Anda di halaman 1dari 304

CHANDRA KIRANA

AYIP ROSIDI

Bagaikan sebuah mata


air yang jernih-bening
keluar dari tebing di
pegunungan, atau
laksana sekuntum bunga yang kembang di tengah kesunyian
hutan, segar serta indah, demikianlah Dewi Anggraeni bagi
Raden Panji Kuda Waneng Pati putera mahkota kerajaan
Janggala yang jaya. Tepekur pahlawan Kahuripan itu di depan
keindahan dan keheningan alami yang terpancar dari senyuman
yang mekar pada bibir yang indah.

Adakah yang lebih indah dalam hidup ini daripada mereguk


keindahan alami sepanjang hayat dikandung badan? Adakah
yang lebih bahagia daripada duduk berdampingan dengan
bunga jelita itu menyusuri sisa usia? Bertemu tangan dengan
tangan, melalui pancaran mata yang sama-sama mengerti,
maka hati pun memadu.

Anggraeni! Nama yang nyaman terdengar itu terukir dengan


indahnya dalam sanubari calon pemangku takhta Janggala.

1
Tetapi, aduhai! Kebahagiaan tak semudah itu dicapai!

Kedudukan putra mahkota yang oleh orang lain diperebutkan,


baginya bagaikan sebungkah karang yang menjulang
menghalang. Ayahanda, seorang yang bercita-cita tinggi.
Baginda memimpikan kebesaran kerajaan yang sekali pernah
dipersatukan oleh leluhur mereka, Sang Airlangga yang jaya
kembali bisa tercapai dengan mengadakan perkawinan antara
putranda Raden Panji Kuda Waneng Pati dengan putri Kadiri,
Dewi Sekar Taji. Persetujuan telah tercapai oleh kedua belah
fihak, selagi kedua bayi masih dalam kandungan. Keduanya
telah dipertautkan oleh perjanjian dua kerajaan yang sama-sama
ingin meniadakan batas yang dibuat oleh Empu Bharada yang
sakti itu.

Sejak masih kecil Raden Panji sudah tahu bahwa ia telah


dipertunangkan oleh ayahanda dengan puteri Kadiri, yang masih
terhitung kerabatnya juga. Pertunangan yang didukung oleh cita-
cita yang luhur itu, sangat direstui oleh para tetua kerajaan
kedua belah fihak. Resi-resi Syiwa dan Wisynu memberikan
berkahnya, lantaran mereka pun masih terkenang akan
perjuangan Sang Airlangga tatkala hendak membangun
kerajaannya yang besar. Raden Panji menerima berita tentang
pertunangannya itu sewajarnya saja. Ia masih kecil amat untuk
2
mengerti dan memikirkan hal-hal yang bersangkut-paut dengan
hal tersebut. Bahkan ia merasa senang hatinya, tatkala ia masih
berusia tujuh atau delapan tahun, diganggu oleh para
pengasuhnya mengenai pertunangannya dengan Dewi Sekar
Taji. Ia belum mengerti. la hanya merasa hatinya sedikit
berguncang, dan merasa sedikit malu. Tetapi tatkala gangguan-
gangguan itu telah biasa, ia menerimanya secara wajar pula.

Tahun demi tahun tumbang, dan usianya bertambah jua. Tatkala


mencapai usia delapan tahun, dipanggil baginda seorang resi
yang terkenal bijaksana akan mendidiknya dalam hal kerohanian
dan begitu pula seorang patih yang menjadi kepercayaan
baginda, dititahkan untuk mengajarinya mengenai segala soal
yang berkenaan dengan soal kenegaraan. Raden Panji mulai
tenggelam dalam pelajarannya, dalam kitab-kitabnya dan dalam
ilmu yang pelik-pelik. Meski nama Dewi SekarTaji masih kadang-
kadang terdengar, namun ia merasa bertambah asing. Kadang-
kadang ia termenung memikirkan tunangannya yang belum
pernah dia jumpai itu. Ia belum juga mendapat kesempatan
untuk pergi ke Kadiri akan menyambangi bakal istrinya.

Baginda sendiri bukannya lupa akan pertunangan putranda


dengan kemenakan baginda Dewi Sekar Taji, namun baginda
berpikir, adalah lebih elok apabila Panji sungguh-sungguh
3
menghadapi pelajarannya dahulu. Bukankah ia yang kelak akan
melanjutkan memangku takhta kerajaan? Bukan hanya kerajaan
Janggala seperti yang dia perintah sekarang, tetapi termasuk
pula Kadiri! Karena Sekar Taji adalah pewaris takhta kerajaan
Kadiri.

Tersenyum baginda memikirkan hal itu. Tak sia-sialah


hendaknya usaha leluhurnya yang jaya serta bijaksana, Rake
Halu Syri Lokesywara Dharmawangsya Airlangga
Anantawikramatunggadewa!

Raden Panji Kuda Waneng Pati bukan satu-satunya putra


baginda. Jumlah semua putera baginda empat puluh tiga orang!
Dan bukan pula ia yang tertua. Tumenggung Braja Nata lebih
tua empat belas tahun daripada Raden Panji. Tetapi pada
Raden Panjilah harapan baginda tertumpah, karena ia pewaris
takhta yang sah, karena hanya Raden Panji saja di antara
semua putranda, yang berdarah langsung keturunan Empu
Sindok, cikal-bakal ahala Isyana! Maka tatkala Raden Panji
berangkat remaja dan segala ilmu mengenai kerajaan dan
kerohanian telah ditumpahkan semuanya oleh guru-gurunya,
siaplah ia akan melaksanakan cita-cita baginda yang luhur
hanya tinggal menanti saatnya saja.

4
Namun ilmu adalah seumpama langit, makin tinggi dijelang,
makin tinggi menembus awang-awang, makin ingin hati
menyelaminya! Makin banyak yang direguk, makin haus dan
dahaga makin menjadi-jadi. Raden Panji merasa dahaga akan
ilmu, dan banyak pertanyaan-pertanyaannya, terutama yang
mengenai soal-soal rohaniah, mengusiknya tatkala merenung. Ia
meminta perkenan ramanya untuk menemui para resi yang sakti
dan para pendeta yang bijaksana, akan mencari penawar
hausnya, penentramkan kegelisahan kalbu.

Mula-mula sang baginda merasa keberatan akan mengabulkan


maksud anakanda itu. Tetapi kemudian diperkenankannya juga.
Bukankah maksud seperti itu adalah maksud yang sangat baik?
Bukankah itu menandakan harapannya selama ini tidak sia-sia?
Karena, menambah ilmu dan memperluas pengalaman dan
pengetahuan, akan sangat berguna bagi kerajaan yang kelak
akan diperintah oleh Raden Panji. Bukankah dahulu pun
leluhurnya yang bijaksana, sang Airlangga tak jemu-jemunya
berguru, tak bosan-bosannya bertapa, pergi dari resi menemui
resi yang lain, berangkat dari satu pendeta menemui pendeta
yang lain? Sang Airlangga yang bijaksana itu telah memberi
contoh yang baik dan kini anakanda, tumpuan harapan masa

5
depannya, Raden Panji, hendak mengikuti jejak leluhurnya itu!
Tidakkah itu suatu tanda yang baik?

Maka karena pikiran-pikiran seperti itu, akhirnya baginda


memperkenankan anakanda Raden Panji Kuda Waneng Pati
mengembara ke saban Petapan, mencari resi yang sakti,
mendapatkan pendeta yang bijaksana, akan menambah
ilmunya.

Sesungguhnya bukan persoalan-persoalan kenegaraan yang


menyebabkan Raden Panji merasa tidak tenteram dan yang
menyebabkan dia mesti mengembara dari petapan ke petapan.
Dari patih Prasanta yang selama beberapa tahun mengajarinya
pengetahuan-pengetahuan kenegaraan, dia telah mendengar
riwayat keturunan Isyana, tak henti-hentinya berperang dan
berperang dimana manusia-manusia terbunuh sia-sia,
memperebutkan negara dan takhta kerajaan. Dia kagum akan
moyangnya; Airlangga yang gigih serta berhasil memperbesar
daulat kerajaannya, mengamankan keadaan dalam negeri yang
kacau setelah diserang oleh raja Wura-wari, kemudian
menaklukkan kerajaan demi kerajaan yang lain kedalam wilayah
takluknya. Tetapi, kalau teringat pula olehnya, bahwa untuk
maksud tersebut, tak terhitung entah berapa ribu manusia yang
mati sia-sia, Raden Panji mengerutkan dahi. Adakah moyangnya
6
itu berbahagia setelah mengurbankan demikian banyak
balatentara dan tenaga? Adakah ia berbahagia setelah
menentramkan kekacauan dalam negeri dan menaklukkan
kerajaan-kerajaan sekelilingnya? Adakah ia tenteram senang di
atas takhta kerajaan yang meliputi wiiayah yang luasnya tak
terkira, setelah lelah berjuang mati-matian sepanjang hidupnya?

Raden Panji ragu untuk menjawab, "Ya, moyangku Airlangga


yang bijaksana itu berbahagia melihat hasil usahanya yang tak
kunjung henti selama dia hidup. Ya, ia ragu untuk meyakini
jawaban seperti itu. Bukankah sang Airlangga menjelang akhir
hidupnya, meninggalkan keraton setelah meminta tolong kepada
Empu Bharada yang konon sakti itu membagi dua kerajaannya
menjadi Janggala dan Kadiri? Ya, sang Airlangga tidak mustahil
kecewa pada akhir hidupnya lantaran melihat keturunannya,
anak-anaknya sendiri saing-menyaingi untuk menduduki takhta.
Ya, tak mustahil sang Airlangga merasa usahanya seu'mur hidup
itu sia-sia, lalu ia pun mengikuti jejak putrinda sang Kili Suci
untuk bertapa di Pucangan. Dan ia, ia sendiri - Raden Panji
Kuda Waneng Pati - bagaimana? Akankah ia menemui
kebahagiaan dan kedamaian hati apabila kelak ia menjadi raja
menggantikan ayahanda memerintah kerajaan Janggala dan
lantaran ia telah dipertunangkan dengan Dewi Sekar Taji, ia pun

7
akan menguasai wiiayah Kadiri pula? Sungguh luhur cita-cita
ayahanda! Baginda hendak mewujudkan kembali usaha sang
Airlangga yang dahulu! Baginda hendak mempersatukan
Janggala dan Kadiri pula! Dan tugas itu terpikul pada
pundaknya, pundak Raden Panji! Tetapi, benarkah kelak, kalau
sudah melaksanakan kewajibannya sebaik-baiknya sebagai
keturunan Isyana yang bijaksana, ia bakal menemui
kebahagiaan dan ketentraman batin? Begitukah hidup manusia?
Berjuang membela kebahagiaan yang digariskan orang lain,
untuk keperluan orang lain dan demi kebahagiaan orang lain
pula? Alangkah sederhana! Namun alangkah asing dan aneh
kedengarannya!

Tidak, yang dia cari dari resi ke resi, dari petapan ke petapan,
bukan hal-hal yang demikian ruwet. Ia ingin merasakan batinnya
tenteram. Suasana dalam keraton tidak memberinya
ketentraman. Ia melihat semua orang di sana, berdiri pada
tempatnya, mempunyai beban yang mesti diselesaikannya.
Kesibukan-kesibukan yang terasa seolah-olah disibuk-sibukkan
saja! Kesibukan dalam suatu perputaran yang lebih besar, yang
entah akan bermanfaat ataukah tidak buat diri si petugas sendiri!
Orang-orang di keraton seolah-olah bukan manusia lagi,
melainkan kuda yang kalau tidak menarik kereta sebaik-baiknya

8
akan mendapat cemeti menyambar punggung. Dan ia sendiri,
kelak suatu hari, kalau menduduki takhta, tentulah tak ubahnya
dengan kusir yang selalu mengamangkan cemeti, menakuti kuda
supaya jangan keluar dari jalannya. Tidak, kedudukan seorang
kusir, meskipun mengusiri kerajaan yang luasnya tak terhingga,
bukanlah impian yang serasi dengan jiwanya.

Dalam petapan yang rimbun serta sejuk, jauh dipunggung


gunung di tengah-tengah hutan, Raden Panji sering
merenungkan itu semua. Alangkah berat bebannya! Alangkah
berat tugasnya! Dan masih juga setiap pendeta yang ditemuinya
menyadarkan dia akan tugas itu: "Kewajiban nap manusia
adalah menjalankan darmanya masing-masing sebaik-baiknya.
Hamba yang dilahirkan sebagai seorang berahmana
menjalankan darma sebagai seorang berahmana. Dan gusti
yang dilahirkan sebagai seorang satria mempunyai tugas
sebagai seorang satria pula yang luhur serta suci. Hanya
mereka yang menjalankan darmanya sebaik-baiknyalah yang
mungkin mencapai kedamaian abadi - moksya."

Kedamaian abadi! Ya, kedamaianlah yang diingininya. Apakah


hanya ada satu jalan mencapai kedamaian yaitu menjalankan
tugas yang dipikulkan orang kepadanya dan akan
dilaksanakannya tentu dengan tidak merasa damai? Apakah
9
hanya dengan melalui ketakdamaian saja ia bakal mencapai
kedamaian? Tetapi ia bukan seorang satria kalau menyatakan
ketakpenujuannya secara kasar. la menyimakkan setiap nasihat,
petuah, ajaran setiap resi dan pendeta mengenai kedamaian.

"Kedamaian itu," kata maharesi Saptani di pegunungan


Penanggung yang dia kunjungi, "hanya bisa dicapai dengan
pengetahuan. Pengetahuan apa? Yakni pengetahuan tentang
kedamaian. Kedamaian di mana? Kedamaian dalam hidup,
bukan? Jadi pengetahuan kedamaian apa?Tentulah
pengetahuan kedamaian dalam hidup. Jadi juga pengetahuan
tentang hidup. Dan pengetahuan tentang hidup tak bisa
dipisahkan dari pengetahuan tentang mau". Apa mau?"

Terdengar-dengar tiada segala tutur maha resi yang dalam gaya


tanya-jawab sendirian itu oleh Raden Panji. Namun ia tunduk
temungkul, husyu mencoba menyimakkan ajaran sang Resi
Saptani.

Namun tatkala akhirnya sang Resi mempersilakannya


beristirahat karena malam telah larut, Raden Panji belum juga
bisa mendamaikan hati-nya, "Bagaimanakah jalannya untuk
mencapai pengetahuan tentang kedamaian dalam hidup?

10
Bagaimanakah ia bisa mencapai pengetahuan tentang hidup?
Tentang mati?"

Yang dia dengar dari sang resi, penuh teka-teki, bagaikan


belokan-belokan yang mungkin menyesatkan.

Udara malam sangat hening. Dan sejuk pegunungan


memberikan suatu suasana yang sangat mengesankan. Telah
sering ia bermalam di petapan-petapan sunyi di tengah hutan
jauh di puncak gunung, namun suasana seperti yang dia
rasakan malam itu, alangkah lain. Rabunya luas, bagaikan
hendak menghirup seluruh udara. Dan dalam perasaan bahwa ia
bisa menghirup seluruh alam ke dalam rabunya, ia merasakan
kedamaian yang ajaib. Ia terlena.

Tatkala keesokan harinya ia pagi-pagi benar keluar akan


menyaksikan Batara Surya muncul nun jauh di timur terkejutlah
ia lantaran melihat seorang bidadari berjalan membawa sajen.
Sungguh tak percaya ia akan penglihatannya karena di hutan
yang terpencil seperti itu ia tak mengira akan melihat wanita
sejelita itu. Tak syak lagi. Itu bukan manusia, melainkan bidadari.
Terpukau ia dengan mata terbelalak memperhatikan tingkah
bidadari itu kemalu-maluan.

11
"Siapakah dia gerangan?" tanyanya kepada dirinya sendiri,
waktu akhirnya si jelita itu menghilang. Ia lupa kepada niatnya,
lalu mengikuti jejak si cantik jelita.

Itulah perkenalan yang pertama dengan Dewi Angraeni.

Anggraeni yang kemudian memberinya perasaan damai. Apa


sebabnya, kalau dia berada bersama gadis itu, hatinya merasa
damai? Merasa tenang? Dan kegelisahan yang biasanya
mengamuk, lenyap tak bersisa? Entahlah, entahlah. la sendiri
bahkan tidak menyadari hal itu pada awalnya. Namun setelah
setiap hari ia menemui gadis itu, kedamaian dan ketentraman
makin berakar dalam dirinya. Kalau sehari saja ia tidak bertemu
dengan gadis itu, seolah-olah sesuatu hilang dari jiwanya.

Tetapi Anggraeni pun bukan orang yang suka bermimpi. Ia


mengetahui siapakah gerangan jejaka tampan itu. Putra
mahkota. Putra mahkota kerajaan Janggala yang jaya. Yang
suatu kali kelak menentukan hidup atau mati semua kawula
diseluruh kerajaan. Lain dari itu, ia pun telah pula mendengar
tentang pertunangan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji. la
mengetahui siapa gerangan dirinya. Wanita gunung. bukan
keturunan raja, dan bukan tandingan seorang putra mahkota.

12
Namun apakah artinya putera mahkota bagi Raden Panji?
Apakah bedanya bagi Raden Panji seorang putra raja atau
kawula jelata? Apakah beda antara manusia dengan manusia
yang sama-sama dihangati oleh hati yang mengenai cinta, bagi
orang yang sudah ragu akan kedamaian dirinya kelak di atas
takhta? Laksana sebuah mata air yang jernih bening keluar dari
tebing di pegunungan, atau laksana sekuntum bunga yang
kembang di tengah kesunyi-an hutan, segar serta indah,
memberinya kedamaian yang sejuk. Demikianlah halnya Dewi
Anggraeni bagi Raden Panji. Mata air itu takkan habis-habisnya
mengeluarkan air yang jernih bening. Takkan mengenai kering
musim kemarau, takkan mungkin dikotori segala sampah
duniawi. Dan bunga yang kembang itu takkan layu-layu. karena
takkan habis-habisnya mendapat pupuk kasih sayangnya
sendiri.

"Mengapa wajahmu selalu murung, puspa jelita?" tegur Raden


Panji kepada Dewi Anggraeni pada suatu hari. "Takkah hatimu
senang, takkah perasaanmu gembira mendapat kunjungan
seorang kelana sebagai hamba?"

Dewi Anggraeni menekurkan kepala.

13
"Ampun beribu ampun hamba mohonkan" sahutnya dengan
suara tak lancar. "Masakan hamba seorang hina-dina ini berani
tidak bersenang hati lantaran mendapat kunjungan Gusti
seorang putra mahkota yang suatu kali kelak akan menentukan
mati-hidup hamba sebagai kawula?"

"Jadi, apakah gerangan sebabnya maka wajahmu yang jelita itu


bagaikan matahari tertutup awan? Lihat, burung-burung enggan
bemyanyi lantaran melihat wajahmu muram. Dengarkan, air
terjun di jauhan itu bagaikan menangis, meratap-ratap ingin
mengetahui sebab-musababnya maka junjungan mereka
bermuram durja. Wahai, puspita dewi, katakanlah, apakah
gerangan yang merundung kalbumu, sehingga tak cerah tak
gembira?"

Dewi Anggraeini tidak segera menyahut. la tahu, pergaulannya


dengan Raden Panji sudah terlalu jauh. Baginya sendiri bukan
tanpa pengurbanan kalau berpisah dengan dia! Tetapi aduhai!
Pahlawan itu telah ditakdirkan duduk bersanding dengan yang
setimpal!

"Mengapa tidak menyahut? Adakah sesuatu halmu yang tidak


boleh Kanda ketahui?"

14
Perlahan-lahan Dewi Anggraeni menggelengkan kepala.

"Tidak, tidak. Bukan demikian ..." sahutnya.

Sedangkan dalam hatinya ia berbisik, "Ah salah sangka.


Disangkanya aku tidak mau berterusterang . . . Duhai
bagaimana hal itu akan kuterangkan kepadanya? Bahwa
sesungguhnya hatiku sendiri . . .?"

"Jadi apakah gerangan sebabnya?" tanya Raden Panji tak


sabar.

Dewi Anggraeni mengeluh. "Ah, Gusti tentu lebih maklum,"


sahutnya kemudian.

Raden Panji mengerutkan dahi. Matanya tajam mengawasi Dewi


Anggraeni. Meskipun ia bisa menduga, namun ia bertanya juga;
"Tidak, puspa jelita. Bagiku halmu itu pekat sepekat malam tak
berbintang. Katakanlah terus terang."

Dewi Anggraeni tidak segera memberi jawaban. Hatinya sesak.


Dan dadanya seperti padat, tak bisa mengembang. Sudut
matanya terasa hangat.

"Ah, jangan menangis . ..," bujuk Raden Panji.

15
"Hamba hanya seorang gadis gunung, seorang yang lahir di
tengah rimba dan agaknya telah ditetapkan Dewata, agar hidup
dalam kesunyian dan meninggal dalam kesunyian ... "

"Tidak! Oleh Dewata yang maha kuasa Adinda ditetapkan untuk


hidup di sampingku, dan melepaskan duka kalau kelak aku
meninggal."

"Tidak berani hamba berpikir sejauh itu ..."

"Tetapi itulah yang bakal terjadi: Akan kuminta engkau kepada


orangtuamu, dan kita akan berbahagia."

"Tidak! Sadarkah Gusti, siapakah sebenarnya hamba? Seorang


gadis jelata! Orang gunung yang tak pantas dibawa ke tengah..."

"Tetapi aku akan menempatkanmu di tengah-tengah dunia.


Seluruh dunia akan menyembahmu, karena Adindalah yang
akan duduk di sampingku. Itulah takdir yang telah ditetapkan
oleh Mahadewa. Karena itu dititahkannya daku mengembara
berkelana dari satu petapan ke lain petapan untuk menemui
Adinda. Dan sekarang Adinda telah kutemui, maka apakah lagi
gunanya bagiku yang lain? Kalau aku disuruh memilih antara
yang lain-lain dengan Adinda, maka bunga segar indah yang

16
tumbuh di hutan pegunungan Penanggungan ini yang akan
kupilih ..."

Dewi Anggraeni menyungkup wajahnya dengan kedua belah


tangan. "Ampun Gusti, betapa besarnya pun kasih Gusti yang
dilimpahkan kepada hamba, namun ..."

"Namun apa? Cintaku tumbuh bersama-sama dengan cintamu,


dan perpaduan keduanya akan membuahkan kebahagiaan yang
kekal. Kebahagiaan yang akan menjadikan dunia ini surga bagi
kita berdua..."

"Namun, sadarlah Gusti hendaknya akan perbedaan yang


terentang antara kita berdua, ampun Gusti!"

"Kalau cinta telah bersemi, kalau keduanya telah tumbuh


berkembang, lenyaplah segala perbedaan antara kedua orang
yang memilikinya! Antara engkau dengan daku, tak ada
perbedaan. Yang ada hanyalah rentangan kasih yang
dipertautkan cinta menuju gapura kebahagiaan."

Anggraeni tidak menyahut.

"Atau begitu hinakah cintaku, sehingga bagimu ia patut ditolak


dikesampingkan?"
17
"Ampun Gusti!" sahut Dewi Anggraeni cepat. "Bukan begitu
halnya. Tak berani hamba kendati berpikiran seperti itu! Namun
mengatakan hal yang sebenarnya terasa dalam hati hamba pun,
hamba tidak sanggup pula!"

"Apakah pula yang masih menjadi penghalang antara kita, yang


masih menabiri jarak antara kita?"

"Pengetahuan bahwa yang hendak memetik hamba, bukanlah


sembarang, melainkan satria pilihan. Duhai, jika saja Gusti
bukan seorang putra mahkota!"

Raden Panji melengak. Ia menghirup nafas dalam-dalam


Kemudian ia melangkah mendekati Dewi Anggraeni. Tangannya
yang kanan terulur, kemudian membelai rambut hitam yang
halus serta panjang itu.

"Bagimu, aku bukanlah seorang putra mahkota, melainkan


seorang hamba yang akan bernaung dalam teduh kedamaian
hatimu." bisiknya dengan mesra.

Termenung baginda mendengar kabar tentang pernikahan


anakanda Raden Panji Kuda Waneng Pati, putra mahkota
tumpuan harapan seluruh kerajaan.

18
Ketika hal itu pertama kali disampaikan orang, baginda tidak
mau percaya.

Benarkah Panji berbuat seperti itu? Sejak kecil ia menunjukkan


perangai seorang yang alim, yang sungguh-sungguh, yang
selalu sibuk dengan kehidupan yang tak nampak pada mata
orang biasa. Mungkinkah ia berbuat seperti itu? Namun tatkala
berkali-kali baginda mendengar sembah itu, dan ketika akhirnya
permaisuri sendiri yang mempersembahkannya kepada baginda,
mau tak mau baginda mesti percaya.

"Rayi," sabda baginda kepada sang permaisuri. "Dari siapakah


Rayinda mendengar kabar seperti itu?"

"Ampun Rakanda," sahut permaisuri. "Berita itu hamba dengar


dari Anakanda sendiri."

"Raden Panji?"

"Sesungguhnyalah."

Baginda tersentak. "Jadi Raden Panji sendiri yang


mempersembahkan hal itu kepada Rayinda?"

"Daulat Kanda."

19
"Mengapa ia tidak menyampaikan hal itu kepada Kanda?"

"Beribu ampun Rakanda, kelapangan dan keluasan maaf


Rakanda, Rayinda minta," sahut permaisuri menghaturkan
sembah. "Raden Panji tidak berani mempersembahkan hal itu
langsung kepada Rakanda. Ia takut."

"Takut? Mengapa pula takut?"

"Ia kuatir hal itu akan membuat Rakanda murka."

"Kanda murka? Kanda tidak pernah murka kepada orang yang


tidak bersalah. Dan dalam hal ini, Raden Panji..."

"Hamba mintakan ampun berlaksa untuk anak kita berdua itu,


Rakanda."

"Tetapi kenyataan bahwa Raden Panji sendiri tidak berani


mempersembahkan hal tersebut kepada Rakanda, membuktikan
bahwa ia sendiri sadar bahwa ia melakukan suatu..."

"Ampun Rakanda."

"Ia sendiri sadar, bahwa yang dia lakukan suatu


dosa...kekeliruan."

20
"Ampun Rakanda. Raden Panji tidak berani mempersembahkan
hal pernikahannya itu kepada Rakanda, karena ia merasa kuatir
Rakanda murka lantaran gadis yang dia kawini itu bukan
seorang keturunan raja ..."

"Kalau ia tidak merasa melakukan suatu kesilapan, apa salahnya


ia menyampaikan niatnya itu terlebih dahulu kepada kita?"

"Ampun Rakanda."

"Raden Panji tidak melakukannya. Raden Panji tidak meminta


pertimbangan kita terlebih dahulu. Ia bahkan tidak memberi
kabar kepada kita sebelum pernikahan berlangsung. Bahkan
sesudah pernikahan berlangsung pun, ia tidak berani memberi
kabar kepada Kanda, ayahnya!"

"Ampun Rakanda! Ia masih muda ..."

"Tetapi ia seorang putra mahkota, yang mesti tahu membedakan


antara yang benar dan yang tidak benar."

Permaisuri tidak menyahut.

"Dan lain dari itu. Rayinda pun tahu. bahwa pernikahan Raden
Panji itu akan menyeret persoalan kerajaan bersamanya. Bukan

21
hanya satu kerajaan, tetapi dua kerajaan: Janggala dan Kadiri
yang dahulu sekali pernah seluruh menghaturkan sembah
kepada seoi yakni moyang kita."

Sang baginda baginda berhenti sebentar, kemudian, "Bukankah


Rayinda masih ingat akan pertunangan Raden Panji dengan
Dewi Sekar Taji?"

"Hamba, Rakanda."

"Pertunangan itu diadakan atas persetujuan kedua belah pihak.


Kakanda telah berdamai dengan rayinda Sri Jayawarsya dan
kami berdua telah sepakat hendak mewujudkan kembali usaha
dan cita-cita moyang kita sang baginda Airlangga yang Iuhur.
Kerajaan Jawa yang maha luas dan yang pernah dibagi dua oleh
Empu Bharada yang sakti itu,hendak kami persatukan kembali
dengan jalan menikahkan dua orang putra mahkota. Raden
Panji Kuda Waneng Pati yang menjadi putra mahkota Janggala,
mesti nikah dengan Dewi Sekar Taji yang menjadi putri mahkota
Kadiri. Dari kedua putra mahkota itu, diharapkan akan
melahirkan keturunan yang akan mewarisi kedua buah kerajaan
di bawah satu kekuasaan ... "

"Hamba, Rakanda."

22
"Dan sekarang? Sekarang Raden Panji mengawini seorang
gadis yang tak keruan keturunannya, yang entah ditemuinya
dimana!"

"Ampun Rakanda. Meskipun benar Dewi Anggraeni bukan


seorang keturunan raja, tetapi ia benar-benar seorang gadis
jelita, sukar mencari bandingannya."

Sang baginda memandang permaisuri tajam-tajam.

"Jadi Rayi sudah bertemu dengan dia?"

"Hamba, Rakanda."

"Jadi Raden Panji telah membawa istrinya ke istana?"

"Di kaputran."

Baginda mengeluarkan nafas dalam satu hembusan yang cepat.

"Dan ia belum juga meminta perkenan Rakanda..." Baginda


bergumam.

"Bahkan ia belum memberitahukan hal itu kepada kami..."

23
"Ampun, Rakanda, hamba meminta kelapangan dan kedalaman
lautan ampun yang hendaknya Rakanda limpahkan atas batu-
kepala anakanda Raden Panji Kuda Waneng Pati..."

Baginda termenung.

Permaisuri tidak berani memecah kesunyian. Maka waktu pun


berjenak-jenak berlalu dalam hening.

"Dan apa tadi kata Rayi?" akhirnya sang baginda memecah


kesepian. "Gadis yang bernama Dewi Anggraeni itu seorang
gadis jelita jarang bandingannya? Ah, kalau pernikahan hanya
cukup oleh kecantikan dan ketampanan belaka..."

"Ampun Rakanda. Semula Rayinda pun tidak setuju demi


mendengar pernikahan Raden Panji. Namun tatkala Raden Panji
membawa istrinya kepada Rayi dan tatkala Rayinda
menyaksikan sendiri gadis itu - menantu kita - lenyaplah
kekuatiran Rayinda. la sungguh-sungguh seorang gadis yang
dicita-citakan setiap bunda untuk menjadi menantunya ..."

"Karena ia cantik, karena ia jelita?" potong sang baginda.

"Tidak hanya itu. Ia pun seorang yang berbudi halus, serta tahu
akan adat. Sampai Rayinda berpikir, bagaimana mungkin
24
seorang gadis yang berasal dari gunung yang terpencil
mengetahui adat-istiadat serta sopan santun keraton
sesempurna itu? Tidakkah ia mungkin seorang puteri raja yang
melarikan diri?"

"Ah, janganlah Rayinda memikirkan yang bukan-bukan. Putri


raja! Raja manakah yang melarikan diri ke hutan?"

"Ampun, daulat Rakanda! Sangkaan itu hanyalah terbit lantaran


Rayinda tercengang melihat tingkah laku Dewi Anggraeni yang
sangat sempurna jua."

Baginda menunggu beberapa jenak, baru kemudian menyahut,


"Bagaimana pun jelitanya dia, dan bagaimana pun tingkah
lakunya sopan-santun dan betapa pun sempurnanya dia sebagai
gadis yang dicita-citakan oleh setiap mertua, namun
kesemuanya itu lenyap artinya sekarang, berhadapan dengan
persoalan kerajaan yang menyangkut-paut mati-hidup berlaksa
jiwa kawula dua buah negara. Yang jadi persoalan bagi Rakanda
sekarang, bukan hal pernikahan Raden Panji dengan Dewi
Anggraeni, tetapi persoalan yang terseret oleh pernikahan itu.
Raden Panji mesti menikah dengan Dewi Sekar Taji, putri
mahkota kerajaan Kadiri."

25
Kembali suasana hening.

"Bagaimanakah kelak akan Rakanda jawab kalau sekiranya


Rayinda Prabu Jayawarsya meminta kita menepati janji?"

"Ampun Rakanda," sahut sang permaisuri. "Bagi seorang ibu,


yang menjadi idaman dan harapannya adalah kebahagiaan
putra yang pernah dia kandung sembilan bulan lebih dibawah
jantungnya. Adalah kebahagiaan putra yang pernah meronta-
ronta meminta air susu dari dadanya. Adalah kebahagiaan putra
yang pernah ditimang-dipangkunya selagi bayi. Maka tatkala
hamba menyaksikan betapa rukun dan saling cinta-mencintainya
Raden Panji dengan istrinya Dewi Anggraeni, kebahagiaan pun
menyelimuti hati bunda yang pernah mengandung dan
melahirkannya. Alangkah bahagianya putra kita! Dan melihat
kebahagiaan itu, lenyap segala persoalan dan pikiran yang lain."

"Itulah. Seorang bunda adalah seorang wanita. Dan seorang


wanita hanya memandang apa-apa yang kelihatan oleh matanya
saja. Matanya buta oleh benda yang berada di depan matanya,
benda nyata, sehingga lenyaplah hakekat segala benda yang
tidak nampak oleh mata. Kasih sayang seorang bunda, bukan
tidak mustahil membutakan matanya kepada akibat-akibat yang
mungkin timbul sebagai taruhan kebahagiaan putranya.
26
Kebahagiaan Raden Panji Kuda Waneng Pati, bukan tidak
dipertaruhi. Pada batu timbangan yang lain, nasib dan
kebahagiaan kawula dua buah kerajaan besar terletak. Kalau diri
Raden Panji yang kita menangkan, maka akan hancurlah negara
dan kekacauan akan mengamuk di kedua buah negara."

"Ampun Rakanda. Rakanda berbicara tentang kekacauan,


namun kekacauan apakah itu gerangan? Rakanda berbicara
tentang kehancuran, tetapi kedua buah negara sekarang masih
megah berdiri."

"Itulah bukti yang senyata-nyatanya, bahwa seorang wanita


hanya sanggup melihat yang terdekat dengan pandangannya. Ia
tidak bisa melihat ke kaki langit yang nun di kejauhan, dan
apalagi melihat apa yang terjadi di balik kaki langit itu! Tidakkah
Rayinda tahu, apakah yang sekiranya terjadi kalau Rayinda
Prabu Jayawarsya mendengar kabar tentang pernikahan Raden
Panji putra mahkota Janggala dengan putri yang bukan putri
mahkota Kadiri? Tidakkah Rayinda maklum, apakah akibatnya
jika Rayinda Prabu Jayawarsa murka? Akan dikumpulkannya
wadia-bala dan akan diserangnya Janggala! Perang! Peranglah
yang akan menjadi taruhan pernikahan Raden Panji sekarang!
Perang yang akan terjadi antara dua buah kerajaan yang berasal
dari satu keturunan. Pandawa dengan Kurawa pun seperti
27
dituturkan dalam Mahabharata, adalah berasal dari satu
keturunan leluhur Bharata. Dan kedua kaum itu pun berperang.
Tetapi apakah yang menjadi taruhannya? Kebenaran. Pandawa
mempertahankan kebenaran, melawan dan menghapuskan
keserakahan kaum Kurawa dari muka dunia.
Tetapi kalau pecah perang antara Janggala dan Kadiri, apakah
yang kita pertahankan? Kebenaran? Terang kita berada pada
fihak yang bersalah. Kita tidak menepati janji. Kehormatan?
Kehormatan, masihkah orang yang tidak menepati janji berhak
bicara tentang kehormatan? Ah, Rayinda tidakkah Rayinda
melihat malapetaka yang demikian besar menjadi taruhan
kebahagiaan seorang Raden Panji? Tidakkah Rayinda melihat
darah akan membanjir, dan mayat-mayat bergelimpangan?
Mayat-mayat prajurit dan pahlawan Kadiri dan Janggala. Dan
keduanya berjuang secara sia-sia. Keduanya berkelahi
mempertahankan apa yang memang tak patut dipertahankan!"

Baginda menjatuhkan kepala dan melipatkan kedua belah


tangan di dadanya. Suasana sangat mencekam.

Akhirnya sang permaisuri menyahut, suaranya mula-mula


perlahan, tetapi makin lama makin tegas jua.

28
"Mengapa Kanda melihat terlalu jauh? Mengapa Kanda
membayangkan hal-hal yang buruk saja? Tidak, pernikahan
Raden Panji dengan Dewi Anggraeni, tak usah berpengaruh
kepada kerajaan. Pernikahan itu tidak membatalkan perjanjian
yang telah Kanda buat dengan Prabu Jayawarsya, bukan?
Tidak. Pernikahan itu mesti Kanda restui demi kebahagiaan
anak kita sendiri dan demi kebahagiaan kerajaan ..."

"Demi kebahagiaan kerajaan kata Rayinda?"

"Ampun Kanda, demikianlah adanya."

Baginda mengerutkan kening.

"Bagaimana hal itu mesti diterangkan supaya Kanda menjadi


maklum?" tanya baginda penuh penasaran.

"Daulat Kanda, apabila sekarang Kanda memisahkan Raden


Panji dari Dewi Anggraeni, bukan hanya hatinya akan hancur
luluh, tetapi juga cita-cita Kanda yang luhur itu akan sirna."

"Apa kata Rayinda?"

"Cita-cita Rakanda yang luhur itu akan sirna, karena Raden Panji
yang mesti melaksanakan cita-cita luhur itu akan mereras. Ia

29
akan sangat berduka apabila dipisahkan dari kekasihnya. Kalau
Raden Panji meninggal karena duka cita, bukan hanya Rayinda
yang akan tenggelam dalam lautan kesedihan, tetapi Rakanda
pun tidak mungkin melaksanakan cita-cita Kanda yang mulia itu
..."

Sang baginda mengangguk-anggukkan kepala. la tidak segera


bersabda, melainkan hening termenung, memandang kearah
luar, seolah-olah hendak mencari sesuatu nun jauh di kaki langit.

Akhirnya ia menarik nafas dalam.

"Jadi bagaimanakah sebaiknya menurut Rayinda?" ia bertanya.

Wajah permaisuri bercahaya.

"Ampun Rakanda," sembahnya. "Menurut hemat hamba, sebaik-


baiknya Rakanda menitahkan putra kita Raden Panji bersama
istrinya menghadap untuk merestui pernikahan mereka ..."

Kembali baginda menghela nafas.

"Kanda mengerti," sabdanya kemudian dengan suara dalam.

"Memisahkan keduanya dalam saat-saat seperti ini, sangat


berbahaya. Terima kasih Rayinda, terima kasih Rayinda telah
30
memperingatkan Kakanda akan akibatnya yang parah kalau
Kanda bersikeras. Kanda ingin melihat cita-cita Kanda yang
mulia terlaksana. Kanda mau bersabar."

Lalu baginda hening beberapa lamanya.

Tangannya yang kanan mengusap-usap dagu. seolah-olah


hendak memeriksa rambut yang tumbuh di sana.

"Kanda percaya. kalau waktu telah berlalu, saat-saat penuh


bunga telah lewat. Raden Panji takkan berat meninggalkan
kekasihnya."

"Jadi akan Kanda perkenankankah mereka menghadap? Akan


Rakanda beri restukah mereka,'' tanya permaisuri harap-harap
ccmas.

Baru setelah menghela dan menghembuskan nafasnya pula,


sambil mengangguk-anggukkan kepala baginda menyahut.

"Baiklah. Baiklah nasihat Rayinda akan Kakanda turut. Mudah-


mudahan akibatnya tidak sejauh yang Kakanda bayangkan...
Artinya, mudah-mudahan Rayinda Prabu Jayawarsya tidak
murka dan bisa dikasih mengerti. Mudah-mudahan takkan terbit
bencana!"
31
Pemiaisuri menghaturkan sembah, mengucapkan terima kasih.

"Akan Rayinda sampaikan supaya Raden Panji dengan Dewi


Anggraeni datang menghadap dibawah duli. Raden Panji tentu
akan sangat bergembira sekali..."

Sang Baginda hanya mengangguk-anggukkan kepala,


sedangkan matanya masih jua menatap ke kejauhan nun ke kaki
langit yang tak terjangkau, seolah-olah perhatiannya tertarik
akan apa yang nampak olehnya di sana.

Apa yang ditakutkan oleh Sri Baginda Jayantaka Tunggadewa


raja Janggala yang jaya, benar-benar terjadi.

Berita mengenai pernikahan Raden Panji Kuda Waneng Pati


dengan Dewi Anggraeni seorang gadis tak berbangsa, yang
konon ditemui Raden Panji di sebuah petapan, sampai juga
kepada Sri Baginda Jayawarsya Tunggadewa, raja Kadiri. Tidak,
pertama kali mendengar hal itu, baginda Jayawarsya tidak
percaya.

"Mana mungkin." kata baginda. "Mana mungkin Kakanda Prabu


Jayantaka lupa akan perjanjian yang pernah sama-sama kita
ikat! Raden Panji akan dinikahkan dengan putriku Sekar Taji,

32
karena kami sama-sama ingin menyaksikan Janggala dan Kadiri
bersatu dibawah pemerintahan keturunan mereka!"

Tetapi kabar itu makin lama makin santer dan makin santer jua.

Akhirnya baginda menitahkan seorang senapati untuk


menyelidiki kebenaran kabar itu. Dua orang mata-mata
dikirimkan ke Janggala akan membuktikan kebenaran berita
yang menyinggung martabat sang baginda.

Mata-mata bekerja dengan teliti dan cepat, maka seminggu


kemudian kepastian mengenai berita tersebut telah mereka
peroleh. Mereka mempersembahkan hasil penyelidikannya
kepada sang senapati Wiranggada yang kemudian
melanjutkannya kepada sang baginda.

Terhenyak baginda di atas tempat duduknya. Tak sepatah pun


perkataan keluar dari mulutnya berjenak-jenak lamanya.

Kemudian baginda menunduk, memegang keningnya dengan


tangan kanan yang bertelekan di atas lututnya. Baginda asyik
berpikir.

33
Sang senapati Wiranggada tidak berani mengganggu. Ia pun
duduk diam. Kepalanya menunduk seolah-olah berat benar
baginya untuk mengangkat wajah.

Lama keduanya berdiam-diam demikian, sehingga Baginda


mengangkat wajahnya, "Panggil menghadap semua para
menteri istana. Begitu pula para tetua negara yang penting-
penting! Sekarang juga bawalah mereka semua ke balairung
dan menghadap-ku!"

"Daulat Gusti. Hamba laksanakan titah Paduka" jawab senapati


Wiranggada.

Maka tanpa ayal lagi senapati Wiranggada memanggil semua


pejabat dan pembesar negara yang termaksud. Dan semua
perintah itu ia lakukan dengan cepat.

Dan tidak berapa lama kemudian, semua tetua negara dan


pejabat-pejabat yang penting sudah datang menghadap di
hadapan Sri Baginda Jayawarsya. Wajah mereka nampak penuh
pertanyaan. karena mendapat titah menghadap bukan pada saat
yang biasa. Dari sorot yang terpancar dari mata mereka
kelihatan hati mereka dipenuhi tanda tanya dan dugaan-dugaan.
Mereka saling pandang, saling berbisik dan saling bertanya

34
sesamanya, tetapi mereka hanya bisa menduga-duga saja.
Namun dari keangkeran suasana balairung yang seolah-olah
menjadi muram oleh kemuraman durja sang baginda, mereka
merasakan suasana yang menekan dan berat menyesakkan
kalbu.

Setelah menghaturkan sembah dengan takzimnya, mereka


duduk diam-diam dengan kepala tertunduk, menanti sabda yang
dipertuan.

Sedangkan baginda, dengan kening yang tetap berkerut,


nampak berpikir keras, dirundung persoalan yang agaknya
sangat berat.

Baginda hening, duduk di atas takhta, memandang ke kejauhan,


dan mereka yang datang menghadap seolah-olah tertangkap
tiada kendati bayangannya. Mata baginda lebar terbuka, tetapi
orang-orang yang masuk ke bangsal penghadapan, seakan-
akan tidak kelihatan olehnya. Sebentar-sebentar baginda
merubah sikap duduknya, menelekankan siku tangan diatas
lutut. Atau bangkit dan berjalan-jalan dengan kedua belah
tangan bertemu di bagian bawah punggungnya, sedang
matanya diarahkan ke luar, meninjau langit yang menjadi muram
dan rendah memberat. Melangkah beberapa tindak, baginda
35
kembali ke atas singgasana, lalu duduk pula merenung. Dan
suasana balairung makin berat menekan. Bahkan nafas pun
seolah-olah ditahan, supaya jangan memecahkan kesunyian dan
kemuraman yang membeku.

Namun, sesudah semua yang dititahkan hadir lengkap


menghadap, dan setelah beberapa lamanya mereka tertekan
dalam suasana yang berat itu, mahapatih Kebo Rerangin yang
sudah lanjut usianya dan terkenal bijaksana, tempat baginda
meminta nasihat, terdengar menghaturkan sembah. Suaranya
Iirih, namun jelas dan sejuk terasa masuk ke dalam hati barang
siapa yang mendengarnya.

"Ampun beribu-ribu ampun, Gusti, hamba mohonkan lantaran


hamba telah lancang, berani bersuara tanpa perkenan Gusti...
Namun, hamba sekalian telah dititahkan menghadap dalam saat
yang luar biasa, niscaya ada persoalan maha penting yang luar
biasa pula. Hati hamba sekalian selama di jalan dan terlebih-
lebih setelah sampai dihadapan duli, bagaikan hendak pecah
lantaran ingin tahu. Hamba sekalian ingin sekali menerima titah
Gusti, apakah gerangan yang menyebabkan suasana keraton
dan kerajaan Kadiri yang biasa-nya cerah dipenuhi gelak
tertawa, sekarang muram murung laksana dialahkan garuda.
Ampun Gusti, beribu ampun hamba mohonkan, namun suasana
36
seperti ini hampir tak tertanggungkan. Lebih baik bagi kami
sekalian, Gusti titahkan berperang menempur selawe negara,
menyerang raja berpahlawan gagah perkasa, daripada terus-
menerus tersiksa dalam suasana seperti ini. Ampun, Gusti."

Sri Baginda mengarahkan pandangannya kepada maha patih


Kebo Rerangin, mendengarkan apa yang dipersembahkannya,
sedang kepalanya mengangguk-angguk.

Tetapi beberapa saat setelah mahapatih selesai berbicara, tidak


juga Baginda bersabda. Baru kemudian, setelah beberapa waktu
lampau dalam keheningan, baginda memecahkannya;
"Mamanda mahapatih! Para mentri dan para tetua yang
bijaksana."

Para penghadap menghaturkan sembah sambil menggumam,


"Daulat Gusti!"

"Titah kami yang luar biasa, yakni menitahkan andika sekalian


datang menghadap bukan pada saat yang biasa, tentu
menimbulkan seribu satu tanda tanya dalam hati andika
sekalian. Apa yang tadi dipersembahkan oleh mamanda maha
patih Kebo Rerangin, adalah sangat tepat. Memang, memang
ada soal yang luar biasa yang telah menyebabkan kami

37
memberi titah yang luar biasa. Memang, adalah lantaran ada
soal yang sangat berat menekan pikiran kami, maka andika
sekalian yang terkenal bijaksana, kami titahkan datang
menghadap pada waktu ini juga. Kami ingin mendengar
pendapat andika sekalian. Kami ingin meminta nasihat... "
kembali baginda berhenti bersabda dan pandangannya kembali
menatap ke kejauhan, ke alam tak berwatas, merenung.

"Ampun beribu ampun hamba mohonkan," sembah patih Kebo


Rerangin. "Apakah gerangan soal yang demikian berat menekan
kalbu Gusti, sehingga nampak durja Gusti begitu muram?"

Kembali baginda menghela nafas.


"Seperti mungkin andika sekalian sudah dengar, beberapa hari
yang lampau kami mendengar berita yang sangat mengejutkan...
Berita yang mula-mula tidak mau kami percaya! Kami sangat
percaya akan perkataan dan ucapan Rakanda Prabu Jayantaka,
raja Janggala. Kami percaya, bahwa sebagai seorang satria
yang tahu harga diri, Rakanda takkan menyalahi janji..."

"Ampun Gusti," sela maha patih Kebo Rerangin "Maafkan


kelancangan hamba. Tetapi, meskipun hamba bisa meraba
kemana arah titah Gusti, namun hal yang sesungguhnya belum

38
jelas... Mengenai hal apakah Rakanda Gusti Prabu Jayantaka
tunggadewa menyalahi janji?"

Sang Prabu memandang maha patih tajam-tajam. "Lupakah


Mamanda Maha Patih akan janji yang telah kami berdua sama-
sama padu? Rakanda Prabu Jayantaka mempunyai cita-cita
tinggi; Baginda hendak mewujudkan cita-cita moyang kami sang
Airlangga yang maha bijaksana. Pembagian kerajaan yang
pernah dilakukan oleh maha resi Empu Bharada, hendak kami
hapuskan. Antara Janggala dan Kadiri akan hilang batas. Kedua
kerajaan hendak kami persatukan kembali. Jalan yang termudah
untuk melaksanakan cita-cita tersebut adalah dengan
menikahkan putera mahkota Janggala Raden Panji Kuda
Waneng Pati dengan putri mahkota Kadiri, Dewi Sekar Taji ... "

"Daulat, Gusti. Akan hal itu Mamanda sangat ingat..."

"Dan sekarang, tatkala putra dan putri sudah dewasa, saat


terwujudnya cita-cita yang agung itu dekat sudah... Tetapi ..."
lalu sang baginda menjatuhkan kepala, tertunduk.

"Apakah gerangan yang terjadi?"

"Mamanda Patih pun tahu. Seminggu yang lalu kami mendengar


kabar mengenai pernikahan Raden Panji dengan seorang gadis
39
gunung, entah siapa, konon bukan keturunan raja. Kami tidak
percaya akan berita tersebut. Lalu kami menitahkan supaya
mengirimkan mata-mata untuk menyelidiki kebenaran berita itu.
Dan sekarang..."

"Sudah kembalikah para penyelidik itu?"

"Mereka sudah datang. Dan... hancur, pantang menyerah


sebelum membangkai!"

Suara baginda makin lama makin naik, makin naik, dan wajah
baginda menjadi memerah laksana terbakar. Baginda sangat
murka. Sedangkan matanya bagaikan menyinarkan api yang
membakar barang yang dilihatnya. Semua yang hadir tak berani
menentang pandangan baginda yang demikian. Mereka
menundukkan wajah. Ada yang turut marah, dan mengangguk-
anggukkan kepala, menyetujui perkataan baginda, dari mulutnya
terdengar gumam, "Di Kadiri pun masih banyak satria, pahlawan
yang tak pantang berjuang!"

Ada yang saling pandang dengan sesamanya, sambil


menggilirkan kepala keris yang tersandang. Mereka sudah
seperti ingin agar pasukan Janggala berada didepannya, supaya
mereka bisa memuaskan amarahnya.

40
"Tidakkah benar kata kami? Tidakkah benar bahwa para satria
Kadiri belum mati? Tidakkah benar bahwa para pahlawan Kadiri
masih siap sedia untuk berjuang?Untuk mempertahankan
kehormatan dan harga dirinya? Tidakkah benar? Manakah
pahlawan Kadiri?"

"Tentang semangat para pahlawan Kadiri, Gusti tak usah ragu!"


sahut seorang senapati sambil menghaturkan sembah. "Para
pahlawan Kadiri tahu akan harga dirinya, takkan manda saja
membiarkan dirinya diperhina!"

"Tak usah menanti hari berganti, malam ini juga semua wadia-
bala Kadiri telah siap untuk berperang! Gusti tak usah kuatir,
Janggala takkan mungkin menumpas satria Kadiri!" sembah
yang lain pula.

"Kita berada pada fihak yang benar, maka para dewa tentu akan
berada pada fihak kita! Sang Syiwa akan merestui kita! Kita akan
menang! Kita takkan mungkin kalah!" sambut yang lain.

"Gusti hanya tinggal memberi titah, maka setiap saat bala


tentara Kadiri siap sedia. Siang ataupun malam tak nanti lalai,"
terdengar pula suara senapati yang mula-mula bicara.

41
Sejenak lamanya dalam balairung terdengar hiruk-pikuk.
Suasana menjadi panas. Setiap orang yang berada di sana
terbakar semangatnya, geram dan murka, ingin segera
menerjang lawan.

Baginda mengangguk-anggukkan kepala, tanda berbesar hati.


Baginda percaya akan kekuatan bala tentara kerajaannya. Kadiri
mempunyai satria-satria yang kebal kulitnya, pahlawan-
pahlawan yang tangguh tulangnya. Baginda merasa
semangatnya makin terbakar.

"Kami lihat para pahlawan Kadiri siap sedia setiap saat..."

"Hanya menanti titah saja, ampun Gusti!" sahut senapati


Wirapati ing Alaga. "Kami siap."

"Makin cepat makin baik..." kata baginda agak perlahan.

Tetapi baginda menoleh ke arah maha patih Kebo Rerangin,


"Mamanda apakah bicara Mamanda mengenai hal ini? Kami
lihat sejak tadi Mamanda berdiam diri saja. Tidakkah Mamanda
kurang yakin akan kegagahan dan kesaktian para satria serta
para pahlawan Kadiri? Tidakkah Mamanda yakin bahwa
Janggala akan dengan mudah dikalahkan oleh para senapati
kita yang gagah berani? Mengapa Mamanda diam saja?"
42
Sang maha patih Kebo Rerangin menghaturkan sembah.
Suaranya tenang, tidak dipengaruhi amarah seperti suara yang
lain-lain. Ia berbicara lambat-lambat, namun pasti. "Ampun
beribu hamba mohon maaf berlaksa hamba minta terlebih
dahulu, kelapangan dan keluasan faham Gusti jua yang hamba
harapkan.."

Sang baginda menatapnya tajam-tajam. "Bicaralah. Mamanda!"

Maha patih Kebo Rerangin memperbaiki letak duduknya. "Daulat


Gusti" sembahnya kemudian. "Hamba percaya akan keteguhan
tulang para senapati Kadiri. Hamba percaya akan kekebalan
kulit para pahlawan Kadiri yang pantang mundur. Hamba yakin
akan semangat wadia-bala Kadiri yang gagah berani. Tetapi
tidakkah terlebih baik sebelum ia kita kerahkan untuk menyerang
Janggala, kita kaji dahulu sebab lantarannya?"

"Mamanda Maha Patih! Mengapa Mamanda bertanya demikian?


Bukankah Mamanda tadi mendengarkan perkataan kami?"

"Daulat Gusti, sepatah pun perkataan yang Gusti sabdakan, tak


ada yang terlepas dari pendengaran hamba. Tetapi..."

43
"Tetapi apa? Apakah Mamanda belum mengetahui jua sebab
lantarannya mengapa kita mesti menyerang Janggala yang telah
menghina kita?"

"Menurut hemat hamba, Janggala tidak melakukan penghinaan


..."

"Mamanda Maha Patih! Tidakkah harga diri dan kehormatan


Mamanda merasa terhina kalau putri mahkota kerajaan kita
diperhina?"

"Ampun Gusti, hambalah orang yang akan paling merasa terhina


kalau putri mahkota Kadiri yang hamba dijunjung tinggi diperhina
orang, Hambalah orangnya yang akan paling dahulu menghunus
keris memusnahkan orang yang menghinanya!"

"Nah, mengapa Mamanda Maha Patih masih bertanya juga?"

Maha patih Kebo Rerangin merasa terdesak. Tetapi ia


menghaturkan sembah, "Tentang penghinaan itu -kalau benar
penghinaan- hamba pun akan sependapat dengan yang lain-
lain. Dalam hal demikian wajib kita mengangkat senjata kepada
Janggala. Tak benar kalau kita diam saja, manda saja diperhina.
Namun sebelum kita memepak wadia-bala, patut kalau kita

44
renungkan lebih dahulu hal-hal lain yang bersangkutan dengan
itu..."

"Apa maksud Mamanda?"

"Ampun Gusti. Gusti pun tentu lebih maklum, Kadiri dan


Janggala berasal dari satu keturunan, dari satu kerajaan ..."

"Ya, dipisahkan oleh air kendi yang dicucurkan oleh Empu


Bharada!"

"Gusti lebih maklum. Jadi sesungguhnya antara Kadiri dan


Janggala ada perhubungan darah, perhubungan keturunan. Raja
Janggala masih berasal dari darah yang sama dengan. Gusti
sendiri, Sri Baginda Jayantaka Tunggadewa masih kepernah
Rakanda Gusti."

"Ya, lalu?"

"Antara orang yang berasal dari daerah yang sama apalagi kalau
menyangkut nasib kerajaan beserta seluruh kawulanya, tak
patutlah senjata diminta bicara. Apabila ada persoalan, elok
diperbincangkan terlebih dahulu..."

45
"Tetapi ini mengenai kehormatan dan harga diri kita sebagai
satria, sebagai negara dan kerajaan, Mamanda Maha Patih!"

"Ampun Gusti. Karena itu pula dalam hal ini kebijaksanaan Gusti
yang menggenggam mati-hidup kawula negara di seluruh
kerajaan diminta lebih besar..."

"Tetapi masihkah kita patut bicara, berbincang dengan orang


yang dengan sengaja sudah menghina dan merendahkan kita?"

"Bagaimanapun, sang Baginda Prabu Jayantaka adalah saudara


Gusti jua. Kalau ia melakukan kesilapan, adalah seyogyanya
apabila Gusti yang menegur serta memberinya ingat."

Sang baginda termenung. Termakan juga apa yang


dipersembahkan maha patih Kebo Rerangin olehnya.

Kebo Rerangin sungguh seorang tetua yang luas dan dalam


pandangannya. Terkesiap juga baginda, kalau teringat bahwa
hampir saja baginda meninggalkan keutamaan seorang
bijaksana, lantaran terbawa oleh amarah. Kalau sampai terjadi
peperangan antara kedua kerajaan, entah bagaimana akibatnya.
Namun apabila teringat pula oleh baginda akan perbuatan
Rakanda Prabu Jayantaka mengingkari janji yang telah mereka
bikin, hatinya menjadi mendidih pula.
46
"Perang bukanlah suatu hal yang kecil. Apalagi antara dua buah
kerajaan yang sesungguhnya masih bersaudara ..." terdengar
maha patih Kebo Rerangin berbicara pula. "Apakah soal yang
menjadi sebab tidak bisa dirundingkan secara damai lagi,
sehingga senjata diminta berbicara? Kalau segala pembicaraan
telah buntu, kalau segala perundingan telah mati, barulah boleh
kita angkat senjata. Sedangkan dalam hal kita sekarang, meski
benar perbuatan Rakanda Prabu menikahkan Raden Panji
dengan orang lain melanggar janji yang telah kita adakan,
namun belum pasti berarti bahwa baginda dengan sengaja
hendak memperhina kita... "

Sang baginda mengangkat wajah. "Mana boleh begitu?"

"Ampun Gusti, menurut hemat hamba, pernikahan Raden Panji


dengan putri yang lain, tidaklah berarti bahwa fihak Janggala
telah membatalkan perjanjian secara sefihak. Pernikahan Raden
Panji dengan orang lain, tak boleh kita tafsirkan bahwa
pertunangan dengan Dewi Sekar Taji menjadi batal. Mungkin
ada sebab-sebab lain yang kita tidak tahu, yang menyebabkan
Rakanda Prabu Jayantaka mengambil jalan yang seolah-olah
menghina kita. Bagaimana pun juga, menurut hemat hamba
semuanya itu belum cukup besar untuk diakhiri dengan suatu
perang. Apalagi perang antara kerajaan yang berasal dari satu
47
keturunan. Cita-cita Gusti berdua dengan rakanda Gusti tinggi,
agung serta luhur, hendak mewujudkan kembali apa yang
dahulu pernah diusahakan oleh sang Baginda Airlangga. Cita-
cita yang luhur itu patutkah kita hancurkan begitu saja, lantaran
menduga sesuatu tanpa melihat latar belakangnya yang lebih
luas?"

Baginda merenung, tidak mengeluarkan sepatah pun perkataan.

Tetapi senapati Wirapati berdatang sembah, "Ampun Gusti,


mengapa kita mesti berbuat sebagai pengecut? Telah jelas;
orang telah menghina kita, mengapa kita masih manda juga
mengajaknya berunding? Orang telah dengan sengaja
melanggar janjinya sendiri, mengapa kita masih ragu-ragu untuk
mengangkat senjata? Apakah telah tumbuh takut dalam
kerajaan Kadiri? Apakah tidak ada lagi semangat satria yang
berani menentang mati?"

Sang baginda memandang kepada sang senapati Wirapati.

Namun sebelum baginda mengeluarkan perkataan, terdengar


maha patih Kebo Rerangin bersuara.

"Ampun hamba mohonkan, Gusti. Apabila tadi hamba


mempersembahkan apa yang telah hamba persembahkan,
48
bukanlah itu berarti bahwa semangat Kebo Rerangin telah
lenyap. Bukanlah berarti Kebo Rerangin seorang pengecut yang
takut mati, tak berani melihat darah! Kebo Rerangin telah
kenyang berperang, telah kenyang memasukkan kerisnya ke
dalam dada orang-orang yang sombong dan bersemangat,
namun makin hari usia makin tua dan setelah usia lanjut makin
banyak pertanyaan-pertanyaan dalam hati. Buat apakah kita
membunuh sesama manusia? Buat apakah kita mengurbankan
begitu banyak wadia-bala, darah dan nyawa? Untuk memuaskan
nafsu? Untuk menunjukkan bahwa kita bersemangat? Tidak.
Bagi hamba, nun Gusti, semangat bukan satu-satunya yang
harus kita punyai. Dengan semangat saja kita takkan mencapai
apa-apa. Paling-paling penyesalan yang akan menanti kita
kelak. Penyesalan, penyesalan yang tak berguna, tak berarti,
sia-sia... Hamba meminta keluasan hati Gusti, dan hamba
percaya akan kebijaksanaan Gusti; Gusti takkan mengurbankan
manusia, entah wadia-bala Kadiri maupun wadia-bala Janggala
untuk suatu hal yang belum tentu. Hamba tetap memohonkan
kebijaksanaan Gusti untuk mengadakan perundingan dengan
fihak Janggala.''

49
Baginda menghela nafas. Senapati Wirapati hendak
menghaturkan sembah pula, tetapi tangan baginda yang kiri
melambai, tanda bahwa baginda menitahkannya diam.

"Baiklah. Kami percaya akan keberanian dan semangat Senapati


Wirapati yang senantiasa setia. Kami percaya akan semangat
dan kejayaan seluruh satria, perwira, para pahlawan dan wadia-
bala Kadiri. Kami percaya. Kami tak ragu akan hal itu. Kami
tahu, pada saatnya seluruh wadia-bala Kadiri akan tak sayang
membuang nyawa, mengalirkan darah untuk membela
kehormatan dan harga diri raja serta negaranya!" sabda baginda
dengan suara yang tenang.

"Tetapi apa yang dipersembahkan oleh Mamanda Maha Patih


Kebo Rerangin pun mempunyai kebenarannya pula. Tak patut
kita tiba-tiba saja menyerang Janggala yang adalah masih
berasal dari keturunan yang sama dengan kami, sedangkan
persoalan belum jelas."

"Kalau Gusti mengirimkan utusan kepada rakanda Gusti di


Janggala, Gusti telah menunjukkan kelapangan hati dan
kebijaksanaan Gusti," sembah maha patih Kebo Rerangin.

50
"Kalau kelak ternyata, fihak Janggala memang dengan sengaja
hendak menghina puteri mahkota Kadiri beserta kerajaannya,
perang adalah jalan yang satu-satunya boleh kita tempuh!"

"Namun, Mamanda, untuk mengirimkan utusan kepada Rakanda


Prabu Jayantaka, kami merasa kurang patut. Pernikahan Raden
Panji sekarang, dilakukan tanpa persetujuan, bahkan tanpa
sepengetahuan kami, sedangkan Raden Panji telah
dipertunangkan dengan Dewi Sekar Taji. Kalau kita mengirimkan
utusan ke sana, maka mungkin kelihatan seolah-olah kita begitu
rendah ingin menawarkan Sekar Taji supaya diperisteri oleh
Raden Panji! Tidak, untuk mengirimkan utusan ke Jenggala,
kami merasa keberatan. Kita mesti menempuh jalan lain!"

Seluruh balairung hening. Senapati Wirapati menundukkan


wajah, sedang matanya menjeling ke kanan ke kiri. Ia merasa
malu, karena merasa tidak mendapat muka dari sang baginda.
Hatinya panas. Lirikannya ganas menjilat kearah maha patih
Kebo Rerangin yang duduk di depan.

Maha patih Kebo Rerangin hening pula. Duduk dengan tertib,


sedangkan keseluruhan dirinya menunjukkan bahwa ia sedang
berpikir keras.Semua orang terdiam berpikir, merenung.

51
Suasana pecah, tatkala dari sudut sebelah kanan terdengar
suara yang renta dan rendah menghaturkan sembah.

"Ampun Gusti!" katanya.

"Mamanda Kuda Lalean! Adakah Mamanda mendapat pikiran


yang baik untuk menghilangkan yang kami bingungkan?
Bicaralah!" sabda baginda.

"Daulat Gusti. Menurut hemat hamba, satu-satunya jalan untuk


mengatasi suasana yang sulit ini adalah dengan jalan meminta
tolong kepada fihak ketiga. Fihak ketigalah yang sebaik-baiknya
datang kepada Rakanda Prabu di Janggala, meminta
keterangan yang lebih jelas."

"Sungguh tepat!" potong sang baginda dengan cepat dan


wajahnya menjadi cerah.

"Sungguh tepat apa yang dipersembahkan oleh Mamanda Kuda


Lalean! Tetapi ..." baginda berhenti sejenak. "Siapakah
gerangan fihak ketiga yang patut kita percayai untuk menjadi
perantara? Orang itu mesti yang kita percayai dan yang
dihormati pula oleh fihak Janggala, tak mungkin orang
sembarang! Orang itu mesti benar-benar tak berfihak! Raja

52
manakah yang menurut hemat andika sekalian, yang patut kita
mintai tolong dalam hal ini?"

Setelah suasana sepi sejenak, terdengar maha patih Kebo


Rerangin angkat bicara, "Mengapa Gusti hendak meminta tolong
kepada raja-raja lain? Mengapa Gusti tidak teringat kepada sang
Kili Suci yang adalah wakil tetua kedua buah kerajaan, baik
Janggala maupun Kadiri! Sang Kili Sucilah yang telah
menyebabkan kerajaan sang Baginda Airlangga dipecan dua.
Karena sang Kili Suci tidak sudi memangku takhta! Dia memilih
kehidupan pertapa di Pucangan!"

Baginda terhenyak. "Ya maha dewa! Mana boleh kami lupa!


Mengapa boleh kami tak teringat? Eyang Sang Kili Suci! Telah
lanjut usianya, tetapi ia masih segar bugar! Kehidupannya
sebagai pertapa menyebabkannya awet jaya! Ya, memang
beliau satu-satunya orang yang paling tepat untuk keperluan ini!
Tak ada yang lain! Sang Kili Suci!"

"Sesungguhnyalah!" sembah maha patih Kebo Rerangin dan


para tetua lainnya bersama-sama. "Sang Kili Suci patut menjadi
fihak ketiga."

53
"Baiklah Mamanda Patih. sekarang Mamanda titahkan orang
untuk menjemput sang Kili Suci supaya sudi meninggalkan
petapannya yang suci di Pucangan, menjenguk negeri Kadiri ini.
Siapa orang yang patut menjalankan titah itu kami percayakan
kepada Mamanda untuk memilihnya."

"Daulat Gusti."

"Kalau mungkin hari ini juga ia mesti berangkat. Makin cepat


makin baik. la mesti kembali dengan mengiringkan sang Kili
Suci. Jangan ayal di jalan."

"Daulat Gusti." sembah maha patih. "Hamba Gusti. Senapati


Secaprawira hamba pikir patut menjunjung titah yang berat itu."

"Baiklah. Ki Senapati Secaprawira pergi ke Pucangan. Dengan


siapakah ia akan pergi? Sendirian sajakah?"

"Ia harus dikawani oleh dua-tiga orang hamba Gusti yang lain.
Baiklah perihal itu hamba atur kelak."

"Ya, semuanya kami percayakan kepada Mamanda. Tetapi kami


ingin hari ini juga mereka harus berangkat. Pucangan jauh. dan
kami tidak mau menunggu terlalu lama! Kalau orangnya sudah
siap, titahkan mereka menghadap! Sekarang, baik andika
54
sekalian pulang. Tetapi Ki Senapati Wirapati! Persiapan-
persiapan jangan dilalaikan. Belum tentu sang Kili Suci berhasil
dengan damai menyelesaikan soal ini, maka kita mesti
berperang juga dengan Janggala. Karena itu persiapan-
persiapan perang jangan sampai tercecer! Kita mesti siap pada
waktunya!"

"Daulat Gusti, hamba sekalian akan siap setiap saat! Titah patik
junjung di atas batu kepala patik!" sembah senapati Wirapati.

Maka pertemuan di balairung pun bubar. Sang baginda masuk


ke dalam istana. Para tetua dan pejabat negara pulang ke
rumahnya masing-masing, kecuali mereka yang mendapat titah
dan mesti menyelesaikan titahnya. Maha patih Kebo Rerangin
memilih orang untuk mengawani Secaprawira buat menjemput
sang Kili Suci, serta menitahkan mempersiapkan segala
sesuatunya buat keperluan di jalan.

Sang Kili Suci yang hidup tenang di Pucangan, adalah putri


baginda sang Airlangga yang jaya serta bijaksana. Dialah yang
sesungguhnya berhak atas takhta, menggantikan ayahanda.
Tetapi ia sejak masih muda telah tertarik hatinya akan kehidupan
di petapan.

55
Kehidupan keraton dan kesibukan kerajaan tidak
membetahkannya. Ia tidak mau hidup dalam kegemilangan
istana. Ya, putrinda itu mengikuti jejak ayahanda, sang
Airlangga; sangat mencintai kehidupan bertapa, karena
ayahanda tatkala masih muda pernah dilindungi para petapan,
yaitu tatkala ia melarikan diri dari kejaran tentara Wura-wari yang
menyerbu keraton mertuanya.

Bertahun-tahun lamanya sang Airlangga hidup di tengah-tengah


kaum pertapa. Ia banyak mendapat bantuan dan sokongan dari
kaum pertapa, baik para resyi Syiwa, maupun para biksyu
agama Budha, bahkan juga para pemuja Wisynu. Tidak heran
pula ia tatkala kemudian melihat putrinda Kili Suci lebih
menyukai hidup dalam hutan sebagai pertapa, ia lalu mendirikan
petapan di Pucangan, sebagai tanda terima kasihnya kepada
para pertapa yang telah menolong dan menyokongnya selagi
sengsara.

Tetapi kemudian putrinda Kili Suci agaknya lebih merasa betah


di sana. Yang menyulitkan sang Airlangga adalah sikap putrinda
Kili Suci yang tidak mau memangku takhta.

Memang, kecuali Kili Suci, baginda masih mempunyai dua orang


putra pula. Dan keduanya laki-laki yang menunjukkan minat
56
yang luar biasa terhadap takhta, sehingga nampak oleh baginda
bahwa persaingan antara keduanya sangat besar. Mereka
bukan putranda dari permaisuri, sehingga hak keduanya sama
atas takhta kalau Kili Suci menolaknya. Baginda kuatir, kalau-
kalau setelah baginda mangkat akan terjadi persaingan dan
perkelahian antara kedua putranda untuk memperebutkan
takhta. Maka berminggu-minggu baginda membujuk putrinda Kili
Suci supaya mau memangku takhta. Namun sia-sia saja. Kili
Suci tetap pada pendiriannya. Ia tidak menghendaki takhta.
Maka bertahun-tahun lamanya baginda memikirkan akal, akan
menghindari persaingan dan perebutan takhta antara kedua
putranda itu kelak, meski mungkin selama baginda masih hidup,
persaingan dan perebutan itu takkan terjadi. Namun tak mustahil
pabila baginda sudah meninggal, perebutan yang ditakutkan itu
terjadi juga.

Akhirnya baginda mengambil kebijaksanaan membagi dua


kerajaan yang telah dengan susah payah baginda bina, dan
mempercayakan pembagian itu kepada seorang guru Budha
Mahayana yang ahli dalam ilmu tantra, yaitu Empu Bharada.

Empu Bharada seorang yang sakti, konon pernah menyeberangi


selat Bali dengan berjalan di atas permukaan laut. Gelombang
yang tinggi tidak sedikit pun membasahi kendati ujung jubahnya.
57
Sambil mengenangkan usahanya sejak muda, sejak ia
berangkat dari Bali memenuhi panggilan mertuanya maharaja
Teguh, sang Airlangga menyaksikan hasil jerih-payahnya itu
dirobek-robek di depan matanya. Hancur hatinya.

Namun kalau mengingat pula akan akibat yang mungkin timbul


kalau baginda tidak melakukan usaha pencegahan seperti itu,
sang Airlangga yang sudah kenyang berperang itu, merasa lega,
karena ia telah menghindarkan kedua putranda dari peperangan
antara sesama saudara. Setelah membagi dua kerajaannya
yang besar menjadi Janggala dan Kadiri, dan menobatkan
kedua anakanda menjadi raja di kedua kerajaan tersebut,
baginda Airlangga mengikuti jejak putrinda Kili Suci; baginda
memilih kehidupan damai di petapan. Baginda menjadi
bagawan. Baginda dihormati dan disebut orang sebagai Paduka
Gusti Pelindung Buana. Baginda bersemayam di Gandakuti
hingga wafatnya.

Sesudah baginda wafat, Kili Suci makin betah di petapannya.


Tetapi hubungan dengan masyarakat ramai tidak terputus. Pada
waktu-waktu tertentu ia menyambangi saudara-saudaranya yang
memerintah kerajaan Janggala dan Kadiri. la banyak memberi
nasihat dan petunjuk dan segalanya itu diterima oleh saudara-

58
saudaranya dengan senang hati. Bahkan mereka tidak segan-
segan meminta nasihat dan petunjuk dari putri petapa itu.

Waktu terus berlalu.

Raja Janggala dan Kadiri telah dua kali bertukar, karena


mangkat, tetapi sang Kili Suci masih segar bugar juga. la masih
juga tetap sehat. Ia tidak meninggalkan kebiasaannya untuk
tetap mengunjungi Janggala atau Kadiri, mendatangi keraton,
akan bercengkerama dan memberi nasihat kepada para
pemangku takhta. Oleh rakyat kecil pun ia sangat dihormati,
karena banyak sekali pertolongan-pertolongannya. Mereka
memuja sang Kili Suci hampir-hampir sebagai dewi penolong
yang sakti dan gaib. Mereka memandang Pucangan sebagai
tempat keramat yang suci. Tempat tinggal manusia utama yang
luar biasa baik.

---

Tatkala mendengar dari Senapati Secaprawira, bahwa sang


baginda Jayawarsya dari Kadiri menghaturinya datang, lantaran
ada masalah berat yang minta dipecahkan, tidak menanti lama,
maka sang Kili Suci pun berangkat meninggalkan Pucangan.
Mereka berjalan dengan cepat, maka beberapa hari kemudian,

59
sampailah sang Kili Suci di ibukota Kadiri, lalu masuk ke dalam
istana. Kedatangannya segera dipersembahkan kepada sang
baginda.

Takzim dan hormat, baginda menghaturkan sembah kepada


sang Kili Suci.

Sang Kili Suci mengusap-usap kepala baginda. kemudian


mengangkatnya bangkit.

"Apakah gerangan sebabnya, maka Cucunda menitahkan


Nenenda datang secepat mungkin?" tanya sang Kili Suci setelah
beberapa saatnya berbicara tentang segala macam soal,
tentang kesehatan baginda dan mengenai kerajaan.

"Ampun hamba mohonkan, karena telah berani mengusik


Nenenda dari kehusyuan bertapa...," sahut baginda.

"Cucunda telah mengusik Nenenda dari petapan, tentu lantaran


ada suatu soal besar yang mesti dipecahkan. Karena itu
sebaiknya, cepat Cucunda sampaikan kepada Nenenda, apakah
gerangan soal yang mesti dipecahkan itu?"

Maka sang baginda Jayawarsya pun lalu mempersembahkan


halnya. Baginda mengenangkan sang Kili Suci kepada perjanjian
60
yang dahulu diadakan antara Kadiri dan Janggala tentang
maksud menikahkan putra mahkota Janggala dengan putri
mahkota Kadiri. Sang Kili Suci tahu akan perjanjian itu, maka ia
pun teringat akan halnya. Tatkala mendengar bahwa Raden
Panji sudah menikah dengan orang lain Kili Suci termenung, dan
dari matanya nampak bahwa ia terkenang masa kecil, tatkala
ayahanda masih berat tatkala kerajaan belum terpecah dua.

"Jadi apakah yang sekarang hendak kita perbuat?" akhirnya


sang Kili Suci bertanya setelah sang baginda selesai
mempersembahkan semuanya.

Matanya yang jernih itu menatap baginda seakan-akan hendak


mengajuk ke dalam hati sanubari baginda.

Maka baginda segera berterus terang. "Hamba merasa terhina


dan menganggap kehormatan kerajaan Kadiri hanya mungkin
dibela dengan mengangkat senjata. Tetapi mengingat bahwa
antara Kadiri dengan Janggala ada pertautan yang lebih erat,
maka hamba meminta nasihat Nenenda yang bijaksana. Apakah
yang sepatutnya Cucunda perbuat sekarang?"

Kili Suci mengangguk-anggukkan kepala. "Jangan terburu nafsu.


Siapkan wadia-bala untuk keperluan lain. Tentang pernikahan

61
Raden Panji, biar akan Nenenda periksa sendiri ke Janggala.
Sekalian Nenenda hendak menyambangi cucunda Prabu
Jayantaka yang sudah lama tidak Nenenda jenguk. Nenenda
hendak menanyakan duduknya perkara yang lebih jelas. Kelak
kalau semuanya sudah terang-benderang pasti Nenenda akan
kembali lagi ke mari."

Dan selesai membicarakan soal-soal yang ada sangkutan


dengan kerajaan.

Sang Kili Suci bertanya. "Manakah putrinda Dewi Sekar Taji?


Tentu ia sekarang sudah besar! Sudahkah ia mendengar kabar
mengenai pernikahan Raden Panji? Baiklah hal itu jangan
disampaikan dahulu kepadanya! Tentu akan sedih hatinya."

Setelah menemui dan bercakap-cakap dengan permaisuri, Dewi


Sekar Taji dan saudara-saudaranya yang lain, sang Kili Suci
segera meminta diri. Ia hendak langsung menuju ke Janggala.
Betapapun baginda mencegah, ia memaksa juga pergi. Sang Kili
Suci berjalan ke arah timur laut dengan cepat. Ia maklum akan
pentingnya perkara. la tidak ayal. Hampir dua minggu kemudian
sampailah ia ke Kahuripan, ibukota Janggala, lalu menuju ke
keraton. Terkejut sang baginda Jayantaka demi mendengar
persembah tentang kedatangan sang Kili Suci. Maka bangkitlah
62
baginda buru-buru, memburu menyembah sang pertapa agung
itu.

"Nenenda! Angin apakah gerangan yang telah membawa


Nenenda ke mari? Telah lama nian Nenenda tidak datang! Dan
hamba sendiri telah lama pula tidak berkunjung kepada
Nenenda, maklum-lah suasana dalam keraton sangat sibuk,
banyak hal-hal yang meminta perhatian hamba sepenuh hati."

Sang Kili Suci tersenyum. Dengan tangan kanan ia merestui


baginda, lalu menyilakannya bangkit.

"Ya, telah lama nian Nenenda tidak datang kemari.


Bagaimanakah kabar orang-orang di seluruh Janggala. Baik-baik
saja?"

"Berkat restu Nenenda, kami sekalian berada dalam sehat, tidak


kurang suatu apa."

"Dan bagaimanakah keadaan cicitda Raden Panji? Tentu telah


makin pandai menunggang kuda dan mempermainkan senjata!
Dan Nenenda dengar ia suka pergi mengunjungi para petapa.
Mengapa ia jarang benar pergi ke Pucangan akan menemui
buyutnya?"

63
"Ampun Nenenda!" sahut baginda. "Raden Panji memang jarang
berada di keraton. Ia tak jemu-jemunya mengembara dari
petapan yang satu ke petapan yang lain. Tetapi kini, ia tentu
akan menetap di kaputran, karena ia sekarang telah beristri ..."

Sang Kili Suci pura-pura terkejut. "Beristri? Dengan Dewi Sekar


Tajikah ia nikah? Mengapa dalam pernikahan itu Nenenda tidak
diundang? Bukankah Nenenda turut menyaksikan kedua
cucunda tatkala mengadakan perjanjian mempertunangkan
kedua putra mahkota?"

Sang baginda menundukkan wajah. "Ampun Nenenda! Raden


Panji bukannya menikah dengan putri mahkota Kadiri, Dewi
Sekar Taji..."

"Apa? Bukan dengan Dewi Sekar Taji? Jadi dengan siapa?


Bukankah Raden Panji sudah dipertunangkan dengan Dewi
Sekar Taji sejak masih kecil? Bukankah hal itu telah dijanjikan
Cucunda dengan baginda Kadiri?"

Baginda Jayantaka termenung. Ia menengokkan wajahnya ke


arah lain, seolah-olah menghindari pandangan Sang Kili Suci
yang menatapnya tajam-tajam.

64
"Sesungguhnya!" sahutnya kemudian dengan suara rendah.
"Sesungguhnyalah apa yang Nenenda sabdakan! Raden Panji
telah dipertunangkan sejak masih kecil dengan Dewi Sekar Taji -
putri mahkota Kadiri ..."

"Tetapi ia kini menikah dengan orang Iain? Siapa nama istrinya


itu?"

"Dewi Anggraeni."

"Dewi Anggraeni? Nama yang indah! Tentu wajahnya pun jelita,


karena niscaya itulah yang telah menyebabkan Raden Panji
memilihnya. Putri siapakah ia gerangan?"

"Dia bukanlah seorang putri raja, melainkan seorang keturunan


biasa saja, yang dijumpai Raden Panji disebuah petapan. Raden
Panji menikah dengan Dewi Anggraeni tanpa setahu hamba ..."

"Jadi menikah dengan diam-diam?"

"Dengan diam-diam. Sehingga, ketika hamba mendengar berita


mengenai pernikahan itu, gundahlah hati hamba. Hamba teringat
akan perjanjian dengan Rayinda Prabu Jayawarsya dari Kadiri.
Kalau Rayinda mendengar hal pernikahan ini, tentu murka.

65
Hamba kuatir lantaran hal ini Rayinda Prabu Jayawarsya akan
sakit hati.."

Sang Kili Suci merenung. Sebagai seorang yang bijaksana,


segera ia mengerti keadaan yang dihadapi oleh prabu
Jayantaka.

"Sebenarnya, Cucunda, Nenenda sekarang datang adalah


dalam hubungan dengan hal itu," sabdanya kemudian.

Sang baginda mengangkat wajah, memandang kepada sang Kili


Suci. "Jadi sesungguhnya Nenenda sudah tahu? Jadi Nenenda
sebenarnya sudah mendengar kabar pernikahan Raden Panji?"

"Demikianlah halnya."

"Memang, tak mungkin disembunyikan lagi. Orang-orang tahu


akan perjanjian yang kami ikat, dan karena itu pernikahan Raden
Panji sekarang juga tentu akan mereka besar-besarkan. Ah, dari
siapakah Nenenda mendengar berita itu?"

Berkata sang Kili Suci, "Dari Prabu Jayawarsya, raja Kadiri."

Sang baginda terkejut bukan buatan.

66
"Dari Rayinda Prabu Jayawarsya? Jadi Rayinda Prabu pun
sudah mengetahuinya? Dan bagaimanakah sikapnya? Murkakah
dia?"

"Ah, kalau pun murka sudah sepatutnya, tetapi sesungguhnya


Nenenda mendengar berita itu dari Prabu Jayawarsya, karena
Nenenda dipanggil menghadap ke Kadiri. Baginda sangat
murka. Bahkan telah dititahkannya untuk memepak wadia bala,
hendak menyerang Janggala. Tetapi Prabu Jayawarsya,
seorang yang berhati luas; baginda ingin mengetahui
bagaimanakah pendirian Cucunda di sini. Lagi pula berperang
antara sesama saudara tidakIah terpuji. Nenenda dikirim ke mari
oleh baginda, untuk mengingatkan Cucunda akan perjanjian
yang telah sama-sama Cucunda adakan mengenai pertunangan
Raden Panji putra mahkota Janggala dengan Dewi Sekar Taji
putri mahkota Kadiri."

"Sungguh luas hati Rayinda Prabu Jayawarsya!" sahut baginda.


"Tetapi lebih bijaksana pula Nenenda yang telah sudi bercapai-
lelah untuk menemui cucunda berdua."

"Tak usah Cucunda berkata seperti itu," potong Kili Suci. "Yang
penting sekarang, bagaimanakah hal pertunangan Raden Panji
dengan Dewi Sekar Taji?"
67
"Ampun Nenenda!" sembah sang baginda. "Janji yang telah
diadakan seorang raja adalah ibarat hujan yang takkan mungkin
dikembalikan ke langit yang menurunkannya. Apa yang sudah
menjadi perjanjian antara Janggala dan Kadiri, tidak menjadi
batal."

"Tetapi Raden Panji sudah menikah!"

"Raden Panji menikah, bukan berarti bahwa pertunangannya


dengan Dewi Sekar Taji putus."

"Namun pertunangan mesti diakhiri oleh pernikahan, Cucunda!


Maka pertunangan Raden Panji dan Sekar Taji juga akan
diakhiri dengan pernikahan. Dan bagaimanakah halnya
pernikahan Raden Panji dengan Dewi Anggraeni, Cucunda?"

"Pernikahan Raden Panji dengan Dewi Anggraeni tidak berarti


bahwa Anggraeni yang akan menjadi permaisuri. Permaisuri
Raden Panji telah ditetapkan: Dewi Sekar Taji, putri mahkota
Kadiri!"

Sang Kili Suci mengangguk-anggukkan kepala.

"Sang Prabu Jayawarsya kuatir, kalau pernikahan Raden Panji


dengan Dewi Anggraeni itu dilakukan dengan sengaja untuk
68
memutuskan pertunangannya dengan Dewi Sekar Taji. Kalau
benar demikian, itu dianggapnya sebagai penghinaan.
Penghinaan akan martabat dan kehormatan Kadiri."

"Pernikahan itu sama-sekali tidak dilangsungkan untuk


menghina Kadiri ataupun Rayinda Prabu Jayawarsya."

"Sukurlah. Dengan demikian persoalan menjadi jelas, dan


kepada Prabu Jayawarsya akan Nenenda sampaikan, bahwa
pernikahan Raden Panji dengan Dewi Anggraeni tidak
mempengaruhi perjanjian yang pernah Cucunda berdua adakan
dahulu. Raden Panji akan menikah dengan Dewi Sekar Taji
sebagai permaisuri. Dan cita-cita agung serta luhur untuk
mempersatukan kerajaan di bawah satu tampuk akan
dilaksanakan."

"Demikianlah adanya."

"Tetapi Nenenda lihat sekarang, baik Dewi Sekar Taji maupun


Raden Panji, kedua-duanya sudah sama-sama dewasa.
Pernikahan sudah patut dilangsungkan. Apakah lagi yang
ditunggu? Apakah lagi yang dinanti?"

"Ampun Nenenda. Hamba melihat bahwa Raden Panji sekarang


berat benar kepada istrinya Dewi Anggraeni. Hamba kuatir,
69
kalau sekarang juga mereka berdua dipisahkan, akan terbit
akibat yang sama-sekali tidak kita harapkan. Hamba memohon
kesudian Nenenda, supaya menyampaikan kepada Rayinda
Prabu Jayawarsya, bahwa pernikahan Raden Panji dengan Dewi
Sekar Taji sebaiknya dilangsungkan pada hari Legi yang kedua
bulan yang pertama tahun yang akan datang."

"Tahun yang akan datang?"

"Ya, saat itu adalah saat yang sebaik-baiknya buat pernikahan.


Dihitung sejak sekarang, waktunya masih kurang lebih empat
bulan lagi."

"Empat bulan lagi. Hari Legi yang kedua pada bulan yang
pertama tahun yang akan datang."

"Itulah saat pernikahan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji


yang hamba anggap sebaik-baiknya. Tetapi pabila Rayinda
Prabu Jayawarsya menganggap saat itu kurang tepat dan
memilih saat yang lain, hamba akan menurut saja."

"Baiklah. Semuanya akan Nenenda sampaikan kepada Prabu


Jayawarsya di Kadiri."

70
Kemudian sang Kili Suci menemui permaisuri dan cicit-cicitnya
akan bercengkrama dengan mereka.

Raden Panji dipanggil, diberitahu tentang kedatangan buyutnya


itu. Maka ia pun datang menghadap bersama istrinya, Dewi
Anggraeni.

Tatkala sang Kili Suci melihat Dewi Angraeni, terkesiaplah ia.

Alangkah cantiknya gadis itu! Tak kalah oleh Dewi Sekar Taji!
Dan lihat, wajahnya yang segar itu bagaikan belahan pinang
laiknya dengan Dewi Sekar Taji! Alangkah sama keduanya!
Lebih-lebih tatkala melihat tingkah lakunya yang sopan santun
dan sangat penuh hormat, senang benar sang Kili Suci. Ia
mengangguk-anggukkan kepala, sedangkan dalam hati ia
berkata, "Patutlah Raden Panji memilihnya sebagai istri. Tak
salah penglihatannya! Dewi Anggraeni seorang putri yang jarang
bandingannya!"

Tetapi sepatah pun ia tidak berkata tentang Dewi Sekar Taji di


depan Raden Panji. la banyak berbicara dengan Raden Panji,
terutama mengenai agama dan hidup. Sebagai seorang yang
sudah lanjut usianya dan sudah kenyang bertapa, ia banyak

71
memberi petunjuk dan nasihat. Dan Raden Panji menyimakkan
dengan penuh hidmat akan segala perkataan sang Kili Suci.

Setelah tiga malam sang Kili Suci beristirahat di dalam keraton


Janggala, maka ia pun meminta diri.

Dengan hati berat seluruh keraton melepaskannya pergi. Mereka


tahu, orang sebagai sang Kili Suci takkan merasa betah tinggal
dalam kesibukan istana.

Tetapi sang baginda Jayantaka berpikir lebih jauh: Makin cepat


sang Kili Suci menyampaikan pesannya kepada Rayinda Prabu
Jayawarsya, makin senang hatinya. Ia akan merasa dunia
kembali luas dan hatinya lega.

Sang baginda Jayawarsya pun setelah mendapat penjelasan


secara panjang lebar dari sang Kili Suci, senang hatinya.
Amarahnya lenyap, meski ia merasa tersinggung juga oleh
pernikahan Raden Panji itu. Namun lantaran hal itu tidak
mempengaruhi perjanjian yang telah mereka buat bersama-
sama, hendak dilupakannya saja. Baginda menyetujui waktu
yang telah dipilih oleh Rakanda Prabu Jayantaka sebagai saat
yang sebaik-baiknya untuk pernikahan putrinda.

72
Setelah semuanya nampak beres, maka sang Kili Suci meminta
diri akan kembali ke petapannya yang tenang, nun di Pucangan.
Sia-sia saja usaha sang baginda untuk menahannya lebih lama.
Sang petapa telah merindukan kedamaian petapannya.

Waktu terus berlalu. Hari telah bergulung menjadi minggu, dan


minggu melipat jadi bulan. Saat yang ditentukan oleh sang
baginda Prabu Jayantaka Tunggadewa untuk pernikahan Raden
Panji dengan Dewi Sekar Taji makin mendekat jua. Enam
minggu menjelang waktu yang ditetapkan. datang utusan dari
Kadiri memperingatkan baginda akan hal itu dan meminta
baginda untuk mengadakan persiapan-persiapan. Pernikahan
akan berlangsung di Kadiri, karena itu harus ditetapkan kapan
Raden Panji mesti dijemput. Lantaran kedatangan utusan Kadiri
itu, sang baginda Jayantaka segera menitahkan menghadap
kepada para pejabat dan tetua negara. Para utusan ditempatkan
di sebuah pesanggrahan yang baik.

Sementara menunggu hasil penindingan, Raden Panji Kuda


Waneng Pati dipanggil dari peristirahatannya yang mungil dan
yang terletak agak jauh dari Kahuripan ibukota Janggala. Dia
hidup tentram di sana bersama dengan istri yang dia cintai
sepenuh hati. Tetapi titah nampak penting, Raden Panji segera
berangkat akan menghadap, sendirian saja. Dan memang
73
demikian yang dikehendaki baginda. Kecuali Raden Panji, para
putra baginda yang Iain juga nampak datang. Tumenggung
Braja Nata duduk di barisan paling depan. Setelah semuanya
lengkap menghadap, maka baginda masuk ke balairung. Dan
setelah selesai menerima sembah, baginda segera membuka
persidangan.

"Andika sekalian sekarang diminta datang, bukan pada waktu


yang biasa! Tentu pada diri andika pun timbul pertanyaan dan
sangkaan yang merusuhkan hati. Baiklah, dengan singkat kami
terangkan, bahwa andika sekarang kami titahkan menghadap
adalah berhubungan dengan datangnya utusan Rayinda sang
Prabu Jayawarsya dari Kadiri. Seperti andika masih ingat, kami
dengan Rayinda Prabu Kadiri telah mengikat suatu perjanjian,
yang didasarkankepada suatu cita-cita yang agung, yakni
hendak mewujudkan kembali jerih payah usaha moyang kami
sang Airlangga. Kadiri dan Janggala hendaknya bersatu di
bawah suatu tampuk pemerintahan. Asal kedua kerajaan ini
dahulu satu, maka sepatutnya kalau kelak pun dibawah
pemerintahan putra-putra yang akan datang dari perkawinan
yang kami janjikan itu akan bersatu pula. Perjanjian itu dahulu
dilakukan dengan mempertunangkan putra mahkota Janggala
Raden Panji Kuda Waneng Pati dengan putri mahkota Kadiri

74
Dewi Sekar Taji. Ketika dipertunangkan keduanya masih sama-
sama kecil, sama-sama kanak-kanak. Tetapi sejak itu waktu
telah berlalu, dan kini keduanya telah dewasa. Bahkan Raden
Panji..." baginda menoleh ke arah putranda.

Raden Panji duduk bersila menundukkan wajah, seakan-akan


tidak mengetahui arti pandangan ayahanda.

"Raden Panji Kuda Waneng Pati!" seru baginda kemudian


kepada Raden Panji.

"Hamba, Gusti!" sahut Raden Panji.

"Kemarin telah datang utusan dari mamandamu di Kadiri akan


menanyakan pernikahan Ananda dengan Dewi Sekar Taji.
Dahulu kami telah menjanjikan kepada mamandamu itu, bahwa
pernikahan akan berlangsung pada hari Legi kedua bulan
pertama tahun yang akan datang. Sekarang tinggal enam
minggu lagi. Waktunya telah dekat. Utusan dari mamandamu
menanyakan kapan engkau bisa dijemput, karena pernikahan
hendak dilangsungkan di Kadiri!"

Raden Panji Kuda Waneng Pati menghaturkan sembah, "Ampun


Gusti, tetapi hamba telah beristri..."

75
"Kami tahu, engkau telah beristri dengan Dewi Anggraeni, tetapi
ia bukanlah jodohmu yang setimpal!" sabda baginda.

"Ampun Gusti, tetapi Gusti telah merestui pernikahan kami,"


sembah Raden Panji Kuda Waneng Pati.

"Pernikahan dengan Dewi Anggraeni kau lakukan secara diam-


diam, tak setahu kami. Hal itu telah menunjukkan bahwa dalam
dirimu pun tumbuh kesadaran, bahwa perbuatan seperti itu
adalah suatu kekeliruan, suatu kesalahan. Namun kami restui
juga pernikahan engkau berdua, karena ketika itu kami melihat,
bahwa nafsumu tak mungkin dipadamkan. Kini waktu telah
berlalu, nafsu tentu sudah mengendur, dan sepatutnya engkau
teringat akan kewajibanmu terhadap tunangannmu Dewi Sekar
Taji."

"Yang menyebabkan hamba menikah dengan Dewi Anggraeni,


sekali-kali bukan nafsu, Gusti. Adalah cinta yang suci serta luhur
yang menyebabkan hamba berani menempuh hal yang Gusti
anggap kekeliruan ..."

Sang baginda mendengus. "Cinta yang suci! Cinta yang luhur!"


terdengar baginda tertawa meleceh.

"Raden Panji Kuda Waneng Pati!"


76
"Ampun Gusti!" sahut Raden Panji.

"Kau berbicara dengan ayahmu, tak usah kau mengajari ayahmu


tentang cinta suci atau tak suci. Yang penting sekarang kita
bicarakan ialah pernikahanmu dengan Dewi Sekar Taji. Kau
telah dipertunangkan dengan dia sejak masih kanak-kanak, kini
tiba saatnya pertunangan diakhiri dengan pernikahan!"

"Ampun Gusti! Tetapi pertunangan itu diadakan tanpa


persetujuan dan pengetahuan hamba."

"Kau pun menikah dengan Dewi Anggraeni tanpa


sepengetahuan dan persetujuan kami!"

"Tetapi hambalah yang menikah. Hamba yang mengalami pahit


manis serta suka-dukanya. Hamba sendiri. Ampun Gusti."

"Raden Panji Kuda Waneng Pati!"

"Daulat Gusti!"

"Dengan singkat, maukah kau menikah dengan Dewi Sekar


Taji?"

"Ampun Gusti! Hamba sudah beristri!"

77
"Dewi Anggraeni bukan seorang keturunan raja, ia boleh terus
menjadi istrimu, tetapi Dewi Sekar Taji yang kelak akan menjadi
permaisuri!"

"Ampun Gusti! Dewi Anggraeni mesti menduduki tempat kedua?


Sebagai selir? Sebagai istri kedua? Dewi Anggraeni adalah cinta
hamba, hidup hamba. Hamba tidak sanggup menempatkannya
di samping orang lain. Jangankan pula menempatkannya
sesudah orang lain"

"Jadi kendati pun hanya menggeser kedudukannya saja, engkau


menolak?"

"Ampun Gusti!"

Baginda murka, nampak jelas dari wajahnya yang menjadi


muram dan membesi terbakar,sedangkan giginya nampak
digigitkan erat-erat. Tangannya memukul-mukul paha kanan.

"Raden Panji!"

"Daulat Gusti."

"Selama ini engkau tidak pernah menunjukkan kelakuan yang


kurang sopan. Engkau seorang anak yang baik, yang senantiasa

78
mengikuti segala perkataan orangtuamu. Tetapi, ya, memang
sejak masih kecil, sudah kusaksikan sifatmu yang manja. Kau
seorang yang sangat manja. Kau ingin supaya segala
kehendakmu terlaksana. Engkau terlalu menurutkan hatimu
sendiri. Engkau sibuk dengan dirimu sendiri yang sempit, karena
yang senantiasa engkau pikir dan perhatikan hanyalah dunia
kecilmu, yang penuh dengan kehendak-kehendak perseorangan
yang serakah. Engkau sedikit pun tidak menaruh perhatian
kepada masalah yang lebih besar. Engkau tidak mau
memperhatikan masalah orang lain! Engkau tidak suka. Engkau
enggan! Karena kalau pun engkau memperhatikan orang lain,
hanyalah dari segi-segi kepentingan dirimu sendiri yang sempit."

Kemudian baginda melanjutkan pula, "Sekarang segala yang


dahulu kami kuatirkan terjadi. Engkau bersitahan dengan dirimu,
engkau tidak mau melepaskan istrimu, karena kau anggap itu
akan mengurangi kebahagiaanmu. Namun, sececah pun tidak
pernah kau perhatikan kebahagiaan orang lain kebahagiaan
manusia yang menjadi kawula dalam dua buah kerajaan!"

Raden Panji tidak menyahut.

79
"Raden Panji! Tidakkah kau sadari, bahwa pernikahanmu
dengan Dewi Sekar Taji akan membawa dua buah kerajaan ke
dalam gerbang kebahagiaan?"

"Ampun Gusti, bagi hamba kerajaan adalah sesuatu yang tidak


jelas. Apakah artinya kerajaan, karena hamba sendiri pun bagian
yang tak terpisahkan dari kerajaan Janggala!"

"Kerajaan adalah segala sesuatu yang hidup didalamnya.


Kerajaan bukanlah batas-batas, bukanlah sungai-sungai,
bukanlah gunung-gunung, tetapi manusia-manusia yang menjadi
kawulanya. Manusia-manusia itu yang mesti kau lihat. Manusia-
manusia yang sama seperti engkau, seperti istrimu, yang sama-
sama merindukan kebahagiaan dalam hidupnya."

Tetapi apakah benar kebahagiaan mereka itu tergantung dari


ketidakbahagiaan hamba, ampun Gusti?"

"Ketidakbahagiaanmu? Nyatalah, nyata bahwa engkau selalu


melihat sesuatu dari dirimu yang sempit, yang picik,yang
serakah. Engkau menyebutnya ketidakbahagiaan, padahal
sesungguhnya pengurbanan. Dan sebagai seorang putra
mahkota yang kelak memangku takhta kerajaan, engkau mesti
menganggap bahwa pengurbanan yang kau berikan untuk

80
kebahagiaan kawula negara dan untuk kemanusiaan umumnya,
adalah satu-satunya kebahagiaan. Makin besar pengurbanan
yang kau berikan, makin besar kebahagiaan yang kau dapat
Karena, kebahagiaan seorang raja adalah kalau ia telah bisa
meleburkan diri beserta kepentingan-kepentingannya yang
sempit untuk kebahagiaan kawula serta manusia yang mulia.

"Ampun Gusti, tetapi benarkah kawula kedua buah negara akan


lebih merasa berbahagia di bawah pemerintahan satu mahkota
daripada terpecah dalam dua mahkota?"

"Raden Panji! Tak usah engkau mencari-cari persembunyian


dalam silat lidah yang pintar. Yang kami minta bukanlah
kepintaranmu berkata melainkan kesediaanmu mengurbankan
kepentingan dirimu sendiri yang sempit demi kebahagiaan
kerajaan, untuk mencapai cita-cita yang luhur. Cita-cita yang
hendak mewujudkan kembali usaha moyangmu sang Airlangga!"

"Namun, bahkan sang Airlangga sendiri tidak berdaya, pada


akhir hayatnya baginda terpaksa membagi dua kerajaan ..."

"Itulah yang hendak kita persatukan kembali!"

"Empu Bharada telah membuatkan batas dan ia seorang yang


sakti."
81
"Kita akan melenyapkan kesaktian Empu Bharada. Kita hendak
menghapuskan batas yang dia bikin."

"Ampun Gusti, mengapa justru hamba yang dijadikan kurban


dalam usaha hendak menghapuskan kesaktian Empu Bharada?
Mengapa hamba yang mesti memberikan pengurbanan sebesar
itu"

"Tidak ada yang besar kalau kau telah sampai dalam arti Besar
yang sesungguhnya. Tak ada yang berat untuk dilakukan, kalau
kau mengerti ujud Berat yang sesungguhnya. Besar dan berat
hanyalah ukuran yang dibuat oleh manusia berdasarkan
perasaannya yang sempit itu. Kalau kau melihatnya dari
keluasan pandangan, dari kepentingan umat manusia yang
banyak, maka semuanya menjadi kecil dan tak berarti. Engkau,
Raden Panji, seorang yang sudah kenyang berguru dan bertapa
tentu akan mengerti tujuan hidupmu yang benar..."

"Ampun Gusti,dalam hidup hamba yang singkat, sering


kegelapan menutup seluruh pandangan. Meraba-raba hamba
terantuk-antuk mencari jalan. Tak ada cahaya yang memberi
petunjuk. Alam buana bagaikan tak bermatahari. Hingga ..
hingga sampai pertemuan hamba dengan Dewi Anggraeni.
Dialah yang memberi hamba sinar. Dialah yang menjadi pelita,
82
yang menjadi bintang, yang menjadi bulan,yang menjadi
matahari dalam hidup hamba. Karena itu, bagaimana mungkin
hamba menyisihkannya? Bagaimana mungkin hamba
menggesernya?"

"Tetapi Raden Panji engkau seorang putera mahkota yang


berhak atas takhta kerajaan Janggala. Tujuan hidupmu tidaklah
hanya sampai ke pangkuan Dewi Anggraeni belaka!"

"Ampun Gusti!"

"Sanggupkah engkau menghilangkan dirimu sendiri demi


kepentingan kebahagiaan kawula dua buah kerajaan.
Sangguplah engkau melenyapkan dirimu dan cintamu pada
Dewi Anggraeni untuk kebahagiaan manusia lain yang banyak
dan untuk kemanusiaan? Sanggupkah engkau meleburkan
dirimu sendiri demi kepentingan cita-cita yang agung serta luhur
dan suci? Sanggupkah engkau?"

"Ampun Gusti. Untuk menyisihkan Dewi Anggraeni, hamba . .


.hamba tidak sanggup." sahut Raden Panji Kuda Waneng Pati.

Sang baginda makin geram. Dari matanya bagaikan


berpancaran lelatu-lelatu api. Suasana dalam balairung sangat
tegang. Tak seorang pun yang berani mengangkat muka.
83
Mereka semua menunduk. Mereka mendengarkan dengan diam-
diam percakapan antara raja dengan putra mahkota. Tetapi
tatkala menyaksikan bahwa suasana sudah sampai ke puncak,
patih Prasanta yang tua, yang sejak masih muda
menghambakan diri kepada baginda Jayantaka Tunggadewa
dan menjadi salah seorang patih kepercayaan, dan menjadi
salah seorang guru putra mahkota, segera menghaturkan
sembah.

"Ampun Gusti, perkenankan hamba memberikan sepatah dua


kata..."

Sang baginda menolehkan wajahnya kearah sumber suara.

"Kakang Prasanta!" tegurnya. "Bicaralah'"

"Ampun gusti, perkenankan hamba berbicara kepada Raden


Panji."

"Baiklah, Kakang! Berbicaralah kepadanya"

Patih Prasanta mengarahkan mukanya kepada Raden Panji,


kemudian ia bicara dengan suara yang tenang. "Raden, istri
Raden Dewi Anggraeni adalah seorang yang luas
pandangannya. Ia tentu mengerti akan pentingnya pertunangan
84
Raden dengan Dewi Sekar Taji dilanjutkan dengan pernikahan.
Ia tentu akan dengan rela memberikan kedudukannya di
samping Raden kepada Dewi Sekar Taji yang memang lebih
berhak ..."

Raden Panji menolehkan wajahnya.

"Mamanda Patih Prasanta, Dewi Anggraeni seorang yang luas


pandangannya, memang! Memang tak mustahil ia akan dengan
rela memberikan tempatnya kepada Dewi Sekar Taji. Tetapi
hamba tidak mungkin menipu diri hamba sendiri. Hamba tidak
bisa membohongi diri hamba sendiri, hamba tidak mau
menyisihkan cinta hamba, tidak mau menggesernya untuk orang
lain!"

"Raden, tetapi kalau Raden menikah dengan Dewi Sekar Taji itu
bukan berarti bahwa Raden menyisihkan atau menggeser cinta
Raden. Raden hanya memenuhi kewajiban Raden sebagai
seorang satria yang sadar akan tanggung jawabnya. Raden
seorang putra mahkota. Putra mahkota kerajaan Janggala yang
jaya."

"Hamba tidak peduli. Mamanda Patih! Hamba tidak ingin menjadi


seorang satria, seorang putra mahkota! Mengapa hamba tidak

85
boleh hidup sebagai seorang manusia biasa yang boleh
mengecap kebahagiaan hidupnya secara sesuka hatinya,
menurut pilihan hatinya sendiri?"

"Karena kebahagiaan seorang putra mahkota atau seorang raja,


bukanlah dalam mengikuti kehendak hatinya tetapi dalam
pengabdiannya kepada kerajaan dan kawulanya."

"Hamba tidak menemui kebahagiaan dalam hidup seperti itu.


Mamanda Patih. Hamba tidak ingin hidup seperti itu. Hamba
tidak peduli apakah hamba seorang putra mahkota atau bukan,
seorang pangeran ataupun bukan. Ambillah kedudukan putra
mahkota itu, tetapi jangan usik Dewi Anggraeni dari samping
hamba!"

"Raden Panji Kuda Waneng Pati!" teriak baginda tatkala


mendengar perkataan putranda yang terakhir.

Raden Panji terkejut, segera menghaturkan sembah, "Daulat


Gusti!"

"Engkau berbicara seperti orang yang tidak waras...!" baginda


tertegun sejenak, perkataannya
terpotong, lalu menoleh kepada patih Prasanta.

86
"Kakang Prasanta."

"Daulat Gusti!"

"Sudahlah! Tak ada gunanya Kakang berbicara pula. Raden


Panji memang sudah tak mau berpisah dengan Dewi Anggraeni.
Selama ada Dewi Anggraeni agaknya Raden Panji takkan sudi
memikirkan hal yang lain kecuali cintanya itu saja. Karena itu...,"
baginda termenung sejenak, baru kemudian melanjutkan dengan
suara yang berubah, "biarlah! Tak usahlah hal itu kita bicarakan
lagi. Raden Panji, bukankah engkau merasa berat menikah
dengan Dewi Sekar Taji lantaran disampingmu ada Dewi
Anggraeni yang kau cintai sepenuh hati?"

"Daulat Gusti, demikianlah adanya."

Baginda merenung ke kejauhan. Meskipun berbicara dengan


Raden Panji, baginda tak melihat ke arah putranda.

Suasana dalam balairung tegang. Orang-orang merasa heran


lantaran mendengar suara baginda yang berubah, rendah dan
seolah-olah tidak menyala-nyala lantaran amarah seperti tadi,
namun terdengar-dengar gemetar, gugup dan gelisah.

87
Setelah sejenak hening, baginda bersabda pula dengan
suaranya yang gemetar serta gugup itu, "Raden Panji! Kami
hargai kebesaran cintamu kepada istrimu Dewi Anggraeni. Cinta
yang kau sebut cinta suci. Cinta yang telah menyebabkan
engkau rela kendati melepaskan kedudukanmu sebagai putra
mahkota!"

"Daulat Gusti," sembah Raden Panji dengan suara setengah


berbisik.

"Dewi Sekar Taji tak mungkin kau nikahi karena di sampingmu


ada Dewi Anggraeni, bukan?"

"Daulat Gusti."

Baginda menghela nafas pula. Matanya redup memandang ke


kejauhan. Dan wajahnya bagaikan berkeras hati hendak
mengambil keputusan yang sangat berat namun terpaksa.

"Tetapi, Raden Panji engkau pun tahu pertunanganmu dengan


Dewi Sekar Taji telah diresmikan. Perjanjian telah diadakan
antara dua kerajaan."

Raden Panji tidak menyahut, hanya menghaturkan sembah


tanda ia mengetahui apa yang disabdakan baginda. Suara
88
baginda tiba-tiba berubah, memaksakan diri supaya tegas dan
hendak mengambil keputusan, kemudian bersabda dengan
suara yang angker lagi.

"Raden Panji, engkau masih ingat beberapa waktu yang lalu


sang Kili Suci datang mengunjungi kita, bukan?"

"Daulat Gusti."

"Tetapi engkau barangkali tidak tahu, bahwa kedatangan sang


Kili Suci itu adalah bersangkutan dengan pernikahanmu dengan
Dewi Sekar Taji."

"Ampun Gusti, hamba tidak tahu."

"Karena sekarang kau telah pasti tak mau menikah dengan Dewi
Sekar Taji, selama Dewi Anggraeni ada di sampingmu, maka
kami titahkan engkau sekarang juga menghadap kepada sang
Kili Suci. Sampaikan halmu kepadanya dan sampaikan takzim
serta sembah kami."

Raden Panji bingung. Ia sia-sia mengikuti arah pembicaraan


ramanda. Ia tidak mengerti arah percakapan ramanda. Tetapi
dengan disebutnya sang Kili Suci, hatinya terbuka. Sang pertapa

89
yang arif itu tentu maklum akan cintanya yang besar kepada
Dewi Anggraeni. Sang pertapa itu tentu akan menolongnya.

"Daulat Gusti," sembahnya dengan suara sarat harap.

"Nah, berangkatlah engkau sekarang jua ke Pucangan.


Sampaikan semuanya. Dan mintalah engkau nasihat sang Kili
Suci, entah bagaimana nasihatnya untuk memecahkan halmu
itu."

"Ampun Gusti, titah hamba junjung. Tetapi dengan demikian,


apakah persoalan pernikahan telah dianggap selesai?"

Baginda melengos. "Kami menitahkanmu ke Pucangan, untuk


meminta nasihat sang Kili Suci mengenai hal ini. Mudah-
mudahan ia menunjukkanmu jalan yang sebaik-baiknya
ditempuh. Mudah-mudahan ia maklum akan keadaan dan
kehendakmu dan memberimu petunjuk ke jalan yang benar.
Berangkatlah segera."

"Hamba akan berangkat sekarang juga, tetapi perkenankan


sebelum langsung menuju ke Pucangan, hamba pulang dahulu
akan mengabarkan keberangkatan hamba kepada istri hamba
Dewi Anggraeni."

90
"Mengingat bahwa persoalan ini penting, dan kepada utusan dari
Kadiri yang sekarang sedang menanti keputusan, kita mesti
memberi jawaban secepat mungkin, kutitahkan engkau langsung
menuju ke Pucangan. Makin cepat makin baik. Mengenai
istrimu, tak usah kau merasa kuatir.Keberangkatanmu akan
dikabarkan juga kepadanya oleh salah seorang saudaramu."

"Ampun Gusti, titah hamba junjung. Tetapi perkenankan hamba


meminta kawan buat di jalan."

"Tentu, tentu engkau mesti berkawan. Baiklah Kakang


Prasanta,Kakang kawani Raden Panji Kuda Waneng Pati ke
Pucangan. Kalau masih perlu, bawa beberapa orang ponggawa.
Pilihlah sesukamu."

"Titah hamba junjung," sahut Patih Prasanta sambil


menghaturkan sembah. "Ponggawa akan hamba pilih beberapa
orang, mengingat sekarang musim hujan, jalan ke Pucangan
tentu licin. Para ponggawa akan membawa kuda cadangan."

"Sesukamu, Kakang. Persiapan dan persediaan buat bekal di


jalan, kami percayakan kepada Kakang. Berangkatlah sekarang
juga."

"Daulat Gusti."
91
"Raden Panji."

"Ampun Gusti."

"Ingat, engkau mesti langsung menuju ke Pucangan, jangan


membelok atau singgah ke tempat lain dahulu."

"Ampun Gusti, hal itu akan hamba ingatkan."

"Sekarang berangkatlah segera."

"Hamba minta diri, mengharapkan restu Gusti selama dalam


perjalanan."

"Perjalalananmu untuk kepentingan kerajaan, menyangga titah


raja, kami restui."

Setelah menghaturkan sembah, Raden Panji bersama Patih


Prasanta segera mengundurkan diri dari balairung.

Sejenak dibagian belakang balairung terdengar hiruk-pikuk.


Beberapa nama ponggawa disebut, akan dibawa ke Pucangan,
mengawani putra mahkota yang hendak mengunjungi sang Kili
Suci. Persiapan-persiapan segera diadakan, kemudian
terdengar suara ringkik kuda yang makin lama makin menjauh.

92
Sementara terjadi kesibukan itu, sang baginda duduk di atas
singgasana, dengan kepala tertunduk, kening berkerut. Dari
wajahnya nampak seolah-olah telah mengambil suatu keputusan
yang berat, lelah dan payah. Nafasnya turun-naik, kelihatan dari
gerakan-gerakan teratur punggungnya. Suasana dalam
balairung hening. Tak seorang pun berani mengganggu baginda
yang kelihatan sedang asyik berpikir.

Akhirnya baginda mengangkat kepala. Wajahnya nampak keruh


seolah hatinya dibebani sebuah gunung. Sebelum bersabda,
terlebih dahulu baginda mengusap wajahnya dengan kedua
belah telapak tangan.

"Tumenggung Braja Nata!" sabdanya kemudian.

"Daulat Gusti!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan hati


kebat-kebit, terpengaruh oleh suasana yang menekan, suaranya
perlahan.

"Tumenggung Braja Nata!" baginda mengulangi sabdanya


dengan suara naik tiba-tiba.

"Daulat Gusti!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan suara


lebih keras. "Patik menanti titah Gusti."

93
Sejenak baginda melihat kearah Tumenggung Braja Nata, tetapi
kemudian segera mengalihkan pandangannya pula ke kejauhan.

"Engkau sejak tadi memperhatikan apa yang terjadi di sini,


bukan? Engkau memperhatikannya?"

"Daulat Gusti!"

"Engkau mengerti apa sebabnya maka Raden Panji kutitahkan


ke Pucangan?"

"Ampun Gusti, untuk menemui sang Kili Suci!"

Baginda tertawa hambar. "Tidak! Bukan itu maksudku yang


sebenarnya. Titahku agar dia menghadap keadilan, Kili Suci
hanya agar mempermudah maksud yang sesungguhnya.
Tahukah kau apa maksudku yang sesungguhnya?"

"Ampun Gusti, hamba kurang tahu."

"Titah kami kepada Raden Panji hanya mempermudah jalan


untuk maksud yang sesungguhnya...," baginda berhenti sejenak.

"Dan maksud yang sesungguhnya itu akan kami bebankan di


atas bahumu."

94
"Ampun Gusti, bagi hamba belum jelas juga titah itu. Selama
hayat dikandung badan, hamba akan berusaha melaksanakan
segala titah gusti, meski mesti menempuh lautan api ataupun
gunung braja."

Baginda menghela nafas.

"Demikianlah hendaknya semangat seorang satria. Satria


Janggala yang tahu akan kewajibannya," baginda bersabda
pula.

"Tetapi tugasmu bukanlah menempuh lautan api ataupun


menerjang gunung braja, melainkan ..." baginda berhenti pula
sejenak.

"Tidak, bukan itu titah yang akan kami bebankan kepadamu,


melainkan ..." sang baginda menghunus keris yang tersandang.

Baginda mengamati matanya yang tajam dan ukiran-ukiran nya


yang indah.

"Tumenggung Braja Nata. kau lihatkah keris ini telanjang, tak


bersarung?"

95
Tumenggung Braja Nata tidak mengerti makna pertanyaan
ayahanda, tetapi ia menyahut juga, "Daulat Gusti."

"Keris ini keris pusaka, yang selalu dipakai oleh setiap raja
Janggala. Dari Nenenda ia turun kepada Ayahanda dan
sekarang ia ada pada kami. Umurnya sudah tua. Tetapi ia masih
indah dan masih baik. Jarang empu yang pandai membuat keris
sebagus ini," lalu baginda menjentikkan telunjuknya kepada
ujung keris, bunyinya nyaring 'cring-cring-cring' menggema
diseluruh balairung yang seperti mati. Orang-orang dengan
heran mengawasi kelakuan raja mereka dengan diam. Mata
mereka terbuka lebar, kuatir sesuatu terjadi tanpa mereka
saksikan.

"Dengar, suaranya sangat nyaring. Sungguh keris yang jarang


tandingnya! Hmmmh, ia kini telanjang, tak bersarung, perlu
mendapat sarung baru!"

Kemudian baginda menatap Tumenggung Braja Nata.

"Tumenggung Braja Nata! Kepadamulah tugas untuk memberi


sarung baru keris ini terpikul!"

Tumenggung Braja Nata tidak mengerti akan ujud perkataan


baginda.
96
Tadi baginda akan menitahkannya melaksanakan titah yang
berat, tetapi ternyata titah itu cuma mencari sarung baru buat
keris pusaka! Meskipun keris itu keris pusaka, namun perkara itu
agaknya tidak begitu penting kalau mengingat soal yang sejak
tadi dibicarakan. Ia tidak mengerti. Ia samasekali tidak mengerti.
Tetapi menolak titah iapun tidak berani.

"Daulat Gusti, titah hamba junjung diatas kepala patik,"


sembahnya.

"Kami ingin agar segera dilaksanakan sekarang juga!" sabda


baginda tegas.

"Daulat Gusti," sahut Tumenggung Braja Nata. "Tetapi empu


manakah yang berkenan dengan hati Gusti untuk memberi
sarung baru buat keris pusaka kerajaan Janggala itu?"

Baginda menatap Tumenggung Braja Nata.

"Tumenggung Braja Nata!" sabda baginda keras-keras.

"Daulat Gusti!"

"Bukankah engkau tadi mendengarkan apa yang kami sabdakan


dalam balairung ini? Bukankah engkau tadi mendengarkan

97
percakapan kami dengan Raden Panji Kuda Waneng Pati
mengenai pernikahannya dengan Dewi Sekar Taji?"

"Daulat Gusti!"

"Engkau mengerti?"

"Hamba, ham . . . hamba mengerti, Gusti!"

"Nah, kalau engkau mengerti, maka pergilah engkau sekarang


mencari sarung baru buat keris pusaka kerajaan Janggala ini!
Demi kelangsungan cita-cita luhur sang Airlangga! Berangkatlah
sekarang juga!"

"Ampun Gusti, tetapi bagaimanakah bentuk sarung baru yang


Gusti kehendaki, seperti yang lama sajakah atau ...?"

"Tumenggung Braja Nata!" potong sang baginda.

"Daulat Gusti!"

"Benar-benarkah engkau mengerti akan maksud kami? Benar-


benarkah engkau menyimakkan segala sabda kami kepada
Raden Panji? Benar-benarkah engkau mengerti akan segala apa
yang kau dengar tadi di sini?"

98
"Daulat Gusti!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan tak
mengerti.

"Kau sadar akan arti persatuan Janggala dan Kadiri untuk


mewujudkan cita-cita agung moyangmu sang Airlangga?"

"Daulat Gusti."

"Satu-satunya jalan mencapai cita-cita yang agung itu adalah


dengan menikahkan Raden Panji Kuda Waneng Pati dengan
putri mahkota Kadiri Dewi Sekar Taji. Kau mengerti?"

"Hamba. Gusti."

"Tetapi untuk sampai pada pernikahan itu ada rintangan. Raden


Panji Kuda Waneng Pati tidak mungkin menikah dengan Dewi
Sekar Taji kalau disampingnya ada istri yang sangat dicintainya,
Dewi Anggraeni. Rintangan mesti dihilangkan, supaya jalan
menuju cita-cita yang luhur serta agung tidak terganggu. Pada
pundakmulah kami bebankan tugas untuk menghilangkan
rintangan itu. Terimalah keris pusaka yang tidak bersarung ini!
Dengan keris pusaka ini kau mesti menghilangkan rintangan
satu-satunya yang menghalangi kita mencapai tujuan yang
mulia, cita-cita yang tinggi. Sarung keris ini tak mungkin kau cari
pada empu siapa pun juga, betapa pun pandainya ia bertukang.
99
Ia mesti kau beri sarung dalam diri orang yang menjadi rintangan
bagi tercapainya cita-cita yang agung!"

Sehabis berkata-kata itu baginda terduduk di atas kursinya.


Giginya tergigit keras, seolah-olah menguat-nguatkan hati.
Kelihatan baginda sangat lesu dan letih. Keringat bermanik-
manik di dahinya.

Tumenggung Braja Nata juga terhenyak. la mengerti kini ujud


titah baginda: Dewi Anggraeni!
Dewi Anggraeni! Dewi Anggraenilah sarung baru keris pusaka
yang dimaksudkan ayahanda! Dewi Anggraeni menjadi
penghalang tercapainya cita-cita baginda untuk mempersatukan
Janggala dengan Kadiri! Dan penghalang itulah yang mesti
dimusnahkan! Jalan mesti direntas dari segala penghalang!
Jalan mencapai cita-cita mesti luas dan lurus! Dan ia, ia, ia,
Tumenggung Braja Nata mendapat tugas untuk merentas jalan
itu! Untuk menghilangkan segala penghalang! Untuk
melenyapkan segala rintangan! Untuk untuk ... untuk menjadikan
Dewi Anggraeni sarung baru bagi keris pusaka Janggala! Ia! Ia
mesti melakukan tugas itu! la bukan harus menerjang lautan api
atau mengalahkan sebuah kerajaan! Ia bukan dititahkan
menenang gunung braja atau menumpas pemberontakan! la
bukan dititahkan mengeringkan segara atau merebut sebuah
100
negara buat memperluas daerah! Tidak! Ia hanya dititahkan
untuk menghapuskan Dewi Anggraeni! Dewi Anggraeni! Ia tahu.
Dewi Anggraeni istri saudaranya. Raden Panji Kuda Waneng
Pati. Seorang yang cantik, halus, lemah lembut, sopan, ibarat
sebuah bunga!

Mengapa ayahanda tidak menitahkannya mengalahkan seekor


macan yang galak melainkan mematahkan setangkai bunga
yang sedang kembang? Dewi Anggraeni bagaikan setitik embun
yang bersih, yang dengan menyentuh pelan-pelan daun
tempatnya memercik akan jatuh ke muka bumi. Mengapa
ayahanda menitahkannya untuk menjatuhkan embun yang
cerlang ditimpa matahari pagi itu dan tidak menitahkannya saja
membendung kali Brantas yang besar? Ah, Dewi Anggraeni.
Dewi Anggraeni...

Tumenggung Braja Nata merasa tubuhnya menggigil. Hatinya


menjadi lemah dan jantungnya seakan-akan berhenti berdenyut.
la merasakan seluruh sendi-sendinya lesu tak bertenaga.
Bahkan seluruh tubuhnya terasa tak berdaya, tak berkekuatan,
hanya seonggok beban yang memberati jiwa.

"Tumenggung Braja Nata!" titah baginda pula.

101
Dengan tangan yang menggigil, Tumenggung Braja Nata
menghaturkan sembah. Suaranya pun gemetar. "Daulat Gusti!"

"Mengertikah kau sekarang? Tahukah kau sekarang akan tugas


yang kami bebankan di bahumu?"

"Da . . .daulat Gusti! Hamba ... ham ... hamba mengerti."

Baginda memberi titah pula. "Sekarang kau telah mengerti akan


tugasmu. Maka lakukanlah sekarang apa yang telah kau
mengerti itu."

"Tetapi ... tetapi Gusti. ham ... hamba ..."

"Tumenggung Braja Nata! Engkau seorang satria! Seorang


satria Janggala yang perwira! Engkau akan menjadi contoh bagi
sekalian satria Janggala! Keperwiraanmu akan menjadi teladan.
Untuk mencapai cita-cita yang agung, yang hasilnya akan
membawa kawula kerajaan, manusia ke gerbang kebahagiaan,
engkau mesti berani menghancurkan dirimu, perasaan-
perasaanmu sendiri yang sempit, melenyapkannya buat
kepentingan kebahagiaan umat manusia yang banyak! Engkau
mesti berani menghilangkan dirimu yang kecil, yang tak berarti
beserta lingkunganmu yang juga sempit! Engkau seorang satria,
engkau sejak kecil telah membaca kitab Mahabharata yang suci.
102
Engkau telah menyimakkan Bhagawad Gita, petua-petua Batara
Kresna terhadap Arjuna yang ragu. Demikianlah keadaanmu
sekarang! Engkau adalah Arjuna yang mesti melenyapkan
perasaan-perasaan persaudaraan yang sempit demi
kebahagiaan persaudaraan yang lebih luas. Engkau adalah
Arjuna yang mesti tidak gentar melawan Kaurawa yang masih
berasal dari satu turunan Bharata untuk membela kebenaran
dan cita-cita kemanusiaan yang mulia! Engkau ingat akan
nasihat Batara Kresna? Maka simakkanlah segala petua Sang
Wisynu itu dan tempatkanlah dirimu pada kedudukan Sang
Janaka!"

Sang Janaka! Ia, Tumenggung Braja Nata adalah sang Janaka


di Kurusetra! Sang Janaka yang mesti melenyapkan keragu-
raguan hatinya dan berbulat tekad untuk berkelahi dan
membunuh saudara-saudara, orangtua dan bahkan gurunya!
Namun alangkah canggung! Sang Janaka menghadapi musuh-
musuhnya, kebanyakan laki-laki di medan peperangan Kuru!
Musuh-musuhnya yang juga mempertahankan diri, melawan,
menyerang! Tetapi Dewi Anggraeni? Ia hanya seorang wanita!
Akan sampai hatikah ia berbuat kejam terhadap seorang wanita?
Seorang wanita yang takkan mungkin melawannya? Wanita
yang adalah istri tercinta saudaranya sendiri? Akankah sampai

103
hatinya? Tumenggung Braja Nata tertunduk. Ia tidak berani
menengadahkan pandangannya, kuatir berbentrok dengan sinar
mata ayahanda. Padahal sesungguhnya, tak usah hal itu dia
takuti, karena ayahanda sendiri selalu menghindarkan
pandangannya ke arah Iain.

Beberapa jenak suasana balairung hening dan tegang.

"Tumenggung Braja Nata! Ketahuilah, bahwa kami sendiri


hancur hati mengambil keputusan ini! Tetapi demi cita-cita
persatuan Janggala dan Kadiri yang agung, kami tempuh juga
jalan satu-satunya ini. Kami mencoba melenyapkan diri dan
perasaan-perasaan sendiri yang sempit untuk melapangkan
jalan menuju cita-cita luhur. Maka engkau juga, Braja Nata, anak
yang lahir dari darah kami sendiri, engkau juga harus sanggup
melenyapkan dirimu dan perasaan-perasaanmu sendiri yang
sempit demi kepentingan cita-cita yang agung. Engkau yang
kami pilih untuk menjalankan titah yang luarbiasa ini, supaya
Raden Panji, saudaramu itu, sadar bahwa segalanya kami
tempuh demi kepentingan kebahagiaan manusia yang banyak,
yang menjadi kawula dua buah kerajaan!"

"Ampun Gusti, tetapi alangkah beratnya tugas hamba!" keluh


Tumenggung Braja Nata. "Mengapa hamba tidak dititahkan saja
104
menaklukkan para pemberontak atau kraman yang ganas
mengganggu ketentraman rakyat? Mengapa justru untuk ...
untuk ... untuk mencari sarung baru bagi keris pusaka? Duhai
Gusti! Hamba tak ... tak ... "

Baginda mengalihkan pandangannya ke arah Tumenggung


Braja Nata. "Jangan engkau berbicara seperti perempuan!
Engkau adalah satria Janggala yang mengenai kehormatan
dirinya! Engkau adalah satria Janggala yang rela mengurbankan
dirinya sendiri untuk kepentingan kerajaan dan kebahagiaan
umat yang hidup di dalamnya! Engkau adalah Sang Janaka di
medan Kuru! Engkau mesti tabah!"

"Namun Gusti . . . ." sembah Tumenggung Braja Nata. "Yang


hamba mesti hadapi bukanlah Arya Dursasana yang Iicik pelit,
bukanlah Duryodana yang angkara murka! Yang mesti hamba
hadapi... ampun Gusti!"

Sang baginda menghefa nafas pula. "Memang tugasmu tidak


ringan, Braja Nata. Itu kami sadari. Dan sesungguhnya bagi
kami pun tidaklah ringan memberi titah itu kepadamu. Namun
demi kebahagiaan manusia yang menjadi kawula dua buah
kerajaan, segala pertimbangan-pertimbangan kedirian mesti

105
dikesampingkan. Kau mesti tabah! Terimalah keris yang tak
bersarung ini!"

Baginda mengulurkan keris kepada Tumenggung Braja Nata.

Tumenggung Braja Nata bagaikan lesu, tak bertenaga untuk


menerima keris itu. Tetapi ia tak berani menolak titah baginda.

"Terimalah Braja Nata! Engkau satria Janggala yang mesti


memberi teladan kepada para satria lain!"

"Am ... am ... ampun Gusti!"

"Braja Nata! Berani kau menyanggah perintah rajamu? Kami,


Prabu Jayantaka Tunggadewa, yang menguasai hidup serta
mati seluruh mahluk yang ada di wiiayah kerajaan Janggala,
menurunkan titah kepada engkau, Tumenggung Braja Nata
untuk melaksanakan titahnya buat melapangkan jalan serta
melenyapkan rintangan menuju tercapainya cita-cita
kemanusiaan yang agung! Terimalah keris ini!"

Tak berani lagi Tumenggung Braja Nata berbuat ayal. Suara


sang baginda terdengar angker dan berpengaruh. Dengan jari-
jari menggigil ia menerima keris yang diulurkan baginda. Benda
dari logam yang tidak seberapa besar dan nampak ringan itu,
106
bagaikan sebuah gunung besi yang berat sekali, menekan
tangan, bahu dan seluruh dirinya. Dia hampir tidak sanggup
memegangnya! Hampir terjatuh ke lantai, untung dengkulnya
tetap,sehingga tak usah ia terjeremuk.Keringat laksana mutiara
berkilauan pada keningnya, dan tatkala ada angin yang semilir
masuk dari celah-celah, terasa keringat dingin memenuhi
seluruh tubuhnya! Nafasnya sesak. jantungnya bagaikan tak
sanggup berdenyut.

"Tumenggung Braja Nata!" sabda baginda kemudian. "Kami


percayakan tugas untuk merentas jalan, melapangkan rintangan
yang menghalangi tercapainya cita-cita kita yang suci! Kami
percayakan kepadamu, seorang satria yang sadar akan
kehormatan dan tanggungjawab dirinya! Engkau yang akan
memberi teladan yang baik buat satria-satria lainnya di
Janggala! Kami percaya, engkau akan melaksanakan tugasmu
dengan baik!"

"Da... dau... daulat Gusti!"

"Baiklah. Berangkat kau sekarang juga! Jangan kau perayalkan


titah raja Janggala!"

107
Kemudian baginda menoleh ke arah Senapati Arya Suralaga,
"Arya Suralaga!"

Yang dipanggil terkejut bukan buatan.

"Daulat Gusti!"

"Andika kami titahkan untuk pergi mengawani Tumenggung


Braja Nata melaksanakan tugasnya. Andika mesti mengawasi
supaya titah kami dilaksanakan sebaik-baiknya. Andika jangan
membiarkan dia bertindak ayal atau menyalahi tugasnya!"

"Da . . . daulat Gusti!"

"Pergilah andika sekarang juga, bersama Tumenggung Braja


Nata untuk memberi sarung baru kepada keris pusaka kerajaan
Janggala! Cepat!"

"Daulat Gusti!"

Setelah itu, suasana balairung kembali sibuk. Mereka yang


mendapat titah, sesudah meminta diri serta mendapat restu
baginda segera melangkah ke luar dengan lesu.

108
Sang baginda sendiri nampak lesu. Kepalanya tertunduk.
Akhirnya baginda memberi isyarat bahwa persidangan bubar.
Maka orang-orang pun mengundurkan diri dengan diam-diam.

Peristiwa yang mereka saksikan tadi, sangat mencengkam


hatinya masing-masing. Dan itu saja telah menyebabkan mereka
enggan berbicara.

Tempat peristirahatan yang ditinggali Raden Panji beserta


istrinya terletak agak jauh dari ibukota, berupa suatu istana kecil
yang sangat indah dan menyenangkan, sangat cocok buat
sepasang merpati yang sedang mengecap manisnya madu
penghidupan. Hawanya sejuk serta segar, pemandangan pun
menyedapkan. Sebuah taman yang asri, penuh dengan bunga-
bungaan yang aneka macam, berkembangan dengan indahnya,
menyebarkan harum yang semerbak, Iembut disilir angin sepoi.
Sungguh suatu tempat yang akan menyebabkan setiap orang iri
hati! Setiap orang di segenap penjuru kerajaan memuji-muji
peruntungan Dewi Anggraeni yang menurut mereka sangat
bagus! Seorang gadis keturunan orang kebanyakan, diambil
menjadi istri putra mahkota yang bakal mewarisi takhta kerajaan!
Meski mereka semua tahu akan pertunangan Raden Panji
dengan Dewi Sekar Taji, namun mereka menganggap bahwa
pulung telah jatuh pada diri dan nasib Dewi Anggraeni.
109
Setiap saat Dewi Anggraeni melayani Raden Panji dengan
wajah yang segar dan ria bahagia, dan setiap orang yang
melihatnya tentu akan mengira bahwa gadis gunung itu
menemukan kebahagiaan sempurna dalam istana kecil yang
mewah serta indah itu, didampingi suami yang sangat
mencintainya. Bahkan Raden Panji Kuda Waneng Pati sendiri
menyangka bahwa istrinya selama itu merasa bahagia, benar-
benar bahagia. Meskipun di antara kedua kekasih itu selalu
saling mencintai, saling penuhi kehendak masing-masing, rukun
dan penuh kasih sayang, namun badai yang mengamuk dalam
kalbu Dewi Anggraeni boleh dikata tidak pernah reda. Dalam
hatinya yang dalam, nun jauh dalam relung-relung gelap,
perasaan takut senantiasa mengintai. Ia merasa takut, cemas,
kuatir. Ia sangat mencintai Raden Panji, dan merasa berbahagia
bahwa Raden Panji telah menunjukkan cintanya pula yang besar
dan agung dengan jalan menikahinya. Tetapi karena ia tahu
bahwa Raden Panji seorang putra mahkota yang sudah
dipertunangkan dengan putri mahkota pula, ia cemas kalau-
kalau suatu kali Raden Panji akan meninggalkannya.Kadang-
kadang kalau kebetulan ia sendirian, matanya merenung ke
kejauhan, menatap ke ketiadaan, mengenangkan hal-hal yang
tak menenteramkan hatinya.

110
"Kalau saja ia bukan seorang putra mahkota ...," katanya dalam
hati, "akan lebih sempurna rasanya bahagia kami! Ah, mengapa
ia bukan seorang manusia biasa, keturunan orang kebanyakan
saja?"

Tetapi kepada suaminya tak berani ia mempertunjukkan sikap


yang mungkin merusak suasana kebahagiaan. Ia sangat
mencintai Raden Panji. Bukan karena ia seorang putra mahkota,
tetapi hanya lantaran ia mencintainya. la ingin kekasihnya itu
senantiasa merasa berbahagia. Ia tidak ingin melihat kekasihnya
murung, atau merasa terganggu kebahagiaannya lantaran
dirinya. Dan alangkah besarnya cinta Raden Panji! Alangkah
agungnya! Kalau teringat olehnya bahwa Raden Panji sudah
dipertunangkan sejak masih kecil dengan Dewi Sekar Taji,
kegamangan mengamuk dalam kalbunya. Ia merasa berdosa, ia
merasa bersalah lantaran telah sudi diperistri Raden Panji.
Tidak, ia tidak menolak lamaran Raden Panji, bukan hanya
lantaran ia mencintai Raden Panji, tetapi lebih-lebih lantaran
tahu betapa besar dan agungnya cinta Raden Panji kepadanya.
Dia kuatir kalau Raden Panji akan berduka atau murung. Ia tak
mampu membayangkan Raden Panji murung! Dia tak ingin
menyebabkan orang yang dikasihinya itu berduka! Lagipula
Raden Panji Kuda Waneng Pati putra mahkota Janggala

111
mungkin akan murka lantaran merasa terhina jika lamarannya
ditolak! Ah, bahkan Raden Panji juga agaknya sadar, bahwa
perbuatannya itu bertentangan dengan kehendak ayahanda,
sang baginda raja Janggala, ternyata dengan pernikahan yang
dilakukan diam-diam. Baru setelah mendapat berita dari ibunda,
bahwa ia boleh menghadap ayahanda akan mempersembahkan
halnya, mereka diterima dan mendapat restu baginda. Baginda
merestui mereka dan nampak menyukai menantunya, tetapi dari
sinar mata baginda, Dewi Anggraeni merasakan ketaktentraman.
Pandangan baginda seolah-olah menyalahkan dia, dia yang
mungkin dianggap telah memikat Raden Panji! Pandangan
baginda itulah yang menyebabkan ia kadang-kadang tak bisa
memejamkan matanya. Pandangan yang dingin, tapi bagaikan
menusukkan logam tajam ke dalam jiwa, tak terperikan. Tidak,
Dewi Anggraeni tidak dendam kepada pandangan baginda yang
demikian dingin itu. Malah ia merasa bersalah, nun jauh dalam
relung hatinya, merasa bahwa tuduhan yang dilemparkan
baginda melalui pandangan matanya itu benar. Ya, ia telah
bersalah, bersalah .... Tetapi cinta begitu besar. Benarkah ia
berhak duduk di samping putra mahkota Janggala yang suatu
kali kelak akan menduduki takhta? Benarkah ia berhak
mengambil Raden Panji sebagai suami? Ia ingin kekasihnya
bahagia, dan melakukan kewajibannya sebaik mungkin. Ia ingin
112
kekasihnya itu jangan sampai berduka. Jangan sampai murung,
tetapi senantiasa bersinar-sinar bagaikan mentari kemarau. Ia
ingin Raden Panji memenuhi harapan dan cita-cita ayahanda
yang besar.

Ya, ia tahu akan cita-cita mulia Prabu Jayantaka hendak


mempersatukan Janggala dengan Kadiri. Dan ia sering
terumbang-ambing antara keinginan-keinginannya sendiri yang
merindukan kebahagiaan yang damai dengan keinginannya
supaya kekasihnya itu memenuhi harapan ayahanda. Dan
kemarin dulu suaminya menghadap ke bawah duli, lantaran
mendapat titah yang tiba-tiba dan sangat penting. Apakah
gerangan yang akan dititahkan baginda? Perasaannya yang
halus menduga bahwa titah ayahanda berhubungan dengan
persoalan Dewi Sekar Taji. Dan tatkala Raden Panji hendak
pergi, seakan-akan berat benar hatinya. Mengapa ia
memandang begitu? Mengapa pandangan kekasihnya itu
bagaikan mengisaratkan suatu malapetaka? Mengapa berlainan
daripada biasa, kepergian Raden Panji sekali ini meninggalkan
perasaan sunyi bukan buatan? Sunyi yang lebih daripada
kesepian lantaran orang yang dikasihi-dicintai tak ada di
sampingnya?

113
"Tak lama, Adinda, Kakanda takkan lama pergi. Besok atau
selambat-lambatnya lusa, tentu Kanda kembali ke sampingmu
...." itulah perkataan Raden Panji sebelum berangkat. Sampai
malam kemarin ia sia-sia menanti, Raden Panji tak kunjung
datang. Perasaannya diamuk sepi yang luar biasa, lengang
menyendiri, seakan seluruh dunia kehilangan seni.

Dan kalbunya digundahi pertanyaan-pertanyaan yang tak


menentramkan, "Apakah gerangan yang menyebabkan Raden
Panji tidak pulang? Apakah titah baginda yang melantarankan
Raden Panji dipanggil cepat-cepat dan sendirian saja? Adakah
persoalan yang begitu penting? Persoalan apa? Persoalan
negara? Persoalan kerajaan? Tetapi mengapa Raden Panji
belum juga pulang?"

Ia tidak bisa tenang. Duduk salah, berdiri pun bukan. Terbaring


tak senang, berjalan pun serasa mengawang. Taman yang
penuh bunga-bungaan aneka macam, tidak menghiburnya,
bahkan seolah-olah bunga-bunga yang melambai dilanda angin
semilir itu, menegurnya dan bertanya; "Di manakah Raden Panji
gerangan? Mengapa Tuan berjalan sendirian?"

Burung-burung yang berkicau, terdengar murung, seperti turut


berduka lantaran Raden Panji belum juga pulang. Setiap ada
114
suara langkah mendekat, ia terjaga. "Raden Panjilah itu!"
katanya dalam hatinya sendiri.

Tetapi tiap kali ia kecewa. Setiap ada suara kuda lari, ia bangkit
dan memandang ke luar, tetapi yang dinanti tidak kunjung
muncul. Dan setiap saat, terbayang pula pandangan kekasihnya
pada saat terakhir, sebelum berangkat. Alangkah aneh
pandangan itu! Pandangan yang luar biasa, laksana
mengisaratkan suatu perpisahan berdinding mati! Suatu
perpisahan akhir! Timbul pikirannya yang bukan-bukan,tetapi
dengan kemauan sehat, diusirnya dan disabar-sabarkannya
dirinya.

"Hanya bayang-bayangan hayali belaka!" ia menghibur dirinya


sendiri.

Emban Wagini, inang pengasuhnya yang sudah tua dan yang


telah mengasuhnya sejak masih bayi, yang senantiasa berada di
sampingnya itu, melihat gustinya gelisah dan senantiasa
bersedih maka ia pun berduka. Sebagai seorang yang sudah
lanjut usia, ia segera mengerti sebab-musababnya. Maka tak
berani ia menyinggung-nyinggung Raden Panji di hadapan
gustinya, senantiasa ia mengajak gustinya yang sangat

115
dicintainya lebih daripada kepada jiwanya sendiri itu, bercakap-
cakap tentang hal yang menyenangkan.

"Gusti, lihatlah, matahari sangat indah dan alam nampak segar


serta gembira! Tidakkah Gusti ingin bercengkrama ke tengah
taman, menyaksikan burung-burung menyanyi sambil memetik
bunga mawar yang kembang indah? Cempaka pun musimnya
berbunga, Gusti, bunga-bunga itu meliuk-Iiuk meminta Gusti
petik ..."

Dewi Anggraeni hanya mengeluh dan menghindari pandangan


inang pengasuhnya itu.

"Tak baik Gusti bermuram durja sedang hari secerah ini!


Kibaskan segala kemurungan yang suram itu! Batara akan
murka, kalau segala anugrahnya tidak kita terima dengan suka
..."

Sekali lagi Dewi Anggraeni mengeluh.

"Bagaimana kami bisa bersuka cita, sedang di dalam hati selalu


rusuh, lantaran Kakang Panji belum juga pulang?" akhirnya ia
menyahut.

116
"Gusti Panji berjanji akan pulang hari ini, tentu beliau akan
menepati janjinya. Janji satria Janggala tak nanti tak ditepati ...,"
kata Emban Wagini menghibur.

"Kakang Panji berjanji kemarin akan pulang, kalau ada halangan


baru hari ini. Dan hari telah datang, ia belum pulang, ada
halangan apakah gerangan yang menahannya?" tanya Dewi
Anggraeni.

"Bibi, bukan sekali ini Kakang Panji meninggalkan kami, tetapi


mengapa sekarang perasaan kami sangat berbeda? Mengapa
merasa lengang tak menentu?"

"Ah, itu perasaan yang tak karuan, jangan Gusti perturutkan


juga! Gusti Panji akan segera datang. Lebih elok kalau Gusti
bergembira, supaya jangan keruh nanti menyambut kedatangan
Gusti Panji. Akan murka ia kepada bibi, kalau melihat Gusti
bermuram durja."

Dewi Anggraeni menghela nafas dengan berat. Matanya


menghindari pandangan inang pengasuhnya yang setia itu.

"Lesu lelah rasanya tubuhku," katanya kemudian perlahan.

"Gusti mesti bersantap ... "


117
"Patah seleraku! Semua makanan seperti tersekat di
kerongkongan. Lagipula makan tidak dengan Kakang Panji ..."
tak lanjut kalimatnya. "Bibi kapankah Kakang Panji pulang?
Benarkah ia hari ini tiba?"

"Gusti, junjunganku, Gusti Panji tentu akan pulang hari ini seperti
dijanjikannya. Sekarang ia barangkali masih di jalan. Sebentar
lagi, tentu..."

Tiba-tiba terdengar suara kaki kudanya dijauhan, Emban Wagini


menengokkan kepalanya.

"Lihat, lihatlah! Panjang usia Gusti Panji! Sedang kita bicarakan,


dia datang! Tidakkah terdengar oleh Gusti suara ketiplak kuda
datang mendekat?"

Menyirat darah pada wajah Dewi Anggraeni yang pucat lesi itu.
Cahya kegembiraan membakar hatinya. Maka bangkitlah ia akan
menyongsong kedatangan jungjungannya.

"Kakang Panji! Benarkah ia datang?" terloncat tanyanya sarat


kegembiraan. "Benarkah dia datang?"

"Tidakkah Gusti dengar suara kuda mendekat?" sahut inang


pengasuhnya. "Hai, dengan siapakah maka Gusti Panji berdua?"
118
Dewi Anggraeni mempertajam matanya.

"Tidak, tidak ..." kepalanya menggeleng lemah. "yang datang itu


bukan Kakang Panji bukan!"

"Bukan Gusti Panji?" tanya Emban Wagini tak percaya. "Habis,


siapa?"

Wajah Dewi Anggraeni kembali pucat, bahkan lebih pucat


daripada semula. Jantungnya bagaikan berhenti tiba-tiba. Dan
darahnya seperti berhenti mengalir. Hampir ia tak kuasa
menopang tubuh.

"Kakanda Braja Nata!" bisiknya mendesis hampir tak


kedengaran. "Mengapa dia ke mari?Ke manakah Kakang Panji?
Bukan, bukan, yang mengiringkannya pun bukan Kakang Panji!
Mana Kakang Panji? Mana?"

Wagini memburu tubuh gustinya yang hampir rubuh.

"Tenang, tenanglah, Gusti, tenanglah ..., bujuknya. "Kanjeng


Braja Nata tentu akan membawa berita tentang gusti Panji..."

Dewi Anggraeni didudukkan baik-baik, tetapi tubuhnya yang lesu


itu bagaikan tak lagi kuat duduk tegak.

119
Tumenggung Braja Nata sementara itu telah menambatkan
kuda, lalu naik akan menemui Dewi Anggraeni.

Suasana puri itu sangat lengang, bukan hanya lantaran tak


terdengar suara orang tetapi bagai dicengkam kemurungan yang
dalam.

Dia mendapati Dewi Anggraeni duduk dikawani oleh inang


pengasuhnya yang telah dia kenal baik

"Kakanda!" tegur Dewi Anggraeni. "Silahkan masuk, Kanda!


Silahkan! Dengan siapakah Kanda datang? Lama benar Kanda
tidak menyambangi kami! Kanda, manakah Kakang Panji?
Mengapa ia tidak datang serta?"

Mendengar Dewi Anggraeni menanyakan Raden Panji, kalbu


Tumenggung Braja Nata guncang. Bagaikan sebuah badai besar
memukulnya, meremukkannya. Alangkah mengenaskan suara
Dewi Anggraeni menanyakan suaminya itu, alangkah menusuk
kalbu! Dan ia . .. ! Ia berdehem beberapa kali melonggarkan
tenggorokannya yang tersekat.

Kemudian terbata-bata menyahut, "Bagaimanakah kabarnya,


Rayinda? Baik-baik sajakah? Alangkah segarnya udara di sini!
Sayang Kakanda terlampau sibuk, sehingga tidak bisa sering-
120
sering mengunjungi Rayinda di sini! Tetapi ... tetapi... Rayinda
baik-baik saja bu ...bukan?"

Dewi Anggraeni menatapkan pandangannya. "Ya, dengan restu


Kakanda, kami baik-baik saja disini. Tetapi Kakanda, manakah
Kakang Panji? Tidakkah Kakanda bertemu dengan dia di istana?
Dia berangkat kemarin dulu dan sekarang belum juga pulang!"

Tumenggung Braja Nata menghindari tatapan itu. Dia menoleh


ke samping, lalu melihat Emban Wagini, kemudian dia tertawa
tak keruan, menegurnya, "Apa kabar, Bibi? Alangkah panasnya
hari, ya Bibi! Tidakkah Bibi sudi mengambil barang seteguk air
buat membasahi tenggorokan yang kering?"

Dewi Anggraeni menoleh kepada inang pengasuhnya.

"Kakanda Tumenggung dahaga, Bibi, ambilkan air buah yang


segar. Buah-buahan yang ranum-ranum itu pun bawa pula ke
mari!" katanya kepada inang pengasuhnya, Emban Wagini yang
segera mengundurkan diri akan melaksanakan titah
junjungannya, kemudian menoleh pula kepada Tumenggung
Braja Nata. "Kakanda, mengapa Kanda selalu menghindari
pertanyaan hamba mengenai Kakang Panji? Mengapa Kanda
mencari-cari alasan untuk mengelakkan pertanyaan hamba?

121
Tadi Kakang berkata hari sangat segar, dan tiba-tiba barusan
kepada Bibi Wagini Kakanda mengatakan udara sangat panas!
Katakan, duhai Kakanda katakan kepada hamba, ke manakah
Kakang Panji maka tidak pulang bersama Kakanda?"

Tumenggung Braja Nata tergagap-gagap dan menjadi sukar


untuk menjawab.

"Eh ... eh ... hai ke manakah Arya Suralaga, gerangan?


Mengapa ia tidak naik juga?" ia pura-pura tak mendengar
pertanyaan Dewi Angraini dan pura-pura mencari kawannya.
Lalu pamit dan keluar pula.

"Arya Suralaga! Mari naik ke mari! Mengapa di luar saja?"

Dewi Anggraeni merasa kesal, tetapi ia masih menunjukkan


kesabarannya, menjengukkan kepalanya ke luar.

"Dengan Mamanda Arya Suralaga-kah Kakanda datang?


Mengapa ia tidak naik juga? Ke marilah Mamanda Senapati!"
ajaknya.

Tetapi Senapati Arya Suralaga menyahut dengan suara yang


dalam, "Biarlah, biarlah hamba di sini saja. Hari sangat panas,
tentu gerah didalam rumah!"
122
"Marilah Senapati!" ajak Tumenggung Braja Nata.Sedangkan
dalam hatinya ia berkata, "Marilah ke mari, kawani aku,
bagaimana akan kusampaikan semua titah itu? Bukankah
engkau disuruh mengawasi? Alangkah berat lidah ini! Alangkah
berat!"

Sementara itu Emban Wagini sudah datang membawa


hidangan.

"Lihatlah, Bibi Wagini membawa minuman dan buah-buahan


yang segar! Marilah masuk, Mamanda Senapati!" ajak Dewi
Anggraeni.

Tumenggung Braja Nata pun bagaikan berat untuk masuk. Dan


air jeruk yang segar itu seperti tidak menarik seleranya.

"Kakanda. silakan minum. Bukankah Kakanda tadi dahaga?


Tentu dahaga, karena hari panas dan naik kuda sejauh itu! Dan
Mamanda Senapati! Mari ke sini! Mari minum!"

Senapati Arya Suralaga yang tak pantang takut itu, naik ke


dalam, sedangkan hatinya merasa tak tentram kebat-kebit
berdegupan dengan kencang.

123
Tumenggung Braja Nata menghabiskan air itu dengan sekali
teguk, sehingga kelihatan seolah-olah orang yang benar-benar
dahaga.

"Alangkah segar minuman ini!" katanya kemudian meski ia


sendiri tidak tahu benar bagaimana sesungguhnya rasa
minuman yang baru lalu ditenggorokannya itu. "Ayuhlah
Senapati! Ayuhlah!"

Senapati Arya Suralaga mengikuti jejak Tumenggung Braja


Nata.

"Kakanda!" tegur Dewi Anggraeni tak sabar. "Mengapa Kanda


selalu mengelakkan pertanyaan hamba mengenai Kakang
Panji? Mengapa? Apakah yang terjadi dengan Kakang Panji?
Mengapa Kanda menunduk? Mengapa Kanda tidak sudi
menyahut? Mendapat malapetaka-kah Kakang Panji? Apakah
kecelakaan yang menimpanya? Mengapa Kakanda melengos?
Mengapa Kanda diam saja? Mengapa tak mau menyahut?"

Senapati Arya Suralaga segera menahan minumannya, lalu


menundukkan kepala, seakan-akan hendak mencari helah untuk
mengundurkan diri.

124
"Eh... eh ...memang ...Ada sesuatu ...," Tumenggung Braja Nata
menyahut dengan suara gagap.

"Mengapa Kanda bicara terputus-putus? Parahkah Kakang


Panji? Berbahayakah jiwanya?"

"Ah ... Tidak, tidak!" Tumenggung Braja Nata menggelengkan


kepala keras-keras. "Raden Panji tak kurang suatu apa!"

"Tetapi mengapa Kanda seakan segan bicara?" desak Dewi


Anggraeni.

"Sama sekali tidak, tidak!" sahut Tumenggung Braja Nata


dengan tetap gugup. "Hanya ..."

"Hanya apa? Bagaimanakah sebenarnya Kakang Panji?


Katakanlah Kanda, katakanlah! Katakanlah terus terang! Adinda
berjanji, takkan terkejut meskipun mendengar Kakang Panji
mendapat . . . ampun Batara, mudah-mudahan tak terjadi apa
yang kutakutkan!" kemudian Dewi Anggraeni menyungkup wajah
dengan tangan menangis tergukguk.

Melihat Dewi Anggraeni menangis, makin tak tentu hati


Tumenggung Braja Nata. Tangannya meraba-raba tak keruan,
karena tak tahu apa yang mesti dia perbuat.
125
"Jangan menangis, jangan Adinda menangis. Raden Panji
selamat, tak kurang suatu apa. Sudahlah, sudahlah, jangan
Adinda men ..." tak lanjut perkataannya, karena tiba-tiba
tangannya menyentuh keris pusaka yang diberikan baginda
kepadanya. Maka ia pun teringat pula akan tugasnya.
Tangannya mendadak terkulai Iemas. Ia memejamkan mata.

"Duhai Batara. Mengapa mesti kujalankan titah seberat ini?


Berilah hamba kekuatan, ketabahan untuk melapangkan jalan
bagi cita-cita tinggi," katanya dalam hati.

"Beri hamba kekuatan untuk mengesampingkan segala


perasaan kedirian yang sempit, yang menghalangi cita-cita
agung tercapai!"

Dewi Anggraeni tergugah.

"Benarkah Kanda? Benarkah Kakang Panji tak kurang suatu


apa? Benar-benarkah Kanda?" tanyanya dengan mata disinari
secercah harapan. "Tetapi mengapa ia tidak pulang sekarang?"

"Raden Panji mendapat titah dari Baginda," kata Tumenggung


Braja Nata. "Ia tidak kurang suatu apa, tetapi ia mendapat titah
yang tak boleh ditangguhkan. sehingga ..."

126
"Sehingga apa, Kanda?" desak Dewi Anggraeni tak sabar.

"Sehingga ia tidak sempat ke mari dahulu mengabarkan hal itu


kepada Adinda. Ia sangat kuatir akan kesehatan Adinda, yang
selalu dia kenangkan. Dia meminta kepada Kanda supaya
Kanda ke mari ..."

"Apakah titah yang mesti diselesaikan oleh Kakang Panji?


Mengapa ia sampai tak sempat menjenguk istrinya dahulu?
Penting benarkah titah itu?" potong Dewi Angraeni, biarkan
Tumenggung Braja Nata menyelesaikan kalimatnya.

"Tidaklah ia mendapat titah untuk untuk memerangi


pemberontak ataukah karaman?"

"Bukan, Raden Panji tidak dititahkan memerangi pemberontak


ataupun karaman. Tetapi titah tak boleh ditunda, sehingga tak
sempat dia singgah dahulu akan mengabarkan hal itu kepada
Rayinda. Namun, ia masih sempat meminta Kakanda
untukmenyampaikan pesannya kepada Rayinda ..."

"Pesannya? Apakah gerangan pesan Kakang Panji? Mengapa


tidak tadi-tadi Kanda berbicara? Mengapa tadi Kanda seperti
gugup benar bicara?"

127
"Tadi Kanda baru datang, masih lelah, maklumlah si Pramuga,
Kanda pacu sekuat-kuatnya. Kanda kuatir kalau-kalau Rayinda
terlampau lama mengharap dan bergelisah ..."

"Sesungguhnyalah, Rayinda sudah bergelisah benar. Menurut


janji Kakang Panji, Kakang Panji sudah pulang kemarin, atau
paling lambat hari ini. Dan sekarang ...ternyata Kakang Panji
belum bisa pulang, hanya pesannya saja. Dan apakah pesan
yang mesti Kanda sampaikan kepada hamba, ampun Kanda
Tumenggung?"

"Raden Panji berpesan....."

Tumenggung Braja Nata terhenti dan kata-kata berhenti di


tenggorokannya.

"Raden Panji berpesan ... berpesan, supaya ..."

"Supaya apa, Kanda?"

"Supaya Kanda datang ke mari akan menjemput Rayinda!" sahut


Tumenggung Braja Nata dengan nafas memburu.

"Menjemput hamba? Ke mana?"

"Ya, menjemput Rayinda. Ke Muara Kamal."


128
"Ke Muara Kamal? Ada apakah gerangan?"

"Raden Panji mendapat titah baginda. la mengharap agar


Rayinda turut pula ke sana. Karena mungkin ia di sana akan
lama baru pulang. Lagi-pula pemandangan di tepi laut, tentu
akan sangat menyenangkan hati Rayinda. Sudahkah Rayinda
melihat laut? Merasakan ombak menyimbah kaki? Merasakan
angin yang besar, yang meniup gelombang memecah di pantai?"

"Apakah gerangan titah Baginda maka mengirimkan Kakang


Panji ke Muara Kamal?" tanya Dewi Anggraeni tak
mempedulikan pertanyaan Tumenggung Braja Nata tentang laut.

Dan ditanya demikian, Tumenggung Braja Nata kehilangan


helah.

"A aa . . anu. Rayinda, di Muara Kamal ... datang utusan dari ...
Tiongkok hendak menghadap kepada Baginda." akhirnya ia
menyahut sejadinya. "Tak ada orang yang patut menerima tamu
agung itu mereka utusan kaisar Tiongkok, penguasa negara atas
angin itu kecuali Raden Panji ..."

"Tetapi mengapa begitu mendadak dan terburu -buru?"

129
"Kedatangan mereka serentak, sehingga kita tidak sempat
membuat persiapan-persiapan yang patut ..." keringat bermanik-
manik di dahi Tumenggung Braja Nata, meskipun ia tidak
merasa gerah.

"Hamba perempuan Kanda. Patutkah hamba turut menampilkan


muka di hadapan tamu agung seperti mereka?"

"Mengapa tidak? Konon, di antara tamu-tamu itu ada pula


wanita, entah katanya kemenakan sang Kaisar, hendak
mengetahui tanah Jawa. Kanda pikir tak ada yang lebih tepat
untuk menyambut mereka itu kecuali Rayinda sendiri. Baginda
pun telah menyetujuinya."

"Baginda menyetujui, sedangkan hamba ditinggalkan oleh


Kakang Panji dalam gelisah! Alangkah ajaib!"

"Rayinda dititahkan dijemput. Hamb ... eh Rakanda-lah yang


dititahkan Baginda menjemput. Kita tidak ke istana dahulu,
melainkan terus langsung menuju ke Muara Kamal! Makin cepat
makin baik, karena kita mengejar Raden Panji."

Dan dalam hatinya sendiri, Tumenggung Braja Nata mengulang-


ulang kalimat baginda yang baru diucapkannya itu: Makin cepat

130
makin baik. Makin cepat makin baik. Makin cepat makin baik.
Makin cepat...

"Jadi hamba mesti berangkat sekarang juga?" tanya Dewi


Anggraeni.

"Ya, demikianlah. Sesegera mungkin."

Dewi Anggraeni menoleh kepada Emban Wagini dan berkata


gembira, "Bibi, kita berangkat sekarang, kita akan menyusul
Kakang Panji ke Muara Kamal. Kita akan melihat laut! Cepat
berkemas-kemas!"

Tumenggung Braja Nata gelisah.

"Akankah Rayinda bawa Bibi Wagini?"

Dewi Anggraeni memandangnya heran.

"Ya," sahutnya mengangguk. "Bibi Wagini selalu melayani


hamba siang maupun malam, lagipula ia sudah bagaikan bunda
hamba saja . Mengapa?"

Tumenggung Braja Nata menjatuhkan pandangan.

131
"Tidak. Tetapi menurut Kanda, lebih baik . . . lebih baik. .. lebih
baik kalau ia tak usah ikut," katanya dengan tak berani
mengangkat pandangannya.

''Mengapa? Mengapa ia tak boleh turut?"

"Bukan tak boleh, hanya saja lebih baik . . . lebih baik rasanya
kalau tak usah dia dibawa."

"Kanda, benarkah Kakang Panji menitahkan hamba turut dengan


Kakanda?" tanya Dewi Anggraeni.

Tumenggung Braja Nata terkejut.

"Sungguh benarkah Raden Panji menitahkan Kanda kemana


akan menjemput Rayinda, tetapi mengapa ia tak membolehkan
Rayinda membawa Bibi Wagini. padahal ia sendiri tahu bahwa
Bibi Wagini selalu bersama-sama hamba."

"Bukan begitu Rayinda," sahut Tumenggung Braja Nata. "Raden


Panji tidak mengatakan hal itu kepada Kanda, sehingga Kanda
salah faham ..."

Dewi Anggraeni tenang kembali. Ia menoleh kepada inang


pengasuhnya yang setia itu.

132
"Bibi, mengapa Bibi belum juga bangkit untuk berkemas-kemas,
menunggu apa lagi? Ayuhlah. jangan biarkan Kakang Panji
menanti terlampau lama!" katanya memberi titah.

Emban Wagini yang sudah kenyang makan garam itu, melihat


sesuatu yang tidak beres dalam tingkah laku Tumenggung Braja
Nata. Hal itu dia perhatikan sejak mulai datang dan makin lama
makin nyata saja. Mengapa ia selalu kelihatan gugup? Mengapa
bicaranya sering gagap terbata-bata tak lancar? Apakah
sebabnya gerangan? Perasaannya yang halus dan tajam
mencium hal-hal yang mencurigakan. Ia ingin menahan
gustinya, jangan menurutkan ajakan yang tidak keruan.

Demi mendengar teguran junjungannya, maka ia menjatuhkan


diri, menghaturkan sembah dengan suaranya yang iba, "Gusti,
tetapi Gusti lagi gering. perjalanan amat jauh, tidakkah lebih baik
Gusti tinggal saja di sini? Tentu Baginda pun takkan murka kalau
Baginda maklum sebab-musababnya. Dan Gusti Panji ...," tak
lanjut kalimatnya, karena cepat dipotong oleh Dewi Anggraeni
yang tak sabar, "Bibi! Mengapa Bibi bicara seperti itu? Bibi
menganjurkan kami mendurhaka dan Kakang Panji tentu akan
sedih hatinya kalau kami tak datang menyusul."

133
"Tetapi Gusti." sahut Wagini dengan sabar, "Gusti sedang
gering, hamba kuatir kalau-kalau perjalanan ini akan
memarahkan penyakit ..."

"Tidak! Penyakit kami akan hilang kalau sudah berada di


samping Kakang Panji! Tidak! Kami tidak boleh lemah hati, kami
mesti berangkat! Siap-siaplah segera. Berkemas-kemaslah
secukupnya!"

Tumenggung Braja Nata yang gelisah lantaran mendengar


sembah Emban Wagini yang seakan-akan hendak mencegah
kepergian gustinya, turut menyumbangkan pendapatnya, "Angin
laut sangat baik bagi kesehatan. Segala penyakit akan hilang,
akan lenyap. Dan apakah Rayinda gering?"

"Ah. tidak." sahut Dewi Anggraeni cepat. "Hanya merasa lesu ..."

"Kalau begitu, dengan sedikit bepergian, akan hilang."

"Cepatlah Bibi! Maafkan kami, Kanda! Makanlah buah-buahan


itu Mamanda Senapati! Ranum baru kemarin dipetik dari
pohonnya, menyediakan Kakang Panji. Tetapi rupanya
Mamanda yang beruntung, habiskan saja. Hamba akan
mempersiapkan beberapa pakaian dan perhiasan dahulu ..."

134
"Tak usahlah, Rayinda, tak usahah terlalu membawa... terlalu
banyak pakaian atau pun segala perhiasan..."

"Bagaimana pula, Kakanda? Bukankah hamba nanti mesti


menjemput putri Tiongkok yang baru datang? Tentu harus
mengenakan pakaian yang patut ..." sahut Dewi Anggraeni
dengan heran.

"Namun, utusan kaisar Tiongkok itu tentu membawa pakaian


yang indah-indah dari sutra!"

"Ah, tetapi itu kan belum tentu! Baiklah kalau membawa,


daripada kita malu kelak!"

"Baiklah, bagaimana menurut Rayinda saja," sahut Tumenggung


Braja Nata. "Tetapi cukup Rayinda berdua dengan Bibi Wagini
saja yang ikut! Kita mengejar waktu, kita naik kuda saja.
Bukankah Rayinda sanggup naik kuda?"

"Hamba sering dilatih oleh Kakang Panji, sehingga tabah


menunggang si Hitam," sahut Dewi Anggraeni.

"Sukurlah kalau begitu. Kita perlu buru-buru, kalau tidak naik


kuda, tentu takkan terkejar saat-nya. Cukup kita berempat,

135
karena kalau ditambah pula, mungkin memperlambat
perjalanan."

"Hamba hanya merasa perlu mengajak Bibi Wagini, karena ia


adalah pengganti bunda hamba."

"Baiklah." Dewi Anggraeni masuk hendak berkemas, sedangkan


Tumenggung Braja Nata memejamkan matanya, kemudian
menjatuhkan kepala pula. Kepalanya terkulai, bagaikan
sebungkah benda tak bernyawa. Sedangkan dalam kalbunya
sebuah peperangan dahsyat sedang berlangsung. "Engkaulah
Sang Janaka di Kurusetra, kau mesti tabah, mesti berani
meleburkan dirimu yang sempit untuk kepentingan cita-cita
kemanusiaan yang luhur dan agung!" terngiang kembali sabda
ayahanda kepadanya. "Lapangkan jalan menuju cita-cita itu.
Adalah tugasmu untuk menghilangkan penghalang! ... Berilah
keris pusaka ini sarung baru! Sarung baru! Sarung baru!"

Senapati Arya Suralaga yang senantiasa mengunjuk keberanian


dan ketangkasannya di medan perang itu, kini tertunduk, tak
berani mengangkat kepala akan melirik ke arah Tumenggung
Braja Nata, padahal ia ditugaskan untuk mengawasinya!

136
Mereka memacu kudanya dengan cepat. Tumenggung Braja
Nata berjalan di depan, kemudian mengikut si Hitam yang
ditunggangi Dewi Anggraeni bersama inang pengasuhnya, dan
di belakang sekali Senapati Arya Suralaga. Mereka berpacu
sambil berdiam diri. Tumenggung Braja Nata memecut kudanya
bagaikan terbang.

Dewi Anggraeni antara sebentar berseru, "Jangan terlampau


cepat, Kanda!"

Maka baru Tumenggung Braja Nata memperlambat lari kudanya.

Oleh pemandangan sepanjang jalan, meskipun menambah dia


kian terkenang akan junjungannya, Dewi Anggraeni kembali
kegembiraannya. Apa pula tatkala menyaksikan bahwa kudanya
tidak banyak tingkah.
Kadang-kadang ia bertanya kepada Tumenggung Braja Nata
yang kadang-kadang berjalan tak berapa jauh antaranya,
tentang hal-hal yang mereka lewati.

Tumenggung Braja Nata, kecuali kalau ditanya, hampir tak


mengeluarkan sepatah kata pun.

Setelah melewati tegalan yang luas dan tanah-tanah pertanian


yang subur, mereka pun masuk ke dalam hutan lebat. Udara
137
segar dan sejuk. Tetapi di sini mereka tidak bisa memacu kuda
secepat-cepatnya. Pohon-pohon yang besar kadang-kadang
merintangi jalan yang mereka tempuh.

Beberapa lamanya berkuda di dalam hutan, tiba-tiba


Tumenggung Braja Nata mengekang kendali kudanya, ia
berhenti. Nafasnya turun naik, seirama dengan kudanya yang
mendengus-dengus.

Dewi Anggraeni demi melihat kandanya berhenti, ia pun


menahan si Hitam.Wajahnya merah karena darah telah naik ke
urat-urat paras, sedangkan keringat pun berbintik-bintik,
menambah kecantikannya berkilauan.

"Sudahkah kita sampai ke Muara Kamal, Kakanda?" tanyanya


dengan nafas terengah-engah. "Capai benar rasanya!"

"Masih jauh, masih jauh lagi," sahut Tumenggung Braja Nata


dengan nafas memburu.

"Mengapa Kanda berhenti? Bukankah kita mesti cepat-cepat?"

Tumenggung Braja Nata menjatuhkan kepalanya. Ia meloncat


dari kudanya. Lalu dicarinya sebatang pohon akan
menambatkan kudanya itu.
138
"Kanda hendak mengasoh?" tegur Dewi Anggraeni. "Tidakkah
kita akan datang terlambat?"

"Turun dahulu, Rayinda sekarang." kata Braja Nata dengan


suara lunak.

'Mengapa harus berhenti disini?' pikir Emban Wagini dalam hati.


Ia mencium sesuatu yang mencurigakan maka ia mengisaratkan
gustinya agar jangan menurutkan kehendak Tumenggung Braja
Nata.
'Mungkinkah Tumenggung Braja Nata hendak merusak pagar
ayu Adinda?' tanya Emban Wagini kepada dirinya sendiri.
'Mengapa sikapnya sangat luar biasa dan mencurigakan?'

Dewi Anggraeni juga merasakan suasana yang sangat luar


biasa.

"Marilah kita lanjutkan saja perjalanan, Kanda, biar kelak


mengasoh kalau sudah ketemu dengan Kakang Panji!" katanya
mengelak.

Senapati Arya Suralaga sudah berhenti pula, lalu menuntun


kudanya, seperti tidak kunjung menemu batang pohon yang baik
buat menambatkan kuda. Ia menyelinap-nyelinap dan makin
menjauh-jauh saja.
139
Tumenggung Braja Nata melihat kelakuan Senapati Arya
Suralaga itu, ia berseru keras, "Senapati! Mengapa mencari
tempat jauh benar? Bukankah di sini banyak batang buat
menambatkan kudamu?"

"Ti . . . tidak . . . biarlah di sana saja ..." sahutnya gagap.

"Kanda, ada apakah gerangan maka hari ini Kanda kelihatan


gugup dan gelisah? Ada apakah gerangan yang terjadi?" tanya
Dewi Anggraeni dengan suara berubah dan mata tajam
menatap.

"Katakan terus terang! Meski Kanda mencoba


menyembunyikannya, segaja tingkah laku Kanda sejak tadi
mengatakannya kepada Rayinda, bahwa ada yang Kakanda
coba sembunyikan!"

Tumenggung Braja Nata cepat-cepat menyahut, "Tidak, Kanda


tidak ...sungguh Kanda tak berdusta. Raden Panji ...dititahkan
Ramanda ke Puc . . . eh, ke Muara Kamal, untuk . . . untuk
mengalahkan lanun ..."

"Apa?" Dewi Anggraeni terkejut, lalu meloncat dari kudanya.

140
"Katakanlah yang benar, Kanda, kemanakah Kakang Panji
dititahkan oleh baginda? Ke Muara Kamal? Atau ke
...Pucangan? Tadi agaknya hendak terloncat perkataan itu dari
mulut Kakanda! Dan di Muara Kamal? Apakah yang
menyebabkan Kakang Panji mesti berangkat ke sana? Benarkah
ada utusan dari kaisar Tiong-kok?Mengapa barusan Kanda
bilang untuk mengalahkan lanun? Ah, Kanda, katakanlah, ada
apakah sebenarnya di istana? Apakah yang terjadi dengan
Kakang Panji! Katakan terus terang!"

Tumenggung Braja Nata termenung. 'Engkaulah sang Janaka di


medan Runi!' terdengar kalimat baginda pula olehnya.
'Tabahkan hatimu!'

Sementara itu Dewi Anggraeni telah menolong inang


pengasuhnya yang tua itu turun dari kuda. Lalu dia berdiri
dengan mata tetap tajam medang kakandanya. Keningnya
berkerut, wajahnya yang tadi cerah nampak menjadi keruh.

"Mengapa Kakanda seperti segan? Tadi pun hamba telah


berkata, katakanlah terus terang, hamba akan menyimakkannya
dengan baik."

Akhirnya Tumenggung Braja Nata menguasai dirinya kembali.

141
"Ya, lebih baik Kakanda berterus terang saja sekarang ...,"
katanya kemudian.

"Sesungguhnya ... sesungguhnya, Raden Panji tidak dititahkan


Ayahanda ke Muara Kamal..."

"Habis? Ke manakah dia?" Dewi Anggraeni penasaran.

"Ke Pucangan."

"Ke Pucangan?" tanya Dewi Anggraeni. "Ada apa?

"Ia, Raden Panji dititahkan baginda ke Pucangan, untuk


menyambangi sang Kili Suci ..."

"Hendak menyambangi sang Kili Suci ...?" gumam Dewi


Anggraeni.

"Apakah soal yang mesti disampaikan, maka Kakang Panji


sampai tak keburu singgah untuk menemui hamba barang
sejenak? Kanda Tumenggung, ada soal apakah di istana, maka
kelihatannya suasana sangat sibuk? Begitu sibuk, sehingga
Kakang Panji tak sempat menengok istrinya yang menanti
gelisah?"

Tumenggung Braja Nata menjatuhkan pandangan pula.


142
"Dan hamba? Mengapa Kanda bawa ke dalam hutan ini?
Mengapa kita menuju ke Muara Kamal?"

"Ke Muara Kamal?" gumam Tumenggung Braja Nata bagaikan


tak sadar. "Tidak... tak usah kita ke sana. Di sini saja lebih baik.
Karena... karena ... makin cepat makin baik!"

"Kanda, mengapa Kanda berkata tak keruan juntrungannya?


Pusing Adinda menebak-nebak perkataan Kakanda sejak tadi!
Apakah yang lebih baik dilakukan di sini? Apakah? Mengapa
Kanda seperti gugup?"

"Rayi, Kakanda mendapat titah Ayahanda, membawa Adinda ke


sini..."

Dewi Anggraeni terkejut.

"Atas titah Baginda? Jadi bukan atas permintaan Kakang Panji?


Mengapa Baginda menitahkan Kanda membawa hamba ke
dalam hutan?"

'Bagaimana akan kuterangkan? Bagaimana aku akan


menjelaskannya?' pikir Tumenggung Braja Nata. 'ia begitu jelita
dan halus bagaikan bunga yang sedang kembang ...!'

143
"Rayinda ... anu... Rayinda ... Kakanda dititahkan membawa
Adinda ke dalam hutan untuk melapangkan jalan buat cita-cita
kemanusiaan yang luhur. Cita-cita agung ..."

Dewi Anggraeni makin tidak mengerti.

"Melapangkan jalan buat cita-cita tinggi? Mengapa mesti


membawa hamba ke dalam hutan? Mengapa hal itu tidak
Kakanda katakan tadi saja di rumah? Mengapa mesti dalam
hutan?"

Tumenggung Braja Nata gugup lagi.

"Tetapi ... tetapi ... sebaik-baiknya memang dalam hutan hal itu
Kanda lakukan ... Di sini, di sini ... makin cepat makin baik,
makin baik!"

"Apa yang akan Kanda lakukan? Mengapa Kanda bicara selalu


dalam teka-teki? Katakan semuanya, supaya hamba mengerti!"

"Baik akan ... akan Kanda coba terangkan duduk halnya ..."

Tumenggung Braja Nata menyeka keringat dari mukanya,


"Rayinda, tahukah adinda bahwa sesungguhnya ... Raden Panji
sudah dipertunangkan sejak masih kecil dengan putri mahkota

144
Kadiri?" ia mengangkat muka, mengarahkan pandangannya
kepada Dewi Anggraeni.

"Tahukah Rayinda?"

Dewi Anggraeni merasa nafasnya sesak. Jadi hal itu! Hal itu
yang juga selama ini menjadi pikirannya! Itulah biang keladinya!
Dan ia merasakan detak jantungnya yang menghebat memukul-
mukul dinding dada. 'Kakang Panji, agaknya soal yang selama
ini Adinda takuti juga yang menyebabkan sejak kemarin merasa
lesu ...' katanya dalam hati.

"Tahukah Rayinda?" desak Tumenggung Braja Nata.

Dewi Anggraeni mengangguk, tetapi lidahnya bagaikan


sebungkah besi,tak sanggup kendati mengucapkan sepatah "ya"
sekalipun.

"Pertunangan itu dilangsungkan tatkala Raden Panji masih


kanak-kanak atas persetujuan baginda Prabu Janggala dengan
mamanda Prabu Kadiri. Kedua baginda bercita-cita tinggi,
hendak mempersatukan kedua buah kerajaan Janggala dan
Kadiri buat mewujudkan kembali usaha dan cita-cita moyang kita
semua sang Airlangga ..." kata Tumenggung Braja Nata
menerangkan.
145
Dewi Anggraeni menekurkan kepala. "Hal itu hamba ketahui ...,"
katanya perlahan.

"Dan sekarang," Tumenggung Braja Nata melanjutkan seolah-


olah tak menghiraukan perkataan Dewi Anggraeni, "tiba saatnya
untuk mengakhiri pertunangan itu dengan pernikahan ... Telah
datang utusan dari Kadiri menanyakan saat pernikahan. Karena
itu, kemarin Raden Panji dititahkan menghadap buru-buru,
sebab baginda hendak menanyakan hal itu kepadanya ..."

"Jadi ada utusan dari Kadiri datang?" tanya Dewi Anggraeni


tanpa mengangkat mukanya. "Dan bagaimanakah sikap Kakang
Panji? Maukah ia hendak menikah dengan ... putri mahkota
Kadiri?"

Tumenggung Braja Nata menghela nafas.

"Itulah." katanya. "Raden Panji menolak ..."

"Kakang Panji menolak?" Dewi Anggraeni mengangkat


mukanya.

"Ya. Raden Panji menolak. la sangat mencintai Rayinda, ia tidak


mau menceraikan Rayinda bahkan ia pun tidak mau
memperduakan Rayinda... sehingga ..."
146
'Alangkah besarnya, alangkah agungnya cinta Kakang Panji!'
kata Dewi Anggraeni dalam hati. 'Sungguh suci!'

"Tetapi bagaimanakah akhirnya, Kakanda?" ia bertanya.


"Bagaimanakah disabdakan Baginda kepada utusan dari
Kadiri?"

"Utusan dari Kadiri masih menunggu, karena persoalan belum


selesai..."

"Belum selesai?"

"Belum selesai. Karena Raden Panji menolak, Baginda murka


..." sahut Tumenggung Braja Nata.

"Baginda murka? Jadi?" Dewi Anggraeni penasaran.

"Baginda murka dan ... dan ... "

"Dan bagaimana?"

"Dan baginda menitahkan Raden Panji ..."

"Apa titah baginda kepada Kakang Panji?"

"Raden Panji dititahkan baginda ke Pucangan"

147
"Ke Pucangan?" Dewi Anggraeni heran. "Buat apa?"

"Menyambangi sang Kili Suci..."

"Hanya untuk itu? Hanya untuk menyambangi. Sedangkan


dalam istana persoalan mengenai dirinya belum selesai?
Kakanda, katakan terus terang, buat apakah kakang Panji
dititahkan baginda ke Pucangan? Akankah ia mendapat
hukuman dari sang Kili Suci? Tidakkah baginda menyerahkan
menghukumnya kepada sang Kili Suci?"

"Tidak," Tumenggung Braja Nata menggelengkan kepala.


"Raden Panji hanya dititahkan menyambangi sang Kili Suci, agar
mudah melapangkan jalan buat melaksanakan cita-cita agung
sang baginda ..."

"Supaya mudah melapangkan jalan! Apakah sesungguhnya


yang Kakanda maksud?" tanya Dewi Anggraeni.

Tumenggung Braja Nata tidak segera menyahut.

"Menurut Baginda," katanya kemudian dengan suara menggigil.


"Cita-citanya yang agung itu takkan terlaksana kalau masih ada
penghalang yang merintanginya ... Maka ... maka ...

148
dititahkannya Kakanda mencari sarung baru buat keris pusaka
kerajaan Janggala ...."

"Kakanda dititahkan mencari sarung baru bagi keris pusaka


kerajaan Janggala? Tetapi mengapa ....," tak lanjut perkataan
Dewi Anggraeni, karena tiba-tiba ia mengerti.

Wajahnya pucat, bibirnya gemetar, dan tubuhnya terasa tak


bertenaga. 'Penghalang! Bukankah aku yang menjadi perintang
tercapainya cita-cita baginda?' pikirnya. 'Ya akulah yang menjadi
rintangan, karena aku yang menyebabkan Kakang Panji tidak
sudi melaksanakan cita-cita baginda untuk menikah dengan
Dewi SekarTaji! Ya, akulah penghalang! Dan penghalang mesti
dihilangkan! Rintangan mesti ditebas! Mengerti aku sekarang!
Mengerti! Dan Kakanda dititahkan untuk mencari sarung baru
keris pusaka. Aku ...akulah sarung baru itu! Aku!'

Tak disadarinya air mata deras keluar, meleleh membasahi pipi.

"Kakanda! Hamba mengerti sekarang!" katanya dengan sedu-


sedan yang menyesakkan dada.

"Hamba mengerti mengapa sejak tadi Kakanda kelihatan gugup


dan bingung! Hamba tahu, apa yang menjadi penghalang buat
terlaksananya cita-cita yang agung sang baginda! Hamba,
149
hambalah orangnya! Hambalah yang menjadi penghalang antara
Kakang Panji dengan Dewi Sekar Taji! Dan penghalang mesti
dibuang, ditebas! Bukankah Kakanda dititahkan baginda untuk
membuang penghalang? Mengapa Kanda belum juga lakukan
titah baginda yang mulia itu? Mengapa?"

Tumenggung Braja Nata terkejut bukan buatan. Keringat keluar


di seluruh tubuhnya. la menghindari pandangan Dewi Anggraeni,
lalu matanya mencari-cari Senapati Arya Suralaga. Tetapi tak
kelihatan olehnya.

"Mengapa tidak Kakanda acungkan keris pusaka yang mesti


mendapat sarung baru itu? Mengapa tidak Kanda masukkan ke
dalam serangkanya yang baru ke dalam dada hamba?" desak
Dewi Anggraeni.

"Ti . . tidak, tidak, Rayinda! Kanda . . . Kanda tak . . . sampai


hati." sahut Tumenggung Braja Nata.

"Kakanda Tumenggung Braja Nata!" kata Dewi Anggraeni.


"Mana keberanian Kanda? Bukankah Kakanda satria utama
kerajaan Janggala yang jaya? Mengapa Kanda tidak hendak
melaksanakan titah dengan baik? Mengapa Kanda waswas dan
ragu? Tikamlah hamba. Kanda, hamba rela! Hamba rela mati

150
untuk kepentingan kerajaan, Kanda! Kalau hamba yang menjadi
penghalang, biarlah hamba lenyapkan diri hamba! Kakanda,
marilah! Bukankah kata Kanda juga makin cepat makin baik?"

Tumenggung Braja Nata mundur, seolah-olah kuatir Dewi


Anggraeni menerkamnya.

Emban Wagini yang mendengarkan percakapan gustinya sejak


tadi dan melihat suasana sudah hampir memuncak,
menjatuhkan diri pada kaki gustinya, lalu menangis.

"Jangan. Gusti, jangan Gusti berbuat nekat ... Gusti, jangan


Gusti menghabiskan jiwa secara percuma ratapnya.

Dewi Anggraeni mencoba melepaskan kaki dari pelukan inang


pengasuhnya yang setia itu.

"Lepaskan! Lepaskan! Kalau kami mati tidak lah kami mati


secara percuma! Setiap kawula negara mesti rela
mengurbankan dirinya buat kepentingan negara! Lepaskan!"

"Tetapi Gusti ... Gusti masih muda dan Gusti Panji tentu akan
kehilangan. Apa yang mesti hamba jawab kalau Gusti Panji
menanyai hamba?" ratap Emban Wagini.

151
Dewi Anggraeni murka. "Mengapa engkau, Bibi? Mengapa
bertingkah? Lepaskan!"

Dan melihat gustinya murka, makin erat Wagini memeluknya.

"Lepaskan kataku!" teriak Dewi Anggraeni sambil menyepakkan


kakinya sekuat tenaga, sehingga tubuh yang renta itu
terpelanting, lalu jatuh terguling. Terdengar tangisnya
menggerung-gerung.

"Kanda Tumenggung! Jangan Kanda ragu! Bukankah darma


satria itu mesti diletakkan di atas segala perasaan tak tega dan
bimbang? Mengapa Kanda hendak memalukan kerajaan
Janggala? Satria Janggala janganlah ragu dan waswas!
Lakukan titah baginda! Lapangkan jalan menuju tercapainya
cita-cita agung kemanusiaan! Masukkan keris pusaka itu ke
dalam serangkanya yang baru!"

Tumenggung Braja Nata tidak menyahut. Tangannya yang


kanan memegang keris pusaka kerajaan Janggala yang
telanjang itu dengan lesu dan tak bertenaga. 'Tabahkan hatimu!
Engkau adalah Arjuna yang mesti membunuh saudara, orangtua
dan gurunya di medan Kuru! Tabahkan hatimu!' suara baginda
terngiang-ngiang dalam telinganya.Ia melirik kepada Dewi

152
Anggraeni dengan ujung mata. Maka kelihatan olehnya wajah
jelita itu bermandikan air mata, tetapi menunjukkan ketenangan
yang luar biasa.

"Kanda, mengapa Kanda seperti bukan satria saja? Mengapa


hatimu lemah? Hamba kira, Tumenggung Braja Nata seorang
pahlawan sinatria kerajaan Janggala! Tak tahu ternyata masih
menaruh belas kasihan di atas kewajibannya!" kata Dewi
Anggraeni dengan suara setengah mengejek. Ia maju mendekati
Tumenggung Braja Nata. Matanya tak lepas-lepas memandang
Tumenggung Braja Nata yang kuyu itu. Lalu, tiba-tiba sekali, ia
meloncat, tangannya yang kanan merebut keris dari tangan
Tumenggung Braja Nata.

Tumenggung Braja Nata terkejut, tetapi keris pusaka telah


berpindah tangan. Sejenak ia terbengong, terbelalak melihat
kepada Dewi Anggraeni.

"Kanda, biarlah, kalau Kanda tak sampai hati menghilangkan


penghalang yang merintangi cita-cita tinggi Baginda Prabu
Janggala. biar kuhapuskan diriku sendiri, karena adaku di dunia
hanya menambah beban kepada orang lain! Sampaikan kepada
Kakang Panji, bahwa hamba melakukan semua ini dengan ...

153
iklas tulus!" kata Dewi Anggraeni seraya menusukkan mata keris
pusaka yang tajam itu ke dalam dadanya.

Darah yang merah menyirat segar, membasahi ikat pinggang


dan kainnya. Perlahan-lahan tubuhnya rebah. Sedangkan darah
makin banyak juga yang keluar, meruah-ruah di atas daun-
daunan yang membusuk.

"Kakang Panji! ... Berbahagialah ...sela .... mat ... tinggal,


semuanya!" katanya terputus-putus.

"Gusti! Gustiku!" teriak Wagini memburu sambil melompat,


menubruk tubuh junjungannya. Lalu ia menangis di sana.

"Mengapa Gusti? Mengapa Gusti meninggalkan hamba?"

"Rayinda!" teriak Tumenggung Braja Nata sambil memeluk


tubuh yang terkulai tak bernyawa itu.

"Gusti! . . Hidupku! Untuk siapakah gunanya hidupku di dunia,


kalau Gusti tak ada lagi?" ratap Wagini. "Tak kukira Gusti akan
mengakhiri hidup seperti ini. Duhai, tak ada artinya hidupku kini,
tak ada artinya! Tak ada!"

154
Tiba-tiba ia bangkit dan mencabut keris pusaka yang tertancap
itu dari dada gustinya. Darah yang masih merah segar
membasahi mata keris itu.

"Jangan, jangan Gusti tinggalkan hamba di dunia sendiri...


jangan hamba ditinggalkan!" lalu tangannya yang memegang
keris itu terangkat, dan sekejap kemudian, keris itu telah
terbenam pula ke dalam tubuhnya.

"Nan... tikan, nantikanlah hamba. Gusti . . . Hamba ikut "


desisnya makin lama kian lemah jua. Darah membanjir pula.
Wagini mencari tempat di samping Gustinya, lalu rubuh,
numprah tak bernyawa.

Tumenggung Braja Nata terkesima.

"Duhai, dua!..." Ia memperhatikan dua mayat yang bersisi-sisun


itu dengan mata setengah sadar. Bibir matanya bagaikan takkan
mengejap, sedangkan bibir mulutnya bergerak-gerak, bagaikan
menggumam.... "Mereka bunuh diri . . . Dua orang! Dua orang
manusia! ... Manusia, manusia berdarah merah! Hangat!
Manusia yang hidup, nyata! Kini terbaring ... terhantar tak
bernyawa! Mereka bunuh diri! Duhai, mengapa dua jiwa mesti
hilang percuma ... Benarkah mereka hilang untuk kepentingan

155
kemanusiaan? Mengapa untuk kepentingan kemanusiaan mesti
lenyap terbunuh dua orang manusia yang nyata, hidup,
berdaging, berdarah, bertulang, bernyawa?"

Beberapa jenak lamanya ia termenung, tenggelam dalam


pikirannya yang kacau, merenungkan segala peristiwa yang
dialaminya sejak masih dari istana.

"Cita-cita luhur senantiasa menuntut pengurbanan. Kebesaran


jiwa seorang satria kelihatan dari kesanggupannya
menghilangkan dan menghancurkan dirinya sendiri, dalam
kepentingan kemanusiaan yang lebih besar."

Tatkala akhirnya Tumenggung Braja Nata terjaga dari


renungannya, ia menengok ke kiri ke kanan, mencari-cari
kawannya. Hutan yang mencekam, memberikan suasana yang
menggiriskan jiwa. la merasa lengang. Jiwanya meronta-ronta
meminta kawan untuk diajak menembus kelengangan itu.

"Arya Suralaga!" teriaknya tiba-tiba memecah kesunyian yang


mencekam itu. "Arya Suralaga! Di mana engkau?"

"Hamba!" sahutan terdengar di kejauhan, teralingi semak tinggi.

"Ke mari!"
156
"Hamba mengurus kuda Gusti!"

"Tinggalkan, biarkan kuda itu. Ke mari saja!" teriak Tumenggung


Braja Nata dengan berang yang meluap mendadak.

Dengan langkah segan-segan dan hati berat, Senapati Arya


Suralaga mendekati Tumenggung Braja Nata. Meski ia telah
menduga peristiwa yang terjadi, namun ia terkejut juga demi
melihat dua mayat tergeletak berlumuran darah yang mulai
mengental.

"Gusti!" hanya itulah perkataan yang keluar dari mulutnya.

Tumenggung Braja
Nata melirik kepadanya, kemudian menjatuhkan pandangannya
pula. Beberapa jenak mereka berdiam-diaman. Tak seorang pun
mau bicara, kecuali dengan kelebat mata.

Akhirnya Tumenggung Braja Nata bangkit, tubuhnya


mengangkang hendak mengambil keris yang tertancap pada
dada Wagini. Dengan hati-hati dicabutnya keris itu.

"Mereka meninggal secara mulia ...." gumamnya lemah.

157
"Dewi Anggraeni! Sungguh seorang satria! Karena menganggap
dirinya menjadi penghalang buat cita-cita kemanusiaan yang
agung, tak segan-segan dia menghapuskan dirinya sendiri..."

"Jadi mereka membunuh diri?" tanya Senapati Arya Suralaga.

Tumenggung Braja Nata mengangguk. "Ya!" sahutnya lemah,


"Ketahananku tak ada artinya dibandingkan dengan ketabahan
dan kesediaannya meleburkan diri guna kepentingan yang lebih
agung."

"Batara akan melindungi mereka ...," gumam lemah Senapati


Arya Suralaga.

Maka beberapa jenak pula mereka hening. Kelengangan hutan


yang sayup-sayup diiringi suara binatang yang sayu, bagaikan
turut berhidmat kepada arwah yang baru meninggalkan raga.

"Titah telah terlaksana, tidakkah kita lebih baik pulang sekarang


untuk mempersembahkannya kepada baginda?" akhirnya
Senapati Arya suryalaga memecah kesunyian.

Ia tak tahan lebih lama berdiam-diaman dalam suasana


mencekam.

158
Tumenggung Braja Nata bangkit.

"Baginda tidak menitahkan kita untuk membawa jenazah


keduanya ke istana, hendak diapakan jadinya mereka?"

"Lebih baik kita biarkan saja di sini. Supaya jangan diganggu


binatang, lebih baik kita timbun dahulu ..." sahut Senapati Arya
Suralaga.

"Baiklah," jawab Tumenggung Braja Nata mengangguk.

Maka keduanya pun membetulkan letak kedua mayat itu,


kemudian menimbuninya dengan sampah daun-daunan yang
banyak bertebaran di sana. Tak lama kemudian, segalanya telah
selesai. Bekas darah tak lagi nampak.

Keduanya menganggap cukup aman, lalu berdiri akan


memberikan hidmat terakhir kepada kedua jiwa satria itu.

"Perhatikan batang cempaka itu ...," kata Tumenggung Braja


Nata sebelum pulang. "Bunga-bunganya sedang bermekaran,
dan dibawah naungannya, kita tanam bunga yang menjadi ratu
segala bunga..."

159
Senapati Arya Suragala tidak menyahut. Kepalanya jatuh
tertunduk.

Kemudian keduanya mengambil kudanya masing-masing, dan


berlalu dari sana.

Raden Panji Kuda Waneng Pati dengan diiringi oleh Patih


Prasanta yang tua beserta beberapa orang ponggawa, bagaikan
kalap memacu kudanya dari arah Pucangan.

Raden Panji merasa sangat gelisah. Kegelisahan menyebabkan


ia kehilangan ketenangan, rusuh mengamuk di dalam kalbu,
berbagai perasaan berkecamuk tak menentu. Waktu ia menuju
ke Pucangan, pikirannya masih dipengaruhi oleh titah baginda.
Ia merasa bergembira karena baginda tidak memaksanya
menikah dengan Dewi Sekar Taji. Namun demikian, ia sendiri
tidak mengerti benar mengapa tiba-tiba saja baginda
menitahkannya menghadap kepada sang Kili Suci. Begitu
pentingkah titah itu, sampai ia tidak diperkenankan singgah
dahulu akan menemui istrinya. Adalah harapan bahwa sang
pertapa akan berdiri di fihaknya, yang menyebabkan ia
senantiasa menekan perasaan rusuh yang tak keruan paran,
sehingga dengan cepat sampai ke Pucangan.

160
Tetapi alangkah heran tatkala menyaksikan sang Kili Suci
menyambutnya, dengan wajah yang muram durja.

"Sejak dahulu hatiku tawar untuk urusan perkara kerajaan ...,"


berkata sang Kili Suci setelah mendengar persembahan Raden
Kuda Waneng Pati mengenai pertunangannya dengan Dewi
Sekar Taji.

"Hidup menyepi di petapan adalah lebih menentramkan. Lebih


cocok bagiku. Untuk mengenal dan mengurus kehendak dan
kemauan diri sendiri pun sudah sangat berat apalagi untuk
mengurus orang satu kerajaan! Untuk itu tentu diperlukan
pengertian dan pengurbanan yang sangat besar. Kerelaan
pengurbanan yang bukan buatan. Sedangkan aku ..."

Daripada memberi jawaban terhadap sembah Raden Panji, sang


pertapa yang sudah lanjut usianya itu, malah seolah-olah
berbicara tentang dirinya, sedangkan wajahnya sangat bersedih.
Dengan matanya yang muram itu ia mengawasi wajah serta
kepala Raden Panji, mesra dan penuh sayang, namun kalau
kebetulan Raden Panji memandang kepadanya, ia cepat-cepat
menghindari pandangan putra mahkota Janggala itu.

161
"Sebagai putra mahkota yang kelak akan memangku takhta,
engkau mesti tabah dan tetap hati. Apa yang dipetuahkan oleh
ayahmu adalah benar semua. Hanya saja..." tak lanjut pula
perkataannya.

"Sekarang paling tepat, engkau buru-buru pulang ke tempat


istrimu. Semua lelah terjadi, tak mungkin dihindari, karena itu...
karena itu engkau mesti benar-benar teguh hati. Ingatlah, bahwa
hidup di dunia ini hanya maya, tak langgeng, semuanya tak
abadi ... Dan engkau Raden, seorang pahlawan yang bijaksana,
tentu akan sanggup mengalami berbagai cobaan yang datang!"

Setelah berhenti sejenak, dengan menghela nafas yang wegah,


sang Kili Suci menyambung pula, "Bukan tak ingin mengajak
Raden tinggal di sini barang beberapa hari, tetapi yang paling
tepat sekarang, Raden cepat-cepat pulang ke tempat istrimu ..."

Raden Panji menghaturkan sembah.

"Tetapi bagaimanakah gerangan dengan pertunangan hamba


dengan Dewi Sekar Taji? Mungkin Ayahanda akan meminta
tolong untuk menjelaskan hal diri hamba kepada Baginda Prabu
Kadiri, supaya tidak terbit persengketaan... Kalau sekarang

162
hamba pulang, apakah yang mesti hamba persembahkan
kepada Ayahanda?"

Suara sang Kili Suci sangat perlahan, "Adalah yang mesti Raden
pikirkan bagi kebenaran dunia ini! Pulanglah segera. Temuilah
Anggraeni, istrimu"

Pertemuannya dengan sang Kili Suci itu menumbuhkan


kegelisahan dalam hatinya. la merasa sangat heran akan
tingkah laku dan perkataan sang Kili Suci. Alangkah muram
sekali. Apakah gerangan yang menyebabkannya? Mengapa tak
nampak tanda-tanda kegembiraan hatinya bertemu dengan dia?
Mengapa malah menyuruhnya pulang cepat-cepat? Ada apakah
gerangan yang terjadi? Mengapa suaranya sangat murung dan
wajahnya berduka? Tidak, tak pernah sebelumnya sang Kili Suci
nampak berduka. Setiap bersua, kelihatan wajahnya berseri-seri.
Seorang pertapa yang sudah mengatasi duka dunia! Tidak lagi
gelombang perasaan berpengaruh terhadapnya, maka wajahnya
nampak segar. Tetapi tadi . . . ! Dalam pada itu perasaan gelisah
yang berkecamuk dalam hatinya makin membadai.

Ia memacu kuda secepat-cepatnya, masih juga ia merasa


larinya terlalu lambat. Ia hampir tidak menoleh-noleh akan
melihat kawan-kawannya seperjalanan, sehingga Patih Prasanta
163
yang sudah lanjut usianya itu, mati-matian menyusulnya. Bahkan
tiga orang ponggawa jauh tertinggal dibelakang, betapa pun
mereka memecuti kudanya.

"Alangkah aneh!" katanya berulang-ulang dalam hatinya sendiri.

"Alangkah aneh yang kualami hari-hari ini! Ayahanda


menitahkan aku ke Pucangan, sedangkan utusan dari Kadiri
masih menanti. Dan di Pucangan, sungguh luar biasa! Mengapa
sang Kili Suci nampak demikian muram dan berkata-kata
bagaikan tak tentu ujung pangkalnya? Wahai, ia orang
bijaksana, yang sakti kenyang bertapa, tentu waspada, tahu
sudah apa maksud baginda ... Tetapi kepadaku ia wanti-wanti
berpesan supaya cepat-cepat pulang ... Wahai, ada peristiwa
apakah yang menunggu?'

Begitulah hutan dan jurang dilalui dengan cepat. Jalan terjal dan
licin, tetapi Raden Panji sungguh-sungguh seorang yang pandai
berkuda. Di tempat yang datar, kudanya melesat laksana anak
panah dari busurnya, hanya sekilas nampak oleh pandangan.

'Dan Rayinda Anggraeni ... tentu ia sudah gelisah menanti!' pikir


Raden Panji pula. 'Seharusnya aku datang kemarin dulu. Ah,
tentu ia sudah mengira yang bukan-bukan!'

164
Teringat kepada istrinya yang sangat dia cintai, Raden Panji
cerah wajahnya, lantaran terbayang sambutan istrinya itu kelak.
Alangkah akan gembira Anggraeni menyambutnya!

'Sudah tahukah ia bahwa aku dititahkan ke Pucangan? Tentu


salah seorang kandaku telah memberitahukannya . Ia tentu
membiarkannya menanti dalam gelisah dan melang pikirnya
pula.

Makin dekat ke tempat peristirahatan, simpang siur tak keruan


makin menjadi. Hati makin gelisah saja. Dan wajah Anggraeni
berkelebat pucat terbayang-bayang dalam mata batinnya.
Alangkah pucat! Seolah-olah darah tak mampu naik kepada
urat-urat wajahnya. la mencoba memejamkan mata akan
menghilangkan bayangan yang menyeramkan itu, tetapi selalu
dan selalu saja muncul kembali. Sedangkan mata kekasihnya itu
tajam tetapi tenang seakan-akan terus-menerus
memandangnya, menatapnya, tak kunjung mengejap, dingin dan
mengibakan....

'Apakah gerangan yang terjadi dengan Anggraeni?' pikirnya tak


habis-habisnya.

165
"Raden! Raden Panji!" tiba-tiba terdengar teriakan
dibelakangnya. Itulah suara Patih Prasanta.

la menghentikan kudanya.

"Ada apa Mamanda Patih?" ia kembali bertanya sambil


berpaling.

"Hari telah sore, tidakkah lebih elok kita mencari penginapan


buat bermalam saja?" tanya Patih Prasanta berteriak karena
jarak antara mereka masih jauh.

Raden Panji memecut kudanya pula. "Tidak! Kita terus saja!"

"Tetapi, Raden ..." tak lanjut perkataan Patih Prasanta karena


sementara itu Raden Panji telah jauh meninggalkannya. Ia
bingung, karena para ponggawa yang mengiringinya makin
banyak saja yang tertinggal, entah meninggalkan diri. Tentu
lantaran kuda mereka bukan kuda pilihan tak sanggup mengejar
kuda Raden Panji yang memang terkenal sangat bagus.
Akankah ia menanti para ponggawa yang tercecer itu untuk
kemudian mengejar bersama? Ataukah ia akan terus? la pun
telah lelah, sedang mulut kudanya sudah berbusah-busah.

166
'Bagaimanapun aku mesti mengikutinya, karena untuk
mengawaninyalah aku dititahkan turut.'

Akhirnya ia mengambil keputusan. Maka ia menyentakkan


kendali pula, tanda supaya kudanya lari lagi. Kuda itu tahu akan
isyarat tuannya, segera berlari.

Keesokan harinya dengan wajah yang kuyu dan mata kurang


tidur karena semalaman tak henti-hentinya berkuda, Raden Panji
sampai di tempat peristirahatannya. Tubuhnya kaku dan lesu,
tetapi kalbunya pepat, gelisah tak menentu.

Waktu ia sudah menambatkan kuda dan masuk ke rumah, ia


mendapati rumah lengang. Para emban dan orang-orang yang
bertemu dengan dia, menghaturkan sembah diam-diam, tetapi
lalu menundukkan wajah. Mereka heran melihat keadaan
gustinya yang luar biasa itu dan menduga yang bukan-bukan.

Raden Panji mencari-cari istrinya, tetapi tak kelihatan olehnya.

"Rayinda!" ia berteriak rusuh. Hanya gaung yang menyahut.

"Rayinda!"

"Rayi! Keluarlah, suamimu datang!"

167
Tetapi tak ada juga sahutan. Ia masuk ke dalam peraduan, tetapi
Dewi Angraeni tak nampak. Ia heran. Sangkaan yang bukan-
bukan memenuhi kepalanya. Lalu ia menoleh kepada seorang
emban.

"Emban, ke manakah gustimu? Mengapa tak kelihatan? Pergi ke


tamankah dia? Cepat panggil!" katanya.

"Ampun Gusti!" sembah emban yang ditanya. "Mengapa Gusti


bertanya kepada hamba? Adalah hamba yang hendak
menanyakan hal itu kepada Gusti..."

Raden Panji melengak. "Apa maksudmu?"

"Ampun Gusti," sembah emban. "Gusti putri kemaren dulu


berangkat dengan Bibi Wagini..."

"Pergi? Ke mana?" tanya Raden Panji heran.

"Ampun Gusti, hamba kurang tahu. Yang hamba dengar,


katanya hendak menyusul Gusti."

"Menyusul kami?"

"Hamba, Gusti."

168
"Menyusul kami ke mana? Ke istana?"

"Hamba kurang tahu, Gusti. Tetapi Gusti Putri berangkat


bersama rakanda Gusti Kangjeng Tumenggung ..."

"Apa? Bersama rakanda Braja Nata?"

"Hamba, Gusti."

Raden Panji terhenyak. Ia terduduk, sedangkan tubuhnya terasa


lesu. Tumenggung Braja Nata! Apakah maksudnya gerangan
maka menjemput istrinya, Dewi Anggraeni? Hendak menyusul?
Ke mana? Ke Pucangan? Bukankah Tumenggung Braja Nata
tahu bahwa Raden Panji mendapat titah ayahanda ke
Pucangan, menyambangi Sang Kili Suci? Mengapa malah ia
menjemput istrinya? Sedangkan baginda tidak memperkenankan
ia sendiri singgah menemui istrinya itu! Mengapa justru
Tumenggung Braja Nata malah menjemputnya? Untuk pergi ke
mana? Dan kapan ...? Kemarin dulu! Kemarin dulu! Bukankah
waktu itu pula ia mendapat titah ayahanda? Bukankah kemarin
dulu ia berangkat ke Pucangan? Agaknya!.

'Apakah maksud Kakanda Tumenggung?' pikir Raden Panji.


'Mustahil ia hendak main gila kepada Dewi Anggraeni, tetapi ...
mengapa tidak? Dewi Anggraeni sangat jelita!'
169
Terpengaruh oleh pikirannya yang bercemburu, darah Raden
Panji naik. Wajahnya bagaikan terbakar dan amarah meluap-
luap.

"Ke mana mereka hendak pergi?" ia bertanya pula kepada


emban.

"Ampun Gusti, hamba kurang tahu. Sebab ketika itu hamba


sedang di belakang ... ," sahut emban.

"Apakah ketika itu ada diantara kalian yang tahu?"

"Sembah, Raden. Hamba akan panggil emban-emban yang lain.


Mungkin mereka mengetahuinya."

Emban itu mengundurkan diri akan memanggil kawannya yang


kemarin dulu melayani kedua tamu yang berkunjung itu.

Waktu ia kembali, ia membawa tiga orang emban yang lain.

"Darmir," tegur Raden Panji. "Tahukah kau ke mana gustimu


kemarin dulu hendak dibawa?"

"Ampun Gusti, kemarin dulu itu hamba di dalam saja. Hamba


tidak tahu tegas, karena yang melayani tamu hanya bibi Wagini
saja," sahut emban itu.
170
"Tetapi tatkala Gusti Putri berkemas-kemas, hamba ada dengar
juga tempat yang hendak dituju, katanya hendak menyusul Gusti
..."

"Ya, ke mana katanya mereka mau pergi?" Raden Panji tak


sabar.

"Kalau hamba tak salah ... ke Muara . . . Muara Kam . . . Muara


Kamal," sahut emban itu dengan ragu-ragu. "Katanya hendak
menyusul Gusti yang telah berangkat duluan ke sana..."

"Ke mana? Muara Kamal?"

"Hamba, Gusti. Muara Kamal."

Raden Panji bangkit.

Kepada Patih Prasanta yang masih berdiri di ambang pintu, ia


berkata, "Mamanda Patih! Kita Pergi ke Muara Kamal!"

"Tetapi Raden ..."

"Mamanda, kita berangkat sekarang!"

171
Patih Prasanta menghela nafas. Matanya memandang tak
mengerti kepada putra mahkota Janggala. Kepalanya
menggeleng.

Raden Panji sudah melompat dari rumah, lalu mendekati


kudanya pula. Waktu dilihatnya kuda itu kelelahan, ia
menukarnya dengan yang baru dari kandang.

"Ke mana kita hendak pergi. Raden?" tanya Patih Prasanta.

Raden Panji menepuk-nepuk punggung kuda.

"Ke Muara Kamal! Ambillah kuda baru dari kandang!"

"Ke Muara Kamal? Ada apa?"

Tetapi Raden Panji tidak mau menyahut. Ia meloncat ke atas


punggung kuda, lalu memacunya. Ia bagaikan tidak
menghiraukan lagi patih Prasanta.

Patih yang tua itu segera pula mencari kuda baru, lalu
memacunya, mengejar Raden Panji.

"Sungguh aneh!" bisiknya.

172
Tetapi ia tidak berani melepaskan putra mahkota pergi sendirian,
maka ia pun kepacu ke arah Muara Kamal.

Kuda baru yang masih bertenaga penuh itu, melesat terbang


membawa Raden Panji dalam kegelisahan dan berbagai pikiran
yang kusut.

'Tumenggung Braja Nata! Sungguh tak kusangka! Mengapa ia


berbuat nista?' pikirnya. 'Selagi aku menjalankan titah Baginda,
ia mencuri istriku! Kurang ajar!'

Patih Prasanta yang tua itu kini tidak mau ketinggalan. Kudanya
yang juga kuda pilihan yang diambilnya dari kandang kuda.
Patih Prasanta lari dengan kecepatan luar biasa, ia tidak jauh di
belakang Raden Panji.

Demikianlah beberapa lamanya keduanya berkejar-kejaran


bagaikan orang yang sedang berlumba. Setelah melewati
padang yang luas dan tanah-tanah pertanian yang subur,
mereka masuk ke dalam hutan lebat. Pohon-pohonnya tinggi-
tinggi, tapi meski demikian, Raden Panji tetap memacu kudanya.
Hanya kalau terhadang oleh belukar yang lebat, ia
memperlambat lari kudanya.

173
Tiba-tiba kudanya berbenger dan menghentikan langkahnya,
dan tak jauh di sebelah depan terdengar pula benger kuda. Tak
tertahan lagi kuda yang ditunggangi itu lari ke arah suara kuda
datang. Sia-sia saja Raden Panji menahannya. Maka segera ia
mempertajam matanya.

"Si Hitam!" teriaknya tatkala kelihatan olehnya seekor kuda


tertambat pada sebatang pohon trembesi.

"Mengapa ada di sini?"

Lalu ia pun mendekati kuda itu, kemudian turun.

Patih Prasanta pun mengikuti Raden Panji.

"Ada apa, Raden?" ia bertanya.

"Si Hitam kuda tunggangan Dewi Anggraeni ada di sini!" sahut


Raden Panji sambil mendekati si Hitam, yang setelah mengenali
majikannya lalu berbenger pula.

"Mengapa ada di sini?"

Si Hitam hanya meringkik saja.

174
"Lihat, tapak kuda di sini bukan hanya bekas si Hitam saja!" kata
Patih Prasanta yang segera memperhatikan keadaan
sekelilingnya.

"Agaknya paling tidak ada dua ekor kuda lainnya lagi!"

Raden Panji turut memperhatikan tapak kuda.

"Ya, ada dua tapak kuda pula yang bukan bekas si Hitam!"
sahutnya.

"Salah satu mestilah tapak kuda Tumenggung Braja Nata! Ke


mana mereka sekarang?" Patih Prasanta mengikuti tapak kuda
itu dengan seksama.

"Mereka menuju kembali ke arah yang kita tinggalkan ...,"


katanya kemudian.

"Mereka datang bertiga, tetapi yang satu ditinggalkan!"

"Itulah si Hitam!" potong Raden Panji cepat. "Dan itu kuda


tunggangan istriku Dewi Anggraeni!"

Wajahnya menjadi pucat dan merah bergantian. Ia murka


kepada Tumenggung Braja Nata, tetapi ia pun kuatir akan nasib
istrinya ....
175
"Jadi bagaimana? Kita kejar atau ... ?"

"Kita cari dahulu penunggang si Hitam!" Raden Panji


memutuskan.

Lalu ia memperhatikan keadaan sekitarnya dengan teliti.

"Lihat! Apakah tumpukan daun-daun kering itu? Mengapa seperti


dibikin orang?" ia pun Iari ke arah tumpukan dedaunan kering di
bawah pohon cempaka. Karena penasaran Raden Panji
membongkar tumpukan daunan yang membukit itu. Tentunya
bagaikan kerasukan sebentar saja tumpukan daun yang tinggi
itu telah dia bongkar. Dan tatkala akhirnya ia menyentuh tubuh
yang kaku, makin cepat ia membongkar, sedangkan tangannya
menggigil. Jantungnya berhenti berdenyut.

"Anggraeni!" teriaknya kemudian tatkala ia melihat mayat siapa


gerangan yang terbujur itu.

Lupa akan apa pun jua, ia menjatuhkan dirinya, lalu menangis di


atas tubuh istrinya yang dingin dan kaku, namun utuh,
sedangkan pada bibirnya tersungging senyuman rela. Raden
Panji terjatuh. Ia yang lelah karena kurang tidur dan memacu
kuda tak henti-hentinya itu, tak tahan mengalami kekagetan
dahsyat, sehingga pingsan.
176
Patih Prasanta yang berdiri di belakangnya, lalu menubruk
Raden Panji yang tak sadarkan diri itu, ditidurkan baik-baik,
sambil dia pijiti supaya lekas siuman.

Kemudian ia meninggalkan tubuh Raden Panji, mendekati mayat


Dewi Anggraeni. Sisa-sisa sampah yang masih menutupi wajah
dan badannya, dibuangnya, lalu mayat itu diangkatnya,
dibaringkan baik-baik di dekat Raden Panji. Maka kelihatan
olehnya mayat yang lain, yang tak bukan adalah mayat Emban
Wagini. Mayat itu pun diangkatnya baik-baik dan
dibaringkannya.

"Sungguh dahsyat!" pikirnya dalam hatinya sendiri. "Agaknya


untuk inilah baginda menitahkan Raden Panji ke Pucangan!
Sungguh berhati batu! Dia hendak menyingkirkan penghalang
yang menuju perkawinan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji!
Wahai, lihat! Senyuman Dewi Anggraeni, bagaikan iklas ia
meninggalkan dunia ini untuk kepentingan persatuan dua
kerajaan! Tumenggung Braja Nata! Sungguh tangguh kalbunya,
keras hatinya, sampai tega ia membunuh istri adiknya sendiri!"

Ia memijiti urat-urat Raden Panji pula supaya lekas siuman,


tetapi sia-sia saja.

177
"Sungguh besar pengurbananmu, Raden!" ratapnya dalam hati.
"Sungguh keras
kehendak Ramanda! Dan engkau, Raden, wahai, inilah agaknya
arti petuah sang Kili Suci! Raden mesti tabah! Raden mesti
sadrah! Raden, inilah agaknya yang dimaksudkan sang Kili Suci!
Ia sungguh waspada, meski tak sepatah pun berkata, namun tak
ada rahasia baginya. Pantas wajahnya muram! Sungguh berat,
sungguh berat Raden, cobaan yang mesti kau tanggungi" Patih
Prasanta menghela nafas, sedang tangannya masih juga memijit
Raden Panji.

"Tak bisa kupersalahkan baginda yang keras hati membela


kepentingan kerajaan, demi tercapainya cita-citanya yang suci
serta luhur itu. Untuk setiap cita-cita tinggi memang harus
diberikan pengurbanan yang besar! Tetapi ... Raden Panji pun
seorang manusia yang mempunyai hati. Ia pun mempunyai
kehendak-kehendak untuk mengecap kebahagiaan kalbunya ...
Tidak, ia pun tak bisa dipersalahkan karena tidak mau menerima
titah baginda ..."

Tak terasa lagi air matanya keluar dan menitik, hangat terasa.

'Sayang, sungguh sayang sekali ... sayang sekali ... Ah,


mengapa baginda tidak bertindak bijaksana? Mengapa baginda
178
menempuh jalan keras? Aduhai, Raden, sadar, sadarlah ...
Kuatkan hatimu! Tabahkan! Tanggungkan cobaan yang sangat
berat ini! Sadarlah, Raden, sadarlah ...'

Dari arah selatan, terdengar suara ketepuk kaki kuda. Tak lama
kemudian kelihatan mendatangi para ponggawa di atas kuda
mereka: letih dan lesu, namun nampak berkuatir atas nasib putra
mahkota. Demi melihat Patih Prasanta sedang berjongkok
menghadapi tiga orang yang terhantar kaku, terkejut mereka
bukan buatan, lalu bersi-cepatan turun dari punggung binatang
tunggangannya.

"Mengapakah Gusti Panji, Gusti Patih?" tanya salah seorang di


antara mereka.

Patih Prasanta hanya menengokkan mukanya.

"Kalian carikan air. Cepatlah!"

Dua orang ponggawa tergopoh-gopoh mencari air dingin.


Untung tak jauh dari sana ada sumber air yang jernih bening,
sehingga tak lama kemudian ia sudah datang membawa air
yang diminta. Patih Prasanta menerima air itu, lalu menyiram
kepala Raden Panji. Karena air dingin itu, Raden Panji siuman
pula. Perlahan-lahan ia membuka mata.
179
"Anggraeni ...Anggraeni ..." gumamnya, ia memandang ke
sekelilingnya, lalu bangkit, sedangkan Patih Prasanta dan para
ponggawa lain seakan-akan tak dia lihat.

Dia menubruk tubuh istrinya. "Anggraeni ... mengapa kau tidur di


sini? Mengapa bukan di rumah? Duhai, Anggraeni, istriku
sayang, alangkah nyenyak tidurmu! Dan ini, mengapa dadamu
berdarah? Duhai, nyamuk jahanam itu telah menyentuh kulitmu!
Tenang, tenanglah, tidurmu jangan terusik, biar kujaga baik-
baik!"

Lalu dia meloncat ke arah kuda, dicarinya, sesuatu, tetapi tatkala


tak ketemu, ia kembali kepada istrinya.

"Di manakah kipas kau tinggalkan, Adinda? Biar, biarlah tak


kukipasi juga, angin di sini sejuk menyilir ... Tidur saja kau,
tidurlah ... Biar kusenandungkan lagu-lagu yang indah ...," maka
ia pun menembang dengan suaranya yang parau, hampir
mulutnya rapat pada telinga istrinya itu, sehingga orang-orang
yang melihat tamasya itu segera memalingkan wajahnya.

"Raden ... , Raden ..." gumam Patih prasanta.

Para ponggawa yang lainnya menjatuhkan kepalanya masing-


masing. Mereka berduka demi melihat tingkah gusti mereka.
180
Mereka pun berduka lantaran melihat mayat Dewi Anggraeni.
Yang mengherankan mereka adalah meskipun darah yang
keluar dari lukanya sudah hitam kering, tetapi tubuhnya masih
tetap segar bugar, bagaikan masih bernyawa. Dan senyuman
yang bergelut pada bibirnya, takkan mungkin disangka orang
sudah menjadi mayat. Waktu mengangkat wajah, mereka hanya
bersi-pandangan dengan sesamanya, untuk kemudian
menjatuhkan kepala pula.

Patih Prasanta pun tidak mengganggu Raden Panji yang sedang


bersenandung itu. Ia hanya diam juga menundukkan kepala.
Akhirnya Raden Panji selesai bersenandung, lalu bangkit pula
dan memangku istrinya itu.

"Ah, mengapa di sini, Sayang, mengapa di sini Dinda terbaring?


Lumut itu mengotori kulitmu indah, dan ranting itu akan menusuk
lenganmu langsat ..." bisiknya mesra. "Mari kupindahkan,
kupindahkan engkau atas ranjang gading ketiduran kita... "

Lalu ia menoleh kepada patih Prasanta.

"Mamanda Patih! Mengapa diam saja? Ambillah Bibi Wagini itu,


Mamanda pangku ia, supaya kita pindahkan mereka, jangan

181
tertidur di sini ... Pelan-pelan, jangan sampai ia terjaga dari
tidurnya!" katanya memberi perintah.

Patih Prasanta ayal-ayalan, ia ragu-ragu, "Tetapi Raden ...


Raden ..."

"Mengapa Mamanda tidak segera menjalankan titah? Ataukah


Mamanda tidak memandang mata lagi kepada kami? Mamanda
tahu, kami putra mahkota Janggala, yang akan naik takhta, dan
putra mahkota mesti tabah hati, mesti berani berkurban ..." lalu
tiba-tiba saja ia tersedu-sedu bagaikan kanak kanak. Maka
basahlah wajah istrinya oleh air mata.

"Duhai, mengapa kubasahi wajah jelita ini dengan air mata hina?
Tidur, tidurlah Rayi, jangan engkau terjaga oleh karena air mata
ini! Kekasih abadi! Percayalah, biar gunung Semeru mereka
hadangkan antara kita, namun engkau tak nanti terpisahkan dari
hidupku ... Percayalah, kekasih, percayalah! Percayalah akan
cintaku yang besar! Tak nanti kukhianati! Biar, biar, biar seluruh
kerajaan memusuhi Kakanda, namun hatiku tetap cintamu ...
Anggraeni! Lihat! Bunga cempaka! Alangkah indah! Maukah kau
kuuntai sekarangan bunga, akan menjadi penghias
kejelitaanmu? Alangkah cantiknya Adinda jika berhiaskan bunga
... Tetapi, bunga cempaka! Wahai, mengapa bunga seputih ini
182
berbau darah? Tak terciumkah olehmu. Adinda, amis darah
merangsang hidung? Amis! Amis! Mamanda Patih! Mengapa
amis darah? Darah siapa duhai Mamanda Patih?" la menoleh
kepada Patih Prasanta.

Sang patih menundukkan wajah. Air matanya makin lebat


membasahi pipinya yang tua keriputan itu, lantaran tak tega
melihat keadaan junjungannya.

"Raden ... Raden ...," hanya itulah yang keluar dari mulutnya.

"Mamanda Patih! Siapakah yang luka? Siapakah yang darahnya


... lihat! Alangkah merahnya darah itu! Lihat mengapa batang
cempaka itu mengeluarkan darah semerah itu? Mengapa batang
cempaka bukan bergetah, melainkan berdarah?" ia mundur
sambil memangku istrinya.

"Paman, mundur, mundur, darah itu makin banyak makin banyak


jua! Lihat membanjir! Tidakkah ia akan menghanyutkan kita?
Mamanda Patih! Tolong!" Raden Panji memejamkan matanya.
Dan berteriak-teriak meminta tolong tak keruan.

Patih Prasanta dan para ponggawa hanya melihatnya saja.


Mereka tidak melihat darah, tentu hanya penglihatan Raden

183
Panji saja. Tatkala ia membuka matanya pula, Raden Panji
memeluk istrinya erat-erat, sedang ratapnya berkepanjangan.

"Anggraeni, istriku, kekasihku ... Mengapa, matamu begitu


berduka? Mengapa begitu sedih? Ah, engkau tidur di
pangkuanku, mengapa matamu tak pejam? Mengapa
memandangku begitu sayu?"

"Mamanda, Mamanda Patih! Siapakah orang itu yang wajahnya


seperti kekasihku, menatap tak henti-henti kepadaku? Siapakah
dia? Bukan, dia bukan istriku, karena istriku sedang nyenyak
tertidur di pelukanku ... Mamanda, tolong! Tolong singkirkan dia,
karena darah tak henti-hentinya mengalir dari dadanya! Duhai,
tolong, darah yang merah! Merah!"

Raden Panji berlari-lari ketakutan dan mulutnya tak henti-


hentinya berteriak-teriak.
Patih Prasanta memburunya. Dipegangnya bahu Raden Panji.
"Raden tenanglah Raden, tenanglah ... Tak ada orang yang
memandang Raden dan darahnya tak henti-henti mengalir ...
Tak ada!"

184
"Tetapi lihat! Ia berdiri di samping Mamanda! Ia memandang!
Mamanda, suruh ia pergi! Jangan memandangku dengan
pandangan dingin begitu!"

"Raden ...," suara Patih Prasanta serak lantaran hiba. "Yang


berdiri di samping Raden, hanya Mamanda seorang, tak ada
yang lain! Dan Dewi Anggraeni.... "

"Sssttt ...," Raden Panji menekankan telunjuk ke mulutnya.


"Jangan keras-keras Mamanda bicara, nanti ia terjaga! Lihat, ia
tidur, nyenyak sekali. Perlahan-lahan Mamanda, supaya ia
jangan terjaga..."

Patih Prasanta hanya memandang dengan kasihan.

"Tidur, tidurlah sayang ...," kata Raden Panji kepada mayat


istrinya. "Tidurlah biar nyenyak.Jangan hiraukan suara-suara
yang mengganggumu. Dengar, dengarlah, biar Kanda
senandungkan pula lagu yang indah ...," dan ia pun menyanyi
pula dengan suara yang rendah dan parau, sedangkan matanya
hampir pejam, pipinya di atas pipi Dewi Anggraeni. Ia
membisikkan senandungnya itu ke telinga kekasihnya.

185
Patih Prasanta serta para ponggawa kembali menjatuhkan
kepala. Mereka menghindarkan pandangan dari tamasya yang
mengenaskan itu ...

Raden Panji berjalan beberapa tindak, lalu duduk dan


membaringkan kekasihnya di atas naungan pohon yang rindang.
Ditaruhnya kepala mayat istrinya di atas pangkal lengannya
yang kanan, lalu tangannya yang kiri memeluk sayang tubuh
istrinya, sedangkan mulutnya tidak juga berhenti
bersenandung....

Tidak lama kemudian suaranya lenyap, agaknya ia tertidur.

Patih Prasanta terjaga dari lamunannya, lalu bangkit dan


memberi isyarat kepada para ponggawa agar mengikutinya. Ia
berjalan agak jauh dari tempat Raden Panji, lalu memberi
perintah dengan berbisik.

"Biarkan ia tertidur, jangan berbuat ribut. Ia lelah ...," ia lupa


bahwa ia sendiri bersama para ponggawa itu lelah semua. Lalu
dititahkannya supaya dua orang ponggawa pulang ke istana,
akan mempersembahkan hal Raden Panji kepada baginda.

186
"Ampun Gusti Patih," sembah ponggawa yang mendapat titah
itu. "Bagaimanakah hamba mesti mempersembahkan hal itu
kepada baginda?"

Patih Prasanta berpikir keras. "Kau persembahkanlah apa yang


kau saksikan sendiri dengan matamu ..." katanya kemudian.

"Mestikah hamba persembahkan, bahwa Raden Panji ... Raden


Panji ... berubah . eheh ...berubah ingatan?"

Patih Prasanta menghindarkan pandangan ponggawa itu.

"Pesembahkanlah hal yang sesungguhnya ...." sahutnya


kemudian.

Sang ponggawa menekur.

"Tidakkah baginda akan murka?" ia bertanya menggumam.

"Bagaimanapun, kau mesti mempersembahkan hal yang


sesungguhnya ..." sahut Patih Prasanta pula. "Persembahkan,
bahwa aku tidak menghadap sendiri, karena kuatir kalau-kalau
Raden Panji berbuat nekat."

187
Ponggawa itu segera menghaturkan sembah, lalu bersama
seorang kawannya mengendap-endap menuntun kudanya
kembali ke arah Kahuripan.

Patih Prasanta duduk dengan kepala tertunduk. Kantuk dan


lelah dirinya tak dia rasa, pikirannya tertuju kepada keselamatan
gusti mudanya saja. Sejenak ia memandang ke arah Raden
Panji tertidur berpelukan dengan mayat istrinya itu, lalu
airmatanya pun mengalir tak tertahankan lagi. Ia merasa hiba
dan sedih hati yang luar biasa.

'Alangkah hebat akibat kekerasan hati baginda! Menantu yang


tak berdosa dibunuh dan putranda sendiri! ... Wahai, putra
mahkota Janggala yang berhak atas takhta, berubah ingatan!
Bagaimana pula baginda akan melaksanakan cita-citanya
menikahkan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji? Duhai, akan
remuk hati sang permaisuri apabila disaksikannya putranda
berhal seperti ini!...,' pikirnya.

Patih Prasanta memandang pula ke arah Raden Panji yang


tenang tertidur di samping mayat istrinya itu.

188
'Alangkah besar cintanya! Alangkah besar! Dan alangkah besar
pengurbanan yang mesti dia berikan! Sungguh hebat!' pikirnya
pula.

Sementara itu angin yang sejuk, bangkit semilir membawa


kantuk. Seluruh hutan bagaikan mati. Kuda-kuda mengisi
perutnya dengan lahap sambil beristirahat. Para ponggawa di
kejauhan bagaikan terpukau oleh kantuk. Terdengar bisik-bisik
dan keluhan-keluhan berduka, tetapi peristiwa yang mereka
alami dan saksikan menyebabkan mereka terpaku lidahnya.
Kelu.

Sang patih bersandar pada sebatang pohon, dan tatkala angin


yang semilir menyejuk tubuhnya, ia pun jatuh tertidur.

Tatkala ia terjaga pula. Raden Panji sudah berdiri di


sampingnya, sambil mengguyah-guyahkan tubuhnya.
"Mamanda! Mamanda! Mari kita berangkat!"

Patih Prasanta membuka matanya. "Berangkat ke mana.


Raden?"

"Kita pergi ke pantai! Ke Muara Kamal!"

Patih Prasanta terheran-heran. "Ke Muara Kamal?"


189
"Ya, kita pergi ke Muara Kamal. Dewi Anggraeni ingin mandi di
laut. Ia ingin melihat pemandangan laut. Ia ingin berenang-
renang, berperahu, berlayar-layar, menghirup udara laut..."

Patih Prasanta memegang kedua bahu junjungannya, dan


sambil matanya memandang tajam kepada wajah Raden Panji,
ia berkata, suaranya perlahan dan bagaikan tersekat di
kerongkongan, "Raden, tetapi... Raden, sadarlah! Dewi
Anggraeni sudah meninggal. Ia tidak punya kehendak lagi. Ia
sudah tidak berkeinginan lagi. Ia mesti ... "

Raden Panji menyentak melepaskan tubuhnya dari pegangan


Patih Prasanta.

''Apa kata Mamanda? Dewi Anggraeni meninggal? Jangan


Mamanda bicara yang bukan-bukan! Tidakkah Mamanda lihat ia
tersenyum, menertawakan perkataan Mamanda? Sudahlah
Mamanda, mari kita berangkat! Tidakkah terdengar oleh
Mamanda suara ombak menderu mengajak kita mandi di
dalamnya?"

Patih Prasanta memandang dengan mata penuh hiba. "Tetapi


Raden, Raden...yang Raden peluk itu bukan istri Raden,
melainkan ...," katanya kemudian.

190
"Apa? Mamanda masih bicara juga? Mamanda kira siapa yang
kupeluk ini? Istriku! Istriku Dewi Anggraeni yang tercinta!" teriak
Raden Panji. "Lihat, ia merasa gerah, ia ingin mandi. Mari kita
berangkat ke Muara Kamal! Bukankah ia berangkat dari rumah
pun menuju ke Muara Kamal?"

Patih Prasanta menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian ia


memegang bahu Raden Panji pula.

"Dengarkan Raden ..." katanya. "Yang Raden peluk itu memang


istri Raden, Dewi Anggraeni yang Raden cintai dan mencintai
Raden sepenuh hati.Tetapi sekarang, sekarang ... ia sudah
meninggal ... Tidakkah Raden perhatikan wajahnya? Ia tidak lagi
bernafas ..."

"Mamanda! Sudah, jangan bicara juga! Kekasihku langgeng,


kekal, ia 'kan kekal mencintaiku dan tak nanti meninggalkan
daku sendirian di dunia ini. Tidak! Ia 'kan tetap setia
disampingku!"

Kemudian ia menoleh kepada kekasihnya. "Tidakkah benar


begitu, kekasihku?"

Patih Prasanta hanya menghela nafas. Ia mengalihkan


pandangan dan junjungannya.
191
"Mamanda!" terdengar Raden Panji bicara pula. "Pangkulah Bibi
Wagini! Kasihan ia wanita, sudah lanjut pula usianya! Biar Dewi
Anggraeni akan kupangku. Mamanda pangku Bibi Wagini! Ia
seorang emban setia, pengasuh kekasihku sejak masih kecil, tak
mau ditinggalkan ke mana pun gustinya pergi ... Sekarang, mari
kita ajak dia ke laut. Biar senang keduanya menyaksikan
tamasya laut yang indah...," kemudian ia menoleh kepada mayat
istrinya, "Bukankah Adinda belum melihat laut yang berbusa
putih? Laut yang sejauh-jauh mata memandang terhampar luas?
Pucuk ombak gemerlap, perahu mayang, ikan-ikan, binatang-
binatang, matahari, dan bulan! Ya, kita lihat matahari dan bulan
bersama-sama di atas laut! Mari, mari sekarang juga Kanda
antar ke sana, biar suka hatimu, biar puas Adinda menghirup
udara laut yang menyegarkan! Mari kita berangkat, mari!"

Lalu ia pun bangkit, dipangkunya istrinya, kemudian berjalan


menuju kudanya. Hati-hati sekali dinaikkannya tubuh istrinya itu
di atas kuda, lalu dilepaskannya tali tambatannya, baru ia naik.
Dipegangnya kendali dengan tangan kanan, sedangkan tangan
kirinya memeluk tubuh istrinya erat-erat.

"Mari Mamanda! Mari. cepat!" teriaknya sambil menoleh kepada


Patih Prasanta.
"Mengapa Mamanda selalu ayal-ayalan?"
192
Patih Prasanta segera melakukan titah junjungannya.
Dipangkunya mayat Emban Wagini lalu dinaikkannya ke atas
kuda. Tetapi sebelum ia sendiri naik, diberinya isyarat supaya
para ponggawa pun turut mengikutinya.

"Biar bagaimana pun, mesti kita ikuti ..." katanya kepada para
ponggawa itu. "Jangan biarkan ia berbuat apa pun sendirian ...
Ke manapun kita mesti turut. Hatinya sangat berduka dan
cintanya kepada istrinya sangat besar, maka tak mau ia percaya
bahwa istrinya sudah meninggal. Maka baginya, Dewi Anggraeni
itu masih berjiwa jua agaknya ..."

Para ponggawa mendengarkan perkataan patih Prasanta


dengan diam-diam dan menundukkan kepala. Mereka
menundukkan kepala, lantaran terharu dan iba yang amat
sangat.
Segera mereka mengambil kudanya masing-masing dengan
diam-diam.

Sementara itu Raden Panji sudah beberapa belas tumbak


meninggalkan mereka. Sayup-sayup terdengar senandungnya
yang parau. Makin lama suaranya makin keras dan makin keras
jua. Walaupun parau, suaranya bagaikan bukan orang berduka,
melainkan riang seriang-riangnya riang.
193
Demikianlah iring-iringan yang aneh itu berjalan. Di depan
Raden Panji memeluk mayat istrinya tak henti-hentinya
menembang. Dan di belakangnya mengikuti Patih Prasanta yang
juga memeluk mayat, tetapi ia tidak menembang, melainkan
berwajah muram dan berduka. Di belakang mereka mengikuti
para ponggawa yang juga tidak nampak gembira, bahkan
bersedih hati.

Keluar dari hutan, maka nampaklah tegalan yang luas, dengan


ilalang yang bergelombang. Di kejauhan terdengar dentur ombak
laut yang menerjang pantai.

"Dengar, kau dengarkan kekasihku, suara gelombang itu


menghimbau memanggilmu? Mari, mari kita ke sana! Laut ingin
dikunjungi oleh putri jelita seperti engkau, supaya sudi
mencecahkan kakimu indah berbasah-basah di tepi pantai ..."
bisik Raden Panji kepada istrinya. "Dan lihat! Alangkah
indahnya! Di sini tidak seperti dalam hutan! Pemandangan luas
dan bebas! Tak ada pohon-pohon suram yang menghalangi
pandangan! Alangkah luas! Mari dongakkan kepalamu,
pandanglah semuanya sepuasmu!"

Suara ombak makin nyata terdengar, dan tak lama kemudian


sampailah mereka di pesisir. Pucuk ombak yang menuju pantai
194
gemerlap dalam sinar matahari yang terik. Keringat kuda
bercucuran, bermanik-manik sepanjang surinya, bagaikan
permata berkilauan.

"Kekasihku! Lihatlah, laut luas terbentang di hadapanmu itu!


Alangkah indahnya pemandangan samudra di bawah bulan
purnama! Sungguh cemerlang! Dan bulan itu ...," ia mendongak
ke arah langit, lalu menunjuk ke arah matahari yang bersinar
terik itu, "alangkah bulatnya!"

Demi sampai di tepi pantai, lalu ia turun dari kuda sambil


memangku kekasihnya, yang dipeluknya. Kakinya yang indah itu
dibiarkannya dibasahi sibakan-sibakan air yang didorong ombak
dari tengah.

"Sungguh menyegarkan air laut ini!" serunya gembira. "Tidakkah


engkau senang air yang segar itu membasahi kakimu, sayang?"

Tak lama kemudian Patih Prasanta pun sampai juga ke sana.

"Mari, mari kemari Mamanda! Kita berjuntai di sini, membasah-


basahi kaki dengan air laut yang menyegarkan ini!"

Beberapa lamanya mereka berbuat demikian, hingga tiba-tiba


Raden Panji melompat dari duduknya.
195
"Mamanda. lihat! Lihat di Muara itu banyak perahu! Mari, kita
pinjam beberapa buah, supaya boleh kita bersenang-senang
berlayar ke tengah samudra. Dewi Anggraeni tentu senang
hatinya apabila berperahu di lautan! Hahaha...bukankah engkau
belum pernah berlayar-layar ke lautan? Ya, mari, mari,
sekarang! Biar puas hatimu! Senang kita berlayar-layar dengan
perahu sedangkan bulan memancar seindah ini!"

"Tetapi Raden ..." sahut Patih Prasanta.

"Apa pula 'tetapi', Mamanda?" cepat Raden Panji memotong.


"Tak pakai tetapi lagi, mari kita berangkat sekarang! Mamanda
panggil tukang perahu itu, boleh kita sewa!"

"Tetapi Raden, tidakkah lebih baik kita pulang?"

"Apa pulang? Tidak, Mamanda, di istana baginda tidak ada lagi,


yang sekarang ada seorang yang bermuka macan, berlepotan
darah! Tidakkah Mamanda tahu, siapa yang telah mengalahkan
Ayahanda? Itulah raksasa! Yang taringnya menakutkan! Tidak,
tak mau kami kembali ke sana! Lebih baik kita berlayar akan
mencari pulau yang indah dimana manusia-manusia kasih-
mengasih sesamanya, seperti kami cinta-mencintai dengan Dewi

196
Anggraeni! Mari! Mari,Mamanda! Kita cari pulau tempat tinggal
manusia, jangan tempat raksasa kita datangi!"

Patih Prasanta terhenyak. Ia tidak bisa berbuat lain daripada


melakukan kehendak Raden Panji.

'Bagaimanapun sekarang ia sedang berduka, tak baik


kehendaknya kuhalang-halangi,' katanya dalam hati. 'Baiklah,
kuturutkan saja segala kehendaknya, mudah-mudahan takkan
berlarut-larut.'

Maka dititahkannya para ponggawa menemui juragan perahu


akan meminjam perahu-perahu mereka.

Demi tahu siapakah gerangan yang hendak mempergunakan


perahu mereka, para juragan perahu itu tidak keberatan, hanya
saja seorang diantara mereka menyatakan kekuatirannya,
"Tetapi hari rupanya akan menjadi buruk! Menurut penglihatan
hamba di kaki langit nun di sana kelihatan warna hitam
gumpalan awan, mungkin badai akan turun sore nanti."

Sembah itu disampaikan kepada Raden Panji, tetapi putra


mahkota yang tidak waras itu malah tertawa mengejek, "Apa,
badai? Jangan main-main! Masa pada hari seindah ini, dengan
purnama seterang ini, badai akan turun? Engkau rupanya tak
197
mau meminjamkan perahu kepada kami, maka kau takut-takuti
kami dengan badai! Tidak, kami tak mungkin kau bohongi! Kami
akan berlayar bersenang-senang! Tidakkah engkau lihat, wajah
kekasihku ini menjadi murung lantaran mendengar cegahanmu?
Engkau telah menerbitkan kekuatiran dalam kalbunya!"

Juragan perahu itu pada mulanya merasa tak senang karena


dikata-katai oleh Raden Panji seperti itu. Ia memberi peringatan
untuk keselamatan orang, siapa tahu malah dimaki-maki.

Tetapi tatkala ia sudah dibisiki oleh para ponggawa bahwa putra


mahkota sedang sakit ingatan, ia hanya menunduk.

"Terserahlah!" katanya. "Hamba tidak sayang perahu hamba


diterjang badai. Tetapi putra mahkota Janggala ...?"

Akhirnya Raden Panji naik juga ke atas perahu. Sebuah perahu


yang besar dipilihnya. Sambil memangku kekasihnya ia naik.
Kemudian disuruhnya Patih Prasanta mengikutinya sambil
memangku mayat inang pengasuh Dewi Anggraeni itu. Dan para
ponggawa dititahkan naik ke perahu yang Iain. Kedua perahu itu
diperintahkan diikat erat-erat.

Demikianlah perahu-perahu itu bertolak dari pantai. Sedangkan


para awak perlu melakukan tugasnya dengan hati kebat-kebit.
198
Raden Panji tak henti-hentinya menembang dengan suaranya
yang parau itu...

Kedua perahu itu berlayar dengan angin buritan,makin lama


makin jauh dari pantai.

Raden Panji menurutkan kehendaknya sendiri. Ia menitahkan


awak-awak perahu itu terus maju ke tengah samudra. Makin
lama makin ke tengah dan daratan sudah sayup-sayup.

Apa yang dikatakan oleh juragan perahu tentang badai itu,


benar-benar terjadi. Tiba-tiba angin dan hujan datang dengan
kerasnya. Matahari yang bersinar terik tiba-tiba menjadi gelap
gulita, dan air serta halilintar menggantikannya. Di Muara Kamal
orang-orang menyaksikan semuanya dengan gelisah dan putus
asa. Perahu yang dinaiki oleh putra mahkota itu mereka ikuti
dengan teliti sejauh-jauh mata menuju kaIa badai bertiup,
lenyaplah segala pemandangan.

Dan tidak lama kemudian yang dahsyat pun sampai pula ke


Muara Kamal. Orang-orang saling pandang. Mereka merasakan
kekuatiran hatinya dengan pandangan suram.

199
"Sungguh celaka!" kata juragan perahu yang tadi mencegah
Raden Panji. "Mengapa tak kularang mereka pergi? Mengapa
aku manda saja?"

"Baginda tentu akan murka kalau diketahuinya hal hilangnya


putra mahkota diterjang topan!" kata seseorang membumbui.

"Kita akan kena murka!"

Orang-orang itu saling pandang dengan cemasnya.

"Tetapi meski bagaimana pun, kita mesti memberitahukan hal ini


kepada baginda!" tiba-tiba kata seorang yang sudah lanjut
usianya.

"Tak peduli bagaimana murka baginda, namun hal ini mesti


diberitahukan juga!"

Kemudian orang-orang itu berunding siapa yang akan berangkat


ke ibukota buat memberitahukan kabar duka itu kepada baginda.

Berita tentang Raden Panji berubah ingatan yang dibawa oleh


ponggawa pengiringnya, sangat mendukakan hati sang
permaisuri. Saking terkejut, ia pingsan dan beberapa lamanya
tak kabarkan diri. Baginda pun terhenyak. Pukulan itu sangat

200
mengejutkan hatinya. Lain yang dicita, lain yang terjadi! Tatkala
sang permaisuri siuman pula, maka ia menangis
berkepanjangan, lantaran dukacita. Betapa kan tidak! Raden
Panji Kuda Waneng Pati satu-satunya putranda! Biji mata
tumpuan harap! Yang akan
menggantikan ayahanda memangku takhta! Dan sekarang ...
berubah ingatan!

"Bagaimanapun, Gusti juga yang bersalah! Melakukan sesuatu


tanpa pertimbangan yang matang!" katanya antara sedu sedan
yang menyesakkan dada dan pipi yang basah dengan air mata.

Dipersalahkan seperti itu, baginda tidak mau menerima. Ia


memandang kepada permaisuri dengan mata yang guram.

"Dasar si Panji itu seorang yang lemah hati. Yang dia pikirkan
hanya kepentingan dirinya semata!" sabdanya.

"Sekali-kali dalam pikirannya tak pernah terlintas kepentingan


orang lain, kepentingan manusia kawula kerajaan!"

"Kepentingan kawula kerajaan!" bantah sang permaisuri. "Untuk


kepentingan kawula kerajaan, Gusti rela membunuh menantu
dan membikin putra sendiri tidak ... tidak ... wa ... waras!"

201
"Yang kutitahkan dilenyapkan adalah penghalang akan
terlaksananya cita-cita yang agung! Dan kalau si Panji sekarang
berubah ingatan, adalah lantaran kelemahan hatinya jua!" sahut
baginda.

"Dan sekarang, setelah semuanya berlaku seperti ini,


bagaimana gerangan cita-cita Gusti yang agung itu?" ejek sang
permaisuri.

"Bisakah Gusti mencapai cita-cita tinggi itu, dengan jalan


kekerasan dan paksaan? Bisakah Gusti mencapai kebahagiaan
manusia dua kerajaan dengan mengurbankan kebahagiaan
putranda sendiri?"

"Kalau si Panji seorang yang berhati kuat, yang sadar akan arti
hidupnya sebagai seorang putra mahkota yang mesti rela
mengurbankan diri dan kebahagiaan sendiri buat kepentingan
kebahagiaan kawula negara, tak nanti terjadi hal seperti ini! Hal
yang seperti ini terjadi, semata-mata lantaran si Panji seorang
yang lemah hati, seorang yang terlalu dimanjakan! Dan
Rayindalah yang telah terlalu memanjakannya, sehingga ia lupa
akan darmanya sebagai seorang satria! Bahkan seorang satria
utama!"

202
Dituduh demikian, sang permaisuri menjadi murka.

"Hamba pula dipersalahkan! Ya, hanya orang lain yang bersalah


dan Gusti seorang maha manusia yang senantiasa memikirkan
kebahagiaan manusia-manusia lain, tak mungkin melakukan
kesalahan! Setiap kehendak Gusti mesti terlaksana! Dan kalau
terjadi yang di luar kehendak Gusti, tentu ada orang lain yang
bersalah! Padahal Gusti melakukan segalanya tanpa
mempertimbangkan hal-hal yang bersangkutan dengan
pelaksanaannya! Gusti menitahkan Raden Panji melakukan hal
yang diluar kemampuannya. Gusti tidak pernah memikirkan sifat
tabiat Raden Panji. Ya, Gusti tidak pernah mempunyai waktu
yang cukup buat memperhatikan putranda sendiri, lantaran Gusti
senantiasa sibuk memikirkan kepentingan manusia-manusia
lain!"

"Rayinda!" sang baginda berteriak. "Apa yang Rayinda


katakan?"

Permaisuri tidak menyahut, menangis sejadi-jadinya. Tak terlerai


lagi.

Setelah baginda merasa dadanya sendiri reda membadai, baru


bersabda dengan suara yang disabar-sabarkan, "Rayinda mesti

203
mengerti. PersoaIan Raden Panji, persoalan yang menyangkut
martabat kerajaan! Pernikahan Raden Panji dengan Dewi Sekar
Taji mesti dilaksanakan, karena keduanya sudah dipertunangkan
dan pertunangan itu dilakukan atas nama dua kerajaan yang
bercita-cita luhur!"

Sang permaisuri mengangkat wajah. "Pernikahan Raden Panji


dengan Dewi Sekar Taji! Tetapi mestikah itu dilakukan setelah
melangkahi mayat Dewi Anggraeni lebih dahulu?"

"Anggraeni adalah penghalang yang menyebabkan Raden Panji


tidak mau menikah dengan Dewi Sekar Taji!"

"Dan sekarang, setelah Dewi Anggraeni meninggal, bagaimana?


Akankah Raden Panji sudi menikah dengan Dewi Sekar Taji?"

Baginda melengak. la tidak bisa menyahut, hanya diam-diam


kepalanya menekur.

"Mengapa Gusti tidak mendengar perkataan hamba? Bukankah


hamba wanti-wanti berpesan, supaya jangan dilakukan
paksaan? Bukankah dengan dilakukan paksaan, hasilnya sia-sia
saja? Jangankan cita-cita Gusti tercapai, bahkan Raden Panji
sendiri ..." tak lanjut perkataan permaisuri, lantaran dadanya
menjadi sesak pula oleh biang tangis.
204
Beberapa lamanya ia sesenggukan, terdengar pula ratapnya tak
berkeputusan, "Duhai Raden ...mengapa nasibmu malang?
Mengapa mesti engkau yang mengalami pengalaman dahsyat
seperti itu? Anggraeni hilang, dan yang menitahkannya lenyap
adalah ayahanda! Aduhai, Tumenggung Braja Nata, saudaramu
sendiri yang melakukannya! Sungguh hebat ..."

Kecuali suara sang permaisuri yang meratap berkepanjangan,


hanya nafas baginda yang terdengar.

Baginda diam merenung, sedangkan matanya memejam.


Beberapa lamanya berdiam-diam seperti itu,akhirnya baginda
menghela nafas panjang, kemudian memegang kedua bahu
sang permaisuri.

"Sudahlah Rayinda, sudahlah," sabdanya.

"Jangan Rayinda perturutkan juga kedukaan hati Rayinda."

Permaisuri meratap-ratap juga.

Baginda keluar akan menitahkan beberapa orang ponggawa


untuk membawa Raden Panji pulang ke istana.

205
Belum lama orang berangkat, datang warta dari Muara Kamal:
putra mahkota Janggala tenggelam di lautan diterjang badai!

Baginda terperenyak. Tubuhnya seolah lesu dan tulang-


tulangnya tak berdaya. Berita yang datang saling menyusul itu
sangat meremukkan kalbu baginda. Tetapi masih sempat
baginda memberi ingat para hamba supaya jangan sampai
berita itu terdengar oleh sang permaisuri.

Sekarang, lenyaplah harapan baginda! Raden Panji hilang


dalam lautan, tak mungkin baginda memenuhi janjinya kepada
raja Kadiri. Tak mungkin cita-cita yang agung itu bisa terlaksana.

Andai bila Raden Panji masih hidup, meskipun tidak waras,


masih ada harapan suatu waktu ia akan sembuh dan persatuan
Janggala dengan Kadiri terlaksana. Tetapi sekarang ...! Raden
Panji entah di mana di dasar samudra, mungkin sudah menjadi
santapan ikan hiu pula! Tetapi agaknya itulah akhir yang sebaik-
baiknya bagi Raden Panji... pikir baginda kemudian.
Daripada hidup terus dengan ingatan yang tidak waras...

Kemudian baginda termenung pula.Baginda merenung,


menyelam ke dasar lubuk jiwanya, memikirkan peristiwa demi
peristiwa yang belakangan ini dialaminya. Sebagai seorang raja,

206
baginda seorang yang berambekan tinggi dan bercita-cita luhur.
Tetapi kejadian-kejadian yang berlalu di luar kekuasaannya
sendiri, menggagalkan cita-citanya yang luhur itu, sehingga
hatinya menjadi tawar. "Malu aku kepada moyangku sang
Airlangga!" pikirnya. "Cita-citanya hendak kulaksanakan. tetapi
gagal!" lalu setelah menghela nafas, "Padahal pembagian dua
kerajaan itu dahulu, meskipun batasnya dibikin oleh Empu
Bharada, namun atas titah sang Airlangga juga. Tidakkah
sekarang aku kena kutuknya?" baginda tertegun.

"Dahulu sang Airlangga malah dengan sengaja membagi dua


kerajaannya ... agaknya lantaran baginda melihat kenyataan-
kenyataan yang jauh dari kemungkinan berlangsungnya
kemegahan kerajaan secara abadi... Baginda membagi dua
kerajaan, karena dua saudara yang menjadi nenek kami
memperlihatkan gejala-gejala yang memungkinkan timbulnya
perang..."

Teringat akan leluhurnya, terkenang pula baginda akan Sang Kili


Suci yang menolak takhta dan memilih kehidupan bertapa
sebagai pilihan hidup. Terkenang pula ia akan pertemuannya
dengan wanita pertapa itu beberapa waktu berselang.

207
"Yang paling benar adalah Nenenda sang Kili Suci. Ia memilih
kehidupan yang aman, damai, tenang ... Takhta kerajaan yang
dimimpi-mimpikan orang lain, yang diperebutkan orang lain
dengan melupakan keselamatan jiwanya sendiri, malah dia
tolak. Sungguh mulia!" baginda teringat akan wajah yang segar
dan damai, yang selalu memandang sesuatu dengan hati
terbuka.

"Mengapa aku bertahan dalam hidup kerajaan yang megah


namun tak menentramkan ini?" pikir baginda lebih lanjut.

"Mengapa tidak kuikuti saja jejak Nenenda? Mengapa aku tidak


pergi saja ke gunung akan bertapa, meninggalkan kehidupan
keraton yang sangat berat ini?"

"Raden Panji sendiri tak mau menerima tahta.


Dan Raden Panji kusuruh ke Pucangan akan menemui sang Kili
Suci. Apakah yang diperkatakan mereka? Jemukah Raden Panji
dengan sang Kili Suci? Tahukah sudah petapa suci itu akan apa
yang telah terjadi? Duhai, ia seorang yang waspada, tentu
diketahuinya segala sesuatu yang terjadi dan akan terjadi!
Duhai, apakah akan katanya kelak, kalau diketahuinya bahwa
Dewi Anggraeni telah meninggal dan Raden Panji dalam gilanya
tenggelam ke dasar samudra? Padahal beliau sangat sayang
208
kepada Raden Panji! Kepada Dewi Anggraeni pun beliau
menunjukkan kasihnya! Coba kalau tidak ada persoalan
pertunangan antara dua putra mahkota ..."

Berpikir sampai di situ wajah baginda menjadi guram pula.


Baginda terkenang kepada menantunya, Dewi Anggraeni. Dan
Tumenggung Braja Nata telah menuturkan secara terus terang
apa yang dilakukannya.

"Tak kukira engkau seagung itu, Anggraeni!" kata baginda dalam


hati setelah menghela nafas. "Engkau rela mengurbankan
hidupmu sendiri, demi kepentingan kerajaan ... Engkau memilih
mati, karena tahu bahwa hidupmu menjadi penghalang bagi
tercapainya cita-cita luhur ... Apa nak dikata, semuanya telah
terjadi, dan cita-cita tinggal cita-cita belaka..."

Baginda sangat bersukur dan kagum akan ketulusan cinta Dewi


Anggraeni dan terharu tatkala mendengar sembah Tumenggung
Braja Nata. Baginda menyayangkan menantu yang iklas itu dan
kini mempersalahkan dirinya yang telah berkeras kepala.

"Betul," kata baginda kemudian kepada dirinya sendiri. "Yang


paling benar adalah hidup seperti Nenenda di Pucangan. Biar
kutinggalkan segala kemegahan dan kegemilangan istana ini!

209
Biar semuanya kutinggalkan, karena tak satu pun memberiku
ketentraman!"

Setelah keadaan memperkenankan, baginda kemudian


mengutarakan
maksudnya itu kepada sang permaisuri.

Dan sang permaisuri yang juga telah tawar hati dan berduka,
menyetujui saran baginda. Maka diputuskan, bahwa baginda
akan mengundurkan diri dari takhta dan bersama-sama dengan
sang permaisuri akan mengasingkan diri ke gunung dan hutan,
buat bertapa.

Telah ditetapkan, bahwa yang akan menggantikan baginda


memegang tampuk kerajaan Janggala adalah Tumenggung
Braja Nata. Meski banyak lagi putra baginda yang lain, namun
dialah yang paling tepat menggantikan baginda. Setelah Raden
Panji tak bisa diharapkan lagi, maka Tumenggung Braja Nata
menerima penetapan baginda. Namun terkenang akan peristiwa-
peristiwa yang telah dialaminya, ia sangat berduka dan jauh
dalam hatinya masih mengharap-harap bahwa Raden Panji
belum lagi meninggal.

210
'Belum pasti perahu itu tenggelam dan kalaupun perahunya
karam, belum pasti Raden Panji meninggal di dasar samudra.
Siapa tahu dia terdampar ke dataran?' pikirnya. Dia merasa tak
Puas dan berdosa kepada Raden Panji, setelah peristiwa dalam
hutan itu. Ia ingin supaya suatu kali dalam hidupnya ia bertemu
pula dengan Raden Panji akan menghaturkan ampun. la ingin
menjelaskan duduknya perkara kepada Raden Panji, ia ingin
Raden Panji mengetahui, bahwa ia tidak sampai membunuh
Dewi Anggraeni.

Beberapa puluh orang ponggawa dititahkan untuk mencari-cari


Raden Panji. Bahkan suatu angkatan perahu dikerahkan untuk
mencari sisa-sisa perahu yang dilanda badai itu. Tetapi sia-sia
saja. Ia menerima pengangkatan baginda untuk memangku
takhta, namun kepada dirinya sendiri ia berjanji, kalau suatu
masa kelak Raden Panji ternyata masih hidup, ia akan dengan
rela menyerahkan takhta kepada putra mahkota yang
sesungguhnya berhak.

Demikianlah baginda Prabu Jayantaka meninggalkan keraton


Kahuripan menuju tempat petapan, tetapi tidak dalam keadaan
yang segar, melainkan tergantung kabut kemurungan yang
menutupi kegembiraan kalbu seluruh kerajaan.

211
Tumenggung Braja Nata menangis tatkala timbang terima, tetapi
bukan lantaran kegembiraan, melainkan lantaran kedukaannya
juga terkenang akan Raden Panji dan lebih-lebih kepada
istrinya, Dewi Anggraeni.

Sang Prabu Jayantaka pun tak kuat menahan air mata, apalagi
sang permaisuri yang tak henti-hentinya tersedu-sedu. Seluruh
balairung sangat lengang, kecuali suara sedu sedan.Bahkan di
antara para pejabat negara yang hadir banyak yang tak kuat
menahan air mata, mengalir membasahi pipi....

Dalam terjangan badai yang dahsyat Raden Panji erat-erat


memeluk tubuh istrinya yang dingin. Para awak perahu tidak
mampu berbuat apa-apa. Layar-layar segera mereka turunkan,
namun ombak yang setinggi-tinggi gunung mengempas-
empaskan kedua perahu itu bagaikan sabut saja. Para
ponggawa pucat, ada yang muntah-muntah dan ada pula yang
tak henti-hentinya menyebut nama Batara, memohon
pertolongannya. Patih Prasanta tak henti-hentinya memberi
petunjuk. Sedangkan Raden Panji tak henti-hentinya membujuk-
bujuk mayat istrinya.

"Lihat, raksasa hitam datang! Tapi jangan takut, jangan cemas,


biar dilandanya kita, namun tak nanti kita kalah! Biar mereka
212
berbuat sesuka hati, tetapi engkau cintaku, jangan kuatir!
Engkau akan selamat, engkau akan Kanda selamatkan. Takkan
Kanda biarkan tangannya yang menjijikkan serta mengerikan itu
menjamah tubuhmu. Erat-eratlah peluk Kanda, supaya jangan
lepas engkau dari tangan Kanda!"

Tak dirasanya air hujan yang turun lebat membasahi tubuhnya.


Sedangkan badannya menggigil lantaran kedinginan. Perahu tak
terkuasai lagi. Jurumudi tak mampu berbuat suatu apa dan
menyerahkan nasibnya kepada para Dewa. Untung kedua buah
perahu itu erat terikat, sehingga keduanya tidak terpisah-pisah.
Dalam gelap gulita itu mereka tidak tahu arah ke mana perahu
dibawa ombak. Bahkan mereka tidak tahu bahwahari telah
menjadi malam dan pagi lagi.

Waktu badai reda, hari sangat cerah, matahari sangat cerlang,


mereka menengok ke kiri ke kanan, maka nampaklah pantai
diarah selatan. Segera mereka mengayuh perahunya ke sana.

Raden Panji turun dari perahu, sedangkan mayat istrinya tak


lepas dari pelukan. Ia tak henti-henti menembang atau berbisik-
bisik kepada istrinya itu. "Mari kita turun, lihat alangkah indah
pemandangan di sini! Hutan subur dan pinggir lautan pula!

213
Tidakkah senang hatimu, bertamasya selagi hari seindah ini?
Menikmati pemandangan sebagus ini?"

Patih Prasanta juga turun sambil memangku mayat inang


pengasuh Dewi Anggraeni yang setia itu. Ia bersukur bahwa
mereka bisa selamat mendarat, meski belum lagi tahu di pantai
mana mereka sesungguhnya sekarang. Tetapi ia sudah habis
pikir mengenai hari depan mereka. Tak mungkin mereka terus
terusan pergi ke mana-mana sambil memangku-mangku mayat
itu, dan memangku-mangku mayat pengasuh. Tidak pula baik
kepada Raden Panji, ia jadi senantiasa tak bisa melepaskan
pikiran dari kekasihnya. la jadi terus merasa berdekatan dengan
kekasihnya dan berbuat seolah-olah istrinya itu masih bernyawa.
Hanya iba kasihan jua yang tergugah pada barang siapa
menyaksikannya. Tidak, ia memikirkan akal supaya Raden Panji
waras kembali, ia jangan sampai berlarut-larut, ia mesti
dipisahkan dari mayat istrinya, supaya pikirannya terbuka
kepada hal-hal lain. Karena menurut pengamatannya,
sesungguhnya Raden Panji tidak parah apabila saja ia sempat
dijauhkan dari mayat istrinya itu.

"Mamanda!" teriak Raden Panji. "Alangkah indahnya alam di


sini! Mengapa baru sekali ini Mamanda membawa kami ke sini?

214
Mengapa tidak dahulu-dahulu Mamanda mempersembahkan
bahwa ada pemandangan seindah ini kepada kami?"

"Ampun Raden," sahut Patih Prasanta, "Sengaja hamba tidak


memberitahukan hal ini kepada Gusti dahulu-dahulu, karena..."

Raden Panji memandangnya dengan mata heran. "Karena apa,


Mamanda?"

"Karena tanah ini adalah tanah yang paling tepat buat


peristirahatan istri Raden, Dewi Anggraeni."

"Untuk peristirahatannya, Mamanda? Mengapa hanya untuknya


saja? Mengapa tidak tepat juga buat kami?"

"Masing-masing orang mempunyai tempat tertentu yang tepat


buat peristirahatannya masing-masing. Yang tepat buat istri kita
belum tentu tepat pula buat kita ... Lagi pula Raden masih hidup,
masih harus melakukan perbuatan-perbuatan mulia pula.
Sedangkan istri Raden sudah meninggal ..."

"Apa? Apa Mamanda bilang? Dewi Anggraeni sudah meninggal?


Tidak! Mamanda jangan bicara yang bukan-bukan! Dewi
Anggraeni sedang tidur, nyenyak sekali, tidak Mamanda lihatkah
wajahnya yang tentram tenang itu?"
215
"Memang, memang. Raden benar ..." Patih Prasanta
memperbaiki sikapnya. "Dewi Anggraeni tidak meninggal,
melainkan tertidur dengan amat nyenyaknya ... Tetapi tidakkah
Raden maklum, bahwa orang yang tidur itu mesti beristirahat
dengan tenang? Ia takkan menemukan ketenangan jika terus-
terusan Raden pangku-pangku dibawa ke mana pun Raden
pergi. Sang Dewi tentu ingin beristirahat tenang ..."

Raden Panji Kuda Waneng Pati memandang kepada Patih


Prasanta. Perkataan patih yang sudah lanjut usianya itu seperti
termakan olehnya.

"Di manakah ia akan beristirahat, Mamanda?"

"Di sini! Tempat ini sangat tepat untuk peristirahatan sang Dewi!"

"Tetapi di mana ia akan kita baringkan? Sedangkan di sini hanya


ada hutan belukar belaka!"

"Supaya sang Dewi tenang dan tidak diganggu binatang-


binatang buas, baik kita gali sebuah tempat berbaring di dalam
tanah ... "

"Di dalam tanah?!"

216
"Ya, di dalam tanah. Supaya sang Dewi jangan diganggu
binatang-binatang buas. Di sini dekat hutan, kalau sang Dewi
tidak di kub ... eh, dibaringkan di dalam tanah, mungkin datang
macan atau srigala mengganggunya..."

"Tetapi ia akan merasa sesak!"

"Tidak Gusti, orang yang tidur abadi takkan merasa sesak."

"Namun bagaimana ia akan melihat bintang atau bulan? Ia


sangat senang bercengkerama apabila bulan purnama..."

"Apabila sang Dewi ingin bercengkerama, tentu akan bangkit


dari tidurnya. Tak ada yang mungkin mampu menghalanginya ...
Raden tak usah kuatir, Sang Dewi akan mampu bangun sendiri
..."

Raden Panji termenung.

"Benarkah engkau lelah, Anggraeni? Benarkah engkau ingin


beristirahat pula?" kemudian ia bertanya kepada mayat istrinya.
"Engkau akan dibaringkan di sini, di dalam tanah, supaya tak
ada binatang buas mengganggumu. Maukah engkau?"

217
"Tentu saja sang Dewi suka ...," Patih Prasanta menalangi
menyahut. "Tanah di sini sangat subur dan pemandangan
sangat indah ..."

"Dan kalau istriku telah dibaringkan di dalam tanah, nanti kita


dirikan istana yang indah di sini, buat tempat kita menjaganya..."

"Tidak. Raden, kalau sang Dewi sudah dibaringkan baik-baik


dalam tanah. Raden jangan di sini terus, melainkan Raden mesti
melakukan hal-hal yang sangat menyukakan hati sang Dewi
Untuk menjaganya di sini, cukuplah kita baringkan pula Bibi
Wagini. Bukankah ia seorang inang pengasuh yang setia? Tentu
ia akan menjaga sang Dewi dengan setia!"

"Melakukan hal yang menyukakan sang Dewi? Tetapi Dewi


Anggraeni suka kalau kami berada di sampingnya, Mamanda!"

"Benar , sang Dewi suka Raden berada disampingnya. Tetapi itu


kalau ia tidak sedang tidur abadi ..." sahut Patih Prasanta sambil
tersenyum. "Kalau ia sedang tidur, ia ingin tenang, tentu ia
menginginkan Raden pergi jauh-jauh melakukan perbuatan-
perbuatan yang menjadi darma Raden... "

"Jadi apa yang mesti kami lakukan?"

218
"Raden mesti berbuat kebaikan. Raden mesti menolong orang-
orang yang sengsara! Banyak orang yang sengsara karena
perbuatan raja-raja durhaka! Raden mesti menolong
mereka, mesti menjadi pelindung mereka. Raden mesti
membasmi dan menaklukkan raja-raja durhaka itu dan Raden
mesti memberikan kebahagiaan kepada para kawula kerajaan
...."

"Yang paling dahulu adalah raja Janggala..." gumam Raden


Panji.

Patih Prasanta menggelengkan kepala. "Tidak! Itu raja kita! Dan


agaknya kita pun sekarang mendarat bukan dalam wilayah
Janggala. Mamanda mengenal seluruh daerah kerajaan kita,
tetapi daerah ini baru sekali ini Mamanda lihat. Kita agaknya
terdampar jauh dari kerajaan kita."

Sesungguhnyalah, Patih Prasanta seorang yang luas


pengetahuan dan pengalamannya. Tak sia-sia menjadi pejabat
kerajaan Janggala puluhan tahun lamanya. Ia maklum, bahwa
mereka terdampar di daerah asing dan kalau melihat arah
matahari, rupanya di sebelah timur Janggala, jauh di sebelah
timur.

219
Adalah menurut rencananya, ia akan mengajak gustinya itu
berbuat kepahlawanan, dan membawanya sedikit demi sedikit
kearah barat selatan, menuju kerajaan Kadiri.

Kemudian Patih Prasanta menyuruh para ponggawa menggali


liang lahat buat membaringkan mayat Dewi Anggraeni bersama
inang pengasuhnya yang berbakti itu.

'Biar dikubur saja dahulu, kelak kalau Raden Panji sudah


sembuh, digali lagi untuk dibakar ...' pikir Patih Prasanta. 'Kalau
sekarang dibakar, tentu Raden Panji takkan
memperkenankannya.'

Sementara mengubur kedua orang itu, hari senja dan malam


pun tiba. Di langit sebelah timur, muncul bulan yang bulat penuh.
Sinarnya sangat indah dan menenangkan.

Raden Panji bersimpuh di hadapan kuburan istrinya, sedangkan


mulutnya mengeluarkan cumbuan-cumbuan mesra. "Tidurlah
engkau di sini, kekasihku, tidurlah tenang! Jangan engkau
terganggu oleh apa pun! Simakkan olehmu dalam tidur, suara
ombak yang menerjang pantai dan suara angin yang melanda
hutan ... Bukankah itu suara cinta kita yang besar? Yang tidak
kelihatan namun kekal sifatnya? Bukankah itu suaraku

220
membisikkan rindu hatiku kepadamu? Ombak itu takkan jemu-
jemunya mencium pantai, seperti juga cintaku kekal kepadamu
...."

Patih Prasanta dan ponggawa berdiri tak jauh dari tempat Raden
Panji. Mereka mempersaksikan perbuatan gusti mereka dengan
hati yang hancur. Tetapi senang juga Patih Prasanta, karena
Raden Panji sudi memperkenankan Dewi Anggraeni dikubur.
Dan senang juga ia, muslihatnya termakan semua oleh gustinya
yang kasmaran itu. Kini ia diam-diam menyaksikan perpisahan
terakhir yang mengenaskan antara sepasang suami istri yang
saling mencintai dengan sungguh-sungguh itu.

"Wahai, Anggraeni! Engkau terjaga? Engkau puas tidur? Engkau


bangkit?" tiba-tiba terdengar Raden Panji berkata-kata dengan
suara yang berubah,sedangkan ia bangkit dari duduknya.

"Ya, mari kita bersama-sama pulang ke istana kita!" tangannya


bergerak-gerak ke depan, seolah-olah hendak memeluk
seseorang, sedangkan oleh Patih Prasanta dan para ponggawa
tak nampak siapa pun di depan gustinya itu. Mereka mengira
penyakit gustinya kumat pula, dan beberapa orang di antara
mereka tak sanggup menyaksikannya, menundukkan kepala
atau melengos, memandang ke arah lain.
221
"Mengapa engkau hanya tersenyum saja. Anggraeni? Mengapa
sepatah pun engkau tak mau menyahut? Alangkah indah
senyummu! Seindah bulan yang terbit di ufuk itu! Seindah bunga
yang mekar! Anggraeni, mari, dekatlah ke mari, biar kupeluk
tubuhmu dan kita berbahagia pula! Mari, mari!" tangan Raden
Panji terulur bagaikan hendak memeluk seseorang.

Namun oleh Patih Prasanta dan kawan-kawannya hanya udara


jua yang nampak hendak dipeluknya.

"Anggraeni, mengapa engkau hanya memandang saja? Dan


pandanganmu, alangkah menyejukkan, bagaikan sinar purnama
ini! Anggraeni, mengapa engkau mundur, mengapa engkau
menjauh? Anggraeni, tidakkah engkau sudi Kanda peluk?
Tidakkah sudi engkau ... Anggraeni, ke mana engkau hendak
pergi?"

Raden Panji berdiri, kakinya melangkah.

"Anggraeni, tunggu! Tunggu! Jangan engkau menjauh-jauh


seperti itu? Ataukah engkau minta kanda kejar? Ya, berkejar-
kejaran seperti dahulu di dalam taman?"

Raden Panji bergerak, bagaikan mengejar seseorang.

222
"Anggraeni mengapa engkau lari juga? Mengapa engkau
menjauh juga?"

Dan makin cepat pula ia bergerak.

"Anggraeni, mengapa engkau diam saja, tidak tertawa? Mana


gelakmu yang biasanya berderai? Mana suaramu yang merdu
menentramkan hati? Mengapa engkau hanya tersenyum saja?"

Raden Panji kini berlari, makin jauh juga meninggalkan kawan-


kawannya.

Patih Prasanta kuatir, kalau-kalau gustinya itu tergelincir ke


dalam jurang atau laut, maka ia bangkit mengejarnya.

"Raden! Raden!" teriaknya.

Tetapi Raden Panji berlari makin cepat sedangkan matanya


melotot tak berkedip dan mulutnya memanggil manggil.

"Anggraeni! Anggraeni, tunggu! Mengapa engkau tega


menunggalkan Kanda? Mengapa engkau tak sudi menanti meski
sejenak? Anggraeni!"

"Raden! Raden!" teriak patih Prasanta yang mengejarnya.

223
Kedua orang itu berkejar-kejaran dalam sinar bulan purnama,
sedangkan ombak tak henti-hentinya berdeburan menerjang
pantai. Raden Panji berlari bagaikan orang yang tak sadar, maka
tak lama kemudian Patih Prasanta sudah berhasil mengejarnya.
Dengan kedua belah tangannya yang sudah mulai keriputan
namun masih tangkas itu, ia memeluk tubuh gustinya.

"Raden! Raden! Sadarlah!"

Raden Panji meronta-ronta, sedangkan tangannya menggapai-


gapai dan mulutnya tak henti-henti berteriak. "Anggraeni!
Engkau terbang? Wahai, engkau sungguh seorang bidadari!
Sungguh, tetapi mengapa engkau meninggalkan Kanda? Wahai,
mengapa engkau terbang setinggi itu? Mengapa makin tinggi
saja?"

Raden Panji tertegun.

"Mamanda, Mamanda Patih Prasanta, tidakkah Mamanda lihat


Dewi Anggraeni terbang? Lihat ia bagaikan bersayap! Lihat,
ditinggalkannya kami di sini! Anggraeni, sampai hati engkau
meninggalkan Kanda? Lihat, ia makin tinggi juga! Dia terbang ke
arah bulan! Anggraeni!Anggraeni! Mamanda Patih, ia makin kecil

224
dan makin kecil dan makin dekat juga ke bulan! Tidakkah
Mamanda lihat?"

Patih Prasanta mengarahkan pandangannya ke arah bulan


sedang purnama yang bulat itu. Ia tidak melihat Dewi Anggraeni,
tetapi tiba-tiba cahaya bulan menggelap, bagaikan ada yang
menghalanginya. Ia membuka matanya lebar-lebar, samar-
samar seorang tokoh wanita terpeta dalam kegelapan itu,
kemudian sinar bulan pun sedikit demi sedikit kembali pula
menerangi dunia. Ia terpukau menyaksikan keajaiban itu.

'Kiranya benar-benar Dewi Anggraeni itu terbang ke arah bulan


...' pikirnya. 'Hanya, ia nampak cuma kepada suaminya saja ...'

"Anggraeni ..., Anggraeni ...," desis Raden Panji. "Dinda tega


benar meninggalkan Kanda disini dalam kelengangan!"

Patih Prasanta membelai-belainya. "Tidak, Raden. Raden tidak


ditinggalkan dalam kelengangan. Dan pula sang Dewi takkan
pergi untuk selama-lamanya ...."

"Apa maksud Mamanda? Anggraeni akan kembali pula?"

"Ya, sang Dewi akan kembali pula kelak."

225
"Betulkah itu?" kata Raden Panji memandang Patih Prasanta
dengan lirih.

"Benar, Raden. Sang Dewi pasti akan kembali. Raden harus


menunaikan kebajikan kepada sesama manusia, maka sang
Dewi akan senang hatinya. Sang Dewi dengan tenang dan
damai sekarang terbang ke arah bulan, menjadi candra kirana -
cahaya bulan tanda dia dikasihi para dewa ... Dan para dewa
tentu akan mengembalikannya pula kelak kepada Raden."

Raden Panji menyimakkan sungguh-sungguh. "Tetapi kini


Anggraeni pergi ... Apa kata Mamanda? Menjadi candra kirana -
cahaya bulan? Ya, sesungguhnya ia cahaya bulan, kalau aku
matahari! Ia menjadi cahaya bulan, yang menerangi kegelapan
malam gulita! la menerangi dunia dengan cahayanya yang
lembut, tenang, menentramkan ..."

"Karena itu Raden mesti tenang, mesti sabar...."

"Alangkah indahnya cahaya bulan candra kirana! Mamanda,


sejak sekarang, istriku telah menjadi Candra Kirana ... Dia yang
memberi kedamaian dan ketenangan, keindahan dan perasaan-
perasaan mulia ..." kata Raden Panji, "la menjadi Candra Kirana
..."

226
Patih Prasanta mengangguk-anggukkan kepala. "Ya, menjadi
Candra Kirana, cahaya bulan purnama yang sejuk
menentramkan, memberi kebahagiaan ...." sahutnya.

"Ya, ia membangkitkan perasaan-perasaan mulia untuk


kebaikan dan kebajikan ... Karena itu Raden juga mesti
melakukan kebaikan-kebaikan, menolong rakyat sengsara,
melakukan perbuatan-perbuatan kepahlawanan. Karena hidup
tanpa melakukan perbuatan-perbuatan baik adalah bagaikan
malam yang gelap gulita, tak bercahaya, jauh dari cahaya bulan,
jauh dari Candra Kirana ..."

Raden Panji menganggukkan kepala.

"Nasihat Mamanda akan kami turutkan, karena kami tak mau


ditinggalkan oleh Candra Kirana," sahut Raden Panji. "Kami
ingin hidup disinari kegemilangan cahaya bulan, dalam
kegemilangan Candra Kirana ... Tak mau kehilangan dia! Besok
akan mulai kulakukan perbuatan-perbuatan baik dan
kepahlawanan, darma seorang satria yang mesti melupakan
kepentingan dirinya sendiri, buat kebahagiaan umat manusia."

Raden Panji bangkit, sekali lagi memandang kepada bulan yang


sudah meninggi seolah-olah hendak melihat apakah kekasihnya

227
ada di sana. Kemudian ia membalikkan tubuhnya sambil
berkata, "Tenanglah kau di sana. Candra Kirana! Kalau kelak
hidupku telah berarti, engkau pun tentu akan datang kepada
Kanda, bukan?"

Patih Prasanta tersenyum melihat kelakuan gustinya itu. la


merasa bangga dan lega, karena menyaksikan sinar harapan
memancar bagi hari depan gustinya. Tidak, gustinya takkan
berlarut-larut tenggelam dalam kesedihan. Ia akan melakukan
perbuatan-perbuatan mulia. Dan ia sendiri, akan membimbing
dan akan selalu mendampinginya.

Beberapa bulan kemudian, muncullah seorang satria yang


mengaku dirinya berasal dari tanah Sebrang dan bernama
Kelana Jayeng Sari, melakukan berbagai perbuatan-perbuatan
mulia dan bersifat kepahlawanan. Mula-mula ia bersama para
pengikutnya mengalahkan berbagai kraman dan perampok yang
mengganggu keamanan dan ketentraman rakyat yang
bersembunyi dalam hutan-hutan. Kraman-kraman itu dikalahkan
dan hasilnya harta rampasan dibagikan kepada rakyat sengsara,
sehingga makin lama pengikutnya makin banyak dan makin
banyak juga. Para kraman yang sudah dikalahkannya, tidak
dibunuhnya, melainkan disuruhnya memilih antara menjadi

228
pengikutnya atau kembali hidup sebagai rakyat biasa, bertani,
menjadi nelayan.

Tokoh Kelana Jayeng Sari menjadi sebut-sebutan dan buah


tutur setiap orang. Rakyat yang sengsara menyebutnya dengan
suatu harapan akan munculnya ketentraman dan kedamaian
yang abadi. Dan para pemeras serta penjahat mendengar
namanya saja gemetar lututnya.

Perbuatan mulia Kelana Jayeng Sari menjadi sebut-sebutan


semua orang dan menyebabkan orang-orang suka kepadanya.
Menurut cerita yang menjalar dari mulut ke mulut, Kelana
Jayeng Sari itu seorang satria yang tampan, muda, manis budi
dan sangat halus perasaannya. Tetapi ia pun seorang yang sakti
dan digjaya, ahli memainkan berbagai macam senjata dan
senantiasa mampu mengalahkan musuh-musuhnya secara
mengagumkan. la muncul secara ajaib. Kadang-kadang ia
terdengar melakukan perbuatan mulia di hutan pegunungan
sebelah selatan, tetapi tak lama kemudian terdengar berita
bahwa ia baru saja melakukan perbuatan kepahlawanan pula di
pantai utara. Ia seorang tokoh yang sakti, dan dianggap oleh
para penduduk, mungkin muncul di mana saja sesuka hatinya,
bahkan mungkin muncul di beberapa tempat dalam waktu yang
bersamaan. Yang diperkatakan orang-orang pula, ialah bahwa ia
229
selalu didampingi seorang yang sudah lanjut usianya, yang
konon disebut orang Ki Kebo Pandogo. Ternyata Ki Kebo
Pandogo itu seorang yang sakti pula, menjadi penasihat Kelana
Jayeng Sari.

Setelah ia mendapat banyak pengikut, maka ditaklukkannya pula


berbagai raja, terutama raja-raja yang zalim. Mula-mula raja
Belambangan kemudian raja Basuki, Lumajang dan akhirnya
Pasuruan.

Ia beraksi ke barat, tetapi pada umumnya tak bisa disangka-


sangka. Ia selalu muncul pada saat orang-orang tidak
mengharapkan kedatangannya, dan karena itu pula mungkin
maka ia senantiasa mengalahkan musuh-musuhnya dengan
mudah.

Tetapi yang mengherankan orang-orang, ialah karena meskipun


ia berhasil menaklukkan raja-raja itu, namun ia sendiri tidak mau
duduk memangku takhta.

Tatkala raja Lumajang dikalahkan, atas bisikan patihnya, sang


baginda mempersembahkan seorang putra dan seorang
putrinda akan menjadi hamba Kelana Jayeng Sari yang perwira
itu.

230
Sesungguhnya itu adalah muslihat sang patih, yang ingin
mengikat sang kelana, supaya mau tinggal di Lumajang dan
dengan demikian akan menyebabkan Lumajang dimalui dan
disegani oleh kerajaan-kerajaan lain.

Tetapi peristiwa yang aneh terjadi.

Waktu sang putra dan sang putri yang tampan rupawan itu
datang ke hadapan Kelana Jayeng Sari, sang Kelana memburu
sang putri, sedangkan mulutnya berteriak kegirangan, "Candra
Kirana! Engkaukah yang datang itu?!"

Sang putri Lumajang itu terkejut dan hatinya berdegupan


lantaran takut. Ia menundukkan kepala. Dirasanya dua buah
tangan yang perkasa memegang bahunya kiri kanan, kemudian
mengangkat wajahnya.

"Nama hamba ... Lukita Sari ...," sahutnya dengan suara


gemetar dan terputus-putus.

Sang Kelana Jayeng Sari melepaskan kedua belah tangannya,


lalu memejam.

"Ya, engkau bukan istriku ... Candra Kirana seorang yang amat
sangat jelita. Tak ada yang menandinginya ... Tak ada orang
231
yang secantik dia, bercahaya bagaikan bulan purnama ..."
gumamnya kemudian.

"Dan engkau, siapakah engkau?"

Maka patih yang mewakili raja Lumajang itu menghaturkan


sembah, menerangkan bahwa kedua putra-putri itu adalah tanda
takluk baginda kepada Sang Kelana Jayeng Sari, di samping
berbagai persembahan lain-lainnya pula.

"Baginda mempersembahkan kedua putranda, akan menjadi


hamba gusti." akhirnya sang patih menutup pembicaraan.

Sang Kelana Jayeng Sari menggeleng lemah.

"Tidak ..." sahutnya. "Kembalilah engkau semua kepada rajamu.


Haturkan kepada baginda bahwa aku tidak mengharapkan
persembahan apa pun sebagai tanda takluk. Pengakuan rajamu
saja sudah cukup. Tak usah ia mengurbankan putra-putrinya.
Kami pun tidak menghendaki hamba-hamba ... Para ponggawa
sudah cukup bagi kami. Sekarang, pulanglah engkau semua."

Patih itu kembali dengan sangat merasa heran dan malu. Ia


malu lantaran muslihatnya tak mempan, umpan tidak dimakan.

232
Dan heran akan perbuatan serta sikap yang luar biasa dari
Kelana Jayeng Sari yang gagah perkasa serta sakti itu.

Peristiwa itu cepat pula menjalar dari mulut ke mulut. Dan selalu
mengherankan barang siapa yang mendengarnya. Jadi buat
apakah Kelana Jayeng Sari dari tanah Sebrang itu mengalahkan
kerajaan demi kerajaan, sedangkan ia sendiri tidak sudi
menduduki singgasana? Sedangkan dia sendiri lebih suka
berkelana dari hutan ke hutan, dari gunung ke gunung?
Sedangkan dia sendiri merasa puas tidur di alam terbuka dalam
kemah? Karena itu pula nama Kelana Jayeng Sari menjadi
makin termashur. Dihormati, diherani, dikagumi berbareng
ditakuti. Beberapa orang raja, tanpa dia perangi, menyatakan
dirinya takluk, yang diterima Kelana Jayeng Sari dengan sikap
yang biasa. Ia tidak nampak gembira, pernyataan takluk raja-raja
itu diterima dengan sikap yang tawar dan tak ambil perduli.
Baginya seolah-olah tak ada bedanya apakah raja itu takluk atau
tidak.Hanya dengan mendahului menyatakan takluk, raja-raja itu
menunjukkan sikap bijaksana, karena dengan demikian ia
menghindarkan kerajaannya dari malapetaka peperangan yang
terkutuk itu. Bahkan meskipun beberapa orang raja menawarkan
takhta serta istananya yang indah mewah, Kelana Jayeng Sari
senantiasa menolak. Ia lebih suka tinggal di hutan, di tengah-

233
tengah alam yang segar daripada tinggal di tengah-tengah
manusia.

Apabila tidak melatih pasukannya berperang, atau apabila tidak


melakukan peperangan, biasanya Kelana Jayeng Sari
termenung-menung saja kerjanya. Dalam keadaan seperti itu,
tak dikehendakinya ada orang yang berani mengganggu. Tak
diperkenankan orang berada di dekatnya. Hanya penasihat yang
tua itu saja yang dibolehkan datang menemani. Kadang-kadang
Kelana Jayeng Sari berbicara dengan suara yang murung dan
guram. Sedangkan penasihatnya itu, Sang Kebo Pandogo,
menghiburnya dengan berbagai hal yang menarik hati. Terutama
mengenai raja-raja yang belum mereka taklukkan.

"Tahukah Gusti, kerajaan apakah yang berada di sebelah barat


hutan yang sekarang kita tinggali ini?" bertanya Kebo Pandogo
dengan suara setengah bersenda.

"Tak tahu! Dan kerajaan apa pun yang berada di sana, tak
kuperdulikan, karena mereka sama saja. Mereka akan dengan
mudah kita kalahkan!" sahut Kelana Jayeng Sari tak peduli.

"Tetapi, apabila Gusti pergi ke kerajaan itu, cita-cita Gusti bakal


tercapai..."

234
Kelana Jayeng Sari mengangkat wajah. Agaknya hatinya mulai
tertarik.

"Apa maksud Mamanda Kebo Pandogo?" tanyanya dengan


mata bersinar-sinar. "Kalau kukalahkan pula raja yang berada di
sebelah barat itu akan bersuakah kami dengan istri kami yang
tercinta?"

Kebo Pandogo tersenyum. "Makin banyak Gusti berbuat


kepahlawanan, makin cepat ia kembali, bukan?"

"Kalau begitu, baiklah besok kita berangkat untuk


menaklukkannya. Kerajaan apakah yang berada di sebelah
barat itu?"

"Tidak usah tergesa-gesa begitu," sahut Kebo Pandogo sambil


bergelut senyum juga. "Kita tidak usah menyerangnya..."

"Habis?"

"Kita tinggali saja hutan yang menjadi daerah kerajaannya, kita


buat onar di sana ... Kalau pancingan kita berhasil, siapa tahu
orang yang selama ini Gusti harapkan akan datang."

235
Kelana Jayeng Sari seperti tak mengerti apa yang dimaksud
oleh penasihatnya yang bijaksana itu.

"Kerajaan apakah yang berada di sebelah barat itu, Mamanda?"


ia mengulangi pertanyaannya yang belum dijawab.

Kebo Pandogo tersenyum dan sambil tersenyum itu ia


menyahut. "Kadiri ...!" katanya.

Kelana Jayeng Sari seperti terkejut, tetapi kemudian ia


termenung. Beberapa jenak lamanya ia tidak berkata-kata.

"Apa yang menurut Mamanda baik, baiklah kita lakukan ...,"


akhirnya ia berkata.

Kebo Pandogo merasa puas. Ia merasa bangga dan gembira.


Adalah maksudnya yang sesungguhnya, hendak
mempertemukan gustinya itu dengan pahlawan yang tersohor
dan menjadi kebanggaan kerajaan Kadiri: putri perwira Dewi
Sekar Taji.

Dewi Sekar Taji sangat gagah dan sakti, sudah sering


menaklukkan kraman dan begal-begal yang mengganggu
keamanan kerajaannya.

236
Apabila perbuatan-perbuatan Kelana Jayeng Sari kelak
dianggap mengancam keamanan kerajaan Kadiri, Kebo
Pandogo mengharap; Dewi Sekar Taji-lah yang akan turun
tangan menaklukannya. Ia tidak melihat jalan lain yang tepat
untuk mempertemukan keduanya. Sedangkan ia sendiri
percaya, bahwa kalau kedua muda mudi itu bertemu dapat
dipastikan akan terjadi sesuatu yang sangat diharapkan; mereka
berdua akan saling tertarik cinta mencintai. Biarlah semuanya
berjalan seperti apa yang terjadi diakhirnya. Jika pun tidak terjadi
sesuatu, bahwa peristiwa lain telah menghendaki kejadian lain
pula.

Di sebelah barat Kadiri, berdiri kerajaan Metaun yang diperintah


oleh Prabu Gajah Angun-angun. Prabu Gajah Angun-angun
belum lama menaiki takhta, menggantikan ayahanda yang
meninggal belum lama berselang. Raja yang masih muda
usianya itu berambekan besar, ia tidak puas dengan kerajaan
ayahanda dan kepada ayahanda yang telah puas dengan apa
yang ada, ia pun merasa tidak puas. Ia mencita-citakan suatu
kerajaan yang lebih luas dan kekuasaan yang lebih besar. Ia
bercita-cita hendak memperluas wilayah kekuasaannya. Ia
seorang muda yang pandai bergaul dan licin. Maka telah
dihasutnya berbagai raja kecil dan para bupati yang selama itu

237
hidup berdampingan dengan damai atau menjadi setengah
kawula kerajaan Kadiri, sehingga banyak di antara mereka yang
mau mendengar perkataannya itu. Kalau ada bupati atau raja
yang menolak pikirannya tak ragu-rag lagi ia melakukan tangan
besi dengan membokong raja yang lemah itu. Maka ia menjadi
seorang raja yang ditakuti oleh raja-raja kecil. Karena takut,
kebanyakan di antara mereka mengakui kedaulatannya di atas
mereka dan menyatakan kerajaan mereka di bawah perintah
Prabu Gajah Angun-angun dari Metaun itu.

Tatkala itu Prabu Gajah Angun-angun menganggap dirinya


sudah cukup kuat untuk melakukan penyerangan kepada
kerajaan-kerajaan yang besar-besar.

Kerajaan besar yang bertapal batas dengan kerajaannya di


sebelah timur, adalah Kadiri. Maka diancamnya Prabu
Jayawarsya, raja Kadiri, hendak diperanginya, kecuali kalau
Prabu Jayawarsya bersedia menyatakan takluk kepadanya.

Mendengar ancaman itu Prabu Jayawarsya murka. Tetapi ia


tidak bisa mengumbar amarahnya, karena baginda sendiri
bingung, siapa gerangan yang mungkin memerangi raja Gajah
Angun-angun yang muda itu. Meskipun balatentara Kadiri tidak
lemah dan para pahlawannya bersemangat, namun apabila
238
baginda mengukur kekuatannya, diam-diam baginda mengakui
keunggulan balatentara Metaun itu. Mereka tentara yang sudah
dipersiapkan untuk suatu perang besar, sedangkan balatentara
kerajaan Kadiri lantaran berbagai soal di dalam negeri, waktu-
waktu belakangan menyita perhatian, tidak bisa dipersiapkan
dengan segera untuk menghadapi Mataun yang demikian kuat
dan sangat besar jumlah balatentaranya.

Dewi Sekar Taji yang mendengar ancaman Metaun itu, menjadi


murka dan marah.

Sang putri lalu mengunjuk sembah kepada baginda, "Mengapa


kita itu seperti menjadi bingung? Biar hamba berangkat ke tapal-
batas akan menyambut serangan orang angkuh dari Metaun itu!"

Baginda memandang kepada putrinya itu. Dewi Sekar Taji


memang bukan putri sembarangan. Ia seorang putri yang gagah
berani. Ia putri yang akan menggantikan ayahanda memegang
tampuk kerajaan, karena itu kecuali mempelajari berbagai ilmu
pemerintahan, ia pun mempelajari pula ilmu peperangan.
Berbagai macam alat senjata tak ada yang asing baginya. Dan
alat-alat peperangan itu dipergunakannya dengan kemahiran
yang mengagumkan. Kegagahan dan keahliannya dalam
mempergunakan tombak dan keris, terbukti dalam perbuatan-
239
perbuatannya yang perwira, mengalahkan para kraman dan
pemberontak yang mengganggu keamanan kerajaan. Ya,
baginda tidak ragu-ragu akan keperwiraan putri tunggalnya itu.

Tetapi yang baginda hadapi bukan para pemberontak atau


kraman biasa, melainkan seorang musuh tangguh. Tidak,
baginda tidak yakin akan kegagahan putrinda untuk
mengalahkan musuh yang bukan sembarangan itu. Baginda
merasa kuatir akan keselamatan putrinda.

"Tidak. Sekar Taji...! Raja Metaun itu bukan lawanmu yang


seimbang! Ia konon sakti dan ia pun sangat kejam!" sabda
baginda sambil memandang kepada putrinda.

Mendengar perkataan baginda itu, Dewi Sekar Taji merasa


terhina. Ia marah, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia
mengundurkan diri, lalu menghibur dirinya di tengah-tengah
taman yang warna-warni.

Sementara itu baginda dengan para pejabat negara yang


penting-penting merundingkan masalah yang dihadapi oleh
kerajaan Kadiri yang diancam bahaya peperangan dengan raja
Metaun itu. Baginda meminta pemandangan para pejabat
negara, dan merembukkan jalan-jalan memecahkannya.

240
Umumnya para pejabat negara itu berpendirian sama, bahwa
dengan kekuatan kerajaan Kadiri saja, musuh dari barat itu tak
mungkin dilawan. Beberapa kerajaan di sebelah barat, bahkan
juga yang tadinya menjadi takluk Kadiri, kini berpihak kepada
raja Gajah Angun-angun. Tak ada jalan lain, Kadiri mesti
meminta bala bantuan kepada salah satu kerajaan sahabat.

Patih Wiranggada menganjurkan agar baginda meminta bala


bantuan kepada raja Janggala. Bukankah Janggala dan Kadiri
bersaudara?

Tetapi usul untuk meminta bantuan dari Janggala kemudian


ditolak, karena menurut pertimbangan yang lain-lain, Janggala
terlalu jauh. Sementara menunggu bantuan datang, sewaktu-
waktu balatentara Mataun bisa masuk menyerbu.
Rupanya kemungkinan seperti itu pun sudah pula diperhitungkan
fihak Metaun sebelum ia melakukan penyerangannya.

Maka termenunglah para pejabat penting kerajaan Kadiri yang


tersohor arif bijaksana itu. Mereka asyik memikirkan bagaimana
caranya menyelamatkan kerajaan mereka dari kehancuran.

"Bagaimanakah jadinya, Mamanda Mahapatih Kebo Rerangin?"


tanya

241
baginda beberapa saat kemudian, dengan suara yang muram.
"Adakah jalan lain yang lebih tepat kita tempuh? Memang, kita
tidak nanti mau menyerah tak bersyarat kepada raja Metaun itu,
tetapi kita pun jangan sampai hancur musnah, apabila masih kita
lihat cahaya harapan ..."

Mahapatih Kebo Rerangin yang sudah lanjut usianya itu


berdehem beberapa kali. Setelah itu baru ia menghaturkan
sembah.

"Ampun Gusti, memang keadaan kita sangat sulit. Hamba


percaya akan keperwiraan para pahlawan Kadiri yang gagah
berani, tetapi dengan perkiraan yang waras, balatentara Metaun
yang sekarang berada di tapal batas itu bukan lawan kita yang
setimpal. Tak ada jalan lain, kita mesti meminta tolong kepada
fihak lain. Tetapi siapa? Janggala yang pasti akan menolong kita
tak mungkin kita minta tolong berhubung kerena letaknya yang
sangat jauh. Mau tak mau kita mesti meminta tolong kepada
fihak yang dekat ... Dan tetangga kita yang terdekat, di sebelah
barat adalah ... Raja Metaun, yang sekarang sedang
mengancam kita! Raja Malang, agaknya dalam hal ini tak boleh
kita harapkan pula, karena ia memang tidak mempunyai bala
tentara yang kuat, lagi pula perhubungannya tetap sulit.

242
Sebelum bala bantuan datang, setiap saat mungkin datang
tentara Metaun ..."

Orang batuk-batuk kecil, lantaran merasa jemu oleh perkataan


Mahapatih Kebo Rerangin seperti mengulang-ulang apa yang
telah dikunyah tadi. Mengapa dalam keadaan mendesak seperti
itu Mahapatih Kebo Rerangin berkata-kata demikian
menjemukan?

"Jadi bagaimana?" baginda bertanya dengan tak sabar.

Tetapi agaknya bukan tidak dengan maksud tertentu, Kebo


Rerangin bicara seperti itu. la menghaturkan sembah pula
kepada rajanya, kemudian ia melanjutkan pembicaraannya pula.

"Karena itu, kita hanya mungkin meminta bala bantuan kepada


satu-satunya fihak ..."

"Siapa?"

"Ampun Gusti, hendaknya Gusti jangan terkejut, satu-satunya


fihak yang mungkin kita mintai tolong adalah .. . Kelana Jayeng
Sari!"

243
Semua orang terkejut. Kelana Jayeng Sari! Itulah kraman yang
dalam waktu belakangan ini mengacau di hutan-hutan
perbatasan Kadiri sebelah timur dan makin lama makin ke arah
barat!

"Tetapi Mamanda Patih ...," baginda bertanya. "Bukankah


Kelana Jayeng Sari itu mengacau di perbatasan sebelah timur?"

Mahapatih Kebo Rerangin menghaturkan sembah. "Daulat,


Gusti. Hal itu memang benar."

"Masa kita meminta tolong kepada orang yang hendak


mengacau kita?"

Mahapatih Kebo Rerangin berbicara dengan tetap sabar.


"Memang hal ini sulit. Hamba sendiri mengikuti perihal Kelana
Jayeng Sari yang konon mengaku dirinya berasal dari tanah
Sebrang itu sejak lama ... Ia banyak melakukan keanehan-
keanehan, tetapi tak syak lagi, ia seorang yang gagah dan
perwira. Ia mengalahkan berbagai kerajaan di sebelah timur.
Dan boleh dikatakan semua negara di sebelah timur kerajaan
kita ini, sampai di pantai timur, takluk belaka kepadanya. Namun
alangkah mengherankan, karena dia tidak mau duduk
memangku takhta. Yang disukainya adalah berperang ... Ia

244
mengacau di beberapa daerah, tetapi untuk kepentingan
penduduk daerah itu. Mereka tidak melakukan kekejaman atau
perbuatan keterlaluan, bahkan konon selalu menjadi pelindung
rakyat-rakyat sengsara ... Ia mulai dari pantai timur, dan makin
lama makin ke barat jua. Kini ia berada di dalam wilayah kita, di
suatu hutan yang hamba dengar tak jauh letaknya dari sini. Ia
bersama balatentaranya melakukan berbagai gangguan-
gangguan kecil-kecilan, tetapi terang tidak membahayakan. Ia
seperti dengan sengaja hendak menguji kesabaran kita ..."

"Ia malah harus kita basmi!" sembah Senapati Wirapati.

"Memang kalau keadaan tidak segenting sekarang, orang seperti


itu mesti kita basmi. Tetapi keadaan kita sekarang sangat sulit
dan genting ... Kita mesti bertindak bijaksana!" sahut Mahapatih
Kebo Rerangin.

"Apakah tindakan bijaksana meminta tolong kepada kraman


yang mengacau di negeri sendiri?"

"Kalau Kelana Jayeng Sari mau menerima permintaan tolong


kita, maka kita telah melakukan tindakan yang bijaksana sekali."

"Bagaimana pula itu?"

245
"Baik Kelana Jayeng Sari maupun raja Metaun tidak hendak
berbuat kebajikan kepada kita, boleh dikatakan dua-duanya
musuh kita ..."

"Itu pasti!" sahut Senapati Wirapati.

"Kalau keduanya bertempur untuk kepentingan kita, maka kita


telah membunuh dua ekor ular dengan sekali pukul! Kalau
Metaun bertempur dengan Kelana Jayeng Sari, siapa yang akan
untung? Pasti fihak ketiga. Dan fihak ketiga tersebut tak lain tak
bukan: kita sendiri. Jika akhirnya Metaun tak bisa dikalahkan
oleh Kelana Jayeng Sari, namun terang kekuatan keduanya
akan menjadi lemah. Lebih mudah bagi kita memukul salah
seorang dari mereka itu setelah keduanya bertempur daripada
sekarang
kita menghadapi dua musuh sekaligus!"

Baginda mengerti akan maksud Mahapatih Kebo Rerangin yang


licin itu. Baginda mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju.
Sekali lagi baginda kagum akan mahapatih yang arif serta sudah
lanjut usianya itu.

Maka diputuskanlah, bahwa Kadiri akan meminta tolong kepada


Kelana Jayeng Sari untuk menaklukkan raja Gajah Angun-angun

246
dari Metaun. Mereka mesti bekerja dengan cepat maka seketika
itu juga baginda menitahkan Patih Wiranggada pergi membawa
sepucuk surat untuk Kelana Jayeng Sari yang menyatakan
maksud baginda.

Patih Wiranggada tidak boleh ayal, seketika itu juga bersiap-


siap, lalu berangkat hendak mencari Kelana Jayeng Sari ke
hutan-hutan di sebelah timur.
Kelana Jayeng Sari mempunyai ponggawa yang jumlahnya
ratusan orang, sehingga takkan susah dicari.

Dewi Sekar Taji merasa tidak puas, lantaran ayahanda bagaikan


memandang tidak tinggi kepada kegagahannya. la percaya, ia
sendiri akan mampu mengalahkan Prabu Gajah Angun-angun
yang angkuh itu. la tidak takut. Dan ia ingin menunjukkan
keperwiraannya dalam membela kerajaan Kadiri.

Maka tatkala kemudian ia mendengar bahwa ayahanda telah


memutuskan untuk meminta tolong buat melawan raja Metaun
itu kepada Kelana Jayeng Sari yang waktu itu banyak mengacau
di hutan-hutan bagian timur kerajaan Kadiri, amarahnya meluap
kepada kepala kraman yang konon berasal dari tanah Seberang
itu.

247
'Apa sih kelebihannya orang Seberang itu daripadaku?' tanyanya
dalam hati. 'Mengapa ayahanda sampai meminta tolong
kepadanya? Sungguh tak mengerti aku!'

Wajahnya guram, dan memberengut. Beberapa lamanya


termenung-menung mengumbar kekesalan hatinya.Akhirnya ia
memberangsang.

'Baiklah, 'kan kucoba kepandaian orang Sebrang menusukkan


keris!' katanya pula dalam hati. 'Ingin kucoba kegagahan dan
kesaktiannya!'

Setelah berpikir demikian, maka tetaplah hatinya. Ia


mempersiapkan segala sesuatunya, tetapi dengan diam-diam
saja. Ia tak ingin maksudnya itu diketahui orang lain. Lebih-lebih
ia tidak ingin baginda akan mengetahuinya. Maka ia
mempersiapkan tombak serta kerisnya. Kemudian dia
berdandan, tetapi tidak seperti seorang putri, melainkan sebagai
seorang lelaki. Dalam pakaian demikian, ia tampak tampan dan
gagah, akan mengagumkan barang siapa yang melihatnya.

Tetapi ia masih kuatir juga kalau-kalau kelak ia akan dikenali


orang, maka dibekal-nya sebuah topeng akan penutup
parasnya.

248
Waktu hari mulai gelap, ia sudah siap. Maka diambilnya kuda.
Kepada orang kepercayaannya ia berpesan, supaya
kepergiannya itu jangan sampai diketahui orang lain.

Malam itu bulan purnama, dan seperti biasanya jika bulan bulat
penuh, Kelana Jayeng Sari keluar dari kemahnya, lalu berjalan
sendirian akan menggadangi sang rembulan yang sinarnya
lembut itu. Sering ia tampak merenung, memandang ke arah
bulan, seakan-akan mengharap akan terjadi keajaiban dari sana.

Para ponggawa sudah mengenal kebiasaan gusti mereka dan


tidak berani mengganggu gusti mereka itu dari lamunannya. Ki
Kebo Pandogo yang biasanya turut serta mengawani Kelana
Jayeng Sari, tatkala itu tidak nampak. Kebo Pandogo tidak
menyertai gustinya, karena ia tatkala itu sedang sibuk
menghadapi tetamu, utusan dari Kadiri.

Kelana Jayeng Sari telah menemui utusan itu dan telah pula
membaca surat yang disampaikan oleh Patih Wiranggada
kepadanya. Ia maklum kepada maksud raja Kadiri. Tetapi Kebo
Pandogo mengajukan syarat: apabila raja Metaun berhasil
dikalahkan, raja Kadiri mesti menyerahkan putrinya, sang Dewi
Sekar Taji kepada Kelana Jayeng Sari.

249
Mendengar nama Dewi Sekar Taji disebut, hati Kelana Jayeng
Sari tawar. Apapula malam telah turun, dan malam bagaikan
siang terang-benderang disinari cahaya bulan yang bulat penuh
bulan purnama. Maka hal-hal selanjutnya diserahkannya kepada
penasihatnya itu akan dirundingkan lebih jauh dengan sang
Patih Wiranggada yang menjadi kepercayaan Prabu Jayawarsya
dari Kadiri. Ia sendiri keluar dari kemah, sendirian menyusuri
malam yang indah disinari cahaya keemasan yang lembut
menyejukkan.....

Berjalan beberapa lama sampailah ia di bagian hutan yang agak


terbuka, sehingga dari sana ia bisa berpuas-puas menikmati
sinar bulan purnama. Ia berdiri sambil mempersilangkan tangan
di depan dadanya, sedangkan matanya menatap wajah bulan
yang indah itu. Merenungi.....
Entah berapa lama ia berdiri.

"Hehh! Begitu sajakah Kelana Jayeng Sari yang termashur


gagah berani dan tak terkalahkan itu? Merenung memandang
bulan bagaikan orang kasmaran yang mimpi?"

Kelana Jayeng Sari menoleh ke arah suara itu, maka nampak


olehnya sesosok tubuh berdiri tegak bagaikan menantang
menghadap ke arahnya. Ia tak bisa memandang dengan jelas,
250
siapakah gerangan orang itu, karena dalam bayang-bayang
hutan ia samar sekali. Sedangkan suaranya, ia terkejut
mendengar suara itu.....seolah-olah suara yang selama ini
dinanti-nantikannya!

"Siapakah Tuan?" ia balik bertanya.

Sosok tubuh itu tertawa pula mengejek, bergerak ke arah tempat


yang tidak disamari bayang-bayang yang hitam. Maka kelihatan
oleh Kelana Jayeng Sari sekarang, bahwa menilik pakaiannya,
orang yang berdiri di depannya itu seorang lelaki. Tetapi tatkala
ia meneliti dengan telik, nampaklah bahwa wajah orang itu
ditutupi sebuah topeng.

"Akulah orang yang sengaja datang untuk menaklukkanmu,


supaya engkau jangan sombong. Engkau mesti tahu, di dunia ini
tidak hanya engkau lelaki. Tidak hanya engkau yang gagah
berani!"

Kelana Jayeng Sari memandang dengan tenang ke arah orang


itu.

"Mengapa engkau bertopeng?" tanyanya kemudian dengan


suara tetap.

251
"Jangan banyak bertanya, hunus kerismu! Mari kucoba
kepandaianmu mempermainkan keris!"

Kelana Jayeng Sari tertawa. "Lebih baik pertunjukkan


permainanmu dahulu!" sahutnya.

Orang itu agaknya merasa terhina dan menjadi murka. Maka


dihunusnya keris, kemudian melompat ke arah Kelana Jayeng
Sari, menikam...

Tetapi dengan matanya yang terlatih Kelana Jayeng Sari melihat


bahwa orang itu menusuknya tidak dengan sungguh-sungguh,
kelihatan bahwa ia ragu-ragu. Kelana Jayeng Sari jadi heran dan
bertanya-tanya dalam hati. 'Siapakah gerangan orang itu?'

Ia mengegoskan tubuhnya dari tikaman, lalu mencoba memukul


pergelangan tangan orang yang memegang keris itu, agar
kerisnya terjatuh. Namun orang itu sungguh-sungguh tangkas,
sebat sekali ia mengilir, sehingga tangannya tak menjadi kurban
pukulan Kelana Jayeng Sari yang anginnya berkesiur.

Karena tikamannya meleset, ia mengulangi lagi.

Tetapi kembali Kelana Jayeng Sari melihat, bahwa orang itu


menjadi ragu-ragu tatkala kerisnya sudah menuju bagian tubuh
252
yang berbahaya, dan dibelokkan ke arah bagian yang tidak
begitu berbahaya.

Kelana Jayeng Sari mencoba menangkap tangan orang itu,


tetapi ia pun tidak manda saja membiarkan dirinya ditangkap
oleh musuhnya.

Atas kesigapan dan ketangkasan orang itu, Kelana Jayeng Sari


merasa kagum. 'Siapakah orang itu yang begitu tangkas?'
tanyanya dalam hati.

Maka ia pun makin mempertajam matanya akan meneliti orang


itu. Ia ingin membuka topeng orang itu dan tak terlintas dalam
pikirannya untuk mencelakakannya.

Sementara itu orang yang bertopeng telah menyerangnya pula


bertubi-tubi, gencar dan sangat sebat sekali. Kelana Jayeng Sari
dengan tak kurang tangkas, berkelit dari setiap tikaman.
Sehingga orang yang bertopeng menyerang secara sia-sia saja.
Tetapi Kelana Jayeng Sari pun tidak bisa berbuat leluasa. Ia
ingin menangkap dan memaksa orang bertopeng itu melepaskan
kerisnya, tetapi sebegitu jauh usahanya tidak berhasil.

253
Demikianlah beberapa lama keduanya berkelahi dengan seru,
memperlihatkan ketangkasan dan kesebatannya masing-
masing.

Dalam berkelahi itu Kelana Jayeng Sari tak henti-hentinya


merasa kagum atas ketangkasan dan kesebatan orang
bertopeng yang tak dikenal itu.

Keringat telah membasahi tubuh mereka, tetapi keduanya masih


tangguh bagaikan gunung. Mereka berkelahi di tempat terbuka,
tetapi jauh dari perkemahan, sehingga tak diketahui orang lain.
Nafas mereka sudah mulai memburu, tetapi tak ada tanda-tanda
bahwa perkelahian itu akan segera berakhir.

Kelana Jayeng Sari tiba-tiba meloncat, keluar dari kalangan,


sambil berteriak, "Tunggu dulu orang asing! Tunggu dulu!
Berkelahi dengan mempergunakan topeng tidak leluasa!
Bukalah topengmu, supaya bebas kita berkelahi!"

"Kau ngaco-belo apa?" hardik orang itu. "Apa bedanya berkelahi


dengan topeng atau tidak?"

Kelana Jayeng Sari tak sempat berkata-kata pula, karena


serangan telah menyusul. Ia segera berkelit. Sekali lagi,
usahanya untuk menangkap tangan musuhnya tak terlaksana.
254
'Sungguh bukan orang sembarangan,' katanya dalam hati.
'Jarang orang yang mempunyai kepandaian seperti ini. Tetapi
masih aku tidak mengenalnya! Siapakah dia gerangan?'

Tetapi ia tidak juga mengetahuinya, apapula karena gencarnya


serangan yang mengarahnya secara bertubi-tubi.

'Ia kelihatannya masih muda.....' pikirnya kemudian. 'Tetapi


kulitnya halus benar!'

Sekali, waktu tikamannya tak mengena, orang bertopeng itu tak


sempat menghindarkan tangannya dari sabetan tangan Kelana
Jayeng Sari yang mengarah pergelangan.

"Lepas!" teriak Kelana Jayeng Sari.

Tiba-tiba orang bertopeng itu merasa tangannya terpukul dan


semutan, sehingga keris yang dipegangnya itu pun
terlepas.........

"Jawab; siapakah engkau?" Kelana Jayeng Sari bertanya.

Orang yang bertopeng itu tidak menyahut. Ia dengan sigap


memungut kerisnya yang jatuh.

255
Kelana Jayeng Sari kagum akan kesigapannya itu. Keris yang
terlempar itu
segera kembali dipegang oleh tangan kiri orang bertopeng.
Tetapi setelah ia menjemput keris, orang bertopeng itu tidak
kembali menyerangnya, melainkan lari ke hutan yang gelap.

"Kelana Jayeng Sari! Tak kecewa kau disebut orang gagah!


Namamu bukan nama kosong belaka!"

"Terima kasih atas pujian Tuan. Tetapi siapakah Tuan


sebenarnya?" Kelana Jayeng Sari balik bertanya.

Tetapi orang bertopeng itu tak kedengaran menyahut. Ia hanya


tertawa di kejauhan, dan tertawanya yang keras berderai itu
makin lama makin menjauh sampai akhirnya ia hilang dalam
kelengangan hutan.

Kelana Jayeng Sari merasa sangat penasaran. Suara orang itu


dan deraian tertawanya sungguh sama dengan suara orang
yang selama ini dimimpi-mimpikannya: suara istrinya yang telah
lenyap terbang ke bulan.........

Ia memandang ke arah bulan yang ketika itu telah mulai


condong ke arah barat.

256
Tak terasa lagi, ia rupanya telah bergadang hampir semalaman.
Tatkala ia menganggap bahwa orang bertopeng itu takkan
muncul kembali, maka ia pun kembali ke kemahnya. Di sana
didapatinya penasihatnya Kebo Pandogo belum tidur, tetapi
Kelana Jayeng Sari tidak bernapsu hendak berbicara, maka
dibaringkannya tubuhnya di atas ranjang ketidurannya.

Demikianlah peristiwa perkelahiannya malam itu dengan musuh


tak dikenal, tak pernah dia ceritakan kepada orang lain.
Meskipun ia sendiri tak habis-habisnya heran, memikirkan
siapakah gerangan musuh yang telah berkelahi dengan
memakai topeng itu............

Bingung juga sang Prabu Jayawarsya tatkala mendengar


sembah Patih Wiranggada tentang permintaan yang diajukan
pihak Kelana Jayeng Sari sebagai syarat: Dewi Sekar Taji, putri
mahkota Kadiri, diminta sebagai tanda terima kasih apabila
Kelana Jayeng Sari berhasil memukul mundur balatentara
Metaun!

Kelana Jayeng Sari, meski termashur gagah serta perwira,


namun orang yang tak ketahuan asal-muasalnya. Dalam pada
itu Dewi Sekar Taji pun masih terikat oleh pertunangan dengan
Raden Panji Kuda Waneng Pati dari Janggala. Memang baginda
257
mengetahui juga, bahwa Raden Panji telah lenyap tak ketahuan
hidup-matinya, namun kepastian ia sudah tak ada lagi di dunia
ini, juga tak ada. Masih mungkin kelak sewaktu-waktu akan
muncul Raden Panji Kuda Waneng Pati dan ia mungkin akan
menuntut tunangannya.

Lama juga baginda termenung-menung, memikirkan syarat yang


diajukan oleh pihak Kelana Jayeng Sari itu. Tetapi keadaan tidak
memungkinkan baginda berpikir terus. Keadaan sangat
mendesak. Berita tentang makin majunya tentara Metaun
menuju Kadiri datang saling susul-menyusul. Agaknya pihak
Metaun sudah juga mencium berita baginda meminta tolong
kepada Kelana Jayeng Sari.
Sambil berjalan ke arah timur, tentara Metaun itu melakukan
perampokan dan pembakaran di sepanjang jalan. Para
penduduk mengungsi dengan ketakutan dan ratapan-ratapan
yang mengharukan kalbu.

Baginda cepat mengambil keputusan; Baginda menerima syarat


yang diajukan pihak Kelana Jayeng Sari, tetapi meminta supaya
Kelana Jayeng Sari segera datang di ibu kota bersama
pasukannya.

258
Patih Wiranggada segera pulang kembali akan mengabarkan hal
itu. Dan keesokan harinya Kelana Jayeng Sari sudah akan
masuk ke ibukota. Seluruh ibukota sejak pagi sudah dititahkan
berhias, akan menyambut pahlawan mereka dari Sebrang itu.

Tatkala hari sudah lewat tengah hari, bala-bantuan yang


diharap-harapkan pun datang.

Kelana Jayeng Sari dengan gagah duduk di atas kudanya,


memandang tak peduli kepada segala keriahan yang
diselenggarakan untuk menyambutnya itu.

Kelana Jayeng Sari diterima baginda dengan gembira, kemudian


ditempatkan di puri Tambaknya yang dihiasi seindah-indahnya.

Dia segera menempati puri istana itu dan Penasihatnya yang tua
itu, Kebo Pandogo mendapat bilik yang tak berjauhan. Para
ponggawa dan pasukan Kelana Jayeng Sari telah bertemu
dengan baginda dan bercakap-cakap juga beberapa lamanya
kemudian ia meminta diri akan kembali ke purinya.

Malam itu Kebo Pandogo berniat hendak mempersembahkan


pakaian yang indah-indah buat Dewi Sekar Taji. la sudah
mempersiapkan persembahan itu sejak beberapa lama, berupa

259
pakaian sutra yang halus-halus dan intan permata yang
gemerlapan, emas urai, mutiara dan sebagainya.

Kelana Jayeng Sari tidak ambil peduli akan maksud


penasihatnya itu. Tetapi ia sendiri tidak hendak pergi ke istana.

"Tak usahlah Gusti turut serta," kata Kebo Pandogo. "Biarlah


semuanya hamba urus. Lagi-pula Gusti mesti beristirahat karena
bukankah besok kita akan bertempur dengan tentara Metaun?"

Tetapi Kelana Jayeng Sari tidak mau tidur, ia berjalan-jalan di


taman yang sangat indah,menikmati udara malam yang sejuk.

Kebo Pandogo diterima baginda dengan hormat, dan tatkala


mendengar maksud kedatangannya, baginda menitahkan
supaya Dewi Sekar Taji datang menghadap.

Tatkala Kebo Pandogo melihat Dewi Sekar Taji, ia terkesiap.

'Sungguh serupa benar!' katanya dalam hati. 'Tak sia-sia


usahaku selama ini! Kalau Kelana Jayeng Sari melihat Dewi
Sekar Taji ini, tentu ia lupa akan istrinya. Dan niscaya ia percaya
kepada perkataanku, bahwa istrinya benar-benar kembali turun
ke dunia!'

260
Waktu ia kembali ke puri, didapatinya gustinya belum lagi
beradu. Maka ia pun mempersembahkan pengalamannya
bertemu dengan Dewi Sekar Taji.

"Kalau Gusti bertemu dengan putri dari Kadiri itu, Gusti tentu
akan kagum, karena ia sungguh-sungguh seorang yang sangat
jelita!" akhirnya ia bilang.

Kelana Jayeng Sari menghela nafas.

"Tetapi mungkinkah ia secantik istriku Candra Kirana?" tanyanya


dengan tak bernafsu. "Tak ada orang yang secantik dia! Takkan
ada!"

Kebo Pandogo tersenyum-senyum. "Kelak akan Gusti lihat!"


katanya. "Dewi Sekar Taji memang sama cantiknya dengan
Dewi Anggraeni..."

Mendengar nama itu disebut orang, Kelana Jayeng Sari menjadi


berduka dan ia tak hendak bercakap-cakap pula.
Kenang-kenangan akan istrinya membuat ia bersedih,
sedangkan malam itu ia menumpahkan kerinduan hatinya
dengan memandang ke arah purnama yang bercahaya lembut.

261
Keesokan harinya pagi-pagi benar ia sudah bersiap, karena hari
itu ia akan bertempur melawan raja Metaun.

Para ponggawanya pun sudah siap, suaranya hiruk-pikuk,


genderang peperangan telah dipalu, berdebam-debam bunyinya.

Waktu Kelana Jayeng Sari sudah naik ke atas kudanya, hendak


berangkat, tiba-tiba datang berlari-lari seorang putri yang berkata
kepadanya, "Kelana Jayeng Sari! Perkenankanlah aku turut
berperang di sisi Tuan!"

Kelana Jayeng Sari menolehkan mukanya dan memandang


dengan mata terbelalak kepada putri yang mendatanginya itu.

"Istriku yang tercinta, sungguh-sungguhkah engkau kembali?"


sambutnya.

"Tuan khilaf, Kelana Jayeng Sari!" sahut putri itu yang bukan lain
daripada Dewi Sekar Taji putri mahkota Kadiri, "Hamba belum
lagi menjadi istri Tuan!"

Tetapi Kelana Jayeng Sari tak syak lagi: parasnya, tubuhnya,


suaranya, gerak-geriknya, ah, semuanya sama benar dengan
istrinya.

262
"Candra Kirana! Masihkah Adinda akan mempermainkan
Kakanda?" tanyanya dengan suara lembut.

"Candra Kirana? Siapakah Candra Kirana itu, Kelana Jayeng


Sari?" sahut putri Sekar Taji. "Nama hamba bukan Candra
Kirana, melainkan dewi Sekar Taji, putri Kadiri!"

Kelana Jayeng Sari tertegun. Dewi Sekar Taji! Inilah putri yang
telah dipertunangkan dengan dia sejak masih kanak-kanak! Baru
sekali ini ia melihatnya! Dan putri itu bagaikan pinang dibelah
dua dengan istrinya yang terbang ke arah bulan! Alangkah
sama! Segalanya! Ia memandang tajam-tajam ke arah putri itu,
meneliti dengan mata terpukau.

Beberapa jenak ia tak kuasa melahirkan kata-kata. Lidahnya


menjadi kelu.

"Hamba hendak turut serta dengan Tuan memerangi raja Gajah


Angun-angun yang angkuh itu!" kata putri Sekar Taji pula.

Kelana Jayeng Sari cepat menguasai dirinya pula.

"Tetapi putri jelita, sayangilah kecantikanmu itu! Jangan turut ke


medan perang!" sahutnya.

263
"Hamba memang seorang wanita, tetapi hamba bukan seorang
pengecut!" kata Dewi Sekar Taji pula. "Orang-orang menyebut
hamba putri yang gagah berani dan hamba memang mahir
mempermainkan pelbagai alat senjata, Tuan pun tahu!"

"Kita baru sekali ini bertemu, mana mungkin hamba tahu tentang
diri Tuan Putri!"

Putri Sekar Taji tertawa. "Mata Tuan sungguh buta! Tuan benar-
benar seorang pemimpi yang kerjanya melamun menggadang
cahaya bulan!" katanya seperti mengejek.

Mendengar perkataan itu Kelana Jayeng Sari terkejut. Begitulah


ia diejek orang yang penuh rahasia itu tempo hari. Jadi orang
yang bertopeng itu Dewi Sekar Taji? Ia memandang tajam-tajam
kepada putri yang ada di depannya itu. Tak syak lagi! Suara itu
pula yang dia dengar malam itu. Dan oleh hidungnya yang
tajam, tercium pula wangi yang malam itu juga dia cium.

"Tak hamba sangka di Kadiri ada putri perwira!" katanya


kemudian sambil tertawa. "Sungguh mataku buta,
pendengaranku cupet!"

Dewi Sekar Taji tertawa pula. "Jadi Tuan perkenankan hamba


turut serta ke medan pertempuran?"
264
Kelana Jayeng Sari hanya tertawa.

"Hamba mempunyai seekor gajah putih ..." kata Dewi Sekar Taji
pula. "Ia seekor binatang peperangan yang terlatih. Biarlah ia
kutunggangi untuk menyaksikan pertarungan Tuan dengan Raja
Metaun!"

Prabu Jayawarsya tidak berhasil melarang putrinda turut ke


medan laga. Maka ia hanya berpesan kepada Kelana Jayeng
Sari supaya hati-hati menjaganya, agar jangan sampai
mendapat celaka.

"Sang Dewi seorang gagah perwira," Kelana Jayeng Sari


berkelakar. Tetapi ia menyanggupi juga pesan baginda.

Maka Kelana Jayeng Sari bersama wadia-balanya pun


berangkat
ke arah barat. Sang Dewi Sekar Taji duduk di atas gajah
putihnya yang anggun dan tangkas itu.

Gajah Angun-angun beserta bala tentaranya bergerak ke arah


timur, berbuat semena-mena melampiaskan amarahnya. Para
penduduk yang tidak berdosa dianiaya serta disiksa. Rumah-
rumah dibakar, harta kekayaan diranjah dan dirampas, wanita-
wanita diperkosa.
265
Tatkala kedua tentara itu bertemu, maka perang campuh pecah.
Suara senjata yang berlaga berdencing-dencing, diselang oleh
teriakan-teriakan kesakitan yang mengerikan hati. Darah
mengalir membasahi tanah dan suara kuda yang mabuk darah
atau luka menyebabkan langit dan bumi gemetar.

Balatentara Metaun sudah lelah, karena menganiaya dan


menyiksa penduduk, lagipula tak terkuasai lagi oleh orang
atasannya, sehingga bertempur cerai-berai, merugikan
pihaknya.

Sebaliknya wadia-bala Kelana Jayeng Sari yang telah terlatih itu,


masih segar bugar dan dikendalikan oleh ahli siasat yang mahir.

Menjelang tengah hari, balatentara Metaun sudah cerai-berai.


Betapapun sang Prabu Gajah Angun-angun berteriak murka
menitahkan bala tentaranya supaya jangan lari, namun sia-sia
saja. Lagipula beberapa raja yang semula berpihak kepadanya
tatkala melihat gelagat tidak baik, segera berbalik senjata atau
menitahkan para pengikutnya menghindarkan diri, meloloskan
pasukan ke luar arena pertempuran, karena dengan begitu
terlepas dari raja yang kejam itu.

266
Di atas gajahnya yang didandani secara mewah Prabu Gajah
Angun-angun tak henti-hentinya berteriak, menganjurkan supaya
maju menerjang anak buah Kelana Jayeng Sari. Panah yang
menghujaninya dengan tangkas selalu dapat ditangkisnya.

Kelana Jayeng Sari dengan perkasa, berdampingan dengan


Dewi Sekar Taji maju ke arah barat. Kelana Jayeng Sari di atas
kuda, sang putri di atas gajah. Sedangkan tangan keduanya tak
berhenti-henti memain. Kelana Jayeng Sari mempergunakan
tombak. Setiap gerakan tangannya menyebabkan tentara musuh
rubuh. Mereka tak mampu menghindari tusukan tombak yang
matanya bagaikan dapat melihat itu. Yang selamat, timbul
takutnya, lalu terbirit-birit melarikan diri. Gajah yang ditunggangi
oleh Dewi Sekar Taji sudah biasa di medan perang,
menyebabkan musuh yang kurang waspada kehilangan
nyawanya, hancur dibanting oleh belalai atau luluh lantak diinjak
oleh kakinya yang besar-besar itu. Panah Dewi Sekar Taji pun
sangat berbahaya, senantiasa meminta kurban nyawa.

Segera Prabu Gajah Angun-angun melihat musuhnya. Murkanya


pun membakar wajahnya.

"Kelana Jayeng Sari!" ia berteriak menantang. "Kau kira medan


perang ini tempat apa? Kalau kau benar berani, tinggalkanlah
267
perempuan itu, mari kita bertarung mencoba kekebalan kulit
masing-masing."

Kelana Jayeng Sari tertawa mengejek. "Prabu Gajah Angun-


angun, jangan banyak bicara, harimu yang terakhir sudah tiba!
Lihatlah sinar matahari sepuas-puasmu, karena besok ia takkan
kaulihat pula!"

Prabu Gajah Angun-angun bertambah murka. Maka


diarahkannya gajahnya ke dekat Kelana Jayeng Sari, sehingga
keduanya berhadapan.

"Kelana Jayeng Sari! Kalau engkau benar perkasa, kau tangkis


tombakku si Pantang Kalah ini" teriaknya sambil menusukkan
tombaknya. Tetapi Kelana Jayeng Sari dengan mudah saja
menangkisnya, sehingga murka Prabu Gajah Angun-angun
makin menjadi. Bertubi-tubi ia menusuk dan mengarah tubuh
musuhnya, tetapi dengan tamengnya Kelana Jayeng Sari selalu
menangkis.

"Mana permainan tombakmu yang kesohor itu?" ejek Kelana


Jayeng Sari sambil tertawa. "Hanya itu sajakah?"

Prabu Gajah Angun-angun meloncat dari gajahnya.

268
"Kelana Jayeng Sari, turun ke mari! Mari kita berkelahi dengan
keris di atas tanah!"

Hanya sekejap Kelana Jayeng Sari sudah berada


dihadapannya...

"Apa maumu akan selalu kulayani!" kata Kelana Jayeng Sari.

Belum lagi perkataannya habis diucapkan, maka keris telah


menyambar akan menusuk lambung. Tetapi ia sungguh gesit,
tusukan itu bisa dihindarinya dengan mudah.

Sebaliknya Prabu Gajah Angun-angun hampir-hampir ngusruk


lantaran kehilangan keseimbangan tubuh. Ia menusuk dengan
sepenuh tenaga, tak tahunya musuh mengegoskan diri.

"Hunus kerismu!" teriaknya dengan murka.

"Tak usah terburu-buru benar ..." sahut Kelana Jayeng Sari.


"Bukankah engkau masih ingin melihat sinar matahari?"

Ejekan-ejekan Kelana Jayeng Sari yang menghina itu


menyebabkan Prabu Gajah Angun-angun makin murka. Ia
sudah tak bisa menguasai amarahnya lagi. Ia menusuk dengan

269
kalap kepada musuhnya, tetapi dengan demikian musuhnya pun
jadi lebih gampang menyelamatkan diri.

Demikianlah kedua pahlawan itu berkelahi beberapa lamanya,


ditonton dengan asyik oleh Dewi Sekar Taji yang tersenyum-
senyum saja. la yakin akan kepandaian Kelana Jayeng Sari
yang diketahuinya sangat mahir dan ahli mempermainkan keris.

Dalam pada itu pertempuran sudah mendekati akhirnya. Kelana


Jayeng Sari sudah menghunus kerisnya yang konon sangat
sakti dan bertuah benar itu. Ia tidak membuta seperti musuhnya
menusuk-nusukkan keris, tetapi menanti saat yang tepat.
Matanya yang tajam mengawasi musuhnya dengan teliti. Ia pun
mesti menghindarkan diri dari setiap tusukan Prabu Gajah
Angun-angun.

Tidak berapa lama, ia melihat satu lowongan..... Tatkala keris


Prabu Gajah Angun-angun mengarah dadanya sebelah kiri, ia
sengaja bertindak ayal, sehingga menggembirakan musuhnya
itu. Ia yakin sekali ini Kelana Jayeng Sari tak nanti mampu
menghindarkan dirinya dari tusukan kerisnya.

"Rubuhlah!" teriak Prabu Gajah Angun-angun.

270
Tetapi apa yang terjadi? Ternyata yang benar-benar rubuh
adalah: tubuh yang besar kekar itu rubuh, karena tangan kanan
Kelana Jayeng Sari yang memegang keris itu telah mendahului
masuk ke bawah ketiaknya, sedangkan mata kerisnya masuk ke
dalam dada. Darah mengucur, keris terlepas dari tangan Prabu
Gajah Angun-angun.

Kelana Jayeng Sari berdiri sambil bernafas lega. Ia


membersihkan kerisnya dari darah yang merah membasahinya.

"Sungguh mengagumkan!" terdengar pujian dari atas gajah.


Itulah suara Dewi Sekar Taji yang sejak tadi menyaksikan
pertarungan mati-matian kedua orang itu.

Karena raja mereka rubuh, maka bubar tak keruanlah tentara


Metaun. Yang tak sempat melarikan diri, tertangkap, lalu
dibelenggu oleh bala tentara Kelana Jayeng Sari. Mereka
memohon ampun, mau menyelamatkan selembar nyawanya.

Kelana Jayeng Sari menitahkan agar mayat Prabu Gajah Angun-


angun dan para tawanan dibawa ke Kadiri akan menjadi bukti
kemenangannya.

271
Seluruh Kadiri mengelu-elukan Kelana Jayeng Sari yang telah
menjadi pahlawan mereka memukul mundur tentara Metaun dan
membunuh Prabu Gajah Angun-angun yang kejam.

Prabu Jayawarsya menyambut kedatangan Kelana Jayeng Sari


bersama pasukannya itu sampai diluar kota Kadiri. Waktu sang
pahlawan turun dari gajah akan menghaturkan sembah kepada
baginda, terdengar sorak gempita yang membelah udara.

"Hidup Kelana Jayeng Sari! Hidup pahlawan Kadiri!"

Kemudian mereka bersama-sama masuk ke dalam istana. Prabu


Jayawarsya nampak terharu. Ia memandang berganti-ganti
kepada Kelana Jayeng Sari dan putrinda Dewi Sekar Taji, lalu
menundukkan kepalanya, seperti memikirkan sesuatu hal yang
mengganggu kalbunya.

Para prajurit Kelana Jayeng Sari dijamu dan dihibur dengan


berbagai pertunjukan. Maka hilang lenyap capai lelah mereka,
karena terhibur oleh berbagai hal yang menyukakan hati.

Sementara itu di istana, baginda beserta beberapa orang


pejabat penting juga sedang menjamu Kelana Jayeng Sari
bersama Kebo Pandogo. Baginda memuji kepahlawanan sang

272
Kelana dan bersukur karena ancaman bahaya terhadap Kadiri
sudah bisa dihindari.

Tatkala pembicaraan sampai pada soal pernikahan Kelana


Jayeng Sari dengan Dewi Sekar Taji seperti yang telah
dijanjikan, baginda menghela nafas panjang.

"Jodoh memang ditentukan oleh para dewa ... " sabdanya


kemudian. "Manusia tak bisa berbuat sesuatu apa, apabila
Dewata raya tidak memperkenankannya ..."

Orang-orang termenung demi mendengar sabda baginda yang


diucapkan dengan suara yang murung sedih itu, diam
termenung, tak ada yang berani memotong kalimat. Suasana
yang penuh gelak tertawa berubah menjadi sungguh-sungguh.

"Umpamanya Dewi Sekar Taji ..." baginda melanjutkan


perkataannya pula. "Sejak masih kanak-kanak ia telah
dipertunangkan dengan Raden Panji Kuda Waneng Pati, putra
mahkota Janggala. Apa mau pihak Janggala tidak menepati janji
- atau lebih tepat: Dewata menghendaki yang lain. Raden Panji
konon nikah di luar perkenan ayahanda dengan seorang bukan
keturunan raja dan menolak untuk menikah dengan anakku

273
Sekar Taji ..." wajah baginda muram, suaranya pun makin
menjadi guram.

"Dan kemudian Raden Panji konon tenggelam di lautan selagi


berlayar-layar dengan istrinya yang sudah meninggal ... Tetapi
ada pula yang mengatakan, bahwa Raden Panji masih hidup,
hanya sebegitu jauh sampai sekarang belum kelihatan muncul.
Sang Prabu Jayantaka sudah mengundurkan diri, kini telah
digantikan oleh Prabu Braja Nata, putra baginda. Hebat adalah
bagi kami, karena Prabu Braja Nata bersikeras mengatakan
bahwa saudaranya, Raden Panji Kuda Waneng Pati masih
hidup, karena itu pertunangannya dengan Dewi Sekar Taji tidak
dibatalkan! Tetapi bertahun-tahun telah lampau, kabar mengenai
Raden Panji tak juga sampai. Lagipula bukti bahwa Raden Panji
masih hidup tak ada yang layak dipercaya ... Prabu Braja Nata
tak percaya saudaranya itu telah meninggal, karena mereka
tidak berhasil menemukan mayatnya. Ya, bagaimana pula
mencari mayat di dalam lautan yang dalam dan luas tak terkira?"
baginda berhenti
sejenak, suasana hening.

"Karena itu, menurut pendapat kami, adalah anakku Kelana


Jayeng Sari yang telah ditentukan oleh Dewata untuk menjadi
jodoh Dewi Sekar Taji, anakku. Sesuai dengan perjanjian kita,
274
kami merasa tidak keberatan menikahkan anakku Dewi Sekar
Taji dengan anakku Kelana Jayeng Sari. Persiapan untuk itu
akan segera disediakan ..."

Hampir Kelana Jayeng Sari tak kuasa menahan dirinya, akan


sujud di depan baginda dan menjelaskan bahwa Raden Panji
Kuda Waneng Pati yang dikabarkan tenggelam di lautan itu,
adalah dia sendiri adanya. Hampir ia tak kuat menahan
keinginan untuk mengatakan bahwa Raden Panji Kuda Waneng
Pati dan Kelana Jayeng Sari itu orangnya satu.

Untung saja penasihatnya yang bijaksana, Ki Kebo Pandogo,


menekan tangannya, sehingga sadar ia akan dirinya yang
sedang menyamar. Maka pembicaraan pun dilanjutkan tentang
pernikahan yang akan segera dilangsungkan. Beberapa orang
senapati mengutarakan kekuatirannya kalau-kalau pihak
Janggala menjadi marah dan menyerang Kadiri. Tetapi mengapa
pula mesti takut? Bukankah Kelana Jayeng Sari yang gagah
perwira dan sakti itu akan sanggup memukul mundur serbuan
Janggala? Maka mengenai hal itu orang tidak berani
menyinggung-nyinggungnya pula.

Pernikahan ditetapkan akan dilangsungkan enam minggu lagi.


Selama itu persiapan-persiapan akan diadakan. Sebuah pesta
275
kerajaan akan diselenggarakan besar-besaran. Bukankah Dewi
Sekar Taji putri mahkota yang kelak akan memangku takhta
Kadiri?

Seluruh kerajaan sibuk bersiap-siap untuk menyambut hari yang


akan dirayakan empat puluh hari empat puluh malam itu.

Tetapi waktu yang enam minggu itu menyebabkan berita tentang


pernikahan Dewi Sekar Taji dengan Kelana Jayeng Sari dari
tanah Seberang itu sampai di Janggala dan Prabu Braja Nata
murka besar tatkala mendengarnya.

"Dewi Sekar Taji sudah dipertunangkan dengan Raden Panji


Kuda Waneng Pati!" katanya dengan geram.

"Raden Panji memang hilang, tetapi ia belum meninggal dan


pertunangan antara keduanya pun belum diputuskan! Nyata
pihak Kadiri hendak menghina kita, Janggala! Hinaan ini tak
boleh kita biarkan saja!"

Maka baginda berunding dengan para pejabat kerajaan yang


penting-penting membicarakan persiapan-persiapan untuk
menyerang Kadiri, supaya pernikahan tunangan putra mahkota
Janggala dengan orang yang berasal dari tanah Sebrang itu
jangan sampai terlaksana.
276
Baginda bertindak cepat, beberapa hari kemudian berangkatlah
tentara Janggala dalam jumlah yang besar menuju Kadiri. Prabu
Braja Nata sendiri memimpin penyerangan itu.

Tetapi Prabu Braja Nata bertindak hati-hati. Ia tidak langsung


menyerang Kadiri. Tatkala sampai di perbatasan, ia pun
mendirikan perkemahan. Lalu ditulisnya sepucuk surat yang
akan diantarkan oleh Senapati Arya Suralaga kepada sang
baginda Prabu Jayawarsya. Dalam surat itu Prabu Braja Nata
mengingatkan mamanda akan pertunangan putri mahkota Kadiri
dengan putra mahkota Janggala Raden Panji Kuda Waneng
Pati. Pertunangan itu belum pernah diputuskan, dan meskipun
dikabarkan tenggelam ke dasar lautan, belum tentu Raden Panji
sudah meninggal. Hingga sekarang mayatnya belum
diketemukan orang. Karena itu, Prabu Braja Nata menyatakan
keberatannya kalau Dewi Sekar Taji dinikahkan dengan orang
lain, sedangkan pertunangannya dengan Raden Panji Kuda
Waneng Pati belum diputuskan secara resmi. Ia mengatakan
bahwa jika hal itu dilangsungkan, maka itu berarti penghinaan
buat Janggala dan ia takkan membiarkan diri serta nama baik
kerajaannya terhina.

Di perbatasan ia telah siap dengan bala tentaranya yang besar


untuk menyerbu Kadiri, kalau penghinaan dilangsungkan juga.
277
Pada akhir suratnya, Prabu Braja Nata menuntut agar
pernikahan itu dibatalkan dan agar Kelana Jayeng Sari datang
menyerah kepadanya untuk menerima hukuman penggal. Orang
yang konon berasal dari tanah Sebrang itu dianggap telah
dengan sengaja menghina kerajaan Janggala.

Tetapi sebelum Senapati Arya Suralaga sampai di hadapan


Prabu Jayawarsya akan mempersembahkan surat Prabu Braja
Nata, berita tentang kedatangan tentara Janggala di perbatasan
Kadiri telah meniup-niup di seluruh negeri. Setiap orang
membicarakannya. Setiap orang berkuatir. Dan kekuatiran itu
mempengaruhi persiapan pesta kerajaan untuk pernikahan putri
mahkota mereka.

Dan tatkala Prabu Jayawarsya menerima utusan Prabu Braja


Nata, hatinya goncang. Sebelum ia membuka surat yang
dipersembahkan orang kepadanya, untuk sebagian besar
baginda telah maklum akan isinya: Perang! Perang dengan
Kadiri! Tidak, bencana itu tak mungkin dihindari lagi! Tuntutan
Prabu Braja Nata sangat mustahil: Kelana Jayeng Sari mana
mungkin bersedia untuk menyerahkan kepalanya kepada pihak
Janggala! Sebaliknya ia pun takkan mungkin meminta Kelana
Jayeng Sari untuk membatalkan pernikahannya dengan Dewi
SekarTaji! Itu akan menyebabkan pahlawan dari tanah Sebrang
278
itu merasa terhina dan murka pula! Memang, ia boleh tidak usah
menaruh kuatir, karena Kelana Jayeng Sari dengan bala
tentaranya tentu akan menghadapi serangan dari Janggala.
Namun jika hal itu terjadi, maka perhubungannya dengan
Janggala akan buruk untuk selama-lamanya. Sedangkan
Janggala dengan Kadiri berasal dari satu keturunan, dari satu
kerajaan jua ... Maka terkenang pula baginda akan cita-citanya
semasa muda, bersama-sama dengan saudara sebuyutnya
Prabu Jayantaka, untuk bersama-sama mewujudkan kembali
apa yang dahulu dengan susah payah telah dipersatukan oleh
moyang mereka Sang Airlangga: persatuan Kadiri dengan
Janggala! Sungguh suatu cita-cita yang indah! Sungguh tak
baginda kira, cita-cita yang mulia itu akan berakhir seperti ini.
Jangankan persatuan, bahkan perpecahan selama-lamanya
mengancam perhubungan kedua kerajaan itu!

Baginda menghela nafas. Kepada Senapati Arya Suralaga


baginda meminta tempo untuk merundingkannya dahulu dengan
para tetua negara dan sementara menunggu keputusan itu,
utusan Prabu Braja Nata dipersilakan beristirahat di sebuah
pesanggrahan yang sangat resik.

Tetapi para tetua serta pejabat negara pun tidak mampu


menghasilkan saran yang merupakan jalan keluar. Mahapatih
279
Kebo Rerangin yang terkenal bijaksana itu, merenung, berpikir
keras dan kata-katanya tidak memberikan cahaya harapan.

"Akhir-akhirnya segala-galanya terserah kepada Gusti Kelana


Jayeng Sari jua ... " demikian katanya. "Hanya ia dalam hal ini
yang mungkin memberi keputusan. Kalau ia menghendaki
perang, maka perang pun takkan mungkin dihindari ... Kecuali
kalau ia bersedia memenuhi tuntutan Prabu Braja Nata itu ... "

"Tetapi sudikah ia menyerah?" tanya baginda.

"Itulah yang tak bisa kita jawab. Karena itu hanya ia sendiri yang
mungkin memberi keputusan ...."

"Tak ada jalan lain kalau begitu: kita mesti merundingkan hal ini
dengan dia! Baiklah, Senapati Wirapati, silakan Kelana Jayeng
Sari datang ke mari!" sabda baginda.

Sementara itu Dewi Sekar Taji, yang juga mendengar berita


tentang masuknya tentara Janggala ke perbatasan, bermuram
durja. Ia nampak merenung-renung dan melamun, sehingga
menimbulkan heran Kelana Jayeng Sari yang sedang
mengunjunginya.

"Apakah yang Adinda pikirkan?" tanyanya.


280
Dewi Sekar Taji memandang kepada bakal suaminya itu dengan
mata redup.

"Hamba kuatir, karena hamba dengar wadia-bala Janggala telah


sampai di perbatasan akan menyerang Kadiri," sahutnya dengan
suara guram. "Tentu gara-gara pihak Janggala mendengar
tentang akan dilangsungkannya pernikahan kita ..."

Kelana Jayeng Sari tersenyum dan wajahnya cerah, seperti ia


tidak mengetahui apa-apa dan sambil tersenyum jua ia bertanya,
"Jadi menyesalkah Adinda akan pernikahan kita?"

Dewi Sekar Taji memandang dengan tajam. "Jangan Kakanda


berbicara seperti itu! Hamba tidak menyesal karena telah
mendapat jodoh Kakanda, malah ... bangga!"

"Tetapi agaknya Adinda mengharap-harap jua Raden Panji,


tunangan Adinda sejak masih kanak-kanak itu ... " kata Kelana
Jayeng Sari sambil tersenyum jua.

"Tidak!" sahut Dewi Sekar Taji cepat. "Tidak demikian! Hamba


dengan Raden Panji belum pernah bersua. Atau kalau pun
pernah bersua, tentu tatkala kami masih kanak-kanak. Kami tak
ingat lagi. Lagipula Raden Panji hamba dengar sudah menikah

281
dengan orang lain dan ia sangat mencintai istrinya itu,
sehingga..."

"Jadi apa yang Adinda rusuhkan?" potong Kelana Jayeng Sari


seakan-akan ia tak mau mendengar kekasihnya itu
menghabiskan kalimat.

Dewi Sekar Taji menghela nafas sambil mengarahkan


pandangannya ke kejauhan. Ia nampak berfikir keras.

"Yang hamba jadikan pikiran," akhirnya ia menyahut, "adalah


bencana yang bakal dialami oleh rakyat Kadiri..."

"Bencana apa?"

"Kalau bala tentara Janggala masuk, tentu peranglah yang akan


terjadi dan tentu rakyat Kadiri akan hancur menderita karenanya
..." sahutnya dengan suara murung.

"Ragu-ragukah Adinda akan kegagahan serta keperwiraan para


ponggawa Kelana Jayeng Sari?"

Dewi Sekar Taji menggleng-gelengkan kepala.

"Tidak! Sedikit pun Dinda tidak ragu. Hamba telah menyaksikan


mereka bertempur tatkala menghadapi tentara Metaun dan
282
hamba percaya, mereka di bawah pimpinan gustinya yang
perwira akan mencapai kemenangan di setiap peperangan ..."
mengucapkan yang terakhir ia tersenyum sambil mengerling
manja kepada tunangannya.

Kelana Jayeng Sari tersenyum. "Jadi apa yang Adinda


kuatirkan?" kemudian ia bertanya.

"Apabila terjadi perang dengan Janggala, tentu akan banyak


orang yang mati atau sekurang-kurangnya mendapat celaka,
menderita berbagai kesengsaraan. Wanita-
wanita akan banyak yang kehilangan suami, anak-anak banyak
yang akan kehilangan ayah dan ibu-ibu banyak yang akan
kehilangan anak lelaki mereka yang menjadi tiang kehidupannya
... Waktu berperang dengan Metaun tempo hari, hamba
menyaksikan hal-hal yang mengerikan dan menyedihkan itu.
Dan diam-diam hamba berpikir: Alangkah hebatnya bencana
yang dialami dan diderita oleh manusia lantaran perang! Apakah
manfaatnya perang itu? Apakah artinya perang antara sesama
manusia, sesama saudara? Ya. Kadiri dan Janggala masih
berasal dan satu keturunan ... Kalau terjadi perang, tak peduli
siapa yang menang ataupun siapa yang kalah, kedua pihak akan
menderita, akan mengalami bencana. Bencana atas sesama
manusia."
283
Dewi Sekar Taji berhenti sebentar dan karena kekasihnya diam
saja menyimakkan perkataannya, kemudian ia melanjutkan pula,
"Dan kalau hamba bertanya kepada diri hamba sendiri. Apakah
pangkal sebabnya sehingga kedua kerajaan yang berasal dari
satu keturunan itu berperang? Apakah yang mereka bela?
Apakah yang mereka pertahankan? Kanda pun tahu: hambalah
pangkal sebabnya. Hamba! Hambalah yang akan menyebabkan
manusia saling bunuh sesamanya! Dan kalau pun kelak kita
menang, apakah yang akan kita dapat? Kebahagiaan kita.
Barangkali kita akan berbahagia dalam hidup kita. Tetapi apakah
artinya kebahagiaan kita apabila kita perbandingkan dengan
penderitaan serta kesengsaraan yang dialami oleh beratus-ratus
dan beribu-ribu orang yang mendapat bencana perang itu?
Seimbangkah kebahagiaan kita dengan kurban yang
dimintanya? Ya, apakah artinya kebahagiaan kita kalau untuk itu
kita menyebabkan beribu-ribu orang lain mendapat bencana dan
menderita kesengsaraan?"

Kelana Jayeng Sari mendengarkan perkataan bakal istrinya itu


dengan kagum. la merasa malu, karena ia sendiri dahulu hanya
memikirkan kebahagiaannya sendiri saja.

'Coba kalau dahulu aku tidak terlalu menurutkan hatiku sendiri


...' sesalnya dalam hati. 'Kini tentu bulan dan matahari ada
284
dalam genggamanku! Dan siapakah lagi yang akan lebih
berbahagia daripada orang yang menyandingkan keduanya?'

Teringat akan masa lampaunya, ia menjadi murung dan


menyesal. Tetapi melihat Dewi Sekar Taji yang memandang
dengan mata redupnya ke arah tak berwatas, ia segera berkata,
"Kalau begitu, perang mesti kita hindari ..."

Dewi Sekar Taji menolehkan wajahnya. Kini ia memandang


wajah Kelana Jayeng Sari tajam-tajam, dari matanya terpancar
keheranan.

"Apakah maksud Kanda?"

"Perang itu akan kita hindari ..."

"Tetapi semudah itukah soalnya? Sesederhana itukah?"

Kelana Jayeng Sari tersenyum. "Kalau Kanda mengirimkan


utusan kepada Prabu Braja Nata, tentu persoalan akan beres
dan apa yang Rayinda takuti akan terhindar..."

Dewi Sekar Taji memandang dengan heran dan tidak mengerti.


Ia hendak bertanya pula, tetapi tatkala itu datang Senapati

285
Wirapati yang memangku titah baginda. Kelana Jayeng Sari
disilakan menghadap baginda secepat mungkin.

"Apakah soalnya gerangan?" tanya Dewi Sekar Taji.

Senapati Wirapati seperti keberatan menyahut. Maka Kelana


Jayeng Sari menalanginya, menjawab, "Tentu soal Janggala,
bukan?"

Senapati Wirapati terkejut.

'Bagaimana ia mungkin mengetahuinya? Benar-benar orang ini


sakti!' pikirnya dalam hati.

Ia hanya mengangguk dan mengiakan saja.

Kelana Jayeng Sari meminta diri dari kekasihnya, lalu bergegas


menuju balairung, diiringkan oleh Senapati Wirapati.

Waktu ia sampai di sana, Ki Kebo Pandogo juga sudah ada di


sana. Maka baginda pun lalu membicarakan masalah yang
membingungkan hatinya itu. Surat yang diterimanya dari Prabu
Braja Nata diberikannya kepada Kelana Jayeng Sari.

Ki Kebo Pandogo tersenyum-senyum saja, tetapi ia tidak berkata


sesuatu apa.
286
Setelah Kelana Jayeng Sari menelaah surat itu, terdengar
baginda bersabda, "Anakku pun tahu, bahwa dalam hal ini,
semuanya tergantung kepada Anakku Kelana sendiri ... Kami tak
bisa berbuat apa-apa ... Apakah yang hendak Anakku lakukan?"

Kelana Jayeng Sari memandang kepada baginda, kemudian


menghaturkan sembah, "Tak usah Gusti merisaukan hal itu.
Ancaman tentara Janggala tak usah Gusti kuatirkan ..."

"Ya, kami percaya, Anakku akan dengan mudah


mengalahkannya dan memukulnya mundur," sela baginda.

"Tidak!" sela Kelana Jayeng Sari. "Hamba tidak akan


mempergunakan kekuatan senjata ..."

Semua orang terkejut, kecuali Ki Kebo Pandogo.

"Apa maksud Anakku?" tanya baginda penasaran.

Kelana Jayeng Sari tersenyum. "Hamba akan menyerahkan diri


hamba kepada Prabu Braja Nata ..."

"Apa?" semua orang terlonjak dari duduknya.

"Anakku akan menyerahkan diri untuk dipenggal?" tanya


baginda dengan hati kuatir, meski baginda berpikir, bahwa itulah
287
yang sebaik-baiknya untuk mencegah permusuhan antara kedua
kerajaan yang berasal dari satu keturunan.

"Daulat Gusti," sahut Kelana Jayeng Sari. "Hamba akan


menyerahkan kepala hamba kepada Prabu Braja Nata .... "

"Tetapi ... bagaimana dengan prajurit-prajurit Anakku? Tidakkah


mereka mampu menangkis bahkan memukul mundur tentara
Janggala? Apakah Anakku merasa kuatir?"

"Sama-sekali hamba tidak merasa kuatir," sahut Kelana Jayeng


Sari. "Tetapi bukankah jalan itu yang sebaik-baiknya ditempuh?"

Baginda terperanyak. Perkataan itu mengena benar pada hati


baginda. Darah menyirat memerahi wajah baginda.

'Apakah ia tahu apa yang kami kuatirkan?' pikir baginda dalam


hati. 'Sungguh sakti ia!'

Melihat baginda terdesak, mahapatih Kebo Rerangin yang


bijaksana itu segera menghaturkan sembah, "Bagaimana pun
Gusti, Gusti Kelana Jayeng Sari-lah yang mungkin memberi
putusan. Apa juga yang dikehendakinya, kita tak mungkin
berbuat apa-apa ..."

288
Dan dengan demikian ia merasa telah menolong gustinya dari
kesulitan. Maka keputusan diambil. Kelana Jayeng Sari tidak
akan mengadakan perlawanan terhadap Prabu Braja Nata. Ia
malah hendak menyerahkan diri. Kepada Senapati Arya
Suralaga yang menunggu di pesanggrahannya, segera baginda
menyampaikan keputusan itu. Maka rombongan utusan itu,
keesokan harinya segera pulang membawa keputusan yang
melegakkan hati.

Namun tatkala Prabu Braja Nata menerima berita itu, ia hampir-


hampir tidak percaya. Semudah itukah soal bisa diselesaikan?
Mengapa Kelana Jayeng Sari yang terkenal gagah perwira itu
segampang itu menyerah? la curiga kalau-kalau di balik
kesediaan untuk menyerah itu tersembunyi maksud keji untuk
membokong. Tetapi tatkala ia bertanya dengan lebih teliti
kepada Senapati Arya Suralaga, barangkali mereka diam-diam
mengadakan persiapan perang, utusan yang bermata tajam itu
menyangkalnya.

"Persiapan yang hamba lihat semuanya dipusatkan untuk


perayaan pernikahan belaka," sahutnya. "Hamba tak melihat
persiapan-persiapan bala tentara!"

289
Mau tak mau baginda percaya akan keterangan itu, karena
Senapati Arya Suralaga seorang yang teliti dan waspada.
Hidungnya tajam mencium bahaya dan tentang hal itu baginda
yakin.

"Sungguh aneh" katanya.

Siapakah gerangan Kelana Jayeng Sari itu sesungguhnya?


Mengapa ia berbuat yang mengherankan sekali? Tetapi tak
seorang pun yang bisa menerangkan hal itu. Maka sehari
lamanya baginda dan para penasihatnya dirundung
kebingungan. Mereka lega karena takkan terjadi perang, tetapi
akhir peristiwa agaknya sama-sekali di luar sangkaan semua
orang. Mereka tak habis-habisnya merasa heran.

Siang hari datang seorang pengawal memberitakan kedatangan


tokoh yang mengherankan berbareng membingungkan mereka
itu: Kelana Jayeng Sari hendak menghadap kepada Prabu Braja
Nata, akan menyerah.

"Dengan siapakah ia datang? Banyakkah pengiringnya?" tanya


baginda dengan perasaan kuatir juga.

"Hanya berdua dengan seorang yang sudah lanjut usianya,"


sahut pengawal itu.
290
"Titahkan mereka ke mari!" sabda baginda akhirnya setelah
merenung sejenak.

Sementara itu para tetua dan penasihat baginda memang sudah


mengharap-harap kedatangan tamu itu. Dan mereka senantiasa
mengharap dengan perasaan heran juga kedatangan satria yang
penuh rahasia itu. Mereka siap menerima.

Sementara menanti masuknya satria yang mereka anggap telah


menghina harga diri mereka itu, tak tahu kenapa mereka merasa
debaran jantungnya mendadak mengeras. Prabu Braja Nata
sendiri gelisah dan beberapa orang yang lain merasa tidak
tenang duduk. Bagaimana pun akhir segala sesuatunya
berlainan benar dengan yang pernah mereka bayangkan.

Akhirnya yang dinanti-nantikan pun datang juga....

"Adinda!" teriak Prabu Braja Nata dengan mata terbelalak dan


mulut ternganga.

"Raden Panji!" teriak yang lain-lainnya dengan takjub.

Prabu Braja Nata melompat lalu memeluk adinda dengan berurai


airmata.

291
"Adinda ... Adinda ... Jadi Adindakah Kelana Jayeng Sari itu?"
tanyanya dengan suara sarat suka-cita. "Wahai Adinda, terlebih
dahulu berilah Kakanda ampun!"

Kelana Jayeng Sari yang telah menjadi Raden Panji Kuda


Waneng Pati kembali itu, mencoba menahan keharuan hatinya.
Tetapi ia tak mampu. Maka dalam pelukan kakanda ia pun
tergukguk mengalirkan airmata sukacita.

"Tak ada yang mesti hamba maafkan," akhirnya ia berhasil


mengucapkan kata-kata, "karena tak ada kesalahan Kanda atas
Dinda! Malah sebaliknya, Adindalah yang meminta kelapangan
hati Kanda karena telah membikin Kanda semua merasa tegang
..."

Sementara itu Senapati telah memeluk merangkul Ki Kebo


Pandogo dengan mesra dan terharu. "Kanda Prasanta!
Kakandalah kiranya!"

Waktu Prabu Braja Nata melepaskan pelukannya dari adinda, ia


menoleh kepada Patih Prasanta yang tua itu. Baginda pun
berseru, "Mamanda Prasanta!"

"Daulat Gusti!" sahut Patih Prasanta.

292
Lalu mereka pun berbicara dengan sukacita, mencurahkan
perasaan hatinya masing-masing. Prabu Braja Nata meminta
agar Adinda Raden Panji Kuda Waneng Pati sudi mengisahkan
pengalamannya selama menjadi Kelana Jayeng Sari. Adinda
tersenyum, lalu memandang kepada Patih Prasanta. "Semuanya
adalah atas nasihat Mamanda Prasanta ..." ia menyahut. "Ia
sungguh seorang yang bijaksana ..."

"Gusti memuji terlalu berlebihan," tukas Patih Prasanta. "Yang


hamba lakukan hanya kewajiban seorang hamba terhadap
junjungannya belaka."

Akhirnya Patih Prasanta mau juga mengisahkan pengalamannya


selama berkelana sehabis terpukul badai di tengah lautan,
diakhiri dengan kisah menaklukkan raja Metaun yang disertai
syarat agar baginda Prabu Jayawarsya sudi menyerahkan Dewi
Sekar Taji pabila Prabu Gajah Angun-angun bisa dikalahkan.

"Namun pernikahan itu tidak mungkin berlangsung, lantaran


pihak Janggala murka dan hendak memenggal kepala sang
Kelana Jayeng Sari, yang dianggap telah merebut tunangan
Adinda Raden Panji Kuda Waneng Pati ..." demikian Patih
Prasanta mengakhiri kisahnya sambil tersenyum. Orang-orang
tertawa.
293
"Tetapi Kelana Jayeng Sari ternyata adalah Adinda Raden Panji,
karena itu sesungguhnya tak ada peristiwa perebutan tunangan,"
sabda Prabu Braja Nata kemudian. "Karena itu pernikahan
Kelana Jayeng Sari dengan Dewi Sekar Taji mesti
dilangsungkan! Kita yang sudah kepalang sampai di perbatasan,
sekalian saja masuk ke Kadiri akan turut merayakan pernikahan
kedua putra mahkota!"

Pikiran itu mendapat persetujuan orang banyak. Maka keesokan


harinya tentara Janggala itu bergerak ke arah Kadiri. Tetapi
bukan untuk menyerang atau berperang, melainkan untuk
merayakan pesta pernikahan yang akan mewujudkan cita-cita
Prabu Jayantaka dan Prabu Jayawarsya dahulu ....

Prabu Jayawarsya sangat bersuka-cita tatkala mengetahui


bahwa Kelana Jayeng Sari itu tak lain Raden Panji Kuda
Waneng Pati adanya. Mereka menyambut kedatangan Kelana
Jayeng Sari bersama-sama rakanda Prabu Braja Nata dengan
kehormatan dan kegembiraan.

Pernikahan Raden Panji Kuda Waneng Pati dengan Dewi Sekar


Taji dilangsungkan dengan amat sangat meriah. Seluruh
kerajaan berpesta. Semua orang bersuka ria. Berbagai
pertunjukan dan hiburan diselenggarakan tanda kegembiraan
294
hatinya menyaksikan pernikahan putra mahkota Janggala
dengan putri mahkota Kadiri. Bala tentara Janggala yang
berangkat dari negerinya ditangisi oleh para kerabatnya lantaran
hendak berperang, tenggelam dalam pesta dan suka ria.

Setelah empat puluh hari empat puluh malam lamanya bersuka


ria dan bersenang-senang, Prabu Braja Nata meminta diri
kepada Baginda Prabu Jayawarsya akan pulang ke negerinya.
Kepada Raden Panji Kuda Waneng Pati ia meminta agar putra
mahkota itu segera pulang ke Janggala akan menerima takhta
kerajaan. Prabu Braja Nata merasa dirinya hanya seorang wakil
belaka dan ia ingin menyerahkannya kembali kepada yang
berhak. Tetapi di luar dugaannya, Raden Panji menggelengkan
kepala. Hatinya telah tawar, ia tidak memikirkan takhta kerajaan
dan ia meminta agar rakanda terus menduduki takhta.

"Bagi Adinda sekarang," katanya lebih lanjut, "kehidupan


terpencil di sebuah pegunungan lebih menarik hati ... Kesibukan
istana dan kerajaan, membikin pikiran Adinda pepat ... "

"Tetapi kalau demikian Adinda menyia-nyiakan cita-cita ayah kita


dahulu..." kata Prabu Braja Nata.

295
Raden Panji menghela nafas. Terkenang pada ayahanda, ia
berduka. "Bagaimana pun juga," katanya kemudian, "sekarang
belum bersedia hamba kembali ke Janggala akan memangku
takhta. Sekarang, Kakanda saja pulang dahulu. Kalau kelak
hamba ternyata diperlukan, tentu akan datang..."

Setelah masak diperembukkan, maka diambil keputusan, Prabu


Braja Nata beserta tentaranya akan segera pulang ke Janggala,
sedangkan Raden Panji beserta istrinya Dewi Sekar Taji akan
pergi ke sebuah gunung akan mengecap madu kebahagiaan
selama di sana.

Prabu Jayawarsya telah membangun sebuah istana mungil


untuknya, letaknya di punggung gunung Wilis yang sejuk
hawanya.

Demikianlah penganten dan mempelai itu mengecap


keberuntungan serta kebahagiaan hidupnya, di suatu tempat
terpencil dari keriahan kerajaan. Hanya beberapa orang
pengasuh dan ponggawa yang turut serta dengan mereka. Dewi
Sekar Taji sangat berbahagia, di tengah alam yang indah serta
bunga-bungaan yang aneka warna, ia bagaikan mahkota segala
bunga....

296
Tetapi Raden Panji tidak mengecap kebahagiaan itu sepenuh
jiwa, lantaran ia terkenang akan istrinya yang dahulu, Dewi
Anggraeni ...

Apa pula keadaan alam pegunungan itu, mengenangkan ia akan


pertemuannya dengan Dewi Anggraeni di pegunungan
Penanggungan.

Kadang-kadang, lantaran Dewi Sekar Taji bagaikan pinang


dibelah dua dengan Dewi Anggraeni, ia merasa ragu, siapakah
sebenarnya gerangan putri yang ada di sampingnya itu,
Anggraeni ataukah Sekar Taji? Tak jarang ia terluncur kata,
memanggil 'Anggraeni' kepada istrinya, untung kemudian segera
ia sadar.

Dewi Sekar Taji maklum akan keadaan kakanda, kadang-


kadang ia pun merasa berduka, pabila kakanda memanggilnya
dengan nama istri kakanda yang dahulu, ia merasa disia-siakan
...

Tetapi untuk menghapus kakanda dari kenangannya kepada


istrinya yang pertama itu, ia merasa tidak mampu. Pabila
terhenyak lantaran dipanggil dengan nama yang bukan namanya

297
itu, kakanda segera memperbaiki dirinya sambil memeluknya
membisikkan kata-kata lembut.

"Maafkan Kakanda, Sekar ... Maafkan Kakanda!"

Tetapi sesungguhnya, tak ada yang mesti dimaafkan. Maka ia


hanya tersenyum arif, meski merasa hatinya pedih.

Raden Panji sendiri bukan tidak maklum akan apa yang dirasa
oleh istrinya. Ia merasa bersalah. Tetapi ia pun merasa lebih
bersalah pula jika mencoba hendak menghapuskan kenangan
kepada istrinya yang dahulu itu.

'Benarkah Anggraeni akan kembali?' tanyanya dalam hatinya


sendiri. 'Ia pergi terbang ke langit, ke arah bulan dan mungkin
suatu waktu ia kembali kepadaku.'

Teringat bahwa akan hancur kalbu Dewi Anggraeni pabila


menyaksikan ia sudah beristrikan orang lain, hati Raden Panji
pepat. Ia merenung memikirkan dirinya.

Malam itu purnama bulat penuh keluar dengan cahayanya yang


laksana emas. Raden Panji terkenang pula akan istrinya,
merenung memandang kepada ratu malam yang lembut itu.

298
Terkenang pula Raden Panji akan malam tatkala istrinya secara
gaib terbang ke arah bulan. Waktu itu bulan pun purnama, bulat
tak bercacat......

Dan beberapa lamanya Raden Panji memandang bulan


purnama itu dengan mata tak mengejap-ngejap, sedangkan
Dewi Sekar Taji menyaksikan kelakuan suaminya itu dengan hati
yang teriris.

Tiba-tiba Raden Panji melihat sesuatu bergerak dari arah bulan


kepadanya. Mula-mula titik yang tak bisa dikenali, tetapi makin
dekat makin jelas.

"Itulah Dewi Anggraeni!........" bisik Raden Panji dengan mata


terbelalak. "Ia datang!"

Kemudian ia melihat Dewi Anggraeni yang sangat jelita dalam


cahaya bulan itu, lebih jelita daripada waktu yang lampau, berdiri
di sebelah istrinya, di sebelah Dewi Sekar Taji.

Keduanya sama benar! Hanya, pabila Dewi Anggraeni


memandangnya dengan senyum yang menyejukkan kalbu,
adalah Dewi Sekar Taji memandangnya dengan mata redup.

299
"Anggraeni!" ia berteriak sambil bangkit, lalu berjalan hendak
memeluk istrinya yang dahulu itu.

Tetapi Dewi Anggraeni tidak menyahut. Ia hanya tersenyum


saja, tersenyum. Dan jaraknya makin dekat juga ia kepada Dewi
Sekar Taji, makin dekat dan makin dekat...

Waktu Raden Panji melompat hendak menubruknya, Dewi


Anggraeni sudah berpadu dengan Dewi Sekar Taji. Maka
istrinya itulah yang ditubruk serta dipeluknya.

"Kakanda!" terdengar Dewi Sekar Taji bicara dengan suara yang


hiba.

"Kakanda! Mengapa?" tanya Dewi Sekar Taji.

Raden Panji tersadar. Ia ternyata merangkul istrinya, Dewi Sekar


Taji yang berdiri berdampingan dengan roh sukma Dewi
Anggraeni. Alangkah cantiknya kedua istrinya itu. Namun lambat
laun bayangan Dewi Anggraeni menghilang, dan yang berdiri
dihadapannya hanya Dewi Sekar Taji yang kini telah menyatu
dengan bayangan Dewi Anggraeni. Bagaikan kecantikan dua
putri jelita telah bersatu-padu dan memijar. Ia sejenak tak bisa
menyaksikannya

300
"Kakanda! Ada apakah gerangan?" Dewi Sekar Taji bertanya,
padahal ia sudah maklum akan hal kakanda. Tentu
kenangannya kepada istrinya dahulu jua yang menjadi sebab.

"Adinda! Adinda!" bisik Raden Panji. "Tidakkah Adinda tadi


melihat ada orang datang?"

Dewi Sekar Taji terkejut. "Orang?" tanyanya dengan heran,


"Tidak ada. Yang ada cuma kita berdua ..."

Raden Panji melengak. Ia memandang kepada istrinya dengan


mata menyelidik. Tetapi agaknya istrinya itu berkata dengan
sungguh-sungguh. Jadi, apakah yang kelihatan olehnya tadi? Ia
berpikir. 'Tak salah aku! Tadi di samping Dewi Sekar Taji ia
berdiri! Tersenyum dengan manis ...' katanya dalam hati. 'Dialah
yang tadi kupeluk.'

Tiba-tiba ia yakin. 'Tak syak lagi! Tentu kedua istriku itu kini telah
berpadu. Dewi Anggraeni telah kembali kepadaku, tetapi ia
menyatukan dirinya dengan Dewi Sekar Taji.'

"Kakanda ..." suara Dewi Sekar Taji menyadarkan ia dari


pikirannya.

Ia memandang kepada istrinya itu.


301
"Kakanda, agaknya Kakanda senantiasa diharu-biru pikiran ..."
perkataan itu diucapkan Dewi Sekar Taji tidak lancar.
"Sesungguhnya sudah lama hamba memperhatikan kelakuan
Kanda ... Agaknya ingatan kepada Dewi Anggraeni selalu
mengganggu Kanda ... Kanda, kata orang ia sudah meninggal,
karena itu hamba tidak merasa telah merebut Kanda dari
sampingnya. Namun begitu, tidakkah Kanda memandang hamba
sebagai gantinya?"

Ia sudah lama hendak berkata seperti itu, tetapi baru ketika itu
mampu dia ucapkan. Dan kalimat yang sejak lama telah dia
susun dan rangkai-rangkaikan dalam kepala, ternyata masih
tersekat-sekat dalam kerongkongannya....

Raden Panji melengak. Ia memandang ke dalam mata istrinya


yang jernih bening itu. Ia memandang mata Dewi Anggraeni.

"Sejak sekarang engkau tak usah cemas ..." sahutnya.


"Engkaulah istriku, kekasih yang abadi, penjelmaan cinta yang
kudus suci... Pada dirimu Kanda lihat apa yang Kanda sangka
telah hilang ... Engkau Dewi Sekar Taji, istriku, tetapi engkau
pun Dewi Anggraeni, istriku yang dahulu ... Sekarang kedua
istriku berpadu dalam dirimu......."

302
Dewi Sekar Taji berurai airmata saking gembira. Ia
menyekapkan wajah dalam dada suaminya. Ia menangis
bahagia. "Kanda ... Kanda!" terdengar suaranya antara sedu-
sedu kecil.

"Ya, Adinda saja seorang yang sejak sekarang Kanda cintai


sepenuh hati ... Hanya engkau saja Candra Kirana ..." kata
Raden Panji sambil membelai-belai istrinya dengan mesra.

Dewi Sekar Taji tersentak. "Apa? Candra Kirana? Siapakah


Candra Kirana?" ia bertanya seperti tersengat.

Raden Panji tersenyum. Kedua tangannya memegang bahu


istrinya, dan sambil memandang kepada wajahnya dan
menyelam ke dalam matanya, ia berkata dengan suara lembut,
"Ya, engkaulah Candra Kirana! Engkau yang menjadi perpaduan
antara dua mutiara ... Sukakah Adinda akan nama itu? Tidakkah
nama itu indah?"

"Candra Kirana ... Candra Kirana ..." Dewi Sekar Taji


menggumam. "Alangkah indah! Nama itu Kanda anugerahkan
kepada Adinda?"

"Ya, kepadamu, kepada cintaku. Candra Kirana ..."

303
Keduanya berpelukan dan sambil memandang kepada bulan
purnama yang menebarkan cahaya yang lembut keemasan itu,
mereka pun melihat masa emas kebahagiaan mereka ....

- TAMAT -

Ciborelang, 1961

304

Anda mungkin juga menyukai