Untara dan Agung Sedayu kemudian tidak membuang-buang waktu lagi. Segera
mereka mulai dengan suatu latihan yang keras. Ternyata Untara benar-benar ingin
melihat, sampai di mana puncak kemampuan adiknya.
Ketika latihan itu telah berjalan beberapa lama, maka tahulah Untara bahwa apa
yang dikatakan oleh Widura itu memang sebenarnya demikian. Agung Sedayu
mempunyai bekal yang cukup untuk menjadi seorang anak muda yang perkasa.
Ketangkasan, kekuatan tenaga dan kelincahan. Apalagi kini, setelah anak muda itu
menemukan kepercayaannya kepada diri sendiri, maka setiap geraknyapun seolah-
olah menjadi lebih mantap. Meskipun beberapa kali Untara melihat kesalahan-
kesalahan yang masih dilakukan oleh adiknya, namun kesalahan-kesalahan kecil itu
segera dapat diperbaikinya.
Dalam latihan-latihan itulah, maka Widura melihat betapa Untara sebenarnya
mempunyai ilmu yang hampir mumpuni. Bahkan kemudian Widura itu tersenyum
sendiri mengenangkan perkelahian antara Untara dan Sidanti. “Aneh” pikirnya.
“Jarang aku temui anak muda sesabar Untara dalam menghadapi lawan perkelahian
apapun alasannya. Tetapi terbawa oleh tugas yang diembannya, maka agaknya
Untara harus berlaku bijaksana. Kalau ia mau, maka Sidanti adalah bukan
lawannya.”
Namun Agung Sedayu ternyata telah mengagumkan pula. Kini anak itu tampaknya
tidak ragu-ragu lagi untuk sekali-sekali membenturkan tenaganya apabila perlu.
Meskipun beberapa kali ia terdorong surut oleh kekuatan Untara, namun segera ia
berhasil menguasai keseimbangan dengan kelincahannya.
Untara melihat ketangkasan adiknya itu dengan penuh kebanggaan di dalam
dadanya. Apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu, benar-benar jarang ditemuinya.
Melatih diri dalam lukisan-lukisan. Membuat perhitungan-perhitungan dengan
gambar. Tetapi ternyata dalam pelaksanaannyapun Agung Sedayu mampu
melakukan sebagian besar dari angan-angannya yang dituangkannya di atas rontal-
rontal. Hanya di sana-sini Untara masih perlu memberinya beberapa petunjuk dan
perubahan, sehingga dengan demikian ilmu Sedayu itupun menjadi semakin
sempurna.
Ketika Untara telah cukup mengenal ilmu adiknya, serta menganggap latihan itu
telah cukup, maka segera ia menghentikannya. Agung Sedayu, yang sebenarnya
telah menjadi kelelahan, segera meloncat surut dan dengan wajah yang riang ia
berdiri bertolak pinggang. Meskipun demikian, tampak juga dadanya
menggelombang karena nafasnya yang terengah-engah.
“Kau lelah” bertanya Untara.
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, “Latihan ini terlalu keras bagiku.”
“Belum sekeras perkelahian sebenarnya” Untara menyahut. “Apalagi kalau kau
bertemu dengan Macan Kepatihan dengan tongkatnya yang mengerikan itu.”
Agung Sedayu menarik nafas. Kemudian iapun segera duduk di atas seonggok
tanah di samping pamannya. Sedang Untara masih saja berdiri untuk kemudian
memberikan beberapa petunjuk tentang kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh
Agung Sedayu.