Anda di halaman 1dari 4

Legenda Kembang Wijaya Kusuma

Dahulu kala, menurut sebuah legenda, ada setangkai bunga atau kembang yang tidak
pernah layu sepanjang musim, kembang tersebut merupakan kembang keabadian. Konon kembang
langka tersebut tidak hanya berkhasiat menyembuhkan berbagai macam penyakit, tetapi juga
membuat orang atau pemiliknya bisa hidup abadi. Orang-orang terdahulu percaya, asal muasal
kembang ajaib tersebut merupakan sari Kembang Wijaya Kusuma milik dewa Wisnu yang jatuh dari
kayangan, dan tumbuh di dunia. Bunga dewata inilah yang kemudian dicari orang-orang untuk
dijadikan jimat agar pemiliknya bisa memiliki ilmu keabadian, dan hidup abadi di dunia.

ilustrasi 1 (Kembang Wijaya Kusuma)

Suatu ketika, ada seorang Raja dari Tanah Jawa yang bermimpi menemukan kembang
Wijaya Kusuma yang tumbuh subur di sebuah pulau karang kecil ditengan laut di sekitaran laut
selatan. Raja tersebut menceritakan mimpinya pada sang permaisuri. “Aku bermimpi Dinda! Aku tak
bisa mati!” cerita sang raja. “Mimpi apa kanda? Bagaimana Kanda tidak bisa mati?” tanya sang
permaisuri kebingungan. “Ah Dinda, kita akan hidup abadi. Aku tahu di mana Kembang Wijaya
Kusuma tumbuh,” jawab sang Raja yang kemudian dengan semangat menceritakan mimpinya
kepada sang Permaisuri, dimana dalam mimpi tersebut ia melihat satu-satunya Kembang Wijaya
Kusuma yang tumbuh subur di ujung bukit sebuah pulau karang di laut selatan.

Keesokan harinya, sang Raja segera memanggil para punggawa kepercayaanya. Raja
memerintahkan para punggawanya untuk segera memtik Kembang Wijaya Kusuma yang tumbuh di
Pulau Karang di Laut Selatan, yang dikenal sebagai Pulau Karang Badong sesuai petunjuk dalam
mimpi sang Raja. Namun para punggawa merasa was-was karena konon dari cerita yang beredar
bunga tersebut bukan sembarang bunga yang bisa dipetik pada semabarang waktu dan seenaknya.
Salah-salah bukannya membawa keabadiaan bunga tersebut justru bisa membawa petaka bagi sang
pemilik. Dengan takut-takut sang punggawa berkata kepada Raja. “Ampun Baginda, tetapi kembang
tersebut tidak bisa dipetik pada sembarang waktu.” Sang Raja terlihat murka mendapati jawaban
dari sang punggawa. “Apa maksudmu tidak bisa dipetik sepanjang waktu?” tanyanya dengan nada
tidak senang. “Maksud hamba, bunga itu adalah bunga sakti yang hanya bisa dipetik saat keadaan
cuaca langit cerah dan Laut Selatan sedang tenang namun saat ini cuaca sedang buruk dan sedang
terjadi badai” jawab sang punggawa dengan takut-takut. “Ah, dasar bodoh, jika aku menunggu
waktu untuk memetik sesuai dengan saranmu itu, bisa-bisa kembang itu sudah diambil lebih dudlu
oleh orang lain! Jadi cepat jangan banyak bicara lagi petik kembang itu sekarang!” titah sang Raja
yang tak dapat dibantah lagi.

Akhirnya, karena takut mendapatkan murka sang Raja, serombongan punggawa kerajaan
berangkat meninggalkan istana menuju Laut Selatan. Mereka berangkat dengan rasa was-was dan
ketakutan karena cerita mistis mengenai kembang wijaya Kusuma tersebut.

sesampai di pantai Laut Selatan, para punggawa dibuat makin cemas ketika melihat ombak
pnatai Laut selatan bergelora setinggi bukit. Pulau Karang Badong yang ada ditengah-tengah
samudra kadang tampak dan kadang lenyap terhalang tingginya gelombang Laut Selatan. Bagaiman
a bisa mereka melaksankaan perintah sang Raja dengan cuaca dan suasana laut seperti ini, bisa-bisa
petaka itu benar-benar akan menimpa mereka.

Di tengah rasa bingung dan keputusasaan itu, mereka melihat seorang nelayan yang sedang
duduk termenung sambil memandangi laut yang bergelora diatas karang di tepi pantai. Para
punggawa kerajaan segera menghampiri si nelayang dan bertanya “ Kenapa engkau duduk melamun
seorang diri di sini? Mana para nelayan yang lain?” “oh bukan apa-apa gusti, hamba hanya sedang
merenungi nasib hamba yang begitu malang” Jawab sang nelayan dengan sendu. “merenungi nasib?
Memang kenapa dengan nasibmu?” desak sang punggawa yang sudah tidak sabar lagi, karena si
nelayan tidak menjawab pertanyaanya terkait dengan dimana para nelayan yang lain berada.
“Hamba sungguh benar-benar memiliki nasib yang malang Gusti, hamba adalah seorang nelayan
tetapi hamba sekarang tidak memiliki perahu, perahu hamba hancur semalam terkena badai yang
begitu besar. Sekarang hidup hamba benar-benar tidak berguna” ujar nelayan itu mengiba.

ilustrasi 2 (Nelayan yang sedang merenung)

Mendengar jawaban nelayan itu, para utusan Raja seketika merasa terselamatkan, mereka
akhirnya menemukan pemecahan atas masalah yang sedang mereka hadapi. “Baiklah wahai nelayan
malang, aku akan mengubah nasibmu,” kata salah satu punggawa istana itu. “Mengubah nasib
hamba, Gusti?” tanya nelayan itu dengan harap. “Benar. Jangankan perahu, kau minta lebih dari
itupun akan kami berikan. Asalakan...” “Asalkan apa, Gusti. Katakanlah akan hamba lakukan” sahut
nelayan itu dengan tak sabar. “Asalkan kamu bisa memetik kemban Wijaya Kusuma...,” “Kembang
Wijaya Kusuma yang tumbuh di Pulau Karang Badong itu, Gusti?” tegas nelayan itu. “Benar, apakah
kamu tahu?” “Hamba tahu Gusti, hamba sudah menjadi nelayan disini berpuluh-puluh tahun
lamanya, bagaiman hamba tidak tahu mengenai kembang yang melegenda itu. Tapi Gusti...” dengan
ragu nelayan itu berkata “akan sangat berbahaya untuk sekarang ini pergi ke Pulau Karang Badong
dan memetik kembang Wijaya Kusuma, ini melanggar pantangan.” Jawab nelayan itu dengan ragu.
“Aku tahu, tapi itu terserah padamu. Jika kamu memang benar-benar menginginkan perahu, inilah
kesempatan yang bagus bagimu.” Sang punggawa mencoba untuk mempengaruhi si nelayan agar
mau mengambil kembang itu.

Pada akhirnya, nelayan itu pun menyetujui perintah sang punggawa untuk pergi memetik
Kembang Wijaya Kusuma karena tergiur dengan iming-iming hadiah perahu yang para punggawa
kerajaan janjikan. Dengan meminjam perahu milik nelayan lain, nelayan itu nekat mengarungi
ganasnya ombak Pantai Laut Selatan menuju Pulau Karang Bodong, tempat tumbuhnya Kembang
Wijaya Kusuma. Dengan segenap keberanian dan keahlian untuk dapat sampai di Pulau Karang
Badong, nelayan itupun akhirnya sampai di Pulau tersebut. Begitu sampai nelayan itu cepat-cepat
mendaki bukit tinggi tempat satu-satunya Kembang Wijaya Kusuma tumbuh.

ilustrasi 3 (Nelayan)

Sesampainya di atas bukit dan melihat Kembang Wijaya Kusuma yang dicari, nelayan itu
merasa amat bahagia karena berpikir bahwa misinya akan segera berhasil dan ia akan mendapatkan
perahu baru. Akan tetapi, setelah Kembang Wijaya Kusuma berhasil dipetik dan telah berada di
tangannya, tiba-tiba langit bergemuruh, mendung mengukung, sosok-sosok dengan wajah
menyeramkan tiba-tiba muncul di sekeliling nelayan itu. Sosok-sosok wajah menyeramkan itu
merupakan penunggu dari bunga keramat Wijaya Kusuma, mereka akan menampakkan diri jika ada
yang melawan pantangan memetik Kembang Wijaya Kusuma di kala cuaca buruk.

Sang nelayan gemetar ketakutan melihat wajah-wajah seram berdiri di hadapannya. “Hei
apakah kau sudah bosan hidup berani memetik bunga itu!” teriak sosok-sosok berwajah
menyeramkan itu. “ Ti.. ti.. tidak, bunga ini untuk raja” kata nelayan itu ketakutan. Dengan sisa-sisa
keberanian yang dimilikinya, sang nelayan berlari menerobos kepungan sosok-sosok itu dengan
sejata parangnya sebagai pelindung.
Nelayan itu terus berlari menuruni bukit menuju perahunya yang ada di tepi pantai. Namun,
betapa sedih dan keewanya ketika ia melihat perahunya sudah hancur berkeping-keping dihantam
ombak yang mengamuk diantara batu karang besar. Tubuh nelayan itu seketika menggigil ketakutan
membayangkan nasibnya, mati ditelan ganasnya ombak Laut Selatan, atau dibunuh sosok-sosok
menyeramkan penunggu Pulau Karang Badong. Saat sang nelayan menengok kebelakang dan
melihat sosok-sosok menyeramkan yang mengejarnya semakin dekat, nelayan itu semakin
kebingungan. Akhirnya karena merasa tidak punya pilihan lagi sang nelayan berteriak “oh Dewa,
tolonglah hambamu ini!” dan kemudian menceburkan diri ke dalam ombak yang tergulung-gulung.
Tubuh nelayan itu tenggelam tergulung ombak besar. Namun jiwa nelayannya dan pengalaman
berpuluh-puluh tahun menjadi seorang nelayan menjadikannya tak meyerah dan mencoba untuk
bertahan hidup. Dengan sekuat tenaga, dia berenang meraih sebuah papan yang rupanya berasala
dari serpihan perahu miliknya.

Nasib baik masih bersama nelayan itu. Dengan memeluk erat-erat papan kayu, tubuh
nelayan itu mengapung dan terbawa ombak, tubuh sang nelayan ditemukan esok harinya terdampar
di tepi pantai dengan keadaan yang sangat payah oleh para punggawa kerajaan. Namun para utusan
raja itu hanya mengambil Kembang Wijaya Kusuma dan dengan tega meninggalkan nelayan yang
malang itu tergeletak di tepi pantai.

Namun pada akhirnya, Raja dan Punggawa yang telah berani melanggar pantangan itu harus
menanggung akibatnya. Satu per satu punggawa raja itu mati tanpa diketahui penyebab pastinya.
Sementara, Raja sendiri menjadi gila dan meninggalkan istana. Sang nelayan yang semula begitu
mengutuk utusan raja yang telah tega membohonginya padahal ia sampai mempertaruhkan nyawa
untuk memtik Kembang Wijaya Kusuma, akhirnya merasa sangat bersyukur. Dia bersyukur meskipun
tidak mendapatkan perahu, hidupnya masih terselamat.

Anda mungkin juga menyukai