Anda di halaman 1dari 3

Cerita Daerah Asal Usul Hutan Leuweng Sancang Garut

Leuweng Sancang merupakan salah satu destinasi wisata di Garut yang masih eksotik.
Mulai dari sungai hingga pantai indah, semua ada di Leuweng Sancang. Leuweung yang
berarti hutan dalam Bahasa Sunda ini, dan Sancang yang mengingatkan dengan kisah
Prabu Siliwangi. Leuweung Sancang yang memang erat kaitannya dengan mitos suku
sunda ini, sempat memberikan wajah seram di muka para awam. Wilayah ini memang
masih perawan, bak tak ada orang yang ingin menjamahnya karena mitos dengan cerita
hewan-hewan buasnya.

Memasuki abad 21 ini, Sancang sudah mulai ramah namun tetap terjaga keeksotikannya
sebagai keajaiban alam Indonesia. Di sini kita dapat berkemah di daerah Cijeruk dan
melakukan petualangan ke daerah Sancang dengan berjalan kaki menyebrangi muara
dan melintasi bibir pantai yang terbentang panjang dengan pantai pasir putih yang
kadang memantulkan warna pink atau jingga saat air laut surut.

Konon menurut sejarah yang beredar secara turun temurun Leuweung Sancang erat
dikaitkan dengan tempat menghilangnya Prabu Siliwangi yang menjadi kebanggan
masyarakat Jawa Barat. Siliwangi adalah nama seorang raja di tanah Pasundan, yaitu
Prabu Siliwangi yang memerintah Padjadjaran. Kerajaan Padjadjaran merupakan
kerajaan Hindu terbesar di Jawa Barat. Dan Prabu Siliwangi termashur sebagai raja
bijaksana yang memiliki seorang istri bernama Dewi Kumalawangi. Beliau dikaruniai
seorang putri Dewi Rarasantang serta dua orang putra Raden Walangsungsang dan
Raden Kiansantang yang terkenal sakti dan kebal terhadap senjata apapun. Menurut
sejarah, Raden Kiansantang memeluk agama Islam dan menetap di daerah Godog
sampai meninggal dunia dan dimakamkan di makam Godog Garut, Jawa Barat.

Menurut sejarah yang mungkin terjadi penyimpangan karena dituturkan dari mulut ke
mulut, Raden Kiansantang yang terkenal sakti belum pernah menemukan orang yang
mampu melukai tubuhnya. Padahal ia ingin sekali melihat darahnya mengalir. Sampai
pada suatu hari, ia memohon kepada ayahnya agar dicarikan lawan hebat. Prabu
Siliwangi mengabulkan permohonan Raden Kiansantang, Beliau meminta bantuan para
ahli nujum untuk menemukan siapa dan di mana orang sakti yang dapat mengalahkan
putranya, Raden Kiansantang. Mereka tidak bisa menunjukkan orang yang bisa
mengalahkan Raden Kiansantang.

Sampai akhirnya muncul seorang kakek yang menyebutkan ada seorang yang gagah
dan bisa mengalahkan Raden Kiansantang, namanya Ali di tanah suci Mekah. Sebelum
Raden Kiansantang berangkat menemui Ali, kake itu menyuruhnya bersemedi dulu di
ujung kulon atau ujung barat Pasundan dan berganti nama menjadi Galantrang Setra.
Setiba di tanah Mekkah, ia langsung mencari orang yang bernama Ali sampai akhirnya
ketemu dengan orang yang tidak dikenal di Arab. Orang itu bersedia mengantarkan
Raden Kiansantang bertemu dengan Ali dengan syarat ia mampu mengambil tongkat
yang telah ditancapkan di sebuah tempat. Raden Kiansantang tak menolak syarat
tersebut, ia mengambil tongkat yang telah tertancap di pasir. Tapi apa yang terjadi, ia
sangat terkejut karena ketika tongkat itu tidak bisa dicabut. Bahkan sampai
mengerahkan segala kemampuannya hingga pori-porinya mengeluarkan darah.

Melihat Kiansantang yang tak mampu mencabut tongkatnya, pria itu menghampiri dan
mencabut tongkatnya sambil membaca Bismillah. Tongkat itupun dapat dicabut dengan
sangat mudah. Kiansantang heran, dirinya sampai mengeluarkan keringat darah
sedangkan pria itu dapat dengan mudah mencabut tongkat itu. Menurut legenda, pria itu
adalah Ali. Singkat cerita, Kiansantang akhirnya memeluk agama Islam. dan setelah
beberapa bulan belajar agama Islam, ia kembali ke tatar Sunda sambil membawa niat
untuk membujuk ayahnya supaya masuk Islam.

Sesampai di Padjadjaran, ia menceritakan kejadian yang dialaminya selama di Mekkah.


Akhirnya ia berharap ayahnya bersedia ikut memeluk agama Islam. Namun Prabu
Siliwangi menolak ajakan putranya itu. Kiansantang sangat kecewa mendengar
keputusan ayahnya bersikeras memeluk Hindu yang sudah dianutnya sejak lahir. Ia
kembali ke Mekah untuk memperdalam agama Islam. 7 tahun kemudian, Kiansantang
kembali ke Padjadjaran. Ia mencoba lagi membujuk ayahnya masuk Islam. Mendengar
putranya kembali, Prabu Siliwangi tetap pada pendiriannya memeluk agama Hindu
menyulap keraton Padjadjaran menjadi hutan belantara.

Kiansantang sangat kaget melihat keraton Padjadjaran telah berubah menjadi hutan
rimba, dalam hatinya yakin ia tidak mungkin salah, di tempat itulah keraton berdiri.
Setelah mencari ke sana ke mari, akhirnya ia menemukan ayahnya dan para
pengawalnya keluar dari hutan. Dengan nada hormat, Raden Kiansantang berkata pada
ayahnya “Wahai Ayahanda, mengapa Ayahanda tinggal di hutan? Padahal Ayahanda
seorang raja. Apakah pantas seorang raja tinggal di hutan? Lebih baik kita kembali ke
keraton dan memeluk agama Islam”. Mendengar pertanyaan putranya, Prabu Siliwangi
balik bertanya, “Wahai Ananda, lantas apa yang pantas tinggal di hutan?”. Raden
Kiansantang menjawab, “Yang pantas tinggal di hutan adalah harimau”.

Konon, prabu Siliwangi beserta para pengawalnya tiba-tiba berubah wujud menjadi
harimau (maung). Raden Kiansantang menyesal telah mengucapkan kata harimau
hingga ayah dan pengawalnya berubah menjadi harimau. Mesikpun ayahnya telah
berubah wujud menjadi harimau, Kiansantang tetap berusaha membujuk ayahnya
memeluk agama Islam. Namun harimau-harimau itu tidak mau mendengarkan ajakan
Kiansantang, mereka lari ke daerah selatan, kini termasuk wilayah Garut. Raden
Kiansantang berusaha mencegah, namun usahanya gagal. Harimau-harimau itu masuk
ke dalam goa yang kini dikenal dengan nama Goa Sancang yang terletak di Leuweung
Sancang Kabupaten Garut.
Di samping legenda tersebut, ada pula yang mengisahkan terjadi pertempuran hebat
antara Raden Kiansantang dan Prabu Siliwangi. Wallahu a’lam.

HIKMAH CERITA DAERAH

Dari kisah asal-usul Hutan Leuweng Sancang, Garut di atas, dapat kita ambil satu
hikmah tentang bagaimana ucapan seseorang itu bisa menjadi suatu doa yang bisa jadi
dikabulkan oleh Allah yang Mahamendengar, Mahakuasa terhadap segala sesuatu yang
ada di langit dan Bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya. Sehingga kita
diperintahkan untuk berkata yang baik atau diam. Karena setiap manusia berada di
dekatnya dua malaikat yang duduk di sebelah kiri dan kanannya. Sebagaimana Allah
berfirman pada ayat ke-16-18 dari surat Qaf, “Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih
dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat
amal perbuatannya, seorang duduk disebelah kanan dan yang lain duduk disebelah kiri.
Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya malaikat pengawas
yang selalu hadir” [QS 50: 16-18].

Hidayah adalah wewenang Allah sebagai Yang Mahamemberikan hidayah, adapun


manusia sebagai seorang hamba tugasnya adalah berusaha untuk menyampaikan
kebeneran kepada manusia. Ketika kita sebagai seorang hamba telah melakukan usaha
dalam menyempaikan suatu kebenaran kepada orang lain termasuk kepada orang tua
kita, maka selayaknya kita serahkan hasil akhirnya kepada Allah Yang Mahamemberikan
hidayah, jika orang yang diajak mengikutinya maka kita bersyukur karena kita berharap
akan mendapatkan pahala dari usaha menyampaikan kebenaran tersebut. Akan tetapi,
ketika ajakan kita tidak ditanggapi seperti yang diharapkan, maka bersabar adalah
respon yang tepat, bukan mengeluh atau kecewa terhadap keputusan yang Allah telah
tetapkan. Seakan kitalah yang menentukan hasil akhir dari usaha kita. Sebagaimana
ketika Kiansantang yang merasa kecewa lantaran ajakan dirinya kepada ayahanda Prabu
Siliwangi yang tidak dihiraukan dan hingga akhirnya dia mengucapkan suatu ucapan
yang kurang pantas diucapkan oleh seorang anak kepada ayahandanya, dan akhirnya
ucapan tersebut ternyata didengar dan dikabulkan oleh Sang Mahakuasa, Allah
Subhanahu wa Ta'ala. 

Karena bagaimanapun juga setiap ucapan ketika disampaikan pada waktu dan tempat
yang mustajab dapat saja Allah Yang Mahaberkehendak menjadikan ucapan itu terjadi
ketika Allah sudah menetapkan kehendak-Nya. Sebagaimana ucapan Nabi Yusuf 'alayhis
salaam tatkala yang lebih menyukai dirinya dipenjara ketika dia digoda oleh para tamu
wanita majikannya tatkala dia diminta keluar dari tempatnya sehingga timbul nafsu para
tamu tersebut kepada Nabi Yusuf 'alayhis salaam. seperti dikisahkan dalam Al Quran
surat Yusuf ayat ke 33-35, “Yusuf berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai
daripada memenuhi ajakan mereka…” (Q.S: 12:33), kemudian perkataan Yusuf tadi
diperkenankan oleh Allah, Rabbnya, “Maka Rabb memperkenankan doa Yusuf…” (Q.S:
12:34), sehingga Allah jadikan sebab-sebab dipenjara sampai suatu waktu yang Allah
Kehendaki, “Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda
(kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai suatu waktu (Q.S:
12:35). Wallahu a'lam.

Anda mungkin juga menyukai