Anda di halaman 1dari 25

bebas dari kemusnahan mutlak.

Meskipun demikian, kemampuan tempur laskar


Banyubiru masih perlu diuji.

Malam itu laskar Banyubiru beristirahat di tempat yang sudah ditentukan. Di halaman
Banjar Desa yang tak begitu luas, sehingga sebagian besar dari mereka, harus duduk
bersandar pagar di sepanjang jalan desa di muka banjar itu. Namun mereka dapat
merasakan kenikmatan dari waktu istirahat itu.

Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara kembali duduk bersama-sama dengan Ki
Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora, Sawung Sariti dan Wulungan. Ki Ageng
Sora Dipayana kemudian mengambil seluruh pimpinan di tangannya.

“Tak ada pilihan lain ayah,” jawab Lembu Sora. Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-
anggukan kepalanya.

“Terima kasih atas keikhlasanmu Lembu Sora.” Selanjutnya, orang tua itu membuat
perintah-perintah yang harus dilakukan oleh Arya Salaka beserta laskarnya, dan Lembu
Sora dengan laskar Pamingit. “Menurut perhitunganku, serta pengintai-pengintai yang
datang sampai saat terakhir, mereka tidak akan menyerang kedudukan kita sekarang ini,”
kata Ki Ageng Sora Dipayana, “Sebab mereka merasa, bahwa jumlah laskar mereka tidak
terlalu banyak, sehingga mereka lebih senang menanti kita datang menyerang.”

Tak seorangpun yang mengajukan pendapatnya.

“Karena itu...” orang tua itu meneruskan, “Kita masih mempunyai satu hari untuk
beristirahat. Lusa kitalah yang mengambil peran, menyerang kedudukan mereka. Kita
mengambil daerah pertempuran yang luas dengan gelar Jinatra Sawur atau gelar-gelar
yang lain, yang menebar. Garudha Nglayang atau Sapit Urang.”

Tiba-tiba orang tua itu teringat bahwa di antara mereka duduk seorang bekas perwira
prajurit pengawal raja, yang pasti mempunyai perhitungan-perhitungan yang cukup
cermat dalam peperangan antara dua pasukan yang berjumlah besar.

Karena itu segera ia berkata, “Bukankah begitu Angger Mahesa Jenar?”

Mahesa Jenar sadar pada kedudukannya. Maka iapun menjawab, “Demikianlah Ki


Ageng, namun aku ingin mengusulkan, untuk melawan mereka yang biasa bertempur
tanpa aturan, dan terlalu percaya pada kesaktian pemimpin-pemimpin mereka. Biarlah di
antara kita pun ada beberapa orang yang terlepas dari ikatan gelar, untuk melayani
pemimpin-pemimpin mereka yang tak mau mengikat diri itu.”

“Bagus,” sambut orang tua itu. “Kita pun mempunyai orang-orang semacam itu di sini.
Titis Anganten, misalnya.”

Baru saat itulah Mahesa Jenar teringat bahwa di dalam laskar Pamingit itu terdapat
seorang sakti yang bernama Titis Anganten. Karena itu kemudian ia bertanya, “Di
manakah Paman Titis Anganten itu?”

“Ia berkeliaran sepanjang hari,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.

“Tapi ia hadir dalam setiap pertempuran.”

“Kalau demikian, biarlah Paman Titis Anganten kita perhitungkan pula. Siapakah para
pemimpin golongan hitam dari angkatan tua itu?” tanya Mahesa Jenar.

“Bugel Kaliki, Sima Rodra, Pasingsingan, Nagapasa dan Sura Sarunggi,” jawab Sora
Dipayana.

“Nah, kalau demikian kitapun harus melepaskan lima orang dari ikatan gelar itu. Bahkan
barangkali lebih dari itu, untuk melawan tokoh-tokoh muda mereka, seperti Lawa Ijo dan
Soka,” sahut Mahesa Jenar. Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi siapakah lima orang itu? Mungkin dirinya sendiri dapat melayani
setiap tokoh sakti lawan mereka itu, orang kedua adalah Titis Anganten, tetapi lalu siapa?
Mahesa Jenar sendiri merasa, bahwa iapun sanggup untuk menyerahkan dirinya dalam
pengabdian itu, namun agaknya sulitlah baginya untuk menyatakan diri. Tetapi dengan
tak diduga-duga, terdengarlah suara Sawung Sariti dengan nada yang tinggi, “Siapakah
lima orang dari kamu itu?”

Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas. Ia melihat wajah cucunya dengan kecewa, juga
nada suaranya tak menyenangkan. Namun orang tua itu menjawab, “Sudah menjadi
kewajibanku untuk menjadi orang yang pertama cucu, sedang yang kedua eyangmu Titis
Anganten.”

Kata-kata orang tua itu terputus. Ia ragu-ragu untuk meneruskan, dan memang tak
diketahuinya siapa yang akan disebut namanya. “Lalu siapakah yang ketiga, keempat dan
kelima...?” Sawung Sariti mendesak. Ki Ageng Sora Dipayana menggeleng-gelengkan
kepalanya, jawabnya, “Aku belum tahu, Sariti.”

SAWUNG SARITI tersenyum. Senyum yang mengundang seribu satu macam


kemungkinan.

Katanya, ”Kenapa bukan Paman Mahesa Jenar yang perkasa serta sahabatnya dari
Karang Tumaritis itu?” Sawung Sariti mengharap bahwa Mahesa Jenar tidak akan
menolak di hadapan sekian banyak orang. Kalau Mahesa Jenar menerima tawaran itu,
apakah ia mampu berbuat demikian? Di Gedangan, Sima Rodra dan Bugel Kaliki pernah
mengalami kekalahan, namun ia tidak yakin, bahwa kekalahan itu disebabkan karena
Mahesa Jenar dan sahabatnya itu. Beberapa laskarnya melihat seorang berjubah abu-abu
ikut serta membantu mereka. Dan ia tidak tahu, siapakah orang berjubah abu-abu itu.
Apakah ia Pasingsingan. Tetapi Pasingsingan tidak akan gila. Malahan mungkin
eyangnya itu sendiri atau Titis Anganten, atau Ki Ageng Pandan Alas. Sekarang, tanpa
bantuan seorangpun Mahesa Jenar pasti akan binasa. Bukankah Arya Salaka tak banyak
berarti tanpa Mahesa Jenar?
Oleh perhitungan itu Sawung Sariti menjadi tegang menunggu jawaban dari orang yang
dijerumuskannya ke dalam kesulitan itu. Mahesa Jenar tidak dapat tepat menebak maksud
anak itu, namun ia merasa bahwa ada sesuatu maksud terkandung dibalik kata-katanya.
Meskipun demikian perlahan- lahan ia menjawab, ”Baiklah Angger, kalau Angger
Sawung Sariti berpendapat demikian, serta Ki Ageng Sora Dipayana menyetujuinya, aku
dan sahabatku dari Karang Tumaritis ini akan bersedia untuk membantu.”

Ki Ageng Sora Dipayana terkejut mendengar kesanggupan Mahesa Jenar itu. Karena itu
ia segera memotong, ”Angger Mahesa Jenar, sebenarnya tidak perlu diartikan bahwa
setiap orang harus melawan satu di antara mereka. Aku pernah memakai cara yang lain.
Kelompok demi kelompok.”

Sebelum Ki Ageng meneruskan kata-katanya, Sawung Sariti telah menyela, ”Usaha itu
ternyata gagal. Setiap kali, lima atau enam di dalam kelompok itu terbunuh.”

”Kalau demikian...” Mahesa Jenar menengahi, ”Biarlah aku berada dalam kelompok-
kelompok itu. Demikian juga Kakang Putut Karang Jati ini. Biarlah ia berada pada
kelompok yang lain.”

Ki Ageng Sora Dipayana tak dapat berbuat lebih baik lagi selain menyetujui terakhir
Mahesa Jenar itu. Sawung Sariti menjadi agak kecewa karenanya, namun bagaimanapun
juga ia mengharap Mahesa Jenar akan masuk kedalam perangkapnya.

Demikianlah akhirnya, mereka masing-masing meninggalkan pertemuan itu kembali ke


dalam lingkungannya. Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara ke halaman Banjar
Desa, sedang Lembu Sora dan Sawung Sariti kembali ke dalam pasukannya yang payah.
Di dalam kelompok yang kecil itu tinggallah Ki Ageng Sora Dipayana dan Wulungan.
Yang akhirnya mereka mempergunakan sisa malam itu untuk beristirahat.

Pagi-pagi benar, Ki Ageng Sora Dipayana telah bangun. Ia menunggu kalau ada tanda-
tanda atau laporan bahwa orang-orang dari golongan hitam mulai bergerak. Tetapi
ternyata bahwa perhitungannya benar. Hari itu mereka masih dapat beristirahat sehari
penuh, sebelum pada keesokan harinya mereka harus bekerja mati-matian. Kesempatan
hari itu dipergunakan untuk menyusun kembali pasukan Pamingit, serta menempatkan
mereka ke dalam pondok-pondok di desa itu. Demikian juga laskar Banyubiru pun telah
disediakan tempat-tempat untuk bernaung dari dinginnya embun malam. Pada malam
harinya, keadaan menjadi bertambah tegang. Mereka harus beristirahat sebaik-baiknya,
sebab mereka tahu bahwa besok mereka harus bertempur kembali.

Yang paling tegang di antara mereka adalah Arya Salaka. Ia selalu teringat kepada
ibunya. Kalau besok ia menerobos pertahanan golongan hitam, dan dapat mendesaknya,
apakah yang akan dilakukan oleh golongan hitam itu terhadap ibunya? Tetapi ketika ia
sedang berangan-angan di muka pondoknya, tiba-tiba muncullah dari kegelapan malam,
seorang yang bertubuh kecil, berjalan seperti seorang perempuan mendekatinya.
Beberapa langkah dimukanya orang berhenti dan bertanya, ”Arya Salakakah ini?”

Arya Salaka tahu siapa yang datang. Karena itu ia berdiri dan enyambutnya, ”Ya,
Eyang.”

Orang itu tertawa perlahan-lahan. ”Kau sedang bersedih?”

”Tidak Eyang,” sahut Arya tergagap.

”Jangan berdusta. Kau rindu pada ibumu?” tanya Titis Anganten pula. Arya Salaka
tertegun. Orang tua itu dapat menebak perasaannya dengan tepat. Namun demikian ia
agak malu juga untuk mengiyakan. Ketika Arya diam, bertanyalah Titis Anganten itu,
”Pamanmu ada...?”

”Ada, eyang. Apakah Eyang mau bertemu dengan Paman Mahesa Jenar?” tanya Arya
pula. ”Tidak,” jawab orang tua itu sambil duduk di samping Arya. ”Aku hanya perlu kau.
Ada sebuah berita untukmu.” Arya menjadi tertarik pada berita yang dibawa oleh Titis
Anganten itu. ”Berita pentingkah itu Eyang?” tanya Arya.

”Sangat penting bagimu, bagi ketentraman hatimu,” jawab Titis Anganten.

”Berita tentang ibumu.” Arya terlonjak.

”Ibu...?” Ia menegaskan.

”Ya.”

”Bagaimanakah dengan ibu?” Ia tidak sabar lagi.

”Duduklah Arya. Dengarlah baik-baik. Aku akan berceritera tentang ibumu,” kata Titis
Anganten perlahan-lahan.

Arya duduk kembali. Ia menjadi sedemikian ingin segera mengetahui, berita apakah
yang akan disampaikan kepadanya.

TITIS ANGANTEN memulai, ”Ketika golongan hitam itu menyerbu Pamingit, Pamingit
sedang kosong. Pamanmu Lembu Sora dan adikmu Sawung Sariti berada di Banyubiru.
Mereka sedang bersiap-siap untuk menghadapi laskarmu. Nah, dengan mudahnya
golongan hitam itu dapat masuk ke dalam kota. Hampir tanpa perlawanan. Semua laskar
Pamingit yang ada lari cerai berai. Tak ada seorang pun yang ingat untuk menyelamatkan
Nyai Lembu Sora dan ibumu. Untunglah bahwa aku sejak semula selalu melihat
kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Aku melihat persiapan- persiapan yang
dilakukan oleh golongan hitam. Sehingga dengan demikian aku sempat menyingkirkan
bibi serta ibumu itu.”

”Jadi ibuku selamat?” tanya Arya.


”Ya. Ibumu selamat,” jawab Titis Anganten.

Tiba-tiba rongga dada Arya serasa tersumbat. Nafasnya menjadi sesak. Dan tidak
setahunya ia berbisik, ”Tuhan Maha Besar.”

Kemudian Arya memutar duduknya dan bersujud kepada orang tua yang menyelamatkan
ibunya itu sambil berkata, ”Tak dapat aku menyatakan betapa besar terima kasihku
kepada Eyang Titis Anganten.”

Orang tua itu tertawa nyaring. Kemudian tanpa berkata sepatah katapun ia berdiri dan
berjalan pergi. ”Eyang....” Arya mencoba memanggil.

Tetapi Titis Anganten tidak berhenti. Yang terdengar hanyalah derai tawanya. Lamat-
lamat kemudian terdengar ia berkata, ”Aku sudah mengantuk. Besok aku akan turut
bertempur dengan eyangmu.”

Kembali Arya tertegun diam. Ia tidak sempat bertanya di mana ibunya sekarang. Namun
ia percaya bahwa Titis Anganten telah menempatkan ibunya itu di tempat yang aman.
Dengan demikian hati Arya Salaka menjadi agak tenteram. Tidak perlu lagi ia
mencemaskan nasib ibunya, meskipun seandainya orang-orang golongan hitam nanti
menghancurlumatkan Pamingit.

Demikianlah ketika malam menjadi semakin dalam, Arya pun segera masuk ke dalam
pondok yang disediakan untuknya. Dilihatnya gurunya sedang tidur dengan nyenyaknya
di samping Kebo Kanigara.

Di luar, beberapa orang masih duduk berjaga-jaga. Tetapi malam itu Arya dapat tidur
dengan nyenyaknya. Ia tidak peduli lagi apa yang terjadi atas dirinya besok pagi. Namun
ia malam itu bermimpi indah. Ia melihat ibunya segar bugar, tersenyum kepadanya
sambil berkata, ”Arya, sambutlah dengan kedua tanganmu. Hari akan cerah.”

Arya tersenyum di dalam tidurnya. Pagi-pagi ia terbangun oleh kesibukan di halaman.


Beberapa orang telah siap dengan senjata di tangan, meskipun beberapa orang masih
enak-enak menikmati minum air sere yang hangat, dengan segumpal gula kelapa.
Dilihatnya gurunya, Mahesa Jenar dengan Kebo Kanigara pun sedang minum dengan
segarnya.

Cepat-cepat Arya mengambil air wudlu.

Sesudah sembahyang Subuh, kemudian ia pun turut serta duduk di sekitar perapian
sambil menghangatkan tubuhnya. Sebentar kemudian datanglah beberapa orang
mengantar nasi hangat, dengan srundeng kelapa dan segumpal sambal wijen. Betapa
nikmatnya mereka makan bersama sebelum mengadu nasib, berjuang di antara hidup dan
mati. Nasi itu adalah mungkin sekali nasi yang terakhir yang dapat dinikmatinya.
”Kita berada di sayap kiri.”

Terdengar gurunya bergumam. Arya mengangguk sambil menelan segumpal nasi lewat
lehernya.

Setelah mereka mengaso sejenak, terdengarlah tengara dibunyikan. Laskar Banyubiru


itupun segera bersiap, dan berbaris menuju ke sawah di depan desa Pangrantunan.
Mereka, dengan tidak menghiraukan lagi tanaman-tanaman yang sedang tumbuh, segera
merapatkan diri dalam barisan.

Beberapa orang pemimpin dari laskar masing-masing segera menghadap Ki Ageng Sora
Dipayana untuk mendapat beberapa cara menghadapinya. Apabila mungkin, mereka
harus memilih lawan. Jangan sampai ada korban sia-sia. Ketika sangkalala berbunyi,
barisan itu mulai bergerak. Dalam keremangan pagi, tampaklah barisan itu seperti seekor
naga raksasa yang berenang di dalam air yang keruh.

Di depan, berjalan laskar Pamingit, di bawah pimpinan Lembu Sora sendiri, dibantu oleh
Sawung Sariti, Wulungan dan Galunggung. Sedangkan di belakang, berjalan laskar
Banyubiru, di bawah pimpinan Arya Salaka, dibantu oleh Bantaran, Penjawi, Jaladri dan
Sendang Papat. Di tangan Arya Salaka tergenggam erat-erat pusaka Banyubiru, Kyai
Bancak.

BEBERAPA orang pengintai telah dikirim lebih dahulu, untuk mengetahui di mana kira-
kira orang-orang dari golongan hitam itu mempersiapkan diri. Biasanya mereka sama
sekali tidak membuat garis-garis pertahanan yang tegas. Mereka bertempur di mana saja
mereka ingin dan kapan saja mereka sempat. Tetapi jelas, bahwa kali ini mereka berusaha
sekuat-kuatnya untuk mempertahankan Pamingit. Bahkan mereka merasa bahwa lawan
mereka telah separo hancur, sehingga untuk menumpasnya tidaklah terlalu sulit.

Tetapi agaknya pengawas merekapun telah mengetahui kedatangan laskar Banyubiru,


sehingga dengan demikian mereka menjadi heran, apakah agaknya Arya Salaka telah
menjadi gila. Apalagi kemudian, kedua laskar itu berada di Pangrantunan bersama-sama.
Tidak seperti yang mereka harapkan, bertempur satu sama lain.

Dengan bangga atas kekuatan sendiri, Sima Rodra berkata, ”Kalau di dalam laskar
Banyubiru itu ada Mahesa Jenar, akulah lawannya. Sebab ia telah membunuh
menantuku.”

Beberapa lama kemudian pengintai dari Pamingit itupun melaporkan kepada Ki Ageng
Sora Dipayana, bahwa orang-orang golongan hitam itu tidak bergerak dari Kepandak.

Namun orang-orang mereka yang di Sumber Panas pun telah ditariknya. Mereka
memusatkan kekuatan di satu tempat, untuk menghadapi laskar Pamingit dan Banyubiru.
Demikianlah ketika mereka telah berhadap-hadapan dengan desa Kepandak, Ki Ageng
Sora Dipayanapun menghentikan laskarnya.
Kemudian diperintahkannya laskar Pamingit dan Banyubiru membentuk gelar perang
Sapit Urang. Laskar Pamingit dan Laskar Banyubiru itu pun segera bergerak dalam garis
yang menebar, laskar Pamingit di sayap kanan, laskar Banyubiru di sayap kiri, yang
masing-masing merupakan sapit dari seekor udang raksasa yang siap menerkam
lawannya.

Di pusat gelar yang justru tidak terlalu banyak, tampaklah beberapa bagian laskar
Pamingit dan dua orang yang berdiri lepas dari gelar, masing-masing Ki Ageng Sora
Dipayana dan Titis Anganten. Sedang Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berada di muka
laskar Banyubiru, sapit sebelah kiri, di bawah pimpinan Arya Salaka. Di hadapan mereka,
berjajar rapat di tepi desa Kepandak, orang-orang dari golongan hitam. Merekapun
agaknya telah mengerahkan segenap laskar mereka. Mereka sama sekali tidak
membentuk gelar apapun, karena itu, mereka dapat menyerang ke mana saja mereka
inginkan.

Tetapi ketika orang-orang dari golongan hitam itu melihat gelar lawannya, mau tidak
mau merekapun harus menyesuaikan diri mereka. Melawan bagian-bagian yang terberat
dengan orang-orang yang terkuat.

Ketika di timur cahaya matahari sudah semakin terang, sebelum bola api itu muncul di
wajah-wajah langit, kedua laskar itupun telah berhadap-hadapan dalam kesiagaan tempur.
Jarak mereka sudah tidak begitu jauh lagi, sehingga mereka dapat melihat dengan jelas
siapakah yang berada di pihak masing-masing.

Di muka barisan laskar golongan hitam itu berdiri beberapa orang pemimpin mereka,
yang dengan tertawa-tawa menanti kedatangan lawan. Mereka itu adalah Pasingsingan
dengan jubah abu-abunya,

Sima Rodra yang kali ini lengkap dengan kulit harimau hitamnya, namun ia tidak
mengenakan topengnya. Nagapasa, Naga dari Nusakambangan, Sura Sarunggi dari Rawa
Pening yang menyimpan dendam tiada taranya atas kematian muridnya, sepasang Uling
dari Rawa Pening. Dan hantu dari Gunung Cerme, Bugel Kaliki.

”Ada laskar Banyubiru serta?” tanya Bugel Kaliki kepada Pasingsingan.

”Ya, tetapi tak seberapa. Mereka tak akan berarti apa-apa menghadapi laskar kita,”
jawab Pasingsingan.

”Namun yang harus mendapat perhatian adalah Mahesa Jenar.”

Sima Rodra tertawa.

”Biarlah aku selesaikan,” katanya.

Pasingsingan mengangguk-anggukkan kepalanya, namun ia ragu. Sima Rodra belum


tahu, sampai di mana tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh Mahesa Jenar. Namun
demikian ia berdiam diri. Mudah-mudahan Sima Rodra benar-benar dapat menandingi.

”Sekarang mereka mendapat bantuan anak gila dari Banyubiru itu. Sungguh suatu
perbuatan yang tak dapat aku mengerti. Kenapa Arya Salaka tidak saja merebut
tempatnya kembali. Kenapa justru ia membantu Pamingit?” tanya Sura Sarunggi.

”Ia benar-benar gila,” jawab Pasingsingan.

”Sedang perhitungan kita memang terlalu cepat satu hari saja. Kalau kita tunda serangan
kita dengan satu hari, keadaannya akan lain. Laskar Banyubiru dan Pamingit pasti sudah
bertempur. Tetapi bagaimanapun juga, tak ada bedanya. Kita pasti akan melawan kedua-
duanya. Sekarang atau besok. Bahkan kehadiran laskar Banyubiru itu akan mempercepat
penyelesaian.”

Nagapasa mengangguk-angguk sambil berdesis. tepat seperti desis seekor naga.


”Siapakah yang harus dilawan dari mereka?”

”Seperti kemarin dulu,” jawab Pasingsingan.

”Sora Dipayana, Titis Anganten. Dan sekarang tambah satu lagi, Mahesa Jenar. Tetapi
agaknya Sima Rodra ingin menyelesaikan.”

Tiba-tiba kening mereka berkerut ketika mereka melihat seseorang yang dengan serta
merta, menerobos masuk dalam laskar Pamingit.

”He...!” seru Bugel Kaliki, ”Orang gila itu datang pula.”

Mereka menjadi terdiam. Namun kehadiran satu orang di dalam barisan Pamingit itu
benar-benar diperhitungkan

DEMIKIANLAH, Ki Ageng Sora Dipayana sendiri terkejut atas kehadiran seorang


sahabat lamanya. Namun terbersitlah kegembiraan di hatinya. Dengan kehadiran orang
ini, sedikit banyak akan dapat mengubah keseimbangan laskar di kedua belah pihak.
Karena itu dengan tersenyum ia menyambut kedatangan orang itu dengan penuh gairah.

”Selamat datang Danyang Gunung Kidul.”

”Eh, aku hampir terlambat,” jawabnya.

”Agaknya orang Banyuwangi itu telah ada pula di sini.”

Titis Anganten tertawa. ”Kau terlalu malas,” jawabnya. ”Aku, yang berjarak ribuan
tonggak telah datang lebih dahulu.”

Danyang Gunungkidul itu, Ki Ageng Pandan Alas, tertawa. Sahutnya, ”Kerjamu tidak
ada lain kecuali berjalan dari satu tempat ke tempat lain. Sedang aku masih harus
menunggu jagung tua.”

”Ah, orang yang hidupnya terikat pada tanaman jagung. Kalau dunia ini akan meledak,
kau masih saja menunggui jagungmu?” sela Ki Ageng Sora Dipayana. Ki Ageng Pandan
Alas tertawa. Namun ia sudah berjalan pula di samping Sora Dipayana.

”Nah, pilihlah aku lawan,” katanya.

”Terserah kepadamu,” jawab Sora Dipayana.

”Yang bongkok, yang berkulit macan, yang berkepala besar atau yang mana?”

”Mana saja yang terdekat,” jawab Pandan Alas seenaknya. Tetapi meskipun demikian,
dalam waktu yang cepat ia telah berhasil menilai lawan-lawannya. Ia benar-benar terkejut
ketika ia melihat Mahesa Jenar berdiri di sapit sebelah kiri.

Namun ia agak tenteram setelah dilihatnya Putut Karang Jati yang bernama pula Kebo
Kanigara. Ia telah mengenalnya sebagai putra Ki Ageng Pengging Sepuh di bukit Karang
Tumaritis. Ia berdoa di dalam hatinya, mudah-mudahan kedua orang itu dapat
menempatkan diri sebaik-baiknya, sehingga kedua-duanya tak menemukan cidera. Juga
ia berdoa mudah-mudahan Arya Salaka dapat membawa dirinya di antara laskarnya.
Sesaat kemudian, kedua laskar itu telah mencapai jarak yang menentukan. Sebelum
laskar Pamingit mulai, terdengarlah orang-orang laskar itu berteriak nyaring, sambil
berloncatan menyerbu. Sementara itu Ki Ageng Lembu Sora segera menggerakkan
tangannya yang telah menggenggam pedangnya yang besar sekali, memberi aba-aba
kepada laskarnya untuk bertempur.

Tanda itu segera diteruskan oleh Sawung Sariti, Wulungan dan Galunggung. Merekapun
memutar pedang masing-masing di udara, sebagai perintah untuk bertempur. Di sayap
kiri, tampaklah berkilauan tombak pusaka di tangan Arya Salaka. Dengan tekad yang
bulat, ia telah menyerahkan dirinya untuk melakukan pengabdian. Dengan doa di dalam
hati, ”Tuhan akan menyertai kami dan memberkahi pengabdian kami.”

Ketika ia mengangkat tombaknya, berkilat-kilat pulalah pedang Bantaran, Penjawi dan


tombak bermata dua ditangan Jaladri. Merekapun meneruskan aba-aba Arya Salaka
kepada laskar mereka, yang bergerak sebagai sapit kiri dari gelar Sapit Urang. Sesaat
Arya Salaka melihat Bantaran beserta laskarnya mendesak maju. Mereka melingkar
untuk kemudian menyerang dari lambung. Tetapi orang-orang dari golongan hitam itu
tidak mempergunakan gelar tertentu, sehingga merekapun menghambur menyerang
laskar Bantaran dari arah yang mereka sukai. Meskipun demikian, Bantaran tidak
menjadi bingung. Ia tetap bertempur dalam gelar kiri. Laskarnya yang bersenjata pedang
dengan perisai di tangan kiri, bertempur seperti banteng-banteng yang tangguh. Demikian
juga laskar Jaladri di bagian tengah sapit kiri. Laskar yang sebagian besar bersenjata
tombak inipun bertempur dengan semangat yang menyala-nyala. Mereka sadar, betapa
orang-orang dari golongan hitam itu harus dimusnahkan. Sebab satu saja mereka tinggal,
akan dapat merupakan benih buat masa datang. Sedang laskar Penjawi berada dekat
dengan induk pimpinan. Seperti juga Penjawi sendiri, laskarnya bertempur tanpa
mengenal takut, meskipun mereka sadar bahwa orang-orang dari golongan hitam itu
dapat berbuat hal-hal di luar batas-batas perikemanusiaan. Namun justru karena itulah
maka mereka harus dimusnahkan.

Ki Ageng Sora Dipayana sendiri, masih berdiri, di antara kedua pihak yang sudah
terlibat dalam pertempuran itu. Ia melihat keadaan di sekelilingnya, kemudian
pandangannya menebar ke segenap penjuru pertempuran. Di sebelah kirinya, tidak terlalu
jauh, ia melihat Ki Ageng Pandan Alas menyusup ke dalam daerah pertempuran untuk
mendekati Pasingsingan.

Agaknya ia benar-benar ingin tahu, apakah Pasingsingan ini benar-benar Pasingsingan


sahabatnya dahulu. Ia masih ingat, di alun-alun Banyubiru, ia pernah bertempur dengan
Pasingsingan itu. Meskipun Pasingsingan itu mempunyai pusaka-pusaka dengan ciri-ciri
khususnya, namun ia tetap meragukannya. Demikianlah, supaya kedatangannya di
Pangrantunan ini ada juga hasilnya, apabila ia benar-benar dapat mengetahui, siapakah
yang bersembunyi di balik topeng yang jelek itu.

Pandan Alas menyesal, bahwa ketika ia dengan tergesa-gesa berangkat dari


Gunungkidul, ketika didengarnya kabar, tentang kerusuhan di Banyubiru, yang ternyata
seterusnya berkembang menjadi kerusuhan-kerusuhan di Pamingit dan Pangrantunan,
tidak diajak serta muridnya, Sarayuda, yang setidak-tidaknya akan dapat membantu
memperingan pekerjaan laskar Pamingit dan Banyubiru. Tetapi yang didengarnya semula
adalah persoalan yang lain. Persoalan antara Banyubiru dan Pamingit.

Di arah yang lain, ia melihat Titis Anganten, berdiam diri sambil tersenyum-senyum.
Orang itupun agaknya sedang menikmati kesibukan pertempuran itu. Ia menunggu saja,
siapakah yang akan datang kepadanya. Hanya sekali-kali ia harus bergerak menghindari
serangan dari laskar golongan hitam, yang menyangka bahwa Titis Anganten itu dapat
dikenalinya dengan mudah.

PARA penyerang itu menjadi kecewa setelah mereka sadar, bahwa yang berdiri di
hadapannya adalah Titis Anganten. Karena itu segera mereka mencari sasaran lain, dan
menyerahkan Titis Anganten itu kepada para pemimpin mereka. Namun sesaat kemudian,
ia melihat Titis Anganten itu tertawa, sambil meloncat maju menyongsong seorang yang
bertubuh tegap tinggi dan berkepala besar. Sura Sarunggi dari Rawa Pening.

Sesaat kemudian Ki Ageng Sora Dipayana melihat Bugel Kaliki, Si Bongkok dari
Gunung Cerme, datang ke arahnya. Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum. Agaknya ia
harus bertempur melawan hantu bongkok itu. Ia menarik nafas dalam-dalam. Ia kenal
benar bahwa Si Bongkok itu seperti bertangan bara. Sentuhan-sentuhan atas tubuh
lawannya oleh tangan Bugel Kaliki itu, kulitnya pasti akan terkelupas. Namun Bugel
Kaliki itupun sadar. Sentuhan tangan Ki Ageng Sora Dipayana dapat merontokkan isi
dada, dan dapat menghentikan peredaran darah. Bagian dari aji Lebur Sakethi sungguh
tak dapat diabaikan. Apalagi Lebur Saketi dalam ujud kasarnya. Akan luluhlah setiap
sasaran yang dapat dikenainya. Sebelum Ki Ageng Sora Dipayana menyambut lawannya,
ia mencoba untuk melihat sapit sebelah kiri. Dadanya berdesir ketika ia melihat Sima
Rodra mengaum dengan dahsyatnya menerkam Mahesa Jenar. Apalagi ketika melihat
Mahesa Jenar menyambutnya seorang diri, tidak dengan perlindungan laskarnya sama
sekali.

Namun ia tidak sempat berbuat sesuatu, selain berdoa, mudah-mudahan Mahesa Jenar
segera menempatkan dirinya dalam lingkaran laskarnya. Ia juga cemas akan nasib
sahabat Mahesa Jenar yang bernama Putut Karang Jati. Bahkan ia dengan sengaja
menempatkan diri di garis lintas Naga dari Nusakambangan. Nagapasa itu benar-benar
orang yang dapat berbuat seperti ular naga. Hampir seluruh tubuhnya dapat
dipergunakannya untuk bertempur.

Tetapi sesaat kemudian, Bugel Kaliki telah berdiri di hadapannya. Sambil tertawa kecut
hantu itu berkata, ”Selamat pagi Ki Ageng Sora Dipayana yang sakti. Jangan kau
perhatikan nasib orangmu yang bernama Mahesa Jenar itu. Biarlah ia lumat ditangan
Harimau Tua dari Lodaya.”

Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Ternyata Bugel Kaliki


memperhatikannya, dan mencoba mempengaruhi perhatiannya, agar ia tidak dapat
memusatkan pikirannya untuk melawan Bugel Kaliki itu.

Karena itu ia tertawa sambil menjawab, ”Ia bukan sanak, bukan kadang. Biarlah ia
berusaha untuk menjaga dirinya sendiri.”

Mata Si Bongkok itu tiba-tiba menjadi sipit. Meskipun demikian ia berkata, ”Bagus.
Agaknya kau tidak peduli pula atas anakmu yang bernama Lembu Sora. Dapatkah ia
melawan Jaka Soka? Dan cucumu Sawung Sariti yang harus bertahan melawan Wadas
Gunung, murid Pasingsingan? Sedang cucumu yang satu lagi sedang dilibat oleh aji Alas
kobar Lawa Ijo dari Mentaok?”

Ki Ageng Sora Dipayana sekali lagi memandang berkeliling.Daerah pertempuran itu


sudah semakin ribut.Masing-masing berjuang dengan segenap tenaga yang ada. Terhadap
Lembu Sora, Ki Ageng Sora Dipayana tak perlu cemas. Ia tidak perlu khawatir bahwa
Jaka Sora akan dapat mengalahkan anaknya dengan mudah. Apalagi Lembu Sora berada
di dalam barisan Pamingit yang penuh, setelah laskar Banyubiru datang membantu. Juga
Sawung Sariti tak perlu dirisaukan. Wadas Gunung adalah murid Pasingsingan yang tidak
banyak mendapat perhatian dari gurunya. Sebab segenap harapan ditumpahkan kepada
Lawa Ijo. Terhadap Arya Salaka, ia perlu menimbang-nimbang. Ia tahu bahwa Arya
Salaka setidak-tidaknya memiliki ketangkasan dan ketangguhan sama dengan Sawung
Sariti.

Namun kali ini ia harus berhadapan dengan Lawa Ijo, yang memiliki kesaktian lebih
dahsyat dari Wadas Gunung. Tanpa dikehendakinya sendiri, Ki Ageng Sora Dipayana
memperhatikan sapit sebelah kiri dari gelar Sapit Urang-nya. Ia bangga atas
kesempurnaan gelar itu. Ia melihat di ujung laskar Banyubiru, suatu lingkaran yang
menganga dan menyerang orang-orang Pamingit dengan dahsyatnya.
Namun sayap kiri itu baginya sangat mencemaskan. Di sayap itu berkumpul tokoh-tokoh
Nagapasa dan Sima Rodra bersama-sama dengan Lawa Ijo. Namun kali ini ia tidak
banyak mempunyai waktu, sebab sekali lagi ia mendengar Bugel Kaliki mendengus. ”Ha,
kau ingin pergi ke sayap kirimu yang mulai rusak...?”

Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum, ”Aku sedang menilai pertempuran. Agaknya


keseimbangan dari kedua laskar itu telah berubah sama sekali. Apa katamu tentang laskar
Banyubiru yang seperti taufan melanda laskarmu?”

Tiba-tiba Bugel Kaliki itu tertawa terbahak-bahak, jawabnya, ”Buat apa aku ributkan
laskar yang sedang bertempur itu? Aku datang kemari seorang diri. Tak peduli apakah
laskarmu atau laskar kawan-kawanku yang akan binasa.”

”Dan kau sendiri...?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.

”Aku sendiri akan dapat menjaga diriku. Aku dapat berbuat sekehendakku,” sahut Bugel
Kaliki.

”Lalu sekarang apa yang kau kehendaki?” tanya Sora Dipayana.

”Nagasasra dan Sabuk Inten. Berikan itu kepadaku. Nanti aku akan membantu
laskarmu,” jawab hantu bongkok itu.

”Buat apa?” tanya Ki Ageng.

Bugel Kaliki tertawa. Jawabnya, ”Buat apa kau sembunyikan keris itu?”

Ki Ageng Sora Dipayana sama sekali tidak perlu memberikan keterangan, sebab ia yakin
bahwa kata-katanya akan dipercaya. Karena itu ia menjawab seenaknya, ”Mungkin suatu
waktu perlu untuk melawan serangan seperti yang terjadi kali ini.”

Bugel Kaliki tiba-tiba menjadi tegang. ”Kalau begitu kedua keris itu benar-benar masih
kau simpan?” ”Apa kepentinganmu?” sahut Sora Dipayana.

”Aku akan mencoba mempertahankan diri. Meskipun aku sudah tua, namun mati karena
tanganmu, sungguh tak menyenangkan,” sahut Ki Ageng Sora Dipayana. Bugel Kaliki
tak mau berbicara lagi.

Setelah memandangi pertempuran itu sekali lagi, tiba-tiba ia meloncat sambil berteriak
tinggi. Ki Ageng Sora Dipayana pun telah bersedia pula. Karena itu segera ia menghindar
untuk segera meloncat dengan tangkasnya menyerang kembali. Demikianlah, kedua
orang itu kemudian bertempur dengan dahsyatnya di antara hiruk pikuk pertempuran.

Ki Ageng Sora Dipayana benar-benar harus memusatkan segenap perhatiannya untuk


melawan hantu bongkok dari Gunung Cerme itu. Karena itu, ia tidak mempunyai
kesempatan mengamati pasukannya. Meskipun demikian, ia merasa bahkan laskar
Pamingit dan Banyubiru bersama-sama, dapat mengimbangi laskar lawan, bahkan sedikit
demi sedikit terasa, garis pertempuran itu bergeser maju. Bugel Kaliki itu, meskipun
punggungnya melengkung karena bongkoknya, namun gerakannya sangat berbahaya. Ia
dapat meloncat-loncat dengan lincahnya, menerkam dan menghantam. Bahkan kakinya
pun tak kalah tangkasnya.

Ia dapat berloncatan seperti kijang, namun sekali-kali menerkam seperti serigala.

Tetapi Ki Ageng Sora Dipayana adalah seorang yang telah cukup makan pahit-getirnya
penghidupan. Dengan tak kalah lincahnya, ia meloncat menghindari setiap serangan yang
kemudian dengan lincahnya pula ia menyerang lawannya kembali. Kedua tangannya
bergerak dengan cepatnya, seperti sayap seekor burung branjangan. Dengan dahsyatnya
kedua tangan orang tua itu mematuk-matuk, ke pusat-pusat simpul syaraf.

Inilah yang mengerikan. Sekali tubuh lawannya tersentuh jarinya, akan bekulah seluruh
daging-daging syarafnya. Dan ini pun dimaklumi oleh lawannya.

Sehingga Bugel Kaliki pun berjuang keras untuk melindungi setiap kemungkinan itu. Ia
percaya kepada ketangkasannya dan kekuatannya. Kepada kesaktiannya, yang dapat
menjadikan tangannya sepanas bara. Ia menamai kesaktian itu Candra Mawa, di samping
ilmunya yang tak kalah dahsyatnya, yang dengan bangga disebutnya Dasa Prahara.
Dengan demikian maka pertempuran itu merupakan pertempuran yang dahsyat antara dua
orang perkasa. Sehingga setiap orang di sekitarnya terpaksa bergesa-gesa menjauhkan
diri.

Untuk sesaat pertempuran antara laskar Pamingit dan laskar golongan hitam, di sekitar
kedua tokoh tua itu terhenti. Dengan keheran-heranan mereka memandang perkelahian
yang berubah seperti lesus yang berputar-putar mengerikan. Tetapi ketika mereka
tersadar, segera mereka terlibat kembali dalam pertempuran yang sengit. Matahari
semakin lama menjadi semakin tinggi beredar di langit yang bersih.

Begitu cepat, seakan-akan begitu tergesa-gesa untuk dapat melihat medan pertempuran
itu dengan jelas. Untuk kesekian kalinya bola api yang terapung itu melihat betapa
manusia bertengkar dan bertempur di antara mereka. Sudah berapa banyak darah yang
mengalir dari luka-luka di tubuh mereka, telah berapa banyak air mata yang mengalir
karenanya. Namun manusia itu tidak jemu-jemunya, saling membunuh karena mereka
bertentangan kepentingan. Terdoronglah kepentingan mereka, golongan mereka, diri
mereka, maka kadang-kadang mereka lupa, betapa, manusia tercipta karena cinta.
Larutlah cinta itu seperti kabut yang dilanda angin, apabila mereka dihadapkan pada
pemanjaan diri. Pemanjaan nafsu jasmaniah. Dan lupalah mereka akan hari-hari yang
dijanjikan. Hari pengadilan di ujung zaman. Namun Tuhan Maha Tahu. Didengar-Nya
apa yang terlontar dari bibir kita, apa yang terucapkan oleh mulut kita. Bahkan tahulah
Tuhan apa yang terukir di dalam hati kita. Sehingga dengan demikian kebaktian bukanlah
janji, namun sebenarnya kebaktian adalah tingkah laku dan pengamalan. Semakin tinggi
matahari memanjat langit, pertempuran di lereng Gunung Merbabu itu menjadi semakin
riuh.

Berdentanglah bunyi senjata beradu, dibarengi teriakan seram dan pekik ngeri kesakitan.

DI pangkal sayap kanan, Titis Anganten sedang sibuk melayani Sura Sarunggi yang
bertubuh tegap kekar dan bekepala besar. Dengan gerak yang kasar penuh kebencian,
Sura Sarunggi menyerang lawannya tanpa pengendalian diri. Ia ingin segera melihat Titis
Anganten menjadi lumat.

Titis Anganten yang bertubuh kecil dan sama sekali tak segagah lawannya itu dapat
bertempur dengan sempurna. Gerak-geraknya yang tampak lemah dan tak bertenaga,
namun seakan-akan memiliki pengaruh yang tak dapat diduga akibatnya. Titis Anganten
benar-benar berkelahi seperti perempuan.

Kalau saja tangannya menyentuh lawannya, maka ia segera mencubitnya. Namun


cubitan itu benar-benar luar biasa, sehebat sengatan seribu lebah bersama-sama. Sedang
lawannya adalah seorang yang bertenaga raksasa. Sambaran tangannya menimbulkan
desir angin dingin yang mengerikan. Kalau suatu kali ia terpaksa membuat benturan
kekuatan, maka mereka bersama-sama akan tergetar surut.

Di bagian lain, dengan penuh kemarahan dalam hati, Pasingsingan berhadapan dengan
Ki Ageng Pandan Alas. Ketika Pasingsingan memandangnya seperti memandang hantu,
berkatalah Ki Ageng Pandan Alas, ”Apakah aku aneh?”

Pasingsingan menggeram, jawabnya, ”Kenapa kau hadir juga di sini?”

”Apa salahnya? Sahabat-sahabatku semua berada di sini. Ki Ageng Sora Dipayana, Titis
Anganten dan kau Pasingsingan. Bukankah sudah sebaiknya kalau aku datang pula?”
sahut Pandan Alas.

Sekali lagi Pasingsingan menggeram. ”Jangan banyak ribut. Jangan bicara lagi tentang
sahabat, tentang masa lampau dan segala macam kenangan tak berarti. Yang sebaiknya
segera kau lakukan adalah meninggalkan daerah ini.”

Ki Ageng Pandan Alas tertawa. ”Kenapa aku harus pergi. Atas hak yang sama, maka
seperti kau aku hadir dalam pertemuan ini.”

”Aku sebenarnya menyayangkan nyawamu. Jangan kau mati tanpa arti. Sebab persoalan
kami bukanlah persoalan yang dapat kau campuri,” sahut Pasingsingan.

”Kenapa tidak? Daerah ini daerah Pangrantunan. Ki Ageng Sora Dipayana gembira
melihat kehadiranku. Kenapa kau tidak?” kata Pandan Alas.

Pasingsingan menggeram kembali. Suaranya melingkar-lingkar di dalam perutnya.


Sekali-kali melayangkan pandangannya ke seluruh daerah pertempuran. Ia melihat Bugel
Kaliki berhadapan dengan Ki Ageng Sora Dipayana sendiri, sedang Sura Sarunggi
bertempur melawan Titis Anganten.

Di ujung lain ia melihat Mahesa Jenar bertempur melawan Sima Rodra yang menyimpan
dendam di dadanya. Pasingsingan mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu, bagaimana
mungkin Mahesa Jenar dapat melawan aji Alas Kobar beberapa waktu yang lampau
didekat Candi Gedong Sanga.

Malaekat manakah yang telah memberinya kesaktian sedemikian tiba-tiba? Sedang di


bagian lain, Pasingsingan melihat kawan Mahesa Jenar bertempur melawan Nagapasa. Ia
mengharap Nagapasa segera dapat menyelesaikan pekerjaannya. Dengan demikian,
kelebihan yang seorang itu, akan mempunyai banyak akibatnya.

Nagapasa dapat membantu salah seorang dari tokoh-tokoh hitam itu, memusnahkan
lawan-lawan mereka satu demi satu dengan cepat.

”Apa yang kau renungkan?” tanya Ki Ageng Pandan Alas.

”Bukan apa-apa,” sahut Pasingsingan.

”Aku sedang berbangga.”

”Apa yang kau banggakan?” desak Pandan Alas.

”Laskarku dari Mentaok. Sekarang mereka akan menghancurkan laskar Banyubiru dan
Pamingit. Lusa mereka akan menghancurkan laskar Demak,” jawab Pasingsingan.

Ki Ageng Pandan Alas tertawa. ”Jangan mimpi. Kau kira Demak itu seperti apa? Itulah
contohnya, satu di antara prajuritnya yang bernama Rangga Tohjaya. Bahkan seandainya
kau dapat mengalahkan laskar Banyubiru dan Pamingit sekalipun, maka Banyubiru dan
Pamingit berhak mendapat perlindungan dari Demak, seandainya mereka benar-benar tak
mampu mengatasi kesulitan mereka.

Nah apa katamu? Apakah arti laskar alasan itu?” Pasingsingan menjadi marah. ”Lihat,
sebagian dari laskar gabungan kami. Kami masih menyimpan tenaga cadangan di
Pamingit dan di daerah kami sendiri-sendiri.”

”Bagus. Agaknya kau benar-benar menghemat. Sedikit-sedikit saja orangmu yang bunuh
diri di medan ini, supaya kau sempat berbuat aneh-aneh didalam pertempuran. Kau
agaknya dapat melepaskan nafsu-nafsu yang aneh di sini. Bau darah dan teriakan-teriakan
yang mengerikan dapat menyegarkan tubuhmu,” sahut Pandan Alas.

”Gila. Jangan banyak bicara lagi. Tinggal pilih, kembali ke asalmu atau mati berkubur
debu di sini,” gertak Pasingsingan.

Pandan Alas tidak menjawab. dengan tersenyum ia bersiaga. Dan apa yang diduga
benar-benar segera terjadi. Dengan garangnya Pasingsingan mengembangkan tangannya,
dan dalam satu loncatan ia menerkam lawannya.

Cepat Pandan Alas mengelak dengan satu langkah ke samping sambil merendahkan
dirinya. Tangan kanan Pasingsingan menyambar di atas kepalanya dengan cepatnya
seperti desis angin yang keras.

Tetapi dalam sekejap Pandan Alas telah memutar tubuhnya dan kaki kanannya melontar
ke arah lambung Pasingsingan. Pasingsingan menggeliat dengan lincahnya, dengan
sikunya ia melindungi dirinya.

Demikianlah kedua orang itu segera terlibat dalam perkelahian pula seperti yang lain-
lain. Mereka masing-masing mempunyai kekhususan yang sulit diketahui. Sekali-kali
mereka melontar kian-kemari, namun di saat lain mereka berbenturan dengan hebatnya.
Serangan Pasingsingan benar-benar seperti topan yang dahsyat, namun Ki Ageng Pandan
Alas tidak kurang dari angin ribut yang mengerikan.

KEDUA orang itu berjuang dengan segenap kekuatan dan tenaga, dengan segenap
kepandaian dan kemampuan. Ketika keringat mereka mulai mengalir membasahi
pakaian-pakaian mereka maka pertempuran itu menjadi kian sengit. Bahkan kemudian
yang tampak seakan-akan seperti gulungan asap yang berputar-putar dengan cepatnya,
seperti gulungan awan mendung dilangit. Sekali-kali terdengar benturan-benturan seperti
ledakan guntur menjelang datangnya prahara. Daerah pertempuran itupun menjadi kabur
oleh hamburan debu yang melingkar-lingkar menaburi kedua orang yang sedang berjuang
di antara hidup dan mati. Sedang gerak kedua bayangan di dalam lingkaran debu itu tak
dapat diamati lagi.

Di sayap kiri gelar Sapit Urang dari laskar gabungan antara Pamingit dan Banyubiru itu
pun terjadi pertempuran yang dahsyat. Laskar golongan hitam bertempur membabi buta.
Siapapun dan apapun yang ada di hadapannya pasti akan dihancurkannya. Namun mereka
terpaksa menelan ludah mereka, ketika mereka membentur laskar Banyubiru. Bantaran di
ujung sapit, Jaladri di tengah-tengah, dan Panjawi di pangkalnya, merupakan benteng-
benteng yang kokoh kuat, yang tak tergoyahkan oleh arus banjir dari orang-orang
golongan hitam itu.

Di antara mereka itu terdapatlah Sima Rodra yang sedang mengaum-ngaum dengan
kerasnya. Betapa ia mencurahkan dendam di dadanya kepada orang yang bernama
Mahesa Jenar itu. Orang yang telah membunuh menantunya serta membebaskan tawanan
anaknya di bukit Karang Tumaritis. Selain itu, ternyata bahwa Rara Wilis, yang dalam
pengertian Sima Rodra diselamatkan oleh Mahesa Jenar di Karang Tumaritis itulah yang
membunuh anak perempuannya. Karena itu ia ingin melepaskan beban yang selama ini
menghimpit jantungnya kepada Mahesa Jenar.

Tetapi sekali dadanya berguncang ketika ia mendengar Mahesa Jenar tertawa. Tidak
terlalu keras, namun nadanya hampir memecahkan dadanya.

"Gila...!" teriaknya.
"Apa yang kau tertawakan?"

"Bukan apa-apa," jawab Mahesa Jenar.

"Aku hanya menyatakan kegembiraan hatiku setelah lama kita tak bertemu."

"Bukan saatnya bergurau. Lebih baik kau menyebut nama nenek moyangmu selagi kau
sempat," geram harimau dari Lodaya itu.

"Kau ingin melunakkan hatiku? Jangan kau sangka bahwa hatiku sekecil hati kelinci dan
selunak hati kucing yang dihadapi daging. Aku adalah Sima Rodra dari Alas Lodaya,"
teriak harimau itu dengan garangnya.

"Aku sudah tahu dan aku sudah mengenalmu sejak lama. Sejak kau mencegat aku di
jalan silang ke Bergota dari Gunung Tidar bersama Kakang Gajah Sora. Kemudian di
Gedangan kita bertemu lagi," jawab Mahesa Jenar, tetapi ia lupa bahwa Kebo Kanigara
berperankan diri di Karang Tumaritis membebaskan Wilis. Karena itu Sima Rodra
berteriak, "Kau ingin mengurangi kesalahanmu. Di Karang Tumiritis kau telah
menghinakan kami. Kau berhasil membebaskan perempuan tawanan anakku, cucu
Pandan Alas. Bahkan karenanya akhirnya perempuan itu membunuh anakku."

Ketika Mahesa Jenar teringat peristiwa itu, kembali ia tertawa. Ia mencoba tertawa
seperti Kebo Kanigara tertawa. Katanya, "Inilah murid perguruan Pengging. Mahesa
Jenar."

Kembali dada Sima Rodra terguncang. Tertawa yang demikian itu pulalah yang
didengarnya pada saat itu di bukit Karang Tumaritis, ketika seorang yang menamakan
diri Mahesa Jenar tiba-tiba seperti terbang dan hinggap di atas batu karang sambil
berkata, "Inilah Mahesa Jenar, murid perguruan Pengging."

"Gila. Jangan kau berbangga atas kemenanganmu saat itu. Kau memang mempunyai
kelebihan dari kami dalam hal melarikan diri dan bersembunyi," bentak Sima Rodra.
"Tetapi marilah kita sekarang berhadapan. Tidak melarikan diri dan tidak bersembunyi."

"Kali ini aku tidak akan bersembunyi dan melarikan diri. Aku kini berdiri di antara
laskar yang sedang bertempur. Karena itu akupun harus bertempur seperti mereka.
Menang atau kalah, marilah kita serahkan kepada keputusan tertinggi. Sebab aku yakin,
kebenaran tak akan dapat ditindas oleh kejahatan," jawab Mahesa Jenar.

"Huh, pandangan hidup yang didasarkan pada keputusasaan. Bagiku menang atau kalah
tergantung kepada kita sendiri. Dan bahwa suatu ketika kebenaran akan lenyap oleh
kejahatan dan di atasnya akan aku bangun kebenaran yang baru menurut seleraku,"
bantah Sima Rodra.

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Sima Rodra akan membangun kebenaran di atas
bangkai-bangkai dan kejahatan. Benar-benar seorang yang tidak tanggung-tanggung.
Kebenaran baginya tidak lebih dari pemuasan nafsu sendiri.

Akhirnya ia menjawab, "Semakin banyak orang seperti kau di dunia ini, semakin
parahlah tata kehidupan manusia. Peradaban yang kau bina, seperti yang dilakukan oleh
anak menantumu di Gunung Baka, di kaki bukit Karang Tumaritis, dan barangkali di
seribu tempat lain, menunjukkan betapa kau telah menghilangkan batas antara manusia
dan binatang, antara manusia dan setan. Pemanjaan nafsu, pemutarbalikan tata
kesopanan, pemujaan pada kekejaman dengan mengorbankan gadis-gadis di atas batu-
batu pemujaan yang kau buat, dengan mengalirkan darahnya."

"Jangan berlagak seperti malaikat yang bersih suci," potong Sima Rodra. "Hidupku dan
hidupmu tidak akan lebih dari kisaran satu abad. Kenapa tidak kau nikmati hidupmu yang
pendek itu?"

TIBA-TIBA tubuh Mahesa Jenar bergetar karena tekanan perasaannya. Ia melihat orang
yang berdiri di hadapannya dengan baju kulit harimau hitam, seperti ia melihat campur
baur dari segala kejahatan dan nafsu. Karena itu ia bergumam seperti kepada diri sendiri,
”Aku harus menghentikannya sebelum ia menjadi berkembang.”

Sima Rodra tertawa. Keras sekali.

”Apa yang akan kau hentikan?”

”Untuk membunuh harimau, jangan ditunggu harimau itu menjadi besar,” sahut Mahesa
Jenar.

”Kau akan membunuh aku? Ha, kaupun telah mimpi untuk menjadi seorang pembunuh,”
kata Sima Rodra.

”Apa bedanya? Membunuh kau sama artinya dengan menegakkan kemanusiaan, karena
kau ingin memperkosa kemanusiaan itu. Dan karena sifat-sifatmulah maka aku menolak
adamu,” jawab Mahesa Jenar.

”Terlalu berbelit-belit,” jawab Sima Rodra. ”Yang aku ketahui, kalau kita berkelahi, aku
atau kau yang menjadi pembunuh.”

”Otakmu terlalu beku. Atau sama sekali diselimuti oleh noda-noda hitam dalam
hidupmu...?" Mahesa Jenar menyela.

”Persetan. Jangan gurui aku. Menyerahlah, aku akan membunuhmu dengan cepat,”
jawab Sima Rodra. ”Bagaimana kalau sebaliknya?” bantah Mahesa Jenar. ”Hem, kalau
begitu aku akan melukai wajahmu yang tampan, dan membiarkan kau mati perlahan-
lahan,” geram Sima Rodra dengan marahnya.

”Tak ada pilihan lain,” sahut Mahesa Jenar.


Sima Roda kemudian mengaum keras sekali. Beberapa orang di sekitarnya terkejut,
meskipun laskar dari golongan hitam sendiri. Hanya orang-orang dari Gunung Tidar
sajalah yang bertambah semangat di dalam dada mereka mendengar auman yang
mengerikan itu.

Dengan suatu loncatan yang buas, sebuas harimau lapar, Sima Rodra menyerang
langsung kepada Mahesa Jenar. Demikian cepatnya serangan itu, sehingga Mahesa Jenar
agak terkejut. Namun hanya sesaat. Sesaat kemudian ia seakan-akan menancapkan kedua
kaki dalam-dalam, menyiapkan diri menyambut serangan itu. Ia sengaja tidak
menghindar, tetapi ia ingin membentur tangan lawannya untuk menjajagi sampai di mana
kekuatan Sima Rodra yang pernah menggemparkan itu. Kalau hal itu terjadi beberapa
tahun lalu, maka Mahesa Jenar pasti akan terlempar dan terbanting mati, karena Sima
Rodra dengan marahnya telah mengerahkan kekuatannya.

Tetapi yang terjadi adalah berbeda, Mahesa Jenar telah menemukan kekuatan yang
tersembunyi di dalam tubuhnya, setelah ia mesu diri di Bukit Karang Tumaritis. Dengan
demikian maka yang terjadi adalah benturan yang dahsyat. Demikian dahsyat sehingga
seakan-akan terjadi benturan guntur di langit. Tubuh masing-masing tergetar dan
kemudian terdorong selangkah surut.

Sekali lagi Sima Rodra mengaum dahsyat. Meskipun ia tidak mengalami cidera, namun
betapa herannya melihat Mahesa Jenar masih tegak berdiri dihadapannya. Karena itu
sekali lagi ia menyerang dengan dahsyatnya.

Namun kali ini Mahesa Jenar telah menemukan nilai-nilai kekuatan lawannya, sehingga
ia dengan sempurna dapat menempatkan diri pada keadaan yang seharusnya.

Dengan tangkas Mahesa Jenar menghindarkan diri, dengan meloncat ke samping.


Namun harimau yang hampir gila itu benar-benar tangkas. Demikian kakinya menyentuh
tanah, kakinya yang lain diputar ke arah lambung lawannya. Sekali lagi Mahesa Jenar
terpaksa menarik tubuhnya condong kebelakang.

Tetapi sekali lagi harimau tua itu menyerangnya dengan tendangan ganda. Kali ini
Mahesa Jenar tidak dapat hanya menyondongkan dirinya. Ia pun terpaksa melompat
mundur. Tetapi dengan demikian ia menemukan kelemahan lawannya. Sekali lagi kaki
Sima Rodra mesih terjulur, Mahesa Jenar menangkapnya pada bagian bawah lututnya.
Namun Harimau Lodaya itupun tangkas pula. Ia tidak mau membiarkan hal itu terjadi.

Ketika tangan Mahesa Jenar menyentuh kakinya, segera ia melipatnya, sehingga dengan
demikian tangan Mahesa Jenar menjadi terjepit. Mahesa Jenar menggeram perlahan-
lahan, tetapi segera ia mendorong tubuh lawannya yang tegap besar itu dengan siku
tangannya yang lain di arah lambung.

Demikian kerasnya sehingga Sima Rodra dan Mahesa Jenar bersama-sama jatuh
terguling. Tetapi dengan demikian, Mahesa Jenar telah melepaskan jepitan lawannya,
bahkan ketika ia melihat Sima Rodra meloncat bangkit, Mahesa Jenar pun telah berdiri
pula. Maka segera mereka terlibat kembali dalam perkelahian. Masing-masing adalah
orang-orang perkasa, yang mempunyai kelebihan dari orang lain.

Sima Rodra dengan penuh nafsu kebuasan bertempur mati-matian. Sebab ia sadar bahwa
orang-orang seperti Mahesa Jenar adalah penghalang utamanya. Di pihak lain, Mahesa
Jenar pun bertempur dengan penuh kesadaran akan kewajibannya sebagai manusia yang
mengabdikan diri pada kemanusiaan.

Kegagalannya kali ini, lebih-lebih kegagalan laskar Pamingit dan Banyubiru berarti
runtuhnya martabat manusia, setidak-tidaknya di Pamingit dan Banyubiru. Dengan
demikian, ia bertekad untuk bertempur yang terakhir kalinya dengan Harimau Gila itu.
Biarlah ia terbunuh kalau ia tidak berhasil, namun kalau ia berhasil, maka telah
diletakkannya satu di antara berjuta-juta batu yang akan membentuk bangunan
kemanusiaan.

Pertempuran itu semakin lama semakin dahsyat. Sima Rodra dengan mengaum-aum
mengerikan, menyerang dengan buasnya. Tangannya kadang-kadang mengembang
seperti sayap, tetapi kemudian terjulur untuk menerkam lawannya seperti harimau. Jari-
jarinya yang kokoh dan kuat merupakan bahaya yang setiap saat dapat menembus daging
lawannya.

DALAM pertempuran yang hiruk pikuk itu, Sima Rodra tampak sebagai seekor harimau
hitam di antara beratus-ratus kelinci yang sedang berjejal-jejalan. Namun lawan yang
dihadapinya kini bukan kelinci-kelinci itu. Tetapi lawannya adalah seekor banteng yang
tangguh. Seekor Banteng yang dengan tenang dan yakin pada dirinya atas lambaran
kebenaran, berjuang menegakkan sendi-sendi kemanusiaan. Sehingga dengan demikian
maka pertempuran di antara mereka, adalah pertempuran yang akan diakhiri dengan
lenyapnya salah satu dari keduanya. Pertempuran yang melambangkan pertempuran yang
akan terjadi di sepanjang jaman. Kebenaran melawan kemungkaran dan kejahatan.
Pertempuran di antara mereka yang berjalan dijalan Allah, melawan mereka yang
melawan cinta Tuhan. Tetapi Tuhan Maha Pengampun. Karena itu, bagi siapa saja yang
bertobat serta menyebut nama-Nya dengan ikhlas serta penyerahan yang tulus, maka
pintu Rumah-Nya selalu terbuka. Sejalan dengan matahari yang semakin tinggi, semakin
seru pulalah pertempuran itu. Setiap senjata telah menjadi merah oleh darah. Darah
sesama manusia. Dan tanah telah menjadi merah pula oleh siraman darah yang merah
segar. Tetapi karena bau darah itulah maka mereka menjadi semakin buas. Mereka
tinggal memilih dua kemungkinan di dalam peperangan itu. Mati terbunuh atau terpaksa
membunuh. Tetapi mereka telah bertindak atas suatu keyakinan. Bagi golongan hitam,
membunuh adalah pekerjaan mereka untuk mendapatkan kepuasan nafsu dan
kemungkinan yang menimbulkan harapan. Kali ini mereka mengharap untuk mendapat
bagian dari tanah yang mereka perebutkan. Pamingit, dan lusa Banyubiru, serta segala
kekayaan di atasnya. Bahkan atas setiap laki-laki untuk diperintahnya dan berkuasa atas
setiap perempuan untuk diperlakukan dengan sekehendak hati mereka. Sedang masa
mendatang, mereka mendapat harapan yang lebih baik lagi apabila benar-benar mereka
dapat memecahkan kerajaan Demak. Siapa tahu mereka akan dapat pangkat
Tumenggung, dengan rumah yang besar-besar dan selusin isteri yang cantik-cantik.
Sebaliknya, laskar Banyubiru dan Pamingit berjuang atas keyakinan mereka pula. Mereka
terpaksa membunuh untuk menghentikan kebuasan manusia atas manusia.
Mempertahankan tanah mereka dan milik mereka. Mempertahankan karunia Tuhan untuk
mereka. Karena itulah maka, kedua belah pihak bertempur mati-matian. Siapa yang
lengah, dadanya akan tertembus senjata. Dan mataharipun seakan-akan menjadi suram
karena sinarnya yang ditakbiri oleh debu yang mengepul di udara seperti kabut.

Di antara deru senjata dan teriakan penuh nafsu, terdapatlah beberapa titik-titik
perkelahian yang paling dahsyat. Ki Ageng Sora Dipayana melawan Bugel Kaliki yang
berputar seperti angin pusaran.

Ki Ageng Pandan Alas melawan Pasingsingan seperti beradunya angin prahara yang
bertentangan arah.

Titis Anganten melawan Sura Sarunggi yang seolah-olah menjadi tenggelam dalam
kabut yang gelap.

Di bagian lain, Mahesa Jenar bertempur melawan Sima Rodra demikian dahsyatnya
seperti guntur dilangit yang saling sambar menyambar. Tetapi ada di antara mereka,
tokoh yang dahsyat dari golongan hitam itu yang masih berdiri saja di antara kedua laskar
yang bertempur. Hanya sekali-kali saja ia menggerakkan tangannya untuk melawan
serangan-serangan laskar Banyubiru, dan sekali-kali ia terpaksa menghindar kalau dua
tiga orang yang gagah berani menyerangnya bersama-sama. Namun tangannya benar-
benar seperti tangan hantu. Sekali ia berhasil merampas sebuah pedang, dan
menancapkan pedang itu dengan mudahnya di dada pemiliknya. Dengan tertawa
menyeringai ia berpaling sambil bergumam, ”Tikus yang sombong.” Kemudian ia
melangkah pergi di antara kacau-balaunya pertempuran, seperti berjalan di dalam
kesibukan pasar saja. Ia melihat betapa sahabat-sahabatnya bertempur mati-matian. Ia
melihat betapa Sima Rodra berjuang sekuat tenaga melawan Mahesa Jenar.

Orang itupun menjadi heran pula. Bagaimana mungkin Mahesa Jenar dapat
mengimbangi Sima Rodra yang ganas itu. Terhadap Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng
Pandan Alas dan Titis Anganten ia tidak perlu heran. Pertempuran diantara mereka dapat
berlangsung lama. Sehari, dua hari, bahkan tanpa batas, seperti kalau ia sendiri tanpa
lawan. Karena itu ia sedang berpikir apakah yang harus dilakukan. Membunuh sebanyak-
banyaknya, atau membantu salah seorang dari keempat sahabatnya. Ia harus yakin bahwa
kawan-kawannya itupun dapat membawa diri. Karena itu biarlah ia bekerja sendiri.
Tetapi membunuh laskar-laskar kecil yang berserak-serakan seperti tikus itupun tak akan
berarti.

Sebagai seorang tokoh yang ditakuti tidak saja di Nusa Kambangan, ia merasa terlalu
berharga untuk berperang melawan laskar-laskar Banyubiru yang tak berarti itu. Sekali-
kali ia memandang jauh ke sapit sebelah kanan. Terhadap muridnya Jaka Soka pun ia
tidak terlalu cemas. Seandainya Jaka Soka itu harus berhadapan dengan Lembu Sora
sekalipun. Karena itu tidak ada kerja lain baginya daripada membunuh. Bukankah di
dalam peperangan yang berjumlah besar, membunuh siapapun yang ada didekatnya
bukan berarti merendahkan diri. Pertempuran yang demikian adalah pertempuran yang
kacau. Setiap senjata dapat mengarah setiap dada lawan.

Maka akhirnya Nagapasa itupun menjadi puas terhadap pendiriannya. Daripada berdiri
saja di situ, memang lebih baik berbuat sesuatu yang dapat memperingan pekerjaan
laskar dari golongan hitam. Kemudian setelah ia mendapat ketetapan hati, mulailah ia
bergerak sekali sambar, kembali ia merampas sebuah tombak. Ia memutar tombak itu
sekali diudara kemudian dengan satu gerakan kemungkinan untuk menghindar. Demikian
cepat dan keras. Tetapi tiba-tiba Nagapasa menarik kembali tombak itu ketika tiba-tiba ia
mendengar seseorang menyapanya, ”Alangkah dahsyatnya Tuan.”

NAGAPASA menoleh. Ia melihat seorang bertubuh tegap kekar berdiri di sampingnya.


Orang itu belum pernah dikenalnya. Karena itu ia mengacuhkannya. Maka kembali ia
mencari orang yang hampir terbelah dadanya oleh tombaknya sendiri. Tetapi orang itu
sudah lari menghilang di antara hiruk pikuk pertempuran, mencari lawan yang tak
bertangan hantu.

Nagapasa kecewa. Ia menggeram dan sekali lagi menoleh kepada orang yang
menyapanya. Tiba-tiba ia menjadi muak melihat wajahnya yang tenang. Orang itu pasti
salah seorang dari laskar Banyubiru. Tetapi tiba-tiba Nagapasa kehilangan nafsu untuk
membunuh orang itu. ”Mungkin ia belum mengenal aku. Biarlah aku bermain-main
dahulu. Biarlah ia menjadi ngeri dan baru kemudian aku akan membunuhnya setelah ia
melihat bagaimanakah caranya aku membunuh,” pikirnya.

Mendapat pikiran itu, segera Nagapasa mendesak maju ke dalam laskar Banyubiru. Ia
akan berbuat hal-hal yang aneh untuk menakut-nakuti orang yang menyapanya dengan
tenang. Tetapi orang itu mengikutinya dalam jarak yang dekat sekali. Seakan-akan ia
melekat pada jarak yang ditetapkan. Namun Nagapasa tidak memperdulikannya, bahkan
lebih baiklah bila orang itu dapat melihat dengan seksama bagaimana ia dapat
mematahkan leher seorang dengan tangannya, mencukil matanya dengan jari-jarinya, dan
memecahkan kepala itu dengan pukulan tangannya. Ketika seseorang bertempur di
dekatnya, iapun segera meloncat menangkap orang Banyubiru. Tangannya mencekik
leher, sedang tangannya yang lain terayun ke dahi orang itu. Benar-benar suatu
pemandangan yang mengerikan. Tetapi kembali Nagapasa mengurungkan niatnya, ketika
ia mendengar orang yang mengikutinya itu tertawa. Meskipun suaranya lunak sekali
namun nadanya benar-benar tak menyenangkan.

Kemudian terdengar ia berkata, ”Tidak tanggung-tanggung. Suatu pameran kekuatan


yang luar biasa.”

Nagapasa memandang orang itu dengan seksama, sementara tangannya masih mencekik
leher. Ia mengamat-amati orang itu dengan tanpa berkedip. Benar-benar orang itu belum
pernah dikenalnya. Tetapi menilik sikapnya, orang itu pasti bukan orang kebanyakan atau
salah seorang dari laskar biasa dari Banyubiru.
”He, kau siapa?” tanya Nagapasa acuh tak acuh.

Orang itu mengerutkan keningnya. Jawabnya, ”Laskar Banyubiru.”

”Aku sudah tahu,” bentak Nagapasa marah.

”Namamu dan jabatanmu?”

”Kebo Kanigara,” jawabnya. ”Laskar biasa.” Nagapasa menggeram.

Nama itu benar-benar belum pernah dikenalnya. Tetapi sikap orang itu sangat
menyakitkan hatinya. ”Sudahkah kau mengenal aku?” tanya Nagapasa.

”Ya, aku kenal,” jawab Kanigara. ”Bukankah Tuan yang menamakan diri Nagapasa?”

Nagapasa menjadi semakin jengkel. Ternyata orang itu telah mengenalnya, tetapi kenapa
ia sedemikian berani menghadapinya.

”Bagus,” kata Nagapasa lebih lanjut. ”Kalau demikian kau kenal juga dari mana
Nagapasa datang?” ”Ya,” jawab Kanigara pula. ”Nagapasa berasal dari Nusakambangan
dengan muridnya yang bernama Jaka Soka. Nagapasa adalah seorang yang sakti, sejajar
kesaktiannya dengan Pasingsingan, Sima Rodra, Sura Sarunggi dan Bugel Kaliki.”

Nagapasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi semakin heran. Orang yang


bernama Kebo Kanigara itu mengenalnya dengan lengkap, namun ia masih berani
menyapa seenaknya saja. Apakah orang ini benar-benar ingin bunuh diri?

”Kalau demikian...” Nagapasa berkata pula, ”Apa maksudmu mengikuti aku?”

”He...” Kanigara berpura-pura terkejut, meskipun ia tahu apa yang tersirat di dalam
pikiran Nagapasa itu, ”Bukankah kita berada di dalam peperangan. Dan bukankah setiap
kita dari Banyubiru dan dari golongan hitam dapat menjadi lawan?”

Nagapasa menjadi semakin marah mendengar jawaban itu, katanya, ”Kau akan melawan
aku?”

”Apa aku harus memilih lawan” sahut Kanigara. ”Siapa yang ada di hadapanku adalah
lawanku.”

”Kau sudah menjadi gila,” teriak Nagapasa. ”Lihat betapa orang ini hampir mati karena
tanganku. Aku dapat memperlakukan berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus orang seperti
ini.”

”Ya, aku percaya,” jawab Kanigara.

”Kau ingin aku berbuat demikian terhadapmu?” bentak Nagapasa semakin keras.
”Tidak,” jawab Kanigara. Kejengkelan Nagapasa menjadi semakin memuncak.

”Lalu apa maumu?” Ia berteriak lebih keras lagi.

”Kita berperang. Mauku bertempur melawan Tuan,” sahut Kanigara. ”Orang ini agaknya
orang gila,” pikir Nagapasa. Dengan demikian ia kehilangan nafsu untuk berbuat sesuatu.
Melawan orang gila baginya hanya akan membuang-buang waktu saja.(Bersambung)-m

KEMBALI Nagapasa berpaling kepada orang yang dicekiknya. Kepada orang itu ia akan
menumpahkan kejengkelannya. Dengan menggeram ia berkata, ”Nasibmu tak begitu
baik, tikus yang malang. Berdoalah sebelum kepalamu aku pecahkan.” Kemudian
terayunlah kembali tangan Hantu Laut dari Nusakambangan itu. Sedang orang yang
dicekiknya telah kehilangan harapan untuk dapat hidup. Ia kenal siapakah Nagapasa itu.
Dan menyesallah bahwa ia kurang berhati-hati, bertempur di dekat orang bertangan maut
itu. Namun akhirnya ia memejamkan matanya pasrah diri. Dalam perjuangan maut adalah
tantangan. Kalau maut itu datang, biarlah ia menelannya. Namun ia yakin bahwa ia telah
berjuang menegakkan kebenaran. Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal yang tak terduga-
duga. Ketika tangan Nagapasa hampir saja memecahkan kepala orang yang telah pasrah
diri itu, terjadilah suatu benturan yang keras. Tangan Nagapasa terasa bergetar hebat. Ia
merasa bahwa tangannya telah mengenai sesuatu, tetapi sama sekali bukan kepala orang
yang dicekiknya. Dan kepala itu sama sekali tidak dipecahkannya, malahan tangannya
sendiri merasa tergetar.

Belum lagi ia sadar akan peristiwa itu, kembali terasa sebuah pukulan yang dahsyat
mengenai tangannya yang lain, yang sedang mencekik orang yang telah berputus asa itu,
demikian kerasnya sehingga tanpa disengaja tangannya terlepas, dan orang yang
dicekiknya itu terpental beberapa langkah dan jatuh berguling-guling.

Nagapasa melompat selangkah mundur. Ia telah berpuluh tahun hidup dalam kancah
perkelahian, pertempuran dan pembunuhan. Karena itu ia telah memiliki pengalaman
yang tak terkira banyaknya. Sehingga dengan demikian segera ia sadar, bahwa sesuatu
telah terjadi, sesuatu yang berada di luar perhitungan. Ketika ia sadar memandang
berkeliling, yang dilihatnya hanyalah orang yang bernama Kebo Kanigara itu, selain
beberapa orang yang sedang bertempur melawan lawan masing-masing. Dengan
demikian ia dapat mengambil kesimpulan, bahwa Kebo Kanigara lah orangnya, yang
telah mencoba membentur tangannya. Nagapasa menjadi marah sekali.

Wajahnya tiba-tiba menjadi merah, semerah darah. Meskipun bibirnya terkatup rapat,
namun terdengar betapa giginya gemeretak. Dengan tangan yang bergetar ia menunjuk
wajah Kebo Kanigara sambil berkata dengan gemetar, ”Kau...?”

Kebo Kanigara masih setenang tadi. Sambil mengangguk ia menjawab singkat, sesingkat
pertanyaannya, ”Ya.”

Nagapasa sadar bahwa orang yang bernama Kebo Kanigara itu bukan orang gila seperti
yang disangkanya. Tetapi Kebo Kanigara benar-benar orang perkasa, yang telah
menempatkan diri sebagai lawannya dalam pertempuran itu dengan penuh kesadaran.
Dengan demikian darahnya kini telah benar-benar mendidih. Karena itu ia sudah tidak
mampu lagi untuk bertanya-tanya.

Dengan memekik tinggi ia meluncur seperti ular yang mematuk lawannya, dengan
tangan terjulur ke arah wajah Kebo Kanigara. Tetapi Kebo Kanigara bukan anak-anak
yang terkejut melihat ular sawah yang melingkar di pematang. Ia cukup dewasa untuk
menghadapi setiap kemungkinan. Karena itu, ketika ia mendapat serangan dari Nagapasa,
sama sekali tidak menjadi gugup. Dengan tenangnya Kebo Kanigara membuat
perhitungan yang tepat. Ketika serangan Nagapasa itu hampir menyentuhnya, tiba-tiba ia
menjatuhkan dirinya menelentang. Kedua kakinya segera menyambar perut lawannya,
dan dengan lemparan yang keras, Nagapasa terpelanting keudara. Tetapi Nagapasa pun
cukup mempunyai bekal untuk bertempur melawan Kebo Kanigara. Ia mula-mula
terkejut mengalami peristiwa itu, namun segera ia menguasai dirinya kembali. Dengan
sebuah putaran ke udara, ia telah mencapai keseimbangannya. Karena itu Nagapasa dapat
dengan baiknya menjatuhkan diri di atas kedua kakinya.

Tetapi ketika ia berhasrat untuk meloncat menyerang lawannya, Kebo Kanigara pun
telah siap pula tegak seperti bukit karang yang tak tergoyahkan oleh badai yang
betapapun dahsyatnya. Sesaat kemudian, kembali Nagapasa menyerang dengan kerasnya
dibarengi dengan sebuah teriakan tinggi. Dan kembali Kebo Kanigara melawannya
dengan tenang, namun penuh gairah. Sebab Kebo Kanigara pun yakin, bahwa orang-
orang seperti Nagapasa adalah sumber dari segala macam bencana bagi umat manusia.
Maka karena itulah pertempuran antara kedua orang perkasa itu segara menjadi semakin
dahsyat.

Nagapasa bertempur seperti seekor naga. Tubuhnya seolah-olah menjadi lemas dan dapat
bergerak ke segenap arah. Tulang-tulangnya seakan-akan menjadi selemas daun. Begitu
baiknya Nagapasa menguasai tubuhnya, sehingga setiap bagiannya dapat berubah
menjadi senjata yang berbahaya. Jari-jarinya, sikunya, kepalanya, lutut dan jari kakinya,
tumitnya dan segala bagian yang lain. Ia dapat meluncur dengan cepatnya, melingkar-
lingkar seperti pusaran air yang menghisap segenap benda yang tersentuh jari-jari
lingkarannya, menelannya dan menghancur-lumatkannya. Demikian dahsyatnya
Nagapasa bertempur sehingga benar-benar mirip seekor naga raksasa yang bertempur
didalam lautan yang digelorakan oleh ombak yang dahsyat.

Tetapi lawannya adalah Kebo Kanigara. Seorang yang telah memiliki ilmu yang
sempurna. Benarlah kata orang, yang bahkan almarhum Ki Ageng Pengging Sepuh
sendiri mengakui, bahwa sebenarnya Kebo Kanigara telah melampaui kemampuannya.

Kebo Kanigara telah menemukan cara untuk menempa diri dengan dahsyatnya. Ia hanya
memerlukan waktu tidak lebih dari semperempat waktu yang diperlukan oleh Ki Ageng
Pengging Sepuh dengan caranya. Karena itulah maka Kebo Kanigara benar-benar
memiliki sifat yang luar biasa. Ia dapat bertempur selincah anak kijang di padang rumput,
namun ia dapat garang seperti singa. Di saat-saat yang lain Kebo Kanigara bertempur

Anda mungkin juga menyukai