reputasinya. Reputasi yang telah ia bangun puluhan
tahun lamanya. Baik dengan cara halal maupun tak halal.
Tapi memang orang-orang Astina sendiri terkenal
memiliki “jiwa pemaaf”. Hingga terkadang sikap mereka terlalu membabi buta dalam menutup mata terhadap tindakan yang dilakukan para tokoh masyarakat seperti Dorna ini.
“Ooo, nggak perlu. Aku nggak perlu masuk lagi ke dalam
istana,” kata Begawan Pulasara. “Permaisuri Dewi Banowati yang bakal datang sendiri kemari.” Setelah berkata begitu, pendita sakti itu mulai merapal mantra. Mulutnya komat-kamit. Begawan Pulasara mulai memejamkan matanya. Kedua tangannya ditangkupkan di depan dada. Ia pusatkan pikirannya. Mulutnya komat-kamit merapal mantra, Mantra Pemanggil Jiwa:
“Jopa-japu pinjal tumaning asu
Ono sapi ayu ‘mlaku kabotan susu Susuné simbah kèwèr-kèwèr Moro-o nèng pangkuanku yo nggèr Tul jaénak jaé jatul jaé ji Kuntul jaré banyak ndok-é bajur karèk siji. ”
Saat mantra itu bekerja, tiba-tiba angin bertiup
kencang. Serangga enggan bernyanyi. Para kucing jantan mengejar kucing betina terkena panah birahi. Dijalanan, lampu lalu lintas banyak yang kedap-kedip bagai seseorang lelaki genit. Dan semua radio serta telivisi di Astina mengalami gangguan frekwensi. Para kakek dan nenek kembali bergairah, seperti baru saja menelan pil Viagra.
Mantra itu memang ampuh, karena tak berapa lama
kemudian, permaisuri Dewi Banowati terlihat muncul di pintu gerbang istana. Matanya sayu tertuju lurus ke depan. Jalannya pelan namun mantap. Bagai ada kekuatan dahsyat yang menuntunnya.
Dewi Banowati, permaisuri kerajaan Astina memang
cantik. Wajahnya adalah perpaduan kecantikan bintang-bintang film terkenal dari Holywood dan Bolywood. Alisnya melengkung bagaikan pelangi yang muncul di akhir hujan. Matanya mirip warna batu akik blue safir muda. Hidungnya mancung. Bibirnya yang sexy mirip bibir Angelina Jolie. Dan rambutnya yang ikal, hitam legam tanpa Hi-Light.
Dadanya bidang terbuka. Buah dadanya bagaikan bulan
purnama kembar. Tangan serasi dan lembut, dengan jari-jari tangan yang lentik. Sedangkan pinggulnya yang langsing mirip alat musik Cello yang biasa digesek pemusik Cello kenamaan: Yo-Yo Ma. Pantatnya berisi bagai dua buah semangka dibelah. Ketika berjalan, goyangannya adalah perpaduan goyang Inul Daratista dan Jenifer Lopez. Kaki dan betisnya panjang dan indah.
Begitu Dewi Banowati tersadar dari pengaruh mantra, ia
telah berada di hadapan Begawan Pulasara. Ia kaget bukan kepalang melihat keadaan sekelilingnya. Sementara itu semua prajurit dan bangsawan telah menyembah kepadanya. Yang terluka memaksakan diri menyembah, walau sebetulnya hanya sekedar ingin menengok kecantikan sang permaisuri.
Melihat wanita dihadapannya nampak tertegun, Begawan
Pulasara mencoba tersenyum ramah padanya: “Banowati. Namaku, Begawan Pulasara.”
“Oh, maafkan saya Bapa Begawan. Saya sedang bingung
kenapa tiba-tiba bisa berada di depan anda,” kata Banowati sembari menyembah. Kaum brahmana, dimana saja memang selalu dihormati. Hal itu wajar, karena kasta mereka paling tinggi. Namun banyak juga oknum brahmana yang menggunakan pengaruh kastanya untuk mendapatkan kekayaan, kedudukan, pujian dan kemuliaan duniawi. Padahal tugas kaum brahmana yang sebenarnya adalah sebagai penghubung antara kawula dan gusti, manusia dan Tuhan.
“Saya ingat, tadi sedang berada sendirian di tamansari
istana. Saya ikuti keelokan seekor kupu-kupu yang terbang diantara bunga-bunga. Namun tiba-tiba segalanya gelap. Ketika sadar, tahu-tahu sudah barada di hadapan Bapa Begawan,” kata Dewi Banowati.
“Ya, memang. Sesungguhnya akulah yang menyebabkan
semua itu. Tadi itu kamu telah terkena mantra saktiku. Hal itu terpaksa aku lakukan, karena aku tak mau membuat keributan di dalam seperti yang telah terjadi disini tadi.”
“Ampun Bapa Begawan. Lalu, apa kesalahan saya sehingga
bapa begawan memerlukan memanggil saya?”
“Oh, kesalahanmu tidak ada,” jawab Begawan Pulasara.
“Hanya saja, karena tugasku ada menyangkut dirimu, maka terpaksa aku gunakan cara itu. Ketahuilah, aku datang kemari sebagai utusan raja khayangan Jonggring Saloka yang bernama Prabu Kuncoro Manik. Saat ini yang berkuasa di khayangan sudah bukan Bethara Guru lagi. Ia sudah mengundurkan diri.
“Prabu Kuncoro Manik mengutusku supaya memboyongmu.
Nah, setuju atau tidaknya engkau diboyong ke khayangan adalah keputusanmu sendiri. Aku tidak akan memaksa. Kalau kamu nggak mau, kamu akan saya tinggalkan sekarang. Tapi kalau kamu mau, maka sekarang juga kita berangkat.”
Banowati masih bingung: “Nantinya, apa yang harus saya
lakukan di khayangan?” “Engkau akan diajar tata cara kehidupan khayangan. Setelah lancar bersikap dan bergaul dengan tata cara hidup di khayangan, maka akan mendapat ‘green card’, kartu ijin menetap sementara. Dan kalau kamu betah, maka pada akhirnya diperbolehkan menjadi penduduk tetap khayangan. Setelah jadi penduduk tetap itu, baru engkau bisa dilantik jadi bidadari.”
Rupanya tawaran Begawan Pulasara cukup menarik bagi
Dewi Banowati. Menjadi bidadari khayangan adalah idaman setiap wanita bumi. Banyak orang berlomba-lomba untuk bisa diterima. Dan jarang ada tawaran gratis seperti sekarang ini. Biasanya orang harus punya sponsor, atau paling tidak, dapet lotre tahunan.
Menjadi bidadari khususnya, dan warga khayangan
umumnya, bukan saja menyenangkan, namun juga mengasyikkan. Di khayangan orang tak usah terlalu berat bekerja. Segalanya ada dan tersedia. Makanan berlimpah ruah. Barang siapa ingin minum tinggal menjulurkan lidahnya di bawah dedaunan, karena minuman itu menetes seperti embun yang terjatuh di pagi hari.
Udara di khayangan ada empat musim. Dan tingkat
polusinya minim. Karena semua kendaraan tiap tahun harus di tes emisi dan knalpotnya. Jadi boleh dikata penduduknya rata-rata sehat. Walaupun tidak semuanya. Karena yang namanya virus, kuman dan bakteri, nggak peduli dia dewa atau manusia akan dihantamnya tanpa ampun.
Biar begitu Jonggring Saloka masih jauh lebih baik
dibandingkan Astina. Di Astina, polusi mencapai titik tertinggi. Karena peraturan tidak diterapkan secara tegas dan keras. Peraturan dibuat seolah-olah untuk dilanggar, dan bukan turuti. Disiplin individu kurang membudaya. Ditambah aparat pembuat dan juga pelaksana peraturan gampang dibeli maupun disuap.
“Saya dengar di khayangan banyak bidadari-bidadari
yang jadi istri dan pacar-pacarnya kangmas Arjuna. Apa itu betul, Bapa Begawan?” tanya Dewi Banowati.
Sampai sekarangpun Banowati masih tetap naksir berat
Arjuna. Hanya kedudukan dan kewajiban sebagai permaisuri saja yang membuatnya sukar untuk melakukan ‘affair’ semaunya. Dan ia sangat menjaga prestise dan harga dirinya. Selain itu, Prabu Duryudana, sang raja Astina, sangat tergila-gila kepadanya. Jadi segala yang diminta bisa didapatnya.
“Hmmm, ya. Itu betul,” jawab Begawan Pulasara . “Dan
aku kira Arjuna pun pasti datang sewaktu-waktu kesana. Jadi bagaimana? Apa engkau berminat pergi ke khayangan?”
Rupanya pertanyaan sang begawan yang terakhir itu, dan
tanpa adanya tekanan pemaksaan, membuyarkan keragu-raguan Dewi Banowati. Walaupun selama ini di Astina segala keinginannya terpenuhi, tapi lama-kelamaan ia meraja jenuh juga. Sekali-kali plesir pasti nggak ada salahnya. “Kalau begitu saya ikut, Bapa Begawan. Tapi saya ingin melihat-lihat dulu keadaan khayangan sebelum saya memutuskan jadi bidadari.”
“Oh, itu semua terserah kamu,” kata Begawan Pulasara.
Kemudian ia menghadap pada warga Astina yang masih bergelimpangan, “nah, dengar. Dorna, Sengkuni, Karna, dan semuanya. Dewi Banowati setuju ikut aku ke khayangan. Semua itu atas kehendaknya sendiri. Aku tidak memaksa.”
Tak berapa lama kemudian datang pesawat ruang angkasa
Rusia, Soyuz, dengan pilotnya, Vladimir Putin. Rupanya Begawan Pulasara sudah mencarter pesawat itu jauh-jauh hari sebelumnya. Walaupun birokrasi di Rusia masih cukup rumit, namun tidaklah sukar untuk menyewa pesawat ruang angkasa. Uang berbicara. Kemarin sebenarnya ia sudah mencoba menghubungi Amerika buat menyewa pesawat mereka. Tapi malah dapat jawaban arogan: mereka tak butuh uang dan pesawat ruang angkasa mereka tak bisa disewa-sewakan karena dapat membahayakan sekuriti nasional. Akhirnya Begawan Pulasara mundur tanpa argumen. Biarpun ia tahu bahwa Amerika sekarang ini sedang mengalami defisit pada anggaran belanjanya.
Ketika pesawat mendarat, Begawan Pulasara dan Dewi
Banowati segera masuk ke dalamnya. Setelah itu pesawat ruang angkasa take-off menembus awan menuju khayangan.
“Wah, kok jadi begini, nih,” kata Patih Sengkuni
memecah keheningan. Kini ia berniat melepas tanggung jawab. “Mimpi keponakan saya itu tadi yang meramal sampeyan lho, kakang Dorna. Sampeyan tadi bilang bahwa akan ada kejadian yang baik dan menyenangkan hati Anakprabu Duryudana. Nah, sekarang lihat kenyataannya. Kok jadi hancur-hancuran begini?”
Begawan Dorna tahu, Sengkuni sedang mencari kambing
hitam. Dan nampaknya dirinyalah yang akan dijadikan kambing hitam. Tapi ia tak bisa mengelak dari dakwaan itu. Soalnya tadi waktu disuruh meramal mimpinya Prabu Duryudana, ia memang ngeramal sembarangan. Karena sebenarnya nggak begitu ngerti arti mimpi itu. Semua ia lakukan gara-gara takut kehilangan wibawa sebagai orang yang dihormati. Sebagai orang yang serba bisa dan serba mengerti dimata raja dan semua penduduk Astina.
Dorna tidak ingin jatuh dari kedudukannya. Baginya
kedudukan atau jabatan adalah segalanya. Kalau sampai jatuh, tentu harga diri dan kewibawaannya ikut jatuh pula. Maka ia berusaha waspada terhadap ancaman Patih Sengkuni.
“Udahlah, tenang dik Haryo. Ini cuma persoalan kecil.
Dan saya sudah punya akal. Saya akan adukan masalah ini pada murid saya, Arjuna.”
“Maksud sampeyan, kang Dorna?” tanya Patih Sengkuni
kurang begitu paham.
“Maksud saya begini,” kata Begawan Dorna. “Arjuna
nanti kita tipu. Biar saya bilang padanya, bahwa Prabu Duryudana bakal menyerahkan sebagian tanah Astina kepada keluarga Pandawa, kalo ia mampu membawa kembali Dewi Banowati kemari.”
“Rencana itu nampaknya oké, kang. Dan saya tahu si
Arjuna sakti. Tapi apa dia bakal mampu merebut Dewi Banowati dari tangan Begawan Pulasara. Sampeyan tahu kan pendita itu kesaktiannya nggak main-main?”
“Iya tahu. Tapi jangan khawatir. Saya denger kesaktian
Arjuna kini sudah mulai nambah. Apalagi sejak dia lulus Phd dari luar negri.”
Akhirnya mereka semua setuju. Maka, dengan iringan
pasukan yang besar, disertai persenjataan komplit, berangkatlah rombongan Astina yang dipimpin Dorna. Patih Sengkuni ikut dalam rombongan itu. Ia memaksa ikut karena takut kena damprat keponakannya.
Untuk memimpin keamanan kerajaan selama Dorna dan
Sengkuni pergi, beban diserahkan pada Adipati Karna.
Sementara itu jauh di bumi utara terletak hutan
Boroneyo. Nampak seorang kesatria, dengan iringan para punakawan, tengah berjalan dipinggirannya. Mereka merencanakan masuk ke dalam hutan itu.
Hutan Boroneyo termasuk hutan yang masih perawan.
Ratusan ribu pepohonan besar yang berumur puluhan, bahkan ratusan tahun, tegak berdiri dengan gagahnya. Pepohonan itulah yang banyak menghasilkan kayu gelondongan untuk kebutuhan dalam maupun luar negeri. Banyak pengusaha yang memiliki HPH (Hak Pengusahaan Hutan) menjadi kaya karena usaha penebangan hutan itu. Terkadang para pemegang HPH ini melakukan penebangan melebihi kuota yang telah ditentukan. Untuk dapat melakukan hal itu, mereka banyak bekerja sama, baik dengan aparat pusat maupun aparat setempat.
Kesatria yang tengah berjalan menuju ke jantung hutan
itu tak lain daripada Raden Arjuna. Ia diiringi Semar beserta ketiga anaknya, Gareng, Petruk dan Bagong. Sudah dua jam ini mereka berjalan semenjak istirahat yang terakhir. Kini mereka kembali merasa letih, dan memutuskan untuk kembali istirahat.
Arjuna berjalan mencari tempat yang sunyi. Ia ingin
bersemadi, memulihkan kembali semangatnya dan juga tenaganya yang telah terkuras dalam perjalanan. Sementara itu para punakawan menyiapkan perkemahan dan makan siang. Kecuali Semar yang minta ijin pergi mencari buah-buahan.
“Gua heran deh, Truk,” kata Bagong tiba-tiba. “Juragan
kita, Raden Arjuna, itu kok ya masih suka keluar masuk hutan buat bersemadi. Padahal apa sih kekurangannya? Istana punya. Rumahnya banyak, termasuk rumah kontrakan. Mobilnya juga banyak, termasuk yang disewakan untuk Angkot. Istrinya cantik. Anak-anaknya pada sukses semua. Mau nyari apa lagi sih dia?..”
“Huss! Jangan kenceng-kenceng kalo ngomong. Entar
kedengeran juragan,” potong Petruk.
“Juragan kita emang lain dari pada yang lain kok,”
kata Gareng menengahi. “Banyak memang, orang kalo udah kaya terus lupa ama latar belakang dirinya. Bahkan terkadang lupa ama yang di atas. Nah, kalo juragan kita kagak. Biar dia udah punya segalanya, tapi dia nggak lupa ngucapin terima kasih kepada para dewa, dan Sang Hyang Widiwasa, atas apa yang udah dia dapetin.” Gareng mulai bercerita: tadi ketika mereka mau berangkat, Arjuna memanggil Semar. Kebetulan disitu ada dirinya, maka sekalian aja diajak rembukan. Mereka diberitahu agar mempersiapkan perjalanan masuk ke hutan Boroneyo. Arjuna ingin bersemadi. Bertanya pada dewata, kemana gerangan hilangnya menantunya, Antasena.
Tangis anak perempuannya, Dewi Jenokowati, yang tengah
kehilangan suaminya, ikut membuatnya sedih. Karena itu ia memutuskan mencari si Antasena. Ia tak mau besannya, Bimasena, tahu. Ia takut besannya itu bakal marah besar jika tahu kalau anaknya hilang. Karena kalo sang besan sampai marah, akan sukar dikendalikan. Dan malah bikin situasi tambah runyem.
“Oh, gitu toh ceritanya,” kata Bagong.
Saat mereka bertiga sedang melanjutkan masak, dari
jauh tampak dua sosok yang gemerlapan. Benar-benar pemandangan mengagumkan. Dalam hati mereka mencoba menebak-nebak, siapa gerangan yang datang itu?
Dua sosok berjalan menuju perkemahan Raden Arjuna.
Pakaian mereka yang tertimpa cahaya mentari nampak berkilauan dari jauh.
Ketika sudah dekat, baru sosok mereka bisa dikenali.
Yang gagah dan tampan ternyata Dewa Serani. Sedangkan pengiringnya tak lain adalah Togog. Jika Ki Lurah Semar adalah dewa yang memiliki tugas mengasuh para kesatria di jalan kebenaran. Togog adalah dewa pengasuh para kesatria yang berada di jalan yang salah.
Begitu tiba di perkemahan, Bagong dengan cuèk menyapa
“Heh, biasa aja,” jawab Dewa Serani tersenyum sinis.
“Gimana khabarmu?”
“Kami bertiga baik-baik saja, tuan. Maaf atas
kelancangan Bagong,” jawab Gareng. Ia sengaja menyambar pertanyaan tamunya sebelum mulut Bagong yang lancang dan nggak tahu aturan menjawabnya. “Wah, kaget juga bisa ketemu sama tuan Dewa Serani di tengah-tengah hutan. Mau kemana, tuan?”
“Aku sedang mencari majikanmu. Kemana dia?”
“Tadi beliau bilang mau bersemadi melepaskan lelah,
tuan,” jawab Petruk.
“Hmmm. Coba panggilkan sana. Beritahu dia, bahwa Dewa
Serani ingin bertemu.”
“Baik, tuan,” jawab Petruk sambil menunduk-nunduk
pergi.
Belum sampai duaratus meter berjalan, Petruk melihat
majikannya turun dari perbukitan. Wajahnya nampak cerah. Pertanda bahwa kekuatannya telah pulih kembali. Melihat hal itu Petruk jadi lega. Tak ada yang perlu dikawatirkan lagi. Bahaya yang membayang, menyusul kedatangan kedua tamunya, sedikit demi sedikit sirna. Lalu, dengan berlari-lari kecil, ia hampiri juragannya.
“Tampaknya ada tamu ya, Truk?” tanya Arjuna lebih
dahulu. “Hmm, Dewa Serani?”
“Betul, tuan. Tapi...hati-hati lho, tuan,” kata Petruk
setengah berbisik. “Si Trouble Maker. Perasaan saya kok nggak enak kalau ketemu dia.” “Hmm, nggak apa-apa. Tenang aja,” kata Arjuna seraya bergegas. Petruk pun ikut mempercepat langkahnya.
Langit masih cerah. Udara tak begitu panas karena
angin bertiup sepoi-sepoi. Pepohonan bergoyang-goyang seperti penari Serimpi yang kompak. Ketika pepohonan mengayun agak keras, para serangga yang tadi selalu berbunyi, berdiam sebentar. Setelah itu berbunyi lagi seperti penyanyi koor gereja. Bunyi nyanyian itu datang dari serangga-serangga Tonggeret dan Garengpung yang menggesek-gesekkan sayap mereka.
Setelah sampai di perkemahan, Arjuna memberikan sembah
kepada tamunya. Hal itu memang sudah jadi kebiasaan di jagat raya ini. Walaupun Arjuna dan Dewa Serani sama-sama kesatria, namun derajat mereka berbeda. Dewa Serani adalah seorang dewa, sedangkan Arjuna hanyalah manusia biasa. Derajat dewa lebih tinggi dibandingkan derajat manusia, sekalipun manusia itu memiliki kedudukan sebagai seorang raja.
“Khabar baik dimas (adik). Bagaimana khabarmu sendiri?
Dan tumben, tidak biasa-biasanya kita bertemu di jalan. Apalagi di pinggiran hutan seperti sekarang ini,” jawab Arjuna. “Silahkan dimas dan paman Togog minum-minum dulu. Tentunya haus setelah perjalanan jauh.”
“Ah, tidak usah. Kami masih kenyang,” kata Dewa Serani
sambil geregetan melihat Togog. Mata pembantunya itu nampak mengincar ikan asin yang tengah dipersiapkan Gareng. “Ya, kan paman Togog?!”
“Ha? Oh ya, ya. Kami tadi sempat mampir di Lembur
Kuring. Hehehe...jadi masih kenyuuangg,” jawab Togog meringis. “Sebenarnya bukan kebetulan kita bertemu disini.” Dewa Serani menyingkapkan selendangnya. Sekilas nampak senjata pusakanya yang mengkilat terselip di pinggang. “Kami tadi sempat mencari ke rumahmu, ke Madukoro. Namun kami mendapat jawaban, bahwa kamu dalam perjalanan semadi ke Hutan Boroneyo. Jadi kami menyusul kemari.”
“Hmm, nampaknya ada keperluan penting apakah hingga
dimas mencari-cari saya?” tanya Arjuna. Ia telah merasakan datangnya bahaya.
Burung alap-alap terbang diangkasa. Sayapnya yang
lebar terentang, seolah bayangan maut yang siap memayungi korbannya. Pada ketinggian seperti itu, tatapannya yang tajam mengincar calon korbannya. Bagi calon korban yang waspada, mereka memiliki dua pilihan, menghindari atau melawan dengan segenap kekuatannya. Namun bagi yang lengah, tamatlah riwayatnya.
“Kakang Arjuna. Aku ingin bicara langsung saja pada
pokok permasalahannya,” kata Dewa Serani dengan nada serius. “Ketahuilah. Saat ini menantumu, Antasena, sudah mati. Karena itu aku ingin melamar anakmu, Dewi Jenokowati. Dan aku kira, kurang baik buat anakmu kalau ia terlalu lama menjanda.”
Panas hati Arjuna seperti terpanggang di atas tungku.
Emosinya menggelegak bagai kawah gunung berapi yang siap meledak. Ingin rasannya ia segera merobek-robek mulut dewa yang ada di hadapannya ini. Namun nalurinya menyuruhnya menahan diri.
“Kakang Arjuna, engkau tak usah kawatir. Kalau
Jenokowati mau jadi istriku, ia akan aku jadikan permaisuri. Ia tak akan aku jadikan selir. Dan mengenai emas kawinnya, silahkan kakang Arjuna sebutkan apa yang kakang inginkan. Mau rumah bertingkat di Pondok Indah? Mau Lamborgini? Atau Roll Royce? Atau perhiasan satu ton beratnya? Semuanya akan aku penuhi. Oh ya, jangan lupa. Tindakanku ini telah mendapat restu ayahku, Sang Hyang Jagat Nata Bethara Guru.”
Suasana kembali hening. Suara anjing hutan yang
melolong-lolong terdengar sayup-sayup di kejauhan.
“Dimas Dewa Serani,” kata Arjuna tenang. “Sebetulnya
salah satu tujuan kepergian kamipun dari Madukara, adalah mencari kemana hilangnya Antasena. Ia tiba-tiba saja bisa lenyap dari muka bumi. Namun kini aku heran setelah mendengar berita darimu bahwa Antasena sudah mati. Bagaimana dimas bisa tahu perihal kematian Antasena? Sedangkan khabar burung tentang kematiannya saja kami tak pernah dengar?”
Seketika itu juga Dewa Serani menjadi gugup. Ia ingat
pesan ayahnya supaya tidak menceritakan perihal pembunuhan Antasena kepada siapapun. Salah tingkahnya itu ditutupinya dengan perkataan yang malah membuat lawan bicaranya makin curiga: “Ah, sudahlah. Hal itu tak usah kita persoalkan...kita lanjutkan saja pembicaraan mengenai rencana lamaranku pada Dewi Jenokowati.”
yang menyembunyikan mentari membawa suasana sejuk. Namun toh kesejukan itu tak terasa dihati dua kesatria yang kini tengah berhadapan.
“Dimas Dewa Serani belum menjawab pertanyaanku,” desak
Arjuna. “Darimana dimas tahu kalau Antasena sudah tiada?”
Dewa Serani tersenyum, namun mukanya kentara sekali
memerah. Kegugupannya semakin menjadi-jadi. Ia nampak berusaha menekan perasaannya: “Alaahh, itu tidak penting. Yang penting, sekarang kakang Arjuna mengijinkan apa tidak, Jenokowati aku ambil istri?”
Arjuna kini bukan saja tersinggung, malah semakin
mencurigai anak dewa yang kurang ajar ini. Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikannya.
“Cuma ada satu jawabanku,” kata Arjuna tenang.
“Langkahi dulu mayatku jika kau ingin mengambil anakku sebagai istrimu.”
“Bullshit!!” teriak Dewa Serani. “Kalau itu yang kau
mau, bersiap-siaplah jadi bangkai!”
Bersamaan dengan teriakan itu, Dewa Serani
menyingkapkan selendang suteranya. Pada selendang itu tersulam kata-kata yang terbuat dari benang emas: “Love or Perish”. Lalu, sarung suteranya yang berkilauan, diikatnya kuat-kuat di badannya. Setelah itu, ia memasang kuda-kuda. Sebuah tattoo bergambar Mickey Mouse menyembul di betisnya.
Arjuna dengan tenang mundur selangkah membetulkan
letak kuda-kudanya. Baru kali ini ia berhadapan dengan Dewa Serani. Walaupun ia sering mendengar tentang kesaktiannya, namun ia tidak merasa gentar.
“Hiaattt!!” Dengan sebuah teriakan yang melengking,
Dewa Serani menerjang lawannya. Ia keluarkan jurus ‘Dewa Maut Mencengkeram Jagat Raya’. Jurus dahsyat pemberian orang tuanya itu diwariskan secara turun temurun. Setiap pukulan dari serangannya ditujukan pada bagian-bagian yang membahayakan. “Chiaatt!!” “Hiyaa!!”
Angin dari pukulan jurus andalan Dewa Serani
benar-benar menggetarkan. Udara sekitarnya panas bagai terkena lambaian sebuah gada yang membara. Daun-daun di pepohonan rontok satu per satu. Sementara, rerumputan dan semak-semak layu seketika. Pertempuran antara Raden Arjuna dan Dewa Serani sungguh dahsyat. Hutan yang tadinya sepi kini menjadi hingar-bingar. Membuat binatang maupun serangga yang ada di sekitar situ lari tunggang langgang. Semetara itu beberapa pohon telah rubuh terkena terjangan pukulan yang luput.
Dewa Serani ternyata salah perhitungan. Ia pikir,
hanya dalam beberapa jurus saja musuhnya akan binasa ditangannya. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Bahkan ia sendirilah kini yang harus mempertahankan diri dari serangan-serangan balasan musuhnya.
“Kakang Arjuna!” teriak Dewa Serani setelah meloncat
mundur. Napasnya ngos-ngosan. Dalam keadaan seperti itu, ia baru ingat bahwa ia harus mengurangi kebiasaannya merokok kretek. “Kini terimalah ajalmu! Bersiap-siaplah menjadi abu!”
Dengan geram Dewa Serani mengeluarkan jurus barunya.
Jurus Tapak Geni adalah pemberian Dewa Brahma. Apapun yang terkena pukulan jurus itu akan terbakar habis jadi abu. “Ciaaaaattt!!” “Buumm!!”
Arjuna yang tak menyadari akan datangnya serangan, tak
punya kesempatan untuk mengelak. Gumpalan api yang datang bersama pukulan musuh menerjang tubuhnya. Dalam sekejap, tubuhnya sudah terlalap api yang berkobar-kobar. Melihat pemandangan mengerikan itu, para pembantunya berteriak ketakutan. Petruk yang pertama keluar dari persembunyian, disusul Bagong. Lalu, Gareng datang terpincang-pincang.
Para punakawan yang panik hanya bisa berteriak-teriak.
Tapi mereka takut mendekat. Kobaran api demikian besarnya. Karena frustasi, akhirnya Petruk dan Gareng cuma bisa menangisi tubuh juragannya yang terbakar. Sementara itu Bagong lari menuju ke sungai mencari air. Tiba-tiba terdengar suara Arjuna dari dalam api: “sudah, sudah stop, jangan nangis kayak anak kecil begitu. Aku tidak apa-apa. Aku masih hidup.”
Kedua punakawan itu segera menghentikan tangisnya.
Mereka berdiri heran setengah tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Petruk yang memberanikan bertanya: “Lho, tuan. Kalau masih hidup kok masih enak-enakan ada di dalam api?”
“Aku sengaja lama-lama disini karena baru mencuci
jaket ini. Kata penjualnya, jaket ini harus sering-sering dicuci dengan api peperangan kalau ingin bertambah kesaktiannya,” tutur Arjuna.
Rupanya tadi sebelum bertempur, Arjuna telah memakai
jaket jeans andalannya. Jaket tanpa lengan itu dibelinya seminggu yang lalu, waktu iseng jalan-jalan ke Pasar Loak Taman Puring, di daerah Kebayoran Baru. Kata tukang loak yang menjualnya, pemilik jaket itu adalah dewa yang tidak mau disebutkan namanya. Sang dewa terpaksa menjual jaket saktinya karena lagi butuh uang untuk bisa datang ke reuni SMA-nya.
Tak lama kemudian Arjuna keluar dari api tanpa luka
bakar secuilpun. Wajah kedua pembantunya berubah cerah. Tapi pandangan mereka lebih ditujukan pada jaket majikannya. Dalam benak masing-masing sudah tersusun rencana untuk pergi ke Pasar Loak Taman Puring nanti, jika tugas telah selesai. Mereka memang sering dengar, bahwa di Taman Puring sering dijual barang-barang bermerek yang sudah bekas dengan harga miring.
“Terus gimana, tuan?” tanya Petruk kepada Arjuna.
“Tolong ambilkan busur panahku,” kata Arjuna. “Dan
bawa kesini anak panah yang tumpul. Biar aku kirim si brengsek Dewa Serani ke Nusakambangan.” Ketika senjata sudah ada di tangan, Arjuna membidikkannya pada Dewa Serani. “Wuuzzz!!” “Zgeerrr!!” Panah sakti mengenai sasarannya. Begitu terkena, tubuh itu lenyap seketika. Bagaikan seekor semut terkena sentilan jari manusia.
“Wah, hebat!” teriak Petruk kegirangan. “Apa Dewa
Serani itu tadi langsung masuk penjara di Nusakambangan, tuan?”
“Iya, Truk. Biar aja, untuk sementara kok,” jawab
Arjuna.
“Apa senjata itu juga bisa digunakan untuk memanah
dewa-dewa yang pada korupsi milyaran rupiah, biar sekalian bisa pada masuk ke Nusakambangan, tuan?”
“Bisa aja sih, Truk. Tapi nampaknya iklim politik
belum mengijinkan...”
Petruk mengerti maksud majikannya. Jaman sekarang
memang masih susah memenjarakan para dewa yang pada korupsi. Apalagi kekuasaan dan pengaruh mereka itu luar biasa besarnya, susah disentuh. Ditambah aparat penegak hukum yang juga belum bersih. Akhirnya semuanya cuma bisa menunggu-nunggu datangnya jaman baru. Tapi sampai kapan?
Hutan Boroneyo kembali tenang. Mendung di angkasa
tersapu angin, hingga terbukalah celah bagi sinar sang mentari. Burung-burung terbang kembali ke sarangnya. Demikian rindunya mereka pada anak-anak yang tak sempat dibawanya ketika harus mengungsi tadi. Pertemuan antar keluarga, teman dan handai taulan bangsa unggas itu menghasilkan kicau yang berisik.
Begitu Togog pergi, sambil terus-menerus minta ampun,
dan terus menerus melirik ke arah ikan asin, Arjuna dan para pembantunya kembali berbenah. Walaupun kemah porak poranda akibat perkelahian tadi, namun beruntung makanan masih utuh. Maka, selesai berbenah, mereka segera makan siang.
“Tuan, apa Dewa Serani itu bisa sadar sama
kesalahan-kesalahannya?” tanya Gareng pada Arjuna, ketika mereka sedang menikmati makan siang.
“Hmm, nggak tahu aku, Reng. Kalau dia nggak bisa sadar sendiri, paling-paling nanti kan akan ada yang membuatnya sadar.”
Selesai makan, Arjuna memerintahkan Bagong, yang sudah
balik dari sungai, untuk mencari Semar. Waktu Bagong baru berjalan seratus depa, ia berhenti melangkah. Sambil berdiri tertegun ditatapnya iring-iringan besar prajurit yang nampak di kejauhan. Iring-iringan itu menuju ke perkemahan mereka. Ia segera kembali ke perkemahan sambil melaporkan apa yang dilihatnya pada majikannya.
Iring-iringan itu nampak mendekat. Di barisan paling
depan ada dua gajah dikawal puluhan prajurit berkuda di sampingnya. Di belakangnya ada dua kompi prajurit bersenjata lengkap. Tidak ketinggalan pula beberapa mobil jip Hummer dengan senapan mesin menyembul di atasnya.
“Hmm, Paman Sengkuni dan Kakek Begawan Dorna,” guman
Arjuna ketika tahu siapa yang duduk di atas gajah-gajah itu.
Petruk yang kurang awas karena matanya sudah minus,
terperanjat mendengar kata-kata boss-nya. Dari mulutnya keluar peringatan: “Wah, hati-hati, tuan. Orang-orang berbahaya.”
Rombongan besar dari kerajaan Astina itu sampai. Dua
gajah dan kuda-kuda tunggangan dibawa ke sungai untuk di beri minum. Kepala rombongan terdiri dari Patih Sengkuni, Begawan Dorna, beberapa bangsawan, dan para jendral serta kolonel. Lalu, dibelakangnya dengan muka yang sangar-sangar para prajurit bawahan, dipimpin oleh mayor, kapten dan letnan-letnan mereka. Tiga regu prajurit diperintahkan menjaga dan mengawasi daerah itu.
Pemandangan yang terlihat adalah tipikal pemandangan
bala tentara kerajaan Astina. Mereka yang berpangkat kolonel dan jendral kelihatan gemuk-gemuk, sedangkan yang berpangkat mayor kebawah terlihat kurus-kurus. Prajurit di Astina gajinya kecil-kecil. Cuma yang beruntung bisa ngobyek (menjadi beking perjudian, tempat hiburan, dan toko-toko) saja yang kelihatan punya daging.
Arjuna dan para pembantunya segera memberi hormat,
ketika Sengkuni dan Dorna datang. Bagi Arjuna, Patih Sengkuni masih terbilang pamannya, walaupun paman tiri. Sedangkan Begawan Dorna adalah bekas gurunya.
“Saya benar-benar terkejut bisa bertemu dengan paman
Sengkuni dan Bapa Begawan Dorna di dalam hutan ini. Kalau saya boleh tahu, sesungguhnya paman Sengkuni dan Bapa Begawan Dorna ini ingin melakukan perjalanan kemana?” tanya Arjuna penuh hormat.
“Begini Juna,” kata Sengkuni. “Sebenarnya aku cuman
ngikut rombongannya kakang Dorna saja. Biar kakang Dorna sendiri yang menerangkan keperluan kita.”
“Betul, Juna,” sambar Dorna. “Rombongan ini adalah
rombonganku. Adapun keperluanku melakukan perjalanan ini adalah untuk menemuimu. Kami sudah cari engkau ke rumahmu di Madukara. Katanya engkau sedang melakukan perjalanan untuk semadi ke pusat hutan Boroneyo. Lalu, kamipun menyusulmu hingga bertemu engkau disini, nak.”
Gaya bahasa Begawan Dorna dibuat sedemikian rupa
sehingga membikin lawan bicaranya penting. Padahal perasaan hatinya bertolak belakang. Pada permukaannya saja ia kelihatan memiliki perhatian besar pada bekas muridnya itu. Tapi dalam hati ia ingin supaya tujuannya lekas tercapai.
Begawan Dorna seorang pandita yang sudah lupa pada
kaul kemiskinan. Ia lebih mementingkan kesukaan duniawi ketimbang menjunjung tinggi ajaran-ajaran surga. Ia lebih suka lingkungan istana, lingkungan birokrasi yang mewah, yang memuja-muja dan menyanjung-nyanjung dirinya. Ia telah melupakan ajaran utama kependitaan, yaitu kejujuran, kebenaran dan kerendahan hati.
Begawan Dorna menceritakan peristiwa penculikan Dewi
Banowati pada Arjuna. Lalu, dengan berterus terang ia minta bantuan pada Arjuna untuk merebut kembali Dewi Banowati dari tangan penguasa khayangan, Prabu Kuncoro Manik.
“Hanya engkau yang mampu merebut kembali Dewi Banowati
dari tangan Prabu Kuncoro Manik, Juna,” kata Begawan Dorna. “Kalau engkau mampu membawa kembali Dewi Banowati ke Astina, maka akan ada imbalannya, nak. Yaitu: bukan cuma sebagian tanah kerajaan Astina, namun seluruhnya dikembalikan kepada keluarga Pandawa oleh pihak Kurawa.”
Arjuna agak ragu mendengar kata-kata bekas gurunya
itu. Sudah beberapa kali ia kena kibul. Juga kakak-kakak dan adik-adiknya. Ia sudah tahu sifat bekas gurunya itu. Namun suara hatinya sebagai seorang kesatria begitu menguasai dirinya.
“Kakang Dorna benar, nak,” kata Patih Sengkuni
tiba-tiba. Ia seperti bisa meraba kebimbangan Arjuna. “Saat ini kakakmu Duryudana sedang kesusahan. Biar bagaimana keluarga Pandawa dan keluarga Kurawa masih bersaudara. Kalau bukan pada keluarga sendiri, siapa lagi yang musti dimintai tolong?” Tiba-tiba saja Patih Sengkuni mampu bersikap seperti anak kecil yang merengek-rengek minta dibelikan balon ayahnya. Wajahnya demikian memelas. Penampilan dan sikapnya itu memang telah benar-benar direncanakannya masak-masak.
“Dan apa yang dikatakan kakang Dorna tidaklah salah,
nak. Kerajaan Astina bakal diserahkan kembali kepada keluarga Pandawa. Sebetulnya tanpa ada kejadian inipun pihak Kurawa telah merencanakan mengembalikan kerajaan itu pada pihak Pandawa. Begitu kan kang Dorna?”
“Iya, ya, ya betul. Memang begitu itu rencananya.
Sayangnya kok ya ada kejadian seperti ini. Hingga semua rencana buyar,” kata Dorna. “Jadi bagaimana nak, apa engkau akan menolong kami?”
“Jika demikian keinginan Paman Sengkuni dan Kakek
Begawan Dorna, saya akan berusaha menolong sebisa saya,” kata Arjuna. “Saya mohon doa restu Paman dan Kakek Begawan.”
Dua rombongan itu akhirnya berpisah. Rombongan besar
kerajaan Astina, kembali ke kerajaan mereka setelah puas berhasil “menggarap” korbannya. Sedangkan Arjuna dan para pembantunya bersiap-siap pergi ke khayangan.
Tak lama setelah rombongan Astina berangkat lebih
dahulu, Semar datang dari arah barat. Dalam kantung yang dibawanya hanya ada tiga buah mangga. Ketika ditanya, kenapa metik mangga tiga biji aja kok lama banget? Jawabnya seperti biasa: ketiduran.
“Wah, kok setuju begitu aja sih, tuan?” tanya Petruk.
Ia menyesali sikap lemah majikannya saat berhadapan dengan Dorna dan Sengkuni. Padalah siapapun sudah tahu bahwa kedua petinggi Astina itu terkenal sebagai orang-orang munafik.
“Iya, padahal mereka itu tadi keliatan banget menipu,
tuan,” tambah Gareng. “Saya sih tahu banget dah tipuan mereka.”
“Hus, sudah pada diem!” bentak Semar pada
anak-anaknya. “Majikan kalian tentu tahu mana yang baik dan mana yang buruk.”
Waktu semua sudah siap, tiba-tiba datang pesawat ruang
angkasa Rusia, Soyuz. Pesawat itu mendarat tak jauh dari perkemahan. Rupanya pesawat itu sudah dipersiapkan oleh pihak Kurawa untuk mereka. Yang mereka tidak ketahui, pesawat itu disewa bukan dengan uang, namun dengan cara ditukar minyak kelapa sawit.
Negeri Darawati adalah negeri yang indah. Tanahnya
subur karena merupakan tanah lava, yang berasal dari sebuah gunung berapi yang tinggi menjulang. Letak gunung itu agak jauh dari pusat kerajaan. Sungai-sungainya ada beberapa yang membelah ibukota. Disamping sungai-sungai itu, menghindari banjir lahar maupun banjir lumpur akibat meletusnya gunung berapi, dibuatlah kanal-kanal besar oleh penduduk.
Selain pintar, penduduk negeri Darawati terkenal
disiplin. Tiap penduduk tidak pernah mementingkan dirinya sendiri. Mereka lebih mementingkan kepentingan bersama. Dengan kesadaran tinggi, penduduk selalu menuruti hukum dan peraturan, yang diterapkan tanpa pandang bulu.
Raja Darawati dan para pemimpinnya yang bijaksana,
bukan saja dihormati oleh rakyatnya. Para pemimpin ini sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat. Mereka bukan tipe pemimpin yang mengandalkan kekejaman, kelicikan dan kelaliman. Maupun tipe pemimpin yang hanya pandai bicara, banyak berpropaganda, dan pandai menipu untuk kepentingan diri sendiri ataupun kelompoknya.
Para pemimpin yang bijaksana dituruti perintahnya oleh
rakyat dengan perasaan hormat. Sedangkan pemimpin yang kejam, lalim dan licik akan dituruti perintahnya oleh rakyat karena perasaan takut. Rasa hormat akan menumbuhkan rasa percaya diri. Sedangkan perasaan takut akan menghancurkannya. Hancurnya rasa percaya diri, pada akhirnya akan mematikan kreatifitas, yang bisa mengakibatkan mundurnya budaya sebuah bangsa.
Pada siang yang cerah itu, Prabu Bethara Kresna, raja
Darawati, sedang duduk termenung di singgasananya. Ada sesuatu yang amat merisaukan pikirannya, sehingga ia belum berkenan bersabda. Para pejabat dan bangsawan istana ikut diam terpekur di hadapannya. Tampak di bagian terdepan barisan, patih kerajaan, yaitu Patih Udawa. Lalu disusul dengan panglima perang kerajaan yang gagah berani, Setyaki.
Tiba-tiba kepala prajurit pengawal istana datang
tergopoh-gopoh memberi laporan kepada rajanya: “Paduka, tuan Bimasena bersama rombongannya sudah datang.”
Mendengar khabar dari kepala prajurit istana itu,
Kresna tersadar dari lamunannya. Wajahnya kembali cerah, bagai menerima khabar gembira. Diperintahkannya seluruh warga Darawati melakukan penyambutan selayaknya terhadap Bimasena.
“Ada apa abang Kresna manggil gua kemari?” tanya Bima,
ketika suasana hiruk pikuk penyambutan telah mereda.
“Maafkan kakakmu ini, kalau membuatmu kaget akibat
panggilan itu. Tapi memang ada sesuatu hal yang penting yang musti aku bicarakan denganmu.” Kresna membetulkan letak duduknya. Ia berdeham, seperti tidak mau ada kata-katanya yang tidak terdengar pembicaranya.
Para pejabat dan bangsawan istana yang ada di
balairung semuanya berusaha menajamkan pendengaran mereka. Semua nafas agak tertahan karena takut bunyi nafas mereka sendiri akan menghalangi pendengaran mereka.
“Aku memiliki visi, bahwa penguasa di khayangan
Jonggring Saloka, sekarang ini bukan lagi Sang Hyang Jagat Nata Bethara Guru, melainkan seseorang yang bernama Prabu Kuncoro Manik,” kata Kresna. Sebagai titisan Dewa Wisnu, dewa kebahagiaan, ia memiliki kesaktian mampu melihat kejadian yang akan terjadi dimasa datang. “Dan rupanya penguasa baru khayangan ini ingin menggagalkan perang besar Baratha Yudha...”
“Hmmm...” suara dari kerongkongan Bima bagaikan bunyi
sebuah mobil truk yang distater.
“Seperti engkau tahu, adikku Bima. Baratha Yudha sudah
menjadi kodratnya jaman. Perang itu bukan saja menjadi alat kembalinya kerajaan Astina ke pihak Pandawa dari tangan pihak Kurawa, namun juga menjadi sarana kemenangan para kesatria yang berjalan di pihak yang benar. Itulah sebabnya arti perang besar itu penting bagi mereka yang ada di pihak Pandawa.
“Tapi walaupun begitu, keputusan untuk tetap perang
atau tidak ada di pihak keluarga Pandawa. Dan saat ini yang mewakili mereka disini kebetulan adalah engkau. Kalau memang engkau tidak menginginkan terjadinya perang Baratha Yudha, akupun akan ikut.”
Sampai disitu pembicaraan Kresna berhenti sebentar. Ia
ingin melihat reaksi Bima terhadap persoalan yang baru saja diutarakannya.
Sebagai penasehat, ia sangat dihormati oleh pihak
Pandawa. Karena selain memiliki visi yang tajam, iapun amat bijaksana dan tak pernah menodai kepercayaan yang diberikan padanya.
Bimasenapun tahu, sebagai penasehat keluarga Pandawa,
Kresna selalu memberikan bimbingan yang terbaik bagi keluarga itu. Ia tak pernah membimbing kearah yang salah, apalagi sampai membuat pecahnya maupun kemarahan di pihak yang dibimbingnya. Ia selalu berusaha bersikap rendah hati, dan tidak pernah memaksakan aturan pribadi terhadap keluarga yang dibimbingnya. Kresna tak pernah menginginkan sanjungan dan puji-pujian jika pekerjaannya berhasil.
Suasana di balairung istana kerajaan Darawati hening.
Masing-masing yang hadir bagaikan ikut menimbang-nimbang persoalan yang diutarakan Prabu Kresna terhadap Bimasena, satria Pandawa. Dalam hati mereka berharap agar Bimasena tidak menggagalkan perang Baratha Yudha. Menggagalkan perang itu berarti menyalahi kodratnya jaman, dan membiarkan pihak yang jahat terus merajalela memuaskan tindak kejahatannya.
“Abang Kresna, sebenernya dari pertama gua udah tahu
keputusan apa yang musti gua ambil. Gua ngerti kalau elu adalah seorang penasihat yang baik. Kagak pernah berkianat. Maka dari itu, gua sependapat sama elu, perang Baratha Yudha musti jadi. Perang itu kagak boleh gagal,” kata Bima mantap.
Kemantapan keputusan Bimasena itu ikut membawa
semangat baru bagi Kresna. Maka selanjutnya raja Darawati berkata: “Dimas Bima, jika demikian keputusanmu, selain aku nurut, akupun akan mendukung bagi kemenangan pihak Pandawa kelak. Nah, saat ini, kerajaan akan kedatangan tamu dari Jonggring Saloka.
“Rupanya penguasa Jonggring Saloka menganggapku
sebagai orang penting yang mampu menggagalkan perang Baratha Yudha. Untuk itu mereka akan memanggil dan membawaku ke khayangan, secara baik-baik maupun secara paksa. Maka dari itu, sebelum mereka menginjakkan kaki, atau bahkan membawa kerusakan bagi kerajaan ini, mari sambut kedatangan mereka...” Ketika Bima dan juga mereka yang hadir di balairung kerajaan menyadari arti kata-kata Kresna, kepala pengawal istana datang tergopoh-gopoh sambil menyembah. Ia membawa khabar mengejutkan: “Tuanku, mohon ampun. Menurut mata-mata kerajaan, puluhan ribu tentara dengan persenjataan lengkap dan panji-panji serta bendera perang dari khayangan Jonggring Saloka tengah mendekati tapal batas kerajaan kita...”
Seketika itu juga balairung geger. Semuanya gaduh.
Terdengar dengung percakapan para pemimpin seperti sekumpulan lebah yang sadar bahwa sarangnya terusik bahaya. Bima berteriak menggelegar bagaikan bunyi kereta api ‘Senja Ekonomi’: “Abang Kresna! Biar gua yang hantam musuh kita itu!”
Akhirnya diputuskan rombongan Bima disertai Setyaki
dan dua divisi pasukan lengkap kerajaan Darawati menyongsong kedatangan musuh di tapal batas kerajaan. Sementara Kresna akan menyusul mereka nantinya. Sedangkan Patih Udawa diperintahkan untuk menjaga pusat kerajaan dengan sisa-sisa pasukan yang ada.
Mendengar negaranya ingin diserang, rakyat Darawati
langsung mempersiapkan diri. Setiap orang laki-laki, tua maupun muda, berbondong-bondong pergi ke tempat pendaftaran Wamil (Wajib Militer) di kelurahan-kelurahan. Gadis-gadis berbondong-bondong pergi ke rumah sakit untuk mendaftar jadi perawat. Sedangkan ibu-ibu yang sering kumpul-kumpul arisan langsung membentuk dapur umum. Anak-anak mereka sibuk membuat ketapel.
Perjalanan kelompok Darawati ke tapal batas kerajaan
singkat saja, karena kerajaan itu hanyalah sebuah kerajaan kecil. Tapi mereka sungguh terkejut begitu sampai di tempat yang dituju. Musuh yang ada dihadapan mereka demikian besar jumlahnya. Ternyata mata-mata kerajaan tidaklah salah. Musuh datang bagai airbah yang bobol dari bendungan. Kemungkinan tiga kali lipat jumlah pasukan Darawati. Selain itu, persenjataan mereka lengkap dan terbaru.
Bagi Bima dan rombongan Darawati ada sesuatu yang
mengganjal keberanian mereka. Bukan jumlah pasukan musuh yang mereka takuti, namun suatu keengganan jika