Anda di halaman 1dari 8

Dahulu kala, ada sebuah kerajaan bernama Prambanan.

Kerajaan itu dipimpin oleh Prabu


Baka. Prabu Baka adalah raja yang sangat baik. Rakyat kerajaan Prambanan pun hidup makmur.
Sementara itu, di tempat lain, ada sebuah kerajaan bernama Kerajaan Pengging. Berbeda dengan
Prabu Baka, Raja Pengging memiliki sifat yang sangat buruk. la suka berperang untuk memperluas
kekuasaan kerajaannya.

Kerajaan Pengging memiliki ksatria sakti bernama Bondowoso. Bondowoso memiliki


senjata yang sangat kuat dan pasukan jin. Bondowoso lebih dikenal sebagai Bandung Bondowoso.
Suatu hari, Raja Pengging ingin menaklukkan Kerajaan Prambanan. Ia pun memanggil Bandung
Bondowoso untuk merebut Kerajaan Prambanan. “Aku perintahkan kau dan pasukanmu untuk
merebut Kerajaan Prambanan!” perintah Raja Pengging. Bandung Bondowoso langsung
menjalankan tugasnya. Ia dan pasukannya menyerang Kerajaan Prambanan. Dengan sangat
mudah, Bandung Bondowoso berhasil menaklukkan Kerajaan Prambanan.

Prabu Baka pun tewas. Sebagai hadiah, Raja Pengging mengizinkan Bandung Bondowoso
untuk mengurus Kerajaan Prambanan. Ternyata Kerajaan Prambanan memiliki seorang putri yang
cantik jelita bernama Roro Jonggrang. Bandung Bondowoso pun memanggil Roro Jonggrang
untuk menghadap. “Apa yang kau inginkan, Bandung Bondowoso?” tanya Roro Jonggrang dengan
ketus. “Aku ingin menikahimu. Menikahlah denganku, pasti kehidupanmu akan tenteram dan
damai,” ungkap Bandung Bondowoso. Tentu saja, Roro Jonggrang kaget. Ia tak menyangka
Bandung Bondowoso akan melamarnya.

Padahal, Roro Jonggrang tak suka dengan Bandung Bondowoso. Bandung Bondowoso
adalah orang yang kejam. Ia telah membunuh ayahnya, dan membuat rakyat Kerajaan Prambanan
sengsara. Dengan tegas, Roro Jonggrang menolak pinangan Bandung Bondowoso. Mendengar
penolakan itu, Bandung Bondowoso tidak terima. Ia pun mengancam Roro Jonggrang. “Jika kau
tidak mau menikah denganku, hidupmu akan sengsara. Semua penduduk desa pun akan kubuat
menderita,” ancam Bandung Bondowoso. Seketika, Roro Jonggrang menjadi ragu. “Aku izinkan
kau berpikir terlebih dahulu,” ucap Bandung Bondowoso. Roro Jonggrang merasa bingung dengan
pinangan Bandung Bondowoso. Jika ia tidak menerima pinangan Bandung Bondowoso, rakyatnya
akan sengsara. Tapi, ia tidak suka dengan Bandung Bondowoso. Semalaman Roro Jonggrang
berpikir, bagaimana cara menolak pinangan Bandung Bondowoso, tapi rakyatnya tetap aman.
Akhirnya, Roro Jonggrang memiliki sebuah ide. Esok siangnya, Bandung Bondowoso
menemui Roro Jonggrang. “Sudahkah kau memutuskan pilihanmu, Roro Jonggrang?” tanya
Bandung Bondowoso. “Baiklah, Bandung Bondowoso. Aku mau menikah denganmu, asalkan kau
bisa memenuhi syarat dariku.” ucap Roro Jonggrang. “Apa syaratmu?” tanya Bandung
Bondowoso dengan congkak. “Buatlah 1000 candi dan dua buah sumur dalam waktu satu malam,”
ujar Roro Jonggrang. Ia yakin, Bandung Bondowoso tak bisa memenuhi syaratnya itu. Tanpa
berpikir lama, Bandung Bondowoso langsung menyetujui syarat dari Roro Jonggrang. Malam
harinya, Bandung Bondowoso dibantu oleh pasukan jinnya, membangun 1000 candi dan 2 sumur.
Roro Jonggrang yang diam-diam menyaksikan hal itu, menjadi gelisah. Perkiraannya salah.
Pasukan Bandung Bondowoso sangat cepat menyelesaikan pembangunan itu.

Waktu sudah menginjak tiga per empat malam. Tinggal dua candi yang belum dibangun.
“Bagaimana caranya menggagalkan usaha mereka?” pikir Roro Jonggrang. Roro Jonggrang
kembali memiliki sebuah ide. Ia memanggil semua dayang di istana, dan menyuruh mereka untuk
membakar jerami di sebelah timur. Sebagian lain membunyikan lesung, dan menebarkan bunga
yang wangi. Tujuannya agar ayam-ayam lekas bangun dan berkokok. Tanpa membuang waktu,
para dayang segera melakukan perintah itu. Benar saja, ayam-ayam jantan terbangun dan mulai
berkokok. Mendapati langit di timur berwarna merah, bunyi lesung, aroma wangi bunga, dan
kokokan ayam, bala tentara Bandung Bondowoso bergegas pergi. Ya! Mereka mengira hari sudah
pagi. Mendapati bala tentaranya pergi, Bandung Bondowoso menghentikan mereka. “Kembalilah
pasukanku. Hari belum pagi! Masih ada satu candi lagi yang harus kalian bangun!” teriak
Bandung Bondowoso. Sayang, bala tentara Bandung Bondowoso tetap pergi meninggalkan
pekerjaannya. Semakin marahlah Bandung Bondowoso saat mengetahui bahwa semua itu ulah
Roro Jonggrang.

Ia menemui Roro Jonggrang, dan mengubah Roro Jonggrang menjadi candi. Kini, candi itu
bernama Candi Roro Jonggrang, dan dapat ditemui di Candi Prambanan.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari cerita Roro Jonggrang adalah kita sebagai manusia
harus dapat mengendalikan hawa nafsu yang ada pada diri manusia, jika manusia tidak
dapat mengendalikan hawa nafsu tersebut maka celakahlah kita.
Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat adalah dua jawara gagah berani yang menjadi legenda terkenal
bagi masyarakat Banding Agung. Mereka amat disegani lawan-lawannya. Baik Si Pahit Lidah maupun Si
Mata Empat, keduanya merasa paling hebat di antara keduanya.

”Ha..ha..ha..akulah yang paling hebat sejagat raya ini, tak ada yang bisa menandingiku”, ucap Si
Mata Empat di depan umum ketika mempertunjukkan kehebatannya.

”Hei Si Mata Empat..sombong sekali kau, apa belum tahu kehebatanku?” teriak Si Pahit Lidah
kepada Si Mata Empat. Si Mata Empat pun menjadi geram dan rasanya ingin segera menghajar Si Pahit
Lidah. Namun niatnya tersebut diurungkan karena kalau berkelahi secara langsung tentu dia akan kalah
dengan kutukan lidahnya yang pahit itu.

”Baiklah, sekarang saya beri kelonggaran untukmu yang telah lancang kepadaku Pahit Lidah, saya
akan membuktikan seberapa hebat kesaktianmu. Lima hari dari sekarang di dekat Danau Ranau setelah
matahari terbenam. Bagaimana apakah kau sanggup?” tanya Si Mata Empat menantang Si Pahit Lidah.

”Baiklah..dengan senang hati saya terima tantanganmu Mata Empat, lagipula aku sudah tak sabar
ingin menghajar orang sombong macam kau!!” jawab Si Pahit Lidah dengan lantang.

Akhirnya, karena ingin membuktikan siapa yang benar-benar lebih hebat di antara mereka berdua,
mereka sepakat untuk bertemu dan mengadu kekuatan masing-masing.

Maka tibalah pada hari yang sangat menentukan itu. Mata Empat menggunakan permainan licik
yang hanya menguntungkan dirinya sendiri. Caranya, secara bergiliran keduanya harus tidur
menelungkup di bawah rumpun bunga aren. Lalu, bunga aren di atas akan dipotong oleh salah satu di
antara mereka. Siapa bisa menghindar dari bunga dan buah aren yang lebat dan berat itu, dialah yang
akan disebut jawara sakti. Setiap orang diberi kesempatan memotong tiga kali bila buah yang di jatuhkan
belum mengenai musuh. Si Pahit Lidah tidak mengetahui kalau Mata Empat telah berbuat licik
terhadapnya. Tapi Si Pahit Lidah menerima saja tantangan Mata Empat tersebut.

Lalu keduanya melakukan undian dengan aturan yang telah mereka sepakati. Akhirnya Si Mata
Empat mendapat giliran pertama. Sesuai namanya, Si Mata Empat juga memiliki dua mata lain, yakni di
belakang kepalanya.

Dengan secepat kilat Si Pahit Lidah lalu memanjat pohon aren yang ada di tepi danau tersebut.

”Hei Mata Empat yang sombong terimalah ini, selamat tinggal untuk selama-lamanya.” ucap Pahit
Lidah kepada Mata Empat.

Dengan tenangnya Si Mata Empat menelungkup di bawah pohon. Cring…byar…buah aren


berhasil di potong dan di jatuhkan oleh Si Pahit Lidah.

Tentu saja Si Mata Empat bisa melihat arah jatuhnya buah aren tersebut. mata di kepala mata
empat bisa melihat ketika bunga aren jatuh meluncur ke ke arah Mata Empat. Dengan mudahnya Si Mata
Empat bisa menghindar dari runtuhan buah aren tersebut.

”Ha..ha..ha..ha..apakah hanya itu saja kemampuanmu hai Pahit Lidah” dengan sombong Mata empat
mengejek Si Pahit Lidah yang ada di atas pohon.
”Kurang ajar, ternyata kau belum mati juga” dengan kesal Si Pahit Lidah memotong buah aren yang lebih
besar. Tapi Si Mata Empat dapat menghindar lagi dari jatuhan buah aren tersebut.

”Wahai Pahit Lidah saya kasih kesempatan sekali lagi untuk menunjukkan kemampuanmu” ujar
Mata Empat dengan sombongnya. Dengan perasaan hampir putus asa, Pahit Lidah memotong buah aren
yang lebh besar dari yang kedua. Tapi dengan kemampuan yang dimilikinya, Mata Empat bisa
menghindar untuk ketiga kalinya dari jatuhan buah aren tersebut.

Dengan perasaan kecewa Si Pahit Lidah turun dari pohon aren tersebut. Kini giliran Si Pahit Lidah
untuk manjat pohon aren. Dengan secepat kilat juga Si Mata Empat memanjat dan Si Pahit Lidah sudah
menelungkupkan badannya di bawah rumpun pohon itu.

”Pahit lidah apakah kau sudah siap dengan kematianmu?”tanya Si Mata Empat kepada Si Pahit Lidah.

”Jangan banyak oceh kau. Cepat potong buahnya!”jawab Pahit Lidah.

Si Mata Empat pun memotong buah aren tersebut. Clazzz…gugusan buah are itu meluncur deras ke
bawah.

Si Pahit Lidah tak bisa mengetahui hal itu. Badannya tetap berada persis di bawah luncuran itu. Ia tak
menghindar.

”Akhhhh…” Pahit Lidah berteriak kesakitan sejadi-jadinya. Buah aren yang besar dan berat tersebut
mengenai tubuh Si Pahit Lidah. Tubuhnya bersimbah darah dan ia tewas seketika secara mengenaskan.

”Ha..ha..ha..ternyata kamu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kesaktianku.” Si Mata Empat
senang, dan merasa puas. Ia bisa membuktikan pada semua orang, dirinyalah yang lebih sakti dari Si
Pahit Lidah.

Namun rasa ingin tahunya muncul, mengapa lawannya itu mendapat julukan Si Pahit Lidah?
Benarkah lidahnya memang pahit? Lalu karena penasaran, ia cucukkan jarinya ke dalam mulut Si Pahit
Lidah yang sudah mati itu. Setelah itu, dicecapnya jarinya sendiri yang sudah terkena liur si Pahit Lidah.

”Benar, rasanya pahit sekali. Rasanya lebih pahit dari akar brotoali.”

Rupanya itu racun yang mematikan. Si Mata Empat pun mengerang-erang kesakitan memegangi
tenggorokannya. Tapi apa mau dikata. Racun tersebut telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Dan seketika
itu juga tubuhnya membiru. Maka Si Mata Empat pun juga tewas di tempat yang sama.

Akibat terlalu sombong dan angkuh. Merasa dirinya paling hebat di dunia ini, padahal masih ada
yang lebih hebat sejagat raya ini yaitu Allah SWT. Kedua jawara ini lalu dimakamkan oleh penduduk
setempat di tepi Danau Ranau yang menjadi saksi sejarah pertarungan antara Si Pahit Lidah dan Si Mata
Empat.
Pada suatu hari, ada seorang wanita tua bernama Mande Rubayah yang tinggal hanya bersama anak laki-lakinya di
sebuah perkampungan Nelayan Pantai Air Manis di Padang. Ia sangat menyayangi anaknya dan merawatnya dengan
sepenuh hati. Nama anak laki-laki yang sangat ia sayangi ini adalah Malin Kundang. Mande Rubayah sangat memanjakan
Malin Kundang, sehingga ia tumbuh besar menjadi seorang anak yang rajin dan penurut—ia juga sangat menyayangi
ibunya.

Saat Mande Rubayah semakin berumur, ia hanya bisa bekerja sebagai penjual kue untuk memenuhi segala
kebutuhan di rumah. Mande Rubayah tetap berusaha keras agar kuenya laris, ia tetap ingin yang terbaik untuk anak
kesayangannya ini. Namun, cobaan keluarga mereka tidak berhenti di sana. Suatu hari, Malin Kundang jatuh sakit yang
cukup parah. Ia hampir meninggal, tapi untungnya sang ibu masih berhasil menyelamatkannya.

Saat Malin Kundang tumbuh dewasa, ia memohon pada ibunya agar ia diperbolehkan merantau dan mencari
pekerjaan di tanah lain agar ia bisa mengubah nasibnya dan ibunya menjadi lebih baik. Mande Rubayah melarang Malin
Kundang pergi karena ia takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada anaknya saat ia jauh di sana dan ia tidak bisa
membantunya.

“Ibu, tenang saja, ya, Aku akan baik-baik saja,” ucap Malin Kundang mencoba menenangkan ibunya. Malin
Kundang merasa hanya inilah kesempatannya agar ia bisa menjalankan kehidupan yang lebih baik. Akhirnya, Mande
Rubayah pun mengizinkan anak tunggalnya ini pergi. Tentunya, dengan hati yang berat. Namun, Mande Rubayah meminta
pada Malin Kundang agar ia cepat kembali dan berkumpul bersamanya.

Sebelum pergi, Malin Kundang dibekali ibunya nasi berbungkus pisang sebanyak tujuh porsi. Mereka pun
berpelukkan dan berpisah di dermaga. Saat Malin Kundang pergi, Mande Rubayah meneteskan air mata, karena ia tahu ia
akan sangat merindukan keberadaan anaknya.

Hari demi hari berganti. Mande Rubayah tidak pernah lupa untuk mendoakan keselamatan dan kebahagiaan
anaknya yang sedang jauh. Sering kali, ia pergi keluar dan menatap lautan serta langit, “Apakah, kamu sudah sampai
tujuanmu, Nak?” Tanya Mande Rubayah dalam hati. Ia tidak tahu pasti di mana anaknya sekarang dan sedang melakukan
apa. Kecemasan dan kekhawatiran selalu menghantui pagi dan malam Mande Rubayah.

Tiap malam sebelum ia tidur, ia selalu mengharapkan anaknya cepat kembali. Tiap malam, Mande Rubayah
berharap Malin Kundang pulang saat ia membuka mata. Namun, tiap pagi juga harapannya menjadi sirna.

Beberapa waktu kemudian, ada kapal yang datang pulang. Mande Rubayah sangatlah senang dan mencari anaknya
tapi ia tidak menemukan Malin Kundang di antara banyak awak kapal itu. Ia pun bertanya-tanya pada mereka apakah
mereka melihat Malin Kundang atau bahkan hanya sekadar tahu di mana ia berada. Jawaban yang Mande Rubayah terima
selalu sama, tidak ada yang tahu di mana Malin Kundang berada.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Entah sudah berapa
tahun sang ibu menunggu kepulangan anaknya yang tidak pasti ini. Mande Rubayah masih tetap berdoa tiap harinya agar
sang anak kembali pulang ke pelukannya.

Mande Rubayah sudah semakin tua. Cara jalannya sudah berubah; tubuhnya bungkuk dan menjadi semakin lemah.
Namun, tiba-tiba ada sebuah kabar bahwa Malin Kundang sudah menikah dengan seorang putri bangsawan di kota.
Tentunya, ia merasa sangat senang di dalam hatinya, ia yakin Malin Kundang akan pulang dan memperkenalkan istrinya
pada ibu yang ia sayangi ini.
Tidak lama kemudian, ada sebuah kapal besar yang datang menuju ke pantai. Kapal ini sangatlah besar, tidak ada
kapal yang lebih besar yang pernah berlabuh di pantai ini sebelumnya. Semua orang penduduk desa pun berkumpul untuk
melihat. Para penduduk desa berpikir kapal itu adalah milik seorang sultan atau pengeran. Mereka semua sudah siap untuk
menyambut siapa pun yang ada di kapal itu dengan gembira.

Ketika kapal itu sampai, terlihat sepasang anak muda yang berdiri di anjungan. Pakaian mereka terlihat sangat indah
dan mewah. Wajah mereka dihiasi senyum yang bahagia. Para penduduk desa pun bersorak untuk menyambut mereka.
Ternyata, kedua sepasang itu adalah Malin Kundang dan istrinya.

Hati Mande Rubayah sangat senang. Kerinduan yang ia rasakan selama ini akhirnya terbayar. Ia pun berlari
menghampiri Malin Kundang saat ia turun dari kapal. “Malin, anakku! Mengapa kamu pergi lama sekali tanpa kabar?”
Kata Mande Rubayah sambil menangis terharu.

Malin Kundang terkejut karena ia tiba-tiba dipeluk oleh perempuan tua renta yang berpakaian jelek dan kumuh.
Malin Kundang tidak percaya bahwa perempuan itu adalah ibunya. Istri Malin Kundang pun juga terkejut dan berkata,
“Wanita jelek dan tua ini ibumu? Tidak mungkin,” ucap istri Malin Kundang merendahkan sambil meludah pada Mande
Rubayah.

“Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, Nak! Mengapa kau jadi seperti ini Nak?!” Malin Kundang tidak
memerdulikan perkataan ibunya. Dia tidak akan mengakui ibunya. la malu kepada istrinya.

Perempuan tua itu terkapar di pasir, menangis, dan sakit hati. Orang-orang yang meilhatnya ikut terpana dan
kemudian pulang ke rumah masing-masing. Mande Rubayah pingsan dan terbaring sendiri. Ketika ia sadar, pantai sudah
sepi.

Saat Mande Rubayah terbangun, ia melihat kapal Malin Kundang sudah jauh pergi, ia benar-benar tidak percaya
anaknya berubah menjadi durhaka dan melupakan dirinya. Mande Rubayah pun menangis dan menadahkan tangannya ke
atas seraya berdoa pada Tuhan, “Ya, Tuhan, kalau memang dia bukan anakku, aku maafkan perbuatanny. Tapi kalau
memang dia benar anakku yang bernama Malin Kundang, aku mohon keadilanmu, Ya Tuhan!” ucapnya pilu sambil
menangis. Tak lama kemudian cuaca di tengah laut yang tadinya cerah, mendadak berubah menjadi gelap. Hujan tiba-tiba
turun dengan teramat lebatnya.

Tiba-tiba datanglah badai besar, menghantam kapal Malin Kundang yang dilanjutkan sambaran petir yang
menggelegar. Saat itu juga kapal besar dan mewah itu hancur berkeping-keping. Kemudian terbawa ombak hingga ke
pantai.

Esoknya saat matahari pagi muncul di ufuk timur, badai telah reda. Di pinggir pantai terlihat kepingan kapal yang
telah menjadi batu. Itulah kapal Malin Kundang! Tampak sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia. Itulah tubuh
Malin Kundang, anak durhaka yang dikutuk ibunya menjadi batu. Di sela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan
belanak, dan ikan tengiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.

Pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini adalah kita harus selalu menyayangi orang tua kita dan menunjukkan
rasa hormat pada mereka. Jangan sekali-kali kita menyakiti orang tua yang sudah merawat kita dari kecil
ini.Dengan menceritakan kisah seperti ini, mengajarkan etika dan moral yang baik pada anak.
Pada suatu hari, di sebuah desa di daerah Jawa Tengah, ada seorang wanita tua bernama Mbok Srini, suaminya
sudah meninggal sejak lama dan ia tidak memiliki anak. Mbok Srini menghabiskan hari-harinya seorang diri dan setiap
harinya ia merasa bosan serta jenuh karena ia tidak memiliki seseorang untuk menemaninya.
Mbok Srini sejak dulu sangat ingin punya anak. Namun, impiannya yang satu ini memang tidak pernah bisa
terwujud. Ditambah lagi, sekarang ia tidak memiliki seorang suami, kemungkinan ia memiliki anak pun tentu saja menjadi
hilang. Mbok Srini hanya bisa menunggu keajaiban menghampirinya agar ia bisa memiliki anak. Mbok Srini selalu berdoa
pada Tuhan tiap pagi, siang, dan malam hari agar Tuhan bisa melihatnya dan mengkaruniakan Mbok Srini seorang anak.
Lalu, pada suatu malam, Mbok Srini memimpikan seorang raksasa yang menyuruhnya pergi mengambil sebuah
bungkusan di bawah pohon besar di hutan tempat biasanya ia mencari kayu bakar. Saat ia terbangun di pagi hari, tentu saja
Mbok Srini merasa kebingungan dengan arti mimpi itu. Dengan berbagai keraguan dan rasa penasaran di benaknya, Mbok
Srini tetap berjalan ke hutan dan mengikuti perasaannya. Saat ia tiba di hutan ia mencari bungkusan yang berada di bawah
pohon besar seperti yang ada di mimpinya semalam.
Sebenarnya, Mbok Srini berharap bungkusan yang hendak ia temukan ini berisi bayi, tapi yang justru ia temukan
hanyalah sebutir biji timun. Hatinya pun kecewa dan merasa sedih. Tiba-tiba, ada seorang raksasa yang menghampirinya
sambil tertawa terbahak-bahak.
“Apa maksudmu memberikanku sebutir biji timun?” Tanya Mbok Srini seraya berteriak
tapi tetap menahan emosinya. Saat Mbok Srini memperhatikan raksasa itu, ternyata raksasa itulah yang semalam
menghampirinya.
Mbok Srini pun merasa ketakutan, ia merasa raksasa itu akan memakannya. Mbok Srini pun memohon agar raksasa
itu merasa iba dan membiarkannya tetap hidup.
“Tenang, jangan takut. Aku tidak akan memakanmu, wanita tua!” Ucap raksasa itu.
Ternyata, raksasa ini meminta Mbok Srini menanam biji timun yang ia berikan. Katanya, ia akan dihadiahkan
seorang anak perempuan jika ia menanamnya. Namun, saat anak itu sudah dewasa, Mbok Srini harus memberikan anak itu
kembali pada raksasa karena ia akan memakannya. Karena Mbok Srini sangat menginginkan seorang anak, ia menyetujui
perjanjian itu.
Saat kembali ke rumah, Mbok Srini menanam biji timun itu ke ladang rumahnya. Mbok Srini merawat biji timun itu
dengan sangat baik tiap harinya. Dua bulan kemudian, tanaman itu pun mulai berubah, dan tanaman timun itu hanya
berbuah satu. Semakin hari, buah timun spesial ini menjadi semakin besar, lebih besar dari buah timun pada umumnya.
Warnanya pun menunjukkan warna kuning keemasan, terlihat cantik.
Saat buah timun itu sudah sangat besar, Mbok Srini memetiknya dan saat terbelah, ada seorang bayi perempuan
yang sangat cantik. Mbok Srini sangat bahagia mendengar suara tangisan bayi itu. Ia pun memberikan nama Timun Mas.
Mbok Srini merasa sangat senang sehingga ia lupa bahwa ia pernah membuat janji pada raksasa ia akan memberikan bayi
ini padanya suatu hari nanti. Mbok Srini membesarkan Timun Mas dengan kasih sayang dan kesabaran. Timun Mas
tumbuh menjadi seorag perempuan yang cantik, baik, serta sangat cerdas.
Pada suatu malam, Mbok Srini kembali bermimpi didatangi raksasa yang memberikan pesan bahwa dalam waktu
seminggu, ia akan menjemput Timun Mas. Sejak saat itu, Mbok Srini sering termenung sedih sendirian. Ia terus
memikirkan bahwa ia akan berpisah dengan anaknya yang sangat ia sayangi. Terkadang, air mata jatuh ke pipinya tanpa ia
sadari. Ternyata, Timun Mas sering memperhatikan ibunya yang sedih ini, lalu ia pun bertanya pada Mbok Srini.
“Ibu, kenapa akhir-akhir ini Ibu sering sekali menangis?”
Awalnya, Mbok Srini tidak ingin bercerita pada anaknya, tapi karena Timun Mas mendesaknya dan terus bertanya,
Mbok Srini pun menceritakan kisah asli kelahiran Timun Mas. Mbok Srini juga menceritakan bagian bahwa ia harus
mengembalikan Timun Mas ke seorang raksasa dan beberapa malam sebelumnya raksasa itu menghampiri ia kembali ke
dalam mimpi.
Timun Mas pun merasa sedih dan ia tidak ingin Mbok Srini mengembalikannya ke sang raksasa. Akhirnya mereka
berdua berpikir dan mencari cara agar Timun Mas bisa bebas dari sang raksasa. Di hari Timun Mas harus dikembalikan,
tiba-tiba Mbok Srini terpikir sebuah cara. Mbok Srini meminta Timun Mas berpura-pura sakit agar sang raksasa tidak ingin
memakannya. Beruntung, car aini cukup berhasil untuk mengulur waktu, sang raksasa akan datang kembali saat Timun
Mas sudah sembuh.
Sebelum rakasasa itu datang kembali, Mbok Srini memikirkan bagaimana cara agar anaknya bisa terbebaskan.
Paginya, Mbok Srini bertemu seorang pertama di gunung, ia adalah teman suaminya yang sudah meninggal. Sesampainya
di sana, Mbok Srini langsung menceritakan soal kondisinya dan ia ingin mengusir raksasa itu. Sang pertapa itu memberikan
Mbok Srini empat bungkusan kecil. Katanya, bungkusan-bungkusan ini berisi biji timun, jarum, garam, dan terasi. Sang
pertapa menyuruhnya memberikan empat bungkusan ini pada anaknya dan jika sang raksasa mengejarnya, sebarkan isi
bungkusan-bungkusan ini.
Setelah itu, Mbok Srini pun pulang dengan perasaan sedikit lega, setidaknya ia sekarang sudah memiliki rencana.
Beberapa hari kemudian, raksasa ini datang kembali untuk menjemput Timun Mas. Mbok Srini dan Timun Mas pun berdiri
berdampingan tanpa rasa takut. Timun Mas tiba-tiba berlari sekencang-kencangnya dan raksasa itu mengejarnya. Setelah
berlari cukup jauh Timun Mas menaburkan biji yang diberikan ibunya. Sungguh ajaib, hutan di sekelilingnya tiba-tiba
berubah menjadi ladang timun. Dalam sekejap, batang timun tersebut menjalar dan melilit seluruh tubuh raksasa itu.
Namun, raksasa itu mampu melepaskan diri dan kembali mengejar Timun Mas.
Timun Emas pun segera melemparkan bungkusan yang berisi jarum. Dalam sekejap, jarum-jarum berubah menjadi
banyak pohon bambu yang tinggi dan runcing. Namun, raksasa itu mampu melewatinya dan terus mengejar Timun Mas,
walau berdarah-darah karena tertusuk bambu.
Melihat usahanya belum berhasil, Timun Mas membuka bungkusan ketiga yang berisi garam lalu menebarkannya.
Seketika itu pula, hutan yang telah dilewatinya tiba-tiba berubah menjadi lautan luas dan dalam, namun raksasa itu tetap
berhasil melaluinya dengan mudah. Timun Emas pun cemas, karena senjatanya hanya tersisa satu. Jika senjata tersebut
tidak berhasil melumpuhkan raksasa itu, maka raksasa itu akan berhasil menangkap dan memakannya.
Dengan harapan untuk selamat yang sangat besar, Timun Mas pun melemparkan bungkusan terakhir yang berisi
terasi. Seketika tempat jatuhnya terasi itu tiba-tiba berubah menjadi lautan lumpur yang mendidih. Raksasa itu pun
terkalahkan karena tercebur ke dalam lautan lumpur dan ia tewas dengan sangat cepat.
Melihat itu, Timun Mas langsung berlari menuju ke rumahnya untuk bertemu dengan ibunya. Melihat anaknya
selamat, Mbok Srini pun langsung berucap syukur kepada Tuhan dan sejak itu, Mbok Srini dan Timun Mas hidup
berbahagia.

Kisah asal Jawa Tengah ini memang seru dan mengharukan sekali, bukan? Pelajaran yang bisa diambil dari kisah
ini adalah orang yang memiliki niat awal jahat, tentu saja pada akhirnya akan celaka dan tidak akan berakhir
baik. Dengan menceritakan kisah ini pada si kecil, parents bisa mengajarkan mereka untuk selalu berbuat dan
berpikir baik pada orang-orang di sekitarnya.

Anda mungkin juga menyukai