Nama Anggota :
1. Rahma Nurfitri (J1D021025) Kelas A
2. Atik Rahayu (J1D021042) Kelas B
*//
ALUR TUJUAN PEMBELAJARAN
Halaman rumah dengan bangku rakit bambu panjang dan satu meja bundar menghiasi.
Sebuah tempat yang menyimpan berjuta kenangan sangat kurindukan dan kini hanya dapat
kugenggam dalam ingatan. Dahulu setiap sore, aku dan ayah selalu bercengkerama di sana,
bersenda gurau sembari menikmati gorengan. Sangat hangat dalam balutan langit senja yang
menawan. Namun, kini tak dapat kurasakan lagi dalam tiga tahun terakhir karena tersisa aku
sendiri di sini.
Tiba-tiba ponselku berdering menampilkan nama sahabatku di layar dengan gambar
bersama orang-orang yang kukenang.
“Assalamualaikum, Risa. Ada apa?” ucapku menjawab panggilannya.
“Yo-na. Hiks… hiks…” jawabnya sambal terisak.
“Tenang dulu, Ris. Tarik napasmu dan bicaralah pelan-pelan,” ujarku menenangkan.
Tangisan Risa semakin terdengar dan aku pun sebenarnya khawatir akan keadaannya.
“Ayahku, Na. Sa-kitnya udah parah dan eng-gak bisa diselamatkan la-gi, Na,” ucap
Risa terbata-bata.
Seketika aku membeku, bibirku kelu seakan dunia terhenti sesaat. Jujur aku sangat
terkejut mendengar kabar duka ini. Baru kemarin aku menjenguk Om Fadli di rumah sakit,
dia masih sempat bergurau hingga mengundang gelak tawa kami. Sekelebat pikiranku
menerawang jauh pada kejadian tiga tahun lalu. Rasa menyesal masih terasa hingga kini
karena aku tak bisa melakukan apapun. Pembunuhan di rumah besar ini hanya meninggalkan
luka dan membuat duniaku hancur berkeping-keping. Peristiwa itu merenggut seluruh nyawa
keluargaku dan hanya aku satu-satunya yang selamat.
Duar!
Suara tembakan yang melekat dalam ingatanku meninggalkan rasa trauma mendalam
yang menghantuiku setiap malam. Seberapa pun usaha yang kulakukan, bayangan malam
nahas itu membuat diriku selalu menyalahkan takdir yang aku rasa tidaklah adil.
“Na, aku enggak siap kehilangan Ayah,” ujar Risa membuyarkan lamunanku.
Terdengar isak tangis banyak orang di sana, air mataku pun berlinang mengingat sosok Om
Fadli yang sangat baik seperti ayahku sendiri.
“Aku paham, Ris. Kehilangan memang bukanlah hal yang kita inginkan, tetapi tak
ada yang bisa kita perbuat jika sudah menjadi kehendak-Nya. Ayahmu enggak sakit lagi
sekarang, dia sudah bahagia di surga-Nya. Aku turut berdukacita dan kamu harus tetap
semangat. Ayahmu pasti enggak mau kamu sedih terus, aku tahu kamu kuat,” jawabku
menyemangatinya.
Tiga tahun lalu Risa selalu setia menghiburku dalam kesedihan. Sekarang aku juga
ingin mengupayakan hal yang sama. Risa berharap aku bisa menemaninya sampai prosesi
pemakaman ayahnya selesai. Namun, tempat itu seperti membuka luka lama dan sangat
kuhindari selama tiga tahun ini. Setelah kepergian keluargaku, aku belum pernah berziarah ke
makam karena berat bagiku melihat batu nisan bertuliskan nama mereka.
“Na, mau kan?” ujarnya lagi karena aku masih diam mempertimbangkan semuanya.
“Eh… iya, aku pasti datang,” jawabku ragu-ragu.
“Makasih banyak, Na. Nanti siang pukul 11 prosesinya akan dimulai, aku tutup
dulu,ya,” balasnya sedikit tenang sembari menutup panggilan.
Aku memutuskan untuk mandi dan bersiap ke rumah Risa. Dengan pakaian dan hijab
berwarna hitam, aku melangkah ragu memasuki mobil sembari melambaikan tangan pada
nenekku yang berdiri di teras rumah..
“Apakah aku sudah siap? Inikah saatnya berdamai dengan keadaan? Kuatkan aku ya
Allah.” Ujarku bermonolog sendiri di perjalanan. Pikiranku yang kalut menimbulkan perang
batin dalam diriku.
Sekitar 30 menit, aku tiba di rumah Risa. Papan duka cita berjejer di depan tenda
dengan bendera kuning yang terlihat jelas. Tangisan pilu menyayat hati terdengar dari
keluarga yang ditinggalkan. Tetangga mulai hadir untuk berbelasungkawa. Dengan perlahan
aku berjalan masuk seolah melewati rangkaian nostalgia tiga tahun yang lalu. Aku melihat
lelaki paruh baya yang terbaring dengan tertutup kain jarit dan seorang gadis memeluknya
sambil menangis. Aku gadis lugu yang tak pernah membayangkan semua keluargaku pergi
untuk selamanya. Aku berharap hari itu hanyalah mimpi dan disaat aku terbangun semua
akan baik-baik saja.
“Ayah! Ibu! Bangun! Siapa yang pergi tanda tangan di rapor Yona nanti? Siapa yang
bikin bakwan kesukaan Yona? Yona takut sendirian. Hiks… hiks…”
Aku pun kembali tersadar dan tak terasa pipiku sudah basah dengan air mata.
Perlahan aku mendekati Risa yang memeluk ayahnya sambil menangis dan aku berusaha
menenangkan dengan menepuk-nepuk punggungnya.
Akhirnya kami mulai ke tempat pemakaman. Setelah semua prosesi pemamakan
selesai, satu per satu orang meninggalkan makam hingga tersisa beberapa keluarga Risa saja.
“Sa, aku mau ziarah ke makam keluargaku dulu, ya,” ujarku dengan senyuman tipis.
“Kamu sudah siap, Na? Maaf jika aku membuatmu teringat kenangan pahit itu. Mau
aku temani?” ucap Risa dengan nada sedih.
“Enggak apa-apa, Ris. Aku sendiri saja, aku sudah memutuskan untuk berdamai
dengan semuanya. Kenangan memang akan selalu ada, tinggal bagaimana kita memilih untuk
mengingat hal yang indah saja dan melupakan yang buruk,” balasku sambil beranjak pergi.
Kemudian, aku berjalan ke arah makam keluargaku yang berjarak beberapa meter.
Aku menaburkan bunga yang kubeli ketika perjalanan tadi dan tak lupa mendoakan mereka
dengan mata berkaca-kaca.
“Assalamualaikum, Yah, Bu. Apa kabar? Maaf Yona enggak pernah datang ke sini.
Bukan karena Yona lupa atau enggak sayang, tapi Yona belum siap. Sekarang Yona mau
mencoba terima semuanya. Yona mau buka lembaran baru dengan berdamai akan takdir yang
harus Yona jalani. Kita akan berjumpa lagi di titik terbaik menurut takdir Tuhan. Tunggu
Yona, ya. Bahagia di sana, Yona sayang kalian. Yona pamit dulu,” ucapku lirih sembari
mengusap batu nisan.
Entah sejak kapan Risa berdiri di belakangku. Dia tersenyum seakan menyalurkan
kehangatan untuk saling menguatkan.
“Ayo kita berjuang bersama, buat mereka bangga. Jadikan duka sini sebagai awal
suka cita,” ujar Risa sambil menggenggam tanganku meninggalkan tempat pemakaman.
3. Rubrik Penilaian
Pada subbab menu ini, terdapat rubrik penilaian, antara lain:
a. Penilaian sikap, observasi dilakukan oleh teman sebaya satu kelompok.
b. Penilaian kognitif, tes tertulis dengan mengerjakan kuis di Google Form dan hasil
diskusi kelompok.