oleh:
S.H. Mintarja
BUKU 4
BAGIAN 13
“Nah, katakan, siapa engkau?” ulang Widura.
Orang itu seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan kemudian ia bertanya kepada
Agung Sedayu. “Sedayu, apakah yang sedang engkau kerjakan? Apakah kau sedang melatih
orang ini?”
Dada Widura berdesir mendengar pertanyaan itu. Ternyata orang itu telah mengenal
Agung Sedayu. Namun karena itu, segera Widura pun mengenalnya, orang itulah agaknya
yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Karena itu kembali ia bertanya “Apakah kau yang
menamakan dirimu Kiai Gringsing?”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya “Darimanakah kau ta-
hu bahwa aku bernama Kiai Gringsing? Apakah gurumu itu telah memberitahukannya kepa-
damu?”
Sekali lagi dada Widura berdesir. Orang itu menganggapnya murid Agung Sedayu. Da-
lam pada itu, Agung Sedayu pun segera mengenal bahwa orang itulah yang dahulu pernah
menemuinya di Bulak Dawa. Suaranya dan caranya berkerudung kain gringsing, meskipun to-
pengnya bukan topeng yang dipakainya itu. Karena itu tanpa disadarinya, ia menjadi gembira.
Ternyata Agung Sedayu tidak takut lagi kepada Kiai Gringsing. Sejak pertemuannya yang
pertama orang itu tidak bermaksud jahat kepadanya. Maka Sedayupun segera melangkah ma-
ju sambil berkata “Benarkah kau Kiai Gringsing yang di Bulak Dawa itu?”
Kiai Gringsing mengangguk, jawabnya “Tentu, tak ada dua tiga Kiai Gringsing.”
Tiba-tiba Sedayu itupun teringat kepada orang yang pernah menamakan diri Kiai Gring-
sing pula di dukuh Pakuwon. Maka katanya “Tidak. Yang sudah aku ketahui, ada dua Kiai
Gringsing. Yang lain adalah seorang yang sudah sangat tua dan bongkok.”
Kiai Gringsing menggeleng, katanya “Jangan bergurau. Teruskan saja pekerjaanmu.
Aku tidak akan mengganggu. Muridmu itu perlu segera mendapat tuntunan yang lebih berat.
Agaknya ia murid yang cukup baik.”
“Ah,” desah Agung Sedayu. “Jangan berkata begitu. Itu adalah pamanku. Dan justru
pamanku itu sedang mengajari aku, supaya aku mempunyai bekal dihari- hari mendatang.”
Kiai Gringsing itupun tertawa berkepanjangan. Katanya “Kau benar-benar seperti al-
marhum ayahmu. Tetapi kau jangan terlalu merendahkan dirimu. Sekali- sekali kau perlu juga
menunjukkan bahwa kau adalah putra Ki Sadewa.”
“Itu adalah pamanku,” Agung Sedayu mengulangi.
Tetapi ketika ia akan meneruskan kata-katanya, terdengar Kiai Gringsing memotong
“Aku sudah tahu. Orang itu adalah pamanmu. Bukankah ia bernama Widura? Dan bukankah
ia adik ibumu? Apa salahnya kalau kau ajari orang itu satu dua unsur- unsur gerak keturunan
dari Ki Sadewa? Menurut pengamatanku, Widura itupun pernah juga belajar selangkah dua
langkah. Karena itu adalah menjadi kewajibanmu untuk menyempurnakan.”
Mendengar kata-kata itu, telinga Agung Sedayu menjadi merah. Ia takut kalau paman-
nya tersinggung karenanya. Maka katanya “Kiai, hidup matiku di sini tergantung kepada pa-
man. Jangan mempersulit keadaanku.”
Sekali lagi Kiai Gringsing tertawa, terkekeh-kekeh sehingga tubuhnya seakan-akan ber-
guncang- guncang.
BAGIAN 14
“Setan!” terdengar Widura mengumpat. Dengan sekuat tenaga ia berusaha mencabut pe-
dangnya yang tertancap pada pohon kelapa sawit itu. Ternyata Kiai Gringsing mampu meng-
elakkan diri dengan cepatnya, sehingga pedang Widura yang mematuknya itu langsung me-
ngenai pohon yang disandarinya.
BAGIAN 15
Ketika mereka sudah puas melihat kekaguman orang-orang Sangkal Putung itu, maka
Sekar Mirah dan Sedayupun segera kembali ke kademangan. Juga di sepanjang jalan pulang,
Sekar Mirah masih saja berkicau tak henti- hentinya. Namun kini Agung Sedayu senang men-
dengarnya.
Sampai di kademangan Agung Sedayu segera pergi menemui pamannya di pringgitan,
di mana Agung Sedayu sehari- hari menyekap diri. Jarang sekali ia pergi berkumpul dengan
orang-orang lain. Hanya kadang-kadang saja ia bercakap-cakap dengan mereka di pendapa.
Sedang Sekar Mirah dengan tergesa- gesa pergi ke dapur. Ia takut terlambat dengan belanjaan-
nya untuk mempersiapkan makan pagi. Tetapi langkah Sekar Mirah itu terhenti ketika Sidanti
menggamitnya.
“Mirah,” katanya.
Sekar Mirah berpaling. Dengan tergesa-gesa ia bertanya “Kenapa?”
“Dari mana kau?”
“Warung,” jawab Sekar Mirah pendek.
Sidanti memandangnya dengan tajam. Kemudian katanya: “Dengan Agung Sedayu?”
Sekar Mirah memandang Sidanti tidak kalah tajamnya. Jawabnya “Ya. Apa salahnya?”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia tersenyum. Katanya “Mirah,
jangan marah, meskipun aku senang melihat kau bersungut-sungut. Aku hanya ingin memberi
peringatan. Jangan terlalu sering bergaul dengan anak muda yang belum kau ketahui keadaan-
nya.”
Sekar Mirah kemudian menarik nafas. Wajahnya kini sudah tidak tegang pula. Jawab-
nya: “Aku hanya bertemu dengan Sedayu di jalan, dan aku antarkan ia ke warung di ujung
desa.”
Sidantipun kemudian melangkah pergi. Meskipun demikian ia masih curiga berkata
“Ingat- ingatlah Mirah. Jangan terlalu rapat bergaul dengan siapapun juga. Aku kurang senang
melihatnya.”
Kembali wajah Sekar Mirah menjadi tegang. “Apakah hakmu?”
Tetapi Sidanti tidak menjawab. Berpalingpun tidak. Ia berjalan saja ke belakang rumah
dan lenyap di balik pepohonan yang rapat.