“Gua emang pengen jadi raja. Tapi kagak mau kalo pakai
cara merebut kerajaan laen,” jawab Kuncoro Manik.
“Kalau jadi raja pake cara begitu pasti bakal bikin
ribut. Yang gua maksud adalah gua pengen jadi raja
yang kekuasaannya bisa sama seperti kekuasaan elu,
pak.”
Gila!! Semua dewa berteriak dalam hati. Namun mulut
mereka tetap terkunci rapat-rapat. Membisu. Dalam hati
mereka terus memaki, benar-benar keterlaluan si
Kuncoro Manik. Sudah dikasih hati, ngrogoh jantung.
Sudah untung diangkat anak, sekarang malah minta jadi
raja yang kekuasaannya sama seperti kekuasaan ayah
angkatnya.
“Oké, pak. Kalau itu emang mau lu, nih, gua serahin
dada gua. Tapi, kali ini elu jangan sampai ingkar
janji ya,” kata Kuncoro Manik tak menunjukkan
kegentaran barang sedikitpun. “Paman Narada, elu
pokoknya gua jadiin saksi ya?”
“Terus aku gimana dong? Masa aku cuman BéTé aja nih,”
tanya Bethara Narada tiba-tiba. Biar bagaimanapun jiwa
bekas patih kerajaan itu tetaplah jiwa seorang
bangsawan. Dan bagi kaum bangsawan maupun priyayi,
jabatan adalah penting sekali artinya. Melebihi
kepentingan diri dan bahkan keluarganya sendiri.
“Wah, aku sih siap, nak. Tapi kalau Prabu Kresna nggak
mau diajak kemari,” tanya Patih Narada ragu.
“Ya, aku tahu itu, nak. Tapi aku minta engkau tidak
usah melarikan diri kepada hal-hal yang negatif.
Karena aku dengar engkau sekarang banyak memakai
sabu-sabu dan ecstasy.”
“Yah udah, gini aja deh,” kata Patih Narada. “Adi Guru
silahkan tinggal di istana saja. Biar saya dan para
dewa, serta pasukan khayangan turun ke bumi. Berhasil
tidaknya tugas saya, itu urusan nanti.”