Anda di halaman 1dari 27

DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAK

harus berhadapan dengan pemimpinnya, yaitu Bethara


Narada. Patih Jonggring Saloka ini terkenal bijaksana
dan jarang bertindak kasar. Dalam hati Bima dan
rombongan bertanya-tanya: apa yang menyebabkan Dewa
Narada sampai tega mengerahkan pasukan yang demikian
besar jumlahnya itu?
Kini dua kelompok telah berhadapan: Prajurit khayangan
Jonggring Saloka dan Prajurit Darawati. Wajah para
prajurit Darawati nampak tak gentar, biar jumlah
mereka lebih sedikit. Sebaliknya, wajah para prajurit
Jonggring Saloka nampak bimbang begitu tahu Bimasena
dan Setyaki ada barisan terdepan lawan. Nyali mereka
menciut.

Tak lama kemudian, Bima dan Setyaki meninggalkan


barisannya menuju ke arah pihak Jonggring Saloka.
Begitu sampai di hadapan Bethara Narada, keduanya
memberikan sembah. Hormat pada para dewa adalah
kebiasaan manusia turun-temurun dimulai entah kapan.
Biar bagaimanapun wujud dan kesaktian para dewa itu,
namun kasta mereka masih tetap lebih tinggi dari pada
manusia.

Para dewa adalah keturunan pilihan. Mereka tak pernah


mengenal kerja keras dibandingkan manusia. Makanan
merekapun lebih bergizi. Selain itu, mereka lebih
mampu mengenyam pendidikan dan memiliki titel-titel
luar negri, sehingga mampu menjadikan hidup mereka
yang sudah baik menjadi lebih baik lagi. Dan juga
tidur mereka cukup dan buang airpun selalu lancar.

“Hei Bima. Dari mana mau kemana engkau, nak?” tanya


Narada.

“Engkong Narada, gua ini tamu di negara ini. Dan tuan


rumah minta gua supaya nyambut kedatangan elu dan
rombongan. Nah, elu sendiri ama rombongan mau kemana?”
“Busyettt, nih anak, wong ditanya malah balik nanya,”
kata Narada. “ Hmm..tapi emang hebat Prabu Bethara
Kresna. Visinya memang bener-bener tajem. Oke deh,
begini Bima anakku. Aku memang diutus oleh penguasa
baru kerajaan khayangan Jonggring Saloka, Prabu
Kuncoro Manik, untuk memanggil Prabu Kresna. Ia mau
diajak rembukan untuk menggagalkan perang Baratha
Yudha.”

Setengah menggeram, Bima bilang: “Kalau itu emang


tujuan elu datang kemari, sorry-sorry aja kalo gua
mesti halangi. Apalagi kalau elu pengen ngegagalin
perang Baratha Yudha. Nah, sebelum terjadi keributan,
gua minta secara baik-baik para dewa dan prajurit
khayangan supaya balik. Nanti biar gua yang berurusan
sama si Kuncoro Manik.”

“Wah, gimana nih Yamadipati. Kamu tahu kan apa yang


terjadi jika kita pulang dengan tangan kosong?” kata
Narada setengah berbisik pada Bethara Yamadipati, dewa
pencabut nyawa, yang ada disampingnya.

“Wah ya gimana dong, man. Paman Narada kan tahu, kalo


kita gagal, kita bakalan dihukum sama Kuncoro Manik.
Apa paman mau mandi sauna di neraka?” bisik Yamadipati
bercanda.

“Huss! Jangan sembarangan kamu ya. Ini persoalan nggak


maen-maen tahu.”

“Udahlah, man. Biar saya yang turun tangan,” kata


Yamadipati. “Hei, Bima! Kamu dan gerombolanmulah yang
musti mundur. Mau pilih mundur atau aku cabut nyawamu
dan rombonganmu satu per satu. Hayo, bubar sekarang
juga!”

Bima dan Setyaki masih tetap berdiri di tempatnya.


Mereka tetap tak mengundurkan langkah barang
sejengkalpun. Walau mereka tahu tugas Dewa Yamadipati
adalah mencabut nyawa, namun tak takut terhadap
gertakannya.

Tiba-tiba terdengar suara Bimasena yang meledak marah


bagaikan halilintar di tengah-tengah mendung: “Hmmm,
jangan cuman satu dewa aja, tapi semuanya maju sini!
Biar gua injek-injek semua jadi témpé!”

“Sesumbar kamu ya anak kemarin sore! Heaaatttt!!”


Yamadipati menyerang Bima. Bagai mendapat aba-aba,
bersamaan dengan itu pihak Jonggring Saloka yang tiga
kali lipat jumlahnya ikut menyerang pihak Darawati:
“Serbu!!” “Ganyang!!”

Bima mengamuk seperti gajah yang marah. Kuku di dua


jempol tangannya menusuk kesana kemari bagai gading
mencari sasaran. Dewa Yamadipati kewalahan
menghadapinya. Ia minta bantuan teman-temannya. Tanpa
menunggu aba-aba, mereka langsung mengeroyok
rame-rame. Bukan cuma manusia, dewapun terkadang kalo
kepepet suka main keroyokan.

Setyaki juga mengamuk tak kalah hebatnya. Gada Wesi


Kuning dikibas-kibaskannya kesana kemari. Senjata itu
mirip stik baseball. Terbuat dari besi kuning.
Ayunannya kuat. Musuh yang terkena hantaman senjata
itu masih beruntung nasibnya kalo cuma benjol
kepalanya.

Tak lama kemudian Prabu Kresna datang dengan


pasukannya. Melihat kedatangan rekan-rekannya, pasukan
Darawati makin naik semangat tempurnya. Sementara itu
di pihak pasukan Jonggring Saloka terlihat tanda-tanda
desersi. Semangat mereka satu per satu amblas.
Jurus-jurus yang diajarkan di Bangau Putih Gonzaga tak
banyak gunanya. Apalagi yang diajarkan keseringan
jurus yang itu-itu juga, yaitu: Jurus Janda Genit.

Prabu Kresna segera menuju ke tempat Bethara Narada,


yang sedang menggeleng-gelengkan kepalanya melihat
ulah para dewa yang melakukan pengeroyokan. Beberapa
diantaranya sudah nampak babak belur dihajar oleh
Bima.

“Mohon ampun atas keterlambatan saya, tuanku Bethara


Narada,” kata Kresna sambil menghaturkan sembah.

“Kamu ini memang pinter, Kresna,” kata Narada. “Kamu


tidak mau mengotori tanganmu sendiri. Lihat tuh, para
dewa dan pasukanku dihajar babak belur sama Bima dan
Setyaki. Aku kan datang kemari cuma sebagai utusan
Jonggring Saloka. Aku kira engkau sendiri sudah tahu
kan tugas apa yang aku emban?”

“Ya, saya sudah tahu, tuan Narada. Tapi bukankah


perang Baratha Yudha yang ingin digagalkan oleh
penguasa Jonggring Saloka itu sudah menjadi kodrat
jaman? Dan apakah Sang Hyang Wenang sudah tahu tentang
rencana Kuncoro Manik itu?”

“Wah, gini aja deh. Aku ini cuma utusan. Makanya aku
harus nurut perintah atasan. Kamu tahu kan
konsekwensinya seorang pegawai negri kalau nggak nurut
atasan? Kalo cuman dipensiunkan, dimutasi, atau
dipecat sih masih bagus lah. Tapi kalo sampai
dicemplungkan ke kawah Candradimuka karena tugas
gagal, terus gimana dong? Udahlah, kasihan sama aku
barang sedikit ya, Kresna?”

Sementara itu prajurit Jonggring Saloka mulai nampak


terdesak. Sebagian dari mereka sudah kelihatan kabur.
Yang masih bertahan dan bertempur moralnya makin
merosot ketika melihat para dewa pemimpin mereka
banyak yang dibawa ambulan ke Rumah Sakit Fatmawati.

“Saja kira begini saja, tuan Narada. Sekarang tuan


Narada dan rombongan pulang saja ke khayangan terlebih
dahulu. Nanti saya menyusul,” kata Kresna tiba-tiba.

“Lho, kenapa nggak bareng aja sih? Soalnya kalao saya


pulang nggak bawa kamu, aku bakal langsung kena
semprot nih.”

“Begini, tuan Narada. Saya ingin tahu sampai dimana


kesaktian Prabu Kuncoro Manik. Tapi itu nanti. Nah,
sekarang kalau saya pergi bareng dengan tuan, artinya
saya menyerah kalah. Padahal saya tidak mau dianggap
kalah, karena kalau ketahuan kalah ataupun lemah,
pasti bakalan disepelekan. Saya ingin mereka tahu
bahwa kedatangan saya ke khayangan adalah dengan
sukarela.”

Dewa Narada garuk-garuk kepala. Ia kelihatan bimbang.


Kalau ia balik tanpa Kresna, ia bakalan diceburkan ke
Candradimuka. Tapi kalau ia tetap memaksa Kresna,
iapun merasa tak mampu. Apalagi setelah ia menengok
melihat kondisi pasukannya yang berantakan.

“Tapi kamu bener-bener bakal nyusul ke khayangan kan,


Kresna?” tanya Dewa Narada ragu.

“Saya tidak akan berbohong. Pasti saya bakal nyusuh,”


jawab Kresna mantap.

“Bener, nih. Bareng aja kenapa sih? Nanti biar aku


yang carter mobil limosin lengkap dengan sopirnya deh.
Kalau perlu sopirnya cewek blondie. Mau kan?”

Biar terus dirayu, Kresna nampak sudah pada


ketetapannya. Akhirnya Bethara Narada yang menyerah.
Ia perintahkan pasukan Jonggring Saloka untuk menarik
diri. Semuanya nampak lega. Banyak diantaranya yang
terkilir maupun patah tulang pada minta ijin
meneruskan perjalanan ke Cikini maupun di Cimande
mendatangi tukang urut.

Prabu Kresna sendiri segera mengkonsolidasikan


kekuatannya. Ia memberi wejangan kepada rakyat yang
akan ditinggalkannya untuk sementara. Ia serahkan
tanggung jawab keamanan dan kelangsungan pemerintahan
kerajaan Darawati kepada Setyaki dan Patih Udawa.

Sebelum Kresna berangkat menuju khayangan, Bima telah


mendahuluinya. Kesatria Pandawa itu sangat penasaran
ingin mencoba kesaktian Prabu Kuncoro Manik. Selain
itu ia ingin tahu apa maksud perintah-perintah aneh
yang telah dikeluarkan oleh penguasa baru itu.

Sebelum berangkat ke khayangan, Kresna membelokan arah


perjalanannya menuju ke Jakarta. Di dalam visinya, ia
melihat cahaya kemenangan datang dari seorang yang
berada di kota itu. Orang itulah yang nantinya sanggup
melawan kesaktian Prabu Kuncoro Manik.

Kota Jakarta adalah ibukota Indonesia. Sebuah sosok


ibukota yang tengah dilanda keprihatinan panjang. Para
pemimpin dan elit kekuasaan yang tengah berkuasa,
menggunakan uang, propaganda, dan tekanan untuk
mempertahankan kekuasaannya. Tak peduli mereka dari
golongan kanan, kiri, maupun tengah. Akhirnya selalu
saja rakyat yang jadi korban.

Walaupun sebagian rakyat semakin pintar dalam memilih


siapa pemimpin yang mampu membawa kemakmuran, sebagian
lagi masih suka tertipu oleh para demagog-demagog
bermulut manis. Mereka ini para srigala berbulu domba.

Prabu Kresna tidak mau ikut campur urusan dalam negri


rakyat Indonesia. Ia datang ke negeri ini hanya untuk
mencari seseorang. Supaya tidak dikenal dan
menimbulkan kegegeran, ia sengaja datang dengan
berpura-pura sebagai seorang businessmen. Walaupun
begitu, ternyata proses pencarian tidaklah mudah.

Sosok yang dicari Prabu Kresna adalah seseorang yang


sedang “Tapa Ngrame”, yaitu bertapa mirip seorang yang
sinting (gila). Tapi ternyata orang yang gila, baik
yang betulan maupun berpura-pura, banyak. Belum lagi
yang gila harta maupun kekuasaan. Orang yang gila
harta maupun kekuasaan ini terutama muncul pada
masa-masa pemilihan umum seperti sekarang ini.

Prabu Kresna sadar bahwa misi yang diembannya tidak


mudah. Namun ia tidak putus asa, karena tahu semua ini
dilakukan demi kemanusiaan. Kalau sampai gagal, maka
masalah kekusutan jagat raya akan terus berlangsung.

Ia datangi sebuah Bajaj. Sopirnya baru saja selesai


makan di Warung Tegal. Setelah bernegosiasi, sopir itu
setuju dirinya dan kendaraannya disewa jam-jaman.
Sedangkan bensinnya, menurut perjanjian, ditanggung
oleh penumpangnya.

Kendaraan penumpang roda tiga ini memang benar-benar


unik. Getarannya bagaikan getaran mesin untuk terapi
tulang bagi mereka yang baru saja mengalami
kecelakaan. Bunyi mesinnya memekakkan telinga, hingga
terkadang harus berteriak jika ingin bicara dengan
sopirnya.

Setelah dua jam dibawa berkeliling kota, akhirnya


Prabu Kresna tahu latar belakang kehidupan sang sopir.
Sopir itu bercerita bahwa namanya: Georgio Sasimi
Waluyo. Ia kelahiran Atlanta, di negara bagian
Georgia, di Amerika Serikat sebelah timur. Bapak dan
ibunya adalah perantauan dari Indonesia yang ketemu
saat mereka kerja di restoran Jepang.

Waktu ada NSEERS, bapaknya mendaftarkan diri ke INS


(Immigration Naturalization Services). Padahal sudah
diperingatkan teman-temannya supaya nggak usah
ndaftar. Banyak teman-temannya yang ‘go underground’.
NSEERS adalah program yang dilakukan oleh pemerintah
Amrik untuk mendaftar pada pendatang dari beberapa
negara. Karena kurang populer dan dianggap rasis,
akhirnya program ini dirubah menjadi pendaftaran sidik
jari di airport.

Akhirnya bapaknya ditahan oleh INS karena ketahuan


sebagai pendatang ilegal. Pada waktu bapaknya berada
di tahanan INS itulah Georgio lahir. Beberapa bulan
kemudian bapaknya dideportasi. Sebelum dideportasi,
bapaknya mewanti-wanti ibunya agar bertahan di Amrik.
Pertama, karena wanita tidak masuk dalam program
NSEERS. Kedua, ibunya disuruh mengumpulkan uang
banyak-banyak supaya bisa dijadikan modal kalo pulang
nanti.

Dua tahun kemudian Georgio dan ibunya pulang ke Indo.


Tapi bapaknya ternyata sudah ngabur dengan wanita
lain. Akhirnya, Georgio kecil dititipkan pada
neneknya, di Mojokerto. Sedangkan ibunya kawin lagi
dengan pegawai asing World Bank yang kebetulan sedang
mengadakan studi pengairan sawah di daerah Jawa Timur.
Baik ibu maupun bapaknya tak terdengar lagi kabar
beritanya sampai kini.

Ketika sedang asyik mendengarkan cerita tentang masa


lalu Georgio, di daerah Salemba, Prabu Kresna melihat
sebuah cahaya dari arah Pasar Senen. Ia minta Georgio
untuk membawanya kesana. Benar saja. Di perempatan
Kwitang, seorang gila sedang duduk-duduk di pinggir
jalan. Orang yang lalu lalang bersikap acuh tak acuh
terhadap orang gila itu.

Setelah membayar ongkos Bajaj, ia datangi orang gila


itu. Pakaiannya rombeng dan dekil. Jelas yang ini
bukan orang yang gila kekuasaan. Apalagi baunya
seperti bau sampah di Cilincing. Sedangkan orang yang
gila kekuasaan, baunya pasti Christian Dior.

Ketika Prabu Kresna mendekati orang gila, banyak orang


yang mula-mula heran dan memperhatikannya. Namun
kemudian orang-orang itu kembali tak acuh. Mereka
sibuk dengan urusannya masing-masing.

Orang gila itu terbangun dari tidurnya. Waktu


bergerak, lalat-lalat yang tadi sempat berpesta di
atas tubuh pada berterbangan. Ia tatap tamunya dengan
padang curiga. Tetapi tiba-tiba keluar tawa yang
berderai:
“Huahahahahhahahaha...hehehehe...hohohoho....hahahaha.....”

Bethara Kresna membiarkan orang gila itu tertawa


sepuasnya. Mendengar tawa nyaring, orang-orang yang
lalu lalang berhenti seketika. Mereka cukup heran
karena ada orang berpakaian necis sedang ditertawai
oleh seorang gembel gila. Pada raut wajah mereka
seakan bertanya curiga: Ini siapa yang gila? Apa
jangan-jangan dua-duanya gila?

Tapi ketika terlihat tak ada kejadian istimewa,


orang-orang itu kembali pada kegiatannya. Dalam benak
mereka telah terpatri ucapan penghakiman: aku baru
saja ngelihat dua orang gila, yang satu pakai pakaian
necis (mungkin pejabat yang lagi stress), yang satunya
lagi gembel abis.

“Wahahahahaha...seorang raja berpura-pura menjadi


kawula..hehehe...jaman edan...hoho...memang jaman
edan...raja edan..kawula gendeng...hehehehe...” kata
orang gila itu terbahak-bahak.

Prabu Kresna tahu penyamarannya telah diketahui. Ia


kini semakin yakin bahwa gembel gila di hadapannya ini
adalah benar orang yang dicarinya. Setelah situasi
sekeliling tempat itu agak sepi, maka mulailah ia
bicara: “Benar, bung. Saya Kresna dari Darawati. Siapa
nama panggilan, bung?”

“Hehehehehohoho...raja mau coba


berpura-pura...hehehehe...Tanya nama? Namaku George
Busss..percaya nggak? Lho, nggak percaya? Oke deh,
Sadam Ngusèn...hayo percaya nggak? Lho nggak percaya
lagi...oke deh Joyo Lelono Mangku Rondo
Sedoso...hehehe yang ini asli-sli..hehe”

“Bung Joyo Lelono, aku datang jauh-jauh bukan hanya


sekedar lewat. Aku ingin minta bantuanmu. Di khayangan
saat ini bertahta seseorang yang bernama Prabu Kuncoro
Manik. Aku minta tolong supaya engkau mengalahkannya.
Dalam visiku, cuma engkaulah yang mampu. Dan kalau
engkau bisa mengalahkannya, apapun yang kau minta akan
aku penuhi...”

“Hahahihihi...ada raja kepèpèt...hohoho..ada raja


dèsperet hehe...tapi mong-ngomong boleh juga deh
tawarannya...semua permintaan dipenuhi...ah jadi
Presiden ah..hehehe..”

Akhirnya Kresna mengungkapkan keadaan yang sebenarnya.


Ia ceritakan bahwa jagat raya saat ini sedang dilanda
kekusutan. Sedangkan untuk mengurai kekusutan itu,
salah satunya adalah menggulingkan tahta Prabu Kuncoro
Manik.

Walaupun nampak main-main dan selalu cengingisan, tapi


rupanya orang gila itu mendengarkan keluhan Prabu
Kresna dengan serius.
“Hohohhoho..akur...hehe..cocok...kalau gitu aku
berangkat sekarang juga. Hei, Prabu Kuncoro Manuk eh
Manik! Duduk yang nikmat kau di singgasanamu. Aku
melihat, aku datang, aku menang...hohoho...”

Dengan sempoyongan orang gila itu tiba-tiba berdiri.


Tanpa menunggu aba-aba ia terbang melesat ke angkasa.
Prabu Kresna kaget bukan main. Ia tak menyangka kalo
orang gila itu bisa terbang. Terpaksa ia buru-buru ke
pangkalan udara Halim Perdana Kusuma. Disana ia
menyewa pesawat Sukhoi. Setelah tawar menawar,
akhirnya harga disetujui bersama. Tujuan Prabu Kresna
hanyalah satu: menyusul Joyo Lelono ke khayangan.

Tapi begitu sampai di langit ke empat, pesawat Sukhoi


yang disewanya ternyata sudah mulai batuk-batuk. Prabu
Kresna bertanya pada pilotnya, ada apa dengan pesawat
yang mereka tumpangi. Dengan santai dijawab, bahwa
harga bensin saat ini kebetulan naik, jadi tadi
ngisinya pas-pasan. Selain itu, lama ditunggu-tunggu,
onderdil pesawat ini belum datang juga. Padahal minyak
kelapa sawit sudah terlanjur dikapalkan untuk
membayarnya.

Karena kawatir, Prabu Kresna minta diturunkan saja di


langit ke lima. Kebetulan sekali disitu banyak ojek.
Setelah diamat-amati ternyata para supir ojeknya
adalah para dewa yang lagi pada ngobyek. Rupanya jaman
memang bener-bener lagi susah, hingga para dewapun
terpaksa ngojek.

Ternyata tidak mudah mengatur khayangan. Birokrasi dan


KKN di kerajaan para dewa itu sudah mendarah daging di
tubuh. Dan juga telah membudaya, sulit untuk
dihapuskan. Hingga penduduk disitu menganggapnya
sebagai sebuah kewajaran. Malahan jika ada dewa yang
berlaku idealis, jujur, atau bersih dalam tindakannya,
dianggap sebagai dewa yang aneh, dewa yang bodoh, atau
dewa yang tak tahu memanfaatkan kesempatan.

Cara para dewa ber-KKN juga macam-macam. Ada yang


dengan cara kasar, ada pula yang bercara halus,
sehingga hampir tidak kentara. Selain itu, segala
sesuatunya, bahkan bantuan kepada pihak yang lain
sekalipun, diperhitungkan. Bantuan selalu dihubungkan
dengan pamrih, dihubungkan dengan maksud-maksud
tertentu. Bantuan adalah hutang yang tersamar.

Namun pemimpin khayangan yang baru, Prabu Kuncoro


Manik, adalah sosok yang tegar. Karena kesaktiannya
ditakuti, maka segala perintahnya dituruti. Ia memang
bukan tipe seorang pemimpin yang penuh kharisma. Tapi
paling tidak dia punya pendirian. Jadi tidak mudah
dipengaruhi oleh orang lain.

Raja baru itu juga telah mulai memperbaiki


pemerintahannya. Para dewa pembantunya semuanya
didudukkan sama rata. Semuanya diberi perhatian yang
sama. Tidak ada yang diberi perhatian lebih. Tak ada
yang dimanja. Ia tahu, kemanjaan hanya akan melahirkan
kemalasan.

Di paseban agung itu, Prabu Kuncoro Manik duduk


terdiam di singgasananya. Dalam benaknya penuh dengan
rencana-rencana yang belum diwujudkannya. Karena raja
belum berkenan bersabda, para kawulanyapun masih pada
ikut termangu-mangu.

Tiba-tiba nampak mobil butut Toyota Corolla tahun 1988


datang dan parkir di halaman istana. Dari dalam mobil
keluar Begawan Pulasara. Begitu keluar dari mobil,
sang begawan langsung menuju ke istana. Ia mengendarai
mobil itu sendirian. Selama ini ia memang ditawari
sopir, tapi selalu menjawab bahwa ia lebih senang
nyetir sendiri.

Lima belas menit kemudian menyusul rombongan


mobil-mobil keren. Paling depan nampak mobil Mercedes
Benz merek terbaru warna hitam. Di dekat lampu samping
nampak bendera berpanji-panji Jonggring Saloka. Mereka
yang miskin tentu akan terkagum-kagum melihat
pemandangan megah dan mewah itu. Dari dalam mobil
keluar Dewa Narada, disusul Dewa Yamadipati yang
meringis kesakitan. Mukanya bengep dan tangan kanannya
kelihatan di gibs. Merekapun langsung menuju ke
paseban agung.

Prabu Kuncoro Manik menerima mereka semua dengan muka


cerah. Ia memang sedang menantikan para pemuka
kerajaan ini kembali dari tugasnya masing-masing. Tapi
kecerahan wajahnya seketika lenyap dan berubah menjadi
keheranan. Dihadapannya nampak Dewa Yamadipati yang
babak belur nggak karuan. Selain itu ia lihat wajah
Bethara Narada nampak muram.

“Bagaimana khabar Paman Pulasara? Apakah tugas yang


paman laksanakan berhasil?” tanya Kuncoro Manik.

“Sesuai seperti rencana kita, nak. Aku berhasil


memboyong Dewi Banowati ke khayangan. Saat ini ia ada
di keputren,” jawab Begawan Pulasara tenang, mantap.
Keputren adalah tempat yang dikhususkan untuk para
wanita, termasuk permaisuri dan selir, di dalam
komplek istana.

“Hmmm, bagus. Selamat,” ucap Prabu Kuncoro Manik.


Lalu, ia tatap Bethara Narada dan Yamadipati secara
bergantian. “Terus gimana dengan Prabu Kresna? Apa
tugas sudah dilaksanakan dengan berhasil?”
Bethara Narada nampak gelisah. Pertanyaan Prabu
Kuncoro Manik terasa menohok ulu hatinya. Napas tuanya
tersengal-sengal. Sudah terbayang di angannya Kawah
Candradimuka yang panas menggelegak. Semua ini
gara-gara tugasnya gagal. Memang tidak gagal total,
tapi memang tidak sesuai dengan kemauan rajanya. Dan
itu artinya sama saja dengan gagal.

“Begini, nak,” kata Narada mencoba mencari alasan.


“Kresna akan datang sendirian kemari. Kami sudah
berusaha membujuknya, tapi dia nggak mau. Katanya,
takut dibilang menyerahkan diri. Kalo kami paksakan
lagi, kami takut hasilnya malah nihil. Atau keadaannya
tambah parah. Soalnya belum ketemu Bethara Kresna saja
kita sudah dihadang Bima dan Setyaki. Kalo nggak
percaya lihat saja tuh hasilnya. Yamadipati sampai
babak belur kayak gitu.”

Prabu Kuncoro Manik dalam hati tersenyum melihat Dewa


Yamadipati. Dewa yang satu itu memang terkadang
terlalu sombong. Mentang-mentang tugasnya mencabut
nyawa orang, terus mau bertindak seenak perutnya. Nah,
sekarang rupanya dia kena batunya. Dia merasakan lagi
bahwa dewa nggak selamanya sakti terus. Apalagi kalau
kesaktian itu dipergunakan untuk pamer-pameran, untuk
menyombongkan diri. Kalau dia lagi sial, dia tetap
bakal kena sial.

“Oke deh. Kali ini gua maafkan. Tapi besok-besok gua


nggak tahu dah....” Belum sampai Prabu Kuncoro Manik
mengakhiri kalimatnya, tiba-tiba datang dayang
kerajaan dari arah keputren. Begitu sampai di depan
raja, ia segera menjatuhkan diri dan menyembah. Nafas
terengah-engah seperti habis dikejar setan.

Suasana paseban goncang. Beberapa petinggi kerajaan


sudah pada memegang senjatanya masing-masing. Prabu
Kuncoro Manik sendiri kaget: “Eh, kenapa nih? Bocah
emban, elu kok lari-lari gitu emangnya ada apa?”

“Ampun gusti...mohon ampun paduka...mau...lapor,” kata


dayang istana sambil berusaha mengatur nafasnya.
Rambutnya yang panjang dibiarkannya tegerai. “Ampun
gusti. Ada tamu-tamu tidak diundang masuk ke
keputren.”

Kembali semua yang ada di paseban agung, termasuk


Kuncoro Manik, kaget bukan main.
“Siapakah mereka?”

Belum sempat pertanyaan itu terjawab, datang pula


kepala pengawal istana dengan tergopoh-gopoh. Sambil
menyembah ia berkata: “Gusti, di depan kerajaan tengah
mengamuk seorang kesatria yang mengaku bernama
Bimasena. Sampai sekarang belum ada yang mampu
menangkapnya.”

Rupanya dua musuh datang sekaligus. Yang satu berhasil


masuk dari belakang komplek istana, langsung ke
keputren. Yang lainnya sedang berusaha masuk melalui
gerbang depan. “Udah sekarang gini aja. Paman Begawan
Pulasara dan Ayahnda Bethara Guru tangkap tamu yang di
keputren, biar gua hadapi Bimasena di gerbang istana.
Yang lainnya berjaga-jaga di dalam,” titah Prabu
Kuncoro Manik.

Maka pertemuan di paseban agung itu bubar. Di tengah


jalan menuju ke keputren Begawan Pulasara dan Bethara
Guru memisahkan diri untuk mengepung musuh. Yang satu
lewat gerbang sebelah barat, yang lain lewat sebelah
timur.
Ketika Bethara Guru sampai di pintu gerbang timur
keputren, ia bertemu Ki Lurah Semar. Terkaget-kaget ia
bertanya: “Lho, kakang Semar kok ada disini?”

“Memang dari tadi saya disini kok. Lha, sampeyan mau


kemana, kok bawa-bawa golok segala?” tanya Semar.

“Aku ingin menangkap tamu tak diundang,” jawab Bethara


Guru nampak terburu-buru sambil terus nengok kiri dan
kanan. “Katanya ia sedang bersembunyi di keputren,
kang. Apa kang Semar lihat? Nggak lihat? Oke, kalo
gitu permisi dulu, kang,” jawab Bethara Guru.

“Eeeeiitt, entar dulu. Main permisi-permisi aja. Tahu


nggak, tamu tak diundang yang ada di dalam yang
sampeyan maksud itu adalah boss saya sendiri, Arjuna.
Sampeyan tak boleh masuk kesana, karena dia sedang ada
urusan penting,” kata Semar.

“Kang, aku dapat perintah menangkap tamu tak diundang


itu. Aku tak ada urusan denganmu. Nah, sekarang
permisi aku mau lewat, kang.”

“Siapa bilang nggak ada urusan sama saya. Kalau


sampeyan mau menangkap boss saya berarti mau berurusan
dengan saya juga dong,” kata Semar acuh.

Semar, yang tak lain adalah Bethara Ismoyo, sebenarnya


sedang siaga dan mengambil ancang-ancang. Ia tahu
bahwa bekas penguasa Jonggring Saloka yang ada di
depannya inilah yang menyebabkan kekusutan dunia saat
ini. Dan sekarang ia sedang stress. Orang stress
biasanya tindakannya nekat. Maka ia berjaga-jaga. Tak
lupa perutnya dia tekan-tekan supaya mules.

Muka Bethara Guru memerah karena marah. Bekas penguasa


Jonggring Saloka itu merasa disepelekan. Ia tak bisa
menerima hal itu. Egonya sebagai seseorang yang pernah
memegang jabatan yang tinggi ternyata masih tetap
tinggi. Ia masih menginginkan orang lain menghormati
dan menuruti segala perintahnya.

“Sekali lagi aku bilang. Kalau engkau masih mau aku


hormati, menyingkirlah. Aku tidak ada urusan
denganmu,” kata Bethara Guru kepada Semar. Nada
suaranya kini meninggi. Ketara sekali ia mulai
jengkel. Emosinya sudah mencapai unyeng-unyeng yang
tiga biji jumlahnya.

“Ya, terserah. Nggak dipanggil kakang juga nggak rugi


kok,” kata Semar enteng. “Orang kok nggak pernah mau
introspeksi. Wibawa sudah hancur kok nggak juga
sadar.”

Perkataan terakhir Semar itu benar-benar membuat


Bethara Guru geram. Emosinya meluap: “Kalau itu memang
kemauanmu terserah! Terimalah Cis Jaludara yang ada
ditanganku ini! Hiyaaaaaaattt!” Bethara Guru menyerang
sambil berusaha menebas leher Semar.

Semar mengelak kesamping. Serangan lawan mengenai


tempat yang kosong. Walaupun badan Semar gemuk dan
pendek ternyata ia cukup lincah. Banyak yang tidak
tahu kalau ia selama setahun ini rajin latihan
kebugaran tubuh di Bally’s Fitness Center, gara-gara
dokternya memperingatkan bahwa kolesterolnya mulai
naik. Selain latihan kebugaran, ia juga sering latihan
senam Taebo melalui kaset video yang dibelinya di toko
loak. “Ciaaaaaattt!!”

Dua orang dewa bertempur dengan dahsyat. Kesaktian


masing-masing sudah mencapai taraf yang sempurna.
Bethara Guru mengayunkan senjatanya, mirip seorang
guru sekolah di Indonesia yang sedang berusaha
menghajar muridnya yang bebal. Sedangkan Semar, Sang
Bethara Ismoyo yang menyamar menjadi manusia, terus
meloncat-loncar dengan lincah bagai kodok bangkong.

Ketika Semar balas menyerang, dalam beberapa gebrakan


saja lawannya sudah nampak kewalahan. Napasnya mulai
kelihatan ngos-ngosan. Fisik lawan yang kelihatan
segar itu ternyata bervitalitas rendah. Rupanya
semenjak tidak memangku jabatan tinggi, kerjanya cuman
makan enak dan tidur.

“Hiaaattt...Pleettakk!” Ketika ada ruang pertahanan


musuh yang kosong, Semar melemparkan jitakannya. Jari
tengahnya yang memakai batu cincin kecubung sebesar
biji salak mendarat tepat di jidat musuh. Jitakan itu
demikian keras dan bertenaga dalam besar, sehingga
membuat lawannya terhuyung-huyung sebelum jatuh
terjengkang.

Semar mendekati lawan yang masih pening dan sedang


berusaha untuk duduk itu. Lalu, tanpa pikir panjang ia
membalikkan diri dan kentut dengan sekeras-kerasnya.
Itulah senjata Semar paling mutakhir. Kentut itu bukan
sembarang kentut. Kentut itu mengandung gas Mustard
berbahaya seperti milik tentara Jepang pada perang
dunia ke dua, yang masih ditemukan di sebuah desa di
negeri Cina baru-baru ini.

Melihat bahaya sedang mengancam, Bethara Guru langsung


ngabur. Cis Jaludara, dan bahkan sepatunya yang tadi
mental dari tapak kakinya, ditinggalkannya begitu
saja. Kaburnya norak, seperti maling ABG yang ketahuan
habis nyengget celana Levis seorang hansip yang sedang
dijemur.

“Hei, lari kemana kamu, Bethara Guru?! Hayo, sini, kok


malah kabur?!” teriak Semar sambil terpontang-panting
berusaha mengejar musuhnya. Kalo urusan lari, tentu ia
kalah sama musuhnya. Makanya jarak antara dirinya dan
musuhnya makin terlihat jauh.

Sementara itu di dalam keputren, Arjuna tengah


berusaha untuk meyakinkan Dewi Banowati supaya mau
kembali ke Astina. Tapi tampaknya Dewi Banowati
merajuk. Ia kesal Arjuna tak pernah datang
menengoknya.

“Cinta bukan berarti harus memiliki, mbak,” demikian


Arjuna pernah berkata kepada Banowati suatu kali
ketika mereka sedang berdua saja. Waktu mengungkapkan
hal itu, Arjuna sedang berada di Astina dengan alasan
ingin menghadap Prabu Duryudana.

Kata Arjuna selanjutnya: “Biarlah cinta yang bersemi


diantara kita, menjadi pupuk bagi kehidupan kita
masing-masing. Dan tentunya kita mengharap bahwa pupuk
itu adalah pupuk yang baik. Karena, pupuk yang baik
tentu akan menyuburkan.”

Ungkapan Arjuna itu meneteskan air di mata Dewi


Banowati. Permaisuri Astina itu nampak kecewa.

Rupanya rasa cinta telah tumbuh antara keduanya sejak


dahulu kala, ketika mereka masing-masing belum kawin.
Namun kodrat nampaknya lebih berjaya.

Arjuna selanjutnya menikah dengan Dewi Subadra dan


Dewi Srikandi. Dewi Subadra satu halus budi bahasanya
dan juga bijaksana. Sedangkan Srikandi, selain tomboy,
juga jujur dan pemberani. Kalau ia ikutan “Gay Parade”
pasti bakal ditaksir berat sama lesbian-lesbian.

Lain lagi ceritanya Dewi Banowati. Perikahannya dengan


Prabu Duryudana, kurang membahagiakan.

“Jadi pulanglah, mbak,” kata Arjuna penuh kesabaran.


“Prabu Duryudana membutuhkanmu. Kerajaan Astina
membutuhkanmu.”

“Ah, itu bohong!” pekik Dewi Banowati. “Prabu


Duryudana memang memanjakan diriku dan menuruti segala
apa yang aku minta. Tapi kan bukan cuma kemewahan dan
keenakan hidup yang aku harapkan. Aku terutama sekali
mengharapkan pengertian dan rasa saling menghormati.
Kedua hal itu tak bisa aku dapatkan.
“Aku cuma jadi burung dalam sangkar emas. Prabu
Duryudana lebih suka mendengarkan omongan ibunya,
Dewi Gendari, daripada omonganku. Kalau ibunya yang
ngomong dan memerintah, langsung ia kerjakan. Tapi
kalau aku? Boro-boro dikerjakan, didengarkanpun tidak.
Lalu apa fungsiku? Cuma sebagai pajangan?”

Arjuna tahu bahwa Dewi Banowati sedang berusaha


menumpahkan segala beban yang ada dalam hatinya. Maka
ia mencoba mendengarkan sebaik-baiknya. Di buku yang
pernah dibacanya, ia tahu, jika seorang wanita sedang
“curhat” sebaiknya didengarkan tanpa dikomentari.
Wanita biasanya akan merasa “ringan” kalau telah
berhasil melepaskan semua unek-uneknya.

Kata Dewi Banowati lagi: “Lalu kau bilang kerajaan


Astina membutuhkan aku? Membutuhkan apa? Sedangkan
pendidikan anak-anakkupun aku tak punya hak untuk ikut
campur. Semuanya ditangani oleh suamiku, tentu dengan
nasehat mertuaku. Nah, hasilnya engkau tahu sendiri
kan? Anak-anakku pada jadi anak manja dan bandelnya
minta ampun. Kerjanya bolos sekolah, nge-club dan
mabuk-mabukan seperti bapaknya. Sedang yang perempuan
kerjanya cuma pada belanja melulu.

“Anak-anak itu, karena juga belajar dari lingkungan


sekeliling bapaknya, menjadi anak-anak yang penjilat,
hipokrit, dan juga mata duitan. Kentara sekali bakalan
pada jadi koruptor kayak bapaknya. Apa jadinya mereka
nanti setelah besar? Bagaimana jadinya nanti kerajaan
ini jika sudah diwariskan pada mereka?”

Arjuna diam saja tidak berkomentar. Ia tidak ingin


menambah ruwet suasana. Sebenarnya ia ingin
mengingatkan, bahwa kerajaan Astina yang sekarang
dikangkangi keluarga Kurawa itu sebenarnya adalah
milik Pandawa. Tapi ia diam saja.

Selain itu Arjuna agak gerah juga ketika melihat


kancing di dada Banowati yang terbuka tak sengaja di
bagian dada. Walaupun tak pernah operasi plastik, dada
ratu Astina itu memang tak kalah sama dadanya Pamela
Anderson. Pemain filem serial “Baywatch”.

Waktu Arjuna masih berusaha menyakinkan Dewi Banowati


untuk kembali ke Astina, dari arah pintu gerbang
keputren muncul Begawan Pulasara. Sikapnya nampak
biasa seperti tidak terjadi apa-apa. Lalu, ia hampiri
orang yang dicarinya : “Arjuna, menyerahlah. Aku mau
menangkapmu.”

“Lho, dari mana engkau tahu namaku? Kamu ini siapa


ya?” tanya Arjuna terheran-heran. Rasa-rasanya, ia
baru pertama kali ini bertemu dengan rohaniwan
sederhana ini.

“Jangankan namamu, latar belakangmu maupun sikapmupun


aku sudah tahu. Ketahuilah, namaku Begawan Pulasara.”

Arjuna kini menjadi semakin waspada. Ia dapat


merasakan bahwa pendita dihadapannya ini bukan orang
sembarangan. “Baik, silahkan saja menangkapku asal
mampu melangkahi mayatku dulu.” “Hiyyaaatt!!”

Arjuna menyerang dengan jurus “Janda Kembang”. Ia


dapatkan jurus itu dari seorang guru silat di daerah
Depok. Jurus ampuh itu kebanyakan dipelajari oleh
wanita. Tapi karena potongan badan dan sikap kesatria
Pandawa itu lemah gemulai, maka jurus itu cocok
dipelajarinya.

Pertempuran itu berlangsung dahsyat dan membuat


keputren porak poranda. Bedak dan gincu tercecer
dimana-mana. Tak ketinggalan beha-beha dan segitiga
pengaman wanita yang sedang dijemur tersangkut
sekenanya.

Dengan sebuah gerakan yang kasat mata, Begawan


Pulasara berhasil membekuk Arjuna. Kedua tangannya ia
borgol kebelakang.

“Bapa Begawan, kakang Arjuna jangan diapa-apakan!”


teriak Dewi Banowati tiba-tiba. Wajahnya penuh
kekawatiran.

Begawan Pulasara mula-mula kaget akan sikap Banowati,


tapi kemudian ia mengerti. Ia tahu akan arti sikap
itu. Sudah bukan rahasia umum lagi kalau Permaisuri
Astina itu naksir berat Arjuna.

Angin berhembus lembut. Memainkan umbul-umbul keputren


yang compang-camping. Kibarannya yang lemah bagaikan
lambaian tangan bidadari yang tengah menari Serimpi.
Empat tiang-tiang penyangga keputren patah-patah.
Suasana keputren kini benar-benar terlihat
menyedihkan. Lebih mirip daerah kaki lima yang habis
diacak-acak polisi pamong praja, ketimbang tempat
tinggal para dewi dan bethari.

Suara gemericik air pancuran di kolam kecil terdengar


menyejukkan. Di tempat itu, kini tinggal mereka betiga
saja. Para dewi dan bethari serta dayang-dayang sudah
pada bubar entah kemana. Sedangkan para pengawal
tempat itu semua ditarik ke gerbang istana untuk
menghadapi rombongan Bimasena.

“Banowati,” kata Begawan Pulasara. “Sudah sepatutnya


seorang yang masuk tanpa ijin ke dalam sebuah rumah
harus ditangkap. Ia bisa dikategorikan maling. Dan
maling ini harus diserahkan kepada pemilik rumah itu
untuk ditanya apa keperluannya.”

“Saya mengerti hal itu. Tapi kedatangan kakang Arjuna


adalah untuk menyelamatkan saya. Karena mungkin dia
kira kepergian saya bukan karena kehendak saya. Ia
mengira, saya dalam keadaan bahaya, Bapa Begawan,”
desah suara rintihan Dewi Banowati.

“Ya, tapi Arjuna harus tetap dihadapkan dulu pada


Prabu Kunco Manik.”

“Kalo begitu biar saya ikut serta. Karena kesalahan


kakang Arjuna sebagian menjadi tanggung jawab saya.
Kakang Arjuna tidak mungkin kemari kalau bukan karena
saya berada disini,” kata Banowati sambil menyerahkan
kedua tangannya.

“Baik kalo itu permintaanmu.” Setelah memborgol juga


tangan Dewi Banowati, Begawan Pulasara membawa segera
membawa kedua orang itu untuk diserahkan pada rajanya.

Bima datang dengan rombongannya. Tidak banyak, hanya


sepuluh orang. Di tengah-tengah perjalanan tadi ia
sempat bertemu Bethara Guru. Napas dewa itu
terengah-engah sedangkan jidatnya kelihatan benjol.
Setelah menyembah, sebagaimana harusnya seorang
manusia menyembah pada dewa manapun, Bima bertanya:
“Lho, kakek Guru kok lari-lari kayak dikejar hansip
emangnya ada apa?”

“Oh, nggak apa-apa kok. Aku lagi jogging, soalnya kata


dokter kolesterolku naik. Jidatku memar karena tadi
kesandung dan jatuh dekat gapura,” kata Bethara Guru
mencoba menutupi peristiwa yang sebenarnya. “Kamu sama
rombonganmu mau kemana, nak?”

“Gua mau ke istana elu. Apa benar yang berkuasa


sekarang namanya Kuncoro Manik?”

“Ya..ya..benar nak. Ia memang yang sekarang bertahta


disana....”

“Hmm, katanya dia juga yang mau menggagalkan perang


Baratha Yudha. Kalo gitu biar gua usir dia. Enak aja
bikin perintah yang kagak-kagak, bikin keputusan yang
aneh. Mentang-mentang baru dapet kekuasaan. Apa dia
kagak sadar kalo bakal nyalahin kodrat?” Bima
menampakkan kegeramannya. “Kalau dia kagak mau turun
tahta, biar entar gua tendang dari kursinya...”
Mendengar rencana Bima itu, wajah Bethara Guru yang
tadi lesu berubah menjadi cerah. Rupanya telah datang
seorang kesatria yang akan mengembalikan kekuasaannya.
Benar-benar sebuah keberuntungan yang tak bisa
ditampik.

“Wah, anakku Bima. Engkau memang kesatria yang berbudi


luhur, karena itu aku percaya pada sikap dan sifatmu.
Kalau engkau mampu mengalahkan Kuncoro Manik, aku
bakal memberimu hadiah. Nantinya engkau akan aku
berikan tempat tersendiri di langit ke tujuh. Kalo
perlu engkau bakal tak beri jabatan. Dan juga
senjata-senjata yang sakti milik kahyangan bakal aku
wariskan kepadamu,” kata Bethara Guru mencoba
meyakinkan.

Untuk kesatria yang suka jabatan, kedudukan dan


hadiah, ucapan Bethara Guru itu tentu akan memberikan
rangsangan tersendiri. Namun tidaklah demikian dengan
Bima. Ia bukan tipe kesatria seperti itu. Seorang
kesatria sejati biasanya tahu dan berhati-hati, bahwa
dibalik sanjungan dan hadiah, biasanya ada makian dan
tuntutan balas budi. Tipu muslihat.

Rupanya Prabu Kuncoro Manik sudah menunggu Bima dan


rombongan di pintu gerbang istananya. Ia berdiri
paling depan dengan tangan bertolak pinggang. Kainnya
berkibar dimainkan angin yang bertiup ringan. Gagah.
Percaya Diri. Tak ada terlintas keraguan pada
wajahnya.

“Hei, stop dulu disini!” teriak Prabu Kuncoro Manik


mengankat tangan kanannya. “Kok mirip orang pada mau
nggrebek perjudian. Elu-elu ini pada mau kemana,
bung!”

Dengan wajah mrengut Bima berteriak bergemuruh: “Gua


mau mencari penguasa baru negeri ini yang namanya
Kuncoro Manik! Suruh dia turun tahta, kalo nggak mau
gua tebalikin entar!”

“Hehehe gua udah tahu elu bakal cari gua. Nih, gua
Kuncoro Manik. Enak aja elu mau tebalikin orang
sembarangan. Nah, gini aja. Gua saranin mendingan elu
sama rombongan balik aja deh. Disini lagi banyak
masalah.”

“Kurang ajal, lu! Kalo gitu, terima nih bogem mentah


gua! Heeaaaattt!!” Beriring dengan teriakan itu, Bima
melabrak musuhnya. Ia memakai jurus Kuku Bima.
Serangannya bagaikan amukan seekor badak yang marah
karena betinanya ada yang membawa pergi.

Mengetahui lawannya menyerang tanpa ampun, Prabu


Kuncoro Manik tidak tinggal diam. Ia keluarkan semua
ilmu andalannya, termasuk yang telah diajarkan oleh
pamannya, Bagawan Pulasara. Dan jurus-jurus yang
dimiliki penguasa kahyangan itu memang dahsyat.
Lawannya kelihatan terdesak biar bentuk fisiknya jauh
lebih besar dibandingkan dirinya.

“Hiyaaaa!!” “Dezzz!!” Dengan sebuah gebrakan Prabu


Kuncoro Manik berhasil menjatuhkan dan membekuk
lawannya. Bersama jatuhnya kepala rombongan, para anak
buahnya satu per satu jatuh pula ke tangan para
pengawal Jonggring Saloka. Jumlah mereka kalah jauh.

Prabu Kuncoro Manik segera memerintahkan anak buahnya


agar membawa tawanan mereka ke rumah tahanan Salemba.
Setelah semua beres ia segera kembali ke istana.

Ketika penguasa Jonggring Saloka itu berbalik,


tiba-tiba angin kencang bertiup dari belakang. Angin
aneh yang entah dari mana datangnya itu dibarengi
dengan suara tawa yang menggelegar: “Huehehe...
huaahaha... ada raja baru..hehehe..baru jadi raja
sudah banyak tingkah...hehehe!!!”

Seorang gelandangan tampak bersender santai pada


gapura pintu gerbang istana. Suaranya terdengar
nyaring, pertanda ia punya tenaga dalam yang telah
sempurna. Gelandangan itu nampak menggaruk-garuk
rambutnya yang kotor. Seperti ada segerombolan kutu di
kepala yang nekat tak mau minggat dari tempatnya.
Prabu Kuncoro Manik berbalik menghampiri gelandangan
yang nampak acuh di pintu gerbang istana. Perasaannya
mengatakan bawa gelandangan itu bukan sembarang
gelandangan. Keberaniannya datang sendirian ke
Jonggring Saloka dan tak terdeteksi telah membuktikan
bahwa ia seorang kesatria sakti.

“Hai, bung!” sapa Prabu Kuncoro Manik. “Kalau elu


haus, atau lapar pengen makan, masuk aja ke dalem.
Entar tinggal gua bilang ama yang di dalem bahwa elu
tamu gua....”

“Hohohehe...haus? Malu ah? Haus kekuasaan baru


malu-maluin namanya..haha...” jawab gelandangan itu
cek bebek. Sikapnya sungguh menyebalkan.

“Atau elu mau istirahat? Mau ganti pakaian? Silahkan


masuk aja ke dalem. Minta saja ke dalam. Beri tahu
mereka, bahwa itu atas perintah Prabu Kuncoro Manik.”

“Ganti pakaian? Istirahat di sofa empuk? Hahaha pasti


asyiiikk? Enak ya kalau lagi
berkuasa...hehehe..tinggal ngomong semua orang
nurut..hehe.. kalau udah gitu bisa lupa
diri..asyiiikk..hehehe...”

Prabu Kuncoro Manik semakin tak mengerti omongan ngaco


tamu yang tak diundang itu. Namun makna kata-kata
gelandangan itu jelas-jelas menyindir dirinya sebagai
raja yang sedang berkuasa. Biarpun gayanya dibikin
gendeng. Jaman sekarang memang lagi banyak orang
gendeng yang gaya bicaranya waras. Tapi tak sedikit
juga orang yang waras tapi gaya bicaranya kayak orang
gendeng.
Sambil garuk-garuk betis, gelandangan itu mulai ngoceh
lagi: “Hahaha...orang berkuasa biasanya bukan cuma
gampang ngelupa’in sesama, tapi juga lupa
diri...hehehe...orang punya pengaruh biasanya suka
maksa’in kehendaknya... hehehehe...”

“Ah, udahlah gua kagak ngarti maksud elu apa,” kata


Prabu Kuncoro Manik. “Sebenernya elu ini siapa, dan
punya keperluan apa ke kahyangan sini?”

“Hehehe...asyiiikk marah nih yééé... oke, gua lagi


cari orang yang namanya Prabu Kuncoro Manik...elu tahu
nggak dia dimana...”

“Kebetulan sekali, karena orang yang lagi elu cari ada


di depan elu. Nih, gua Prabu Kuncoro Manik..”

“Hahaha...untung...hehe..ini namanya jodoh,” kata


gelandangan sambil bangkit sempoyongan. Namun wajahnya
kini nampak kegirangan. “Berhubung elu udah ngaku
siapa diri lu, nih kenalin gua. Nama gua, Begawan Joyo
Lelono. Gua utusannya Prabu Bathara Kresna. Gua kemari
untuk nendang elu dari tahta...mau nggak? Nggak mau?
Nggak mau ya udah, soalnya terpaksa harus mau
sih...hahahaha....”

Kini Kuncoro Manik samar-samar mulai bisa menebak


maksud kedatangan gelandangan ini: “Hmm, memang gua
kemarin ngirim utusan buat manggil Prabu Kresna. Kata
mereka, Raja Darawati itu mau datang sendiri kemari.
Tapi kenapa sekarang tiba-tiba dia nyuruh elu kemari?
Ini yang bikin gua heran. Udah gitu malah nyuruh gua
turun tahta segala? Kenapa? Apa gara-gara
perintah-perintah gua? Semua perintah dan keputusan
yang gua bikin itu udah final...”

“Ya kan..hehe..mau maksa’in kehendak. Emang tipikal


penguasa, kayak buah petai lupa lanjaran. Udah kagak
usah banyak ngomong lu!” kata Begawan Joyo Lelono.
Kini wajahnya berubah jadi serius. Menyeramkan.
“Sekarang tinggal memilih: mau turun tahta apa kagak.
Kalau kagak mau ya terpaksa gua turunin. Dan biasanya
kalo nurunin tahta orang, gua kagak biasa pake
demontrasi dulu lho...hahaha....”

Mendengar omongan ngaco gelandangan kesasar itu, Prabu


Kuncoro Manik semakin gemas. Ia sudah tak mampu lagi
membendung amarahnya. Gelandangan yang ngaku seorang
begawan ini benar-benar tidak punya sopan santun dan
meremehkannya. Karena itu nampaknya harus dihajar biar
sedikit punya etiket. “Hmm, jadi elu pembunuh bayaran,
ya? Datang kemari cuma mau cari ribut? Oke, bilang
sama Prabu Kresna, gua nggak mau turun tahta. Sana
pergi! Sebelum rasa kemanusiaan gua habis...”

“Hahaha....hohoho...hehe...ngusir kucing sih gampang.


Tapi jangan elu kira segampang itu ngusir
macan...jangan elu kira segampang itu ngusir Begawan
Joyo Lelono....hohohoho..”

“Emang cari mampus lu ya. Ciaaaatttt!!” Bersama dengan


teriakan itu, Prabu Kuncoro Manik melancarkan
serangannya. Bunyi pukulan itu demikian dahsyat bagai
bunyi petasan sebesar paha. “Zzddueeerrrr!!”

Anda mungkin juga menyukai