Anda di halaman 1dari 27

DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAK

reputasinya. Reputasi yang telah ia bangun puluhan


tahun lamanya. Baik dengan cara halal maupun tak
halal.

Tapi memang orang-orang Astina sendiri terkenal


memiliki “jiwa pemaaf”. Hingga terkadang sikap mereka
terlalu membabi buta dalam menutup mata terhadap
tindakan yang dilakukan para tokoh masyarakat seperti
Dorna ini.

“Ooo, nggak perlu. Aku nggak perlu masuk lagi ke dalam


istana,” kata Begawan Pulasara. “Permaisuri Dewi
Banowati yang bakal datang sendiri kemari.” Setelah
berkata begitu, pendita sakti itu mulai merapal
mantra. Mulutnya komat-kamit.
Begawan Pulasara mulai memejamkan matanya. Kedua
tangannya ditangkupkan di depan dada. Ia pusatkan
pikirannya. Mulutnya komat-kamit merapal mantra,
Mantra Pemanggil Jiwa:

“Jopa-japu pinjal tumaning asu


Ono sapi ayu ‘mlaku kabotan susu
Susuné simbah kèwèr-kèwèr
Moro-o nèng pangkuanku yo nggèr
Tul jaénak jaé jatul jaé ji
Kuntul jaré banyak ndok-é bajur karèk siji. ”

Saat mantra itu bekerja, tiba-tiba angin bertiup


kencang. Serangga enggan bernyanyi. Para kucing jantan
mengejar kucing betina terkena panah birahi.
Dijalanan, lampu lalu lintas banyak yang kedap-kedip
bagai seseorang lelaki genit. Dan semua radio serta
telivisi di Astina mengalami gangguan frekwensi. Para
kakek dan nenek kembali bergairah, seperti baru saja
menelan pil Viagra.

Mantra itu memang ampuh, karena tak berapa lama


kemudian, permaisuri Dewi Banowati terlihat muncul di
pintu gerbang istana. Matanya sayu tertuju lurus ke
depan. Jalannya pelan namun mantap. Bagai ada kekuatan
dahsyat yang menuntunnya.

Dewi Banowati, permaisuri kerajaan Astina memang


cantik. Wajahnya adalah perpaduan kecantikan
bintang-bintang film terkenal dari Holywood dan
Bolywood. Alisnya melengkung bagaikan pelangi yang
muncul di akhir hujan. Matanya mirip warna batu akik
blue safir muda. Hidungnya mancung. Bibirnya yang sexy
mirip bibir Angelina Jolie. Dan rambutnya yang ikal,
hitam legam tanpa Hi-Light.

Dadanya bidang terbuka. Buah dadanya bagaikan bulan


purnama kembar. Tangan serasi dan lembut, dengan
jari-jari tangan yang lentik. Sedangkan pinggulnya
yang langsing mirip alat musik Cello yang biasa
digesek pemusik Cello kenamaan: Yo-Yo Ma. Pantatnya
berisi bagai dua buah semangka dibelah. Ketika
berjalan, goyangannya adalah perpaduan goyang Inul
Daratista dan Jenifer Lopez. Kaki dan betisnya panjang
dan indah.

Begitu Dewi Banowati tersadar dari pengaruh mantra, ia


telah berada di hadapan Begawan Pulasara. Ia kaget
bukan kepalang melihat keadaan sekelilingnya.
Sementara itu semua prajurit dan bangsawan telah
menyembah kepadanya. Yang terluka memaksakan diri
menyembah, walau sebetulnya hanya sekedar ingin
menengok kecantikan sang permaisuri.

Melihat wanita dihadapannya nampak tertegun, Begawan


Pulasara mencoba tersenyum ramah padanya: “Banowati.
Namaku, Begawan Pulasara.”

“Oh, maafkan saya Bapa Begawan. Saya sedang bingung


kenapa tiba-tiba bisa berada di depan anda,” kata
Banowati sembari menyembah. Kaum brahmana, dimana saja
memang selalu dihormati. Hal itu wajar, karena kasta
mereka paling tinggi. Namun banyak juga oknum brahmana
yang menggunakan pengaruh kastanya untuk mendapatkan
kekayaan, kedudukan, pujian dan kemuliaan duniawi.
Padahal tugas kaum brahmana yang sebenarnya adalah
sebagai penghubung antara kawula dan gusti, manusia
dan Tuhan.

“Saya ingat, tadi sedang berada sendirian di tamansari


istana. Saya ikuti keelokan seekor kupu-kupu yang
terbang diantara bunga-bunga. Namun tiba-tiba
segalanya gelap. Ketika sadar, tahu-tahu sudah barada
di hadapan Bapa Begawan,” kata Dewi Banowati.

“Ya, memang. Sesungguhnya akulah yang menyebabkan


semua itu. Tadi itu kamu telah terkena mantra saktiku.
Hal itu terpaksa aku lakukan, karena aku tak mau
membuat keributan di dalam seperti yang telah terjadi
disini tadi.”

“Ampun Bapa Begawan. Lalu, apa kesalahan saya sehingga


bapa begawan memerlukan memanggil saya?”

“Oh, kesalahanmu tidak ada,” jawab Begawan Pulasara.


“Hanya saja, karena tugasku ada menyangkut dirimu,
maka terpaksa aku gunakan cara itu. Ketahuilah, aku
datang kemari sebagai utusan raja khayangan Jonggring
Saloka yang bernama Prabu Kuncoro Manik. Saat ini yang
berkuasa di khayangan sudah bukan Bethara Guru lagi.
Ia sudah mengundurkan diri.

“Prabu Kuncoro Manik mengutusku supaya memboyongmu.


Nah, setuju atau tidaknya engkau diboyong ke khayangan
adalah keputusanmu sendiri. Aku tidak akan memaksa.
Kalau kamu nggak mau, kamu akan saya tinggalkan
sekarang. Tapi kalau kamu mau, maka sekarang juga kita
berangkat.”

Banowati masih bingung: “Nantinya, apa yang harus saya


lakukan di khayangan?”
“Engkau akan diajar tata cara kehidupan khayangan.
Setelah lancar bersikap dan bergaul dengan tata cara
hidup di khayangan, maka akan mendapat ‘green card’,
kartu ijin menetap sementara. Dan kalau kamu betah,
maka pada akhirnya diperbolehkan menjadi penduduk
tetap khayangan. Setelah jadi penduduk tetap itu, baru
engkau bisa dilantik jadi bidadari.”

Rupanya tawaran Begawan Pulasara cukup menarik bagi


Dewi Banowati. Menjadi bidadari khayangan adalah
idaman setiap wanita bumi. Banyak orang berlomba-lomba
untuk bisa diterima. Dan jarang ada tawaran gratis
seperti sekarang ini. Biasanya orang harus punya
sponsor, atau paling tidak, dapet lotre tahunan.

Menjadi bidadari khususnya, dan warga khayangan


umumnya, bukan saja menyenangkan, namun juga
mengasyikkan. Di khayangan orang tak usah terlalu
berat bekerja. Segalanya ada dan tersedia. Makanan
berlimpah ruah. Barang siapa ingin minum tinggal
menjulurkan lidahnya di bawah dedaunan, karena minuman
itu menetes seperti embun yang terjatuh di pagi hari.

Udara di khayangan ada empat musim. Dan tingkat


polusinya minim. Karena semua kendaraan tiap tahun
harus di tes emisi dan knalpotnya. Jadi boleh dikata
penduduknya rata-rata sehat. Walaupun tidak semuanya.
Karena yang namanya virus, kuman dan bakteri, nggak
peduli dia dewa atau manusia akan dihantamnya tanpa
ampun.

Biar begitu Jonggring Saloka masih jauh lebih baik


dibandingkan Astina. Di Astina, polusi mencapai titik
tertinggi. Karena peraturan tidak diterapkan secara
tegas dan keras. Peraturan dibuat seolah-olah untuk
dilanggar, dan bukan turuti. Disiplin individu kurang
membudaya. Ditambah aparat pembuat dan juga pelaksana
peraturan gampang dibeli maupun disuap.

“Saya dengar di khayangan banyak bidadari-bidadari


yang jadi istri dan pacar-pacarnya kangmas Arjuna. Apa
itu betul, Bapa Begawan?” tanya Dewi Banowati.

Sampai sekarangpun Banowati masih tetap naksir berat


Arjuna. Hanya kedudukan dan kewajiban sebagai
permaisuri saja yang membuatnya sukar untuk melakukan
‘affair’ semaunya. Dan ia sangat menjaga prestise dan
harga dirinya. Selain itu, Prabu Duryudana, sang raja
Astina, sangat tergila-gila kepadanya. Jadi segala
yang diminta bisa didapatnya.

“Hmmm, ya. Itu betul,” jawab Begawan Pulasara . “Dan


aku kira Arjuna pun pasti datang sewaktu-waktu kesana.
Jadi bagaimana? Apa engkau berminat pergi ke
khayangan?”

Rupanya pertanyaan sang begawan yang terakhir itu, dan


tanpa adanya tekanan pemaksaan, membuyarkan
keragu-raguan Dewi Banowati. Walaupun selama ini di
Astina segala keinginannya terpenuhi, tapi
lama-kelamaan ia meraja jenuh juga. Sekali-kali plesir
pasti nggak ada salahnya. “Kalau begitu saya ikut,
Bapa Begawan. Tapi saya ingin melihat-lihat dulu
keadaan khayangan sebelum saya memutuskan jadi
bidadari.”

“Oh, itu semua terserah kamu,” kata Begawan Pulasara.


Kemudian ia menghadap pada warga Astina yang masih
bergelimpangan, “nah, dengar. Dorna, Sengkuni, Karna,
dan semuanya. Dewi Banowati setuju ikut aku ke
khayangan. Semua itu atas kehendaknya sendiri. Aku
tidak memaksa.”

Tak berapa lama kemudian datang pesawat ruang angkasa


Rusia, Soyuz, dengan pilotnya, Vladimir Putin. Rupanya
Begawan Pulasara sudah mencarter pesawat itu jauh-jauh
hari sebelumnya. Walaupun birokrasi di Rusia masih
cukup rumit, namun tidaklah sukar untuk menyewa
pesawat ruang angkasa. Uang berbicara.
Kemarin sebenarnya ia sudah mencoba menghubungi
Amerika buat menyewa pesawat mereka. Tapi malah dapat
jawaban arogan: mereka tak butuh uang dan pesawat
ruang angkasa mereka tak bisa disewa-sewakan karena
dapat membahayakan sekuriti nasional. Akhirnya Begawan
Pulasara mundur tanpa argumen. Biarpun ia tahu bahwa
Amerika sekarang ini sedang mengalami defisit pada
anggaran belanjanya.

Ketika pesawat mendarat, Begawan Pulasara dan Dewi


Banowati segera masuk ke dalamnya. Setelah itu pesawat
ruang angkasa take-off menembus awan menuju khayangan.

“Wah, kok jadi begini, nih,” kata Patih Sengkuni


memecah keheningan. Kini ia berniat melepas tanggung
jawab. “Mimpi keponakan saya itu tadi yang meramal
sampeyan lho, kakang Dorna. Sampeyan tadi bilang bahwa
akan ada kejadian yang baik dan menyenangkan hati
Anakprabu Duryudana. Nah, sekarang lihat kenyataannya.
Kok jadi hancur-hancuran begini?”

Begawan Dorna tahu, Sengkuni sedang mencari kambing


hitam. Dan nampaknya dirinyalah yang akan dijadikan
kambing hitam. Tapi ia tak bisa mengelak dari dakwaan
itu. Soalnya tadi waktu disuruh meramal mimpinya Prabu
Duryudana, ia memang ngeramal sembarangan. Karena
sebenarnya nggak begitu ngerti arti mimpi itu. Semua
ia lakukan gara-gara takut kehilangan wibawa sebagai
orang yang dihormati. Sebagai orang yang serba bisa
dan serba mengerti dimata raja dan semua penduduk
Astina.

Dorna tidak ingin jatuh dari kedudukannya. Baginya


kedudukan atau jabatan adalah segalanya. Kalau sampai
jatuh, tentu harga diri dan kewibawaannya ikut jatuh
pula. Maka ia berusaha waspada terhadap ancaman Patih
Sengkuni.

“Udahlah, tenang dik Haryo. Ini cuma persoalan kecil.


Dan saya sudah punya akal. Saya akan adukan masalah
ini pada murid saya, Arjuna.”

“Maksud sampeyan, kang Dorna?” tanya Patih Sengkuni


kurang begitu paham.

“Maksud saya begini,” kata Begawan Dorna. “Arjuna


nanti kita tipu. Biar saya bilang padanya, bahwa Prabu
Duryudana bakal menyerahkan sebagian tanah Astina
kepada keluarga Pandawa, kalo ia mampu membawa kembali
Dewi Banowati kemari.”

“Rencana itu nampaknya oké, kang. Dan saya tahu si


Arjuna sakti. Tapi apa dia bakal mampu merebut Dewi
Banowati dari tangan Begawan Pulasara. Sampeyan tahu
kan pendita itu kesaktiannya nggak main-main?”

“Iya tahu. Tapi jangan khawatir. Saya denger kesaktian


Arjuna kini sudah mulai nambah. Apalagi sejak dia
lulus Phd dari luar negri.”

Akhirnya mereka semua setuju. Maka, dengan iringan


pasukan yang besar, disertai persenjataan komplit,
berangkatlah rombongan Astina yang dipimpin Dorna.
Patih Sengkuni ikut dalam rombongan itu. Ia memaksa
ikut karena takut kena damprat keponakannya.

Untuk memimpin keamanan kerajaan selama Dorna dan


Sengkuni pergi, beban diserahkan pada Adipati Karna.

Sementara itu jauh di bumi utara terletak hutan


Boroneyo. Nampak seorang kesatria, dengan iringan para
punakawan, tengah berjalan dipinggirannya. Mereka
merencanakan masuk ke dalam hutan itu.

Hutan Boroneyo termasuk hutan yang masih perawan.


Ratusan ribu pepohonan besar yang berumur puluhan,
bahkan ratusan tahun, tegak berdiri dengan gagahnya.
Pepohonan itulah yang banyak menghasilkan kayu
gelondongan untuk kebutuhan dalam maupun luar negeri.
Banyak pengusaha yang memiliki HPH (Hak Pengusahaan
Hutan) menjadi kaya karena usaha penebangan hutan itu.
Terkadang para pemegang HPH ini melakukan penebangan
melebihi kuota yang telah ditentukan. Untuk dapat
melakukan hal itu, mereka banyak bekerja sama, baik
dengan aparat pusat maupun aparat setempat.

Kesatria yang tengah berjalan menuju ke jantung hutan


itu tak lain daripada Raden Arjuna. Ia diiringi Semar
beserta ketiga anaknya, Gareng, Petruk dan Bagong.
Sudah dua jam ini mereka berjalan semenjak istirahat
yang terakhir. Kini mereka kembali merasa letih, dan
memutuskan untuk kembali istirahat.

Arjuna berjalan mencari tempat yang sunyi. Ia ingin


bersemadi, memulihkan kembali semangatnya dan juga
tenaganya yang telah terkuras dalam perjalanan.
Sementara itu para punakawan menyiapkan perkemahan dan
makan siang. Kecuali Semar yang minta ijin pergi
mencari buah-buahan.

“Gua heran deh, Truk,” kata Bagong tiba-tiba. “Juragan


kita, Raden Arjuna, itu kok ya masih suka keluar masuk
hutan buat bersemadi. Padahal apa sih kekurangannya?
Istana punya. Rumahnya banyak, termasuk rumah
kontrakan. Mobilnya juga banyak, termasuk yang
disewakan untuk Angkot. Istrinya cantik. Anak-anaknya
pada sukses semua. Mau nyari apa lagi sih dia?..”

“Huss! Jangan kenceng-kenceng kalo ngomong. Entar


kedengeran juragan,” potong Petruk.

“Juragan kita emang lain dari pada yang lain kok,”


kata Gareng menengahi. “Banyak memang, orang kalo udah
kaya terus lupa ama latar belakang dirinya. Bahkan
terkadang lupa ama yang di atas. Nah, kalo juragan
kita kagak. Biar dia udah punya segalanya, tapi dia
nggak lupa ngucapin terima kasih kepada para dewa, dan
Sang Hyang Widiwasa, atas apa yang udah dia dapetin.”
Gareng mulai bercerita: tadi ketika mereka mau
berangkat, Arjuna memanggil Semar. Kebetulan disitu
ada dirinya, maka sekalian aja diajak rembukan. Mereka
diberitahu agar mempersiapkan perjalanan masuk ke
hutan Boroneyo. Arjuna ingin bersemadi. Bertanya pada
dewata, kemana gerangan hilangnya menantunya,
Antasena.

Tangis anak perempuannya, Dewi Jenokowati, yang tengah


kehilangan suaminya, ikut membuatnya sedih. Karena itu
ia memutuskan mencari si Antasena. Ia tak mau
besannya, Bimasena, tahu. Ia takut besannya itu bakal
marah besar jika tahu kalau anaknya hilang. Karena
kalo sang besan sampai marah, akan sukar dikendalikan.
Dan malah bikin situasi tambah runyem.

“Oh, gitu toh ceritanya,” kata Bagong.

Saat mereka bertiga sedang melanjutkan masak, dari


jauh tampak dua sosok yang gemerlapan. Benar-benar
pemandangan mengagumkan. Dalam hati mereka mencoba
menebak-nebak, siapa gerangan yang datang itu?

Dua sosok berjalan menuju perkemahan Raden Arjuna.


Pakaian mereka yang tertimpa cahaya mentari nampak
berkilauan dari jauh.

Ketika sudah dekat, baru sosok mereka bisa dikenali.


Yang gagah dan tampan ternyata Dewa Serani. Sedangkan
pengiringnya tak lain adalah Togog. Jika Ki Lurah
Semar adalah dewa yang memiliki tugas mengasuh para
kesatria di jalan kebenaran. Togog adalah dewa
pengasuh para kesatria yang berada di jalan yang
salah.

Begitu tiba di perkemahan, Bagong dengan cuèk menyapa


duluan: “Eh, Selamat datang Waser.”

“Hussss!!” bentak Togog. “Waser, waser, emangnya


ambeiyen!”
“Oh, maaf ‘wak Togog. Maksud saya Tuanku Dewa Serani.
Apa khabar, Tuan?”

“Heh, biasa aja,” jawab Dewa Serani tersenyum sinis.


“Gimana khabarmu?”

“Kami bertiga baik-baik saja, tuan. Maaf atas


kelancangan Bagong,” jawab Gareng. Ia sengaja
menyambar pertanyaan tamunya sebelum mulut Bagong yang
lancang dan nggak tahu aturan menjawabnya. “Wah, kaget
juga bisa ketemu sama tuan Dewa Serani di
tengah-tengah hutan. Mau kemana, tuan?”

“Aku sedang mencari majikanmu. Kemana dia?”

“Tadi beliau bilang mau bersemadi melepaskan lelah,


tuan,” jawab Petruk.

“Hmmm. Coba panggilkan sana. Beritahu dia, bahwa Dewa


Serani ingin bertemu.”

“Baik, tuan,” jawab Petruk sambil menunduk-nunduk


pergi.

Belum sampai duaratus meter berjalan, Petruk melihat


majikannya turun dari perbukitan. Wajahnya nampak
cerah. Pertanda bahwa kekuatannya telah pulih kembali.
Melihat hal itu Petruk jadi lega. Tak ada yang perlu
dikawatirkan lagi. Bahaya yang membayang, menyusul
kedatangan kedua tamunya, sedikit demi sedikit sirna.
Lalu, dengan berlari-lari kecil, ia hampiri
juragannya.

“Tampaknya ada tamu ya, Truk?” tanya Arjuna lebih


dahulu. “Hmm, Dewa Serani?”

“Betul, tuan. Tapi...hati-hati lho, tuan,” kata Petruk


setengah berbisik. “Si Trouble Maker. Perasaan saya
kok nggak enak kalau ketemu dia.”
“Hmm, nggak apa-apa. Tenang aja,” kata Arjuna seraya
bergegas. Petruk pun ikut mempercepat langkahnya.

Langit masih cerah. Udara tak begitu panas karena


angin bertiup sepoi-sepoi. Pepohonan bergoyang-goyang
seperti penari Serimpi yang kompak. Ketika pepohonan
mengayun agak keras, para serangga yang tadi selalu
berbunyi, berdiam sebentar. Setelah itu berbunyi lagi
seperti penyanyi koor gereja. Bunyi nyanyian itu
datang dari serangga-serangga Tonggeret dan Garengpung
yang menggesek-gesekkan sayap mereka.

Setelah sampai di perkemahan, Arjuna memberikan sembah


kepada tamunya. Hal itu memang sudah jadi kebiasaan di
jagat raya ini. Walaupun Arjuna dan Dewa Serani
sama-sama kesatria, namun derajat mereka berbeda. Dewa
Serani adalah seorang dewa, sedangkan Arjuna hanyalah
manusia biasa. Derajat dewa lebih tinggi dibandingkan
derajat manusia, sekalipun manusia itu memiliki
kedudukan sebagai seorang raja.

“Apa khabar, kakang (kakak) Arjuna?” sapa Dewa Serani


pada kesatria di hadapannya.

“Khabar baik dimas (adik). Bagaimana khabarmu sendiri?


Dan tumben, tidak biasa-biasanya kita bertemu di
jalan. Apalagi di pinggiran hutan seperti sekarang
ini,” jawab Arjuna. “Silahkan dimas dan paman Togog
minum-minum dulu. Tentunya haus setelah perjalanan
jauh.”

“Ah, tidak usah. Kami masih kenyang,” kata Dewa Serani


sambil geregetan melihat Togog. Mata pembantunya itu
nampak mengincar ikan asin yang tengah dipersiapkan
Gareng. “Ya, kan paman Togog?!”

“Ha? Oh ya, ya. Kami tadi sempat mampir di Lembur


Kuring. Hehehe...jadi masih kenyuuangg,” jawab Togog
meringis.
“Sebenarnya bukan kebetulan kita bertemu disini.” Dewa
Serani menyingkapkan selendangnya. Sekilas nampak
senjata pusakanya yang mengkilat terselip di pinggang.
“Kami tadi sempat mencari ke rumahmu, ke Madukoro.
Namun kami mendapat jawaban, bahwa kamu dalam
perjalanan semadi ke Hutan Boroneyo. Jadi kami
menyusul kemari.”

“Hmm, nampaknya ada keperluan penting apakah hingga


dimas mencari-cari saya?” tanya Arjuna. Ia telah
merasakan datangnya bahaya.

Burung alap-alap terbang diangkasa. Sayapnya yang


lebar terentang, seolah bayangan maut yang siap
memayungi korbannya. Pada ketinggian seperti itu,
tatapannya yang tajam mengincar calon korbannya. Bagi
calon korban yang waspada, mereka memiliki dua
pilihan, menghindari atau melawan dengan segenap
kekuatannya. Namun bagi yang lengah, tamatlah
riwayatnya.

“Kakang Arjuna. Aku ingin bicara langsung saja pada


pokok permasalahannya,” kata Dewa Serani dengan nada
serius. “Ketahuilah. Saat ini menantumu, Antasena,
sudah mati. Karena itu aku ingin melamar anakmu, Dewi
Jenokowati. Dan aku kira, kurang baik buat anakmu
kalau ia terlalu lama menjanda.”

Panas hati Arjuna seperti terpanggang di atas tungku.


Emosinya menggelegak bagai kawah gunung berapi yang
siap meledak. Ingin rasannya ia segera merobek-robek
mulut dewa yang ada di hadapannya ini. Namun nalurinya
menyuruhnya menahan diri.

“Kakang Arjuna, engkau tak usah kawatir. Kalau


Jenokowati mau jadi istriku, ia akan aku jadikan
permaisuri. Ia tak akan aku jadikan selir. Dan
mengenai emas kawinnya, silahkan kakang Arjuna
sebutkan apa yang kakang inginkan. Mau rumah
bertingkat di Pondok Indah? Mau Lamborgini? Atau Roll
Royce? Atau perhiasan satu ton beratnya? Semuanya akan
aku penuhi. Oh ya, jangan lupa. Tindakanku ini telah
mendapat restu ayahku, Sang Hyang Jagat Nata Bethara
Guru.”

Suasana kembali hening. Suara anjing hutan yang


melolong-lolong terdengar sayup-sayup di kejauhan.

“Dimas Dewa Serani,” kata Arjuna tenang. “Sebetulnya


salah satu tujuan kepergian kamipun dari Madukara,
adalah mencari kemana hilangnya Antasena. Ia tiba-tiba
saja bisa lenyap dari muka bumi. Namun kini aku heran
setelah mendengar berita darimu bahwa Antasena sudah
mati. Bagaimana dimas bisa tahu perihal kematian
Antasena? Sedangkan khabar burung tentang kematiannya
saja kami tak pernah dengar?”

Seketika itu juga Dewa Serani menjadi gugup. Ia ingat


pesan ayahnya supaya tidak menceritakan perihal
pembunuhan Antasena kepada siapapun. Salah tingkahnya
itu ditutupinya dengan perkataan yang malah membuat
lawan bicaranya makin curiga: “Ah, sudahlah. Hal itu
tak usah kita persoalkan...kita lanjutkan saja
pembicaraan mengenai rencana lamaranku pada Dewi
Jenokowati.”

Awan-awan kelabu bergerombol memenuhi angkasa. Awan


yang menyembunyikan mentari membawa suasana sejuk.
Namun toh kesejukan itu tak terasa dihati dua kesatria
yang kini tengah berhadapan.

“Dimas Dewa Serani belum menjawab pertanyaanku,” desak


Arjuna. “Darimana dimas tahu kalau Antasena sudah
tiada?”

Dewa Serani tersenyum, namun mukanya kentara sekali


memerah. Kegugupannya semakin menjadi-jadi. Ia nampak
berusaha menekan perasaannya: “Alaahh, itu tidak
penting. Yang penting, sekarang kakang Arjuna
mengijinkan apa tidak, Jenokowati aku ambil istri?”

Arjuna kini bukan saja tersinggung, malah semakin


mencurigai anak dewa yang kurang ajar ini. Ia tahu ada
sesuatu yang disembunyikannya.

“Cuma ada satu jawabanku,” kata Arjuna tenang.


“Langkahi dulu mayatku jika kau ingin mengambil anakku
sebagai istrimu.”

“Bullshit!!” teriak Dewa Serani. “Kalau itu yang kau


mau, bersiap-siaplah jadi bangkai!”

Bersamaan dengan teriakan itu, Dewa Serani


menyingkapkan selendang suteranya. Pada selendang itu
tersulam kata-kata yang terbuat dari benang emas:
“Love or Perish”. Lalu, sarung suteranya yang
berkilauan, diikatnya kuat-kuat di badannya. Setelah
itu, ia memasang kuda-kuda. Sebuah tattoo bergambar
Mickey Mouse menyembul di betisnya.

Arjuna dengan tenang mundur selangkah membetulkan


letak kuda-kudanya. Baru kali ini ia berhadapan dengan
Dewa Serani. Walaupun ia sering mendengar tentang
kesaktiannya, namun ia tidak merasa gentar.

“Hiaattt!!” Dengan sebuah teriakan yang melengking,


Dewa Serani menerjang lawannya. Ia keluarkan jurus
‘Dewa Maut Mencengkeram Jagat Raya’. Jurus dahsyat
pemberian orang tuanya itu diwariskan secara turun
temurun. Setiap pukulan dari serangannya ditujukan
pada bagian-bagian yang membahayakan. “Chiaatt!!”
“Hiyaa!!”

Angin dari pukulan jurus andalan Dewa Serani


benar-benar menggetarkan. Udara sekitarnya panas bagai
terkena lambaian sebuah gada yang membara. Daun-daun
di pepohonan rontok satu per satu. Sementara,
rerumputan dan semak-semak layu seketika.
Pertempuran antara Raden Arjuna dan Dewa Serani
sungguh dahsyat. Hutan yang tadinya sepi kini menjadi
hingar-bingar. Membuat binatang maupun serangga yang
ada di sekitar situ lari tunggang langgang. Semetara
itu beberapa pohon telah rubuh terkena terjangan
pukulan yang luput.

Dewa Serani ternyata salah perhitungan. Ia pikir,


hanya dalam beberapa jurus saja musuhnya akan binasa
ditangannya. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya.
Bahkan ia sendirilah kini yang harus mempertahankan
diri dari serangan-serangan balasan musuhnya.

“Kakang Arjuna!” teriak Dewa Serani setelah meloncat


mundur. Napasnya ngos-ngosan. Dalam keadaan seperti
itu, ia baru ingat bahwa ia harus mengurangi
kebiasaannya merokok kretek. “Kini terimalah ajalmu!
Bersiap-siaplah menjadi abu!”

Dengan geram Dewa Serani mengeluarkan jurus barunya.


Jurus Tapak Geni adalah pemberian Dewa Brahma. Apapun
yang terkena pukulan jurus itu akan terbakar habis
jadi abu. “Ciaaaaattt!!” “Buumm!!”

Arjuna yang tak menyadari akan datangnya serangan, tak


punya kesempatan untuk mengelak. Gumpalan api yang
datang bersama pukulan musuh menerjang tubuhnya. Dalam
sekejap, tubuhnya sudah terlalap api yang
berkobar-kobar. Melihat pemandangan mengerikan itu,
para pembantunya berteriak ketakutan. Petruk yang
pertama keluar dari persembunyian, disusul Bagong.
Lalu, Gareng datang terpincang-pincang.

Para punakawan yang panik hanya bisa berteriak-teriak.


Tapi mereka takut mendekat. Kobaran api demikian
besarnya. Karena frustasi, akhirnya Petruk dan Gareng
cuma bisa menangisi tubuh juragannya yang terbakar.
Sementara itu Bagong lari menuju ke sungai mencari
air.
Tiba-tiba terdengar suara Arjuna dari dalam api:
“sudah, sudah stop, jangan nangis kayak anak kecil
begitu. Aku tidak apa-apa. Aku masih hidup.”

Kedua punakawan itu segera menghentikan tangisnya.


Mereka berdiri heran setengah tidak percaya pada apa
yang dilihatnya. Petruk yang memberanikan bertanya:
“Lho, tuan. Kalau masih hidup kok masih enak-enakan
ada di dalam api?”

“Aku sengaja lama-lama disini karena baru mencuci


jaket ini. Kata penjualnya, jaket ini harus
sering-sering dicuci dengan api peperangan kalau ingin
bertambah kesaktiannya,” tutur Arjuna.

Rupanya tadi sebelum bertempur, Arjuna telah memakai


jaket jeans andalannya. Jaket tanpa lengan itu
dibelinya seminggu yang lalu, waktu iseng jalan-jalan
ke Pasar Loak Taman Puring, di daerah Kebayoran Baru.
Kata tukang loak yang menjualnya, pemilik jaket itu
adalah dewa yang tidak mau disebutkan namanya. Sang
dewa terpaksa menjual jaket saktinya karena lagi butuh
uang untuk bisa datang ke reuni SMA-nya.

Tak lama kemudian Arjuna keluar dari api tanpa luka


bakar secuilpun. Wajah kedua pembantunya berubah
cerah. Tapi pandangan mereka lebih ditujukan pada
jaket majikannya. Dalam benak masing-masing sudah
tersusun rencana untuk pergi ke Pasar Loak Taman
Puring nanti, jika tugas telah selesai. Mereka memang
sering dengar, bahwa di Taman Puring sering dijual
barang-barang bermerek yang sudah bekas dengan harga
miring.

“Terus gimana, tuan?” tanya Petruk kepada Arjuna.

“Tolong ambilkan busur panahku,” kata Arjuna. “Dan


bawa kesini anak panah yang tumpul. Biar aku kirim si
brengsek Dewa Serani ke Nusakambangan.”
Ketika senjata sudah ada di tangan, Arjuna
membidikkannya pada Dewa Serani. “Wuuzzz!!”
“Zgeerrr!!” Panah sakti mengenai sasarannya. Begitu
terkena, tubuh itu lenyap seketika. Bagaikan seekor
semut terkena sentilan jari manusia.

“Wah, hebat!” teriak Petruk kegirangan. “Apa Dewa


Serani itu tadi langsung masuk penjara di
Nusakambangan, tuan?”

“Iya, Truk. Biar aja, untuk sementara kok,” jawab


Arjuna.

“Apa senjata itu juga bisa digunakan untuk memanah


dewa-dewa yang pada korupsi milyaran rupiah, biar
sekalian bisa pada masuk ke Nusakambangan, tuan?”

“Bisa aja sih, Truk. Tapi nampaknya iklim politik


belum mengijinkan...”

Petruk mengerti maksud majikannya. Jaman sekarang


memang masih susah memenjarakan para dewa yang pada
korupsi. Apalagi kekuasaan dan pengaruh mereka itu
luar biasa besarnya, susah disentuh. Ditambah aparat
penegak hukum yang juga belum bersih. Akhirnya
semuanya cuma bisa menunggu-nunggu datangnya jaman
baru. Tapi sampai kapan?

Hutan Boroneyo kembali tenang. Mendung di angkasa


tersapu angin, hingga terbukalah celah bagi sinar sang
mentari. Burung-burung terbang kembali ke sarangnya.
Demikian rindunya mereka pada anak-anak yang tak
sempat dibawanya ketika harus mengungsi tadi.
Pertemuan antar keluarga, teman dan handai taulan
bangsa unggas itu menghasilkan kicau yang berisik.

Begitu Togog pergi, sambil terus-menerus minta ampun,


dan terus menerus melirik ke arah ikan asin, Arjuna
dan para pembantunya kembali berbenah. Walaupun kemah
porak poranda akibat perkelahian tadi, namun beruntung
makanan masih utuh. Maka, selesai berbenah, mereka
segera makan siang.

“Tuan, apa Dewa Serani itu bisa sadar sama


kesalahan-kesalahannya?” tanya Gareng pada Arjuna,
ketika mereka sedang menikmati makan siang.

“Hmm, nggak tahu aku, Reng. Kalau dia nggak bisa sadar
sendiri, paling-paling nanti kan akan ada yang
membuatnya sadar.”

Selesai makan, Arjuna memerintahkan Bagong, yang sudah


balik dari sungai, untuk mencari Semar. Waktu Bagong
baru berjalan seratus depa, ia berhenti melangkah.
Sambil berdiri tertegun ditatapnya iring-iringan besar
prajurit yang nampak di kejauhan. Iring-iringan itu
menuju ke perkemahan mereka. Ia segera kembali ke
perkemahan sambil melaporkan apa yang dilihatnya pada
majikannya.

Iring-iringan itu nampak mendekat. Di barisan paling


depan ada dua gajah dikawal puluhan prajurit berkuda
di sampingnya. Di belakangnya ada dua kompi prajurit
bersenjata lengkap. Tidak ketinggalan pula beberapa
mobil jip Hummer dengan senapan mesin menyembul di
atasnya.

“Hmm, Paman Sengkuni dan Kakek Begawan Dorna,” guman


Arjuna ketika tahu siapa yang duduk di atas
gajah-gajah itu.

Petruk yang kurang awas karena matanya sudah minus,


terperanjat mendengar kata-kata boss-nya. Dari
mulutnya keluar peringatan: “Wah, hati-hati, tuan.
Orang-orang berbahaya.”

Rombongan besar dari kerajaan Astina itu sampai. Dua


gajah dan kuda-kuda tunggangan dibawa ke sungai untuk
di beri minum. Kepala rombongan terdiri dari Patih
Sengkuni, Begawan Dorna, beberapa bangsawan, dan para
jendral serta kolonel. Lalu, dibelakangnya dengan muka
yang sangar-sangar para prajurit bawahan, dipimpin
oleh mayor, kapten dan letnan-letnan mereka. Tiga regu
prajurit diperintahkan menjaga dan mengawasi daerah
itu.

Pemandangan yang terlihat adalah tipikal pemandangan


bala tentara kerajaan Astina. Mereka yang berpangkat
kolonel dan jendral kelihatan gemuk-gemuk, sedangkan
yang berpangkat mayor kebawah terlihat kurus-kurus.
Prajurit di Astina gajinya kecil-kecil. Cuma yang
beruntung bisa ngobyek (menjadi beking perjudian,
tempat hiburan, dan toko-toko) saja yang kelihatan
punya daging.

Arjuna dan para pembantunya segera memberi hormat,


ketika Sengkuni dan Dorna datang. Bagi Arjuna, Patih
Sengkuni masih terbilang pamannya, walaupun paman
tiri. Sedangkan Begawan Dorna adalah bekas gurunya.

“Saya benar-benar terkejut bisa bertemu dengan paman


Sengkuni dan Bapa Begawan Dorna di dalam hutan ini.
Kalau saya boleh tahu, sesungguhnya paman Sengkuni dan
Bapa Begawan Dorna ini ingin melakukan perjalanan
kemana?” tanya Arjuna penuh hormat.

“Begini Juna,” kata Sengkuni. “Sebenarnya aku cuman


ngikut rombongannya kakang Dorna saja. Biar kakang
Dorna sendiri yang menerangkan keperluan kita.”

“Betul, Juna,” sambar Dorna. “Rombongan ini adalah


rombonganku. Adapun keperluanku melakukan perjalanan
ini adalah untuk menemuimu. Kami sudah cari engkau ke
rumahmu di Madukara. Katanya engkau sedang melakukan
perjalanan untuk semadi ke pusat hutan Boroneyo. Lalu,
kamipun menyusulmu hingga bertemu engkau disini, nak.”

Gaya bahasa Begawan Dorna dibuat sedemikian rupa


sehingga membikin lawan bicaranya penting. Padahal
perasaan hatinya bertolak belakang. Pada permukaannya
saja ia kelihatan memiliki perhatian besar pada bekas
muridnya itu. Tapi dalam hati ia ingin supaya
tujuannya lekas tercapai.

Begawan Dorna seorang pandita yang sudah lupa pada


kaul kemiskinan. Ia lebih mementingkan kesukaan
duniawi ketimbang menjunjung tinggi ajaran-ajaran
surga. Ia lebih suka lingkungan istana, lingkungan
birokrasi yang mewah, yang memuja-muja dan
menyanjung-nyanjung dirinya. Ia telah melupakan ajaran
utama kependitaan, yaitu kejujuran, kebenaran dan
kerendahan hati.

Begawan Dorna menceritakan peristiwa penculikan Dewi


Banowati pada Arjuna. Lalu, dengan berterus terang ia
minta bantuan pada Arjuna untuk merebut kembali Dewi
Banowati dari tangan penguasa khayangan, Prabu Kuncoro
Manik.

“Hanya engkau yang mampu merebut kembali Dewi Banowati


dari tangan Prabu Kuncoro Manik, Juna,” kata Begawan
Dorna. “Kalau engkau mampu membawa kembali Dewi
Banowati ke Astina, maka akan ada imbalannya, nak.
Yaitu: bukan cuma sebagian tanah kerajaan Astina,
namun seluruhnya dikembalikan kepada keluarga Pandawa
oleh pihak Kurawa.”

Arjuna agak ragu mendengar kata-kata bekas gurunya


itu. Sudah beberapa kali ia kena kibul. Juga
kakak-kakak dan adik-adiknya. Ia sudah tahu sifat
bekas gurunya itu. Namun suara hatinya sebagai seorang
kesatria begitu menguasai dirinya.

“Kakang Dorna benar, nak,” kata Patih Sengkuni


tiba-tiba. Ia seperti bisa meraba kebimbangan Arjuna.
“Saat ini kakakmu Duryudana sedang kesusahan. Biar
bagaimana keluarga Pandawa dan keluarga Kurawa masih
bersaudara. Kalau bukan pada keluarga sendiri, siapa
lagi yang musti dimintai tolong?”
Tiba-tiba saja Patih Sengkuni mampu bersikap seperti
anak kecil yang merengek-rengek minta dibelikan balon
ayahnya. Wajahnya demikian memelas. Penampilan dan
sikapnya itu memang telah benar-benar direncanakannya
masak-masak.

“Dan apa yang dikatakan kakang Dorna tidaklah salah,


nak. Kerajaan Astina bakal diserahkan kembali kepada
keluarga Pandawa. Sebetulnya tanpa ada kejadian inipun
pihak Kurawa telah merencanakan mengembalikan kerajaan
itu pada pihak Pandawa. Begitu kan kang Dorna?”

“Iya, ya, ya betul. Memang begitu itu rencananya.


Sayangnya kok ya ada kejadian seperti ini. Hingga
semua rencana buyar,” kata Dorna. “Jadi bagaimana nak,
apa engkau akan menolong kami?”

“Jika demikian keinginan Paman Sengkuni dan Kakek


Begawan Dorna, saya akan berusaha menolong sebisa
saya,” kata Arjuna. “Saya mohon doa restu Paman dan
Kakek Begawan.”

Dua rombongan itu akhirnya berpisah. Rombongan besar


kerajaan Astina, kembali ke kerajaan mereka setelah
puas berhasil “menggarap” korbannya. Sedangkan Arjuna
dan para pembantunya bersiap-siap pergi ke khayangan.

Tak lama setelah rombongan Astina berangkat lebih


dahulu, Semar datang dari arah barat. Dalam kantung
yang dibawanya hanya ada tiga buah mangga. Ketika
ditanya, kenapa metik mangga tiga biji aja kok lama
banget? Jawabnya seperti biasa: ketiduran.

“Wah, kok setuju begitu aja sih, tuan?” tanya Petruk.


Ia menyesali sikap lemah majikannya saat berhadapan
dengan Dorna dan Sengkuni. Padalah siapapun sudah tahu
bahwa kedua petinggi Astina itu terkenal sebagai
orang-orang munafik.

“Iya, padahal mereka itu tadi keliatan banget menipu,


tuan,” tambah Gareng. “Saya sih tahu banget dah tipuan
mereka.”

“Hus, sudah pada diem!” bentak Semar pada


anak-anaknya. “Majikan kalian tentu tahu mana yang
baik dan mana yang buruk.”

Waktu semua sudah siap, tiba-tiba datang pesawat ruang


angkasa Rusia, Soyuz. Pesawat itu mendarat tak jauh
dari perkemahan. Rupanya pesawat itu sudah
dipersiapkan oleh pihak Kurawa untuk mereka. Yang
mereka tidak ketahui, pesawat itu disewa bukan dengan
uang, namun dengan cara ditukar minyak kelapa sawit.

Negeri Darawati adalah negeri yang indah. Tanahnya


subur karena merupakan tanah lava, yang berasal dari
sebuah gunung berapi yang tinggi menjulang. Letak
gunung itu agak jauh dari pusat kerajaan.
Sungai-sungainya ada beberapa yang membelah ibukota.
Disamping sungai-sungai itu, menghindari banjir lahar
maupun banjir lumpur akibat meletusnya gunung berapi,
dibuatlah kanal-kanal besar oleh penduduk.

Selain pintar, penduduk negeri Darawati terkenal


disiplin. Tiap penduduk tidak pernah mementingkan
dirinya sendiri. Mereka lebih mementingkan kepentingan
bersama. Dengan kesadaran tinggi, penduduk selalu
menuruti hukum dan peraturan, yang diterapkan tanpa
pandang bulu.

Raja Darawati dan para pemimpinnya yang bijaksana,


bukan saja dihormati oleh rakyatnya. Para pemimpin ini
sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat. Mereka
bukan tipe pemimpin yang mengandalkan kekejaman,
kelicikan dan kelaliman. Maupun tipe pemimpin yang
hanya pandai bicara, banyak berpropaganda, dan pandai
menipu untuk kepentingan diri sendiri ataupun
kelompoknya.

Para pemimpin yang bijaksana dituruti perintahnya oleh


rakyat dengan perasaan hormat. Sedangkan pemimpin yang
kejam, lalim dan licik akan dituruti perintahnya oleh
rakyat karena perasaan takut. Rasa hormat akan
menumbuhkan rasa percaya diri. Sedangkan perasaan
takut akan menghancurkannya. Hancurnya rasa percaya
diri, pada akhirnya akan mematikan kreatifitas, yang
bisa mengakibatkan mundurnya budaya sebuah bangsa.

Pada siang yang cerah itu, Prabu Bethara Kresna, raja


Darawati, sedang duduk termenung di singgasananya. Ada
sesuatu yang amat merisaukan pikirannya, sehingga ia
belum berkenan bersabda. Para pejabat dan bangsawan
istana ikut diam terpekur di hadapannya. Tampak di
bagian terdepan barisan, patih kerajaan, yaitu Patih
Udawa. Lalu disusul dengan panglima perang kerajaan
yang gagah berani, Setyaki.

Tiba-tiba kepala prajurit pengawal istana datang


tergopoh-gopoh memberi laporan kepada rajanya:
“Paduka, tuan Bimasena bersama rombongannya sudah
datang.”

Mendengar khabar dari kepala prajurit istana itu,


Kresna tersadar dari lamunannya. Wajahnya kembali
cerah, bagai menerima khabar gembira. Diperintahkannya
seluruh warga Darawati melakukan penyambutan
selayaknya terhadap Bimasena.

“Ada apa abang Kresna manggil gua kemari?” tanya Bima,


ketika suasana hiruk pikuk penyambutan telah mereda.

“Maafkan kakakmu ini, kalau membuatmu kaget akibat


panggilan itu. Tapi memang ada sesuatu hal yang
penting yang musti aku bicarakan denganmu.” Kresna
membetulkan letak duduknya. Ia berdeham, seperti tidak
mau ada kata-katanya yang tidak terdengar
pembicaranya.

Para pejabat dan bangsawan istana yang ada di


balairung semuanya berusaha menajamkan pendengaran
mereka. Semua nafas agak tertahan karena takut bunyi
nafas mereka sendiri akan menghalangi pendengaran
mereka.

“Aku memiliki visi, bahwa penguasa di khayangan


Jonggring Saloka, sekarang ini bukan lagi Sang Hyang
Jagat Nata Bethara Guru, melainkan seseorang yang
bernama Prabu Kuncoro Manik,” kata Kresna. Sebagai
titisan Dewa Wisnu, dewa kebahagiaan, ia memiliki
kesaktian mampu melihat kejadian yang akan terjadi
dimasa datang. “Dan rupanya penguasa baru khayangan
ini ingin menggagalkan perang besar Baratha Yudha...”

“Hmmm...” suara dari kerongkongan Bima bagaikan bunyi


sebuah mobil truk yang distater.

“Seperti engkau tahu, adikku Bima. Baratha Yudha sudah


menjadi kodratnya jaman. Perang itu bukan saja menjadi
alat kembalinya kerajaan Astina ke pihak Pandawa dari
tangan pihak Kurawa, namun juga menjadi sarana
kemenangan para kesatria yang berjalan di pihak yang
benar. Itulah sebabnya arti perang besar itu penting
bagi mereka yang ada di pihak Pandawa.

“Tapi walaupun begitu, keputusan untuk tetap perang


atau tidak ada di pihak keluarga Pandawa. Dan saat ini
yang mewakili mereka disini kebetulan adalah engkau.
Kalau memang engkau tidak menginginkan terjadinya
perang Baratha Yudha, akupun akan ikut.”

Sampai disitu pembicaraan Kresna berhenti sebentar. Ia


ingin melihat reaksi Bima terhadap persoalan yang baru
saja diutarakannya.

Sebagai penasehat, ia sangat dihormati oleh pihak


Pandawa. Karena selain memiliki visi yang tajam, iapun
amat bijaksana dan tak pernah menodai kepercayaan yang
diberikan padanya.

Bimasenapun tahu, sebagai penasehat keluarga Pandawa,


Kresna selalu memberikan bimbingan yang terbaik bagi
keluarga itu. Ia tak pernah membimbing kearah yang
salah, apalagi sampai membuat pecahnya maupun
kemarahan di pihak yang dibimbingnya. Ia selalu
berusaha bersikap rendah hati, dan tidak pernah
memaksakan aturan pribadi terhadap keluarga yang
dibimbingnya. Kresna tak pernah menginginkan sanjungan
dan puji-pujian jika pekerjaannya berhasil.

Suasana di balairung istana kerajaan Darawati hening.


Masing-masing yang hadir bagaikan ikut
menimbang-nimbang persoalan yang diutarakan Prabu
Kresna terhadap Bimasena, satria Pandawa. Dalam hati
mereka berharap agar Bimasena tidak menggagalkan
perang Baratha Yudha. Menggagalkan perang itu berarti
menyalahi kodratnya jaman, dan membiarkan pihak yang
jahat terus merajalela memuaskan tindak kejahatannya.

“Abang Kresna, sebenernya dari pertama gua udah tahu


keputusan apa yang musti gua ambil. Gua ngerti kalau
elu adalah seorang penasihat yang baik. Kagak pernah
berkianat. Maka dari itu, gua sependapat sama elu,
perang Baratha Yudha musti jadi. Perang itu kagak
boleh gagal,” kata Bima mantap.

Kemantapan keputusan Bimasena itu ikut membawa


semangat baru bagi Kresna. Maka selanjutnya raja
Darawati berkata: “Dimas Bima, jika demikian
keputusanmu, selain aku nurut, akupun akan mendukung
bagi kemenangan pihak Pandawa kelak. Nah, saat ini,
kerajaan akan kedatangan tamu dari Jonggring Saloka.

“Rupanya penguasa Jonggring Saloka menganggapku


sebagai orang penting yang mampu menggagalkan perang
Baratha Yudha. Untuk itu mereka akan memanggil dan
membawaku ke khayangan, secara baik-baik maupun secara
paksa. Maka dari itu, sebelum mereka menginjakkan
kaki, atau bahkan membawa kerusakan bagi kerajaan ini,
mari sambut kedatangan mereka...”
Ketika Bima dan juga mereka yang hadir di balairung
kerajaan menyadari arti kata-kata Kresna, kepala
pengawal istana datang tergopoh-gopoh sambil
menyembah. Ia membawa khabar mengejutkan: “Tuanku,
mohon ampun. Menurut mata-mata kerajaan, puluhan ribu
tentara dengan persenjataan lengkap dan panji-panji
serta bendera perang dari khayangan Jonggring Saloka
tengah mendekati tapal batas kerajaan kita...”

Seketika itu juga balairung geger. Semuanya gaduh.


Terdengar dengung percakapan para pemimpin seperti
sekumpulan lebah yang sadar bahwa sarangnya terusik
bahaya. Bima berteriak menggelegar bagaikan bunyi
kereta api ‘Senja Ekonomi’: “Abang Kresna! Biar gua
yang hantam musuh kita itu!”

Akhirnya diputuskan rombongan Bima disertai Setyaki


dan dua divisi pasukan lengkap kerajaan Darawati
menyongsong kedatangan musuh di tapal batas kerajaan.
Sementara Kresna akan menyusul mereka nantinya.
Sedangkan Patih Udawa diperintahkan untuk menjaga
pusat kerajaan dengan sisa-sisa pasukan yang ada.

Mendengar negaranya ingin diserang, rakyat Darawati


langsung mempersiapkan diri. Setiap orang laki-laki,
tua maupun muda, berbondong-bondong pergi ke tempat
pendaftaran Wamil (Wajib Militer) di
kelurahan-kelurahan. Gadis-gadis berbondong-bondong
pergi ke rumah sakit untuk mendaftar jadi perawat.
Sedangkan ibu-ibu yang sering kumpul-kumpul arisan
langsung membentuk dapur umum. Anak-anak mereka sibuk
membuat ketapel.

Perjalanan kelompok Darawati ke tapal batas kerajaan


singkat saja, karena kerajaan itu hanyalah sebuah
kerajaan kecil. Tapi mereka sungguh terkejut begitu
sampai di tempat yang dituju. Musuh yang ada dihadapan
mereka demikian besar jumlahnya. Ternyata mata-mata
kerajaan tidaklah salah. Musuh datang bagai airbah
yang bobol dari bendungan. Kemungkinan tiga kali lipat
jumlah pasukan Darawati. Selain itu, persenjataan
mereka lengkap dan terbaru.

Bagi Bima dan rombongan Darawati ada sesuatu yang


mengganjal keberanian mereka. Bukan jumlah pasukan
musuh yang mereka takuti, namun suatu keengganan jika

Anda mungkin juga menyukai