Pada zaman dahulu hiduplah seorang kesatria gagah, arif dan bijaksana. Kesatri
tersebut merupakan pangeran kedua dari sebuah kerajaan di tanah jawa, yaitu kerajaan
Panunggalan. Pangeran pertama bernama Raden Mandaka seorang putra mahkota, calon
penerus tahta kerajaan, namun sayang pangeran pertama memiliki perangai dan tabiat yang
kurang baik, sifatnya yang congkak, suka semena-mena, merasa paling kuat dan berkuasa.
Berbanding terbalik dengan pangeran kedua, sang adik Raden Pranaja yang memiliki
perangai menyenangkan dan menenangkan, bergaul dengan siapapun menjadikannya
pangeran yang dikenal ramah oleh rakyat.
3Kerajaan Panunggalan telah tertinggal jauh dibelakang, hingga kabar duka itu
datang. Sang ayah telah pergi menghadap sang illahi, Raja bijak itu telah kembali pada
kehidupan abadi. Bergegaslah Raden Pranaja kembali ke kerajaan Panunggalan, duka
melingkupi setiap sudut kota, sang kakak menyambut dengan pilu kedatangannya. Ayahnya
telah terbujur kaku, gurat-gurat kegagahannya telah hilang namun wajah itu terlihat damai
dengan sedikit garis lengkung dibibirnya. Kedua bersaudara itu memberikan penghormatan
terakhir kepada sang ayah, Raja Kerajaan Panunggalan. Upacara besar digelar melepas
kepergian sang Raja yang dicintai seluruh rakyat negeri ini.
4Setelah kepergian sang Raja, Raden Mandaka diangkat menjadi Raja selanjutnya
memimpin kerajaan menggantikan mendiang sang ayah. Sekejap mata semua berubah,
kebijakan-kebijakan lama dirubah era baru telah datang. Namun sayang beribu sayang, sifat
bijak raja terdahulu tak menurun pada Raden Mandaka, dengan tabiatnya yang memang suka
semena-mena Raden Mandaka banyak memberikan kesengsaraan bagi rakyat, sistem
kerajaan memaksa rakyat untuk membayar upeti kepada kerajaan dengan jumlah diluar batas
wajar, rakyat banyak mati kelaparan sedangkan Raden Mandaka hidup mewah di istananya.
Raden Pranaja sang adik yang melihat kondisi rakyat merasa iba dan berusaha untuk
berbicara dengan sang kakak untuk lebih perhatian dengan rakyat, namun dengan sifat keras
kepala dan segala tabiat buruk lainnya Raden Mandaka tutup telinga dan tak menghiraukan.
5Hingga pada malam-malam gelap Raden Pranaja sering menyelinap keluar dari
kerajaan membawa karung-karung gandum, membagikannya pada rakyat tanpa
sepengetahuan sang kakak. Karena kedermawanannya banyak rakyat yang semakin jatuh hati
dan mengelu-elukan nama Raden Pranaja. Rakyat merasa bahwa Pranajalah yang lebih pantas
menjadi raja, sifat-sifat raja terdahulu sangat menurun dalam dirinya. Dasas-desus tersebut
sampailah pada telinga Raden Mandaka, ia merasa sangat marah karena rakyat kini banyak
memuji Raden Pranaja dan menginginkan Pranaja menjadi raja. Ia merasa singgah sananya
akan segera direbut oleh adiknya. Maka sekali lagi dengan segala perangai buruknya Raden
Mandaka tega mengusir Raden Pranaja yang merupakan adiknya sendiri untuk pergi sejauh
mungkin dari istana kerajaan. Raden Pranaja yang memang sejak awal tidak ada ambisi
sedikitpun untuk merebut tahta kerajaan dari sang kakak dengan lapang dada menuruti
perintah sang kakak untuk pergi dari istana. Rakyat yang mendengar hal tersebut menangis,
mereka begitu sedih pangeran mereka yang begitu baik dan mereka cintai akan pergi
meninggalkan istana.
Maka pagi hari ketika matahari baru menampakkan sinarnya, saat Raden Pranaja
melangkahkan kakinya keluar dari gerbang istana tak disangka-sangka banyak rakyat yang
telah menunggu, berbaris di masing-masing sisi jalan seperti penonton parade yang
menunggu arak-arakan. Raden Pranaja termangu, salah satu rakyat datang menghampiri dan
menyampaiakan bahwa mereka akan ikut kemanapun sang pangeran pergi, biarlah mereka
meninggalkan tanah kelahiran mereka mencari kehidupan baru, kesengsaraan ini sudah pelik
tak bisa mereka tanggung lagi. meskipun entah hal apa yang akan terjadi didepan atau tanah
mana yang akan mereka tuju, mereka yakin itu akan lebih baik karena mereka bersama
pangeran dengan hati paling bijak, pangeran paling dermawan, pangeran mereka, Raden
Pranaja. Raden Pranaja tak kuasa untuk menolak atau melarang rakyatnya ikut dengannya,
maka berangkatlah rombongan itu untuk pergi mencari tanah baru, negeri baru tempat
mereka akan tinggal.
7Perjalanan yang ditempuh Pranaja dan rombongan tidaklah mudah, mereka banyak
mengalami hambatan dari mulai perbekalan yang semakin sedikit, hingga rakyat yang mulai
kelelahan. Melihat hal tersebut maka Raden Pranaja memutuskan untuk berhenti sejenak
disuatu desa dengan pendudukan yang sangat ramah, Pranaja merasa tempat ini cocok bagi
rombongannya untuk singgah semalam. Maka bermalamlah rombongan itu di desa tersebut.
Rakyat merasa sangat bahagia setelah Raden Pranaja mengatakan bahwa rombongan
mereka telah sampai di tempat tujuan. Raden Pranaja memerintahkan rakyatnya untuk
beristirahat diluar daerah hutan, sedangkan dirinya masuk kedalam hutan. Saat Raden Pranaja
masuk kedalam hutan cahaya matahari begitu redup, masuk disela-sela dedaunan yang begitu
lebat. Raden Pranaja mengeluarkan pedangnya, pedang yang selalu ia bawa kemana-mana,
pusaka peninggalan sang ayah yang diberikan kepada Pranaja saat ia mulai belajar bermain
pedang. Pedang itu bukanlah sembarang pedang saking kuatnya, pedang pusaka tersebut
tidak akan patah meskipun untuk membelah benda paling kerasa yang ada di dunia.
11Kemudian Raden Pranaja mulai membabati hutan, membuat lahan yang cukup luas
untuk mendirikan sebuah pondok bakal tempat dirinya dan rakyatnya tinggal. Dengan ilmu
kesaktian yang Raden Pranaja miliki, kecepatan Raden Pranaja dalam membabat hutan
bagaikan angin, dalam hitungan detik lahan yang dibabat sangatlah luas. Inilah yang orang-
orang belum ketahui, Raden Pranaja memiliki ilmu bergerak dengan sangat cepat saking
cepatnya, gerakannya tak bisa terihat melesat bak angin. Ilmu itu ia pelajari berbulan-bulan
lamanya.
12Saat lahan yang dibabat telah semakin luas tiba-tiba suara desisan ular yang sangat
keras terdengar, bahkan para rakyat yang berada diluar kawasan hutan dapat mendengarnya.
Gerakan Raden Pranaja seketika terhenti, tingkat kewaspadaannya meningkat, dari arah
dalam hutan, disela-sela pepohonan rindang munculah seokor ular raksasa dengan besar
melebihi ukuran pohon kelapa, panjangnya tak kurang dari berpuluh-puluh meter mendesis
dengan keras, taring-taring panjang terlihat saat mulutnya membuka siap melahap mangsa.
Ular raksasa tersebut sepertinya marah, merasa terganggu karena tempatnya diusik.
ilustrasi 3 Ular Raksasa
13Maka terjadilah pertarungan antara Raden Pranaja dengan sang ular raksasa.
Pertarungan yang berjalan dengan sangat sengit, ular dengan buas mencoba melahap Raden
Pranaja hidup-hidup, mulutnya terbuka sangat lebar dimana untuk seukuran tubuh manusia
akan sangat dengan mudah masuk kedalam. Namun Raden Pranaja tak semudah itu
dikalahkan, ia adalah seorang ksatria tangguh, tubuhnya berkelit menghidar dari serangan
sang ular, pedangnya dengan lincah mencoba menebas tubuh sang ular raksasa. Rakyat yang
mendengar suara-suara pertarungan dari dalam hutan, mulai mencemaskan pangeran mereka,
maka berbondong-bondong mereka masuk kedalam hutan. Rakyat semakin dibuat terkejut
melihat apa yang terjadi didalam hutan, dari jarak cukup jauh mereka melihat pangeran
mereka sedang bertarung dengan ular raksasa.
14Tak mudah bagi Raden Pranaja untuk mengalahkan ular raksasa tesebut, pedangnya
terus begerak lincah, gerakannya sangat terlatih, tubuhnya melayang mencoba menebas
kepala sang ular raksasa yang berada tinggi diatasnya, sang ular semakin marah, taringnya
buas siap menerkam Raden Pranaja, rakyat yang menonton pertarungan merasa ngeri dan
semakin cemas dengan nasib pangerannya. Maka dipuncak pertarungan saat ular raksasa
membuka mulutnya lebar-lebar siap memangsa Raden Pranaja, tubuh Raden Pranaja melesat
dengan cepat seakan menghilang. Lalu muncul kembali tepat diatas kepala sang ular raksasa,
Raden Pranaja mengayunkan dengan kuat pedangnya menebas kepala dari sang ular raksasa,
dan wushh pedang itu berhasil menebas kepala si ular raksasa. Akhirnya sang ular raksasa
tewas mengenaskan dengan tubuh dan kepalanya terpisah tepotong menjadi dua bagian,
tubuh sang ular raksasa jatuh berdebam ke tanah membuat getaran hebat seperti gempa bumi,
saking besarnya tubuh sang ular raksasa, tempat jatuhnya tubuh tersebut membuat cerukan
dalam memanjang sepanjang tubuh dari si ular, dari cerukan tersebut keluar sumber mata air
yang sangat deras semakin deras menenggelamkan tubuh dari sang ular raksasa, dar cerukan
itulah terbutk sebuah sungai memanjang melintang membelah kawasan hutan menjadi dua
seberang yang pada kemudian hari sungai tersebut dikenal dengan nama sungai ookaliyasa.
Rakyat bersorak atas kemenangan Raden Pranaja, hidup pangeran mereka, hidup Raden
Pranaja.
Cerita pertarungan Raden Pranaja dengan sang ular raksasa menjadi sebuah kisah
yang melegenda. Diceritakan secara turun temurun dari lisan ke lisan dari generasi ke
generasi. Terus berkembang menjadi cerita rakyat yang terkenal di desa Ujungmanik,
kecamatan Kawunganten.