Anda di halaman 1dari 10

DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAK

Siapa tak mengenal Bethara Guru? Raja para dewa ini


bertahta di Jonggring Saloka, negeri para dewa dan
dewi. Ia adalah sosok dewa yang pintar dan berwibawa.
Ia dewa yang dermawan dan punya rasa humor yang
tinggi, walau humornya bukan humor kelas abang becak.
Siapa saja yang ada didekatnya bukan hanya senang dan
terhibur, namun juga menaruh rasa hormat.

Bethara Guru memiliki beberapa gelar, yang salah


satunya adalah Sang Hyang Jagat Nata, artinya dewa
yang memiliki kekuasaan dalam menata kehidupan dunia.
Adapun dunia yang dikuasainya terdiri dari bagian:
Jagat Inggil, dunia atas (dunia para dewa), Jagat
Madya, dunia tengah (dunia mahkluk halus), dan Jagat
Ngandap, dunia bawah (dunia para manusia).

Sang Hyang Jagat Nata juga punya beberapa gelar


lainnya, yaitu: Sang Hyang Jagat Pratingkah, Sang
Hyang Udipati, Sang Hyang Milengis, Sang Hyang Manik
Maya, Sang Hyang Catur Buja (karena memiliki empat
bahu dan empat tangan), Sang Hyang Randu Wanda.

Dengan berbagai macam gelar yang disandangnya itu,


semakin sempurnalah keberadaan Bethara Guru. Ia selalu
menjadi contoh dan cermin bagi para orang tua yang
ingin anak-anaknya punya banyak gelar. Tidak peduli
apakah gelar itu harus dibeli.

Dengan berbagai gelar yang disandangnya itu pula


Bethara Guru makin dihormati dan dikagumi dimana-mana.
Karismanya semakin memancar. Dan dengan karisma dan
penampilannya saja, ia seperti mampu memberikan rasa
aman dan optimisme bagi para mahkluk yang kebetulan
berada di sekelilingnya.

Tentu saja keberadaan yang nyaris sempurna itu di


dukung pula oleh penampilan yang menajubkan.
Contohnya: kalau pas lagi berpergian, ia selalu
menunggang kendaraan kesayangannya, yaitu seekor sapi
sakti bernama Andini. Ia lebih suka naik sapinya yang
tanpa ‘air-bag’ maupun ‘anti-lock brake system’ itu,
dari pada naik mobil limosinnya yang anti peluru.

Nasehat keluarganya yang kawatir kalau ia kecelakaaan


karena naik sapi, apalagi tanpa sabuk pengaman (seat
belt) tidak digubrisnya. Pernah di daerah Virginia ia
kena tilang gara-gara tidak ‘bukle-up’.

Di pagi yang cerah itu, Bethara Guru memanggil para


dewa bawahannya. Nampaknya ada sesuatu urusan penting
yang ingin ia bicarakan dengan para kawulanya itu.

Sudah sebulan ini negara Jonggring Saloka dilanda


keresahan. Kawah Candradimuka, yang sering disebut
manusia sebagai Neraka Jahanam, menggelegak dan
laharnya menyembur-nyembur kian kemari. Bersama dengan
itu, suasana tegang nampak terlihat dimana-mana. Dewa
dan dewi yang ditemui dijalan selalu bermuka masam dan
menampakkan sikap marah jika disapa. Gempa melanda
seluruh negeri dan mengakibatkan kerusakan hebat di
sebagian negeri.

Suasana di dalam istanapun tak kalah kacaunya. Gempa


bumi membuat rusak Tamansari, yaitu taman yang menjadi
kebanggaan negara Jonggring Saloka karena
keindahannya. Walau pembangunan kembali taman itu
nantinya masih bisa dilakukan selama masih mampu
ngutang kepada World Bank dan IMF, namun cukup membuat
resah pemerintahan negara itu.

Di negeri itu ternyata praktik korupsi, dan juga


praktik kolusi serta nepotisme, masih ada dimana-mana,
tapi mereka sekarang tak bisa melakukannya seenaknya
seperti dulu. Maksudnya, mereka sekarang melakukannya
dengan diam-diam dan ngumpet-ngumpet.

Ketika tiba di Paseban Agung, tempat dimana raja biasa


menerima para punggawanya, para dewa segera
menghaturkan sembah ke singgasana. Setelah itu
mengambil tempat menurut hirarki masing-masing. Dewa
yang rendah pangkatnya, duduk dibelakang yang
pangkatnya lebih tinggi, dan begitu seterusnya.

Sudah empat jam ini Bethara Guru duduk termenung di


singgasananya. Tidak ada satu katapun keluar dari
mulutnya. Walau begitu para bawahannya tidak ada yang
berani memulai berbicara. Mereka menunggu sabda raja.
Begitulah peraturan protokoler kerajaan Jonggring
Saloka yang diterapkan dengan ketat. Jika ada yang
menyalahinya, konsekwensinya tidak langsung dirasakan
pada saat itu juga. Paling-paling besoknya pangkatnya
turun, atau jabatannya dicabut.

Para dewa yang menghadap rajanya terpekur tanpa suara.


Duduk di barisan depan adalah Bethara Narada, sang
patih Jonggring Saloka. Walaupun sudah cukup tua
umurnya, namun masih gesit tindakannya. Hal itu akibat
jamu galian Sehat Lelaki yang tenggaknya tiap pagi.
Juga jamu Pasak Bumi dan ramuan Jaran Goyang, tiap
seminggu sekali.

Sang Narada yang memiliki perawakan pendek itu bukan


hanya sakti, namun juga bijaksana. Ia tak segan-segan
memberi nasehat yang sejujurnya. Kritik dan saran
membangun. Bahkan terhadap rajanya, Sang Hyang Bethara
Guru, sekalipun. Dan sang raja telah hapal akan sifat
patihnya.

Selain Patih Narada nampak hadir pula masing-masing


Dewa Masno dan Dewa Sriyono. Keduanya putra Bethara
Guru sendiri.

Di Jonggring Saloka siapa yang tak kenal Dewa Sriyono.


Ia adalah Juru Catat kerajaan. Entah karena
pekerjaannya atau karena sifatnya, putra Bethara Guru
yang satu ini paling suka cari perhatian ayahnya. Tapi
warga lain sering menyebutnya: cari muka. Ada sesuatu
yang disembunyikannya. Mungkin ia minta pindah
jabatan. Atau mungkin ia sangat berambisi diberi
jabatan lain oleh ayahnya. Tak ada yang tahu
persisnya.

Tidak seperti Dewa Sriyono, Dewa Masno lebih pendiam.


Ia jarang bercakap kalau tak perlu. Tapi biarpun
pendiam, kesaktian dan keberaniannya telah terkenal
diseantero Jonggring Saloka. Para dewa yang lebih tua
sering memanggilnya: Si Rookie.

Angin bertiup semilir. Hari ini udara di Jonggring


Saloka nampak cerah. Kemarin ramalan cuaca di telivisi
mengatakan bahwa tidak akan ada hujan. Para peramal
cuaca di kerajaan ini tidak perlu menggunakan
peralatan radar Doppler yang canggih untuk memantau
keadaan cuaca. Karena mereka sendirilah pencipta cuaca
itu. Mereka adalah para dewa yang memiliki tugas dan
tanggung jawab terhadap baik buruknya cuaca di jagat
raya.

Semilirnya angin memberi sedikit nafas kelegaan.


Bersamaan dengan itu, sabda Bethara Guru pun mulai
bergulir. Ia mulai menanyakan khabar patihnya.
Kemudian anak-anaknya, serta para hadirin yang hadir
di tempat itu. Akhirnya, semakin lengkaplah kesejukan
suasana di pendopo Paseban Agung. Suasana yang tadinya
terasa tegang dan sesak, kini sudah mulai mengendur.

Ketika merasakan cairnya suasana itulah, pada


gilirannya Bethara Narada bertanya sambil menyembah:
"Kalo saya boleh tanya, ada apa Adi Guru memanggil
saya?"

"Kakang Narada. Sudah tiga bulan ini Jonggring Saloka


dilanda keresahan. Kawah Candradimuka menggelegak.
Laharnya menyembur-nyembur. Gempa bumi membuat
terjadinya kerusakan dimana-mana. Jika keadaan ini
tidak segera ditangani, tentu akan merusak bukan hanya
negeri ini, namun juga seluruh jagat raya," kata
Bethara Guru menampakkan keprihatinannya.

Setelah hening beberapa saat, Bethara Guru melanjutkan


ucapannya. Namun untuk kali ini cukup mengagetkan
Patih Narada: "Apa kira-kira kakang Narada tahu
penyebab keadaan ini?"

"Mohon ampun, Adi Guru. Tapi apa itu namanya tidak


keliru?" sanggah Patih Narada. Melihat rajanya bingung
pada sanggahannya ia melanjutkan: "Maksud saya begini,
paduka. Bukankah paduka penguasa seluruh Jagat Raya
ini?

"Nah, kalau saya kan cuma patih. Biarpun umur lebih


tua dan juga punya kuasa untuk mengetahui keadaan,
tapi bukankah saya tetap hanya seorang patih.
Padukalah yang memiliki kekuasaan atas Jagat Raya ini.
Karena itu, saya yakin tentu lebih mengetahui keadaan
ketimbang saya. Apa bukan seharusnya sayalah yang
bertanya pada paduka, tentang penyebab keadaan ini?"

Jawaban Patih Narada yang 'to the point' itu cukup


mengagetkan Bethara Guru. Walaupun pahit namun
mengandung kebenaran dari analisa yang tajam.

Tapi Bethara Guru masih berkelit sambil mencoba


memberi gambaran yang membingungkan pada keadaan yang
sebenarnya: "Kakang Narada ini patih dan saya adalah
raja. Seorang patih harus mampu meraba jalan pikiran
raja. Seorang raja harus minta pendapat patih jika
ingin membuat keputusan penting. Semua itu untuk
kebaikan jalannya pemerintahan. Nah, sekarang, apakah
kakang Narada mampu membaca jalan pikiran saya?"

"Ehemm, sebelumnya saya mohon beribu maaf, jika ucapan


saya ini salah ataupun terlalu lancang. Jika saya
boleh menjawab, adapun yang mengakibatkan terjadinya
kekacauan di jagat raya ini, tak lain dari ulah Adi
Guru sendiri," kata Patih Narada. Kalimatnya
menggigit. Pedas.
Jika raja lain, mendengar kalimat patihnya, kalimat
yang mendekati tuduhan seperti itu, tentu akan sangat
murka dan menghukumnya. Namun, tidak demikian halnya
dengan Bethara Guru. Hubungannya dengan patihnya sudah
seperti dua bersaudara. Apalagi kerajaan Jonggring
Saloka tanpa Patih Narada, ibarat sayur lodeh tanpa
santan. Tak bisa terbayangkan keadaannya.

“Nahh, sekarang berhubung sudah semakin terbuka,


kebetulan sekali. Saya malah ingin bertanya,” kata
Patih Narada. “Sebenarnya apa yang Adi Guru telah
lakukan hingga mengakibatkan bergolaknya Kawah
Candradimuka? Karena tampaknya ada tindakan paduka
tidak didiskusikan dengan para dewa lainnya.

“Atau begini saja. Jika Adi Guru menginginkan jagat


raya tenang kembali, silahkan Adi Guru ‘curhat’ sedang
punya problem apa, nanti biar semua dewa para kawula
ikut membantu menyelesaikannya. Tapi kalau Adi guru
tak mau berterus terang, ya...jangan harap jagat raya
akan tenang kembali seperti sedia kala.”

Bethara Guru nampak berpikir sejenak. Tawaran itu


pahit rasanya. Tapi apa yang dikatakan patihnya benar.
Lagi pula ia tak punya banyak pilihan. Saat ini, ia
benar-benar membutuhkan bantuan orang-orang
kepercayaannya untuk menyelesaikan persoalan ini
secepatnya. Agar keadaan jagat raya yang
gonjang-ganjing tidak berlarut-larut.

“Kakang Narada benar,” kata Bethara Guru. “Jagat


Mercapada ini kacau dan Kawah Candradimuka bergolak
karena ulah saya. Tanpa meminta pendapat dewa lainnya,
saya telah menghukum mati kepada titah, kepada seorang
manusia. Titah itu ialah Antasena. Padahal ia tak
punya salah apa-apa....”

“hmmm..” guman Patih Narada. Padahal dalam hati ia


bersorak: Nah, bener kan gua bilang apa!
Bethara Guru akhirnya mengakui juga, bahwa
terguncangnya jagat raya adalah akibat tindakannya. Ia
telah menghukum Antasena dengan menyeburkannya ke
Kawah Candradimuka. Akibatnya, kini kawah itu
menggelegak dan membuih. Dan gempa bumi dahsyat
susul-menyusul.

“Sebelumnya mohon maaf. Jika saya boleh tanya, apa


sebenarnya yang menyebabkan paduka menghukum
Antasena?” tanya Patih Narada dengan penasaran.

Bethara Guru diam sejenak seperti sedang mencari-cari


jawaban yang tepat dari pertanyaan patihnya. “Begini,
kakang Narada. Sebenarnya ada tiga sebab mengapa saya
menghukum Antasena.”

“Tiga sebab? Antara lain?” tanya Patih Narada makin


penasaran. Rasa penasaran itu terutama didorong oleh
keingin-tahuannya pada alasan boss-nya sampai bisa
menghukum orang yang tak bersalah. Karena tindakan itu
sangat bertentangan dengan sifat-sifat bijaksana
boss-nya sebagai pemimpin selama ini.

“Pertama. Seperti kakang Narada ketahui, perang besar


Baratha Yudha yang akan datang, antara keluarga
Pandawa dan keluarga Kurawa, sudah tak bisa dihindari
lagi. Perang itu adalah perang yang menentukan
eksistensi kedua belah pihak. Nah, jika Antasena pada
akhirnya dijadikan Senapati (jendral yang memimpin
peperangan) oleh pihak Pandawa, maka jalannya perang
jadi tidak seimbang.”

“lho, kenapa begitu, Adi Guru?”

“Kakang Narada kan tahu, Antasena itu adalah kesatria


yang sakti. Ia mahkluk yang tak mengenal rasa sakit,
bahkan tak mudah untuk menemui kematian. Jika ia oleh
pihak Pandawa sampai dijadikan Senapati, bisa jadi
pihak Kurawa akan tumpas dan musnah seketika.
Sedangkan di pihak Pandawa, yang seharusnya gugur di
medan laga itu, akan tetap hidup. Itu berlawanan
dengan kodrat.”

“hmm..ya. Terus?”

“Kedua. Antasena itu adalah satu-satunya titah yang


tidak sopan. Ia tidak pernah mau hormat dan menyembah
pada saya. Padahal saya ini seorang raja. Penguasa
jagat raya. Sedangkan ia hanya manusia biasa. Apa itu
namanya nggak kurang ajar. Nah, jika hal ini
didiamkan, saya yakin nantinya akan banyak manusia
lain yang mengikuti tingkah lakunya. Banyak manusia
yang tidak menaruh hormat dan respek pada saya lagi.”

“Lalu yang ketiga?”

“Kakang Narada tahu sendiri bahwa anak saya, Dewa


Serani, tergila-gila pada Jenokowati, sebelum
Jenokowati dijodohkan dengan Antasena. Nah, jika Dewa
Serani sampai tidak bisa mendapatkan Jenokowati, ia
pernah mengancam akan bunuh diri nyemplung ke kali
Ciliwung. Bahkan pernah di depan ibunya ia pernah
ngancam mau minum obat nyamuk cair Baygon. Nah, supaya
Dewa Serani tak berbuat nekat, dan supaya bisa lancar
perjodohannya dengan Jenokowati, maka tidak ada
pilihan lain kecuali saya turuti kemauannya. Untuk itu
saya musnahkan Antasena terlebih dahulu.”

Suasana di pendopo Paseban Agung kembali hening


setelah Bethara Guru selesai bicara. Raja Jonggring
Saloka itu telah mencoba mengungkapkan alasan-
alasannya mengapa ia membunuh Antasena. Namun berbagai
alasan yang diungkapkannya itu toh tetap terasa
janggal, terutama bagi patihnya, Bethara Narada. Namun
patihnya diam saja, walaupun dalam hati kurang
menyukai tindakan rajanya.

Begitu pula dengan kedua anak Bethara Guru. Mereka


berdua diam saja. Namun masing-masing punya beda
pandangan. Dewa Masno pandangannya tak beda jauh
dengan Patih Narada. Sedangkan Dewa Sriyono bersikap
masa bodoh. Ia tak peduli apakah tindakan ayahnya
benar atau salah. Yang penting asal tidak merugikan
dirinya.

“Mohon maaf, Adi Guru,” kata Patih Narada tiba-tiba.


“Jika Adi Guru mulai bertindak sewenang-wenang seperti
itu, berarti mulai hilang pula sifat bijaksana Adi
Guru. Ditambah jika Adi Guru sering bikin keputusan
sendiri tanpa minta pendapat para dewa bawahan. Dengan
begitu, berarti para bawahan itu sudah tidak
diperlukan lagi. Sudah tidak ada gunanya lagi.

“Nah, kalau memang para bawahan tidak diperlukan lagi,


ya silahkan saja bikin keputusan sendiri dan
menjalaninya sendiri. Tapi kalau Adi Guru masih mau
mendengarkan para bawahan, termasuk saya, maka saya
akan mencoba membantah argumentasi yang baru saja
paduka ungkapkan.”

“Maksud kakang Narada?” tanya Bethara Guru kurang


mengerti..

“Maksud saya begini. Mungkin Adi Guru sendiri tahu,


kodrat semua manusia sudah tertulis di Kitab Kejadian
Jonggring Seloka. Begitu juga dengan kodrat Antasena.
Dan kalau tidak salah, dalam kodratnya, Antasena itu
telah sirna meninggalkan dunia jauh-jauh hari, sebelum
perang Baratha Yudha dimulai. Nah, apa mungkin orang
sudah mati kok bisa jadi Senapati di medan perang?

“Kedua. Antasena itu anak kesayangan para dewa.


Walaupun Antasena itu manusia yang nggak sopan dan
tidak pernah memperlihatkan rasa hormat, tapi
sebenarnya ia manusia yang baik. Ia manusia yang
memiliki jiwa jujur dan suci. Ia bukan tipe orang yang
dipermukaannya manis tapi di dalam busuk. Selain itu,
ia pun suka menolong sesamanya tanpa pamrih. Dan
bahkan, ia disukai oleh banyak orang yang telah
mengenal sifat baiknya itu.

“Saya yakin Adi Guru pun tahu, Antasena itu orang yang
hormat pada para dewa. Tapi cara Antasena hormat dan
menyembah dewa adalah dengan tindakkannya, bukan cuma
pakai omongan saja. Antasena nyembah para dewa bukan
dengan cara diperlihatkan ke orang-orang, supaya
orang-orang tahu kalau dirinya suci. Tidak seperti
banyak orang-orang yang hipokrit.

“Orang hipokrit biasanya memang kelihatan berdoa


kusyuk, tapi tahu-tahu kelakuannya rusak. Suka
memfitnah dan menjelek-jelekkan orang lain. Atau
kusyuk berdoa, tapi tahu-tahu main gasak atau
menghancurkan milik orang lain. Itu semua bukan
tipenya si Antasena.”

Mendengar argumentasi patihnya, Bethara Guru tak mampu


berkata-kata. Raja yang berkuasa di jagat raya itu tak
bisa berkelit. Semua yang terkandung dalam argumentasi
patihnya tak ada yang salah. Dan dalam hati ia pun
membenarkan pula.

Bethara Narada melanjutkan: “Kalau saya boleh jujur,


saya kira tindakan Adi Guru itu cuma mau menuruti
kemauannya Dewa Serani saja. Jadi kesalahan Antasena
saya kira tak usah dicari-cari, kalau memang perkiraan
saya itu benar.”

Suasana paseban sepi. Bethara Guru terdesak. Walaupun


egonya sebagai seorang raja yang sangat amat berkuasa
cukup tinggi untuk direndahkan bawahan, tapi kali ini

Anda mungkin juga menyukai