Anda di halaman 1dari 18

DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAK

Kuncoro Manik. Kecurigaannya muncul. “Hm, tapi


mong-ngomong, siapakah yang berada disampingmu itu,
nak?”

“Saya Begawan Pulasara, paduka Narada. Saya pamannya


Kuncoro Manik.”

“Lho, kalau kamu pamannya, bagaimana sampai bisa nggak


tahu orang tuanya Kuncoro Manik?”

“Begini, paduka Narada,” jawab Begawan Pulasara


memulai penjelasannya. “Kuncoro Manik saya temukan
ketika ia telah menjelang dewasa. Selama ini sayalah
yang membesarkannya, dan ia memanggil saya: paman.
Karena akhir-akhir ini ia selalu menanyakan siapa ayah
dan ibunya, maka saya bawa saja ia kemari. Menurut
perkiraan saya, tentu para dewa, yang memiliki catatan
tentang kodrat para manusia, pasti mengetahuinya.”

Mendengar keterangan tamunya, Bethara Narada nampak


sedikit kecewa. “Sudah begini saja, Kuncoro Manik.
Tadi Bethara Guru bilang supaya engkau pulang saja
dulu. Keadaan Jonggring Saloka saat ini sedang kusut.
Ia anggap kedatanganmu cuman bikin suasana tambah
ruwet. Nah, barangkali saja di lain waktu, saat
keadaan sudah tenang, beliau berkenan mencarikan orang
tuamu. Dan kalau memang udah ketemu, kamu pasti bakal
ditilpun apa dikirimi e-mail.”

“Huuhhh!!” dengus Kuncoro Manik. Ia berusaha menahan


kegeramannya. “Dewa kok kata-katanya kagak ada yang
bisa dipegang. Katanya para dewa itu bijak, nggak
mencla-mencle. Tapi ternyata yang satu bilang A, yang
lain bilang B. Tadi Bethara Guru nyuruh gua nunggu di
halaman ini karena akan mencari tahu siapa orang tua
gua. Eh, kok malah gua sekarang disuruh pulang.
Pokoknya gua kagak terima! Gua tetep mau ketemu
Bethara Guru!”

“Eeiitt, entar dulu toh. Kamu ini mbok jangan ngambek


kayak anak kecil gitu,” kata Narada mencoba meminta
pengertian anak muda dihadapannya itu.

“Gua kagak peduli. Dewa pada kagak bener semua. Punya


pendapat beda-beda! Kagak ada yang bisa dipercaya!”

“Inget lho, kita udah nyuruh pulang baik-baik. Apa


kamu tetep mau nekat? Jangan sampai nanti kita suruh
pulang secara paksa, ya? Apa kamu suka kalo di
deportasi? Lihat itu disana. Para dewa dan prajurit
Jonggring Saloka sudah bersiap-siap memaksamu pulang
jika kamu tetep mbandel. Apa kamu nggak takut?” kata
Patih Narada mencoba menggertak tamunya. Maksudnya
agar tamunya itu berpikir dua kali jika menolak
pengusiran secara halus ini.

Para dewa dan prajurit Jonggring Saloka melangkah


maju. Dari isyarat tangan yang diberikan Bethara
Narada, mereka tahu bahwa negosiasi telah gagal.
Karena rencana pertama gagal, tentu rencana kedua yang
akan segera mereka jalankan, yaitu mengusir tamunya
secara paksa. Senjata-senjata telah dipersiapkan.
Semuanya runcing dan tajam.

Melihat gerombolan Jonggring Saloka mendekat, Kuncoro


Manik mencium gelagat kurang baik. Ia segera berdiri
bertolak pinggang. Kali ini kesabarannya sudah hilang.
Patih Narada mundur tiga langkah. Tubuh yang tua itu
agak gentar melihat sosok tinggi dan kekar yang ada di
hadapannya.

Sementara itu, Begawan Pulasara masih duduk dengan


tenang seperti tak terjadi apa-apa. Hanya mulutnya
saja komat-kamit seperti sedang mengucap doa.
Kuncoro Manik memaki dengan geram: “Emang elu kira gua
anak kecil, takut sama senjata mainan kayak gitu?
Jangankan yang begituan. Elu keluarin yang lebih
runcing dan yang lebih tajem juga gua kagak bakalan
mundur! Maju bareng sini elu semua biar gua gebuk
bareng!”

Para dewa dan prajurit kerajaan yang tadi sudah


bergerak maju, kini menjadi ragu. Langkah-langkah
berat terhenti. Mendengar gertakan lawan, keberanian
mereka berubah menjadi kewaspadaan. Mereka tahu,
gertakan itu tak sekedar main-main.

“Hei, Kuncoro Manik. Kamu tahu kan siapa saya?” tanya


Patih Narada kepada Kuncoro Manik.

“Gua kagak peduli siapa elu! Elu mau pejabat kek, elu
mau anggota DPR kek, gua kagak peduli! Terus mau lu
apa?!”

“Eeeiii.. ini anak malah nantang orang tua,” kata


Patih Narada. Namun toh dalam hati ia kagum juga pada
nyali anak muda itu. “Dikira Narada ini nggak pernah
berkelahi ya? Berani sama Bethara Narada berarti kamu
udah bosan hidup, tahu? Minta dicabut nyawamu kayak
aku nyabut uban?”

“Kalau lu berani, nih elu cabut nyawa gua sekarang


juga!” jawab Kuncoro manik sambil membusungkan
dadanya.

“Eeee..bener-bener nantang nih anak! Berani beneran


kamu sama orang tua?”

“Apa yang musti ditakutin. Apalagi sama orang tua yang


kagak patut dihormatin macem elu!”

“Busyet, bener-bener nantang nih anak,” kata patih


Narada sambil memberi isyarat kepada dewa Sriyono
untuk maju dan meringkus si Kuncoro Manik. Yang diberi
isyarat rupanya salah paham hingga cuman bengong.
Patih Narada membentak: “Hei memble! Jangan bengong
disitu aja kamu! Ada orang tua mau berantem malah
cuman memble doang!”

“Lho, mohon maaf, paman Narada. Saya kira paman mau


turun tangan sendirian...” kata Sriyono gugup.

“Turun tangan sendirian? Orang tua disuruh berantem


terus kalian pada asyik nonton, begitu? Enak aja.
Sudah sana! Kamu bekuk sana!” Bethara Narada
meninggalkan gelanggang menuju ke tepian. Ia malas
turun tangan bukan karena takut, melainkan tahu kalo
dalam posisi salah. Tindakannya sejauh ini dilakukan
hanya karena tidak ingin menentang perintah atasan.

Merasa mendapat restu, Dewa Sriyono yang terkenal sok


jagoan langsung maju ke depan. Tas kopernya dititipkan
pada ajudannya. Jalannya tampak di gagah-gagahkan. Ia
tak mau kelihatan penakut dan lemah di depan warga
Jonggring Saloka yang mulai berdatangan. Apalagi
diantara warga itu, tampak para dewi dan bethari yang
juga mulai ikutan nonton.

Dihampirinya manusia dihadapannya. Dengan sikap


meremehkan ia bilang: “He, Kuncoro Manuk apa Kuncoro
Manik. Siapa namamu terserahlah! Kamu kan udah dikasih
tahu kalo harus pulang secara baik-baik. Seharusnya
kamu merasa beruntung, tahu nggak. Sekarang aku
peringatkan sekali lagi, pulang! Jangan sampai aku
gunakan kekerasan.”

“Heh, jangankan cuman elu sendirian, semuanya maju


bareng juga gua kagak bakalan lari,” jawab Kuncoro
Manik. Sambil berkata begitu ia mantapkan
kuda-kudanya. Ia mempersiapkan diri dengan ilmu kuntow
Bangau Putih yang dipelajarinya di Gonzaga selama ini.
Gerakannya ringan tapi membutuhkan banyak energi.
Makanya kalau habis latihan silat, ia sering mampir di
Union Station nyari nasi rames di restoran Cina “Panda
Express.”

Dewa Sriyono mengeluarkan jurus Dewa Menggenggam Bumi.


Jurus silat ini hadiah Kho Ping Ho buat para dewa di
khayangan. Banyak dewa mempelajarinya karena merupakan
jurus yang ampuh. Jika kena kibasan jurus ini, dewa
maupun manusia, akan remuk tulangnya. Tak ada tukang
urut patah tulang yang mampu menyembuhkannya.
Sekalipun tukang urut itu berasal dari Cimande maupun
Cikini.

“Kurang ajar kau manusia bangsat! Nih terima


pukulanku...” tangan kanan Dewa Sriyono menebas ke
depan. Loncatannya membelah udara siang yang pengap.
Benar-benar serangan mematikan. “Ciiaaatttt!!”
Dewa Sriyono menyerang musuhnya bagaikan kucing
menerkam tikus. Tangannya diayunkan ke arah dada
lawan. Kalau hanya dewa atau manusia biasa, tanpa
kesaktian, mungkin sudah tewas terkena pukulan jarak
jauhnya. Tapi ia salah perhitungan, karena ternyata
lawannya cukup tangguh. Dengan mudah sang lawan
menghindar dari serangannya.

Kuncoro Manik melihat pertahanan lawan yang tak


terjaga. Dipatuknya punggung lawannya dengan jurus
Bangau Menotok Kodok. “Hiyaaa!!” “Pletaakk!!” Lawannya
terhuyung pusing kebelakang.

Kini Dewa Sriyono tak berani menganggap enteng lagi


lawannya. Konsentrasinya ditajamkan. Serangannya lebih
terarah mencari bagian-bagian tubuh lawan yang
mematikan. Dengan tak sabar telah dikeluarkannya jurus
baru yang tak kalah dahsyatnya, jurus Dewa Membelah
Duren.

Kuncoro Manik terdesak ke tepian sumur. Jalan keluar


untuk menghindar nampaknya telah tiada. Namun ia tetap
berusaha keras untuk menangkis serangan lawannya.
Walau begitu sebuah pukulan akhirnya mendarat juga di
dadanya. “Dezzz!!”

Para dewa dan prajurit khayangan berteriak girang.


Sedangkan para dewi menjerit tak tega sambil menutup
mata dengan jaritnya. Jarit itu tersingkap di bagian
betis dan paha. Melihat pemandangan gratis itu, para
penonton, terutama yang laki-laki, pada menelan ludah
terpesona. Mereka sesaat lupa pada perkelahian yang
sedang terjadi di tengah arena.

Kuncoro Manik salto kebelakang dan hinggap ditepian


sumur yang lain. Bagaikan seekor bangau yang hinggap
di atas pematang sawah. Ginkang (ilmu meringankan
tubuh) dan Sinkang (ilmu tenaga dalam)-nya ternyata
telah mencapai taraf sempurna. Pukulan lawan tidak
dirasakannya sama sekali. Melihat hal itu, mau tak mau
lawannya semakin waspada.

“Hiyaaaatttt!!!!” Tanpa menunggu lebih lama lagi,


Kuncoro Manik balas menyerang lawannya. Dikeluarkannya
jurus Angin Puyuh Menggulung Samudra yang
dipelajarinya selama ini di Parang Tritis. Tentunya
tempat berlatih telah mendapat ijin Nyai Roro Kidul
terlebih dahulu.

Sekali lawannya menggebrak, Dewa Sriyono tak mampu


menghindar. “Derr!!” Tubuh yang kurus itu bagaikan
orang-orangan sawah kena seruduk kerbau yang sedang
birahi. Mental. Nafasnya tersengal-sengal. Sesak.
Menyesal ia kelewat banyak ngrokok selama ini.

“Sréséég!!” Ketika sudah berhasil menguasai dirinya,


Dewa Sriyono mengeluarkan golok pusakanya. Golok yang
bernama si Gablek itu hadiah dari si Pitung. Baunya
wangi karena tiap Jumat Kliwon selalu dimandikan
dengan kembang tujuh rupa.

Melihat lawannya mencabut golok pusaka, Kuncoro Manik


segera merapal mantra pemberian seorang kiai dari
Jombang. Ketika golok tajam itu menyambar lehernya,
Kuncoro Manik tak bergeming. Para dewi khayangan
kembali menjerit ketakutan sambil menutup mata. Tapi
kali ini tanpa menyingkapkan jaritnya. Para penonton
lelaki pada kecewa. Harapan dapat tontonan gratis,
amblas.

“Crraangg!!” terdengar dua benda beradu. Golok yang


mendarat tepat dileher itu mental kembali seperti
habis membacok tiang baja. Ternyata Kuncoro Manik tak
mempan dibacok. Rupa-rupanya ia tadi telah merapal
mantra Ilmu Kekebalan Tubuh.

Secepat kilat, di luar perhitungan, Kuncoro Manik


berhasil menyambar tangan lawannya. Dengan sekali
gentakan, golok berhasil direbutnya. Lalu dibuangnya.
Saat belum lenyap rasa kaget sang lawan, ia jegal
tubuh lawan itu hingga terbanting ke tanah. Jatuhnya
nyaring: “Dabblugg!!”

“Addaaaoooww!!” teriak Dewa Sriyono kesakitan. Sambil


terseok-seok Dewa Sriyono merangkak ke pinggir
gelanggang. Dan berhenti tepat di muka Dewa Masno yang
sedang berkacak pinggang.

“Makanya jadi dewa jangan sok ‘blagu,” kata Dewa


Masno. “Itu hasilnya kalau jadi dewa sering
menyombongkan diri. Sering sok sakti. Kemana-mana cari
perhatian. Kalau nggak dapet perhatian teriak-teriak
nyari perhatian. Maunya minta di nomor satukan karena
merasa paling penting.”

Mendengar kata-kata abangnya itu Dewa Sriyono cuma


bisa meringis Tangan kanannya memegangi pinggangnya.
Sedangkan tangan kiri mengelus-elus jidatnya yang
memar. Katanya dengan terbata-bata: “Tapi Kun..co..ro
Manik...ternyata ..me mang...sa sakti..kang Masno...”

Dewa Sriyono masih meringis-ringis menahan sakit.


Tampangnya yang memelas itu menandakan bahwa ia sudah
kapok. Dan juga ngeri. Benjut di kepalanya semakin
terlihat. Sedangkan gusinya perih karena tadi giginya
copot dua biji. Padahal kemarin baru saja pasang gigi
palsu.

“Apa kira-kira kakang Masno bisa mengalahkan Kuncoro


Manik?” tanya Dewa Sriyono pada kakaknya. “Kalau
kakang Masno mampu mengalahkannya, mulai besok saya
akan berguru kepada kakang.”

Mendengar ucapan adiknya, Dewa Masno naik semangatnya.


PD-nya menggelembung bagai balon yang ditiup. Di dalam
angannya terbayang wajah adik-adiknya yang lain yang
bakal ikutan berguru. Mereka tentu akan lebih hormat
dan kagum padanya. Belum lagi para dewi dan bidadari,
terutama mereka yang saat ini menonton di pinggir
lapangan, mereka semua bakal terpesona.

“Biar saktinya kayak apa, Kuncoro Manik itu kan cuman


manusia,” kata Dewa Masno. “Kalau dewa bisa kalah sama
manusia, berarti bukan manusianya yang sakti, tapi
dewanya yang lagi apes. Sudah sana, minggir! Biar
Kuncoro Manik aku jadikan abu!”

Dewa Masno segera berkonsentrasi memusatkan pikiran.


Di kerajaan ini ia terkenal sebagai anak muda yang
sedang naik daun. Kesaktian andalannya adalah
kemampuannya mengeluarkan hawa panas dari mulutnya.
Apapun yang terkena tiupan hawa panas itu bakal
gosong.

“Hei, Kuncoro Manik! Aku, Bethara Masno, yang bakal


mengusirmu!” teriak Dewa Masno.

“Jangankan cuma elu, semua maju bareng gua kagak bakal


lari!” kata Kuncoro Manik.

“Memang kurang ajar kamu ya! Nih, terima pukulan Badai


Gurun Pasir! Huppss!!” Dewa Masno mulai mengatur
pernafasannya. Kedua tangannya menggapai energi yang
ada disekelilingnya. Badai Gurun Pasir adalah jurus
kombinasi yang telah lama dipelajarinya.
“Hiiaaaattt!!” “Dhéér!”

Serangan jurus itu ternyata sungguh hebat. Lawan


dibuat tak berdaya. Jalan keluarnya selalu tertutup
oleh tiupan-tiupan hawa panas. Setiap gempurannya
ampuh dan mematikan. Kalau lawan sedikit lengah pasti
bakalan jadi areng.

Kuncoro Manik cukup kerepotan. Ia terpaksa menghindari


setiap serangan dengan hati-hati. Untung gerakannya
lincah dan atletis. Semua itu berkat disiplin latihan
yang dilakukannya seminggu tiga kali di Fitness
Center.

Jurus lawan diimbangi oleh Kuncoro Manik dengan jurus


Janda Genit. Jurus yang lemah gemulai itu merupakan
jurus kegemarannya. Dan yang lebih tinggi lagi
tingkatannya dari jurus itu masih ada jurus Janda
Gatel. Semua jurus itu merupakan kumpulan jurus-jurus
ilmu silat Kecap Cap Bango yang dipelajarinya di
perguruan Gonzaga.

Serangan hawa panas Dewa Masno beberapa kali luput.


Salah satu serangan yang luput mengenai pohon beringin
pajangan istana: “Byaaarrrr!!” Pohon beringin itu
rontok semua daunnya. Hangus jatuh ke tanah. Sedangkan
dahan dan rantingnya menjadi kering. Gosong. Untung
nggak ada anggota Partai Beringin disitu. Kalau ada,
mungkin juga bakal hangus nggak sempet ikut pemilu.

“Ciaattt!!” “Wozzz!!” “Hiyaaaattt!!” Perkelahian


antara Dewa Masno dan Kuncoro Manik berlangsung seru.
Ternyata dua kesatria itu merupakan lawan yang
seimbang. Penonton pada berdecak kagum setiap melihat
kelincahan gerakan mereka. Kecuali para dewi dan
bethari. Mereka pada berteriak-teriak kawatir dan
ketakutan.

Dewa Masno memang sakti. Tapi sayang, seperti dewa


lainnya, ia pun punya sikap tinggi hati. Lebih-lebih
terhadap manusia. Mereka selalu menganggap remeh.
Mentang-mentang para dewa ini rata-rata punya
pendidikan luar negeri, lalu mereka anggap manusia
lebih bodoh dari mereka. Selain itu mereka menganggap
manusia selalu lebih rendah derajatnya.

Akan tetapi di lain pihak, banyak juga manusia yang


ingin memiliki kedudukan seperti para dewa. Biar bisa
disanjung-sanjung, dihormati, dilayani, diikuti
perintahnya, ditakuti, dan juga didewa-dewakan oleh
sesamanya. Manusia-manusia macam ini adalah
manusia-manusia munafik.

Karena sikap merendahkan lawan, Dewa Masno menjadi


ceroboh. Dengan tak sengaja telah ia buka
pertahanannya. Ia menganggap lawannya tak akan mampu
menyerang dalam posisi yang sulit. Ketika sadar akan
kecerobohannya itu, ia telah terlambat. Sebuah pukulan
mengenai pelipisnya: “Pleettaakk!!” “Aaacchhh!!”

Ketika Dewa Masno masih terhuyung-huyung, Kuncoro


Manik tak menyia-nyiakan kesempatan. Sebuah tendangan
dikirimkan. Tepat mengenai rahang samping sebelah
kanan lawan. Tendangan yang disertai tenaga dalam itu
terasa seperti sepuluh kali lipat pukulan Mike Tyson.
Lawannya terpental jauh. Kemudian jatuh berdebam. K.O.
seketika.

Kemarahan Dewa Brahma mencapai puncaknya. Terutama


ketika dilihatnya Dewa Masno terkapar pingsan. Ia tak
rela melihat rekan-rekannya dipermalukan. Apalagi
hanya oleh seorang manusia. Sebagai seorang dewa,
harga dirinya terasa direndahkan.

Rata-rata para dewa, dan banyak juga para dewi, ogah


belajar dari pengalaman. Mereka nggak mau introspeksi.
Karena merasa punya wawasan luas, merasa sakti, dan
merasa diri sudah bijaksana sehingga mereka menganggap
diri mereka selalu benar dan selalu suci. Hal itu pula
yang dialami Dewa Brahma saat ini. Ia anggap
tindakannya mengusir tamunya sudah benar.

Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, Dewa Brahma


segera memusatkan pikirannya. Ia sebutkan sebuah
mantra sakti peninggalan nenek moyangnya. Sesaat
kemudian, kedua tapak tangannya nampak menghitam.

Ia telah keluarkan jurus andalannya, yaitu jurus Lebur


Bumi. Jurus ini menggunakan pukulan jarak jauh yang
dahsyat. Jurus kejam yang cukup ditakuti di kerajaan
Jonggring Saloka. Pukulan jurus ini mampu mengeluarkan
gelombang api yang membara.

Di pinggir lapangan, Begawan Pulasara yang duduk


bersila komat-kamit mulutnya. Mirip seperti orang
sedang berdoa. Rupanya pendita sakti itu tengah
menghimpun tenaga dalam. Jari jemari tangan yang ada
di atas dengkul menunjuk ke arah Kuncoro Manik. Tanpa
menimbulkan kecurigaan orang, ia telah salurkan tenaga
dalamnya dari jarak jauh.

Melihat Dewa Brahma mempersiapkan jurus Lebur Bumi,


semua dewa dan dewi, serta prajurit Jonggring Saloka
pada lari terbirit-birit. Mereka tahu akan kedahsyatan
jurus ini, sehingga memilih mencari tempat nonton yang
lebih aman. Beramai-ramai mereka mengintip melalui
lubang-lubang di pagar tembok istana.

“Hei Kuncoro Bangsat! Siap-siap mampus kau kali ini!”


teriak Dewa Brahma geram.

“Jangankan cuman pukulan elu seorang. Elu pukul gua


berame-reme gua kagak bakalan mundur, dewa-dewa
geblek!” teriak Kuncoro Manik memanas-manasi lawannya.

“Bangsat, lu! Hiaaaaaaa!!” “Jeeggeeerrrrr!!!” Bunyi


pukulan Dewa Brahma bagaikan bunyi petir di siang
bolong. Menggelegar memekakkan telinga. Para dewi dan
bethari menjerit kaget.

Terkena pukulan itu, lawannya terpental duapuluh meter


ke belakang. Gulungan api membakar badannya. Dewa
Brahma tertawa: “Hahahaha...ternyata cuma segitu aja
kemampuanmu, bangsat!”

Ketika para dewa dan prajurit istana sedang bersorak


menyambut kemenangan mereka, Kuncoro Manik tiba-tiba
bangkit. Penonton kaget bukan main. Belum pernah
mereka saksikan pemandangan seperti yang terjadi saat
ini. Mulut mereka menganga.

Sementara itu, api masih membakar Kuncoro Manik. Tapi


dengan tenang ia melangkah keluar dari kobaran api.
Setelah terbebas, dikibaskannya debu yang menempel di
jaketnya. Ternyata jaket Harley Davidson yang saat ini
dipakainya memang ampuh. Jaket hadiah ulang tahun dari
pamannya itu ternyata jaket tahan api.

Melihat pemandangan di depannya, Dewa Brahma jadi


gentar. Tapi ia berusaha menguasai dirinya. Ia tak
ingin terlihat takut, apalagi hanya oleh seorang
manusia.

Kuncoro Manik kini membetulkan letak kuda-kudanya.


Rupanya tadi waktu diserang, kuda-kudanya belun
mantap. Ketidaksiapannya itulah yang membuatnya roboh
kena terjang pukulan lawan. Beruntung sekali ia
menggunakan jaket saktinya. Dan tentu saja bantuan
tenaga dalam jarak jauh dari Begawan Pulasara.

Tiba-tiba lawannya melayangkan pukulannya lagi:


“Ciiiiaaaaatttt!!” Namun kali ini Kuncoro Manik telah
siap. Bahkan diam-diam ia telah mempersiapkan jurus
baru. Jurus Gunung Es Titanik. Cuma dikeluarkannya
kalau menghadapi lawan yang menggunakan jurus-jurus
panas.

“Hiiyyaaattt!!” Kuncoro Manik segera menyambut pukulan


lawan dengan pukulan balik. Pukulan jurus Gunung Es
Titanik memang dahsyat. Suhu yang menyertai pukulan
itu adalah minus 500 derajat Fahrenheit. Absolute
zero. Pada suhu itu, bahkan sebuah partikel atom pun
akan berhenti. Beku.

“Buummm!!” Pertemuan dua kekuatan bagaikan bunyi rudal


Patriot mengenai rudal Scud.

Kali ini gantian Dewa Brahma yang terpental. Ia tak


menyangka pukulan balik lawannya demikian hebatnya.
Tulang-tulangnya terasa ngilu. Sementara sekujur
badannya terasa meriang. Ia menggigil kedinginan
seperti ayam kecemplung sumur.

Melihat Dewa Brahma kalah, para dewa dan prajurit


Jonggring Saloka segera keluar dari balik tembok
istana. Muka mereka kelihatan sangar-sangar
memancarkan kebencian. Kemarahan mereka telah mencapai
puncaknya. Tapi mau bertindak pada takut, karena tahu
akan kesaktian musuhnya.

“Serbu!” teriak salah satu diantara mereka. Teriakan


tak disengaja itu telah menjadi semacam aba-aba untuk
menyerang. Tanpa menunggu aba-aba selanjutnya mereka
telah berhamburan ke arah musuhnya. Senjata-senjata
tajam dan mengkilat susul-menyusul keluar dari
sarangnya. Dengan mengeroyok secara beramai-ramai,
keragu-raguan dalam diri mereka masing-masing lenyap
seketika.

Tapi kali ini Kuncoro Manik tak mau ambil resiko. Ia


tak mau gegabah karena tahu para penyerangnya memiliki
kesaktian yang tak boleh dianggap remeh. Dengan tetap
tenang diserapnya seluruh tenaga dalam yang dikirimkan
Begawan Pulasara dari jarak jauh. Setelah itu
disiapkannya jurus pamungkas miliknya: Pukulan
Gelombang Tsunami.

“Hiyaaaaattt! Ciaaattt! Heeaaa!” Terdengar


teriakan-teriakan yang membahana dari sekeliling
Kuncoro Manik. Serbuan itu disambutnya dengan
tamparan, tabokan, gebukan, dan gebrakan.
“Hiyaatt..Plak!..Adooww!” “Ciiaaat...Buukk!...Aduuh
Mak!”

“Heeyyaaa!..Bréééngg!...Aduuh Mas!” Tukang mie


ték-ték yang kebetulan jualan disitu nggak sengaja
kena gebuk. “Oh, maaf pak. Tolong jualannya minggir
sedikit pak...” “Ya, mas...”

Ternyata, bagi para dewa dan prajurit Jonggring


Saloka, bermodal semangat saja tidaklah cukup. Dengan
ginkang dan sinkang yang sempurna, Kuncoro Manik
menguasai musuh-musuhnya. Satu per satu musuhnya
tumbang di tangannya. Yang masih sehat pada lari
pontang-panting. Namun yang laripun tak luput dari
gebrakannya. Ia tiup bekas tapak-tapak kaki mereka:
“Wuusss...Weesss..Wusss...Wuusss...”

Bethara Narada yang malas turun tangan, heran melihat


Dewa Yamadipati, dewa pencabut nyawa, lari sambil
membawa-bawa sapu menuju ke arahnya. “Hei, Yamadipati.
Kamu itu dewa apa Dinas Kebersihan Jakarta?! Ada dewa
berantem kok bawa-bawa sapu. Mau ngapain?!”

“Wah..kacau man..ka..cau..man..haahh..” Dewa


Yamadipati berhenti sambil ngos-ngosan nafasnya.
Jidatnya kelihatan pada benjut. “Kuncoro Manik, man,
ternyata memang...sakti..sekali...man....”

“Iya, sakti sih sakti. Tapi kenapa kok berantem pakai


sapu segala? Emangnya nggak ada senjata lain apa?”

“Jangan salah sangka dulu, man. Paman Narada kan tahu


Kuncoro Manik tadi itu ngamuk habis-habisan. Banyak
dewa dan prajurit yang kena gampar. Beberapa bahkan
sudah pada tergeletak pingsan. Nah, saya juga sempat
kena gaplok tiga kali. Karena nggak tahan, makanya
saya kabur. Yang lain juga saya lihat pada ikutan
kabur satu per satu...”

“Terus?”

“Lha, pas saya nyoba lari, belum sampai sepuluh meter


tiba-tiba saya jatuh. Pas saya nengok ke belakang,
busyeeett....Saya jatuh itu lantaran Kuncoro Manik
meniupi bekas tapak kaki saya. Pantes, yang lain juga
pada berjatuhan. Nggak tahunya Kuncoro Manik meniup
bekas tapak kaki mereka itu. Bener-bener ilmu gendeng,
man. Baru pertama kali ini saya lihat ada ilmu kayak
begitu.”

“Ilmu gendeng, ilmu gendeng. Ya, kamu itu yang


gemblung. Nah, terus itu sapu buat apa?”

“Saya tadi punya akal, man. Saya cari aja sapu. Supaya
tapak kaki saya nggak membekas di tanah, maka saya
lari mundur sambil nyapu menghilangkan jejak tapak
kaki saya itu. Pinter kan saya, man?”

“Emang pinter, tapi tetep aja gemblung.”

“Yang penting kan bisa selamet, man. Bukankah itu


artinya saya bayak punya akal, man?”

“Biar banyak akal tapi tetep aja pengecut. Dewa apaan


kamu, ngelihat temen digebukin orang malah kabur nyari
selamat sendiri. Sudah, sekarang ikut saya. Kita beri
khabar Bethara Guru, bahwa keadaan tidak bisa lagi
dikendalikan.”

“Ya, man...”

Oh, dewata
mengapa tak kau sadari juga
khilafnya sikapmu.
Rupanya
ego-mu yang setinggi gunung
sudah tak mampu lagi menyadari
tingginya batang-batang ilalang?

Patih Narada, diiringi Dewa Yamadipati dan beberapa


prajurit pengawal istana yang masih selamat dari
amukan Kuncoro Manik, bergegas menuju ke bagian dalam
istana. Mereka mau lapor pada Bethara Guru, raja
khayangan Jonggring Saloka, tentang gagalnya tugas
mengusir tamu mereka itu.

Sepuluh menit kemudian, Bethara Guru keluar memakai


piyama. Bobok siangnya terganggu. Di wajahnya
tercermin kegusaran yang terpendam. Apalagi di dalam
tadi, ia telah di ‘briefing’ oleh para pengawal
pribadinya tentang kejadian di halaman istana.

Sambil menyembah, Bethara Narada mengadu: “Wah,


ketiwasan Adi Guru. Ternyata Kuncoro Manik sakti
sekali. Tidak ada dewa yang mampu menandinginya.
Bahkan mereka satu per satu roboh di tangannya. Dan ia
tetap ngotot ingin bertemu paduka.”

Bethara Guru nampak diam berpikir. Rupanya persoalan


tidak semudah yang ia perkirakan semula. Kini ia
sendirilah yang harus turun tangan menandingi
kesaktian tamunya itu.

Tiba-tiba raja Jonggring Saloka itu berkata: “Tunggu


sebentar.” Lalu, ia masuk ke dalam. Tak lama kemudian
ia keluar. Baju perang komplit telah disandangnya.
Melihat penampilan sang raja, para kawulanya maklum.
Nampaknya situasi kali ini sudah jadi serius.

Dengan iringan para kawula, Bethara Guru keluar menuju


ke halaman istana. Suasana terlihat berantakan. Tapi
keadaan sudah mulai terkendali. Para dewa dan prajurit
yang pingsan maupun luka-luka semua sudah dibawa mobil
ambulan ke RSCM. Sebagian dibawa ke Rumah Sakit St.
Carolus. Untung tidak ada yang meninggal. Rata-rata
hanya pingsan terkena tamparan Kuncoro Manik.
“Pendita yang dari tadi mengawasi Kuncoro Manik itu
siapa, kakang Narada?” tanya Bethara Guru di pintu
gerbang menuju halaman istana. Ada sedikit kecurigaan
dalam benaknya. Ia seperti merasakan adanya kekuatan
terpendam dari energi yang mengelilingi pandita itu.

“Menurut keterangannya, ia bernama Begawan Pulasara,”


demikian Patih Narada memberikan penjelasan kepada
rajanya. “Dia mengaku pamannya Kuncoro Manik. Namun
rupanya hanya paman angkat. Katanya, ia bertemu
Kuncoro Manik setelah anak itu menanjak dewasa. Jadi
diapun tidak tahu-menahu ayah ibunya Kuncoro Manik.”

Bethara Guru menghampiri pendita itu. Begitu sudah


dekat, energi itu tiba-tiba lenyap. Kecurigaannya
sedikit demi sedikit pupus. Kini pendita di hadapannya
itu nampak seperti rohaniwan biasa, tanpa kekuatan
apa-apa. “Apa benar engkau pamannya Kuncoro Manik?”

“Benar paduka, saya paman angkatnya Kuncoro Manik.


Adapun nama saya: Begawan Pulasara.”

“Hmm.. apa kamu benar-benar tidak tahu siapa orang


tuanya si Kuncoro Manik?”

“Ketika saya saya temukan dan angkat anak, Kuncoro


Manik telah menjelang dewasa. Jadi saya tidak tahu
siapa orang tuanya.”

Kuncoro Manik yang dari tadi berusaha menahan


emosinya, tiba-tiba angkat bicara: “Gimana nih Pak
Guru? Gua tadi dateng kesini baek-baek cuman mau nanya
siapa orang tua gua. Bukannya dapet jawaban bener,
malah dikeroyok rame-reme. Sekarang gua kagak terima!”

Bethara Guru nampak diam. Ia mencoba berpikir keras.


Rupanya persoalan yang satu ini telah menjadi dilema.
Kalau tidak ia selesaikan secepatnya tentu akan jadi
berlarut-larut, dan lebih-lebih akan mengganggu
ketenteraman negara. Kalo negara nggak tenteram
perekonomian bakal berantakan.

“Kakang Narada,” kata Bethara Guru tiba-tiba.


“Daripada persoalan ini berlarut-larut, bagaimana
kalau Kuncoro Manik saya angkat saja menjadi anak?”

“Saya sih, setuju aja. Kebetulan Kuncoro Manik sakti


mandraguna. Jadi malah bisa kita buat perisai negara
Jonggring Saloka. Kemarin kita udah bagus-bagus punya
Kopassus, eeeh sialnya mereka malah punya banyak
masalah, wah jadi batal deh...”
Bethara Guru, raja Jonggring Saloka, memutuskan untuk
mengangkat Kuncoro Manik sebagai anaknya. Namun
keputusan itu dibuat semata-mata hanya demi menghindar
dari persoalan yang sebenarnya: supaya Kuncoro Manik
melupakan tuntutannya untuk mencari orang tuanya.

Selain itu ada dua keuntungan yang bisa di dapatkan


Bethara Guru dengan mengangkat Kuncoro Manik sebagai
anak. Pertama, dengan kesaktian yang dimilikinya,
Kuncoro Manik bisa menjadi perisai negara, jika negara
mendapat serangan dari luar. Kedua, kewibawaannya
tidak jadi runtuh gara-gara tak mampu menemukan orang
tua Kuncoro Manik.

“Baiklah,” demikian Bethara Guru memulai sabdanya.


“Kuncoro Manik, mulai saat ini engkau aku angkat
sebagai anak.”

Anda mungkin juga menyukai