Anda di halaman 1dari 17

MENCERITAKAN ULANG

HIKAYAT PANJI WANENGPATI

YANG DICERITAKAN OLEH


Da Kacha

(dalam buku Hikayat dan Dongeng Djawa Purba, halaman 13 – 38)

RADEN PANJI KUDA WANENGPATI

Dahulu kala ada seorang Raja Djenggala yang mempunyai empat puluh
tiga orang putra. Yang terkenal adalah yang sulung, Tumenggung Bradja Nata
dan yang ke-lima Raden Pandji Kuda Wanengpati.
Putra ke-lima Raja itu telah dipertunangkan dengan Dewi Sekar Tadji,
putri dari Raja Kediri, saudara Raja Djenggala. Raden Pandji Kuda Wanengpati
belum pernah bertemu dengan Dewi Sekar Tadji, tunangannya itu.
Pada suatu hari sebelum perayaan perkawinan berlangsung, Raden
Pandji pergi bercengkrama ke rumah Patih Kudanawarsa, sepupu Raja
Djenggala.
Raden Pandji Kuda Wanengpati duduk didepan rumah Patih itu. Ia
disuguhi tempat sirih oleh seorang gadis yang sangat cantik parasnya. Raden
Pandji takjub melihat kecantikannya. Gadis itu bernama Dewi Anggreni,
anaknya sang Patih. Karena kecantikannya itu membuat Raden Pandji akan
memutuskan pertunangannya dengan Dewi Sekar Tadji dan ingin segera kawin
dengan Dewi Anggreni.
Sang Patih meminta Raden Pandji untuk memikirkan ayahnya yang telah
menetapkan siapa yang akan menjadi istri Pangeran. Apalagi menurut kata
orang, Dewi Sekar Tadji itu lebih cantik dari Anggreni.
Kata Raden Pandji, “tetapi aku tak akan kawin dengan yang lain, selain
dari Dewi Anggreni, anak tuan. Suruhlah ia bersiap, karena ia akan aku bawa
sekarang ini juga ke keraton. Kalau ayahku melihat ia nanti, tentu aku akan
diizinkan untuk kawin dengannya.”
Patih itu tak dapat menolaknya lagi. Dewi Anggreni pun ikut Raden
Pandji ke istana ayahnya. Nyatanya Raja Djenggala tertarik juga melihat
kecantikan gadis itu dan merasa layak dijadikan menantu. Beberapa minggu
kemudian diadakanlah pesta perkawinan Raden Pandji Kuda Wanengpati
dengan Dewi Anggreni.
Tetapi, ketika Raja Kediri mendengar perkawinan Raden Pandji Kuda
Wanengpati dengan Dewi Anggreni itu, Raja Kediri marah besar, dan ingin
menyerang Raja Djenggala. Karena Raden Pandji tidak akan menikah dengan
Dewi Sekar Tadji, anak Raja Djenggala.
Semua menteri dan panglima perang dipanggil menghadap yang mulia
untuk mempertimbangkan hal itu. Diantara menteri-menteri itu adalah menteri
Prasanta yang tertua, ia berpendapat untuk tidak segera menyerang saudara
Raja Kediri itu dan sebaiknya ditanyakan dulu kepada Putri Kili Sutji, saudari
Raja Kediri dan Raja Djenggala.
Beberapa panglima perang diutus oleh Raja Kediri untuk menjemput
Putri Kili Sutji. Setelah empat belas hari baru putri Kili Sutji dapat menghadap
Raja Kediri.
Putri Kili Sutji berkata bahwa masih ada harapan karena Dewi Anggreni
itu, bukan keturunan raja. Lalu berpesan kepada Raja Kediri untuk tidak
meneruskan peperangan itu, dan menyerahkan semuanya kepada Putri Kili
Sutji, ia bersedia untuk menyelesaikannya.
Beberapa hari kemudian Putri Kili Sutji berangkat ke Djenggala. Setelah
sampai di istana Raja Djenggala, ia bercerita kepada yang mulia, apa maksud
kedatangannya. “Raja yang tak menepati janjinya, bukanlah raja yang baik.
Tuanku telah menetapkan akan mengawinkan Raden Pandji Kuda Wanengpati
dengan keponakan tuanku, Dewi Sekar Tadji, anak Raja Kediri. Tetapi tuanku
telah mengizinkan anak tuanku kawin dengan Dewi Anggreni anak Patih itu.”
Kata Putri Kili Sutji.
“Tentu saja boleh,” kata Raja Djenggala. “Ia boleh beristri beberapa
orang, sesuka hatinya! Dan tentu saja ia mesti kawin dengan Dewi Sekar Tadji
sebagai istrinya yang pertama. Sampaikanlah salamku kepada saudara kita
Raja Kediri dan katakan bahwa Raden Pandji Kuda Wanengpati akan datang
melihat Dewi Sekar Tadji.”
Setelah mendengarkan perkataan Raja Djenggala yang menyenangkan
itu, Putri Kili Sutji berangkat pulang ke kerajaan Kediri. Sekarang barulah hati
Raja Kediri merasa senang dan tak akan meneruskan peperangan.
Raja Kediri menyiapkan persediaan untuk pesta perkawinan Dewi Sekar
Tadji dengan Raden Pandji Kuda Wanengpati. Pesta itu akan diadakan besar-
besaran.
Ketika itu raja Djenggala mengumpulkan para menteri-menteri dan
panglima perang , memperkatakan perkawinan anak yang mulia yang kedua
kalinya dengan Dewi Sekar Tadji, yang akan menjadi istri ratunya dan apabila
ia beranak laki-laki akan mendapat gelaran Pangeran. Setelah
mempertimbangkan hal itu dengan semua menteri, maka yang mulia
memanggil Raden Pandji Kuda Wanengpati dan berkata : “Anakku, oleh karena
perkawinanmu yang tergesa-gesa dengan Dewi Anggreni yang cantik molek itu,
hampir kamu lupa perkawinanmu dengan Dewi Sekar Tadji, keponakanku.
Tetapi oleh karena ia mesti menjadi istrimu yang pertama, aku kehendaki
engkau besok pergi berangkat ke kerajaan Kediri dan melihatnya.”
Raden Pandji yang tidak memikir-mikirkan perkawinan itu lagi, terkejut
mendengarkan kehendak ayahnya dan terpaksa menolaknya. Seumur
hidupnya belum pernah ia membantah kehendak ayahnya. Sekarang ia
menentang dan melanggar adat pula.
“Ayah,” katanya, “aku tidak akan kawin dengan Dewi Sekar Tadji. Dewi
Anggreni istriku yang pertama dan tetap menjadi istriku.”
Raja Djenggala amat marah mendengarkan perkataan anaknya dan
berkata dengan suara yang tenang : “Baiklah, anakku. Aku tak suka
memaksamu kawin dengan Dewi Sekar Tadji.”
Ketika itu yang mulia mendapat sebuah akal dan berkata pula : “Pergilah
engkau sekarang ke hutan Keputjangan menjemput saudari putri Kili Sutji dan
membawanya kemari. Katakanlah kepadanya, bahwa ada hal penting yang
akan aku perbincangkan dengannya, dan tak dapat dinantikan lama lagi. Sebab
itulah engkau mesti berangkat sekarang ini juga.”
“Baiklah, ayahku,” jawab Raden Pandji. “Izinkanlah aku sebentar
menemui istriku untuk mengambil perpisahan.”
“Anakku, itu akan melambatkan perjalananmu saja,” kata yang mulia.
“Pergilah sekarang ini juga. Nanti akan aku katakan kepada istrimu.”
Raden Pandji Kuda Wanengpati percaya akan perkataan ayahnya.
Dengan tak curiga sedikit pun juga berangkatlah ia. Baru saja ia meninggalkan
istana ayahnya, raja Djenggala memanggil Tumengung Bradja Nata, anak
tertuanya.
“Anakku,” seru yang mulia, “saudaramu, Raden Pandji Kuda Wanengpati
telah melanggar adat. Ia tidak menghormati aku sebagai raja dan bapaknya. Ia
tidak mau menurutkan perintahku dan semua kehendakku ditolaknya. Sebab
itulah aku menghukumnya dengan hukuman yang seberat-beratnya!”
Yang mulia menyerahkan sebilah keris kepada Tumenggung Bradja Nata
sambal berkata : “Bunuhlah Dewi Anggreni, istri saudaramu itu dengan keris ini.
Tetapi janganlah dalan kerajaan ini. Bujuklah ia mengikuti engkau jauh dari
kerajaanku ini sehingga saudaramu tak akan mengetahui hal ini.”
Tak sampai hati Tumengung Bradja Nata akan membunuh Dewi
Anggreni, istri saudaranya itu, karena ia tak pernah benci kepada saudaranya.
Tetapi ia tidak berani menolak perintah ayahnya. Sebagai seorang anak yang
menghormati ayahnya diterimalah keris itu dan berkata : “Ayahku, segala
perintah itu akan aku lakukan.”
Sesudah itu ia mendapatkan Dewi Anggreni dikamarnya. Dewi Anggreni
tengah dikelilingi oleh inang pengasuhnya, Diantara mereka itu ada seorang
perempuan tua yang mengasuh Dewi Anggreni sedari kecilnya.
“Embah,” seru Dewi Anggreni kepada perempuan tua itu. “Aku tadi
malam bermimpi ajaib benar. Aku mendapat sehelai pakaian bersulam benang
perak yang berkilat-kilat seperti cahaya matahari. Sulamannya merupakan
lukisan bulan yang memancarkan sinarnya. Pada bahunya bertaburan bintang
yang bercahaya. Apakah arti mimpiku itu?”
Pengasuh tua itu berpikir sebentar lalu berkata : “ Putri akan melihat
sesuatu yang indah bersinar-sinar. Orang akan . . . . . . . .” Ia tidak dapat
meneruskan perkataannya lagi, karena Tumenggung Bradja Nata masuk
kedalam kamar itu.
Ketika Dewi Anggreni melihat iparnya masuk, semua inang pengasuh
disuruh pergi. Hanya prempuan tua itu saja yang tinggal dalam kamar,
bersembunyi dibalik pintu, mendengarkan percakapan Dewi Anggreni dengar
iparnya. Didengarnya Tumenggung Bradja Nata berkata : “Saudaraku Dewi
Anggreni. Suamimu bdiperintahkan oleh ayahnya pergi ke kuala Kamal. Karena
ia barangkali akan tinggal lama disana , aku dimintanya membawa engkau
kesana. Bersiaplah supaya kita lekas berangkat!”
Dewi Anggreni sangat heran mendengar, bahwa suaminya berangkat
tanpa memberi tahunya. Tetapi ia tahu bahwa perintah ayahnya mesti
dilakukan dengan segera dan mengerti suaminya tak berkesempatan
memberitahukan kepadanya. Sebab itu ia berkata : “Nantikanlah sebentar, aku
akan bersiap untuk perjalanan itu.”
Setelah lengkap, Dewi Anggreni diiringi oleh pengasuh tuanya itu
meninggalkan kamarnya, mendapatka Tumenggung Bradja Nata.
“Ia tidak boleh ikut dengan kita, Dewi Anggreni,” kata Bradja Nata, Ketika
melihat pengasuh tua itu.
Mendengar perkataan itu, pengasuh tua kecemasan. Ia menyembah-
nyembah dan menarik-narik Dewi Anggreni pada bajunya, sambil menangis-
nangis dan berteriak-teriak. Ia tidak mau berpisah dengan Dewi Anggreni.
Tumenggung Bradja Nata tidak dapat menahannya dan Dewi Anggreni tidak
pula hendak meninggalkannya. Oleh sebab itu, pengasuh tua itu dibawa ikut
pergi.
Supaya inang pengasuh yang lain tidak ikut juga, setelah mereka sampai
diluar keraton, Tumenggung Bradja Nata menutupkan semua pintu gerbang.
Dewi Anggreni dan pengasuh tua itu tidak mengetahui hal itu. Mereka telah
duduk dalam kursi usungan. Dewi Anggreni berharap akan cepat bertemu
dengan suaminya.
Perlahan-lahan usungan diangkat oleh hamba-hamba raja menuju
Kamal. Dewi Anggreni dan inang pengasuh tua itu tidak menyangka sedikit
pun, bahwa mereka akan dianiaya. Sebelum sampai di Kamal, hamba-hamba
yang mengangkat usungan mengambil jalan masuk rimba raja. Ditengah hutan,
Tumenggung Bradja Nata menyuruh Dewi Anggreni dan pengasuhnya berjalan
kaki dan memerintahkan hamba-hamba itu Kembali ke Djenggala.
Sejenak lamanya berjalan, sampailah mereka dibawah sebatang pohon
angsoka. Tumenggung Bradja Nata berkata kepada Dewi Anggreni : “Disinilah
akan aku lakukan, saudara Dewi Anggreni.”
“Disinilah akan aku temui suamiku?” tanya Dewi Anggreni.”
“Tidak,” Jawab Tumenggung Bradja Nata. “Disinilah engkau menurut
kehendak ayahku, akan menemui ajalmu.”
“Mengapa aku mesti dibunuh?” tanya Dewi Anggreni terkejut. “Apakah
aku bersalah? Apa yang telah aku lakukan yang menyebabkan aku dihukum?”
“Engkau tidak berbuat salah, Anggreni,” kata Tumenggung Bradja Nata.
“Tetapi engkau mesti dibunuh, karena saudaraku tak mau kawin dengan Dewi
Sekar Tadji, keponakan ayahku. Raden Pandji Kuda Wanengpati tidak suka
beristri dua orang. Oleh karena kehendak ayahku, ia mesti kawin dengan putri
raja Kediri itu, maka engkau harus dibunuh . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . “.
“Baiklah, aku akan menurut kehendak raja Djenggala itu,” kata Dewi
Anggreni berdukacita. Ketika itu Dewi Anggreni mengambil keris Tumenggung
Bradja Nata, lalu ditusukkan ke dadanya sendiri. Inang pengasuh itu tak suka
hidup sendiri. Dicabutkannya keris dari dada Dewi Anggreni lalu ditusukkan
juga kedadanya.
Tumenggung Bradja Nata menutup kedua majat itu dengan daun
angsoka, lalu berangkat kembali ke Djenggala.
Sampai di istana, ia menghadap ayahnya, mengabarkan bahwa Dewi
Anggreni telah dibunuh dan sesudah itu pengasuhnya membunuh diri pula.
Raja Djenggala sangat girang mendengar kabar itu dan berharap tentu
Raden Pandji Kuda Wanengpati sekarang akan suka kawin dengan Dewi Sekar
Tadji.
Ketika Raden Pandji Kuda Wanengpati Kembali dari hutan Keputjangan,
menemui putri Kili Sutji itu, ia bergegas-gegas pergi menemui istrinya. Tetapi
saat ia sampai didepan pintu kamar istrinya, didepan pintu bukan istrinya yang
ia lihat, melainkan saudara prempuannya, Dewi Unengan. Raden Pandji Kuda
Wanengpati heran melihatnya.
“Mengapa engkau disini?” tanyanya keheranan. “Dimanakah istriku?”
Berdukacita Dewi Unengan menjawab : “Ia tidak disini lagi ; saudaraku
Dewi Anggreni dibawa beserta pengasuhnya ke kuala Kamal. Disana ia
dibunuh, menurut kehendak ayah kita . . . . . . . .”
Baru saja Raden Pandji Kuda Wanengpati mendengarkan kabar itu,
tubuhnya gemetar, lalu jatuh tak sadar akan dirinya lagi. Beberapa hari
kemudian baru ia sadar, tetapi ia telah berubah ingatan.
Sepanjang hari, siang malam, ia berteriak-teriak memanggil Dewi
Anggreni. Dicarinya keseluruh pelosok kerajaan, ke dalam gua-gua batu dan di
sawah-sawah. Bunga-bungaan yang ditemuinya, ia cium. Ia kira Dewi Anggreni
telah menjelma menjadi bunga itu.
Tidak seorang pun yang berani mendekatinya, selain dari Prasanta yang
tua itu. Sekali-sekali ia berbisik kepada orang tua itu sambil mencium setangkai
bunga : “Aku sangat percaya, bahwa bunga yang cantik ini mengandung jiwa
Dewi Anggreni. Lihatlah, kelopak bunga ini merupai kelopak matanya yang
memandang saju-saju kepadaku.”
Pada suatu hari saat ia bersama-sama dengan Prasanta berjalan-jalan
melalui bunga-bungaan itu, ia berkata : “Prasanta, tak percaya juga aku, bahwa
arwah Dewi Anggreni ada dalam bunga itu. Marilah kita pergi mencarinya ke
kuala Kamal. Aku percaya, bahwa ia disana dengan pengasuhnya,”
Prasanta sangat kasihan melihat Raden Pandji Kuda Wanengpati dan
selalu berusaha menghiburkan hatinya. Ia pun menuruti Raden Pandji pergi ke
kuala Kamal.
Ketika diketahui oleh Dewi Unengan, bahwa saudaranya itu akan
berangkat ke kuala Kamal, ia hendak mengikutinya.
“Selama ia sakit, aku akan menjaganya,” katanya kepada Prasanta.
“Pertolongan memang perlu baginya. Sebab itu, aku akan mengikutinya
kemana ia pergi.”
Diiringi oleh beberapa orang hamba, Radan Pandji Kuda Wanengpati
berangkat beserta Dewi Unengan dan Prasanta menuju kuala Kamal. Mereka
melalui rimba raja juga. Ketika Raden Pandji Wanengpati melihat tumpukan
daun kering dibawah batang angsoka didalam hutan itu, berkatalah ia : “Ah,
lihatlah tumpukan daun itu tentu Dewi Anggreni kekasihku, yang terbaring
dibawahnya!”.
Daun-daun itu disebar-sebarkannya dengan kakinya. Raden Pandji Kuda
Wanengpati tak terkejut sedikit sedikit pun ketika melihat dua mayat orang yang
telah keras seperti batu. Yang seorang masih muda dan cantik rupanya dan
seorang lagi telah tua dan berkerut mukanya. Keduanya adalah mayat Dewi
Anggreni dengan pengasuhnya. Rupanya tidak berubah sedikit pun, seperti
semasa ia masih hidup. Hanya badannya saja yang dingin dan keras seperti
batu.
Dengan segera diangkatnya mayat istrinya itu dan berkata kepada
Prasanta : “Dukunglah olehmu mayat pengasuh itu dan ikutlah aku ke tepi
pantai. Disana lebih baik daripada ditengah hutan yang sunyi ini,”
Prasanta menuruti kehendak Raden Pandji. Diangkatnya mayat
pengasuh tua itu lalu mengikuti Raden Pandji.
Dewi Unengan sangat terkejut melihat mayat itu, sehingga tak dapat
berkata-kata lagi, menurut saudaranya yang berdukacita itu.
Sampai ditepi pantai, Rade Pandji berkata kepada Prasanta : “Lihatlah,
disana tersedia dua buah perahu! Sekarang kita akan pergi berlar! Aku dan
istriku serta Dewi Unengan akan memakai sebuah perahu dan engkau dengan
pengasuh tua itu naiklah keperahu yang lain itu!”
“Baiklah! Dan bagaimana lagi selanjutnya?” kata orang tua itu sambil
menyuruh hamba mengikatkan tali perahunya kepada perahu Raden Panji.
“Sekarang hamba itu mesti menyediakan kita dengan perahu kecil,” kata
Raden Pandji Kua Wanengpati. “Nelayan-nelayan yang tinggal di pantai ini,
tentu suka mempersewakan perahunya untuk semua hamba itu. Kita hanya
belajar untuk menyenang-nyenangkan hati kita saja.”
Prasanta memerintah semua hamba untuk mencari perahu. Ketika
didengar oleh nelayan-nelayan itu, bahwa anak raja yang berubah ingatan itu
akan pergi berlayar untuk menyenang-nyenangkan hatinya, dengan segera
perahu-perahu itu dipinjamkan kepadanya.
Setelah siap, berangkatlah semua perahu-perahu itu beriring-iringan.
Dalam perahu yang pertama duduk Dewi Unengan dan Raden Pandji Kuda
Wanengpati dengan Dewi Anggreni diatas pangkuannya. Prasanta duduk
dalam perahu yang dibelakangnya menghadapi mayat pengasuh tua itu.
Sesudah itu mengikut pula beberapa buah perahu kecil dengan semua hamba-
hamba.
Bertambah lama perahu-perahu itu bertambah jauh dari pantai. Ketika
itu, Raden Pandji memerintahkan akan menunjukkan haluan ke utara.
Baru sejam perahu-perahu itu ditengah laut, berhembuslah angin rebut
diiringi oleh guruh petir, sambar-menyambar amat dahsyatnya. Sejurus
kemudian turunlah hujan yang amat lebat. Air laut bergelombang-gelombang.
Ombak besar bergulung-gulung amat tinggi, sehingga perahu-perahu para
hamba itu hampir tak kelihatan lagi. Perahu Raden Pandji dan Prasanta
terumbang-ambing kesana kemari, sebentar diatas, sebentar dibawah, seakan-
akan diselimuti oleh gelombang yang dahsyat. Rupanya perahu-perahu itu
telah jauh dibawa ombak laut. Tetapi kedua perahu itu selalu berdekat-dekatan,
karena diikat dengan tali yang kuat. Penduduk pantai manyangka bahwa
Raden dan pengiring-pengiringnya telah mati tenggelam diantara ombak yang
tinggi-tinggi.
Malam itu juga raja Djenggala diberitahukan, bahwa anak yg mulia
beserta pengiringya telah menemui ajalnya didasar laut.
Mendengar berita itu, membuat pikiran yang mulia sangat terganggu.
Yang mulia tidak mau lagi duduk memerintah dan akan memisahkan diri dari
rakyat dan akan hidup seorang diri dalam hutan Keputjangan, bersama-sama
dengan saudara yang mulia putri Kuli Sutji. Setelah yang mulia menyerahkan
kerajaan kepada anak yang mulia Tumenggung Bradja Nata, berangkatlah
yang mulia ke hutan Keputjangan.
Raden Pandji Kuda Wanengpati sebenarnya tidak mati. Perahunya dan
perahu Prasanta terombang-ambing ditengah laut tujuh hari tujuh malam
lamanya dan terdampar dipantai Lemah Abang diseberang pulau Bali. Dalam
tujuh hari tujuh malam itu Raden Pandji tidak tidur sekejap pun, karena takut
mayat Dewi Anggreni akan diambil orang. Ketika mereka sampai ke pantai,
Prasanta berkata : “Pangeran, marilah kita kuburkan mayat Dewi Anggreni
disini. Lihatlah, alangkah bagus dan sunyinya tempat ini.”
Raden Pandji menjawab : “Prasanta, apa maksudmu menguburkan
istriku disini? Kekasihku ini tidak mati. Lihatlah, alangkah nyenyak tidurnya!”
Prasanta memperhatikan mayat itu sekali lagi. Sebenarnya, mayat Dewi
Anggreni seperti orang tidur saja. Tetapi orang tua itu tidak suka melihat Raden
Pandji selalu mendukung istrinya yang telah mati itu. Dipikirkannya sebuah tipu
daya, supaya Raden Pandji mau menurut katanya. Setelah berpikir sepanjang
jalan, ia bermaksud untuk menceritakan sebuah cerita kepada Raden Pandji,
karena ia dapat membujuknya selama berjalan. Cara yang seperti itu telah
sering dilakukannya selama Raden Pandji kehilangan akal, karena kalau ia
mendengar cerita Prasanta, ia merasa senang.
Ia sedang duduk termenung memikirkan sebuah cerita, berkata Raden
Pandji kepadanya : “Hai, Prasanta, apakah yang engkau pikirkan?”
“Aku memikirkan sebuah cerita yang bagus, yang aku dengar dahulu,”
jawab orang tua itu. “Sukalah Pangeran mendengarkannya?”
“Kalau sekiranya sangat bagus, saya suka mendengarkannya,” kata
Raden Pandji.
“Nah, dengarkanlah,” kata orang tua dan memulai ceritanya : “Dahulu
kala, dalam sebuah kerajaan diseberang lautan adalah seorang anak raja. Ia
sangat mengasihi kematian istrinya. Ia tak mau pula bercerai dengan mayat
istrinya itu dan didukungnya kemana ia pergi. Dibawanya ke timur dan ke barat,
diajaknya bercakap-cakap, seakan-akan istrinya itu masih hidup. Tetapi mayat
istrinya itu kepayahan. Ia telah mati, oleh karena itu ia hendak beristirahat
didalam kubur, tetapi anak raja itu tidak mengerti. Ketika suatu malam ia
mendukung mayat istrinya kian kemari dan bercakap-cakap dengan ia,
terdengar oleh anak raja itu suara dari langit berkata kepadanya : “Anakku kau
selalu mendukung mayat istrimu. Tidakkah pernah kamu memikirkan, bahwa
kamu telah memanjakannya. Kalau kamu benar-benar mencintainya,
biarkanlah ia beristirahat dalam kubur. Disana ia akan melepaskan lelahnya!
Disana ia akan merasa Bahagia . . . . . . .”
“Jadi aku bagaimana?” tanya anak raja itu. “Apa yang akan aku kerjakan
lagi, kalau ia aku kuburkan?”
“Kamu, anakku,” terdengar suara itu kembali, “kamu pergilah
mengembara dan menaklukkan beberapa kerajaan. Kalau kamu selalu
mendapat kemenangan, kamu akan menemui istrimu hidup kembali. Tetapi
kalau kamu kalah kamu tidak akan bertemu dengan istrimu itu.” Ketika ia telah
menaklukkan beberapa kerajaan, suatu hari bertemulah ia dengan istrinya itu.
Ia telah hidup dan lebih cantik dari pada dahulu.”
Rupa-rupanya cerita Prasanta itu membuat haru pikiran Raden Pandji
Kuda Wanengpati. Ia mendengarkan cerita itu, sambil memandang mayat
istrinya. Sesudah itu ia berbisik kepada mayat itu : “Sudah lelahkah engkau
Anggreni. Apakah engkau hendak beristirahat pula didalam kubur?” Berkata
pula kepada Prasanta : “Alangkah bagusnya ceritamu, Prasanta. Bagaimana
pendapatmu, mungkinkah akan terjadi seperti itu pula padaku? Akankah aku
bertemu dengan istriku, kalau semua musuh ayahku dapat aku kalahkan?”
“Tentu saja,” kata orang tua itu. “Kejadian ini tentu akan terjadi pula pada
Pangeran. Marilah kita kuburkan mayat Dewi Anggreni, supaya ia dapat
melepaskan lelahnya. Lihatlah tempat ini, sangat bagus untuk kuburannya.”
Prasanta menunjuk kepada sebatang pohon kayu, lalu berkata : “Lihatlah,
dibawah pohon kayu itu, Pangeran! Disalah Dewi Anggreni dapat beristirahat
dengan senang. Pengasuhnya akan kita kuburkan disampingnya.”
Raden Pandji Kuda Wanengpati mendukung mayat istrinya kebawah
pohon itu. Beberapa orang hamba telah menggali dua buah buah kuburan.
Setelah siap, kedua mayat itu dikuburkan. Tetapi ketika itu juga kedua mayat itu
mengepakkan sayapnya ke langit.
Raden Pandji melihat keheranan dengan mata yang terbuka lebar
keatas. Kemudian ia berkata dengan suara yang gemetar : “Prasanta, apa
sebabnya itu? Bagaimana sekarang ini? Bukankah Dewi Anggreni, kekasihku
terbang ke langit? Bagaimana aku menemuinya nanti, kalau aku telah
menaklukkan musuhku?”
Jawab Prasanta : “Pangeran pasti akan bertemu dengan ia. Sekarang
Pangeran saksikan sendiri, bahwa ia dikasihi dewa-dewa. Lantaran itu ia
dikirimkan segera ke langit. Sebab itu pula kita mesti segera mendirikan sebuah
candi.”
Beberapa hari kemudian berdirilah sebuah candi pada kuburan yang
telah digali oleh hamba-hamba itu. Prasanta selalu memperkatakan
kemenangan-kemenangan yang akan didapat oleh Raden Pandji. “Nama
Pangeran sekarang jangan Raden Pandji Kuda Wanengpati lagi,” katanya,
“tetapi Kelana Djajengsari. Dan jangan diceritakan kepada siapapun juga,
bahwa Pangeran putra raja Djenggala.”
“Jadi, siapakah aku?” tanya Raden Pandji.
“ Pangeran sekarang jadi seorang raja dari seberang lautan dan aku
seorang teman Pangeran, namailah aku Kebo Pandogo,” jawab orang tua itu.
“Dewi Unengan kita namakan Ragil Kuning. Dengan nama ini, kita dapat
dengan mudah memasuki semua kerajaan. Kita akan pergi dulu ke Bali.”
Keesokan harinya berangkatlah kelana Djajengsari dengan teman-
temannya ke Bali.
Malam itu, raja kerajaan Bali, Djaja Natpada bermimpi. Yang mulia
melihat air mengalir dari sebuah mata air yang kecil dan seluruh Bali digenangi
air.
“Apakah arti mimpiku itu, Patih?” tanya yang mulia keesokan harinya
kepada seorang perdana menteri.
“Kalau seorang bermimpi air, tuanku, ia akan berperang dengan
musuhnya,” kata Patih.
Sementara itu, kapal Kelana Djajengsari telah berlabuh di pantai pulau
Bali.
Tidak lama kemudian raja Djaja Natpada mendengar berita, bahwa. Yang
dating itu raja Kelana Djajengsari dengan pengikut-pengikutnya dan telah
berjalan menuju istana.
“Berapakah banyaknya pengiring-pengiringnya raja itu?” tanya Patih.
“Kira-kira serratus orang,” jawab orang yang membawa berita.
“Ah, seratus orang mudah saja mengalahkannya,” kata raja Djaja
Natpada. “Kumpulkanlah semua tantara kita, Patih. Dan lawanlah musuh itu.”
Tentara Djaja Natpada yang kecil itu melawan hamba-hamba Kelana
Djajengsari. Karena semua hamba itu sangat tangkas, tentara Bali dapat
dikalahkan mereka. Mereka lari bercerai-berai.
“Tentaranya sebesar raksasa,” kata Patih saat is mengabarkan
kekalahan itu kepada rajanya. “Kita mesti menyerah kepada radja Kelana
Djajengsari.”
Percakapan Patih itu terdengar oleh Pangeran Kuda Natpada, anak raja
Djaja Natpada. Ia masih muda dan ghagah berani.
“Aku hendak melawan raja seberang lautan itu,” katanya. “Biarkanlah aku
pergi dengan tantara yang tinggal itu.”
Raja Djaja Natpada dan Patih menggelengkan kepalanya dan tak
mengizinkan Pangeran Kuda Natpada pergi.
“Musuh itu rupa-rupanya kebal,” kata Patih. “Mereka tentu dilindungi oleh
dewa Wishnu. Mereka barangkali bekerjasama dengan jin.dan raksasa. Jadi
kita mesti menyerah kepadanya. Serahkanlah sebagai tanda kekalahan,
kepada raja itu, putra dan putri tuanku, karena putra tuanku itu gagah berani
seperti dewa dan putri tuanku cantik bagai bidadari.”
Yang mulia sangat terkejut mendengar usul Patih itu. Tetapi yang mulia
pun juga setuju. Dengan segera yang mulia memanggil pura dan putri yang
mulia dan menceritakan bahwa mereka akan diserahkan kepada raja Kelana
Djajengsari sebagai tanda kekalahan.
“Aku akan menurut kehendak ayah,” kata putri itu.
Putra dan putri raja Djaja Natpada diiringi lengkap dengan peminpin
pasukan dan inang pengasuh, serta raja Kelana Djajengsari. Seiringan hamba-
hamba raja membawa jimat-jimat dan pusaka-pusaka dari kerajaan Bali.
Patih yang diutus oleh yang mulia menghadap Kelana Djajengsari, telah
berangkat lebih dulu. Ketika putra dan putri Bali itu sampai, Patih berkata
kepadda kelana Djajengsari : “Tuanku Djaja Natpada, raja kerajaan Bali,
menyerahkan kepada tuanku sebagai tanda kekalahan yang mulia : putra yang
mulia Pangrean Kuda Natpada dan putri yang mulia, Mandaja Prana. Semenjak
saat ini anggaplah putra dan putri yang mulia itu sebagai hamba tuanku.”
Putra dan putri itu menyembah dihadapan Kelana Djajengsari. Ketika
melihat putri itu, ia kira telah bertemu dengan Dewi Anggreni. Dipegangnya
putri itu dan berkata : “Selamat datang Anggreni.”
“Namaku mandaja Prana,” kata putri itu kemalu-maluan.
Sekian lamanya baru diketahui oleh Kelana Djajengsari bahwa ia telah
khilaf. Ia tak berkata lagi kepada putri itu, tetapi kepada Patih itu dia
mengatakan : “Bawalah putri dan putra itu kembali kepada ayahnya.
Katakanlah kepada raja Bali itu, bahwa aku tidak suka menerima tanda
kekalahan itu, Kata-katanya saja, telah cukup untukku. Pergilah Patih, dan
sampaikanlah pessanku ini!”
Alangkah girangnya raja Djaja Natpada melihat kedua anaknya telah
kembali. Yang mulia juga senang mendengarkan pesan yang dibawa oleh Patih
itu.
Malam itu juga Kelana Djajengsari meninggalkan kerajaan Bali. Ia
menyeberang ke Belambangan, karena tujuannya hendak menaklukkan
kerajaan itu.
Kerajaan Belambangan ditaklukkannya seperti kerajaan Bali. Rajanya
menyerah saja, karena telah didengar berita, bahwa Kelana Djajengsari tidak
dapat dikalahkan. Ia dilindungi oleh dewa-dewa, sehingga ia dan pengikutnya
kebal, tak mempan kena senjata tajam. Sebagai tanda kekalahan, raja
Belambangan memberikan putra dan putrinya beserta seekor gajah dan seekor
kuda yang tangkas.
Sesudah itu Kelana Djajengsari menaklukkan kerajaan Besuki,
Lumadjang, Prabalingga, Pasuruan dan Malang. Semua raja-raja dari kerajaan
itu takluk kepada Kelana Djajengsari, pahlawan muda itu.
Setelah menaklukkan semua kerajaan- kerajaan itu, Kelana Djajengsari
hendak beristirahat kedalam hutan.
Ketika ia sampai didalam sebuah hutan, tidak diketahuinya hutan itu
terletak dalam kerajaan apa. Tetapi Kebo Pandogo mengetahuinya, karena
ialah yang membawa Kelana Djajengsari kehutan itu. Ia menasehati Pangeran
untuk pergi kehutan itu, karena letaknya dalam kerajaan Kediri. Orang tua itu
berpikir, bahwa tujuannya akan tercapai, karena kalau Kelana Djajengsari
bertemu dengan Dewi Sekar Tandji, tentu ia akan lupa dengan Dewi Anggreni.
Raja Kediri mempunyai lima anak, yang tua Raden Kerta Sari, yang
kedua Dewi Sekar Tadji dan dua orang adik prempuannya, Dewi Mindoko dan
Dewi Tamihoji. Putra yang bungsu Bernama Raden Gunung Sari.
Pada saat Kelana Djajengsari beristirahat di hutan itu, raja Kediri hendak
berperang dengan raja Gadjah Angun-angun dari kerajaan Metaun. Yang mulia
sangat ketakutan, karena tantara Metaun amat besar dan kuat. Apa lagi
beberapa rombongan tentara itu telah berada diperbatasan kerajaan Kediri.
Tentara-tentara itu hanya menantikan perintah lagi dari raja Gadjah Angun-
angun. Rakyat Kediri telah berputus asa, karena kerajaannya pasti akan takluk.
Siang malam raja Kediri memikir-mikirkan bagaimana akan melawan tantara
Metaun. Akhirnya yang mulia berangkat kedalam hutan untuk menanyakan hal
itu kepada seorang tapa.
“Mintalah pertolongan kepada teman-teman tuanku,” kata tapa itu.
“Pertolongan siapakah yang akan aku minta?” tanya yang mulia.
“Siapakah diantara teman-temanku yang mempunyai tantara yang sama
kuatnya dengan tantara musuh itu? Dan akan sukakah mereka membantu aku
melawan raja itu?”
“Dengarkanlah, anakku,” kata tapa itu. “Aku lebih banyak melihat dan
mengetahui dari orang lain. Aku tahu, bahwa sekarang ada seorang pahlawan
yang mengembara didaerah ini. Namanya Kelana Djajengsari. Ia ternama,
karena telah mengelahkan banyak kerajaan-kerajaan lain. Dari kerajaan Bali
sampai kedaerah ini dikenali orang. Banyak raja-raja yang tunduk kepadanya.
Mintalah bantuan kepada pahlawan itu untuk melawan musuh yang kuat itu.
Tentu anakku akan menang!”
“Daimanakah aku dapat menemui pahlawan itu?” tanya yang mulia
kepada tapa itu.
“Pada saat ini ia bersama dengan pengikutnya berada dalam hutan dekat
Pasuruan. Pergilah kesana segera mungkin!”
Raja Kediri berterima kasih kepada tapa itu dan pada malam itu juga
yang mulia menyuruh Patih dengan pengiringnya pergi mencari pahlawan itu.
Setelah bertemu, Patih menyempaikan pesan pada yang mulia. Diberikannya
pula sepucuk surat dari yang mulia dan mengatakan, bahwa kalau kerajaan
Kediri menang, yang mulia akan menyerahkan Dewi Sekar Tadji, putri yang
mulia, kepada pahlawan itu, untuk menjadi istrinya.
Ketika Kelana Djajengsari membaca surat itu, lalu diperlihatkan kepada
Kebo Pandogo yang bijaksana, dan ditanyakan bagaimana pendapatnya.
“Kita tentu mesti mengabulkan permintaan raja Kediri itu,” kata Kebo
Pandogo yang bijaksana itu. “Lebih baik kita berangkat segera bersama-sama
dengan Patih ini.”
Kelana Djajengsari setuju, lalu berangkat segera dengan pengikut-
pengikutnya, bersama putri Ragil Kuning, diikuti oleh Kebo Pandogo dan
rombongan Patih. Terlebih dahulu telah diutus seorang hamba, hendak
memberitahukan kepada raja Kediri, akan bersiap menantikan kedatangan
Kelana Djajengsari dengan pengikut-pengikutnya.
Yang mulia sangat girang mendengarkan berita itu, lalu memerintahkan
kepada para panglima perang dan menteri, akan menantikan pahlawan itu
didepan pintu gerbang dengan segala upacara kehormatan.
Setelah Kelana Djajengsari sampai, ia disambut dengan segala adat
kehormatan dan diiringkan keistana yang mulia. Raja Kediri menyambut
pahlawan itu dengan segala hormat dan berkata : “Aku telah mendengar
kegagahanmu dan kemenangan-kemenanganmu melawan musuh. Sebab itu
aku berterima kasih atas kedatanganmu dan suka akan menolongku melawan
musuhku. Sekiranya aku memang, putriku, Dewi Sekar Tadji, akan jadi istrimu.
Ia dahulu telah dipertunangkan dengan Raden Pandji Kuda Wanengpati, anak
raja Djenggala. Tetapi saying, ia telah mati dalam lautan. Sebab itu, aku boleh
mengawinkan putriku dengan orang yang aku sukai.”
Kelana Djajengsari tersenyum saja mendengarkan perkataan raja itu. Ia
hendak menjawab, tetapi Kebo Pandogo yang duduk dibelakangnya, memberi
ia isyarat. Ia takut, kalau Kelana Djajengsari akan menceritakan halnya. Ketika
ia melihat kepada orang tua itu, barulah ia mengerti apa maksudnya.
Di Kediri, Djajengsari dan pengiringnya tinggal diasrama Tambakbaja.
Kamar yang terindah sekali disediakan untuk Kelana Djajengsari, putri
Ragil kuning dan Kebo Pandogo. Semua pengikut-pengikutnya pun diberikan
tempat yang terbagus.
Keesokan harinya Kelana Djajengsari mengutus adiknya putri Ragil
Kuning, menghadap raja Kediri, dan mempersembahkan hadiah untuk Dewi
Sekar Tadji. Hadiah itu terdiri dari kain sutra yang sangat halus, gelang dan
cincin emas yang bertaburan intan warna-warni. Semuanya diperoleh Kelana
Djajengsari sebagai tanda kekalahan dari raja-raja yang ditaklukkannya.
Yang mulia menerima putri Ragil Kuning dengan hormat dan yang mulia
sendiri mengantarkan ia kekamar Dewi Sekar Tadji.
Ketika Rgil Kuning melihat Dewi Sekar Tadji, ia sangat terkejut, karena
rupanya seperti pinang dibelah dua dengan Dewi Anggreni. Sekejap itu juga
pergi bergegas-gegas menceritakan kepada seudaranya. “Saudaraku,
bermohonlah kepada yang mulia akan melihat Dewi Sekar Tadji,” katanya.
“Lihatlah rupanya, tidak berbeda dengan mendiang Dewi Anggreni.”
Kelana Djajengsari marah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia
tak suka melihat Dewi Sekar Tadji dan tak percaya, bahwa ia serupa dengan
Dewi Anggreni, kekasihnya. “Tiada orang lagi secantik Dewi Anggreni,”
keluhnya. Untuk menyembuhkan dukacitanya, ia pergi dengan Kebo Pandogo,
dan bersiap untuk peperangan. Saat raja Kediri menyaksikan Kelana
Djajengsari berangkat dengan pengikut-pengikutnya yang tak seberapa, yang
mulia heran bagaimana ia akan mengalahkan tantara Metaun yang banyak dan
kuat itu.
Ketika terdengar berita oleh raja Metaun, bahwa Kelana Djajengsari,
pahlawan gagah perkasa, membantu raja Kediri, yang mulia sangat marah dan
ketakutan. Karena takut akan dikalahkan pahlawan itu, yang mulia menyuruh
bakar desa-desa yang dijalani. Perintah raja Metaun itu, menyebabkan
kerusuhan yang lebh besar.
Penduduk desa itu berbondong-bondong mencari yang mulia. Mereka
menyangka, bahwa musuh yang membakar desa itu dan menceritakan
kepadanya, bahwa tentara pahlawan Kelana Djajengsari itu sangat banyak dan
kuat jadi mustahil untuk dikalahkan.
Sungguh pun begitu raja Metaun meneruskan juga peperangan itu.
Tetapi, saat tantara yang mulia sehari semi sehari berkurang dan banyak yang
melarikan diri kepegunungan, raja-raja persekutuan yang mulia mengakui
bahwa Kelana Djajengsari tak dapat dikalahkan.
Raja Metaun, tidak senang hati dengan raja-raja persekutuan itu. Karena
yang mulia ditinggalkan raja-raja itu, yang mulia menetapkan akan pergi sendiri
menyerang pahlawan itu. Yang mulia melengkapkan alat senjata, lalu
berangkat mengendarai seekor gajah kemedan peperangan diiringi oleh
beberapa orang tantara. Yang mulia menyerbu ketengah-tengah musuh dan
menyerang tantara raja Kediri. Pertempuran itu berlaku sampai hampir malam.
Yang mulia melawan dengan gagah berani, sehingga banyak dari tantara Kediri
yang tewas. Esok harinya yang mulia akan meneruskan pertempuran itu
melawan Kelana Djajengsari.
Kelana Djajengsari keesokan harinya telah bersiap dan hendak
berangkat, tetapi terdengar suara prempuan berseru dibelakangnya :
“Izinkanlah aku ikut berperang dengan tuan!”
Kelana Djajengsari menyangka bahwa saudaranya, Ragil Kuning yang
berseru itu dan mengacungkan tangannya, menolak permintaan itu. Tetapi
ketika ia menoleh kebelakang, terkejutlah ia melihat wajah mendiang Dewi
Anggreni, istrinya, lalu berkata : “Istriku yang kucinta, apa benar engkau
kembali?”
“Tuan khilaf, Pangeran Kelana Djajengsari. Aku belum jadi istri tuan,”
kata Dewi yang cantik itu dengan suara lemah lembut. “Aku Dewi Sekar Tadji,
putri raja Kediri. Rakyat menamakan aku “putri gagah berani”. Sebenarnya! Aku
bukan pengecut. Sebab itu aku akan ikut melawan raja Metaun. Bolehkah aku
ikut disamping tuan mengendarai gajah putihku? Ia seekor binatang yang
pintar, mengerti perkataan orang dan ia kebal.”
“Dewi cantik,” kata Kelana Djajengsari, “aku tak berani membiarkan
engkau menemui bahaya itu.”
Putri itu mendesak untuk ikut, karena ia hendak mencoba kecakapannya
melemparkan tombak. Dengan mengendarai gajah putihnya, Dewi Sekar Tadji
mengikuti Kelana Djajengsari kemedan pertempuran.
Ketika raja Metaun bertemu dengan kedua pahlawan mud aitu, yang
mulia berkata kepada Kelana Djajengsari : “Sekarang engkau harus merasakan
tusukan tombakku. Kalau sekiranya engkau betul pahlawan, janganlah engkau
mengeluh.” Ketika itu yang mulia menusuk pahlawan itu berulang-ulang, tetapi
selalu dapat ditangkisnya. Yang mulia sangat amat marah, lalu mencabutkan
pedangnya. Pedang itupun dapat ditangkis oleh Kelana Djajengsari dengan
mudah. Raja Metaun bertambah merah, sehingga mulutnya berbuih-buih,
giginya berderak-derak dan matanya seakan-akan keluar dari lubangnya, lalu
menghunuskan keris dan berkata dengan suara yang kasar : “Turunlah dari
gajahmu itu dan marilah kita berkelahi seorang lawan seorang dengan keris.”
“Aku selalu bersedia, tuanku raja Metaun,” kata Kelana Djajengsari
dengan sabar, sambil meluncur dari punggung gajahnya dan memegang keris.
Raja itu tidak mengetahui, bahwa Kelana Djajengsari mempunyai keris
Kala Misani, yang diterimanya dari dewa-dewa. Tak seorang pun tahu bahwa
sebuah tusukan dengan keris itu akan selalu mengenai. Karena amarah yang
dahsyat, raja Metaun membabi buta menyerang Kelana Djajengsari. Dengan
tenang, pahlawan itu menantikan serangan raja itu. Sebelum raja Metaun
menusuk Kelana Djajengsari, yang mulia telah rubuh ke tanah, karena keris
pahlawan itu telah lebih dahulu menembus dada yang mulia.
Ketika itu juga raja Metaun menghembuskan napas penghabisannya.
Pengikut-pengikut yang mulia sekarang mengakui, bahwa pahlawan Kelana
Djajengsari, dilindungi dewa-dewa. Sebab itu mereka berlarian dan
meninggalkan senjata-senjata mereka dimedan pertempuran itu.
Kelana Djajengsari kembali bersama-sama dengan Dewi Sekar Tadji ke
istana raja Kediri. Ia disambut dengan suka ria oleh yang mulia dan
mengiringkan ia kedalam istana. Baru saja sampai didalam istana, Kelana
Djajengsari jatuh pingsan. Raja Kediri, Dewi Sekar Tadji dan putri Ragil Kuning
kecemasan, sementara Kebo Pandogo berlutut memeriksa pahlawan itu, kalau
ia mendapat luka parah.
“Lukakah ia?” tanya yang mulia kepada orang tua itu.
“Biar ia luka atau patah tulang rusuk dan tangannya, tidak mengapa,”
seru orang tua itu berdukacita “Tetapi sekarang ia tidak bernafas lagi . . . . . . . “
Semuanya memandang kecemasan kepada pahlawan yang tak
bergerak-gerak. Dewi Sekar Tadji berkata dengan putus asa : “Aku berjanji,
kalau ia baik kembali, aku akan menjadi hambanya . . . . .”
Baru saja perkataan itu diucapkan oleh Dewi itu, Kelana Djajengsari
membukakan matanya. Ketika putri itu berlutut disampingnya dan mengatakan
bahwa ia akan menjadi hambanya, Kelana Djajengsari berbisik : “Tidak,
kekasihku, Dewi Anggreni. Engkau tidak menjadi hambaku, tetapi menjadi
istriku, karena engkau telah turun kembali dari langit.”
Dewi Sekar Tadji berdukacita, karena Kelana Djajengsari memandang ia
sebagai istrinya yang kembali dari langit.
Tetapi saat ia teringat pada Raden Pandji Kuda Wanengpati, yang dulu
bakal jadi suaminya, kalau ia tidak mati tenggelam dilaut kuala Kamal, ia girang
kembali. Ia merasa bangga dan berbahagia akan kawin dengan pahlawan yang
gagah berani seperti Kelana Djajengsari.
Perkawinan Kelana Djajengsari dengan Dewi Sekr Tadjio dirayakan
besar-besaran. Acara dan jamu-jamuan diadakan beberapa hari lamanya.
Pada suatu hari ditengah sibuknya acara, Dewi Sekar Tadji pergi
bersama-sama dengan pengasuhnya kesebuah kuil yang dekat dari istananya,
untuk bermohon kepada dewa-dewa akan keselamatan dan kebahagiaan
perkawinannya. Setelah itu ia bertanya kepada dewa Kama Djaja, apakah
Raden Kuda Wanengpati, calon suaminya yang dulu itu benar-benar telah mati
tenggelam.
Pada hari itu Kelana Djajengsari pergi juga ke kuil itu. Ketika ia melihat
Dewi Sekar Tadji masuk dengan pengasuhnya, ia menyamar jadi dewa Kama
Djaja, dan pergi duduk diatas sebuah batu dipojok yang gelap, supaya rupanya
tidak kelihatan oleh putri itu. Ketika putri itu. Telah dekat benar kepadanya, ia
mulai berkata dengan suara yang diubahnya : “Dewi Sekar Tadji yang cantik,
mengapa engkau datang kemari? Apakah permintaanmu kepada kami? Kamu
cantik, baik hati dan kaya. Suamimu gagah berani. Katakanlah, apa yang kamu
inginkan lagi?”
“Siapakah tuan, yang berkata seperti itu kepadaku,” tanya Dewi Sekar
Tadji. “Setankah tuan atau salah satu dari dewa-dewa kami?”
“Seorang dari dewa-dewam,” kata Kelana Djajengsari. “Aku Kama Djaja,
yang diutus oleh Batara Guru padamu. Beliau melihat engkau turun dari langit
kesini. Oleh karena beliau menghendaki, supaya engkau selalu berbahagia,
beliau ingin mengetahui apa yang engkau rusuhkan. Ceritakanlah kepadaku.”
“Tak ada yang aku rusuhkan, dewa yang mulia,” jawab putri itu. “Aku
hanya ingin mengetahui, apakah Raden Pandji Kuda Wanengpati, suamiku itu,
betul-betul sudah mati?”
“Mengapa engkau ingin mengetahui tentang hal itu?” tanya Kama Djaja.
“Ya,” kata putri itu, “kalau ia masih hidup, aku tidak dapat kawin dengan
Kelana Djajengsari.”
“Dengarkanlah, putri,” kata Kama Djaja palsu itu. “Raden Pandji Kuda
Wanengpati tidak meninggal dunia.” Ia hanya menjelma menjadi Kelana
Djajengsari . Janganlah menceritakan berita ini kepada orang lain, biarpun
kepada Kelana Djajengsari sendiri. Pergilah pulang putri, suamimu telah
menanti.”
Baru saja Dewi Sekar Tadji meninggalkan kuil itu, Kelana Djajengsari
yang menyamar sebagai dewa Kama Djaja, dengan segera pergi ke istana,
mendahului Dewi Sekar Tadji. Ia tak akan berkata apa-apa tentang kuil itu,
kalau ditanyakan oleh Dewi Sekar Tadji. Tetapi putri itu tak menanyakan juga,
karena sangat girang, bahwa Kelana Djajengsari sebenarnya Raden Pandji
Kuda Wanengpati.
Perkawinan Dewi Sekar Tadji dengan Kelana Djajengsari, diketahui oleh
raja Djenggala yang sedang bertapa dihutan Keputjangan. Yang mulia sangat
marah, karena saudaranya raja Kediri telah berani mengawinkan Dewi Sekar
Tadji, tunangan putra yang mulia, Raden Pandji Kuda Wanengpati, dengan
Kelana Djajengsari orang asing. Dengan segera yang mulia memerintah
Tumenggung Bradja Nata untuk pergi menyerang karajaan Kediri dan
membunuh Kelana Djajengsari. Setelah diterima perintah itu, Tumenggung
Bradja Nata berangkat dengan tantara yang sangat besar dan kuat. Beberapa
hari kemudian pasukan itu telah berada diperbatasan kerajaan Kediri.
Mendengarkan berita itu Kelana Djajengsari tak sedikit pun merasa takut.
Tetapi kabar itu belum dipercayainya. Sebab itu ia menyuruh saudara Dewi
Sekar Tadji, pangeran Gunung Sari, dengan beberapa orang pengiringnya,
menyelidiki keadaan itu.
Beberapa hari kemudian Pangeran Gunung Sari kembali dan
menyampaikan kabar itu kepada Kelana Djajengsari.
“Betul, kakanda Kelana Djajengsari,” kata pangeran itu. “Aku lihat tantara
Djenggala telah berada di desa Semampir. Aku menemui salah satu dari
pahlawan tantara itu. Ia besar dan kuat seperti seorang raksasa. Aku katakana
kepadanya, bahwa aku tersesat dalam perjalanan dan aku tanyakan
kepadanya, mengapa ia berperang dengan Kerajan Kediri.
“Dan apakah jawabannya?” tanya Kelana Djajengsari.
“Katanya, bahwa ia segera mungkin akan memasuki pintu gerbang kita,”
jawab Pangeran Gunung Sari. “Maksudnya dating kemari akan menangkap dan
membunuuh kakanda, karena kakanda sebagai seorang asing, berani
mengawini Dewi Sekar Tadji, tunangan Raden Pandji Kuda Wanengpati. Itulah
sebabnya kakanda dicarinya. Raja Djenggala sangat marah kepada kakanda
dan yang mulia menyuruh Tumenggung Bradja Nata, putra yang mulia, akan
membunuh kakanda.”
Kelana Djajengsari berterima kasih kepada pangeran itu, lalu segera
pergi menemui raja Kediri.
Yang mulia tidak mengetahui bahwa Kelana Djajengsari, menantunya itu,
anak bungsu dari raja Djenggala, lalu berkata : “Tentu saja kita harus siap
untuk peperangan itu. Tentara kita cukup kuat. Kita mesti melawan dan
menaklukkannya. Tahukah engkau bahwa engkau dilindungi dewa-dewa dan
tak mempan kena senjata?”
“Betul ayahanda,” kata Kelana Djajengsari. “Sungguhpun begitu, aku
tidak mau melawan Tumenggung Bradja Nata. Ku tidak mua melawan raja
Djenggala, dan aku akan menyerah.”
Sesudah ia berkata itu, ia memanggil Kebo Pandogo, dan
memerintahkan supaya ia memberitakuhan kepada semua prajurit untuk
menyerah, kalau tantara Djenggala itu telah masuk.
Beberapa hari kemudian, tentara Tumenggung Bradja Nata memasuki
pintu gerbang kerajaan Kediri lalu Tumenggung Bradja Nata menemui raja
Kediri dan berkata : “Ayahku, raja Djenggala, sangat marah kepada tuanku,
dan terlebih-lebih marah kepada Kelana Djajengsari orang asing itu, yang
tuanku kawinkan dengan Dewi Sekar Tadji, putri tuanku.”
“Mengapa aku tidak bopleh mengawinkan putriku dengan Kelana
Djajengsari?” tanya raja Kediri keheranan. “Ia seorang anak raja dan pahlawan!
Bukankah Raden Pandji Kuda Wanengpati telah meninggal dunia?
Mengapakah Dewi Sekar Tadji tidak boleh kawin dengan yang lain?”
“Krena kami belum pastikan kematian saudaraku itu,”
Kata Tumenggung Bradja Nata. “Mayatnya belum ditemui. Panggillah Kelana
Djajengsari itu. Aku sendiri akan menjatuhkan hukuman mati untuk ia.
Sekarang juga, sebelum matahari terbenam, ia akan aku bunuh. Kepalanya
akan aku penggal dan digantungkan di hutan Keputjangan.”
Mendengarkan hukuman itu, yang mulia sangat berdukacita. Dengan
suara yang gemetar, yang muliua memerintah seorang menteri pergi
memanggil Kelana Djajengsari.
Pahlawan itu datang dengan gagah, membusungkan dada dan
menegakkan kepalanya. Ia tidak menyembah kehadapan raja Djenggala itu.
Dengan muka yang tenang dan mata yang tak bergerak-gerak, memandang
saudara tuannya itu.
Baru saja Tumenggung Bradja Nata melihat wajah saudaranya, Raden
Pandji Kuda Wanengpati, ia berlari kepadanya dengan tangan terbuka, dan
berseru kegirangan : “Ini bukan Kelana Djajengsari! Ini saudaraku yang hilang,
Raden Pandji Kuda Wanengpati. Ia berhak kawin dengan putri tuanku, Dewi
Sekar Tandji.”
Pada hari itu penduduk istana tidak berdukacita melainkan bersukaria.
Empat puluh hari empat puluhbmalam lamanya diadakan acara yang besar dan
meriah.
Setelah acara itu selesai, Kelana Djajengsari atau sekarang Raden
Pandji Kuda Wanengpati, pergi dengan istrinya beserta beberapa orang inang
pengsuhnya, ke pulau Kentjana jauh dari kerajaan Kediri. Ia menjalani riba raja
pulau itu. Tiba-tiba dibawah pohon angsoka Raden Pandji menemui seorang
gadis yang cantik duduk disamping seorang prempuan tua yang telah berkerut
wajahnya. Gadis itu seperti pinang dibelah dua dengan mendiang Dewi
Anggreni dan prempuan tua itu seperti pengasuhnya. Raden Pandji seakan-
akan terpaku kakinya ditanah saat melihatnya. Mulutnya tertutup, tak dapat
berkata-kata dan hanya memandang gadis itu.
Tetapi tengah ia memandang-mandang, berdukacita memikirkan, bahwa
Dewi Anggreni sebenarnya telah hidup kembali sedangkan ia telah kawin
dengan Dewi Sekar Tadji, turunlah dari angkasa Dewa Narada, lalu berkata
kepada Raden Pandji : “Raden Pandji Kuda Wanengpati, engkau dilindungi
oleh dewa-dewa. Batara Guru mengutus aku kepadamu, untuk menerangkan
hal yang sulit ini. Ketahuilah, bahwa Dewi Anggreni lenyap dari dunia, atas
Batara Guru. Karena didunia ini tak boleh dua orang yang serupa. Karena Dewi
Anggreni seperti pinang dibelah dua dengan Dewi Sekar Tadji, sebagai dua
bintang yang sebentuk dilangit, dewa-dewa menjadikan Dewi Anggreni cahaya
bulan. Tetapi aku akan membuktikan kepadamu, bahwa kedua istri yang
kaucintai itu sangat serupa, Dewi Anggreni turun sebentar dengan pengasuh
tuanya. Dari sekarang Dewi Sekar Tadji dan Dewi Anggreni akan Bersatu. Dewi
persatuan itu dinamakan : Tjandra Kirana atau cahaya bulan dan
kecantikannya akan sama gemilang dengan namanya itu.”
Setelah itu Dewa Narada tak berkata lagi dan kembali ke angkasa. Ketika
Raden Pandji Kuda Wanengpati melihat ke pohon angsoka itu, yang dilihat
istrinya, Dewi Sekar Tadji, yang bertambah cantik dan berseri. Sekarang
Namanya Tjandra Kirana atau cahaya bulan. Tetapi Dewi Anggreni dan
pengasuh tuanya tidak terlihat lagi dibawah pohon angsoka itu. Sekarang
barulah Raden Pandji Kuda Wanengpati mengerti bahwa kedua dewi itu
sebenarnya telah menjadi satu.

Anda mungkin juga menyukai