Anda di halaman 1dari 25

kata-kata Wanamerta, mereka merasa bahwa orang-orang Banyubiru tidak akan berani

bertindak terhadap mereka. Sebab dengan demikian pasti akan terjadi bencana bagi
mereka itu.

Tetapi meskipun orang-orang Banyubiru itu tidak bertindak apa-apa terhadap mereka,
namun akan sama sajalah akibatnya. Sebab Sendang Papat yang mata gelap itu,
tendangannya jauh lebih menakutkan daripada seandainya orang-orang Banyubiru itu
menyerang mereka beramai-ramai.

Sekali-sekali mereka mencoba juga untuk mencari jalan melarikan diri, tetapi orang-
orang yang berdiri di sekitar tempat itu sudah sedemikian tepatnya. Karena itu tidak ada
pilihan lain, bertempur mati-matian.

Demikianlah perkelahian itu berlangsung beberapa lama. Sendang Papat yang mata
gelap terpengaruh oleh kemarahannya, melawan lima orang yang mata gelap karena
putus asa. Sebab setelah sedemikian lama belum juga Sontani datang membantu, mereka
tidak dapat menghadapinya lagi. Orang-orang yang ada di sekitar perkelahian itu,
semakin lama menjadi semakin terpaku oleh perasaan kagum atas tandang Sendang Papat
yang hanya seorang diri melawan lima orang yang bersenjata. Bahkan Wanamerta sendiri
pun heran melihat Sendang Papat bertempur. Seolah-olah kekuatan serta kelincahannya
bertambah-tambah.

Bahkan seolah-olah ia bergerak tidak atas kehendak dirinya. Demikianlah seorang yang
sedang meluap-luap. Tanpa sesadarnya sendiri segala ilmu yang tersimpan tercurah
seperti hujan yang melimpah. Apa yang terjadi kemudian adalah sangat mengejutkan.
Tiba-tiba Sendang Papat berhasil merampas sebuah belati dari salah seorang lawannya,
dan sebelum seorang sempat melihatnya, terdengarlah sebuah teriakan nyaring, dan salah
seorang dari lawan-lawannya itu rubuh di tanah. Darah yang merah menyembur dari
dadanya.

”Sendang Papat...!” teriak Wanamerta cemas. Tetapi Sendang Papat sama sekali tidak
mendengarnya. Bahkan sesaat kemudian seorang lagi mengaduh keras dan menggelepar
tak berdaya. Tiga orang yang lain, betapapun mereka tak mengenal takut pada mulanya,
namun setelah mereka melihat kenyataan itu, hati mereka pun berdesir. Sekali lagi
mereka mencoba melihat keadaan sekeliling mereka, dan tiba-tiba mereka berteriak
sambil meloncat ke arah orang-orang yang sedang menyaksikan perkelahian itu.

Beberapa orang terkejut dan bergerak mundur. Dengan serta-merta, mereka mendesak
menyusup ke dalam kepepatan orang-orang yang merubungnya. Tetapi agaknya salah
seorang dari mereka mengalami nasib yang malang. Sendang Papat sempat menangkap
lehernya dan tanpa ampun lagi, belati kecilnya menyusup diantara tulang-tulang iganya.
Terdengar sekali ia memekik tinggi, kemudian terdiam untuk selama-lamanya. Tiga
orang telah menggeletak berlumuran darah yang mengalir dari mulutnya. Namun
agaknya Sendang Papat sama sekali belum puas.

Dengan marahnya ia berteriak nyaring, ”Tangkap iblis-iblis itu.”


Orang-orang yang mengaguminya, tiba-tiba menjadi cemas pula melihat wajah anak
muda yang menjadi liar itu. Mereka hanya dapat menyibak ketika Sendang Papat
meloncat mengejar dua orang lagi yang mencoba menyelamatkan diri. Mereka, yang
berdiri memagar lingkaran pertempuran itu, malahan terpaku diam, dan membiarkan
kedua orang lawan Sendang Papat itu menyusup diantara mereka, dan membuat keributan
bagian belakang lingkaran itu. Untunglah bahwa malam itu cukup gelap.

SINAR obor yang menyala agak jauh dari tempat itu, sama sekali tertutup oleh
bayangan-bayangan orang-orang yang bergerak-gerak di sekitar tempat itu. Dengan
demikian maka Sendang Papat mendapat banyak kesulitan untuk menemukan kedua
orang yang melarikan diri menyusup diantara sekian banyak orang yang kemudian dari
ujung lapangan mereka meloncat ke dalam gerumbul-gerumbul di tepi tanah lapang itu.

Ketika Sendang Papat tidak berhasil menemukan kedua orang lawannya, menjadi
semakin marah. Seperti orang yang hilang ingatan ia berteriak, ”Hai, orang-orang
Banyubiru... di mana kedua orang gila itu? Kenapa kalian hanya diam menonton seperti
menonton tayub. He, di mana...? di mana...?”

Tak seorangpun menjawab. Sendang Papat dengan liar memandang ke segenap arah.
Namun kedua orang itu tak dapat diketemukan.

Tiba-tiba mata Sendang Papat menyangkut pada seperangkat gamelan, obor-obor yang
menyala-nyala, beberapa dingklik dasaran tuak dan minum-minuman semacamnya, air
tape yang dikentalkan, badhek dan sebagainya.

Hatinya yang marah itupun menjadi semakin menyala seperti obor-obor itu dibongkok
bersama-sama. Gamelan yang seperangkat itupun merupakan salah satu sumber
kemunduran akhlak di Banyubiru, merupakan salah satu sebab rakyat Banyubiru
kehilangan gairah pada perjuangannya.

Sendang Papat adalah seorang penari yang mencintai gamelan seperti ia menyayangi
pakaian-pakaiannya.

Tetapi gamelan yang seperangkat ini, yang berada di tanah lapang untuk mengiring
tayub dan mabuk-mabukan, adalah gamelan yang mengkhianati kemurnian seni, serta
menerapkan seni dalam perjuangan yang tak terkendali.

Tiba-tiba Sendang Papat meloncat sambil berteriak, ”He, orang-orang Banyubiru,


adakah kalian masih akan menyelenggarakan tari-tarian gila seperti malam-malam yang
pernah kau lalui dengan gila-gilaan?”

Tak seorangpun yang menjawab.

”Dengar...!” teriak Sendang Papat, ”Aku akan membakar gamelan yang telah
menghantarkan kalian pada keadaan yang cemar ini. Kalau kalian keberatan, lawanlah
aku. Tetapi kalau kalian sependapat, ikutlah aku.”

Juga tak seorangpun menjawabnya. Karena itu tiba-tiba dengan sigapnya Sendang Papat
berlari ke arah gamelan yang dibencinya itu. Dengan tangkasnya pula tangannya
menyambar sebuah obor di tangan kiri dan satu obor lagi di tangan kanan.
Dilemparkannya kedua obor itu ke tengah-tengah jajaran gamelan itu. Tidak hanya dua
obor, tetapi tiga, empat dan lampu-lampu minyak di dingklik-dingklik itu disepak-
sepaknya.

Bahkan kemudian orang-orang yang melihat perbuatannya itu menjadi terpengaruh pula.
Dengan serta merekapun tiba-tiba sambil berteriak-teriak mencabut segala obor yang
berada di tanah lapang itu dan dilemparkan bersama-sama ke arah seperangkat gamelan
itu.

”Bakar saja, bakar saja...!” teriak mereka bersama-sama.

Obor-obor itupun kemudian menyala berkobar-kobar. Minyak yang berada di dalam


bumbung pun kemudian tumpah ruah dan membasahi gamelan-gamelan itu. Karena
itulah maka sesaat kemudian, apipun menyala-nyala dengan garangnya, seolah-olah
hendak menyentuh langit. Lidah api yang dihembus angin perlahan-lahan, bergoyang-
goyang seperti penari-penari yang menari-nari dengan riangnya di atas gamelan yang
sedikit demi sedikit hangus dimakannya. Tanah lapang itu kemudian menjadi terang
benderang. Beberapa orang berusaha menyelamatkan dagangan-dagangan mereka. Tuak,
minuman-minuman biasa, makanan dan apa saja diatas dasaran mereka. Tetapi api
mengamuk demikian hebatnya. Dingklik-dingklik, warung-warung kacang itupun dalam
sekejap telah lenyap dalam pelukan penari maut yang menari-nari dengan iringan lagu
derak-berderaknya gamelan dan bambu-bambu yang terbakar.

Orang-orang Banyubiru itu seperti kelompok orang-orang yang kehilangan akal dan
kesadaran. Mereka menghancurkan apa saja yang dapat mereka pegang di tanah lapang
itu.

Kembali Wanamerta menekan dadanya. Keadaan berkembang sedemikian cepatnya.


Tetapi ia tidak menyalahkan Sendang Papat. Sebab telah jatuh korban di pihaknya,
karena kelicikan lawannya. Yang dipikirkan kemudian, bagaimanakah tanggapan Mahesa
Jenar atas kejadian ini. Kejadian yang terang tidak dikehendakinya.

Tetapi kalau Mahesa Jenar mengalami sendiri peristiwa-peristiwa ini, maka iapun akan
dapat mengerti.

Api semakin lama semakin tinggi menggapai-gapai di udara. Asap yang hitam
membubung tinggi ke langit. Melihat api serta asap itu, Wanamerta dapat
memperhitungkan keadaan. Mau tidak mau, cahaya merah yang mewarnai kehitaman
malam itu pasti akan dapat dilihat oleh orang-orang Lembu Sora.

Karena itulah maka mereka pasti akan datang. Dan dengan demikian keadaan akan
bertambah buruk.

Karena itu selagi,masih ada kesempatan

Wanamerta ingin mencoba menghindarkan orang-orang Banyubiru dari bentrokan


bentrokan yang lebih besar. Dengan demikian ia menyusup diantara orang banyak yang
seperti anak anak bermain api mendekati Sendang Papat.Ketika ia sudah berada
dibelakang anak muda itu ia menggapitnya Sendang Papat menoleh kearahnya. Matanya
masih merah diwarnai kemarahan yang meluap luap. Wanamerta beragu sejenak, tetapi
akhirnya ia berkata;" Sendang, hentikan permainan ini." Sendang Papat memandang
wajah Wanamerta dengan kecewa, bantahnya :" Aku harus membunuh semua orang yang
telah bersetuju untuk membunuh adikku."

"Baiklah Sendang, aku akan membantumu. Tetapi tidak sekarang dan tidak dalam
kesempatan ini." jawab Wanamerta lunak. "Kenapa aku dapat melakukannya? mereka
sudah mulai sekarang." bantah Sendang Papat. "Bukan sekarang Sendang, bahkan telah
lama. Dan selama ini kami masih mencari cari jalan untuk menyelesaikan masalah kita
dengan orang orang yang telah keblinger itu,"Wanamerta mencoba memberikan
penjelasan.

"Aku tidak sabar lagi. Adikku telah terbunuh, dan masih adakah orang yang akan
berusaha menyalahkan aku?" sahut Sendang Papat.

"Tidak Sendang, tidak. Kau tidak bersalah. Kau berusaha membela adikmu, yang hanya
merupakan salah seorang dari mereka yang menjadi korban peristiwa peristiwa semacam
ini. Tetapi ketahuilah bagaimana sekiranya Lembu Sora datang ke tanah lapang ini?,"
bertanya Wanamerta.

"Bagaimanakah kalau terjadi bentrokan antara orang banyu Biru dengan pasukan Lembu
Sora?."

"Aku akan berdiri paling depan. Akan aku bunuh mereka semua, atau aku yang
terbunuh," jawab Sendang Papat lantang.

Wanamerta menjadi kebingungan. Meskipun apabila Lembu Sora itu benar benar datang,
ia tidak akan mengingkari tanggung jawab. Sebab ialah orang tertua dari rombongannya.
Sebelum Wanamerta dapat menguasai perasaan Sendang Papat yang meluap luap itu.
Tiba-tiba terdengar dari kejauhan derap kaki kuda. Dada Wanamertapun berdesir. Itulah
pertanda bencana akan datang. "Sendang jangan biarkan korban menjadi semakin
banyak," berbisik Wanamerta. Tetapi wajah Sendang menjadi terang. Tampaknya ia
menjadi gembira sekali, seperti kanak kanak yang mendapat mainan. Sesekali ia
meloncat dengan lincahnya. Untuk kemudian menghambur menyongsong derap kuda
yang semakin lama semakin dekat.

Beberapa orang yang yang melihatnya ikut berlari-lari dibelakangnya. Merekapun tiba
tiba menjadi gembira pula. Dari dalam gelap, dibalik tikungan jalan, muncullah beberapa
orang berkuda. Mereka adalah orang Lembu Sora dari Pamingit. Wajah wajah mereka
tampak betapa garangnya. Cahaya api yang kemerahan itu membuat kesan yang seram
pada rombongan berkuda itu. Pemimpin rombongan itu segera melihat api yang menyala-
nyala. Merekapun kemudian melihat orang orang yang seolah olah mengamuk. Segera
kemarahan menjalar didada mereka. Apalagi ketika mereka melihat beberapa orang
menyongsong kedatangan mereka dengan senjata pemukul, bambu dan kayu dan apasaja
yang mereka ketemukan.

Pemimpin laskar itu segera memberikan perintah, dan bertebaranlah orang orang
berkuda itu ke segenap penjuru. Mereka memacu kuda mereka tanpa memperhitungkan
banyak orang dilapangan itu.

Beberapa orang terdorong jatuh dan bahkan ada diantaranya yang terlanggar dan
terbanting di tanah.

Beberapa orang berteriak teriak mengancam dan mengumpat umpat. Sendang Papat
menjadi kecewa ketika rombongan itu terpencar pencar seperti orang kesurupan dan
menginjak injak yang ada di jalannya.

Melihat sikap itu Sendang Papat menjadi semakin marah.Bahkan Wanamertapun


menjadi marah pula.

Ia tidak pernah membayangkan, demikian orang Pamingit memperlakukan orang


Banyubiru itu dianggapnya sapi gembalaan, yang dapat digiringnya dengan pecut dan
tongkat pemukul.Tetapi bagaimanapun kepalanya msdih tetap dingin. Berbeda dengan
Sendang Papat yang diikuti segenap orang yang berada di tanah lapang itu. Merekapun
segera memberikan perlawanan. Orang banyak itupun mengamuk sejadi-jadinya. Tetapi
apa yang dapat mereka lakukan tidak banyak. Mereka adalah orang yang tidak begitu
banyak mendapat didikan keprajuritan. Dengan demikian perlawanan merekapun tidak
banyak berarti.

Hanya Sendang Papatlah yang mampu menghadapi bahaya yang mengancam dirinya.
Ketika seekor kuda dengan kencangnya berlari menerjangnya, dengan segala kekuatan ia
mendesak orang disekitarnya untuk menghindar. Namun demikian kuda itu lewat
disampingnya demikian ia meloncat keatas punggungnya. Sekali gerak, tangannya telah
membenamkan kerisnya kepunggung orang itu yang kemudian terbanting jatuh. Dengan
kuda itulah Sendang Papat melawan orang Pamingit. Tetapi Sendang Papat seorang diri
itupun tak banyak yang dapat dilakukan.

Wanamerta kemudian tidak mengingkari tanggung jawabnya. ia berusaha untuk


mengurangi tekanan orang Pamingit itu. Namun akhirnya satu demi satu jatuhlah korban.
Sedang keributan di tanah lapang itupun semakin menjadi jadi pula. Akhirnya
Wanamerta menganggap bahwa bentrokan itu harus segera diakhiri.

Ia tidak mau melihat orang kecil menjadi korban. Karena itu segera Wanamerta
berteriak, "Hindarkan diri, hei orang Banyubiru. Hindarkan diri kalian." Sekali dua kali
suara Wanamerta itu tenggelam saja dalam gemuruhnya teriakan rakyat yang marah serta
teriakan orang Pamingit yang memaki maki. Tetapi ia tidak putus asa. Diulanginya lagi
kata katanya sekali dua kali. Kemudian terdengar ia berteriak keras; "Hei orang Banyu
Biru yang setia. Jangan terlalu bodoh melawan orang berkuda itu. Tinggalkan mereka.
Hindarkan diri kalian dari injakan kuda-kuda itu."

Beberapa orang mendengar teriakan Wanamerta, mereka mulai berfikir. Apakah mereka
akan dapat melawan orang berkuda itu. Sedangkan dihadapan mereka korban jatuh
bertambah lagi. Apalgi orang Pamingit yang juga menjadi gila itu menghunus pedang
mereka. Meskipun demikian Sendang Papat bertempur seperti burung Sikatan. Ia
menyambar dengan lincahnya diatas kudanya. Ketika Wanamerta berteriak sekali lagi,
suaranya mulai dapat perhatian. meskipun beberapa orang yang meluap luap
perasaannya, seolah olah tidak akan meninggalkan tanah lapang itu meskipun seandainya
mereka harus terbunuh, tetapi terdengar Wanamerta berkata: "He, hindarkan diri kalian.
Jangan mati tanpa arti. Tenaga kalian masih sangat diperlukan oleh tanah kelahiran ini.
Tetapi nanti dalam kesempatan yang lebih baik, dimana kalian membawa senjata di
tangan kalian."

Demikianlah, kemudian orang Banyubiru itu sadar akan keadaan yang tidak berimbang.
Karena itulah mereka mengikuti nasehat Wanamerta yang selalu diulang ulang. Beberapa
orang meloncat dan berlari meninggalkan lapangan itu. Kuda orang Pamingit itupun
mejadi liar pula. Mereka berlari lari mengelilingi lapangan seperti serigala lapar. Diatas
punggung mereka itupun duduk orang gila yang liar seperti beruang alasan.

Orang berada dilapangan semakin berkurang jua. Satu satu mereka mencoba
menghindarekan diri mereka dengan janji didalam dada apabila datang saatnya maka
akan mereka serahkan jiwa raga mereka sebagai tebusan atas kekhilafan mereka selama
ini. Tetapi kali ini, mereka tidak akan mati tanpa arti.

Beberapa orangberkuda mencoba mengejar mereka namun mereka itupun segera


meloncati pagar batu dan menyusup pagar bambu, tenggelam dalam gerumbul yang
gelap. Sendang Papat masih saja bertempur terus. Ia sama sekali tidak memperhitungkan
lagi keadaan yang dihadapinya. ia tidak mau melihat kenyataan bahwa akhirnya ia harus
bertempur seorang diri. Demikianlah kemudian tiga orang berkuda bersama-sama
menyerangnya. Sendang Papat memang tangkas. Tetapi ia tidak dapat melawan ketiga-
tiganya sekaligus. Ia mencoba untuk memutar kudanya, menghindar kesamping. tetapi
kuda lawannya itu akan melanggarnya. Disusul dengan yang seekor lagi dari arah lain.
Sendang Papat segera menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu terhenti. Seekor kuda
lawannya, berlari terus kedepan, tetapi seekor lagi benar benar membenturnya.

Tekanan itu ternyata terlalu berat bagi Sendang Papat sehingga iapun kemudian
terlempar dari punggung kudanya bersama sama dengan penunggang kuda yang
membenturnya. Keduanya jatuh bergulingan dan berusaha bangkit kembali. Demikian
mereka berdiri, demikian mereka bertempur kembali. Tetapi dalam pada itu, kawan
kawannyapun telah siap pula untuk membantu. Wanamerta yang masih berdiri di tanah
lapang melihat kesulitan yang bakal terjadi atas Sendang Papat. Ia tidak mau
mengorbankannya. Adiknya telah terluka berat sehingga ia harus berusaha supaya
kakaknya dapat diselamatkan. tetapi lawan terlalu banyak.

Untuk sesaat Wanamerta berbimbang hati. Ia menyesal bahwa Sendang Papat telah
kehilangan kejernihan pikirnya sehingga seolah olah ia akan membunuh diri. Tetapi ia
tidak mempunyai banyak waktu. Bagaimanapun yang terjadi ia harus membantu anak itu.
Karena itulah dengan secepat ia dapat, meloncatlah orang tua itu kearah Sendang Papat,
untuk membantunya. Ketika seekor kuda menyambarnya, Sendang Papat masih sempat
mengelakkan dirinya bahkan ia masih dapat menyerang lawannya, yang berdiri diatas
tanah. Dengan demikian, Wanamerta masih dapat menyapanya sebelum ia digilas oleh
kaki kuda orang Pamingit. Yang mula mula diucapkan Wanamerta adalah "Sendang,"
suaranya perlahan sekali.

"Adikmu mencarimu"

"He," Sendang Papat terkejut "Prapat?"

"Ya," jawab Wanamerta. Sementara itu ia harus turut melawan lawan Sendang Papat.
Sementara itu seekor kuda sekali lagi menyambar mereka. Dengan ikat kepala yang
diuraikan, Wanamerta berhasil menakuti kuda itu, sehingga kuda itu meronta dan
melonjak tinggi. Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh sendang Papat. Dengan sigapnya
ia meloncat, dan sekali lagi kerisnya membenam di tubuh orang itu.

"Naiklah kiyai," teriaknya. Tetapi Wanamerta tidak sempat naik. Orang yang semula
berkelahi melawan Sendang papat menyerangnya. Ketika sebuah pedang menyambar
lehernya, Wanamerta berjongkok merendahkan dirinya. Kemudian dengan kakinyha ia
menghantam lambung orang itu. Demikian kerasnya sehingga orang itu terlempar.
Malanglah baginya, ketika saat itu dua ekor kuda bersama sama berlari mendekati titik
perkelahian. Kedua orang itu sudah siap untuk menusuk tubuh Wanamerta dari dua arah.

TIBA-TIBA seseorang terlempar ke depan mereka. Terdengarlah jerit ngeri. Tubuh


itupun dengan dahsyatnya terinjak oleh kaki-kaki kuda yang sedang berlari kencang.
Wanamerta hanya melihat peristiwa itu sebentar saja. Iapun segera berlari, meloncat ke
atas punggung kuda, yang semula dipakai oleh Sendang Papat. Kuda itu, yang masih
berdiri di tengah lapangan, menjadi terkejut dan berlari melingkar-lingkar. Untunglah
Wanamerta segera dapat menguasainya.

Dalam pada itu Sendang Papat sudah bimbang. Kalau semula ia sudah berketetapan hati
untuk mati dengan membawa bela sebanyak-banyaknya, kini ia terpaksa berpikir
kembali. "Adakah Parapat masih hidup?" pikirnya.

Tiba-tiba Sendang Papat ingin mendapat penjelasan tentang adiknya. Karena itu Sendang
Papat segera mendekatkan diri kepada Wanamerta sambil bertanya, "Adakah Kiai tadi
berkata tentang Parapat?"

Mata Wanamerta tidak terpelas dari para penunggang kuda yang telah siap menerjang
mereka.

Meskipun demikian ia menjawab, "Ya."

"Bagaimana dengan anak itu?" Sendang Papat minta penjelasan.

"Ia mengharap kedatanganmu. Mudah-mudahan ia masih tertolong," Wanamerta


mencoba untuk memancing anak itu meninggalkan tanah lapang yang terkutuk ini.

Sementara itu, ia melihat beberapa orang lain, yang semula mengejar-ngejar orang
Banyubiru telah memasuki tanah lapang kembali. Bahkan merekapun segera bersiap pula
untuk menyerang. Wanamerta melihat bahaya yang bertambah-tambah, sementara itu
harapannya mulai timbul kembali. Mudah-mudahan Sendang Papat bersedia
meninggalkan tanah lapang ini untuk melihat adiknya.

"Tak cukup banyak waktu Sendang," kata Wanamerta pula, "Adikmu cepat-cepat harus
mendapat bantuan."

"Di mana dia sekarang?" tanya Sendang Papat.

"Ia disembunyikan di rumah Ki Prana," jawab Wanamerta.

Sendang Papat merenung sejenak. Di hadapannya orang-orang Pamingit memacu


kudanya ke arah mereka berdua.

"Mereka datang, Kiai," kata Sendang Papat.

Wanamerta telah melihat mereka pula. Segera ia menarik kekang kudanya memutar
sekali, lalu berlari ke samping.

"Pikirkan adikmu itu," katanya sebelum kudanya berlari. Sendang Papat tidak sempat
menjawab. Seekor kuda lawan menyerangnya dengan cepatnya. Ketika sebuah pedang
menyambarnya, dengan cepatnya ia melekatkan tubuhnya pada punggung kudanya.
Hatinya berdesir ketika Sendang Papat merasakan angin sambaran pedang menghembus
tengkuknya.

"Hampir saja," desisnya. Karena itu Sendang Papat merasa bahwa lebih baik melawan
orang-orang Pamingit itu, dengan pedang pula. Karena itu cepat-cepat ia meloncat turun
memungut pedang dari seseorang yang telah tak berdaya untuk bangkit kembali. Dengan
pedang itulah kemudian ia melawan setiap penyerangnya dengan kekuatan yang
berimbang. Tetapi orang-orang Pamingit itu pun bertambah-tambah pula.

Sendang Papat melihat Wanamerta yang tua itu pun dapat bergerak mengagumkan. Di
tangannya tiba-tiba saja telah tergenggam sebuah telempak, tombak bertangkai pendek.
Agaknya ia pun merasa perlu untuk memegang sebuah senjata yang tidak terlalu pendek
dalam pertempuran berkuda. Namun, meskipun demikian di dalam hati Sendang Papat
mulailah timbul keraguan. Ia terpengaruh benar oleh kata-kata Wanamerta tentang
adiknya. Karena itu selagi ia sempat, ia mendorong kudanya ke arah Wanamerta, dan
dengan suara yang parau dan perlahan-lahan ia berkata, "Apakah kita lebih baik
meninggalkan lapangan ini, Kiai?"

"Demikianlah, untuk keselamatan adikmu. Ia membutuhkan perawatan," jawab


Wanamerta. "Baiklah," jawab Sendang Papat.

Tetapi sementara itu, Wanamerta memandang sekelilingnya dengan alis yang berkerut-
kerut. Ia melihat perubahan pada tata perkelahian lawannya. Wanamerta tidak lagi
melihat mereka bersiap untuk menyerang satu demi satu atau berdua atau bertiga
sekalipun.

Yang dilihatnya adalah orang-orang Pamingit itu mulai membuat sebuah gelang,
mengelilingi mereka berdua.

"Setan," desis Sendang Papat.

"Mereka mengepung kita," sahut Wanamerta.

Sendang Papat memutar kudanya untuk melihat keadaan di sekelilingnya. Ia melihat


sepuluh, bahkan lebih dari itu, orang-orang berkuda di sekelilingnya. Sedang di tengah
lapang itu, ia melihat beberapa ekor kuda tak berpenumpang. Dua tiga orang Pamingit
terbaring diantara beberapa orang Banyubiru yang terluka dan bahkan ada yang terbunuh
di tanah lapang itu.

Suatu kekacauan yang mengerikan.

Tetapi sementara itu, Wanamerta dan Sendang Papat harus berpikir tentang diri mereka.
Ketika mereka melayangkan kembali pandangan mereka, mereka melihat perlahan-lahan
kuda-kuda yang mengepung itupun mulai bergerak maju. Wanamerta adalah seorang tua
yang berpengalaman cukup. Karena itu segera ia mengetahui maksud orang-orang
Pamingit itu. Maka desisnya, "Sendang, jangan beri kesempatan mereka bersama-sama
menyerang. Kau lihat kelemahan mereka?"

Sendang menggeleng lemah. "Kita menyerang dari arah api. Aku harap mereka
terganggu oleh cahaya yang silau itu. Kita tembus dinding yang bertentangan dengan
arah cahaya. Secepat-cepatnya, sebelum datang yang lain, mereka sempat membantu,"
kata Wanamerta setengah perintah.

SENDANG PAPAT telah menangkap maksud orang tua itu. Ia memuji didalam hatinya.
Tetapi ia tidak sempat untuk berkata apapun, sebab demikian Wanamerta selesai berkata,
demikian ia menarik kekang kudanya dan memacu ke arah barat. Sendang Papat pun
segera menyusul. Pedangnya berkilau-kilau kemerah-merahan oleh cahaya api yang
sudah mulai berkurang. Namun cahayanya masih cukup besar untuk menerangi seluruh
tanah lapang itu. Orang-orang Pamingit itu terkejut melihat kesigapan Wanamerta dan
Sendang Papat. Meskipun mereka sudah mengira, bahwa kedua orang itu tidak akan mau
menyerah begitu saja, namun serangan mereka berdua yang tiba-tiba, telah menyebabkan
mereka kehilangan waktu beberapa saat untuk menilai gerakan itu.

Demikianlah, Wanamerta telah mencapai dinding kepungan itu, dengan membelakangi


api yang menyala-nyala. Setiap garis-garis yang tergores pada tubuh orang Pamingit itu.
Setiap gerakannyapun dapat diketahuinya. Sebaliknya orang-orang itu hanya melihat
bayangan hitam seperti terbang menerkamnya. Mereka tidak dapat melihat dengan jelas,
gerakan-gerakan apakah yang sudah dilakukan oleh dua hantu yang seakan-akan
meloncat dari tengah-tengah itu. Karena itu mereka menjadi gugup. Tetapi sesaat
kemudian, kawan-kawan merekapun menjadi sadar. Mereka akhirnya mengetahui juga,
bahwa Wanamerta telah mengambil keuntungan dari cahaya api yang silau itu. Dengan
demikian segera merekapun bergerak maju mengejarnya.

Ternyata perhitungan Wanamerta adalah tepat. Ia dapat mencapai dinding kepungan


sebelum lawan-lawan mereka yang lain sempat membantu. Dengan telapaknya
Wanamerta menyerang orang yang menghadang di hadapannya. Meskipun kemudian
orang dikanan kirinya merapat, namun cahaya yang silau telah membuat untung
Wanamerta dan Sendang Papat. Perkelahian yang terjadi kemudian tidak berlangsung
lama. Mereka tidak dapat menahan kedua orang itu untuk menerobos kepungan mereka.

Dengan demikian akhirnya Wanamerta berhasil keluar dari lingkaran maut itu bersama-
sama dengan Sendang Papat. Tetapi Wanamerta kemudian tidak mau disilaukan oleh api
yang memberinya keuntungan, apabila ia harus melawan pengejarnya. Karena itu segera
ia membelokkan arah kudanya ke kanan.

Tetapi orang-orang Pamingit itu telah mendapatkan kesadaran mereka. Sebagian dari
mereka segera menyusul, dan sebagian lagi memotong jalan. Tetapi Wanamerta dan
Sendang Papat telah melepaskan diri dari kepungan. Mereka dapat menghadapi lawan
mereka dari satu arah. Meskipun demikian lawan mereka terlalu banyak. Sehingga
kemudian ternyata bahwa Wanamerta dan Sendang Papat pun terdesak.

Menghadapi keadaan yang demikian, kedua orang Banyubiru yang gemblengan itu
malahan telah membulatkan tekad untuk melawan sampai kesempatan terakhir. Dalam
pada itu, ketika mereka sedang berkelahi mati-matian, tiba-tiba terdengarlah suara-suara
anak muda tertawa.

Disusul oleh sebuah aba dari antara mereka, "Ayolah, kita mulai." Yang berada di tanah
lapang itu kemudian dikejutkan oleh munculnya empat ekor kuda dari sudut tanah lapang
itu. Kemudian seekor lagi ditunggangi oleh seorang anak muda yang tampan, bertubuh
tegap dan berdada bidang.

Agaknya anak muda yang terakhir itulah yang telah mengucapkan aba-aba. Sedang
keempat anak muda yang lain itupun langsung menerjunkan diri ke kancah pertempuran.

"Ayolah Kiai," teriak salah seeorang diantaranya, "Aku berada di pihak Kiai dan Paman
Sendang Papat."

Wanamerta heran melihat kedatangan mereka. Demikian juga Sendang Papat.


Wanamerta adalah orang Banyubiru sejak Pangrantunan. Tetapi terhadap anak-anak
muda itu ia belum begitu mengenal. Sedang mula-mula Sendang Papat pun agak ragu,
siapakah yang telah datang tepat pada saatnya membantu mereka berdua. Tetapi
Wanamerta dan Sendang Papat belum sempat bertanya tentang mereka.

Pertempuran itu menjadi kian sengit. Keempat anak muda itupun berkelahi dengan tekad
yang menyala-nyala. Dengan demikian pekerjaan Sendang Papat dan Wanamerta menjadi
berkurang.

Lawan-lawan mereka setidak-tidaknya telah berkurang dengan empat orang, yang harus
melayani keempat anak muda yang bertempur dengan tenaga yang penuh. Namun
agaknya keempat anak muda itu masih kurang pengalaman, sehingga meskipun mereka
bertempur mati-matian, tetapi ternyata bahwa mereka tidak lebih dari setiap orang dari
laskar Pamingit itu. Sehingga dengan demikian, pertempuran itupun hampir tak
terpengaruh oleh kehadiran keempat orang itu. Meskipun demikian, kesempatan untuk
menjaga diri bagi Wanamerta dan Sendang Papat adalah jauh lebih besar dari semula.
Maka semakin lama pertempuran itupun menjadi semakin keras. Orang-orang Pamingit
yang tidak segera dapat menyelesaikan pekerjaan mereka itupun menjadi marah dan
bertempur semakin liar. Karena jumlah mereka lebih banyak maka kemudian mereka pun
berhasil sedikit demi sedikit menguasai keadaan, sehingga pertempuran itupun menjadi
berat sebelah.

Ternyata yang menjadi pusat perhatian mereka adalah Wanamerta dan Sendang Papat.
Sedang terhadap keempat anak muda itu mereka hanya sekedar memberikan perlawanan
untuk menjaga mereka supaya mereka tidak dapat langsung membantu Wanamerta dan
Sendang Papat.

Dalam keadaan yang demikian itu, maka tiba-tiba pemuda yang seorang lagi yang masih
duduk diam di ats punggung kudanya di tepi lapangan itu tertawa terbahak-bahak.
Suaranya itu sangatlah menarik perhatian.

Baik orang Pamingit maupun Wanamerta dan Sendang Papat. Bahkan kawan
kawannyapun menoleh kepadanya.

"Permainan yang jelek," katanya. "Tidakkah kalian dapat berkelahi lebih baik?"

"Apakah yang jelek?," jawab salah seorang temannya.

"Kalian hanya mampu berputar putar seorang penari jathilan diatas kuda kepang," jawab
anak muda itu....

KAWAN-KAWAN anak muda itu tak ada yang menjawab.


Tetapi pertempuran masih berlangsung terus. Sehingga kemudian terdengar ia berkata
pula, "Kiai Wanamerta dan Paman Sendang Papat pun agaknya sudah terlalu payah.
Tetapi cara-cara yang dipergunakan, serta gerak-gerak yang bersumber pada Paman
Mahesa Jenar agaknya cukup menarik."

Wanamerta dan Sendang Papat sekali lagi terkejut bukan main. Kenapa anak muda itu
mengetahui beberapa unsur gerak yang dipelajarinya dari Mahesa Jenar? Kemudian
terdengarlah anak muda yang gagah tampan itu meneruskan, "Tetapi sayang, bahwa
Paman Sendang Papat kurang berhasil mengambil keuntungan dari gabungan ilmu Ki
Ageng Supit Wanakerta dengan ilmu dari perguruan Pengging."

Sendang Papat menjadi semakin heran. Ia belum pernah mengenal Ki Ageng Supit dari
Wanakerta. Sedang yang dikenalnya hanya Wanamerta. Tiba-tiba ia tidak dapat menunda
keinginannya untuk mengetahui serba sedikit tentang anak muda itu, sehingga sambil
bertempur ia berteriak, "Aku belum kenal Ki Ageng Supit dari Wanakerta."

"Kalau begitu..." jawab anak muda itu, "Kakang Sendang pasti kenal salah seorang
muridnya." "Siapakah dia?" tanya Sendang Papat.

"Wiraraga atau Dalang Mantingan," jawab anak muda itu. Kembali Sendang Papat
keheranan. Ternyata anak muda itu kenal pula kepada Ki Dalang Mantingan. Sementara
itu orang-orang Pamingit menjadi semakin mendesak pula. Sehingga akhirnya
Wanamerta dan Sendang Papat benar-benar mengalami kesulitan.

Dalam keadaan yang demikian itulah tiba-tiba anak muda yang masih berdiam diri di
pinggir tanah lapang itu berkata lantang, "Maafkan aku Kiai Wanamerta dan Kakang
Paman Papat kalau aku ikut campur pula dalam pertempuran ini."

Setelah selesai dengan kata-katanya, segera ia mendorong kudanya untuk terjun ke


dalam pertempuran. Mula-mula orang Pamingit itu tidak banyak memperhatikannya.
Mereka mengira bahwa anak muda itu tidak terlalu jauh terpaut dari keempat kawannya.
Tetapi ketika anak muda itu telah benar-benar bertempur, ternyata ia benar-benar
mengejutkan. Dalam saat yang sangat pendek, ternyata ia telah berhasil melemparkan dua
orang Pamingit dari kudanya.

"Gila...!" teriak salah seorang yang terlempar itu dengan penuh kemarahan.
Punggungnya terasa betapa sakit, sedang bajunya tersobek lebih sekilan. Dengan
mengumpat-umpat ia berusaha untuk mengejar kudanya kembali dan dengan susah payah
ia meloncat ke punggungnya. Demikian pula kawannya yang seorang lagi.

Sambil memungut pedangnya ia berteriak, "Anak gila, agaknya kaupun ingin menjadi
bangkai seperti Wanamerta dan Sendang Papat."

Anak muda itu tertawa. Sedang tandangnya menjadi semakin mengherankan. Ia


menyerang seperti elang untuk kemudian melingkar dan menyerang kembali. Ia tidak
pernah menghindari setiap serangan, dan bahkan dengan tertawa nyaring ia melawan dua
tiga orang sekaligus.

"Aneh," pikir Wanamerta dan Sendang Papat seperti berjanji. Perhatian orang-orang
Pamingit kemudian lebih banyak tertuju kepadanya daripada Wanamerta dan Sendang
Papat. Apalagi mereka berduapun menjadi seolah-olah penonton yang keheranan.
Demikian juga keempat kawan-kawannya. Anak muda itu, yang bertubuh tegap dan
kekar dan tampan, bertempur seperti anak bermain kejar-kejaran.

Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kesungguhan. Sayang bahwa cahaya api yang
semakin pudar, tidak memberi kesempatan kepada Wanamerta dan Sendang Papat untuk
mengenalnya dengan baik.

Dengan nada yang segar, anak muda itu berkata, "He, kawan-kawan dari Pamingit.
Kenapa kalian bersusah payah mengejar-ngejar Kiai Wanamerta dan Kakang Sendang
Papat, sedang orang-orang yang bersalah tidak kau tangkapi?"

"Siapa yang bersalah itu?" teriak orang-orang Pamingit dengan marah.

"Sontani dan orang-orangnya," jawab anak muda itu. "Omong kosong," bentak orang
Pamingit yang lain sambil memutar pedangnya menyambar punggung anak itu. Dengan
enaknya anak muda itu mengelak tanpa berkisar. Tetapi kemudian dengan satu gerakan
yang sederhana ia telah berhasil memukul dengan tangannya.

Ya, dengan tangannya, pergelangan tangan orang yang menyerangnya, sehingga


terdengar ia mengaduh perlahan, dan pedangnya terpelanting jatuh di tanah.

Orang itu menggeram marah, tetapi ia memacu kudanya menjauhi anak muda itu,
sebelum ia berhasil mendapatkan sebilah pedang yang lain yang dipungutnya dari
seorang kawannya yang telah terbaring di tanah. Anak muda itu masih bertempur dengan
lincahnya.

Wanamerta dan Sendang Papat, seolah-olah terbebas sama sekali dari perkelahian itu.
Mereka kini tinggal menghadapi seorang-seorang. Sedang yang lain lebih banyak
mencari perhatian untuk menjatuhkan pemuda itu lebih dahulu.

Dengan tertawa anak muda itu kemudian terdengar berkata, "He, kawan-kawan
Pamingit. Demikianlah kira-kira yang akan kalian alami, kalau kalian pada suatu saat
terpaksa bertempur melawan Arya Salaka."

SEORANG dari anak muda itu mengulangi kata-katanya, ”Arya Salaka...?” Sedangkan
dalam hati Wanamerta dan Sendang Papat tertarik pula pada kata-kata itu. ”Ya, Arya
Salaka dapat bertempur jauh lebih baik lagi. Aku hanya menirukan beberapa bagian dari
ilmunya,” lanjut anak muda itu. Tak ada yang terdengar menjawab perkataannya. Tetapi
orang-orang Pamingit itu agaknya menjadi semakin marah. Namun mereka harus melihat
kenyataan bahwa mereka tidak akan mampu melawan anak muda itu bersama-sama
dengan Wanamerta, Sendang Papat dan keempat anak-anak muda yang lain, yang
menganggap perkelahian itu seperti permainan saja. ”Arya Salaka dapat memukul hancur
kepala kuda yang kalian naiki hanya dengan tangannya.” Anak muda itu meneruskan.

Dan tiba-tiba ia menyambar salah seorang lawannya, dan dengan gerak yang
mengejutkan ia menghantam kepala kuda itu. Terdengarlah suara ledakan disusul dengan
teriakan-teriakan anak-anak muda yang lain, seperti mereka melihat kawannya menang
bertaruh. Kuda itu menggeliat dan memekik tinggi. Sesaat kemudiah jatuh berguling
untuk selama-lamanya. Dari kepalanya mengalir darah bercampur otak yang
menghambur-hambur.

Orang yang semula melekat di punggung kuda itu, juga terbanting. Seperti orang lumpuh
ia menyaksikan kepala kudanya pecah. Tubuhnya terasa gemetar dan seolah-olah segala
persendian tubuhnya terlepas satu sama lain.

”Hebat..., hebat....” teriak kawan-kawannya.

Tetapi orang-orang Pamingit menjadi pucat karenanya. ”Hebat....” desis Wanamerta dan
Sendang Papat perlahan-lahan.

Anak muda itu memutar kudanya sekali. Dan orang-orang Pamingit mulai menjauhinya.
”Lihatlah kepala kuda itu,” katanya. Wajahnya yang cerah itu beredar berkeliling. ”Nah,
siapa yang ingin kepalanya sendiri aku pecahkan seperti kepala kuda itu?” katanya pula.

Tak seorangpun terdengar menjawab. Orang-orang Pamingit itupun telah berhenti


menyerang dengan kuda-kuda mereka, tegak beberapa langkah berkeliling, seperti
hendak mengepung anak muda itu.

Namun tak seorangpun berani mendekati. ”Nah, ketahuilah bahwa Arya Salaka pun
mampu berbuat demikian,” katanya.

”Tetapi itu tidak mengherankan.” Tiba-tiba salah seorang dari orang-orang Pamingit itu
berkata. Mata anak muda itupun menjadi redup. Dengan sudut matanya ia memandang
orang Pamingit itu. ”Kau tidak heran...?” Ia tanya.

Ternyata orang Pamingit itu menjadi gemetar. Tetapi ia malu untuk menunjukkan
perasaan takutnya. Meskipun terbata-bata ia menjawab, ”Sawung Sariti pun mampu
melakukan. Ia memiliki aji Lebur Sekethi.”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Lalu berkata, ”Hebat. Memang, Lebur Sekethi
pun hebat pula. Sehebat Sasra Birawa dan Cundha Manik dari Gunungkidul. Tetapi ilmu
semacam itupun mengenal tingkatan pula. Sawung Sariti menekuni ilmunya sambil
makan dan minum seenak-enaknya. Kalau ia lelah, ia dapat berbaring di tempat
pembarian yang empuk dan baik. Tetapi tidak dengan Arya Salaka.”

Anak muda itu berhenti sambil menarik nafas. Ia menunggu kalau-kalau ada yang
mencoba menjawabnya. Namun orang-orang Pamingit itu menjadi seperti orang-orang
terinjak. Diam.

”Dengarlah...” katanya kemudian, ”Sawung Sariti berlatih di dalam pendapa yang


terlindung dari terik matahari. Beberapa orang mengipasinya kalau keringatnya mulai
mengalir. Dengan tergesa-gesa gadis-gadis menyediakan air hangat bila ia haus.”

Anak muda itu kemudian meneruskan, ”Tetapi apa yang terjadi dengan Arya Salaka? Ia
mesu diri sejadi-jadinya dalam masa pembajaan. Apabila siang, ia berlatih di terik panas
matahari. Apabila malam ia berlatih dalam buaian angin malam. Kalau ia lelah, ia
membaringkan dirinya, beralas rumput,berselimut langit. Kalau ia haus, minumlah ia air
hangat yang baru memancar dari sumbernya. Sedangkan kalau ia lapar, dengan sabarnya
ia menunggui perapian dimana ia merebus jagung atau ketela pohon.”

”Disamping itu, ia memperkuat tubuhnya dengan bekerja keras. Ia mencangkul diantara


para petani. Berjuang melawan ombak dan taupan diantara para nelayan. Nah, katakan
sekarang hai orang-orang Pamingit. Siapakah yang kira-kira akan lebih kuat dan masak
menguasai ilmunya. Arya Salaka atau Sawung Sariti?” lanjut anak muda itu.

Tak ada jawaban.

Orang-orang Pamingit itu masih diam. Beberapa orang menjadi semakin pucat.
”Tidakkah ada yang dapat menjawab?” tanya anak muda itu pula. Lalu tiba-tiba sambil
menunjuk kepada orang yang semula memperbandingkan Arya Salaka dan Sawung
Sariti, anak muda itu bertanya, ”Hai, kau yang membanggakan anak Lembu Sora itu,
jawablah, manakah yang lebih masak. Lebur Sekethi yang dibumbui dengan pemanjaan
diri ataukah Sasra Birawa yang dialasi oleh penderitaan lahir dan batin, namun dijiwai
oleh ketawakalan dan pasrah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa...?”

Orang yang ditunjuk itupun menjadi semakin ketakutan. Terasa lututnya bergetar. Dan
mulutnya tiba-tiba seperti terkunci.

”Tidakkah kau bisa menjawab?” tanya anak muda itu pula. Namun orang itupun benar-
benar tak mampu menjawab. Karena itu terdengarlah anak muda itu tertawa. ”Jangan
takut,” katanya. ”Aku tidak akan membunuh seorangpun diantara kalian, apabila tidak
berbuat hal-hal yang tak aku kehendaki.”

ANAK MUDA itu diam sesaat, lalu meneruskan, ”Ketahuilah dan rasakanlah kebenaran
kata-kataku. Ilmu yang bagaimanapun dahsyatnya, tetapi ia tidak diterapkan dalam
pengabdian yang benar, ia sama sekali tak berarti. Bahkan ia akan menjadi jauh lebih
berbahaya dari segala macam ilmu. Sebaliknya Arya Salaka telah menempatkan dirinya
dalam kancah penderitaan lahir batin. Dengan suatu keyakinan, bahwa berbahagialah
mereka yang menderita. Sebab dengan demikian ia akan dapat menempatkan dirinya
dalam pengabdian untuk mereka yang menderita. Dalam tempat itulah Arya Salaka akan
mempergunakan ilmunya. Dan tidak mustahil bahwa pada suatu ketika Arya Salaka akan
berdiri berentang muka dengan Sawung Sariti. Masing-masing dengan Sasra Birawa dan
Lebur Seketi. Tetapi Lebur Saketi yang telah dinodai.”
Ketika anak muda itu diam untuk sesaat, lapangan itu dicengkam oleh kesepian. Suara
api telah lama terhenti. Dan nyalanyapun telah menjadi semakin pudar pula. ”Kalau
begitu...” akhirnya anak muda itu berkata pula, ”Tinggalkan tempat ini. Katakan kepada
laskar Pamingit yang lain bahwa Arya Salaka akan datang. Katakan bahwa seorang anak
muda telah mempertunjukkan ilmu Arya itu. Sebagian kecil saja. Sebab Arya Salaka
tidak saja dapat memecahkan kepala kuda, tetapi batu sebesar kepala kuda itu, dan
bahkan kepala kalian semua.”

Mendengar kata-kata itu, mulailah laskar Pamingit itu gelisah. Mereka, yang
bagaimanapun juga adalah laskar-laskar yang dipercaya, agak malu untuk begitu saja
meninggalkan tugasnya. Karena itulah maka anak muda itu membentak, ”Kenapa kalian
belum juga pergi? Apakah kalian masih ingin melihat pertunjukan yang lain...? Pergilah.
Kenangkanlah di dalam dadamu. Kalau Arya Salaka mampu berbuat demikian, apakah
yang akan dapat dilakukan oleh gurunya, Mahesa Jenar?”

Sekarang orang-orang Pamingit itu tidak menunggu perintah itu untuk ketiga kalinya.
Ketika salah seorang dari mereka, menarik kekang kudanya, dan kemudian memutarnya,
yang lain-lainpun segera berloncatan meninggalkan tanah lapang yang mengerikan itu.
Sesaat kemudian tinggallah Wanamerta, Sendang Papat, anak muda yang perkasa itu dan
keempat kawannya.

Dalam cengkaman keheranan Wanamerta dan Sendang Papat tertegun seperti tonggak
batu. Mereka tersadar ketika anak muda itu mendekati mereka sambil berkata, ”Paman
Wanamerta, sebaiknya Paman meninggalkan tempat ini. Siapa tahu bahwa laskar
Pamingit akan kembali dengan kekuatan yang lebih besar. Meskipun barangkali aku
masih dapat melindungi Paman dan Kakang Sendang Papat, meskipun seandainya Lembu
Sora sendiri yang datang, namun perbuatan itu sama sekali kurang bijaksana. Bukankah
Paman mendapat kesempatan untuk pergi sekarang?”

”Ya, ya, Ngger,” jawab Wanamerta terputus-putus, ”Aku ucapkan terima kasih yang tak
terhingga.”

”Paman dapat mempergunakan kuda-kuda kami untuk kawan-kawan Paman dan Kakang
Sendang Parapat. Tinggalkan kota ini sebelum matahari terbit. Supaya Paman tidak
banyak mengalami gangguan, serta kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya dapat
dikurangi.”

Anak muda itu meneruskan. ”Baik, baik Ngger,” jawab Wanamerta, yang seolah-olah
merasa dirinya betapa bodohnya. Tiba-tiba ia teringat pada keinginannya untuk
mengetahui siapakah pemuda yang aneh, yang memiliki keperkasaan yang luar biasa itu.
Katanya kemudian, ”Tetapi perkenankanlah aku mengetahui siapakah Angger-angger ini
semuanya?” A

nak muda itu tersenyum. Jawabnya, ”Paman tidak perlu mengenal aku. Aku adalah anak
kabur kanginan. Tanpa tempat tinggal, tanpa sanak kadang.”
Wanamerta menarik nafas panjang. Desaknya, ”Ah, apakah keberatan Angger?. Aku
hanya sekadar ingin menceritakannya kepada Angger Mahesa Jenar dan Cucu Arya
Salaka, bahwa Angger telah menyelamatkan kami berdua.”

Anak muda itu tertawa. Kemudian ia meloncat dari kudanya. Ia tidak menjawab
pertanyaan Wanamerta, tetapi katanya, ”Bawalah kudaku. Kawan-kawanku akan
mengantarkan. Seterusnya, pakailah kuda-kuda mereka untuk kembali ke perkemahan.”

”Terimakasih Ngger,” jawab Wanamerta, ”Kami mengucapkan terimakasih yang tak ada
taranya. Tetapi Angger belum menjawab pertanyaanku.” Sekali lagi anak itu menghindari
pertanyaan Wanamerta, katanya, ”Waktuku tidak terlalu banyak Paman. Kami
persilahkan Paman berangkat.”

Lalu kepada kawan-kawannya ia berkata, ”Antar Paman sampai tempat Kakang Sendang
Parapat disembunyikan. Pinjamkan dua ekor kuda kalian. Aku akan pulang dahulu
dengan berjalan kaki.” Pemuda itu tidak menunggu lama, kepada Wanamerta ia minta
diri, katanya, ”Sudahlah Paman, aku tidak akan membuat permusuhan-permusuhan di
Banyubiru. Lebih baik aku menyembunyikan diri. Salamku buat Paman Mahesa Jenar
dan Arya Salaka, Bibi Wilis dan Widuri, kalau ia turut serta. Juga untuk Paman Kebo
Kanigara.”

Setelah itu, maka dengan tidak menunggu jawaban, ia melangkah meninggalkan


Wanamerta dan Sendang Papat yang memandanginya dengan kagum. Anak itu berjalan
dengan langkah yang tetap tegap. Seakan-akan dari tubuhnya memancarkan kewibawaan
yang agung.

Tiba-tiba Wanamerta ingat kepada kata-katanya. Kata-kata anak muda yang tak mau
dikenal itu, bahwa Arya Salaka pun mampu melakukan apa yang baru saja dilihatnya
dengan Sasra Birawa. Karena itulah ia menjadi bangga dan berbesar hati. Meskipun Arya
agak lebih muda dari anak yang aneh itu, namun ia yakin bahwa Arya Salaka pun akan
mampu menggemparkan orang-orang Pamingit kelak.

”Marilah Paman....” Tiba-tiba seorang dari anak muda yang empat itu mengajak.

WANAMERTA terkejut. Seperti orang tersadar dari mimpinya, ia menjawab tergagap,


”Marilah Angger.” Sesaat kemudian berjalanlah iring-iringan kuda itu ke rumah Prana,
tempat Sendang Parapat disembunyikan. Sendang Papat menggandeng kuda anak muda
yang tak mau dikenalnya, sedang Wanamerta duduk dengan muka tunduk.

Tiba-tiba seperti orang yang teringat sesuatu Wanamerta bertanya, ”Anak-anak muda,
siapakah sebenarnya kalian ini?” Mereka berempat tersenyum bersama-sama. Salah
seorang dari mereka menjawab, ”Kami adalah anak-anak Banyubiru saja Kiai.”
Wanamerta menarik nafas kecewa. Anak-anak itupun agaknya tidak mau menyatakan diri
mereka. Ia menjadi heran, kenapa hal itu disembunyikan. Apakah mereka takut
pembalasan dendam dari orang-orang Pamingit? Dan bukankah ia bukan orang Pamingit?
Dan bukankah anak muda yang pertama tadi tidak takut kepada Lembu Sora sekalipun?
Alangkah hebatnya. Seorang yang masih semuda itu, telah memiliki ilmu yang dapat
disejajarkan dengan Ilmu Lembu Sora. Tetapi Wanamerta tidak bertanya lagi. Ia merasa
bahwa hal itu tak akan berguna. Kenangannya kemudian bergeser kepada Sendang
Parapat. Mudah-mudahan ia mendapat pertolongan.

Perjalanan mereka tidak memerlukan waktu lama. Rumah Prana tidak begitu jauh dari
tanah lapang itu. Begitu mereka sampai, Sendang Papat tidak menunggu lagi. Segera ia
meloncat menambatkan kudanya serta kuda yang dituntunnya, untuk kemudian dengan
tergesa-gesa mengetuk pintu rumah itu. Sekali dua kali, ketukannya tidak mendapat
jawaban.

Baru setelah Sendang Papat mengulang-ulang, terdengarlah seseorang bertanya,


”Siapa...?”

”Aku Sendang Papat,” jawabnya. Perlahan-lahan pintu rumah itupun terbuka. Seorang
yang telah setengah umur, berdiri dibalik pintu itu. ”Paman Prana,” sapa Sendang Papat.
”O, kau Sendang, masuklah,” jawab Prana.

”Aku bersama dengan Kiai Wanamerta,” jelas Sendang Papat. ”Marilah Kiai,” ajak
Prana, ”Marilah masuk.” Wanamerta mengangguk sambil menjawab, ”Baiklah Prana.”
Lalu kepada keempat pemuda yang mengantarnya ia berkata, ”Kami persilahkan angger
singgah di rumah sahabat ini.”

”Terimakasih Kiai, kami akan segera pulang,” jawab mereka. Dan setelah mereka
meninggalkan dua kuda mereka, segera merekapun minta diri. Keempat anak muda itu
dengan mempergunakan dua ekor kuda segera meninggalkan halaman itu.

”Anak-anak yang aneh,” gumam Wanamerta. Sendang Papat sudah tidak sabar lagi.
Segera ia bertanya tentang adiknya. Setelah pintu rumah itu ditutup kembali, segera
mereka dibawa ke ruang belakang, dimana Sendang Parapat dibaringkan.

Ketika Wanamerta dan Sendang Papat memasuki ruangan itu, mereka melihat tubuh
Sendang Parapat diam terbaring. Di sebelahnya duduk tiga orang kawannya.

Ketika Sendang Papat meraba tubuh adiknya itu, Sendang Parapat membuka matanya.
Perlahan-lahan terdengar ia berkata, ”Maafkan aku Kakang, aku tidak dapat memenuhi
harapanmu. Menjadi prajurit yang baik.”

Sendang Papat merapatkan diri duduk di samping adiknya. Bisiknya, ”Kau telah
berusaha Parapat. Kejadian ini sama sekali bukan salahmu. Orang-orang Sontani telah
mulai dengan curang, menyerang kau dari belakang.”

”Tidak sepantasnya aku mengemban tugas ini Kakang.” Sendang Parapat meneruskan
seolah-olah ia tidak mendengar kata-kata kakaknya.
”Jangan berpikir terlalu jauh, Parapat...” sahut Wanamerta. ”Kau telah melakukan
tugasmu dengan baik. Bukankah tak seorangpun mampu berbuat sesuatu, apabila ia
mendapat serangan seperti serangan atas dirimu? Sekarang, tenangkan hatimu. Mudah-
mudahan lukamu lekas sembuh.”

”Ya,” jawab Sendang Parapat, ”Aku ingin lukaku lekas sembuh. Sekarang, aku tunggu.
Besok aku akan kembali dengan keris ditangan.” Wanamerta, Sendang Papat dan mereka
yang mendengar kata-kata itu menjadi terharu.

”Bagus...” bisik Wanamerta. ”Kau akan segera kembali ke Banyubiru.” Sendang Parapat
diam. Tetapi wajahnya sudah tidak terlalu pucat. Nafasnya telah mulai teratur. Darah
sudah tidak mengalir lagi dari lukanya. Agaknya Ki Prana berhasil mendapatkan jenis
daun-daunan yang baik. Dalam keadaan yang demikian itulah Wanamerta dan Sendang
Papat teringat kepada pesan anak muda yang aneh itu, ”Tinggalkan tempat ini sebelum
matahari terbit.”

”Sendang...” berbisik Wanamerta, ”bagaimana dengan pesan anak muda itu?”

”Baiklah kita usahakan Kiai. Kita tinggalkan kota ini sebelum matahari terbit,” jawab
Sendang Papat. Mereka berdua bersama-sama memandang Sendang Parapat. Dapatkah
anak itu diajak berjalan atau berkuda? Agaknya Sendang Parapat merasa, bahwa dirinya
menjadi persoalan. Karena itu perlahan-lahan ia berkata, ”Aku dapat berbuat apa saja
yang kalian kehendaki. Berjalan pulang atau bertempur sekarang juga.”

Wanamerta menarik nafas. Anak muda ini memang berhati baja seperti juga kakaknya
yang hampir saja bunuh diri. ”Parapat...” jawab Wanamerta, ”Baiklah kami berkuda
pulang ke perkemahan. Di sana dapat kita kaji untung rugi dari setiap langkah kita
dengan tenang.”

”Apalagi berkuda,” jawab Parapat. Kemudian merekapun segera bersiap. Prana tidak
dapat menahan mereka, sebab ia tahu bahwa mereka sedang melakukan tugas mereka.
Setelah luka Sendang Parapat dibalut, maka segera ia dipapah dan diangkat ke atas
punggung kuda untuk dinaiki bersama dengan kakaknya.

PRANA berdesis, “Kuda yang bagus. Dari mana Kiai mendapatkan kuda ini?”

“Dari seorang anak muda yang tak mau kami kenal,” jawab Wanamerta. “Yang
berempat tadi?” tanya Prana.

“Seorang lagi,” jawab Wanamerta pula.

“Kawan dari yang empat ini.”

“O...” sahut Prana, “Kalau yang empat itu, aku kenal mereka.”

“He...?” Sendang Papat memotong, “Siapakah mereka?” “Belum lama mereka muncul.
Sebelumnya mereka selalu tekun ke padepokan Lemah Telasih,” jawab Prana.

“Putra Ki Lemah Telasih?” tanya Wanamerta.

“Ya. Putra dan kemenakan Ki Lemah Telasih,” jawab Ki Prana. “Ya ampun,” sahut
Wanamerta, “Jadi mereka anak-anak dan kemenakan Ki Lemah Telasih yang juga disebut
Buyut Banyubiru itu?”

“Ya.” “Yang seorang lagi?” Sendang Papat menyela.

“Siapa?” sahut Prana, “Mereka hanya selalu berempat. Tak ada orang lain di padepokan
itu.”

“Ada. Seorang yang gagah tampan dan berwibawa anggun. Sungguh anak yang luar
biasa,” sambung Sendang Papat.

Ki Prana menggelengkan kepalanya.

“Entahlah,” jawabnya. Wanamerta dan Sendang Papat jadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat
memaksa untuk mendapat jawaban. Karena itu segera mereka minta diri untuk segera
kembali ke perkemahan.

Sesaat kemudian mereka segera berangkat beriringan. Sekarang ketiga orang kawan
Sendang-lah yang berkuda di muka. Kemudian Sendang kakak-beradik.

Malam masih gelap bukan main. Di langit bintang-bintang berkedip-kedip gemerlapan.


Angin pegunungan yang segar perlahan-lahan mengusap tubuh mereka yang sedang
menempuh perjalanan.

Alangkah dinginnya. Tetapi udara yang segar itu telah menyegarkan tubuh Sendang
Parapat. Di sana-sini terdengar ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya.

“Hampir pagi,” desis Wanamerta.

“Fajar telah membayang di timur,” sahut Sendang Papat. Kemudian mereka diam.

Masing-masing terbenam ke alam yang lampau. Semasa Banyubiru mengalami masa


yang aman damai. Semasa mereka menikmati hidup yang tenteram. Sebelum orang-orang
dari golongan hitam mulai mengganggu daerah ini, disusul oleh nafsu berkuasa dari adik
Ki Ageng Gajah Sora sendiri.

Dua bencana yang sama-sama menjadikan Banyubiru porak poranda. Dikenangnya


masa-masa yang lampau. Sekali dua kali, dalam perayaan-perayaan bersih desa, ia selalu
muncul dalam malam-malam yang mengesankan. Sebagai seorang penari yang baik
bersama dengan adiknya, ia selalu mendapat perhatian dari kawan-kawannya. Apabila ia
menari topeng dalam lakon Panji, yang kadang-kadang pertunjukan itu sampai menjelang
pagi. Ia kemudian menjadi bangga kalau pertunjukan selesai, tanpa melepaskan pakaian
penernya, ia berjalan menyusur jalan-jalan kota, pulang ke rumahnya. Ia menjadi semakin
bangga kalau gadis-gadis yang berdiri di tepi jalan saling berbisik, “Itulah Sendang Papat,
penari terbaik dari anak-anak muda di Banyubiru.”

Fajar kali inipun ia menyusuri jalan kota. Tetapi untuk menjauhinya. Tak seorangpun
kali ini yang berbisik-bisik, “Itulah Sendang Papat, penari terbaik dari anak-anak muda di
Banyubiru.” Namun meskipun demikian, kali ini pun ia bangga. Hatinya sendirilah yang
berbisik-bisik, “Inilah Sendang Papat, salah seorang anak muda di Banyubiru yang
berjuang menegakkan keadilan dan kebenaran.”

Tetapi yang terdengar di fajar yang dingin itu hanyalah angin yang berdesir. Warna
semburat merah mulai tersirat dari balik punggung-punggung pegunungan. Dan
rombongan itupun menjadi semakin jauh dari pusat kota menuju ke perkemahan yang
sudah dekat berada di hadapan mereka. Sebab sebelum mereka berangkat, mereka sudah
mengetahui bahwa laskar Banyubiru itupun akan merangkak maju mendekati kota.
Ketika mereka telah melampui batas, legalah hati mereka. Sebab kemungkinan untuk
menemui bahaya menjadi semakin berkurang. Mereka pasti, bahwa laskar Lembu Sora
tak akan mengejar mereka. Sebab merekapun pasti ragu pula, apakah orang-orang
Banyubiru itu tidak membawa banyak kawan.

Ketika matahari kemudian menjenguk dari atas perbukitan dan melemparkan sinarnya
yang pertama, Wanamerta dan kawan-kawannya telah jauh dari setiap bahaya yang
mengancam. Mereka dapat berjalan dengan tenang menuju ke perkemahan, di sana
menunggu Mahesa Jenar dan Arya Salaka.

Tetapi semakin dekat mereka dengan perkemahan, semakin gelisahlah mereka. Apakah
yang akan dikatakan oleh Mahesa Jenar tentang mereka, tentang rombongan kecil yang
ditugaskan untuk meyakinkan rakyat Banyubiru tentang kebenaran perjuangan Arya
Salaka...?

Rombongan kecil itu mendapat tugas untuk memperbanyak kawan, bukan lawan. Sedang
yang terjadi adalah sebuah keributan dan bencana, meskipun itu adalah di luar kehendak
mereka. Namun disamping perasaan gelisah mereka tidak lupa, mengucap syukur di
dalam hati mereka, bahwa mereka telah terlepas dari bahaya maut yang hampir saja
menjebak mereka. Mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, yang masih
memberi kesempatan kepada mereka untuk menikmati kecerahan sinar matahari. Ketika
matahari sepenggalah, tampaklah di hadapan mereka, di dalam sebuah lembah yang
berdinding curam, rumah-rumah kacang daun ilalang.

Itulah perkemahan anak-anak Banyubiru. Mereka memilih tempat itu untuk menghindari
penyerbuan yang tiba-tiba. Sebab di lembah itu, mereka hanya dapat dicapai lewat mulut
yang menghadap ke dua arah. Sehingga dengan demikian, mereka seolah-olah berada di
dalam sebuah benteng yang kuat.

DEMIKIANLAH kedatangan Wanamerta mengejutkan anak-anak Banyubiru. Mereka


menyangka bahwa Wanamerta akan tinggal di dalam kota beberapa hari lamanya. Tiba-
tiba baru semalam mereka meninggalkan induk pasukan, kini mereka telah datang
kembali. Apalagi ketika mereka melihat salah seorang dari rombongan itu terluka.

”Sendang Parapat terluka,” teriak salah seorang.

”He..?” sahut yang lain terkejut, ”Apa katamu?”

”Sendang Parapat terluka,” teriak orang pertama. Teriakan itu kemudian berkumandang,
dan mengalir dari mulut ke mulut yang lain. Maka gemparlah perkemahan itu. Seorang
kemudian berlari menemui Mahesa Jenar dan dengan nafas yang memburu berkata
tergesa-gesa, ”Wanamerta telah kembali. Sendang Parapat terluka. Agaknya lukanya
cukup berat.”

Mahesa Jenar, Arya Salaka dan Kebo Kanigara yang berada di perkemahan itu terkejut.
Dengan gemetar Arya Salaka terloncat berdiri sambil bertanya, ”Apa katamu? Sendang
Parapat terluka?”

Orang itu mengangguk.

Arya Salaka benar-benar terpengaruh oleh berita itu. Sehingga tiba-tiba saja ia telah
meloncat menghambur menyongsong rombongan kecil itu, disusul oleh Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara. Wajah-wajah mereka menunjukkan ketegangan yang gelisah.

Dari kejauhan Arya melihat rombongan kecil itu dikerumuni oleh laskarnya. Wanamerta
telah turun dari kudanya. Demikian juga kawan-kawannya yang lain, kecuali Sendang
Papat yang masih menjaga adiknya di atas punggung kuda.

Ketika orang-orang yang mengerumuni Wanamerta itu melihat kedatangan Arya Salaka,
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, segera menyibaklah mereka. Sesaat kemudian disusul
kedatangan Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri.

Arya Salaka memandang Sendang Parapat yang pucat di atas punggung kudanya. Ketika
matanya tersangkut pada darah yang memerah di pakaian anak muda itu, hatinya berdesir
cepat.

Tiba-tiba terdengarlah pertanyaannya dengan suara yang bergetar, ”Kau terluka Kakang
Parapat?”

Sendang Parapat mengangguk. Namun mulutnya mencoba untuk tersenyum. Dengan


suara perlahan-lahan ia menjawab, ”Tidak seberapa. Hanya luka kecil.”

Arya menarik nafas, kemudian terdengarlah giginya berdetak. Dari matanya memencar
kemarahan yang tak terkira. ”Siapakah yang melukaimu?”

Sendang Parapat tidak menjawab. Ia menoleh kepada Wanamerta. Agaknya ia minta


supaya orang tua itulah yang menjelaskannya. Tetapi sebelum Wanamerta berceritera,
berkatalah Mahesa Jenar, ”Paman, bawalah Sendang Parapat ke kemahku. Biarlah
lukanya mendapatkan perawatan. Sementara itu Paman dapat berceritera dengan tenang
tentang apa yang telah terjadi atas Paman dan Sendang berdua.”

Wanamerta mengangguk. Kemudian dibawanya Sendang Parapat ke kemah Mahesa


Jenar. Kebo Kanigara yang telah cukup lama tinggal di padepokan Karang Tumaritis,
agaknya telah prigel pula mengobati luka. Demikianlah ia mencoba membuka luka
Sendang Parapat dan membersihkannya dengan air hangat.

”Bagaimana Kakang?” tanya Mahesa Jenar. Sedangkan Arya Salaka menjadi gelisah
mondar-mandir di dalam ruangan itu.

”Mudah-mudahan luka-luka ini segera sembuh,” jawab Kebo Kanigara, yang kemudian
mengobati luka-luka dengan ramuan dedaunan dan akar-akaran yang memang sudah
disediakan.

Ketika Sendang Parapat telah dibaringkan, maka mulailah Mahesa Jenar bertanya kepada
Wanamerta, ”Apakah yang telah terjadi dengan rombongan kecil itu.”

Dengan hati-hati Wanamerta menceritakan semua yang telah dialaminya. Sejak ia


menginjakkan kakinya di kota, sampai ia meninggalkan kota itu, tanpa menyembunyikan
atau menambahnya sama sekali. Diceriterakan pula bagaimana Sendang Papat seolah-
olah menjadi gila ketika ia mengira adiknya telah mati. Sehingga bagaimana mungkin
seorang penari sampai hati membakar seperangkat gamelan.

Mahesa Jenar mendengarkan setiap kata-kata Wanamerta dengan seksama. Demikian


juga Arya Salaka dan Kebo Kanigara. Bahkan pada wajah Arya Salaka kemudian
tergores luka di hatinya, sehingga keringat dingin membasahi dahi serta punggungnya. Ia
merasa bahwa Wanamerta telah berusaha sedapat-dapatnya untuk menghindari bentrokan
yang mungkin terjadi, namun agaknya orang-orang yang menentangnya itu benar-benar
telah kehilangan jantungnya.

Sedangkan Wanamerta kemudian menjadi gelisah kembali. Bagaimanakah penilaian


Mahesa Jenar kepada hasil pekerjaannya.

Ketika Wanamerta telah berhenti berceritera, terdengarlah Mahesa Jenar menarik nafas
dalam-dalam. Ruangan itu kemudian menjadi sepi senyap. Semuanya menunggu apakah
yang akan dikatakan oleh Mahesa Jenar.

”Paman....” Terdengarlah Mahesa Jenar berkata perlahan-lahan. ”Kalau demikian, maka


peristiwa itu dapat berakibat buruk. Hari ini orang-orang Pamingit pasti akan
mengadakan tindakan-tindakan yang dapat melukai hati rakyat Banyubiru sebagai
pembalasan dendam.

SEMUA terdiam. Wanamerta sendiri menyadari hal itu. Karena itu ia berusaha sedapat-
dapat menghindarkan diri dari setiap bentrokan yang terjadi. Tetapi ia tidak berhasil.
Kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan, ”Tetapi bukanlah salah Paman.”

Wanamerta menarik nafas. Syukurlah kalau Mahesa Jenar mengetahui kesulitan yang
dihadapinya pada waktu itu. Dalam pada itu Mahesa Jenar menyambung kata-katanya
pula, ”Tetapi siapakah yang telah berusaha untuk menyelamatkan Paman dari tangan
orang-orang Pamingit itu?”

Wanamerta menggeleng lemah. ”Aku tidak dapat mengetahuinya Ngger. ”Aneh...”


Mahesa Jenar bergumam. ”Tetapi keempat kawan-kawannya dapat dikenal oleh Ki
Prana,” sahut Sendang Papat, ”Mereka adalah putra-putra dan kemenakan Ki Lemah
Telasih yang juga disebut Ki Banyubiru.

Tetapi yang seorang itu tak diketahuinya.” ”Bagaimana dengan tanda-tanda yang
dimilikinya?” tanya Mahesa Jenar pula. Kemudian Wanamerta mencoba untuk
menggambarkan tokoh anak muda yang aneh itu.

Tiba-tiba Widuri tertawa. Dan suara tertawanya telah mengejutkan semua orang yang
berada di dalam ruangan itu. Ketika ia sadar bahwa seluruh perhatian tertumpah
kepadanya, ia menunduk malu.

”Kenapa kau tertawa?” tanya ayahnya. ”Anak muda yang aneh itu,” jawabnya. ”Kenapa
dia?” desak ayahnya.

”Bukankah anak muda itu Kakang Karang Tunggal?” sahut Widuri. ”He...?” Kanigara
mengerutkan keningnya. Akhirnya ia berkata, ”Kau benar. Anak itu pasti Karang
Tunggal.” Mahesa Jenar akhirnya mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Iapun
agaknya sependapat bahwa anak muda itu tidak lain adalah Putut Karang Tunggal, yang
nama sebenarnya adalah Mas Karebet, atau mendapat sebutan lain Jaka Tingkir.

”Siapakah dia...?” Wanamerta ingin tahu. ”Kemanakanku,” jawab Kebo Kanigara,


”Nakalnya memang bukan main.” Wanamerta menarik alisnya yang sudah keputih-
putihan. Sejak semula ia telah mengagumi Kebo Kanigara seperti ia mengagumi Mahesa
Jenar. Jadi kalau kemenakannya dapat melakukan hal yang sedemikian dahsyatnya,
agaknya sudah pada tempatnya. Karena itu ia berkata, ”Itulah sebabnya, maka anak muda
itu telah mengenal Arya Salaka, Mahesa Jenar, Ki Ageng Supit, Wiraraga dan
Mantingan.” ”Anak muda itu telah mengenal Ki Ageng Supit, Kakang Wiraraga dan
aku?” tanya Ki Dalang Mantingan. ”Ya, Ngger,” jawab Wanamerta. ”Disebut-sebutnya
nama-nama itu.”

”Tidak aneh,” potong Kebo Kanigara, ”Ia berjalan dari satu ujung keujung negeri ini
yang lain. Ia singgah hampir setiap perguruan yang ada.”

”Luar biasa....” Terdengar hampir setiap mulut bergumam. Namun mereka tidak lama
terpaku pada anak muda yang aneh itu. Sebab merekapun pada saat itu menghadapi
keadaan yang cukup gawat.
Meskipun di dalam hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terselip pula pertanyaan,
kenapa Jaka Tingkir itu tiba-tiba saja berada di Banyubiru? Bukankah ia berangkat dari
Karang Tumaritis, untuk mohon diri kepada ibu serta ibu angkatnya untuk mengabdi ke
Demak? Apakah ia telah menyia-nyiakan waktu sekian lamanya untuk berjalan kesana-
kemari tanpa ujung pangkal, sedangkan seorang yang waskita, telah mengatakan
kepadanya, bahwa ia akan sanggup untuk menerima jabatan Agung? Tetapi pertanyaan
itu tak terucapkan. Sebab tak seorangpun yang akan dapat menjawab.

Yang kemudian terdengar adalah suara Mahesa Jenar, ”Paman, bagaimana menurut
tanggapan Paman. Apakah orang-orang Pamingit itu akan membuat onar?”

Kembali perhatian Wanamerta terlempar kepada peristiwa malam tadi. Setelah berpikir
sejenak iapun menjawab, ”Mungkin Anakmas. Hal itu adalah mungkin sekali.”

”Kalau begitu kita harus mencegahnya.” Mahesa Jenar bergumam seperti untuk diri
sendiri. Namun tanggapan Arya Salaka ternyata hebat sekali. Tiba-tiba ia berdiri tegak,
dan dengan dada tengadah ia berkata, ”Marilah Paman. Betapa rinduku pada tanah
kelahiran. Dan betapa rinduku kepada pangabdian.”

Akibat dari kata-kata Arya Salaka itu ternyata bukan main. Tiba-tiba ruangan itupun
menjadi riuh. Wanamerta, Sendang Papat, Bantaran, Panjawi, dan para pemimpin laskar
Banyubiru yang lain tiba-tiba serentak berkata, ”Kita serahkan jiwa raga kita untuk
kampung halaman, untuk masa depan tanah kelahiran.”

Mahesa Jenar terharu melihat kesetiaan itu. Pernyataan beberapa orang pemimpin laskar
Banyubiru itu merupakan cermin dari setiap hati yang lain. Mereka agaknya telah
bersedia sepenuh-penuhnya, apapun yang terjadi atas mereka. Bahkan Sendang Parapat
yang terbaring itupun berkata perlahan-lahan namun penuh dengan gelora kesetiaannya,
"Kiai Wanamerta, bawalah aku serta. Aku sudah akan sembuh sore nanti.”

”Baiklah,” jawab Mahesa Jenar kepada para pemimpin itu.

”Memang masa depan Banyubiru terletak di tangan kalian. Karena keyakinan itu pulalah
maka kalian bersedia berkorban. Laralapa. Menderita selama ini dan untuk masa-masa
yang belum kalian ketahui ujungnya. Meskipun seandainya kalian tidak akan mengecap
kenikmatan hasil perjuangan kalian, namun anak cucu kalian akan menulis di atas lontar,
bahwa pada suatu masa, rakyat Banyubiru bangkit berjuang untuk menegakkan keadilan
dan kebenaran. Berjuang untuk anak cucu mereka tanpa pamrih bagi diri sendiri, dengan
membiarkan dirinya menderita sakit dan lapar. Namun dengan cita-cita luhur dan murni.”

DADA para pemimpin itupun menjadi semakin bergelora. Seakan-akan mereka tidak
sabar lagi menunggu. Ke Banyubiru sekarang juga. Sesaat kemudian terdengarlah
Mahesa Jenar meneruskan, ”Karena itu, bersiaplah kalian. Aku akan pergi ke Banyubiru
sekarang juga dengan Arya Salaka.”

Anda mungkin juga menyukai

  • 1351 NG
    1351 NG
    Dokumen25 halaman
    1351 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1476 NG
    1476 NG
    Dokumen25 halaman
    1476 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1401 NG
    1401 NG
    Dokumen25 halaman
    1401 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1426 NG
    1426 NG
    Dokumen25 halaman
    1426 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1376 NG
    1376 NG
    Dokumen25 halaman
    1376 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1451 NG
    1451 NG
    Dokumen25 halaman
    1451 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1176 NG
    1176 NG
    Dokumen25 halaman
    1176 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1276 NG
    1276 NG
    Dokumen25 halaman
    1276 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1326 NG
    1326 NG
    Dokumen25 halaman
    1326 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1226 NG
    1226 NG
    Dokumen25 halaman
    1226 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1251 NG
    1251 NG
    Dokumen25 halaman
    1251 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1101 NG
    1101 NG
    Dokumen25 halaman
    1101 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1301 NG
    1301 NG
    Dokumen25 halaman
    1301 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1201 NG
    1201 NG
    Dokumen25 halaman
    1201 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1226 NG
    1226 NG
    Dokumen25 halaman
    1226 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1351 NG
    1351 NG
    Dokumen25 halaman
    1351 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1151 NG
    1151 NG
    Dokumen25 halaman
    1151 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1251 NG
    1251 NG
    Dokumen25 halaman
    1251 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1326 NG
    1326 NG
    Dokumen25 halaman
    1326 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1301 NG
    1301 NG
    Dokumen25 halaman
    1301 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1176 NG
    1176 NG
    Dokumen25 halaman
    1176 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1201 NG
    1201 NG
    Dokumen25 halaman
    1201 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1151 NG
    1151 NG
    Dokumen25 halaman
    1151 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1276 NG
    1276 NG
    Dokumen25 halaman
    1276 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1076 NG
    1076 NG
    Dokumen25 halaman
    1076 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1051 NG
    1051 NG
    Dokumen25 halaman
    1051 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1026 NG
    1026 NG
    Dokumen25 halaman
    1026 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 751 NG
    751 NG
    Dokumen25 halaman
    751 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat
  • 1001 NG
    1001 NG
    Dokumen25 halaman
    1001 NG
    H. Nugroho
    Belum ada peringkat