desis Putut Pendek begitu
mereka telah semakin dekat
dengan regol.
Salah satu cantrik dengan
memberanikan diri telah meloncat
ke samping regol. Dengan sangat
hati-hati dia mencoba
menjengukkan kepalanya ke
dalam.
Apa yang dilihatnya kemudian
benar-benar telah membuat cantrik
itu mengumpat-umpat tak ada
habis-habisnya. Di sebelah regol
bagian dalam memang ada gardu
penjagaan tempat para penjaga
regol untuk sekedar melepas lelah.
Namun gardu penjagaan itu kini
telah dipenuhi oleh para cantrik dan
pengawal Padukuhan Klangon
yang sedang bertugas malam itu.
Mereka terlihat tertidur dengan
nyenyak. Ada yang tidur silang
melintang di lantai gardu, namun
ada juga yang tertidur hanya
dengan bersandaran dinding.
Putut Pendek yang melihat cantrik
itu justru segera melangkah
dengan tergesa-gesa. Namun
sebagaimana cantrik itu, Putut
Pendek pun telah mengumpat
dengan umpatan yang sangat kotor
begitu mendapatkan para cantrik
dan pengawal yang bertugas
menjaga regol justru telah tertidur
nyenyak.
“Orang-orang yang tak tahu diri!”
geram Putut Pendek kemudian
sambil menendang salah satu
cantrik yang tertidur sambil
bersandaran dinding.
Tentu saja cantrik itu terkejut bukan
alang-kapalang merasakan sesuatu
telah menghantam pinggulnya
dengan keras.
“He?!” teriak cantrik itu sambil
terlonjak dari duduknya. Dengan
cepat dia segera melenting berdiri.
Namun cantrik itu justru telah
membeku begitu menyadari siapa
yang sedang berdiri di hadapannya
dengan wajah merah padam, Putut
Pendek dari perguruan Sapta
Dhahana.
“Apa kerja kalian, he?!” terdengar
Putu Pendek itu membentuk
dengan suara menggelegar.
Sementara para cantrik dan
pengawal yang lainnya segera
tersadar dari tidur nyenyak mereka
begitu mendengar suara ribut-ribut.
Dalam pada itu Putut Jangkung
yang mendengar suara ribut-ribut di
regol segera melangkah mendekat.
Yang dilihatnya kemudian adalah
para cantrik dan pengawal
Padukuhan Klangon yang berdiri
dengan kebingungan sementara
Putut Pendek telah membentak-
bentak mereka tak henti-hentinya.
“Sudahlah, Pendek,” berkata Putut
Jangkung kemudian sambil
melangkah semakin dekat, “Tentu
ada alasannya mengapa mereka
telah meninggalkan tugas dan lebih
memilih tidur di dalam gardu.”
Putut Pendek menarik nafas
panjang untuk meredakan gejolak
di dalam dadanya. Katanya
kemudian sambil berpaling ke arah
Putut Jangkung, “Kakang, tidak ada
ampun bagi mereka yang telah
melalaikan tugas. Setiap kesalahan
harus mendapatkan hukuman yang
setimpal, terutama para cantrik
padepokan Sapta Dhahana.
Sedang para pengawal Padukuhan
Klangon akan kita laporkan kepada
Ki Dukuh.”
Putut Jangkung mengangguk-
anggukkan kepalanya. Jawabnya
kemudian, “Aku setuju dengan
alasanmu itu. Namun kita juga tidak
boleh menutup mata sebab
musabab yang telah membuat
mereka lalai dalam menunaikan
tugas.”
“Maaf Kakang Jangkung,” tiba-tiba
salah satu cantrik memberanikan
diri maju selangkah ke depan,
“Kami memang mengakui
kesalahan kami. Namun apa yang
telah terjadi ini benar-benar diluar
kuasa kami. Kami merasakan
udara tadi malam memang terasa
sangat sejuk. Entah awalnya dari
mana, tahu-tahu kami telah
dikuasai oleh kantuk yang
perlahan–lahan mulai menyergap
dan membelenggu kami sejak saat
sirep bocah tadi.”
Putut Pendek akan menanggapi
kata-kata cantrik itu, namun
dengan cepat Putut Jangkung
memberi isyarat untuk berdiam diri.
Berkata Putut Jangkung kemudian,
“Mungkin kalian telah terpengaruh
oleh sirep atau sejenisnya yang
dapat membuat kalian terserang
kantuk tak tertahankan,” Putut
Jangkung berhenti sebentar.
Lanjutnya kemudian, “Sebelum
Matahari terbenam sore tadi,
memang Raden Wirasena telah
menerima laporan akan
kedatangan orang asing di
Padukuhan Klangon ini. Untuk
itulah Raden Wirasena telah
meminta bantuan Guru agar
mengutus beberapa murid
padepokan Sapta Dhahana untuk
menghubungi dan membantu Ki
Dukuh. Ternyata Ki Dukuh pun
telah menyanggupi dan
menyiapkan para pengawal Dukuh
Klangon untuk berjaga-jaga
bersama para cantrik di banjar
padukuhan. Ternyata kalian di sini
hanya pindah tidur saja.”
Para cantrik dan pengawal dukuh
Klangon itu semakin menundukkan
kepala mereka. Entah apa jawab
mereka nantinya jika Ki Dukuh
menanyakan hal itu.
“Sudahlah,” tiba-tiba Ki Brukut yang
telah berada di samping Putut
Jangkung menyela, “Yang
terpenting sekarang ini adalah
keberadaan orang-orang asing itu.
Apakah mereka masih berada di
dalam banjar?”
Bagaikan disambar halilintar di
siang bolong, serentak Putut
Jangkung dan Putut Pendek
segera meloncat dan berlari
menuju ke dalam banjar.
Setelah melewati pendapa yang
tidak begitu luas, dengan tergesa-
gesa keduanya telah mendorong
pintu pringgitan dengan kasar.
Ketika keduanya kemudian telah
sampai di ruang dalam, yang
mereka jumpai hanyalah selembar
tikar usang yang terhampar di
tengah-tengah ruangan.
“Setan gendruwo, tetekan!” geram
Putut Jangkung sambil berjalan
mengitari ruangan. Tiba-tiba
pandangan matanya tertumbuk
pada sebuah lobang yang tidak
seberapa besar yang terdapat di
pojok ruangan.
“Lubang ini terlihat masih baru,”
desis Putut Jangkung sambil
meraba sudut dinding kayu itu,
“Seseorang dengan sengaja telah
membuat lubang ini dengan suatu
tujuan.”
Sedang Putut Pendek dan Ki
Brukut yang datang kemudian
ternyata lebih memilih menelusuri
dapur untuk kemudian lewat pintu
butulan ke halaman belakang.
Ternyata di halaman belakang pun
kedua orang itu juga dikejutkan
oleh para pengawal padukuhan
yang terlihat sedang tidur silang
melintang di teritisan.
“Sirep,” hampir bersamaan kedua
orang itu berdesis.
“Siapakah yang telah menebarkan
sirep ini?” tiba-tiba Putut Pendek
mengajukan sebuah pertanyaan.
Sejenak Ki Brukut termenung.
Jawabnya kemudian, “Tidak
menutup kemungkinan orang-orang
asing itulah yang telah menebarkan
sirep dalam usaha mereka untuk
meloloskan diri.”
“Tapi menurut cerita para cantrik
dan pengawal yang berjaga di regol
depan tadi, mereka merasa di
serang kantuk mulai saat sirep
bocah,” sela Putut Pendek.
“Entahlah,” akhirnya Ki Brukut
menggeleng lemah, “Namun yang
jelas kelima orang itu telah pergi
dan kita harus memberi jawaban
kepada Raden Wirasena dan Kiai
Damar Sasangka.”
Berdesir dada Putut Pendek. Jika
mereka para cantrik perguruan
Sapta Dhahana itu tidak mampu
menunaikan tugas karena kelalaian
atau ketidak-mampuan mereka,
tentu tidak segan-segan guru
mereka, Kiai Damar Sasangka,
akan memberikan hukuman.
“Sebaiknya kita segera mengirim
isyarat,” berkata Putut Pendek
kemudian sambil melangkah
kembali memasuki bangunan induk
banjar.
“Sebaiknya memang demikian,”
sahut Ki Brukut sambil mengikuti
langkah Putut Pendek, “Dengan
demikian Raden Wirasena segera
dapat mengambil tindakan dan
langkah-langkah berikutnya.”
Ternyata di halaman belakang pun
kedua orang itu juga dikejutkan
oleh para pengawal padukuhan
yang terlihat sedang tidur silang
melintang di teritisan.
“Sirep,” hampir bersamaan kedua
orang itu berdesis.
bersambung ke bagian 2
Advertisements
REPORT THIS AD

Anda mungkin juga menyukai