Anda di halaman 1dari 11

NAMA : ATIK RAHAYU

NIM : J1D021042

PRODI : PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

TUGAS MATA KULIAH SASTRA LAMA

Video Cerita Rakyat

Link video youtube :

1. Asal-usul Sungai Kaliyasa : https://youtu.be/2SnhiEKz2ik


2. Legenda Kembang Wijaya Kusuma : https://youtu.be/tqR6wP8zYig

Cerita 1

ASAL-USUL SUNGAI KALIYASA, DI DESA UJUNGMANIK

KAWUNGANTEN

Pada zaman dahulu hiduplah seorang kesatria gagah, arif dan bijaksana.
Kesatri tersebut merupakan pangeran kedua dari sebuah kerajaan di tanah jawa,
yaitu kerajaan Panunggalan. Pangeran pertama bernama Raden Mandaka seorang
putra mahkota, calon penerus tahta kerajaan, namun sayang pangeran pertama
memiliki perangai dan tabiat yang kurang baik, sifatnya yang congkak, suka
semena-mena, merasa paling kuat dan berkuasa. Berbanding terbalik dengan
pangeran kedua, sang adik Raden Pranaja yang memiliki perangai menyenangkan
dan menenangkan, bergaul dengan siapapun menjadikannya pangeran yang
dikenal ramah oleh rakyat.

Raden Pranaja adalah seorang pengembara sejati, hidupnya dihabiskan


berkelana mencari ilmu dan hakikat kehidupan, berpindah dari guru satu ke guru
lain, tanah satu ke tanah lain, menetap beberapa waktu lalu kembali berkelana
mencari hal baru. Dia tidak begitu tertarik dengan kehidupan kerajaan menurutnya
biarlah kerajaan menjadi tanggung jawab ayah dan kakaknya yang lebih cakap
dan berambisi. Tak terhitung sudah berapa tempat yang telah ia pijak, dari
lembah-lembah sepi tak berpenghuni tempat bersemedi mencari kedamaian hati
hingga negeri-negeri nun jauh tempat para kesatria sejati dilahirkan, negeri
dengan peradaban yang mengagumkan yang kisahnya melegenda pada buku-buku
usang karangan para pengembara.
ilustrasi 1 Suttan Agam

3Kerajaan Panunggalan telah tertinggal jauh dibelakang, hingga kabar


duka itu datang. Sang ayah telah pergi menghadap sang illahi, Raja bijak itu telah
kembali pada kehidupan abadi. Bergegaslah Raden Pranaja kembali ke kerajaan
Panunggalan, duka melingkupi setiap sudut kota, sang kakak menyambut dengan
pilu kedatangannya. Ayahnya telah terbujur kaku, gurat-gurat kegagahannya telah
hilang namun wajah itu terlihat damai dengan sedikit garis lengkung dibibirnya.
Kedua bersaudara itu memberikan penghormatan terakhir kepada sang ayah, Raja
Kerajaan Panunggalan. Upacara besar digelar melepas kepergian sang Raja yang
dicintai seluruh rakyat negeri ini.

4Setelah kepergian sang Raja, Raden Mandaka diangkat menjadi Raja


selanjutnya memimpin kerajaan menggantikan mendiang sang ayah. Sekejap mata
semua berubah, kebijakan-kebijakan lama dirubah era baru telah datang. Namun
sayang beribu sayang, sifat bijak raja terdahulu tak menurun pada Raden
Mandaka, dengan tabiatnya yang memang suka semena-mena Raden Mandaka
banyak memberikan kesengsaraan bagi rakyat, sistem kerajaan memaksa rakyat
untuk membayar upeti kepada kerajaan dengan jumlah diluar batas wajar, rakyat
banyak mati kelaparan sedangkan Raden Mandaka hidup mewah di istananya.
Raden Pranaja sang adik yang melihat kondisi rakyat merasa iba dan berusaha
untuk berbicara dengan sang kakak untuk lebih perhatian dengan rakyat, namun
dengan sifat keras kepala dan segala tabiat buruk lainnya Raden Mandaka tutup
telinga dan tak menghiraukan.

5Hingga pada malam-malam gelap Raden Pranaja sering menyelinap


keluar dari kerajaan membawa karung-karung gandum, membagikannya pada
rakyat tanpa sepengetahuan sang kakak. Karena kedermawanannya banyak rakyat
yang semakin jatuh hati dan mengelu-elukan nama Raden Pranaja. Rakyat merasa
bahwa Pranajalah yang lebih pantas menjadi raja, sifat-sifat raja terdahulu sangat
menurun dalam dirinya. Dasas-desus tersebut sampailah pada telinga Raden
Mandaka, ia merasa sangat marah karena rakyat kini banyak memuji Raden
Pranaja dan menginginkan Pranaja menjadi raja. Ia merasa singgah sananya akan
segera direbut oleh adiknya. Maka sekali lagi dengan segala perangai buruknya
Raden Mandaka tega mengusir Raden Pranaja yang merupakan adiknya sendiri
untuk pergi sejauh mungkin dari istana kerajaan. Raden Pranaja yang memang
sejak awal tidak ada ambisi sedikitpun untuk merebut tahta kerajaan dari sang
kakak dengan lapang dada menuruti perintah sang kakak untuk pergi dari istana.
Rakyat yang mendengar hal tersebut menangis, mereka begitu sedih pangeran
mereka yang begitu baik dan mereka cintai akan pergi meninggalkan istana.

Maka pagi hari ketika matahari baru menampakkan sinarnya, saat Raden
Pranaja melangkahkan kakinya keluar dari gerbang istana tak disangka-sangka
banyak rakyat yang telah menunggu, berbaris di masing-masing sisi jalan seperti
penonton parade yang menunggu arak-arakan. Raden Pranaja termangu, salah satu
rakyat datang menghampiri dan menyampaiakan bahwa mereka akan ikut
kemanapun sang pangeran pergi, biarlah mereka meninggalkan tanah kelahiran
mereka mencari kehidupan baru, kesengsaraan ini sudah pelik tak bisa mereka
tanggung lagi. meskipun entah hal apa yang akan terjadi didepan atau tanah mana
yang akan mereka tuju, mereka yakin itu akan lebih baik karena mereka bersama
pangeran dengan hati paling bijak, pangeran paling dermawan, pangeran mereka,
Raden Pranaja. Raden Pranaja tak kuasa untuk menolak atau melarang rakyatnya
ikut dengannya, maka berangkatlah rombongan itu untuk pergi mencari tanah
baru, negeri baru tempat mereka akan tinggal.

7Perjalanan yang ditempuh Pranaja dan rombongan tidaklah mudah,


mereka banyak mengalami hambatan dari mulai perbekalan yang semakin sedikit,
hingga rakyat yang mulai kelelahan. Melihat hal tersebut maka Raden Pranaja
memutuskan untuk berhenti sejenak disuatu desa dengan pendudukan yang sangat
ramah, Pranaja merasa tempat ini cocok bagi rombongannya untuk singgah
semalam. Maka bermalamlah rombongan itu di desa tersebut.

8Malam-malam ketika rakyatnya telah lelap tertidur, Raden Pranaja


termenung sendirian ia memikirkan kemana ia dan rakyatnya akan pergi, ia masih
belum memiliki tujuan, yang ia lakukan hanya terus berjalan ke arah utara. Maka
berdo’alah Raden Pranaja kepada yang maha kuasa meminta diberi pentunjuk,
setelah Pranaja selesai berdo’a tiba-tiba angin berhembus kencang, awan gelap
datang menutup cahaya rembulan, gulita kian menyergap malam. Sesosok lelaki
berjubah putih tiba-tiba muncul dihadapan Pranaja, cahaya keluar dari sosok
tersebut begitu menyilaukan, sehingga Raden Pranaja tak bisa melihat jelas wajah
darinya. Sang sosok berkata kepada Pranaja untuk terus melanjutkan jalan ke arah
utara, ia akan menemukan daerah hutan belantara dengan pohon-pohon rindang
menutup cahaya masuk ke hutan, sang sosok menyuruh Raden Pranjaya untuk
hidup disana bersama rakyatnya, membangun pemukiman untuk kemudian
mereka tempati bersama keluarga sampai keturunan-keturunan mereka nanti.
Setelah berkata demikian kepada Pranaja, sosok tersebut menghilang. Namun
Raden Pranaja merasa bahwa sosok tersebut datang sebagai perantara jawaban
sang kuasa atas do’a-do’anya, maka semakin mantaplah hati Raden Pranaja untuk
terus melanjutkan perjalanan ke arah utara.

Paginya Raden Pranaja mengajak para rakyatnya untuk melanjutkan


perjalanan, setelah mengisi kembali perbekalan mereka yang diberi oleh warga
desa, rombonganpun berangkat. Setelah jauh berjalan, hutan belantara yang di
ceritakan sang sosok kepada Pranaja tak kunjung ia jumpai, Raden Pranaja
bersama rombonganpun terus berjalan, mereka hanya istirahat sejenak untuk
kemudian kembali melanjutkan perjalanan. Hingga berhari-hari hutan tersebut tak
juga terlihat sudah berkali-kali Raden Pranaja dan rombongan bermalam ditempat
seadanya, di desa-desa yang mereka lewati. Tak jarang mereka berjumpa dengan
kawanan perompak yang mencoba merampas barang-barang milik rombongan,
namun perompak tersebut salah memilih lawan meskipun dalam rombongan itu
hanya Raden Pranaja yang memiliki kemampuan bela diri, hal tersebut sudah
cukup untuk dapat mengalahkan para kawanan perompak tersebut, Raden Pranaja
adalah kesatria hebat yang telah mengembara ke berbagai penjuru negeri untuk
belajar ilmu bela diri. Setelah berpuluh-puluh kilometer jauhnya rombongan
Raden Pranaja berjalan, saat rakyat mulai tak sanggup untuk berjalan lagi diujung
jalan setapak terlihatlah hutan itu, hutan belantara dengan pohon-pohon rindang
yang mentupi cahaya matahari masuk kedalam hutan.
ilustrasi 2 Hutan Belantara

Rakyat merasa sangat bahagia setelah Raden Pranaja mengatakan bahwa


rombongan mereka telah sampai di tempat tujuan. Raden Pranaja memerintahkan
rakyatnya untuk beristirahat diluar daerah hutan, sedangkan dirinya masuk
kedalam hutan. Saat Raden Pranaja masuk kedalam hutan cahaya matahari begitu
redup, masuk disela-sela dedaunan yang begitu lebat. Raden Pranaja
mengeluarkan pedangnya, pedang yang selalu ia bawa kemana-mana, pusaka
peninggalan sang ayah yang diberikan kepada Pranaja saat ia mulai belajar
bermain pedang. Pedang itu bukanlah sembarang pedang saking kuatnya, pedang
pusaka tersebut tidak akan patah meskipun untuk membelah benda paling kerasa
yang ada di dunia.

11Kemudian Raden Pranaja mulai membabati hutan, membuat lahan yang


cukup luas untuk mendirikan sebuah pondok bakal tempat dirinya dan rakyatnya
tinggal. Dengan ilmu kesaktian yang Raden Pranaja miliki, kecepatan Raden
Pranaja dalam membabat hutan bagaikan angin, dalam hitungan detik lahan yang
dibabat sangatlah luas. Inilah yang orang-orang belum ketahui, Raden Pranaja
memiliki ilmu bergerak dengan sangat cepat saking cepatnya, gerakannya tak bisa
terihat melesat bak angin. Ilmu itu ia pelajari berbulan-bulan lamanya.

12Saat lahan yang dibabat telah semakin luas tiba-tiba suara desisan ular
yang sangat keras terdengar, bahkan para rakyat yang berada diluar kawasan
hutan dapat mendengarnya. Gerakan Raden Pranaja seketika terhenti, tingkat
kewaspadaannya meningkat, dari arah dalam hutan, disela-sela pepohonan
rindang munculah seokor ular raksasa dengan besar melebihi ukuran pohon
kelapa, panjangnya tak kurang dari berpuluh-puluh meter mendesis dengan keras,
taring-taring panjang terlihat saat mulutnya membuka siap melahap mangsa. Ular
raksasa tersebut sepertinya marah, merasa terganggu karena tempatnya diusik.
ilustrasi 3 Ular Raksasa

13Maka terjadilah pertarungan antara Raden Pranaja dengan sang ular


raksasa. Pertarungan yang berjalan dengan sangat sengit, ular dengan buas
mencoba melahap Raden Pranaja hidup-hidup, mulutnya terbuka sangat lebar
dimana untuk seukuran tubuh manusia akan sangat dengan mudah masuk
kedalam. Namun Raden Pranaja tak semudah itu dikalahkan, ia adalah seorang
ksatria tangguh, tubuhnya berkelit menghidar dari serangan sang ular, pedangnya
dengan lincah mencoba menebas tubuh sang ular raksasa. Rakyat yang mendengar
suara-suara pertarungan dari dalam hutan, mulai mencemaskan pangeran mereka,
maka berbondong-bondong mereka masuk kedalam hutan. Rakyat semakin dibuat
terkejut melihat apa yang terjadi didalam hutan, dari jarak cukup jauh mereka
melihat pangeran mereka sedang bertarung dengan ular raksasa.

14Tak mudah bagi Raden Pranaja untuk mengalahkan ular raksasa tesebut,
pedangnya terus begerak lincah, gerakannya sangat terlatih, tubuhnya melayang
mencoba menebas kepala sang ular raksasa yang berada tinggi diatasnya, sang
ular semakin marah, taringnya buas siap menerkam Raden Pranaja, rakyat yang
menonton pertarungan merasa ngeri dan semakin cemas dengan nasib
pangerannya. Maka dipuncak pertarungan saat ular raksasa membuka mulutnya
lebar-lebar siap memangsa Raden Pranaja, tubuh Raden Pranaja melesat dengan
cepat seakan menghilang. Lalu muncul kembali tepat diatas kepala sang ular
raksasa, Raden Pranaja mengayunkan dengan kuat pedangnya menebas kepala
dari sang ular raksasa, dan wushh pedang itu berhasil menebas kepala si ular
raksasa. Akhirnya sang ular raksasa tewas mengenaskan dengan tubuh dan
kepalanya terpisah tepotong menjadi dua bagian, tubuh sang ular raksasa jatuh
berdebam ke tanah membuat getaran hebat seperti gempa bumi, saking besarnya
tubuh sang ular raksasa, tempat jatuhnya tubuh tersebut membuat cerukan dalam
memanjang sepanjang tubuh dari si ular, dari cerukan tersebut keluar sumber mata
air yang sangat deras semakin deras menenggelamkan tubuh dari sang ular
raksasa, dar cerukan itulah terbutk sebuah sungai memanjang melintang
membelah kawasan hutan menjadi dua seberang yang pada kemudian hari sungai
tersebut dikenal dengan nama sungai ookaliyasa. Rakyat bersorak atas
kemenangan Raden Pranaja, hidup pangeran mereka, hidup Raden Pranaja.

Cerita pertarungan Raden Pranaja dengan sang ular raksasa menjadi


sebuah kisah yang melegenda. Diceritakan secara turun temurun dari lisan ke lisan
dari generasi ke generasi. Terus berkembang menjadi cerita rakyat yang terkenal
di desa Ujungmanik, kecamatan Kawunganten.

Cerita 2

Legenda Kembang Wijaya Kusuma

Dahulu kala, menurut sebuah legenda, ada setangkai bunga atau kembang yang
tidak pernah layu sepanjang musim, kembang tersebut merupakan kembang keabadian.
Konon kembang langka tersebut tidak hanya berkhasiat menyembuhkan berbagai
macam penyakit, tetapi juga membuat orang atau pemiliknya bisa hidup abadi. Orang-
orang terdahulu percaya, asal muasal kembang ajaib tersebut merupakan sari Kembang
Wijaya Kusuma milik dewa Wisnu yang jatuh dari kayangan, dan tumbuh di dunia. Bunga
dewata inilah yang kemudian dicari orang-orang untuk dijadikan jimat agar pemiliknya
bisa memiliki ilmu keabadian, dan hidup abadi di dunia.

ilustrasi 4 (Kembang Wijaya Kusuma)


Suatu ketika, ada seorang Raja dari Tanah Jawa yang bermimpi menemukan
kembang Wijaya Kusuma yang tumbuh subur di sebuah pulau karang kecil ditengan laut
di sekitaran laut selatan. Raja tersebut menceritakan mimpinya pada sang permaisuri.
“Aku bermimpi Dinda! Aku tak bisa mati!” cerita sang raja. “Mimpi apa kanda?
Bagaimana Kanda tidak bisa mati?” tanya sang permaisuri kebingungan. “Ah Dinda, kita
akan hidup abadi. Aku tahu di mana Kembang Wijaya Kusuma tumbuh,” jawab sang Raja
yang kemudian dengan semangat menceritakan mimpinya kepada sang Permaisuri,
dimana dalam mimpi tersebut ia melihat satu-satunya Kembang Wijaya Kusuma yang
tumbuh subur di ujung bukit sebuah pulau karang di laut selatan.

Keesokan harinya, sang Raja segera memanggil para punggawa kepercayaanya.


Raja memerintahkan para punggawanya untuk segera memtik Kembang Wijaya Kusuma
yang tumbuh di Pulau Karang di Laut Selatan, yang dikenal sebagai Pulau Karang Badong
sesuai petunjuk dalam mimpi sang Raja. Namun para punggawa merasa was-was karena
konon dari cerita yang beredar bunga tersebut bukan sembarang bunga yang bisa
dipetik pada semabarang waktu dan seenaknya. Salah-salah bukannya membawa
keabadiaan bunga tersebut justru bisa membawa petaka bagi sang pemilik. Dengan
takut-takut sang punggawa berkata kepada Raja. “Ampun Baginda, tetapi kembang
tersebut tidak bisa dipetik pada sembarang waktu.” Sang Raja terlihat murka mendapati
jawaban dari sang punggawa. “Apa maksudmu tidak bisa dipetik sepanjang waktu?”
tanyanya dengan nada tidak senang. “Maksud hamba, bunga itu adalah bunga sakti yang
hanya bisa dipetik saat keadaan cuaca langit cerah dan Laut Selatan sedang tenang
namun saat ini cuaca sedang buruk dan sedang terjadi badai” jawab sang punggawa
dengan takut-takut. “Ah, dasar bodoh, jika aku menunggu waktu untuk memetik sesuai
dengan saranmu itu, bisa-bisa kembang itu sudah diambil lebih dudlu oleh orang lain!
Jadi cepat jangan banyak bicara lagi petik kembang itu sekarang!” titah sang Raja yang
tak dapat dibantah lagi.

Akhirnya, karena takut mendapatkan murka sang Raja, serombongan punggawa


kerajaan berangkat meninggalkan istana menuju Laut Selatan. Mereka berangkat
dengan rasa was-was dan ketakutan karena cerita mistis mengenai kembang wijaya
Kusuma tersebut.

sesampai di pantai Laut Selatan, para punggawa dibuat makin cemas ketika
melihat ombak pnatai Laut selatan bergelora setinggi bukit. Pulau Karang Badong yang
ada ditengah-tengah samudra kadang tampak dan kadang lenyap terhalang tingginya
gelombang Laut Selatan. Bagaiman a bisa mereka melaksankaan perintah sang Raja
dengan cuaca dan suasana laut seperti ini, bisa-bisa petaka itu benar-benar akan
menimpa mereka.

Di tengah rasa bingung dan keputusasaan itu, mereka melihat seorang nelayan
yang sedang duduk termenung sambil memandangi laut yang bergelora diatas karang di
tepi pantai. Para punggawa kerajaan segera menghampiri si nelayang dan bertanya “
Kenapa engkau duduk melamun seorang diri di sini? Mana para nelayan yang lain?” “oh
bukan apa-apa gusti, hamba hanya sedang merenungi nasib hamba yang begitu malang”
Jawab sang nelayan dengan sendu. “merenungi nasib? Memang kenapa dengan
nasibmu?” desak sang punggawa yang sudah tidak sabar lagi, karena si nelayan tidak
menjawab pertanyaanya terkait dengan dimana para nelayan yang lain berada. “Hamba
sungguh benar-benar memiliki nasib yang malang Gusti, hamba adalah seorang nelayan
tetapi hamba sekarang tidak memiliki perahu, perahu hamba hancur semalam terkena
badai yang begitu besar. Sekarang hidup hamba benar-benar tidak berguna” ujar
nelayan itu mengiba.

ilustrasi 5 (Nelayan yang sedang merenung)

Mendengar jawaban nelayan itu, para utusan Raja seketika merasa


terselamatkan, mereka akhirnya menemukan pemecahan atas masalah yang sedang
mereka hadapi. “Baiklah wahai nelayan malang, aku akan mengubah nasibmu,” kata
salah satu punggawa istana itu. “Mengubah nasib hamba, Gusti?” tanya nelayan itu
dengan harap. “Benar. Jangankan perahu, kau minta lebih dari itupun akan kami
berikan. Asalakan...” “Asalkan apa, Gusti. Katakanlah akan hamba lakukan” sahut
nelayan itu dengan tak sabar. “Asalkan kamu bisa memetik kemban Wijaya Kusuma...,”
“Kembang Wijaya Kusuma yang tumbuh di Pulau Karang Badong itu, Gusti?” tegas
nelayan itu. “Benar, apakah kamu tahu?” “Hamba tahu Gusti, hamba sudah menjadi
nelayan disini berpuluh-puluh tahun lamanya, bagaiman hamba tidak tahu mengenai
kembang yang melegenda itu. Tapi Gusti...” dengan ragu nelayan itu berkata “akan
sangat berbahaya untuk sekarang ini pergi ke Pulau Karang Badong dan memetik
kembang Wijaya Kusuma, ini melanggar pantangan.” Jawab nelayan itu dengan ragu.
“Aku tahu, tapi itu terserah padamu. Jika kamu memang benar-benar menginginkan
perahu, inilah kesempatan yang bagus bagimu.” Sang punggawa mencoba untuk
mempengaruhi si nelayan agar mau mengambil kembang itu.

Pada akhirnya, nelayan itu pun menyetujui perintah sang punggawa untuk pergi
memetik Kembang Wijaya Kusuma karena tergiur dengan iming-iming hadiah perahu
yang para punggawa kerajaan janjikan. Dengan meminjam perahu milik nelayan lain,
nelayan itu nekat mengarungi ganasnya ombak Pantai Laut Selatan menuju Pulau Karang
Bodong, tempat tumbuhnya Kembang Wijaya Kusuma. Dengan segenap keberanian dan
keahlian untuk dapat sampai di Pulau Karang Badong, nelayan itupun akhirnya sampai di
Pulau tersebut. Begitu sampai nelayan itu cepat-cepat mendaki bukit tinggi tempat satu-
satunya Kembang Wijaya Kusuma tumbuh.

ilustrasi 6 (Nelayan)

Sesampainya di atas bukit dan melihat Kembang Wijaya Kusuma yang dicari,
nelayan itu merasa amat bahagia karena berpikir bahwa misinya akan segera berhasil
dan ia akan mendapatkan perahu baru. Akan tetapi, setelah Kembang Wijaya Kusuma
berhasil dipetik dan telah berada di tangannya, tiba-tiba langit bergemuruh, mendung
mengukung, sosok-sosok dengan wajah menyeramkan tiba-tiba muncul di sekeliling
nelayan itu. Sosok-sosok wajah menyeramkan itu merupakan penunggu dari bunga
keramat Wijaya Kusuma, mereka akan menampakkan diri jika ada yang melawan
pantangan memetik Kembang Wijaya Kusuma di kala cuaca buruk.

Sang nelayan gemetar ketakutan melihat wajah-wajah seram berdiri di


hadapannya. “Hei apakah kau sudah bosan hidup berani memetik bunga itu!” teriak
sosok-sosok berwajah menyeramkan itu. “ Ti.. ti.. tidak, bunga ini untuk raja” kata
nelayan itu ketakutan. Dengan sisa-sisa keberanian yang dimilikinya, sang nelayan
berlari menerobos kepungan sosok-sosok itu dengan sejata parangnya sebagai
pelindung.

Nelayan itu terus berlari menuruni bukit menuju perahunya yang ada di tepi
pantai. Namun, betapa sedih dan keewanya ketika ia melihat perahunya sudah hancur
berkeping-keping dihantam ombak yang mengamuk diantara batu karang besar. Tubuh
nelayan itu seketika menggigil ketakutan membayangkan nasibnya, mati ditelan
ganasnya ombak Laut Selatan, atau dibunuh sosok-sosok menyeramkan penunggu Pulau
Karang Badong. Saat sang nelayan menengok kebelakang dan melihat sosok-sosok
menyeramkan yang mengejarnya semakin dekat, nelayan itu semakin kebingungan.
Akhirnya karena merasa tidak punya pilihan lagi sang nelayan berteriak “oh Dewa,
tolonglah hambamu ini!” dan kemudian menceburkan diri ke dalam ombak yang
tergulung-gulung. Tubuh nelayan itu tenggelam tergulung ombak besar. Namun jiwa
nelayannya dan pengalaman berpuluh-puluh tahun menjadi seorang nelayan
menjadikannya tak meyerah dan mencoba untuk bertahan hidup. Dengan sekuat
tenaga, dia berenang meraih sebuah papan yang rupanya berasala dari serpihan perahu
miliknya.

Nasib baik masih bersama nelayan itu. Dengan memeluk erat-erat papan kayu,
tubuh nelayan itu mengapung dan terbawa ombak, tubuh sang nelayan ditemukan esok
harinya terdampar di tepi pantai dengan keadaan yang sangat payah oleh para
punggawa kerajaan. Namun para utusan raja itu hanya mengambil Kembang Wijaya
Kusuma dan dengan tega meninggalkan nelayan yang malang itu tergeletak di tepi
pantai.

Namun pada akhirnya, Raja dan Punggawa yang telah berani melanggar
pantangan itu harus menanggung akibatnya. Satu per satu punggawa raja itu mati tanpa
diketahui penyebab pastinya. Sementara, Raja sendiri menjadi gila dan meninggalkan
istana. Sang nelayan yang semula begitu mengutuk utusan raja yang telah tega
membohonginya padahal ia sampai mempertaruhkan nyawa untuk memtik Kembang
Wijaya Kusuma, akhirnya merasa sangat bersyukur. Dia bersyukur meskipun tidak
mendapatkan perahu, hidupnya masih terselamat.

Anda mungkin juga menyukai