Anda di halaman 1dari 84

KEMELUT LEMBAH MERAPI MERBABU

Oleh : ARIF USMAN

Ilustrasi : Kumbalaseta

Sebuah sumbangsih kecil untuk ikut melestarikan cerita silat asli Indonesia.

Diwedarkan khusus di :

Padepokan Gagakseta.

November 2023.

Tidak bertujuan Komersil.

Hanya untuk kalangan sendiri.

Dilarang diperjualbelikan/menyebarluaskan/Mengunggah cerita dibawah ini dalam


bentuk format apapun tanpa izin

Jika para CanMen berkenan memberikan tali asih suka rela, silahkan mengirimkan donasinya ke rekening Mbak Ayu
Sakiah Bank BRI No. Rek :069301012155501 Kami sangat berterima kasih atas partisipasi para CanMen, merupakan
bentuk kepedulian para CanMen dalam mendukung Ki Arif Usman untuk terus berkarya. Bagi CanMen yang sudah
berkenan bisa info ke email:sakiah2@gmail.com. Matur suwun

2
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Raden Tenggulun masih tampak diam termenung. Tampaknya


ia sedang berpikir cukup keras.

“Sepertinya kita mendapat kesempatan yang tidak boleh disia-


siakan Raden” ujar Ki Ajar Guntara memberi bujukan halus.

“Mereka baru saja berangkat, tentu mereka belum jauh berjalan.


Dalam waktu setengah hari, mereka bahkan belum mencapai sepertiga
dari perjalanan menuju lembah tersebut. Apalagi jika mereka harus
menyeberang Kali Progo lebih dahulu” kata Raden Tenggulun dengan
suara berat. Ia tidak ingin memutuskan sesuatu hal dengan gegabah dan
menuruti hawa nafsu belaka.

“Tetapi mereka langsung menuju Kleringan, mungkin mereka akan


terus ke Matesih tanpa harus berbelok menyeberang Kali Progo” kata
Rara Taraswati memberi pendapat.

“Benar raden. Meski jalannya lebih rumpil, berliku dan menembus


hutan meski tidak seberapa lebat, jalan setelah Kademangan Kleringan
lebih pendek untuk mencapai Matesih di Gunung Tidar” sahut Ki Ajar
Guntara.

“Mereka masih belum terlampau jauh. Jika kita berhasil menguasai


Menoreh malam ini, keesokan harinya mereka bisa melancarkan
serangan balasan dengan cepat. Kita mungkin akan kesulitan
menahannya. Orang-orang Menoreh yang ada di dalam tanah perdikan
pasti akan bergolak dan bangkit serentak melawan kita” ucap Raden
Tenggulun dengan kening di penuhi kerutan.

“Tetapi bagaimana jika kita menyerbu langsung padukuhan induk


dan menawan Ki Gede Menoreh? Dengan menjadikan Ki Gede Menoreh
sebagai tawanan, bukankah kita memiliki keuntungan yang lebih baik,
Raden?” tiba-tiba Ki Ajar Guntara memberi usul.

Mereka yang hadir tampak mengangguk-angguk mendengar usul


yang cukup cemerlang tersebut.

1
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

“Kita tidak perlu bertempur dari satu padukuhan ke padukuhan


hingga mencapai padukuhan induk. Ini tentu sangat menghemat tenaga.
Lagi pula, setelah ditinggal para pengawalnya para penduduk Menoreh
tidak akan bisa berbuat banyak” desis Rara Taraswati setelah menilai
usul Ki Ajar Guntara dengan seksama selama beberapa saat.

“Agung Sedayu sendiri pasti akan kebingungan. Apakah akan


menyelamatkan keluarganya atau menyelamatkan dirinya dari
kemarahan sinuhun prabu apabila dia memutuskan kembali ke Menoreh
dan menunda tugasnya” cetus Ki Ajar Guntara lagi karena merasa
usulnya mendapat angin.

“Coba Raden pikirkan lebih mendalam. Kita bukan ingin


membumihanguskan Menoreh hingga tumpas tapis warata bumi.
Tetapi kita ingin menjadikannya sebagai pencandaan untuk menyerang
Mataram di kemudian hari. Artinya, kita membutuhkan pasukan
pengawal mereka dalam keadaan utuh sebanyak mungkin. Begitu pula
para kawulanya. Jadi tujuan kita disini bukan untuk menumpas mereka
secara keseluruhan. Dengan menangkap Ki Gede, kita bisa
menggunakannya untuk memenuhi tujuan kita dengan lebih mudah”
sambungnya lagi dengan cepat.

“Lalu bagaimana dengan orang-orang yang berkumpul di Lembah


Merapi Merbabu, bukankah mereka akan melihat kita dengan penuh
kedengkian apabila kita berhasil menancapkan kuku kita dengan kuat di
sisi barat Mataram? Meskipun mereka juga ingin merongrong Mataram
seperti kita, belum tentu mereka akan sejalan dengan tujuan kita” tanya
Ki Sarungga.

“Anggap saja, kita telah berjasa dalam menahan Pasukan Menoreh


menggempur lembah itu. Dengan demikian, kita telah memberi sebuah
pamrih kepada orang yang menyebut dirinya Panembahan Agung.
Sedikit banyak, kita justru telah membantunya bukan? Kita bisa
membuat penawaran-penawaran kepada mereka dikemudian hari
dengannya” ujar Ki Ajar Guntara dengan senyum lebar.

2
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Raden Tenggulun tampak mengangguk-angguk. Sepertinya ia mulai


terpengaruh oleh jalan pikiran Ki Ajar Guntara.

“Tidak usah pikirkan orang-orang di lembah Merapi Merbabu.


Mereka hanyalah sepercik nyala api kecil dibandingkan dengan api
kemarahan orang-orang Panaraga dan orang-orang Bang Wetan yang
ada di belakang kita” ucap Raden Tenggulun sambil mengedarkan
pandangan.

“Tetapi, jika kita mampu membuat pamrih untuk mereka, mengapa


tidak?” sambungnya lagi dengan senyum melebar.

“Apakah ini artinya, Raden setuju kita menyerbu Menoreh


sekarang? Waktu mulai terasa menyempit” tanya Ki Ajar Guntara
dengan jantung berdebar.

Raden Tenggulun segera mengangguk, “Aku setuju meskipun terasa


terburu-buru bagiku. Tetapi aku rasa kita bisa melakukannya.
Persiapkan sekelompok khusus orang-orang berilmu tinggi yang akan
menjadi ujung tombak penyerbuan. Aku akan memimpinnya sendiri
pasukan berisi orang-orang pilihan yang menuju padukuhan induk
Menoreh dan menangkap Ki Gede Menoreh” jawab Raden Tenggulun
dengan serta merta.

“Tetapi kita harus berhitung lebih cermat terlebih dahulu” katanya


lagi sambil mengedarkan pandangan berkeliling sehingga orang-orang
dihadapannya harus menahan napas beberapa saat.

“Bagaimana dengan orang-orang yang dianggap berilmu tinggi di


Menoreh? Bukankah kita sudah lama menduga bahwa ada beberapa
orang yang merupakan tokoh-tokoh sakti masa lalu yang
menyembunyikan jati dirinya disana?” tanya Raden Tenggulun
setelahnya.

“Raden, Aku melihat paling tidak ada dua orang tua renta yang ikut
dalam rombongan pasukan yang bergerak menuju Kleringan, meskipun
sebenarnya aku tidak yakin” sahut cantrik yang melapor pada mereka
sambil menyembah dengan hormat.

3
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

“Tidak yakin tentang apa?”

“Aku tidak yakin kalau mereka adalah orang-orang tua yang sakti
mandraguna, melihat tingkah laku mereka. Mereka tampak bersenda
gurau seperti anak kecil” kata sang cantrik dengan wajah meremehkan.

“Jangan terkecoh dengan sebuah sikap. Orang-orang tua yang


sudah mulai pikun namun berilmu tinggi sering berbuat hal-hal yang
kurang wajar sehingga mengaburkan penilaian” sanggah Ki Ajar Guntara
sehingga sang cantrik menjadi terdiam menunduk.

“Berapa orang yang kau nilai sebagai orang-orang tua yang


menyembunyikan jati dirinya di Menoreh?” tanya Raden Tenggulun
sambil mengalihkan pandangannya pada Sangga dan Sarungga.

“Saat di pendapa, aku melihat setidaknya ada empat orang sepuh


selain Ki Gede Menoreh” jawab Sangga setelah beberapa saat
mengingat-ingat.

“Kau bisa membedakan mereka dari para bebahu yang berkumpul?”

“Tentu raden, karena tidak semua diizinkan untuk ikut menonton


perbandingan ilmu antara Agung Sedayu dan Raden Wanajati.
Seingatku hanya ada seorang demang. Tetapi dia belumlah terlalu tua”

“Kalau begitu ada kemungkinan dua orang telah tinggal di Menoreh


menemani Ki Gede?”

“Sepertinya demikian, raden”

“Maaf raden, salah seorang pengamatku melihat ada rombongan


kecil yang keluar dari padukuhan induk sesaat setelah matahari terbit”
sela cantrik yang sedang memberi laporan pengamatan kawan-
kawannya.

“Rombongan kecil? Siapakah menurut kalian?”

“Kami dapat memastikan mereka telah keluar dari rumah Ki Gede


Menoreh. Salah seorang tua yang tinggal di rumah Ki Gede Menoreh
ternyata ikut di rombongan berkuda itu. Isinya dua orang perempuan,

4
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

seorang diantara menggendong bayi. Sementara ada seorang pemuda


tanggung pula diantara mereka”

“Siapakah mereka?”

“Menurut dugaan kami, setelah berbicara dengan beberapa


penduduk Menoreh yang menonton disekitar perhelatan yang diadakan
di rumah Ki Gede Menoreh, perempuan yang menggendong anaknya
adalah Nyi Sekar Mirah yang bergegas pulang ke Sangkal Putung”

Sesaat orang-orang yang duduk di gubug itu terdiam dan saling


pandang. Kemudian suasana sepi diantara mereka segera terpecahkan
oleh suara tawa yang nyaring. Ternyata Ki Miswa yang sedari tadi diam
saja kini tertawa terbahak-bahak.

“Memang demikianlah sifat perempuan! Setegar-tegarnya seorang


istri yang bahkan memiliki ilmu kanuragan tinggi, seorang pewaris
perguruan Kedungjati yang tersohor sekalipun, tidak akan tahan bila di
madu!” serunya dengan mulut masih tertawa lebar.

Nyi Rara Taraswati sebagai satu-satunya perempuan yang berada di


dalam lingkaran tersenyum dengan sangat kecut. Dalam hatinya ia bisa
merasakan benar apa yang sedang dirasakan Nyi Sekar Mirah yang
bergegas pergi dari Menoreh.

“Tetapi menurut pendengaran kami, justru Nyi Sekar Mirahlah yang


telah melamarkan Nyi Pandan Wangi sebagai istri kedua suaminya”
cetus Ki Sarungga dengan kening berkerut.

“Benarkah?” tanya Rara Taraswati dengan mata membelalak tak


percaya selama sesaat.

“Bohong! Kau sedang mengigau! Perempuan mana yang dapat


berbuat demikian? Legawa untuk menerima madunya!?” cetus Ki
Miswa dengan wajah sangat meremehkan.

“Kau terus-terusan mencela keterangan kami kiai. Apa maksudmu?


Kami dengan mata kepala sendiri melihat bagaimana kerasnya Nyi Sekar
Mirah membela keduanya untuk menuju ke pelaminan. Bahkan Nyi

5
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Sekar Mirah hampir turun ke gelanggang untuk mewakili suaminya”


seru Ki Sarungga dengan suara tertahan.

“Kurasa dia sudah gila! Sama seperti keteranganmu!” cetus Ki


Miswa masih tidak mau kalah.

“Sudah! Berhentilah! Tidak ada yang penting dalam perdebatan


kalian!” seru tertahan Raden Tenggulun demi melihat mata Ki Sangga
dan Sarungga hampir melompat keluar demi mendapat cemoohan dari
Ki Miswa. Keadaan bisa semakin keruh sementara apa yang mereka
perdebatkan justru tidak berguna.

“Yang penting kita sudah yakin, bahwa tinggal satu orang tua yang
menemani Ki Gede Menoreh. Aku tidak mau salah hitung. Seseorang
harus menghadapinya. Begitu pula harus ada seorang lagi sebagai
pelapisnya untuk menjaga segala kemungkinan. Tugas ini kuberikan
pada kalian berdua, Ki Ajar Guntara dan Ki Miswa. Singkirkan sifat
angkuh kalian. Jika perlu berkerja sama untuk melumpuhkannya,
lakukan! Jangan ragu-ragu. Aku sendiri yang akan meringkus Ki Gede
Menoreh” ujar Raden Tenggulun dengan suara agak meninggi.

Ki Miswa sedikit kurang senang dengan gelagat Raden Tenggulun


yang memberi perintah kepadanya. Tetapi ia tetap berusaha menahan
hati. Sementara Ki Ajar Guntara mengangguk mengiyakan meski dengan
wajah terlihat kurang puas pula.

“Lalu apa tugasku?” tanya Rara Taraswati tiba-tiba.

“Kau berjaga-jaga saja, Tara. Bukankah kabarnya ada beberapa


perempuan berilmu tinggi di rumah itu? Meskipun tampaknya semua
telah pergi dengan tujuan masing-masing, tetapi kita tetap harus
berjaga-jaga jika hitungan kita tidak tepat benar” jawab suaminya sambil
tersenyum.

“Aku rasa tidak ada, Raden. Jika Nyi Pandan Wangi memimpin
Menoreh menuju lembah Merapi dan Nyi Sekar Mirah pulang ke
Sangkal Putung, sepertinya tidak ada perempuan berilmu tinggi lain

6
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

yang perlu diwaspadai” kata Ki Sangga mengingat-ingat keluarga besar


Ki Gede Menoreh saat ada di pendapa.

Seingatnya memang hanya kedua perempuan itulah yang masih


duduk di pendapa saat keluarga Kademangan Kalireja dimana ia berada
datang bersama-sama ke rumah Ki Gede Menoreh.

“Meskipun demikian, tidak ada salahnya berjaga-jaga” tukas Raden


Tenggulun tetap pada pendiriannya.

Sejenak ia termenung mengingat nasehat Ki Ageng Lawang Geni


saat berjumpa dengannya. Meskipun ia tidak terlalu mempercayai
keterangan Ki Ageng Lawang Geni, akan tetapi kata-katanya yang
menyatakan bahwa orang-orang Menoreh cukup licik dan tidak segan-
segan melanggar paugeran untuk memperoleh kemenangan telah
membuat Raden Tenggulun sangat cermat berhitung agar tidak
kecolongan.

Raden Tenggulun juga teringat pada nasib perguruan Jalak Tangkil


yang tidak pernah nampak batang hidungnya setelah berita terakhir
menyebutkan mereka telah menyeberang Kali Progo. Dugaan mereka,
perguruan itu telah tumpas di bunuh orang-orang Menoreh atau
Pasukan Khusus Mataram. Atau malah kedua-duanya sekaligus.

“Kembalilah ke tempatmu bertugas. Bersiaplah. Kita sepertinya kita


akan berbuat sesuatu secepatnya” kata Ki Ajar Guntara kepada cantrik
yang melapor kepadanya setelah beberapa saat Raden Tenggulun diam
dan Ki Ajar Guntara merasa tidak akan ada lagi yang akan ditanyakan
kepada cantriknya tersebut.

Cantrik itupun menyembah dan bergeser mundur dengan jantung


ikut berdebaran pula.

“Apakah ada kemungkinan orang berilmu tinggi lain yang patut


kita waspadai di sana?” tanya Raden Tenggulun kemudian.

“Sepertinya tidak Raden. keberangkatan pasukan Pengawal


Menoreh tentu menyedot hampir semua kekuatan Menoreh. Selain

7
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

seorang tua yang sudah sepuh dan Ki Gede Menoreh pastinya” jawab Ki
Sarungga.

“Lalu bagaimana dengan kawan-kawan kalian dari Kalireja? Aku


tidak menjamin keselamatan mereka dalam penyerbuan kita nanti”

“Tidak mengapa raden. Mereka tentu sudah meninggalkan Menoreh


bersamaan dengan langkah kami menuju tempat ini. Kalaupun mereka
ternyata berubah pikiran dan terjebak dalam serangan kita, silahkan
lakukan apapun yang raden mau pada mereka. Aku tidak ambil pusing”
ucap Ki Sangga tanpa pertimbangan sama sekali. Ki Sarungga pun
mengangguk membenarkan pula.

“Menurutku, jikalau mereka memang masih ada di Menoreh, kita


harus mewaspadai Ki Talang Putih. Ilmunya sangat ngedab-edabi” ujar
Sangga melanjutkan kata-katanya. Ia kemudian meneruskan lagi setelah
sesaat diam untuk menelan ludahnya,

“Tetapi akan kecil sekali kemungkinan Ki Demang Kalireja dan


gurunya masih berada di Menoreh saat ini. Mereka tentu sudah
tergopoh-gopoh pergi karena tidak punya muka lagi di Menoreh”

“Akupun meyakini seperti demikian. Mereka bukan persoalan sama


sekali bagi gerakan kita” kata Ki Sarungga dengan penuh keyakinan.

“Baiklah kalau begitu. Akupun tidak ingin kesempatan ini disia-


siakan. Aku setuju, kita menyerang langsung ke padukuhan induk
Menoreh untuk menangkap Ki Gede Menoreh untuk kita jadikan bahan
tawar menawar dengan pasukan segelar sepapan yang sedang dipimpin
Agung Sedayu”

Wajah-wajah cerah segera menghiasi orang-orang yang ada di


hadapan Raden Tenggulun. Sebuah gairah tiba-tiba menyala di dalam
dada mereka mendengar keputusan bulat yang jatuh dari mulutnya,
tentu saja dengan jantung berdebar-debar pula.

“Nah, segera persiapkan segala sesuatunya secermat mungkin


dalam waktu singkat ini. sebaiknya kita semua bergerak ke sana
sekaligus. Nanti malam, kita sudah akan tidur di padukuhan induk

8
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Menoreh dan istirahat dengan nyaman di rumah-rumah yang hangat


disertai makanan yang enak. Bukan seperti di dalam hutan yang penuh
nyamuk ini” ujar Raden Tenggulun lagi dengan senyum terkulum.

“Sendika raden” jawab hampir semua orang yang ada di


hadapannya.

“Kirimlah kabar kepada murid-murid Jalatunda yang ada di sisi


Kali Progo agar mereka langsung bergabung dalam penyerangan nanti
sore dari sisi timur” katanya lagi sambil menatap Ki Ajar Guntara.

“Baik Raden” jawab Ki Ajar Guntara.

Ia pun memanggil murid tertuanya untuk mengabarkan rencana


mereka hingga ke tepian Kali Progo. Sekali lagi Panjang harus
melingkari Menoreh dalam waktu sesingkat-singkatnya untuk
mengabari murid-murid Jalatunda di sisi timur Kali Progo. Panjang
pernah melakukannya. Sehingga ia dianggap sudah mahir untuk
melaksanakan perintah Raden Tenggulun.

“Kau tidak perlu kembali kemari. Tempat ini akan kosong.


Sebaiknya kau ikuti saja para Putut dari Jalatunda. Kita pasti akan
bertemu lagi disuatu tempat di Menoreh” kata Ki Ajar Guntara setelah
Panjang menerima sebuah lontar berisi perintah yang ditulis oleh Rara
Taraswati.

“Baik Guru” jawab Panjang untuk kemudian dengan tekad bulat


namun hati lebih tenang untuk kembali melaksanakan tugas yang sudah
pernah diembannya.

“Kakang, sampai bertemu lagi di Menoreh” celetuk Panengah yang


menunggu agak jauh dari gubug tempat guru mereka berkumpul
bersama Raden Tenggulun.

“Ya kakang. Kami akan menunggumu untuk membagi hadiah kita”


sambung Pendek yang berdiri disamping Panengah.

“Hadiah?” tanya Panjang dengan wajah terheran-heran.

9
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

“Ya. Begitu kita menguasai Menoreh, kami akan bergegas mencari


dua perempuan muda yang pernah kita temui di pasar kala itu. Sungguh,
aku masih penasaran dengan kemulusan kulit dibalik pakaian mereka”
cetus Panengah sambil tertawa cengengesan.

“Gila! Otak kalian tidak pernah bisa lepas dari bayang-bayang


perempuan” seru tertahan Panjang yang menyadari maksud dari kedua
adik seperguruannya.

“Bukankah kakang juga?” celetuk Panengah.

“Tetapi aku tidak segila kalian. Aku baru akan memikirkannya


setelah Menoreh dikuasai. Bukan membayang-bayangkan hasil dari
sesuatu perkara sebelum ada usaha”

“Kakang bisa terlambat. Lihatlah, berapa banyak murid-murid


perguruan lain yang hadir disini. Aku yakin, mereka sudah membayang-
bayangkan keinginan mereka sendiri, kedua perempuan muda yang kita
temui pasti akan ditemukan oleh mereka jika kita tidak bersegera”

Panjang menggeleng-geleng dengan geram. Kalau saja ia tidak


sedang mengemban sebuah tugas dari gurunya, mungkin ia akan
berpanjang lebar beradu mulut dengan kedua adik seperguruannya yang
pernah hampir mencelakakan mereka semua akibat perbuatan mereka.

“Terserahlah, lakukan apa yang kalian mau. Tetapi laksanakan


dahulu tugas kalian sebelumnya. Itu jauh lebih baik. Kalau kalian
mengacau lagi, aku tidak akan membela kalian lagi” geramnya sambil
melangkah pergi.

“Tentu saja kakang” jawab Panengah dan Pendek hampir


bersamaan masih dengan senyum mereka.

Panjang tidak lagi menggubris kedua adik seperguruannya. Dengan


langkah lebar ia meninggalkan hutan itu untuk terus menuju Kali Progo
dengan menyusup diantara padukuhan-padukuhan yang ada di tlatah
Tanah Perdikan Menoreh.

10
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

*******

Dalam pada itu, di tepi sebuah sungai pertarungan antara Sekar


Mirah melawan Putut Sanggalangit ternyata masih terjadi dengan
dahsyatnya. Sebagai seorang Putut yang telah lama menimba ilmu di
perguruan yang dikemudian hari disebut Perguruan Wirapati, Putut
Sanggalangit tidaklah mengecewakan. Hingga tingkat yang sedemikian
tingginya, Putut Sanggalangit masih dapat mengimbangi kemampuan
kanuragan dan olah keprigelan Sekar Mirah, seorang pewaris aliran
Kedungjati.

Putut Sanggalangit terus mendorong kemampuannya setinggi yang


dapat ia capai untuk dapat menaklukkan perempuan paruh baya yang
ingin menghalangi langkahnya membawa Ratih ke hadapan
Panembahan Agung.

Putut Sanggalangit dengan cepat mulai merambah kemampuannya


menggunakan ciri-ciri khusus Perguruan Wirapati yang pernah ia
peroleh semasa berguru disana.

Ratih pun menyadari bahwa Putut Sanggalangit tidak main-main. Ia


tahu benar, bahwa kemampuan Putut Sanggalangit mencukupi untuk
sekedar melawan Prajurit Mataram hingga seorang senapati berpangkat
Lurah Prajurit sekalipun.

Sekar Mirah sendiri mulai merasakan gempuran lawan yang


dihadapinya semakin kokoh dan menekan. Angin yang mengikuti
gempuran lawannya tersebut semakin keras dan tajam menerpa
mengiringi serangannya. Untuk sesaat, Sekar Mirah merasa tertekan.

Putut Sanggalangit pun berbesar hati demi melihat lawannya


bergeser setapak ke belakang setelah gempurannya semakin keras
melibas lawannya. Di saat itulah, ia mengambil kesempatan untuk
melihat pertarungan lain yang terjadi di dekatnya.

Sungguh di luar dugaannya bahwa kedua kawannya yang berasal


dari Padepokan Panembahan Agung ternyata sudah dalam keadaan

11
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

terdesak sedemikian hebatnya akibat tekanan yang diberikan kakek tua


yang ikut dalam rombongan berkuda yang muncul di tepi sungai
tersebut.

“Setan! Demit! Apa kakek tua itu sudah kerasukan!?” makinya


dalam hati demi melihat kesulitan kawan-kawannya.

“Kau ingin membantu kawan-kawanmu?” tanya Sekar Mirah yang


kembali mampu mempertahankan kedudukannya dalam menghadapi
gempuran Putut Sanggalangit yang sedemikian dahsyat.

“Ya. Tetapi setelah merubuhkanmu terlebih dahulu, perempuan


iblis”

“Kau yang iblis!” balas Sekar Mirah seketika karena merasa muak
dengan perilaku lawannya yang mengata-ngatainya.

Hati Sekar Merah pun menjadi panas. Sebagai seorang linuwih yang
mewarisi aliran ilmu Kedungjati, terdapat kebanggaan dalam dirinya
sebagai seorang ksatria yang memegang paugeran. Namun jika
lawannya telah merendahkan dengan menyebutnya dengan kata-kata
yang kurang pantas, harga dirinya sebagai seorang perempuan segera
melonjak berujung dengan kemarahan.

Sekar Mirah masih cukup sadar untuk dapat mengingat berbagai


petuah dan kata-kata yang sering ia dengar dari orang-orang yang
dituakan bahwa kemarahan akan menumpulkan penalaran. Maka,
meskipun hati Sekar Mirah terasa panas, namun ia berusaha
meredamnya agar tidak membuat kesalahan-kesalahan.

Karenanya, Sekar Mirah pun kembali menata serangannya sehingga


kecepatannya meningkat makin tajam dan pengamatannya kembali
cermat dalam menilai setiap gerakan lawan-lawannya.

Putut Sanggalangit kembali terkejut dengan tandang lawannya yang


kembali mampu mengimbanginya bahkan dalam waktu sekejap mampu
kembali menekan pertahanannya. Dalam pertimbangannya, waktu
sudah sedemikian mendesak. Sebelum kawan-kawannya kalah oleh

12
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

kakek tua itu, ada baiknya ia segera melumpuhkan lawannya. Hidup


atau mati tidak akan menjadi persoalan baginya.

Tetapi tampaknya sangat sulit untuk segera dapat melumpuhkan


perempuan paruh baya yang menjadi lawan tangguhnya kali ini.
Serangannya sangat tajam. Kemampuannya juga sangat tinggi dan rasa-
rasanya sulit untuk ditentukan batas teratasnya.

Namun, Putut Sanggalangit belum menyerah. Dia masih mampu


meningkatkan kemampuannya beberapa lapis lagi sebelum mencapai
puncak ilmunya. Dia akan mencoba meningkatkan ilmunya lagi sebelum
memutuskan untuk meneruskan pertempuran itu atau menghindarinya.

Putut Sanggalangit pun memutuskan untuk menggunakan sebuah


aji yang dipelajarinya di padepokan Wirapati. Sebuah ilmu yang
berlandaskan pada kekuatan api yang tersalur melalui telapak
tangannya.

Demikianlah sejenak kemudian udara di sekitar medan


pertempurannya terasa menghangat. Terlihat percikan-percikan api
yang terlontar dari kedua telapak tangan Putut Sanggalangit setiap kali
dia melakukan serangan.

Sekar Mirah pun terkejut dengan perkembangan yang muncul


dihadapannya.

“Tangannya sangat berbahaya!” desis Sekar Mirah berusaha


menghindar dari terkaman telapak tangan Putut Sanggalangit.

“Kulitmu akan segera melepuh! Wajahmu akan rusak dengan


sedikit saja sentuhan tanganku!” seru Putut Sanggalangit merasa dirinya
kembali berada di atas angin.

“Celaka!” desis Ratih tanpa sadar. “Paman Sanggalangit benar-


benar tidak memakai nalarnya lagi”

Ratih sendiri dengan wajah memucat segera mengenali ilmu api


yang tersalur melalui telapak tangan Putut Sanggalangit. Beberapa kali
ayahnya dahulu sempat membuatnya kagum, karena dengan telapak

13
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

tangan yang memercikkan api Ki Wirapati dahulu mampu melelehkan


sepotong besi.

Sekar Mirah sendiri harus kembali meningkatkan pengungkapan


tenaga cadangannya untuk dapat membuat dirinya mengimbangi Putut
Sanggalangit. Dengan meningkatnya pengungkapan tenaga cadangan
Sekar Mirah, perempuan yang lahir di Sangkal Putung itu mampu
meningkatkan kecepatannya pula sehingga mulai sulit di tangkap oleh
mata wadag, gerakan sudah seperti bayang-bayang yang meloncat
kesana kemari. Dengan kegesitannya, Sekar Mirah menghindari
benturan langsung dengan telapak tangan Putut Sanggalangit.

Putut Sanggalangit kembali merasa usahanya terbentur batu karang


yang kokoh. Kecepatan perempuan paruh baya yang menjadi lawannya
benar-benar mumpuni dan sulit dicerna oleh nalarnya. Meskipun ia
memiliki telapak tangan yang sepanas api, tetapi jika ia gagal menyentuh
lawannya dikarenakan kecepatan lawan yang jauh diatasnya, maka sia-
sia pula kemampuannya yang seharusnya mampu melelehkan besi.

“Hanya demikian kemampuanmu, he!? Bagaimana kau bisa


merusak kulitku jika tidak mampu menyentuhku!?” seru Sekar Mirah
setelah kecepatannya meningkat dan ternyata sulit diimbangi oleh
lawannya.

“Demit! Setan alas! Aku belum mau menyerah sekarang!” bentak


Putut Sanggalangit dengan suara gusar.

Sebenarnyalah, ia mulai ragu untuk mampu menyentuh lawannya


dengan telapak tangannya. Perempuan itu seolah-olah berubah menjadi
burung Sriti yang gesit menyambar-nyambar dengan paruhnya. Putut
Sanggalangit semakin heran bahwa di kolong langit ini ternyata ada
perempuan yang sedemikian tangkasnya dalam olah kanuragan.
Terbetik pemikiran dalam hatinya, ingin tahu siapakah perempuan yang
menjadi lawannya kali ini. Tetapi tentu saja, Putut Sanggalangit tidak
sudi untuk bertanya.

Putut Sanggalangit semakin merasa keadaannya tidak mapan


setelah sekilas, ia melihat kawannya telah roboh terkena pukulan kakek

14
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

tua yang menjadi lawannya. Bukannya membalas, kawannya yang satu


lagi tiba-tiba berteriak dan menghentakkan serangannya untuk
kemudian secara tiba-tiba berbalik dan lari meninggalkan lawannya.

Kakek tua yang menjadi lawannya terkejut. Apalagi sekejap


kemudian, lawannya yang sudah jatuh ke tanah ternyata masih mampu
bangkit dan melemparkan segenggam pasir ke arah wajah kakek tua
tersebut sehingga kakek tua itu memalingkan wajahnya tanpa sadar.

Orang itupun ikut melarikan diri meninggalkan Putut Sanggalangit.


Kakek tua itu sepertinya tidak berniat mengejar. Ia membiarkan kedua
lawan-lawannya menghilang dan sesudah termangu sesaat, ia justru
mendekat ke arah pertarungan Putut Sanggalangit.

Putut Sanggalangit benar-benar merasa terjepit. Jika kakek tua itu


berniat melibatkan diri, ia pasti akan terjungkal ke tanah dalam waktu
sepenginang.

Menyadari hal tersebut, Putut Sanggalangit membuat keputusan


cepat. Putut Sanggalangit tidak mau berlama-lama. Iapun harus
melarikan diri pula. Meskipun artinya dia akan gagal memenuhi
keinginan Panembahan Agung dan mencapai tujuannya sendiri untuk
membawa Ratih ke lembah Merapi Merbabu.

Maka Putut Sanggalangit pun menghentakkan kemampuannya dan


menekan Sekar Mirah sedemikian rupa sehingga istri pertama
Tumenggung Agung Sedayu itu mundur dua langkah karena terkejut
mendapatkan serangan yang sedemikian hebatnya.

Waktu yang hanya sekejap dimanfaatkan dengan baik oleh Putut


Sanggalangit. Ia membalikkan badan dan berlari sekencang-kencangnya
meninnggalkan arena pertarungan. Di dorong oleh kemampuannya
mengetrapkan Aji Sepi Angin yang dikuasainya meski dalam tataran
yang cukup awal, Putut Sanggalangit seperti menghilang dalm waktu
sepenginang dari hadapan Sekar Mirah.

“He!” seru terkejut Sekar Mirah melihat lawannya lari sedemikian


cepatnya dan menghilang dibalik semak-semak yang rimbun. Sama

15
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

seperti Empu Wisanata, Sekar Mirah tidak berniat untuk mengejar sama
sekali.

Ratih pun menghembuskan napas penuh kelegaan. Sepertinya hati


Ratih terasa sangat lapang setelah Putut Sanggalangit pergi. Ia merasa
tidak ada lagi yang akan mengganggunya.

Dengan cepat gadis cantik berkulit hitam manis itu menyongsong


Sekar Mirah dan jatuh bersimpuh di hadapannya.

“Nyi Sekar Mirah, terima kasih banyak. Terimalah sembah baktiku”


ujarnya sambil mengangkat sembahnya kepada Sekar Mirah.

“Ah, bangkitlah Ratih. Kau tidak perlu bersikap demikian”

“Tetapi, nyai telah menolongku. Akupun telah berjanji untuk


menjadi pelayanmu. Aku akan menepati janjiku”

“Benarkah?” tanya Sekar Mirah masih tidak percaya.

Ratih mengangguk tanpa ragu. Matanya yang hitam legam


membulat menatap Sekar Mirah. Sekar Mirah menimbang sesat
persoalan yang ada di hadapannya. Tetapi demi melihat wajah Ratih
yang tampak polos dan bersungguh-sungguh, timbul pula rasa iba pada
gadis ini seperti yang dirasakan oleh Pandan Wangi dahulu.

“Kau berjanji akan menuruti segala kata-kataku?”

“Ya, Nyi. Aku berjanji, asal…”

“Asal apa?”

“Asal aku tidak disakiti. Sungguh, aku hanya yatim piatu yang selalu
hidup dalam penderitaan, orang-orang selalu menyakitiku, bahkan
bibiku sendiri” ucap Ratih dengan suara agak bergetar.

“Ratih, aku berjanji tidak akan menyakitimu, tentunya jika kau


benar-benar patuh padaku” sahut Sekar Mirah segera setelah yakin
bahwa Ratih tampaknya memang bersungguh-sungguh dengan kata-
kata yang diucapkannya.

16
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Ratih mengangguk lagi dengan cepat. Kini wajah berubah menjadi


sangat cerah. Sepertinya ia merasa hidupnya kembali mendapat angin
segar. Apalagi kini ia ada dalam perlindungan seorang perempuan yang
memiliki ilmu kanuragan yang sangat mumpuni.

Ratih sendiri masih bertanya-tanya bagaimana seorang perempuan


cantik seperti Nyi Sekar Mirah mampu menguasai ilmu kanuragan
sedemikian hebatnya? Siapkah yang mengajarinya? Apakah ia akan
berkesempatan mendapatkan setetes saja dari kemampuan
kanuragannya?

Tetapi untuk sementara, Ratih harus menyimpan segala pertanyaan


dalam hatinya. Tentu dengan berjalannya waktu, ia akan memiliki
banyak kesempatan untuk mengetahuinya kelak.

“Bagaimana selanjutnya, Nyi?” tanya Empu Wisanata.

“Kita lanjutkan perjalanan” sahut Sekar Mirah.

Sekar Mirah lalu mengalihkan pandangannya dan menatap Ratih.

“Kau benar-benar ingin ikut aku?”

“Benar Nyi” jawab Ratih mantap.

“Kau bisa menunggang kuda dengan pakaianmu sekarang?”

“Ya, Nyi. aku bisa duduk menyamping”

“Baiklah kalau begitu. Kebetulan kami membawa kuda tambahan.


Kau bisa menggunakannya. Tetapi sebaiknya kuda itu dikurangi
bebannya dahulu”

“Aku akan membagi bebannya dengan keempat kuda yang lain” kata
Empu Wisanata dengan cepat.

“Terima kasih ki”

Maka Empu Wisanata membongkar sebagian beban di kuda yang


awalnya digunakan untuk membawa barang-barang yang dibawa Sekar
Mirah dari Menoreh. Empu Wisanata bekerja cermat dibantu oleh

17
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Damarpati dan Ratih membagi beban yang tadinya dipikul seekor kuda
kepada empat kuda lainnya.

Tidak terlalu lama, Empu Wisanata menyelesaikan pekerjaannya.


Kuda itupun siap ditunggangi Ratih.

“Marilah, kita berangkat. Kita harus bergegas. Jangan sampai kita


kemalaman di jalan” ajak Sekar Mirah.

Kawan-kawannya pun mengangguk dan mengambil kuda masing-


masing.

Saat Ratih sedang sibuk berusaha menyampirkan pakaiannya untuk


dapat menaiki kudanya, Sekar Mirah segera menggamit lengan Dwani.

“Nyi, aku minta Nyi Dwani memperhatikan dengan seksama segala


perilaku Ratih. Aku tidak mempercayainya” bisik Sekar Mirah sangat
lirih.

Nyi Dwani pun segera mengangguk meskipun raut wajahnya


tampak terkejut.

“Aku menduga, gadis muda itu ada sangkut pautnya dengan


Perguruan Wirapati. Sepertinya ia tidak mengenali diriku. Sebaiknya
Empu Wisanata dan Damarpati segera diberitahu agar tidak membuka
asal usul kita dari Menoreh untuk beberapa waktu ke depan”

Dwani menggangguk sekali lagi. Iapun pernah mendengar sebagian


cerita tentang perguruan Wirapati selama tinggal di rumah Ki Gede
Menoreh.

“Akan kusampaikan kepada ayah dan Damarpati dengan hati-hati”


balasnya berbisik.

“Apakah tadi Damarpati sempat bercerita banyak dengan Ratih


selama pertarunganku? Apakah dia sempat bercerita kita dari
Menoreh?” selidik Sekar Mirah dengan perasaan cemas.

“Aku ada di dekat mereka saat pertarungan. Aku mendengar hampir


semua pembicaraan Ratih dan Damarpati. Mereka sempat berbicara

18
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

singkat. Tetapi aku bisa meyakinkan diri kalau Damarpati belum


mengatakan asal kita dari Menoreh” jawab Nyi Dwani yang memiliki
tingkat kewaspadaan sangat tinggi pula.

“Terima kasih Nyi. Bagus sekali kalau begitu. Bagus Sadewa harus
dijaga lebih ketat selama diemban oleh Damarpati apalagi jika Ratih ada
di dekatnya. Jika benar dugaanku bahwa Ratih ini adalah putri dari Ki
Wirapati, keberaniannya luar biasa. Dia berani menyerang Kakang
Sedayu dengan belati panjang dari jarak dekat, sebagaimana cerita mbok
ayu Pandan Wangi padaku. Aku akan memikirkan tindakanku
selanjutnya selama perjalanan terhadap keadaan Ratih yang telah
bersama kita”

“Aku mengerti, Nyi” kata Dwani sambil menarik napas panjang.

Ternyata gadis muda hitam manis yang mereka temui di tepi sungai
ini bukanlah gadis padesan biasa. Untunglah, Sekar Mirah dengan
ketajaman penalarannya cepat sadar jati diri Ratih yang sebenarnya
dengan menghubungkan berbagai cerita dan peristiwa yang ia dengar
dan alami sendiri.

Tidak lama kemudian, rombongan Sekar Mirah siap berderap


kembali dengan cepat menuju Sangkal Putung. Dwani tidak lama-lama
membiarkan Damarpati mengemban Bagus Sadewa. Ia segera
mengambil alih bayi montok itu sebelum mereka mulai berpacu menuju
Sangkal Putung.

Damarpati sendiri tidak menduga apa-apa. Ia justru senang,


bahunya tidak terbebani apapun selama berderap diatas kuda. Sehingga
Damarpati kini berkuda disamping Ratih yang terlihat cukup tangkas
pula mengendalikan kudanya meski harus duduk menyamping. Dwani
masih sempat menyampaikan peringatan Sekar Mirah pada ayahnya.
Empu Wisanata segera mengangguk mengerti.

Karenanya, Empu Wisanata kemudian berusaha berkuda di dekat


Ratih dan Damarpati agar perempuan muda itu tidak memberitahukan
hal-hal yang penting tentang mereka seperti permintaan Sekar Mirah.

19
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Untunglah mereka sedang berkuda dengan bergegas. Sehingga


meskipun Ratih dan Damarpati berkuda bersisian, tetapi mereka tidak
sempat bercakap-cakap sama sekali. Tentu saja karena pasti ada rasa
canggung diantara mereka karena baru saling mengenal sehingga tidak
tahu apa yang bisa mereka perbincangkan.

Pada kesempatan pertama nanti, Dwani akan memperingatkan


Damarpati untuk menutupi jati diri mereka agar tidak diketahui oleh
Ratih. Setidaknya untuk sementara waktu sampai Sekar Mirah memiliki
rencana terhadap kehadiran Ratih diantara mereka.

********

Dalam pada itu, pasukan Mataram yang mempertahankan


padukuhan Samiran telah berusaha sekuat tenaga melawan serangan
orang-orang Panembahan Agung yang hari itu di pimpin oleh murid
pertamanya, Jagat Satria Agung.

Meski pasukan Mataram telah memberikan perlawanan yang


sedemikian gigih dengan jumlah mereka yang lebih banyak, namun
sedikit demi sedikit, sejengkal demi sejengkal mereka telah tergeser
mundur dan orang-orang yang berasal dari gerombolan yang bermukim
di Padepokan Panembahan Agung mulai mampu menyusup diantara
ketatnya garis pertahanan pasukan Mataram yang berusaha menjaga
betul agar mereka tetap bersatu padu menahan gempuran yang maha
dahsyat tersebut.

Dengan menyusupnya orang-orang panembahan agung yang


bertempur secara buas tanpa mengindahkan paugeran, sedikit demi
sedikit ikatan kuat diantara pasukan Mataram yang terbiasa betempur
dalam satu kesatuan mulai retak dan terpisah-pisah. Segala usaha untuk
kembali menyatukan bagian-bagian dari kelompok prajurit Mataram
yang terpencar selalu digagalkan dengan gerakan lawannya.

20
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Para senapati Mataram mulai khawatir bahwa pasukan Mataram


sebentar lagi akan terikat dalam perang brubuh dimana kawan dan
lawan akan menyatu dalam arena pertempuran yang luas.

Dalam keadaan perang brubuh, prajurit Mataram akan kehilangan


kekuatannya karena harus mengandalkan kemampuan mereka masing-
masing saja tanpa bantuan dari kawan-kawan di sampingnya yang
mungkin memiliki tekanan yang lebih sedikit dari lawannya.

“Ki Lurah! Ki Lurah! Keadaan kita mulai genting! Sudah ada


beberapa orang gerombolan ini yang lolos masuk ke dalam padukuhan
dan menghilang di jalan-jalan Samiran. Mereka bisa berbuat apa saja di
belakang garis pertahanan kita!” seru seorang prajurit penghubung yang
dengan susah payah telah menerobos pertempuran untuk melaporkan
keadaan garis belakang yang mulai kacau pula.

Ki Lurah Anjasmaya adalah lurah prajurit pertama yang berhasil


ditemuinya sehingga penghubung itu serta merta melaporkan
pengamatannya kepadanya.

“Celaka! Cepat laporkan pada pangeran!” seru Lurah Anjasmaya


yang masih sibuk beradu keprigelan dengan seorang pengikut Jagat
Satria Agung yang menggunakan senjata bindi.

“Aku sudah mencari ke beberapa bagian Ki Lurah! Aku tidak bisa


menemukan pangeran!”

Bagaikan tersirap seluruh darah di sekujur tubuh Ki Lurah


Anjasmaya demi mendapatkan kabar dari penghubungnya.

Ki Lurah Anjasmaya berusaha mengedarkan pandangannya


meskipun itu sangat berbahaya baginya. Tetapi dari sekilas
pengamatannya, memang sudah sulit sekali mengamati pertempuran
disekelilingnya yang dipenuhi senjata, debu, keringat jeritan, teriakan
serta makian bahkan darah yang sesekali muncrat dimana-mana.

“Usahakan terus untuk memberitahu pangeran. Aku akan mencoba


bergeser ke belakang” desis Ki Lurah Anjasmaya merasa keadaan
mereka sudah semakin gawat.

21
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Apalagi jika memang Pangeran Mandurareja tidak lagi diketahui


keberadaannya. selama beberapa saat yang sudah berlalu, Ki Lurah
Anjasmaya memang tidak memperhatikan pertarungan Pangeran
Mandurareja melawan Jagat Satria Agung. Ia terlalu sibuk mengatur dan
membantu kawan-kawannya menahan serangan para pengikut
Panembahan Agung.

Ki Lurah Anjasmaya berusaha bergeser ke belakang sementara


penghubungnya mundur untuk mencari Pangeran Mandurareja. Tetapi
lawan Ki Lurah Anjasmaya yang mengetahui maksudnya karena ikut
mendengar percakapan singkatnya telah bergeser pula untuk mencegah
Lurah Prajurit itu mengundurkan diri dari garis depan untuk menilik
bagian belakang dari pertahanan prajurit Mataram.

“Kau tidak akan bisa lari dariku, Ki Lurah!” serunya dengan suara
serak namun penuh dengan gelora ingin membunuh. Ia terus
mengayunkan bindinya dengan kasar. Tujuannya jelas untuk
menghancurkan siapapun lawannya.

Ki Lurah Anjasmaya pun kesulitan menghindar. Tidak ada prajurit


Mataram lain yang bisa membantunya. Semuanya telah sibuk dengan
lawannya masing-masing. Pertempuran mulai terlihat sangat kacau
karena kawan dan lawan telah tercampur aduk diantara jalan-jalan dan
pekarangan-pekarangan rumah yang ada di sekitar regol sebelah barat
padukuhan Samiran.

Ki Lurah Anjasmaya hanya dapat berharap Pangeran Mandurareja


dapat diberitahu dan ada orang lain yang mengambil alih keadaan di
garis belakang Samiran. Sekali lagi ia mencoba menebarkan
pandangannya berkeliling.

Sungguh hanya pemandangan mengerikan medan pertempuran


penuh darah yang bisa dilihatnya. Ia tidak lagi melihat kemungkinan
untuk menduga dimana Pangeran Mandurareja berada. Begitu pula
kawan-kawannya seperti Ki Kuda Suraga dan Ki Kuda Sayoga. Medan
pertempuran dihadapannya benar-benar tidak bisa diamati lagi.

22
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Sementara itu, para penduduk Kademangan Sela mulai diungsikan


dari padukuhan-padukuhan di sekitar Samiran. Dengan wajah takut dan
cemas, penduduk Sela yang kebanyakan terdiri dari perempuan, anak-
anak dan orang tua berbaris mengular menuju ke Kademangan Cepaga.
Para pengawal Kademangan Sela ditugaskan untuk menjaga jalur yang
akan mereka lewati dan berharap tidak ada orang-orang dari
Panembahan Agung yang memotong jalur pengungsian para penduduk
Sela.

Di rumah yang di tempati Ki Demang Sela di padukuhan Samiran,


Ki Demang Sela yang bertubuh agak gemuk itu pun sedang dalam
keadaan cemas dan khawatir luar biasa. Beberapa pengamatnya telah
melapor bahwa keadaan pasukan Mataram mulai gawat dan terpecah
belah.

Di halaman rumah yang mereka tempati telah berkumpul beberapa


pedati yang bukan saja dimuati barang-barang tetapi juga sejumlah
orang yang sudah terluka dan akan di bawa mundur ke belakang untuk
mendapatkan perawatan.

“Ki Demang, pedati-pedati sudah siap” desis salah seorang


pembantunya dengan wajah memucat. Setiap saat, orang-orang dari
gerombolan Panembahan Agung bisa saja sudah berlari-lari di jalan
yang ada dihadapan mereka karena berhasil mengalahkan pasukan
Mataram.

“Berangkatlah sekarang! Aku akan menyusul” perintah Ki Demang


Sela.

“Bagaimana dengan Ki Lurah Jalawrasta?”

“He!? Mengapa dengannya?”

“Ia menolak untuk dibawa. Dia masih duduk di pendapa”

Ki Demang Sela benar-benar terkejut. Beberapa saat lalu, lurah


prajurit itu telah digendong salah seorang prajurit Mataram dalam
keadaan pingsan dan dititipkan di pendapa dengan perintah agar dibawa
mundur ke Kademangan Cepaga.

23
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Dengan langkah tergesa-gesa, Ki Demang Sela bergegas menemui


lurah prajurit Mataram tersebut.

“Ki Lurah, aku sarankan Ki Lurah ikut pedati yang akan menuju
Cepaga” katanya setelah menyapa Ki Lurah Jalawrasta yang masih
terduduk bersandar di salah satu tiang pendapa.

“Tidak Ki Demang. Aku tidak akan meninggalkan Samiran. Aku


tidak mungkin meninggalkan kawan-kawanku” jawab Ki Lurah
Jalawrasta sambil mengepalkan tangannya seolah-olah ingin
menunjukkan bahwa dirinya mulai kembali bertenaga.

Tetapi ternyata tangannya tampak gemetar. Ki Demang Sela jelas


sekali melihatnya sehingga ia menjadi tahu, lurah prajurit dihadapannya
masih tidak berdaya setelah apa yang sudah dialaminya.

“Marilah, Ki Lurah. Kami akan membawamu ke Cepaga” bujuk Ki


Demang Sela sambil memberi isyarat agar pembantunya segera
memapah Ki Lurah Jalawrasta.

Tetapi lurah prajurit Mataram itu kembali menggeleng seraya


menegakkan telapak tangannya di depan dada.

“Kalian pergi saja. Aku tidak ingin keluar dari sini” desisnya.

Kali ini ia mencoba berdiri dengan beringsut sambil bertelekan pada


kedua tangannya. Dengan perlahan sekali, ia berhasil bangkit meski
dengan kaki gemetar.

Ki Demang Sela dan para pembantunya menjadi saling


berpandangan. Tidak ada yang tahu apa yang harus mereka katakan.

“Carikan aku pedang. Aku akan kembali ke garis depan membantu


teman-temanku” ujar Ki Lurah Jalawrasta lagi demi melihat orang-
orang dihadapannya hanya terdiam menatapnya.

Ki demang Sela masih tampak ragu.

24
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

“Cepat. Jangan buang waktu. Kalian masih harus menyelamatkan


para penduduk Sela. Tidak usah pikirkan aku. Justru seharusnya
keselamatan kalianlah yang lebih penting”

“Baiklah, Ki Lurah” sahut Ki Demang Sela pada akhirnya. Ia


memberi isyarat kepada seorang pembantunya untuk mencarikan
sebilah pedang untuk lurah prajurit Mataram di hadapannya.

“Ki Lurah, kami harus bergegas. Mohon jaga dirimu”

“Jaga dirimu dan orang-orang kademanganmu pula, Ki Demang”

Ki Demang Sela mengangguk dan meninggalkan Ki Lurah


Jalawrasta yang masih berdiri gemetar di dekat thlundak pendapa. Ia
masih menunggu pedang yang dicarikan oleh salah seorang pembantu Ki
Demang Sela. Pedangnya telah hilang saat pertarungan tadi. Tinggal
sarungnya yang ada di pinggangnya.

“Marilah, kita mundur ke Sela” ajak Ki Demang kepada beberapa


orang yang menunggunya di tengah halaman rumah yang ia tempati.

“Ki Demang. Apa maksudmu!?” tanya seorang bebahu dengan


wajah kurang setuju. Suaranya terdengar tertahan karena takut
terdengar oleh orang lain yang lalu lalang, kecuali beberapa orang yang
memang berdiri berdekatan dengannya.

“Ki Demang benar-benar ingin ikut orang-orang Mataram mundur


ke Cepaga?” bisik seorang bebahu yang lain dengan wajah menegang.

Peluh kembali membasahi dahi Ki Demang Sela. Ia mengerti benar


maksud dan tujuan dari keberatan beberapa bebahu yang ada di
sekitarnya. Sekali lagi ia harus berpikir keras dan menimbang-nimbang
dengan sangat matang. Keputusannya kali ini, adalah keputusan besar.

Jika ia memilih ikut mundur ke Cepaga, maka jelas sudah sikap


Kademangan Sela untuk tidak memihak orang-orang Panembahan
Agung. Setelah beberapa saat menimbang-nimbang dengan keras,
akhirnya Ki Demang Sela pun berujar,

25
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

“Keluarga kita kebanyakan sudah berada di Cepaga sekarang.


Mereka akan aman disana. Aku tidak memiliki lagi gairah untuk
mendengarkan ucapan-ucapan orang-orang Panembahan Agung.
Mereka selalu mengancam tanpa memperdulikan perasaan kita sebagai
kawula alit” desis lirih Ki Demang Sela.

Beberapa bebahu yang selama ini condong untuk bersetia kepada


Mataram tampak menghembuskan napas penuh kelegaan sambil saling
mengangguk mendengar ucapan Ki Demang Sela.

“Ki Demang, Cepaga bukanlah tempat yang cukup aman. Orang-


orang Panembahan Agung tentu telah tertanam pula diantara kawulanya
seperti disini. Ki Demang tidak bisa mengandalkan keselamatan kita
kepada orang-orang Mataram yang hanya memikirkan gegayuhannya
sendiri. Bukankah Mataram sama saja? Datang ke Sela, menduduki
samiran dan meminta banyak hal yang hampir-hampir tidak bisa kita
sediakan?” bantah salah seorang bebahu yang sudah lama condong
untuk mengikuti kemauan orang-orang Penambahan Agung.

“Apakah hidup kita akan seketika menjadi lebih baik jika berubah
haluan sekarang? Bukankah perjuangan mereka yang berasal dari
padepokan itu juga masih sangat panjang? Berapa banyak pengorbanan
kita yang akan dituntut oleh mereka di kemudian hari?” seru tertahan Ki
Demang Sela dengan tubuh bergetar menahan amarahnya. Tampaknya
segala tekanan batin yang selama ini hanya bisa ditahan-tahan di dalam
hatinya telah menyeruak keluar dari rongga dadanya.

“Ki Demang benar. Kita di Sela selama ini sudah memberikan apa
yang kita bisa kepada Mataram. Mereka tidak menuntut terlalu banyak
sebelum peristiwa ini. Hanya takdir sajalah yang menyebabkan kita
terjerumus dalam persoalan sekarang. Jika tidak, Kademangan Sela
akan tetap seperti sebelumnya, tenang, damai dan tentram meski banyak
kekurangan disana-sini, akan tetapi jiwa kita terasa lebih bebas dalam
menjalani kehidupan kita sehari-hari” cetus salah seorang bebahu yang
leboh condong untuk mengikuti Mataram.

26
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Tampak para bebahu yang sebenarnya mulai terpecah keinginannya


saling balas menatap satu sama lain seolah-olah ingin membantah
segala pendapat yang tidak mengena di hati mereka.

“Marilah bersegera. Sebelum keadaan semakin gawat. Kita masih


harus mengawasi jalur pengungsian agar aman. Setelah itu, kita harus
membantu Mataram jika mereka harus mengundurkan diri dari
Samiran” ajak Ki Demang Sela.

“Ki Demang….” geremeng salah seorang diantaranya dengan wajah


tidak setuju.

“Terserah padamu. Aku izinkan kau tinggal disini menunggu orang-


orang Panembahan Agung. Aku tidak memaksa kalian. Siapa yang ingin
ikut denganku, marilah bersegera” cetus Ki Demang Sela sambil
menatap tajam salah seorang bebahunya yang tampak tidak setuju jika
mereka mengikuti orang-orang Mataram sekarang.

Orang itupun terdiam. Tentu saja ia tidak akan berani berbuat


demikian jika hanya ia sendiri yang tinggal disana. Nyalinya tentu akan
menciut tinggal sebesar biji sawi apabila harus berhadapan dengan
gerombolan dari padepokan Panembahan Agung.

“Bagaimana dengan tawanan di dalam bilik?” tanya salah seorang


bebahu lain secara tiba -tiba.

Ki Demang Sela terkejut sekali, hampir saja ia melupakan tawanan


yang dititipkan Pangeran Mandurareja kepadanya.

“Kita harus membawanya. Marilah, kita jemput dia”

“Apakah dia tidak berbahaya?”

“Aku rasa tidak. Jika saja ia seorang yang beringas, mungkin ia akan
berusaha melepaskan diri sejak kemarin. Atau paling tidak ia akan
bersikap kasar dari dalam biliknya”

“Aku dengar ia orang sakti. Tetapi sepertinya ia tidak mau melawan


titah Pangeran Mandurareja”

27
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

“Kita tetap harus berhati-hati”

Maka dengan mengikuti Ki Demang Sela, beberapa bebahu ikut


masuk ke dalam rumah dan mendekati sebuah bilik yang di selarak dari
dalam.

“Bukalah” perintah Ki Demang setelah menarik napas panjang


untuk meredakan napasnya yang mulai memburu akibat ketegangan
yang melanda kademangannya.

Seorang bebahu segera mengangkat selarak sementara beberapa


kawannya yang lain tampak meraba gagang senjata mereka tanpa sadar
untuk menjaga segala kemungkinan.

Orang yang menjadi tawanan Pangeran Mandurareja ternyata


sedang duduk diatas amben dan sepertinya sedang memusatkan
pikirannya. Tetapi orang itu segera mengangkat wajah tanpa perlu di
panggil oleh Ki Demang Sela.

“Kisanak, keadaan Sela sedang meruncing. Kami diminta


mengungsi ke Cepaga. Marilah, ikut kami. Mohon jangan persulit kami
untuk saat ini” berkata Ki Demang Sela kepadanya.

“Apakah Pangeran Mandurareja yang meminta kalian


membawaku?” balas tawanan itu bertanya.

Ki Demang Sela sempat agak bingung menjawab pertanyaan


tawanan itu. Keputusan untuk menjadikan Cepaga sebagai titik
pengungsian ia dengar dari para lurah prajurit yang menyampaikan
kepadanya. Ia tidak mendengar langsung dari Pangeran Mandurareja.

Namun jika para lurah prajuritnya telah menjalankan rencana


tersebut tanpa ada silang pendapat, maka menurut pemahaman Ki
Demang Sela, tentu perintah gerak mundur itu sudah di perintahkan
oleh Pangeran Mandurareja.

“Aku mendapat perintah ini dari para Lurah Prajuritnya. Sela harus
dikosongkan karena orang-orang Panembahan Agung dikhawatirkan
akan menembus pertahanan Samiran sebentar lagi”

28
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Tawanan itu tampak termangu sesaat.

“Aku hanya akan mengikuti perintah dari Pangeran Mandurareja.


Aku adalah tawanannya”

“Persetan!” desis salah seorang bebahu mulai merasa geram.

“Ki Demang, kita sudah membuang-buang waktu. Samiran akan


segera hancur berantakan. Cepat kita tinggalkan tempat ini sebelum
terlambat!” sahut bebahu yang lain.

“Kisanak. Aku tidak akan memaksamu. Terserahlah. Nasibmu


tergantung pada keputusanmu. Aku sudah berusaha menyelamatkanmu’
kata Ki Demang Sela dengan suara meninggi berkata pada tawanan yang
ada di hadapannya.

Tepat pada saat itu, salah seorang pengawal dari Sela datang
bergegas menemui Ki Demang Sela dengan wajah pucat pasi.

“Ki Demang! Ki Demang! Di halaman depan sudah terjadi


pertarungan! Beberapa orang dari padepokan Panembahan Agung sudah
menerobos masuk” lapornya dengan tergesa-gesa dan wajah memucat.

“Celaka! Marilah tinggalkan tempat ini!” desis Ki Demang Sela.

Tanpa memperdulikan tawanan yang masih duduk diatas


ambennya, Ki Demang Sela dan orang-orangnya cepat-cepat menyingkir
membiarkan pintu bilik tetap terbuka.

Di halaman depan telah terjadi pertarungan antara beberapa


pengawal Sela dengan dua orang yang berwajah beringas. Ki Lurah
Jalawrasta tampak ikut mengeroyok dua orang itu dengan pedang di
tangannya.

“Cepat tinggalkan tempat ini! Aku akan menahannya!” seru Ki


Lurah Jalawrasta demi melihat Ki Demang Sela sempat terpaku di depan
pringgitan karena bingung dengan tindakan yang dapat ia lakukan
kemudian.

29
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Ki Demang Sela tidak berpikir dua kali. Dengan terbirit-birit, ia dan


para bebahu menaiki kuda masing-masing dan bergegas pergi diikuti
para pengawal Sela. Sementara pedati-pedati tampaknya sudah lebih
dahulu keluar dari halaman rumah tersebut.

“Hati-hatilah, Ki Lurah!” seru tertahan Ki Demang Sela saat


meninggalkan regol dengan kuda berpacu meskipun dengan perasaan
tidak mapan meninggalkan Ki Lurah Jalawrasta sendirian.

Para pengawal Sela pun selangkah demi selangkah meninggalkan Ki


Lurah Jalawrasta sendirian menghadapi kedua lawan mereka. Sungguh
mereka merasa tidak tega membiarkan lurah prajurit dari Mataram
tersebut berjuang sendiri.

Namun, mereka pun tidak memiliki keberanian lebih banyak untuk


terus bertahan dan membantu lurah prajurit tersebut menghadapi lawan
mereka. Tentunya tidak berapa lama lagi, keadaan akan berubah.
Mungkin saja, lawan mereka akan semakin banyak dan kesempatan bagi
para pengawal Sela untuk menyelamatkan diri justru semakin kecil.

“Pergi!” perintah Ki Lurah Jalawrasta sehingga para pengawal Sela


yang tersisa terbirit-birit meninggalkannya.

“Kau membunuh dirimu!” seru tertahan lawan Ki Lurah Jalawrasta


demi melihat beberapa pengawal Sela yang tadinya membantu
mengepung mereka telah membalikkan badan dan lari meninggalkan
gelanggang mengejar demang mereka yang menyingkir dari Samiran.

“Hadapi saja aku! Tidak usah banyak bicara!” bentak Ki Lurah


jalawrasta yang tidak merasa takut sama sekali meskipun keadaan
dirinya sudah tidak begitu bertenaga lagi.

“Bodoh! Aku akan membelah kepalamu!” seru lawannya yang satu


lagi dengan wajah begitu buas.

Hari ini ia merasa diatas angin setelah mampu menerobos regol


Samiran, ia merasa memiliki kesempatan besar untuk memuaskan
nafsunya menumpahkan darah orang-orang Mataram sebanyak
mungkin.

30
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Beruntung bagi Ki Lurah Jalawrasta, tidak lama kemudian datang


dua prajurit Mataram yang kebetulan melewati regol dan berbelok
memasuki pekarangan untuk membantunya begitu melihat senapatinya
sedang dalam kesulitan.

Hampir dalam waktu bersamaan, terdengar lengkingan kecil yang


bernada menyayat. Suara itu terdengar berulang-ulang seolah-olah
mampu menggambarkan keadaan Samiran yang semakin parah. Setelah
mendengarkan dengan seksama, Ki Lurah Jalawrasta pun maklum, jika
Ki Kuda Permana sudah membunyikan serulingnya, menandakan
perintah gerak mundur pasukan Mataram yang berasal dari Karang
Awen sudah dijatuhkan.

Kini ia merasa harus menyelamatkan pula kedua prajurit Mataram


yang datang membantunya. Keduanya bukan dari kesatuan Karang
Awen, tetapi merupakan prajurit dari kesatuan Penjaga Kotaraja seperti
dirinya. Meskipun mungkin mereka mengetahui maksud dari suara
seruling itu, tetapi mereka pasti tidak akan meninggalkannya.

“Kalian menyingkirlah!” perintahnya pada kedua prajurit Mataram.

“Kami tidak akan membiarkanmu sendirian Ki Lurah!” teriak


prajurit Mataram yang membantunya.

“Kalau begitu, mari! Cepat selesaikan kedua orang ini. Kita akan
menyingkir bersama”

Kedua prajurit Mataram itupun merasakan dorongan semangat


yang menyala begitu Lurah Prajuritnya memberi perintah yang sesuai
dengan sifat mereka sebagai prajurit Mataram.

Ketiganya pun dengan seksama berkerja sama untuk melumpuhkan


dua orang dari gerombolan Padepokan Panembahan Agung yang
berhasil menerobos ke Samiran.

Sebagaimana prajurit Mataram yang mampu bertempur dalam


sebuah ikatan, ketiganya dengan cepat menekan kemampuan kedua
orang dari padepokan Panembahan Agung yang bertempur hanya
dengan mengandalkan kemampuan wadag dan tenaga besar mereka.

31
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Tekanan-tekanan ketiga prajurit Mataram itupun tampak nyata


semakin membuka pertahanan kedua lawannya yang tampak tidak mau
bekerja sama dalam menghadapi ketiga prajurit Mataram yang terlatih.
Keduanya hanya bernafsu membunuh dengan kemampuan mereka
tanpa kecermatan dalam menggunakan tenaga dan kelebihan-kelebihan
mereka.

Dalam pertarungan yang kurang seimbang itu, keduanya justru


kehilangan kelebihan mereka dan sedikit demi sedikit mulai bergeser
mundur akibat serangan-serangan yang begitu cermat dan saling
mengisi dari ketiga prajurit Mataram yang telah terbiasa bertempur
dalam satu ikatan.

Merasa dalam kesulitan, keduanya mencabut senjata-senjata


mereka sehingga ketiga prajurit Mataram pun ikut menghunus senjata
mereka.

Pertarungan pun menjadi semakin keras dan sengit. Suara-suara


besi beradu yang kadang-kadang menimbulkan percikan api kerap
terjadi. Kedua orang yang berasal dari Padepokan Panembahan Agung
begitu bernafsu menancapkan ujung-ujung senjata mereka ke tubuh
para prajurit Mataram.

Sepertinya mereka memang telah diperintahkan demikian. Tidak


ada larangan dari para pemimpin mereka dalam berbuat apapun apabila
berhadapan dengan orang-orang Mataram selain menggunakan cara
yang paling kejam untuk melukai kawula Mataram.

Tetapi para prajurit Mataram pun telah berlatih keras di barak-


barak mereka. Tidak ada niat sedikitpun dalam hati mereka untuk
membiarkan tubuh merek tercabik oleh senjata-senjata telanjang yang
digenggam lawan-lawannya. Sehingga sedari awal mengabdi sebagai
seorang prajurit, kemampuan mereka untuk memainkan senjata adalah
hal terpenting yang selalu mereka latih dan poles sebaik-baiknya.

Tampaknya dalam menggunakan senjatapun kedua orang dari


Padepokan Panembahan Agung itu tetap tidak mampu menonjolkan
kemampuan mereka. Para prajurit Mataram kembali dapat menahan

32
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

segala serangan mereka yang tampak kejam dan bengis karena kelebihan
orang yang mereka miliki.

“Desak mereka ke pagar!” perintah Ki Lurah Jalawrasta merasa


bahwa mereka bertiga telah ada diatas angin.

“Setan! Demit!” teriak kedua lawan mereka merasakan bahwa


mereka setapak demi setapak telah bergeser mundur mendekati pagar
rumah. Jika sampai punggung mereka melekat pada pagar, maka bisa
dipastikan mereka telah terdesak hebat dan tinggal menunggu waktu
dilumpuhkan oleh para prajurit Mataram.

Karenanya mereka berusaha dengan sangat keras, memecah


kepungan ketiga prajurit Mataram tersebut dan mencoba membalikkan
keadaan. Akan tetapi, ketiga prajurit Mataram itu sungguh cermat.
Tidak sedikitpun mereka memberi celah kepada lawan-lawannya untuk
dapat berpikir dan menemukan cara membalikkan keadaan. Sehingga
tidak lama kemudian, kedua orang itu sudah hampir kehabisan langkah
dan punggung mereka tinggal berjarak beberapa jengkal dari pagar
rumah.

Tetapi saat Ki Lurah Jalawrasta merasa sudah berada di atas angin,


mereka telah digetarkan oleh suara tawa yang bukan saja membuat ia
dan kawan-kawannya merasa seperti ada yang sedang meremas
jantungnya, namun kedua lawan mereka pun ikut meringis menahan isi
rongga dada mereka yang terguncang.

“Kelinci-kelinci sialan! Melawan tiga prajurit Mataram saja kalian


sudah kepayahan!” bentak seseorang kemudian.

Ki Lurah Jalawrasta terkejut. Sesosok tubuh tinggi besar telah


hinggap diatas pagar dekat dengan tempat mereka bertarung. Jantung
Ki Lurah Jalawrasta segera berpacu dengan cepat. Sosok itu adalah
murid kedua Panembahan Agung.

“Kami masih bisa melawan mereka, kiai!” seru salah seorang


pengikut Panembahan Agung tidak ingin kehilangan muka dihadapan
murid pertamanya.

33
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

“Pergi! Mereka jadi urusanku sekarang!”

“Tetapi kiai”

“Pergi sajalah! Aku punya tujuan khusus datang ke rumah ini”

Kedua orang pengikut Panembahan Agung itupun tidak mau


membantah lagi. Keduanya bergegas pergi meninggalkan halaman
rumah tempat mereka bertarung. Sementara Jagat Satria dengan
pongahnya melompat turun. Bukan dengan kecepatan luar biasa, tetapi
justru dengan cara melayang perlahan, seolah-olah tubuhnya hanyalah
selembar daun yang ditiup angin.

Keringat dingin membanjiri tubuh ketiga prajurit Mataram. Mereka


tahu benar dengan siapa mereka berhadapan. Adalah sulit sekali
melawan murid pertama Panembahan Agung meskipun di tempat itu
ada sepuluh prajurit Mataram sekalipun.

Namun ketiganya tidak akan surut dari pertarungan. Kematian


hanyalah sesuatu hal yang pasti. Namun belum tentu kematian mereka
akan ditentukan oleh Jagat Satria, musuh yang kini berhadapan dengan
mereka.

“He, bukankah kau tadi yang jatuh pingsan di depan regol?” tanya
Jagat Satria Agung mengenali wajah Ki Lurah Jalawrasta.

“Ya, kisanak. Kita berhadapan lagi disini!”

“Kau tentu sudah tahu, kalian tidak akan mampu melawanku”

“Belum tentu kisanak!”

Jagat Satria tertawa dengan senyum merendahkan.

“Sudahlah, kuberi kesempatan kalian untuk berlutut sekarang”

“Apakah dengan berlutut kau akan melepaskan kami?”

Jagat Satria kembali tersenyum penuh ejekan.

“Tergantung suasana hatiku. Mungkin saja aku akan mempercepat


kematian kalian dengan sebuah tebasan pedang. Aku belum pernah

34
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

memenggal tiga orang sekaligus dengan satu ayunan pedang. Kurasa aku
ingin mencobanya pada kalian hari ini. Aku berjanji, kalian tidak akan
terlalu merasakan kesakitan. Akan kupilih pedang yang paling tajam
melebihi tajamnya sembilu”

“Gila! Kau bermimpi! Untuk membuat kami berlutut saja, kau


sudah bermimpi terlalu banyak kisanak. Apalagi ingin membuat kami
mati tanpa perlawanan!”

“Terserah kalian sajalah. Aku agak kagum dengan keberanianmu,


siapa namamu? Apa jabatanmu? Mungkin aku akan mengenangmu
sebagai prajurit Mataram rendahan yang paling berani di hadapanku”

“Kau tidak perlu tahu namaku! Kami akan melawan sampai mati”

“Sayang sekali, padahal aku sedang mencari seorang lurah prajurit


Mataram yang selama ini bekerjasama denngan para telik sandiku.
Kurasa dia bekerja cukup baik sehingga aku ingin mengajaknya
bergabung saja ke padepokan guruku dan menyelamatkannya dari para
prajurit Mataram”

Kedua prajurit Mataram yang ada di samping Ki Lurah Jalawrasta


tampak sangat terkejut. Hati mereka bertanya-tanya apakah benar
semua yang dikatakan oleh Jagat Satria Agung.

Ki Lurah Jalawrasta sendiri merasakan jantungnya segera berdebar


jauh lebih keras. Ia sama sekali tidak percaya pada ajakan Jagat Satria.

“Lagi-lagi kau bermimpi kisanak. Tidak akan ada prajurit Mataram


yang bersedia membantumu. Kau hanya ingin memecah belah kami.
Bersiaplah!” serunya.

Ki Lurah Jalawrasta tidak lagi mau memperpanjang persoalan.


Baginya tidak ada tempat untuk kembali. Kemanapun ia berpihak
sekarang, nyawanya pasti tidak akan terampuni.

Maka dengan sebuah teriakan keras, Ki Lurah mengumpulkan


seluruh keberanian dan kekuatannya melompat maju dan menebaskan
pedangnya kearah dada Jagat Satria Agung.

35
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

“Heee! Nyawamu punya rangkapan ternyata!” seru Jagat Satria


agak terkejut mendapati serangan dari ayunan pedang Ki Lurah
Jalawrasta yang tiba-tiba menyerangnya.

Tetapi serangan itu sama sekali tidak berarti baginya. Mudah saja
bagi Jagat Satria Agung untuk bergeser ke samping dan kemudian
menepis tangan sang lurah prajurit. Tepisan yang tampak seperti
pukulan biasa tersebut ternyata mengandung tenaga wadag yang
sedemikan besarnya. Tangan Ki Lurah Jalawrasta langsung terasa
seperti remuk. Ia pun menjerit tidak kuasa menahan rasa sakit yang luar
biasa. Pedangnya ikut terlempar entah kemana.

Jagat Satria memang sangat linuwih sekaligus bengis tiada terkira.


Pedang Ki Lurah Jalawrasta yang terlempar ternyata mengarah keatas
dan akan jatuh menimpanya. Mudah saja bagi Jagat Satria untuk
menangkap gagang pedang itu dan tanpa berpikir panjang
menyabetkannya ke arah Ki Lurah Jalawrasta yang sedang dalam
keadaan jatuh ke tanah.

Lurah prajurit itu pun sempat melihat sekilas serangan Jagat Satria
meski dalam keadaan menahan sakit yang amat sangat di lengannya.
Serangan itu terasa sangat kejam sehingga sedapat-dapatnya, Ki Lurah
Jalawrasta berusaha menggeliat menghindari ujung pedang yang tajam.

Usahanya tidak sepenuhnya berhasil. Jagat Satria memang tidak


menggunakan tenaga puncak untuk menggerakkan pedang di
tangannya. Tetapi, tetap saja ujungnya berhasil mengoyak dada Ki Lurah
Jalawrasta sehingga segaris panjang luka telah menganga di dadanya.

Lurah prajurit malang itupun jatuh berdebam di tanah dengan


darah mengucur dari lukanya. Secara naluri, ditengah kesakitannya,
Lurah Prajurit dari Mataram itu menggunakan kedua tangannya untuk
mencengkeram lukanya yang teramat pedih.

Jagat Satria tidak lagi memperdulikan lurah prajurit yang berhasil


dilukainya. Dua prajurit Mataram lain sudah menyerangnya dengan
segala daya upaya. Namun Jagat Satria sama sekali bukan tandingan
mereka. Jarak lapisan kanuragan mereka teramat jauh terpaut.

36
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Sehingga hanya dalam beberapa gerakan saja, keduanya sudah


terlempar ke tanah dan terguling dengan suara mengaduh dengan
kesakitan yang amat sangat. Seorang diantaranya masih tampak
menggeliat, sementara yang terlempar paling jauh sudah diam tidak
bergerak begitu tubuhnya terbanting ke tanah dengan sangat keras.

Jagat Satria memang sangat buas. Tanpa belas kasihan, ia


menyambar prajurit Mataram yang sempat menggeliat tadi. Dengan
kedua tangannya, Jagat Satria mencengkeram leher prajurit Mataram
tersebut dan menyeretnya bangkit di hadapannya, lalu meremas
lehernya sehingga prajurit itu menjerit tertahan karena tercekik oleh
tangan Jagat Satria Agung.

Tubuh Prajurit Mataram itu terus menggeliat selama beberapa saat.


Dengan sisa tenaga yang ada kedua tangannya berusaha membuka
cengkeraman tangan Jagat Satria yang sudah mengunci lehernya.
Namun usahanya sia-sia. Tubuhnya melemas dengan cepat karena
kehabisan napas.

Tenaga Jagat Satria yang begitu besar membuat prajurit Mataram


tersebut tidak mampu berbuat apa-apa lagi untuk membebaskan
lehernya yang dicengkeram oleh kedua telapak tangan Jagat Satria.
Beberapa saat kemudian, kepalanya jatuh terkulai. Tangannya jatuh
menggantung di kedua sisi badannya. Napasnya pun terhenti.

Dengan tatapan ngeri, sang Lurah Prajurit Mataram hanya bisa


tergolek pasrah diatas tanah saat kawan-kawannya melepaskan nyawa.
Begitu pula seseorang yang sedang mengintip dari dalam rumah.
Tubuhnya menjadi gemetar menahan gejolak. Bukan karena rasa takut,
tetapi karena batinnya sedang berkecamuk melihat kekejaman yang
terjadi di hadapannya.

“Giliranmu sekarang!” desis Jagat Satria dengan wajah menyeringai


mengerikan sambil menghempaskan tubuh prajurit Mataram yang
sudah kehilangan nyawanya itu ke tanah bagaikan seonggok sampah
yang tidak berguna.

37
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Jagat Satria segera menyambar leher Ki Lurah Jalawrasta yang


sudah tidak mampu berbuat apa-apa sehingga Lurah Prajurit itu berseru
tertahan menahan sakit karena cekikan tangan Jagat Satria ke lehernya
begitu kuat dan seketika menghambat napasnya. Ki Lurah Jalawrasta
yang tidak berdaya pasrah menanti ajal merenggutnya sebagaimana dua
prajurit Mataram yang telah dibunuh Jagat Satria Agung dengan cara
yang keji sebelumnya.

Di balik pintu pringgitan, Teja Wulung menggigil menahan


amarahnya. Sungguh hatinya meradang tiada tara melihat kekejian yang
sedang diperlihatkan oleh murid pertama dari Panembahan Agung.

Begitu Jagat Satria menyambar leher Ki Lurah Jalawrasta, Teja


Wulung tidak bisa menahan diri lagi. Keinginan kuatnya untuk menjauh
dari segala urusan kekerasan diatas dunia ternyata harus
disingkirkannya dahulu demi melihat sebuah peristiwa yang sedemikian
menohok sanubarinya.

Darah seorang ksatria yang mengalir dalam nadinya tidak akan


mengizinkannya untuk tetap berpangku tangan sementara sebuah
tindakan yang melanggar paugeran dan menciderai kehidupan
bebrayan agung sedang terjadi dihadapan matanya.

“Berhenti!” teriaknya dengan suara menggelegar. Sambil melangkah


secepat yang ia bisa melintasi pringgitan dan turun ke halaman.

“Akhirnya kau muncul juga Pangeran!” seru tertahan Jagat Satria


Agung dengan suara tawa tertahan.

Ia berhasil memancing Pangeran Ranapati keluar dari


persembunyiannya. Sebenarnyalah bahwa Jagat Satria memang sengaja
ingin berhadapan dengan Teja Wulung sehingga mendatangi rumah
tersebut sesuai dengan ancar-ancar yang diberikan Yati sebelumnya.

“Lepaskan dia!” seru tertahan Pangeran Ranapati alias Teja


Wulung.

Sebenarnyalah ia cukup heran karena orang yang bertubuh


bagaikan raksasa dengan pakaian yang tidak wajar karena hanya

38
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

menggunakan selempang dari kulit harimau sebagai bajunya itu


mengenali dirinya. Tetapi Teja Wulung tidak berniat bertanya lebih jauh.
Ia sudah tidak memiliki ketertarikan untuk hal yang remeh temeh
tersebut.

“Kau sedang memberi perintah padaku, pangeran?”

“Ya”

“Apakah aku harus mematuhinya? Mematuhi perintah seorang


pangeran yang tidak diakui oleh garis keturunannya sendiri?”

Teja Wulung menarik napas panjang. Jelas sekali sosok seperti


raksasa yang ada didepannya mengenal benar dirinya.

“Aku tidak perduli ocehanmu. Kau harus mematuhinya”

“Jika aku tidak mau, lalu apa?”

“Jangan mengulur waktu. Lepaskan dia!”

Jagat Satria tertawa. Sementara waktu memang menyempit bagi Ki


Lurah Jalawrasta. Tubuhnya mulai melemas setelah sekian waktu
tercekik, sementara kedua tangannya dengan tidak berdaya berusaha
melepaskan cekikan Jagat Satria Agung.

Kemudian, Ki Lurah Jalawrasta merasakan tubuhnya terjatuh ke


tanah berdebu bersamaan dengan saluran napasnya yang terbuka.
Meskipun kepalanya sempat terbentur oleh tanah yang keras, namun Ki
Lurah Jalawrasta bisa merasakan napasnya kembali mengalir. Ia sempat
terbatuk-batuk akibat tubuhnya memaksa udara masuk sebanyak-
banyaknya sementara pernapasannya masih terhambat akibat kuatnya
cekikan tangan Jagat Satria Agung ke lehernya.

“Aku sudah melepaskannya. Lalu apa lagi yang harus kulakukan


pangeran?”

“Pergilah”

Jagat Satria malah tertawa terbahak-bahak seperti anak kecil yang


mendapati mainan paling lucu di kolong langit.

39
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

“Kau sedang bergurau pangeran?”

“Tidak. Pergilah. Aku akan membawa lurah prajurit ini menyingkir.


Ia patut diselamatkan”

“Kau memang bergurau rupanya” seru Jagat Satria dengan senyum


melebar penuh ejekan.

Teja Wulung tidak memperdulikan Jagat Satria. Ia mendekat


dengan langkah cepat hendak menolong Ki lurah Jalawrasta. Luka di
dada lurah prajurit itu masih mengucurkan darah. Teja Wulung tidak
memiliki obat pemampat darah. Tetapi ia tahu, bahwa para prajurit
Mataram biasanya memiliki persediaan obat darurat.

“Apakah kau memiliki obat pemampat luka?”

“Ada pangeran, di saku kiri” jawab lurah prajurit itu dengan lirih.

Teja Wulung sebenarnya tidak suka lagi di panggil pangeran. Tetapi


dalam keadaan genting seperti ini, ia tidak mungkin memperpanjang
persoalan kecil yang mengganggu pendengarannya ini.

Dengan cepat ia mengambil bumbung kecil berisi cairan kental yang


ada di saku Ki Lurah Jalawrasta dan memborehi lukanya.

“Marilah, kita ke Cepaga” ajak Teja Wulung sambil meraih lengan


Ki Lurah Jalawrasta setelah merasa luka di tubuh Lurah Prajurit itu
sudah agak rapat.

“Tunggu dulu pangeran, akulah yang berkuasa disini. Bukan kau.


Kau tidak berhak memutuskan apapun” cetus Jagat Satria setelah
beberapa saat hanya berdiri termangu membiarkan Teja Wulung
menolong lurah prajurit Mataram yang hampir saja dibunuhnya.

“Dia sudah luka parah. Dia berhak diselamatkan” desis Teja


Wulung.

“Aku bersedia membiarkannya hidup pangeran. Tetapi dengan


sebuah syarat”

“Syarat apa?”

40
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

“Pangeran ikut aku ke padepokan. Lalu pangeran mendukung kami


untuk mewujudkan mimpi pangeran menuntut hak atas tahta Mataram”

“Aku tidak memerlukan mimpi-mimpi itu lagi”

“He! Ki Ageng Selagilang masih bersama kami dan berjanji akan


memenuh sumpahnya pada kami. Apa kau tidak mau ikut gurumu?”

“Guru memilih jalan yang salah. Aku merasa tidak perlu mengikuti
cara guruku” kata Teja Wulung.

Dalam hatinya ia berlega hati. Dengan pernyataan orang yang


bertubuh seperti raksasa di depannya, maka ia bisa memastikan gurunya
masih berada di Padepokan Panembahan Agung dan mudah-mudahan
mengingat segala janji saat pertemuan mereka.

“He! Kau murid Ki Ageng Selagilang. Kau tidak pantas mengatakan


jalan yang dipilih gurumu salah. Seorang murid harus patuh pada
gurunya”

“Guru bersumpah karena karena hatinya sedang gelap. Jika saja


guru tahu aku selamat, ia tidak akan melakukannya. Aku sendiri heran
mengapa guru melakukannya. Mungkin kalian telah memaksanya”

“Ki Ageng berhutang nyawa padaku malam itu di Menoreh”

“Siapa kau sebenarnya? Apa urusanmu dengan Menoreh?” akhirnya


Teja Wulung bertanya.

“Aku Jagat Satria Agung. Aku murid utama Panembahan Agung.


Adalah suatu kebetulan aku berada di Menoreh saat kalian berencana
membunuh Agung Sedayu, jika aku tidak secara sengaja berada di sana,
kau dan gurumu sudah membuang nyawa di Menoreh” kata Jagat Satria
sambil menepuk dadanya.

Teja Wulung menarik napas sesaat. Ingatannya kembali ke


beberapa waktu yang lampau saat hatinya masih terbakar dendam dan
ingin sekali membalaskan sakit hatinya kepada Agung Sedayu.
Sepertinya pada saat bersamaan, orang-orang Panembahan Agung mulai

41
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

menghitung pula kekuatan Mataram dan diam-diam memata-matai


Menoreh sebagai pilar utamanya.

“Mengapa pada saat itu, kau tidak langsung membantu kami


menghabisi Agung Sedayu saja?” tanya Teja Wulung kemudian.

“Seandainya bisa semudah yang kau pikirkan, pangeran. Sayangnya,


guru telah melarangku terlibat persoalan apapun dengan Menoreh pada
malam itu. Jika tidak, aku sendiri yang akan meremukkan kepala Agung
Sedayu tanpa bantuan kalian” cetus Jagat Satria dengan pongah.

“Mengapa? Bukankah tujuan kalian adalah meruntuhkan Mataram?


Bukankah lebih baik pada saat itu kita bekerja sama?”

“Mengapa tidak sekarang saja kita bekerja sama pangeran?” balas


Jagat Satria segera.

“Aku sudah melihat ujung dari rencana yang kalian buat. Apa kau
pikir setelah meruntuhkan Mataram, kalian akan duduk di
singgasananya dengan tentram? Semua orang yang dari awal
mendukung kalian akan tersenyum dan pulang ke rumah masing-
masing karena cita-cita kalian tercapai?” tanya Teja Wulung dengan
bertubi-tubi.

“Tidak akan semudah yang kalian bayangkan, aku sudah pernah


melakukannya. Semua hanya berujung pada kehancuran. Seluruh
tatanan akan hancur oleh perebutan kekuasan yang seolah tanpa ujung.
Semua orang akan kembali saling berebut karena keserakahan yang
mereka tanamkan dalam diri mereka selama memperjuangkan cita-cita
kalian. Tidak lelahkah kalian berebut sesuatu hal yang akan kalian
tinggalkan begitu nyawa kalian kembali kepada penguasa alam
semesta?” sambungnya.

Jagat Satria Agung kembali tertawa mendengar nasehat Teja


Wulung. Ia menjadi geli mengingat cerita-cerita masa lalu mengenai
sepak terjang sang pangeran yang seolah tidak pernah mengenal takut
atau menyerah dalam memperjuangkan cita-cita yang ia kehendaki
sebagai keturunan Panembahan Senopati. Teja Wulung yang saat itu

42
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

hanya mau di panggil Pangeran Ranapati tidak akan segan-segan


mengorbankan siapapun demi mewujudkan cita-citanya.

“Apa yang membuatmu berubah sekarang ini, pangeran? Kau telah


terbujuk rayuan orang-orang Mataram!? Mungkin kau sudah di janjikan
harta? Pangkat? Sebidang tanah yang luas? Atau selusin perempuan
cantik?” ujarnya dengan suara meremehkan.

“Mataram tidak menawarkan apapun padaku sebagai gantinya dan


aku pun tidak memintanya”

“Bodoh! Meskipun kau telah melepas cita-citamu, adalah sebuah


kepantasan jika kau diangkat sebagai salah seorang adipati bawahan
Mataram mengingat garis keturunanmu!”

“Aku tidak menginginkannya lagi. Semua jabatan itu akan


kutinggalkan begitu nyawa berpisah dari raga”

“Sayang sekali, kau terus menunjukkan tekad kuat untuk berpaling


dari cita-cita awalmu dan kini mulai membela Mataram. Aku tidak akan
membiarkanmu berbuat demikian” ancam Jagat Satria Agung.

“Lalu apa yang akan kau lakukan?”

“Aku akan membunuhmu! Lalu aku akan menimpakan kesalahan


ini pada prajurit Mataram. Ki Ageng Selagilang tentu akan waringuten
menemukan jasadmu yang terbujur dengan senjata orang Mataram
menancap di dada. Dengan begitu, kami mendapat tambahan kekuatan
yang sangat mumpuni untuk meruntuhkan Mataram”

“Ki Ageng tidak sebodoh demikian”

“Tetapi, tetap saja pantas dicoba. Bersiaplah pangeran”

Teja Wulung hanya mendesah dengan perasaan pepat. Jagat Satria


Agung tentu tidak akan melepaskannya begitu saja. Bagaimanapun,
sebuah pertarungan akan terjadi dan Jagat Satria tentu sangat tergoda
untuk menjajal kemampuan murid dari Ki Ageng Selagilang.

43
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Maka serangan pertama jagat Satria pun datang berupa sebuah


pukulan dengan telapak tangan mengepal menuju kening Teja Wulung.
Teja Wulung segera menarik kepalanya dengan kecepatan kilat sambil
melontarkan diri ke samping, menjauh dari Lurah Prajurit Mataram
yang tergolek di atas tanah agar pertarungan itu terjadi agak jauh dari
tempatnya.

Teja Wulung sudah paham, apabila Jagat Satria pernah melihatnya


bertarung melawan Ki Rangga Agung Sedayu di Menoreh, Jagat Satria
sedikit banyak tentu sudah mengetahui beberapa segi dari
kemampuannya. Karena itu, Teja Wulung tidak lagi ragu-ragu untuk
menggunakan kemampuannya yang sangat tinggi.

Hanya saja, dengan cacat di kakinya kini, Teja Wulung tidaklah


selincah dahulu meskipun ia tetap tangguh tanggon dalam melayani
pertarungan yang tidak membutuhkan banyak gerakan di kakinya.

Oleh sebab itu, Teja Wulung tidak berniat melayani serangan Jagat
Satria apabila murid Panembahan Agung itu bergerak menjauh.
Sejujurnya, Teja Wulung juga tidak berniat menjalani pertarungan sama
sekali. Ia hanya membela dirinya, karena telah di serang lebih dahulu.

Jika memungkinkan, ia tentu akan meninggalkan tempat itu tanpa


perlu tergelitik oleh perasaan-perasaan yang menyinggung harga dirinya
lagi seperti dahulu. Namun sepertinya kali ini mustahil. Orang yang
berhadapan dengan dirinya kini tentu tidak akan melepaskannya begitu
saja.

Teja Wulung sendiri tidak bertempur dengan penuh nafsu seperti


dahulu. Baginya, ia hanya mempertahankan diri demi menyelamatkan
Lurah Prajurit yang sedang dalam keadaan gawat. Sebagaimana ajaran
Kanjeng Sunan yang mulai dapat diresapinya, Teja Wulung tidak terlalu
memperhitungkan keselamatan dirinya.

Kematian hanyalah sebuah kepastian dari sebuah akhir. Selebihnya


adalah kehendak Yang Maha Kuasa melalui sebuah jalan takdir. Dengan
demikian, Teja Wulung hanya perlu berusaha apa yang ia rasa bisa dan

44
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

mampu untuk dilakukan, dengan hasil akhir yang diserahkannya kepada


Sang Penguasa takdir.

Dengan demikian, tindak tanduk Teja Wulung dalam menghadapi


serangan-serangan Jagat Satria Agung yang sedemikian kasar dan kejam
justru tampak sedemikian tenangnya seolah-olah tidak ada rasa takut
sama sekali. Bahkan tidak ada perasaan khawatir mengenai kakinya
yang telah cacat.

Teja Wulung sendiri sesaat merasa heran dengan dirinya. Betapa


tenangnya ia menghadapi seorang lawan yang linuwih dengan
pencerahan yang sudah ia terima beberapa waktu lalu. Baginya
sekarang, sebuah pertarungan hidup mati bukanlah demi menentukan
sebuah kemenangan.

Tetapi lebih kepada mencari jalan untuk menemukan takdir


masing-masing yang telah digariskan. Ketenangan ini jauh melebihi
dari kemampuannya dahulu saat memiliki sebuah gegayuhan yang
sedemikian tingginya. Perasaannya dahulu sungguh terburu-buru dalam
menyelesaikan sebuah persoalan. Tetapi kini, ketenangan itu justru
membuatnya mampu berpikir mengendap dalam menghadapi murid
Panembahan Agung ini.

Dengan demikian, Teja Wulung benar-benar mampu menutupi


kekurangan yang telah menimpa kakinya. Ia tidak perlu mengejar Jagat
Satria jika lawannya itu menjauh sesaat. Ia membiarkan lawannya itu
mendekat dan menyerangnya berkali-kali dari arah manapun yang
disukainya.

Akan tetapi bila serangan itu telah datang, maka dengan segenap
kekuatannya, Teja Wulung akan menangkis atau mengelak sesuai
dengan kebutuhannya seraya terus menyandarkan kekuatannya pada
keinginan untuk membantu sesama sesuai dengan garis ajaran Yang
Maha Agung.

Manfaat dari pencerahan yang telah ia yakini makin membuat Teja


Wulung semakin yakin dengan ajaran Kanjeng Sunan. Bahkan dengan
cara yang tidak diketahuinya, Teja Wulung seolah-olah mampu

45
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

menepikan seluruh gejolak perasaannya sehingga ia seolah-olah tidak


sedang bertempur dengan seorang lawan yang bengis, tetapi lebih
kepada meluruskan watak seseorang yang belum menerima sebuah
kebenaran dari ajaran Yang Maha Agung yang disampaikan melalui
walinya.

Maka dalam beberapa waktu, halaman rumah yang sebelumnya


menjadi tempat Ki Demang Sela bermukim, telah di penuhi oleh debu
dan pasir yang berhamburan, hasil dari pertarungan dua orang linuwih
yang sulit dicari bandingannya. Kelebat bayangan tampak berloncatan
kesana kemari dengan sebuah sosok lain di dekatnya yang seolah-olah
terpaku diatas permukaan tanah tidak bisa digetarkan oleh dahsyatnya
puntiran angin ribut yang sedang melandanya.

*********

Dalam pada itu, perjalanan Sekar Mirah tidak lagi menemui aral
melintang sehingga mendekati waktu sore hari ia telah mendekati
Kademangan Sangkal Putung.

“Kita ke Jati Anom lebih dulu” seru tertahan Sekar Mirah


memberitahu tujuannya.

“Baik, nyi” jawab Empu Wisanata dengan wajah lega. Sekar Mirah
tentu sudah memiliki rencananya sendiri.

Sepertinya Sekar Mirah telah menemukan cara untuk mengatasi


keadaan mereka yang secara tidak terduga harus bertemu dan membawa
Ratih, putri dari Ki Wirapati. Tadi, mereka sempat beristirahat sejenak
di tepi jalan saat Bagus Sadewa menangis karena lapar. Sekar Mirah
telah menyusuinya hingga kenyang sebelum mereka bisa kembali
meneruskan perjalanan setelah memakan sedikit bekal yang mereka
bawa dari Menoreh. Mungkin disaat menyusui itulah, Sekar Mirah
menemukan rencananya sehubungan dengan kehadiran Ratih dalam
rombongan mereka.

46
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Di kesempatan itu pula, Dwani menyempatkan diri meneruskan


peringatan Sekar Mirah kepada Damarpati. Damarpati cukup terkejut
mengetahui bahwa Ratih yang mereka temui di duga adalah Ratih yang
pernah ia dengar ceritanya di Menoreh dari kakeknya. Damarpati cukup
bisa diandalkan. Ia segera mengerti maksud dan tujuan dari peringatan
Sekar Mirah yang disampaikan melalui Dwani.

Ratih sendiri tidak menduga apapun dengan keputusan Sekar Mirah


untuk singgah ke Jati Anom. Ia menjadi teringat, pernah mendengar
nama Kademangan Jati Anom karena disana adalah tempat
bermukimnya sebuah pasukan berkuda yang merupakan bagian dari
Pasukan Mataram.

Ayahnya pernah menceritakan bahwa pasukan berkuda paling


tangguh di tlatah Mataram berkedudukan di Jati Anom. Iapun menjadi
teringat pula kepada seorang prajurit Mataram yang sudah agak
berumur dan bertugas di Jati Anom.

“Bukankah Ki Untara juga bagian dari pasukan berkuda di Jati


Anom? Tetapi ia sudah berumur. Aku rasa Ki Untara bukan lagi bagian
utama dari pasukan berkuda Mataram” membatin Ratih dalam hati
mengingat sebuah pertemuannya dengan seorang prajurit Mataram
yang menemaninya ke Kotaraja dan mengantarkannya ke rumah Ki
Lurah Jalawrasta.

Ia hanya mengenal orang itu sebagai Ki Untara setelah ditolong oleh


Ki Wita, Ki Jaya dan seorang yang lebih muda bernama Punta. Saat itu,
ia sama sekali tidak terlalu ingin tahu siapakah mereka. Yang penting
baginya, adalah mencari rumah pamannya dengan mudah, cepat dan
aman untuk melepaskan diri dari keinginan Putut Sanggalangit.
Ternyata Ki Untara mengenal Paman Jalawrasta dan mengantarkannya
bersama Ki Wita.

Tetapi dihari itu, Paman Jalawrasta tidak ada di rumah sehingga


keduanya tidak sempat bertemu. Bahkan Ki Untara berpesan padanya
untuk tidak menyebutkan namanya kepada Ki Lurah Jalawrasta karena
Ki Untara hanya prajurit rendahan yang tidak dikenal siapa-siapa.

47
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

“Aku sebaiknya menghindarkan diri dari pertemuan dengan prajurit


Mataram. Jangan sampai ada yang mengenaliku sebagai anak dari Ki
Wirapati. Aku sama sekali tidak tahu sedang terlibat persoalan apa.
Bahkan aku tidak tahu mengapa ayah menjadi bermusuhan dengan
orang Menoreh justru setelah memutuskan menetap di Menoreh.
Sungguh tidak bisa diterima oleh nalarku. Semua orang seperti
menutupi kebenaran dariku” membatin lagi Ratih mengingat-ingat
keadaan dirinya yang lalu.

Di Suatu hari yang sudah cukup lampau, ayahnya hanya


mengatakan bahwa ia akan memindahkan perguruan mereka ke
Menoreh karena telah membeli sebidang tanah di sana.

Ratih tidak mempertanyakan alasan ayahnya hingga terperinci. Saat


itu, ia sama sekali tidak memperdulikan urusan di luar dunianya sendiri.
Ia hanya sibuk pada dirinya sendiri. Baginya hal-hal tersebut tidak
penting. Asalkan ia mendapat perhatian dari orang-orang disekitarnya,
baginya sudah cukup. Bukankah selama ini ayahnya sangat dihormati?
Siapapun murid Perguruan Wirapati akan patuh padanya apapun yang
diinginkannya. Bahkan para prajurit Mataram sekalipun akan
menghormatinya.

Tetapi kini Ratih harus berjuang hidup sendiri. Ratihpun menghela


napas pendek demi menyadari bahwa dirinya telah sebatang kara.
Meskipun mungkin ia akan disambut jika menggabungkan diri ke
lembah Merapi Merbabu, tetapi baginya itu tidak mungkin sama sekali.
Baginya itu seperti menyerahkan dirinya untuk masuk dalam
kerangkeng yang akan mengurungnya seumur hidup hingga ia akan
menyerah pasrah pada nasibnya di kemudian hari.

Untunglah, meski dalam kehidupannya yang lalu Ratih merupakan


perempuan muda yang terbiasa dipatuhi dan memiliki keinginan yang
sulit untuk dibantah, tetapi kebiasaan ini justru telah menempa dirinya
kini agar tetap kuat bertahan meskipun dalam keadaan yang paling sulit
sekalipun.

48
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Kemauannya yang keras untuk bertahan hidup, membuatnya


mampu mengatasi beberapa masalah yang timbul setelah meninggalkan
padepokannya.

Bayangkan saja jika ia langsung menyerah dan pasrah dijadikan


persembahan. Bukankah pertolongan Nyi Sekar Mirah justru datang
dalam waktu yang tidak diduga-duga karena keinginan kuatnya untuk
mempertahankan hidup dan harapannya meski harapannya hanya
tinggal sebesar biji sawi?

Maka rombongan kecil itupun berbelok memasuki jalan yang akan


membawa mereka ke Jati Anom. Sudah pasti, tujuan Sekar Mirah adalah
menemui Tumenggung Untara. Persoalan Ratih harus dituntaskan
terlebih dahulu. Sekar Mirah tidak mungkin membiarkan duri dari
batang mawar yang dibawanya dikemudian hari akan menusuk kulitnya
hanya karena mawar itu beraroma harum dan memabukkan.

Ratih tidak dipercayainya untuk dapat menjadi bagian dari


rombongannya dengan begitu mudah. Janji Ratih padanya harus
dipertegas. Maka cara yang telah dipertimbangkan oleh sekar Mirah
adalah mempertemukannya dengan kakak iparnya, Untara dan memberi
pilihan kepada Ratih tentang apa yang bisa diperbuatnya setelah
menerima kenyataan.

Sekar Mirah tidak mau menunda-nunda. Tugasnya terlalu penting


untuk sekedar mengurusi Ratih dan tercekam oleh kemungkinan Ratih
akan melakukan hal-hal yang tidak bisa dipertanggungjawabkan jika
bersama dengannya. Berbagai pertimbangan juga memasuki akal
pikirannya, seperti kemungkinan menyerahkan saja Ratih kepada
Untara daripada membawanya ke Lembah Merapi merbabu.

Sekar Mirah menarik napas panjang saat mereka memasuki


Kademangan Jati Anom dan mulai menemui para penduduknya yang
sedang menikmati waktu menjelang senja.

49
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

“Apakah nyisanak sedang mencari seseorang?” tanya prajurit


Mataram…

50
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Kuda-kuda mereka dengan pasti menuju ke sebuah rumah yang


dahulu ditempati oleh Untara dan Agung Sedayu dan sampai kini masih
dijadikan sebagai rumah induk bagi pasukan berkuda Mataram karena
Untara masih tinggal dirumah itu.

“Mudah-mudahan Kakang Untara ada di rumah. Begitu namanya


disebutkan pertama kali, Ratih akan segera menyadari apa yang sedang
dihadapinya. Jangan sampai ia meradang karena merasa dijebak atau
dibohongi hingga merasa masuk dalam perangkap. Tindakannya akan
sangat tidak terduga” membatin Sekar Mirah saat rumah Ki Untara
sudah tampak di depan mata seraya memantapkan rencananya.

Demikianlah, Ratih mengikuti saja arah kuda Sekar Mirah yang


membelok ke sebuah rumah. Tetapi sekejap kemudian, ia terperanjat
demi melihat di regol dan dihalaman rumah tersebut berkeliaran
prajurit Mataram.

Sekar Mirah masih mengikuti unggah-ungguh. Ia menghentikan


kudanya di regol dan bergegas turun sementara dua orang prajurit
Mataram segera mendatanginya dengan kening berkerut.

“Apakah nyisanak sedang mencari seseorang?” tanya prajurit


Mataram tersebut yang tampaknya sedang bersikap ramah.

“Benar ki. Aku ingin menemui seseorang disini” kata Sekar Mirah
dengan suara merendah.

Dengan sengaja ia melangkah memasuki halaman meninggalkan


kudanya sehingga untuk beberapa langkah, dua prajurit Mataram itu
ikut pula melangkah mengiringi Sekar Mirah, meski dengan kening
berkerut. Sekar Mirah yang berotak cemerlang memang sengaja
menjauhkan kedua prajurit Mataram tersebut dari Ratih yang berdiri
termangu-mangu.

“Namaku Sekar Mirah, aku istri Tumenggung Agung Sedayu. Aku


ingin menemui Kakang Tumenggung Untara secepatnya” ujar Sekar
Mirah dengan suara rendah.

51
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

“Istri Tumenggung….” suara prajurit itu segera tertahan demi


melihat Sekar Mirah memberi isyarat untuk menutup mulutnya dan
menahan suaranya.

Untunglah prajurit yang ada dihadapannya seperti tidak ingin


mempersulitnya. Mereka tidak menaruh curiga pada sikap Sekar Mirah.
Suatu keadaan yang sebenarnya dikhawatirkan oleh Sekar Mirah
sebelumnya karena ia merasa hampir pasti tidak ada yang mengenalinya
di lingkungan kesatuan Prajurit Berkuda Mataram yang berkedudukan
di Jati Anom.

“Aku tidak bisa menjelaskannya pada kalian. Aku mohon,


pertemukan aku dengan Ki Tumenggung sekarang jika Kakang Untara
memang ada di sekitar Jati Anom” pinta Sekar Mirah.

Prajurit dihadapannya mengangguk-angguk. Ia mengenal nama-


nama yang disebutkan oleh perempuan di hadapannya. Ia juga
mengetahui hubungan kekerabatan antara Ki Tumenggung Untara dan
Ki Tumenggung Agung Sedayu di mana nama terakhir yang disebutkan
ini baru saja menerima kenaikan pangkat luar biasa menurut
pendengarannya dan sempat menjadi bahan perbincangan di barak
prajurit berkuda Mataram selama waktu makan siang tadi.

Perbincangan itu juga sempat menyebut-nyebut nama Nyi Sekar


Mirah yang diketahui berasal dari Sangkal Putung, suatu daerah yang
berada tidak terlalu jauh dari Jati Anom. Tidak di duganya bahwa saat
ini, ia justru berhadapan dengan salah satu nama yang menjadi
perbincangan di barak tadi.

“Sebenarnyalah Nyi, Ki Tumenggung baru kembali dari barak. Aku


akan memanggilnya. Tunggulah di pendapa” kata prajurit itu kemudian.

Sekar Mirah mengangguk dengan wajah diliputi kelegaan. Prajurit


itu tampak sangat membantu dengan sikapnya yang cepat tanggap dan
tidak memiliki kecurigaan yang terlalu dalam.

Ratih terlihat termangu, ia sempat menatap Damarpati yang sibuk


memperbaiki kain gendong Bagus Sadewa yang mengendur dalam

52
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

gendongan Nyi Dwani. Sepertinya keduanya akan bertukar tugas dalam


mengemban Bagus Sadewa. Sementara kakek tua yang bersama mereka
tampak berdiri dengan tenang mengawasi kuda-kuda lebih dekat ke
tempat Ratih berdiri.

Ratih dalam hatinya sudah ingin sekali mengemban bayi montok


itu. Tetapi ia sadar pada dirinya. Nyi Sekar Mirah tentu belum dapat
mempercayainya untuk menggendong anaknya. Seorang ibu tentu akan
sangat hati-hati menyerahkan anaknya untuk digendong orang lain,
apalagi yang tampak belum berpengalaman. Siapa tahu, mungkin ia
akan menjatuhkan putranya.

“Ah, tetapi sebagaimana layaknya anak perempuan, aku juga sudah


bisa menggendong anak kecil” membatin Ratih membuyarkan angan-
angannya.

Tetapi ia kembali sadar diri, selama ini, iapun hampir tidak pernah
mengurus anak kecil. Kecuali selama beberapa waktu tinggal bersama
bibinya di Kotaraja. Sepertinya pengalamannya masih kurang
dibandingkan Damarpati dan Nyi Dwani.

Ratih kembali melayangkan pandangannya mengamat-amati rumah


yang akan mereka datangi. Kembali berbagai pertanyaan mengisi ruang
pikirannya.

“Rumah siapakah ini, kiai?” tanya Ratih tidak bisa menahan dirinya.

Empu Wisanata tersenyum sareh. Ia paham betul apa yang sedang


berkecamuk di pikiran Ratih.

“Sepengetahuanku, ini rumah saudara Nyi Sekar Mirah” jawabnya


pendek.

“Mengapa banyak prajurit Mataram disini?”

“Mungkin karena saudaranya itu memang seorang perwira


Mataram. Jadi wajar saja rumahnya dijaga dengan baik” jawab Empu
Wisanata.

53
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Ratih tampaknya bisa menerima alasan yang diberikan Empu


Wisanata. Ia tampak mengangguk-angguk mengerti.

Dari jarak beberapa langkah, Sekar Mirah memberi mereka isyarat


untuk mendekat dan menuju ke pendapa.

Lalu tanpa diketahui oleh Ratih, Sekar Mirah kembali memberi


isyarat mata kepada Empu Wisanata dan Nyi Dwani. Sebuah isyarat
yang sudah mereka sepakati sedari tadi saat mereka istirahat.

“Duduklah disamping Nyi Sekar Mirah” bisik Dwani kepada


Damarpati yang mengemban Bagus Sadewa saat mereka menaiki
thlundak pendapa. Damarpati mengangguk meskipun ia tampak agak
heran.

Saat mereka mengambil tempat di pendapa, Dwani dan Empu


Wisanata seolah-olah tanpa sengaja telah duduk di sisi kiri dan kanan
Ratih yang masih termangu-mangu dan mengikuti saja apa yang orang
lain lakukan.

Sekar Mirah menatap pintu pringgitan dengan berdebar, menunggu


Untara muncul. Dwani dan ayahnya telah pada tempatnya untuk melihat
sikap Ratih, apabila nantinya ia memahami siapakah sebenarnya Sekar
Mirah. Keduanya tentu sangat siap untuk bertindak, jika Ratih
memanglah seorang yang berbahaya.

Untara datang tidak lama kemudian dari pintu pringgitan. Ratih


membelakangi pintu tersebut sehingga tidak langsung melihat Untara
dalam kesempatan pertama.

Untara sendiri cukup terkejut mendapati Sekar Mirah telah datang


secara tiba-tiba dengan sebuah rombongan tanpa di sertai oleh Agung
Sedayu. Apalagi Untara telah mendengar berbagai berita tentang apa
yang terjadi kemarin di Kotaraja bersamaan dengan berita pembebasan
Agung Sedayu dan pemberian tugas kepadanya.

Sekar Mirah segera bangkit berdiri menyambut Untara. Begitu pula


yang lain berusaha berdiri pula.

54
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

“Sekar Mirah” panggil Untara. “Oh, Empu Wisanata, Nyi Dwani dan
Damarpati turut serta pula”

“Benar kakang” jawab Sekar Mirah sambil menyalami kakak


iparnya dengan seulas senyum tipis namun hambar di bibirnya.

Tepat pada saat itu, Untara bertemu pandang dengan mata


membelalak dari seorang gadis muda cantik berkulit hitam manis yang
berdiri diantara Dwani dan Empu Wisanata.

“He? Bukankah kau….” desis Untara seketika menahan kata-


katanya karena Untara merasa kehadiran Ratih di antara rombongan
Sekar Mirah tentu membawa cerita khusus tersendiri. Untara tidak ingin
kata-katanya meluncur begitu saja sehingga mungkin merusak sebuah
rencana yang dibawa Sekar Mirah.

“Benar, kiai…” desis Ratih mengangguk dengan perasaan agak


bingung sekaligus terkejut menyadari bahwa Ki Untara, prajurit
Mataram yang dahulu mengantarkannya ke Mataram ternyata adalah
saudara dari Nyi Sekar Mirah yang menolongnya.

Lebih-lebih, Ratih mulai bisa meraba, bahwa kemungkinan Ki


Untara, prajurit Mataram yang telah berumur itu bukanlah seorang
prajurit biasa seperti perkiraannya ketika itu, tetapi sepertinya ia
seorang perwira Mataram yang berpengaruh.

“Marilah kita duduk dahulu kakang. Kami akan bercerita bagaimana


kami bertemu Ratih”

“O. Silahkan. Marilah kita duduk sejenak. Tentu kalian sudah lelah
menempuh perjalanan jauh. Apakah kalian bertemu di Kotaraja?”

“Tidak kakang. Kami tidak bertemu Ratih di Kotaraja”

Sekar Mirah menatap kepada Ratih yang ada dihadapannya. Gadis


itu menunduk dengan perasaan campur aduk. Berusaha menduga-duga.

“Ratih, tentu kau sudah mengenal Kakang Untara?”

55
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

“Benar Nyi. Ki Untara pernah membantuku mencari rumah paman


dan bibiku di Kotaraja” jawabnya dengan jantung berdebar.

Entah mengapa Ratih merasa bahwa kebetulan ini bukan sekedar


sebuah ketidaksengajaan. Ia merasa ada sesuatu hal yang sangat besar
tersembunyi diantara orang-orang yang ada di hadapannya.

“Ketahuilah Ratih, Kakang Untara adalah kakak ipar bagiku. Dia


adalah juga senapati yang memimpin Pasukan Berkuda Mataram yang
berkedudukan di Jati Anom. Dialah yang bergelar Ki Tumenggung
Untaradira”

Ratih terlihat menahan napas sebentar seraya mencuri pandang


pada Ki Tumenggung Untaradira sesaat. Jantungnya semakin
berdebaran. Sementara Untara dengan kening berkerut mencoba
memahami sejenak mengapa Sekar Mirah bersikap demikian pada
Ratih.

Meskipun, Untara tahu benar siapakah Ratih, tetapi ia ingin


mengikuti permainan Sekar Mirah terlebih dahulu, apalagi Sekar Mirah
datang sedemikian tiba-tiba tanpa penjelasan apapun. Tetapi Untara
yakin, Sekar Mirah tentu bermaksud baik.

“Ki Tumenggung, mohon maafkan aku jika telah bertindak deksura


kala itu. Mungkin aku belum mengucapkan terima kasih dan sembah
sungkemku yang paling dalam atas bantuan Ki Tumenggung
mengantarku” ucap Ratih perlahan sambil menangkupkan kedua
tangannya diatas kening seraya merundukkan badan.

Ia sadar bagaimana kedudukan Untara di antara prajurit Mataram


dengan pangkatnya tersebut dan bagaimana seharusnya ia bersikap.
Ratih juga seorang putri tumenggung, sehingga ia sangat paham
bagaimana harus menuruti subasita saat berhadapan dengan seorang
yang dihormati.

“Ah, tidak usah berpikir demikian. Aku berniat membantu. Tentu


aku tidak terlalu memikirkan imbal baliknya. Semua aku lakukan

56
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

dengan setulus hati” sahut Untara sambil memandang sekilas Sekar


Mirah.

Jantung Untara pun mulai berdebar pula karena mulai memahami


permainan apa yang tiba-tiba dihidangkan Sekar Mirah kehadapannya.
Otak Untara yang cemerlang tentu sadar, bahwa Ratih masih belum
menemukan hubungan paling mendalam dari orang-orang yang ada di
hadapannya.

“Nah, Ratih. Jika engkau masih mengenali Kakang Untara, engkau


tentu bertanya-tanya siapakah seorang kakek tua yang lebih dahulu
bersedia mengantarkanmu pada malam tersebut” ujar Sekar Mirah.

“Nyi, kakek itu menyebut dirinya Ki Wita. Sebelumnya ia bersama


dua orang. Seorang kakek yang bernama Ki Jaya dan seorang pemuda
yang bernama Punta” kata Ratih kembali mengingat orang-orang yang
telah menolongnya dahulu.

“Benar sekali Ratih. Mereka semuanya adalah kerabat kami”

“Oh, sungguh, keluarga Nyi Sekar Mirah ternyata sangat penolong.


Seolah-olah semua selalu hadir menolongku saat aku membutuhkan”
kata Ratih dengan cepat.

“Benar Ratih. Yang Maha Agung sepertinya memberi sebuah


petunjuk. Bahwa sebenarnya takdirmu bersinggungan dengan keluarga
kami. Yang Maha Agunglah yang telah mengaturnya sehingga engkau
selalu mendapat pertolongan di saat dirimu ada dalam bahaya. Tetapi
apakah yang terjadi sehingga kau bertemu dengan Sekar Mirah?” tanya
Untara yang mulai memahami sepenuhnya permainan yang di bawa
Sekar Mirah kehadapannya.

Ratih masih termangu dan balas menatap Sekar Mirah. Ia sendiri


heran, bagaimana Sekar Mirah bisa mengenali dirinya.

“Aku akan menceritakannya kakang” sahut Sekar Mirah dengan


cepat sesaat setelah beradu pandang dengan Ratih.

57
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Maka meluncurlah cerita dari mulut Sekar Mirah. Termasuk


menyinggung pula janji Ratih yang telah terucap karena Sekar Mirah
telah menolongnya.

“Jadi orang yang bernama Putut Sanggalangit itu kembali berusaha


menculikmu?” tanya Untara kepada Ratih.

“Benar Ki Tumenggung”

“Lalu untuk apa kau hendak di bawanya, kemanakah ia akan


membawamu?”

Ratih terkesiap sesaat. Pertanyaan ini sudah diduganya. Tetapi ia


belum dapat menjawabnya dengan jujur. Apalagi ada kemungkinan
bahwa keluarga besar Ki Tumenggung Untaradira di hadapannya ini
telah lama saling berbagi cerita mengenai pertemuan pertamanya
dengan kerabat mereka lainnya.

Apalagi jika ia harus menyebutkan lembah Merapi Merbabu,


dimana kini Ratih yakin, Mataram telah mulai melakukan tindakan
keras untuk menekan bibit-bibit perlawanan yang tumbuh disana.
Sementara orang-orang dari sisa padepokannya justru berlindung ke
lembah tersebut. Ratih yakin, ia pun bisa ikut terseret jika jati dirinya
terbuka.

“Aku tidak tahu Ki Tumenggung. Paman Sanggalangit hanya


berkata ingin membawaku kembali ke perguruan ayahku yang sudah
musnah untuk mewarisinya dan kembali menghidupkannya di suatu
tempat” jawab Ratih hati-hati.

“Maksudnya, kau diharapkannya untuk membangun kembali


sebuah padepokan yang telah hancur?”

Ratih mengangguk meskipun dengan samar karena ada keragu-


raguan yang mendalam dari dirinya sendiri. Ia yakin, pertanyaan Ki
Untara akan semakin mendalam dan ia akan semakin sulit mengelak
dari kebenaran mengenai jati dirinya.

“Padepokan apakah yang dimaksud?”

58
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

“Sebuah padepokan kecil Ki Untara, ayahku merintis sebuah


padepokan yang masih baru. Namun sebelum banyak berbuat, ayah
telah menghadap Sang Pencipta lebih dahulu”

“Jadi persoalan itu pula yang membuatmu berkelahi dengan


Sanggalangit dan kemudian ditolong oleh Ki Wita dan kawan-
kawannya?”

“Benar kiai. Aku memohon maaf jika sebelumnya aku menutupi


cerita ini. Sungguh aku sangat bingung dan hanya ingin mencari
ketenangan di rumah bibiku. Mungkin kiai kurang berkenan dengan
tingkah lakuku saat itu, padahal Ki Tumenggung sudah bersusah payah
mengantarkanku” kata Ratih seraya kembali mengangkat sembahnya.

“Aku bisa mengerti. Bukankah kini engkau akan mengabdi kepada


Nyi Sekar Mirah? Kita akan sering bertemu di kemudian hari. Aku bisa
melihat bahwa kau seorang perempuan yang tahu tatakrama dan
subasita. Itu adalah perilaku dasar yang baik bagi seorang perempuan
untuk menjalani kehidupannya di kemudian hari. Dengan sikap yang
baik, seorang perempuan akan dihormati dengan layak”

“Terima kasih kiai. Aku akan berusaha lebih baik” jawab Ratih
dengan khidmat dan bersungguh-sungguh.

Sebuah senyum kecil mengembang di bibir Sekar Mirah sementara


Untara kembali menatapnya seperti sebuah isyarat pertanyaan.
Bagaimanapun, Sekar Mirah yang memegang kendali atas sandiwara
kecil ini. Jika ia ingin mengungkapkannya, maka Sekar Mirahlah yang
harus memulai.

Untara tahu benar, bahwa nama Agung Sedayu lah yang akan
menjadi hambatan terbesar hubungan antara Sekar Mirah dan Ratih
kelak jika Ratih memenuhi janjinya. Untara juga menyadari sifat Sekar
Mirah. Ia yakin, Sekar Mirah tidak akan menunda-nunda sebuah urusan
seperti Agung Sedayu. Apalagi, urusan ini berkaitan dengan keselamatan
keluarganya.

59
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Untara mampu meraba, bahwa kedatangan Sekar Mirah yang


sedemikian tiba-tiba tentu ada hubungannya dengan kenaikan pangkat
dan tugas Agung Sedayu. Untara yakin, Sekar Mirah tidak akan
menunda pembicaraan. Apalagi hanya karena kehadiran Ratih. Jika ia
terburu-buru, maka sebuah persoalan akan diselesaikannya dengan
sebuah usaha yang menyeluruh dan tuntas pada saat kesempatan ada
dihadapan matanya.

“Bagaimana dengan perjalanan kalian tadi, Mirah?” tanya Untara


mulai membuka ruang untuk Sekar Mirah mengungkapkan maksud
kedatangannya.

“Pangestu kakang, berkat lindungan Yang Maha Agung. Kami tidak


mengalami kendala berarti, kecuali peristiwa yang dialami oleh Ratih.
Namun kami bisa mengatasinya”

“Syukurlah kalau begitu. Semoga saja kehadiran Ratih justru


menjadi jalan bagimu untuk menjadikan hari-hari kalian lebih baik”

“Terima kasih kakang”

Sekar Mirah menarik napas sedemikan panjang sebelum memulai


sebuah kata-kata yang sedari tadi disusunnya.

“Kakang, aku tidak bisa berlama-lama di Jati Anom. Aku harus


segera ke Sangkal Putung”

“Mengapa demikian, Mirah?”

“Kakang. Aku menerima perintah dari Ki Patih untuk membawa


Pasukan Pengawal Sangkal Putung ke lembah Merapi Merbabu” ujar
Sekar Mirah sambil menunjukkan lencana kepatihan yang ia bawa dan
sedari tadi ada di genggaman telapak tangannya.

Wajah Ratih berubah seketika dengan napas tersentak sesaat


mendengar nama lembah Merapi-Merbabu disebut-sebut lagi
dihadapannya. Bukan hanya itu, ia juga terkejut bahwa Nyi Sekar Mirah
membawa pertanda khusus yang diserahkan oleh Ki Patih Mandaraka.

60
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Meskipun Ratih tidak akan tahu apakah pertanda itu memang benar-
benar diberikan oleh Ki Patih Mandaraka.

Ratih tampak tercengang. Ia segera memiliki dugaan, bahwa Nyi


Sekar Mirah bukan sekedar putri seorang demang belaka, ia tentu bukan
orang sembarangan pula sehingga memiliki kesempatan diberi
kepercayaan langsung oleh Ki Patih Mandaraka.

Hal itu menyebabkan Ratih sempat mendongak sesaat sebelum


kembali menundukkan wajahnya karena langsung bertatapan dengan
pandangan mata Sekar Mirah yang baginya terlihat semakin berwibawa
dengan segala kejutan yang di bawa dalam dirinya.

Baik Untara dan Sekar Mirah memperhatikan benar perubahan raut


wajah Ratih. Untara mendesah, ia hanya melihat sekilas pertanda dari Ki
Patih Mandaraka. Untara tahu benar bahwa pertanda itu asli.

Dan sebagai duta dari Ki Patih Mandaraka, Untara tahu, ia harus


mengikuti keinginan Sekar Mirah. Ia harus terus mengikuti sandiwara
terkait dengan kehadiran Ratih. Sementara tiga orang lainya terpaksa
hanya dapat termangu-mangu mendengar percakapan mereka tanpa
dapat menimpali.

“Apakah ada yang menarik pendengaranmu, Ratih?” tanya Sekar


Mirah.

“Tidak ada Nyi. Aku hanya terkejut. Paman Sanggalangit pun


pernah menyebut-nyebut tempat itu. Aku takut bertemu dengannya lagi”

“Kau ada dalam perlindunganku. Tidak ada yang perlu kau


takutkan. Nah, apabila kami berangkat ke lembah tersebut, apakah kau
akan undur diri?”

Seketika Ratih menggeleng, “Aku ikut Nyi Sekar Mirah kemanapun”


jawabnya pasti.

“Jadi kalian sudah diperintahkan demikian oleh Ki Patih?” tanya


Untara.

61
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

“Benar kakang. Pasukan Sangkal Putung diperintahkan bergabung


dengan Pasukan Khusus Mataram, Pasukan Pengawal Matesih dan
Pasukan Pengawal Menoreh” cetus Sekar Mirah dengan nada gamblang
sambil matanya terus mengawasi gerak-gerik Ratih.

Lagi-lagi Ratih tersentak. Bahkan ia hampir terpekik mendengar


Menoreh disebutkan. Cepat-cepat ia menutup mulutnya. Tetapi gerakan
itu tentu saja menjadi perhatian semua orang yang ada di dekatnya.

“Ada apa denganmu, Ratih?” tanya Sekar Mirah

“Tidak apa-apa Nyi. Aku hanya tersedak” sahut Ratih gugup.

Untara menghela napas dengan bibir tersenyum sareh.

“Mirah, sebaiknya kau katakan saja semuanya dihadapan Ratih.


Tidak baik membuatnya berdebar-debar sekian lama. Bagaimanapun, ia
perlu mengetahui kebenaran agar ia bisa menentukan sikapnya demi
masa depannya” katanya.

“Baik kakang. Akupun tidak akan menutupinya. Bagiku, sebuah


persoalan sebaiknya dituntaskan saja tanpa perlu meninggalkan
pertanyaan-pertanyaan atau ganjalan-ganjalan yang memusingkan di
kemudian hari” sahut Sekar Mirah dengan cepat.

Ratih tiba-tiba merasakan tubuhnya meremang. Sikap Sekar Mirah


seperti membuatnya dipaksa masuk dalam sebuah goa yang hitam kelam
tanpa ia ketahui apa yang akan dihadapi di dalamnya. Matanya
membesar menatap dengan khawatir kepada Sekar Mirah yang balas
menatapnya pula dengan pandangan penuh kewibawaan sekaligus tajam
tanpa kedip.

“Ratih, apa yang terjadi tadi siang aku anggap sebagai sebuah takdir
yang mempertemukan kita. Seperti Kakang Untara katakan sebelumnya,
kau seperti ditakdirkan selalu bertemu jalan dengan salah seorang
diantara kami, sebuah keluarga besar yang memiliki keterikatan satu
sama lain. Aku mengamatimu semenjak tadi dan sepertinya kau
memiliki keterkejutan yang sangat ketika aku menyebutkan Tanah
Perdikan Menoreh”

62
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Ratih seperti gemetar mendapatkan tekanan suara Sekar Mirah


yang sedemikian berwibawanya. Baru kali ini Ratih mendapati tekanan
yang sedemikian dari suara seorang perempuan. Sekilas ia menatap
wajah Sekar Mirah.

Ia berpikir akan mendapati seraut wajah yang penuh kerut kemerut,


memandang tajam kepadanya dengan tatapan menusuk seperti hendak
mengulitinya. Tetapi ia terperangah, wajah Sekar Mirah justru
menatapnya lembut dengan senyum manis menghiasi bibirnya.

“Apa kau tertarik dengan Tanah Perdikan Menoreh?” desak Sekar


Mirah meski dengan suara lembut.

“Aku pernah mendengar nama tanah perdikan itu nyi. Mungkin aku
ingin mengunjunginya jika aku ada kesempatan” sahut Ratih dengan
gugup dan tanpa pikir panjang.

“Tentu kau akan berkesempatan. Jika kau ikut aku, kita akan
bergabung dengan segenap orang Menoreh di perkemahan nantinya.
Siapa tahu, kau akan memiliki kawan dari mereka dan mereka akan
mengajakmu mengunjungi Menoreh. Apa kau bersedia?”

Ratih malah mengangguk dalam kebingungannya. Ia sendiri tidak


tahu harus menjawab apa.

“Sepertinya kau meragu?”

“Ya, nyi” jawab Ratih jujur seraya menghela napas.

“Mengapa?”

“Aku…, aku tidak pandai berteman. Aku ragu akan ada orang yang
akan mengajakku ke Menoreh. Bukankah diantara pasukan dan prajurit
tidak akan ada perempuan sepantar dengan diriku?”

“Ada. Damarpati akan ikut serta. Damarpati tinggal di Menoreh”


kata Sekar Mirah.

“He?” desis Ratih seketika menatap Damarpati yang ada di samping


Sekar Mirah sedikit ke belakang sambil mengemban Bagus Sadewa.

63
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

*******

Dalam pada itu, pertarungan Jagat Satria melawan murid Ki Ageng


Selagilang telah berlangsung sedemikian dahsyatnya.

“Dia memang pantas menyandang nama sebagai murid Ki Ageng


Selagilang” membatin Jagat Satria diantara serangan Teja Wulung yang
sedemikian keras melandanya.

“Berhati-hatilah! Aku melihat lebih banyak unsur yang meluruh


dalam gerakannya. Sudah jelas, murid Ki Singawana Sepuh ini juga
menyadap ilmu dari orang lain” tiba-tiba sebuah suara bergumam di
rongga pendengarannya.

“Baik guru. Aku akan berhati-hati” bisik Jagat Satria menanggapi


dengan segera.

“Aku tidak bisa memberi perhatian penuh padamu Jagat Satria,


berusahalah sendiri. Jangan kecewakan aku. Aku masih harus
mengawasi Bongkok, Yati, Narti dan beberapa lainnya. Jangan sampai
mereka terlibat pertarungan yang tidak bisa mereka hadapi sendirian!”

“Baik guru! Apakah Bongkok sudah menemukan jejak


Mandurareja?”

“Belum. Tetapi ia akan terus mencarinya. Mudah-mudahan ia


segera membawakannya kepadaku hidup ataupun mati. Pangeran itu
tentu sudah dalam keadaan gawat setelah menghadapimu tadi”

“Maafkan aku guru, aku tadi sempat terlena sesaat setelah


menjatuhkan Mandurareja…”

Tidak ada balasan dari Panembahan Agung melalui Aji


Pamelingnya. Jagat Satria tentu maklum bahwa gurunya sedang
mengalihkan perhatiannya kepada orang lain. Atau mungkin gurunya

64
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

sedang kesal karena kesalahannya yang menyebabkan mereka gagal


menangkap Pangeran Mandurareja.

Namun, Jagat Satria bisa meyakinkan dirinya jika ia membutuhkan


bantuan, tentu gurunya akan kembali terhubung dengan dirinya untuk
memberinya tambahan aji jaya kawijayan yang dia inginkan untuk
menjatuhkan lawan-lawannya. Tetapi sekedar untuk melawan orang
yang dahulu kawentar dengan panggilan Pangeran Ranapati, Jagat
Satria merasa yakin dapat melumpuhkannya tanpa bantuan gurunya.

Pertarungan antara kedua orang itupun menjadi semakin sengit


karena keduanya memang orang-orang linuwih yang berilmu sangat
tinggi.

Jagat Satria harus bersungguh-sungguh dalam mengimbangi Teja


Wulung. Keduanya saling desak-mendesak. Saling serang, menghindar
bahkan saling berbenturan.

Dengan demikian, maka di halaman rumah itupun telah terjadi


pertarungan yang dahsyat, bagaikan angin pusaran yang saling melilit
dan sulit untuk diurai. Sesekali, Jagat Satria tampak terlempar dan
hampir jatuh berguling di dera serangan Teja Wulung yang dahsyat,
namun di kesempatan lain, justru Teja Wulunglah yang tergetar dan
hampir terjatuh menerima serangan Jagat Satria yang sangat keras.

“Kau sungguh tidak mengecewakan pangeran! Pantas saja pasukan


Panaraga pernah tunduk dibawah kepemimpinanmu!” seru Jagat Satria
diantara derasnya serangan Teja Wulung.

“Aku sudah melupakan itu semua dengan segenap penyesalanku


melakukan apa yang tidak seharusnya kulakukan di masa yang lampau.
Aku bukan siapa-siapa dihadapan Yang Maha Agung seperti juga dirimu
dihadapanNya” sahut Teja Wulung dengan datar.

“Persetan!” teriak Jagat Satria Agung.

Dengan geramnya murid Panembahan Agung itu menghentakkan


serangannya sehingga Teja Wulung terkejut dan harus mundur

65
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

selangkah untuk dapat memberinya ruang bernapas menahan gempuran


Jagat Satria yang sedemikian dahsyatnya.

“Jangan terlalu lama bermain-main, baru saja salah seorang cantrik


padepokan melaporkan kalau Ki Ageng Selagilang sudah meninggalkan
padepokan semenjak tadi. Jangan sampai ia menemukan pertarungan
kalian di sana!” tiba-tiba seseorang seperti berbicara langsung di
gendang telinga Jagat Satria Agung.

Jagat Satria terkesiap sesaat. Gurunya telah memberi peringatan. Ki


Ageng Selagilang seorang yang linuwih. Tentu ia mampu meraba
kemungkinan bahwa muridnya sedang dalam bahaya karena orang-
orang dari Padepokan Panembahan Agung berencana meratakan
Samiran hari ini.

Tetapi Jagat Satria merasa masih memiliki waktu. Mungkin saja Ki


Ageng Selagilang tidak menyadari bahwa muridnya justru ditahan di
Samiran saat ini oleh Pangeran Mandurareja dan mengira Teja Wulung
dibiarkan melenggang ke Cepaga oleh Sang Pangeran. Sehingga
kedatangan Ki Ageng Selagilang ke tengah-tengah pertempuran hanya
untuk mengamat-amati seperti biasanya.

Namun setelah sekian lama kemudian, tekanan demi tekanan dari


Jagat Satria terus-terusan mampu diimbangi oleh Teja Wulung
membuat murid pertama dari Panembahan Agung itupun harus berpikir
ulang.

Tetapi Jagat Satria juga tidak ingin membuang waktu lebih lama
lagi. Ia sudah melihat sendiri kedahsyatan Teja Wulung saat melawan Ki
Rangga Agung Sedayu di Menoreh. Sudah tentu murid Ki Ageng
Selagilang ini seorang yang tangguh tanggon dan memiliki Aji Jaya
Kawijayan tingkat tinggi sehingga percuma menurutnya jika menguji
Teja Wulung setingkat demi setingkat.

Karena itu, tidak lama kemudian, Teja Wulunglah yang menjadi


terkesiap. Jagat Satria mulai menghilang dari pengamatan wadag.
Tubuhnya seperti bayang-bayang yang saling berkejaran seolah-olah
bayangan itu tertinggal oleh gerakan tubuhnya yang sedemikian cepat.

66
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Sesaat, Teja Wulung terkesima dan tidak mampu berbuat apa-apa


sehingga serangan dahsyat Jagat Satria melandanya dan seolah-olah
tidak tertahankan sehingga Teja Wulung sempat tergetar dan bergeser
dua tapak ke belakang.

Meskipun demikian, tidak lama setelahnya, tipuan Jagat Satria


bukanlah persoalan yang teramat besar bagi Teja Wulung. Dengan
menajamkan pengamatan batinnya beberapa lapis lebih tinggi, ia
mampu mengimbangi gerakan Jagat Satria yang sedemikian garangnya
menyerang dari berbagai sisi dengan kemampuannya dan memecah
ketidakmampuan mata wadagnya dalam meraba gerakan Jagat Satria.

Sementara Ki Lurah Jalawrasta yang tergolek di atas tanah pun


berusaha beringsut perlahan menjauhi pertempuran yang sudah
sedemikian jauh dari kemampuan nalarnya mencerna. Tubuhnya yang
lemah membuatnya hanya mampu bergeser beberapa langkah saja. Ki
Lurah Jalawrasta di cekam perasaan cemas, jika ia terlalu banyak
bergerak, luka di dadanya mungkin akan kembali terbuka dan
mengalirkan darah.

Jagat Satria pun menjadi sadar bahwa akan sulit menaklukkan


murid dari Ki Ageng Selagilang ini secepat perkiraannya. Sementara
peringatan gurunya cukup membebani pula. Jagat Satria tentu tidak
ingin permainan kecil mereka ini diketahui oleh Ki Ageng Selagilang.
Sehingga mau tidak mau ia harus cepat menentukan akhir dari
pertarungannya ini.

Karenanya, Jagat Satria mengambil jalan cepat. Ia bermaksud


membenturkan salah satu puncak ilmu yang ia dapatkan dari gurunya
untuk melumpuhkan Teja Wulung.

“Aku sudah pernah melihat pangeran lembu peteng ini


menggunakan Aji Gumbala Geni saat menghadapi Agung Sedayu.
Bahkan Agung sedayu sekalipun tampak gentar dan menghindari
benturan langsung dari aji yang dahsyat itu dengan menggunakan ilmu
kabutnya. Tetapi, panas akan selalu dapat diusir dengan angin. Aku akan
membenturkan angin taufanku untuk mengusir Aji Gumbala Geni”

67
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

membatin Jagat Satria mereka-reka rencananya menjatuhkan Teja


Wulung.

Maka tidak lama kemudian, Jagat Satria kembali menghentakkan


serangannya sehingga sangat mengagetkan bagi Teja Wulung sehingga
ia terpaksa bergeser lebih dua langkah ke belakang. Di saat itulah, Jagat
Satria melompat mundur untuk melakukan gerakan khususnya dengan
sangat cepat menghimpun tenaga cadangan setinggi yang ia dapat
lakukan dalam sekejap mata.

Teja Wulung hanya dapat berpikir sesaat. Sangat mencengangkan


baginya bahwa murid Panembahan Agung itu berusaha membenturkan
ilmu pamungkasnya sedemikian rupa, padahal menurutnya masih
banyak simpanan-simpanan yang seharusnya dapat diperlihatkan oleh
murid Panembahan Agung tersebut kepadanya.

Tetapi tidak ada waktu lagi memikirkan berbagai kemungkinan lain.


Teja wulung pun bersiap. Dengan cepat ia melakukan gerakan
khususnya untuk menghimpun tenaga cadangannya setinggi mungkin.
Otak Teja Wulung yang cemerlang kemudian menyadari suatu
kemungkinan setelah menyimpulkan cerita Jagat Satria yang ia dengar
sendiri barusan.

Tentunya Jagat Satria telah mengamati pertarungannya dengan


Agung Sedayu di Menoreh. Mungkin saja Jagat Satria berharap Teja
Wulung akan menggunakan kembali Aji Gumbala Geni sebagai ajian
pamungkasnya, sebagaimana dahulu Pangeran Ranapati sangat bangga
dengan ajiannya tersebut yang tidak akan pandang bulu menghanguskan
apapun yang ada dihadapannya.

Dengan demikian, Jagat Satria sudah memiliki perabaan tentang


bagaimana cara menghadapi Aji Gumbala Geni yang dimiliki Teja
Wulung. Maka, ada kemungkinan Jagat Satria memiliki pengetahuan
selangkah lebih maju dari dirinya. Sehingga Jagat Satria memiliki
keuntungan pada saat ini.

68
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Mendapati pemikiran sedemikian, teja Wulung pun berkesimpulan


tidak ingin menggunakan Aji Gumbala Geni sebagaimana yang
diharapkan Jagat Satria untuk ia hadapi.

Alih-alih, Teja Wulung justru mempersiapkan ajian dahsyat lain


yang ia dapatkan dari Ki Ageng Selagilang. Aji yang begitu dahsyatnya
sehingga dapat membekukan seluruh makhluk hidup yang ada di
sekelilingnya. Bahkan dapat memadamkan api yang berkobar tanpa
memerlukan air.

Sejenak, Teja Wulung melakukan gerakan khususnya sambil


menyandarkan dirinya pada kekuatan Yang Maha Agung. Sebuah
keikhlasan dalam dirinya telah tumbuh, bahwa apa yang dilakukannya
hanyalah sekedar sebuah usaha dalam meluruskan watak-watak yang
sedang tersesat. Kalah menang tidaklah menjadi persoalan lagi.

Maka kedua orang linuwih itupun telah tiba pada puncak


pengetrapan aji masing-masing dan dalam waktu kurang dari
sepenginang, akan membenturkan puncak ilmu yang mereka kuasai.

********

Dalam pada itu di Menoreh, Ratih tampak sangat terkejut saat


diberi tahu bahwa Damarpati tinggal di Menoreh sehingga perempuan
muda itu menatap Damarpati dengan raut wajah yang sulit ditebak
maknanya.

Damarpati membalas tatapan itu dengan senyum tipisnya. Sekejap


kemudian, cucu Ki Sabdadadi itu sudah mengalihkan pandanganya ke
arah lain, seperti tidak memperdulikan percakapan yang berlangsung
agak kaku dihadapannya.

“Begitu pula Nyi Dwani dan Empu Wisanata. Mereka tinggal di


Menoreh. Bahkan puteraku, Bagus Sadewa lahir di Menoreh. Kamilah

69
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

orang-orang Menoreh. Aku sendiri yang akan membawamu ke Menoreh


kelak jika kau ingin” sambung Sekar Mirah dengan segera.

Jantung Ratih seperti disambar petir mendengar pengakuan Nyi


Sekar Mirah. Matanya membelalak. Bahkan keringat dingin mulai
membasahi keningnya hanya dalam waktu sekejap. Mulutnya terkunci.
Ia tidak tahu harus bersikap apa mendengar pengakuan Nyi Sekar
Mirah.

“Sudahlah. Kami akan berkata jujur kepadamu Ratih” sela Untara


segera dengan suara yang memberat.

Lalu sambil menatap Ratih, ia berkata dengan jelas dan perlahan,

“Ratih, Kami tahu dengan benar kau adalah puteri dari Ki Wirapati,
pemimpin padepokan Wirapati yang sempat berdiri di tanah Perdikan
Menoreh” ucap Untara kemudian dengan suara beratnya sehingga
sangat menunjukkan wibawanya sebagai seorang pemimpin pasukan
yang dihormati.

“Bukan itu saja Ratih. Ketahuilah bahwa aku adalah istri dari Agung
Sedayu dan Bagus Sadewa adalah putranya” ucap Sekar Mirah segera
menimpali.

Kali ini Ratih benar-benar terpekik dan membelalak tanpa bisa


menahan dirinya lagi. Ia bahkan seperti hampir terloncat kebelakang
karena rasa terkejutnya.

“Apa!?” serunya tertahan tidak percaya sama sekali. Otaknya


seolah-olah menjadi buntu untuk menanggapi persoalan di hadapannya.

“Tentu kau pun menjadi paham sekarang dengan pertalian di antara


keluarga kami, bahwa Ki Tumenggung Untara adalah kakak kandung
dari Ki Tumenggung Agung Sedayu, pangkat yang telah disandang oleh
suamiku sekarang dalam mengemban tugasnya memimpin pasukan
gabungan Mataram untuk menumpas gerombolan yang bermukim di
lembah Merapi-Merbabu” sambung Sekar Mirah dengan suara agak
meninggi.

70
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Ratih tampak seperti menggigil mendapati segala keterangan orang-


orang yang ada di hadapannya. Dwani yang merasa kasihan lalu
menyentuh bahunya dengan lembut.

“Ratih, kami tidak bermaksud jahat padamu. Waktu kami terbatas.


Maka biarlah kau mengetahui dengan jelas apa yang sedang kau hadapi
sekarang. Kami tidak mau berbohong padamu terlalu lama” bisiknya
dengan lembut meskipun dapat didengar oleh semua orang.

“Benar Ratih, jika kami memiliki maksud jahat semenjak dahulu


tentu sangat mudah bagi kami. Takdir Yang Maha Agung telah
mempertemukanmu dengan kerabat dari Agung Sedayu berkali-kali.
Ketahuilah bahwa kakek tua yang menolongmu dan mengaku bernama
Ki Wita adalah guru dari Agung Sedayu sendiri. Lalu anak muda yang
bernama Punta adalah sepupuku, sepupu Agung Sedayu pula. Tentu kau
bisa melihat bahwa semua takdir ini telah diatur, bukan sebuah
kesengajaan atau kepura-puraan” kata Untara.

“Ternyata kalian orang-orang Menoreh!” seru tertahan Ratih


dengan gemuruh melanda perasaannya. Pandanganya segera menajam
dan tanpa takut memandang satu persatu orang yang ada dihadapannya.

“Ratih, gunakan nalarmu. Jangan mengikuti perasaanmu. Kami


tidak bermaksud jahat kepadamu. Kau sudah membuktikan sendiri kata-
kata kami bahkan sebelum kau sadar siapa kami sebenaranya” bujuk
Empu Wisanata dari sisinya.

“Kalian sengaja menipuku dengan kepura-puraan! Sudah jelas


sekarang kita berseberangan! Aku menuntut penjelasan tentang
kematian ayahku sekarang juga!” sentak Ratih dengan kedua tangan
mengepal diatas lututnya.

“Ratih, justru kami ingin bertanya padamu, apa yang telah


membawa ayahmu mendendam pada Menoreh, sehingga ayahmu dan
kawan-kawannya menyerang kediaman Ki Gede Menoreh pada malam
hari setelah sebelumnya menyebarkan Sirep Megananda Empat Penjuru
yang dahsyat!? Apa salah kami?” tanya Sekar Mirah dengan segera.

71
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

“Tidak! Tidak mungkin ayah berbuat seperti itu!” bantahnya dengan


keras.

Meskipun hatinya justru meragu. Bagaimana jika memang ayahnya


telah melakukan semua itu atas bujukan atau desakan orang-orang yang
datang ke padepokan mereka sebelumnya? Tetapi mengapa ayah
melakukannya?

Gigi Ratih seperti gemeretak mendengar kata-kata Sekar Mirah.


Tetapi memang, ia tidak memiliki jawabannya. Ya, apa yang telah
terjadi? Apakah persoalan yang telah membawa ayahnya beserta seluruh
padepokannya pindah ke Menoreh? Lalu mengapa ayahnya bermusuhan
justru kepada tanah di mana ia ingin pijakkan sebagai tempat mencari
penghidupan setelah melepas masa tugas sebagai prajurit Mataram?
Lalu kenapa pula berbalik memusuhi Mataram?

Sungguh pertanyaan itu berputar-putar dengan sangat dahsyatnya


di pikiran Ratih yang kalut. Banyak hal yang tidak masuk akal baginya
setelah ia mulai mengerti akibat dari keputusan-keputusan ayahnya
yang dahulu tidak mau dipusingkannya.

Untara dan Sekar Mirah menjadi saling berpandangan menerka


pemikiran masing-masing. Tentu ada yang tidak dimengerti oleh Ratih
sebagai seorang anak terhadap apa yang dilakukan oleh orangtuanya
sendiri. Mungkin ia tidak perduli atau ia memang tidak di beri tahu.

“Ratih, ayahmu dan beberapa orang kawannya telah menyatroni


rumah Ki Gede Menoreh, dimana adikku tinggal bersama keluarganya.
Sepengetahuanku, tidak ada sepercik masalah apapun antara Ki
Tumenggung Wirapati dengan adikku Agung Sedayu, maka ada yang
janggal disini. Aku justru berharap kau mengetahui alasannya sehingga
kami bisa meluruskan kesalahpahaman ini” kali ini Untara yang berujar.

“Ini bukan soal kesalahpahaman kiai, yang jelas ayahku telah mati
di Menoreh. Seseorang harus mempertanggungjawabkannya” desis
Ratih dengan suara bergetar.

72
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

“Kami mempertahankan diri kami, apakah kami salah?” tanya Sekar


Mirah.

“Ratih, ayahmu gugur melalui pertarungan yang jantan. Kami telah


menguburkannya dengan penghormatan terbaik kami di Menoreh” kata
Untara.

“Tidak mungkin! Tidak mungkin!” rintih Ratih masih dengan


perasaannya yang bergejolak semakin hebat.

“Lalu siapakah orang-orang yang bersama ayahmu? Apa tujuan


mereka?” desak Sekar Mirah.

“Aku tidak tahu! Aku tidak tahu apa-apa” seru Ratih diakhiri
dengan suara rintihannya.

Untara dan Sekar Mirah jadi iba. Tidak ada gunanya mereka
mendesak Ratih saat ini. Ia tentu tidak mau bicara jika ia mengetahui
sesuatu. Tetapi jika ia tidak mengetahui serba sedikitpun, tentu sangat
mengherankan pula.

“Jika kau ingin melihat makamnya, aku akan membawamu suatu


hari nanti. Kau akan lihat bagaimana orang Menoreh menghormati
lawan-lawannya meskipun sebenarnya ayahmu justru mengoyak
perasaan kami. Tetapi ia mati dengan terhormat dalam sebuah
pertarungan. Kau juga akan melihat bahwa padepokan peninggalan
ayahmu masih utuh dan kami rawat. Bahkan baraknya yang terbakar
telah kami perbaiki. Tanah dan padepokan seisinya masih milikmu,
Ratih. Saat kau kembali ke Menoreh, kau memiliki warisan yang cukup
di sana untuk memulai sebuah hidup baru” kata Sekar Mirah dengan
suara merendah.

Ratih tiba-tiba terisak. Ia menangis sejadi-jadinya mengingat


padepokan yang ia tinggalkan. Gejolak yang tidak tertahankan yang
menggelora di dalam hatinya akhirnya pecah menjadi sebuah tangisan
panjang karena kebingungan dan ketidakberdayaannya.

73
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

“Nyi, aku ingin tahu dengan siapakah ayahku berhadapan?


Siapakah yang membunuhnya?” tanyanya setelah sekian lama menangis
dan berusaha menguasai perasaannya.

Sekar Mirah menghela napas pendek sambil berpikir agak panjang.

“Jawab aku Nyi, aku ingin tahu tangan siapa yang mencabut
nyawanya?” desak Ratih.

“Ratih, ayahmu gugur melawan suamiku” jawab Sekar Mirah


dengan gamblang.

Ratih menjerit kecil. Matanya seperti menggelora sesaat.

“Apa nyai menyaksikannya sendiri!?” serunya tertahan dengan


suara jadi terbata-bata.

“Tidak Ratih. Tidak ada yang menyaksikan pertarungan mereka


diantara kami. Kami semua telah tertidur pulas saat Sirep Megananda
tersebar. Hanya suamiku yang mampu melawan pengaruh sirep. Ratih,
pertarungan itu adalah pertarungan di tingkat sangat tinggi. Ayahmu
dan beberapa kawannya telah menyerang suamiku. Sulit sekali untuk
menghindarkan kematian dimalam tersebut. Apalagi dengan keadaan
Kakang Sedayu dikerubuti oleh banyak orang sekaligus”

Ratih terdengar mengerang dan merintih sesaat mendengar


penjelasan Sekar Mirah. Tubuhnya seperti bergetar keras dengan wajah
merah padam menatap orang-orang disekitarnya.

Semua merasa cemas dengan kemungkinan yang bisa dilakukan


Ratih di pendapa itu. Namun Sekar Mirah merasa lebih tenang. Empu
Wisanata dan Dwani yang mengapit Ratih tentu akan mampu bertindak
lebih cepat apabila gadis muda itu meradang.

Suara tangisan dan rintihan Ratih masih terdengar, tetapi kemudian


tampaknya Ratih berusaha keras mengendalikan perasaanya yang
sangat bergejolak dan tidak lama kemudian, tampak kemarahan
meluruh di wajah Ratih.

74
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Tubuhnya yang menggigil dan berkeringat pun kini tampak


melemas meski Ratih masih sesenggukan, tetapi ia tidak melawan saat
tangan Dwani melingkar ke bahunya dan membuat kepalanya jatuh
bersandar ke bahu Dwani.

“Nasi telah menjadi bubur, ngger. Kami sangat menyesal dengan


nasib ayahmu. Tetapi pikirkanlah kedudukan kami pada saat itu, kami
harus mempertahankan diri. Ki Agung Sedayu tidak punya banyak
pilihan” bisik Dwani dengan lembut ke telinga Ratih.

Dwani memang tidak mengalami sendiri peristiwa tersebut, namun


ia tentu sudah mendengar sebagian ceritanya selama beberapa waktu
bermukim di rumah Ki Gede Menoreh.

“Jadi, dengan ini aku akan menimpakan kesalahan ini sepenuhnya


pada Ki Agung Sedayu, Kematian ayahku adalah di tangan Ki Sedayu”
gumam Ratih dengan suara seperti merintih, matanya memejam seperti
menahan perih yang amat sangat.

“Ngger, kau tidak boleh mempersempit pemikiranmu seperti


demikian. Benar bahwa tangan Ki Sedayu yang menjadi lantaran dari
kematian ayahmu. Tetapi seandainya di malam itu, ayahmu menolak
ikut dalam rombongan yang ingin menyatroni rumah Ki Gede Menoreh,
mungkin saja ayahmu masih hidup sekarang. Ia telah memilih takdirnya
dan takdirnya telah menunjukkan ujung dari hidupnya. Apakah tangan
Ki Sedayu atau tangan orang lain, ajal pasti menjemput kapanpun jika
Yang Maha Agung berkehendak” kata Empu Wisanata berusaha
melunakkan Ratih.

“Ratih, apakah kau ingin membalas dendam atas kematian ayahmu


sekarang? Aku siap menjadi wakil suamiku” tanya Sekar Mirah tiba-tiba
tanpa tedeng aling-aling.

Untara dan Empu Wisanata sampai terperanjat karena Sekar Mirah


bertanya sedemikian rupa. Untara bahkan sampai menggelengkan
kepalanya beberapa kali menyadari sifat Sekar Mirah yang keras dan
sering tidak sabaran dalam menghadapi sesuatu.

75
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

“Aku tidak tahu Nyi. Aku tidak sanggup berpikir hingga kesana.
Apalah arti dari diriku yang hina dan tidak lagi memiliki orangtua ini.
Apa gunanya diriku hidup. Aku sudah melihat nyai bertarung. Aku
bukan tandinganmu. Membalas kematian ayahku pun aku tidak akan
sanggup” bisik Ratih dalam perasaannya yang sengsara.

“Jangan menyesali hidupmu ngger. Kau masih muda. Harapan-


harapanmu masih memiliki kemungkinan besar untuk bisa kau
wujudkan” kata Untara.

Ratih masih diam dalam rangkulan Dwani. Tetapi tampak air mata
gadis itu masih mengalir. Sesekali isakannya pun terdengar.

Sekar Mirah mendesah. Persoalan Ratih seperti diduganya memang


mengambil waktu cukup banyak. Karena itu, Sekar Mirah tidak ingin
menunda-nunda keputusan. Ia harus tiba di Sangkal Putung sebelum
gelap.

“Kakang, aku tidak bisa berlama-lama lagi. Aku harus segera tiba di
Sangkal Putung. Ratih sudah mengetahui kebenaran. Sepertinya ia tidak
mungkin ikut bersamaku. Aku hanya bisa memberinya pilihan, ia bebas
menentukan langkahnya jika ia ingin pergi atau jika kakang bermurah
hati aku memohon agar Ratih menginap di sini sebelum ia memutuskan
keinginannya” kata Sekar Mirah dengan cepat. Ia segera meneruskan,

“Tetapi aku memberimu peringatan sekarang, mohon jauhi


keluargaku. Sungguh, hatiku akan remuk redam jika kau datang ke
Menoreh dan menuntut balas di kemudian hari. Adalah lebih baik
bagiku kau mati tenggelam hari ini jika saat ini pembalasan dendam
sedang melintas dan bergulat dalam pemikiranmu, Ratih” cetus Sekar
Mirah dengan nada mengancam tetapi penuh dengan kelembutan yang
bernada sangat prihatin.

Ratih seperti tersentak dan tersadar dengan keadaan dirinya.


Tersadar pada pertolongan Sekar Mirah pada kesempatan pertama
mereka bertemu. Begitu pula dengan pertolongan lain yang datang pada
dirinya sebelumnya. Bukankah semua pertolongan itu seperti diatur,

76
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

bahwa para kerabat Agung Sedayulah yang selalu mengulurkan tangan


saat ia dalam kesulitan?

Ratih tiba-tiba seperti merasakan cahaya menyala dalam hatinya


yang kelam. Sebuah pertanyaan dalam sanubarinya telah menyadarkan
dirinya. Karena ia percaya pada kuasa Yang Maha Agung, maka
pertanyaan itu justru menghangatkan sanubarinya. Mengapa justru para
kerabat Agung Sedayulah yang selalu menolongnya disaat harapannya
telah menipis? Apakah ini sebuah petunjuk dari Yang Maha Agung bagi
kehidupannya kelak?

Ratih segera menegakkan dirinya dan berusaha menghentikan


tangisannya untuk kembali berpikir jernih setelah selama beberapa saat
kenangan menyedihkan tentang ayahnya memang agak memburamkan
penalarannya. Tetapi ia mendapatkan cepercik harapan pula dari sikap
Sekar Mirah dan kerabat Agung Sedayu lainnya yang ada di pendapa ini.

“Tetapi aku telah memberikan janjiku kepada Nyi Sekar Mirah. Aku
tidak akan mengingkarinya” katanya secara tiba-tiba.

“Tetapi, bukankah kau menyadarinya, bahwa aku tidak sepenuhnya


akan percaya padamu untuk sekarang ini? Bukankah kau akan merasa
aku selalu mengawasimu dan mungkin akan menganaktirikanmu dalam
banyak persoalan jika kau memutuskan ikut denganku?” cetus Sekar
Mirah bertanya.

Mata Ratih tampak mengerjap-ngerjap selama beberapa saat.

“Aku bersedia Nyi. Lakukan apa yang Nyi Sekar Mirah mau padaku,
bukankah Nyi Sekar Mirah sudah berjanji tidak akan menyakitiku? Aku
rasa itu sudah cukup bagiku” ujar Ratih secara tiba-tiba dengan suara
tanpa keraguan.

Untara dan Sekar Mirah menjadi terheran-heran. Berbagai


kemungkinan segera melintas di pemikiran mereka. Sementara Ratih
menatap mereka berganti-ganti. Ratih seperti bisa menebak apa yang
sedang bergulat di benak Sekar Mirah saat ini.

77
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

“Mungkin Nyi Sekar Mirah sedang menduga-duga aku akan


mencari cara untuk menikam keluarga Nyi Sekar Mirah dari belakang
suatu ketika jika aku punya kesempatan. Bahkan mungkin setitik
kesalahan orang lain akan langsung merujuk kepadaku dengan seketika.
Aku memang pantas untuk dicurigai jika itu terjadi. Tidak mengapa Nyi.
Silahkan bunuh aku meskipun bukan aku yang melakukannya, sekecil
apapun kecurigaan nyai kepadaku” katanya dengan perlahan.

“Ah…” desis serempak orang-orang yang ada disekitar Ratih.

“Tidak mesti seperti itu, Ratih” gumam Dwani lembut di telinga


Ratih.

“Kami menjadi bingung dengan jalan pikiranmu, Ratih” kata Untara


dengan senyum terkulum.

“Aku tidak pernah berpikir sampai sedemikian” cetus Sekar Mirah


menimpali.

“Aku hanya ingin menunaikan janji yang sudah terucap” sahut


Ratih kini dengan sebuah pandangan mata yang mulai bercahaya.

“Kau pun mau berjanji tidak akan menyakiti keluargaku? Terutama


putraku?” tanya Sekar Mirah.

“Aku berjanji Nyi. Sebagaimana janji Nyi Sekar Mirah tidak akan
menyakitiku” jawab Ratih mantap.

“Kau tidak akan mendendam pada suamiku?” tanya Sekar Mirah


dengan hati-hati.

Ratih menggeleng. Matanya beradu pandang dengan Sekar Mirah.


Dari sana, Sekar Mirah bisa meraba bahwa sepertinya Ratih memang
bersungguh-sungguh.

“Aku sungguh tidak menduga sikapmu akan seperti ini, Ratih” kata
Untara kemudian dengan tarikan napas penuh kelegaan.

“Ki Tumenggung, aku sama sekali tidak tahu menahu urusan apa
yang membawa ayah ke Menoreh. Mengapa ayah memindahkan seluruh

78
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

perguruan ke tanah perdikan itu untuk kemudian memusuhinya? Aku


merasa sesuatu hal yang janggal terjadi disini. Mungkin ayah telah
termakan bujuk rayu para tamu yang datang kemudian hari, sehingga
kemudian ayah menemui takdirnya di Menoreh. Semenjak awal pun aku
merasa ada yang tidak mengena mengenai sebab musabab kematian
ayahku di Menoreh sehubungan dengan tamu-tamunya yang datang
belakangan ke Menoreh. Paman Sanggalangit ingin menimpakan
seluruh kesalahan ini pada orang Menoreh. Tetapi aku tidak
berpendapat demikian sebelum jelas duduk perkaranya” sahut Ratih.

Orang-orang yang ada disekitar Ratih tampak mengangguk-angguk.


Pendapat Ratih cukup jernih menunjukkan cara berpikirnya. Semua
menanggapi dengan sebuah tarikan napas kelegaan. Kecuali Damarpati
tentunya, karena gadis kecil itu bahkan seperti tidak tertarik sama sekali
pembicaraan dihadapannya selain mendengarkannya.

“Apakah kau tahu serba sedikit siapakah tamu-tamu ayahmu itu?”


tanya Sekar Mirah kemudian.

“Maaf Nyi, pada saat itu aku tidak begitu perduli urusan ayahku.
Aku hanya sempat menemui mereka sekali saat mengantarkan minum.
Seorang diantaranya adalah guru ayahku. Aku tidak begitu
mengenalnya, karena aku lahir setelah ayah meninggalkan
padepokannya. Tetapi yang dua lagi aku hanya bisa menyebutkan ciri-
cirinya” kata Ratih. Ia kemudian menceritakan sedikit pengenalannya
tentang kedua tamu ayahnya yang sempat ia temui di Padepokan
Wirapati.

Baik Untara maupun Sekar Mirah segera maklum, ciri-ciri


keduanya merujuk kepada Pangeran Ranapati dan Ki Ageng Selagilang
yang kemudian keempatnya berhadapan dengan Agung Sedayu. Tentu
saja dengan sedikit pengecualian bahwa Ki Ageng Selagilang justru
berhadapan dengan Maharsi.

“Demikian, Kiai. Aku tidak tahu lebih banyak dari apa yang
kusaksikan. Mungkin Paman Sanggalangit lebih tahu duduk perkaranya.
Ia orang kepercayaan ayah dan kakek guru” kata Ratih.

79
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

“Kalau begitu, cukuplah sampai disini. Meskipun kami tidak juga


mendapatkan jawaban darimu, tetapi setidaknya kita tidak berselisih
lagi. Biarlah, nantinya jawaban tentang pertanyaan mengenai sikap
ayahmu ini mungkin akan terbuka, jika Yang Maha Agung
menghendakinya” kata Untara dengan senyum tipis menghiasi bibirnya.

Hampir semua orang yang disana menarik napas panjang. Mereka


saling berpandangan dan menganggukkan kepala. Persoalan ini telah
menemukan titik terangnya. Ratih terlihat bisa menerima kenyataan
bahwa ayahnya telah terlibat sebuah urusan yang menyebabkan Ki
Wirapati menemui ajalnya di Menoreh di tangan Agung Sedayu.
Ternyata Ratih tidak membabi buta dalam menyalahkan orang-orang
Menoreh.

Tetapi seperti juga orang-orang Menoreh, Ratih justru dipenuhi


pertanyaan mengapa Ki Wirapati sampai memusuhi Menoreh dan
Mataram? Padahal, ia adalah salah seorang prajurit Mataram hingga
masa purna baktinya. Sungguh janggal rasanya bagi orang yang mampu
berpikir jernih. Syukurlah, justru Ratih sendiri yang mampu berpikir
sejernih demikian.

“Tetapi, aku tetap belum bisa memberimu kepercayaan sepenuhnya,


Ratih. Aku mohon maaf, Nyi Dwani dan Empu Wisanata akan sering
mengawasimu. Mungkin suatu hari, kau bisa benar-benar dapat
meyakinkanku. Siapa tahu pada saat itu, kau bisa menjadi saudara kami”
kata Sekar Mirah kemudian dengan perasaan agak lapang.

Ratih mengangguk dengan senyum tipis mengembang di bibirnya.


Ia sangat mengerti kedudukannya di antara sanak kadang Sekar Mirah
saat ini.

Sementara Sekar Mirah merasa memang harus mengambil resiko


dalam keputusannya yang berkaitan dengan Ratih. Mungkin Ratih akan
memilih melepaskan diri. Tetapi kemungkinan ke depan ia akan
menuntut balas atas kematian ayahnya pun tidak bisa ditepiskan begitu
saja.

80
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Mungkin dengan membiarkan Ratih memenuhi janjinya, justru


membuat Ratih akan lebih terawasi. Mudah-mudahan, gadis itu akan
terus melunak dan kemudian mendapatkan pemahaman penuh sehingga
mungkin saja hatinya akan berubah sama sekali.

Sungguh sayang sekali jika dikemudian hari gadis cantik ini justru
terkungkung oleh keburaman hatinya dan menjadi buta oleh
dendamnya. Ratih patut mendapatkan kesempatan yang lebih baik.
Demikianlah menurut pemikiran Sekar Mirah pada saat ini.

“Baiklah, jika memang demikian kau boleh terus ikut bersamaku,


Ratih” kata Sekar Mirah kemudian memberi keputusan dengan senyum
mengembang di bibirnya.

“Terima kasih Nyi,” sahut Ratih seketika dengan wajah agak


berbinar.

Semua menarik napas dengan lega.

“Nah, kakang Untara. Kita bisa kembali ke pokok persoalan


sekarang”

“Ah, ternyata persoalan yang kau bawa masih sangat banyak, Mirah.
Tunggulah sebentar, istriku akan menghidangkan minum lebih dulu”
kata Untara dengan tawa renyah sambil memberi isyarat kepada istrinya
yang sedari tadi mengintip dari pintu pringgitan, mencoba mencari
waktu yang tepat untuk menghidangkan panganan karena ia melihat
pembicaraan sedemikian tegangnya meski diantara sanak kadang
suaminya sendiri.

0OO0OO0

Bersambung ke Jilid 20

81
Kemelut Lembah Merapi Merbabu – 19
Oleh: Arif Usman

Cuplikan cerita:

“He! Turun kalian dari rakit itu. Kami harus menyeberang lebih dahulu!” seru menggelegar seseorang dari
belakang mereka.

Suaranya sedemikian mengejutkan dan sepertinya telah dibarengi dengan kemampuannya yang tinggi
sehingga seruan itu sampai dapat menggetarkan jantung.

Serentak murid-murid perguruan Jalatunda menoleh ke belakang dengan wajah dipenuhi kemarahan.
Tidak ada seorangpun di atas dunia ini yang diperbolehkan bersikap demikian. Kecuali orang-orang yang
memang sudah siap mati untuk mencari perkara dengan mereka.

“Kurang ajar. Mereka mencari perkara dengan kita” geram beberapa orang murid Perguruan Jalatunda
dengan wajah mengeras.

Putut Segara Geni yang sudah ada diatas rakit bergegas turun untuk mengetahui siapakah orang yang
dianggapnya gila karena sudah berani menyuruh mereka turun dari rakit.

“Siapa kau kisanak!?” seru Putut Segara Geni, ia segera melanjutkan,

“Kami lebih dulu ada di penyeberangan ini. Siapapun yang datang belakangan, sebaiknya menunggu
giliran”

“Diam! Aku punya urusan penting di Menoreh. Tidak akan kutunda barang sepenginangpun hanya karena
menunggu giliran dibelakang kelinci-kelinci seperti kalian!”

“He! Jaga mulutmu kisanak!” teriak Putut Segara Amuk merangsek maju untuk berdiri di sebelah Putut
Segara Geni.

“Kau tidak tahu berhadapan dengan siapa he!?” beentak orang itu lagi.

“Sebut namamu orang tua! Kami berjumlah lebih banyak! Tidak ada yang bisa memerintah kami selain
guru kami!” tantang Putut Segara Geni dengan kasar.

“Namaku Ki Ageng Lawang Geni. Minggirlah, aku punya urusan hidup mati dengan orang-orang
Menoreh!” seru orang itu…..Nantikan kelanjutannya di KLMM.

KEMELUT LEMBAH MERAPI


MERBABU

Jika para CanMen berkenan memberikan tali asih suka rela, silahkan mengirimkan donasinya ke rekening Mbak Ayu
Sakiah Bank BRI No. Rek :069301012155501 Kami sangat berterima kasih atas partisipasi para CanMen, merupakan
bentuk kepedulian para CanMen dalam mendukung Ki Arif Usman untuk terus berkarya. Bagi CanMen yang sudah
berkenan bisa info ke email:sakiah2@gmail.com. Matur suwun.

82

Anda mungkin juga menyukai