kembali ke STSD-02 | lanjut ke
STSD-04
Bagian 1
KETIKA Ki Rangga kemudian
mendengar Ki Waskita terbatuk-
batuk kecil, barulah Ki Rangga
teringat akan pertanyaan Ki
Waskita itu. Maka jawabnya
kemudian, “Ki Waskita, pada
awalnya memang ada niat untuk
meninggalkan Ki Kebo Mengo dan
kemudian mengejar Eyang Guru.
Namun entah mengapa tiba-tiba
saja terbersit di dalam hatiku untuk
mengetrapkan aji kakang
pembarep dan adi wuragil
sekaligus. Dengan demikian aku
berharap kedua ujud semuku akan
dapat menghadapi lawan-lawanku
secara terpisah,” Ki Rangga
berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian, “Namun yang terjadi
kemudian justru telah membuat aku
benar-benar tidak habis mengerti.
Dengan mengetrapkan aji kakang
pembarep dan adi wuragil,
pengetrapanku terhadap aji
pengangen-angen menjadi
melemah dan akhirnya aku
tersadar dari samadiku.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-
dalam sambil mengangguk-
anggukkan kepalanya mendengar
penjelasan Ki Rangga. Setelah
terdiam beberapa saat, barulah
dengan suara yang sangat sareh Ki
Waksita pun berkata, “Ngger,
memang tidak ada ilmu yang
sempurna di atas bumi ini. Pada
dasarnya aji kakang pembarep dan
adi wuragil mempunyai sifat dan
watak yang berbeda dengan aji
pengangen-angen, walaupun
keduanya bertumpu pada ujud
semu yang sama,” Ki Waskita
berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian, “Aji kakang pembarep
adi wuragil menuntut kehadiran
wadagmu sedekat mungkin,
bahkan menuntut wadagmu untuk
ikut dalam setiap keberadaan ujud
semu itu. Sedangkan aji
pengangen-angen tidak menuntut
akan kehadiran ujud wadagmu.
Justru aji pengangen-angen akan
meninggalkan wadagmu sejauh
dapat engkau lakukan,
menyeberangi lautan misalnya.
Semua itu tergantung dari kekuatan
pancaran ilmu dari sumbernya,
yaitu wadagmu sendiri.”
Sejenak Ki Rangga termenung.
Berbagai tanggapan dan harapan
sedang bergolak di dalam dadanya.
“Dalam sebuah kancah
pertempuran pasukan segelar
sepapan yang sebenarnya, aji
pengangen-angen ini tidak dapat
berdiri sendiri, tetapi membutuhkan
bantuan orang lain,” berkata ki
Waskita selanjutnya,
“Kehadirannya mungkin akan
sempat membingungkan lawan.
Namun jika lawan sempat
mengetahui kelemahannya dan
menemukan tempat
persembunyian ujud wadagnya,
tentu akan sangat berbahaya.
Demikian juga jika seseorang
diminta secara khusus untuk
menjaga wadagnya selama dia
dalam puncak samadinya,
siapakah yang dapat menjamin jika
orang yang menjaganya itu tidak
akan berkhianat?”
Ki Rangga masih berdiam diri dan
belum menanggapi penjelasan Ki
Waskita. Angan-angannya sedang
menerawang entah ke mana.
“Ngger,” berkata Ki Waskita
seterusnya begitu melihat Ki
Rangga masih termangu-mangu,
“Berbeda dengan aji kakang
pembarep dan adi wuragil yang
kehadirannya di medan
pertempuran yang sebenarnya
akan sangat berarti. Lawan akan
memperhitungkan keberadaan
bentuk semu itu karena engkau
telah mampu memancarkan
ilmumu melalui kedua ujud semu
itu. Sehingga lawan akan
mendapatkan perlawanan tiga kali
lipat dari kekuatan yang
sesungguhnya,” Ki Waskita
berhenti sejenak sambil mencoba
mengamati raut wajah Ki Rangga.
Lanjutnya kemudian, “Jika angger
ingin menggabungkan kedua aji itu,
tentu diperlukan laku khusus yang
tentu akan melibatkan persyaratan
dari kedua cabang ilmu itu. Dengan
demikian, apabila seseorang telah
mampu menguasai gabungan
kedua aji tersebut, dia akan benar-
benar mampu menjaga wadagnya
dengan salah satu bentuk
semunya, sedangkan bentuk semu
yang lain akan mampu bergerak ke
tempat yang sangat jauh, sejauh
angan-angan dari manusia itu
sendiri.”
Kali ini Ki Rangga mengangguk-
anggukkan kepalanya. Walaupun
tampaknya memang masih ada
yang membebani pikirannya.
Agaknya Ki Waskita dapat
membaca wajah Ki Rangga yang
terlihat sedang menyimpan sebuah
beban dalam hatinya itu. Maka
katanya kemudian, “Ngger, aku
melihat sebuah kegelisahan yang
terpancar pada wajah angger. Jika
memang aku boleh
mengetahuinya, apakah
sebenarnya yang masih menjadi
beban di hati angger?”
Ki Rangga menarik nafas dalam-
dalam terlebih dahulu sebelum
menjawab. Setelah membetulkan
letak duduknya, barulah Ki Rangga
menjawab, “Ki Waskita,
penggabungan aji kakang
pembarep dan adi wuragil dengan
aji pengangen-angen itu sebaiknya
kita pikirkan di kemudian hari,” Ki
Rangga berhenti sejenak untuk
sekedar menarik nafas panjang.
Lanjutnya kemudian, “Adapun yang
masih membebani hatiku sampai
saat ini adalah, sejak aku
mendalami aji pengangen-angen,
aku merasakan sesuatu yang aneh
sedang terjadi dalam diriku,
terutama panggraitaku. Beberapa
kali aku merasakan sepertinya aku
mendapatkan firasat tentang
sesuatu. Ketika aku
menganggapnya itu hanyalah
sebagai bentuk kegelisahanku saja,
ternyata firasat itu benar-benar
terjadi. Namun tidak jarang aku
tidak mampu mengurai makna
firasat itu sehingga yang terjadi
kemudian hanyalah sebuah
kegelisahan yang tak berujung
pangkal. Aku tidak tahu apakah
kejadian dalam diriku ini ada
hubungannya dengan usahaku
untuk menekuni aji pengangen-
angen?”
Untuk beberapa saat Ki Waskita
termenung. Setelah menarik nafas
dalam-dalam, barulah Ki Waskita
menjawab, “Ngger, agaknya
angger sedang mengalami
keadaan yang sebenarnya wajar
bagi angger. Aji pengangen-angen
itu pada awalnya adalah suatu
bentuk ilmu yang hanya
berlandaskan pada sebuah angan-
angan. Kemudian dengan
memusatkan nalar dan budi serta
menyelaraskan ilmu itu dengan
pikiran serta persangkaan orang
lain, maka akan terciptalah bentuk-
bentuk semu sesuai dengan apa
yang ada di dalam angan-angan
kita,” Ki Waskita berhenti sejenak
untuk membasahi
kerongkongannya yang tiba-tiba
saja menjadi kering. Lanjutnya
kemudian, “Semasa mudaku dulu,
aku hanya mampu mempelajari
sampai batas ini, walaupun guruku
telah memberikan tuntunan sampai
sejauh apa yang telah tertulis
dalam kitab perguruan kami. Aku
memang terlampau puas dengan
apa yang telah aku capai waktu itu,
tanpa memperhitungkan bahwa
ternyata ilmu itu jika
disempurnakan dan dikembangkan
akan mempunyai kekuatan yang
sangat ngedab-edabi.”
Ki Rangga tidak menjawab, hanya
kepalanya saja yang terlihat
terangguk-angguk. Sementara Ki
Waskita meneruskan kata-katanya,
“Dalam mendalami ilmu ini, aku
pun pada awalnya juga mengalami
seperti apa yang sedang engkau
alami, ngger. Ketika hal itu aku
sampaikan kepada guruku,
ternyata aku telah diberi wawasan
yang luas bagaimana cara
mempelajari dan kemudian
mempertajam panggraita kita
dalam menyikapi peristiwa itu. Aku
pun kemudian justru telah tertarik
untuk mengembangkan ilmu dalam
mengurai isyarat yang merupakan
cabang dari aji pengangen-angen
dan telah mengabaikan kelanjutan
dari aji pengangen-angen itu
sendiri sehingga kemampuanku
tidak lebih dari sebuah permainan
kanak-kanak,” Ki Waskita berhenti
sejenak sambil kembali mencoba
mengamati perubahan wajah Ki
Rangga. Namun Ki Rangga hanya
menundukkan kepalanya saja.
Maka Ki Waskita pun melanjutkan
kata-katanya, “Ngger, jika memang
engkau tertarik dengan ilmu dalam
mengurai isyarat ini, usahakan
untuk mendalami dan meresapi
setiap isyarat yang muncul.
Memang kadang-kadang kita salah
dalam menafsirkan makna isyarat
itu karena memang sesungguhnya
tiada daya dan upaya kecuali atas
seijin Yang Maha Agung. Oleh
karena itu, ngger, semakin kita
mendekatkan diri dengan Dzat
Yang Maha Mengetahui seluruh
alam semesta ini, akan semakin
terbukalah cakrawala angan-angan
kita sehingga kita akan diijinkan
untuk mengetahui sedikit rahasia
yang selama ini tersembunyi.”
Kembali Ki Rangga mengangguk-
anggukkan kepalanya. Kini hatinya
mulai tertata kembali. Tidak ada
kegelisahan yang selama ini selalu
menggelayuti hatinya. Semuanya
yang telah terjadi, sedang terjadi
maupun yang akan terjadi adalah di
dalam genggamanNYA, di dalam
kekuasaanNYA. Jika memang
seorang hamba diperkenankan
untuk mengetahui sedikit dari apa
yang akan terjadi di hari esok,
sesungguhnyalah itu adalah
sebuah karunia yang tiada taranya.
“Ngger,” tiba-tiba suara Ki Waskita
membuyarkan lamunannya, “Jika
aku boleh mengetahuinya,
sebenarnya isyarat apakah yang
sekarang ini sedang angger
terima?”
Sejenak Ki Rangga mengerutkan
keningnya. Ada sedikit keragu-
raguan yang tampak terpancar dari
sorot kedua matanya. Namun
akhirnya meluncur juga kata-kata
dari bibirnya, “Ki Waskita, akhir-
akhir ini aku sedang digelisahkan
oleh sebuah isyarat yang
berhubungan dengan masa depan
Kademangan Sangkal Putung
sepeninggal Adi Swandaru. Aku
sering diperlihatkan sebuah
pemandangan yang mengerikan,
baik dalam mimpi-mimpiku maupun
sebuah firasat yang tiba-tiba saja
terasa mencengkam jantungku
sehingga telah menggelisahkan
hatiku. Namun aku tidak tahu
dengan pasti, firasat apakah itu
sebenarnya. Yang justru kemudian
muncul dalam benakku adalah
wajah-wajah yang begitu aku kenal,
Sekar Mirah dan Pandan Wangi.”
Sejenak Ki Waskita menahan
nafas. Apa yang disampaikan Ki
Rangga itu telah menggores
jantungnya. Ayah Rudita yang juga
diberi karunia untuk menerima
isyarat tentang masa depan itu
sejenak bagaikan telah membeku.
“Ngger,” berkata Ki Waskita
akhirnya sambil menarik nafas
dalam-dalam, “Sebagaimana
angger, aku juga menerima isyarat
yang kurang menyenangkan
tentang masa depan Sangkal
Putung. Akan tetapi, marilah semua
itu kita kembalikan kepada Yang
Maha Mengetahui. Kita sebagai
hambaNYA hanya dapat berusaha
dan berdoa, sekiranya kita dapat
membantu Sekar Mirah maupun
Pandan Wangi untuk semakin
memajukan Sangkal Putung
maupun Tanah Perdikan Menoreh.”
Mendengar Ki Waskita menyebut
kedua wilayah itu, tiba-tiba saja
dada Ki Rangga berdesir tajam.
Tanpa sadar Ki Rangga berdesis
perlahan, “Siapakah sebenarnya
yang berhak atas kedua wilayah
itu?”
Ki Waskita hanya menarik nafas
panjang mendengar pertanyaan Ki
Rangga. Kedua daerah yang subur
itu memang kelak di kemudian hari
tidak menutup kemungkinan akan
menjadi bahan persengketaan oleh
beberapa pihak yang
berkepentingan maupun yang tidak
berkepentingan.
“Ngger,” berkata Ki Waskita
kemudian setelah sejenak mereka
terdiam, “Sangkal Putung harus
segera mengambil sikap
sehubungan dengan niat Pandan
Wangi untuk kembali ke Menoreh.”
Untuk kesekian kalinya Ki Rangga
menarik nafas dalam-dalam.
Beberapa hari setelah pemakaman
suaminya, Pandan Wangi memang
secara khusus telah berbicara
dengannya tentang masa depan
Bayu Swandana.
“Kakang,” berkata Pandan Wangi
pada saat itu ketika mereka berdua
saja sedang duduk-duduk di
pringgitan, “Sepeninggal kakang
Swandaru, rasa-rasanya sudah
tidak ada lagi yang dapat
mengikatku di Kademangan ini,
kakang.”
“Wangi?” terkejut Ki Rangga
mendengar ucapan Pandan Wangi,
“Mengapa engkau berkata
demikian? Bukankah masih ada Ki
Demang sebagai mertuamu? Serta
Bayu Swandana sebagai penerus
Adi Swandaru yang kelak akan
memimpin Kademangan Sangkal
Putung?”
Pandan Wangi sejenak termangu-
mangu. Pandangan matanya jatuh
ke tikar tempat duduknya. Seakan-
akan Pandan Wangi sedang
menghitung helai demi helai
anyaman tikar pandan itu di setiap
jengkalnya.
“Wangi,” kembali terdengar Ki
Rangga bertanya ketika dilihatnya
Pandan Wangi hanya tertunduk
diam, “Apakah engkau mempunyai
keinginan untuk kembali ke
Menoreh?”
Kali ini Pandan Wangi mengangkat
wajahnya. Ketika dua pasang mata
itu saling beradu, alangkah
terkejutnya Ki Rangga. Sepasang
mata itu terlihat sayu dan penuh air
mata. Betapa sepasang mata itu
dulu pernah menatapnya seperti
itu, berpuluh tahun yang lalu. Masih
jelas dalam ingatan Ki Rangga
yang pada saat itu menggunakan
nama Gupita, dia harus
menyampaikan pesan adik
seperguruannya, Gupala kepada
putri Menoreh itu.
“Sepasang mata yang kecewa,
tanpa harapan dan cinta,” desis Ki
Rangga dalam hati sambil
mencoba menghindari tatapan
mata Pandan Wangi. Dilemparkan
pandangan matanya jauh keluar
pintu pringgitan yang terbuka lebar.
“Kakang,” tiba-tiba terdengar lirih
kata-kata Pandan Wangi, “Aku
sudah cukup menderita di Sangkal
Putung ini, walaupun sebagai istri,
aku telah berusaha menjadi istri
yang baik. Aku tetap berharap
kakang Swandaru dengan
bersungguh-sungguh berusaha
untuk memperbaiki hubungan kami
sebagaimana dulu pertama kali kita
telah berjanji untuk merajut masa
depan bersama,” Pandan Wangi
berhenti sejenak. Nafasnya
menjadi sesak bersamaan dengan
air mata yang mulai tumpah
membasahi wajahnya. Sambil
berusaha menghapus air mata
dengan ujung lengan bajunya,
Pandan Wangi pun kemudian
meneruskan kata-katanya
walaupun terdengar timbul
tenggelam dalam isak tangisnya,
“Kakang, salahkan aku jika aku
ingin menghapus kenangan masa
laluku yang begitu pahit ini? Aku
ingin kembali ke tanah kelahiranku
untuk memulai hidup baru sekalian
membesarkan anakku serta
menunjukkan baktiku kepada orang
tuaku yang telah tua dan renta.”
Ki Rangga terdiam. Hanya degup
jantungnya saja yang terdengar
bertalu-talu.
“Ngger,” tiba-tiba terdengar suara
Ki Waskita membangunkan Ki
Rangga dari lamunannya,
“Sebaiknya memang permasalahan
Sangkal Putung segera dibicarakan
bersama. Jika Pandan Wangi
berkeinginan untuk pulang ke tanah
kelahirannya, berarti harus segera
ditunjuk Pemangku sementara
kademangan Sangkal Putung untuk
mendampingi Ki Demang yang
sudah sangat sepuh itu.”
“Ki Waskita benar,” jawab Ki
Rangga, “Namun siapakah yang
berhak untuk menjadi pemangku
sementara, sedangkan Bayu
Swandana masih terlalu kecil?
Sementara Pandan Wangi sebagai
istri Adi Swandaru serta ibu Bayu
Swandana telah menyampaikan
keinginannya untuk kembali ke
Menoreh?”
Ki Waskita tersenyum sekilas.
Jawabnya kemudian, “Masih ada
saudara sedarah Ki Swandaru
yang dapat menjadi pemangku
sementara di kademangan Sangkal
Putung.”
Ki Rangga mengerutkan keningnya
dalam-dalam sambil memandang
tajam ke arah Ki Waskita. Katanya
kemudian dengan nada yang
sedikit ragu-ragu, “Maksud Ki
Waskita, Sekar Mirah?”
“Ya, ngger,” jawab Ki Waskita
sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Sekar Mirah dapat
ditunjuk untuk menjadi pemangku
sementara sambil menunggu Bayu
Swandana dewasa.”
“Tidak, Ki Waskita,” dengan serta-
merta Ki Rangga menyela, “Akulah
yang berkeberatan jika Sekar Mirah
yang akan ditunjuk menjadi
pemangku sementara kademangan
Sangkal Putung.”
Ki Waskita terkejut mendengar
kata-kata Ki Rangga. Orang tua itu
sejenak termangu-mangu sambil
mengerutkan keningnya dalam-
dalam. Adalah hal yang diluar
kewajaran jika seseorang dengan
sadar telah menolak sebuah
kedudukan, pangkat dan derajat
baik bagi dirinya sendiri maupun
bagi keluarganya.
“Ngger,” berkata Ki Waskita
kemudian dengan sareh, “Nyi
Sekar Mirah mempunyai hak untuk
menerima itu walaupun angger
sebagai suaminya juga mempunyai
hak untuk menentukan seberapa
jauh seorang istri diperbolehkan
oleh suaminya untuk berbuat diluar
dunianya. Jangan tergesa-gesa
untuk memutuskannya sekarang,
ngger. Ajaklah istrimu untuk
bermusyawarah.”
Untuk beberapa saat Ki Rangga
terdiam. Berbagai persoalan
sedang bergulat di dalam
benaknya.
“Alangkah beruntungnya Bayu
Swandana,” berkata Ki Rangga
dalam hati, “Dari garis ibunya dia
mewarisi Tanah Perdikan Menoreh
yang luas, sedangkan dari garis
ayahnya, dia adalah pewaris
kademangan Sangkal Putung yang
subur.”
Tiba-tiba dada Ki Rangga berdesir
tajam. Ingatannya melayang
kepada anak laki-laki satu-satunya,
Bagus Sadewa. Dan tiba-tiba saja
hati Ki Rangga telah tersentuh
“Bagus Sadewa,” hampir saja
nama itu terloncat dari bibirnya,
namun cepat-cepat ki Rangga
menelan kembali kata-katanya
sendiri yang sudah berada di ujung
bibirnya.
“Aku takut seandainya Sekar Mirah
ditunjuk menjadi Pemangku
sementara Kademangan Sangkal
Putung, Bagus Sadewa setelah
beranjak dewasa akan mempunyai
tanggapan tersendiri atas hak
Kademangan Sangkal Putung,”
berkata Ki Rangga dalam hati
kemudian sambil menarik nafas
dalam-dalam, “Apalagi jika Sekar
Mirah sebagai ibu ingin melihat
anak laki-laki satu-satunya
mempunyai masa depan yang lebih
baik, tentu akan timbul
pertentangan yang justru berawal
dari dalam keluarga sendiri.”
Diam-diam Ki Rangga mengeluh
dalam hati. Isyarat yang
diterimanya tentang masa depan
Sangkal Putung benar-benar telah
menggelisahkan hatinya.
“Ngger,” kembali kata-kata Ki
Waskita membuyarkan lamunan Ki
Rangga, “Biarlah urusan Sangkal
Putung kita kesampingkan terlebih
dahulu. Sekarang sebaiknya kita
bicarakan kemungkinan-
kemungkinan yang akan kita
lakukan sehubungan dengan telah
diketahuinya kehadiran kita di
Padukuhan Klangon ini.”
Ki Rangga berpikir sejenak.
Jawabnya kemudian, “Ki Waskita,
salah satu pengikut Trah Sekar
Seda Lepen yang disebut Eyang
Guru itu telah mengetahui
kehadiranku. Demikian juga
dengan orang yang selama ini telah
menghantui Perdikan Matesih,
Raden Surengpati. Tidak menutup
kemungkinan tempat ini akan
segera diserbu oleh para pengikut
Trah Sekar Seda Lepen.”
Ki Waskita menarik nafas panjang
sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. Memang kemungkinan
itulah yang bisa terjadi dalam waktu
dekat ini, dan mereka benar-benar
harus mempersiapkan diri.
“Kita menunggu Ki Jayaraga dan
yang lainnya, ngger,” berkata Ki
Waskita kemudian, “Semoga
pekerjaan mereka segera selesai
dan tidak ada satu aral pun yang
melintang dalam perjalanan
mereka kembali ke banjar ini.”
Ki Rangga tidak menjawab. Hanya
tampak kepalanya saja yang
terangguk-angguk.
Dalam pada itu Ki Jayaraga, Ki
Bango Lamatan dan Glagah putih
telah selesai mengubur mayat
orang yang belum diketahui jati
dirinya itu. Dengan berjalan sedikit
tergesa-gesa, ketiganya pun telah
memutuskan untuk segera kembali
ke banjar padukuhan.
Namun sesampainya mereka di
kelokan jalan yang mengarah ke
banjar padukuhan itu, ketiga orang
itu telah dikejutkan oleh bayangan
seseorang yang tampak berjalan
perlahan-lahan di dalam kegelapan
malam berlawanan arah dengan
mereka.
Agaknya orang itu pun juga melihat
Ki Jayaraga dan kawan-kawannya
yang sedang berjalan ke arahnya.
Tanpa sadar orang itu pun telah
menghentikan langkahnya.
“Guru,” desis Glagah Putih yang
tampak berjalan di sebelah kiri
gurunya sambil memanggul
cangkul di pundaknya, “Siapakah
orang itu?”
“Aku tidak tahu Glagah Putih,”
jawab gurunya, Ki Jayaraga sambil
terus melangkah, “Dalam keadaan
seperti ini, kita harus berhati-hati
dan waspada ketika berhadapan
dengan siapapun yang belum kita
ketahui jati dirinya.”
Glagah Putih menarik nafas dalam-
dalam sambil berpaling ke arah Ki
Bango Lamatan. Namun
tampaknya Ki Bango Lamatan
sedang sibuk mengamati orang
yang berdiri tegak di atas kedua
kakinya yang renggang di tengah
jalan itu.
Ketika jarak antara mereka tinggal
beberapa tombak, tiba-tiba saja
orang yang berdiri tegak itu tanpa
membuat sebuah ancang-ancang,
demikian saja melontarkan
tubuhnya ke samping dan
menghilang di antara gerumbul-
gerumbul perdu yang banyak
berserakan di tepi jalan.
Bagaikan sudah berjanji
sebelumnya, Ki Jayaraga dan Ki
Bango Lamatan pun segera
meloncat memburu ke tempat
orang itu menghilang. Sementara
Glagah Putih harus melempar
cangkulnya terlebih dahulu ke tepi
jalan sebelum menyusul kedua
orang tua itu kemudian.
Sejenak kemudian, terjadilah kejar-
kejaran di antara keempat orang
itu. Ki Jayaraga yang berlari di
depan sendiri merasa heran. Guru
Glagah Putih itu telah
mengerahkan segenap
kemampuannya, namun orang itu
masih saja berada beberapa
langkah di depannya.
Untuk beberapa saat mereka masih
berputar-putar di sekitar tempat itu.
Memang ada beberapa petak
rumah yang telah di bangun di
sekitar kelokan jalan itu, namun
selebihnya masih berupa gerumbul
perdu dan tanah kosong yang
ditumbuhi rumput tinggi rapat
berjajar-jajar.
Tanpa terasa keempat orang yang
sedang bermain kejar-kejaran itu
telah merambah pada kemampuan
ilmu mereka yang tinggi, baik
kemampuan dalam berlari maupun
kemampuan untuk menyerap bunyi
yang dapat ditimbulkan oleh suara
gesekan mereka dengan alam
sekitarnya.
Tiba-tiba saja orang yang sedang
mereka kejar itu telah mengubah
arah larinya. Dia tidak lagi lari
berputar-putar, namun telah berlari
menjauhi tempat itu menuju ke
barat.
Ketika orang itu kemudian
menyusup ke dalam rimbunan
pohon bambu yang tumbuh
membujur di belakang sebuah
rumah kecil di tepi jalan, tiba-tiba
saja Ki Jayaraga dan kawan-
kawannya telah kehilangan jejak.
Serentak mereka bertiga segera
menghentikan langkah.
“Kemana perginya orang itu,
Guru?” bertanya Glagah Putih
kemudian sambil mengatur
nafasnya yang sedikit tersengal.
KI Jayaraga tidak menjawab.
Disilangkan kedua tangannya di
depan dada sambil menundukkan
kepalanya dalam-dalam. Ternyata
Ki Bango Lamatan pun telah
berbuat serupa.