NIM : J1D021042
Cerita 1
KAWUNGANTEN
Pada zaman dahulu hiduplah seorang kesatria gagah, arif dan bijaksana.
Kesatri tersebut merupakan pangeran kedua dari sebuah kerajaan di tanah jawa,
yaitu kerajaan Panunggalan. Pangeran pertama bernama Raden Mandaka seorang
putra mahkota, calon penerus tahta kerajaan, namun sayang pangeran pertama
memiliki perangai dan tabiat yang kurang baik, sifatnya yang congkak, suka
semena-mena, merasa paling kuat dan berkuasa. Berbanding terbalik dengan
pangeran kedua, sang adik Raden Pranaja yang memiliki perangai menyenangkan
dan menenangkan, bergaul dengan siapapun menjadikannya pangeran yang
dikenal ramah oleh rakyat.
Maka pagi hari ketika matahari baru menampakkan sinarnya, saat Raden
Pranaja melangkahkan kakinya keluar dari gerbang istana tak disangka-sangka
banyak rakyat yang telah menunggu, berbaris di masing-masing sisi jalan seperti
penonton parade yang menunggu arak-arakan. Raden Pranaja termangu, salah satu
rakyat datang menghampiri dan menyampaiakan bahwa mereka akan ikut
kemanapun sang pangeran pergi, biarlah mereka meninggalkan tanah kelahiran
mereka mencari kehidupan baru, kesengsaraan ini sudah pelik tak bisa mereka
tanggung lagi. meskipun entah hal apa yang akan terjadi didepan atau tanah mana
yang akan mereka tuju, mereka yakin itu akan lebih baik karena mereka bersama
pangeran dengan hati paling bijak, pangeran paling dermawan, pangeran mereka,
Raden Pranaja. Raden Pranaja tak kuasa untuk menolak atau melarang rakyatnya
ikut dengannya, maka berangkatlah rombongan itu untuk pergi mencari tanah
baru, negeri baru tempat mereka akan tinggal.
12Saat lahan yang dibabat telah semakin luas tiba-tiba suara desisan ular
yang sangat keras terdengar, bahkan para rakyat yang berada diluar kawasan
hutan dapat mendengarnya. Gerakan Raden Pranaja seketika terhenti, tingkat
kewaspadaannya meningkat, dari arah dalam hutan, disela-sela pepohonan
rindang munculah seokor ular raksasa dengan besar melebihi ukuran pohon
kelapa, panjangnya tak kurang dari berpuluh-puluh meter mendesis dengan keras,
taring-taring panjang terlihat saat mulutnya membuka siap melahap mangsa. Ular
raksasa tersebut sepertinya marah, merasa terganggu karena tempatnya diusik.
ilustrasi 3 Ular Raksasa
14Tak mudah bagi Raden Pranaja untuk mengalahkan ular raksasa tesebut,
pedangnya terus begerak lincah, gerakannya sangat terlatih, tubuhnya melayang
mencoba menebas kepala sang ular raksasa yang berada tinggi diatasnya, sang
ular semakin marah, taringnya buas siap menerkam Raden Pranaja, rakyat yang
menonton pertarungan merasa ngeri dan semakin cemas dengan nasib
pangerannya. Maka dipuncak pertarungan saat ular raksasa membuka mulutnya
lebar-lebar siap memangsa Raden Pranaja, tubuh Raden Pranaja melesat dengan
cepat seakan menghilang. Lalu muncul kembali tepat diatas kepala sang ular
raksasa, Raden Pranaja mengayunkan dengan kuat pedangnya menebas kepala
dari sang ular raksasa, dan wushh pedang itu berhasil menebas kepala si ular
raksasa. Akhirnya sang ular raksasa tewas mengenaskan dengan tubuh dan
kepalanya terpisah tepotong menjadi dua bagian, tubuh sang ular raksasa jatuh
berdebam ke tanah membuat getaran hebat seperti gempa bumi, saking besarnya
tubuh sang ular raksasa, tempat jatuhnya tubuh tersebut membuat cerukan dalam
memanjang sepanjang tubuh dari si ular, dari cerukan tersebut keluar sumber mata
air yang sangat deras semakin deras menenggelamkan tubuh dari sang ular
raksasa, dar cerukan itulah terbutk sebuah sungai memanjang melintang
membelah kawasan hutan menjadi dua seberang yang pada kemudian hari sungai
tersebut dikenal dengan nama sungai ookaliyasa. Rakyat bersorak atas
kemenangan Raden Pranaja, hidup pangeran mereka, hidup Raden Pranaja.
Cerita 2
Dahulu kala, menurut sebuah legenda, ada setangkai bunga atau kembang yang
tidak pernah layu sepanjang musim, kembang tersebut merupakan kembang keabadian.
Konon kembang langka tersebut tidak hanya berkhasiat menyembuhkan berbagai
macam penyakit, tetapi juga membuat orang atau pemiliknya bisa hidup abadi. Orang-
orang terdahulu percaya, asal muasal kembang ajaib tersebut merupakan sari Kembang
Wijaya Kusuma milik dewa Wisnu yang jatuh dari kayangan, dan tumbuh di dunia. Bunga
dewata inilah yang kemudian dicari orang-orang untuk dijadikan jimat agar pemiliknya
bisa memiliki ilmu keabadian, dan hidup abadi di dunia.
sesampai di pantai Laut Selatan, para punggawa dibuat makin cemas ketika
melihat ombak pnatai Laut selatan bergelora setinggi bukit. Pulau Karang Badong yang
ada ditengah-tengah samudra kadang tampak dan kadang lenyap terhalang tingginya
gelombang Laut Selatan. Bagaiman a bisa mereka melaksankaan perintah sang Raja
dengan cuaca dan suasana laut seperti ini, bisa-bisa petaka itu benar-benar akan
menimpa mereka.
Di tengah rasa bingung dan keputusasaan itu, mereka melihat seorang nelayan
yang sedang duduk termenung sambil memandangi laut yang bergelora diatas karang di
tepi pantai. Para punggawa kerajaan segera menghampiri si nelayang dan bertanya “
Kenapa engkau duduk melamun seorang diri di sini? Mana para nelayan yang lain?” “oh
bukan apa-apa gusti, hamba hanya sedang merenungi nasib hamba yang begitu malang”
Jawab sang nelayan dengan sendu. “merenungi nasib? Memang kenapa dengan
nasibmu?” desak sang punggawa yang sudah tidak sabar lagi, karena si nelayan tidak
menjawab pertanyaanya terkait dengan dimana para nelayan yang lain berada. “Hamba
sungguh benar-benar memiliki nasib yang malang Gusti, hamba adalah seorang nelayan
tetapi hamba sekarang tidak memiliki perahu, perahu hamba hancur semalam terkena
badai yang begitu besar. Sekarang hidup hamba benar-benar tidak berguna” ujar
nelayan itu mengiba.
Pada akhirnya, nelayan itu pun menyetujui perintah sang punggawa untuk pergi
memetik Kembang Wijaya Kusuma karena tergiur dengan iming-iming hadiah perahu
yang para punggawa kerajaan janjikan. Dengan meminjam perahu milik nelayan lain,
nelayan itu nekat mengarungi ganasnya ombak Pantai Laut Selatan menuju Pulau Karang
Bodong, tempat tumbuhnya Kembang Wijaya Kusuma. Dengan segenap keberanian dan
keahlian untuk dapat sampai di Pulau Karang Badong, nelayan itupun akhirnya sampai di
Pulau tersebut. Begitu sampai nelayan itu cepat-cepat mendaki bukit tinggi tempat satu-
satunya Kembang Wijaya Kusuma tumbuh.
ilustrasi 6 (Nelayan)
Sesampainya di atas bukit dan melihat Kembang Wijaya Kusuma yang dicari,
nelayan itu merasa amat bahagia karena berpikir bahwa misinya akan segera berhasil
dan ia akan mendapatkan perahu baru. Akan tetapi, setelah Kembang Wijaya Kusuma
berhasil dipetik dan telah berada di tangannya, tiba-tiba langit bergemuruh, mendung
mengukung, sosok-sosok dengan wajah menyeramkan tiba-tiba muncul di sekeliling
nelayan itu. Sosok-sosok wajah menyeramkan itu merupakan penunggu dari bunga
keramat Wijaya Kusuma, mereka akan menampakkan diri jika ada yang melawan
pantangan memetik Kembang Wijaya Kusuma di kala cuaca buruk.
Nelayan itu terus berlari menuruni bukit menuju perahunya yang ada di tepi
pantai. Namun, betapa sedih dan keewanya ketika ia melihat perahunya sudah hancur
berkeping-keping dihantam ombak yang mengamuk diantara batu karang besar. Tubuh
nelayan itu seketika menggigil ketakutan membayangkan nasibnya, mati ditelan
ganasnya ombak Laut Selatan, atau dibunuh sosok-sosok menyeramkan penunggu Pulau
Karang Badong. Saat sang nelayan menengok kebelakang dan melihat sosok-sosok
menyeramkan yang mengejarnya semakin dekat, nelayan itu semakin kebingungan.
Akhirnya karena merasa tidak punya pilihan lagi sang nelayan berteriak “oh Dewa,
tolonglah hambamu ini!” dan kemudian menceburkan diri ke dalam ombak yang
tergulung-gulung. Tubuh nelayan itu tenggelam tergulung ombak besar. Namun jiwa
nelayannya dan pengalaman berpuluh-puluh tahun menjadi seorang nelayan
menjadikannya tak meyerah dan mencoba untuk bertahan hidup. Dengan sekuat
tenaga, dia berenang meraih sebuah papan yang rupanya berasala dari serpihan perahu
miliknya.
Nasib baik masih bersama nelayan itu. Dengan memeluk erat-erat papan kayu,
tubuh nelayan itu mengapung dan terbawa ombak, tubuh sang nelayan ditemukan esok
harinya terdampar di tepi pantai dengan keadaan yang sangat payah oleh para
punggawa kerajaan. Namun para utusan raja itu hanya mengambil Kembang Wijaya
Kusuma dan dengan tega meninggalkan nelayan yang malang itu tergeletak di tepi
pantai.
Namun pada akhirnya, Raja dan Punggawa yang telah berani melanggar
pantangan itu harus menanggung akibatnya. Satu per satu punggawa raja itu mati tanpa
diketahui penyebab pastinya. Sementara, Raja sendiri menjadi gila dan meninggalkan
istana. Sang nelayan yang semula begitu mengutuk utusan raja yang telah tega
membohonginya padahal ia sampai mempertaruhkan nyawa untuk memtik Kembang
Wijaya Kusuma, akhirnya merasa sangat bersyukur. Dia bersyukur meskipun tidak
mendapatkan perahu, hidupnya masih terselamat.