Anda di halaman 1dari 17

SAWERIGADING

Alkisah, di daerah Luwu, Sulawesi Selatan, hiduplah seorang raja bernama La Togeq
Langiq atau lebih dikenal dengan panggilan Batara Lattu’. Sang Raja mempunyai dua istri,
yaitu satu dari golongan manusia biasa (penduduk dunia nyata) bernama We Opu Sengngeng,
dan satu lagi berasal dari bangsa jin. Dari perkawinannya dengan We Opu Sengengeng lahir
sepasang anak kembar emas, yakni seorang laki-laki bernama Sawerigading, dan seorang
perempuan bernama We Tenriabeng. Berdasarkan ramalan Batara Guru (ayah Raja Luwu),
Sawerigading dan We Tenriabeng kelak akan saling jatuh cinta dan menikah. Padahal
menurut adat setempat, seseorang sangat pantang menikahi saudara kandung sendiri. Agar
tidak melanggar adat tersebut, Raja Luwu pun membesarkan kedua anak kembarnya tersebut
secara terpisah. Ia menyembunyikan anak perempuannya (We Tenriabeng) di atas loteng
istana sejak masih bayi.

Waktu terus berjalan. Sawerigading tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan tampan,
sedangkan We Tenriabeng tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita. Namun, sepasang anak
kembar tersebut belum saling mengenal.
Pada suatu hari, Sawerigading bersama sejumlah pengawal istana diutus oleh ayahnya
berlayar ke Negeri Taranati (Ternate) untuk mewakili Kerajaan Luwu dalam sebuah
pertemuan para pangeran. Namun sebenarnya tujuan utama Sawerigading diutus pergi jauh
ke Ternate karena saudara kembarnya We Tenriabeng akan dilantik menjadi bissu dalam
sebuah upacara umum, yang tentu saja tidak boleh dihadirinya karena dikhawatirkan akan
bertemu dengan We Tenriabeng.

Dalam perjalanan menuju ke Negeri Ternate, Sawerigading mendapat kabar dari seorang
pengawalnya bahwa ia mempunyai saudara kembar yang cantik jelita. Sawerigading
tersentak kaget mendengar kabar tersebut.

“Apa katamu? Aku mempunyai saudara kembar perempuan?” tanya Sawerigading dengan
kaget.

“Benar, Pangeran! Saudaramu itu bernama Tenriabeng. Ia disembunyikan dan dipelihara di


atas loteng istana sejak masih kecil,” ungkap pengawal itu.

Sekembalinya dari Ternate, Sawerigading langsung mencari saudara kembarnya yang


disembunyikan di atas loteng istana. Tak pelak lagi, Sawergading langsung jatuh cinta saat
melihat saudara kembarnya itu dan memutuskan untuk menikahinya. Raja Luwu Batara
Lattu’ yang mengetahui rahasia keluarga istana tersebut terbongkar segera memanggil
putranya itu untuk menghadap.

“Wahai, Putraku! Mengharap pendamping hidup untuk saling menentramkan hati bukanlah
hal yang keliru. Tapi, perlu kamu ketahui bahwa menikahi saudara kandung sendiri
merupakan pantangan terbesar dalam adat istiadat kita. Jika adat ini dilanggar, bencana akan
menimpa negeri ini. Sebaiknya urungkanlah niatmu itu, Putraku!” bujuk Raja Luwu Batara
Lattu’.
Namun, bujukan Ayahandanya tersebut tidak menyurutkan niat Sawerigading untuk menikahi
adiknya. Namun, akhirnya Sawerigading mengalah setelah We Tenriabeng memberitahunya
bahwa di Negeri Cina (bukan Cina di Tiongkok, tapi di daerah Tanete, Kabupetan Bone,
Sulawesi Selatan) mereka mempunyai saudara sepupu yang sangat mirip dengannya.

“Bang! Pergilah ke Negeri Cina! Kita mempunyai saudara sepupu yang bernama We Cudai.
Ayahanda pernah bercerita bahwa aku dan We Cudai bagai pinang dibelah dua,” bujuk We
Cudai.

“Benar, Putraku! Wajah dan perawakan We Cudai sama benar dengan adikmu, We
Tenriabeng,” sahut Raja Luwu Batara Lattu’.

Untuk membuktikan kebenaran kata-katanya, We Tenriabeng memberikan sehelai rambut,


sebuah gelang dan cincinnya kepada Sawerigading. We Tenriabeng juga berjanji jika
perkataannya tidak benar, ia berbersedia menikah dengan Sawerigading.

“Bang! Jika rambut ini tidak sama panjang dengan rambut We Cudai, gelang dan cincin ini
tidak cocok dengan pergelangan dan jarinya, aku bersedia menikah dengan Abang,” kata We
Tenriabeng.

Akhirnya, Sawerigading pun bersedia berangkat ke Negeri Cina, walaupun dihatinya ada rasa
kecewa kepada orang tuanya karena tidak diizinkan menikahi adiknya. Untuk berlayar ke
Negeri Cina, Sawerigading harus menggunakan kapal besar yang terbuat dari kayu
welérénngé (kayu belande) yang mampu menahan hantaman badai dan ombak besar di
tengah laut.

“Wahai, Putraku! Untuk memenuhi keinginanmu memperistri We Cudai, besok pergilah ke


hulu Sungai Saqdan menebang pohon welérénngé raksasa untuk dibuat perahu!” perintah
Raja Luwu Batara Lattu’.

Keesokan harinya, berangkatlah Sawerigading ke tempat yang dimaksud ayahnya itu. Ketika
sampai di tempat itu, ia pun segera menebang pohon raksasa tersebut. Anehnya, walaupun
batang dan pangkalnya telah terpisah, pohon raksasa itu tetap tidak mau roboh. Namun, hal
itu tidak membuatnya putus asa. Keesokan harinya, Sawerigading kembali menebang pohon
ajaib itu, tapi hasilnya tetap sama. Kejadian aneh ini terulang hingga tiga hari berturut-turut.
Sawerigading pun mulai putus asa dan hatinya sangat galau memikirkan apa gerangan
penyebabnya.

Mengetahui kegalauan hati abangnya, pada malam harinya We Tenriabeng secara diam-diam
pergi ke hulu Sungai Saqdan. Sungguh ajaib! Hanya sekali tebasan, pohon raksasa itu pun
roboh ke tanah. Dengan ilmu yang dimilikinya, We Tenriabeng segera mengubah pohon
raksasa itu menjadi sebuah perahu layar yang siap untuk mengarungi samudera luas.
Keesokan harinya, Sawerigading kembali ke hulu Sungai Saqdan. Betapa terkejutnya ia
ketika melihat pohon welérénngé raksasa yang tak kunjung bisa dirobohkannya kini telah
berubah menjadi sebuah perahu layar.

“Hai, siapa yang melakukan semua ini?” gumam Sawerigading heran.

“Ah, tidak ada gunanya aku memikirkan siapa yang telah membantuku membuat perahu layar
ini. Yang pasti aku harus segera pulang untuk menyiapkan perbekalan yang akan aku bawa
berlayar ke Negeri Cina,” pungkasnya seraya bergegas pulang ke istana.

Setelah menyiapkan sejumlah pengawal dan perbekalan yang diperlukan, berangkatlah


Sawerigading bersama rombongannya menuju Negeri Cina. Dalam perjalanan, mereka
menemui berbagai tantangan dan rintangan seperti hantaman badai dan ombak serta serangan
para perompak. Namun, berkat izin Tuhan Yang Mahakuasa, Sawerigading bersama
pasukannya berhasil melalui semua rintangan tersebut dan selamat sampai di tujuan.

Setibanya di Negeri Cina, Sawerigading mendengar kabar bahwa We Cudai telah


bertunangan dengan seorang pemuda bernama Settiyabonga. Namun, hal itu tidak
menyurutkan niatnya untuk melihat langsung kecantikan wajah We Cudai. Untuk itu, ia pun
memutuskan untuk menyamar menjadi pedagang orang oro (berkulit hitam). Untuk
memenuhi penyamarannya, ia harus mengorbankan satu nyawa orang oro sebagai tumbal.
Pada mulanya, orang oro yang akan dijadikan tumbal tersebut mengiba kepadanya.

“Ampun, Tuan! Jika kulit saya dijadikan pembungkus tubuh Tuan, tentu saya meninggal.”

Namun, setelah Sawerigading membujuknya dengan tutur kata yang halus, akhirnya orang
oro itu pun bersedia memenuhi permintaannya. Setelah itu, Sawerigading segera menuju ke
istana sebagai oro pedagang. Setibanya di istana, ia terkagum-kagum melihat kecantikan We
Cudai.

“Benar kata Ayahanda, We Cudai dan We Tenriabeng bagai pinang dibelah dua. Perawakan
mereka benar-benar serupa,” ucap Sawerigading.

Setelah membuktikan kecantikan We Cudai, Sawerigading segera mengirim utusan untuk


melamarnya dan lamarannya pun diterima oleh keluarga istana Kerajaan Cina. Namun,
sebelum pesta pernikahan dilangsungkan, We Cudai mengirim seorang pengawal istana
untuk mengusut siapa sebenarnya calon suaminya itu.

Suatu hari, utusan itu mendekati perahu layar Sawerigading yang tengah bersandar di
pelabuhan. Kebetulan, saat itu para pengawal Sawerigading yang berbulu lebat sedang mandi.
Utusan itu ketakukan saat melihat tampang mereka yang dikiranya “orang-orang biadab” dan
mengira bahwa wujud Sawerigading serupa dengan mereka. Ia pun segera kembali ke istana
untuk menyampaikan kabar tersebut kepada We Cudai. Mendengar kabar tersebut, We Cudai
pun berniat untuk membatalkan pernikahannya dan mengembalikan semua mahar
Sawerigading.
Sawerigading yang mendengar kabar buruk tersebut segera menghapus penyamarannya
sebagai orang oro dan mengenaikan pakaian kebesarannya, lalu segera menghadap Raja Cina.
Sesampainya di istana, ia pun segera menceritakan asal-usul dan maksud kedatangannya ke
Negeri Cina.

“Ampun, Baginda Raja! Perkenalkan nama Ananda Sawerigading Putra Raja Luwu Batara
Lattu’ dari Sulawesi Selatan. Ananda datang menghadap membawa amanat Ayahanda,
dengan harapan sudilah kiranya Baginda menerima Ananda sebagai menantu Baginda,”
ungkap Sawerigading.

“Hai, Anak Muda! Kamu jangan mengaku-ngaku! Apa buktinya bahwa kamu adalah putra
dari saudaraku itu?” tanya Raja Cina.

Sawerigading pun segera memperlihatkan sehelai rambut, sebuah gelang dan cincin
pemberian We Tenriabeng kepada Raja Cina seraya menceritakan semua kejadian yang
dialaminya hingga ia bisa sampai ke Negeri Cina. Mendengar harapan dan permohonan
saudaranya melalui keponakannya itu, Raja Cina terdiam sejenak, lalu berkata:

“Baiklah! Sekarang aku percaya bahwa kamu adalah keponakanku. Ayahandamu dulu pernah
mengirim kabar kepadaku bahwa ia mempunyai anak kembar emas. Anaknya yang
perempuan wajah dan perawakaannya serupa dengan putriku.”

Untuk lebih meyakinkan dirinya, Raja Cina segera memanggil putrinya untuk menghadap.
Tak berapa lama, We Cudai pun datang dan duduk di samping ayahandanya. Saat melihat
pemuda tampan yang duduk di hadapan ayahandanya, We Cudai tampak gugup dan hatinya
tiba-tiba berdetak kencang. Rupanya, ia jatuh hati kepada pemuda itu yang tak lain adalah
Sawerigading.

“Ada apa gerangan Ayahanda memanggil Ananda?” tanya We Cundai tertunduk malu-malu.

“Wahai Putriku, ketahuilah! Sesungguhnya orang yang melamarmu beberapa hari yang lalu
ternyata sepupumu sendiri. Namanya Sawerigading. Ayahanda bersaudara dengan ayahnya.
Tapi, untuk menyakinkan kebenaran ini, cobalah kamu cocokkan panjang rambut ini dengan
panjang rambutmu dan pakailah gelang dan cincin ini!” pinta Raja Cina seraya memberikan
sehelai rambut, sebuah gelang dan cincin itu kepada putrinya.

Setelah We Cudai mengenakan gelang dan cincin tersebut, maka semakin yakinlah Raja Cina
bahwa Sawerigading benar-benar keponakannya. Gelang dan cincin tersebut semuanya cocok
dikenakan oleh We Cudai. Begitu pula rambutnya sama panjangnya dengan rambut We
Tenriabeng.

“Bagaimana, Putriku! Apakah kamu bersedia menerima kembali lamaran Sawerigading untuk
mempererat tali persaudaraan kita dengan keluarga Sawerigading di Sulawesi Selatan?” tanya
Raja Cina.
“Baik, Ayahanda! Jika Ayahanda merestui, Ananda bersedia menikah dengan Sawerigading.
Ananda mohon maaf karena sebelumnya mengira Sawerigading bukan dari keluarga baik-
baik,” jawab We Cudai malu-malu.

Betapa bahagianya perasaan Raja Cina mendengar jawaban putrinya itu. Demikian pula yang
dirasakan Sawerigading karena lamarannya diterima. Dengan perasaan bahagia, ia segera
kembali ke kapalnya untuk menyampaikan berita gembira itu kepada para pengawalnya dan
memerintahkan mereka untuk mengangkat semua barang bawaan yang ada di perahu ke
istana untuk keperluan pesta. Tiga hari kemudian, pesta pernikahaan itu pun dilangsungkan
dengan meriah. Segenap rakyat Negeri Cina turut berbahagia menyaksikan pesta pernikahan
tersebut.

Setahun kemudian, Sawerigading dan We Cudai dikaruniai oleh seorang anak dan diberi
nama La Galigo. Namun, bagi We Cudai, kebahagiaan tersebut terasa belum lengkap jika
belum bertemu dengan mertuanya. Suatu hari, ia pun mengajak suaminya ke Sulawesi
Selatan untuk mengunjungi mertuanya. Mulanya, Sawerigading menolak ajakan istrinya,
karena ia sudah berjanji tidak ingin kembali ke kampung halamannya karena kecewa kepada
kedua orang tuanya yang telah menolak keinginannya menikahi saudara kembarnya. Namun,
karena istrinya terus mendesaknya, akhirnya ia pun menyetujuinya.
Keesokan harinya, berangkatlah sepasang suami istri itu bersama beberapa orang pengawal
menuju Negeri Luwu. Akan tetapi, mereka tidak membawa serta putra mereka (La Galigo)
karena masih bayi. Dalam perjalanan, Sawerigading bersama rombongannya kembali
menemui banyak rintangan. Perahu yang mereka tumpangi hampir tenggelam di tengah laut
karena dihantam badai dan gelombang besar. Berkat pertolongan Tuhan Yang Mahakuasa,
mereka pun selamat sampai di Nengeri Luwu.
Setelah bertahun-tahun lamanya Sawerigading bersama istrinya tinggal di Negeri Luwu
terdengarlah kabar bahwa di Tanah Jawa berkembang ajaran agama Islam. Sawerigading pun
segera memerintahkan pasukannya untuk memerangi ajaran tersebut. Namun apa yang terjadi
setelah pasukannya tiba di Tanah Jawa? Rupanya, mereka bukannya memerangi penganut
ajaran agama tersebut, tetapi justru berbalik memeluk agama Islam. Bahkan sebagian anggota
pasukannya memutuskan untuk menetap di Tanah Jawa. Sementara anggota pasukan lainnya
kembali ke Negeri Luwu untuk melaporkan kabar tersebut kepada Sawerigading dan
sekaligus mengajaknya untuk memeluk agama Islam. Karena kesal atas penghianatan
pasukannya itu dan tidak ingin masuk agama Islam, Sawerigading bersama istrinya
memutuskan untuk kembali ke Negeri Cina dan berjanji tidak ingin menginjakkan kaki lagi
di Negeri Luwu. Dalam perjalanan pulang ke Negeri Cina, kapal yang mereka tumpangi
karam di tengah laut. Konon, pasangan suami istri tersebut menjadi penguasa buriq liu atau
peretiwi (dunia bawah laut).

Daftar pustaka: https://andihidayat1505.wordpress.com/2017/11/11/cerita-rakyat-sulawesi-


selatan-sawerigading/
Kisah Tiga Tadulako Asal Bulili
Suatu hari, Desa Bulili kedatangan seorang raja dari Sigi. Ketika sedang berjalan-
jalan, sang raja berjumpa dengan seorang gadis cantik asal Bulili. Raja Sigi pun kemudian
meminang gadis cantik itu. Mereke menikah dan tinggal di Bulili.

Berbulan-bulan sudah Raja Sigi tinggal di Desa Bulili. Istrinya pun kemudian
mengandung. Namun, ketika sang istri ingin dimanja dan disayang oleh suaminya, Raja Sigi
malah mengutarakan keinginannya untuk kembali ke Sigi. “Adinda, aku harus kembali ke
Sigi. Sudah cukup lama aku meninggalkan Sigi. Banyak urusan yang belum terselesaikan di
sana,” ucap Raja Sigi.“Haruskah Kakanda pergi? Tidakkah Kakanda akan merasa
kehilanganku dan kehilangan anak kita?” bujuk istrinya. “Rakyat Sigi membutuhkanku,
Dinda. Aku harap Dinda bisa mengerti,” kata Raja Sigi lagi.“Aku dan anak dalam
kandunganku ini juga membutuhkanmu, Kanda. Apakah Kanda tidak ingin menyaksikan
anak kita ini lahir ke dunia?” tanya sang istri.“Bukan begitu, Dinda. Kanda yakin Dinda
adalah wanita yang sangat kuat. Jadi, tunggulah kanda di sini,” ucap Raja Sigi.

Keesokan harinya, Raja Sigi kembali ke negerinya. Istrinya tidak dapat berbuat apa-
apa. Ia tidak mampu menahan suaminya agar tidak pergi. Tinggallah ia di Bulili tanpa suami.
Namun, ia tidak seorang diri, beberapa kerabatnya tinggal tak jauh dari rumahnya. Tetangga
dan sahabat-sahabatnya dengan senang hati menemaninya siang dan malam.

Bulan demi bulan ia lalui. Tanpa terasa, tibalah waktu untuk melahirkan buah hatinya.
Tanpa ditemani sang suami, ia melahirkan seorang bayi yang lucu dan sehat. Semua warga
Bulili ikut berbahagia menyambut kehadiran makhluk mungil itu sebagai warga baru mereka.
Para pemuka desa pun mengutus dua orang tadulako yang gagah pergi ke Sigi untuk
menemui Raja Sigi. Berangkatlah Makeku dan Bantili ke Sigi mengemban tugas yang
diberikan pada mereka.

Sesampainya di sana, mereka langsung menemui sang raja. Namun sayangnya, bukan
keramahan yang mereka dapatkan, tapi justru ucapan tidak bersahabat yang keluar dari Raja
Sigi. “Apa maksud kalian datang ke istanaku?” tanya Raja Sigi dengan sinis.“Maaf, Baginda.
Kami diutus untuk meminta padi di lumbung Sigi. Padi itu untuk anak Baginda yang baru
saja lahir,” jawab Bantili.

Mendengar berita itu, Raja Sigi bukannya merasa senang, tetapi malah melecehkan
kedua tadulako sakti itu. “Baiklah. Jika kalian menginginkan lumbung padi milikku, coba
kalian angkat dan bawalah lumbung padi itu. Cukup kalian tahu, dengan puluhan orang saja
baru bisa menggeser lumbung itu,” ucap Raja Sigi dengan angkuh. Ia pikir kedua tadulako
pasti tidak akan sanggup membawa lumbung itu.

Merasa diremehkan, Makeku dan Bantili segera pergi menuju ke arah lumbung padi
Raja Sigi. Dengan kesaktiannya, Bantili mampu mengangkat lumbung padi yang besar itu,
sedangkan Makeku mengawal Bantili dari belakang.

Betapa terkejut dan marahnya raja Sigi menyaksikan lumbung padinya yang besar
berhasil dibawa oleh kedua tadulako. Akhirnya, sang raja mengerahkan para pengawal
kerajaan untuk menangkap dua tadulako itu.“Para pengawal, cepat tangkap orang-orang
Bulili itu!” teriak Raja Sigi.
Dengan sigap, para pengawal mengejar Makeku dan Bantili. Meskipun tenaga telah
dikerahkan, mereka tetap tidak mampu mengejar kedua tadulako dari Bulili itu. Sampai
akhirnya, tibalah Makeku dan Bantili di sebuah sungai yang sangat besar dan dalam. Para
pengawal tampak senang, mereka mengira kedua tadulako itu pasti akan menyerah. Namun,
ternyata dugaan mereka meleset, kedua tadulako sakti itu berhasil menyeberangi sungai
dengan mudah. Meskipun Bantili membawa lumbung padi yang sangat besar, bukanlah hal
yang sulit baginya untuk menyeberangi sungai. Para pengawal kerajaan yang menyaksikan
hal itu hanya bisa terperangah. Mereka tidak mampu menyebarangi sungai yang lebar dan
dalam seperti yang dilakukan tadulako sakti.

Dengan kesaktiannya itu, Makeku dan Bantili bisa lolos dari kejaran para pengawal
Raja Sigi. Mereka pun melanjutkan perjalan pulang dan akhirnya sampai kembali ke Desa
Bulili dengan selamat. Sedangkan Raja Sigi menderita kerugian yang besar, karena lumbung
padi kerajaannya telah dibawa ke Bulili.

Daftar pustaka: https://www.daerahkita.com/artikel/48/kisah-tiga-tadulako-asal-bulili-cerita-


rakyat-sulawesi-tengah
La Moule
Alkisah, di sebuah dusun di daerah Sulawesi Tenggara, hiduplah seorang anak laki-
laki yatim bernama La Moelu yang masih berusia belasan tahun. Ibunya meninggal dunia
sejak ia masih bayi. Kini, ia tinggal bersama ayahnya yang sudah sangat tua dan tidak mampu
lagi mencari nafkah. Jangankan bekerja, berjalan pun harus dibantu dengan sebuah tongkat.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, La Moelu-lah yang harus bekerja keras. Karena
masih anak-anak, satu-satunya pekerjaan yang dapat dilakukannya adalah memancing ikan di
sungai yang terletak tidak jauh dari tempat tinggalnya.

Pada suatu hari, La Moelu pergi memancing ikan di sungai. Hari itu, ia membawa umpan dari
cacing tanah yang cukup banyak dengan harapan dapat memperoleh ikan yang banyak pula.
Saat ia tiba di tepi sungai itu, tampaklah kawanan ikan muncul di permukaan air. Ia pun
semakin tidak sabar ingin segera menangkap ikan-ikan tersebut. Dengan penuh semangat, ia
segera memasang umpan pada mata kailnya lalu melemparkannya ke tengah-tengah kawanan
ikan itu. Setelah itu, ia duduk menunggu sambil bersiul-siul. Anehnya, sudah cukup lama ia
menunggu, namun tak seekor ikan pun yang menyentuh umpannya.

Hari semakin siang. La Moelu belum juga memperoleh seekor ikan pun. Mulanya, ia berniat
untuk berhenti memancing. Namun karena penasaran terhadap kawanan ikan tersebut,
akhirnya ia pun memutuskan untuk meneruskannya.

“Ah, aku tidak boleh putus asa! Barangkali saja ikan-ikan tersebut belum menemukan
umpanku,” pikirnya.

Alhasil, beberapa saat kemudian, tiba-tiba kailnya bergetar. Dengan penuh hati-hati, ia
menarik kailnya ke tepi sungai secara perlahan-lahan. Ketika kailnya terangkat, tampaklah
seekor ikan kecil yang mungil terkait di ujung kailnya. Meski hanya memperoleh ikan kecil,
hati La Moelu tetap senang karena bentuk ikan itu sangat indah. Akhirnya, ia pun membawa
pulang ikan itu untuk ditunjukkan kepada Ayahnya. Sesampainya di rumah, ayahnya pun
merasa senang melihat ikan itu.

“Ikan apa yang kamu bawa itu, Anakku? Indah sekali bentuknya,” ucap ayahnya dengan
perasaan kagum.

“Entahlah, Ayah!” jawab La Moelu.

“Sebaiknya ikan ini diapakan, Ayah?” tanya La Moelu.

“Sebaiknya kamu pelihara saja ikan itu, Anakku! Kalaupun pun dimasak pasti tidak cukup
untuk kita makan berdua,” ujar sang Ayah.

Orang tua renta itu kemudian menyuruh La Moelu agar menyimpan ikan itu ke
dalam kembokyang berisi air. La Moelu pun menuruti petunjuk ayahnya. Keesokan harinya,
betapa terkejutnya La Moelu saat melihat ikan itu sudah sebesar kembok. Ayahnya pun
terperanjat saat melihat kejadian aneh itu.
“Pindahkan segera ikan itu ke dalam lesung!” perintah sang Ayah.

Mendengar perintah itu, La Moelu pun segera mengisi lesung itu dengan air, lalu
memasukkan ikan tersebut ke dalamnya. Keesokan harinya, kejadian aneh itu terulang lagi.
Ikan itu sudah sebesar lesung. Sang Ayah pun segera menyuruh La Moelu agar memindahkan
ikan itu ke dalam guci besar. Pada hari berikutnya, ikan itu berubah menjadi sebesar guci. La
Moelu pun mulai kebingungan mencari wadah untuk menyimpan ikan itu.

Sang Ayah pun menyuruh La Moelu agar memasukkan ikan itu ke dalam drum yang berada
di samping rumah mereka. La Moelu segera memasukkan ikan itu ke dalam drum tersebut.
Keesokan harinya, ikan itu sudah sebesar drum. Ayah dan anak itu semakin bingung, karena
mereka tidak memiliki lagi wadah yang bisa menampung ikan itu. Akhirnya, sang Ayah
menyuruh La Moelu membawa ikan itu ke laut.

La Moelu pun membawa ikan itu ke laut. Sebelum melepas ikan itu ke laut, terlebih dahulu ia
memberi nama ikan itu dan berpesan kepadanya.

“Hai, Ikan! Aku memberimu nama Jinnande Teremombonga. Jika aku memanggil nama itu,
segeralah kamu datang ke tepi laut, karena aku akan memberimu makan!” ujar La Moelu.

Ikan itu pun mengibas-ngibaskan ekornya pertanda setuju. Setelah itu, La Moelu pun
melepasnya. Ikan itu tampak senang dan gembira karena bisa berenang dengan bebas di
samudera luas.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, La Moelu kembali ke laut untuk memberi makan ikan
itu. Sesampainya di tepi laut, ia pun segera berteriak memanggil ikan itu.

“Jinnande Teremombonga…!!!”

Tak berapa lama, Jinnande Teremombonga pun datang menghampirinya. Setelah makan, ikan
itu kembali ke laut lepas. Demikianlah kegiatan La Moelu setiap pagi.

Pada suatu pagi, ketika La Moelu sedang memberi makan Jinnande Teremombonga, ada tiga
orang pemuda sedang mengintainya dari atas pohon yang rimbun. Mereka adalah keluarga
yang juga tetangga La Moelu. Ketika melihat seekor ikan raksasa mendekati La Moelu,
ketiga pemuda itu tersentak kaget. Melihat hal itu, maka timbullah niat jahat mereka ingin
menangkap ikan itu.

“Kawan-kawan! Ayo kita tangkap ikan itu!” seru salah seorang dari mereka.

“Tunggu dulu! Kita jangan gegabah! Kita tunggu sampai La Moelu pulang, setelah itu
barulah kita menangkap ikan itu,” cegah seorang pemuda yang lain.
Setelah La Moelu kembali ke rumahnya, ketiga pemuda itu segera turun dari pohon lalu
berjalan menuju ke tepi laut. Sesampainya di tepi laut, salah seorang di antara mereka maju
beberapa langkah lalu berteriak memanggil ikan itu.

““Jinnande Teremombonga…!!!”

Dalam sekejap, Jinnande Teremombonga pun datang ke tepi laut. Namun, saat melihat orang
yang berteriak memanggilnya itu bukan tuannya, ikan itu segera kembali berenang ke tengah
laut.

“Hai, kenapa ikan itu pergi lagi?” tanya pemuda yang berteriak tadi.

“Ah, barangkali dia takut melihat kamu. Mundurlah! Biar aku yang mencoba
memanggilnya,” kata pemuda yang lainnya seraya maju ke tepi laut.

Tidak berapa lama setelah pemuda itu berteriak memanggilnya, Jinnande Teremombonga
datang lagi. Ketika melihat wajah orang yang memanggilnya tidak sama dengan wajah
tuannya, ia pun segera kembali ke tengah laut. Ketiga pemuda itu mulai kesal melihat
perilaku ikan itu. Mereka pun bingung untuk bisa menangkap ikan itu.

Setelah berembuk, ketiga pemuda tersebut menemukan satu cara, yakni salah seorang dari
mereka akan berteriak memanggil ikan itu, sementara dua orang lainnya akan menombaknya.
Ternyata rencana mereka berhasil. Pada saat ikan itu datang ke tepi laut, kedua pemuda yang
sudah bersiap-siap segera menombaknya. Ikan itu pun mati seketika. Mereka memotong-
motong daging ikan itu lalu membagi-baginya. Setiap orang mendapat bagian satu pikul.
Setelah itu, mereka membawa pulang bagian masing-masing. Betapa senangnya hati keluarga
mereka saat melihat daging ikan sebanyak itu.

Keesokan harinya, La Moelu kembali ke laut untuk memberi makan ikan kesayangannya itu.
Sesampainya di tepi laut, ia pun segera berteriak memanggilnya.

“Jinnande Teremombonga..!!!”

Sudah cukup lama La Moelu menunggu, namun ikan itu belum juga muncul. Berkali-kali ia
berteriak memanggil dengan suara yang lebih keras, tapi ikan itu tak kunjung datang ke tepi
laut. La Moelu pun mulai cemas kalau-kalau terjadi sesuatu dengan Jinnande
Teremombonga.

“Ke mana perginya Jinnande Teremombonga? Biasanya, aku hanya sekali memanggil dia
sudah datang. Tapi kali ini, aku sudah berkali-kali memanggilnya, dia belum juga muncul.
Apakah ada orang yang telah menangkapnya?” gumam La Moelu.

Hingga hari menjelang siang, ikan itu tak kunjung datang. Akhirnya, La Moelu pun kembali
ke rumahnya dengan perasaan kesal dan sedih. Dalam perjalanan pulang, ia selalu
memikirkan nasib ikan kesayangangnya itu. Sesampainya di rumah, ia pun menceritakan hal
itu kepada ayahnya. Namun, sang Ayah tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya
menasehatinya.

“Sudahlah, Anakku! Barangkali ikan itu pergi mencari teman-temannya ke tengah samudra
sana,” ujar ayahnya.

Pada malam harinya, La Moelu berkunjung ke rumah salah seorang pemuda yang telah
mencuri ikannya. Kebetulan pada saat itu, pemuda itu sedang makan bersama keluarganya.
Saat melihat lauk yang mereka makan dari daging ikan besar, tiba-tiba La Moelu teringat
pada Jinannande Teremombonga.

“Wah, jangan-jangan ikan yang mereka makan itu si Jinnande Teremombonge,” pikirnya.

La Moelu pun menanyakan dari mana mereka memperoleh ikan itu. Mulanya, pemuda itu
enggan untuk memberitahukannya, namun setelah didesak oleh La Moelu akhirnya ia pun
menceritakan semuanya.

“Tadi pagi aku menangkapnya di tepi laut. Memangnya kenapa, hai anak yatim? Apakah
kamu ingin juga menikmati kelezatan ikan ini?” tanya pemuda itu dengan nada mengejek.

Betapa sedihnya hati La Moelu setelah mendengar cerita pemuda itu. Ternyata dugaannya
benar bahwa lauk yang mereka makan itu adalah daging Jinnande Teremombonga. Hati La
Moelu bertambah sedih ketika pemuda itu menawarkan daging ikan itu kepadanya, namun
yang diberikan kepadanya ternyata hanya daun pepaya. Meski diperlakukan demikian, La
Moelu tidak merasa dendam kepada pemuda itu.

Ketika hendak pulang ke rumahnya, La Moelu memungut tulang ikan yang dibuang oleh
pemuda itu. Ketika sampai di depan rumahnya, ia mengubur tulang ikan itu agar dapat
mengenang Jinnande Teremombonga, ikan kesayangannya.

Keesokan harinya, La Moelu dikejutkan oleh sesuatu yang aneh terjadi pada kuburan itu, di
atasnya tumbuh sebuah tanaman. Anehnya lagi, tanaman itu berbatang emas, berdaun perak,
berbunga intan, dan berbuah berlian. Ia pun segera memberitahukan peristiwa aneh itu
kepada ayahnya.

‘Ayah! Coba lihat tanaman ajaib di depan rumah kita!” ajak La Moelu.

Ayah La Moelu pun segera keluar dari rumah sambil berjalan sempoyongan. Alangkah
terkejutnya ketika si tua renta itu melihat tanaman ajaib itu.

“Hai, Anakku! Bagaimana tanaman ajaib ini bisa tumbuh di sini?” tanya ayah La Moelu
dengan heran.

La Moelu pun menceritakan semua sehingga tanaman ajaib itu tumbuh di depan rumah
mereka. Ayah La Moelu pun menyadari bahwa itu semua adalah berkat dari Tuhan Yang
Mahakuasa yang diberikan kepada mereka. Akhirnya, mereka pun membiarkan tanaman itu
tumbuh menjadi besar. Para penduduk yang mengetahui keberadaan tanaman ajaib itu silih
berganti berdatangan ingin menyaksikannya.

Semakin hari, tanaman itu semakin besar. La Moelu pun mulai menjual ranting, daun, bunga,
dan buahnya sedikit demi sedikit. Uang hasil penjualannya kemudian ia tabung. Lama
kelamaan La Moelu pun menjadi seorang kaya raya yang pemurah di kampungnya. Ia
senantiasa membantu para penduduk yang miskin, termasuk ketiga pemuda yang pernah
menangkap ikan kesayangannya. Tak heran, jika seluruh penduduk di kampung itu sangat
hormat dan sayang kepada La Moelu. La Moelu pun hidup sejahtera dan bahagia bersama
ayahnya.

Daftar pustaka: https://histori.id/kisah-la-moelu-si-anak-yatim/


LEGENDA GUNUNG LOKON DAN GUNUNG KELABAT
Pada zaman dahulu kala, bumi penuh dengan gunung dan pegunungan. Demikian pula
daerah Minahasa, diliputi gunung-gunung yang tinggi dan rendah. Gunung-gunung yang ada
antara lain Kelabat, Soputan, Lokon, Dua Sudara, Mahawu, Tampusu, Tolangko, Kaweng,
Simbel, Lengkoan, Masarang, dan Kawatak. Pegunungan yang ada antara lain Lembean,
Kalawiran, dan Kumelembuai.

Nama gunung dan pegunungan sering disesuaikan dengan sifat yang biasa terjadi di
gunung itu, misalnya Gunung Mahawu sifatnya sering mengeluarkan abu. Adakalanya
gunung diberi nama orang, seperti Gunung Soputan. Ada pula nama yang diberikan sesuai
keadaannya, misalnya Gunung Dua Sudara.

Sesuai namanya, Gunung Lokon berarti yang tertua dan terbesar. Pengertian lain ialah orang
yang sudah tua, bahkan tertua da berbadan besar. Dalam bahasa daerah disebut Tua Lokon
atau Tou Tua Lokon, artinya orang yang sudah tua.

Konon, gunung dan pegunungan itu ada penghuninya. Gunung Lokon dihuni
Makawalang. Ia sungguh berbahagia karena hidup aman sejahtera di tempat itu tanpa
gangguan.

Akan tetapi, pada suatu hari ia disuruh pindah tempat karena didesak orang lain yang
merasa lebih berhak tinggal di situ. Penghuni itu bernama Pinontoan dengan istrinya bernama
Ambilingan. Makawalang tidak bisa berbuat apa-apa. Ia menyerah dengan hati sedih. Alasan
untuk membela diri tidak mungkin didengar Pinontoan. Akhirnya, dengan sedih dan kecewa
Makawalang mengambil keputusan untuk segera meninggalkan tempat itu. Ia berjalan
menerobos pohon-pohon besar sambil menuruni bukit mencari tempat lain.

Tiba-tiba Makawalang berhenti. Tampak olehnya sebuah. Ia pun masuk ke dalam gua itu
hingga jauh ke dalam.

“Apakah yang akan kuperbuat di sini? Ah, lebih baik aku dirikan rumah di sini.” pikir
Makawalang.

Ia menancapkan tiang-tiang besar penyangga tanah agar bumi jangan runtuh menindihnya. Ia
juga memelihara babi hutan. Hiduplah ia dengan bebas dan bahagia, tidak ada orang yang
dapat mengusiknya lagi.

Akan tetapi sayang, jika babi hutan-babi hutan itu menggosok-gosokkan badan
mereka ke tiang penahan bumi, terjadilah gempa bumi. Gerakan atau getaran bumi itu terjadi
secara mendadak. Apabila babi hutan kecil yang menggosokkan badannya, gempa itu tidak
begitu terasa karena gerakan mereka lemah. Sebaliknya, jika babi hutan besar menggosok
badan, biasa disebut kantong, gerakan gempanya keras dan besar. Itu berarti, mereka tidak
hanya menggosok-gosokkan badan, tetapi juga bersuir-suir (mengorek-ngorek tanah). Di
bumi bisa terjadi kerusakan rumah dan jembatan, bahkan dapat menyebabkan tanah longsor
dan gelombang pUntuk meredakan gempa bumi itu, orang-orang di kampung yang berada di
atas bumi harus menyembunyikan atau memukul tongtong, buluh, atau barang apa saja.
Mereka juga harus berseru, “Wangko! Tambah hebat lagi!” Maksudnya untuk mengolok babi
hutan-babi hutan Makawalang supaya berhenti menggosok.

Menurut cerita, pada mulanya Gunung Lokon adalah gunung tertinggi dan terbesar di
Minahasa ataiu biasa disebut Malesung. Karena tingginya, jarak antara puncak Gunung
Lokon dan langit hanya setangkai sendok. Tidak ada gunung di Minahasa dapat
menyainginya.

Gunung Lokon pada Oktober 1991 pernah meletus yang menimbulkan kerugian material
mencapai Rp 1 miliar. Ribuan jiwa penduduk di Desa Kakaskasen I, Kakaskasen II, Kinilow
dan Tinoor, ketika itu setempat diungsikan besar-besar ke sejumlah daerah yang dinilai tidak
rawan

Selain Gunung Lokon, terdapat pula Gunung Kelabat yang dahulu disebut Kalawat. Gunung
ini rendah. Penghuni Gunung Kelabat ingin agar tempat tinggal mereka lebih tinggi dari
Gunung Lokon. Kemudian, pergilah mereka menjumpai Pinontoan dan Ambilingan,
memohon agar sebagian tanah Gunung Lokon ditambahkan ke Gunung Kelabat.

Karena sangat murah hati dan tidak kikir, Pinontoan dan Ambilingan memberikannya.
Mereka tidak menyesal sebagian tanah Gunung Lokon diberikan kepada Gunung Kelabat.

Dengan penuh semangat, penghuni Gunung Kelabat memotong puncak Gunung


Lokon. Tanah yang mereka ambil itu diangkut dan dibawa ke Gunung Kelabat. Mereka pun
menimbun Gunung Kelabat dengan tanah dari Gunung Lokon.

Akan tetapi, banyak sekali tanah yang tercecer di sekeliling Gunung Lokon. Tanah
yang tercecer ini membentuk gugusan gunung, seperti Gunung Kasehe, Gunung Tatawiran,
dan Gunung Empung.

Sebelum mereka tiba di Gunung Kelabat masih banyak lagi tanah yang tercecer. Gumpalan-
gumpalan tanah itu membentuk Gunung Batu Angus dan Gunung Dua Basudara.

Akhirnya, Gunung Lokon menjadi lebih rendah dari Gunung Kelabat. Sekarang,
puncak Gunung Lokon tidak ada lagi karena sering meletus dan menjadi rendah. Sebaliknya,
Gunung Kelabat sekarang ini menjadi gunung tertinggi di Minahasa.

Daftar pustaka: https://histori.id/dongeng-gunung-lokon-dan-gunung-kelabat/


LEGENDA PUTRI DUYUNG
“Nyam, ikan ini lezat sekali,” kata si Sulung. Ibu tersenyum mendengar ucapan anaknya.
Mereka sekeluarga memang jarang makan ikan. Sehari-hari, suaminya hanya menanam ubi
dan jagung di ladang, itulah yang mereka makan.

“Bu, boleh aku tambah ikannya lagi?” tanya si Tengah. “Boleh saja, Nak. Makanlah sampai
kenyang,” jawab Ibu sambil menyuapi si Bungsu.

Sang Ayah diam saja. Ia tak menduga anak-anaknya begitu suka pada ikan hasil
tangkapannya itu. Nanti ia akan pergi lagi ke laut, siapa tahu ia mendapat ikan lagi. “Bu, aku
pergi dulu ya. Sisakan satu ekor ikan untuk makan siangku nanti. Sesudah ke ladang, aku
akan ke laut sebentar. Siapa tahu aku bisa mendapatkan ikan,” pamitnya pada ibu. Ibu
mengangguk mengiyakan dan berangkatlah ayah ke ladang.

Setelah Ayah pergi, Ibu membereskan rumah. Ia menyimpan sisa ikan dan nasi ke lemari
makan. Ketiga anaknya asyik bermain. Mereka berkejar-kejaran dan berteriak-teriak dengan
riang. Ibu itu tersenyum melihat tingkah laku anak-anaknya. Dalam hati ia bersyukur, hari ini
bisa memberikan sedikit makanan enak pada mereka.

Hari menjelang siang ketika si Bungsu merengek. “Bu, aku lapar. Aku mau makan nasi don
ikan seperti tadi pagi,” katanya. Rupanya ia lapar setelah lelah bermain dengan kedua
kakaknya.

“Jangan Nak, lebih baik kau makan ubi rebus saja. Ayo, sini Ibu ambilkan,” jawab Ibu.

“Tidak mau Bu, aku mau makan nasi dan ikan,” rengek si Bungsu lagi. Kali ini ia merengek
sambil menangis. Tapi Ibu tetap bersikukuh. Ia tak mau memberikan ikan itu pada anak
bungsunga. Ia tahu benar tabiat suaminya, jika sudah berpesan, harus dilaksanakan.

Karena permintaannya tak dikabulkan, maka si Bungsu menangis berguling-guling di tanah.


Sambil meraung-raung, “Ibuuu, aku laparrrr….” Teriak si Bungsu.

Tak tega melihat keadaan itu, akhirnya Ibu mengalah. Ia menyuapkan nasi dan ikan pada si
Bungsu. Si Sulung dan si Tengah yang melihat adiknya makan ikan, ikut meminta pada Ibu.
Mereka pun makan ikan sisa dari Adiknya yang bungsu.

Apa yang terjadi kemudian? Ya, tak ada lagi secuil ikan pun untuk Ayah. Ikan yang disimpan
Ibu habis tak bersisa. “Apa boleh buat, aku akan menjelaskannya pada suamiku nanti,” kata
Ibu dalam hati.

Sang Ayah pulang dari laut. Kali ini ia tak berhasil mendapat ikan seekor pun. Ia sangat
kesal, apalagi ubi di ladangnya juga dirusak babi hutan. “Istriku, aku sangat lelah dan lapar.
Tolong siapkan makan siangku,” pintanya pada Ibu. “Lho, mana ikan sisa sarapan tadi?
Bukankah aku sudah bilang untuk menyisakan satu untukku?” tanyanya ketika melihat
istrinya hanya menghidangkan ubi rebus.

“Iya Bang, aku tadi sudah simpan. Tapi apa boleh buat, anak-anak lapar dan minta makan
lagi. Akhirnya ikan itu habis dimakan mereka,” jawab Ibu. “Apa? Teganya kau melakukan ini
pada suamimu? Aku bekerja keras seharian dan kau menghabiskan semua ikan yang
kutangkap dengan susah payah?” teriak suaminya.
Ibu hanya terdiam, ia paham benar watak suaminya yang pemarah. Ia minta maaf dan berjanji
akan menuruti pesan suaminya. Tapi berulang kaii ibu meminta maaf, sang suami tetap saja
mengomel dan menghardiknya dengan kata-kata yang tak pantas. Hati ibu sakit sekali,
sehingga ia memutuskan untuk meninggalkan rumah. Ya, ia tak tahan lagi pada perlakuan
suaminya.

Keesokan paginya, ketika ketiga anaknya bangun, mereka bingung mencari ibunya. Ayahnya
hanya mengedikkan bahu ketika mereka bertanya ke mana ibunya.

“Mungkin ke laut untuk mencari ikan untuk kalian. Bukankah kalian sangat menyukai ikan?”
jawab sang Ayah tak peduli. Lalu, ketiga anak itu pergi ke laut.

Mereka berteriak-teriak memanggil ibunya, “Ibuuu… Ibuu… Ibu di mana? Si Bungsu lapar,
ia mau menyusu.”

Tiba-tiba, muncullah ibu dari arah laut lepas. Ia membawa beberapa ekor ikan di tangannya.
Ia segera memeluk ketiga anaknya dan menyusui si Bungsu. “Pulanglah kalian, bawa ikan ini
untuk makan slang kalian,” katanya setelah selesai menyusui. “Ibu tidak ikut pulang?” tanya
si Sulung.

“Nanti Ibu akan menyusul kalian,” jawabnya singkat. Lalu ia kembali ke tengah lautan.

Ketiga anak itu pulang sambil membawa beberapa ekor ikan. Si Sulung memanggang ikan itu
untuk lauk makan siang mereka. Sudah sore, Ibu belum juga pulang. Ketiga anak itu bertahan
menunggu ibunya hingga larut malam, tapi Ibu tak juga pulang. Akhirnya mereka tertidur,
sedangkan sang Ayah tak peduli sedikit pun dengan keadaan istrinya.

Keesokan harinya, ketiga anak itu kembali ke laut. Mereka memanggil-manggil ibunya.” Ibu
disini Nak, kemarilah kalian.” Terdengar suara Ibu menjawab panggilan mereka.

Ketiga anak itu terkejut melihat ibunya. Wajahnya memang wajah ibu mereka namun
badannya sungguh mengerikan. Badannnya penuh sisik dan tidak berkaki. Si Ibu memiliki
ekor sama persis seperti ikan.

Si Bungsu menangis keras melihat ibunya, ia bahkan menolak untuk di susui.

Si Sulung marah.” Kau bukan ibu kami, kau pasti ikan yang mencelakai Ibu kami. Ibu ibu
dimana ibu?” teriak si Sulung.

“Percayalah Nak, aku ini ibumu. Ibu berubah Seperti ini karena bertekad untuk tinggal di
laut. Ibu sudah tidak tahan dengan perlakuan ayah kalian.” Si Ibu mencoba menjelaskan.
Namun ketiga anaknya bergeming. Mereka malah meninggalkan ibunya dan pulang kerumah.
Hati wanita yang saat ini berubah wujud menjadi manusia setengah ikan sangat hancur. Ia
tidak menyangka keputusannya akan memisahkannya dengan anak-anak yang sangat
dicintainya. Ia hanya bisa menangis dan kembali ke laut. Sejak saat itu dia dikenal dengan
nama ikan duyung. Karena kecantikannya banyak juga orang yang menyebut Putri duyung.
Daftar pustaka: https://dongengceritarakyat.com/cerita-rakyat-sulawesi-tengah-legenda-putri-
duyung/

Anda mungkin juga menyukai