Anda di halaman 1dari 3

Komunitas Seni Kampus;

Antara eksistensi dan konsistensi


Perjalanan kesenian di Makassar tidak terlepas dari keterlibatan Pekerja Seni Kampus
(PSK) yang mencoba bergeliat di tengah-tengah keterbatasan wacana kesenian yang lebih
dulu berkembang di pulau Jawa. Sebut saja KOSASTER UNHAS, Sanggar Seni
PANSER UMI, Teater KITA atau Teater Kampus IKIP (sekarang UNM), mampu menjadi
ikon dalam sejarah perkembangan komunitas seni kampus di Makassar. Kehadiran
beberapa kelompok ini berhasil menumbuh-kembangkan gerakan kesenian kampus yang
lama-kelamaan berubah menjadi kebutuhan bahkan mungkin gengsi almamater masing-
masing. Keberadaan mereka tentu saja menarik perhatian komunitas seni di luar kampus
yang masuk dalam monitoring Dewan Kesenian Makassar (DKM). Menjadi lembaga seni
amatir jelas memiliki konsekuensi logis yakni belajar dari mereka yang lebih mengenal.
Hal ini tentu menjadi salah satu stimulan bagi mereka untuk lebih banyak menelorkan
gagasan-gagasan baru di dunia seni.

Berbicara tentang kesenian Makassar, juga tidak lepas dari gedung kesenian Makassar
“Societet De Harmonie”. Gedung bekas peninggalan Belanda ini, menjadi saksi
pergulatan karya seniman-seniman Makassar. Keberadaan gedung kesenian yang menjadi
sentral kesenian Makassar, secara tidak langsung menjadi barometer keberhasilan para
seniman dalam mengaktualkan gagasan-gagasannya. Sentralisasi kesenian ini menjadi hal
yang bisa positif atau bahkan menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian komunitas
kesenian. Misalnya pembiayaan fasilitas gedung yang tergolong kurang bisa dijangkau
bagi yang kekurangan dana. Dan pihak yang paling sering mengalami hal ini adalah
komunitas seni kampus yang tidak atau belum menggantungkan diri dari kucuran dana
APBD. Bukan hanya itu saja yang bisa terjadi, ketidak-harmonisan hubungan antara PSK
dan di luar kampus pun sangat rentan terjadi. Lalu seperti apa langkah yang mesti
ditempuh oleh PSK dalam aktualisasi dirinya di dunia kesenian?

Tahun 2000an menjadi awal geliat PSK Makassar yang sempat tak bergairah beberapa
tahun karena komunikasi yang tidak intens, sehingga menjadi sangat mudah untuk dipeta-
petakan oleh orang-orang di luarnya. Kehadiran sebuah ide sejak dari FESTAMASIO
(Festival Teater Mahasiswa Nasional) I di Samarinda sudah digagas oleh beberapa orang,
melahirkan sebuah konsep yang dilaksanakan oleh komunitas seni UPKSBS UMI dan
dinamakan TEMU TEMAN (Temu Teater Mahasiswa Nusantara). Konsep ini berangkat
dari kegelisahan-kegelisahan mereka tentang konsep festival yang lebih mengarah
kepersoalan angka-angka dan tidak kearah pembentukan ruang-ruang alternatif untuk
media shering. TEMU TEMAN dilaksanakan di Makassar untuk pertama kalinya dan
diikuti oleh para aktivis kesenian kampus dari Sulawesi, Kalimantan dan Bali. Yang perlu
dicatat dari TEMU TEMAN adalah lahirnya “Deklarasi Somba Opu” yang digagas
bersama sebagai bentuk pemboikotan konsep festival dan BPSMI (Badan Pembina Seni
Mahasiswa Indonesia) selaku pembina kesenian kampus yang dianggap tidak efektif dan
transparan dalam mengakomodir kebutuhan-kebutuhan lembaga seni kampus. Tidak
hanya sampai di situ, sebelum Temu Teman dilaksanakan, sudah muncul gagasan dari
para PSK Makassar tentang pembentukan sebuah lembaga alternatif yang bisa menjadi
lembaga selain DKM yang dianggap tidak bisa menjadi fasilitator untuk lembaga
kesenian kampus serta sistem yang berlaku di gedung kesenian Makassar. Atas dasar
asumsi dan beberapa fakta yang mereka dapatkan itulah, maka dibentuklah Dewan
Kesenian Mahasiswa Makassar (DKMM) yang diprakarsai oleh UKM Seni Talas
UNISMUH, Teater Kampus UNHAS, UPKSBS UMI, UKM Seni eS.A IAIN Alauddin
(sekarang UIN) dan Teater Titik Dua IKIP (sekarang UNM), yang pada perjalanannya
kemudian, disepakati oleh hampir semua komunitas seni kampus lainnya.

DKMM, Ambiguitas sebuah Eksistensi

Kehadiran DKMM sebagai lembaga gabungan mahasiswa, tentu menjadi perhatian serius
baik DKM ataupun BPSMI yang secara hukum diakui oleh PEMDA Makassar, tentu saja
hal ini menimbulkan pro dan kontra bagi keduanya karena keberadaannya tentu harus
mereka analisa dengan baik. DKMM sebagai sebuah lembaga Mahasiswa Makassar yang
lebih berorientasi kearah advokasi dan penyatuan lembaga seni kampus Makassar,
mencoba melempar wacana yang mengarah kepada ketidak-berpihakan pola kesenian
yang diterapkan di Makassar. Salah satunya pemberdayaan gedung kesenian yang
seharusnya milik masyarakat itu harus dibayar mahal untuk sekali pementasan. Hal ini
menjadi salah satu pemicu ketidak-harmonisan antara kedua belah pihak. Sehingga
terkesan keduanya baik DKMM maupun DKM saling menutup diri, ditambah lagi
dengan keberadaan BPSMI yang hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah guna
memeta-metakan gerakan mahasiswa berbasis seni kampus, dan terjadinya sentralisasi
kesenian tanpa berusaha membuka ruang-ruang baru. Tentu saja hal ini membuat para
PSK Makassar menjadi gerah dan mencapai puncaknya pada pentas kolaborasi yang
dipentaskan di depan Fort Rotterdam tahun 2001 silam. Entah, apakah ini dianggap
berbahaya bagi ekstitensi DKM, BPSMI atau gedung kesenian.. tapi saya mengira itu
lebih mengarah kepersoalan membuka ruang baru dan melawan sentralisasi kesenian di
Makassar. Bagaimana dengan anda?

Dengan adanya pementasan kolaborasi itu, maka spirit baru muncul di tubuh DKMM dan
itu berlanjut sampai pada terbentuknya kepanitian bersama untuk menghadiri momen di
Kalimantan “KOTEKA” (Konservator Teater Kampus). Hal ini tentu menjadi tren positif
tapi disisi lain juga sangat bisa mengarah kepada disintegrasi lembaga. Terbukti setelah
Pekan Performing Art III yang diadakan di Bali, spirit itu semakin pudar bahkan hampir
PUNAH. Mungkin hal ini lebih banyak disebabkan karena tidak adanya penyatuan visi
dan misi yang lebih matang, sampai pada akhirnya arogansi kelembagaan atau almamater
menjadi lebih dominan dan DKMM tinggal menjadi catatan hitam-putih kesenian kampus
di Makassar.

Apakah DKMM masih dibutuhkan?

Kenyataan tentang keterpurukan orientasi DKMM harus diterima lapang dada karena
seperti itulah realitasnya. Kehadirannya yang semula diharapkan menjadi lembaga
alternatif komunitas seni kampus ternyata belum mampu berubah menjadi sebuah senjata
atau mungkin saja bisa kita sebut sebagai sebuah gerakan event garde di Makassar. Wajah
DKMM yang tadinya menawarkan spirit baru untuk gerakan kesenian kampus belum
mampu menunjukkan sebuah konsistensi pun pada ranah intensitas berkesenian di dalam
tubuhnya. Saya tidak mengatakan bahwa dia telah gagal menjawab realitas yang ada atau
usia yang masih sangat muda, tetapi mungkin masih ada kekeliruan sistematis di
dalamnya. Karena setelah mengamati beberapa even kesenian kampus baik itu Temu
Teman, PPA, atau even yang lain, kehadiran PSK baik dari Makassar maupun dari luar
Makassar itu lebih mengarah ke hal-hal yang tidak jelas orientasinya. Silaturahmi itu
seolah-olah dijadikan ajang hedon atau sekedar “berwisata” yang pada akhirnya ketika
kembali ke daerah masing-masing hanya membawa kisah yang mengantar mereka pada
euphoria berlebih.
“Lalu apa yang mesti digagas hari ini?”

Ternyata DKMM belum menjadi sebuah konsep yang tepat. Hari ini, para PSK mesti
kembali memeras otak untuk mendapat sebuah konsep yang tepat. Satu peninggalan
DKMM yang masih patut dijaga yakni silaturahmi yang tersisa antara sesama komunitas
seni kampus atau spirit yang masih ada. Walau terkadang masih rawan disusupi
kepentingan beberapa orang yang mencoba menjadikan lembaga kesenian kampus
sebagai kendaraannya.

Sepertinya para PSK lebih membutuhkan sebuah konsep yang orientasinya jelas dan akan
mengangkat kinerja kreatifitas kekaryaannya. Mungkin dengan “arisan karya” yang bisa
digagas bersama dan bukan sebuah pementasan hanya karena kebutuhan pembuktian
eksistensi yang sifatnya sementara atau ajang “kumpul-kumpul”, tapi lebih mengarah
kepada sebuah konsistensi dan intensitas kekaryaan serta pengembangan wacana
kesenian dan tentunya silaturahmi yang tak boleh putus. Tetapi yang jelasnya bahwa basis
kemahasiswaan sangat bisa dijadikan perangkat analisis terhadap kondisi seni kekinian
atau apapun. Apakah itu sudah dimanfaatkan?

Sebuah upaya penyatuan PSK Makassar yang coba digagas kembali (saya belum
mengetahui namanya) adalah juga sebuah bentuk upaya yang membangun, asalkan itu
tidak menjadi ajang dadakan yang sifatnya hanya temporal saja (menurut informasi,
pementasan kolaborasinya akan dilaksanakan pada bulan Mei 2008). Kalau sampai
seperti itu, lalu apakah perubahan yang coba dilakukan ini sudah menyentuh pada
perubahan subtansial?

Apakah DKMM masih dibutuhkan?, ataukah dia akan muncul dengan wajah atau nama
baru?, semua itu bisa saja terjadi dan tak ada larangan atau hal itu. Hanya saja ketika
DKMM muncul dengan wajah atau nama baru tentu harus dengan konsep yang lebih baik
sehingga karya seni yang diretas tidak lagi menunggu even-even tahunan yang sangat
temporal itu. Semoga.

Salam.
iip pasoloran

Anda mungkin juga menyukai