AYIP ROSIDI
1
Tetapi, aduhai! Kebahagiaan tak semudah itu dicapai!
4
Namun ilmu adalah seumpama langit, makin tinggi dijelang,
makin tinggi menembus awang-awang, makin ingin hati
menyelaminya! Makin banyak yang direguk, makin haus dan
dahaga makin menjadi-jadi. Raden Panji merasa dahaga akan
ilmu, dan banyak pertanyaan-pertanyaannya, terutama yang
mengenai soal-soal rohaniah, mengusiknya tatkala merenung. Ia
meminta perkenan ramanya untuk menemui para resi yang sakti
dan para pendeta yang bijaksana, akan mencari penawar
hausnya, penentramkan kegelisahan kalbu.
5
depannya, Raden Panji, hendak mengikuti jejak leluhurnya itu!
Tidakkah itu suatu tanda yang baik?
7
akan menguasai wiiayah Kadiri pula? Sungguh luhur cita-cita
ayahanda! Baginda hendak mewujudkan kembali usaha sang
Airlangga yang dahulu! Baginda hendak mempersatukan
Janggala dan Kadiri pula! Dan tugas itu terpikul pada
pundaknya, pundak Raden Panji! Tetapi, benarkah kelak, kalau
sudah melaksanakan kewajibannya sebaik-baiknya sebagai
keturunan Isyana yang bijaksana, ia bakal menemui
kebahagiaan dan ketentraman batin? Begitukah hidup manusia?
Berjuang membela kebahagiaan yang digariskan orang lain,
untuk keperluan orang lain dan demi kebahagiaan orang lain
pula? Alangkah sederhana! Namun alangkah asing dan aneh
kedengarannya!
Tidak, yang dia cari dari resi ke resi, dari petapan ke petapan,
bukan hal-hal yang demikian ruwet. Ia ingin merasakan batinnya
tenteram. Suasana dalam keraton tidak memberinya
ketentraman. Ia melihat semua orang di sana, berdiri pada
tempatnya, mempunyai beban yang mesti diselesaikannya.
Kesibukan-kesibukan yang terasa seolah-olah disibuk-sibukkan
saja! Kesibukan dalam suatu perputaran yang lebih besar, yang
entah akan bermanfaat ataukah tidak buat diri si petugas sendiri!
Orang-orang di keraton seolah-olah bukan manusia lagi,
melainkan kuda yang kalau tidak menarik kereta sebaik-baiknya
8
akan mendapat cemeti menyambar punggung. Dan ia sendiri,
kelak suatu hari, kalau menduduki takhta, tentulah tak ubahnya
dengan kusir yang selalu mengamangkan cemeti, menakuti kuda
supaya jangan keluar dari jalannya. Tidak, kedudukan seorang
kusir, meskipun mengusiri kerajaan yang luasnya tak terhingga,
bukanlah impian yang serasi dengan jiwanya.
10
Bagaimanakah ia bisa mencapai pengetahuan tentang hidup?
Tentang mati?"
11
"Siapakah dia gerangan?" tanyanya kepada dirinya sendiri,
waktu akhirnya si jelita itu menghilang. Ia lupa kepada niatnya,
lalu mengikuti jejak si cantik jelita.
12
Namun apakah artinya putera mahkota bagi Raden Panji?
Apakah bedanya bagi Raden Panji seorang putra raja atau
kawula jelata? Apakah beda antara manusia dengan manusia
yang sama-sama dihangati oleh hati yang mengenai cinta, bagi
orang yang sudah ragu akan kedamaian dirinya kelak di atas
takhta? Laksana sebuah mata air yang jernih bening keluar dari
tebing di pegunungan, atau laksana sekuntum bunga yang
kembang di tengah kesunyi-an hutan, segar serta indah,
memberinya kedamaian yang sejuk. Demikianlah halnya Dewi
Anggraeni bagi Raden Panji. Mata air itu takkan habis-habisnya
mengeluarkan air yang jernih bening. Takkan mengenai kering
musim kemarau, takkan mungkin dikotori segala sampah
duniawi. Dan bunga yang kembang itu takkan layu-layu. karena
takkan habis-habisnya mendapat pupuk kasih sayangnya
sendiri.
13
"Ampun beribu ampun hamba mohonkan" sahutnya dengan
suara tak lancar. "Masakan hamba seorang hina-dina ini berani
tidak bersenang hati lantaran mendapat kunjungan Gusti
seorang putra mahkota yang suatu kali kelak akan menentukan
mati-hidup hamba sebagai kawula?"
14
Perlahan-lahan Dewi Anggraeni menggelengkan kepala.
15
"Hamba hanya seorang gadis gunung, seorang yang lahir di
tengah rimba dan agaknya telah ditetapkan Dewata, agar hidup
dalam kesunyian dan meninggal dalam kesunyian ... "
16
tumbuh di hutan pegunungan Penanggungan ini yang akan
kupilih ..."
18
Ketika hal itu pertama kali disampaikan orang, baginda tidak
mau percaya.
"Raden Panji?"
"Sesungguhnyalah."
"Daulat Kanda."
19
"Mengapa ia tidak menyampaikan hal itu kepada Kanda?"
"Ampun Rakanda."
20
"Ampun Rakanda. Raden Panji tidak berani mempersembahkan
hal pernikahannya itu kepada Rakanda, karena ia merasa kuatir
Rakanda murka lantaran gadis yang dia kawini itu bukan
seorang keturunan raja ..."
"Ampun Rakanda."
"Dan lain dari itu. Rayinda pun tahu. bahwa pernikahan Raden
Panji itu akan menyeret persoalan kerajaan bersamanya. Bukan
21
hanya satu kerajaan, tetapi dua kerajaan: Janggala dan Kadiri
yang dahulu sekali pernah seluruh menghaturkan sembah
kepada seoi yakni moyang kita."
"Hamba, Rakanda."
"Hamba, Rakanda."
22
"Dan sekarang? Sekarang Raden Panji mengawini seorang
gadis yang tak keruan keturunannya, yang entah ditemuinya
dimana!"
"Hamba, Rakanda."
"Di kaputran."
23
"Ampun, Rakanda, hamba meminta kelapangan dan kedalaman
lautan ampun yang hendaknya Rakanda limpahkan atas batu-
kepala anakanda Raden Panji Kuda Waneng Pati..."
Baginda termenung.
"Tidak hanya itu. Ia pun seorang yang berbudi halus, serta tahu
akan adat. Sampai Rayinda berpikir, bagaimana mungkin
24
seorang gadis yang berasal dari gunung yang terpencil
mengetahui adat-istiadat serta sopan santun keraton
sesempurna itu? Tidakkah ia mungkin seorang puteri raja yang
melarikan diri?"
25
Kembali suasana hening.
28
"Mengapa Kanda melihat terlalu jauh? Mengapa Kanda
membayangkan hal-hal yang buruk saja? Tidak, pernikahan
Raden Panji dengan Dewi Anggraeni, tak usah berpengaruh
kepada kerajaan. Pernikahan itu tidak membatalkan perjanjian
yang telah Kanda buat dengan Prabu Jayawarsya, bukan?
Tidak. Pernikahan itu mesti Kanda restui demi kebahagiaan
anak kita sendiri dan demi kebahagiaan kerajaan ..."
"Cita-cita Rakanda yang luhur itu akan sirna, karena Raden Panji
yang mesti melaksanakan cita-cita luhur itu akan mereras. Ia
29
akan sangat berduka apabila dipisahkan dari kekasihnya. Kalau
Raden Panji meninggal karena duka cita, bukan hanya Rayinda
yang akan tenggelam dalam lautan kesedihan, tetapi Rakanda
pun tidak mungkin melaksanakan cita-cita Kanda yang mulia itu
..."
32
karena kami sama-sama ingin menyaksikan Janggala dan Kadiri
bersatu dibawah pemerintahan keturunan mereka!"
Tetapi kabar itu makin lama makin santer dan makin santer jua.
33
Sang senapati Wiranggada tidak berani mengganggu. Ia pun
duduk diam. Kepalanya menunduk seolah-olah berat benar
baginya untuk mengangkat wajah.
34
sesamanya, tetapi mereka hanya bisa menduga-duga saja.
Namun dari keangkeran suasana balairung yang seolah-olah
menjadi muram oleh kemuraman durja sang baginda, mereka
merasakan suasana yang menekan dan berat menyesakkan
kalbu.
37
memberi titah yang luar biasa. Memang, adalah lantaran ada
soal yang sangat berat menekan pikiran kami, maka andika
sekalian yang terkenal bijaksana, kami titahkan datang
menghadap pada waktu ini juga. Kami ingin mendengar
pendapat andika sekalian. Kami ingin meminta nasihat... "
kembali baginda berhenti bersabda dan pandangannya kembali
menatap ke kejauhan, ke alam tak berwatas, merenung.
38
jelas... Mengenai hal apakah Rakanda Gusti Prabu Jayantaka
tunggadewa menyalahi janji?"
Suara baginda makin lama makin naik, makin naik, dan wajah
baginda menjadi memerah laksana terbakar. Baginda sangat
murka. Sedangkan matanya bagaikan menyinarkan api yang
membakar barang yang dilihatnya. Semua yang hadir tak berani
menentang pandangan baginda yang demikian. Mereka
menundukkan wajah. Ada yang turut marah, dan mengangguk-
anggukkan kepala, menyetujui perkataan baginda, dari mulutnya
terdengar gumam, "Di Kadiri pun masih banyak satria, pahlawan
yang tak pantang berjuang!"
40
"Tidakkah benar kata kami? Tidakkah benar bahwa para satria
Kadiri belum mati? Tidakkah benar bahwa para pahlawan Kadiri
masih siap sedia untuk berjuang?Untuk mempertahankan
kehormatan dan harga dirinya? Tidakkah benar? Manakah
pahlawan Kadiri?"
"Tak usah menanti hari berganti, malam ini juga semua wadia-
bala Kadiri telah siap untuk berperang! Gusti tak usah kuatir,
Janggala takkan mungkin menumpas satria Kadiri!" sembah
yang lain pula.
"Kita berada pada fihak yang benar, maka para dewa tentu akan
berada pada fihak kita! Sang Syiwa akan merestui kita! Kita akan
menang! Kita takkan mungkin kalah!" sambut yang lain.
41
Sejenak lamanya dalam balairung terdengar hiruk-pikuk.
Suasana menjadi panas. Setiap orang yang berada di sana
terbakar semangatnya, geram dan murka, ingin segera
menerjang lawan.
43
"Tetapi apa? Apakah Mamanda belum mengetahui jua sebab
lantarannya mengapa kita mesti menyerang Janggala yang telah
menghina kita?"
44
renungkan lebih dahulu hal-hal lain yang bersangkutan dengan
itu..."
"Ya, lalu?"
"Antara orang yang berasal dari daerah yang sama apalagi kalau
menyangkut nasib kerajaan beserta seluruh kawulanya, tak
patutlah senjata diminta bicara. Apabila ada persoalan, elok
diperbincangkan terlebih dahulu..."
45
"Tetapi ini mengenai kehormatan dan harga diri kita sebagai
satria, sebagai negara dan kerajaan, Mamanda Maha Patih!"
"Ampun Gusti. Karena itu pula dalam hal ini kebijaksanaan Gusti
yang menggenggam mati-hidup kawula negara di seluruh
kerajaan diminta lebih besar..."
49
Baginda menghela nafas. Senapati Wirapati hendak
menghaturkan sembah pula, tetapi tangan baginda yang kiri
melambai, tanda bahwa baginda menitahkannya diam.
50
"Kalau kelak ternyata, fihak Janggala memang dengan sengaja
hendak menghina puteri mahkota Kadiri beserta kerajaannya,
perang adalah jalan yang satu-satunya boleh kita tempuh!"
51
Suasana pecah, tatkala dari sudut sebelah kanan terdengar
suara yang renta dan rendah menghaturkan sembah.
52
manakah yang menurut hemat andika sekalian, yang patut kita
mintai tolong dalam hal ini?"
53
"Baiklah Mamanda Patih. sekarang Mamanda titahkan orang
untuk menjemput sang Kili Suci supaya sudi meninggalkan
petapannya yang suci di Pucangan, menjenguk negeri Kadiri ini.
Siapa orang yang patut menjalankan titah itu kami percayakan
kepada Mamanda untuk memilihnya."
"Daulat Gusti."
"Ia harus dikawani oleh dua-tiga orang hamba Gusti yang lain.
Baiklah perihal itu hamba atur kelak."
"Daulat Gusti, hamba sekalian akan siap setiap saat! Titah patik
junjung di atas batu kepala patik!" sembah senapati Wirapati.
55
Kehidupan keraton dan kesibukan kerajaan tidak
membetahkannya. Ia tidak mau hidup dalam kegemilangan
istana. Ya, putrinda itu mengikuti jejak ayahanda, sang
Airlangga; sangat mencintai kehidupan bertapa, karena
ayahanda tatkala masih muda pernah dilindungi para petapan,
yaitu tatkala ia melarikan diri dari kejaran tentara Wura-wari yang
menyerbu keraton mertuanya.
58
saudaranya dengan senang hati. Bahkan mereka tidak segan-
segan meminta nasihat dan petunjuk dari putri petapa itu.
---
59
sampailah sang Kili Suci di ibukota Kadiri, lalu masuk ke dalam
istana. Kedatangannya segera dipersembahkan kepada sang
baginda.
61
Raden Panji, biar akan Nenenda periksa sendiri ke Janggala.
Sekalian Nenenda hendak menyambangi cucunda Prabu
Jayantaka yang sudah lama tidak Nenenda jenguk. Nenenda
hendak menanyakan duduknya perkara yang lebih jelas. Kelak
kalau semuanya sudah terang-benderang pasti Nenenda akan
kembali lagi ke mari."
63
"Ampun Nenenda!" sahut baginda. "Raden Panji memang jarang
berada di keraton. Ia tak jemu-jemunya mengembara dari
petapan yang satu ke petapan yang lain. Tetapi kini, ia tentu
akan menetap di kaputran, karena ia sekarang telah beristri ..."
64
"Sesungguhnya!" sahutnya kemudian dengan suara rendah.
"Sesungguhnyalah apa yang Nenenda sabdakan! Raden Panji
telah dipertunangkan sejak masih kecil dengan Dewi Sekar Taji -
putri mahkota Kadiri ..."
"Dewi Anggraeni."
65
Hamba kuatir lantaran hal ini Rayinda Prabu Jayawarsya akan
sakit hati.."
"Demikianlah halnya."
66
"Dari Rayinda Prabu Jayawarsya? Jadi Rayinda Prabu pun
sudah mengetahuinya? Dan bagaimanakah sikapnya? Murkakah
dia?"
"Tak usah Cucunda berkata seperti itu," potong Kili Suci. "Yang
penting sekarang, bagaimanakah hal pertunangan Raden Panji
dengan Dewi Sekar Taji?"
67
"Ampun Nenenda!" sembah sang baginda. "Janji yang telah
diadakan seorang raja adalah ibarat hujan yang takkan mungkin
dikembalikan ke langit yang menurunkannya. Apa yang sudah
menjadi perjanjian antara Janggala dan Kadiri, tidak menjadi
batal."
"Demikianlah adanya."
"Empat bulan lagi. Hari Legi yang kedua pada bulan yang
pertama tahun yang akan datang."
70
Kemudian sang Kili Suci menemui permaisuri dan cicit-cicitnya
akan bercengkrama dengan mereka.
Alangkah cantiknya gadis itu! Tak kalah oleh Dewi Sekar Taji!
Dan lihat, wajahnya yang segar itu bagaikan belahan pinang
laiknya dengan Dewi Sekar Taji! Alangkah sama keduanya!
Lebih-lebih tatkala melihat tingkah lakunya yang sopan santun
dan sangat penuh hormat, senang benar sang Kili Suci. Ia
mengangguk-anggukkan kepala, sedangkan dalam hati ia
berkata, "Patutlah Raden Panji memilihnya sebagai istri. Tak
salah penglihatannya! Dewi Anggraeni seorang putri yang jarang
bandingannya!"
71
memberi petunjuk dan nasihat. Dan Raden Panji menyimakkan
dengan penuh hidmat akan segala perkataan sang Kili Suci.
72
Setelah semuanya nampak beres, maka sang Kili Suci meminta
diri akan kembali ke petapannya yang tenang, nun di Pucangan.
Sia-sia saja usaha sang baginda untuk menahannya lebih lama.
Sang petapa telah merindukan kedamaian petapannya.
74
Dewi Sekar Taji. Ketika dipertunangkan keduanya masih sama-
sama kecil, sama-sama kanak-kanak. Tetapi sejak itu waktu
telah berlalu, dan kini keduanya telah dewasa. Bahkan Raden
Panji..." baginda menoleh ke arah putranda.
75
"Kami tahu, engkau telah beristri dengan Dewi Anggraeni, tetapi
ia bukanlah jodohmu yang setimpal!" sabda baginda.
"Daulat Gusti!"
77
"Dewi Anggraeni bukan seorang keturunan raja, ia boleh terus
menjadi istrimu, tetapi Dewi Sekar Taji yang kelak akan menjadi
permaisuri!"
"Ampun Gusti!"
"Raden Panji!"
"Daulat Gusti."
78
mengikuti segala perkataan orangtuamu. Tetapi, ya, memang
sejak masih kecil, sudah kusaksikan sifatmu yang manja. Kau
seorang yang sangat manja. Kau ingin supaya segala
kehendakmu terlaksana. Engkau terlalu menurutkan hatimu
sendiri. Engkau sibuk dengan dirimu sendiri yang sempit, karena
yang senantiasa engkau pikir dan perhatikan hanyalah dunia
kecilmu, yang penuh dengan kehendak-kehendak perseorangan
yang serakah. Engkau sedikit pun tidak menaruh perhatian
kepada masalah yang lebih besar. Engkau tidak mau
memperhatikan masalah orang lain! Engkau tidak suka. Engkau
enggan! Karena kalau pun engkau memperhatikan orang lain,
hanyalah dari segi-segi kepentingan dirimu sendiri yang sempit."
79
"Raden Panji! Tidakkah kau sadari, bahwa pernikahanmu
dengan Dewi Sekar Taji akan membawa dua buah kerajaan ke
dalam gerbang kebahagiaan?"
80
kebahagiaan kawula negara dan untuk kemanusiaan umumnya,
adalah satu-satunya kebahagiaan. Makin besar pengurbanan
yang kau berikan, makin besar kebahagiaan yang kau dapat
Karena, kebahagiaan seorang raja adalah kalau ia telah bisa
meleburkan diri beserta kepentingan-kepentingannya yang
sempit untuk kebahagiaan kawula serta manusia yang mulia.
"Tidak ada yang besar kalau kau telah sampai dalam arti Besar
yang sesungguhnya. Tak ada yang berat untuk dilakukan, kalau
kau mengerti ujud Berat yang sesungguhnya. Besar dan berat
hanyalah ukuran yang dibuat oleh manusia berdasarkan
perasaannya yang sempit itu. Kalau kau melihatnya dari
keluasan pandangan, dari kepentingan umat manusia yang
banyak, maka semuanya menjadi kecil dan tak berarti. Engkau,
Raden Panji, seorang yang sudah kenyang berguru dan bertapa
tentu akan mengerti tujuan hidupmu yang benar..."
"Ampun Gusti!"
"Raden, tetapi kalau Raden menikah dengan Dewi Sekar Taji itu
bukan berarti bahwa Raden menyisihkan atau menggeser cinta
Raden. Raden hanya memenuhi kewajiban Raden sebagai
seorang satria yang sadar akan tanggung jawabnya. Raden
seorang putra mahkota. Putra mahkota kerajaan Janggala yang
jaya."
85
boleh hidup sebagai seorang manusia biasa yang boleh
mengecap kebahagiaan hidupnya secara sesuka hatinya,
menurut pilihan hatinya sendiri?"
86
"Kakang Prasanta."
"Daulat Gusti!"
87
Setelah sejenak hening, baginda bersabda pula dengan
suaranya yang gemetar serta gugup itu, "Raden Panji! Kami
hargai kebesaran cintamu kepada istrimu Dewi Anggraeni. Cinta
yang kau sebut cinta suci. Cinta yang telah menyebabkan
engkau rela kendati melepaskan kedudukanmu sebagai putra
mahkota!"
"Daulat Gusti."
"Daulat Gusti."
"Karena sekarang kau telah pasti tak mau menikah dengan Dewi
Sekar Taji, selama Dewi Anggraeni ada di sampingmu, maka
kami titahkan engkau sekarang juga menghadap kepada sang
Kili Suci. Sampaikan halmu kepadanya dan sampaikan takzim
serta sembah kami."
89
yang arif itu tentu maklum akan cintanya yang besar kepada
Dewi Anggraeni. Sang pertapa itu tentu akan menolongnya.
90
"Mengingat bahwa persoalan ini penting, dan kepada utusan dari
Kadiri yang sekarang sedang menanti keputusan, kita mesti
memberi jawaban secepat mungkin, kutitahkan engkau langsung
menuju ke Pucangan. Makin cepat makin baik. Mengenai
istrimu, tak usah kau merasa kuatir.Keberangkatanmu akan
dikabarkan juga kepadanya oleh salah seorang saudaramu."
"Daulat Gusti."
91
"Raden Panji."
"Ampun Gusti."
92
Sementara terjadi kesibukan itu, sang baginda duduk di atas
singgasana, dengan kepala tertunduk, kening berkerut. Dari
wajahnya nampak seolah-olah telah mengambil suatu keputusan
yang berat, lelah dan payah. Nafasnya turun-naik, kelihatan dari
gerakan-gerakan teratur punggungnya. Suasana dalam
balairung hening. Tak seorang pun berani mengganggu baginda
yang kelihatan sedang asyik berpikir.
93
Sejenak baginda melihat kearah Tumenggung Braja Nata, tetapi
kemudian segera mengalihkan pandangannya pula ke kejauhan.
"Daulat Gusti!"
94
"Ampun Gusti, bagi hamba belum jelas juga titah itu. Selama
hayat dikandung badan, hamba akan berusaha melaksanakan
segala titah gusti, meski mesti menempuh lautan api ataupun
gunung braja."
95
Tumenggung Braja Nata tidak mengerti makna pertanyaan
ayahanda, tetapi ia menyahut juga, "Daulat Gusti."
"Keris ini keris pusaka, yang selalu dipakai oleh setiap raja
Janggala. Dari Nenenda ia turun kepada Ayahanda dan
sekarang ia ada pada kami. Umurnya sudah tua. Tetapi ia masih
indah dan masih baik. Jarang empu yang pandai membuat keris
sebagus ini," lalu baginda menjentikkan telunjuknya kepada
ujung keris, bunyinya nyaring 'cring-cring-cring' menggema
diseluruh balairung yang seperti mati. Orang-orang dengan
heran mengawasi kelakuan raja mereka dengan diam. Mata
mereka terbuka lebar, kuatir sesuatu terjadi tanpa mereka
saksikan.
"Daulat Gusti!"
97
percakapan kami dengan Raden Panji Kuda Waneng Pati
mengenai pernikahannya dengan Dewi Sekar Taji?"
"Daulat Gusti!"
"Engkau mengerti?"
"Daulat Gusti!"
98
"Daulat Gusti!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan tak
mengerti.
"Daulat Gusti."
"Hamba. Gusti."
101
Dengan tangan yang menggigil, Tumenggung Braja Nata
menghaturkan sembah. Suaranya pun gemetar. "Daulat Gusti!"
103
hatinya? Tumenggung Braja Nata tertunduk. Ia tidak berani
menengadahkan pandangannya, kuatir berbentrok dengan sinar
mata ayahanda. Padahal sesungguhnya, tak usah hal itu dia
takuti, karena ayahanda sendiri selalu menghindarkan
pandangannya ke arah Iain.
105
dikesampingkan. Kau mesti tabah! Terimalah keris yang tak
bersarung ini!"
107
Kemudian baginda menoleh ke arah Senapati Arya Suralaga,
"Arya Suralaga!"
"Daulat Gusti!"
"Daulat Gusti!"
108
Sang baginda sendiri nampak lesu. Kepalanya tertunduk.
Akhirnya baginda memberi isyarat bahwa persidangan bubar.
Maka orang-orang pun mengundurkan diri dengan diam-diam.
110
"Kalau saja ia bukan seorang putra mahkota ...," katanya dalam
hati, "akan lebih sempurna rasanya bahagia kami! Ah, mengapa
ia bukan seorang manusia biasa, keturunan orang kebanyakan
saja?"
111
mungkin akan murka lantaran merasa terhina jika lamarannya
ditolak! Ah, bahkan Raden Panji juga agaknya sadar, bahwa
perbuatannya itu bertentangan dengan kehendak ayahanda,
sang baginda raja Janggala, ternyata dengan pernikahan yang
dilakukan diam-diam. Baru setelah mendapat berita dari ibunda,
bahwa ia boleh menghadap ayahanda akan mempersembahkan
halnya, mereka diterima dan mendapat restu baginda. Baginda
merestui mereka dan nampak menyukai menantunya, tetapi dari
sinar mata baginda, Dewi Anggraeni merasakan ketaktentraman.
Pandangan baginda seolah-olah menyalahkan dia, dia yang
mungkin dianggap telah memikat Raden Panji! Pandangan
baginda itulah yang menyebabkan ia kadang-kadang tak bisa
memejamkan matanya. Pandangan yang dingin, tapi bagaikan
menusukkan logam tajam ke dalam jiwa, tak terperikan. Tidak,
Dewi Anggraeni tidak dendam kepada pandangan baginda yang
demikian dingin itu. Malah ia merasa bersalah, nun jauh dalam
relung hatinya, merasa bahwa tuduhan yang dilemparkan
baginda melalui pandangan matanya itu benar. Ya, ia telah
bersalah, bersalah .... Tetapi cinta begitu besar. Benarkah ia
berhak duduk di samping putra mahkota Janggala yang suatu
kali kelak akan menduduki takhta? Benarkah ia berhak
mengambil Raden Panji sebagai suami? Ia ingin kekasihnya
bahagia, dan melakukan kewajibannya sebaik mungkin. Ia ingin
112
kekasihnya itu jangan sampai berduka. Jangan sampai murung,
tetapi senantiasa bersinar-sinar bagaikan mentari kemarau. Ia
ingin Raden Panji memenuhi harapan dan cita-cita ayahanda
yang besar.
113
"Tak lama, Adinda, Kakanda takkan lama pergi. Besok atau
selambat-lambatnya lusa, tentu Kanda kembali ke sampingmu
...." itulah perkataan Raden Panji sebelum berangkat. Sampai
malam kemarin ia sia-sia menanti, Raden Panji tak kunjung
datang. Perasaannya diamuk sepi yang luar biasa, lengang
menyendiri, seakan seluruh dunia kehilangan seni.
Tetapi tiap kali ia kecewa. Setiap ada suara kuda lari, ia bangkit
dan memandang ke luar, tetapi yang dinanti tidak kunjung
muncul. Dan setiap saat, terbayang pula pandangan kekasihnya
pada saat terakhir, sebelum berangkat. Alangkah aneh
pandangan itu! Pandangan yang luar biasa, laksana
mengisaratkan suatu perpisahan berdinding mati! Suatu
perpisahan akhir! Timbul pikirannya yang bukan-bukan,tetapi
dengan kemauan sehat, diusirnya dan disabar-sabarkannya
dirinya.
115
dicintainya lebih daripada kepada jiwanya sendiri itu, bercakap-
cakap tentang hal yang menyenangkan.
116
"Gusti Panji berjanji akan pulang hari ini, tentu beliau akan
menepati janjinya. Janji satria Janggala tak nanti tak ditepati ...,"
kata Emban Wagini menghibur.
"Gusti, junjunganku, Gusti Panji tentu akan pulang hari ini seperti
dijanjikannya. Sekarang ia barangkali masih di jalan. Sebentar
lagi, tentu..."
Menyirat darah pada wajah Dewi Anggraeni yang pucat lesi itu.
Cahya kegembiraan membakar hatinya. Maka bangkitlah ia akan
menyongsong kedatangan jungjungannya.
119
Tumenggung Braja Nata sementara itu telah menambatkan
kuda, lalu naik akan menemui Dewi Anggraeni.
121
Tadi Kakang berkata hari sangat segar, dan tiba-tiba barusan
kepada Bibi Wagini Kakanda mengatakan udara sangat panas!
Katakan, duhai Kakanda katakan kepada hamba, ke manakah
Kakang Panji maka tidak pulang bersama Kakanda?"
123
Tumenggung Braja Nata menghabiskan air itu dengan sekali
teguk, sehingga kelihatan seolah-olah orang yang benar-benar
dahaga.
124
"Eh... eh ...memang ...Ada sesuatu ...," Tumenggung Braja Nata
menyahut dengan suara gagap.
126
"Sehingga apa, Kanda?" desak Dewi Anggraeni tak sabar.
127
"Tadi Kanda baru datang, masih lelah, maklumlah si Pramuga,
Kanda pacu sekuat-kuatnya. Kanda kuatir kalau-kalau Rayinda
terlampau lama mengharap dan bergelisah ..."
"A aa . . anu. Rayinda, di Muara Kamal ... datang utusan dari ...
Tiongkok hendak menghadap kepada Baginda." akhirnya ia
menyahut sejadinya. "Tak ada orang yang patut menerima tamu
agung itu mereka utusan kaisar Tiongkok, penguasa negara atas
angin itu kecuali Raden Panji ..."
129
"Kedatangan mereka serentak, sehingga kita tidak sempat
membuat persiapan-persiapan yang patut ..." keringat bermanik-
manik di dahi Tumenggung Braja Nata, meskipun ia tidak
merasa gerah.
130
makin baik. Makin cepat makin baik. Makin cepat makin baik.
Makin cepat...
131
"Tidak. Tetapi menurut Kanda, lebih baik . . . lebih baik. .. lebih
baik kalau ia tak usah ikut," katanya dengan tak berani
mengangkat pandangannya.
"Bukan tak boleh, hanya saja lebih baik . . . lebih baik rasanya
kalau tak usah dia dibawa."
132
"Bibi, mengapa Bibi belum juga bangkit untuk berkemas-kemas,
menunggu apa lagi? Ayuhlah. jangan biarkan Kakang Panji
menanti terlampau lama!" katanya memberi titah.
133
"Tetapi Gusti." sahut Wagini dengan sabar, "Gusti sedang
gering, hamba kuatir kalau-kalau perjalanan ini akan
memarahkan penyakit ..."
"Ah. tidak." sahut Dewi Anggraeni cepat. "Hanya merasa lesu ..."
134
"Tak usahlah, Rayinda, tak usahah terlalu membawa... terlalu
banyak pakaian atau pun segala perhiasan..."
135
karena kalau ditambah pula, mungkin memperlambat
perjalanan."
136
Mereka memacu kudanya dengan cepat. Tumenggung Braja
Nata berjalan di depan, kemudian mengikut si Hitam yang
ditunggangi Dewi Anggraeni bersama inang pengasuhnya, dan
di belakang sekali Senapati Arya Suralaga. Mereka berpacu
sambil berdiam diri. Tumenggung Braja Nata memecut kudanya
bagaikan terbang.
140
"Katakanlah yang benar, Kanda, kemanakah Kakang Panji
dititahkan oleh baginda? Ke Muara Kamal? Atau ke
...Pucangan? Tadi agaknya hendak terloncat perkataan itu dari
mulut Kakanda! Dan di Muara Kamal? Apakah yang
menyebabkan Kakang Panji mesti berangkat ke sana? Benarkah
ada utusan dari kaisar Tiong-kok?Mengapa barusan Kanda
bilang untuk mengalahkan lanun? Ah, Kanda, katakanlah, ada
apakah sebenarnya di istana? Apakah yang terjadi dengan
Kakang Panji! Katakan terus terang!"
141
"Ya, lebih baik Kakanda berterus terang saja sekarang ...,"
katanya kemudian.
"Ke Pucangan."
143
"Rayinda ... anu... Rayinda ... Kakanda dititahkan membawa
Adinda ke dalam hutan untuk melapangkan jalan buat cita-cita
kemanusiaan yang luhur. Cita-cita agung ..."
"Tetapi ... tetapi ... sebaik-baiknya memang dalam hutan hal itu
Kanda lakukan ... Di sini, di sini ... makin cepat makin baik,
makin baik!"
"Baik akan ... akan Kanda coba terangkan duduk halnya ..."
144
Kadiri?" ia mengangkat muka, mengarahkan pandangannya
kepada Dewi Anggraeni.
"Tahukah Rayinda?"
Dewi Anggraeni merasa nafasnya sesak. Jadi hal itu! Hal itu
yang juga selama ini menjadi pikirannya! Itulah biang keladinya!
Dan ia merasakan detak jantungnya yang menghebat memukul-
mukul dinding dada. 'Kakang Panji, agaknya soal yang selama
ini Adinda takuti juga yang menyebabkan sejak kemarin merasa
lesu ...' katanya dalam hati.
"Belum selesai?"
"Dan bagaimana?"
147
"Ke Pucangan?" Dewi Anggraeni heran. "Buat apa?"
148
dititahkannya Kakanda mencari sarung baru buat keris pusaka
kerajaan Janggala ...."
150
untuk kepentingan kerajaan, Kanda! Kalau hamba yang menjadi
penghalang, biarlah hamba lenyapkan diri hamba! Kakanda,
marilah! Bukankah kata Kanda juga makin cepat makin baik?"
"Tetapi Gusti ... Gusti masih muda dan Gusti Panji tentu akan
kehilangan. Apa yang mesti hamba jawab kalau Gusti Panji
menanyai hamba?" ratap Emban Wagini.
151
Dewi Anggraeni murka. "Mengapa engkau, Bibi? Mengapa
bertingkah? Lepaskan!"
152
Anggraeni dengan ujung mata. Maka kelihatan olehnya wajah
jelita itu bermandikan air mata, tetapi menunjukkan ketenangan
yang luar biasa.
153
iklas tulus!" kata Dewi Anggraeni seraya menusukkan mata keris
pusaka yang tajam itu ke dalam dadanya.
154
Tiba-tiba ia bangkit dan mencabut keris pusaka yang tertancap
itu dari dada gustinya. Darah yang masih merah segar
membasahi mata keris itu.
155
kemanusiaan? Mengapa untuk kepentingan kemanusiaan mesti
lenyap terbunuh dua orang manusia yang nyata, hidup,
berdaging, berdarah, bertulang, bernyawa?"
"Ke mari!"
156
"Hamba mengurus kuda Gusti!"
Tumenggung Braja
Nata melirik kepadanya, kemudian menjatuhkan pandangannya
pula. Beberapa jenak mereka berdiam-diaman. Tak seorang pun
mau bicara, kecuali dengan kelebat mata.
157
"Dewi Anggraeni! Sungguh seorang satria! Karena menganggap
dirinya menjadi penghalang buat cita-cita kemanusiaan yang
agung, tak segan-segan dia menghapuskan dirinya sendiri..."
158
Tumenggung Braja Nata bangkit.
159
Senapati Arya Suragala tidak menyahut. Kepalanya jatuh
tertunduk.
160
Tetapi alangkah heran tatkala menyaksikan sang Kili Suci
menyambutnya, dengan wajah yang muram durja.
161
"Sebagai putra mahkota yang kelak akan memangku takhta,
engkau mesti tabah dan tetap hati. Apa yang dipetuahkan oleh
ayahmu adalah benar semua. Hanya saja..." tak lanjut pula
perkataannya.
162
hamba pulang, apakah yang mesti hamba persembahkan
kepada Ayahanda?"
Suara sang Kili Suci sangat perlahan, "Adalah yang mesti Raden
pikirkan bagi kebenaran dunia ini! Pulanglah segera. Temuilah
Anggraeni, istrimu"
Begitulah hutan dan jurang dilalui dengan cepat. Jalan terjal dan
licin, tetapi Raden Panji sungguh-sungguh seorang yang pandai
berkuda. Di tempat yang datar, kudanya melesat laksana anak
panah dari busurnya, hanya sekilas nampak oleh pandangan.
164
Teringat kepada istrinya yang sangat dia cintai, Raden Panji
cerah wajahnya, lantaran terbayang sambutan istrinya itu kelak.
Alangkah akan gembira Anggraeni menyambutnya!
165
"Raden! Raden Panji!" tiba-tiba terdengar teriakan
dibelakangnya. Itulah suara Patih Prasanta.
la menghentikan kudanya.
166
'Bagaimanapun aku mesti mengikutinya, karena untuk
mengawaninyalah aku dititahkan turut.'
"Rayinda!"
167
Tetapi tak ada juga sahutan. Ia masuk ke dalam peraduan, tetapi
Dewi Angraeni tak nampak. Ia heran. Sangkaan yang bukan-
bukan memenuhi kepalanya. Lalu ia menoleh kepada seorang
emban.
"Menyusul kami?"
"Hamba, Gusti."
168
"Menyusul kami ke mana? Ke istana?"
"Hamba, Gusti."
171
Patih Prasanta menghela nafas. Matanya memandang tak
mengerti kepada putra mahkota Janggala. Kepalanya
menggeleng.
Patih yang tua itu segera pula mencari kuda baru, lalu
memacunya, mengejar Raden Panji.
172
Tetapi ia tidak berani melepaskan putra mahkota pergi sendirian,
maka ia pun kepacu ke arah Muara Kamal.
Patih Prasanta yang tua itu kini tidak mau ketinggalan. Kudanya
yang juga kuda pilihan yang diambilnya dari kandang kuda.
Patih Prasanta lari dengan kecepatan luar biasa, ia tidak jauh di
belakang Raden Panji.
173
Tiba-tiba kudanya berbenger dan menghentikan langkahnya,
dan tak jauh di sebelah depan terdengar pula benger kuda. Tak
tertahan lagi kuda yang ditunggangi itu lari ke arah suara kuda
datang. Sia-sia saja Raden Panji menahannya. Maka segera ia
mempertajam matanya.
174
"Lihat, tapak kuda di sini bukan hanya bekas si Hitam saja!" kata
Patih Prasanta yang segera memperhatikan keadaan
sekelilingnya.
"Ya, ada dua tapak kuda pula yang bukan bekas si Hitam!"
sahutnya.
177
"Sungguh besar pengurbananmu, Raden!" ratapnya dalam hati.
"Sungguh keras
kehendak Ramanda! Dan engkau, Raden, wahai, inilah agaknya
arti petuah sang Kili Suci! Raden mesti tabah! Raden mesti
sadrah! Raden, inilah agaknya yang dimaksudkan sang Kili Suci!
Ia sungguh waspada, meski tak sepatah pun berkata, namun tak
ada rahasia baginya. Pantas wajahnya muram! Sungguh berat,
sungguh berat Raden, cobaan yang mesti kau tanggungi" Patih
Prasanta menghela nafas, sedang tangannya masih juga memijit
Raden Panji.
Tak terasa lagi air matanya keluar dan menitik, hangat terasa.
Dari arah selatan, terdengar suara ketepuk kaki kuda. Tak lama
kemudian kelihatan mendatangi para ponggawa di atas kuda
mereka: letih dan lesu, namun nampak berkuatir atas nasib putra
mahkota. Demi melihat Patih Prasanta sedang berjongkok
menghadapi tiga orang yang terhantar kaku, terkejut mereka
bukan buatan, lalu bersi-cepatan turun dari punggung binatang
tunggangannya.
181
tertidur di sini ... Pelan-pelan, jangan sampai ia terjaga dari
tidurnya!" katanya memberi perintah.
"Duhai, mengapa kubasahi wajah jelita ini dengan air mata hina?
Tidur, tidurlah Rayi, jangan engkau terjaga oleh karena air mata
ini! Kekasih abadi! Percayalah, biar gunung Semeru mereka
hadangkan antara kita, namun engkau tak nanti terpisahkan dari
hidupku ... Percayalah, kekasih, percayalah! Percayalah akan
cintaku yang besar! Tak nanti kukhianati! Biar, biar, biar seluruh
kerajaan memusuhi Kakanda, namun hatiku tetap cintamu ...
Anggraeni! Lihat! Bunga cempaka! Alangkah indah! Maukah kau
kuuntai sekarangan bunga, akan menjadi penghias
kejelitaanmu? Alangkah cantiknya Adinda jika berhiaskan bunga
... Tetapi, bunga cempaka! Wahai, mengapa bunga seputih ini
182
berbau darah? Tak terciumkah olehmu. Adinda, amis darah
merangsang hidung? Amis! Amis! Mamanda Patih! Mengapa
amis darah? Darah siapa duhai Mamanda Patih?" la menoleh
kepada Patih Prasanta.
"Raden ... Raden ...," hanya itulah yang keluar dari mulutnya.
183
Panji saja. Tatkala ia membuka matanya pula, Raden Panji
memeluk istrinya erat-erat, sedang ratapnya berkepanjangan.
184
"Tetapi lihat! Ia berdiri di samping Mamanda! Ia memandang!
Mamanda, suruh ia pergi! Jangan memandangku dengan
pandangan dingin begitu!"
185
Patih Prasanta serta para ponggawa kembali menjatuhkan
kepala. Mereka menghindarkan pandangan dari tamasya yang
mengenaskan itu ...
186
"Ampun Gusti Patih," sembah ponggawa yang mendapat titah
itu. "Bagaimanakah hamba mesti mempersembahkan hal itu
kepada baginda?"
187
Ponggawa itu segera menghaturkan sembah, lalu bersama
seorang kawannya mengendap-endap menuntun kudanya
kembali ke arah Kahuripan.
188
'Alangkah besar cintanya! Alangkah besar! Dan alangkah besar
pengurbanan yang mesti dia berikan! Sungguh hebat!' pikirnya
pula.
190
"Apa? Mamanda masih bicara juga? Mamanda kira siapa yang
kupeluk ini? Istriku! Istriku Dewi Anggraeni yang tercinta!" teriak
Raden Panji. "Lihat, ia merasa gerah, ia ingin mandi. Mari kita
berangkat ke Muara Kamal! Bukankah ia berangkat dari rumah
pun menuju ke Muara Kamal?"
"Biar bagaimana pun, mesti kita ikuti ..." katanya kepada para
ponggawa itu. "Jangan biarkan ia berbuat apa pun sendirian ...
Ke manapun kita mesti turut. Hatinya sangat berduka dan
cintanya kepada istrinya sangat besar, maka tak mau ia percaya
bahwa istrinya sudah meninggal. Maka baginya, Dewi Anggraeni
itu masih berjiwa jua agaknya ..."
196
Anggraeni! Mari! Mari,Mamanda! Kita cari pulau tempat tinggal
manusia, jangan tempat raksasa kita datangi!"
199
"Sungguh celaka!" kata juragan perahu yang tadi mencegah
Raden Panji. "Mengapa tak kularang mereka pergi? Mengapa
aku manda saja?"
200
mengejutkan hatinya. Lain yang dicita, lain yang terjadi! Tatkala
sang permaisuri siuman pula, maka ia menangis
berkepanjangan, lantaran dukacita. Betapa kan tidak! Raden
Panji Kuda Waneng Pati satu-satunya putranda! Biji mata
tumpuan harap! Yang akan
menggantikan ayahanda memangku takhta! Dan sekarang ...
berubah ingatan!
"Dasar si Panji itu seorang yang lemah hati. Yang dia pikirkan
hanya kepentingan dirinya semata!" sabdanya.
201
"Yang kutitahkan dilenyapkan adalah penghalang akan
terlaksananya cita-cita yang agung! Dan kalau si Panji sekarang
berubah ingatan, adalah lantaran kelemahan hatinya jua!" sahut
baginda.
"Kalau si Panji seorang yang berhati kuat, yang sadar akan arti
hidupnya sebagai seorang putra mahkota yang mesti rela
mengurbankan diri dan kebahagiaan sendiri buat kepentingan
kebahagiaan kawula negara, tak nanti terjadi hal seperti ini! Hal
yang seperti ini terjadi, semata-mata lantaran si Panji seorang
yang lemah hati, seorang yang terlalu dimanjakan! Dan
Rayindalah yang telah terlalu memanjakannya, sehingga ia lupa
akan darmanya sebagai seorang satria! Bahkan seorang satria
utama!"
202
Dituduh demikian, sang permaisuri menjadi murka.
203
mengerti. PersoaIan Raden Panji, persoalan yang menyangkut
martabat kerajaan! Pernikahan Raden Panji dengan Dewi Sekar
Taji mesti dilaksanakan, karena keduanya sudah dipertunangkan
dan pertunangan itu dilakukan atas nama dua kerajaan yang
bercita-cita luhur!"
205
Belum lama orang berangkat, datang warta dari Muara Kamal:
putra mahkota Janggala tenggelam di lautan diterjang badai!
206
baginda seorang yang berambekan tinggi dan bercita-cita luhur.
Tetapi kejadian-kejadian yang berlalu di luar kekuasaannya
sendiri, menggagalkan cita-citanya yang luhur itu, sehingga
hatinya menjadi tawar. "Malu aku kepada moyangku sang
Airlangga!" pikirnya. "Cita-citanya hendak kulaksanakan. tetapi
gagal!" lalu setelah menghela nafas, "Padahal pembagian dua
kerajaan itu dahulu, meskipun batasnya dibikin oleh Empu
Bharada, namun atas titah sang Airlangga juga. Tidakkah
sekarang aku kena kutuknya?" baginda tertegun.
207
"Yang paling benar adalah Nenenda sang Kili Suci. Ia memilih
kehidupan yang aman, damai, tenang ... Takhta kerajaan yang
dimimpi-mimpikan orang lain, yang diperebutkan orang lain
dengan melupakan keselamatan jiwanya sendiri, malah dia
tolak. Sungguh mulia!" baginda teringat akan wajah yang segar
dan damai, yang selalu memandang sesuatu dengan hati
terbuka.
209
Biar semuanya kutinggalkan, karena tak satu pun memberiku
ketentraman!"
Dan sang permaisuri yang juga telah tawar hati dan berduka,
menyetujui saran baginda. Maka diputuskan, bahwa baginda
akan mengundurkan diri dari takhta dan bersama-sama dengan
sang permaisuri akan mengasingkan diri ke gunung dan hutan,
buat bertapa.
210
'Belum pasti perahu itu tenggelam dan kalaupun perahunya
karam, belum pasti Raden Panji meninggal di dasar samudra.
Siapa tahu dia terdampar ke dataran?' pikirnya. Dia merasa tak
Puas dan berdosa kepada Raden Panji, setelah peristiwa dalam
hutan itu. Ia ingin supaya suatu kali dalam hidupnya ia bertemu
pula dengan Raden Panji akan menghaturkan ampun. la ingin
menjelaskan duduknya perkara kepada Raden Panji, ia ingin
Raden Panji mengetahui, bahwa ia tidak sampai membunuh
Dewi Anggraeni.
211
Tumenggung Braja Nata menangis tatkala timbang terima, tetapi
bukan lantaran kegembiraan, melainkan lantaran kedukaannya
juga terkenang akan Raden Panji dan lebih-lebih kepada
istrinya, Dewi Anggraeni.
Sang Prabu Jayantaka pun tak kuat menahan air mata, apalagi
sang permaisuri yang tak henti-hentinya tersedu-sedu. Seluruh
balairung sangat lengang, kecuali suara sedu sedan.Bahkan di
antara para pejabat negara yang hadir banyak yang tak kuat
menahan air mata, mengalir membasahi pipi....
213
Tidakkah senang hatimu, bertamasya selagi hari seindah ini?
Menikmati pemandangan sebagus ini?"
214
Mengapa tidak dahulu-dahulu Mamanda mempersembahkan
bahwa ada pemandangan seindah ini kepada kami?"
"Di sini! Tempat ini sangat tepat untuk peristirahatan sang Dewi!"
216
"Ya, di dalam tanah. Supaya sang Dewi jangan diganggu
binatang-binatang buas. Di sini dekat hutan, kalau sang Dewi
tidak di kub ... eh, dibaringkan di dalam tanah, mungkin datang
macan atau srigala mengganggunya..."
217
"Tentu saja sang Dewi suka ...," Patih Prasanta menalangi
menyahut. "Tanah di sini sangat subur dan pemandangan
sangat indah ..."
218
"Raden mesti berbuat kebaikan. Raden mesti menolong orang-
orang yang sengsara! Banyak orang yang sengsara karena
perbuatan raja-raja durhaka! Raden mesti menolong
mereka, mesti menjadi pelindung mereka. Raden mesti
membasmi dan menaklukkan raja-raja durhaka itu dan Raden
mesti memberikan kebahagiaan kepada para kawula kerajaan
...."
219
Adalah menurut rencananya, ia akan mengajak gustinya itu
berbuat kepahlawanan, dan membawanya sedikit demi sedikit
kearah barat selatan, menuju kerajaan Kadiri.
220
membisikkan rindu hatiku kepadamu? Ombak itu takkan jemu-
jemunya mencium pantai, seperti juga cintaku kekal kepadamu
...."
Patih Prasanta dan ponggawa berdiri tak jauh dari tempat Raden
Panji. Mereka mempersaksikan perbuatan gusti mereka dengan
hati yang hancur. Tetapi senang juga Patih Prasanta, karena
Raden Panji sudi memperkenankan Dewi Anggraeni dikubur.
Dan senang juga ia, muslihatnya termakan semua oleh gustinya
yang kasmaran itu. Kini ia diam-diam menyaksikan perpisahan
terakhir yang mengenaskan antara sepasang suami istri yang
saling mencintai dengan sungguh-sungguh itu.
222
"Anggraeni mengapa engkau lari juga? Mengapa engkau
menjauh juga?"
223
Kedua orang itu berkejar-kejaran dalam sinar bulan purnama,
sedangkan ombak tak henti-hentinya berdeburan menerjang
pantai. Raden Panji berlari bagaikan orang yang tak sadar, maka
tak lama kemudian Patih Prasanta sudah berhasil mengejarnya.
Dengan kedua belah tangannya yang sudah mulai keriputan
namun masih tangkas itu, ia memeluk tubuh gustinya.
224
dan makin kecil dan makin dekat juga ke bulan! Tidakkah
Mamanda lihat?"
225
"Betulkah itu?" kata Raden Panji memandang Patih Prasanta
dengan lirih.
226
Patih Prasanta mengangguk-anggukkan kepala. "Ya, menjadi
Candra Kirana, cahaya bulan purnama yang sejuk
menentramkan, memberi kebahagiaan ...." sahutnya.
227
ada di sana. Kemudian ia membalikkan tubuhnya sambil
berkata, "Tenanglah kau di sana. Candra Kirana! Kalau kelak
hidupku telah berarti, engkau pun tentu akan datang kepada
Kanda, bukan?"
228
pengikutnya atau kembali hidup sebagai rakyat biasa, bertani,
menjadi nelayan.
230
Sesungguhnya itu adalah muslihat sang patih, yang ingin
mengikat sang kelana, supaya mau tinggal di Lumajang dan
dengan demikian akan menyebabkan Lumajang dimalui dan
disegani oleh kerajaan-kerajaan lain.
Waktu sang putra dan sang putri yang tampan rupawan itu
datang ke hadapan Kelana Jayeng Sari, sang Kelana memburu
sang putri, sedangkan mulutnya berteriak kegirangan, "Candra
Kirana! Engkaukah yang datang itu?!"
"Ya, engkau bukan istriku ... Candra Kirana seorang yang amat
sangat jelita. Tak ada yang menandinginya ... Tak ada orang
231
yang secantik dia, bercahaya bagaikan bulan purnama ..."
gumamnya kemudian.
232
Dan heran akan perbuatan serta sikap yang luar biasa dari
Kelana Jayeng Sari yang gagah perkasa serta sakti itu.
Peristiwa itu cepat pula menjalar dari mulut ke mulut. Dan selalu
mengherankan barang siapa yang mendengarnya. Jadi buat
apakah Kelana Jayeng Sari dari tanah Sebrang itu mengalahkan
kerajaan demi kerajaan, sedangkan ia sendiri tidak sudi
menduduki singgasana? Sedangkan dia sendiri lebih suka
berkelana dari hutan ke hutan, dari gunung ke gunung?
Sedangkan dia sendiri merasa puas tidur di alam terbuka dalam
kemah? Karena itu pula nama Kelana Jayeng Sari menjadi
makin termashur. Dihormati, diherani, dikagumi berbareng
ditakuti. Beberapa orang raja, tanpa dia perangi, menyatakan
dirinya takluk, yang diterima Kelana Jayeng Sari dengan sikap
yang biasa. Ia tidak nampak gembira, pernyataan takluk raja-raja
itu diterima dengan sikap yang tawar dan tak ambil perduli.
Baginya seolah-olah tak ada bedanya apakah raja itu takluk atau
tidak.Hanya dengan mendahului menyatakan takluk, raja-raja itu
menunjukkan sikap bijaksana, karena dengan demikian ia
menghindarkan kerajaannya dari malapetaka peperangan yang
terkutuk itu. Bahkan meskipun beberapa orang raja menawarkan
takhta serta istananya yang indah mewah, Kelana Jayeng Sari
senantiasa menolak. Ia lebih suka tinggal di hutan, di tengah-
233
tengah alam yang segar daripada tinggal di tengah-tengah
manusia.
"Tak tahu! Dan kerajaan apa pun yang berada di sana, tak
kuperdulikan, karena mereka sama saja. Mereka akan dengan
mudah kita kalahkan!" sahut Kelana Jayeng Sari tak peduli.
234
Kelana Jayeng Sari mengangkat wajah. Agaknya hatinya mulai
tertarik.
"Habis?"
235
Kelana Jayeng Sari seperti tak mengerti apa yang dimaksud
oleh penasihatnya yang bijaksana itu.
236
Apabila perbuatan-perbuatan Kelana Jayeng Sari kelak
dianggap mengancam keamanan kerajaan Kadiri, Kebo
Pandogo mengharap; Dewi Sekar Taji-lah yang akan turun
tangan menaklukannya. Ia tidak melihat jalan lain yang tepat
untuk mempertemukan keduanya. Sedangkan ia sendiri
percaya, bahwa kalau kedua muda mudi itu bertemu dapat
dipastikan akan terjadi sesuatu yang sangat diharapkan; mereka
berdua akan saling tertarik cinta mencintai. Biarlah semuanya
berjalan seperti apa yang terjadi diakhirnya. Jika pun tidak terjadi
sesuatu, bahwa peristiwa lain telah menghendaki kejadian lain
pula.
237
hidup berdampingan dengan damai atau menjadi setengah
kawula kerajaan Kadiri, sehingga banyak di antara mereka yang
mau mendengar perkataannya itu. Kalau ada bupati atau raja
yang menolak pikirannya tak ragu-rag lagi ia melakukan tangan
besi dengan membokong raja yang lemah itu. Maka ia menjadi
seorang raja yang ditakuti oleh raja-raja kecil. Karena takut,
kebanyakan di antara mereka mengakui kedaulatannya di atas
mereka dan menyatakan kerajaan mereka di bawah perintah
Prabu Gajah Angun-angun dari Metaun itu.
240
Umumnya para pejabat negara itu berpendirian sama, bahwa
dengan kekuatan kerajaan Kadiri saja, musuh dari barat itu tak
mungkin dilawan. Beberapa kerajaan di sebelah barat, bahkan
juga yang tadinya menjadi takluk Kadiri, kini berpihak kepada
raja Gajah Angun-angun. Tak ada jalan lain, Kadiri mesti
meminta bala bantuan kepada salah satu kerajaan sahabat.
241
baginda beberapa saat kemudian, dengan suara yang muram.
"Adakah jalan lain yang lebih tepat kita tempuh? Memang, kita
tidak nanti mau menyerah tak bersyarat kepada raja Metaun itu,
tetapi kita pun jangan sampai hancur musnah, apabila masih kita
lihat cahaya harapan ..."
242
Sebelum bala bantuan datang, setiap saat mungkin datang
tentara Metaun ..."
"Siapa?"
243
Semua orang terkejut. Kelana Jayeng Sari! Itulah kraman yang
dalam waktu belakangan ini mengacau di hutan-hutan
perbatasan Kadiri sebelah timur dan makin lama makin ke arah
barat!
244
mengacau di beberapa daerah, tetapi untuk kepentingan
penduduk daerah itu. Mereka tidak melakukan kekejaman atau
perbuatan keterlaluan, bahkan konon selalu menjadi pelindung
rakyat-rakyat sengsara ... Ia mulai dari pantai timur, dan makin
lama makin ke barat jua. Kini ia berada di dalam wilayah kita, di
suatu hutan yang hamba dengar tak jauh letaknya dari sini. Ia
bersama balatentaranya melakukan berbagai gangguan-
gangguan kecil-kecilan, tetapi terang tidak membahayakan. Ia
seperti dengan sengaja hendak menguji kesabaran kita ..."
245
"Baik Kelana Jayeng Sari maupun raja Metaun tidak hendak
berbuat kebajikan kepada kita, boleh dikatakan dua-duanya
musuh kita ..."
246
dari Metaun. Mereka mesti bekerja dengan cepat maka seketika
itu juga baginda menitahkan Patih Wiranggada pergi membawa
sepucuk surat untuk Kelana Jayeng Sari yang menyatakan
maksud baginda.
247
'Apa sih kelebihannya orang Seberang itu daripadaku?' tanyanya
dalam hati. 'Mengapa ayahanda sampai meminta tolong
kepadanya? Sungguh tak mengerti aku!'
248
Waktu hari mulai gelap, ia sudah siap. Maka diambilnya kuda.
Kepada orang kepercayaannya ia berpesan, supaya
kepergiannya itu jangan sampai diketahui orang lain.
Malam itu bulan purnama, dan seperti biasanya jika bulan bulat
penuh, Kelana Jayeng Sari keluar dari kemahnya, lalu berjalan
sendirian akan menggadangi sang rembulan yang sinarnya
lembut itu. Sering ia tampak merenung, memandang ke arah
bulan, seakan-akan mengharap akan terjadi keajaiban dari sana.
Kelana Jayeng Sari telah menemui utusan itu dan telah pula
membaca surat yang disampaikan oleh Patih Wiranggada
kepadanya. Ia maklum kepada maksud raja Kadiri. Tetapi Kebo
Pandogo mengajukan syarat: apabila raja Metaun berhasil
dikalahkan, raja Kadiri mesti menyerahkan putrinya, sang Dewi
Sekar Taji kepada Kelana Jayeng Sari.
249
Mendengar nama Dewi Sekar Taji disebut, hati Kelana Jayeng
Sari tawar. Apapula malam telah turun, dan malam bagaikan
siang terang-benderang disinari cahaya bulan yang bulat penuh
bulan purnama. Maka hal-hal selanjutnya diserahkannya kepada
penasihatnya itu akan dirundingkan lebih jauh dengan sang
Patih Wiranggada yang menjadi kepercayaan Prabu Jayawarsya
dari Kadiri. Ia sendiri keluar dari kemah, sendirian menyusuri
malam yang indah disinari cahaya keemasan yang lembut
menyejukkan.....
251
"Jangan banyak bertanya, hunus kerismu! Mari kucoba
kepandaianmu mempermainkan keris!"
253
Demikianlah beberapa lama keduanya berkelahi dengan seru,
memperlihatkan ketangkasan dan kesebatannya masing-
masing.
255
Kelana Jayeng Sari kagum akan kesigapannya itu. Keris yang
terlempar itu
segera kembali dipegang oleh tangan kiri orang bertopeng.
Tetapi setelah ia menjemput keris, orang bertopeng itu tidak
kembali menyerangnya, melainkan lari ke hutan yang gelap.
256
Tak terasa lagi, ia rupanya telah bergadang hampir semalaman.
Tatkala ia menganggap bahwa orang bertopeng itu takkan
muncul kembali, maka ia pun kembali ke kemahnya. Di sana
didapatinya penasihatnya Kebo Pandogo belum tidur, tetapi
Kelana Jayeng Sari tidak bernapsu hendak berbicara, maka
dibaringkannya tubuhnya di atas ranjang ketidurannya.
258
Patih Wiranggada segera pulang kembali akan mengabarkan hal
itu. Dan keesokan harinya Kelana Jayeng Sari sudah akan
masuk ke ibukota. Seluruh ibukota sejak pagi sudah dititahkan
berhias, akan menyambut pahlawan mereka dari Sebrang itu.
Dia segera menempati puri istana itu dan Penasihatnya yang tua
itu, Kebo Pandogo mendapat bilik yang tak berjauhan. Para
ponggawa dan pasukan Kelana Jayeng Sari telah bertemu
dengan baginda dan bercakap-cakap juga beberapa lamanya
kemudian ia meminta diri akan kembali ke purinya.
259
pakaian sutra yang halus-halus dan intan permata yang
gemerlapan, emas urai, mutiara dan sebagainya.
260
Waktu ia kembali ke puri, didapatinya gustinya belum lagi
beradu. Maka ia pun mempersembahkan pengalamannya
bertemu dengan Dewi Sekar Taji.
"Kalau Gusti bertemu dengan putri dari Kadiri itu, Gusti tentu
akan kagum, karena ia sungguh-sungguh seorang yang sangat
jelita!" akhirnya ia bilang.
261
Keesokan harinya pagi-pagi benar ia sudah bersiap, karena hari
itu ia akan bertempur melawan raja Metaun.
"Tuan khilaf, Kelana Jayeng Sari!" sahut putri itu yang bukan lain
daripada Dewi Sekar Taji putri mahkota Kadiri, "Hamba belum
lagi menjadi istri Tuan!"
262
"Candra Kirana! Masihkah Adinda akan mempermainkan
Kakanda?" tanyanya dengan suara lembut.
Kelana Jayeng Sari tertegun. Dewi Sekar Taji! Inilah putri yang
telah dipertunangkan dengan dia sejak masih kanak-kanak! Baru
sekali ini ia melihatnya! Dan putri itu bagaikan pinang dibelah
dua dengan istrinya yang terbang ke arah bulan! Alangkah
sama! Segalanya! Ia memandang tajam-tajam ke arah putri itu,
meneliti dengan mata terpukau.
263
"Hamba memang seorang wanita, tetapi hamba bukan seorang
pengecut!" kata Dewi Sekar Taji pula. "Orang-orang menyebut
hamba putri yang gagah berani dan hamba memang mahir
mempermainkan pelbagai alat senjata, Tuan pun tahu!"
"Kita baru sekali ini bertemu, mana mungkin hamba tahu tentang
diri Tuan Putri!"
Putri Sekar Taji tertawa. "Mata Tuan sungguh buta! Tuan benar-
benar seorang pemimpi yang kerjanya melamun menggadang
cahaya bulan!" katanya seperti mengejek.
"Hamba mempunyai seekor gajah putih ..." kata Dewi Sekar Taji
pula. "Ia seekor binatang peperangan yang terlatih. Biarlah ia
kutunggangi untuk menyaksikan pertarungan Tuan dengan Raja
Metaun!"
266
Di atas gajahnya yang didandani secara mewah Prabu Gajah
Angun-angun tak henti-hentinya berteriak, menganjurkan supaya
maju menerjang anak buah Kelana Jayeng Sari. Panah yang
menghujaninya dengan tangkas selalu dapat ditangkisnya.
268
"Kelana Jayeng Sari, turun ke mari! Mari kita berkelahi dengan
keris di atas tanah!"
269
kalap kepada musuhnya, tetapi dengan demikian musuhnya pun
jadi lebih gampang menyelamatkan diri.
270
Tetapi apa yang terjadi? Ternyata yang benar-benar rubuh
adalah: tubuh yang besar kekar itu rubuh, karena tangan kanan
Kelana Jayeng Sari yang memegang keris itu telah mendahului
masuk ke bawah ketiaknya, sedangkan mata kerisnya masuk ke
dalam dada. Darah mengucur, keris terlepas dari tangan Prabu
Gajah Angun-angun.
271
Seluruh Kadiri mengelu-elukan Kelana Jayeng Sari yang telah
menjadi pahlawan mereka memukul mundur tentara Metaun dan
membunuh Prabu Gajah Angun-angun yang kejam.
272
Kelana dan bersukur karena ancaman bahaya terhadap Kadiri
sudah bisa dihindari.
273
Sekar Taji ..." wajah baginda muram, suaranya pun makin
menjadi guram.
"Itulah yang tak bisa kita jawab. Karena itu hanya ia sendiri yang
mungkin memberi keputusan ...."
"Tak ada jalan lain kalau begitu: kita mesti merundingkan hal ini
dengan dia! Baiklah, Senapati Wirapati, silakan Kelana Jayeng
Sari datang ke mari!" sabda baginda.
281
dengan orang lain dan ia sangat mencintai istrinya itu,
sehingga..."
"Bencana apa?"
285
Wirapati yang memangku titah baginda. Kelana Jayeng Sari
disilakan menghadap baginda secepat mungkin.
288
Dan dengan demikian ia merasa telah menolong gustinya dari
kesulitan. Maka keputusan diambil. Kelana Jayeng Sari tidak
akan mengadakan perlawanan terhadap Prabu Braja Nata. Ia
malah hendak menyerahkan diri. Kepada Senapati Arya
Suralaga yang menunggu di pesanggrahannya, segera baginda
menyampaikan keputusan itu. Maka rombongan utusan itu,
keesokan harinya segera pulang membawa keputusan yang
melegakkan hati.
289
Mau tak mau baginda percaya akan keterangan itu, karena
Senapati Arya Suralaga seorang yang teliti dan waspada.
Hidungnya tajam mencium bahaya dan tentang hal itu baginda
yakin.
291
"Adinda ... Adinda ... Jadi Adindakah Kelana Jayeng Sari itu?"
tanyanya dengan suara sarat suka-cita. "Wahai Adinda, terlebih
dahulu berilah Kakanda ampun!"
292
Lalu mereka pun berbicara dengan sukacita, mencurahkan
perasaan hatinya masing-masing. Prabu Braja Nata meminta
agar Adinda Raden Panji Kuda Waneng Pati sudi mengisahkan
pengalamannya selama menjadi Kelana Jayeng Sari. Adinda
tersenyum, lalu memandang kepada Patih Prasanta. "Semuanya
adalah atas nasihat Mamanda Prasanta ..." ia menyahut. "Ia
sungguh seorang yang bijaksana ..."
295
Raden Panji menghela nafas. Terkenang pada ayahanda, ia
berduka. "Bagaimana pun juga," katanya kemudian, "sekarang
belum bersedia hamba kembali ke Janggala akan memangku
takhta. Sekarang, Kakanda saja pulang dahulu. Kalau kelak
hamba ternyata diperlukan, tentu akan datang..."
296
Tetapi Raden Panji tidak mengecap kebahagiaan itu sepenuh
jiwa, lantaran ia terkenang akan istrinya yang dahulu, Dewi
Anggraeni ...
297
itu, kakanda segera memperbaiki dirinya sambil memeluknya
membisikkan kata-kata lembut.
Raden Panji sendiri bukan tidak maklum akan apa yang dirasa
oleh istrinya. Ia merasa bersalah. Tetapi ia pun merasa lebih
bersalah pula jika mencoba hendak menghapuskan kenangan
kepada istrinya yang dahulu itu.
298
Terkenang pula Raden Panji akan malam tatkala istrinya secara
gaib terbang ke arah bulan. Waktu itu bulan pun purnama, bulat
tak bercacat......
299
"Anggraeni!" ia berteriak sambil bangkit, lalu berjalan hendak
memeluk istrinya yang dahulu itu.
300
"Kakanda! Ada apakah gerangan?" Dewi Sekar Taji bertanya,
padahal ia sudah maklum akan hal kakanda. Tentu
kenangannya kepada istrinya dahulu jua yang menjadi sebab.
Tiba-tiba ia yakin. 'Tak syak lagi! Tentu kedua istriku itu kini telah
berpadu. Dewi Anggraeni telah kembali kepadaku, tetapi ia
menyatukan dirinya dengan Dewi Sekar Taji.'
Ia sudah lama hendak berkata seperti itu, tetapi baru ketika itu
mampu dia ucapkan. Dan kalimat yang sejak lama telah dia
susun dan rangkai-rangkaikan dalam kepala, ternyata masih
tersekat-sekat dalam kerongkongannya....
302
Dewi Sekar Taji berurai airmata saking gembira. Ia
menyekapkan wajah dalam dada suaminya. Ia menangis
bahagia. "Kanda ... Kanda!" terdengar suaranya antara sedu-
sedu kecil.
303
Keduanya berpelukan dan sambil memandang kepada bulan
purnama yang menebarkan cahaya yang lembut keemasan itu,
mereka pun melihat masa emas kebahagiaan mereka ....
- TAMAT -
Ciborelang, 1961
304