Anda di halaman 1dari 199

Candra Kirana sebuah saduran atas sebuah Cerita

Panji oleh Ajip rosidi Candra Kirana oleh Ajip Rosidi


Cetakan pertama. Jakarta' 1962. Muki cetakan kedua
1972 diterbitkan oleh PT DUNIA PUSTAKA JAYA Jaian
Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Anggota IK API Cetakan
ketiga: 1983 HAK CIPTA D1LINDUNGI UNDANG-
UNDANG ALL RIGHTS RESERVED Uustrasi oleh: A.
Wakidjan Dicetak dan dijilid olch Fix ma Ekonomi,
Bandung DAFTAR ISI Dewi Anggraeni ................ 7 Sang
Prabu Jayantaka............... 23 Sang Prabu
Jayawarsya............... 35 Sang Kili Suci..................... 5g
Raden Panji Kuda Waneng Pati.......... 73 Tumenggung
Braja Nata................ jq3 Peristiwa dalam hutan ...............
J27 Patih Prasanta......................... 145 Sang Permaisuri
....................... jgO Dalam sinar purnama................... 191
Kelana Jayeng Sari.....................205 Maha Patih Kebo
Rerangin...............213 Dewi Sekar Taji .......................222
Prabu Gajah Angun-angun ...............231 Rahasia
terbuka.......................244 Candra Kirana ........................264
DEWIANGGRAENI Bagaikan sebuah mata air yang jemih-
bening ke-luar dari tebing di pegunungan, atau laksana se-
kuntum bunga yang kembang di tengah kesunyian hutan,
segar serta indah, demikianlah Dewi Anggra-eni bagi
Raden Panji Kuda Waneng Pati putera mahkota kerajaan
Janggala yang jaya. Tepekur pahlawan Kahuripan itu di
depan keindahan dan keheningan alami yang terpancar
dari senyuman yang mekar pada bibir yang indah. Adakah
yang lebih indah dalam hidup ini daripada mereguk
keindahan alami sepanjang hayat dikandung ba-dan?
Adakah yang lebih bahagia daripada duduk berdainpingan
dengan bunga jelita itu menyusuri sisa usia? Bertemu
tangan dengan tangan, melalui pancar-an mata yang
sama-sama mengerti, maka hati pun memadu. Anggraeni!
Naina yang nyaman terde-ngar itu tcrukir dengan indahnya
dalam sanubari calon pemangku takhta Janggala. 7 Tetapi,
aduhai! Kebahagiaan tak seinudah itu dicapai! Kedudukan
putra mahkota yang oleh orang lain diperebutkan, baginya
bagaikan sebung-kah karang yang menjulang mcnghalang.
Ayah-anda. seorang yang bercita-cita tinggi. Baginda me-
mimpikan kebesaran kerajaan yang sekali pemah
dipersatukan oleh leluhur mereka. Sang Airlangga yang
jaya. kembali bisa tercapai dengan mengada-kan
perkawinan antara putranda Raden Panji Kuda Waneng
Pad dengan putri Kadiri, Dewi Sekar Taji. Persetujuan
telah tercapai oleh kedua belah fihak. selagi kedua bayi
masih dalam kandungan. Keduanya telah dipertautkan oleh
perjanjian dua kerajaan yang sama-sama ingin
meniadakan batas yang dibuat oleh Empu Bharada yang
sakti itu. Sejak masih kecil. Raden Panji sudah tahu bah-
wa ia telah dipertunangkan oleh ayahanda dengan puteri
Kadiri, yang masih terhitung kerabatnya juga. Pertunangan
yang didukung oleh cita-cita yang luhur itu, sangat direstui
oleh para tetua kerajaan kedua belah fihak. Resi-resi
Syiwa dan Wisynu memberikan berkahnya, lantaran
mereka pun masih terkenang akan perjuangan Sang
Airlangga tatkala hendak membangun kerajaannya yang
besar. Raden Panji menerima berita tenlang pcrtunang-
annya itu sewajamya saja. Ia masih kecil amat untuk
mengerti dan memikirkan hal-hal yang bersangkut-paut
dengan hal tersebut. Bahkan ia merasa senang hatinya,
tatkala ia masih berusiii tujuh atau delapan tahun, diganggu
oleh Para pengasuhnya mengenai pertunangannya denean
Dewi Sekar Taji. Ia bclum mengerti. la hanya me rasa
hatinya sedikit berguncang, dan merasa sedikit malu.
Tetapi tatkala gangguan:gangguan itu telah biasa, ia
menerimanya secara wajar pula. Tahun demi tahun
tumbang, dan usianya ber-tambah jua. Tatkala mencapai
usia delapan tahun, dipanggil baginda seorang resi yang
terkenal bi-jaksana akan mendidiknya dalam hal
kerohanian dan begitu pula seorang patih yang menjadi
keper-cayaan baginda, dititahkan untuk mengajarinya
mengenai segala soal yang berkenaan dengan soal
kenegaraan. Raden Panji mulai tenggelam dalam
pelajaran-nya, dalam kitab-kitabnya dan dalam ilmu yang
pelik-pelik. Meski nama Dewi Sekar Taji masih kadang-
kadang terdengar, namun ia merasa ber-tambah asing.
Kadang-kadang ia temienung memikirkan tunangannya
yang belum pemah dia jumpai itu. Ia belum juga mendapat
kesempatan untuk pcrgi ke Kadiri akan menyambangi
bakal istrinya. Baginda sendiri bukannya lupa akan
pertunangan putranda dengan kemEnakan baginda Dewi
Sekar Taji, namun baginda bcrpikir, adalah lebih elok
apabila Panji sungguh-sungguh menghadapi pelajarannya
dahulu. Bukankah ia yang kelak 9 akan melanjutkan
memangku takhta kerajaan? bukan hanya kerajaan
Janggala seperti yang dia perintah sekarang. tetapi
termasuk pula Kadiri! Karena Sekar Taji adalah pewans
takhta kerajaan Kadiri Tersenyum baginda memikirkan hal
itu. Tak sia-sialah hendaknya usaha leluhumya yang jaya
serta bijaksana. Rake Halu Syri Lokesywara
Dharmawangsya Airlangga Anantawikramatung-gadewa!
Raden Panji Kuda Waneng Pati bukan satu-satunya putra
baginda. Jumlah semua putera baginda empat puluh tiga
orang! Dan bukan pula ia yang tertua. Tumenggung Braja
Nata lebih tua empat belas tahun daripada Raden Panji.
Tetapi pada Raden Panjilah harapan baginda tertumpah,
karena ia pewaris takhta yang sah, karena hanya Raden
Panji saja di antara semua putranda, yang berdarah
langsung keturunan Empu Sindok, cakal-bakal ahala
Isyana! Maka tatkala Raden Panji berangkat remaja dan
segala ilmu mengenai kerajaan dan kerohani-an telah
ditumpahkan semuanya oleh guru-guru-nya, siaplah ia akan
melaksanakan cita-cita baginda yang luhur - hanya tinggal
menanti saatnya saja. Namun ilmu adalah seumpama
langit, makin ting-gi dijelang, makin tinggi menembus
awang-awang, makin in gin had menyelaminya! Makin
banyak yang direguk, makin haus dan dahaga makin men-
jadi-jadi. Raden Panji merasa dahaga akan ilmu, 10 dan
banyak pertanyaan-pertanyaannya, terutama yang
mengenai soal-soal rohaniah, mengusiknya tatkala
merenung. Ia meminta perkenan ramanya untuk menemui
para resi yang sakti dan para pendeta yang bijaksana,
akan mcncari penawar hausnya, penentramkan
kegelisahan kalbu. Mula-mula sang baginda merasa
keberatan akan mengabulkan maksud anakanda itu.
Tetapi kemudian diperkenankannya juga. Bukankah mak
sud seperti itu adalah maksud yang sangat baik?
Bukankah itu menandakan harapannya selama ini tidak
sia-sia? Karena, menambah ilmu dan memper-luas
pengalaman dan pengetahuan, akan sangat berguna bagi
kerajaan yang kelak akan diperintah oleh Raden Panji.
Bukankah dahulu pun leluhur-nya yang bijaksana, sang
Airlangga tak jemu-jemunya berguru. tak bosan^bosannya
bertapa, pergi dari resi menemui resi yang lain, berangkat
dari satu pendeta menemui pendeta yang lain? Sang
Airlangga yang bijaksana itu telah memberi contoh yang
baik dan kini anakanda, tumpuan harapan masa depannya,
Raden Panji, hendak mengikuti jejak leluhumya itu!
Tidakkah itu suatu tandayang baik? Maka karena pikiran-
pikiran seperti itu, akhir-nya baginda memperkenankan
anakanda Raden Panji Kuda Waneng Pati mengembara
ke saban Petapan, mencari resi yang sakti, mendapatkan
pendeta yang bijaksana, akan menambah ilmunya. 11
Sesungguhnya bukan persoaian-persoalan kene-garaan
yang menyebabkan Raden Panji merasa ti-dak tenteram
dan yang menyebabkan dia mesti mengembara dari
petapan^ke petapan. Dari patih Prasanta yang selama
beberapa tahun mengajarinya pengetahuan-pengetahuan
kenegaraan, dia telah mendengar riwayat keturunan
Isyana, tak henti-hentinya berperang dan berperang di man
a manu-sia-manusia terbunuh sia-sia, memperebutkan
nega-ra dan takhta kerajaan. Dia kagum akan moyang-nya
Airlangga yang gigih serta berhasil memper-besar daulat
kerajaannya, mengamankan keadaan dalam negeri yang
kacau setelah diserang oleh raja Wura-wari, kemudian
menaklukkan kerajaan demi kerajaan yang lain ke dalam
wiiayah takluknya. Tetapi, kalau teringat pula olehnya,
bahwa untuk maksud tersebut, tak terhitung entah berapa
ribu manusia yang mati sia-sia, Raden Panji mengerut-kan
dahi. Adakah moyangnya itu berbahagia setelah
mengurbankan demikian banyak balatentara dan tenaga?
Adakah ia berbahagia setelah menen-tramkan kekacauan
dalam negeri dan menaklukkan kerajaan-kerajaan
sekelilingnya? Adakah ia tenteram senang di atas takhta
kerajaan yang meliputi wiiayah yang luasnya tak terkira,
setelah lelah berjuang mati-matian sepanjang hidupnya?
Raden Panji ragu untuk menjawab, "Ya, mo-yangku
Airlangga yang bijaksana itu berbahagia melfliat hasil
usahanya yang tak kunjung henti 12 selama dia hidup Ya,
ia ragu Untuk meyakini jawaban seperti itu. Bukankah sang
Airlangga men jelang akhir hidupnya,
meninggalkan keraton setelah meminta tolong kepada
Empu Bharada yang konon sakti itu membagi dua
kerajaannva menjadi Janggala dan Kadiri? Ya, sang
Airlanm tidak mustahil kecewa pada akhir hidupnya
lantaran melihat keturunannya, anak-anaknya sendiri saing-
menyaingi untuk menduduki takhta. Ya tak mustahil sang
Airlangga merasa usahanya seu'mur hidup itu sia-sia, lalu
ia pun mengikuti jejak putri-nda sang Kili Suci untuk
bertapa di Pucangan Dan ia, ia sendiri - Raden Panji Kuda
Waneng Pati - bagaimana? Akankah ia menemui
kebahagia-an dan kedamaian hati apabila kelak ia
menjadi raja menggantikan ayahanda memerintah
kerajaan Janggala dan lantaran ia telah dipertunangkan
dengan Dewi Sekar Taji, ia pun akan menguasai wiiayah
Kadiri pula? Sungguh luhur cita-cita ayahanda! Baginda
hendak mewujudkan kembali usa-ha sang Airlangga yang
dahulu! Baginda hendak mempersatukan Janggala dan
Kadiri pula! Dan tugas itu terpikul pada pundaknya -
pundak Raden Panji! Tetapi, benarkah kelak, kalau sudah
melaksa-nakan kewajibannya sebaik-baiknya sebagai
keturunan Isyana yang bijaksana, ia bakal menemui
kebahagiaan dan ketentraman batin? Begitukah hidup
manusia? Berjuang membela kebahagiaan 13 yang
digariskan orang lain, untuk keperluan orang lain dan demi
kebahagiaan orang lain pula? Alangkah sederhana!
Namun alangkah asing dan aneh kedengarannya! Tidak,
yang dia can dari resi ke resi, dari peta-pan ke petapan,
bukan hal-hal yang demikian ru-wet. Ia ingin merasakan
batinnya tenteram. Suasa-na dalam keraton tidak
memberinya ketentraman. Ia melihat semua orang di sana,
berdiri pada tem-patnya, mempunyai beban yang mesti
diselesai-kannya. Kesibukan-kesibukan yang terasa
seolah-olah disibuk-sibukkan saja! Kesibukan dalam suatu
perpu taran yang lebih besar, yang entah akan ber-manfaat
ataukah tidak buat diri si petugas sendiri! Orang-orang di
keraton seolah-olah bukan manusia lagi, melainkan kuda
yang kalau tidak menarik kereta sebaik-baiknya akan
mendapat cemeti menyambar punggung Dan ia sendiri,
kelak suatu hari, kalau mendu-duki takhta, tentulah tak
ubahnya dengan kusir yang selalu mengamangkan cemeti,
menakuti kuda supayajangan keluar dari jalannya. Tidak,
kedudukan seorang kusir, meskipun mengusiri kerajaan
yang luasnya tak terhingga, bukanlah impian yang serasi
dengan jiwanya. Dalam petapan yang rimbun serta sejuk,
jauh dipunggung gunung di tengah-tengah hutan, Raden
Panji sering merenungkan itu semua. Alangkah berat
bebannya! Alangkah berat tugasnya! 14 Dan masih juga
setiap pendeta yang ditemuinya menyadarkan dia akan
tugas itu: "Kewajiban nap manusia adalah menjalankan
darmanya masing-masing sebaik-baiknya. Hamba yang
dilahirkan sebagai seorang berahmana men-jalankan
darma sebagai seorang berahmana. Dan gusti yang
dilahirkan sebagai seorang satria mempunyai tugas
sebagai seorang satria pula. yang luhur serta suci. Hanya
mereka yang menjalankan darmanya sebaik-baiknyalah
yang mungkin men-capai kedamaian abadi - moksya."
Kedamaian abadi! Ya, kedamaianlah yang di-ingininya.
Apakah hanya ada satu jalan mencapai kedamaian yaitu
menjalankan tugas yang dipikul-kan orang kepadanya dan
akan dilaksanakannya tentu dengan tidak merasa damai?
Apakah hanya dengan melalui ketakdamaian saja ia bakal
mencapai kedamaian? Tetapi ia bukan seorang satria
kalau menyata-kan ketakpenujuannya secara kasar. la
menyimak-kan setiap nasihat, petua, ajaran setiap resi dan
pendeta mengenai kedamaian. "Kedamaian itu," kata
maha resi Saptani di pegunungan Penanggung yang dia
kunjungi, "hanya bisa dicapai dengan pengetaluian.
Pengetahuan apa? Yakni pengetahuan tentang
kedamaian. Kedamaian di mana? Kedamaian dalam
hidup. bukan? Jadi pengetahuan kedamaian apa? Tentu15
lah pengetahuan kedamaian dalam hidup. Jadi juga
pengetahuan tentang hidup. Dan pengetahuan tentang
hidup tak bisa dipisahkan dari pengetahuan tentang man".
Apa man? . . Terdcngar-dengar tiada segala tutur maha
resi yang dalam gaya tanya-jawab sendirian itu oleh Raden
Panji. Namun ia tunduk temungkul, husyu mencoba
menyimakkan ajaran sang Resi Saptani. Namun tatkala
akhimya sang Resi mempersila-kannya beristirahat karena
maJam telah larut. Raden Panji belum juga bisa
mendamaikan hati-nya, "Bagaimanakah jalannya untuk
mencapai pengetahuan tentang kedamaian dalam hidup?
Bagaimanakah ia bisa mencapai pengetahuan tentang
hidup? Tentang mati?" yang dia dengar dari sang resi,
penuh teka-teki, bagaikan belokan-Jbelokan yang mungkin
menyesatkan. Udara malam sangat hening. Dan sejuk
pegu-nungan memberikan suatu suasana yang sangat
mengesankan. Telah sering ia bermalam di peta-pan-
petapan sunyi di tengah hutan jauh di puncak gunung,
namun suasana seperti yang dia rasakan malam itu,
alangkah lain. Rabunya luas, bagaikan hendak menghirup
seluruh udara. Dan dalam pe-rasaan bahwa ia bisa
menghirup seluruh aJam ke dalam rabunya, ia me rasakan
kedamaian yang ajaib. Ia terlena. Tatkala keesokan
harinya ia pagi-pagi benar 16 kcJuar akan menyaksikan
Batara Surya muncul nun jauh di kikilW terkejutlah ia l an tar
an mclihat seorang bidadan berjalan membawa sa-jcn.
Sungguh tak percaya ia akan penglihatannya karena di
hutan yang terpencU seperti itu ia tak mengira akan melihat
wanita scjelita itu. Tak syak lagi. It" bukan manusia,
melainkan bidadan Terpukau ia dengan mata terbelalak
memper-hatikan tingkah bidadari itu kemalu-maluan.
'Siapakah dia gerangan?" tanyanya kepada dirinya sendiri,
waktu akhirnya si jelita itu meng-hilang. Ia lupa kepada
niatnya, lalu mengikuu jejak si cantjk. Itulah perkenalan yang
pertama dengan Dewi Angraeni. Anggraeni yang
kemudian memberinya perasaan damai. Apa sebabnya,
kalau dia berada bersama gadis itu, hatinya merasa
damai? Merasa tenang? Dan kegelisahan yang biasanya
mengamuk, lenyap tak bersisa? Entahlah, entahlah. la
sendiri bahkan tidak menyadari hal itu pada awainya.
Namun setelah setiap hari ia menemui gadis itu,
kedamaian dan ketentraman makin berakar dalam dirinya.
Kalau sehari saja ia tidak bertemu dengan gadis itu,
seolah-olah sesuatu hUang dari jiwanya. Tetapi Anggraeni
pun bukan orang yang suka bermimpi. Ia mengetahui
siapakah gerangan je-jaka tampan itu. Putra mahkota.
Putra mahkota kerajaan Janggala yang jaya. Yang suatu
kali kelak menentukan hidup atau mati semua kawula 17 di
seluruh kerajaan. Lain dari itu. ia pun telah pu|a mendengar
tentang pertunangan Raden panji dengan Dewi Sekar Taji.
la mengetahui siapa gerangan dirinya. Wanita gunung.
bukan keturun-an raja, dan bukan tandingan seorang putra
mahkota. Namun apakah artinya putera mahkota bagi
Raden Panji? Apakah bedanya bagi Raden Panji seorang
putra raja atau kawula jelata? Apakah beda antara
manusia dengan manusia yang sama-sama dihangati oleh
hati yang mengenai cinta, bagi orang yang sudah ragu
akan kedamaian dirinya kelak di atas takhta? Laksana
sebuah mata air yang jernih bening keluar dari tebing di
pegunungan, atau laksana sekuntum bunga yang kembang
di tengah kesunyi-an hutan. segar serta indah, memberinya
kedamaian yang sejuk. demikianlah halnya Dewi
Anggraeni bagi Raden Panji. Mata air itu takkan habis-
habisnya mengeluarkan air yang jernih bening. takkan
mengenai kering musim kemarau, takkan mungkin dikotori
segala sampah duniawi. Dan bunga yang kembang itu
takkan layu-layu. karena takkan habis-habisnya mendapat
pupuk kasih sa-yangnya sendiri. "Mengapa wajahmu selalu
mumng. puspa jeli-ta?" tegur Raden Panji kepada Dewi
Anggraeni pada suatu hari. "Takkan hatimu senang, takkah
pe-rasaanmu gembira. mendapat kunjungan seorang 18
kelana sebagai hamba?" Dewi Anggraeni menekurkan
kepala. "Ampun beribu ampun hamba mohonkan" sahutnya
dengan suara tak lancar. "Masakan hamba seorang hina-
dina ini berani tidak bersenang hati lantaran mendapat
kunjungan Gusti seorang putra mahkota yang suatu kali
kelak akan menen-tukan mati-hidup hamba sebagai
kawula?" "Jadi, apakah gerangan sebabnya maka
wajahmu yang jelita itu bagaikan matahari tertutup awan?
Lihat, burung-burung enggan bemyanyi iantaran melihat
wajahmu muram. Dengarkan, air terjun di jauhan itu
bagaikan menangis, meratap-ratap ingin mengetahui
sebab-musababnya maka junjungan mereka bermuram
durja. Wahai, puspita dewi, katakanlah, apakah gerangan
yang merun-dung kalbumu, sehingga tak ccrah tak
gembira?" Dewi Anggraeini tidak scgera menyahut. la
tahu, pergaulannya dengan Raden Panji sudah terlalu jauh.
Baginya sendiri bukan tanpa pengur-banan kalau berpisah
dengan dia! Tetapi aduhai! Pahlawan itu telah ditakdirkan
duduk bersanding dengan yang setimpal! "Mengapa tidak
meny^" Adakah sesuatu halmu yang tidak boleh Kanda
kctahui?" Perlahan-lahan Dewi Anggraeni menggclengkan
kepala. "Tidak, tidak. Bukan dcmikian . .. sahutnya^
Sedangkan dalam hatinya ia berbisik, All. 19 saiah
sangka. Disangkanya aku tidak mau bertenis tcrang . . .
Duhai bagainiana hal itu akan kuterang-kan kcpadanya?
Bahwa sesungguhnya hatOcu sendiri . . . ?" "Jadi apakah
gerangan sebabnya?" tanya Raden Panji tak sabar. Dewi
Anggraeni mengeluh. "Ah, Gusti tentu lebih maklum,"
sahutnya ke-mudian. Raden Panji mengerutkan dahi.
Matanya tajam mengawasi Dewi Anggraeni. Meskipun ia
bisa menduga, namun ia bertanya juga; "Tidak, puspa
jelita. Bagiku halmu itu pekat sepekat malam tak
berbintang. Katakanlah terus terang." Dewi Anggraeni
tidak segera memberi jawaban. Hatinya sesak. Dan
dadanya seperti padat, tak bisa mengembang. Sudut
matanya terasa hangat. "Ah. jangan menangis . ..," bujuk
Raden Panji. "Hamba hanya seorang gadis gunung,
seorang yang lahir di tengah rimba. dan agaknya telah di-
tetapkan Dewata, agar hidup dalam kesunyian dan ¦
meninggal dalam kesunyian ... " "Tidak! Oleh Dewata yang
maha kuasa Adinda ditetapkan untuk hidup di sampingku,
dan mele-paskan daku kalau kelak aku meninggal 'Tidak
berani hamba berpikir sejauh itu ... " "Tetapi itulah yang
bakaJ terjadi: Akan kuminta engkau kepada orangtuamu,
dan kita akan berbahagia." 20 ••Tidak! Sadarkah Gusti,
siapakah scbenam hal11ba? Seorang gadis jelata! Orang
gunung y?' tak pantas dibawa ke tengah." •Tetapi aku akan
mencmpatkanmu di tengah tengah dunia. Seluruh dunia
akan mcnyembahmu karena Adindalah yang akan duduk di
sampingku Itulah takdir yang telah ditetapkan oleh Mahade-
wa. karena itu dititahkannya daku mengembara berkelana
dari satu petapan ke lain petapan. tn-tuk menemui adinda.
Dan sekarang. adinda telah kutemui, maka apakah lagi
gunanya bagiku yang lain? Kalau aku disuruh mcmilih
antara yang lain-lain dengan Adinda, maka bunga segar
indah yang tumbuh di hutan pegunungan Penanggungan ini
yang akan kupilih ..." Dewi Anggraeni menyungkup
wajahnya dengan kedua belah tangan. "Ampun Gusti,
betapa besarnya pun kasih Gusti yang dilimpahkan
kepada hamba, namun ..." "Namun apa? Cintaku tumbuh
bersama-sama dengan cintamu, dan perpaduan keduanya
akan mcmbuahkan kebahagiaan yang kekal. Kebahagiaan
yang akan menjadikan dunia ini surga bagi kita berdua..."
"Namun, sadarlah Gusti hendaknya akan per-bedaan yang
terentang antara kita berdua, ampun Gusti!" "Kalau cinta
telah bersemi, kalau keduanya Iclah tumbuh berkembang,
lenyaplah segala pcr21 bcdaan antara kedua orang yang
memilikinya! Antara engkau dengan daku, tak ada
perbedaan. Yang ada hanyalah rentangan kasih yang
diper-tautkan cinta menuju gapura kebahagiaan."
Anggraeni tidak menyahut. "Atau begitu hinakah cintaku,
sehingga bagimu ia patut ditolak dikesampingkan?"
'Ampun Gusti!" sahut Dewi Anggraeni cepat. 'Bukan begitu
halnya. Tak berani hamba kendati berpikiran seperti itu!
Namun mengatakan hal yang se ben amy a terasa dalam
hati hamba pun -hamba tidak sanggup pula!" "Apakah pula
yang masih menjadi penghalang antara kita, yang masih
menabiri jarak antara kita?" "Pengetahuan bahwa yang
hendak memetik hamba, bukanlah sembarang, melainkan
satria pilihan. Duhai, jika saja Gusti bukan seorang putra
mahkota!" Raden Panji melengak. Ia menghirup nafas da-
lam-dalam Kemudian ia melangkah mendekati Dewi
Anggraeni. Tangannya yang kanan terulur, kemudian
membelai rambut hitam yang halus serta panjang itu.
"Bagimu, aku bukanlah seorang putra mahkota, melainkan
seorang hamba yang akan bernaung dalam teduh
kedamaian hatimu . . . bisiknya dengan mesra. ... 22 SANG
PRABU ) AYANTAKA Termenung baginda mendengar
kabar tentang per-nikahan anakanda Raden Panji Kuda
Waneng Pati - putra mahkota tumpuan harapan seluruh
kerajaan. Ketika hal itu pertama kali disampaikan orang,
baginda tidak mau percaya. Benarkah Panji berbuat
seperti itu? Sejak kecil ia menunjukkan perangai seorang
yang alim, yang sungguh-sungguh, yang sclalu sibuk
dengan kehidupan yang tak nampak pada mata orang
biasa. Mungkinkah ia berbuat seperti itu? Namun tatkala
berkali-kali baginda mendengar sembah itu, dan ketika
akhir-nya permaisuri sendiri yang mempersembahkan-nya
kepada baginda, mau tak mau baginda mesti percaya.
"Rayi," sabda baginda kepada sang permaisuri. "Dari
siapakah Rayinda mendengar kabar seperti itu?" "Ampun
Rakanda," sahut permaisuri. "Berita llu hamba dengar dari
Anakanda sendiri." 23 "Raden Panji?"*
"Sesungguhnyalah." Baginda tersentak. "Jadi Raden Panji
sendiri yang mempersembah-kan hal itu kepada
Rayinda?" "Daulat Kanda." "Mengapa ia tidak
menyampaikan hal itu kepada Kanda?" "Beribu ampun
Rakanda, kelapangan dan ke-luasan maaf Rakanda
Rayinda minta," sahut permaisuri menghaturkan sembah.
"Raden Panji tidak berani mempersembaJikan hal itu
langsung kepada Rakanda. Ia takut." "Takut? Mengapa
pula takut?" "Ia kuatir hal itu akan membuat Rakanda
murka." "Kanda murka? Kanda tidak pemah murka
kepada orang yang tidak bersalah. Dan dalam hal mi,
Raden Panji--"Hamba m in tak an ampun berlaksa untuk
anak kita berdua itu, Rakanda." "Tetapi. kenyataan bahwa
Raden Panji sendiri tidak berani mempersembahkan hal
tersebut kepada Rakanda, membuktikan bahwa ia sendiri
sadar bahwa ia melakukan suatu___" "Ampun Rakanda."
"Ia sendiri sadar, bahwa yang dia lakukan suatu do ..
kekeiiruan." 24 -Ampun Rakanda. Raden Panji tidak berani
mempersembahkan hal pernikahannya itu kepada
Rakanda, karena ia merasa kuatir Rakanda murka
iantaran gadis yang dia kawini itu bukan seorang
jceturunan raja ... * "Kalau ia tidak merasa melakukan suatu
kcsi-lapan, apa salahnya ia menyampaikan niatnya itu
terlebih dahulu kepada kami?" "Ampun Rakanda." "Raden
Panji tidak melakukannya. Raden Panji tidak meminta
pertimbangan kita terlebih dahulu. Ia bahkan tidak memberi
kabar kepada kita sebe-lum pernikahan berlangsung.
Bahkan sesudah pemikahan berlangsung pun, ia tidak
berani memberi kabar kepada Kanda - ayahnya!" "Ampun
Rakanda! Ia masih muda ..." "Tetapi ia seorang putra
mahkota, yang mesti tahu membedakan antara yang benar
dan yang tidak benar." Permaisuri tidak menyahut. "Dan
lain dari itu. Rayinda pun tahu. bahwa pemikahan Raden
Panji itu akan menyeret per-soalan kerajaan bersamanya.
Bukan hanya satu kerajaan, tetapi dua kerajaan: Janggala
dajfcjfcfd'n yang dahulu sekali pernah seluruh;
menghaturkan sembah kepada seoi yakni moyang kita
sang baginda baginda berhenti scbentar, kemudii
"Bukankah Rayinda masih ingat akan pertunangan Raden
Panji dengan Dewi Sekar Taji?" "Hamba, Rakanda."
"Pertunangan itu diadakan atas persetujuan kedua belah
pihak. Kakanda telah berdamai dengan rayinda Sri
Jayawarsya dan kami berdua telah sepakat hendak
mewujudkan kembali usaha dan cita-cita moyang kita sang
baginda Airlangga yang Iuhur. Kerajaan Jawa yang man a
luas dan yang pemah dibagi dua oleh fcmpu Bharada yang
sakti itu, hendak kami persatukan kembali dengan jaJan
menikahkan dua orang putra mahkota. Raden Panji Kuda
Waneng Pati yang menjadi putra mahkota Janggala, mesti
nikah dengan Dewi Sekar Taji yang menjadi putri mahkota
Kadiri. Dari kedua putra mahkota itu, diharapkan akan
melahir-kan keturunan yang akan mewarisi kedua buah
kerajaan di bawah satu kekuasaan ... " "Hamba, Rakanda."
"Dan sekarang - sekarang Raden Panji menga-wini
seorang gadis yang tak keruan keturunannya, yang entah
ditemuinya di mana!" "Ampun Rakanda. Meskipun benar
Dewi Anggraeni bukan seorang keturunan raja, tetapi ia
be-nar-benar seorang gadis jelita, sukar mencari ban-
dingannya —." Sang baginda memandang permaisuri
tajam-tajam. *Jadi Rayi sudah bertemu dengan dia?" 26
••Hamba, Rakanda." ••Jadi Raden Panji telah membawa
istrinya ke istana? "Di kaputran. Baginda mengeluarkan
nafas dalam satu hem-busanyangcepat. "Dan ia belum
juga meminta perkenan Rakanda •• baginda bergumam.
"Bahkan ia belum mem-beritahukan hal itu kepada kami..."
"Ampun, Rakanda, hamba meminta kelapangan dan
kedalaman lautan ampun yang hendaknya Rakanda
limpahkan atas batu-kepala anakanda Raden Panji Kuda
Waneng Pati..." Baginda termenung. Permaisuri tidak
berani memecah kesucian. Maka waktu pun berjenak-
jenak berlalu dalam hening. "Dan apa tadi kata Rayi?"
akhirnya sang baginda memecah kesepian. "Gadis yang
bernama Dewi Anggraeni itu seorang gadis jelita jarang
banding-annya? Ah, kalau pemikahan hanya cukup oleh
kecantikan dan ke tamp an an belaka...' "Ampun Rakanda.
Semula Rayinda pun tidak setuju demi mendengar
pemikahan Raden Panji. Namun tatkala Raden Panji
membawa istnnya kepada Rayi dan tatkala Rayinda
menyaksikan sendiri gadis itu - menantu kita - lenyaplah
ke-kuatiran Rayinda. la sungguh-sungguh seorang gadis
yang dieita-citakan setiap bunda untuk menjadi
menantunya ..." 27 "Karena ia cantik, karena ia jelita?"
potong sang baginda. "Tidak hanya itu. Ia pun seorang
yang berbudi halus, serta tahu akan adat. Sampai Rayinda
ber-pikir. bagaimana mungkin seorang gadis yang ber-
asal dari gunung yang terpencil mengetahui adat-istiadat
serta sopan santun keraton sesempuma itu? Tidakkah ia
mungkin seorang puteri raja yang melarikan diri?" "Ah,
janganlah Rayinda memikirkan yang bukan-bukan. Putri
raja! Raja manakah yang melarikan diri ke hutan?"
"Ampun, dauiat Rakanda! Sangkaan itu hanya-lah terbit
lantaran Rayinda tercengang melihat tingkah laku Dewi
Anggraeni yang sangat sempur-na jua." Baginda
menunggu beberapa jenak, baru kemudian menyahut,
"Bagairnanapun jelitanya dia, dan bagairnanapun tingkah
lakunya sopan-santun dan betapapun sempumanya dia
sebagai gadis yang dicita-citakan oleh setiap mertua,
namun ke-semuanya itu lenyap artinya sekarang,
berhadapan dengan persoalan kerajaan yang menyangkut-
paut mati-hidup berlaksajiwa kawula dua buah negara.
Yang jadi persoalan bagi Rakanda sekarang, bukan hal
pemikahan Raden Panji dengan Dewi Anggraeni, tetapi
persoalan yang terseret oleh pemikahan itu. Raden Panji
mesti menikah dengan Dewi Sekar Taji, putri mahkota
kerajaan Kadiri." 28 Kembali suasana hening. -
Bagaimanakah kelak akan Rakanda jawab kalau
sekiranya Rayinda Prabu Jayawarsya meminta kita
menepati janji?" "Ampun Rakanda," sahut sang permaisuri
"Bagi seorang lbu, yang menjadi idaman dan ha-rapannya
adalah kebahagiaan putra yang pemah dia kandung
sembilan bulan lebih di bawah jan-tungnya. Adalah
kebahagiaan putra yang pemah meronta-ronta meminta air
susu dari dadanya. Adalah kebahagiaan putra yang pemah
ditimang-dipangkunya selagi bayi. Maka tatkala hamba
me-nyaksikan betapa rukun dan saling cinta-mencin-tainya
Raden Panji dengan istrinya Dewi Anggraeni,
kebahagiaan pun menyelimuti hati bundayang pemah
mengandung dan melahirkannya. Alangkah bahagianya
putra kita! Dan melihat kebahagiaan itu, lenyap segala
persoalan dan pikiran yang lain." "Itulah. Seorang bunda
adalah seorang wanita. Dan seorang wanita hanya
memandang apa-apa yang kelihatan oleh matanya saja.
Matanya buta oleh benda yang berada di depan matanya,
benda nyata, sehingga lenyaplah hakekat segala benda
yang tidak nampak oleh mata. Kasih sayang seorang
bunda, bukan tidak mustahil membutakan matanya kepada
akibat-akibat yang mungkin tim-bul sebagai taruhan
kebahagiaan putranya. Keba29 hagiaan Raden Panji Kuda
Waneng Pati, bukan tidak dipertaruhi. Pada batu
timbangan yang lain, nasib dan kebahagiaan kawula dua
buah kerajaan besar terletak. Kalau diri Raden Panji yang
kita menangkan, maka akan hancurlah negara dan
kekacauan akan mengamuk di kedua buah negara."
"Ampun Rakanda. Rakanda berbicara tentang kekacauan,
namun kekacauan apakah itu gerangan? Rakanda
berbicara tentang kehancuran, tetapi kedua buah negara
sekarang masih megah berdiri." 'Itulah bukti yang senyata-
nyatanya, bahwa seorang wanita hanya sanggup melihat
yang ter-dekat dengan pandangannya. Ia tidak bisa melihat
ke kakilangit yang nun di kejauhan, dan apalagi melihat
apa yang terjadi di balik kakilangit itu! Tidakkah Rayinda
tahu, apakah yang sekiranya terjadi kalau Rayinda Prabu
Jayawarsya mendengar kabar tentang pemikahan Raden
Panji putra mahkota Janggala dengan putri yang bukan
putri mahkota Kadiri? Tidakkah Rayinda maklum, apakah
akibatnya jika Rayinda Prabu Jayawarsa murka? Akan
dikumpulkannya wadia-bala dan akan diserangnya
Janggala! Perang! Peranglah yang akan menjadi taruhan
pemikahan Raden Panji sekarang! Perang yang akan
terjadi antara dua buah kerajaan yang berasal dari satu
keturunan. Pandawa dengan Kurawa pun seperti ditutur-
kan dalam Mahabharata, adalah berasal dari satu 30
keturunan. leluhur Bharata. Dan kedua kaum itu pun
berperang. Tetapi apakah yang menjadi ta ruliannya?
Kebenaran. Pandawa mcmpertahankan kebenaran,
melawan dan menghapuskan kesera-kahan kaum Kurawa
dari muka dunia. Tetapi kalau pecan perang antara
Janggala dan Kadiri, apakah yang kita pertahankan?
Kebenaran? Terang kita berada pada fihak yang bersalah.
Kita tidak menepati janji. Kehormatan? Kehormatan, ma-
sihkah orang yang tidak menepati janji berhak bicara
tentang kehormatan? Ah, Rayinda — tidakkah Rayinda
melihat malapetaka yang demi-kian besar menjadi taruhan
kebahagiaan seorang Raden Panji? Tidakkah Rayinda
melihat darah akan membanjir, dan mayat-mayat
bergelimpang-an? Mayat-mayat prajurit dan pahlawan
Kadiri dan Janggala. Dan keduanya berjuang secara sia-
sia. Keduanya berkelahi mem pertahankan apa yang
memang tak patut dipertaliankan!" Baginda menjatuhkan
kepala dan melipatkan kedua belah tangan di dadanya.
Suasana sangat mencekam. Akhirnya sang permaisuri
menyahut, suaranya mula-mula perlahan, tetapi makin lama
makin tegas jua. "Mengapa Kanda melihat terlalu jauh?
Mengapa Kanda membayangkan hal-hal yang buruk saja?
Tidak, pemikahan Raden Panji dengan Dewi 31
Anggraeni, tak usah berpenganih kepada kerajaan.
Pemikahan itu tidak membatalkan pcrjanjian yang telah
Kanda buat dengan Prabu Jayawarsya, bukan? Tidak.
Pemikahan itu mesti Kanda restui* demi kebahagiaan
anak kita sendiri dan demi kebahagiaan kerajaan ..."
"Demi kebahagiaan kerajaan kata Rayinda?" "Ampun
Kanda, demikianlah adanya." Baginda mengerutkan
kening. "Bagaimana hal itu mesti diterangkan supaya
Kanda menjadi maklum?" tanya baginda penuh penasaran.
"Daufat Kanda, apabila sekarang Kanda memi-sahkan
Raden Panji dari Dewi Anggraeni, bukan hanya hatinya
akan hancur luluh, tetapi juga cita-cita Kanda yang luhur itu
akan si ma." "Apa kata Rayinda?" "Cita-cita Rakanda yang
luhur itu akan sima, karena Raden Panji yang mesti
melaksanakan cita-cita luhur itu akan mereras. Ia akan
sangat berduka apabila dipisahkan dari kekasihnya. Kalau
Raden Panji meninggal karena duka cita, bukan hanya
Rayinda yang akan tenggelam dalam lautan kese-dihan,
tetapi Rakanda pun tidak mungkin melaksanakan cita-cita
Kanda yang mulia itu ... Sang baginda mengangguk-
anggukkan kepala. la tidak segera bersabda, melainkan
hening ter-menung, memandang ke arah luar, seolah-olah
32 jak mencari scsuatu nun jauh di kakilangit hCAkhimya ia
mcnarik nafas dalam. ••Jadi bagaimanakah scbaiknya
menurut Rayin-tiT ia bertanya. Wajah permaisuri
bercahaya. "Ampun Rakanda," sembahnya. "Menunit he-
mat hamba, sebaik-baiknya Rakanda menitahkan putra
kita Raden Panji bcrsama istrinya mengha-dap untuk
merestui pemikahan mcrcka ..." Kembali baginda
mcnghela nafas. "Kanda mengerti," sabdanya kemudian
dengan suara dalam "Memisahkan keduanya dalam saat-
saat seperti ini, sangat berbahaya. Terima kasih Rayinda,
terima kasih Rayinda telah memperi-ngatkan Kakanda
akan akibatnya yang parah kalau Kanda bersikcras. Kanda
ingin melihat cita-cita Kanda yang mulia terlaksana. Kanda
mau ber-sabar." Lalu baginda hening beberapa lamanya.
Tangannya yang kanan mengusap-usap dagu. seolali-olah
hendak memeriksa rambut yang tumbuh di sana. "Kanda
percaya. kalau waktu telah berlalu, saat-saat penuh bunga
telah lewat. Raden Panji takkan berat meninggalkan
kekasihnya." "Jadi akan Kanda perkenankankah increka
mcnghadap? Akan Rakanda bcri restukah mcrcka.' ' tanya
permaisuri harap-harap ccmas. Bam setelah mcnghela
dan menghembusk.m nalasnya pula. sambil mengangguk-
anggukkan kc-palil- baginda mcnyahut. "Baiklah. Baiklah
nasihat 33 Rayinda akan Kakamla limit Mudah-nuidahan
akibatnya tidak sejauh yang Kakanda bayangkan . . .
Artinya. mudah-mudahan Rayinda Prabu Jayawarsya tidak
murka dan bisa dikasih mengerti .. . Miidali-mudalian
takkan terbit bencana!" Pemiaisuri mengliaturkan sembah.
mengucapkan terima kasih. 'Akan Rayinda sampaikan.
supaya Raden Panji dengan Dewi Anggraeni datang
mcnghadap di ba-wah duli. Raden Panji tentu akan sangat
bcrgem-bira sekali..." Sang Baginda hanya mengangguk-
anggukkan kepaJa. sedangkan matanya masih jua
mcnatap ke kejauhan. nun ke kakilangit yang tak terjang-
kau. seolah-olah perhatiannya tertarik akan apa yang
nampak olehnya di sana. i 34 SANG PRABU
|AYAWARSYA Apa yang ditakutkan oleh Sri Baginda
Jayanta-katunggadewa. raja Janggala yang jaya. benar-
benar terjadi. Berita mengenai pemikahan Raden Panji
Kuda Waneng Pati dengan Dewi Anggraeni. seorang
gadis tak berbangsa, yang konon ditemui Raden Panji di
sebuah petapan, sampai juga kepada Sri Baginda
Jayawarsyatunggadewa, raja Kadiri. Tidak, pertama kali
mendengar hal itu, baginda Jayawarsya tidak percaya.
"Mana mungkin." kata baginda. "Mana mungkin Kakanda
Prabu Jayan-taka lupa akan pcrjanjian yang pemah sama-
sama kita ikat! Raden Panji akan dinikahkan dengan
putriku Sekar Taji. karena kami sama-sama ingin
menyaksikan Janggala dan Kadiri bcrsatu di bawali
pemerintahan keturunan mereka!" Tetapi kabar itu makin
lama makin santcr dan makin santer jua. Akhirnya baginda
menitalikan seorang senapati untuk menyelidiki kebenar35
an kabar itu. Dua orang mata-mata dikirimkan ke Janggala
akan membuktikan kebenaran bcrita yang menyinggung
martabat sang baginda. Mata-mata bekerja dengan teliti
dan cepat maka seminggu kemudian kepastian mengenai
berita tersebut telah mereka peroleh. Mereka mem-
persembahkan hasil penyelidikannya kepada sang
senapati Wiranggada yang kemudian melanjutkan-nya
kepada sang baginda. Terhenyak baginda di atas tempat
duduknya. Tak sepatah pun perkataan keluar dari
mulutnya^ berjenak-jenak lamanya. Kemudian baginda me-
nunduk, memegang keningnya dengan tangan kanan yang
bertelekan di atas lututnya. Baginda asyik berpikir. Sang
senapati Wiranggada tidak berani meng-ganggu. Ia pun
duduk diam. Kepalanya menunduk seolah-olah berat benar
baginya untuk mengangkat wajah. Lama keduanya
berdiam<liam dcmikian, sellings' mengangkat wajahnya
sambil menghadap! Begitu pula para tetua negara yang
Pentmg-penting! Sekarang juga'" bah laTualTirangfada
**ra menghaturkan semgawa tri" HnjUtkan titah ilU kcPada
P« Stt^S? Sangal ",ak* <* ayal dila kukan dengan cepat.
Dan tidak berapa lama keuuidian, semua tetua negara dan
pcjabai-pejabat yang pcnting sudah datang menghadap di
hadapan Sri Baginda Jayawarsya. Wajah mereka nampak
penuh pcrtanyaan. karena mendapat titah menghadap
bukan pada saat yang biasa. Dari sorot yang lerpancar
dari mata mereka. kclihatan hati mereka dipenuhi tanda
tanya dan dugaan-dugaan Mereka saling pandang, saling
bcrbisik dan saling bcrtanya sesamanya. tetapi mereka
hanya bisa menduga-duga saja. Namun dari kcangkeran
suasana balairung yang seolah-olah menjadi muram oleh
kemuraman durja sang baginda. mereka me-rasakan
suasana yang menekan dan berat menyc-sakkan rabu.
Setelah menghaturkan sembah dengan tak/im-nya, mereka
duduk diam-diam dengan kepala ter-tunduk, menanti
sabda yang dipertuan. Sedangkan baginda, dengan
kening yang tetap bcrkerut, nampak berpikir keras.
dirundung persoalan yang agaknya sangat berat. Baginda
hening. duduk di atas takhta, memandang ke kcjauhan, dan
mereka yang datang mengliadap seolah-olah tertang-kap
tiada kendati bayangannya. Mata baginda lebar terbuka,
tetapi orang-orang yang masuk ke bangsal penghadapan,
scakan-akan tidak kelihat-an olehnya. Scbentar-sebentar
baginda meru-bah sikap duduknya, menelekankan siku
tangan di atas lutut. Atau bangkit dan berjalan-jalan dengan
kedua belah tangan bertemu di bagian bawah 37 36
punggungnya. sedang matanya diarahkan ke luar, meninjau
langit yang menjadi muram dan rcndah memberat.
Melangkali beberapa tindak. baginda kembali ke atas
singgasana, lalu duduk pula mercnung. Dan suasana
balaimng makin berat menekan. Bahkan nafas pun seolah-
olah ditahan, supaya jangan memecahkan kesunyian dan
kemuraman yang membeku. Namun, sesudah semua yang
dititahkan hadir lengkap menghadap, dan setelah
beberapa lamanya mereka tertekan dalam suasana yang
berat itu, maha patih Kebo Rerangin yang sudah lanjut
usianya dan terkenal bijaksana, tempat baginda meminta
nasihat, terdengar menghaturkan sembah. Suaranya Iirih,
namun jelas dan sejuk terasa masuk ke dalam hati barang
siapa yang mendengarnya. "Ampun beribu-ribu ampun,
Gusti, hamba mo-honkan lantaran hamba telah lancang,
berani t?ersuara tanpa perkenan Gusti . . . Namun, hamba
sekalian telah dititahkan menghadap dalam saat yang luar
biasa, niscaya ada persoalan maha pen-tmg yang luar
biasa pula. Hati hamba sekalian selama di jalan dan
terlebih-lebih setelah sampai di hadapan duli, bagaikan
hendak pecan lantaran ingm tahu. Hamba sekalian ingin
sekali menerima titah Gusti, apakah gerangan yang
menyebabkan suasana keraton dan kerajaan Kadiri yang
biasa-nya cerah d.penuhi gelak tertawa, sekarang
muram38 murung laksana dialahkan garuda. Ampun Gusti,
beribu ampun hamba mohonkan, namun suasana seperti
ini hampir tak tertanggungkan. Lebih baik bagi kami
sekalian, Gusti titahkan berperang me-nempur selawe
negara, menyerang raja berpahla-wan gagah perkasa,
daripada terus-menerus tersiksa dalam suasana seperti
ini. Ampun, Gusti." Sri baginda mengarahkan
pandangannya kepada maha patih Kebo Rerangin,
mendengarkan apa yang dipersembahkannya, sedang
kepalanya me-ngangguk-angguk. Tetapi beberapa saat
setelah maha patih selesai berbicara, tidak juga baginda
bersabda. Baru kemudian, setelah beberapa waktu
lampau dalam keheningan, baginda memecahkan-nya;
"Mamanda maha patih! Para mentri dan para tetua yang
bijaksana." Para penghadap menghaturkan sembah
sambil menggumam, "Daulat Gusti!" "Titah kami yang luar
biasa, yakni menitahkan andika sekalian datang
menghadap bukan pada saat yang biasa, tentu
menimbulkan seribu satu tanda tanya dalam hati andika
sekalian. Apa yang tadi dipersembahkan oleh mamanda
maha patih Kebo Rerangin, adalah sangat tepat. Memang,
memang ada soal yang luar biasa yang telah
menyebabkan kami memberi titah yang luar biasa.
Memang, adalah lantaran ada soal yang sangat berat
menekan pikiran kami, maka andika sekalian yang 39
terkenaJ bijaksana, kami titahkan datang menghadap
pada waktu ini juga. Kami ingin mendengar pendapat
andika sekalian. Kami ingin meminta nasihat . .. " kembali
baginda berhenti bersabda dan pandangannya kembali
menatap ke kejauhan, ke alam tak berwatas, merenung.
"Ampun beribu ampun hamba mohonkan," sembah patih
Kebo Rerangin. "Apakah gerangan soal yang demikian
berat menekan kalbu Gusti, sehingga nampak durja Gusti
begitu muram?" Kembali baginda menghela nafas.
"Seperti mungkin andika sekalian sudah dengar, beberapa
hari yang lampau kami mendengar berita yang sangat
mengejutkan . . . Berita yang mula-mula tidak mau kami
percaya! Kanri sangat percaya akan perkataan dan
ucapan Rakanda Prabu Jayantaka, raja Janggala. Kami
percaya, bahwa sebagai seorang satria yang tahu harga
diri, Rakanda takkan menyalahi janji..." "Ampun Gusti," sela
maha patih Kebo Rerangin "Maafkan kelancangan hamba.
Tetapi, mes-kipun hamba bisa meraba ke mana arah Utah
Gusti, namun hal yang sesungguhnya belum jelas . . .
Mengenai hal apakah Rakanda Gusti Prabu Jayantaka
tunggadewa menyalahi janji?" Sang Prabu memandang
maha patih tajam-tajam. "Lupakah Mamanda Maha Patih
akan janji 40 yang telah kami berdua sama-sama padu?
Rakanda Prabu Jayantaka mempunyai cita-cita tinggi
Baginda hendak mewujudkan cita-cita moyang kami sang
Airlangga yang maha bijaksana. Pem-bagian kerajaan
yang pemah dilakukan oleh maha resi Empu Bharada,
hendak kami hapuskan. Antara Janggala dan Kadiri akan
hilang batas. Kedua kerajaan hendak kami persatukan
kembali. Jalan yang termudah untuk melaksanakan cita-
cita tersebut adalah dengan menikahkan putera mahkota
Janggala Raden Panji Kuda Waneng Pan' dengan putri
mahkota Kadiri, Dewi Sekar Taji ... " "Daulat, Gusti. Akan
hal itu Mamanda sangat ingat..." "Dan sekarang, tatkala
putra dan putri sudah dewasa, saat terwujudnya cita-cita
yang agung itu dekat sudah . . . Tetapi ..." lalu sang
baginda mcnjatuhkan kepala, tertunduk. "Apakah gerangan
yang terjadi?" "Mamanda Patih pun tahu. Seminggu yang
lalu kami mendengar kabar mengenai pemikahan Raden
Panji dengan seorang gadis gunung, entah siapa, konon
bukan keturunan raja. Kami tidak percaya akan berita
tersebut. Lalu kami menitah-kan supaya mengirimkan
mata-mata akan menye-lidiki kebenaran berita itu. Dan
sekarang ... 1 "Sudah kembalikah para penyelidik itu?"
"Mereka sudah datang. Dan ..." 41 hancur, pantang
menyerah sebelum membangkai!" Suara baginda makin
lama makin naik, makin naik, dan wajah baginda menjadi
memerah laksana terbakar. Baginda sangat murka.
Sedangkan matanya bagaikan menyinarkan api yang
membakar barang yang dilihatnya. Semua yang nadir tak
berani menentang pandangan baginda yang demikian.
Mereka menundukkan wajah. Ada yang turut ma-rah, dan
mengangguk-anggukkan kepala, mcnye-tujui perkataan
baginda, dari mulutnya terdengar gumam, "Di Kadiri pun
masih banyak satria, pahlawan yang tak pan tang
berjuang!" Ada yang saling pan dang dengan sesamanya,
sambil menggilirkan kepala keris yang tersandang. Mereka
sudah seperti ingin agar pasukan Janggala berada di
depannya, supaya mereka bisa me-muaskan amarahnya.
'Tidakkah benar kata kami? Tidakkah benar bahwa para
satria Kadiri belum mati? Tidakkah benar bahwa para
pahlawan Kadiri masih siap sedia untuk berjuang? Untuk
mempertahankan kehormatan dan harga dirinya? Tidakkah
benar? Mana-kah pahlawan Kadiri?" 'Tentang semangat
para pahlawan Kadiri, Gusti tak usah ragu!" sahut seorang
senapati sambil menghaturkan sembah. 'Para pahlawan
Kadiri tahu akan harga dirinya, takkan manda saja mem-
biarkan dirinya diperhina!" 44 "Tak usah menanti han
berganti, malam ini juga semua wadia-bala Kadiri telah
siap untuk berperang! Gusti tak usah kuatir, Janggala
takkan mungkin menumpas satria Kadiri!" sembah yang
lain pula. "Kita berada pada fihak yang benar, maka para
dewa tentu akan berada pada fihak kita! Sang Syi-wa akan
merestui kita! Kita akan menang! Kita takkan mungkin
kalah!" sambut yang lain. "Gusti hanya tinggal memberi
titah, maka setiap saat bala tentara Kadiri siap sedia.
Siang ataupun malam tak nanti lalai," terdengar pula suara
senapati yang mula-mula bicara. Sejenak lamanya dalam
balairung terdengar hiruk-pikuk. Suasana menjadi panas.
Setiap orang yang berada di sana terbakar semangatnya,
geram dan murka, ingin segera menerjang lawan. Baginda
mengangguk-anggukkan kepala, tanda berbesar hati.
Baginda percaya akan kekuatan bala tentara kerajaannya.
Kadiri mempunyai satria-satria yang kebal kulitnya,
pahlawan-pahlawan yang tangguh tulangnya. Baginda
merasa semangatnya makin terbakar. "Kami I ilia t para
pahlawan Kadiri siap sedia setiap saat..." "Hanya menanti
titah saja, ampun Gusti!" sahut senapati Wirapati ing
Alaga. "Kami siap." "Makin cepat makin baik . . . " kata
baginda agak perlahan. Tetapi baginda menoleh ke arah
45 maha patih Kebo Rerangin. "Mamanda. apakah bicara
Mamanda mengenai hal ini? Kami lihat se-jak tadi
Mamanda berdiam diri saja. Tidakkah Mamanda kurang
yakin akan kegagahan dan ke-saktian para satria serta
para pahlawan Kadiri? Tidakkah Mamanda yakin bahwa
Janggala akan dengan mudah dikalahkan oleh para
senapati kita yang gagah berani? Mengapa Mamanda
diam saja? Sang maha patih Kebo Rerangin
menghaturkan sembah. Suaranya tenang, tidak
dipengaruhi amarah seperti suara yang lain-lain. Ia
berbicara lambat-lambat, namun pasti. "Ampun beribu
hamba mohon. maaf berlaksa hamba minta terlebih dahulu,
kelapangan dan keluasan faham Gusti jua yang hamba
harapkan . . Sang baginda menatapnya tajam-tajam.
"Bicaralah. Mamanda!" Maha patih Kebo Rerangin
mcmperbaiki letak duduknya. "Daulat Gusti" sembahnya
kemudian. "Hamba percaya akan keteguhan tulang para
senapati Kadin. Hamba percaya akan kekcbalan kulit para
pahlawan Kadiri yang pantang mundur. Hamba yakin akan
semangat wadia-bala Kadiri yang gagah berani. Tetapi.
tidakkah terlebih baik sebelum la' kitaT^h'f la'ba,a UntUk
me"yerang Janggala, kita kaji dahulu sebab lantarannya?"
46 -Mamanda Maha Patih! Mengapa Mamanda bertanya
demikian? Bukankah Mamanda tadi mendengarkan
perkataan kami?" "Daulat Gusti, sepatah pun perkataan
yang Gusti sabdakan, tak ada yang terlepas dari pen-
dengaran hamba. Tetapi..." "Tetapi apa? Apakah
Mamanda belum mengetahui jua sebab lantarannya
mengapa kita mesti menyerang Janggala yang telah
menghina kita?" "Menurut hemat hamba, Janggala tidak
melakukan penghinaan ..." "Mamanda Maha Patih!
Tidakkah harga diri dan kehormatan Mamanda merasa
terhina. kalau putri mahkota kerajaan kita diperhina?"
"Ampun Gusti, hambalah orang yang akan paling merasa
terhina kalau putri mahkota Kadiri yang hamba junjung
tinggi diperhina orang Hambalah orangnya yang akan
paling dahulu meng-hunus keris memusnahkan orang yang
menghinanya!' "Nan, mengapa Mamanda Maha Patih
masih bertanya juga?" Maha patih Kebo Rerangin merasa
terdesak. Tetapi ia menghaturkan sembah, "Tentang
penghinaan itu - kalau benar penghinaan hamba pun akan
sependapat dengan yang lain-lain. Dalam hal demikian.
wajib kita mengangkat senjata kepada Janggala. Tak
benar kalau kita diam saja. 47 manda saja diperhina.
Namun sebelum kita meme-pak wadia-bala. patut kaJau
kita renungkan lebih dahulu hal-hal lain yang bersangkutan
dengan itu . . . * "Apa maksud Mamanda?" "Ampun Gusti.
gusti pun tentu lebih maklum, Kadiri dan Janggala berasal
dari satu keturunan, dari satu kerajaan ..." "Ya, dipisahkan
oleh air kcndi yang dicucurkan oleh Rmpu Bharada!" "Gusti
lebih maklum. Jadi scsungguhnya antara Kadiri dan
Janggala ada perhubungan darah, per-hubungan
ketumnan. Raja Janggala masih berasal dari darah yang
sama dengan* Gusti sendiri. Sri Baginda
Jayantakatunggadewa masih kcpernah Rakanda Gusti."
"Ya.lalu?" "Antara orang yang berasal dari daerah yang
sama. apalagi kaiau menyangkut nasib kerajaan be-serta
seluruh kawulanya. tak patutlah senjata di-minta bicara.
Apabila ada persoalan. elok diper-bincangkan terlebih
dahulu____" "Tetapi ini mengenai kehormatan dan harga
diri kita sebagai satria. sebagai negara dan kerajaan,
Mamanda Maha Ratih!" "Ampun Gusti. Karena itu pula
dalam hal ini kcbijaksanaan Gusti yang menggenggam
mati-hidup kawula negara di seluruh kerajaan diminta lebih
besar____" 48 "Tetapi masihkah kita patut bicara,
berbincang dengan orang yang dengan sengaja sudah
menghina dan merendahkan kita?" "Bagairnanapun, sang
Baginda Prabu Jayantaka adalah saudara Gusti jua. Kalau
ia melakukan Icesilapan, adalah seyogyanya apabila Gusti
yang menegur serta memberinya ingat." Sang baginda
termenung. Termakan juga apa yang dipersembahkan
maha patih Kebo Rerangin olehnya. Kebo Rerangin
sungguh seorang tetua yang luas dan dalam
pandangannya. Terkesiap juga baginda, kalau teringat
bahwa hampir saja baginda meninggalkan keutamaan
seorang bijaksana, lantaran terbawa oleh amarah. Kalau
sampai terjadi peperangan antara kedua kerajaan, entah
bagaimana akibatnya. Namun apabila teringat pula oleh
baginda akan perbuatan Rakanda Prabu Jayantaka
mengingkari janji yang telah mereka bikin, hatinya menjadi
mendidih pula. "Perang bukanlah suatu hal yang kecil.
Apalagi antara dua buah kerajaan yang sesungguhnya
masih bersaudara ..." terdengar maha patih Kebo
Rerangin berbicara pula. "Apakah soal yang menjadi
sebab tidak bisa dirundingkan secara damai lagi,
sehingga senjata diminta berbicara? Kalau segala
pembicaraan telah buntu, kalau segala per-undingan telah
mati, barulah boleh kita angkat senjata. Sedangkan dalam
hal kita sekarang, meski 49 benar perbuatan Rakanda
Prabu mcnikahkan Raden Panji dengan orang lain
mclanggar janji yang telah kita adakan. namun belum pasti
berarti bahwa baginda dengan sengaja hendak memper-
hina kita... " Sang baginda mengangkat wajah. "Mana
boleh begitu?*' "Ampun Gusti, menurut hemat hamba, per-
nikahan Raden Panji dengan putri yang lain, ri-daklah
berarti bahwa fihak Janggala telah mem-batalkan
perjanjian secara sefihak . . . Pemikahan Raden Panji
dengan orang lain, tak boleh kita taf-sirkan bahwa
pertunangan dengan Dewi Sekar Taji menjadi batal . . .
Mungkin ada sebab-sebab lain yang kita tidak tahu. yang
menyebabkan Rakanda Prabu Jayantaka mengambil jalan
yang seolah-olah menghina kita. Bagairnanapun juga,
menurut hemat hamba. semuanya itu belum cukup besar
untuk diakhiri dengan suatu perang - apalagi perang antara
kerajaan yang berasal dari satu keturunan. Cita-cita Gusti
berdua dengan rakan da Gusti tinggi, agung serta luhur,
hendak me-wujudkan kembali apa yang dahulu pemah
diusa-hakan oleh sang Baginda Airlangga. Cita-cita yang
luhur itu. patutkah kita hancurkan begitu saja, lantaran
menduga sesuatu tanpa melihat latar be-lakangnya yang
lebih luas?" Baginda merenung, tidak mcngeluarkan
sepatah pun perkataan. tetapi senapati Wirapati berdatang
50 sembah, "Ampun Gusti, mengapa kita mesti ber buat
sebagai pengecut? Telah jelas: orang telah menghina kita,
mengapa kita masih manda jURa nengajaknya berunding?
Orang telah dengan sengaja melanggar janjinya sendiri,
mengapa kita masih ragu-ragu untuk mengangkat senjata?
Apakah telah tumbuh takut dalam kerajaan Kadiri? Apakah
tidak ada lagi semangat satria yang berani menentang
mati?" Sang baginda memandang kepada sang senapati
Wirapati. Namun sebclum baginda mengeluarkan
perkataan, terdengar maha patih Kebo Rerangin bcrsuara.
"Ampun hamba mohonkan, Gusti. Apabila tadi hamba
mempersembahkan apa yang telah hamba persembahkan,
bukanlah itu berarti bahwa semangat Kebo Rerangin telah
lenyap. Bukanlah berarti Kebo Rerangin seorang pengecut
yang takut mati, tak berani melihat darah! Kebo Rerangin
telah kenyang berperang. telah kenyang me-masukkan
kerisnya ke dalam dada orang-orang yang sombong dan
bersemangat, namun makin hari usia makin tua dan
setelah usia lanjut. makin banyak pertanyaan-pcrtanyaan
dalam hati. Buat apakah kita memhunuh sesama manusia?
Buat apakah kita mengurbankan begitu banyak waJu bala.
darah dan nyawa.' Untuk mcmuaskan nafsu? Untuk
mcnunjukkan bahwa kita bersemangat' 51 Tidak. bagi
hamba, nun Gusli, semangat bukan sa-tu-satunya yang
hams kita punyai. Dengan semangat saja kita takkan
mencapai apa-apa. Paling-paling penyesalan yang akan
menanti kita kelak. Penyesalan, penyesalan yang tak
berguna. tak berarti, sia-sia . . . Hamba meminta keluasan
hati Gusti, dan hamba pea-ay a akan kebijaksanaan Gusti:
Gusti takkan mengurbankan manusia, entah wadia-bala
Kadiri maupun wadia-bala Janggala. untuk suatu hal yang
belum tentu. Hamba tetap memohonkan kebijaksanaan
Gusti untuk mengadakan perundingan dengan fihak
Janggala.'' Baginda menghela nafas. Senapati Wirapati
hendak menghaturkan sembah pula, tetapi tangan baginda
yang kiri melambai, tanda bahwa baginda menitahkannya
diam. "Baiklah. Kami percaya akan keberanian dan
semangat Senapati Wirapati yang senantiasa setia. Kami
percaya akan semangat dan kejayaan seluruh satria,
perwira, para pahlawan dan wadia-bala Kadiri. Kami
percaya. Kami tak ragu akan hal itu. Kami tahu, pada
saatnya seluruh wadia-bala Kadiri akan tak sayang
membuang nyawa, mengalirkan darah, untuk membela
kehormatan dan harga diri raja serta negaranya!" sabda
baginda dengan suara yang tenang. 'Tetapi apa yang di-
persembahkan olch Mamanda Maha Patih Kebo Rerangin
pun mcmpunyai kebenarannya pula. Tak patut kita tiba-tiba
saja menycrang Janggala. 52 yang adalah masih berasal
dari keturunan yang sama dengan kami, sedangkan
persoalan belum jelas - • • . . , "Kalau Gusti menginmkan
utusan kepada rakanda Gusti di Janggala, Gusti telah
menunjukkan kelapangan hati dan kebijaksanaan Gusti,"
sembah maha patih Kebo Rerangin. "Kalau kelak temyata,
fihak Janggala memang dengan scngaja hendak menghina
puteri mahkota Kadiri beserta keraja-annya, perang adalah
jalan yang satu-satunya boleh kita tempuh!" "Namun,
Mamanda, untuk menginmkan utusan kepada Rakanda
Prabu Jayantaka, kami merasa kurang patut. Pemikahan
Raden Panji sekarang, dilakukan tanpa persetujuan,
bahkan tanpa se-pengetahuan kami, sedangkan Raden
Panji telah dipertunangkan dengan Dewi Sekar Taji. Kalau
kita mengirimkan utusan ke sana, maka mungkin kelihatan
seolah-olah kita begitu rendah ingin menawarkan Sekar
Taji supaya diperisteri oleh Raden Panji! Tidak, untuk
mengirimkan utusan ke Janggala, kami merasa keberatan.
Kita mesti menempuh jalan lain!" Seluruh balairung hening.
Senapati Wirapati menundukkan wajah, sedang matanya
menjeling ke kanan ke kiri. Ia merasa malu, karena merasa
tidak mendapat muka dari sang baginda. Hatinya Panas.
Lirikannya ganas menjilat ke arah maha patih Kebo
Rerangin yang duduk di depan. 53 Maha patih Kebo
Rerangin hening pula. Duduk dengan tertib. sedangkan
keseluruhan dirinya me-nunjukkan bahwa ia sedang
berpikir keras. Semua orang terdiam berpikir. merenung.
Suasana pecan, tatkala dari sudut sebelah ka-nan.
terdengar suara yang renta dan rendah. menghaturkan
sembah. "Ampun Gusti!" katanya. "Mamanda Kuda
Lalean! Adakah Mamanda mendapat pikiran yang baik
untuk menghilangkan yang kami bingungkan? Bicaralah!"
sabda baginda. "Daulat Gusti. menurut hemat hamba. satu-
satunya jalan untuk mengatasi suasana yang sulit ini.
adalah dengan jalan meminta tolong kepada fihak ketiga.
Fihak ketigalah yang sebaik-baiknya datang kepada
Rakanda Prabu di Janggala, meminta keterangan yang
lebih jelas." "Sungguh tepat!" potong sang baginda dengan
cepat dan wajahnya menjadi cerah. "Sungguh tepat apa
yang dipersembahkan oleh Mamanda Kuda Lalean! Tetapi
..." baginda berhenti seje-nak. "Siapakah gerangan fihak
ketiga yang patut kita percayai untuk menjadi perantara?
Orang itu mesti yang kita percayai dan yang dihormati pula
oleh fihak Janggala, tak mungkin orang scm-barang! Orang
itu mesti benar-bcnar tak berfihak! Raja manakah yang
menurut hemat andika sekalian, yang patut kita mintai
tolong dalam hal ini? 54 .yang-' Lawang? Ataukah mana? "
Setelah suasana sepi sejenak, terdengar maha patih Kebo
Rerangin angkat bicara. "Mengapa Gusti hendak meminta
tolong kepada raja-raja lain? Mengapa Gusti tidak teringat
kepada sang Kili Suci yang adalah wakil tetua kedua buah
kerajaan - baik Janggala maupun Kadiri! Sang Kili Su-cilah
yang telah menyebabkan kerajaan sang Baginda Airlangga
di pecan dua. Karena sang Kili Suci tidak sudi memangku
takhta! Dia memilih kehidupan pertapa di Pucangan!"
Baginda terhenyak. "Ya maha dewa! Mana boleh kami
lupa! Mengapa boleh kami tak teringat? Eyang Sang Kili
Suci! Telah lanjut usianya, tetapi ia masih segar bugar!
Kehidupannya sebagai pertapa menyebab-kannya awet
jaya! Ya, memang beliau satu-satunya orang yang paling
tepat untuk keperiuan ini! Tak ada yang lain! Sang Kili
Suci!" "Sesungguhnyalah!" sembah maha patih Kebo
Rerangin dan para tetua lainnya bersama-sama. "Sang Kili
Suci patut menjadi fihak ketiga." "Baiklah Mamanda Patih.
sekarang Mamanda titahkan orang untuk menjemput sang
Kili Suci. supaya sudi meninggalkan petapannya yang suci
di Pucangan, menjenguk negeri Kadiri ini. Siapa orang
yang patut menjalankan titah itu. kami P«cayakan kepada
Mamanda untuk memilihnya." "Daulat Gusti." 55 "Kalau
mungkin hari ini juga ia mesti berangkat. Makin cepat
makin baik. la mesti kembali dengan mengiringkan sang
Kili Suci. Jangan ayal di jalan." "Daulat Gusti." sembah
maha patih. "Hamba Gusti. Senapati Secaprawira hamba
pikir patut menjunjung titah yang berat itu." "Baiklah. Ki
Senapati Secaprawira pergi ke Pucangan. Dengan
siapakah ia akan pergi? Sendirian sajakah?" "Ia harus
dikawani oleh dua-tiga orang hamba Gusti yang lain.
Baiklah perihal itu hamba atur kelak." "Ya, semuanya kami
percayakan kepada Mamanda. Tetapi kami ingin hari ini
juga mereka harus berangkat. Pucangan jauh. dan kami
tidak mau menunggu terlalu lama! Kalau orangnya sudah
siap. titahkan mereka menghadap! Sekarang. baik andika
sekalian pulang. Tetapi Ki Senapati Wirapati! Persiapan-
persiapan jangan dilalaikan. Belum tentu sang Kili Suci
berhasil dengan damai menyelesaikan soal ini, maka kita
mesti berperang juga dengan Janggala. Karena itu
persiapan-persiapan perang jangan sampai tercecer! Kita
mesti siap pada waktunya!" "Daulat Gusti, hamba sekalian
akan siap setiap saat! Titah patik junjung di atas batu
kepala pa tik!" sembah senapati Wirapati. Maka
pertemuan di balairung pun bubar. Sang 56 baginda
masuk ke dalam istana. Para tetua dan neiabat negara
pulang ke rumahnya masing-masing, kecuali mereka yang
mendapat titah dan mesti menyelesaikan titahnya. Maha
patih Kebo Rera-11 an memilih orang untuk mengawani
Secaprawira buat menjemput sang Kili Suci, serta
menitah-kan mempersiapkan segala sesuatunya buat ke-
perluan di jalan. 57 SANG KILI SUCI Sang Kili Suci yang
hidup tenang di Pucangan, adalah putri baginda sang
Airlangga yang jaya serta bijaksana. Dialah yang
sesungguhnya berhak atas takhta, menggantikan
ayahanda. Tetapi ia sejak masih muda telah tertarik
hatinya akan kehidupan di petapan. Kehidupan keraton
dan kesibukan kerajaan tidak membetahkannya. Ia tidak
mau hidup dalam kegemilangan istana. Ya, putrinda itu
mengikuti jejak ayahanda, sang Airlangga. sangat
mencintai kehidupan bertapa, karena ayahanda tatkala
masih muda pemah dilindungi para petapan, yaitu tatkala
ia melarikan diri dari kejaran tentara Wura-wari yang
menyerbu keraton mertua-nya. Bertahun-tahun lamanya
sang Airlangga hidup di tcngah-tengah kaum pertapa. Ia
banyak mendapat bantuan dan sokongan dari kaum
pertapa, baik para resyi Syiwa, maupun para biksyu
agama Budha. bahkan juga para pemuja Wisynu. 58 Tidak
heran pula ia tatkala kemudian melihat aKanda Kili Suci
lebih menyukai hidup dalam IT,tan sebagai pertapa. la
mendirikan petapan yang dah di Pucangan, sebagai tanda
terima kasihnya kepada para pertapa yang telah menolong
dan menyokongnya selagi sengsara. Tetapi kemudian
putrinda Kili Suci agaknya lebih merasa betah di sana.
Yang menyulitkan sang Airlangga adalah sikap putrinda Kili
Suci yang tidak mau memangku takhta. Memang, kecuali
Kili Suci, baginda masih mempunyai dua orang putra pula.
Dan keduanya laki-laki yang mehunjukkan minat yang luar
biasa terhadap takhta, sehingga nampak oleh baginda
bahwa persaingan antara keduanya sangat besar. Mereka
bukan putranda dari permaisuri, sehingga hak keduanya
sama atas takhta kalau Kili Suci menolaknya. Baginda
kuatir, kalau-kalau setelah baginda mangkat akan terjadi
persaingan dan per-kelahian antara kedua putranda untuk
mempere-butkan takhta. Maka berminggu-minggu baginda
membujuk putrinda Kili Suci supaya mau memangku
takhta. Namun sia-sia saja. Kili Suci tetap pada
pendiriannya. Ia tidak menghendaki takhta. Maka bertahun-
tahun lamanya baginda memikir-kan akal, akan
menghindari persaingan dan pere-butan takhta antara
kedua putranda itu kelak, Meski mungkin selama baginda
masih hidup, Persaingan dan perebutan itu takkan terjadi.
namun tak mustahil pabila baginda sudah meninggal,
percbutan yang ditakutkan itu terjadi juga. Akhir-nya
baginda mengambil kebijaksanaan mem-bagi dua
kerajaan yang telah dengan susah payah baginda bina dan
mempercayakan pembagian itu kepada seorang guru
Budha Mahayana yang ahli dalam ilmu tantra, yaitu EfllpU
Bharada. Empu Bharada seorang yang sakti. konon
pemah menye-berangi selat Bali dengan berjalan di atas
permuka-an laut. Gelombang yang tinggi tidak sedikit pun
membasahi kendati ujung jubahnya. Sambil menge-
nangkan usahanya sejak muda, sejak ia berangkat dari
Bali memenuhi panggilan mertuanya mahara-ja Teguh.
sang Airlangga menyaksikan hasil jerih-payahnya itu
dirobek-robek di depan matanya. Hancur hatinya. Namun
kalau mengingat pula akan akibat yang mungkin timbul
kalau baginda tidak melakukan usaha pencegahan seperti
itu. sang Airlangga yang sudah kenyang berperang itu,
merasa lega, karena ia telah menghindarkan kedua
putranda dari peperangan antara sesama saudara.
Setelah membagi dua kerajaannya yang besar menjadi
Janggala dan Kadiri, dan menobatkan kedua anak-anda
menjadi raja di kedua kerajaan tersebut, baginda
Airlangga mengikuti jejak putrinda Kili Suci; baginda
memilih kehidupan damai di petapan. Baginda menjadi
bagawan. Baginda dihormati dan discbut orang sebagai
Paduka Gusti Pelindung Buana. Baginda bersemayam di
Ganda60 kuti hingga wafatnya. Sesudah baginda wafat.
Kill Suci makin betah di petapannya. Tetapi hubungan
dengan masya-rakat ramai tidak terputus. Pada waktu-
waktu tertentu ia menyambangi saudara-saudaranya yang
memerintah kerajaan Janggala dan Kadiri. la banyak
memberi nasihat dan petunjuk dan segalanya itu diterima
oleh saudara-saudaranya dengan se-nang hati. Bahkan
mereka tidak segan-segan meminta masihat dan petunjuk
dari putri petapa itu. Waktu terus berlalu. Raja Janggala
dan Kadiri telah dua kali bertukar, karena mangkat, tetapi
sang Kili Suci masih segar bugar juga. la masih juga tetap
sehat. Ia tidak meninggalkan kebiasa-annya untuk tetap
mengunjungi Janggala atau Kadiri, mendatangi keraton.
akan bercengkerama dan memberi nasihat kepada para
pemangku takhta. Oleh rakyat kecil pun ia sangat
dihormati. karena banyak sekali pertolongan-
pertolongannya. Mereka memuja sang Kili Suci hampir-
hampir sebagai dewi penolong yang sakti dan gaib.
Mereka me-mandang puncangan sebagai tempat keramat
yang suci. Tempat tinggal manusia utama yang luar biasa
baik. Tatkala mendengar dari Senapati Secaprawira,
bahwa sang baginda Jayawarsya dari Kadiri meng-
haturinya datang, lantaran ada masalah berat yang m»nta
dipecahkan, tidak menanti lama, maka ^ng Kili Suci pun
berangkat meninggalkan Pucang61 an. Mereka berjalan
dengan cepat, maka beberapa hari kemudian, sampailah
sang Kili Suci di ibukota Kadiri, lalu masuk ke dalam
istana. Kedatangannya segera dipersem bahkan kepada
sang baginda. lak/mi dan hormat, baginda menghaturkan
sembah kepada sang Kili Suci. Sang Kili Suci mengu-sap-
usap kepala baginda. kemudian mengangkat-nya bangkit.
"Apakah gerangan sebabnya, maka Cucunda menitahkan
Nenenda datang secepat mungkin?" tanya sang Kili Suci
setelah beberapa saatnya berbicara tentang segala
macam soal, tentang kesehat-an baginda dan mengenai
kerajaan. "Ampun hamba mohonkan, karena telah berani
mengusik Nenenda dari kehusyuan bertapa . ..," sahut
baginda. "Cucunda telah mengusik Nenenda dari petapan.
tentu lantaran ada suatu soal besar yang mesti
dipecahkan. Karena itu sebaiknya, cepat Cucunda
sampaikan kepada Nenenda, apakah gerangan soal yang
mesti dipecahkan itu?" Maka sang baginda Jayawarsya
pun lalu memper-sembahkan halnya. Baginda
mengenangkan sang Kili Suci kepada perjanjian yang
dahulu diadakan antara Kadiri dan Janggala tentang
maksud meni-kahkan putra mahkota Janggala dengan
putri mahkota Kadiri. Sang Kili Suci tahu akan perjanjian
itu, maka ia pun teringat akan halnya. Tatkala mendengar
bahwa Raden Panji sudah menikah 62 dengan orang lain
Kili Suci tcrmenunB, dan dari matanya nampak bahwa ia
terkenangWn * sj|anl, tatkala ayahanda masih berat tatkala
kerajaan belum tcrpecah dua. 1 -Jadi apakah yang
sekarang hendak (W perbuat?" akhimya sang Kili Suci
bertanya set, lah sang baginda sclesai mempcrsembahkan
semu* nya. Matanya yang jernih itu mcnatap baginda
seakan-akan hendak mengajuk ke dalam hati sanubari
baginda. Maka baginda segera berterus terang. "Hamba
merasa terhina dan menganggap kehormatan kerajaan
Kadiri hanya mungkin dibela dengan mengangkat senjata.
Tetapi mengingat bahwa antara Kadiri dengan Janggala
ada pertautan yang lebih cr.it. maka hamba meminta
nasihat Nenenda yang bijaksana. Apakah yang
sepatutnyaCucunda perbuat sekarang?" Kili Suci
mengangguk-anggukkan kepala. "Jangan terburu nafsu.
Siapkan wadia-bala untuk keperluan lain. Tentang
pemikahan Raden Panji, biar akan Nenenda periksa
sendiri ke Janggala. Sekalian Nenenda hendak
menyambangi cucunda Prabu Jayantaka yang sudah lama
tidak Nenenda jenguk. Nenenda hendak menanyakan
duduknya pcrkara yang lebih jelas. Kelak. kalau scmuanya
sudah terang-bendcrang. pasti Nenenda akan kembali lagi
ke mari." Dan sclesai mcmbicarakan soal-soal yang ocr63
sangkutan dengan kerajaan. Sang Kili Suci bertanya.
"Manakah putrinda Dewi Sekar Taji? Tentu ia sekarang
sudah besar! Sudahkah ia mendengar kabar mengenai
pemikahan Raden Panji? Baiklah hal itu jangan
disampaikan dahulu kepadanya! Tentu akan sedih
hatinya." Setelah menemui dan bercakap-cakap dengan
permaisuri, Dewi Sekar Taji dan saudara-saudaranya yang
lain, sang Kili Suci segera meminta diri. Ia hendak
langsung menuju ke Janggala. Betapa-pun baginda
mencegah. ia memaksa juga pergi. Sang Kili Suci berjalan
ke arah timur laut dengan cepat. Ia maklum akan
pentingnya perkara. la tidak ayal. Hampir dua minggu
kemudian sam-pailah ia ke Kahuripan, ibukota Janggala,
lalu menuju ke keraton. Terkejut sang baginda Jayantaka
demi mendengar persembah tentang kedatangan sang Kili
Suci. Maka bangkitlah baginda buru-buru, mem-buru
menyembah sang pertapa agung itu. "Nenenda! Angin
apakah gerangan yang telah membawa Nenenda ke mari!
Telah lama nian Nenenda tidak datang! Dan hamba sendiri
telah lama pula tidak berkunjung kepada Nenenda,
maklum-lah suasana dalam keraton sangat sibuk, banyak
hal-hal yang meminta perhatian hamba sepenuh hati."
Sang Kili Suci tersenyum Dengan tangan kanan ia
merestui baginda, lalu menyilakannya bangkit. 64 ..Ya,
telah lama nian Nenenda tidak datang kc man.
Bagaimanakah kabar orang^rang d" seluruh Janggala.'
Baik-baik saja?" "Berkat restu Nenenda, kami sekalian
berada dalam sehat, tidak kurang suatu apa." "Dan
bagaimanakah keadaan cicitda Raden Panji? Tentu telah
makin pandai menunggang kuda dan mempermainkan
senjata! Dan Nenenda dengar. ia suka pergi mengunjungi
para petapa. Mengapa ia jarang benar pergi ke Pucangan
akan menemui buyutnya?" "Ampun Nenenda!" sahut
baginda. "Raden Panji memang jarang berada di keraton.
Ia tak je-mu-jemunya mengembara dari petapan yang satu
ke petapan yang lain. Tetapi kini, ia tentu akan menetap di
kaputran, karena ia sekarang telah beristri ..." Sang Kili
Suci pura-pura terkejut. "Beristri? Dengan Dewi Sekar
Tajikah ia nikah? Mengapa dalam pemikahan itu Nenenda
tidak diundang? Bukankah Nenenda turut menyaksi-kan
kedua cucunda tatkala mengadakan perjan-jian
mempertunangkan kedua putra mahkota. Sang baginda
menundukkan wajah. "Ampun Nenenda! Raden Panji
bukannya. men, kah dengan putri malikota Kadiri Dewi
Sekar laji. >¦ "" "Apa? Bukan dengan Dewi Sekar Taji?
JUto dengan siapa? Bukankah Raden Panj. sudah d.per
65 tunangkan dengan Dewi Sekar Taji sejak masih kecil?
Bukankah hal itu telah dijanjikan Cucunda dengan baginda
Kadiri?** Baginda Jayantaka termenung. Ia menengok-kan
wajahnya ke arah lain, seolah-olah menghin-dari
pandangan Sang Kili Suci yang menatapnya tajam-tajam.
"Sesungguhnya!" sahumya kemudian dengan suara
rendah. "Sesungguhnyalah apa yang Nenenda sabdakan!
Raden Panji telah dipertunangkan sejak masih kecil
dengan Dewi Sekar Taji - putri mahkota Kadiri ..." *Tetapi
ia kini merykah dengan orang Iain? Siapa nama istrinya
itu?** "Dewi Anggraeni," "Dewi Anggraeni! Nama yang
indah! Tentu wajahnya pun jelita, karena niscaya itulah yang
telah menyebabkan Raden Panji memilihnya. Putri
siapakah ia gerangan?" "Dia bukanlah seorang putri raja,
melainkan seorang keturunan biasa saja, yang dijumpai
Raden Panji di sebuah petapan. Raden Panji menikah
dengan Dewi Anggraeni tanpa setahu hamba ..." "Jadi
menikah dengan diam-diam?" "Dengan diam-diam.
Sehingga, ketika hamba mendengar berita mengenai
pemikahan itu, gun-dahlah hati hamba. Hamba teringat
akan perjanji-an dengan Rayinda Prabu Jayawarsya dari
Kadiri. Kalau Rayinda mendengar hal pemikahan ini, 66
tentu murka. Hamba kuatir lantaran m,.^ Rayinda Prabu
Jayawarsya akan Sj^JjJ Sang Kili Suci merenung. Sebagai
seorang yane bijaksana, segera ia mengerti keadaan yang
diha dapi oleh prabu Jayantaka. "Sebenarnya, Cucunda,
Nenenda sekarang datang adalah dalam hubungan
dengan hal itu M sabdanya kemudian. Sang baginda
mengangkat wajah, memandang kepada sang Kili Suci.
"Jadi sesungguhnya Nenenda sudah tahu? Jadi Nenenda
sebenarnya sudah mendengar kabar pemikahan Raden
Panji?" "Demikianlah halnya." "Memang, tak mungkin
disembunyikan lagi. Orang-orang tahu akan perjanjian yang
kami ikat, dan karena itu pemikahan Raden Panji sekarang
juga tentu akan mereka besar-besarkan. Ah, dari siapakah
Nenenda mendengar berita itu?" Berkata sang Kili Suci,
"Dari Prabu Jayawarsya, raja Kadiri." Sang baginda
terkejut bukan buatan "Dari Rayinda Prabu Jayawarsya?
Jadi Rayinda Prabu pun sudah mengetahuinya? Dan
bagaimanakah sikapnya? Murkakah dia? Ah, kalau pun
murka sudah sepatutnya tetapi sesungguhnya "Nenenda
mendengar berita itu dari Prabu 67 Jayawarsya, karena
Nenenda dipanggil menghadap ke Kadiri. Baginda sangat
murka. Bahkan telah dititahkannya untuk memepak wadia
bala, hendak menyerang Janggala. Tetapi Prabu
Jayawarsya, seorang yang berhati luas: baginda ingin
mengetahui bagaimanakah pendirian Cucunda di sini. Lagi
pula berperang antara sesama saudara tidak-Iah terpuji.
Nenenda dikirim ke mari oleh baginda, untuk
mengingatkan Cucunda akan perjanjian yang telah sama-
sama Cucunda adakan mengenai pertunangan Raden
Panji putra mahkota Janggala dengan Dewi Sekar Taji
putri mahkota Kadiri." "Sungguh luas hati Rayinda Prabu
Jayawarsya!" sahut baginda. "Tetapi lebih bijaksana pula
Nenenda yang telah sudi bercapai-lelah untuk menemui
cucunda berdua." "Tak usah Cucunda berkata seperti itu,"
potong Kili Suci. 'Yang penting sekarang, bagaimanakah
hal pertunangan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji?*
"Ampun Nenenda!" sembah sang baginda. "Janji yang
telah diadakan seorang raja adalah ibarat hujan yang
takkan mungkin dikembalikan ke langit yang
menurunkannya. Apa yang sudah menjadi perjanjian antara
Janggala dan Kadiri, tidak menjadi batal." "Tetapi Raden
Panji sudah menikah!" "Raden Panji menikah, bukan
berarti bahwa pcr-tunangannya dengan Dewi Sekar Taji
putus." 68 "Namun pertunangan mesti diakhiri h
pemikahan, Cucunda!" WWun "Maka pertunangan Raden
Panji d Sekar Tajijuga akan diakhiri dengan
pemikahan"Dan bagaimanakah halnya pemikahan Raden
Panji dengan Dewi Anggraeni, Cucunda?" "Pemikahan
Raden Panji dengan Dewi Anggraeni. tidak berarti bahwa
Anggraeni yang akan menjadi permaisuri. Permaisuri
Raden Panji telah ditetapkan: Dewi Sekar Taji, putri
mahkota Kadiri!" Sang Kili Suci mengangguk-anggukkan
kepala. "Sang Prabu Jayawarsya kuatir, kalau pemikahan
Raden Panji dengan Dewi Anggraeni itu dilakukan dengan
sengaja untuk memutuskan pertunangannya dengan Dewi
Sekar Taji. Kalau benar demikian, itu dianggapnya
sebagai penghinaan. Penghinaan akan martabat dan
kehormatan Kadiri." "Pemikahan itu samasekali tidak
dilangsungkan untuk menghina Kadiri ataupun Rayinda
Prabu Jayawarsya." "Sukurlah. Dengan demikian
persoalan menjadi jelas, dan kepada Prabu Jayawarsya
akan Nenenda sampaikan, bahwa pemikahan Raden Panji
dengan Dewi Anggraeni tidak mempengaruhi perjanjian
yang pemah Cucunda berdua adakan dahulu. Raden Panji
akan menikah dengan Dewi Sekar Taji sebagai
permaisuri. Dan cita-cita agung serta luhur untuk
mempersatukan kerajaan di bawah satu 69 tampuk akan
dilaksanakan." "Demikianlah adanya." 'Tetapi Nenenda
lihat sekarang, baik Dewi Sekar Tanji maupun Raden
Panji, kedua-duanya sudah sama-sama dewasa.
Pemikahan sudah patut dilangsungkan. Apakah fagt yang
ditunggu? Apakah lagi yang dinanti?" "Ampun Nenenda.
Hamba melihat bahwa Raden Panji sekarang berat benar
kepada istrinya Dewi Anggraeni. Hamba kuatir, kalau
sekarang juga mereka berdua dipisahkan, akan terbit
akibat yang samasekali tidak kita harapkan. Hamba me-
mohon kesudian Nenenda, supaya menyampaikan kepada
Rayinda Prabu Jayawarsya, bahwa pemikahan Raden
Panji dengan Dewi Sekar Taji sebaik-nya dilangsungkan
pada hari Legi yang kedua bulan yang pertama tahun yang
akan datang." 'Tahun yang akan datang?" 'Ya saat itu
adalah saat yang sebaik-baiknya buat pemikahan. Dihitung
sejak sekarang, waktu-nya masih kurang lebih empat bulan
lagi." "Empat bulan lagi. Hari Legi yang kedua pada bulan
yang pertama tahun yang akan datang." "Itulah saat
pemikahan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji yang
hamba anggap sebaik-baiknya. Tetapi pabila Rayinda
Prabu Jayawarsya menganggap saat itu kurang tepat dan
memilih saat yang lam, hamba akan menurut saja."
"Baiklah. Semuanya akan Nenenda sampaikan 70 kepada
Prabu Jayawarsya di Kadiri." Kemudian sang Kili Suci
menemui permaisuri dan cicit-cicitnya akan bercengkrama
dengan mereka. Raden Panji dipanggil, diberitahu tentang
kedatangan buyutnya itu. Maka ia pun datang menghadap
bersama istrinya, Dewi Anggraeni. Tatkala sang Kili Suci
melihat Dewi Angraeni, terkesiaplah ia. Alangkah
cantiknya gadis itu! Tak kalah oleh Dewi Sekar Taji! Dan
lihat, wajahnya yang segar itu bagaikan beiahan pinang
laiknya dengan Dewi Sekar Taji! Alangkah sama
keduanya! Lebih-lebih tatkala melihat tingkah lakunya yang
sopan santun dan sangat penuh hormat* senang benar
sang Kili Suci. Ia mengangguk-anggukkan kepala,
sedangkan dalam hati ia berkata, "Patutlah Raden Panji
memilihnya sebagai istri. Tak salah penglihatannya! Dewi
Anggraeni seorang putri yang jarang bandingannya!*
Tetapi sepatah pun ia tidak berkata tentang Dewi Sekar
Taji di depan Raden Panji. la banyak berbicara dengan
Raden Panji, terutama mengenai agama dan hidup.
Sebagai seorang yang sudah lanjut usianya dan sudah
kenyang bertapa, ia banyak memberi petunjuk dan nasihat.
Dan Raden Panji menyimakkan dengan penuh hidmat
akan segala perkataan sang Kili Suci. Setelah tiga malam
sang Kili Suci beristirahat di dalam keraton Janggala,
maka ia pun meminta diri Dengan hati berat seluruh
keraton melepaskannya 71 pergi. Mereka tahu. orang
sebagai sang Kili Suci takkan merasa bctah tinggal dalam
kesibukan ista-na. Tetapi sang baginda Jayantaka berpikir
lebih jauh: Makin cepat sang Kili Suci menyampaikan
pesannya kepada Rayinda Prabu Jayawarsya, makin
senang hatinya. Ia akan merasa dunia kembali luas dan
hatinya lega. Sang baginda Jayawarsya pun setelah
mendapat penjelasan secara panjang lebar dari sang Kili
Suci. senang hatinya. Amarahnya lenyap, meski ia merasa
tersinggung juga oleh pemikahan Raden Panji itu. namun
lantaran hal itu tidak mempe-ngaruhi perjanjian yang telah
mereka buat ber-sama-sama, hendak dilupakannya saja.
Baginda menyetujui waktu yang telah dipilih oleh Rakanda
Prabu Jayantaka sebagai saat yang sebaik-baiknya untuk
pemikahan putrinda. Setelah semuanya nampak be res,
maka sang Kili Suci meminta diri akan kembali ke
petapan-nya yang tenang, nun di Pucangan. Sia-sia saja
usaha sang baginda untuk menahannya lebih lama. Sang
petapa telah merindukan kedamaian petapan-nya. 72
RADEN PANJI KUDA WANENG PATI Waktu terus berlalu.
Hari telah bergulung menjadi minggu, dan minggu melipat
jadi bulan. Saat yang ditentukan oleh sang baginda Prabu
Jayan-takatunggadewa untuk pemikahan Raden Panji
dengan Dewi Sekar Taji makin mendekat jua. Fnam
minggu menjelang waktu yang ditetapkan. datang utusan
dari Kadiri memperingatkan baginda akan hal itu dan
meminta baginda untuk mengadakan persiapan-
persiapan. Pemikahan akan berlangsung di Kadiri, karena
itu harus ditetapkan kapan Raden Panji mesti dijemput.
Lantaran kedatangan utusan Kadiri itu. sang baginda
Jayantaka segera menitahkan menghadap kepada para
pejabat dan tetua negara. Para utusan ditempatkan di
sebuah pesanggrahan yang baik. sementara menunggu
hasil penindingan. Raden Panji Kuda Waneng Pati
dipanggil dari Peristirahatannya yang mungil dan yang
terlctak agak jauh dari Kahuripan. ibukota Janggala. Dia
hi73 chip tentram di sana bersama dengan istri yang dia
cintai sepenuh hati. Tetapi titah nampak penting, Raden
Panji segera berangkat akan menghadap, sendirian saja.
Dan memang demikian yang dike-hendaki baginda.
Kecuali Raden Panji, para putra baginda yang Iain juga
nampak datang. Tumenggung Braja Nata duduk di barisan
paling depan. Setelah semuanya lengkap menghadap,
maka baginda masuk ke balairung. Dan setelah selesai
menerima sembah, baginda segera membuka
persidangan. "Andika sekalian sekarang diminta datang,
bukan pada waktu yang biasa! Tentu pada diri andika pun
timbul pertanyaan dan sangkaan yang merusuhkan hati
Baiklah, dengan singkat kami terangkan, bahwa andika
sekarang kami titahkan menghadap adalah berhubungan
dengan datang-nya utusan Rayinda sang Prabu
Jayawarsya dari Kadiri. Seperti andika masih ingat, kami
dengan Rayinda Prabu Kadiri telah mengikat suatu
perjanjian, yang didasarkan kepada suatu cita-cita yang
agung, yakni hendak mewujudkan kembali jerih payah
usaha moyang kami sang Airlangga. Kadiri dan Janggala
hendaknya bersatu di bawah suatu tampuk pemerintahan.
Asal kedua kerajaan ini dahulu satu, maka sepatutnya
kalau kelak pun di bawah pemerintahan putra-putra yang
akan datang dari perkawinan yang kami janjikan itu 74
akan bersatu pula. Perjanjian itu dahulu dilaku-kan dengan
mempertunangkan putra mahkota Janggala Raden Panji
Kuda Waneng Pati dengan putri mahkota Kadiri Dewi
Sekar Taji. Ketika di-pertunangkan keduanya masih sama-
sama kecil sama-sama kanak-kanak. Tetapi sejak itu
waktu telah berlalu, dan kini keduanya telah dewasa.
Bahkan Raden Panji . . . baginda menoleh ke arah
putranda. Raden Panji duduk bersila menundukkan wajah,
seakan-akan tidak mengetahui arti pandangan ayahanda.
"Raden Panji Kuda Waneng Pati!" seru baginda kemudian
kepada Raden Panji. "Hamba, Gusti!" sahut Raden Panji.
"Kemarin telah datang utusan dari maman-damu di Kadiri
akan menanyakan pemikahan Ananda dengan Dewi Sekar
Taji. Dahulu kami telah menjanjikan kepada mamandamu
itu, bahwa pemikahan akan berlangsung pada hari Legi
kedua bulan pertama tahun yang akan datang. Sekarang
tinggal enam minggu lagi. Waktunya telah dekat. Utusan
dari mamandamu menanyakan ka-pan engkau bisa
dijemput, karena pemikahan hendak dilangsungkan di
Kadiri!" Raden Panji Kuda Waneng Pati menghaturkan
sembah, "Ampun Gusti, tetapi hamba telah bens-tri . . . "
"Kami tahu, engkau telah beristri dengan Dewi 75
Anggraeni, tetapi ia bukanlah jodohmu yang se-timpai!"
sabda baginda. "Ampun Gusti, tetapi Gusti telah merestui
pemikahan kami," sembah Raden Panji Kuda Waneng
Pari. "Pemikahan dengan Dewi Anggraeni kaulakukan
secara diam-diam, tak setahu kami. Hal itu telah
menunjukkan bahwa dalam dirimu pun tumbuh kesadaran,
bahwa perbuatan seperti itu adalah suatu kekeliruan, suatu
kesalahan. Namun kami restui juga pemikahan engkau
berdua, karena ketika itu kami melihat, bahwa nafsumu tak
mungkin dipadamkan. Kini waktu telah berlalu, nafsu tentu
sudah mengendur, dan sepatutnya engkau teringat akan
kewajibanmu terhadap tunangannmu Dewi Sekar Taji."
"Yang menyebabkan hamba menikah dengan Dewi
Anggraeni, sekali-kali bukan nafsu, Gusti. Adalah cinta
yang suci serta luhur yang menyebabkan hamba berani
menempuh hal yang Gusti anggap kekeliruan ..." Sang
baginda mendengus. "Cinta yang suci! Cinta yang luhur!"
terdengar baginda tertawa meleceh. "Raden Panji Kuda
Waneng Pati!" "Ampun Gusti!" sahut Raden Panji. "Kau
berbicara dengan ayahmu, tak usah kau mengajan ayahmu
tentang cinta suci atau tak suci. Yang pentrng sekarang kita
bicarakan ialah per76 nikahanmu dengan Dewi Sekar Taji.
Kau telah di pertunangkan dengan dia sejak masih kanak
kanak, kini tiba saatnya pertunangan diakhiri dengan
pemikahan!" "Ampun Gusti! Tetapi pertunangan itu diada-
kan tanpa persetujuan dan pengetahuan hamba . "Kau pun
menikah dengan Dewi Anggraeni tanpa sepengetahuan
dan persetujuan kami!" "Tetapi hambalah yang menikah.
Hamba yang mengalami pahit manis serta suka-dukanya.
Hamba sendiri. Ampun Gusti." "Raden Panji Kuda Waneng
Pati!" "Daulat Gusti!" "Dengan singkat, maukah kau
menikah dengan Dewi Sekar Taji?" "Ampun Gusti! Hamba
sudah beristri!" "Dewi Anggraeni bukan seorang keturunan
raja, la boleh terus menjadi istrimu. tetapi Dewi Sekar Taji
yang kelak akan menjadi permaisuri!" "Ampun Gusti! Dewi
Anggraeni mesti mendu-duki tempat kedua? Sebagai
selir? Sebagai istri kedua? Dewi Anggraeni adalah cinta
hamba, hidup hamba. Hamba tidak sanggup
menempatkannya di samping orang lain. Jangankan pula
menempatkannya scsudah orang lain, la ...1 "Jadi
kendatipun hanya menggeser kedudukannya saja, engkau
menolak." "Ampun Gusti!" 77 Baginda murka, nampak
jelas dari wajahnya yang menjadi muram dan membesi
terbakar, sedangkan giginya nampak digigitkan erat-erat.
Tangannya memukul-mukul paha kanan. "Raden Panji!"
"Daulat Gusti." "Selama ini. engkau tidak pemah menunjuk-
kan kelakuan yang kurang sopan. Engkau seorang anak
yang baik, yang senantiasa mengikuti segala perkataan
orangtuamu. Tetapi, ya, memang sejak masih kecil, sudah
kusaksikan sifatmu yang manja. Kau seorang yang sangat
manja. Kau ingin supaya segala kehendakmu teriaksana.
Engkau terlalu menurutkan hatimu sendiri. Engkau sibuk
dengan dirimu sendiri yang sempit, karena yang
senantiasa engkau pikir dan perhatikan hanyalah dunia ke-
cilmu, yang penuh dengan kehendak-kehendak
perseorangan yang serakah. Engkau sedikit pun tidak
menaruh perhatian kepada masalah yang lebih besar.
Engkau tidak mau memperhatikan masalah orang lain!
Engkau tidak suka. Engkau enggan! Karena kalau pun
engkau memperhatikan orang lain, hanyalah dari segi-segi
kepenting-an dirimu sendiri yang sempit." Kemudian
baginda melanjutkan pula, "Sekarang segala yang dahulu
kami kuatirkan terjadi. Engkau bersitahan dengan dirimu,
engkau tidak mau me-lepaskan istrimu, karena kauanggap
itu akan me-ngurangi kebahagiaanmu. Namun, sececah
pun ti78 dak pemah kauperhatikan kebahagiaan orang lain
kebahagiaan manusia yang menjadi kawula dalam dua
buah kerajaan!" a Qalam Raden Panji tidak menyahut.
"Raden Panji! Tidakkah kausadari, bahwa per-nikahanmu
dengan Dewi Sekar Taji akan membawa dua buah
kerajaan ke dalam gerbang kebahagiaan?" "Ampun Gusti,
bagi hamba kerajaan adalah sesuatu yang tidak jelas.
Apakah artinya kerajaan, karena hamba sendiri pun bagian
yang tak terpi-sahkan dari kerajaan Janggala!" "Kerajaan
adalah segala sesuatu yang hidup di dalamnya. Kerajaan
bukanlah batas-batas, bukanlah sungai-sungai, bukanlah
gunung-gunung, tetapi manusia-manusia yang menjadi
kawulanya. Ma-nusia-manusia itu yang mesti kaulihat.
Manusia-manusia yang sama seperti engkau, seperti
istrimu, yang sama-sama merindukan kebahagiaan dalam
hidupnya." 'Tetapi apakah benar kebahagiaan mereka itu
tergantung dari ketidakbahagiaan hamba, ampun Gusti?"
"Ketidakbahagiaanmu? Nyatalah, nyata bahwa engkau
selalu melihat sesuatu dari dirimu yang sempit, yang picik,
yang serakah. Engkau menye-butnya ketidakbahagiaan,
padahal sesungguhnya pengurbanan. Dan sebagai
seorang putra mahkota yang kelak memangku takhta
kerajaan, engkau mesti menganggap bahwa pengurbanan
yang kau79 berikan untuk kebahagiaan kawula negara dan
untuk kemanusiaan umumnya, adalah satu-satunya
kebahagiaan. Makin besar pengurbanan yang kauberikan,
makin besar kebahagiaan yang kau-dapat. Karena,
kebahagiaan seorang raja adalah kalau ia telah bisa
meleburkan diri beserta kepen-tingan-kepentingannya
yang sempit untuk kebahagiaan kawula serta manusia
yang mulia.'1 "Ampun Gusti, tetapi benarkah kawula kedua
buah negara akan lebih merasa berbahagia di bawah
pemerintahan satu mahkota daripada terpecah dalam dua
mahkota?" "Raden Panji! Tak usah engkau mencari-cari
persembunyian dalam silat lidah yang pintar.Yang kami
minta bukanlah kepintaranmu berkata, melainkan
kesediaanmu mengurbankan kepen-tingan dirimu sendiri
yang sempit demi kebahagiaan kerajaan, untuk mencapai
cita-cita yang luhur. Cita-cita yang hendak mewujudkan
kembali usaha moyangmu sang Airlangga!" "Namun,
bahkan sang Airlangga sendiri tidak berdaya, pada akhir
hayatnya baginda terpaksa membagi dua kerajaan ..."
"Itulah yang hendak kita persatukan kembali!" "Empu
Bharada telah membuatkan batas dan ia seorang yang
sakti." "Kita akan melenyapkan kesaktian Empu Bharada.
Kita hendak menghapuskan batas yang dia bikin." 80 -
Ampun Gusti, mengapa justru hamba yanR dUadikan
kurban dalam usaha hendak menV-puskan kesaktian
Empu Bharada- Mengapa hambi yang mesti membenkan
pengurbanan sebesaruV" "Tidak ada yang besar. kalau
kau telah sampai dalam arti Besar yang sesungguhnya.
Tak ada yang berat untuk dilakukan, kalau kau mengerti
ujud Berat yang sesungguhnya. Besar dan berat hanyalah
ukuran yang dibuat oleh manusia berdasarkan
perasaannya yang sempit itu. Kalau kau melihat-nya dari
keluasan pandangan, dari kepentingan umat manusia yang
banyak, maka semuanya menjadi kecil dan tak berarti.
Engkau, Raden Panji, seorang yang sudah kenyang
berguru dan bertapa. tentu akan mengerti tujuan hidupmu
yang benar.. ¦ ¦ "Ampun Gusti, dalam hidup hamba yang
sing-kat, sering kegelapan menutup selumh pandangan.
Meraba-raba hamba terantuk-antuk mencari jalan. Tak ada
cahaya yang memberi petunjuk. Alam buana bagaikan tak
bennatahari. Hingga .. hingga sampai pertemuan hamba
dengan Dewi Anggraeni. Dialah yang memberi hamba
sinar. Dialah yang menjadi pelita, yang menjadi bintang,
yang menjadi bulan, yang menjadi matahari dalam hidup
hamba. Karena itu, bagaimana mungkin hamba menyi-
sihkannya? Bagaimana mungkin hamba menggeser-nya?"
"Tetapi Raden Panji engkau seorang putera 81 mahkota.
yang berhak atas takhta kerajaan Janggala. tujuan hidupmu
tidaklah hanya sampai ke pangkuan Dewi Anggraeni
belaka!" "Ampun Gusti!" "Sanggupkah engkau
menghilangkan dirimu sendiri demi kepentingan
kebahagiaan kawula dua buah kerajaan* Sangguplah
engkau mclenyapkan dirimu dan cintaimi pada Dewi
Anggraeni untuk kebahagiaan manusia lain yang banyak
dan untuk kcmanusiaan? Sanggupkah engkau meleburkan
dirimu sendiri demi kepentingan cita-cita yang agung serta
luhur dan suci? Sanggupkah engkau?" "Ampun Gusti.
unmk menyisihkan Dewi Anggraeni hamba . . . hamba
tidak sanggup." sahut Raden Panji Kuda Waneng Pati.
Sang baginda makin geram, Dari matanya bagaikan
berpancaran lelatu-lelatu api. Suasana dalam balairung
sangat tegang. Tak seorang pun yang berani mengangkat
muka. Mereka semua menunduk. Mereka mendengarkan
dengan diam-diam percakapan antara raja dengan putra
mahkota. Tetapi tatkala menyaksikan bahwa suasana
sudah sampai ke puncak. patih Prasanta yang tua. yang
sejak masih muda menghambakan diri kepada baginda
Jayantakatunggadewa dan menjadi salah seorang patih
kepercayaan. dan menjadi salah seorang guru putra
mahkota, segera menghaturkan sembah. 82 "Ampun Gusti,
perkenankan hamba mi-n.K ^rican sembah sepatah dua."
mcn8h* Sang baginda menolehkan wajahnya ke arah
sumber suara. "Kakang Prasanta!" tegumya. "Bicaralah'"
"Ampun gusti, perkenankan hamba berbicara kepada
Raden Panji. "Baiklah, Kakang! Berbicaralah kepadanya"
Patih Prasanta mengarahkan mukanya kepada Raden
Panji, kemudian ia bicara dengan suara yang tenang.
"Raden, istri Raden Dewi Anggraeni adalah seorang yang
luas pandangannya. Ia tentu mengerti akan pentingnya
pertunangan Raden dengan Dewi Sekar Taji dilanjutkan
dengan pemikahan. Ia tentu akan dengan rela memberikan
kedudukan-nya di samping Raden kepada Dewi Sekar Taji
yang memang lebih berhak ..." Raden Panji menolehkan
wajahnya. "Mamanda Patih Prasanta, Dewi Anggraeni
seorang yang luas pandangannya, memang! Memang tak
mustahil ia akan dengan rela memberikan tempatnya
kepada Dewi Sekar Taji. Tetapi hamba tidak mungkin
menipu diri hamba sendiri. Hamba tidak bisa membohongi
diri hamba sendiri: hamba tidak mau menyisihkan cinta
hamba, tidak mau menggesernya untuk orang lain!"
"Raden, tetapi kalau Raden menikah dengan Dewi Sekar
Taji itu bukan berarti bahwa Raden 83 menyisihkan atau
mcnggcscr cinta Raden. Raden hanya mcmenuhi
kewajiban Raden sebagai seorang satria yang sadar akan
tanggungjawabnya. Raden seorang putra mahkota. Putra
mahkota kerajaan Janggala yang jaya." "Hamba tidak
peduli. Mamanda Patih! Hamba tidak ingin menjadi
seorang satria, seorang putra mahkota! Mengapa hamba
tidak boleh hidup sebagai seorang manusia biasa. yang
boleh mengecap kebahagiaan hidupnya secara sesuka
hatinya, menurut pilihan hatinya sendiri?" "Karena
kebahagiaan seorang putra mahkota atau seorang raja,
bukanlah dalam mengjkuti kehendak hatinya. tetapi dalam
pengabdiannya kepada kerajaan dan kawulanya." "Hamba
tidak menemui kebahagiaan dalam hidup seperti itu.
Mamanda Patih. Hamba tidak ingin hidup seperti itu.
Hamba tidak peduli apakah hamba seorang putra mahkota
atau bukan, seorang pangeran ataupun bukan. Ambillah
kedu-dukan putra mahkota itu, tetapi jangan usik Dewi
Anggraeni dari samping hamba!" "Raden Panji Kuda
Waneng Pati!" teriak baginda tatkala mendengar
perkataan putranda yang terakhir. bahRaden Pan* ^rkejut,
segera menghaturkan sem-"Daulat Gusti!" "Engkau
berbicara seperti orang yang tidak wa84 ^ . . . baginda
tertegun, merasa terlanh,, w ^i»-tnya ten>otong. lalu men c,"
ada patih Prasanta. 'Kakang Prasanta'" 1 d "Daulat Gusti!"
"Sudahlah! Tak ada gunanya Kakang berbicara pula.
Raden Panji memang sudah tak mau ber pisah dengan
Dewi Anggraeni. Selama ada Dewi Anggraeni. agaknya
Raden Panji takkan sudi memikirkan hal yang lain kecuali
cintanya itu saja. Karena itu . . . ," baginda tcrmenung
sejenak, baru kemudian melanjutkan dengan suara yang
berubah. "biarlah! Tak usahlah hal itu kita bica-rakan lagi.
Raden Panji, bukankah engkau merasa berat menikah
dengan Dewi Sekar Taji lantaran di sampingmu ada Dewi
Anggraeni yang kaucintai sepenuh hati?" "Daulat Gusti,
demikianlah adanya." Baginda merenung ke kejauhan.
Meskipun berbicara dengan Raden Panji, baginda tak
melihat ke arah putranda. Suasana dalam balairung
tegang. Orang-orang merasa heran lantaran mendengar
suara baginda yang berubah, rendah dan seolah-olah tidak
menyala-nyala lantaran amarah seperti tadi, namun
terdengar-dengar gemetar, gugup dan gelisah. Setelah
sejenak hening, baginda bersabda pula. dengan suaranya
yang gemetar serta gugup itu, "Raden Panji! Kami hargai
kebesaran cintamu kepada istrimu Dewi Anggraeni. Cinta
yang kause85 but cinta suci. Cinta yang telah
menyebabkan engkau rela kendati melepaskan
kedudukanmu sebagai putra mahkota!" "Daulat Gusti,"
sembah Raden Panji dengan suara setengah berbisik.
"Dewi Sekar Taji tak mungkin kaunikahi karena di
sampingmu ada Dewi Anggraeni, bukan?" "Daulat Gusti."
Baginda mcnghela nafas pula. Matanya redup memandang
ke kejauhan. Dan wajahnya bagaikan berk eras hati
hendak mengambil keputusan yang sangat berat namun
terpaksa. "Tetapi. Raden Panji. engkau pun tahu. per-
tunanganmu dengan Dewi Sekar Taji telah dires-mikan.
Perjanjian telah diadakan antara dua kerajaan." Raden
Panji tidak menyahut, hanya menghaturkan sembah. tanda
ia mengetahui apa yang di-sabdakan baginda. Suara
baginda tiba-tiba berubah. memaksakan diri supaya tegas
dan hendak mengambil keputusan, kemudian bersabda
dengan suara yang angker lagi. "Raden Panji, engkau
masih ingat. beberapa waktu yang lalu sang Kili Suci
datang mengun-jungi kita, bukan?" "Daulat Gusti." "Tetapi
engkau barangkali tidak tahu, bahwa kedatangan sang Kili
Suci itu adalah bersangkutan 86 dengan pemikahanmu
dengan Dewi Sekar Tail -"Ampun Gusti, hamba tidak tahu "
karena sekarang kau telah pasli dak menikah dengan
Dew, Sekar Taji selama Dewi Anggraeni ada di
sampingmu. maka kami titahkan sang samengkau
sekarang juga menghadap kepada Kill Suci. Sampaikan
halmu kepadanya dan paikan takzim serta sembah kami."
Raden Panji bingung.- Ia sia-sia mengikuti arah
pembicaraan ramanda. Ia tidak mengerti arah percakapan
ramanda. Tetapi dengan disebutnya sang Kili Suci, hatinya
terbuka. Sang pertapa yang arif itu tentu maklum akan
cintanya yang besar kepada Dewi Anggraeni. Sang
pertapa itu tentu akan menolongnya. "Daulat Gusti,"
sembahnya dengan suara sarat harap. "Nah, berangkatlah
engkau sekarang jua ke Pucangan. Sampaikan semuanya.
Dan mintalah engkau nasihat sang Kili Suci, entah
bagaimana nasihatnya untuk memecahkan halmu itu."
"Ampun Gusti, titah hamba junjung. Tetapi dengan
demikian, apakah persoalan pemikahan telah dianggap
selesai?" Baginda melengos. "Kami menitahkanmu ke
Pucangan, untuk meminta nasihat sang Kili Suci mengenai
hal ini. Mudah-mudahan ia menunjukkanmu jalan yang
sebaik-baiknya ditempuh. Mudah-mudahan iamak87 lum
akan keadaan dan kehendakmu dan memberi-mu petunjuk
ke jalan yang benar. Berangkatlah segera." "Hamba akan
berangkat sekarang juga, tetapi perkenankan sebelum
langsung menuju ke Pucangan, hamba pulang dahulu akan
mengabarkan keberangkatan hamba kepada istri hamba
Dewi Anggraeni." "Mengingat bahwa persoalan ini penting,
dan kepada utusan dari Kadiri yang sekarang sedang
menanti keputusan, kita mesti memberi jawaban secepat
mungkin, kutitahkan engkau langsung menuju ke
Pucangan. Makin cepat makin baik. Mengenai istrimu, tak
usah kau merasa kuatir. Keberangkatanmu akan
dikabarkan juga kepadanya oleh salah seorang
saudaramu." "Ampun Gusti, titah hamba junjung. Tetapi
perkenankan hamba meminta kawan buat di jalan." "Tentu,
tentu engkau mesti berkawan. Baiklah Kakang Prasanta,
Kakang kawani Raden Panji Kuda Waneng Pati ke
Pucangan. Kalau masih perlu, bawa beberapa orang
ponggawa. Pilihlah sesuka-mu." "Titah hamba junjung,"
sahut Patih Prasanta sambil menghaturkan sembah.
"Ponggawa akan hamba pilih beberapa orang, mengingat
sekarang musim hujan, jalan ke Pucangan tentu licin. Para
ponggawa akan membawa kuda cadangan." 88
"Sesukamu, Kakang. Persiapan dan dctspH" buat bekal di
jalan, kami percayakan kepi?!? kang- Berangkatlah
sekarang juga." "Daulat Gusti." "Raden Panji." "Ampun
Gusti." "Ingat, engkau mesti langsung menuju ke Pucangan,
jangan membelok atau singgah ke tempat lain dahulu."
"Ampun Gusti, hal itu akan hamba ingatkan." "Sekarang
berangkatlah segera." "Hamba minta diri, mengharapkan
restu Gusti selama dalam perjalanan." "Perjalalananmu
untuk kepentingan kerajaan, menyangga titah raja, kami
restui." Setelah menghaturkan sembah, Raden Panji ber-
sama Patih Prasanta segera mengundurkan diri dari
balairung. Sejenak di bagian belakang bala-irung
terdengar hiruk-pikuk. Beberapa nama ponggawa disebut,
akan dibawa ke Pucangan, menga-wani putra mahkota
yang hendak mengunjungi sang Kili Suci. Persiapan-
persiapan segera diada-kan, kemudian terdengar suara
ringkik kuda yang makin lama makin menjauh. Sementara
terjadi kesibukan itu, sang baginda duduk di atas
singgasana, dengan kepala tertunduk, kening berkerut.
Dari wajahnya nampak seolah-olah telah mengambil suatu
keputusan yang berat, lelah dan payah. Nafasnya turun-
naik, keh8" hatan dari gerakan-gerakan teratur
punggungnya. Suasana dalam balairung hening. Tak
seorang pun berani mengganggu baginda yang kelihatan
sedang asyik berpikir. Akhirnya baginda mengangkat
kepala. Wajahnya nampak keruh seolah hatinya dibebani
sebuah gunung. Sebelum bersabda. terlebih dahulu
baginda mengusap wajahnya dengan kedua belah telapak
tangan. "Tumenggung Braja Nata!" sabdanya kemudian.
"Daulat Gusti!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan hati
kebat-kebit, terpengaruh oleh suasana yang menekan,
suaranya perlahan. "Tumenggung Braja Nata!" baginda
mengulangi sabdanya dengan suara naik tiba-tiba. "Daulat
Gusti!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan suara lebih
keras. "Patik menanti titah Gusti." Sejenak baginda melihat
ke arah Tumenggung Braja Nata, tetapi kemudian segera
mengalihkan pandangannya pula ke kejauhan. "Engkau
sejak tadi memperhatikan apa yang terjadi di sini, bukan?
Engkau memperhatikan-nya?" "Daulat Gusti!" "Engkau
mengerti apa sebabnya maka Raden Panji kuritahkan ke
Pucangan?" "Ampun Gusti, untuk menemui sang Kili Suci!"
90 Baginda tertawa hambar. -Tidak! Bukan itu maksudku
yan„ . nya. Titahku agar dia menghada'p k^adaTan, Kili
Suci hanya agar mempermudah maksud y2
sesungguhnya^ Tahukah kau apa maksudku yane
sesungguhnya?' ydng "Ampun Gusti, hamba kurang tahu."
"Titah kami kepada Raden Panji hanya mempermudah
jalan untuk maksud yang sesungguhnya . . . baginda
berhenti sejenak. "Dan maksud yang sesungguhnya itu
akan kami bebankan di atas bahumu." "Ampun Gusti, bagi
hamba belum jelas juga titah itu. Selama hayat dikandung
badan, hamba akan berusaha melaksanakan segala titah
gusti, meski mesti menempuh lautan api ataupun gunung
braja." Baginda menghela nafas. "Demikianlah hendaknya
semangat seorang satria. Satria Janggala yang tahu akan
kewajibannya," baginda bersabda pula. "Tetapi tugasmu
bukanlah menempuh lautan api ataupun menerjang gunung
braja, melainkan ..." baginda berhenti pula sejenak. "Tidak,
bukan itu titah yang akan kami bebankan kepadamu,
melainkan . . . sang baginda menghunus keris yang
tersandang. Baginda mengamati matanya yang tajam dan
ukiran-ukiran nya yang indah. "Tumenggung Braja Nata.
kau-lihatkah keris ini tclanjang, tak bersanmg?" 91
Tumenggung Braja Nata tidak mengerti makna pertanyaan
ayahanda, tetapi ia menyahut juga, "Daulat Gusti." "Keris
ini keris pusaka, yang selalu dipakai oleh setiap raja
Janggala. Dari Nenenda ia hirun kepada Ayahanda dan
sekarang ia ada pada kami. Umumya sudah tua. Tetapi ia
masih indah dan masih baik. Jarang empu yang pandai
membuat keris sebagus ini," lalu baginda menjentikkan
telunjuknya kepada ujung keris, bunyinya nya-ring "cring-
cring-cring 1 menggema di seluruh ba-lairung yang seperti
mati. Orang-orang dengan heran mengawasi kelakuan raja
mereka dengan diam. Mata mereka terbuka lebar, kuatir
sesuatu terjadi tanpa mereka saksikan. "Dengar, suaranya
sangat nyaring. Sungguh keris yang jarang tanding-nya!
Hmmmh. ia kini telanjang, tak bersarung, perlu mendapat
sarung baru!" Kemudian baginda menatap Tumenggung
Braja Nata. "Tumenggung Braja Nata! Kepadamulah tugas
untuk memberi sarung bam keris ini terpikul!" Tumenggung
Braja Nata tidak mengerti akan ujud perkataan baginda.
Tadi baginda akan meni-tahkannya melaksanakan titah
yang berat, tetapi temyata titah itu cuma mencari sarung
baru buat keris pusaka! Meskipun keris itu keris pusaka,
namun perkara itu agaknya tidak begitu penting kalau
mengingat soal yang sejak tadi dibicarakan. Ia tidak
mengerti. Ia samasekali tidak mengerti. 92 Tetapi menolak
titah ia pun tidak berani -Daulat Gusti, titah hamba junjung
di atas hah. kepala patik," sembahnya. Bmatasbatu •'Kami
ingin agar segera dilaksanakan* Sekarano juga!" sabda
baginda tegas. "Daulat Gusti," sahut Tumenggung Braja
Nata •Tetapi empu manakah yang berkenan dengan hati
Gusti untuk memberi sarung bam buat keris pusaka
kerajaan Janggala itu?" Baginda menatap Tumenggung
Braja Nata. "Tumenggung Braja Nata!" sabda baginda ke-
ras-keras. "Daulat Gusti!" "Bukankah engkau tadi
mendengarkan apa yang kami sabdakan dalam balairung
ini? Bukankah engkau tadi mendengarkan percakapan
kami dengan Raden Panji Kuda Waneng Pati mengenai
pemikahannya dengan Dewi Sekar Taji?" "Daulat Gusti!"
"Engkau mengerti?" "Hamba, ham . . . hamba mengerti,
Gusti!" "Nan, kalau engkau mengerti, maka pergilah
engkau sekarang mencari sarung bam buat keris pusaka
kerajaan Janggala ini! Demi kelangsungan cita-cita luhur
sang Airlangga! Berangkatlah sekarang juga!" "Ampun
Gusti, tetapi bagaimanakah bentuk sarung baru yang Gusti
kehendaki, seperti yang lama sajakah atau . .. ?" 93
'Tumenggung Braja Nata!" potong sang baginda. "Daulat
Gusti!" "Benar-benarkah engkau mengerti akan maksud
kami? Benar-benarkah engkau menyimakkan segala
sabda kami kepada Raden Panji? Benar-benarkah engkau
mengerti akan segala apa yang kaudengar tadi di sini?"
"Daulat Gusti!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan tak
mengerti. "Kau sadar akan arti persatuan Janggala dan
Kadiri untuk mewujudkan cita-cita agung mo-yangmu sang
Airlangga?" "Daulat Gusti." "Satu-satunya jalan mencapai
cita-cita yang agung itu adalah dengan menikahkan Raden
Panji Kuda Waneng Pati dengan putri mahkota Kadiri
Dewi Sekar Taji. Kau mengerti?" "Hamba. Gusti." 'Tetapi
untuk sampai pada pemikahan itu ada rintangan. Raden
Panji Kuda Waneng Pati tidak mungkin menikah dengan
Dewi Sekar Taji kalau di sampingnya ada istri yang sangat
dicintai-nya, Dewi Anggraeni. Rintangan mesti dihilangkan,
supaya jalan menuju cita-cita yang luhur serta agung tidak
terganggu. Pada pundakmulah kami bebankan tugas untuk
menghilangkan rintangan itu. Terimalah keris pusaka yang
tidak bersarung mi! Dengan keris pusaka ini kau mesti
mcnghi94 |angkan rintangan satu-satunya yang menghalan*
kita mencapai tujuan yang mulia, cita-cita yane tinggi-
Sarung kens ini tak mungkin kaucari pada empu siapa pun
juga, betapa pun pandainya ia bertukang. Ia mesti kau beri
sarung dalam diri orang yang menjadi rintangan bagi
tercapainya cita-cita yang agung!" Sehabis berkata-kata
itu. baginda terduduk di atas kursinya. Giginya tergigit
keras. seolah-olah menguat-nguatkan hati. Kelihatan
baginda sangat lesu dan letih. Keringat bermanik-manik di
dahi-nya. Tumenggung Braja Nata juga terhenyak. la
mengerti kini ujud titah baginda. Dewi Anggraeni! Dewi
Anggraeni! Dewi Anggraenilah sarung bam keris pusaka
yang dimaksudkan ayahanda! Dewi Anggraeni menjadi
penghalang tercapainya cita-cita baginda untuk
mempersatukan Janggala dengan Kadiri! Dan penghalang
itulah yang mesti dimusnahkan! Jalan mesti direntas dari
segala penghalang! Jalan mencapai cita-cita mesti luas
dan lurus! Dan ia, ia, ia, Tumenggung Braja Nata
mendapat tugas untuk merentas jalan itu! Untuk
menghilangkan segala penghalang! Untuk mele-nyapkan
segala rintangan! Untuk untuk - untuk menjadikan Dewi
Anggraeni sanmg bam bagi keris pusaka Janggala! Ia! Ia
mesti melakukan tugas itu! la bukan harus menerjang
lautan api atau mengalahkan sebuah kerajaan! Ia bukan
dititah95 kan menenang gunung braja atau mcnumpas
pcm-berontakan! la bukan dititahkan mcngeringkan segara
atau merebut sebuah negara buat memper-luas daerah!
Tidak! Ia hanya dititahkan untuk menghapuskan Dewi
Anggraeni! Dewi Anggraeni! Ia tahu. Dewi Anggraeni istri
saudaranya. Raden Panji Kuda Waneng Pati. seorang
yang cantik. halus, lemah lembut. sopan. ibarat sebuah
bunga! Mengapa ayahanda tidak menitahkannya menga-
lahkan seekor maean yanggalak. melainkan mema-tahkan
setangkai bunga yang sedang kembang? Dewi Anggraeni
bagaikan selitik embun yang bersih. yang dengan
mcnyentuh pel an-pel an daun tempatnya memercik akan
jatuh ke muka bumi. Mengapa ayahanda menitahkannya
untuk nienja-tuhkan embun yang cerlang ditimpa matahari
pagi itu dan tidak menitahkannya saja memben-dung kali
Brantasyang besar? Ah. Dewi Anggraeni. Dewi
Anggraeni... Tumenggung Braja Nata merasa tubuhnya
meng-gigil. Hatinya menjadi lemah dan jantungnya se-
akan-akan berhenti berdenyut. la merasakan seluruh sendi-
sendinya lesu tak bertenaga. Bahkan selumh tubuhnya
terasa tak berdaya. tak berke-kuatan. hanya seonggok
beban yang memberati jiwa. "Tumenggung Braja Nata!"
titah baginda pula. Dengan tangan yang menggigil,
Tumenggung Braja Nata menghaturkan sembah. suaranya
pun 96 gemetar. "Daulat Gusti!" ••Mengertikah kau
sekarang? Tahukah kau v karang akan tugas yang kami
bebankan di Z bahumu: "Da . . .daulat Gusti! Hamba ...
ham ... hamba mengerti." Baginda memberi titah pula.
"Sekarang kau telah mengerti akan tugasmu. Maka
lakukanlah sekarang apa yang telah kaumengerti itu."
"Tetapi . . . tetapi. Gusti. ham . .. hamba ..." "Tumenggung
Braja Nata! F.ngkau seorang satria! Seorang satria
Janggala yang perwira! Fng-kau akan menjadi contoh bagi
sekalian satria Janggala! Keperwiraanmu akan menjadi
teladan. Untuk mencapai cita-cita yang agung, yang hasil-
nya akan membawa kawula kerajaan. manusia. ke
gerbang kebahagiaan, engkau mesti berani
menghancurkan dirimu, perasaan-perasaanmu sendiri
yang sempit, melenyapkannya buat kepentingan
kebahagiaan umat manusia yang banyak! Engkau mesti
berani menghilangkan dirimu yang kecil. yang tak berarti
beserta lingkunganmu yang juga sempit! Engkau seorang
satria, engkau sejak kecil telah membaca kitab
Mahabharata yang suci. Engkau telah menyimakkan
Bhagawad Gita, petua-petua Batara Kresna terhadap
Arjuna yang ragu Demikianlah keadaanmu sekarang!
Engkau adalah Arjuna yang mesti melenyapkan perasaan-
perasaan 97 persaudaraan yang sempit demi
kebahagiaan per-saudaraan yang lebih luas. Engkau
adalah Arjuna yang mesti tidak gentar melawan Kaurawa
yang masih berasal dari satu turn nan Bharata untuk
membela kebenaran dan cita-cita kemanusiaan yang
mulia! Engkau ingat akan nasihat Batara Kresna? Maka
simakkanlah segala petua Sang Wisynu itu dan
tempatkanlah dirimu pada kedu-dukan SangJanaka!"
Sang Janaka! Ia, Tumenggung Braja Nata adalah sang
Janaka di Kurusetra! Sang Janaka yang mesti
meienyapkan keragu-raguan hatinya dan berbulat tekad
untuk berkelahj dan membunuh saudara-saudara, orangtua
dan bahkan gurunya! Namun alangkah canggung! Sang
Janaka menghadapi musuh-musuhnya, kebanyakan laki-
laki di medan peperangan Kuru! Musuh-musuhnya yang
juga mempertahankan diri, melawan, menyerang! Tetapi
Dewi Anggraeni? Ia hanya seorang wanita! Akan sampai
hatikah ia berbuat kejam terhadap seorang wanita?
Seorang wanita yang takkan mungkin melawannya?
Wanita yang adalah istri tercinta saudaranya sendiri?
Akankah sampai hatinya? Tumenggung Braja Nata
tertunduk. Ia tidak berani menengadahkan pandangannya,
kuatir ber-bentrok dengan sinar mata ayahanda. Padahal
sesungguhnya, tak usah hal itu dia takuti, karena ayahanda
sendiri selalu menghindarkan pandangannya ke arah Iain.
98 Beberapa jenak suasana balairung hening dan tegang.
"Tumenggung Braja Nata! Ketahuilah, bahwa kami sendiri
hancur hati mengambil keputusan ini! Tetapi demi cita-cita
persatuan Janggala dan Kadiri yang agung, kami tempuh
juga jalan satu-satunya ini. Kami mencoba meienyapkan
diri dan pe-rasaan-perasaan sendiri yang sempit untuk
mela-pangkan jalan menuju cita-cita luhur. Maka engkau
juga, Braja Nata, anak yang lahir dari darah kami sendiri,
engkau juga harus sanggup meienyapkan dirimu dan
perasaan-perasaanmu sendiri yang sempit demi
kepentingan cita-cita yang agung. Engkau yang kami pilih
untuk menjalankan titah yang luar biasa ini, supaya Raden
Panji, saudaramu itu, sadar bahwa segalanya kami tempuh
demi kepentingan kebahagiaan manusia yang banyak.
yang menjadi kawula dua buah kerajaan!" "Ampun Gusti,
tetapi alangkah beratnya tugas hamba!" keluh
Tumenggung Braja Nata. "Mengapa hamba tidak
dititahkan saja menaklukkan para pemberontak atau k ram
an yang ganas mengganggu ketentraman rakyat?
Mengapa justru untuk . . . untuk . . . untuk mencari sarung
baru bagi keris pusaka? Duhai Gusti! Hamba tak ... tak ... "
Baginda mengalihkan pandangannya ke arah Tumenggung
Braja Nata. "Jangan engkau berbicara sebagai
perempuan! Engkau adalah satria Janggala yang
mengenai 99 kehormatan dirinya! Engkau adalah satria
Janggala yang rela mengurbankan dirinya sendiri untuk
kepentingan kerajaan dan kebahagiaan umat yang hidup di
dalamnya! Engkau adalah Sang Janaka di medan Kuru!
Engkau mesti tabah!" "Namun Gusti . . . ." sembah
Tumenggung Braja Nata. "Yang hamba mesti hadapi
bukanlah Arya Dursasana yang Iicik pelit, bukanlah Duryo-
dana yang angkara murka! Yang mesti hamba hadapi...
ampun Gusti!" Sang baginda menghcfa nafas pula.
'Memang. tugasmu tidak ringan. Braja Nata. Itu kami
sadari. Dan sesungguhnya bagi kami pun. tidaklah ringan
memberi titah itu kepadamu. Namun demi kebahagiaan
manusia yang menjadi kawula dua buah kerajaan. segala
pertimbangan-pertimbangan kedirian mesti
dikesampingkan. Kau mesti tabah! TerimaJah keris yang
tak bersarung ini!" Baginda mengulurkan keris kepada
Tumenggung Braja Nata. Tumenggung Braja Nata
bagaikan lesu, tak bertenaga untuk menerima keris itu.
Tetapi ia tak berani menolak titah baginda. "Terimalah
Braja Nata! Engkau satria Janggala yang mesti memberi
teladan kepada para satria lain!" "Am . . . am . . . ampun
Gusti!" "Braja Nata! Berani kau menyanggah perintah
rajamu? Kami, Prabu Jayantakatunggadewa, yang
menguasai hidup serta mati seluruh mahluk yane ada di
wiiayah kerajaan Janggala, menurunkan Utah kepada
engkau, Tumenggung Braja Nata untuk melaksanakan
titahnya buat melapangkan jalan serta meienyapkan
rintangan menuju tercapainya cita-cita kemanusiaan yang
agung! Terimalah keris ini!" Tak berani lagi Tumenggung
Braja Nata berbuat ayal. Suara sang baginda terdengar
angker dan berpengaruh. Dengan jari-jari menggigil ia
menerima keris yang diulurkan baginda. Benda dari logam
yang tidak seberapa besar dan nampak ringan itu,
bagaikan sebuah gunung besi yang berat sekali, menekan
tangan, bahu dan seluruh dirinya. Dia hampir tidak
sanggup memegangnya! Hampir terjatuh ke lantai, untung
dengkulnya tetap, sehingga tak usah ia terjenmuk. Kcringat
laksana mutiara berkilauan pada keningnya, dan tatkala
ada angin yang semilir masuk dari celah-eelah, terasa
keringat dingin memenuhi seluruh tubuhnya! Nafasnya
sesak. jantungnya bagaikan tak sanggup berdenyut.
"Tumenggung Braja Nata!" sabda baginda kemudian.
"Kami percayakan tugas unnik merentas jalan,
melapangkan rintangan yang menghalangi tercapainya
cita-cita kita yang suci! Kami percayakan kepadamu.
seorang satria yang sadar akan ke-hormatan dan
tanggungjawab dirinya! Engkau yang akan memberi
teladan yang baik buat sa101 100 tria-satria lainnya di
Janggala! Kami percaya, engkau akan melaksanakan
tugasnu dengan baik!1' "Da... dau... daulat Gusli!" "Baiklah.
Berangkat kau sekarang juga! Jangan kauperayalkan titah
raja Janggala!" kemudian baginda menoleh ke arah
Senapati Arya Suralaga, "Arya Suralaga!" Yang dipanggil
terkejut bukan buatan. "Daulat Gusti!" "Andika kami
titahkan untuk pergi mengawani Tumenggung Braja Nata
melaksanakan tugasnya. Andika mesti mengawasi supaya
titah kami dilak-sanakan sebaik-baiknya. Andika jangan
membiar-kan dia bertindak ayal atau menyalahi tugasnya!"
"Da . . . daulat Gusti!" "Pergilah andika sekarang juga,
bersama Tumenggung Braja Nata untuk memberi sarung
bam kepada keris pusaka kerajaan Janggala! Cepat!"
"Daulat Gusti!" Setelah itu, suasana balairung kembali
sibuk. Mereka yang mendapat titah, sesudah meminta diri
serta mendapat restu baginda segera melangkah ke luar
dengan lesu. Sang baginda sendiri nampak lesu.
Kcpalanya tertunduk. Akhimya baginda memberi isyarat
bahwa persidangan bubar. Maka orang-orang pun
mengundurkan diri dengan diam-diam. Peristiwa yang
mereka saksikan tadi, sangat mencengkam hatinya
masing-masing. Dan itu saja telah menyebabkan mereka
cnggan berbicara. 102 TUMENGGUNG BRAJA NATA
Tempat peristirahatan yang ditinggali Raden Panji beserta
istrinya terletak agak jauh dari ibukota, berupa suatu istana
kecil yang sangat indah dan menyenangkan, sangat cocok
buat sepasang mer-pati yang sedang mengecap manisnya
madu peng-hidupan. Hawanya sejuk serta segar, pern and
an g-an pun menyedapkan. Sebuah tarn an yang asri,
penuh dengan bunga-bungaan yang aneka macam,
berkembangan dengan indahnya, menyebarkan harum
yang semerbak, Iembut disilir angin sepoi. Sungguh suatu
tempat yang akan menyebabkan setiap orang iri hati!
Setiap orang di segenap pen-juru kerajaan memuji-muji
peruntungan Dewi Anggraeni yang menurut mereka sangat
bagus! Seorang gadis keturunan orang keoanyakan, di-
ambil menjadi istri putra mahkota yang bakal mewarisi
takhta kerajaan! Meski mereka semua tahu akan
pertunangan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji, namun
mereka menganggap bahwa pu103 lung telah jatuh pada
diri dan nasib Dewi Anggraeni. Setiap saat Dewi
Anggraeni melayani Raden Panji dengan wajah yang segar
dan ria bahagia, dan setiap orang yang melihatnya tentu
akan me-ngira bahwa gadis gunung itu menemukan
kebahagiaan sempurna dalam is tan a kecil yang me-wah
serta indah itu, didampingi suami yang sangat
mencintainya. Bahkan Raden Panji Kuda Waneng Pari
sendiri menyangka bahwa istrinya selama itu merasa
bahagia benar-benar bahagia. Meskipun di antara kedua
kekasih itu selalu saling mencintai, saling penuhi kehendak
masing-masing. nikun dan penuh kasih sayang, namun
badai yang mengamuk dalam kalbu Dewi Anggraeni boleh
dikata tidak pemah reda. Dalam hatinya i yang daJam, nun
jauh dalam relung-relung gelap, perasaan takut senantiasa
mengintai. Ia merasa takut, cemas, kuatir. Ia sangat
mencintai Raden Panji, dan merasa berbahagia bahwa
Raden Panji telah menunjukkan cintanya pula yang besar
dan agung dengan jalan menikahinya. Tetapi karena ia
tahu bahwa Raden Panji seorang putra mahkota yang
sudah dipertunangkan dengan putri mahkota pula, ia
cemas kalau-kalau suatu kali Raden Panji akan
meninggalkannya. Kadang-kadang kalau kebetulan ia
sendirian. matanya merenung ke kejauhan, menatap ke
ke104 tiadaan, mengenangkan hal-hal yang tak
menenteramkan hatinya. "Kalau saja ia bukan seorang
putra mahkota . . . ," katanya dalam hati, "akan lebih
sempurna rasanya bahagia kami! Ah, mengapa ia bukan
seorang manusia biasa, keturunan orang kebanyakan
saja?" Tetapi kepada suaminya tak berani ia memper-
tunjukkan sikap yang mungkin merusak suasana
kebahagiaan. Ia sangat mencintai Raden Panji. Bukan
karena ia seorang putra mahkota, tetapi hanya lantaran ia
mencintainya. la ingin kekasihnya itu senantiasa merasa
berbahagia. Ia tidak ingin melihat kekasihnya murung, atau
merasa terganggu kebahagiaannya lantaran dirinya. Dan
alangkah besamya cinta Raden Panji! Alangkah agungnya!
Kalau teringat olehnya bahwa Raden Panji sudah
dipertunangkan sejak masih kecil dengan Dewi Sekar Taji,
kegamangan mengamuk dalam kalbunya. Ia merasa
berdosa, ia merasa bersalah lantaran telah sudi diperistri
Raden Panji. Tidak, ia tidak menolak lamaran Raden Panji,
bukan hanya lantaran ia mencintai Raden Panji, tetapi
lebih-lebih lantaran tahu betapa besar dan agungnya cinta
Raden Panji kepadanya. Dia kuatir kalau Raden Panji
akan berduka atau murung. Ia tak mampu membayangkan
Raden Panji murung! Dia tak ingin menyebabkan orang
yang dikasihi105 nya itu berduka! Lagipula Raden Panji
Kuda Waneng Pati putra mahkota Janggala. mungkin akan
murka lantaran merasa terhina jika lamarannya ditolak! Ah.
bahkan Raden Panji juga agaknya sadar, bahwa
perbuatannya itu berten tangan dengan ke-hendak
ayahanda, sang baginda raja Janggala, temyata dengan
pemikahan yang dilakukan diam-diam. Baru setelah
mendapat berita dari ibunda, bahwa ia boleh menghadap
ayahanda akan mem-persembahkan halnya. mereka
diterima dan mendapat restu baginda. Baginda merestui
mereka dan nampak menyukai menantunya, tetapi dari
sinar mata baginda, Dewi Anggraeni merasakan
ketaktentraman. Pandangan baginda seolah-olah
menyalahkan dia, dia yang mungkin dianggap telah
memikat Raden Panji! Pandangan baginda itulah yang
menyebabkan ia kadang-kadang tak bisa memejamkan
matanya. Pandangan yang dingin, tapi bagaikan menusuk-
kan logam tajam ke dalam jiwa, tak terperikan. Tidak, Dewi
Anggraeni tidak dendam kepada pandangan baginda yang
demikian dingin itu. Malah ia merasa bersalah, nun jauh
dalam relung hatinya, merasa bahwa tuduhan yang
dilempar-kan baginda meialui pandangan matanya itu
benar. Ya, ia telah bersalah, bersalah .... Tetapi cinta begitu
besar' Benarkah ia berhak duduk di samping putra 106
mahkota Janggala yang suatu kali kelak akan men-duduki
takhta? Benarkah ia berhak mengambil Raden Panji
sebagai suami? Ia ingin kekasihnya bahagia, dan
melakukan kewajibannya sebaik mungkin. Ia ingin
kekasihnya itu jangan sampai berduka. Jangan sampai
murung, tetapi senantiasa bersinar-sinar bagaikan mentari
kemarau. Ia ingin Raden Panji memenuhi harapan dan cita-
cita ayahanda yang besar. Ya, ia tahu akan cita-cita mulia
Prabu Jayantaka hendak mempersatukan Janggala
dengan Kadiri. Dan ia sering terumbang-ambing antara
keinginan-keinginannya sendiri yang merindukan
kebahagiaan yang damai dengan keinginannya supaya
kekasihnya itu memenuhi harapan ayahanda. Dan kemarin
dulu suaminya menghadap ke bawah duli. lantaran
mendapat titah yang tiba-uba dan sangat penting. Apakah
gerangan yang akan dititahkan baginda? Perasaannya
yang halus menduga bahwa titah ayahanda berhubungan
dengan persoalan Dewi Sekar Taji. Dan tatkala Raden
Panji hendak pergi, seakan-akan berat benar hatinya.
Mengapa ia memandang begitu? Mengapa pandangan
kekasihnya itu bagaikan meng-isaratkan suatu
malapetaka? Mengapa berlainan daripada biasa,
kepergian Raden Panji sekali ini meninggalkan perasaan
sunyi bukan buatan? Sunyi yang lebih daripada kesepian
lantaran orang yang dikasihi-dicintai tak ada di
sampingnya? 107 MTak lama, Adinda, Kakanda takkan
lama pergi. Bcsok atau selambat-lambatnya lusa, tentu
Kanda kembali ke sampingmu . . . ." itulah perkataan
Raden Panji sebelum berangkat. Sampai malam kemarin
ia sia-sia menanti, Raden Panji tak kunjung datang.
Perasaannya diamuk sepi yang luar biasa, lengang
menyendiri, seakan seluruh dunia kehilangan sen. Dan
kalbunya di-gundahi pertanyaan-pertanyaan yang tak
menen-tramkan, "Apakah gerangan yang menyebabkan
Raden Panji tidak pulang? Apakah titah baginda yang
melantarankan Raden Panji dipanggil cepat-cepat dan
sendirian saja? Adakah persoalan yang begitu penting?
Persoalan apa? Persoalan negara? Persoalan kerajaan?
Tetapi mengapa Raden Panji belum juga pulang?" Ia tidak
bisa tenang. Duduk salah, berdiri pun bukan. Terbaring tak
senang, berjalan pun serasa mengawang. Taman yang
penuh bunga-bungaan aneka macam, tidak menghibumya,
bahkan seolah-olah bunga-bunga yang melambai dilanda
angin semilir itu, menegumya dan bertanya; "Di mana-kah
Raden Panji gerangan? Mengapa Tuan berjalan
sendirian?" Burung-burung yang berkicau, terdengar
murung, seperti turut berduka lantaran Raden Panji belum
juga pulang. Setiap ada suara langkah mendekat, ia
terjaga. Raden Panjilah itu!" katanya dalam hatinya sendin
Tetapi tiap kali iakecewa 108 Setiap ada suara kuda lari,
ia bangkit dan me-mandang ke luar, tetapi yang dinanti
tidak kunjung muncul. Dan setiap saat, terbayang pula
pandangan kekasihnya pada saat terakhir, sebelum
berangkat. Alangkah aneh pandangan itu! Pandangan
yang luar biasa, laksana mengisaratkan suatu perpisah-an
berdinding mati! Suatu perpisahan akhir! Tim-bul
pikirannya yang bukan-bukan, tetapi dengan kemauan
sehat, diusimya dan disabar-sabarkannya dirinya. "Hanya
bayang-bayangan hayali belaka!" ia menghibur dirinya
sendiri. Emban Wagini, inang pengasuhnya yang sudah tua
dan yang telah mengasuhnya sejak masih bayi, yang
senantiasa berada di sampingnya itu, melihat gustinya
gelisah dan senantiasa bersedih maka ia pun berduka.
Sebagai seorang yang sudah lanjut usia, ia segera
mengerti sebab-musababnya. Maka tak berani ia
menyinggung-nyinggung Raden Panji di hadapan gustinya,
senantiasa ia mengajak gustinya yang sangat dicintainya
lebih daripada kepada jiwanya sendiri itu, bercakap-cakap
tentang hal yang menyenangkan. "Gusti, lihatlah, matahari
sangat indah dan alam nampak segar serta gembira!
Tidakkali Gusti ingin bercengkrama ke tengah taman, me-
nyaksikan burung-burung menyanyi sambil meme-tik bunga
mawar yang kembang indah? Cempaka 109 pun
musimnya berbunga, Gusti, bunga-bunga itu meliuk-Iiuk
meminta Gusti petik .. . " Dewi Anggraeni hanya mengeluh
dan meng-hindari pandangan inang pengasuhnya itu. 'Tak
baik Gusti bermuram durja sedang hari secerah ini!
Kibaskan segala kemurungan yang suram itu! Batara akan
murka, kalau segala anu-grahnya tidak kita terima dengan
suka . . . " Sekali lagi Dewi Anggraeni mengeluh.
"Bagaimana kami bisa bersuka cita, sedang di dalam hati
selalu rusuh, lantaran Kakang Panji belum juga pulang?"
akhirnya ia menyahut. "Gusti Panji berjanji akan pulang hari
ini, tentu beliau akan menepati janjinya. Janji satria
Janggala tak nanti tak ditepati . . . ," kata Emban Wa-gini
menghibur. 'Kakang Panji berjanji kemarin akan pulang,
kalau ada haiangan baru hari ini. Dan hari telah datang, ia
belum pulang, ada haiangan apakah gerangan yang
menahannya?" tanya Dewi Anggraeni. "Bibi, bukan sekali
ini Kakang Panji meninggalkan kami, tetapi mengapa
sekarang perasaan kami sangat berbeda? Mengapa
merasa lengang tak menentu?" "Ah, itu perasaan yang tak
karuan, jangan Gusti perturutkan juga! Gusti Panji akan
segera datang. Ubih elok kalau Gusti bergembira, supaya
jangan kerun nanti menyambut kedatangan Gusti Panji.
Akan murka ia kepada bibi, kalau melihat Gusti 110
bermuram durja Dewi Anggraeni menghela nafas dengan
berat Matanya menghindari pandangan inang
pengasuhnya yang setia itu. ••Lesu lelah rasanya tubuhku,"
katanya kemu-dian perlahan. "Gusti mesti bersantap ... "
"Patah seleraku! Semua makanan seperti terse-kat di
kerongkongan. Lagipula makan tidak dengan Kakang
Panji ..." tak lanjut kalimatnya. "Bibi kapankah Kakang
Panji pulang? Benarkah ia hari initiba?" "Gusti,
junjunganku, Gusti Panji tentu akan pulang hari ini seperti
dijanjikannya. Sekarang ia barangkali masih di jalan.
Sebentar lagi, tentu. . tiba-tiba terdengar suara kaki
kudanya dijauhan, Emban Wagini menengokkan
kepalanya. "Lihat, lihatlah! Panjang usia Gusti Panji!
Sedang kita bicarakan, dia datang! Tidakkah terdengar
oleh Gusti suara ketiplak kuda datang mende-kat?"
Menyirat darah pada wajan Dewi Anggraeni yang pucat
lesi itu. Cahya kegembiraan membakar hatinya. Maka
bangkitlah ia akan menyongsong kedatangan
jungjungannya. "Kakang Panji! Benarkah ia datang?"
terloncat tanyanya sarat kegembiraan. "Benarkah dia
datang?" Ill 'Tidakkah Gusti dengar suara kuda
mendekat?" sahut inang pengasuhnya. "Hai, dengan
siapakah maka Gusti Panji berdua?" Dewi Anggraeni
mempertajam matanya. "Tidak, tidak ..." kepaJanya
menggeleng lemah. "yang datang itu bukan Kakang Panji
bukan!" "Bukan Gusti Panji?" tanya Emban Wagini tak
percaya. "Habis, siapa?" Wajah Dewi Anggraeni kembali
pucat, bahkan lebih pucat daripada semula. Jantungnya
bagaikan berhenti tiba-tiba. Dan darahnya seperti berhenti
mengaiir. Hampir ia tak kuasa menopang tubuh. "Kakanda
Braja Nata!" bisiknya mendesis hampir tak kedengaran.
"Mengapa dia ke mari? Ke manakah Kakang Panji?
Bukan, bukan, yang me-ngiringkannya pun bukan Kakang
Panji! Mana Kakang Panji? Mana?" Wagini memburu
tubuh gustinya yang hampir rubuh. "Tenang, tenanglah,
Gusti, tenanglah . . . , bujuknya. "Kanjeng Braja Nata tentu
akan membawa berita tentang gusti Panji..." Dewi
Anggraeni didudukkan baik-baik, tetapi tubuhnya yang lesu
itu bagaikan tak lagi kuat duduk tegak. Tumenggung Braja
Nata sementara itu telah menambatkan kuda, lalu naik
akan menemui Dewi Anggraeni. Suasana puri itu sangat
lengang, bukan 112 hanya lantaran tak terdengar suara
orang tetai bagman dicengkam kemurungan yang mu^ Dia
mendapat! Dewi Anggraeni duduk dikawani oleh inang
pengasuhnya yang telah dia kenal baik -Kakanda!" tegur
Dewi Anggraeni. "Silahkan masuk, Kanda! Silahkan!
Dengan siapakah Kanda datang? Lama benar Kanda
tidak menyambangi kami! Kanda, manakah Kakang Panji?
Mengapa ia tidak datang serta?" Mendengar Dewi
Anggraeni menanyakan Raden Panji, kalbu Tumenggung
liraja Nata guncang. Bagaikan sebuah badai besar
memukulnya, mere-mukkannya. Alangkah mengenaskan
suara Dewi Anggraeni menanyakan suaminya itu, alangkah
menusuk kalbu! Dan ia . .. ! Ia berdehem beberapa kali
melonggarkan teng-gorokannya yang tersekat. Kemudian
terbata-bata menyahut, "Bagaimanakah kabamya,
Rayinda? Baik-baik sajakah? Alangkah segamya udara di
sini! Sayang Kakanda terlampau sibuk, sehingga tidak
bisa sering-sering mengunjungi Rayinda di sini! Tetapi . . .
tetapi. Rayinda baik-baik saja bukan? . . . bukan?" Dewi
Anggraeni mcnatapkan pandangannya. "Ya. dengan restu
Kakanda. kami baik-baik saja . . . di sini. Tetapi Kakanda,
manakah Kakang Panji? Tidakkah Kakanda bertemu
dengan dia di istana? Dia berangkat kemarin dulu dan
sekarang belum juga pulang!" 113 Tumenggung Braja Nata
menghindari tatapan itu. Dia menoleh ke samping. lalu
melihat Emban Wagini, kemudian dia tertawa tak keruan,
mene-gumya, "Apa kabar, Bibi? Alangkah panasnya hari,
ya Bibi! Tidakkah Bibi sudi mengambil ba-rang seteguk air
buat membasahi tenggorokan yang kering?" Dewi
Anggraeni menoleh kepada inang pengasuhnya. "Kakanda
Tumenggung dahaga, Bibi, ambilkan air buah yang segar.
Buah-buahan yang ranum-ranum itu pun bawa pula ke
mari!" katanya kepada inang pengasuhnya, Emban Wagini
yang segera mengundurkan diri akan melaksanakan titah
junjungannya, kemudian menoleh pula kepada
Tumenggung Braja Nata. "Kakanda, mengapa Kanda
selalu menghindari pertanyaan hamba mengenai Kakang
Panji? Mengapa Kanda mencari-can alasan untuk
mengelakkan pertanyaan hamba? Tadi Kakang berkata
hari sangat segar, dan tiba-tiba barusan kepada Bibi
Wagini Kakanda menga-takan udara sangat panas!
Katakan, duhai Kakanda katakan kepada hamba. ke
manakah Kamaka t,d3k PUl3ng bCrSama Kakanda
Tumenggung Braja Nata tergagap-eaeaD dan 114 "Eh ...
eh ... hai ke manakah Arya Sumi.™, gerangan? Mengapa
ia tidak naik juga?" ia «£ ura tak mendengar pertanyaan
Dewi AngiLni dan pura-pura mencari kawannya. Lalu
bandit dan keluar pula. Arya Suralaga! Mari naik ke mari!
Mengapa di luar saja?" Dewi Anggraeni merasa kesal,
tetapi ia masih menunjukkan kesabarannya, menjengukkan
ke-palanya ke luar. "Dengan Mamanda Arya Suralagakah
Kakanda datang? Mengapa ia tidak naik juga? Ke marilah
Mamanda Senapati!" ajaknya. Tetapi Senapati Arya
Suralaga menyahut dengan suara yang dalam, "Biarlah,
biarlah hamba di sini saja. Hari sangat panas, tentu gerah
di dalam ru-mah!" "Marilah Senapati!" ajak Tumenggung
Braja Nata. Sedangkan dalam hatinya ia berkata, 'Marilah
ke mari, kawani aku, bagaimana akan ku-sampaikan
semua titah itu? Bukankah engkau di-suruh mengawasi?
Alangkah berat lidah ini! Alangkah berat!" Sementara itu
Emban Wagini sudah datang membawa hidangan.
"Lihatlah, Bibi Wagini membawa minuman dan buah-
buahan yang segar! Marilah masuk, Mamanda Senapati!"
ajak Dewi Anggraeni. Tumenggung Braja Nata pun
bagaikan berat untuk masuk. Dan air jeruk yang segar itu
seperti 115 tidak menarik seleranya. "Kakanda. silakan
minurn. Bukankah Kakanda tadi dahaga? Tentu dahaga.
karena hari panas dan naik kuda sejauh itu! Dan Mamanda
Senapati! Mari ke sini! Mari minum!" Senapati Arya
Suralaga yang tak pantang takut itu. naik ke dalam.
sedangkan hatinya merasa tak tentram kebat-kebit
berdegupan dengan kencang Tumenggung Braja Nata
menghabiskan air itu dengan sekali teguk, sehingga
kelihatan seolah-olah orang yang benar-benar dahaga.
"Alangkah segar minuman ini!" katanya kemudian meski ia
sendiri tidak tahu benar bagaimana sesungguhnya rasa
minuman yang baru lalu di tenggorokannya itu "Ayuhlah
Senapati! Ayuhlah!" Senapau Arya Suralaga mengikuti
jejak Tumenggung Braja Nata. "Kakanda!" tegur Dewi
Anggraeni tak sabar. 'Mengapa Kanda selalu
mengelakkan pertanyaan hamba mengenai Kakang Panji?
Mengapa? Apaka-kah yang terjadi dengan Kakang Panji?
Mengapa Kanda menunduk? Mengapa Kanda tidak sudi
menyahut? Mendapat malapetakakah Kakang Panji-
Apakah kecelakaan yang menimpanya? Mengapa
Kakanda melengos^ Mengapa Kanda diam saja?
Mengapa tak mau menyahut?" Senapati Arya Suralaga
segera menan.h mi-numannya. lalu menundukkan kepala,
scakan-akan ncndak mencan helah untuk mengundurkan
din "Eh... eh ..memang.. . m^ " dln; Tumenggung Braja Nata
menyahut dengan 'suara gagap. -Mengapa Kanda bicara
terputus-putus'* Parah kah Kakang Panji? Berbahayakah
jiwanya?" Ata™' ' "Tidak, tidak!" Tumenggung Braja Nata
meng-gelengkan kepala keras-keras. "Raden Panji tak
kurang suatu apa!" "Tetapi mengapa Kanda seakan segan
bicara?" desak Dewi Anggraeni. "Samasekali tidak,
tidak!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan tetap gugup.
"Hanya ..." "Hanya apa? Bagaimanakah sebenarnya
Kakang Panji? Katakanlah Kanda, katakanlah! Katakanlah
terus terang! Adinda berjanji, takkan terkejut meskipun
mendengar Kakang Panji mendapat . . . ampun Batara,
mudah-mudahan tak terjadi apa yang kutakutkan!"
kemudian Dewi Anggraeni menyungkup wajah dengan
tangan. menangis tergukguk. Melihat Dewi Anggraeni
menangis, makin tak tentu hati Tumenggung Braja Nata.
Tangannya meraba-raba tak keruan, karena tak tahu apa
yang mesti dia perbuat. "Jangan menangis, jangan Adinda
menangis. Raden Panji selamat, tak kurang suatu apa.
Sudah-lah, sudahlah, jangan Adinda men ..." tak lanjut 11
116 pcrkataannya, karena tiba-tiba tangannya menycn-tuh
keris pusaka yang diberikan baginda kepada-nya. Maka ia
pun teringat pula akan tugasnya. Tangannya niendadak
terkulai. Icmas. !a niemc-jamkan mata. 'Duhai Batara.
mengapa mesti ku-jalankan titah seberat ini? Bcrilah
hamba kekuatan, ketabahan untuk melapangkan jalan bagi
cita-cita tinggiV katanyi dalam hati. 'Beri hamba kekuatan
untuk mengesampingkan segala perasaan kedirian yang
sempit, yang menghalangi cita-cita agung tercapai!" Dewi
Anggraeni tergugah. "Benarkah Kanda? Benarkah Kakang
Panji tak kurang suatu apa? Benar-benarkah Kanda?"
tanyanya dengan mata disinari secercah harapan. "Tetapi
mengapa ia tidak pulang sekarang?" "Raden Panji
mendapat titah dari Baginda," kata Tumenggung Braja
Nata. "Ia tidak kurang suatu apa, tetapi ia mendapat titah
yang tak boleh ditangguhkan. sehingga ..." "Sehingga apa.
Kanda?" desak Dewi Anggraeni tak sabar. "Sehingga ia
tidak sempat ke mari dahulu mengabarkan hal itu kepada
Adinda. Ia sangat kuatir akan kesehatan Adinda, yang
selalu dia kenangkan. Dia meminta kepada Kanda supaya
Kanda ke mari ..." "Apakah titah yang mesti diselesaikan
oleh 118 Kakang Panji? Mengapa ia sampai tak sempat m
jenguk istnnya dahulu? Penting benarkah 1 ne an titah itu?
potong Dewi Angraeni, biarkan Tumenggung Braja Nata
menyclc V kalimatnya. Tidaklah ia mendapat titah untuk
untuk memcrangi pemberontak ataukah karaman?" -
Bukan, Raden Panji tidak dititahkan meme-rangi
pemberontak ataupun karaman. Tetapi titah tak boleh
ditunda, sehingga tak sempat dia singgah dahulu akan
mengabarkan hal itu kepada Rayinda. Namun, ia masih
sempat meminta Kakanda untuk menyampaikan pesannya
kepada Rayinda ..." "Pesannya? Apakah gerangan pesan
Kakang Panji? Mengapa tidak tadi-tadi Kanda berbicara?
Mengapa tadi Kanda seperti gugup benar bicara?" "Tadi
Kanda baru datang. masih lelah, maklum-lah si Pramuga
Kanda pacu sekuat-kuatnya. Kanda kuatir kalau-kalau
Rayinda terlampau lama mcng-harap dan bergelisah ..."
"Scsungguhnyalah, Rayinda sudah benjettsah benar.
Menurut janji Kakang Panji, Kakang Panji sudah pulang
kemarin, atau paling lambat had ini. Dan sekarang . . .
ternyata Kakang Panji belum bisa pulang, hanya pesannya
saja. Dan apakah pesan yang mesti Kanda sampaikan
kepada hamba, ampun Kanda Tumenggung?" "Raden
Panji berpesan....." Tumenggung 119 Braja Nata terhcnti
dan kata-kata berhenti di tenggorokannya. "Raden Panji
berpcsan . . bcr-pcsan, supaya ..." "Supaya apa. Kanda?"
"Supaya Kanda datang ke mari akan menjem-put
Rayinda!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan nafas
memburu. "Menjemput hamba? Ke mana?" "Ya.
menjemput Rayinda. Ke Muara Kama!." "Ke Muara
Kamal? Ada apakah gerangan?" "Raden Panji mendapat
titah baginda. la meng-harap agar Rayinda turut pula ke
sana. Karena mungkin ia di sana akan lama baru pulang.
Lagi-pula pemandangan di tepi laut, tentu akan sangat
menyenangkan hati Rayinda. Sudahkah Rayinda melihat
laut? Merasakan ombak menyimbah kaki? Merasakan
angin yang besar. yang meniup gelom-bang memecah di
pantai?" "Apakah gerangan titah Baginda maka
mengirimkan Kakang Panji ke Muara Kamal?" tanya Dewi
Anggraeni tak mempedulikan pertanyaan Tumenggung
Braja Nata tentang laut. Dan ditanya demikian,
Tumenggung Braja Nata kehilangan helah. "A aa . . anu.
Rayinda, di Muara Kamal ... datang utusan dari .. .
Tiongkok. hendak menghadap kepada Baginda." akhirnya
ia menyahut se-jadinya. "Tak ada orang yang patut
menerima tamu agung itu mereka utusan kaisar Tiongkok
n^nguasa, negara atas angin itu kecUaH Raden
rauji^Tetap> mengapa begitu mcndadak dan terburu -buru'
•Kedatangan mereka serentak, sehingga kita tidak sempat
membuat persiapan-persiapan yane patut ..." kenngat
bermanik-manik di dahi Tumenggung Braja Nata,
meskipun ia tidak merasa gerah. "Hamba perempuan
Kanda. patutkah hamba turut menampilkan muka di
hadapan tamu agung seperti mereka?" "Mengapa tidak?
Konon, di antara tamu-tamu itu ada pula wanita, entah
katanya kemenakan sang Kaisar, hendak mengetahui
tanah Jawa. Kanda pikir tak ada yang lebih tepat untuk me-
nyambut mereka itu kecuali Rayinda sendiri. Baginda pun
telah menyetujuinya." "Baginda menyetujui, sedangkan
hamba di-tinggalkan oleh Kakang Panji dalam gelisah!
Alangkah ajaib!" "Rayinda dititahkan dijemput. Hamb ... eht
Rakandalah yang dititahkan Baginda menjemput. Kita tidak
ke istana dahulu, melainkan terns langsung menuju ke
Muara Kamal! Makin cepat makin baik, karena kita
mengejar Raden Panji." Dan dalam hatinya sendiri,
Tumenggung Braja Nata mengulang-ulang kalimat baginda
yang baru diucapkannya itu: Makin cepat makin baik.
Makin 121 cepat makin baik. Makin cepat makin baik.
Makin cepat... "Jadi hamba mesti berangkat sekarang
juga?" tanya Dewi Anggraeni. "Ya, demikianlah. Sesegera
mungkin." Dewi Anggraeni menoleh kepada Emban
Wagini dan berkata gembira, "Bibi, kita berangkat
sekarang, kita akan menyusul Kakang Panji ke Muara
Kamal. Kita akan melihat laut! Cepat berkemas-kemas!"
Tumenggung Braja Nata gelisah. 1 Akankah Rayinda bawa
Bibi Wagini?" Dewi Anggraeni memandangnya he ran.
"Ya," sahutnya mengangguk. "Bibi Wagini selalu melayani
hamba siang maupun malam, lagipula ia sudah bagaikan
bunda hamba saja . Mengapa?" Tumenggung Braja Nata
menjaruhkan pandangan. "Tidak. Tetapi menurut Kanda,
lebih baik . . . lebih baik . .. lebih baik kalau ia tak usah
ikut," katanya dengan tak berani mengangkat
pandangannya. ''Mengapa? Mengapa ia tak boleh turut?"
"Bukan tak boleh, hanya saja lebih baik . . . lebih baik
rasanya kalau tak usah dia dibawa." "Kanda, benarkah
Kakang Panji menitahkan hamba turut dengan Kakanda?"
tanya Dewi Anggraeni. 122 Tumenggung Braja Nata
terkejut •>Tti ¦ • • sungguh. benarlah Raden Panji menitah
kan Kanda ke man akan menjemput Rayingtetapi
mengapa ia tak membolehkan Raymda membawa Bib.
Wagini. padahal ia sendin uhu bahwa Bibi Wagini selalu
bersama-sama hamba-1" -Bukan begitu. Rayinda," sahut
Tumenggung Braja Nata. "Raden Panji tidak mengatakan
hal itu kepada Kanda, sehingga Kanda salah faham ..."
Dewi Anggraeni tenang kembali. Ia menoleh kepada inang
pengasuhnya yang setia itu. "Bibi, mengapa Bibi belum
juga bangkit untuk berkemas-kemas, menunggu apa lagi?
Ayuhlah. jangan biarkan Kakang Panji menanti terlampau
lama!" katanya memberi titah. Emban Wagini yang sudah
kenyang makan ga-ram itu, melihat sesuatu yang tidak
beres dalam tingkah laku Tumenggung Braja Nata. Hal itu
dia perhatikan sejak mulai datang. dan makin lama makin
nyata saja. Mengapa ia selalu kelihatan gugup? Mengapa
bicaranya sering gagap terbata-bata tak lancar? Apakah
sebabnya gerangan? Pera-saannya yang halus dan tajam.
mencium hal-hal yang mencurigakan. Ia ingin menahan
gustinya, jangan menurutkan ajakan yang tidak keruan.
Demi mendengar teguran junjungannya, maka ia
menjaruhkan diri, menghaturkan sembah dengan suara-nya
yang iba, "Gusti, tetapi Gusti lagi gering. perja-lanan amat
jauh, tidakkah lebih baik Gusti tmggal 123 saja di sini?
Tenni Baginda pun takkan murka kalau Baginda maklum
sebab-musababnya. Dan Gusti Panji . . . ,M tak lanjut
kalimatnya, karena cepat dipotong oleh Dewi Anggraeni
yang tak sabar, 'Bibi! Mengapa Bibi bicara seperti itu?
Bibi menganjurkan kami mendurhaka dan Kakang Panji
tentu akan sedih hatinya kalau kami tak datang menyusul."
"Tetapi Gusti." sahut Wagini dengan sabar, "Gusti sedang
gering, hamba kuatir kalau-kalau perjalanan ini akan
memarahkan penyakit . . . " 'Tidak! Penyakit kami akan
hilang kalau sudah berada di samping Kakang Panji!
Tidak! Kami tidak boleh lemah hati, kami mesti berangkat!
Siap-siaplah segera. berkemas-kemas secukupnya!"
Tumenggung Braja Nata yang gelisah lantaran mendengar
sembah Emban Wagini yang seakan-akan hendak
mencegah kepergian gustinya, turut menyumbangkan
pendapatnya, "Angin laut sangat baik bagi kesehatan.
Segala penyakit akan hilang, akan lenyap. Dan apakah
Rayinda gering?" "Ah. tidak." sahut Dewi Anggraeni cepat.
"Hanya merasa lesu ..." "Kalau begitu, dengan sedikit
bepergian, akan hilang." "Cepatlah Bibi! Maafkan kami,
Kanda! Makan-lah buah-buahan itu Mamanda Senapati!
Ranum baru kemarin dipetik dari pohonnya, menyedia-kan
Kakang Panji. Tetapi rupanya Mamanda 124 ^ang
beruntung, habiskan saja' HamK u £?em-*«n« dahulu
beni."^^ bC..Tak usahlah, Rayinda, tak usahah r*"V
mcmbawa terlalu banyak M**^Z£ na ¦ ¦ • -Bagaimana pula,
Kakanda? Bukankah hamba nanti mesti menjemput putri
Tiongkok yang baru datang? Tentu harus mengenakan
pakaian yane patut ..." sahut Dewi Anggraeni dengan
heran -Namun, utusan kaisar Tiongkok itu tentu membawa
pakaian yang indah-indah dari sutra!" -Ah, tetapi itu kan
belum tentu! Baiklah kalau membawa, daripada kita malu
kelak!" "Baiklah, bagaimana menurut Rayinda saja," sahut
Tumenggung Braja Nata. "Tetapi cukup Rayinda berdua
dengan Bibi Wagini saja yang ikut! Kita mengejar waktu,
kita naik kuda saja. Bukankah Rayinda sanggup naik
kuda?" "Hamba sering dilatih oleh Kakang Panji, sehingga
tabah menunggang si Hitam," sahut Dewi Anggraeni.
"Sukuriah kalau begitu. Kita perlu bum-bum, kalau tidak
naik kuda, tentu takkan terkejar saat-nya. Cukup kita
berempat, karena kalau ditambah pula, mungkin
memperlambat perjalanan." "Hamba hanya merasa perlu
mengajak Bibi Wagini, karena ia adalah pengganti bunda
hamba." "Baiklah." Dewi Anggraeni masuk hendak
berkemas, se125 dangkan Tumenggung Braja Nata
memejamkan matanya, kemudian menjatuhkan kepala pula
Kepalanya terkulai, bagaikan sebungkah benda tak
bemyawa. Sedangkan dalam kalbunya sebuah
peperangan dahsyat sedang berlangsung. "Engkaulah
Sang Janaka di Kurusetra, kau mesti tabah, mesti berani
meleburkan dirimu yang sempit untuk kepentingan cita-cita
kemanusiaan yang luhur dan agung!" terngiang kembali
sabda ayahanda kepadanya. "Lapangkan jalan menuju
cita-cita itu. Adalah tugasmu untuk menghilangkan
penghalang! . . . Berilah keris pusaka ini sarung baru!
Sarung baru! Sarung baru!" Senapati Arya Suralaga yang
senantiasa menun-jukkan keberanian dan ketangkasannya
di medan perang itu, kini tertunduk, tak berani mengangkat
kepala akan melirik ke arah Tumenggung Braja Nata,
padahai ia ditugaskan untuk mengawasinya! 126
PERISTIWA DALAM HUTAN Mereka memacu kudanya
dengan cepat. Tumenggung Braja Nata berjalan di depan,
kemudian me-ngikut si Hitam yang ditunggangi Dewi
Anggraeni bersama inangpengasuhnya, dan di belakang
sekali Senapati Arya Suralaga. Mereka berpacu sambil
berdiam diri. Tumenggung Braja Nata memecut kudanya
bagaikan terbang. Dewi Anggraeni antara sebentar
berseru, "Jangan terlampau cepat, Kanda!" maka baru
Tumenggung Braja Nata memper-lambat lari kudanya.
Oleh pemandangan sepanjang jalan. meskipun menambah
dia kian terkenane akan junjungannya. Dewi Anggraeni
kembali kegembiraannya. Apa pula tatkala menyaksikan
bahwa kudanya tidak banyak tingkah. Kadang-kadang ia
bertanya kepada Tumenggung Braja Nata yang kadang-
kadang berjalan tak be-rapa jauh antaranya. tentang hal-hal
yang mereka 127 liwati. Tumenggung Braja Nata, kecuali
kalau di-tanya. hampir tak mengeluarkan sepatah kata pun
Setelah melewati tegalan yang luas dan tanah-tanah
pertanian yang subur, mereka pun masuk ke dalam hutan
lebat. Udara segar dan sejuk Tetapi di sini mereka tidak
bisa memacu kuda secepat-cepatnya. Pohon-pohon yang
besar kadang-kadang merintangi jalan yang mereka
tempuh. Beberapa lamanya berkuda di dalam hutan, tiba-
tiba Tumenggung Braja Nata mengekang kendali kudanya,
ia berhenti. Nafasnya turun naik, seirama dengan kudanya
yang mendengus-dengus. Dewi Anggraeni demi melihat
kandanya berhenti. ia pun menahan si Hitam. Wajahnya
merah karena darah telah naik ke urat-urat paras,
sedangkan keringat pun berbintik-bintik, menambah
kecantikannya berkilauan. "Sudahkah kita sampai ke
Muara Kamal, Kakanda?" tanyanya dengan nafas
terengah-engah. "Capai benar rasanya!" "Masih jauh,
masih jauh lagi," sahut Tumenggung Braja Nata dengan
nafas memburu. "Mengapa Kanda berhenti? Bukankah kita
mesti cepat-cepat?" Tumenggung Braja Nata menjatuhkan
kcpala-nya. Ia meloncat dari kudanya. Lalu dicarinya
sebatang pohon akan menambatkan kudanya itu. "Kanda
hendak mengasoh?" tegur Dewi Anggraeni. Tidakkah kita
akan datang terlambat?" 128 ••Turun dahulu, Rayinda » w
^ng Braja Nata dengan suara lunak^ Suknyadisini!" n*' ^ah
Wagini mencium sesuatu yang mencurigakan niaka ia
mengisaratkan gustinya agar janRan m/ nurutkan kehendak
Tumenggung Braja Nata" •Mungkinkah Tumenggung Braja
Nata hendak merusak pagar ayu Adinda?' tanya Emban
Wagini kepada dirinya sendiri. 'Mengapa sikapnya sangat
luar biasa dan mencurigakan?' Dewi Anggraeni juga
merasakan suasana yang sangat luar biasa. "Marilah kita
lanjutkan saja perjalanan, Kanda, biar kelak mengasoh
kalau sudah ketemu dengan Kakang Panji!" katanya
mengelak. Senapati Arya Suralaga sudah berhenti pula,
lalu menuntun kudanya, seperti tidak kunjung menemu
batang pohon yang baik buat menambatkan kuda. Ia
menyelinap-nyelinap dan makin men-jauh-jauh saja.
Tumenggung Braja Nata melihat kelakuan Senapati Arya
Suralaga itu, ia berseru keras, "Senapati! Mengapa
mencari tempat jauh benar? Bukankah di sini banyak
batang buat menambatkan kudamu?" 'Ti . . . tidak . . .
biarlah di sana saja . . - *ahutnya gagap. . . "Kanda, ada
apakah gerangan maka han ini 129 Kanda kelihatan gugup
dan gclisah? Ada apakah gerangan yang terjadi?" tanya
Dewi Anggraeni dengan suara bcrubah dan mata tajam
menatap. "Katakan terus terang! Meski Kanda mencoba
menyembunyikannya, segaJa tingkah laku Kanda sejak
Udi mengatakannya kepada Rayinda, bahwa ada yang
Kakanda coba sembunyikan!" Tumcnggung Braja Nata
cepat-ccpat menyahut, "Tidak, Kanda tidak . . . sungguh
Kanda tak ber-dusU. Radcn Panji . . . dititahkan Ramanda
ke Puc . . . eh, ke Muara KamaJ, untuk . . . untuk
mcngalahkan lanun . . . " "Apt?" Dewi Anggraeni terkejut,
lalu meloncat dari kudanya. "Katakanlah yang benar,
Kanda, ke manakah Kakang Panji dititahkan oleh bagin-
da? Ke Muara KamaJ? Atau ke . . . Pucangan? Tadi
agaknya hendak terloncat perkataan itu dari mulut
Kakanda! Dan di Muara Kamal? Apakah yang
menyebabkan Kakang Panji mesti berangkat ke sana?
Benarkah ada utusan dari kaisar Tiong-kok? Mengapa
barusan Kanda bilang untuk menga-lahkan lanun? Ah,
Kanda, katakanlah, ada apakah sebenarnya di istana?
Apakah yang terjadi dengan Kakang Panji! Katakan terus
terang!" Tumenggung Braja Nata termenung. 'Engkau-lah
sang Janaka di medan Runi!' terdengar kalimat baginda
pula olehnya. 'Tabahkan hatimu!' Sementara itu Dewi
Anggraeni telah menolong mang pengasuhnya yang tua itu
turun dari kuda. 130 LaJu dia berdiri dengan mata tetap
taiam m dang kakanda. keningnya berkenJ, ^wl^a yang
tadi cerah nampak keruh kembali "Mengapa Kakanda
seperti segan? Tadi pun hamba telah berkata, katakanlah
terus teranR hamba akan menyimakkannya dengan baik "
Akhirnya Tumenggung Braja Nata menguasai dirinya
kembali. "Ya, lebih baik Kakanda berterus terang saja
sekarang . . .," katanya kemudian. "Sesungguhnya . .
sesungguhnya, Raden Panji tidak dititahkan Ayahanda ke
Muara Kamal..." "Habis? Ke manakah dia?" Dewi
Anggraeni penasaran. "Ke Pucangan." "Ke Pucangan?"
tanya Dewi Anggraeni. "Ada apa? "Ia, Raden Panji
dititahkan baginda ke Pucangan, untuk menyambangi sang
Kili Suci . . . " "Hendak menyambangi sang Kili Suci . . . " ¦
imam Dewi Anggraeni. "Apakah soal yang mesti
disampaikan, maka Kakang Panji sampai tak ke-buru
singgah untuk menemui hamba barang se-jenak? Kanda
Tumenggung. ada soal apakah di istana, maka
kelihatannya suasana sangat sibuk? Begitu sibuk,
sehingga Kakang Panji tak sempat menengok istrinya
yang menanti gelisah?" Tumenggung Braja Nata
menjatuhkan pandang-an pula. 131 "Dan hamba?
Mengapa Kanda bawa ke dalam hutan ini? Mengapa kita
menuju ke Muara Kamal?" "Ke Muara Kamal?" gumam
Tumenggung Braja Nata bagaikan tak sadar. 'Tidak. tak
usah kita ke sana. di sini saja lebih baik. Karena . . .
karena ... makin cepat makin baik!" "Kanda. mengapa.
Kanda berkata tak keruan juntrungannya? Pusing Adinda
menebak-nebak perkataan Kakanda sejak tadi! Apakah
yang lebih baik dilakukan di sini? Apakah? Mengapa
Kanda seperti gugup?" "Rayi, Kakanda mendapat titah
Ayahanda. membawa Adinda ke sini..." Dewi Anggraeni
terkejut. "Atas titah Baginda? Jadi bukan atas perminta-an
Kakang Panji? Mengapa Baginda menitahkan Kanda
membawa hamba ke dalam hutan?" 'Bagaimana akan
kuterangkan? Bagaimana aku akan menjelaskannya?' pikir
Tumenggung Braja Nata. 'la begitu jelita dan halus.
bagaikan bunga yang sedang kembang . . . !' "Rayinda . . .
anu. Rayinda . . . Kakanda dititahkan membawa Adinda ke
dalam hutan untuk melapangkan jalan buat cita-cita
kemanusiaan yang luhur. .. Cita-cita agung ..." Dewi
Anggraeni makin tidak mengerti. "Melapangkan jalan buat
cita-cita tinggi? Mengapa mesu membawa hamba ke
dalam hutan".' 132 Mengapa hal itu tidak Kakanda katakan
tadi saja di ruman? Mengapa mesu" dalam hutan>"
Tumenggung Braja Nata gugup lagi. "Tetapi . . . tetapi . . .
sebaik-baiknya memang dalam hutan hal itu Kanda
lakukan . . . Di sini, di sini . . . makin cepat makin baik,
makin baik!" "Apa yang akan Kanda lakukan? Mengapa
Kanda bicara selalu dalam teka-teki? Katakan semua-nya,
supaya hamba mengerti!" "Baik akan . . . akan Kanda
coba terangkan duduk halnya ..." Tumenggung Braja Nata
menye-ka keringat dari mukanya, "Rayinda, tahukah
adinda bahwa sesungguhnya . . . Raden Panji sudah
dipertunangkan sejak masih kecil dengan putri mahkota
Kadiri?" ia mengangkat muka, mengarahkan
pandangannya kepada Dewi Anggraeni. "Tahukah
Rayinda?" Dewi Anggraeni merasa nafasnya sesak. Jadi
hal itu! Hal itu yang juga selama ini menjadi pi-kirannya!
Itulah biang keladinya! Dan ia merasakan detak jantungnya
yang menghebat memukul-mukul dinding dada. 'Kakang
Panji, agaknya soal yang selama ini Adinda takuti juga
yang menyebabkan sejak ke-marin merasa lesu ... *
katanya dalam hati. •Tahukah Rayinda?" desak
Tumenggung Braja Nata. Dewi Anggraeni mengangguk,
tetapi lidahnya bagaikan scbungkah besi, tak sanggup
kendati 133 mengucapkan sepatah "ya" sekalipun.
"Pertunangan itu dilangsungkan tatkala Raden Panji masih
kanak-kanak. atas persetujuan baginda Prabu JanggaJa
dengan mam and a Prabu Kadiri Kedua baginda bercita-
cita tinggi, hendak mcm-persatukan kedua buah kerajaan
Janggala dan Kadiri buat mewujudkan kembali usaha dan
cita-cita moyang kita semua sang Airlangga ..." kata
Tumenggung Braja Nata mencrangkan. Dewi Anggraeni
menekurkan kepala. "Hal itu hamba ketahui . . . katanya
perla-han. "Dan sekarang," Tumenggung Braja Nata me*
lanjutkan seolah-olah tak menghiraukan perkata-an Dewi
Anggraeni, "tiba saatnya untuk mengakhi-ri pertunangan itu
dengan pemikahan . .. Telah datang utusan dari Kadiri
menanyakan saat per-nikahan Karena itu kemarin Raden
Panji dititahkan menghadap buru-buru, sebab baginda
hendak menanyakan hal itu kepadanya ..." "Jadi ada
utusan dari Kadiri datang?" tanya Dewi Anggraeni tanpa
mengangkat mukanya. "Dan bagaimanakah sikap Kakang
Panji? Maukah ia hendak menikah dengan . . . putri
mahkota Kadiri?" Tumenggung Braja Nata menghela
nafas. "Itulah." katanya. "Raden Panji menolak . . . 1
"Kakang Panji menolak?" Dewi Anggraeni mengangkat
mukanya. 134 '•Ya. Raden Panji menolak. la sangat
nmdntal Rayinda, ia tidak mau menceraikan Rayinda
bahkan ia pun tidak mau mcmpcrduakan Rayinda.
sehingga ..." •Alangkah besarnya, alangkah agungnya cinta
Kakang Panji!" kata Dewi Anggraeni dalam hati. 'Sungguh
suci!* "Tetapi bagaimanakah akhimya, Kakanda?" ia
bertanya. "Bagaimanakah'disabdakan Baginda kepada
utusan dari Kadiri?" "Utusan dari Kadiri masih menunggu,
karena persoalan belum selesai..." "Belum selesai?"
"Belum selesai. Karena Raden Panji menolak, Baginda
murka . . . '» sahut Tumenggung Braja Nata. "Baginda
murka? Jadi?" Dewi Anggraeni penasaran. "Baginda
murka dan ... dan ... " "Dan bagaimana?" "Dan baginda
menitahkan Raden Panji . . ¦ "Apa titah baginda kepada
Kakang Panji?' "Raden Panji dititahkan baginda ke
Pucangan "Ke Pucangan?" Dewi Anggraeni heran. "Buat
apa?" "Menyambangi sang Kili Suci... * "Hanya untuk itu?
Hanya untuk menyambangi. 135 Sedangkan daJam istana
persoalan mengenai dirinya belum selesai? Kakanda.
katakan terus terang, buat apakah kakang Panji dititahkan
baginda ke Pucangan? Akankah ia mendapat hukuman
dari sang Kili Suci? Tidakkah baginda menyerahkan
menghukumnya kepada sang Kili Suci?" •Tidak,"
Tumenggung Braja Nata menggeleng-kan kepala. "Raden
Panji hanya dititahkan me-nyambangi sang Kili Suci, agar
mudah melapangkan jalan buat melaksanakan cita-cita
agung sang baginda ..." "Supaya mudah melapangkan
jalan! Apakah sesungguhnya yang Kakanda maksud?"
tanya Dewi Anggraeni. Tumenggung Braja Nata tidak
segera menyahut. "Menurut Baginda," katanya kemudian
dengan suara menggigil. 1 Cita-citanya yang agung itu
takkan terlaksana kalau masih ada penghalang yang
merintanginya . . . Maka . . . maka .. . dititahkan-nya
Kakanda mencari sarung baru buat keris pusaka kerajaan
Janggala . . . . " "Kakanda dititahkan mencari sarung baru
bagi keris pusaka kerajaan Janggala? Tetapi mengapa - . .
" tak lanjut perkataan Dewi Anggraeni, karena tiba-uba ia
mengerti. Wajahnya pucat, bibirnya gemetar, dan tubuhnya
terasa tak bertenaga. Penghalang! Bukankah aku yang
menjadi perin136 iang tercapainya cita-cita baginda1**
pikirnya Ya akulah yang menjadi rintangan. karena aku
yang menyebabkan Kakang Panji tidak sudi melaksanakan
cita-cita baginda untuk menikah dengan Dewi Sekar Taji!
Ya, akulah penghalang! Dan penghalang mesti
dihilangkan! Rintangan mesti ditebas! Mengerti aku
sekarang! Mengerti! Dan Kakanda dititahkan untuk
mencari sarung bam keris pusaka Aku . . - akulah sarung
bam itu! Aku!* Tak disadarinya air mata deras keluar,
meleleh membasahi pipi. "Kakanda! Hamba mengerti
sekarang!" katanya dengan sedu sedan yang
menyesakkan dada. "Hamba mengerti mengapa sejak tadi
Kakanda kelihatan gugup dan bingung! Hamba tahu, apa
yang menjadi penghalang buat terlaksananya cita-cita yang
agung sang baginda! Hamba. hambalah orangnya!
Hambalah yang menjadi penghalang antara Kakang Panji
dengan Dewi Sekar Taji! Dan penghalang mesti dibuang,
ditebas! Bukankah Kakanda dititahkan baginda untuk
membuang penghalang? Mengapa Kanda belum juga
lakukan titah baginda yang mulia itu? Mengapa?"
Tumenggung Braja Nata terkejut bukan buatan. Keringat
keluar di seluruh tubuhnya. la menghindari pandangan
Dewi Anggraeni, lalu matanya mencari-cari Senapati Arya
Suralaga. Tetapi tak kelihatan olehnya. 137 "Mengapa
tidak Kakanda acungkan keris pusaka yang mesti
mendapat sarung baru itu? Mengapa tidak Kanda
masukkan ke dalam serangkanya yang baru. ke dalam
dada hamba? * desak Dewi Anggraeni. 'Ti . . tidak, tidak,
Rayinda! Kanda . . . Kanda tak . . . sampai hati sahut
Tumenggung Braja Nata. "Kakanda Tumenggung Braja
Nata!" kata Dewi Anggraeni. "Mana keberanian Kanda?
Bukankah Kakanda satria utama kerajaan Janggala yang
jaya? Mengapa Kanda tidak hendak melaksanakan titah
dengan baik? Mengapa Kanda waswas dan ragu?
Tikamlah hamba. Kanda, hamba rela! Hamba rela mati
untuk kepentingan kerajaan, Kanda! Kalau hamba yang
menjadi penghalang, biarlah hamba lenyapkan diri hamba!
Kakanda, marilah! Bukankah kata Kanda juga makin cepat
makin baik?" Tumenggung Braja Nata mundur, seolah-olah
kuatir Dewi Anggraeni menerkamnya. Emban Wagini yang
mendengarkan percakapan gustinya sejak tadi dan melihat
suasana sudah hampir memuncak, menjatuhkan diri pada
kaki gustinya, lalu menangis. "Jangan. Gusti, jangan Gusti
berbuat nekat . . . Gusti, jangan Gusti menghabiskan jiwa
secara per-cuma ratapnya. Dewi Anggraeni mencoba
melepaskan kaki dari 138 pelukan inang pengasuhnya
yang setia itu -Lepaskan! Lepaskan! Kalau kami mati tidak
lah kami mati secara percuma! Setiap kawuW n gara
mesti rela mengurbankan dirinya buat kepentingan negara!
Lepaskan!" "Tetapi Gusti . . . Gusti masih muda dan Gusti
Panji tentu akan kehilangan . Apa 'yane mesti hamba
jawab kalau Gusti Panji menanyai hamba?" ratap Emban
Wagini. Dewi Anggraeni murka. "Mengapa engkau, Bibi?
Mengapa bertingkah? Lepaskan!" Dan melihat gustinya
murka, makin erat Wagini memeluknya. "Lepaskan
kataku!" teriak Dewi Anggraeni sambil menyepakkan
kakinya sekuat tenaga, sehingga tubuh yang renta itu
terpelanting, lalu jatuh terguling. Terdengar tangisnya
menggerung-gerung. "Kanda Tumenggung! Jangan Kanda
ragu! Bukankah darma satria itu mesti diletakkan di atas
segala perasaan tak tega dan bimbang? Mengapa Kanda
hendak memalukan kerajaan Janggala? Satria Janggala
janganlah ragu dan waswas! Lakukan titah baginda!
Lapangkan jalan menuju tercapainya cita-cita agung
kemanusiaan! Masukkan keris pusaka itu ke dalam
serangkanya yang baru!" Tumenggung Braja Nata tidak
menyahut. Tangannya yang kanan memegang keris
pusaka ke139 rajaan Janggala yang telanjang itu dengan
lesu dan tak bertenaga. Tabahkan hatimu! Engkau adalah
Arjuna yang mesti membunuh saudara, orangtua dan
gurunya di medan Kuru! Tabahkan hatimu!' suara baginda
terngiang-ngiang dalam telinganya. Ia melirik kepada Dewi
Anggraeni dengan ujung mata. Maka kelihatan olehnya
wajah jelita itu bermandikan air mata, tetapi menunjukkan
ketenangan yang luar biasa. "Kanda mengapa Kanda
seperti bukan satria saja? Mengapa hatimu hati betina?
Hamba kira, Tumenggung Braja Nata seorang pahlawan
sinatria kerajaan Janggala! Tak tahu ternyata masih
menaruh belas kasihan di atas kewajibannya!" kata Dewi
Anggraeni dengan suara setengah mengejek. Ia maju
mendekati Tumenggung Braja Nata. Matanya tak lepas-
lepas memandang Tumenggung Braja Nata yang kuyu itu.
Lalu, tiba-tiba sekali, ia meloncat, tangannya yang kanan
merebut keris dari tangan Tumenggung Braja Nata.
Tumenggung Braja Nata terkejut, tetapi keris pusaka telah
berpindah tangan. Sejenak ia terbengong, terbelalak
melihat kepada Dewi Anggraeni. "Kanda, biarlah, kalau
Kanda tak sampai hati menghilangkan penghalang yang
merintangi cita-cita tinggi Baginda Prabu Janggala. biar
kuhapuskan diriku sendiri, karena adaku di dunia hanya
menambah beban kepada orang lain! Sampaikan kepada
Kakang Panji, bahwa hamba melakukan 140 semua ini
dengan . . . iklas tulus!" kata Dewi Anggraeni seraya
menusukkan mata keris pusaka yang tajam itu ke dalam
dadanya. Darah yang merah menyirat segar, membasahi
ikat pinggang dan kainnya. Perlahan-lahan tubuhnya rebah.
Sedangkan darah makin banyak juga yang keluar, meruah-
ruah di atas daun-daunan yang membusuk. "Kakang Panji!'
. . . Berbahagialah ... sela . mat - . . tinggal, semuanya!"
katanya terputus-putus. "Gusti! Gustiku!" teriak Wagini
memburu sambil melompat, menubruk tubuh junjungannya.
Lalu ia menangis di sana. "Mengapa Gusti? Mengapa
Gusti meninggalkan hamba?" "Rayinda!" teriak
Tumenggung Braja Nata sambil memeluk tubuh yang
terkulai tak bernyawa itu. "Gusti! . . Hidupku! Untuk
siapakah gunanya hidupku di dunia, kalau Gusti tak ada
lagi?" ratap Wagini. "Tak kukira Gusti akan mengakhiri
hidup seperti ini . Duhai, tak ada artinya hidupku kini, tak
ada artinya! Tak ada!" tiba-tiba ia bangkit dan mencabut
keris pusaka yang tertancap itu dari dada gustinya. Darah
yang masih merah segar membasahi maU keris itu.
"Jangan, jangan Gusti tinggalkan hamba di dunia sendiri ..
.jangan hamba ditinggalkan!" lalu tangannya yang
memegang keris itu terangkat, dan sekejap kemudian,
keris itu telah terbenam pula ke dalam tubuhnya. "Nan141
tikan, nantikanlah hamba. Gusti . . . Hamba ikut " desisnya
makin lama kian lemah jua. Darah membanjir pula. Wagini
mencari tempat di samping Gustinya, lalu rubuh, numprah
tak bernyawa. '•Bibir teriak Tumenggung Braja Nata
terkesima. "Duhai, dua!..." Ia memperhatikan dua mayat
yang bersisi-si-sun itu dengan mata setengah sadar. Bibir
matanya bagaikan takkan mengejap, sedangkan bibir
mulutnya bergerak-gerak, bagaikan menggumam. - . . .
Mereka bunuh diri . . . Dua orang! Dua orang manusia! . . .
Manusia, manusia berdarah merah! Hangat! Manusia yang
hidup, nyata! Kini terbaring . . . terhantar tak bernyawa!
Mereka bunuh diri! Duhai, mengapa dua jiwa mesti hilang
percuma . . . Benarkah mereka hilang untuk kepentingan
kemanusiaan? Mengapa untuk kepentingan kemanusiaan
mesti lenyap terbunuh dua orang manusia yang nyata,
hidup, berdaging, berdarah, bertulang, bernyawa?"
Beberapa jenak lamanya ia termenung, tenggelam dalam
pikirannya yang kacau, merenungkan segala peristiwa
yang dialaminya sejak masih dari istana. "Cita-cita luhur
senantiasa menuntut pengurbanan . Kebesaran jiwa
seorang satria kelihatan dari kesanggupannya
menghilangkan dan menghancurkan dirinya sendiri, dalam
kepentingan kemanusiaan yang lebih besar 142 Tatkala
akhirnya Tumenggung Braja Nata t„ jaga dan renungannya,
ia menengok ke k ri ke kanan, mcncan-can kawannya.
Hutan yanR mcn Cekam, memberikan suasana yang menS
kan jiwa- la merasa lengang. Jiwanya merontl ronta
meminta kawan untuk diajak menemous kelengangan itu,
bicara. -Aryi Suralaga!" teriaknya tiba-tiba memecah
kesunyian yang mencekam itu. "Arya Suralaga! Di mana
engkau?" "Hamba!" sahutan terdengar di kejauhan,
teralingi semak tinggi. "Ke mari!" "Hamba mengurus kuda.
Gusti!" "Tinggalkan, biarkan kuda itu. Ke mari saja!" teriak
Tumenggung Braja Nata dengan berang yang meluap
mendadak. Dengan langkah segan-segan dan hati berat,
Senapati Arya Suralaga mendekati Tumenggung Braja
Nata. Meski ia telah menduga peristiwa yang terjadi,
namun ia terkejut juga demi melihat dua mayat tergeletak
berlumuran darah yang mulai mengental. "Gusti!" hanya
itulah perkataan yang keluar dari mulutnya. Tumenggung
Braja Nata melirik kepadanya, kemudian menjatuhkan
pandangannya pula. Beberapa jenak mereka berdiam-
diaman. Tak seorang 143 pun mau bicara, kecuali dengan
kelebat mata. Akhirnya Tumenggung Braja Nata bangkit,
tubuhnya mengangkang hendak mengambil keris yang
tertancap pada dada Wagini. Dengan hati-hati dicabutnya
keris itu. "Mereka meninggal secara jantan . . . ."gumamnya
lemah. "Dewi Anggraeni! Sungguh seorang satria! Karena
menganggap dirinya menjadi penghalang buat cita-cita
kemanusiaan yang agung, tak segan-segan dia
menghapuskan dirinya sendiri ft » * * "Jadi mereka
membunuh diri?" tanya Senapati Arya Suralaga.
Tumenggung Braja Nata mengangguk. "Ya!" sahutnya
lemah, "Ketahananku tak ada artinya dibandingkan dengan
ketabahan dan kesediaannya meleburkan diri guna
kepentingan yang lebih agung . " "Batara akan melindungi
mereka . . . ," gumam lemah Senapati Arya Suralaga.
Maka beberapa jenak pula mereka hening. Kelengangan
hutan yang sayup-sayup diiringi suara binatang yang sayu,
bagaikan turut berhid-mat kepada arwah yang baru
meninggalkan raga. Titah telah terlaksana, tidakkah kita
lebih baik pulang sekarang untuk mempersembahkannya
kepada baginda?" akhirnya Senapati Arya lam^ rmCCah
kC5Unyian- Ia tak tahan lebih lama berdiam^aman dalam
suasana mencekam. Tumenggung Braja Nata bangkit -
Baginda tidak menitahkan kita untuk m. bawa jenazah
keduanya ke istana, hendak v£ apakan jadinya mereka?"
Mtt "Lebih baik kita biarkan saja di sini Su jangan
diganggu binatang, lebih baik kiu'timbum dahulu ..." sahut
Senapati Arya Suralaga "Baiklah," sahut Tumenggung
Braja Nata mengangguk. Maka keduanya pun
membetulkan letak kedua mayat itu, kemudian
menimbuninya dengan sampah daun-daunan yang banyak
bertebaran di sana. Tak lama kemudian, segalanya telah
selesai. Bekas darah tak lagi nampak. Keduanya
menganggap cukup aman, lalu berdiri akan memberikan
hidmat terakhir kepada kedua jiwa satria itu. "Perhatikan
batang cempaka itu . . .," kata Tumenggung Braja Nata
sebelum pulang. "Bunga-bunganya sedang bermekaran,
dan di bawah naungannya, kita tanam bunga yang menjadi
ratu segala bunga ..." Senapati Arya Suragala tidak
menyahut. Kepalanya jatuh tertunduk. Kemudian keduanya
mengambil kudanya masing-masing, dan berlalu dari sana.
145 144 PATIH PRASANTA Raden Panji Kuda Waneng
Pati dengan diiringi oleh Patih Prasanta yang tua beserta
beberapa orang ponggawa, bagaikan kalap memacu
kudanya dari arah Pucangan. Raden Panji merasa sangat
gelisah. Kegelisahan menyebabkan ia kehilangan
ketenangan, rusuh mengamuk di dalam kalbu, berbagai
perasaan berkecamuk tak menentu. Waktu ia menuju ke
Pucangan, pikirannya masih dipengaruhi oleh titah
baginda. Ia merasa bergembira karena baginda tidak
memaksanya menikah dengan Dewi Sekar Taji. Namun
demikian, ia sendiri tidak mengerti benar mengapa tiba-
tiba saja baginda menitahkannya menghadap kepada
sang Kili Suci. Begitu penting titah itu, sampai ia tidak
diperkenankan singgah dahulu akan menemui istrinya.
Adalah harapan bahwa sang perta-pa akan berdiri di
fihaknya, yang menyebabkan ia senantiasa menekan
perasaan rusuh yang tak 146 keruan paran, sehingga
dengan cepat i. k pai ke Pucangan. Tetapi alangkah hL
tatkala menyaksikan sang Kili Sud m™1*1 U' ny, dengan
wajah yang muram d J^*^ -Sejak dahulu hatiku tawar untuk
Va perkara kerajaan . . . ,» ^ ^ J"» Suci setelah mendengar
persembahan Ra,unV Kuda Waneng Pati mengenai
pertunangannya ngan Dewi Sekar Taji. "Hidup menyepi di
petanan adalah lebih menentramkan . . . Lebih cocok
bagiku. Untuk mengenal dan mengurus kehendak dan
kemauan diri sendiri pun sudah sangat berat apalagi untuk
mengurus orang satu kerajaan! Untuk itu tentu diperlukan
pengertian dan pengurbanan yang sangat besar. Kerelaan
pengurbanan yang bukan buatan. Sedangkan aku ...
Daripada memberi jawaban terhadap sembah Raden
Panji, sang pertapa yang sudah lanjut usianya itu, malah
seolah-olah berbicara tentang dirinya, sedangkan
wajahnya sangat bersedih. Dengan matanya yang muram
itu ia mengawasi wajah serta kepala Raden Panji, mesra
dan penuh sayang, namun kalau kebetulan Raden Panji
memandang kepadanya, ia cepat-cepat menghindari
pandangan putra mahkota Janggala itu. "Sebagai putra
mahkota yang kelak akan memangku takhta, engkau mesti
tabah dan tetap hati. Apa yang dipetuakan oleh ayahmu
adalah 147 benar semua . . . Hanya saja ..." tak lanjut pU|a
perkataannya. "Sekarang paling tepat, engkau buru-buru
pulang ke tempat istrimu . . . Semua lelah terjadi, tak
mungkin dihindari, karena itu - karena itu engkau mesti
benar-benar teguh hati. ingatlah, bahwa hidup di dunia ini
hanya maya, tak langgeng, semuanya tak abadi . . . Dan
engkau. Raden, seorang pahlawan yang bijaksana, tentu
akan sanggup mengalami berbagai cobaan yang datang!"
setelah berhenti sejenak, dengan menghela nafas yang
wegah, sang Kili Suci menyambung pula. "Bukan tak ingin
mengajak Raden tinggal di sini barang beberapa hari,
tetapi yang paling tepat sekarang. Raden cepat-cepat
pulang ke tempat istrimu ..." Raden Panji menghaturkan
sembah. "Tetapi bagaimanakah gerangan dengan
pertunangan hamba dengan Dewi Sekar Taji? Mungkin
Ayahanda akan meminta tolong untuk menjelaskan hal diri
hamba kepada Baginda Prabu Kadin, supaya tidak terbit
persengketaan . . Kalau sekarang hamba pulang, apakah
yang mesti hamba persembahkan kepada Ayahanda?"
Suara sang Kili Suci sangat perlahan. adalahfSJ***. *aden
pikirkan Ya"* bemr 148 an dunia mi! Pertemuannya
dengan sang Kili Suci itu numbuhkan kegelisahan dalam
hatinya la m.T ^gat heran akan tingkah laku dan perkit' X
Kili Suci. Alangkah muram Sn^? apakah gerangan yang
menyebabkannya^ Me ngapa tak nampak tanda-tanda
kegembiraan hatinya bertemu dengan dia? Mengapa
malah menyuruhnya pulang cepat-cepat? Ada apakah
gerangan yang terjadi? Mengapa suaranya sangat murung
dan wajahnya berduka? Tidak, tak pernah sebelumnya
sang Kili Suci nampak berduka. Setiap bersua, kelihatan
wajahnya berseri-seri. Seorang pertapa yang sudah
mengatasi duka dunia! Tidak lagi gelombang perasaan
berpengaruh terhadapnya, maka wajahnya nampak segar.
Tetapi tadi . . . ! Dalam pada itu perasaan gelisah yang
berkecamuk dalam hatinya makin membadai. Ia memacu
kuda secepat-cepatnya, masih juga ia merasa larinya
terlalu lambat. Ia hampir tidak menoleh-noleh akan melihat
kawan-kawannya seperjalanan, sehingga Patih Prasanta
yang sudah lanjut usianya itu, mati-matian menyusulnya.
Bahkan tiga orang ponggawa jauh tertinggal di belakang,
betapapun mereka memecuti kudanya. "Alangkah
aneh!'katanya berulang-ulang dalam hatinya sendiri.
'Alangkah aneh yang kualami hari-hari ini! Ayahanda
menitahkan aku ke Pucangan, sedangkan utusan dari
Kadiri masih me149 nanti.' Dan di Pucangan. sungguh luar
biasa! Mengapa sang Kili Suci nampak demikian muram
dan berkata-kata bagaikan tak tentu ujung pangkalnya?
Wahai, ia orang bijaksana, yang sakti kenyang bertapa,
tentu waspada, tahu sudah apa maksud baginda . . . Tetapi
kepadaku ia wanti-wanti berpesan supaya cepat-cepat
pulang . . . Wahai, ada peristiwa apakah yang menunggu?'
Begitulah hutan dan jurang dilalui dengan cepat. Jalan terjal
dan licin, tetapi Raden Panji sungguh-sungguh seorang
yang pandai berkuda. Di tempat yang datar, kudanya
melesat laksana anak panah dari busurnya, hanya sekilas
nampak oleh pandangan. 'Dan Rayinda Anggraeni . . .
tentu ia sudah gelisah menanti!1 pikir Raden Panji pula.
'Seharusnya aku datang kemarin dulu. Ah, tentu ia sudah
mengira yang bukan-bukan!' Teringat kepada istrinya yang
sangat dia cintai. Raden Panji cerah wajahnya, lantaran
terbayang sambutan istrinya itu kelak. Alangkah akan
gembira Anggraeni menyambutnya! 'Sudah tahukah [a
bahwa aku dititahkan ke Pucangan? Tentu salah seorang
kandaku telah memberitahukannya . V tentU ^mbiarkannya
menanti dalam gelisah dan melang pikirnya pula. 150
Makin dekat ke tempat Peristirahatanmu simpang siur tak
kenian makin menjadi. Ha2 makin gelisah saja. Dan wajah
wj. berkelebat pucat terbayang-bayang dalam mata
batinnya. Alangkah pucat! Seolah-olah darah tak mampu
naik kepada urat-urat wajahnya, la mencoba memejamkan
mata akan menghilangkan bayangan yang menyeramkan
itu, tetapi selalu dan selalu saja muncul kembali.
Sedangkan mata kekasihnya itu tajam tetapi tenang
seakan-akan terus-menerus memandangnya, menatapnya,
tak kunjung mengejap, dingin dan mengibakan .... 'Apakah
gerangan yang terjadi dengan Anggraeni?' pikirnya tak
habis-habisnya. "Raden! Raden Panji!" tiba-tiba terdengar
teriakan di belakangnya. Itulah suara Patih Prasanta. la
menghentikan kudanya. "Ada apa Mamanda Patih?" ia
kembali bertanya sambil berpaling. "Hari telah sore,
tidakkah lebih elok kita mencari penginapan buat
bermalam saja?" tanya Patih Prasanta berteriak karena
jarak antara mereka masih jauh. Raden Panji memecut
kudanya pula. "Tidak! Kita terus saja!" "Tetapi, Raden ... M
tak lanjut perkataar.Patih Prasanta karena sementara itu
Raden Panji 151 telah jauh meninggalkannya. Ia bingung,
karena para ponggawa yang mengiringinya makin banyak
saja yang tertinggal, entah meninggalkan diri. tentu lantaran
kuda mereka bukan kuda pilihan tak sanggup mengejar
kuda Raden Panji yang memang terkenal sangat bagus.
Akankah ia menanti para ponggawa yang tercecer itu untuk
kemudian mengejar bersama? Ataukah ia akan terus? la
pun telah lelah, sedang mulut kudanya sudah berbusah-
busah. Bagaimanapun aku mesti mengikutinya, karena
untuk mengawaninyalah aku dititahkan turut...' akhirnya ia
mengambil keputusan. Maka ia menyentakkan kendali
pula. tanda supaya kudanya lari lagi. Kuda itu tahu akan
isyarat tuannya, segera berlari. Keesokan harinya dengan
wajah yang kuyu dan mata kurang tidur karena semalaman
tak henti-hentinya berkuda. Raden Panji sampai di tempat
peristirahatannya. Tubuhnya kaku dan lesu. tetapi kalbunya
pepat, gelisah tak menentu. Waktu ia sudah menambatkan
kuda dan masuk ke rumah, ia mendapati rumah lengang.
Para emban dan orang-orang yang bertemu dengan dia.
menghaturkan sembah diam-diam, tetapi lalu
menundukkan wajah. Mereka heran melihat keadaan
gustinya yang luar biasa itu dan menduga yang bukan-
bukan. Raden Panji mencari-cari istrinya, tetapi tak ke152
^atan olehnya. -Rayinda!" ia berteriak rusuh -o- , Hanya
gaung yang menyahut. ^¦nda!'1 "Rayi! Keluarlah, suamimu
datang'." jetapi tak ada juga sahutan. Ia masuk ke dalam
peraduan, tetapi Dewi Ano raeni tak nampak. Ia heran.
Sangkaan yang bukaS" bukan memenuhi kepalanya. Lalu
ia menoleh kepada seorang emban. -Emban, ke manakah
gustimu? Mengapa tak kelihatan? Pergi ke tamankah dia?
Cepat panggil!" katanya. "Ampun Gusti!" sembah emban
yang ditanya. 'Mengapa Gusti bertanya kepada hamba?
Adalah hamba yang hendak menanyakan hal itu kepada
Gusti..." Raden Panji melengak. "Apa maksudmu?"
"Ampun Gusti," sembah emban. "Gusti putri kemaren dulu
berangkat dengan Bibi Wagini "Pergi? Ke mana?" tanya
Raden Panji heran. "Ampun Gusti, hamba kurang tahu.
Yang hamba dengar, katanya hendak menyusul Gusti
"Menyusul kami?" "Hamba, Gusti." "Menyusul kami ke
mana? Ke istana?" "Hamba kurang tahu, Gusti. Tetapi
Gusti Putn berangkat bersama rakanda Gusti Kangjeng
Tumenggung ____" 153 "Apa? Bersama rakanda Braja
Nata?" "Hamba, Gusti." Raden Panji terhenyak. Ia
terduduk, sedang, kan tubuhnya terasa lesu. Tumenggung
Braja Nata! Apakah maksudnya gerangan maka
menjemput istrinya. Dewi Anggraeni? Hendak menyusul?
Ke mana? Ke Pucangan? Bukankah Tumenggung Braja
Nata tahu bahwa Raden Panji mendapat titah ayahanda ke
Pucangan, menyambangi Sang Kili Suci? Mengapa malah
ia menjemput istrinya? Sedangkan baginda tidak
memperkenankan ia sendiri singgah menemui istrinya itu!
Mengapa justru Tumenggung Braja Nata malah
menjemputnya? Untuk pergi ke mana? Dan kapan . . . ?
Kemarin dulu! Kemarin dulu! Bukankah waktu itu pula ia
mendapat titah ayahanda? Bukankah kemarin dulu ia
berangkat ke Pucangan? Agaknya "Apakah maksud
Kakanda Tumenggung?* pikir Raden Panji. 'Mustahil ia
hendak main gila kepada Dewi Anggraeni, tetapi . . .
mengapa tidak? Dewi Anggraeni sangat jelita Terpengaruh
oleh pikirannya yang bercemburu, darah Raden Panji naik.
Wajahnya bagaikan terbakar dan amarah meluap-luap.
"Ke mana mereka hendak pergi?" ia bertanya pula kepada
emban. lr.^PKUn PUSti' hamba kU™* t3hu> *b*b ketjka itu
hamba sedang di belakang . .. ," sahut 154 -fliban..^pakah
yang ketika itu ada di deo^ c mari1" Sumh Yfi manEmban
itu mengundurkan diri akan kawannya yang kemarin dulu
melavani ^ ^ men*a. Waktu ia kemba,i, T^IZ orang emban
yang lain. '¦Darmir tegur Raden Panji. "Tahukah kau ke
mana gustimu kemarin dulu hendak dibawa">" "Ampun
Gusti, kemarin dulu itu hamba di da-|am saja. Hamba tidak
tahu tegas, karena yang melayani tamu hanya bibi Wagini
saja," sahut emban itu. "Tetapi tatkala Gusti Putri
berkemas-kemas, hamba ada dengar juga tempat yang
hendak dituju, katanya hendak menyusul Gusti ..." "Ya, ke
mana katanya mereka mau pergi0" Raden Panji tak sabar.
"Kalau hamba tak salah ... ke Muara . . . Muara Kam . . .
Muara Kamal," sahut emban itu dengan ragu-ragu.
"Katanya hendak menyusul Gusti yang telah berangkat
duluan ke sana..." "Ke mana? Muara Kamal?" "Hamba,
Gusti. Muara Kamal." Raden Panji bangkit. Kepada Patih
Prasanta yang masih berdiri di ambang pintu, ia berkata,
"Mamanda Patih! Kita Pergi ke Muara Kamal!" "Tetapi
Raden ..." "Mamanda, kita berangkat sekarang!" 96 155
Patih Prasanta menghela nafas. Matanya memandang tak
mengerti kepada putra mahkota Janggala. Kepalanya
menggeleng. Raden Panji sudah melompat dari rumah, lalu
mendekati kudanya pula. Waktu dilihatnya kuda itu
kelelahan, ia menukarnya dengan yang baru dari kandang.
"Ke mana kita hendak pergi. Raden?" tanya Patih
Prasanta. Raden Panji menepuk-nepuk punggung kuda.
"Ke Muara Kamal! Ambillah kuda baru dari kandang!" "Ke
Muara Kamal? Ada apa?" Tetapi Raden Panji tidak mau
menyahut. Ia meloncat ke atas punggung kuda, lalu
memacunya. Ia bagaikan tidak menghiraukan lagi patih
Prasanta. Patih yang tua itu segera pula mencari kuda
baru, lalu memacunya, mengejar Raden Panji. "Sungguh
aneh!" bisiknya. Tetapi ia tidak berani melepaskan putra
mahkota pergi sendirian, maka ia pun kepacu ke arah
Muara Kamal. Kuda baru yang masih bertenaga penuh itu,
melesat terbang membawa Raden Panji dalam
kegelisahan dan berbagai pikiran yang kusut. Tumenggung
Braja Nata! Sungguh tak kusangka! Mengapa ia berbuat
nista?' pikirnya. Selagi aku menjalankan titah Baginda, ia
mencuri istriku! Kurang ajar" 156 patin Prasanta yang tua
itu kini tidak ma ketinggalan. Kudanya yang jUga kuda piC
yang diambilnya dan kandang kuda Raden lari dengan
kecepatan luar biasa, la tidak jauh i belakang Raden Panji.
Demikianlah beberapa lamanya keduanya berke jar-
kejaran bagaikan orang yang sedang berlumba Setelah
melewati padang yang luas dan tanah-tanah pertanian
yang subur, mereka masuk ke dalam hutan lebat. Pohon-
pohonnya tinggi-tinggi, tapi meski demikian, Raden Panji
tetap memacu kudanya. Hanya kalau terhadang oleh
belukar yang lebat, ia memperlambat lari kudanya. Tiba-
tiba kudanya berbenger dan menghentikan langkahnya,
dan tak jauh di sebelah depan terdengar pula benger kuda.
Tak tertahan lagi kuda yang ditunggangi itu lari ke arah
suara kuda datang. Sia-sia saja Raden Panji menahannya.
Maka segera ia mempertajam matanya. "Si Hitam!"
teriaknya tatkala kelihatan olehnya seekor kuda tertambat
pada sebatang pohon trembesi. "Mengapa ada di sini?"
Lalu ia pun mendekati kuda itu. kemudian turun. Patih
Prasanta pun mengikuti Raden Panji. "Ada apa, Raden?"
ia bertanya. "Si Hitam kuda tunggangan Dewi Anggraeni
ada di sini!" sahut Raden Panji sambil mendeKau 157 si
Hitam, yang setelah mengenali majikannya |aiu berbenger
pula. "Mengapa ada di sini?" si Hitam hanya meringkik
saja. "Lihat, tapak kuda di sini bukan hanya bekas si Hitam
saja!" kata Patih Prasanta yang segera memperhatikan
keadaan sekelilingnya. "Agaknya paling tidak ada dua
ekor kuda lainnya lagi!" Raden Panji turut memperhatikan
tapak kuda. "Ya, ada dua tapak kuda pula yang bukan
bekas si Hitam!" sahutnya. "Salah satu mestilah tapak
kuda Tumenggung Braja Nata! Ke mana mereka
sekarang?" Patih Prasanta mengikuti tapak kuda itu
dengan seksama. "Mereka menuju kembali ke arah yang
kita tinggalkan . . . ," katanya kemudian. "Mereka datang
bertiga, tetapi yang satu ditinggalkan!" "Itulah si Hitam!"
potong Raden Panji cepat. "Dan itu kuda tunggangan
istriku Dewi Anggraeni!" Wajahnya menjadi pucat dan
merah bergantian. Ia murka kepada Tumenggung Braja
Nata, tetapi ia pun kuatir akan nasib istrinya . . . . "Jadi
bagaimana? Kita kejar atau . . . ?" "Kita cari dahulu
penunggang si Hitam!" Raden Panji memutuskan. Ulu ia
memperhatikan keadaan sekitarnya dengan teliti. "Lihat!
Apakah tumpukan daun-daun kering itu? Mengapa seperti
dibikin orang?" h pun Iari ke arah fcan dedaunan kenng di
bawah pohon cempaka. 158 kapenun penasaran Raden
Panji membongkar ampukan daunan yang membukit itu.
Tent nya bagaikan kerasukan sebentar saja tumpuk^ daun
yang tinggi itu telah dia bongkar. Dan tatkala akhirnya ia
menyentuh tubuh yang kaku, makin cepat ia membongkar,
sedangkan tangannya menggigil. Jantungnya berhenti
berdenyut. "Anggraeni!" teriaknya kemudian tatkala ia
melihat mayat siapa gerangan yang terbujur itu. Lupa akan
apa pun jua, ia menjatuhkan dirinya, lalu menangis di atas
tubuh istrinya yang dingin dan kaku, namun utuh,
sedangkan pada bibirnya tersungging senyuman rela.
Raden Panji terjatuh. Ia yang lelah karena kurang tidur dan
memacu kuda tak henti-hentinya itu, tak tahan mengalami
kekagetan dahsyat, sehingga pingsan. Patih Prasanta
yang berdiri di belakangnya, lalu menubruk. Raden Panji
yang tak sadarkan diri itu, ditidurkan baik-baik, sambil dia
pijiti supaya lekas siuman. Kemudian ia meninggalkan
tubuh Raden Panji, mendekati mayat Dewi Anggraeni.
Sisa-sisa sampah yang masih menutupi wajah dan
badannya, dibuangnya, lalu mayat itu diangkatnya,
dibaringkan baik-baik di dekat Raden Panji. Maka
kelihatan olehnya mayat yang lain, 159 yang tak bukan
adalah mayat Emban Wagini. Mayat itu pun diangkatnya
baik-baik dan diba-ringkannya. "Sungguh dahsyat!"
pikirnya dalam hatinya sendiri. "Agaknya untuk inilah
baginda menitahkan Raden Panji ke Pucangan! Sungguh
berhati batu! Dia hendak menyingkirkan penghalang yang
menuju perkawinan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji!
Wahai, lihat! Senyuman Dewi Anggraeni, bagaikan iklas ia
meninggalkan dunia ini untuk kepentingan persatuan dua
kerajaan! Tumenggung Braja Nata! Sungguh tangguh
kalbunya, keras hatinya, sampai tega ia membunuh istri
adiknya sendiri!" Ia memijiti urat-urat Raden Panji pula
supaya lekas siuman, tetapi sia-sia saja. 'Sungguh besar
pengurbananmu, Raden!* ratapnya dalam hati. Sungguh
keras kehendak Raman-da! Dan engkau, Raden - wahai,
inilah agaknya arti petua sang Kili Suci! Raden mesti
tabah! Raden mesti sadrah! Raden, inilah agaknya yang
dimaksudkan sang Kili Suci! Ia sungguh waspada, meski
tak sepatah pun berkata, namun tak ada rahasia baginya.
Pantas wajahnya muram! Sungguh berat, sungguh berat
Raden, cobaan yang mesti kautanggungi' Patih Prasanta
menghela nafas, «dang tangannya masih juga memijit
Raden ranu. Tak bisa kupersalahkan baginda yang 160
keras hati membela kepentingan kerajaan, demi
tercapainya cita-citanya yang suci serta luhur itu' Untuk
setiap cita-cita tinggi memang harus diberikan
pengurbanan yang besar! Tetapi. .. Radcn Panji pun
seorang manusia yang mempunyai hati Ia pun mempunyai
kehendak-kehendak untuk mengecap kebahagiaan
kalbunya . . . Tidak, ia pun tak bisa dipersalahkan karena
tidak mau menerima titah baginda . . . / tak terasa lagi air
matanya keluar dan menitik, hangat terasa. 'Sayang,
sungguh sayang sekali . . . sayang sekali ... Ah, mengapa
baginda tidak bertindak bijaksana? Mengapa baginda
menempuh jalan keras? Aduhai, Raden, sadar, sadarlah . .
. Kuatkan hatimu! Tabahkan! Tanggungkan cobaan yang
sangat berat ini! Sadarlah, Raden, sadarlah ...' Dari arah
selatan, terdengar suara ketepuk kaki kuda. Tak lama
kemudian kelihatan mendatang para ponggawa di atas
kuda mereka: letih dan lesu, namun nampak berkuatir atas
nasib putra mahkota. Demi melihat Patih Prasanta sedang
berjongkok menghadapi tiga orang yang terhantar kaku,
terkejut mereka bukan buatan, lalu bersi-cepatan turun dari
punggung binatang tunggangannya. "Mengapakah Gusti
Panji, Gusti Patih?" tanya salah seorang di antara mereka.
Patih Prasanta hanya menengokkan mukanya. 161 Dua
orang ponggawa tergopoh-gopoh mencari air dingin.
Untung tak jauh dari sana ada sumber air yang jernih
bening, sehingga tak lama kemudian ia sudah datang
membawa air yang diminta. Patih Prasanta menerima air
itu, lalu menyiram kepala Raden Panji. Karena air dingin
itu, Raden Panji siuman pula. Perlahan-lahan ia membuka
mata. "Anggraeni . . . Anggraeni . . . gumamnya, la
memandang ke sekelilingnya, lalu bangkit, sedangkan
Patih Prasanta dan para ponggawa lain seakan-akan tak
dia lihat. Dia menubruk tubuh istrinya. "Anggraeni . . .
mengapa kau tidur di sini? Mengapa bukan di rumah?
Duhai, Anggraeni, istriku sayang, alangkah nyenyak
tidurmu! Dan ini, mengapa dadamu berdarah? Duhai,
nyamuk jahanam itu telah menyentuh kulitmu! Tenang,
tenanglah, tidurmu jangan terusik, biar kujaga baik-baik!"
Lalu dia meloncat ke arah kuda, dicarinya, sesuatu, tetapi
tatkala tak ketemu, ia kembali kepada istrinya. ¦ "Di
manakah kipas kautinggalkan, Adinda? Biar. biarlah tak
kukipasi juga, angin di sini sejuk menyilir . . . Tidur saja kau,
tidurlah . . . Biar kusenandungkan lagu-lagu yang indah . . .
," maka ia pun menembang dengan suaranya yang parau,
hampir mulutnya rapat pada telinga istrinya itu, sehingga
orang-orang yang melihat tamasya itu segera
memalingkan wajahnya. 162 "Raden . . . , Raden . . . «
gUmam Patih pra santa. Para ponggawa yang lainnya
menjatuhkan kepalanya masing-masing. Mereka berduka
demi me lihat tingkah gusti mereka. Mereka pun berduka
lantaran melihat mayat Dewi Anggraeni. Yang
mengherankan mereka adalah meskipun darah yang
keluar dari lukanya sudah hitam kering, tetapi tubuhnya
masih tetap segar bugar, bagaikan masih bernyawa. Dan
senyuman yang bergelut pada bibirnya . . . , takkan
mungkin disangka orang sudah menjadi mayat. Waktu
mengangkat wajah, mereka hanya bersipandangan
dengan sesamanya, untuk kemudian menjatuhkan kepala
pula. Patih Prasanta pun tidak mengganggu Raden Panji
yang sedang bersenandung itu. Ia hanya diam juga
menundukkan kepala. Akhirnya Raden Panji selesai
bersenandung, lalu bangkit pula dan memangku istrinya itu.
"Ah, mengapa di sini, Sayang, mengapa di sini Dinda
terbaring? Lumut itu mengotori kulitmu indah, dan ranting
itu akan menusuk lenganmu langsat ..." bisiknya mesra.
"Mari kupindahkan, kupindahkan engkau atas ranjang
gading ketiduran kita. . . " JLalu ia menoleh kepada patih
Prasanta. "Mamanda Patih! Mengapa diam saja? Ambillah
Bibi Wagini itu, Mamanda pangku ia, supaya kita 163
pindahkan mereka, jangan tertidur di sini . . . Pelan-pelan,
jangan sampai ia terjaga dari tidurnya!" katanya memberi
perintah. Patih Prasanta ayal-ayalan, ia ragu-ragu, "Tetapi
Raden ... Raden ..." "Mengapa Mamanda tidak segera
menjalankan titah? Ataukah Mamanda tidak memandang
mata lagi kepada kami? Mamanda tahu, kami putra
mahkota Janggala, yang akan naik takhta, dan putra
mahkota mesti tabah hati, mesti berani berkurban ..." lalu
tiba-tiba saja ia tersedu-sedu bagaikan kanak-kanak.
Maka basahlah wajah istrinya oleh air mata. "Duhai,
mengapa kubasahi wajah jelita ini dengan air mata hina?
Tidur, tidurlah Rayi, jangan engkau terjaga oleh karena air
mata ini! Kekasih abadi! Percayalah, biar gunung Semeru
mereka hadangkan antara kita, namun engkau tak nanti
terpisahkan dari hidupku . . . Percayalah, kekasih,
percayalah! Percayalah akan cintaku yang besar! Tak nanti
kukhianati! Biar, biar, biar seluruh kerajaan memusuhi
Kakanda, namun hatiku tetap cintamu . . . Anggraeni! Lihat!
Bunga cempaka! Alangkah indah! Maukah kau kuuntai
sekarangan bunga, akan menjadi penghias keje-litaanmu?
Alangkah cantiknya Adinda jika berhiaskan bunga . . .
Tetapi, bunga cempaka! Wahai, mengapa bunga seputih
ini berbau darah? Tak terciumkah olehmu. Adinda, amis
darah merangsang hidung? Amis! Amis! Mamanda Patih!
Me164 ngapa amis darah? Darah siapa duhai Mamanda
Patih? la menoleh kepada Patih Prasanta. Sang patih
menundukkan wajah. Air matanya makin lebat membasahi
pipinya yang tua keriputan itu, lantaran tak tega melihat
keadaan junjungannya » "Raden . . . Raden . . . ," hanya
itulah yang keluar dari mulutnya. "Mamanda Patih!
Siapakah yang luka? Siapakah yang darahnya .. lihat!
Alangkah merahnya darah itu! Lihat mengapa batang
cempaka itu mengeluarkan darah semerah itu? Mengapa
batang cempaka bukan bergetah, melainkan berdarah?" ia
mundur sambil memangku istrinya. "Paman, mundur,
mundur, darah itu makin banyak makin banyak jua! Lihat
membanjir! Tidakkah ia akan menghanyutkan kita?
Mamanda Patih! Tolong!" Raden Panji memejamkan
matanya. Dan berteriak-teriak meminta tolong tak keruan.
Patih Prasanta dan para ponggawa hanya melihatnya saja.
Mereka tidak melihat darah, tentu hanya penglihatan
Raden Panji saja. Tatkala ia membuka matanya pula,
Raden Panji memeluk istrinya erat-erat, sedang ratapnya
berkepanjangan. "Anggraeni, istriku, kekasihku . . .
Mengapa, matamu begitu berduka? Mengapa begitu
sedih? Ali, engkau tidur di pangkuanku, mengapa matamu
tak pejam? Mengapa memandangku begitu sayu? 165
Mamanda, Mamanda Patih! Siapakah orang itu yang
wajahnya seperti kekasihku, menatap tak henti-henti
kepadaku? Siapakah dia? Bukan, dia bukan istriku,
karena istriku sedang nyenyak tertidur di pelukanku . . .
Mamanda, tolong! Tolong singkirkan dia, karena darah tak
henti-hentinya mengalir dari dadanya! Duhai, tolong, darah
yang merah! Merah!" Raden Panji berlari-lari ketakutan
dan mulutnya tak henti-hentinya berteriak-teriak. Patih
Prasanta memburunya. Dipegangnya bahu Raden Panji.
"Raden tenanglah Raden, tenanglah . . . Tak ada orang
yang memandang Raden dan darahnya tak henti-henti
mengalir . . Tak ada!" "Tetapi lihat! Ia berdiri di samping
Mamanda! Ia memandang! Mamanda. suruh ia pergi!
Jangan memandangku dengan pandangan dingin begitu!"
"Raden . . . ," suara Patih Prasanta serak lantaran hiba.
"Yang berdiri di samping Raden, hanya Mamanda
seorang, tak ada yang lain! Dan Dewi Anggraeni.... "
"Sssttt . . .," Raden Panji menekankan telunjuk ke mulutnya.
"Jangan keras-keras Mamanda bicara, nanti ia terjaga!
Lihat, ia tidur, nyenyak sekali. Perlahan-lahan Mamanda,
supaya ia jangan terjaga..." Patih Prasanta hanya
memandang dengan kasihan. 166 •Tidur, tidurlah sayang .
. . ;> kaU Rad kepada mayat istrinya. "Tidurlah biar
nyenvTk-Jangan hiraukan suara-suara yang
mengganggumu-Dengar, dengarlah, biar Kanda
senandungkan pula lagu yang indah . . . ," dan ia pun
menyanyi pula dengan suara yang rendah dan parau,
sedangkan matanya hampir pejam, pipinya di atas pipi
Dewi Anggraeni. Ia membisikkan senandungnya itu ke
telinga kekasihnya. Patih Prasanta serta para ponggawa
kembali menjatuhkan kepala. Mereka menghindarkan
pandangan dari tamasya yang mengenaskan itu . . . Raden
Panji berjalan beberapa tindak, lalu duduk dan
membaringkan kekasihnya di atas naungan pohon yang
rindang. Ditaruhnya kepala mayat istrinya di atas pangkal
lengannya yang kanan, lalu tangannya yang kiri memeluk
sayang tubuh istrinya, sedangkan mulutnya tidak juga
berhenti bersenandung.... Tidak lama kemudian suaranya
lenyap, agaknya ia tertidur. Patih Prasanta terjaga dari
lamunannya, lalu bangkit dan memberi isyarat kepada para
ponggawa agaj^ mengikutinya, la berjalan agak jauh dari
tempat Raden Panji, lalu memberi perintah dengan
berbisik. "Biarkan ia tertidur, jangan berbuat ribut. Ia lelah .
. . ," ia lupa bahwa ia sendiri bersama para ponggawa itu
lelah semua. Lalu dititahkannya 167 supaya dua orang
ponggawa pulang ke istana, akan mempersembahkan hal
Raden Panji kepada baginda,,Ampun Gusti Patih,"
sembah ponggawa yang mendapat titah itu.
"Bagaimanakah hamha mesti mempersembahkan hal itu
kepada uaginda?" Patih Prasanta berpikir keras. "Kau
persembahkanlah apa yang kausaksikan sendiri dengan
matamu ..." katanya kemudian. "Mestikah hamba
persembahkan, bahwa Raden Panji . . . Raden Panji . . .
berubah . . . eheh . . . berubah ingatan?" Patih Prasanta
menghindarkan pandangan ponggawa itu.
"Penembakanlah hal yang sesungguhnya .... sahutnya
kemudian. Sang ponggawa menekur. 'Tidakkah baginda
akan murka?" ia bertanya menggumam "Bagaimanapun,
kau mesti mempersembahkan hal yang sesungguhnya ..."
sahut Patih Prasanta pula. "Persembahkan, bahwa aku
tidak menghadap sendiri, karena kualir kalau-kalau Raden
Panji berbuat nekat____** Ponggawa itu segera
menghaturkan sembah, lalu bersama seorang kawannya
mengendap-endap menuntun kudanya kembali ke arah
Kahu-ripan. Patih Prasanta duduk dengan kepala
tertunduk. 168 Kantuk dan lelah dinnya tak dia rasa,
pikirannya tertuju kepada keselamatan gusti mudanya saja
Sejenak ia memandang ke arah Raden Panji tertidur
berpelukan dengan mayat istrinya itu, lalu air matanya pun
mengalir tak tertahankan lagi. Ia merasa hiba dan sedih
hati yang luar biasa. 'Alangkah hebat akibat kekerasan hati
baginda! Menantu yang tak berdosa dibunuh dan putranda
sendiri! .. . Wahai, putra mahkota Janggala yang berhak
atas takhta, berubah ingatan! Bagaimana pula baginda
akan melaksanakan cita-citanya menikahkan Raden Panji
dengan Dewi Sekar Taji? Duhai, akan remuk hati sang
permaisuri apabila disaksikannya putranda berhal seperti
ini!' pikirnya. Patih Prasanta memandang pula ke arah
Raden Panji yang tenang tertidur di samping mayat istrinya
itu. 'Alangkah besar cintanya! Alangkah besar! Dan
alangkah besar pengurbanan yang mesti dia berikan!
Sungguh hebat!' pikirnya pula. Sementara itu angin yang
sejuk, bangkit semilir membawa kantuk. Seluruh hutan
bagaikan mati. Kuda-kuda mengisi perutnya dengan lahap
sambil beristirahat. Para ponggawa di kejauhan bagaikan
terpukau oleh kantuk. Terdengar bisik-bisik dan keluhan-
keluhan berduka, tetapi peristiwa yang mereka alami dan
saksikan menyebabkan mereka terpaku lidahnya. Kelu.
169 Sang patih bersandar pada sebatang pohon, dan
tatkala angin yang semilir menyejuk tubuhnya, ia pun jatuh
tertidur. Tatkala ia terjaga pula. Raden Panji sudah berdiri
di sampingnya, sambil mengguyah-guyahkan tubuhnya.
"Mamanda! Mamanda! Mari kita berangkat!" Patih
Prasanta membuka matanya. "Berangkat ke mana.
Raden?" "Kita pergi ke pantai! Ke Muara Kamal!" Patih
Prasanta terheran-heran. "Ke Muara Kamal?" "Ya, kita
pergi ke Muara Kamal. Dewi Anggraeni ingin mandi di laut.
Ia ingin melihat pemandangan laut. Ia ingin berenang-
renang, berperahu, berlayar-layar, menghirup udara laut..."
Patih Prasanta memegang kedua bahu junjungannya, dan
sambil matanya memandang tajam kepada wajah Raden
Panji, ia berkata, suaranya perlahan dan bagaikan tersekat
di kerongkongan, "Raden, tetapi. Raden, sadarlah! Dewi
Anggraeni sudah meninggal. Ia tidak punya kehendak lagi.
Ia sudah tidak berkeinginan lagi. Ia mesti . . . " Raden Panji
menyentak melepaskan tubuhnya dari pegangan Patih
Prasanta. ''Apa kata Mamanda? Dewi Anggraeni
meninggal- Jangan Mamanda bicara yang bukan-bukan!
Tidakkah Mamanda lihat ia tersenyum, menertawakan
perkataan Mamanda? Sudahlah Mamanda, 170 mari kita
berangkat! Tidakkah terdengar oleh Mamanda suara
ombak menderu mengajak kita mandi di dalamnya?" Patih
Prasanta memandang dengan mata penuh hiba. "Tetapi
Raden, Raden----yang Raden peluk itu bukan istri Raden,
melainkan . . . ," katanya kemudian. "Apa? Mamanda
masih bicara juga? Mamanda kira siapa yang kupeluk ini?
Istriku! Istriku Dewi Anggraeni yang tercinta!" teriak Raden
Panji. "Lihat, ia merasa gerah, ia ingin mandi. Mari kita
berangkat ke Muara Kamal! Bukankah ia berangkat dari
rumah pun menuju ke Muara Kamal?" Patih Prasanta
menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian ia memegang
bahu Raden Panji pula. "Dengarkan Raden ..." katanya.
"Yang Raden peluk itu memang istri Raden, Dewi
Anggraeni yang Raden cintai dan mencintai Raden
sepenuh hati. Tetapi sekarang, sekarang ... ia sudah
meninggal . . . Tidakkah Raden perhatikan wajahnya? Ia
tidak lagi bernafas ..." "Mamanda! Sudah, jangan bicara
juga! Kekasihku langgeng, kekal, ia 'kan kekal mencintaiku
dan tak nanti meninggalkan daku sendirian di dunia ini.
Tidak! Ia 'kan tetap setia di sampingku!" Kemudian 'ia
menoleh kepada kekasihnya. "Tidakkah benar begitu,
kekasihku?" 171 Patih Prasanta hanya menghela nafas. Ia
mengalihkan pandangan dan junjungannya. "Mamanda!"
terdengar Raden Panji bicara pula. "Pangkulah Bibi
Wagini! Kasihan ia wanita, sudah lanjut pula usianya! Biar
Dewi Anggraeni akan kupangku. Mamanda pangku Bibi
Wagini! Ia seorang emban setia, pengasuh kekasihku
sejak masih kecil, tak mau ditinggalkan ke mana pun
gustinya pergi . . . Sekarang, mari kita ajak dia ke laut. Biar
senang keduanya menyaksikan tamasya laut yang indah .
..," kemudian ia menoleh kepada mayat istrinya,
"Bukankah Adinda belum melihat laut yang berbusa putih?
Laut yang sejauh-jauh mata memandang terhampar luas?
Pucuk ombak gemerlap, perahu mayang, ikan-ikan,
binatang-binatang, matahari, dan bulan! Ya, kita lihat
matahari dan bulan bersama-sama di atas laut! Mari, mari
sekarang juga Kanda antar ke sana, biar suka hatimu, biar
puas Adinda menghirup udara laut yang menyegarkan!
Mari kita berangkat, mari!" lalu ia pun bangkit, dipangkunya
istrinya, kemudian berjalan menuju kudanya. Hati-hati
sekali dinaikkannya tubuh istrinya itu di atas kuda, lalu
dilepaskannya tali tambalannya, baru ia naik. Dipegangnya
kendali dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya
memeluk tubuh istrinya erat-erat. "Mari Mamanda! Mari.
cepat!" teriaknya sambil mcnoleh kepada Patih Prasanta.
"Mengapa Mamanda selalu ayal-ayalan? Patih Prasanta
segera melakukan Utah junjun*-annya. Dipangkunya mayat
Emban Wagini lalu dinaikkannya ke atas kuda. Tetapi
sebelum ia sendiri naik, diberinya isyarat supaya para
ponggawa pun turut mengikutinya. "Biar bagaimana pun,
mesti kita ikuti ..." katanya kepada para ponggawa itu.
"Jangan biarkan ia berbuat apa pun sendirian ... Ke
manapun kita mesti turut. Hatinya sangat berduka dan
cintanya kepada istrinya sangat besar, maka tak mau ia
percaya bahwa istrinya sudah meninggal. Maka baginya,
Dewi Anggraeni itu masih berjiwa jua agaknya ..." Para
ponggawa mendengarkan perkataan patih Prasanta
dengan diam-diam dan menundukkan kepala. Mereka
menundukkan kepala, lantaran terharu dan iba yang amat
sangat. Segera mereka mengambil kudanya masing-
masing dengan diam-diam. Sementara itu Raden Panji
sudah beberapa belas tumbak meninggalkan mereka.
Sayup-sayup terdengar senandungnya yang parau. Makin
lama suaranya makin keras dan makin keras jua.
Walaupun parau, suaranya bagaikan bukan orang berduka,
melainkan riang seriang-riangnya riang. Demikianlah iring-
iringan yang aneh itu berjalan. Di depan Raden Panji
memeluk mayat 173 172 istrinya tak henti-hentinya
menembang. Dan di belakangnya mengikuti Patih
Prasanta yang jUga memeluk mayat, tetapi ia tidak
menembang, melainkan berwajah muram dan berduka. Di
belakang mereka mengikuti para ponggawa yang juga
tidak nampak gembira, bahkan bersedih hati. Keluar dari
hutan, maka nampaklah tegalan yang luas, dengan ilalang
yang bergelombang. Di kejauhan terdengar dentur ombak
laut yang menerjang pantai. "Dengar, kaudengarkan
kekasihku, suara gelombang itu menghimbau
memanggilmu? Mari, mari kita ke sana! Laut ingin
dikunjungi oleh putri jelita seperti engkau, supaya sudi
mencecahkan kakimu indah berbasah-basah di tepi pantai
..." bisik Raden Panji kepada istrinya. "Dan lihat! Alangkah
indahnya! Di sini tidak seperti dalam hutan! Pemandangan
luas dan bebas! Tak ada pohon-pohon suram yang
menghalangi pandangan! Alangkah luas! Mari dongakkan
kepalamu, pandanglah semuanya sepuasmu!" Suara
ombak makin nyata terdengar, dan tak lama kemudian
sampailah mereka di pesisir. Pucuk ombak yang menuju
pantai gemerlap dalam sinar matahari yang terik. Keringat
kuda bercucuran, ^rmanuc-manik sepanjang surinya,
bagaikan perlua^^be^Kek?KkU' Iih3t! Uhallah ,aut luas
terbentang di hadapanmu itu! Alangkah indahnya
pemandangan samudra di bawah bulan van, purnama!
Sungguh cemerlang! Dan bulan itu -ia mendongak ke arah
langit, lalu menunjuk ke arah matahari yang bersinar terik
itu, "alangkah bulatnya!" Demi sampai di tepi pantai, lalu ia
turun dari kuda sambil memangku kekasihnya, yang
dipeluknya. Kakinya yang indah itu dibiarkannya dibasahi
sibakan-sibakan air yang didorong ombak dari tengah.
"Sungguh menyegarkan air laut ini!" serunya gembira.
"Tidakkah engkau senang air yang segar itu membasahi
kakimu, sayang?" Tak lama kemudian Patih Prasanta pun
sampai juga ke sana. "Mari, mari ke mari Mamanda! Kita
berjuntai di sini, membasah-basahi kaki dengan air laut
yang menyegarkan ini!" Beberapa lamanya mereka
berbuat demikian, hingga tiba-tiba Raden Panji melompat
dari duduknya. "Mamanda. lihat! Lihat di Muara itu banyak
perahu! Mari, kita pinjam beberapa buah, supaya boleh
kita bersenang-senang berlayar ke tengah samudra. Dewi
Anggraeni tentu senang hatinya apabila berperahu di
lautan! Hahaha. .. bukankah engkau belum pernah
berlayar-layar ke lautan? Ya, mari, mari, sekarang! Biar
puas hatimu! Senang kita berlayar-layar dengan perahu
sedangkan 175 174 bulan memancar seindah ini! "Tetapi
Raden ..." sahut Patih Prasanta. "Apa pula 'tetapi*,
Mamanda?" cepat Raden Panji memotong. "Tak pakai
tetapi lagi, mari kita berangkat sekarang! Mamanda
panggil tukang perahu itu, boleh kita sewa!" "Tetapi Raden,
tidakkah lebih baik kita pulang?" "Apa pulang? Tidak,
Mamanda, di istana baginda tidak ada lagi, yang sekarang
ada seorang yang bermuka macan, berlepotan darah!
Tidakkah Mamanda tahu, siapa yang telah mengalahkan
Ayahanda? Itulah raksasa! Yang taringnya menakutkan!
Tidak, tak mau kami kembali ke sana! Lebih baik kita
berlayar akan mencari pulau yang indah di mana manusia-
manusia kasih-mengasih sesamanya, seperti kami cinta-
mencintai dengan Dewi Anggraeni! Mari! Mari, Mamanda!
Kita cari pulau tempat tinggal manusia, jangan tempat
raksasa kita datangi!" Patih Prasanta terhenyak. Ia tidak
bisa berbuat lain daripada melakukan kehendak Raden
Panji. 'Bagaimana pun sekarang ia sedang berduka, tak
baik kehendaknya kuhalang-halangi/ katanya dalam hati.
'Baiklah, kuturutkan saja segala kehendaknya, mudah-
mudahan takkan berlarut-laMaka dititahkannya para
ponggawa menemui juragan perahu akan meminjam
perahu-perahu * £ m mereka. Demi tahu siapakah
gerangan yang hendak mempergunakan perahu mereka,
para juragan De rahu itu tidak keberatan, hanya saja
seorang di antara mereka menyatakan kekuatirannya,
"Tetapi hari rupanya akan menjadi buruk! Menurut
penglihatan hamba di kakilangit nun di sana kelihatan
warna hitam gumpalan awan, mungkin badai akan turun
sore nanti." Sembah itu disampaikan kepada Raden Panji,
tetapi putra mahkota yang tidak waras itu malah tertawa
mengejek, "Apa, badai? Jangan main-main! Masa pada
hari seindah ini, dengan purnama seterang ini, badai akan
tunin? Engkau rupanya tak mau meminjamkan perahu
kepada kami, maka kautakut-takuu" kami dengan badai!
Tidak, kami tak mungkin kaubohongi! Kami akan berlayar
bersenang-senang! Tidakkah engkau lihat, wajah
kekasihku ini menjadi murung lantaran mendengar
cegahanmu? Engkau telah menerbitkan kekuatiran dalam
kalbunya!"* Juragan perahu itu pada mulanya merasa tak
senang karena dikata-katai oleh Raden Panji seperti itu. Ia
memberi peringatan untuk keselamatan orang, siapa tahu
malah dimaki-maki. Tetapi tatkala ia sudah dibisiki oleh
para ponggawa bahwa putra mahkota sedang sakit
ingatan, ia hanya menunduk. 'Terserahlah!" katanya. -
Hamba tidak sayang perahu hamba diterjang badai. Tetapi
putra mah177 176 kota Janggala- .. " Akhirnya Raden
Panji naik juga ke alas perahu. Sebuah perahu yang besar
dipilihnya. Sambil memangku kekasihnya ia naik.
kemudian disuruhnya Patih Prasanta mengikutinya sambil
memangku mayat inang pengasuh Dewi Anggraeni itu.
Dan para ponggawa dititahkan naik ke perahu yang Itin.
Kedua perahu itu diperintahkan diikat erat-erat
Demikianlah perahu-perahu itu bertolak dari pantai.
Sedangkan para awak perlu melakukan tugasnya dengan
hati kebat-kebit. Raden Panji tak henti-hentinya
menembang dengan suaranya yang parau itu---Kedua
perahu itu berlayar dengan angin buritan, makin lama
makin jauh dari pantai. Raden Panji menurutkan
kehendaknya sendiri. Ia menitahkan awak-awak perahu itu
terus maju ke tengah samudra. Makin lama makin ke
tengah dan daratan sudah sayup-sayup. Apa yang
dikatakan oleh juragan perahu tentang badai itu, benar-
benar terjadi. Tiba-tiba angin dan hujan datang dengan
kerasnya. Matahari yang bersinar terik tiba-tiba menjadi
gelap gulita, dan air serta halilintar menggantikannya. Di
Muara Kamal orang-orang menyaksikan semuanya dengan
gelisah dan putus asa. Perahu yang dinaiki oleh putra
mahkota itu mereka ikuti 178 dengan teliti sejauh-jauh
mata menumu kaIa badai bertiup, lenyaplah „SS^ ^
pemandangan. Dan tidak lama kemudi/k yang dahsyat pun
sampai pula ke Muara" k: . Orang-orang saling pandang.
Mereka », rakan kekuatiran hatinya dengan vZ^* suram
•'Sungguh celaka!" kata juragan perahu yang tadi
mencegah Raden Panji. "Mengapa tak k u larang mereka
pergi? Mengapa aku manda saja*" "Baginda tentu akan
murka kalau diketahuinya hal hilangnya putra mahkota
diterjang topan!" kata seseorang membumbui. "Kita akan
kena murka!" Orang-orang itu saling pandang dengan
cemasnya. "Tetapi meski bagaimana pun, kita mesti
memberitahukan hal ini kepada baginda!" tiba-tiba kata
seorang yang sudah lanjut usianya. 'Tak peduli bagaimana
murka baginda, namun hal ini mesti diberitahukan juga!"
Kemudian orang-orang itu berunding siapa yang akan
berangkat ke ibukota buat memberitahukan kabar duka itu
kepada baginda. 179 SANG PERMAISURI Berita tentang
Raden Panji berubah ingatan yang dibawa oleh ponggawa
pengiringnya, sangat men-dukakan hati sang permaisuri.
Saking terkejut, ia pingsan dan beberapa lamanya tak
kabarkan diri. Baginda pun terhenyak. Pukulan itu sangat
mengejutkan hatinya. Lain yang dicita, lain yang terjadi!
Tatkala sang permaisuri siuman pula, maka ia menangis
berkepanjangan, lantaran dukacita. Betapa kan tidak!
Raden Panji Kuda Waneng Pati satu-satunya putranda! Biji
mata tumpuan harap! Yang akan menggantikan ayahanda
memangku takhta! Dan sekarang .. . berubah ingatan!
"Bagaimanapun, Gusti juga yang bersalah! Melakukan
sesuatu tanpa pertimbangan yang matang!" katanya antara
sedu sedan yang menyesakkan dada dan pipi yang basah
dengan air mata. Dipersalahkan seperti itu, baginda tidak
mau menerima. Ia memandang kepada permaisuri de
ngan mata yang guram "Dasar si Panji itu seorang yang
lemah hati' Yang dia pikirkan hanya kepentingan dirinya
semata!" sabdanya. "Sekali-kali dalam pikirannya tak
pernah terlintas kepentingan orang lain, kepentingan
manusia kawula kerajaan!" "Kepentingan kawula
kerajaan!" bantah sang permaisuri. "Untuk kepentingan
kawula kerajaan, Gusti rela membunuh menantu dan
membikin putra sendiri tidak . . . tidak . . . wa. . . waras!"
"Yang kutitahkan dilenyapkan adalah penghalang akan
terlaksananya cita-cita yang agung! Dan kalau si Panji
sekarang berubah ingatan, adalah lantaran kelemahan
hatinya jua!" sahut baginda. "Dan sekarang, setelah
semuanya berlaku seperti ini, bagaimana gerangan cita-
cita Gusti yang agung itu?" ejek sang permaisuri. "Bisakah
Gusti mencapai cita-cita tinggi itu, dengan jalan kekerasan
dan paksaan? Bisakah Gusti mencapai kebahagiaan
manusia dua kerajaan dengan mengurbankan
kebahagiaan putranda sendiri?" "Kalau si Panji seorang
yang berhati kuat, yang sadar akan arti hidupnya sebagai
seorang putra mahkota yang mesti rela mengurbankan diri
dan kebahagiaan sendiri buat kepentingan kebahagiaan
kawula negara, tak nanti terjadi hal seperti ini! Hal yang
seperti ini terjadi, semata-mata 181 / 180 lantaran si Panji
seorang yang lemah hati, seorang yang terlalu dimanjakan!
Dan Rayindalah yang telah terlalu memanjakannya,
sehingga ia lupa akan darmanya sebagai seorang satria!
Bahkan seorang satria utama!" Dituduh demikian, sang
permaisuri menjadi murka. "Hamba pula dipersalahkan!
Ya, hanya orang lain yang bersalah dan Gusti seorang
maha-manusia yang senantiasa memikirkan kebahagiaan
manusia-manusia lain, tak mungkin melakukan kesalahan!
Setiap kehendak Gusti mesti terlaksana! Dan kalau terjadi
yang di luar kehendak Gusti, tentu ada orang lain yang
bersalah! Padahal Gusti melakukan segalanya tanpa
mempertimbangkan hal-hal yang bersangkutan dengan
pelaksanaannya! Gusti menitahkan Raden Panji
melakukan hal yang di luar kemampuannya. Gusti tidak
pemah memikirkan sifat tabiat Raden Panji. Ya, Gusti tidak
pernah mempunyai waktu yang cukup buat memperhatikan
putranda sendiri, lantaran Gusti senantiasa sibuk
memikirkan kepentingan manusia-manusia lain!"
"Rayinda!" sang baginda berteriak. "Apa yang Rayinda
katakan?" Permaisuri tidak menyahut, menangis sejacli-
jadinya. Tak terlerai lagi. Setelah baginda merasa dadanya
sendiri reda membadai, baru bersabda dengan suara yang
di18 sabar-sabarkan, Raymda mesti mengerti Der^aI an
Raden Panji persoalan yang menyangkut mT bat kerajaan!
Pernikahan Raden Panji den Dewi Sekar Taji mesti
dilaksanakan, karena kedS nya sudah dipertunangkan dan
pertunangan itu dilakukan atas nama dua kerajaan yang
bercita-cita luhur!" Sang permaisuri mengangkat wajah.
"Pernikahan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji! Tetapi
mestikah itu dilakukan setelah melangkahi mayat Dewi
Anggraeni lebih dahulu?" "Anggraeni adalah penghalang
yang menyebabkan Raden Panji tidak mau menikah
dengan Dewi Sekar Taji!" "Dan sekarang, setelah Dewi
Anggraeni meninggal, bagaimana? Akankah Raden Panji
sudi menikah dengan Dewi Sekar Taji?" Baginda
melengak. la tidak bisa menyahut, hanya diam-diam
kepalanya menekur. "Mengapa Gusti tidak mendengar
perkataan hamba? Bukankah hamba wanti-wanti
berpesan, supaya jangan dilakukan paksaan? Bukankah
dengan dilakukan paksaan, hasilnya sia-sia saja?
Jangankan cita-cita Gusti tercapai, bahkan Raden Panji
sendiri ..." tak lanjut perkataan permaisuri, lantaran
dadanya menjadi sesak pula oleh biang tangis. Beberapa
lamanya ia sesenggukan, terdengar pula ratapnya tak
berkeputusan, "Duhai Raden . . . mengapa nasibmu
malang? Mengapa 183 mesti engkau yang mengalami
pengalaman dahsyat seperti itu? Anggraeni hilang, dan
yang menitah-kannya lenyap adalah ayahanda! Alahai,
Tumenggung Braja Nata, saudaramu sendiri yang
melakukannya! Sungguh hebat... f" Kecuali suara sang
permaisuri yang meratap berkepanjangan, hanya nafas
baginda yang terdengar. Baginda diam merenung,
sedangkan matanya memejam. Beberapa lamanya
berdiam-diam seperti itu, akhirnya baginda menghela
nafas panjang, kemudian memegang kedua bahu sang
permaisuri. "Sudahlah Rayinda, sudahlah," sabdanya.
"Jangan Rayinda perturutkan juga kedukaan hati Rayinda."
Permaisuri meratap-ratap juga. Baginda keluar akan
menitahkan beberapa orang ponggawa untuk membawa
Raden Panji pulang ke istana. Belum lama orang
berangkat, datang warta dari Muara Kamal: putra mahkota
Janggala tenggelam di lautan diterjang badai! Baginda
terperenyak. Tubuhnya seolah lesu dan tulang-tulangnya tak
berdaya. Berita yang datang saling menyusul itu sangat
meremukkan kalbu baginda. Tetapi masih sempat baginda
memben ingat para hamba supaya jangan sampai benta
itu terdengar oleh sang permaisuri. Sekarang, lenyaplah
harapan baginda! Raden Kanji hilang dalam lautan, tak
mungkin baginda 184 mcmcnuhi janjinya kepada raja
Kadiri. Tak mungkin cita-cita yang agung itu bisa
terlaksana' Ari bila Raden Panji masih hidup, meskipun
tidak w." ras, masih ada harapan suatu waktu ia akan
sembuh dan persatuan Janggala dengan Kadiri terlaksana
Tetapi sekarang . . . ! Raden Panji entah di mana di dasar
samudra, mungkin sudah menjadi santapan ikan hiu pula!
"Tetapi agaknya itulah akhir yang sebaik-baiknya bagi
Raden Panji ..." pikir baginda kemudian. "Daripada hidup
terus dengan ingatan yang tidak waras----" Kemudian
baginda termenung pula. Baginda merenung, menyelam ke
dasar lubuk jiwanya, memikirkan peristiwa demi peristiwa
yang belakangan ini dialaminya. Sebagai seorang raja,
baginda seorang yang berambekan tinggi dan bercita-cita
luhur. Tetapi kejadian-kejadian yang berlalu di luar
kekuasaannya sendiri, menggagalkan cita-citanya yang
luhur itu. sehingga hatinya menjadi tawar. "Malu aku
kepada moyangku sang Airlangga!" pikirnya. "Cita-citanya
hendak kulaksanakan. tetapi gagal!" lalu setelah menghela
nafas, "Padahal pembagian dua kerajaan itu dahulu,
meskipun batasnya dibikin oleh Empu Bharada, namun
atas titah sang Airlangga juga. Tidakkah sekarang aku
kena kutuknya?" baginda tertegun. "Dahulu sang Airlangga
malah dengan sengaja 185 membagi dua kerajaannya . . .
agaknya lantaran baginda melihat kenyataan-kenyataan
yang jauh dari kemungkinan berlangsungnya kemegahan
kerajaan secara abadi . . . Baginda membagi dua
kerajaan, karena dua saudara yang menjadi nenek kami
memperlihatkan gejala-gejala yang memungkinkan
timbulnya perang..." Teringat akan leluhurnya, terkenang
pula baginda akan Sang Kili Suci yang menolak takhta dan
memilih kehidupan bertapa sebagai pilihan hidup.
Terkenang pula ia akan pertemuannya dengan wanita
pertapa itu beberapa waktu berselang. "Yang paling benar
adalah Nenenda sang Kili Suci. Ia memilih kehidupan yang
aman, damai, tenang . . . Takhta kerajaan yang dimimpi-
mimpikan orang lain, yang diperebutkan orang lain dengan
melupakan keselamatan jiwanya sendiri, malah dia tolak.
Sungguh mulia!" baginda teringat akan wajah yang segar
dan damai, yang selalu memandang sesuatu dengan hati
terbuka. "Mengapa aku bertahan dalam hidup kerajaan
yang megah namun tak menentramkan ini?" pikir baginda
lebih lanjut. "Mengapa tidak kuikuti saja jejak Nenenda?
Mengapa aku tidak pergi saja ke gunung akan bertapa,
meninggalkan kehidupan keraton yang sangat berat ini?"
R»dlX7ttpmtSnd! *- k""da 186 -Raden Panji kusuruh ke
Pucangan akan m nemui sang Kili Suci. Apakah yang
d«pe*«*£ mereka? jemukah Raden Panji dengan sa^g Kili
Suci? Tahukah sudah petapa suci itu akan apa yang telah
terjadi? Duhai, ia seorang yang waspada, tentu
diketahuinya segala sesuatu yang terjadi dan akan terjadi!
Duhai, apakah akan katanya kelak, kalau diketahuinya
bahwa Dewi Anggraeni telah meninggal dan Raden Panji
dalam gilanya tenggelam ke dasar samudra? Padahal
beliau sangat sayang kepada Raden Panji! Kepada Dewi
Anggraeni pun beliau menunjukkan kasihnya! Coba kalau
tidak ada persoalan pertunangan antara dua putra
mahkota ..." Berpikir sampai di situ wajah baginda menjadi
guram pula. Baginda terkenang kepada menantunya. Dewi
Anggraeni. Dan Tumenggung Braja Nata telah menuturkan
secara terus terang apa yang dilakukannya. "Tak kukira
engkau seagung itu, Anggraeni!" kata baginda dalam hati
setelah menghela nafas. "Engkau rela mengurbankan
hidupmu sendiri, demi kepentingan kerajaan . . . Engkau
memilih mati, karena tahu bahwa hidupmu menjadi
penghalang bagi tercapainya cita-cita luhur . . ¦ Apa nak
dikata, semuanya telah terjadi, dan cita-cita tinggal cita-cita
belaka..." Baginda sangat bersukur dan kagum akan
ketulusan cinta Dewi Anggraeni dan terharu tatkala
mendengar sembah Tumenggung Braja Nata. 187
Baginda menyayangkan menantu yang iklas itu dan kini
mempersalahkan dirinya yang telah berkeras kepala.
"Betul," kata baginda kemudian kepada dirinya sendiri.
"Yang paling benar adalah hidup seperti Nenenda di
Pucangan. Biar kutinggalkan segala kemegahan dan
kegemilangan istana ini! Biar semuanya kutinggalkan,
karena tak satu pun memberiku ketentraman!" Setelah
keadaan memperkenankan, baginda kemudian
mengutarakan maksudnya itu kepada sang permaisuri.
Dan sang permaisuri yang juga telah tawar hati dan
berduka, menyetujui saran baginda. Maka diputuskan,
bahwa baginda akan mengundurkan diri dari takhta dan
bersama-sama dengan sang permaisuri akan
mengasingkan diri ke gunung dan hutan, buat bertapa____
Telah ditetapkan, bahwa yang akan menggantikan baginda
memegang tampuk kerajaan Janggala adalah
Tumenggung Braja Nata. Meski banyak lagi putra baginda
yang lain, namun dialah yang paling tepat menggantikan
baginda. Setelah Raden Panji tak bisa diharapkan lagi,
maka Tumenggung Braja Nata menerima penetapan
baginda. Namun terkenang akan peristiwa-peristiwa yang
telah dialaminya, ia sangat berduka dan jauh dalam hatinya
masih mengharap-harap bahwa Raden Panji belum lagi
meninggal. 'Belum pasti perahu itu tenggelam dan
kalaupun 188 perahunya karam, belum pasti Raden Panii
m, ninggal di dasar samudra. Siapa tahu dia terdTm". par
ke dataran? pikirnya. Dia merasa tak Puas dan berdosa
kepada Raden Panji, setelah p^sti-wa dalam hutan itu. Ia
ingin supaya suatu kali dalam hidupnya ia bertemu pula
dengan Raden Panji akan menghaturkan ampun, la ingin
menjelaskan duduknya perkara kepada Raden Panji, la
ingin Raden Panji mengetahui, bahwa ia tidak sampai
membunuh Dewi Anggraeni____ Beberapa puluh orang
ponggawa dititahkan untuk mencari-cari Raden Panji.
Bahkan suatu angkatan perahu dikerahkan untuk mencari
sisa-sisa perahu yang dilanda badai itu. Tetapi sia-sia
saja. Ia menerima pengangkatan baginda untuk memangku
takhta, namun kepada dirinya sendiri ia berjanji, kalau
suatu masa kelak Raden Panji ternyata masih hidup, ia
akan dengan rela menyerahkan takhta kepada putra
mahkota yang sesungguhnya berhak. Demikianlah baginda
Prabu Jayantaka meninggalkan keraton Kahuripan menuju
tempat petapan, tetapi tidak dalam keadaan yang segar,
melainkan tergantung kabut kemurungan yang menutupi
kegembiraan kalbu seluruh kerajaan. Tumenggung Braja
Nata menangis tatkala timbang tenma. tetapi bukan
lantaran kegembiraan, melainkan lantaran kedukaannya
juga terkenang akan Kaden 189 Panji dan lebih-lebih
kepada istrinya. Dewi Anggraeni. Sang Prabu Jayantaka
pun tak kuat menahan air mata, apalagi sang permaisuri
yang tak henti-hentinya tersedu-sedu. Seluruh balairung
sangat lengang, kecuali suara sedu sedan. Bahkan di
antara para pejabat negara yang hadir banyak yang tak
kuat menahan air mata, mengalir membasahi pipi....
DALAM SINAR PURNAMA Dalam terjangan badai yang
dahsyat. Raden Panji erat-erat memeluk tubuh istrinya yang
dingin. Para awak perahu tidak mampu berbuat apa-apa.
Layar-layar segera mereka turunkan, namun ombak yang
setinggi-tinggi gunung mengempas-em-paskan kedua
perahu itu bagaikan sabut saja. Para ponggawa pucat, ada
yang muntah-muntah dan ada pula yang tak henti-hentinya
menyebut nama Batara, memohon pertolongannya. Patih
Prasanta tak henti-hentinya memberi petunjuk. Sedangkan
Raden Panji tak henti-hentinya membujuk-bujuk mayat
istrinya. "Lihat, raksasa hitam datang! Tapi jangan takut,
jangan cemas, biar dilandanya kita, namun tak nanti kita
kalah! Biar mereka berbuat sesuka hati, tetapi engkau
cintaku, jangan kuaur! Engkau akan selamat, engkau akan
Kanda selamatkan. Takkan Kanda biarkan tangannya yang
menjijikkan serta mengerikan itu menjamah tubuhmu.
Erat191 eratlah peluk Kanda, supaya jangan lepas engkau
dari tangan Kanda!" Tak dirasanya air hujan yang turun
lebat membasahi tubuhnya. Sedangkan badannya
menggigil lantaran kedinginan. Perahu tak terkuasai lagi.
Jurumudi tak mampu berbuat suatu apa dan menyerahkan
nasibnya kepada para Dewa. Untung kedua buah perahu
itu erat terikat, sehingga keduanya tidak terpisah-pisah.
Dalam gelap gulita itu mereka tidak tahu arah ke mana
perahu dibawa ombak. Bahkan mereka tidak tahu bahwa
hari telah menjadi malam dan pagi lagi---Waktu badai
reda, hari sangat cerah, matahari sangat cerlang, mereka
menengok ke kiri ke kanan, maka nampaklah pantai di
arah selatan. Segera mereka mengayuh perahunya ke
sana. Raden Panji turun dari perahu, sedangkan mayat
istrinya tak lepas dari pelukan. Ia tak henti-henti
menembang atau berbisik-bisik kepada istrinya itu. "Mari
kita turun, lihat alangkah indah pemandangan di sini! Hutan
subur dan pinggir lautan pula! Tidakkah senang hatimu,
bertamasya selagi hari seindah ini? Menikmati
pemandangan sebagus ini?" Patih Prasanta juga turun
sambil memangku mayat inang pengasuh Dewi Anggraeni
yang setia itu. Ia bersukur bahwa mereka bisa selamat
mendarat, meski belum lagi tahu di pantai mana mereka
sesungguhnya sekarang. Tetapi ia sudah h. Pikir-Pikir
mengenai hari depan me«kf Tak numgk.n mereka terus
terusan pergi ke mana-mana sambil memangku-mangku
mayat itu Dan me mangku-mangku mayat pengaruh tidak
pU|a baik kepada Raden Panji, la jadi senantiasa tak bisa
melepaskan pikiran dari kekasihnya la jadi terus merasa
berdekatan dengan kekasihnya dan berbuat seolah-olah
istrinya itu masih bernyawa. Hanya iba kasihan jua yang
tergugah pada barang siapa menyaksikannya. Tidak. Ia
memikirkan akal supaya Raden Panji waras kembali, la
jangan sampai berlarut-larut, la mesti dipisahkan dari
mayat istrinya, supaya pikirannya terbuka kepada hal-hal
lain. Karena menurut pengamatannya, sesungguhnya
Raden Panji tidak parah apabila saja ia sempat dijauhkan
dari mayat istrinya itu. "Mamanda!" teriak Raden Panji.
"Alangkah indahnya alam di sini! Mengapa baru sekali ini
Mamanda membawa kami ke sini? Mengapa tidak dahulu-
dahulu Mamanda mempersembahkan bahwa ada
pemandangan seindah ini kepada kami?' "Ampun Raden,"
sahut Patih Prasanta, "Sengaja hamba tidak
memberitahukan hal ini kepada Gusti dahulu-dahulu,
karena..." Raden Panji memandangnya dengan mata
heran. "Karena apa, Mamanda?" "Karena tanah ini adalah
tanah yang paling te192 193 pai buat peristirahatan istri
Raden. Dewi Anggra•'Untuk peristirahatannya. Mamanda?
Mengapa hanya untuknya saja? Mengapa tidak tepat juga
buat kami?" "Masing-masing orang mempunyai tempat
tertentu yang tepat buat peristirahatannya masing-masing.
Yang tepat buat istri kita belum tentu tepat pula buat kita . . .
Lagipula. Raden masih hidup, masih harus melakukan
perbuatan-perbuatan mulia pula. sedangkan istri Raden
sudah meninggal "Apa? Apa Mamanda bilang? Dewi
Anggraeni sudah meninggal? Tidak! Mamanda jangan
bicara yang bukan-bukan! Dewi Anggraeni sedang tidur,
nyenyak sekali, tidak Mamanda lihatkah wajahnya yang
tentram tenang itu?" "Memang, memang. Raden benar ..."
Patih Prasanta memperbaiki sikapnya. "Dewi Anggraeni
tidak meninggal, melainkan tertidur dengan amat
nyenyaknya . . . Tetapi tidakkah Raden maklum, bahwa
orang yang tidur itu mesti beristirahat dengan tenang? Ia
takkan menemukan ketenangan jika terus-terusan Raden
pangku-pangku dibawa ke mana pun Raden pergi. Sang
Dewi tentu ingin beristirahat tenang ..." Raden Panji Kuda
Waneng Pati memandang kepada Patih Prasanta.
Perkataan patih yang sudah lanjut usianya itu seperti
termakan olehnya. 194 "Di manakah ia akan beristirahat,
Mamanda"»" "Di uni! Tempat ini sangat tepat untuk
peristirahatan sang Dewi!" "Tetapi di mana ia akan kita
baringkan? Sedangkan di sini hanya ada hutan belukar
belaka!" "Supaya sang Dewi tenang dan tidak diganggu
binatang-binatang buas, baik kita gali sebuah tempat
berbaring di dalam tanah ... " "Di dalam tanah!" "Ya, di
dalam tanah. Supaya sang Dewi jangan diganggu
binatang-binatang buas. Di sini dekat hutan, kalau sang
Dewi tidak diku ... eh, dibaringkan di dalam tanah, mungkin
datang macan atau srigala mengganggunya..." "Tetapi ia
akan merasa sesak!" "Tidak Gusti, orang yang tidur abadi
takkan merasa sesak." "Namun bagaimana ia akan
melihat bintang atau bulan? Ia sangat senang
bercengkerama apabila bulan purnama..." "Apabila sang
Dewi ingin bercengkerama, tentu akan bangkit dari
tidurnya. Tak ada yang mungkin mampu menghalanginya . .
. Raden tak usah kuatir. Sang Dewi akan mampu bangun
sendi¦ »» n . . . 195 Raden Panji termenung. "Benarkah
engkau lelah, Anggraeni? Benarkah engkau ingin
beristirahat pula?" kemudian ia bertanya kepada mayat
istrinya. "Engkau akan dibaringkan di sini, di dalam tanah,
supaya tak ada binatang buas mengganggumu. Maukah
engkau?" 'Tentu saja sang Dewi suka . . . ," Patih Prasanta
menalangi menyahut. "Tanah di sini sangat subur dan
pemandangan sangat indah ..." "Dan kalau istriku telah
dibaringkan di dalam tanah, nanti kita dirikan istana yang
indah di sini, buat tempat kita menjaganya ..." "Tidak.
Raden, kalau sang Dewi sudah dibaringkan baik-baik
dalam tanah. Raden jangan di sini terus, melainkan Raden
mesti melakukan hal-hal yang sangat menyukakan hati
sang Dewi Untuk menjaganya di sini, cukuplah kita
baringkan pula Bibi Wagini. Bukankah ia seorang inang
pengasuh yang setia? Tentu ia akan menjaga sang Dewi
dengan setia!" "Melakukan hal yang menyukakan sang
Dewi? Tetapi Dewi Anggraeni suka kalau kami berada di
sampingnya. Mamanda!" "Benar , sang Dewi suka Raden
berada di sampingnya. Tetapi itu kalau ia tidak sedang
tidur abadi ..." sahut Patih Prasanta sambil tersenyum.
Kalau ia sedang tidur, ia ingin tenang, tentu ia
menginginkan Raden pergi jauh-jauh melakukan 196
perbuatan-perbuatan yang menjadi darma Raden... "Jadi
apa yang mesti kami lakukan*»" "Raden mesti berbuat
kebaikan. Raden mesti menolong orang-orang yang
sengsara! Banyak orang yang sengsara karena perbuatan
raja-raja durhaka! Raden mesti menolong mereka, mesti
menjadi pelindung mereka. Raden mesti membasmi dan
menaklukkan raja-raja durhaka itu dan Raden mesti
memberikan kebahagiaan kepada para kawula kerajaan
...." "Yang paling dahulu adalah raja Janggala ..." gumam
Raden Panji. Patih Prasanta menggelengkan kepala.
'Tidak! Itu raja kita! Dan agaknya kita pun sekarang
mendarat bukan dalam wilayah Janggala. Mamanda
mengenal seluruh daerah kerajaan kita, tetapi daerah ini
baru sekali ini Mamanda lihat. Kita agaknya terdampar
jauh dari kerajaan kita Sesungguhnyalah, Patih Prasanta
seorang yang luas pengetahuan dan pengalamannya. Tak
sia-sia menjadi pejabat kerajaan Janggala puluhan tahun
lamanya. Ia maklum, bahwa mereka terdampar di daerah
asing dan kalau melihat arah matahari, rupanya di sebelah
timur Janggala, jauh di sebelah timur. Adalah menurut
rencananya, ia akan mengajak gustinya itu berbuat
kepahlawanan, dan membawanya sedikit demi sedikit ke
197 arah barat selatan, menuju kerajaan Kadiri. Kemudian
Patih Prasanta menyuruh para ponggawa menggali liang
lahat buat membaringkan mayat Dewi Anggraeni bersama
inang pengasuhnya yang berbakti itu. "Biar dikubur saja
dahulu, kelak kalau Raden Panji sudah sembuh, digali lagi
untuk dibakar ..." pikir Patih Prasanta. "Kalau sekarang
dibakar, tentu Raden Panji takkan memperkenankannya
Sementara mengubur kedua orang itu, hari senja dan
malam pun tiba. Di langit sebelah timur, muncul bulan yang
bulat penuh. Sinarnya sangat indah dan menenangkan.
Raden Panji bersimpuh di hadapan kuburan istrinya,
sedangkan mulutnya mengeluarkan cumbuan-cumbuan
mesra. "Tidurlah engkau di sini, kekasihku, tidurlah tenang!
Jangan engkau terganggu oleh apa pun! Simakkan olehmu
dalam tidur, suara ombak yang menerjang pantai dan
suara angin yang melanda hutan . . . Bukankah itu suara
cinta kita yang besar? Yang tidak kelihatan namun kekal
sifatnya? Bukankah itu suaraku membisikkan rindu hatiku
kepadamu? Ombak itu takkan jemu-jemunya mencium
pantai, seperti juga cintaku kekal ke-padamu ...." Patih
Prasanta dan ponggawa berdiri tak jauh dan tempat Raden
Panji. Mereka mempersaksikan 198 perbuatan gusti
mereka dengan hati yang hancur Tetapi senang juga Patih
Prasanta, karena Raden Panji sudi memperkenankan
Dewi Anggraeni dikubur. Dan senang juga ia, muslihatnya
termakan semua oleh gustinya yang kasmaran itu Kini ia
diam-diam menyaksikan perpisahan terakhir yang
mengenaskan antara sepasang suami istri yang saling
mencintai dengan sungguh-sungguh itu. "Wahai,
Anggraeni! Engkau terjaga? Engkau puas tidur? Engkau
bangkit?" tiba-tiba terdengar Raden Panji berkata-kata
dengan suara yang berubah, sedangkan ia bangkit dari
duduknya. "Ya, mari kita bersama-sama pulang ke istana
kita!" tangannya bergerak-gerak ke depan, seolah-olah
hendak memeluk seseorang, sedangkan oleh Patih
Prasanta dan para ponggawa tak nampak siapa pun di
depan gustinya itu. Mereka mengira penyakit gustinya
kumat pula, dan beberapa orang di antara mereka tak
sanggup menyaksikannya, menundukkan kepala atau
melengos, memandang ke arah lain. "Mengapa engkau
hanya tersenyum saja. Anggraeni? Mengapa sepatah pun
engkau tak mau menyahut? Alangkah indah senyummu!
Seindah bulan yang terbit di ufuk itu! Seindah bunga yang
mekar! Anggraeni, mari, dekatlah ke mari, biar kupeluk
tubuhmu dan kita berbahagia pula! Mari, mari!" tangan
Raden Panji terulur bagaikan hendak memeluk seseorang.
199 Namun oleh Patih Prasanta dan kawan-kawannya
hanya udara jua yang nampak hendak dipeluknya.
"Anggraeni, mengapa engkau hanya memandang saja?
Dan pandanganmu, alangkah menyejukkan, bagaikan sinar
purnama ini! Anggraeni, mengapa engkau mundur,
mengapa engkau menjauh? Anggraeni, tidakkah engkau
sudi Kanda peluk? Tidakkah sudi engkau . . . Anggraeni,
ke mana engkau hendak pergi?" Raden Panji berdiri,
kakinya melangkah. "Anggraeni, tunggu! Tunggu! Jangan
engkau menjauh-jauh seperti itu? Ataukah engkau minta
kanda kejar? Ya, berkejar-kejaran seperti dahulu di dalam
taman?" Raden Panji bergerak, bagaikan mengejar
seseorang. "Anggraeni mengapa engkau lari juga?
Mengapa engkau menjauh juga?" Dan makin cepat pula ia
bergerak. "Anggraeni, mengapa engkau diam saja, tidak
tertawa? Mana gelakmu yang biasanya berderai? Mana
suaramu yang merdu menentramkan hati? Mengapa
engkau hanya tersenyum saja?" Raden Panji kini berlari,
makin jauh juga meninggalkan kawan-kawannya. Patih
Prasanta kuatir, kalau-kalau gustinya itu tergelincir ke
dalam jurang atau laut, maka ia oangkit mengejarnya.
"Raden! Raden!" teriaknya. t™!?™ Panji berlari makin
cePat sedangkan m^b*ta»W dan mulutnya me-manggil-
manggil. 200 Anggraeni! Anggraeni, tunggu! Mengapa
eng-kau tega menunggalkan Kanda? Mengapa engkau tak
sudi menanti meski sejenak? Anggraeni'" "Raden! Raden!"
teriak patih PraTanT^g mengejarnya. 6 Kedua orang itu
berkejar-kejaran dalam sinar bulan purnama, sedangkan
ombak tak henti-hentinya berdeburan menerjang pantai.
Raden Panji berlari bagaikan orang yang tak sadar, maka
tak lama kemudian Patih Prasanta sudah berhasil
mengejarnya. Dengan kedua belah tangannya yang sudah
mulai keriputan namun masih tangkas itu, ia memeluk
tubuh gustinya. "Raden! Raden! Sadarlah!" Raden Panji
meronta-ronta, sedangkan tangannya menggapai-gapai
dan mulutnya tak henti-henti berteriak. "Anggraeni! Engkau
terbang? Wahai, engkau sungguh seorang bidadari!
Sungguh, tetapi mengapa engkau meninggalkan Kanda?
Wahai, mengapa engkau terbang setinggi itu? Mengapa
makin tinggi saja?" Raden Panji tertegun. "Mamanda,
Mamanda Patih Prasanta, tidakkah Mamanda lihat Dewi
Anggraeni terbang? Lihat ia bagaikan bersayap! Lihat,
ditinggalkannya kami di sini! Anggraeni, sampai hati
engkau meninggalkan Kanda? Lihat, ia makin tinggi juga!
Dia terbang ke arah bulan! Anggraeni! Anggraeni!
Mamanda Patih, ia makin kecil dan makin kecil dan makin
201 dekat juga ke bulan! Tidakkah Mamanda lihat?" Patih
Prasanta mengarahkan pandangannya ke arah bulan
sedang purnama yang bulat itu. ia tidak melihat Dewi
Anggraeni, tetapi tiba-tiba cahaya bulan menggelap,
bagaikan ada yang menghalanginya. Ia membuka matanya
lebar-lebar, samar-samar seorang tokoh wanita terpeta
dalam kegelapan itu, kemudian sinar bulan pun sedikit
demi sedikit kembali pula menerangi dunia. Ia terpukau
menyaksikan keajaiban itu. 'Kiranya benar-benar Dewi
Anggraeni itu terbang ke arah bulan . . . ' pikirnya. 'Hanya,
ia nampak cuma kepada suaminya saja ... * "Anggraeni ... ,
Anggraeni s . . /• desis Raden Panji. "Dinda tega benar
meninggalkan Kanda di sini dalam kelengangan!" Patih
Prasanta membelai-belainya. 'Tidak, Raden, Raden tidak
ditinggalkan dalam kelengangan. Dan pula sang Dewi
takkan pergi untuk selama-lamanya .. . . " "Apa maksud
Mamanda? Anggraeni akan kembali pula?" "Ya, sang
Dewi akan kembali pula kelak." -u tak%e";remandang
Patih ?™dengan li 7**^1* nRaden' San* Dewi akan
kemba-Raden ' » k ^ wdah menunaikan o*ma "Sang
DewiseWUlP?hKPmanta den«an tena^ sekarang terbang
ke arah bulan, menjadi candra kirana - cahaya bulan tanda
dia dikasih, para dewa ... Dan para dewa tentu akan
mengembalikannya pula kelak kepada Raden " Raden
Panji menyimakkan sungguh-sungguh "Tetapi kini
Anggraeni pergi ... Apa kata Mamanda? Menjadi candra
kirana - cahaya bulan? Ya, sesungguhnya ia cahaya bulan,
kalau aku matahari! Ia menjadi cahaya bulan, yang
menerangi kegelapan malam gelita! la menerangi dunia
dengan cahayanya yang lembut, tenang, menentram-kan
..." "Karena itu. Raden mesti tenang, mesti sabar.. . ."
"Alangkah indahnya cahaya bulan candra kirana!
Mamanda, sejak sekarang, istriku telah menjadi Candra
Kirana . . . Dia yang memberi kedamaian dan ketenangan,
keindahan dan perasaan-perasaan mulia ..." kata Raden
Panji, "la menjadi Candra Kirana ... Patih Prasanta
mengangguk-anggukkan kepala. "Ya, menjadi Candra
Kirana cahaya bulan purnama yang sejuk menentramkan.
memberi kebahagiaan . . . . " sahutnya. "Ya, ia
membangkitkan perasaan-perasaan mulia untuk kebaikan
dan kebajikan . . . Karena itu Raden juga mesti melakukan
kebaikan-kebaikan, menolong rakyat sengsara, melakukan
perbuatan-perbuatan kepahlawanan. Karena hidup tanpa
melakukan perbuatan-perbuatan baik. adalah bagaikan
malam yang 203 gelap gulita, tak bercahaya, jauh dari
cahaya bulan, jauh dari Candra Kirana ..." Raden Panji
menganggukkan kepala. "Nasihat Mamanda akan kami
turutkan, karena kami tak mau ditinggalkan oleh Candra
Kirana . sahut Raden Panji. 'Kami ingin hidup disinari
kegemilangan cahaya bulan, dalam kegemilangan Candra
Kirana . . . Tak mau kehilangan dia! Besok akan mulai
kulakukan perbuatan-perbuatan baik dan kepahlawanan,
darma seorang satria yang mesti melupakan kepentingan
dirinya sendiri, buat kebahagiaan umat manusia Kaden
Panji bangkit, sekali memandang kepada bulan yang
sudah meninggi seolah-olah hendak melihat apakah
kekasihnya ada di sana. Kemudian ia membalikkan
tubuhnya sambil berkata, "Tenanglah kau di sana. Candra
Kirana! Kalau kelak hidupku telah berarti, engkau pun tentu
akan datang kepada Kanda, bukan?" Patih Prasanta
tersenyum melihat kelakuan gustinya itu. la merasa bangga
dan lega, karena menyaksikan sinar harapan memancar
bagi hari depan gustinya. Tidak, gustinya takkan berlarut-
larut tenggelam dalam kesedihan. Ia akan melakukan
perbuatan-perbuatan mulia. Dan ia sendiri, ak\n M*3?13'
akan sc,alu mendampinginya, 204 KELANA JAYENG
SARI Beberapa bulan kemudian, muncullah seorang satria
yang mengaku dirinya berasal dari tanah Seorang dan
bernama Kelana Jayeng Sari, melakukan berbagai
perbuatan-perbuatan mulia dan bersifat kepahlawanan.
Mula-mula ia bersama para pengikutnya mengalahkan
berbagai kraman dan perampok yang mengganggu
keamanan dan ketentraman rakyat yang bersembunyi
dalam hutan-hutan. Kraman-kraman itu dikalahkan dan
hasilnya dibagikan kepada rakyat sengsara, sehingga
makin lama pengikutnya makin banyak dan makin banyak
juga. Para kraman yang sudah dikalahkannya, tidak
dibunuhnya, melainkan disuruhnya memilih antara menjadi
pengikutnya atau kembali hidup sebagai rakyat biasa,
bertani, menjadi nelayan ... Tokoh Kelana Jayeng Sari
menjadi sebut-sebut-an dan buah tutur setiap orang.
Rakyat yang sengsara menyebutnya dengan suatu harapan
akan 205 munculnya ketentraman dan kedamaian yang
abadi Dan para pemeras dan penjahat mendengar
namanya saja gemetar lutuMututnya. Perbuatan mulia
Kelana Jayeng Sari menjadi sebut-sebutan semua orang
dan menyebabkan orang-orang suka kepadanya. Menurut
cerita yang menjalar dari mulut ke mulut. Kelana Jayeng
Sari itu seorang satria yang tampan, muda, manis budi dan
sangat halus perasaannya. Tetapi ia pun seorang yang
sakti dan dig-jaya, ahli mempermainkan berbagai macam
senjata dan senantiasa mampu mengalahkan musuh-
musuhnya secara mengagumkan. la muncul secara ajaib.
Kadang-kadang ia terdengar melakukan perbuatan mulia
di hutan pegunungan sebelah selatan, tetapi tak lama
kemudian terdengar berita bahwa ia baru saja melakukan
perbuatan kepahlawanan pula di pantai utara. Ia seorang
tokoh yang sakti, dan dianggap oleh para penduduk,
mungkin muncul di mana saja sesuka hatinya, bahkan
mungkin muncul di beberapa tempat dalam waktu yang
bersamaan. Yang diperkatakan orang-orang pula, ialah
bahwa ia selalu didampingi seorang yang sudah lanjut
usianya, yang konon disebut orang Ki Kebo Pan-dogo.
Ternyata Ki Kebo Pandogo itu seorang yang sakti pula,
menjadi penasihat Kelana Jayeng Sari. petelah ia
mendapat banyak pengikut, maka ditaklukkannya pula
berbagai raja, terutama raja206 raja yang zalim. Mula-mula
raja BelamW kemudian raja Basuki, Uni'ft"»' dan akhirnya
Pasuruan. Ia l^n^^SZ ke barat, tetapi pada umumnya tak
bisa disangka sangka. Ia selalu muncul pada saat orang-
orL tidak mengharapkan kedatangannya, dan karena itu
pula mungkin maka ia senantiasa mengalahkan musuh-
musuhnya dengan mudah. Tetapi yang mengherankan
orang-orang, ialah karena meskipun ia berhasil secara
mudah menaklukkan raja-raja itu, namun ia sendiri tidak
mau duduk memangku takhta. Tatkala raja Lumajang
dikalahkan, atas bisikan patihnya, sang baginda
mempersembahkan seorang putra dan seorang putrinda
akan menjadi hamba Kelana Jayeng Sari yang perwira itu.
Sesungguhnya itu adalah muslihat sang patih, yang ingin
mengikat sang kelana, supaya mau tinggal di Lumajang
dan dengan demikian akan menyebabkan Lumajang
dimalui oleh kerajaan-kerajaan lain. Tetapi peristiwa yang
aneh terjadi. Waktu sang putra dan sang putri yang tampan
rupawan itu datang ke hadapan Kelana Jayeng Sari, sang
Kelana memburu sang putri, sedangkan mulutnya berteriak
kegirangan, "Candra Kirana! Engkau k ah yang datang
itu!" Sang putri Lumajang itu terkejut dan hatinya
berdegupan lantaran takut. Ia menundukkan ke207 pala
Dirasanya dua buah tangan yang perkasa memegang
bahunya kiri kanan, kemudian mengangkat wajahnya.
"Nama hamba . . . Lukita Sari . . . ," sahutnya dengan suara
gemetar dan terputus-putus. Sang Kelana Jayeng Sari
melepaskan kedua belah tangannya, lalu memejam. "Ya,
engkau bukan istriku . . . Candra Kirana seorang yang
amat sangat jelita. Tak ada yang menandinginya . . . Tak
ada orang yang secantik dia, bercahaya bagaikan bulan
purnama . . . gumamnya kemudian. "Dan engkau, siapakah
engkau?" Maka patih yang mewakili raja Lumajang itu
menghaturkan sembah, menerangkan bahwa kedua putra-
putri itu adalah tanda takluk baginda kepada Sang Kelana
Jayeng Sari, di samping berbagai persembahan lain-
lainnya pula. "Baginda mempersembahkan kedua
putranda, akan menjadi hamba gusti akhirnya sang patih
menutup pembicaraan. Sang Kelana Jayeng Sari
menggeleng lemah. 'Tidak ..." sahutnya. "Kembalilah
engkau semua kepada rajamu. Haturkan kepada baginda
bahwa aku tidak mengharapkan persembahan apa pun
sebagai tanda takluk. Pengakuan rajamu saja sudah
cukup. Tak usah ia mengurbankan putra-putrinya. Kami pun
tidak menghendaki hamba-hamba . . . Para ponggawa
sudah cukup bagi kami 208 . Sekarang, pulanglah engkau
semua'" Patih itu kembali dengan sangat merasa heran
dan malu. Ia malu lantaran muslihatnya tak merT-na, umpan
tidak dimakan. Dan heran lanu^n perbuatan serta sikap
yang luar biasa dari Kelana jayeng San yang gagah
perkasa serta sakti itu Peristiwa itu cepat pula menjalar
dari mulut ke mulut. Dan selalu mengherankan barang
siapa yang mendengarnya. Jadi buat apakah Kelana
Jayeng Sari dari tanah Sebrang itu mengalahkan kerajaan
demi kerajaan, sedangkan ia sendiri tidak sudi menduduki
singgasana? Sedangkan dia sendiri lebih suka berkelana
dari hutan ke hutan, dari gunung ke gunung? Sedangkan
dia sendiri merasa puas tidur di alam terbuka dalam
kemah? Karena itu pula nama Kelana Jayeng Sari menjadi
makin termashur. Dihormati, diherani, dikagumi berbareng
ditakuti. Beberapa orang raja, tanpa dia perangi,
menyatakan dirinya takluk, yang diterima Kelana Jayeng
Sari dengan sikap yang biasa. Ia tidak nampak gembira,
pernyataan takluk raja-raja itu diterima dengan sikap yang
tawar dan tak ambil perduli. Baginya seolah-olah tak ada
bedanya apakah raja itu takluk atau tidak. Hanya dengan
mendahului menyatakan takluk, raja-raja itu menunjukkan
sikap bijaksana, karena dengan demikian ia
menghindarkan kerajaannya dari malapetaka peperangan
yang terkutuk itu. Bahkan meskipun beberapa orang raja
mena209 warkan takhta serta istananya yang indah
mewah. Kelana Jayeng Sari senantiasa menolak. Ia lebih
suka tinggal di hutan, di tengah-tengah alam yang segar
daripada tinggal di tengah-tengah manusia. Apabila tidak
melatih pasukannya berperang, atau apabila tidak
melakukan peperangan, biasanya Kelana Jayeng Sari
termenung-menung saja kerjanya. Dalam keadaan seperti
itu, tak dikehendakinya ada orang yang berani
mengganggu. Tak diperkenankan orang berada di
dekatnya. Hanya penasihat yang tua itu saja yang
dibolehkan datang mengawani. Kadang-kadang Kelana
Jayeng Sari berbicara dengan suara yang murung dan
guram. Sedangkan penasihatnya itu. Sang Kebo Pandogo,
menghiburnya dengan berbagai hal yang menarik hati.
Terutama mengenai raja-raja yang belum mereka
taklukkan. "Tahukah Gusti, kerajaan apakah yang berada
di sebelah barat hutan yang sekarang kita tinggali ini?"
bertanya Kebo Pandogo dengan suara setengah
bersenda. "Tak tahu! Dan kerajaan apa pun yang berada
di sana. tak kuperdulikan, karena mereka sama' saja.
Mereka akan dengan mudah kita kalahkan!" sahut Kelana
Jayeng Sari tak peduli. 'Tetapi, apabila Gusti pergi ke
kerajaan itu, cita-cita Gusti bakal tercapai..." Kelana
Jayeng Sari mengangkat wajah. Agak210 nya hatinya
mulai tertarik. ••Apa maksud Mamanda Kebo Pandogo^ .
nyanya dengan mata bersinar-sinar. "Kalau "kukt lankan
pula raja yang berada di sebelah barat itu ^an bersuakah
kami dengan istri kami yang ter cinta? Kebo Pandogo
tersenyum. "Makin banyak Gusti berbuat kepahlawanan,
makin cepat ia kembali, bukan?" "Kalau begitu, baiklah
besok kita berangkat untuk menaklukkannya. Kerajaan
apakah yang berada di sebelah barat itu?" "Tidak usah
tergesa-gesa begitu," sahut Kebo Pandogo sambil
bergelut senyum juga. "Kita tidak usah menyerangnya..."
"Habis?" "Kita tinggali saja hutan yang menjadi daerah
kerajaannya, kita buat onar di sana ... Kalau pancingan kita
berhasil, siapa tahu orang yang selama ini Gusti harapkan
akan datang?" Kelana Jayeng Sari seperti tak mengerti
apa yang dimaksud oleh penasihatnya yang bijaksana itu.
"Kerajaan apakah yang berada di sebelah barat itu,
Mamanda?" ia mengulangi pertanyaannya yang belum
dijawab. Kebo Pandogo tersenyum dan sambil tersenyum
itu ia menyahut. "Kadiri ... " katanya. 211 Kelana Jayeng
Sari seperti terkejut, tetapi kemudian ia termenung.
Beberapa jenak lamanya ia tidak berkata-kata. "Apa yang
menurut Mamanda baik, baiklah kita lakukan .. .," akhirnya
ia berkata. Kebo Pandogo merasa puas. Ia merasa
bangga dan gembira. Adalah maksudnya yang
sesungguhnya, hendak mempertemukan gustinya itu
dengan pahlawan yang tersohoi dan menjadi kebanggaan
kerajaan Kadiri: putri perwira Dewi Sekar Taji. Dewi Sekar
Taji sangat gagah dan sakti, sudah sering menaklukkan
kraman dan begal-begal yang mengganggu keamanan
kerajaannya. Apabila perbuatan-perbuatan Kelana Jayeng
Sari kelak dianggap mengancam keamanan kerajaan
Kadiri. Kebo Pandogo mengharap. Dewi Sekar Tajilah
yang akan tuna tangan menaklukannya. Ia tidak melihat
jalan lain yang tepat untuk mempertemukan keduanya
tangkan ia sendiri percaya, bahwa kalau kedua-baha^a
*mUany* *m bakhil dengan henlw?^ bahwa pcristiwa ,ain
telah menghendaki kejadian lain pula .. 212 MAHA PATIH
KEBO RERANGIN Di sebelah barat Kadiri, berdiri
kerajaan Metaun yang diperintah oleh Prabu Gajah Angun-
angun. Prabu Gajah Angun-angun belum lama menaiki
takhta, menggantikan ayahanda yang meninggal belum
lama berselang. Raja yang masih muda usianya itu
berambekan besar, la tidak puas dengan kerajaan
ayahanda dan kepada ayahanda yang telah puas dengan
apa yang ada, ia pun merasa tidak puas. Ia mencita-
citakan suata kerajaan yang lebih luas dan kekuasaan
yang lebih besar. Ia bercita-cita hendak memperluas
wilayah kekuasaannya. Ia seorang muda yang pandai
bergaul dan licin. Maka telah dihasutnya berbagai raja kecil
dan para bupati yang selama itu hidup berdampingan
dengan damai atau menjadi setengah kawula kerajaan
Kadiri, sehingga banyak di antara mereka yang mau
mendengar perkataannya itu. Kalau ada bupati atau raja
yang menolak pikirannya. 213 tak ragu-rag» lagi ia
melakukan tangan besi dengan membokong raja yang
lemah itu. Maka ia menjadi seorang raja yang ditakuti oleh
raja-raja kecil. Karena takut, kebanyakan di antara mereka
mengakui kedaulatannya di atas mereka dan menyatakan
kerajaan mereka di bawah perintah Prabu Gajah Angun-
angun dari Metaun itu. Tatkala itu Prabu Gajah Angun-
angun menganggap dirinya sudah cukup kuat untuk
melakukan penyerangan kepada kerajaan-kerajaan yang
besar-besar., Kerajaan besar yang bertapal batas dengan
kerajaannya di sebelah timur, adalah Kadiri. Maka
diancamnya Prabu Jayawarsya. raja Kadiri, hendak
diperanginya, kecuali kalau Prabu Jayawarsya bersedia
menyatakan takluk kepadanya. Mendengar ancaman itu.
Prabu Jayawarsya murka. Tetapi ia tidak bisa mengumbar
amarahnya, karena baginda sendiri bingung, siapa
gerangan yang mungkin memerangi raja Gajah Angun-
angun yang muda itu. Meskipun balatentara Kadiri tidak
lemah dan para pahlawannya bersemangat, namun apabila
baginda mengukur kekuatannya, diam-diam baginda
mengakui keunggulan balatentara Metaun itu. Mereka
tentara yang sudah dipersiapkan untuk suatu perang besar,
sedangkan ba atentara kerajaan Kadiri. lantaran berbagai
soal Mam negen waktu-waktu belakangan menyita
srPerba;Tda-tidak bci*^-* 214 Dewi Sekar Taji yang
mendengar ancam™ Metaun itu, menjadi murka dan ZSl?*
sembah kepada baginda, '-Mengait seperti bingung? Biar
hamba b^rangkatT^l batas akan menyambut serangan
orang angkuh dari Metaun itu!" Baginda memandang
kepada putri baginda itu. Dewi Sekar Taji memang bukan
putri sembarangan. Ia seorang putri yang gagah berani. Ia
putri yang akan menggantikan ayahanda memegang
tampuk kerajaan, karena itu kecuali mempelajari berbagai
ilmu pemerintahan, ia pun mempelajari pula ilmu
peperangan. Berbagai macam alat senjata tak ada yang
asing baginya. Dan alat-alat peperangan itu
dipergunakannya dengan kemahiran yang mengagumkan.
Kegagahan dan keahliannya dalam mempergunakan
tombak dan keris, terbukti dalam perbuatan-perbuatannya
yang perwira, mengalahkan para kraman dan pemberontak
yang mengganggu keamanan kerajaan. Ya, baginda tidak
ragu-ragu akan keperwiraan putri tunggalnya itu. Tetapi
yang baginda hadapi bukan para pemberontak atau
kraman biasa, melainkan seorang musuh tangguh. Tidak,
baginda tidak yakin akan kegagahan putrinda untuk
mengalahkan musuh yang bukan sembarangan itu.
Baginda merasa kuatir akan keselamatan putnnda. "Tidak.
Sekar Taji. raja Metaun itu buk.an^lawanmu yang
seimbang! Ia konon sakti dan ia pun 215 sangat kejam!"
sabda baginda sambil memandang kepada putrinda.
Mendengar perkataan baginda itu, Dewi Sekar Taji
merasa terhina. Ia marah, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-
apa. Ia mengundurkan diri, lalu menghibur dirinya di
tengah-tengah taman yang warnawarni Sementara itu
baginda dengan para pejabat negara yang penting-penting
merundingkan masalah yang dihadapi oleh kerajaan Kadiri
yang diancam bahaya peperangan dengan raja Metaun itu.
Baginda meminta pemandangan para pejabat negara, dan
merembukkan jalan-jalan memecahkannya. Umumnya para
pejabat negara itu berpendirian sama, bahwa dengan
kekuatan kerajaan Kadiri saja, musuh dari barat itu tak
mungkin dilawan. Beberapa kerajaan di sebelah barat,
bahkan juga yang tadinya menjadi takluk Kadiri, kini
berpihak kepada raja Gajah Angun-angun. Tak ada jalan
lain, Kadiri mesti meminta bala bantuan kepada salah satu
kerajaan sahabat. Patih W,ranggada menganjurkan agar
baginda meminta bala bantuan kepada raja Janggala.
Bukankah Janggala dan Kadiri bersaudara? Janggala
k^TV™ *him** <HP*M ditolak, Karena menurut
pertimbangan yang lain-lain. janggala terlalu jauh.
Sementara menung . bantuan datang, sewaktu-waktu baiat
^ S taun bisa masuk menyerbu. Rupanya kemun u -Perti itu
pun sudah pula ip£ Metaun sebelum ia melakukan
penyerangannya Maka termenunglah para pejabat penting
kera' jaan Kadin yang tersohor arif bijaksana itu. Mereka
asyik memikirkan bagaimana caranya menyelamatkan
kerajaan mereka dari kehancuran. -Bagaimanakah jadinya,
Mamanda Mahapatih Kebo Rerangin?" tanya baginda
beberapa saat kemudian, dengan suara yang muram.
"Adakah jalan lain yang lebih tepat kita tempuh? Memang,
kita tidak nanti mau menyerah tak bersyarat kepada raja
Metaun itu, tetapi kita pun jangan sampai hancur musnah,
apabila masih kita lihat cahaya harapan ..." Mahapatih
Kebo Rerangin yang sudah lanjut usianya itu berdehem
beberapa kali. Setelah itu baru ia menghaturkan sembah.
"Ampun Gusti, memang keadaan kita sangat sulit. Hamba
percaya akan keperwiraan para pahlawan Kadiri yang
gagah berani, tetapi dengan perkiraan yang waras,
balatentara Metaun yang sekarang berada di tapal batas
itu bukan lawan kita yang setimpal. Tak ada jalan lain, kita
mesti meminta tolong kepada fihak lain. Tetapi siapa?
Janggala yang pasti akan menolong kita tak mungkin kita
minta tolong berhubung kerena letaknya 217 216 yang
sangat jauh. Mau tak mau kita mesti meminta tolong
kepada f'inak yang dekat . . . Dan tetangga kita yang
terdekat, di sebelah barat adalah . . . Raja Metaun.' Yang
sekarang sedang mengancam kita! Raja Malang, agaknya
dalam hal ini tak boleh kita harapkan pula. karena ia
memang tidak mempunyai bala tentara yang kuat. lagipula
perhubungannya tetap sulit. Sebelum bala bantuan datang,
setiap saat mungkin datang tentara Metaun----" Orang
batuk-batuk kecil, lantaran merasa jemu oleh perkataan
Mahapatih Kebo Rerangin seperti mengulang-ulang apa
yang telah dikunyah tadi. Mengapa dalam keadaan
mendesak seperti itu Mahapatih Kebo Rerangin berkata-
kata demikian menjemukan? "Jadi bagaimana?" baginda
bertanya dengan tak sabar. Tetapi agaknya bukan tidak
dengan maksud tertentu. Kebo Rerangin bicara seperti itu.
la menghaturkan sembah pula kepada rajanya, kemudian
ia melanjutkan pembicaraannya pula. "Karena itu, kita
hanya mungkin meminta baJa bantuan kepada satu-
satunya fihak "Siapa?" "Ampun Gusti, hendaknya Gusti
jangan terkejut, satu-satunya fihak yang mungkin kita mintai
tolong adalah .. . Kelana Jayeng Sari!" Semua orang
terkejut. Kelana Jayeng Sari! Itulah kraman yang dalam
waktu belakangan ini 218 mengacau di hutan-hutan
perbatasan Kadiri ^ ,ah Umur dan makin lama makin ke
arah barat! Mana mu^Su^it SaL"raman Vang 38aknya
*ngaja hendak £ "^Tetapi Mamanda Patih baginda
bertanya. -Bukankah Kelana Jayeng Sari itu mengacau di
perbatasan sebelah timur?" Mahapatih Kebo Rerangin
menghaturkan sembah. "Daulat, Gusti. Hal itu memang
benar." "Masa kita meminta tolong kepada orang yang
hendak mengacau kita?" Mahapatih Kebo Rerangin
berbicara dengan tetap sabar. "Memang hal ini sulit.
Hamba sendiri mengikuti perihal Kelana Jayeng Sari yang
konon mengaku dirinya berasal dari tanah Sebrang itu
sejak lama . . . Ia banyak melakukan keanehan-keanehan,
tetapi tak syak lagi, ia seorang yang gagah dan perwira. Ia
mengalahkan berbagai kerajaan di sebelah timur. Dan
boleh dikatakan semua negara di sebelah timur kerajaan
kita ini, sampai di pantai timur, takluk belaka kepadanya.
Namun alangkah mengherankan, karena dia tidak mau
duduk memangku takhta. Yang disukainya adalah
berperang ... Ia mengacau di beberapa daerah, tetapi
untuk kepentingan penduduk daerah itu. Mereka 219 tidak
melakukan kekejaman atau perbuatan keterlaluan, bahkan
konon selalu menjadi pelindung rakyat-rakyat
sengsara.......'a mulai dari pantai timur, dan makin lama
makin ke barat jua. Kini ia berada di dalam wilayah kita, di
suatu hutan yang hamba dengar tak jauh letaknya dari sini.
Ia bersama balatentaranya melakukan berbagai gangguan-
gangguan kecil-kecilan, tetapi terang tidak
membahayakan. Ia seperti dengan sengaja hendak
menguji kesabaran kita ..." "Ia malah harus kita basmi!"
sembah Senapati Wi rapati. "Memang kalau keadaan
tidak segenting sekarang, orang seperti itu mesti kita
basmi. Tetapi keadaan kita sekarang sangat sulit dan
genting...... Kita mesti bertindak bijaksana!" sahut
Mahapatih Kebo Rerangin. "Apakah tindakan bijaksana
meminta tolong kepada kraman yang mengacau di negeri
sendiri?" "Kalau Kelana Jayeng Sari mau menerima
permintaan tolong kita, maka kita telah melakukan tindakan
yang bijaksana sekali." "Bagaimana pula itu?" "Baik
Kelana Jayeng Sari maupun raja Metaun tidak hendak
berbuat kebajikan kepada kita, boleh dikatakan dua-
duanya musuh kita....." •jitu pasti!" sahut Senapati Wirapati.
"Kalau keduanya bertempur untuk kepentingan kita, maka
kita telah membunuh dua ekor ular 220 dengan sekali
pukul! Kalau Melaun w dcngan Kelana Jayeng Sari, siapa
vat^T*! untung? Pasti fihak ketiga. Dan fih J kLA tak lain tak
bukan: kita sendiri. Z££XZ nya Metaun tak bisa dikalahkan
oleh Kdana jayeng San namun terang, kekuatan keduanya
akan menjadi lemah. Lebih mudah bagi kita memukul salah
seorang dari mereka itu setelah keduanya bertempur
daripada sekarang kita menghadapi dua musuh
sekaligus!" Baginda mengerti akan maksud Mahapatih
Kebo Rerangin yang licin itu. Baginda mengangguk-
anggukkan kepala tanda setuju. Sekali lagi baginda kagum
akan mahapatih yang arif serta sudah lanjut usianya itu.
Maka diputuskanlah, bahwa Kadiri akan meminta tolong
kepada Kelana Jayeng Sari untuk menaklukkan raja Gajah
Angun-angun dari Metaun. Mereka mesti bekerja dengan
cepat maka seketika itu juga baginda menitahkan Patih
Wiranggada pergi membawa sepucuk surat untuk Kelana
Jayeng Sari yang menyatakan maksud baginda. Patih
Wiranggada tidak boleh ayal, seketika itu juga bersiap-
siap, lalu berangkat hendak mencari Kelana Jayeng Sari
ke hutan-hutan di sebelah timur. Kelana Jayeng Sari
mempunyai ponggawa yang jumlahnya ratusan orang,
sehingga takkan susah dicari. 221 DEWI SEKAR TAJI
Dewi Sekar Taji merasa tidak puas, lantaran ayahanda
bagaikan memandang tidak tinggi kepada kegagahannya.
la percaya, ia sendiri akan mampu mengalahkan Prabu
Gajah Angun-angun yang angkuh itu. la tidak takut. Dan ia
ingin menunjukkan keperwiraannya dalam membela
kerajaan Kadiri. Maka tatkala kemudian ia mendengar
bahwa ayahanda telah memutuskan untuk meminta tolong
buat melawan raja Metaun itu kepada Kelana Jayeng Sari
yang waktu itu banyak mengacau di hutan-hutan bagian
timur kerajaan Kadiri, amarahnya meluap kepada kepala
kraman yang konon berasal dari tanah Seberang itu. Apa
sih kelebihannya orang Seberang itu daripadaku?
tanyanya dalam hati. Mengapa ayahanda sampai meminta
tolong kepadanya? Sungguh tak mengerti aku!' Wajahnya
guram, dan memberengut. Beberapa lamanya termenung-
menung mengumbar kesalahan 22 hatinya. Akhirnya ia
memberangsang •Baiklah, 'kan kucoba kepandaian orang
Sebran* menusukkan kcns! katanya pula dalam hati. Ingin
kucoba kegagahan dan kesaktiannya!' Setelah berpikir
demikian, maka tetaplah hatinya. Ia mempersiapkan
segala sesuatunya, tetapi dengan diam-diam saja. Ia tak
ingin maksudnya itu diketahui orang lain. Ubih-lebih ia tidak
ingin baginda akan mengetahuinya. Maka ia
mempersiapkan tombak serta kerisnya. Kemudian dia
berdandan, tetapi tidak seperti seorang putri, melainkan
sebagai seorang lelaki. Dalam pakaian demikian, ia
tampak tampan dan gagah, akan mengagumkan barang
siapa yang melihatnya. Tetapi ia masih kuatir jugakalau-
kalau kelak ia akan dikenali orang, maka dibekal-nya
sebuah topeng akan penutup parasnya. Waktu hari mulai
gelap, ia sudah siap. maka diambilnya kuda. Kepada
orang kepercayaannya ia berpesan, supaya kepergiannya
itu jangan sampai diketahui orang lain. Malam itu bulan
purnama, dan seperti biasanya jika bulan bulat penuh,
Kelana Jayeng Sari keluar dari kemahnya, lalu berjalan
sendirian akan meng-gadangi sang rembulan yang
sinarnya lembut itu. Sering ia tampak merenung,
memandang ke arah bulan, seakan-akan mengharap akan
terjadi keajaiban dari sana. Para ponggawa sudah
mengenal kebiasaan gustj mereka dan tidak berani
mengganggu gusti mereka itu dari lamunannya. Ki Kebo
Pandogo yang biasanya turut serta mengawani Kelana
Jayeng Sari, tatkala itu tidak nampak. Kebo Pandogo tidak
menyertai gustinya, karena ia tatkala itu sedang sibuk
menghadapi tetamu, utusan dari Kadiri. Kelana Jayeng
Sari telah menemui utusan itu dan telah pula membaca
surat yang disampaikan oleh Patih Wiranggada
kepadanya. Ia maklum kepada maksud raja Kadiri. Tetapi
Kebo Pandogo mengajukan syarat: apabila raja Metaun
berhasil dikalahkan, raja Kadiri mesti menyerahkan
putrinya, sang Dewi Sekar Taji kepada Kelana Jayeng
Sari. Mendengar nama Dewi Sekar Taji disebut, hati
Kelana Jayeng Sari tawar. Apapula malam telah turun, dan
malam bagaikan siang terang-benderang disinari cahaya
bulan yang bulat penuh bulan purnama. Maka hal-hal
selanjutnya diserahkannya kepada penasihatnya itu akan
dirundingkan lebih jauh dengan sang Patih Wiranggada
yang menjadi kepercayaan Prabu Jayawarsya dari Kadiri.
Ia sendiri keluar dari kemah, sendirian menyusuri malam
yang indah disinari cahaya keemasan yang lembut
menyejukkan..... Berjalan beberapa lama. sampailah ia di
bagian hutan y.ng agak terbuka, sehingga dari sana ia oisa
berpuas-puas menikmati sinar bulan purnama. 3 berd,n
™mbl] mempereiJangkan tangan di depan 224 dadanya,
sedangkan matanya menatar, m-wajah bulan yang indah
itu. P merenungi Entah berapa lama ia berdiri "Hehh!
Begitu sajakah Kelana Jayeng Sari yang termashur gagah
berani dan tak terkalahkan itu'' Merenung memandang
bulan bagaikan orang kasmaran yang mimpi?" Kelana
Jayeng Sari menoleh ke arah suara itu, maka nampak
olehnya sesosok tubuh berdiri tegak bagaikan menantang
menghadap ke arahnya. Ia tak bisa memandang dengan
jelas, siapakah gerangan orang itu, karena dalam bayang-
bayang hutan ia samar sekali. Sedangkan suaranya, ia
terkejut mendengar suara itu.....seolah-olah suara yang
selama ini dinanti-nantikannya! "Siapakah Tuan?" ia balik
bertanya. Sosok tubuh itu tertawa pula mengejek, bergerak
ke arah tempat yang tidak disamari bayang-bayang yang
hitam. Maka kelihatan oleh Kelana Jayeng Sari sekarang,
bahwa menilik pakaiannya, orang yang berdiri di depannya
itu seorang lelaki. Tetapi tatkala ia meneliti dengan telik,
nampaklah bahwa wajah orang itu ditutupi sebuah topeng.
"Akulah orang yang sengaja datang untuk me-
naklukkanmu, supaya engkau jangan sombong. Kngkau
mesti tahu, di dunia ini tidak hanya engkau 225 lelaki'
Tidak hanya engkau yang gagah berani!" Kelana Jayeng
Sari memandang dengan tenang ke arah orang itu.
"Mengapa engkau bertopeng? tanyanya kemudian dengan
suara tetap. "Jangan banyak bertanya, hunus kerismu! Mari
kucoba kepandaianmu mempermainkan keris!" Kelana
Jayeng Sari tertawa. "Lebih baik. pertunjukkan
permainanmu dahulu!" sahutnya. Orang, itu agaknya
merasa terhina dan menjadi murka. Maka dihunusnya
keris, kemudian melompat ke arah Kelana Jayeng Sari,
menikam Tetapi dengan matanya yang terlatih. Kelana
Jayeng Sari melihat, bahwa orang itu menusuknya tidak
dengan sungguh-sungguh, kelihatan bahwa ia ragu-ragu.
Kelana Jayeng Sari jadi heran dan bertanya-tanya dalam
hati. 'Siapakah gerangan orang itu?* Ia mengegoskan
tubuhnya dari tikaman, lalu mencoba memukul pergelangan
tangan orang yang memegang keris itu, agar kerisnya
terjatuh. Namun orang itu sungguh-sungguh tangkas, sebat
sekali ia mengilir, sehingga tangannya tak menjadi kurban
pukulan Kelana JayenE Sari yang anginnya berkesiur.
Karena tikamannya meleset, ia mengulangi lagi. Tetapi
kembali Kelana Jayeng ^an jnehhat, bahwa orang itu
menjadi ragu-ragu tatkala kerisnya sudah menuju bagian
tubuh yang berbahaya, dan dibelokkan ke arah bagian
yang 22u tidak begitu berbahaya. Kelana Jayeng Sari m*»
coba menangkap tangan orang itu tetani nrLJ l' pun tidak
manda saja membiarkan dKj d £\Z oleh musuhnya. Atas
kesigapan dan ketangS orang itu, Kelana Javenc Sari m-
™,... i ayeng Sari merasa kaeum •Siapakah orang itu yang
begitu tangkas?' tanyanya dalam hati. Maka ia pun makin
mempertajam matanya akan meneliti orang itu. Ia ingin
membuka topeng orang itu dan tak terlintas dalam
pikirannya untuk mencelakakannya. Sementara itu orang
yang bertopeng telah menyerangnya pula bertubi-tubi,
gencar dan sangat sebat sekali. Kelana Jayeng Sari
dengan tak kurang tangkas, berkelit dari setiap tikaman.
Sehingga orang yang bertopeng menyerang secara sia-sia
saja. Tetapi Kelana Jayeng Sari pun tidak bisa berbuat
leluasa. Ia ingin menangkap dan memaksa orang
bertopeng itu melepaskan kerisnya, tetapi sebegitu jauh
usahanya tidak berhasil. Demikianlah beberapa lama
keduanya berkelahi dengan seru, memperlihatkan
ketangkasan dan kesehatannya masing-masing. Dalam
berkelahi itu Kelana Jayeng Sari tak henti-hentinya merasa
kagum atas ketangkasan dan kesehatan orang bertopeng
yang tak dikenal itu. Keringat telah membasahi tubuh
mereka, tetapi keduanya masih tangguh bagaikan gunung.
Mereka berkelahi di tempat terbuka, tetapi jauh dari
perkemahan, sehingga tak diketahui orang lain. 227 Nafas
mereka sudah mulai memburu, tetapi tak ada tanda-tanda
bahwa perkelahian itu akan segera berakhir. ¦ Kelana
Jayeng Sari tiba-tiba meloncat, keluar dari kalangan,
sambil berteriak, "Tunggu dulu orang asing! Tunggu dulu!
Berkelahi dengan mempergunakan topeng tidak leluasa!
Bukalah topengmu, supaya bebas kita berkelahi!" "Kau
ngaco-belo apa?" hardik orang itu. "Apa bedanya
berkelahi dengan topeng atau tidak?" Kelana Jayeng San
tak sempat berkata-kata pula, karena serangan telah
menyusul. Ia segera berkelit. Sekali lagi, usahanya untuk
menangkap tangan musuhnya tak terlaksana. 'Sungguh
bukan orang sembarangan* katanya dalam hati. 'Jarang
orang yang mempunyai kepandaian seperti ini. Tetapi
masih aku tidak mengenalnya! Siapakah dia gerangan?*
Tetapi ia tidak juga mengetahuinya, apapula karena
gencarnya serangan yang mengarahnya secara bertubi-
tubi. 'Ia kelihatannya masih muda.....¦ pikirnya kemudian.
'Tetapi kulitnya halus benar!* Sekali, waktu tikamannya tak
mengena, orang bertopeng itu tak sempat menghindarkan
tangannya dan sabetan tangan Kelana Jayeng Sari yang
mengarah pergelangan. "Upas!" teriak Kelana Jayeng
Sari. '*a-tiba orang bertopeng itu merasa tangannya 228
terpukul dan semutan, sehingga keris yang dipegangnya itu
pun terlepas......... 8 pe "Jawab: siapakah engkau?" Kelana
Jayene Sari bertanya. 6 Orang yang bertopeng itu tidak
menyahut Ia dengan sigap memungut kerisnya yang jatuh'
Kelana Jayeng Sari kagum akan kesigapannya itu Keris
yang terlempar itu segera kembali dipegang oleh tangan
kiri orang bertopeng. Tetapi setelah ia menjemput keris,
orang bertopeng itu tidak kembali menyerangnya,
melainkan lari ke hutan yangg gelap. "Kelana Jayeng Sari!
Tak kecewa kau disebut orang gagah! Namamu bukan
nama kosong belaka!" "Terima kasih atas pujian. Tuan.
Tetapi siapakah Tuan sebenarnya?" Kelana Jayeng Sari
balik betanya. Tetapi orang bertopeng itu tak kedengaran
menyahut. Ia hanya tertawa di jauhan, dan tertawanya yang
keras berderai itu makin lama makin menjauh sampai
akhirnya ia hilang dalam kelengangan hutan. Kelana
Jayeng Sari merasa sangat penasaran. Suara orang itu
dan deraian tertawanya sungguh sama dengan suara
orang yang selama ini dimimpi-mimpikannya: suara
istrinya yang telah lenyap terbang ke bulan. Ia memandang
ke arah bulan yang ketika itu telah mulai condong ke arah
barat. ">?9 Tak terasa lagi. ia rupanya telah bergadang
hampir semalaman. Tatkala ia menganggap bahwa orang
bertopeng itu takkan muncul kembali, maka ia pun kembali
ke kemahnya. Di sana didapatinya penasihatnya Kebo
Pandogo belum tidur, tetapi Kelana Jayeng Sari tidak
bernapsu hendak berbicara, maka dibaringkannya
tubuhnya di atas ranjang ketidurannya. Demikianlah
peristiwa perkelahiannya malam itu dengan musuh tak
dikenal, tak pernah dia ceritakan kepada orang lain.
Meskipun ia sendiri tak habis-habisnya heran, memikirkan
siapakah gerangan musuh yang telah berkelahi dengan
memakai topeng itu............ PRABU GAJAH ANGUN-
ANGUN Bingung juga sang Prabu Jayawarsya tatkala
mendengar sembah Patih Wiranggada tentang permintaan
yang diajukan pihak Kelana Jayeng Sari sebagai syarat.
Dewi Sekar Taji, putri mahkota Kadiri, diminta sebagai
tanda terima kasih apabila Kelana Jayeng Sari berhasil
memukul mundur balatentara Metaun! Kelana Jayeng Sari,
meski termashur gagah serta perwira, namun orang yang
tak ketahuan asal-muasalnya. Dalam pada itu. Dewi Sekar
Taji pun masih terikat oleh pertunangan dengan Raden
Panji Kuda Waneng Pati dari Janggala. Memang baginda
mengetahui juga, bahwa Raden Panji telah lenyap tak
ketahuan hidup-matinya, namun kepastian ia sudah tak
ada lagi di dunia ini, juga tak ada. Masih mungkin kelak
sewaktu-waktu akan muncul Raden Panji Kuda Waneng
Pati dan ia mungkin akan menuntut tunangannya. Lama
juga baginda termenung-menung, memikirkan syarat yang
diajukan oleh pihak Kelana Jayeng 231 Sari itu. Tetapi
keadaan tidak memungkinkan baginda berpikir terus.
Keadaan sangat mendesak. Berita tentang makin majunya
tentara Metaun menuju Kadiri datang saJing susul-
menyusul. Agaknya pihak Metaun sudah juga mencium
berita baginda meminta tolong kepada Kelana Jayeng
Sari. Sambil berjalan ke arah timur, tentara Metaun itu
melakukan perampokan dan pembakaran di sepanjang
jalan. Para penduduk mengungsi dengan ketakutan dan
ratap an-ratap an yang mengharukan kalbu. Baginda cepat
mengambil keputusan. Baginda menerima syarat yang
diajukan pihak Kelana Jayeng Sari, tetapi meminta supaya
Kelana Jayeng Sari segera datang di ibu kota bersama
pasukannya. Patih Wiranggada segera pulang kembali
akan mengabarkan hal itu. Dan keesokan harinya Kelana
Jayeng Sari sudah akan masuk ke ibukota. Seluruh ibukota
sejak pagi sudah dititahkan berhias, akan menyambut
pahlawan mereka dari Sebrang itu. Tatkala hari sudah
lewat tengah hari, bala bantuan yang diharap-harapkan pun
datang. Kelana Jayeng Sari dengan gagah duduk di atas
kudanya, memandang tak peduli kepada segala keriahan
yang diselenggarakan untuk menyambutnya itu. Kelana
Jayeng Sari diterima baginda dengan gembira, kemudian
ditempatkan di puri Tambaknya yang dihiasi seindah-
indahnya. Dia menempa ta^ S"** ba* dan Penasihatnya
yang ^a itu, Kebo Pandogo'mendapat bilik yang tak
berjauhan. Para ponggawa dan pasukan uKelana Jayeng
Sari telah bertemu dengan ba-ginda dan bercakap-cakap
juga beberapa lamanya kemudian ia meminta diri akan
kembali ke purinya. Malam itu Kebo Pandogo berniat
hendak mempersembahkan pakaian yang indah-indah
buat Dewi Sekar Taji. la sudah mempersiapkan
persembahan itu sejak beberapa lama. berupa pakaian
sutra yang halus-halus dan intan permata yang
gemerlapan, emas urai, mutiara dan sebagainya. Kelana
Jayeng Sari tidak ambil peduli akan maksud penasihatnya
itu. Tetapi ia sendiri tidak hendak pergi ke istana. "Tak
usahlah Gusti turut serta," kata Kebo Pandogo. "Biarlah
semuanya hamba urus. Lagi-pula Gusti mesti beristirahat
karena bukankah besok kita akan bertempur dengan
tentara Metaun?" Tetapi Kelana Jayeng Sari tidak mau
tidur, la berjalan-jalan di taman yang sangat indah,
menikmati udara malam yang sejuk. Kebo Pandogo
diterima baginda dengan hormat, dan tatkala mendengar
maksud kedatangannya, baginda menitahkan supaya Dewi
Sekar Taji datang menghadap. . T •= Tatkala Kebo
Pandogo melihat Dewi Sekar Taji, ia terkesiap. 233
'Sungguh serupa benar!' katanya dalam hati Tak sia-sia
usahaku selama ini! Kalau Kelana Jayeng Sari melihat
Dewi Sekar Taji ini, tentu ja lupa akan istrinya. Dan niscaya
ia percaya kepada perkataanku, bahwa istrinya benar-
benar kembali turun ke dunia!" Waktu ia kembali ke puri,
didapatinya gustinya belum lagi beradu. Maka ia pun
mempersembahkan pengalamannya bertemu dengan
Dewi Sekar Taji. "Kalau Gusti bertemu dengan putri dari
Kadiri itu, Gusti tentu akan kagum, karena ia sungguh-
sungguh seorang yang sangat jelita!" akhirnya ia bilang.
Kelana Jayeng Sari menghela nafas. "Tetapi mungkinkah
ia secantik istriku Candra Kirana?" tanyanya dengan tak
bernafsu. "Tak ada orang yang secantik dia! Takkan ada!"
Kebo Pandogo tersenyum-senyum. 'Kelak akan Gusti lihat .
" katanya. "Dewi Sekar Taji memang sama cantiknya
dengan Dewi Anggraeni..." Mendengar nama itu disebut
orang, Kelana Jayeng San menjadi berduka dan ia tak
hendak bercakap-cakap pula. Kenang-kenangan akan
istri-hi!J >Z ,U3!nya bcncdih' »»«ngkan malam itu £ ath n
ndUan hatinya den*a" memandang searah pUrnama yang
bercahaya lembut. Keesokan harinya pagi-pagi benar ia
sudah ber siap, karena han itu ia akan bertemnur ,1 „ja
Metaun. Para Ponggawanya"udTpu siap, suaranya hiruk-
pikuk, genderang peperaT an telah dipalu, berdebam-
debam bunyinya Waktu Kelana Jayeng Sari sudah naik ke
atas kudanya, hendak berangkat, tiba-tiba datang berlari-
lari seorang putri yang berkata kepadanya, "Kelana Jayeng
Sari! Perkenankanlah aku turut berperang di sisi Tuan!"
Kelana Jayeng Sari menolehkan mukanya dan
memandang dengan mata terbelalak kepada putri yang
mendatanginya itu. "Istriku yang tercinta, sungguh-
sungguhkah engkau kembali?" sambutnya. "Tuan khilaf,
Kelana Jayeng Sari!" sahut putri itu yang bukan lain
daripada Dewi Sekar Taji putri mahkota Kadiri, "Hamba
belum lagi menjadi istri Tuan!" Tetapi Kelana Jayeng Sari
tak syak lagi: parasnya, tubuhnya, suaranya, gerak-
geriknya, ah, semuanya sama benar dengan istrinya.
"Candra Kirana! Masihkah Adinda akan mempermainkan
Kakanda?" tanyanya dengan suara lembut. ... -Hl "Candra
Kirana? Siapakah Candra Kelana Jayeng Sari?" sahut
putri Sekar Taji. Na; ma hamba bukan Candra Kirana,
melainkan ue 23$ Sekar Taji, putri Kadiri!" Kelana Jayeng
Sari tertegun. Dewi Sekar Taji! Inilah putri yang telah
dipertunangkan dengan dia sejak masih kanak-kanak!
Baru sekali ini ia melihatnya! Dan putri itu bagaikan pinang
dibelah dua dengan istrinya yang terbang ke arah bulan!
Alangkah sama! Segalanya! Ia memandang tajam-tajam
ke arah putri itu, meneliti dengan mata terpukau. Beberapa
jenak ia tak kuasa melahirkan kata-kata. Lidahnya menjadi
kelu. "Hamba hendak turut serta dengan Tuan memerangi
raja Gajah Angun-angun yang angkuh itu!" kata putri Sekar
Taji pula. Kelana Jayeng Sari cepat menguasai dirinya
pula. 'Tetapi putri jelita, sayangilah kecantikanmu itu!
Jangan turut ke medan perang!" sahutnya. "Hamba
memang seorang wanita, tetapi hamba bukan seorang
pengecut!" kata Dewi Sekar Taji pula. "Orang-orang
menyebut hamba putri yang gagah berani dan hamba
memang mahir mempermainkan pelbagai alat senjata,
Tuan pun tahu!" "Kita baru sekali ini bertemu, mana
mungkin hamba tahu tentang diri Tuan Putri!" Putri Sekar
Taji tertawa. "Mata Tuan sungguh buta! Tuan benar-benar
seorang pemimpi yang kerjanya melamun menggadang»
cahaya bulan!" katanya seperti mengejek. 236 Mendengar
perkataan itu Kelana jtv.„0 i terkejut. Begitu pula ia diejek
orang l?«0^ yang penuh rahasia itu tempo hari. iJjSS orang
yang bertopeng itu Dewi Sekar Taji L? Ia memandang
tajam-tajam kepada putri yang ada di depannya itu. Tak
syak lagi! Suara itu pula yang dia dengar malam itu. Dan
oleh hidungnya yang tajam, tercium pula wangi yang malam
itu juga dia cium. "Tak hamba sangka di Kadiri ada putri
perwira!" katanya kemudian sambil tertawa. "Sungguh
mataku buta, pendengaranku cupet!" Dewi Sekar Taji
tertawa pula. "Jadi Tuan perkenankan hamba turut serta ke
medan pertempuran?" Kelana Jayeng Sari tertawa.
"Hamba mempunyai seekor gajah putih ..." kata Dewi
Sekar Taji pula. "Ia seekor binatang peperangan yang
terlatih. Biarlah ia kutunggangi untuk menyaksikan
pertarungan Tuan dengan Raja Metaun!" Prabu
Jayawarsya tidak berhasil melarang putrinda turut ke
medan laga. Maka ia hanya berpesan kepada Kelana
Jayeng Sari supaya hati-hati menjaganya, agar jangan
sampai mendapat celaka. . "Sang Dewi seorang gagah
perwira. Kelana Jayeng Sari berkelakar. Tetapi
iamenyang237 gupijuga pesan baginda. Maka Kelana
Jayeng Sari bersama wadia-balanya pun berangkat ke
arah barat. Sang Dewi Sekar Taji duduk di atas gajah
putihnya yang anggun dan tangkas itu. Gajah Angun-angun
beserta bala tentaranya bergerak ke arah timur, berbuat
semena-mena melampiaskan amarahnya. Para pendudujc
yang tidak berdosa dianiaya serta disiksa. Rumah-rumah
dibakar, harta kekayaan diranjah dan dirampas, wanita-
wanita diperkosa. Tatkala kedua tentara itu bertemu, maka
perang campuh pecah. Suara senjata yang berlaga
berdencing-dencing, diselang oleh teriakan-teriakan
kesakitan yang mengerikan hati. Darah mengalir
membasahi tanah dan suara kuda yang mabuk darah atau
luka menyebabkan langit dan bumi gemetar. Bala tentara
Metaun sudah lelah, karena menganiaya dan menyiksa
penduduk, lagipula tak terkuasai lagi oleh orang atasannya,
sehingga bertempur cerai-berai, merugikan pihaknya.
Sebaliknya wadia-bala Kelana Jayeng Sari yang telah
terlatih itu, masih segar bugar dan dikendalikan oleh ahli
siasat yang mahir. Menjelang tengah hari, bala tentara
Metaun sudah cerai-berai. Betapapun sang Prabu Gajah
Angun-angun berteriak murka menitahkan bala tentaranya
supaya jangan lari, namun sia-sia saja. Lagipula beberapa
raja yang semula berpihak kepadanya tatkala melihat
gelagat tidak 238 baik. segera berbalik senjata atau
menitahkan n pengikutnya menghindarkan diri MeSa^P *
S*, hati karena dengan «1^« terlepas dan raja yang kejam
itu. Di aus gajahnya yang didandani secara mewah Prabu
Gajah Angun-angun tak henti-hentinya berteriak,
menganjurkan supaya maju menerjang anak buah Kelana
Jayeng Sari. Panah yang menghujaninya dengan tangkas
selalu dapat ditangkis-nya. Kelana Jayeng Sari dengan
perkasa, berdampingan dengan Dewi Sekar Taji maju ke
arah barat. Kelana Jayeng Sari di atas kuda, sang putri di
atas gajah. Sedangkan tangan keduanya tak berhenti-henti
memain. Kelana Jayeng Sari mempergunakan tombak.
Setiap gerakan tangannya, menyebabkan tentara musuh
rubuh. Mereka tak mampu menghindari tusukan tombak
yang matanya bagaikan bisa melihat itu. Yang selamat,
timbul takutnya, lalu terbirit-birit melarikan diri. Gajah yang
ditunggangi oleh Dewi Sekar Taji sudah biasa di medan
perang, menyebabkan musuh yang kurang waspada
kehilangan nyawanya, hancur dibanting oleh belalai atau
luluh lantak diinjak oleh kakinya yang besar-besar itu.
Panah Dewi Sekar Taji pun sangat berbahaya, senantiasa
meminta kurban nyawa. Segera Prabu Gajah Angun-angun
melihat musuhnya. Murkanya pun membakar wajahnya 239
"Kelana Jayeng Sari!" ia berteriak menantang "Kau kira
medan perang ini tempat apa? Kalau kau benar berani,
tinggalkanlah perempuan itu, mari kita bertarung mencoba
kekebalan kulit masing-masing." Kelana Jayeng Sari
tertawa mengejek. "Prabu Gajah Angun-angun, jangan
banyak bicara, harimu yang terakhir sudah tiba! Lihatlah
sinar matahari sepuas-puasmu. karena besok ia takkan
kaulihat pula!" Prabu Gajah Angun-angun bertambah
murka. Maka diarahkannya gajahnya ke dekat Kelana
Jayeng Sari, sehingga keduanya berhadapan. "Kelana
Jayeng Sari! Kalau engkau benar perkasa, kautangkis
tombakku si Pantang Kalah ini" teriaknya sambil
menusukkan tombaknya. Tetapi Kelana Jayeng Sari
dengan mudah saja menangkisnya, sehingga murka Prabu
Gajah Angun-angun makin menjadi. Bertubi-tubi ia
menusuk dan mengarah tubuh musuhnya, tetapi dengan
tamengnya Kelana Jayeng Sari selalu menangkis. "Mana
permainan tombakmu yang kesohor itu?" ejek Kelana
Jayeng Sari sambil tertawa. Hanya itu sajakah?1' Prabu
Gajah Angun-angun meloncat dari gajah-ny a. "Kelana
Jayeng Sari, tunrn ke mari! Mari kita berkelah. dengan
keris di atas tanah'" Hanya sekejap Kelana Jayeng Sari
sudah berada 240 di hadapannya... -Apa maumu akan
selalu kulayani'" sah Belum lagi perkataannya habis
diucapkan"mS kens telah menyambar akan menusuk
lambung? Tetapi ia sungguh gesit, tusukan itu bi» dihindari
nya dengan mudah. Sebaliknya Prabu Gajah Angun-angun
hampir-hampir ngusruk lantaran kehilangan keseimbangan
tubuh. Ia menusuk dengan sepenuh tenaga, tak tahunya
musuh mengegoskan diri. "Hunus kerismu!" teriaknya
dengan murka. "Tak usah terburu-buru benar ..." sahut
Kelana Jayeng Sari. "Bukankah engkau masih ingin
melihat sinar matahari?" Ejekan-ejekan Kelana Jayeng
Sari yang menghina itu menyebabkan Prabu Gajah Angun-
angun makin murka. Ia sudah tak bisa menguasai
amarahnya lagi. Ia menusuk dengan kalap kepada
musuhnya, tetapi dengan demikian musuhnya pun jadi lebih
gampang menyelamatkan diri. Demikianlah kedua
pahlawan itu berkelahi beberapa lamanya, ditonton dengan
asyik oleh Dewi Sekar Taji yang tersenyum-senyum saja. la
yakin akan kepandaian Kelana Jayeng Sari yang
diketahuinya sangat mahir dan ahli mempermainkan
keris____ Dalam pada itu pertempuran sudah mendekati
akhirnya. 241 Kelana Jayeng Sari sudah menghunus
kerisnya yang konon sangat sakti dan bertuah benar itu. Ja
tidak membuta seperti musuhnya menusuk-nusukkan keris,
tetapi menanti saat yang tepat. Matanya yang tajam
mengawasi musuhnya dengan teliti. Ia pun mesti
menghindarkan diri dari setiap tusukan Prabu Gajah
Angun-angun. Tidak berapa lama. ia melihat satu
lowongan. Tatkala keris Prabu Gajah Angun-angun
mengarah dadanya sebelah kiri, ia sengaja bertindak ayal,
sehingga menggembirakan musuhnya itu. Ia yakin sekali ini
Kelana Jayeng Sari tak nanti mampu menghindarkan
dirinya dari tusukan kerisnya. "Rubuhlah!" teriak Prabu
Gajah Angun-angun. Dan benar-benarlah: tubuh yang besar
kekar itu rubuh, karena tangan kanan Kelana Jayeng Sari
yang memegang keris itu telah mendahului masuk ke
bawah ketiaknya, sedangkan mata kerisnya masuk ke
dalam dada. Darah mengucur, keris terlepas dari tangan
Prabu Gajah Angun-angun. Kelana Jayeng Sari berdiri
sambil bernafas lega. Ia membersihkan kerisnya dari
darah yang merah membasahinya. "Sungguh
mengagumkan!" terdengar pujian dan atas gajah. Itulah
suara Dewi Sekar Taji yang «jak tadi menyaksikan
pertarungan mati-matian kedua orang itu. Karena raja
mereka rubuh, maka bubar tak 242 keruanlah tentara
Metaun. Yang tak sempat melarikan diri, tertangkap, lalu
dibelenggu oleh bala tentara Kelana Jayeng Sari. Mereka
memohon ampun, mau menyelamatkan selembar
nyawanya. Kelana Jayeng Sari menitahkan agar mayat
Prabu Gajah Angun-angun dan para tawanan dibawa ke
Kadiri akan menjadi bukti kemenangannya. 243 RAHASIA
TERBUKA Seluruh Kadiri mengelu-elukan Kelana Jayeng
Sari yang telah menjadi pahlawan mereka memukul
mundur tentara Metaun dan membunuh Prabu Gajah
Angun-angun yang kejam. Prabu Jayawarsya menyabut
kedatangan Kelana Jayeng Sari bersama pasukannya itu
sampai di luar kota Kadiri. Waktu sang pahlawan turun dari
gajah akan menghaturkan sembah kepada baginda,
terdengar sorak gempita yang membelah udara. "Hidup
Kelana Jayeng Sari! Hidup pahlawan Kadiri!" Kemudian
mereka bersama-sama masuk ke dalam istana. Prabu
Jayawarsya nampak terharu. Ia memandang berganti-ganti
kepada Kelana Jayeng Sari dan putrinda Dewi Sekar Taji,
lalu menundukkan kepalanya, seperti memikirkan sesuatu
hal yang mengganggu kalbunya. Para prajurit Kelana
Jayeng Sari dijamu dan dihibur dengan berbagai
pertunjukan. Maka hilang244 lenyap capai lelah mereka,
karena terhibur oleh berbagai hal yang menyukakan hati.
Sementara itu di istana, baginda beserta beberapa orang
pejabat penting juga sedang menjamu Kelana Jayeng Sari
bersama Kebo Pandogo. Baginda memuji kepahlawanan
sang Kelana dan bersukur karena ancaman bahaya
terhadap Kadiri sudah bisa dihindari. Tatkala pembicaraan
sampai pada soal pernikahan Kelana Jayeng Sari dengan
Dewi Sekar Taji seperti yang telah dijanjikan, baginda
menghela nafas panjang. "Jodoh memang ditentukan oleh
para dewa . . . " sabdanya kemudian. "Manusia tak bisa
berbuat sesuatu apa, apabila Dewata raya tidak
memperkenankannya ..." Orang-orang termenung demi
mendengar sabda baginda yang diucapkan dengan suara
yang murung sedih itu, diam termenung, tak ada yang
berani memotong kalimat. Suasana yang penuh gelak
tertawa berubah menjadi sungguh-sungguh. "Umpamanya
Dewi Sekar Taji ..." baginda melanjutkan perkataannya
pula. "Sejak masih kanak-kanak ia telah dipertunangkan
dengan Raden Panji Kuda Waneng Pati, putra mahkota
Janggala. Apa mau pihak Janggala tidak menepati janji -
atau lebih tepat: Dewata menghendaki yang lain. Raden
Panji konon nikah di luar perke 245 nan ayahanda dengan
seorang bukan keturunan raja dan menolak untuk menikah
dengan anakku Sekar Taji ..." wajah baginda muram,
suaranya pun makin menjadi guram. "Dan kemudian
Raden Panji konon tenggelam di lautan selagi berlayar-
layar dengan istrinya yang sudah meninggal . . . Tetapi ada
pula yang mengatakan, bahwa Raden Panji masih hidup,
hanya sebegitu jauh sampai sekarang belum kelihatan
muncul. Sang Prabu Jayantaka sudah mengundurkan diri,
kini telah digantikan oleh Prabu Braja Nata, putra baginda.
Hebat adalah bagi kami, karena Prabu Braja Nata
bersikeras mengatakan bahwa saudaranya. Raden Panji
Kuda Waneng Pati masih hidup, karena itu
pertunangannya dengan Dewi Sekar Taji tidak dibatalkan!
Tetapi bertahun-tahun telah lampau, kabar mengenai
Raden Panji tak juga sampai. Lagipula bukti bahwa Raden
Panji masih hidup tak ada yang layak dipercaya . . . Prabu
Braja Nata tak percaya saudaranya itu telah meninggal,
karena mereka tidak berhasil menemukan mayatnya. Ya,
bagaimana pula mencari mayat di dalam lautan yang
dalam dan luas tak terkira?" baginda berhenti sejenak,
suasana hening. "Karena itu, menurut pendapat kami,
adalah anakku Kelana Jayeng Sari yang telah ditentukan
oleh Dewata untuk menjadi jodoh Dewi Sekar Taji -
anakku. Sesuai dengan perjanjian kita, kami merasa tidak
keberatan menikahkan anakku Dewi Sekar Taji 246
dengan anakku Kelana Jayeng Sari. Persiapan untuk itu
akan segera disediakan ..." Hampir Kelana Jayeng Sari
tak kuasa menahan dirinya, akan sujud di depan baginda
dan menjelaskan bahwa Raden Panji Kuda Waneng Pati
yang dikabarkan tenggelam di lautan itu, adalah dia sendiri
adanya. Hampir ia tak kuat menahan keinginan untuk
mengatakan bahwa Raden Panji Kuda Waneng Pati dan
Kelana Jayeng Sari itu orangnya satu. Untung saja
penasihatnya yang bijaksana, Ki Kebo Pandogo, menekan
tangannya, sehingga sadar ia akan dirinya yang sedang
menyamar. Maka pembicaraan pun dilanjutkan tentang
pernikahan yang akan segera dilangsungkan. Beberapa
orang senapati mengutarakan kekuatirannya kalau-kalau
pihak Janggala menjadi marah dan menyerang Kadiri.
Tetapi mengapa pula mesti takut? Bukankah Kelana
Jayeng Sari yang gagah perwira dan sakti itu akan
sanggup memukul mundur serbuan Janggala? Maka
mengenai hal itu orang tidak berani menyinggung-
nyinggungnya pula. Pernikahan ditetapkan akan
dilangsungkan enam minggu lagi. Selama itu persiapan-
persiapan akan diadakan. Sebuah pesta kerajaan akan
diselenggarakan besar-besaran. Bukankah Dewi Sekar
Taji putri mahkota yang kelak akan memangku takhta
Kadiri? Seluruh kerajaan sibuk bersiap-siap untuk 247
menyambut hari yang akan dirayakan empat puluh hari
empat puluh malam itu. Tetapi waktu yang enam minggu itu
menyebabkan berita tentang pernikahan Dewi Sekar Taji
dengan Kelana Jayeng Sari dari tanah Seberang itu
sampai di Janggala dan Prabu Braja Nata murka besar
tatkala mendengarnya. "Dewi Sekar Taji sudah
dipertunangkan dengan Raden Panji Kuda Waneng Pati!"
katanya dengan geram. "Raden Panji memang hilang,
tetapi ia belum meninggal dan pertunangan antara
keduanya pun belum diputuskan! Nyata pihak Kadiri
hendak menghina kita, Janggala! Hinaan ini tak boleh kita
biarkan saja!" Maka baginda berunding dengan para
pejabat kerajaan yang penting-penting membicarakan
persiapan-persiapan untuk menyerang Kadiri, supaya
pernikahan tunangan putra mahkota Janggala dengan
orang yang berasal dari tanah Sebrang itu jangan sampai
terlaksana. Baginda bertindak cepat, beberapa hari
kemudian berangkatlah tentara Janggala dalam jumlah
yang besar menuju Kadiri. Prabu Braja Nata sendiri
memimpin penyerangan itu. Tetapi Prabu Braja Nata
bertindak hati-hati. Ia tidak langsung menyerang Kadiri.
Tatkala sampai di perbatasan, ia pun mendirikan
perkemah-an. Lalu ditulisnya sepucuk surat yang akan
di248 antarkan oleh Senapati Arya Suralaga kepada sang
baginda Prabu Jayawarsya. Dalam surat itu Prabu Braja
Nata mengingatkan mamanda akan pertunangan putri
mahkota Kadiri dengan putra mahkota Janggala Raden
Panji Kuda Waneng Pati. Pertunangan itu belum pernah
diputuskan, dan meskipun dikabarkan tenggelam ke dasar
lautan, belum tentu Raden Panji sudah meninggal. Hingga
sekarang mayatnya belum diketemukan orang. Karena itu,
Prabu Braja Nata menyatakan keberatannya kalau Dewi
Sekar Taji dinikahkan dengan orang lain, sedangkan
pertunangannya dengan Raden Panji Kuda Waneng Pati
belum diputuskan secara resmi. Ia mengatakan bahwa jika
hal itu dilangsungkan, maka itu berarti penghinaan buat
Janggala dan ia takkan membiarkan diri serta nama baik
kerajaannya terhina. Di perbatasan ia telah siap dengan
bala tentaranya yang besar untuk menyerbu Kadiri, kalau
penghinaan dilangsungkan juga. Pada akhir suratnya,
Prabu Braja Nata menuntut agar pernikahan itu dibatalkan
dan agar Kelana Jayeng Sari datang menyerah kepadanya
untuk menerima hukuman penggal. Orang yang konon
berasal dari tanah Sebrang itu dianggap telah dengan
sengaja menghina kerajaan Janggala. Tetapi sebelum
Senapati Arya Suralaga sampai di hadapan Prabu
Jayawarsya akan mempersem249 hahkan surat Prabu
Braja Nata. berita tentang kedatangan tentara Janggala di
perbatasan Kadiri. telah meniup-niup di seluruh negen.
Setiap orang membicarakannya. Setiap orang berkuatir.
Dan kekuatiran itu mempengaruhi persiapan pesta
kerajaan untuk pernikahan putri mahkota mereka. Dan
tatkala Prabu Jayawarsya menerima utusan Prabu Braja
Nata, hatinya goncang. Sebelum ia membuka surat yang
dipersembahkan orang kepadanya, untuk sebagian besar
baginda telah maklum akan isinya. Perang! Perang
dengan Kadiri! Tidak, bencana itu tak mungkin dihindari
lagi! Tuntutan Prabu Braja Nata sangat mustahil: Kelana
Jayeng Sari mana mungkin bersedia untuk menyerahkan
kepalanya kepada pihak Janggala! Sebaliknya ia pun
takkan mungkin meminta Kelana Jayeng Sari untuk
membatalkan pernikahannya dengan Dewi Sekar Taji! Itu
akan menyebabkan pahlawan dari tanah Sebrang itu
merasa terhina dan murka pula! Memang, ia boleh tidak
usah menaruh kuatir, karena Kelana Jayeng Sari dengan
bala tentaranya tentu akan menghadapi serangan dari
Janggala. Namun jika hal itu terjadi, maka perhubungannya
dengan Janggala akan buruk untuk selama-lamanya.
Sedangkan Janggala dengan Kadiri berasal dari satu
keturunan, dari satu kerajaan jua . . . Maka terkenang pula
baginda akan cita-citanya semasa muda, bersama-sama
dengan saudara 250 sebuyutnya Prabu Jayantaka, untuk
Dersama-sama mewujudkan kembali apa yang dahulu
dengan susah payah telah dipersatukan oleh moyang
mereka Sang Airlangga: persatuan Kadiri dengan
Janggala! Sungguh suatu cita-cita yang indah! Sungguh tak
baginda kira, cita-cita yang mulia itu akan berakhir seperti
ini. Jangankan persatuan, bahkan perpecahan selama-
lamanya mengancam perhubungan kedua kerajaan itu!
Baginda menghela nafas. Kepada Senapati Arya Suralaga
baginda meminta tempo untuk merundingkannya dahulu
dengan para tetua negara dan sementara menunggu
keputusan itu, utusan Prabu Braja Nata dipersilakan
beristirahat di sebuah pesanggrahan yang sangat resik.
Tetapi para tetua serta pejabat negara pun tidak mampu
menghasilkan saran yang merupakan jalan keluar.
Mahapatih Kebo Rerangin yang terkenal bijaksana itu,
merenung, berpikir keras dan kata-katanya tidak
memberikan cahaya harapan. "Akhir-akhirnya segala-
galanya terserah kepada Gusti Kelana Jayeng Sari jua . . .
" demikian katanya. "Hanya ia dalam hal ini yang mungkin
memberi keputusan. Kalau ia menghendaki perang, maka
perang pun takkan mungkin dihindari . . . Kecuali kalau ia
bersedia memenuhi tuntutan Prabu Braja Nata itu ... "
"Tetapi sudikah ia menyerah?" tanya baginda. "Itulah yang
tak bisa kita jawab. Karena itu 251 hanya ia sendiri yang
mungkin memberi keputusan ....1 "Tak ada jalan lain kalau
begitu: kita mesti merundingkan hal ini dengan dia!
Baiklah, Senapati Wirapati, silakan Kelana Jayeng Sari
datang ke mari!" sabda baginda. Sementara itu Dewi
Sekar Taji, yang juga mendengar berita tentang masuknya
tentara Janggala ke perbatasan, bermuram durja. Ia
nampak mere-nung-renung dan melamun, sehingga
menimbulkan heran Kelana Jayeng Sari yang sedang
mengunjunginya. "Apakah yang Adinda pikirkan?"
tanyanya. Dewi Sekar Taji memandang kepada bakal
suaminya itu dengan mata redup. "Hamba kuatir, karena
hamba dengar wadia-bala Janggala telah sampai di
perbatasan akan menyerang Kadiri," sahutnya dengan
suara guram. 'Tentu gara-gara pihak Janggala mendengar
tentang akan dilangsungkannya pernikahan kita ..." Kelana
Jayeng Sari tersenyum dan wajahnya cerah, seperti ia
tidak mengetahui apa-apa dan sambil tersenyum jua ia
bertanya, "Jadi menyesalkah Adinda akan pernikahan
kita?" Dewi Sekar Taji memandang dengan tajam.
"Jangan Kakanda berbicara seperti itu! Hamba tidak
menyesal karena telah mendapat jodoh Kakanda, malah ...
bangga!" "Tetapi agaknya Adinda mengharap-harap jua
252 Raden Panji, tunangan Adinda sejak masih kanak-
kanak itu . . . " kata Kelana Jayeng Sari sambil tersenyum
jua. "Tidak!" sahut Dewi Sekar Taji cepat. "Tidak
demikian! Hamba dengan Raden Panji belum pernah
bersua. Atau kalau pun pernah bersua, tentu tatkala kami
masih kanak-kanak. Kami tak ingat lagi. Lagipula Raden
Panji hamba dengar sudah menikah dengan orang lain dan
ia sangat mencintai istrinya itu, sehingga..." "Jadi apa yang
Adinda rusuhkan?" potong Kelana Jayeng Sari seakan-
akan ia tak mau mendengar kekasihnya itu menghabiskan
kalimat. Dewi Sekar Taji menghela nafas sambil
mengarahkan pandangannya ke kejauhan. Ia nampak
berfikir keras. "Yang hamba jadikan pikiran," akhirnya ia
menyahut, "adalah bencana yang bakal dialami oleh rakyat
Kadiri..." "Bencana apa?" "Kalau bala tentara Janggala
masuk, tentu peranglah yang akan terjadi dan tentu rakyat
Kadiri akan hancur menderita karenanya ..." sahutnya
dengan suara murung. "Ragu-ragukah Adinda akan
kegagahan serta keperwiraan para ponggawa Kelana
Jayeng Sari'1" Dewi Sekar Taji menggleng-gelengkan
kepala. "Tidak! Sedikit pun Dinda tidak ragu. Hamba telah
menyaksikan mereka bertempur tatkala 253 menghadapi
tentara Metaun dan hamba percaya, mereka di bawah
pimpinan gustinya yang perwira akan mencapai
kemenangan di setiap peperangan . . " mengucapkan yang
terakhir ia tersenyum sambil mengerling manja kepada
tunangannya. Kelana Jayeng Sari tersenyum. "Jadi apa
yang Adinda kuatirkan?" kemudian ia bertanya. "Apabila
terjadi perang dengan Janggala, tentu akan banyak orang
yang mati atau sekurang-kurangnya mendapat celaka,
menderita berbagai kesengsaraan. Wanita-wanita akan
banyak yang kehilangan suami, anak-anak banyak yang
akan kehilangan ayah dan ibu-ibu banyak yang akan
kehilangan anak lelaki mereka yang menjadi tiang
kehidupannya ... Waktu berperang dengan Metaun tempo
hari, hamba menyaksikan hal-hal yang mengerikan dan
menyedihkan itu. Dan diam-diam hamba berpikir:
Alangkah hebatnya bencana yang dialami dan diderita oleh
manusia lantaran perang! Apakah manfaatnya perang itu?
Apakah artinya perang antara sesama manusia, sesama
saudara? Ya. Kadiri dan Janggala masih berasal dan satu
keturunan . . . Kalau terjadi perang, tak peduli siapa yang
menang ataupun siapa >ang kalah, kedua pihak akan
menderita, akan mengalami bencana. Bencana atas
sesama manu-aa. Dew, Sekar Taji berhenti sebentar dan
karena 254 kekasihnya diam saja menyimakkan
perkataannya, kemudian ia melanjutkan pula, "Dan kalau
hamba bertanya kepada diri hamba sendiri. Apakah
pangkal sebabnya sehingga kedua kerajaan yang berasal
dari satu keturunan itu berperang? Apakah yang mereka
bela? Apakah yang mereka pertahankan? Kanda pun tahu:
hambalah pangkal sebabnya. Hamba! Hambalah yang
akan menyebabkan manusia saling bunuh sesamanya!
Dan kalau pun kelak kita menang, apakah yang akan kita
dapat? Kebahagiaan kita. Barangkali kita akan
berbahagia dalam hidup kita. Tetapi apakah artinya
kebahagiaan kita apabila kita perbandingkan dengan
penderitaan serta kesengsaraan yang dialami oleh
beratus-ratus dan beribu-ribu orang yang mendapat
bencana perang itu? Seimbangkah kebahagiaan kita
dengan kurban yang dimintanya? Ya, apakah artinya
kebahagiaan kita kalau untuk itu kita menyebabkan beribu-
ribu orang lain mendapat bencana dan menderita
kesengsaraan?" Kelana Jayeng Sari mendengarkan
perkataan bakal istrinya itu dengan kagum, la merasa
malu, karena ia sendiri dahulu hanya memikirkan
kebahagiaannya sendiri saja. 'Coba kalau dahulu aku tidak
terlalu menurutkan hatiku sendiri ...' sesalnya dalam hati.
'Kini tentu bulan dan matahari ada dalam genggamanku!
Dan siapakah lagi yang akan lebih berbahagia daripada
orang yang menyandingkan keduanya?' 255 Teringat akan
masa lampaunya, ia menjadi murung dan menyesal. Tetapi
melihat Dewi Sekar Taji yang memandang dengan mata
redupnya ke arah tak berwatas. ia segera berkata, "Kalau
begitu, perang mesti kita hindari .. . Dewi Sekar Taji
menolehkan wajahnya. Kini ia memandang wajah Kelana
Jayeng Sari tajam-tajam, dari matanya terpancar
keheranan. "Apakah maksud Kanda?" "Perang itu akan
kita hindari ..." "Tetapi semudah itukah soalnya?
Sesederhana itukah?" Kelana Jayeng Sari tersenyum.
"Kalau Kanda mengirimkan utusan kepada Prabu Braja
Nata, tentu persoalan akan beres dan apa yang Rayinda
takuti akan terhindar..." Dewi Sekar Taji memandang
dengan heran dan tidak mengerti. Ia hendak bertanya pula.
tetapi tatkala itu datang Senapati Wirapati yang
memangku titah baginda. Kelana Jayeng Sari disilakan
menghadap baginda secepat mungkin "Apakah soalnya
gerangan?" tanya Dewi Sekar Taji. Senapati Wirapati
seperti keberatan menyahut. Maka Kelana Jayeng Sari
menalanginya, menjawab, "Tentu soal Janggala, bukan?"
Senapati Wirapati terkejut. 'Bagaimana ia mungkin
mengetahuinya? Benar-benar orang ini sakti!' pikirnya
dalam hati. Ia hanya mengangguk dan mengiakan saja.
Kelana Jayeng Sari meminta diri dari kekasihnya, lalu
bergegas menuju balairung, diiringkan oleh Senapati
Wirapati. Waktu ia sampai di sana, Ki Kebo Pandogo juga
sudah ada di sana. Maka baginda pun lalu membicarakan
masalah yang membingungkan hatinya itu. Surai yang
diterimanya dari Prabu Braja Nata diberikannya kepada
Kelana Jayeng Sari. Ki Kebo Pandogo tersenyum-senyum
saja, tetapi ia tidak berkata sesuatu apa. Setelah Kelana
Jayeng Sari menelaah surat itu, terdengar baginda
bersabda, "Anakku pun .tahu, bahwa dalam hal ini,
semuanya tergantung kepada Anakku Kelana sendiri . . .
Kami tak bisa berbuat apa-apa . . . Apakah yang hendak
Anakku lakukan?" Kelana Jayeng Sari memandang
kepada baginda, kemudian menghaturkan sembah, "Tak
usah Gusti merisaukan hal itu. Ancaman tentara Janggala
tak usah Gusti kuatirkan ..." "Ya, kami percaya, Anakku
akan dengan mudah mengalahkannya dan memukulnya
mundur sela baginda. 'Tidak!" sela Kelana Jayeng Sari.
"Hamba tidak akan mempergunakan kekuatan senjata .. . "
Semua orang terkejut, kecuali Ki Kebo Pandogo. "Apa
maksud Anakku?" tanya baginda pena257 saran. Kelana
Jayeng Sari tersenyum. "Hamba akan menyerahkan diri
hamba kepada Prabu Braja Nata ..." "Apa?" semua orang
terlonjak dari duduknya. "Anakku akan menyerahkan diri
untuk dipenggal?*' tanya baginda dengan hati kuatir, meski
baginda berpikir, bahwa itulah yang sebaik-baiknya untuk
mencegah permusuhan antara kedua kerajaan yang
berasal dari satu keturunan. "Daulat Gusti," sahut Kelana
Jayeng Sari. "Hamba akan menyerahkan kepala hamba
kepada Prabu Braja Nata .... " "Tetapi . . . bagaimana
dengan prajurit-prajurit Anakku? Tidakkah mereka mampu
menangkis bahkan memukul mundur tentara Janggala?
Apakah Anakku merasa kuatir?" "Samasekali hamba tidak
merasa kuatir," sahut Kelana Jayeng Sari. "Tetapi
bukankah jalan itu yang sebaik-baiknya ditempuh?"
Baginda terperanyak. Perkataan itu mengena benar pada
hati baginda. Darah menyirat memerahi wajah baginda.
Apakah ia tahu apa yang kami kuatirkan?' pikir baginda
dalam hati. 'Sungguh sakti ia!' 66 Melihat baginda
terdesak, mahapatih Kebo Kerangin yang bijaksana itu
segera menghaturkan c .?!gaimana Pun Gusti, Gusti
Kelana Jayeng banlah yang mungkin memberi putusan.
258 Apa juga yang dikehendakinya, kita tak mungkin
berbuat apa-apa ..." Dan dengan demikian ia merasa telah
menolong gustinya dari kesulitan. Maka keputusan diambil.
Kelana Jayeng Sari tidak akan mengadakan perlawanan
terhadap Prabu Braja Nata. Ia malah hendak menyerahkan
diri. Kepada Senapati Arya Suralaga yang menunggu di
pesanggrahannya, segera baginda menyampaikan
keputusan itu. Maka rombongan utusan itu, keesokan
harinya segera pulang membawa keputusan yang
melegakkan hati. Namun tatkala Prabu Braja Nata
menerima berita itu, ia hampir-hampir tidak percaya.
Semudah itukah soal bisa diselesaikan? Mengapa Kelana
Jayeng Sari yang terkenal gagah perwira itu segampang
itu menyerah? la curiga kalau-kalau di balik kesediaan
untuk menyerah itu tersembunyi maksud keji untuk
membokong. Tetapi tatkala ia bertanya dengan lebih teliti
kepada Senapati Arya Suralaga, barangkali mereka diam-
diam mengadakan persiapan perang, utusan yang
bermata tajam itu menyangkalnya. "Persiapan yang hamba
lihat semuanya dipusatkan untuk perayaan pernikahan
belaka," sahutnya. "Hamba tak melihat persiapan-
persiapan bala tentara!" Mau tak mau baginda percaya
akan keterangan itu. karena Senapati Arya Suralaga
seorang yang teliti dan waspada. Hidungnya tajam
mencium 259 bahaya dan tentang hal itu baginda yakin.
"Sungguh aneh»" katanya. Siapakah gerangan Kelana
Jayeng Sari itu sesungguhnya? Mengapa ia berbuat yang
mengherankan sekali? Tetapi tak seorang pun yang bisa
menerangkan hal itu. Maka sehari lamanya baginda dan
para penasihatnya dirundung kebingungan. Mereka lega
karena takkan terjadi perang, tetapi akhir peristiwa
agaknya samasekaii di luar sangkaan semua orang.
Mereka tak habis-habisnya merasa heran. Siang hari
datang seorang pengawal memberitakan kedatangan
tokoh yang mengherankan berbareng membingungkan
mereka itu. Kelana Jayeng Sari nendak menghadap
kepada Prabu Braja Nata, akan menyerah. "Dengan
siapakah ia datang? Banyakkah pengiringnya?" tanya
baginda dengan perasaan kuatir juga. "Hanya berdua
dengan seorang yang sudah "lanjut usianya," sahut
pengawal itu. "Titahkan mereka ke mari!" sabda baginda
akhirnya setelah merenung sejenak. Sementara itu para
tetua dan penasihat baginda memang sudah mengharap-
harap kedatangan tamu itu. Dan mereka senantiasa
mengharap dengan perasaan heran juga kedatangan
satria yang penuh rahasia itu. Mereka siap menerima.
Sementara menanti masuknya satria yang mere-ka
anggap telah menghina harga diri mereka itu, 260 tak tahu
kenapa mereka merasa debaran jantungnya mendadak
mengeras. Prabu Braja Nata sendiri gelisah dan beberapa
orang yang lain merasa tidak tenang duduk. Bagaimana
pun akhir segala sesuatunya berlainan benar dengan yang
pernah mereka bayangkan. Akhirnya yang dinanti-nantikan
pun datang juga---"Adinda!" teriak Prabu Braja Nata
dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. "Raden
Panji!" teriak yang lain-lainnya dengan takjub. Prabu Braja
Nata melompat lalu memeluk adinda dengan berurai
airmata. "Adinda . . . Adinda . .. Jadi Adindakah Kelana
Jayeng Sari itu?" tanyanya dengan suara sarat sukacita.
"Wahai Adinda, terlebih dahulu berilah Kakanda ampun!"
Kelana Jayeng Sari yang telah menjadi Raden Panji Kuda
Waneng Pati kembali itu, mencoba menahan keharuan
hatinya. Tetapi ia tak mampu. Maka dalam pelukan
kakanda ia pun tergukguk mengalirkan airmata sukacita.
"Tak ada yang mesti hamba maafkan," akhirnya ia berhasil
mengucapkan kata-kata, "karena tak ada kesalahan
Kanda atas Dinda! Malah sebaliknya, Adindalah yang
meminta kelapangan hati Kanda karena telah membikin
Kanda semua merasa tegang ..." 261 Sementara itu
Senapati telah memeluk-merang-kul Ki Kebo Pandogo
dengan mesra dan terharu. "Kanda Prasanta! Kakandalah
kiranya!" Waktu Prabu Braja Nata melepaskan pelukannya
dari adinda, ia menoleh kepada Patih Prasanta yang tua
itu. Baginda pun berseru, "Mamanda Prasanta!" "Daulat
Gusti!" sahut Patih Prasanta. Lalu mereka pun berbicara
dengan sukacita, mencurahkan perasaan hatinya masing-
masing. Prabu Braja Nata meminta agar Adinda Raden
Panji Kuda Waneng Pati sudi mengisahkan
pengalamannya selama menjadi Kelana Jayeng Sari.
Adinda tersenyum, lalu memandang kepada Patih
Prasanta. "Semuanya adalah atas nasihat Mamanda
Prasanta ..." ia menyahut. "Ia sungguh seorang yang
bijaksana ..." "Gusti memuji terlalu berlebihan," tukas Patih
Prasanta. "Yang hamba lakukan hanya kewajiban seorang
hamba terhadap junjungannya belaka • . ¦ Akhirnya Patih
Prasanta mau juga mengisahkan pengalamannya selama
berkelana sehabis terpukul badai di tengah lautan, diakhiri
dengan kisah menaklukkan raja Metaun yang disertai
syarat agar baginda Prabu Jayawarsya sudi menyerahkan
Dewi Sekar Taji pabila Prabu Gajah Angun-angun bisa
dikalahkan. 262 "Namun pernikahan itu tidak mungkin
berlangsung, lantaran pihak Janggala murka dan hendak
memenggal kepala sang Kelana Jayeng Sari, yang
dianggap telah merebut tunangan Adinda Raden Panji
Kuda Waneng Pati . . . " demikian Patih Prasanta
mengakhiri kisahnya sambil tersenyum. Orang-orang
tertawa. "Tetapi Kelana Jayeng Sari ternyata adalah
Adinda Raden Panji, karena itu sesungguhnya tak ada
peristiwa perebutan tunangan," sabda Prabu Braja Nata
kemudian. "Karena itu pernikahan Kelana Jayeng Sari
dengan Dewi Sekar Taji mesti dilangsungkan! Kita yang
sudah kepalang sampai di perbatasan, sekalian saja
masuk ke Kadiri akan turut merayakan pernikahan kedua
putra mahkota!" Pikiran itu mendapat persetujuan orang
banyak. Maka keesokan harinya tentara Janggala itu
bergerak ke arah Kadiri. Tetapi bukan untuk menyerang
atau berperang, melainkan untuk merayakan pesta
pernikahan yang akan mewujudkan cita-cita Prabu
Jayantaka dan Prabu Jayawarsya dahulu .... 263 CANDRA
KIRANA Prabu Jayawarsya sangat bersuka cita tatkala
mengetahui bahwa Kelana Jayeng Sari itu tak lain Raden
Panji Kuda Waneng Pati adanya. Mereka menyambut
kedatangan Kelana Jayeng Sari bersama-sama rak anda
Prabu Braja Nata dengan kehormatan dan kegembiraan.
Pernikahan Raden Panji Kuda Waneng Pati dengan Dewi
Sekar Taji dilangsungkan dengan amat sangat meriah.
Seluruh kerajaan berpesta. Semua orang bersuka ria.
Berbagai pertunjukan dan hiburan diselenggarakan tanda
kegembiraan hatinya menyaksikan pernikahan putra
mahkota Janggala dengan putri mahkota Kadiri. Bala
tentara Janggala yang berangkat dari negerinya ditangisi
oleh para kerabatnya lantaran hendak berperang,
tenggelam dalam pesta dan suka ria. Setelah empat puluh
hari empat puluh malam lamanya bersuka ria dan
bersenang-senang, Prabu Braja Nata meminta diri kepada
Baginda Prabu 264 jayawarsya akan pulang ke negerinya.
Kepada Raden Panji Kuda Waneng Pati ia meminta agar
putra mahkota itu segera pulang ke Janggala akan
menerima takhta kerajaan. Prabu Braja Nata merasa
dirinya hanya seorang wakil belaka dan ia ingin
menyerahkannya kembali kepada yang berhak. Tetapi di
luar dugaannya, Raden Panji menggelengkan kepala.
Hatinya telah tawar, ia udak memikirkan takhta kerajaan
dan ia meminta agar rakanda terus menduduki takhta.
"Bagi Adinda sekarang," katanya lebih lanjut, "kehidupan
terpencil di sebuah pegunungan lebih menarik hati . . .
Kesibukan istana dan kerajaan, membikin pikiran Adinda
pepat . . . " "Tetapi kalau demikian Adinda menyia-nyia-kan
cita-cita ayah kita dahulu ..." kata Prabu Braja Nata. Raden
Panji menghela nafas. Terkenang pada ayahanda, ia
berduka. "Bagaimanapun juga," katanya kemudian,
"sekarang belum bersedia hamba kembali ke Janggala
akan memangku takhta. Sekarang, Kakanda saja pulang
dahulu. Kalau kelak hamba ternyata diperlukan, tentu akan
datang..." Setelah masak diperembukkan, maka diambil
keputusan. Prabu Braja Nata beserta tentaranya akan
segera pulang ke Janggala, sedangkan Raden Panji
beserta istrinya Dewi Sekar Taji akan pergi ke sebuah
gunung akan mengecap madu kebahagia265 an sel di
sana. Prabu Jayawarsya telah membangun "buah istana
mungil untuknya, letaknya di pung_ gung gunung Wilis yang
sejuk hawanya. Demikianlah penganten dan mempelai itu
mengecap keberuntungan serta kebahagiaan hidupnya, di
suatu tempat terpencil dari keriahan kerajaan. Hanya
beberapa orang pengasuh dan ponggawa yang turut serta
dengan mereka. Dewi Sekar Taji sangat berbahagia, di
tengah alam yang indah serta bunga-bungaan yang aneka
wami, ia bagaikan mahkota segala bunga . . . . Tetapi
Raden Panji tidak mengecap kebahagiaan itu sepenuh
jiwa, lantaran ia terkenang akan istrinya yang dahulu, Dewi
Anggraeni . . . Apa pula keadaan alam pegunungan itu,
mengenangkan ia akan pertemuannya dengan Dewi
Anggraeni di pegunungan Penanggungan. Kadang-
kadang, lantaran Dewi Sekar Taji bagaikan pinang dibelah
dua dengan Dewi Anggraeni. ia merasa ragu, siapakah
sebenarnya gerangan putri yang ada di sampingnya itu,
Anggraeni ataukah Sekar Taji? Tak jarang ia terluncur
kata, memanggil 'Anggra . . kepada istrinya, untung
kemudian segera ia sadar. Dewi Sekar Taji maklum akan
keadaan kakanda, kadang-kadang ia pun merasa
berduka, pabila kakanda memanggilnya dengan nama istri
kakanda yang dahulu, la merasa disia-siakan . . . Tetapi
untuk menghapus kakanda dari kenangannya kepada
istrinya yang pertama itu, ia merasa tidak 266 „ampu-
Pabua 13 terhenyak lantaran dipan^il dengan nama yang
bukan namanya itu, kakanda segera memperbaiki dirinya
sambil memeluknya membisikkan kata-kata lembut. -
Maafkan Kakanda, Sekar . . . Maafkan Kakanda!" Tetapi
sesungguhnya, tak ada yang mesti dimaafkan. Maka ia
hanya tersenyum arif, meski merasa hatinya pedih. Raden
Panji sendiri bukan tidak maklum akan apa yang dirasa
oleh istrinya. Ia merasa bersalah. Tetapi ia pun merasa
lebih bersalah pula jika mencoba hendak menghapuskan
kenangan kepada istrinya yang dahulu itu. 'Benarkah
Anggraeni akan kembali?' tanyanya dalam hatinya sendiri.
Ta pergi terbang ke langit, ke arah bulan dan mungkin
suatu waktu ia kembali kepadaku Teringat bahwa akan
hancur kalbu Dewi Anggraeni pabila menyaksikan ia sudah
beristrikan orang lain, hati Raden Panji pepat Ia merenung
memikirkan dirinya. Malam itu purnama bulat penuh keluar
dengan cahayanya yang laksana emas. Raden Panji
terkenang pula akan istrinya, merenung memandang
kepada ratu malam yang lembut itu. Terkenang Pula Raden
Panji akan malam tatkala istrinya secara gaib terbang ke
arah bulan. Waktu itu bulan P"n purnama, bulat tak
bercacat. 267 Dan beberapa lamanya Raden Panji
memandang bulan purnama itu dengan mata tak
mengejap, ngejap, sedangkan Dewi Sekar Taji
menyaksikan kelakuan suaminya itu dengan hati yang
teriris. Tiba-tiba Raden Panji melihat sesuatu bergerak dari
arah bulan kepadanya. Mula-mula titik yang tak bisa
dikenali, tetapi makin dekat makin jelas. "Itulah Dewi
Anggraeni!" bisik Raden Panji dengan mata terbelalak. "Ia
datang!" Kemudian ia melihat Dewi Anggraeni yang
sangat jelita dalam cahaya bulan itu, lebih jelita daripada
waktu yang lampau, berdiri di sebelah istrinya, di sebelah
Dewi Sekar Taji. Keduanya sama benar! Hanya, pabila
Dewi Anggraeni memandangnya dengan senyum yang
menyejukkan kalbu, adalah Dewi Sekar Taji
memandangnya dengan mata redup. "Anggraeni!" ia
berteriak sambil bangkit, lalu berjalan hendak memeluk
istrinya yang dahulu itu. Tetapi Dewi Anggraeni tidak
menyahut. Ia hanya tersenyum saja, tersenyum. Dan
jaraknya makin dekat juga ia kepada Dewi Sekar Taji,
makin dekat dan makin dekat . . . Waktu Raden Panji
melompat hendak menubruknya, Dewi Anggraeni sudah
berpadu dengan Dewi Sekar Taji. Maka istrinya itulah yang
ditubruk serta dipeluknya. "Kakanda!" terdengar Dewi
Sekar Taji bicara dengan suara yang hiba. "Kakanda!
Mengapa?" 2UH Raden Panji tersadar. Ia mpmo«^ is^ya.
A.»** cant*! K^Z^ Bagaikan kecantikan dua putri jelita telah
ZTJ' dan memijar. Ia sejenak tak bisa meSu^ nya-
Kakanda! Ada apakah gerangan?" Dewi Sekar Taji
bertanya, padahal ia sudah maklum akan hal kakanda.
Tentu kenangannya kepada istrinya dahulu jua yang
menjadi sebab. "Adinda! Adinda!" bisik Raden Panji.
'Tidakkah Adinda tadi melihat ada orang datang?" Dewi
Sekar Taji terkejut. "Orang?" tanyanya dengan heran,
"Tidak ada. Yang ada cuma kita berdua ..." Raden Panji
melengak. Ia memandang kepada istrinya dengan mata
menyelidik. Tetapi agaknya istrinya itu berkata dengan
sungguh-sungguh. Jadi, apakah yang kelihatan olehnya
tadi? Ia berpikir. Tak salah aku! Tadi di samping Dewi
Sekar Taji ia berdiri! Tersenyum dengan manis . . . '
katanya dalam hati. Dialah yang tadi kupeluk Tiba-tiba ia
yakin. Tak syak lagi! Tentu kedua istriku itu kini telah
berpadu. Dewi Anggraeni telah kembali kepadaku, tetapi
ia menyatukan dirinya dengan Dewi Sekar Taji "Kakanda
..." suara Dewi Sekar Taji menyadarkan ia dari pikirannya.
Ia memandang kepada 269 istrinya itu. "Kakanda, agaknya
Kakanda senantiasa diharu-biru pikiran ..." perkataan itu
diucapkan Dewi Sekar Taji tidak lancar. "Sesungguhnya
sudah lama hamba memperhatikan kelakuan Kanda . . .
Agaknya ingatan kepada Dewi Anggraeni selalu
mengganggu Kanda . . . Kanda, kata orang ia sudah
meninggal, karena itu hamba tidak merasa telah merebut
Kanda dari sampingnya. Namun begitu, tidakkah Kanda
memandang hamba sebagai gantinya?" Ia sudah lama
hendak berkata seperti itu, tetapi baru ketika itu mampu
dia ucapkan. Dan kalimat yang sejak lama telah dia susun
dan rangkai-rang-kaikan dalam kepala, ternyata masih
tersekat-sekat dalam kerongkongannya.... Raden Panji
melengak. Ia memandang ke dalam mau istrinya yang
jernih bening itu. Ia memandang mata Dewi Anggraeni.
"Sejak sekarang engkau tak usah cemas ..." sahutnya.
"Engkaulah istriku, kekasihnya abadi, penjelmaan cinta
yang kudus suci.. . Pada dirimu Kanda lihat apa yang
Kanda sangka telah hilang ... Engkau Dewi Sekar Taji,
istriku, tetapi engkau pun Dewi Anggraeni, istriku yang
dahulu ... Sekarang kedua istriku berpadu dalam
dirimu____" Dewi Sekar Taji berurai airmata saking
gembira. Ia menyekapkan wajah dalam dada suaminya. Ia
menangis bahagia. 270 "Kanda . . . Kanda!" tfcrdengar
suaranya antara sedu-sedu kecil. "Ya, Adinda saja seorang
yang sejak sekarang Kanda cintai sepenuh hati . . . Hanya
engkau saja. Candra Kirana ..." kata Raden Panji sambil
membelai-belai istrinya dengan mesra. Dewi Sekar Taji
tersentak. "Apa? Candra Kirana? Siapakah Candra
Kirana?" ia bertanya seperti tersengat. Raden Panji
tersenyum. Kedua tangannya memegang bahu istrinya, dan
sambil memandang kepada wajahnya dan menyelam ke
dalam matanya, ia berkata dengan suara lembut, "Ya,
engkaulah Candra Kirana! Engkau yang menjadi
perpaduan antara dua mutiara . . . Sukakah Adinda akan
nama itu? Tidakkah nama itu indah?" "Candra Kirana . . .
Candra Kirana ..." Dewi Sekar Taji menggumam.
"Alangkah indah! Nama itu Kanda anugerahkan kepada
Adinda?" "Ya, kepadamu, kepada cintaku. Candra Kirana
.. . " Keduanya berpelukan dan sambil memandang
kepada bulan purnama yang menebarkan cahaya yang
lembut keemasan itu. mereka pun melihat masa emas
kebahagiaan mereka .... Ciborelang, 1961 271

Anda mungkin juga menyukai