Anda di halaman 1dari 23

DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAK

Mendengar keputusan final itu, bahkan Kuncoro Manik


sendiri kaget. Diangkat anak oleh dewa, apalagi dewa
penguasa jagat raya, tentu membawa gengsi tersendiri.
Tapi rupa-rupanya masih ada sesuatu yang mengganjal
hati Kuncoro Manik.

“Makasih banget, pak. Mudah-mudahan gua kagak salah


sebut kalo mulai sekarang gua panggil elu bapak,” kata
Kuncoro Manik. “Jadi bener nih mulai sekarang gua ini
anak raja?”

“Betul, nak. Mulai sekarang engkau adalah anak seorang


raja. Dan terserah engkau ingin memanggilku bapak,
atau ayah, atau papa, atau babe, atau daddy,” jawab
Bethara Guru.

“Oké, pak! Sebagai anak raja, gua ada satu permintaan.


Kalau bapak kagak keberatan, gua juga pengen jadi
raja.”

“Kira-kira kerajaan mana yang kau inginkan, nak?”


tanya Bethara Guru bingung. Ia masih belum mengerti
maksud Kuncoro Manik.

Kuncoro Manik diam sejenak. Sebetulnya tuntutannya itu


hanya sekedar ingin memberi pelajaran kepada raja
sombong, ayah angkatnya yang satu ini. Mentang-mentang
punya kekuasaan terus mau bikin keputusan seenak
jidatnya. Dan juga mau bertindak seenak perutnya.

“Gua emang pengen jadi raja. Tapi kagak mau kalo pakai
cara merebut kerajaan laen,” jawab Kuncoro Manik.
“Kalau jadi raja pake cara begitu pasti bakal bikin
ribut. Yang gua maksud adalah gua pengen jadi raja
yang kekuasaannya bisa sama seperti kekuasaan elu,
pak.”
Gila!! Semua dewa berteriak dalam hati. Namun mulut
mereka tetap terkunci rapat-rapat. Membisu. Dalam hati
mereka terus memaki, benar-benar keterlaluan si
Kuncoro Manik. Sudah dikasih hati, ngrogoh jantung.
Sudah untung diangkat anak, sekarang malah minta jadi
raja yang kekuasaannya sama seperti kekuasaan ayah
angkatnya.

“Kuncoro Manik, anakku,” kata Bethara Guru. Nadanya


disabar-sabarkannya, walaupun mukanya nampak merah
menahan amarah. “Jika memang begitu kehendakmu, itu
artinya engkau ingin menjatuhkan kewibawaanku.”

“Lho, jangan kesinggung dulu, pak. Gua bukannya pengen


ngejatohin wibawa elu. Gua cuma minta supaya kalo gua
berkuasa, kekuasaan gua bisa sebesar kekuasaan elu.
Kalo itu elu anggep ngejatohin wibawa elu, ya terserah
lach yaow....”

Emosi Bethara Guru sudah mencapai puncaknya. Manusia


di depannya ini benar-benar kurang ajar. Dan memang
harus dihajar biar kapok. Kalo perlu dihajar sampai
nggak bisa bangun lagi. Hanya ada satu cara menghajar
manusia sakti macem begini: “Kuncoro Manik! Baik kalau
itu kemauanmu. Tapi ada satu syaratannya.”

“Oké. Apa syaratnya?” tanya Kuncoro Manik menantang.

“Keinginanmu bisa tercapai asal kau kuat menahan


pusaka Cis Jaludoro di tanganku ini. Kalau engkau
memang mampu menahan gempuran pusakaku ini, aku bakal
berhenti jadi raja. Kerajaan Jonggring Saloka akan
kuserahkan padamu,” kata Bethara Guru geregetan.

Para dewa dan prajurit istana kaget bukan main. Yang


tadinya ngantuk langsung hilang ngantuknya karena
kelewat kaget. Tapi ada juga yang bludreknya kambuh
gara-gara kelewat kaget. Dan suasana paseban mulai
gaduh. Perasaan ngeri menyelimuti para hadirin. Bukan
ngeri karena kerajaan bakal jatuh ke tangan orang
lain, tapi karena tahu apa itu Cis Jaludoro.

Pusaka Cis Jaludoro adalah pusaka utama kerajaan


Jonggring Saloka. Dikeluarkan hanya kalau negara dalam
keadaan gawat darurat. Pusaka ini berbentuk keris.
Sarungnya terbuat dari emas murni hasil galian
Freeport McMoRan di Papua Barat. Dihiasi manik-manik
intan berlian hadiah dari Afrika Selatan. Kekuatan
senjata ini sungguh dahsyat. Sekali gempur sebuah
gunung bisa rontok jadi gurun.

Pusaka yang diwariskan secara turun temurun oleh


penguasa Jonggring Saloka ini dulu pernah digunakan
untuk menghancurkan kota Sodom dan Gomorah. Peristiwa
itu terjadi pas masa pemerintahan dipegang oleh Partai
Republik yang konservatif.

Cis Jaludoro adalah pusaka andalan kerajaan khayangan


Jonggring Saloka. Pusaka itu merupakan benteng
terakhir para dewa. Sudah beberapa kali digunakan
untuk menangkis serangan-serangan musuh yang sakti.
Dan selalu sukses. Tidak pernah ngadat alias mogok.

“Oké, pak. Kalau itu emang mau lu, nih, gua serahin
dada gua. Tapi, kali ini elu jangan sampai ingkar
janji ya,” kata Kuncoro Manik tak menunjukkan
kegentaran barang sedikitpun. “Paman Narada, elu
pokoknya gua jadiin saksi ya?”

“Ya..ya..iya nak. Aku saksikan dari sini...” jawab


Bethara Narada. Ada nada kekawatiran dalam jawaban
patih Jonggring Saloka itu. Bukan karena ia tahu apa
itu Cis Jaludoro, tapi karena kesombongan sikap
rajanya yang terlalu sesumbar dalam menggunakan
senjata itu.

“Bersiap-siaplah...,” kata Bethara Guru sambil


mengeluarkan pusaka dari warangkanya, dari sarungnya.
Begitu berada di luar warangkanya, warna pusaka itu
berubah jadi cemerlang. Senjata itu bagaikan menyerap
seluruh cahaya alam semesta. Kekuatannya membuat
gemetar siapa saja yang berada di sekelilingnya,
termasuk para dewa sendiri.

“Gluduuukk...Gluuuddukk..Gedebuumm!!” Senjata itu


ditusukkan tepat ke tengah-tengah dada Kuncoro Manik.
Bunyinya menggelegar bagai petir menyambar-nyambar di
siang bolong. Para dewi menjerit, bahkan ada yang
menangis terisak-isak. Beberapa dewa memejamkan
matanya karena tak tega.

Berkali-kali Cis Jaludoro ditusukkan ke dada Kuncoro


Manik. Hingga akhirnya Bethara Guru merasa letih
sendiri. Sementara itu, dada Kuncoro Manik masih utuh.
Tak ada satu goresanpun nampak disana. Bahkan merasa
sakitpun tidak.

Gila! pekik para dewa dalam hati. Benar-benar ilmu


aneh. Semua dewa nampak tercengang. Rasa kagum mereka
bercampur dengan rasa heran.

“Adi Guru,” sapa Bethara Narada tiba-tiba. “Sudah,


sudah. Adi Guru harus menerima kenyataan. Yang namanya
pusaka itu, kalau dia memang ampuh, sekali ditusukkan
akan kelihatan hasilnya. Tapi, kalau memang tidak
ampuh ya sudah. Tidak usah ditusukan berkali-kali
seperti itu. Apalagi malah buat ngiris-iris tangan
segala.

“Keampuhan pusaka itu tergantung dari sial atau tidak


yang menggunakannya. Kalau si pengguna pusaka itu pas
lagi sial, biar pusakanya super sakti, pasti nggak
bakal mempan digunakan.”

“Lalu, bagaimana kakang Narada? Apa memang hari ini


saya lagi sial?” tanya Bethara Guru pada patihnya.
Wajahnya nampak frustasi.

“Ya, gimana. Saya kira sih, Adi Guru harus berani


menerima kenyataan. Selain itu, janji harus ditepati.
Kalau tidak, maka saya takut kewibawaan Adi Guru bakal
terpuruk lagi.”

“Ya, kakang Narada,” kata Bethara Guru. Lalu, ia


menatap anak angkatnya sambil berkata sayu: “Anakku,
Kuncoro Manik. Karena kamu sanggup menahan pusaka Cis
Jaludoro maka aku akan menepati janjiku. Mulai saat
ini aku akan mundur jadi raja. Dan kamulah sekarang
yang bertahta di khayangan Jonggring Saloka.”

“Busyeeet! Beneran nih? Apa gua kagak mimpi bisa jadi


raja?” tanya Kuncoro Manik kaget.

“Ya, nak. Engkau sekarang raja jagat raya.”

“Hmm, makasih banget, pak. Tapi, kejadian ini bukan


salah gua, lho. Ini terjadi karena bapak sendiri kan
yang menginginkannya. Bapak sendiri yang mulai.
Sebenernya, gua tadi cuma bilang bahwa gua ingin punya
kekuasaan seperti yang bapak miliki. Jadi bukan
berkuasa atas negara ini.”

“Iya, nak. Itu betul.”

“Nah, kalau sekarang gua jadi raja, berarti apa gelar


gua sekarang?”

“Ya, nak. Sekarang engkau bergelar Prabu. Prabu


Kuncoro Manik.”

Prabu Kuncoro Manik akhirnya menduduki tahta Jonggring


Saloka menggantikan Bethara Guru. Untuk mencegah raja
yang digantikannya itu terkena “Post Power Syndrome”,
maka ia mengangkatnya sebagai penasehat kerajaan.
Tugas penasehat adalah memberi saran dan masukan pada
kebijaksanaan yang sedang dijalankan sang raja.

Ada dua hal yang menyebabkan Prabu Kuncoro Manik masih


memberi jabatan pada Bethara Guru. Pertama, ia tak mau
ayah angkatnya itu kehilangan muka, karena telah
dibuat malu. Kedua, supaya Bethara Guru, yang bekas
penguasa dan tahu banyak mengenai situasi dan kondisi
kerajaan, tidak merongrong kewibawaannya selama ia
memerintah.

“Lalu, Paman Begawan Pulasara gua jadiin Kepala Seksi


Keamanan dan Politik. Sanggup kan, paman?”

“Ya, nak. Aku sanggup,” jawab Begawan Pulasara.

“Terus aku gimana dong? Masa aku cuman BéTé aja nih,”
tanya Bethara Narada tiba-tiba. Biar bagaimanapun jiwa
bekas patih kerajaan itu tetaplah jiwa seorang
bangsawan. Dan bagi kaum bangsawan maupun priyayi,
jabatan adalah penting sekali artinya. Melebihi
kepentingan diri dan bahkan keluarganya sendiri.

“Kakek Narada mau kan kalo tetap jadi patih kerajaan


ini?” tanya Kuncoro Manik.

“Wah, gimana ya. Tapi, oké déh. Sanggup deh,” jawab


Dewa Narada berbasa-basi.

“Terus aku gimana dong?” tanya Dewa Yamadipati sambil


mengelus-elus jidatnya yang masih benjut.

“Abang Yamadipati juga bakal pegang jabatan semula,


yaitu Ketua Seksi Pencabutan Nyawa. Gimana? Sanggup?”

“Oh yah. Bagus. Sanggup deh,” jawab Dewa Yamadipati


lega. Dia memang sudah ahli dalam hal-hal nyabut
nyawa. Kalau dia sampai dimutasi, apalagi ke Seksi
Bendahara, tentu ia bakal pikir-pikir. Soalnya Seksi
Bendahara kerjanya cuman ngitung keluar masuk duit
doang. Udah gitu masih sering dimaki-maki orang,
karena dikira pelit ngeluarin duit kerajaan. Padahal
dia kagak punya kekuasaan untuk melakukan hal itu.

Para dewa ini memang terkenal sembarangan kalo


menggunakan uang. Mentang-mentang uang itu uang
kerajaan, bukan uang pribadi, makanya suka cuèk.
Kecenderungan mereka dalam memboroskan uang kerajaan
kuat sekali. Mereka sanggup obral duit besar-besaran,
apalagi buat nyari pujian, nama baik, dan sanjungan.

Seminggu kemudian, dalam suasana udara nan sejuk


karena habis hujan, dan langit yang cerah, para dewa
dikumpulkan. Rata-rata mereka sudah boleh pulang dari
rumah sakit. Sebagai penguasa baru, Prabu Kuncoro
Manik nampaknya berkepentingan untuk memberitahukan
jalan pikiran maupun kebijaksanaannya dalam memerintah
kerajaan pada pertemuan itu.

Untuk mencegah timbulnya keresahan, Prabu Kuncoro


Manik memang sengaja tidak merubah jabatan maupun
mengadakan mutasi besar-besaran di pemerintahan. Ia
hanya memberikan kesempatan kepada para dewa yang
memegang jabatan, untuk membenahi Departemennya maupun
Seksinya masing-masing. Agar mereka bisa berkerja
dengan lebih efektif dan efisien.

Dalam ceramah itu pula, ia perlu memberitahu bahwa ia


tidak ingin ada mis-komunikasi berkembang dalam
pemerintahannya. Semua harus terbuka dan transparan.
Danjuga ia ingin agar para bawahannya tidak bersikap
masa bodoh dalam melakukan tugasnya. Para dewa harus
punya kesadaran untuk selalu bertanggung jawab.

Mendengar wejangan rajanya yang baru, para dewa dan


penduduk Jonggring Saloka mengangguk-angguk seperti
setuju. Namun dalam hati lain lagi bunyinya. Yah, mau
apa lagi? Kebanyakan pada dewa memang bermental
“Status Quo”. Jadi merupakan hal yang sulit untuk
merubah sifat maupun sikap mereka itu. Sampai jagat
kiamatpun barangkali belum tentu bisa.

“Nah, sekarang gua ada satu pertanyaan. Apakah suatu


hari nanti akan ada perang besar yang bernama: Bharata
Yudha?” tanya Prabu Kuncoro Manik kepada Bethara Guru.
“Betul, nak. Perang besar antara keturunan Pandawa dan
keturunan Kurawa itu memang sudah menjadi kodratnya
jagat raya,” jawab ayah angkat merangkap penasehatnya
itu.

“Apa memang kodrat itu tidak bisa digagalkan?”

“Digagalkan? Tidak. Tidak bisa, nak. Karena kodrat


manusia sudah tertulis dan harus dijalani.”

Perang besar Baratha Yudha yang akan datang memang


sudah jadi kodrat manusia yang harus dijalani. Namun,
Prabu Kuncoro Manik, raja baru di Jonggring Saloka,
yakin bahwa perang besar itu bisa digagalkan. Atau
paling tidak dihindari.

“Gimana kagak bisa dihindari? Kan yang ‘njalanin


kodrat itu manusia sendiri?” demikian argumen Kuncoro
Manik terhadap para dewa. “Perang kan bisa ngebikin
malapetaka buat kemanusiaan. Nah, kalau manusianya
sendiri punya keinginan buat menghindari terjadinya
malapetaka, itu artinya perang masih bisa digagalkan.”

Mendengar alasan yang cukup masuk akal dari orang yang


menggantikannya sebagai raja itu, Bethara Guru cuma
bisa membisu. Tapi sesaat kemudian: “Gimana kakang
Narada?”

“Ya, kalau saya bilang sih, itu kan haknya Kuncoro


Manik sebagai raja. Mengenai bagaimana kelanjutannnya,
ya nanti terserah kebijaksanaan Sang Hyang Widiwasa,”
jawab Bethara Narada enteng.

Sang Hyang Widiwasa, atau Sang Hyang Wenang, adalah


dewanya para dewa. Orang Cina menyebutnya Thian. Orang
bule menyebutnya God. Ia berkuasa atas semua mahkluk
yang ada di jagat raya, baik dewa, manusia, dan juga
para mahkluk halus.

“Mong-ngomong, apa sih yang menyebabkan terjadinya


perang Bharata Yudha itu?” tanya Prabu Kuncoro Manik.
Ia cuma ingin meyakinkan dirinya kalo apa yang di
dengarnya selama ini tidak salah.

“Penyebabnya, saat ini keturunan Kurawa menguasai


kerajaan Astina yang bukan haknya,” jawab Bethara
Guru. “Padahal, kerajaan itu sebenarnya adalah milik
keturunan Pandawa, saudara sepupu mereka. Nah,
kembalinya kerajaan itu ke tangan keturunan Pandawa,
hanya bisa dilakukan melalui perang besar itu.”

“Lha, itu kan namanya para dewa kagak adil semua,”


kata Prabu Kuncoro Manik kepada para dewa yang ada
dihadapannya. Mendengar kritik itu, para dewa dalam
hati dongkol. Tapi mau protes nggak ada yang berani.

Biar begitu, Prabu Kuncoro Manik sudah tahu. Ia tahu,


walaupun ia kini sudah resmi diangkat jadi raja para
dewa, namun sebagai manusia, ia yakin dirinya tetaplah
dipandang rendah. Wejangannya cuma masuk kuping kiri
keluar kuping kanan. Dewa tetaplah dewa. Mereka selalu
merasa bahwa derajatnya berada setingkat di atas
manusia. Serba merasa tahu. Serba benar.

Selain itu ada alasan lain mengapa para dewa ini


ngotot sekali tidak ingin melihat gagalnya perang
Baratha Yudha. Alasannya itu: karena perang ini
merupakan sebuah tontonan besar bagi para dewa
sendiri. “The Show of The Century”. Ibarat
pertandingan tinju antara Muhammad Ali melawan Joe
Fraizer. Mike Tyson lawan Evander Hollyfield. Atau
ibarat piala dunia sepak bola antara kesebelasan
Brasil lawan Jerman.

Dalam perang Baratha Yudha nanti akan ditampilkan


pertandingan adu kekuatan dan kesaktian, baik dari
pihak Pandawa maupun pihak Kurawa. Buat nonton
pertandingan itu, banyak diantara para dewa yang sudah
memesan tempat duduk jauh-jauh hari sebelumnya. Baik
melalui agen-agen maupun calo-calo. Bahkan ada yang
berani membayar mahal supaya bisa dapet tempat paling
depan.

Yang enak yang punya jabatan. Mereka ini, terutama


para anggota Dewan Perwakilan Dewa, terkadang tinggal
angkat tilpun minta disediakan tempat duduk yang baik
oleh pihak panitia. Dan pihak panitia mau nggak mau
terpaksa menurutinya. Karena kalo nggak, bakalan bisa
berabe. Saat ini, para anggota Dewan Perwakilan Dewa
itu ibarat raja-raja kecil yang harus selalu dituruti
keinginannya. Padahal mereka ngakunya wakil rakyat.

“Kalau memang para dewa semua adil, Prabu Duryudana


yang sekarang berkuasa di kerajaan Astina, harus
dipaksa mengembalikan kerajaan itu pada pihak Pandawa.
Kalau dia kagak mau berarti memang dia ini biang
keladinya. Dan perlu dimusnahkan. Kalau biang
keladinya dimusnahkan, kan perang kagak bakalan jadi.

“Yang namanya perang, biar bagaimanapun bentuknya


bakal menimbulkan korban yang kagak sedikit. Terutama
sekali di pihak rakyat kecil. Banyak istri-istri yang
bakal menjadi janda karena kehilangan suaminya, begitu
juga suami kehilangan istri, anak kehilangan orang
tua, dan seterusnya. Itu sebabnya kenapa gua pengen
menggagalkan perang Bharata Yudha.”

Pada dewa tetap diam. Mereka mendengarkan dengan


serius sambil manggut-manggut. Namun hati
masing-masing rusuh: memprotes, menentang, cuek,
bahkan mencibir. Ada manusia kok berani ngajari dewa,
huh!

Keinginan Prabu Kuncoro Manik, raja Jonggring Saloka,


untuk menggagalkan perang Baratha Yudha sudah tidak
bisa dibendung lagi. Dan tak ada dewa yang berani
menentang tindakannya itu. Dalam hukum kerajaan,
seorang bawahan harus menuruti perintah raja. Kalau
tidak, akibatnya bisa macam-macam. Mulai dari mutasi
dan pemecatan, sampai dengan pengucilan, dan bahkan
penjara maupun eksekusi.

Bethara Guru yang nampak bimbang bertanya pada Kuncoro


Manik: “Lalu, apa rencanamu, nak?”

“Rencana gua gini. Paman Begawan Pulasara gua mau utus


ke negara Astina untuk ngeboyong Dewi Banowati.
Berhubung Prabu Duryudana kalau sama permaisurinya itu
cintanya setengah modar, pasti ia bakal menyusul
kemari kalo tahu Banowati ada disini. Nah, kalau
Duryudana udah sampai disini, biar gua suruh dia
supaya nyerahin kerajaannya ke pihak Pandawa. Dengan
begitu perang Baratha Yudha bakal bisa dihindari. Tapi
kalau dia nolak, biar tahu rasa dia. Gimana paman?
Setuju kan?”

“Ya, nak. Aku akan melaksanakan perintahmu. Mohon


pamit, sekarang juga aku berangkat,” kata Begawan
Pulasara singkat tanpa basa-basi. Setelah menyembah,
dan mendapat restu dari raja, ia segera mengundurkan
diri. Waktu mau berangkat, bagian protokol istana
menawarinya menggunakan mobil Mercy terbaru keluaran
tahun 2004. Tapi dia menolak. Ia lebih memilih naik
mobil Toyota Corrola bekas yang ada di gudang istana.

Tak lama kemudian Prabu Kuncoro Manik memberi perintah


patihnya: “Nah, Paman Narada. Elu gua utus turun ke
bumi buat manggil Prabu Kresna, raja Dwarawati. Kresna
sebagai pelindung dan penasehat keluarga Pandawa, mau
gua minta juga supaya menggagalkan perang Baratha
Yudha. Buat jaga-jaga, Paman Narada boleh bawa semua
dewa dan prajurit pilihan Jonggring Saloka.”

“Wah, aku sih siap, nak. Tapi kalau Prabu Kresna nggak
mau diajak kemari,” tanya Patih Narada ragu.

“Ya, kalau sampai tugas itu gagal, Paman Narada yang


bakal gua cemplungin sekalian ke Kawah Candradimuka,”
kata Kuncoro Manik dingin, tapi dalam hati tersenyum.
Ancaman kosongnya ternyata berhasil.

“Waduuhhh! Modar aku!” kata Narada. “Hei Yamadipati,


gimana ini? Jangan bengong aja kamu! Ada orang tua
lagi kesusahan kok malah ngelamun!” Bethara Narada
nervous mendengar ancaman Kuncoro Manik.

“Ya, turutin aja, man. Paman Narada dapet iringan


pengawalan para dewa dan prajurit pilihan, kenapa
takut? Masa kalo rombongan kita banyak, kita nggak
bisa maksa Kresna sih,” jawab Dewa Yamadipati, dewa
pencabut nyawa. Walaupun jawaban itu cukup membesarkan
rasa percaya diri, tapi Bethara Narada kurang bisa
diyakinkan. Ia tahu siapa Kresna.

Setelah rencananya mulai kelihatan jalan, Prabu


Kuncoro Manik segera memanggil kepala bagian
protokoler istana. Ia mau pergi ke panti pijat, karena
badannya terasa pegal-pegal. Oleh protokol istana ia
ditawari kereta kencana kerajaan, yang gemerlapan
warnanya, melebihi gemerlapnya kereta kerajaan Inggris
Raya. Tapi ia menolak, dan minta naik mobil Volvo
model lama. Ketika ditawari pengawalan Secret Service,
sekali lagi dia menolak. Alasannya dia mau santai, tak
mau kaku.

Tak lama kemudian, mobil beserta sopirnya tiba. Prabu


Kuncoro Manik segera naik ke dalamnya. Begitu berada
di dalam ia kaget. Ternyata sopirnya sudah tua sekali.
Rambutnya putih beruban tanpa tersisa sedikitpun
hitamnya. Walaupun sopir tua itu kelihatan sehat, tapi
badannya nampak kurus kering. Wajahnya letih.

“Nama bapak siapa?” tanya Kuncoro Manik.

“Saya Dewa Paijo. Tapi panggil saya Paijo saja,


paduka,” kata sopirnya merendah. “Ngomong-ngomong
paduka mau ke panti pijat yang mana?”

“Yang paling bagus di negri ini, panti pijat mana,


pak?” tanya Prabu Kuncoro Manik, yang akhirnya manggil
‘pak’ kepada sopirnya untuk menghormatinya.

“Kebanyakan mereka yang seneng pijet, terutama para


pejabat, pasti nyari yang satu itu. Namanya Panti
Pijat ‘Sekar Asmara’. Pemiliknya istri pensiunan
pejabat. Tukang pijitnya para bidadari yang masih
muda, cantik dan bahenol. Rata-rata anak kuliahan.
Tapi walaupun muda, pijitannya siiip, kata mereka yang
pernah kesana.”

“Baik. Kalau gitu kita kesana.”


Mobil Volvo dan penumpangnya meluncur menuju panti
pijat “Sekar Asmara”. Panti pijat paling nge-top di
seluruh kerajaan Jonggring Saloka itu terletak di
perumahan elit kerajaan. Pemilik sekaligus
pengelolanya adalah seorang istri pensiunan pejabat.

Dulu waktu masih bertugas, pejabat itu cukup disegani


kawan maupun lawan. Hingga kinipun masih begitu.
Karenanya, usaha panti pijat itu tak ada yang pernah
berani mengusik-usik. Padahal menurut khabar burung,
kegiatan di dalamnya termasuk “Full Body-part
Massage”.

“Ngomong-ngomong, umur Pak Paijo berapa? Kok


kelihatannya masih kuat kerja?” tanya Prabu Kuncoro
Manik pada sopirnya.

“Umur saya enampuluh delapan tahun, paduka,” jawab


Dewa Paijo. “Sebenarnya saya sudah beberapa kali minta
pensiun. Tapi tidak diijinkan. Alasan mereka: kerjaan
saya belum ada yang bisa menggantikan. Ya, apa mau
dikata? Memang kebanyakan anak-anak muda belum banyak
tahu jalan seperti saya. Tapi saya pikir, mereka kan
bisa belajar. Kalau tidak diberi kesempatan, apalagi
kesempatan untuk berbuat salah, bagaimana mereka bakal
maju?...”

“Hmmm ya, ya masuk akal,” kata Kuncoro Manik. Dari


nada bicaranya, nampaknya dewa yang satu ini ingin
‘curhat’, pikir Kuncoro Manik. Suatu kebetulan, karena
iapun ingin tahu lebih jauh situasi dan kondisi negara
ini. Biasanya rakyat kecil lebih jujur dalam
menerangkan keadaan sekitarnya. Maka ia pancing dengan
pertanyaan: “Apa menurut bapak regenerasi di kerajaan
ini kurang berjalan lancar?”

“Menurut saya sih, memang kurang. Gimana mau lancar


kalau golongan tua masih terus ingin menguasai semua
lahan? Nggak mau pensiun-pensiun. Nah, golongan
mudanya cuma bisa nunggu terus sambil bengong. Yang
beruntung, biasanya yang mau tunduk dan bisa ‘njilat,
memang mendapat posisi jabatan. Tapi tetaplah cuma
bawahan dengan semboyan ‘yes, sir’ atau ‘yes, madam’.

“Situasi seperti itu makin parah dengan keadaan


perekonomian yang lemah akibat krisis berkepanjangan,
‘rule and law’ yang tidak bener aturan mainnya, dan
KKN yang masih subur. Belum lagi adanya
masalah-masalah seperti separatisme, konflik antar
etnik, pemboman, premanisme, dan lain sebagainya.
Makanya kemajuan negara jadi terhambat.”

Mendengar cerita langsung dari sosok rakyat jelata


itu, Prabu Kuncoro Manik makin mendapat gambaran yang
luas tentang keadaan negara yang dipimpinnya. Rupanya
sistim negara banyak yang harus diperbaiki. Selain itu
disiplin harus diterapkan secara keras. Tapi apa ia
mampu melakukan semua itu, kalo mental rakyatnya yang
pada ‘sakit’ sudah demikian akut? Dengan penasaran ia
bertanya: “Pak Paijo dulu lulusan mana?”

Jawab Dewa Paijo merendah: “Oh, saya cuma lulusan UGM,


paduka. Dan sempat beberapa tahun di Cornell...”

“Ooooh...” desah Prabu Kuncoro Manik, yang ‘Drop Out’


dari STF Driyarkara itu.

Sepeninggal Prabu Kuncoro Manik dari istana, datanglah


Dewa Serani. Anak Bethara Guru yang jiwanya borjuis
ini nakal dan paling susah diatur. Kerjanya kelayapan
dengan mobil Porche hadiah ulang tahun dari ayahnya.

Dengan modal tampang, yang memang cukup lumayan, Dewa


Serani kencan kesana-kemari. Ceweknya ganti-ganti.
Mulai anak pejabat, turis bule, sampai pèrèk kelas
teri. Untung selalu pakai kondom, jadi sampai sekarang
selalu terhindar dari AIDS. Dan kalau lagi nggak
pacaran, kerjanya nongkrong atau pesta dengan
anak-anak pajabat dan bangsawan lain.

Rupanya Dewa Serani nggak sadar kalau bapaknya tiap


hari kerja mati-matian ‘mark-up’ proyek untuk bisa
membuat keluarganya hidup di atas garis kekayaan.
Iapun nggak sadar kalau bapaknya harus bersusah payah
memanipulasi keuangan negara supaya ia bisa sekolah ke
luar negri, ibunya bisa jalan-jalan ke Amrik atau
Eropa, dan sekeluarga bisa secara rutin belanja ke
Singapura.

Dan saat ini, Dewa Serani sedang naksir berat seorang


cewek, namanya Dewi Jenokowati. Cewek itu anak Raden
Janoko atau Raden Arjuna, salah seorang dari lima
bersaudara keluarga Pandawa.

Dewa Serani telah berhasil meyakinkan orang tuanya


bahwa ia ingin berkeluarga. Tapi ia cuma mau
berkeluarga dengan Dewi Jenokowati. Orang tuanya cukup
senang dan mendukung rencana itu. Mereka memang selalu
berharap, barangkali saja kalau anaknya sudah
berkeluarga kelakuannya akan berubah menjadi lebih
baik.

Namun rupanya lain yang tersirat dalam kodrat. Dewi


Jenokowati sudah jodohnya Raden Antasena. Bahkan sudah
menikah dan baru saja pulang ‘honeymoon’ dari
kepulauan Lombok. Antasena sendiri adalah anak bungsu
dari Bimasena, juga keturunan Pandawa.
“Sembah saya pada ayahnda. Semoga ayahnda tidak
kekurangan suatu apapun. Semoga kerajaan ini tetap
jaya dan sentosa ditangan ayahnda,” kata Dewa Serani.
Ia belum tahu kalau ayahnya sudah turun tahta.
Nampaknya ayahnya juga tidak mau memberitahukan
kondisi yang sebenarnya. Malu. Dan takut anaknya
kecewa.

Langit mendung kelabu. Udara lembab tak berangin. Di


paseban istana, Bethara Guru menatap anak
kesayangannya. Ia senang dengan kedatangan anak itu.
Wajahnya mirip permaisuri yang dikasihinya. Anak yang
cerdas, dan selalu menurut perintah orang tua.

“Kenapa engkau nampak resah, nak?” tanya Bethara Guru.

“Sudah beberapa minggu ini saya tak bisa tidur, ayah,”


kata Dewa Serani memulai pengaduannya. “Mau makan juga
kurang enak rasanya. Perasaan saya tidak bisa tenang.
Semua itu karena bayangan Dewi Jenokowati yang selalu
muncul dalam angan-angan.”

“Ya, aku tahu itu, nak. Tapi aku minta engkau tidak
usah melarikan diri kepada hal-hal yang negatif.
Karena aku dengar engkau sekarang banyak memakai
sabu-sabu dan ecstasy.”

“Saatnya nanti, saya akan berhenti, ayah. Tapi hidup


saya hampa tanpa Dewi Jenokowati. Kalau ayahnda tak
mampu menjodohkan saya dengan dia, saya gantung diri
saja.”

Dewa Serani nampak sedih dihadapan ayahnya. Anak nakal


yang manja itu memang semakin hari semakin kelihatan
kurus. Hasratnya untuk mendapatkan Dewi Jenokowati,
tidak bisa dibendung lagi. Ia tahu, ayahnya, apalagi
ibunya, bakal iba melihat keadaannya. Keadaan yang
seolah-olah tragis karena ditambah dengan ratapan
palsu.
“Anakku,” demikian sabda Bethara Guru. “Apa yang jadi
kemauanmu itu telah aku pikirkan sejak lama.
Ketahuilah nak, Antasena saat ini sudah mati.”

“Apakah itu benar, ayah? Antasena sudah mati?” tanya


Dewa Serani. Matanya langsung tampak berbinar-binar.
Ingin rasanya ia bersorak dan melonjak girang sampai
ke langit ke tujuh mendengar berita itu.

“Benar, nak. Jasad Antasena sudah kucemplungkan ke


Kawah Candradimuka. Tapi aku minta engkau jangan
bilang siapa-siapa. Karena aku tidak mau rencanaku ini
diketahui siapapun, kecuali orang-orang yang bisa
kupercaya.”

Semangat Dewa Serani langsung menyala. Tubuh yang


tadinya lesu sekarang kelihatan segar. Ia kini lega
setelah mendengar salah satu penghalang, bagi
bersatunya antara dirinya dengan Dewi Jenokowati,
telah tersingkirkan. “Terima kasih, ayah. Lalu, apa
yang musti saya kerjakan sekarang?”

“Nah, sekarang turunlah engkau ke bumi. Temuilah


Arjuna. Kalau bapaknya Jenokowati itu merelakan
anaknya engkau lamar, maka berilah segala apa yang dia
mau: Pangkat? Jabatan? Kedudukan? Kekayaan? Atau
apapun yang dia mau. Tapi kalau Arjuna tidak rela
menyerahkan Jenokowati, engkau bereskan saja dia
sekalian,” kata Bethara Guru dingin.

Mendengar sabda ayahnya, hati Dewa Serani kembali


melambung tinggi. Kini ia telah benar-benar mendapat
restu dari ayahnya. Maka ia yakin tak akan ada lagi
yang mampu menghalangi niatnya.

Sambil menyembah Dewa Serani berkata: “Ayah, saya akan


pergi sekarang. Mohon doa restu!”

Dewa Serani kemudian berangkat. Karena terlalu percaya


diri, ia tidak membawa pasukan untuk melaksanakan
niatnya. Ia cuma mengajak pembantunya, Togog. Mereka
berdua menuju ke kerajaan Madukara, tempat Arjuna
memerintah.

Tak lama setelah Dewa Serani pergi, Patih Narada yang


dari tadi terkantuk-katuk di pojokan segera beringsut
mendekat kepada Bethara Guru. Ia tadi sempat tersentak
mendengar sabda bekas rajanya itu pada anaknya.

“Adi Guru! Urusan dengan Dewa Serani itu tadi


bagaimana?” tanya Patih Narada kawatir.

“Saya suruh dia menemui Arjuna untuk meminang


Jenokowati. Sekaligus untuk memberi khabar kalau
Antasena telah meninggal dunia. Dengan pemberitaan
itu, tentu Arjuna akan rela melepas anaknya untuk
berjodohan dengan Dewa Serani,” jawab Bethara Guru
ringan.

“Kalau Arjuna nggak rela melepas anaknya, terus


bagaimana?”

“Kakang Narada tak usah kawatir. Saya telah


perintahkan Dewa Serani untuk memusnahkan Arjuna
sekalian.”

“Holly Crap!!!” teriak Bethara Narada.

Bethara Narada kaget bukan main mendengar keterangan


Bethara Guru. Tindakan bekas rajanya memberi restu
kepada Dewa Serani, untuk menghabisi Arjuna bukan saja
membahayakan, namun juga mengkawatirkan.

Besar sekali perubahan yang terjadi pada diri Bethara


Guru, pikir Patih Narada. Dulu, ketika baru pertama
kali terpilih sebagai raja, seluruh rakyat Jonggring
Saloka mengelu-elukannya. Ia disambut dengan
optimisme. Menjadi harapan akan terjadinya perubahan
pada segala bidang di kerajaan itu. Perubahan seperti
itu memang benar terjadi, tapi ternyata cuma sesaat.

Dan sekarang, bukan saja keputusan-keputusannya


mengandung semangat negatif, bahkan terkadang
kontroversial. Dan itu biasanya dilakukan tanpa
berembuk dulu dengan para rekan maupun bawahannya.
Dari sikap itu saja sudah terlihat bahwa Bethara Guru
semakin menjadi individu yang arogan.

“Wah, beribu maaf Adi Guru,” kata Patih Narada. “Tapi


saya kira tindakan yang Adi Guru lakukan tadi itu
salah. Ingat, Adi Guru sekarang ini sudah bukan raja
disini lagi. Bukankah sekarang ini Adi Guru hanya
berkedudukan sebagai penasehat?”

Mendengar kritik itu, Bethara Guru seperti tersentak


sadar. Namun kesadaran yang terlambat: “Jadi, apa
tindakan saya kali ini keliru lagi, kakang Narada?”

“Ya, keliru lach yauuuwww......” kata Patih Narada


kesel. “Wah, kalau Kuncoro Manik tahu, belum tentu ia
akan setuju dengan tidakan Adi Guru barusan tadi.
Boleh jadi malah marah.”

“Lalu, saya musti bagaimana, kakang Narada?” tanya


Bethara Guru.

“Ya, silahkan saja ditindak lanjuti. Pokoknya saya


nggak ikut-ikutan lah,” kata Patih Narada dongkol. Ia
sendiri sedang puyeng memikirkan tugas yang dibebankan
padanya oleh Prabu Kuncoro Manik. Penguasa baru itu
telah memerintahkannya untuk memanggil Prabu Bethara
Kresna ke khayangan. Walaupun kedengarannya mudah,
namun ia tahu kenyataannya bakal berlainan.

Prabu Kresna bukan orang sembarangan. Ia titisan Dewa


Wisnu, dewa kebahagiaan, yang amat disegani oleh para
dewa sendiri karena kebijaksanaannya.

Raja Dwarawati itu dijuluki Andeng-Andeng Jagat alias


Tahi Lalat Jagat. Kesaktiannya benar-benar tiada
tandingan. Senjata pusakanya banyak. Yang terkenal
diantaranya Kembang Wijaya Kusuma. Setangkai kembang
yang mampu menghidupkan orang mati. Selain itu masih
ada Cakra, panah tanpa busur. Panah sakti itu mampu
merontokkan sukma lawannya. Selama ini tak ada yang
kuat menahan gempuran senjata itu, bahkan para dewa
sekalipun.

“Wah, urusan saya sendiri gampang-gampang susah,” kata


Patih Narada. “Entar kalau udah sampai Dwarawati saya
yakin urusannya kan bakalan kusut....”

“Sudah, kakang Narada tak usah terlalu kawatir dengan


tugas yang terbeban saat ini. Apapun hasilnya saya
akan ikut bertanggung jawab.” Bethara Guru mencoba
meyakinkan. Tapi yang diyakinkan nampak ragu.

“Yah udah, gini aja deh,” kata Patih Narada. “Adi Guru
silahkan tinggal di istana saja. Biar saya dan para
dewa, serta pasukan khayangan turun ke bumi. Berhasil
tidaknya tugas saya, itu urusan nanti.”

Pagi itu cerah. Mentari sedang memanja bumi dengan


sinarnya. Langit biru tak berawan menjadi latar
belakang warna Astinapura, ibukota kerajaan Astina.

Di istana sedang terjadi kesibukan. Walaupun hari itu


bukan ‘hari pasowanan’ (hari-hari yang telah
ditentukan bagi para bangsawan untuk menghadap raja),
namun para pejabat diharuskan menghadap.

Astina adalah negri yang kaya dan sering disebut


orang: sorga di dunia. Tanahnya subur hasil muntahan
lahar dan abu gunung berapi. Pepohonan rimbun
menghijau dengan aneka ragam buah-buahan.
Kembang-kembang berbagai warna memancar menyongsong
fajar. Meniupkan aroma bahagianya kehidupan.

Segalanya melimpah di negeri katulistiwa itu. Termasuk


air yang memancar dari tanah tak ada habisnya. Air itu
bening dan manis rasanya. Mampu mengobati bukan hanya
dahaganya raga, namun juga jiwa.

Fauna berbagai jenis, baik yang liar maupun yang


dipelihara, hidup sehat dan gemuk. Sedangkan di lautan
ikan melimpah ruah sampai tak muat dijala.

Namun sayang, kekayaan alam Astina yang melimpah itu


tidak mampu dimanfaatkan untuk kesejahteraan seluruh
penduduknya. Hanya para elit kekuasaan, orang kaya
yang punya koneksi dan kaum bangsawanlah yang berkenan
menikmatinya.

Rakyat yang bodoh, tak memiliki sarana untuk


mengembangkan hartanya, bukannya ditolong tapi malah
makin dibodohi. Kreativitas mereka terhambat, atau
bahkan terkadang sengaja dihambat oleh tangan-tangan
jahil para oknum penindas.

Di negeri yang kaya itu, para pemimpin hanya pintar


berteriak-teriak untuk kepentingan posisi, baik diri
sendiri maupun kelompoknya. Mereka tak mampu memberi
contoh yang baik. Sehingga yang muncul adalah rakyat
yang mencontoh pemimpinnya sebagai koruptor, oportunis
dan hipokrit. Agama dikedepankan, tapi relegiositas
mengalami kemunduran besar.

Para elit kekuasaan di negeri Astina berkuasa untuk


kepentingan pribadi masing-masing. Rakyat hanya
dijadikan obyek, yang kalau sudah tidak berguna,
diabaikan. Bagaikan tebu, habis manis sepah dibuang.

Para penguasa dan wakil rakyat, yang seharusnya


merupakan abdi masyarakat, malah menjadi majikan
masyarakat. Buat mereka, rakyat hanyalah buruh, budak
dan bedinde. Yang tenaga dan jiwanya bisa seenaknya
mereka hisap untuk melanggengkan kekuasaan.

Pendidikan nasional, yang seharusnya mampu


menghasilkan pemimpin-pemimpin masa depan, akhirnya
hanya berhasil mencetak kaum robot. Mesin tanpa rasa
iba.

Dunia pendidikan ini bahkan masih sering digunakan


sebagai tempat menggarap kepentingan pribadi maupun
kelompok. Dari hasil garapan ini, munculah perubahan
diri menjadi manusia-manusia bermental preman. Yang
lebih senang mengandalkan kekerasan dan tawuran
ketimbang menggunakan otak.

Adapun raja yang berkuasa di negeri Astina, saat ini


adalah Prabu Duryudana. Yang berjuluk pula Prabu Joko
Pitono, atau Prabu Gendariputra. Anak Prabu Destarata
dan Dewi Gendari. Ia anak pertama dari seratus
bersaudara. Mereka ini disebut wangsa Kurawa.

Ketika semua pejabat dan bangsawan telah berkumpul di


paseban, tak berapa lama kemudian, Prabu Duryudana
berkenan keluar. Pakaian kebesarannya dari kain sutera
keemasan, berkilauan tertimpa cahaya siang. Ia dikawal
prajurit-prajurit wanita pilihan yang cantik-cantik
mempesona. Mereka ini bertugas menjaga keselamatan
sang raja.

Setelah duduk di singgasananya, sang raja kembali


tenggelam dalam lamunannya. Diam seribu basa. Seperti
ada sesuatu permasalahan pelih yang tak mudah di
pecahkannya.

Melihat pemandangan itu, para kawula hanya mampu duduk


menunggu dan berdiam pula. Karena pantang bagi mereka
untuk bicara sebelum sang raja berkenan terlebih
dahulu bicara.

Suasana di Paseban Agung istana kerajaan Astina masih


sepi seperti di kuburan. Suara-suara lalat yang
berterbangan sungguh terdengar dengan nyata. Binatang
sampah itu mencari bau-bau aneh di sekitar mereka. Bau
keringat para bangsawan yang belum mandi karena takut
terlambat menghadiri pertemuan. Bau tengik keringat
manusia katulistiwa yang bercampur dengan
parfum-parfum mahal bikinan Paris.

Para bangsawan masih duduk terpekur menunggu sabda


rajanya. Jangankan bersuara, bahkan bergerakpun tak
ada yang berani. Tidak patut menurut etika istana.
Sehingga jidat mereka yang basah berkeringat segera
jadi tempat bermain dan berpacaran lalat-lalat kurang
ajar.

Ada nama-nama besar yang saat ini sedang duduk di


hadapan Prabu Duryudana, maharaja kerajaan Astina.
Mereka, para pejabat dan bangsawan terpandang ini,
diantaranya: Patih Sengkuni, Begawan Drona, Prabu
Karna, dan Raden Kartomarmo. Mereka adalah orang-orang
terdekat dan kepercayaan raja.

Anda mungkin juga menyukai