Anda di halaman 1dari 13

TUGAS MATA KULIAH APRESIASI PROSA DAN DRAMA

Disusun Oleh:

Atik Rahayu (J1D021042)

Dosen Pengampu:

Nia Ulfa Marta, S. Pd., M. Pd.

PPROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIERSITA JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2022
ANALISIS DRAMA “TANPA PEMBANTU” KARYA A. ADJIB HAMZAH

PERKENALAN

Tahap pengenalan dalam naskah drama “Tanpa Pembantu” karya A. Adjib Hamzah
dimulai dari awal cerita dimulai, yaitu ketika tokoh bernama Lisawati mengunjungi
Sapari di kediamannya dengan tujuan utuk melihat keadaan Sapari yang berhari-hari tidak
berangkat kuliah. Sapari sendiri merupakan mantan kekasih dari Lisawati. Pada tahap
pendahuluan inilah faktor yang mematik adanya konflik utama terjadi. Lisawati yang
notabene merupakan mantan kekasih dari Sapari terus menerus mengungkit kisah masa
lalu mereka. Padahal, sekarang Sapari merupakan lelaki yang telah berkeluarga bahkan
telah memiliki seorang anak. Kunjungan Lisawati kerumah Sapari itulah yang kemudian
mematik kecemburuan dari istri Sapari yaitu Yulianti. Berawal dari rasa cemburu Yulianti
yang melihat seorang gadis muda berkunjung keruamhnya dikala ia sedang pergi, hal
tersebut kemudian memicu konflik-konflik lain dalam cerita.

Kutipan:

“Di ruang tamu keluarga Sapari masih pagi. Kursi panjang dan sebuah kursi tamu
berikut menjanya terletak di kiri. …”

“… Lisawati duduk di kursi belakang. Ia adalah gadis jelita, berusia sekitar 20


tahun, mengenakan pakaian dandanan mutakhir.”

“… Yuliati: Ya, Mbok. (melangkah ke belakang).”

KONFLIK DAN PUNCAK

Tahap konflik dimulai ketika tokoh Yulianti pulang dari kerja, kemudian ia terlibat
cekcok dengan sang suami yaitu Sapari terkait dengan masalah pembagian tugas rumah
tangga. Konflik diperparah saat Yulianti dibakar api cemburu tatkala mengetahui seorang
wanita muda mengunjungi suaminya. Perdebatan terus berlangsung, kedua pasangan
suami istri itu saling melempar dan menyanggah argumen. Konflik kian memuncak ketika
kedua tokoh tersebut dikuasai amarah dan tidak ada satupun pihak yang mau mengalah.
Yulianti meminta Sapardi untuk berhenti kulaih, sedang Sapari tidak berkenan jika harus
menghentikan studinya. Sapari merasa kewibawaannya sebagai seorang kepala rumah
tangga telah terenggut. Sedangkan Yulianti yang terbakar api cemburu, takut suaminya
ada main api dibelakangnya dengan teman kuliahnya. Kemudian, Konflik mulai sedikit
mereda, ketika Sapardi mulai bisa menguasai emosinya dan mencoba untuk mereda
pertikaian.

Kutipan:

“… Sapari: Saya pikir-pikir, Bu, sebaiknya kita minta tolong orang sebelah untuk
memberesi keperluan dapur ini. Yulianti: (dari dalam) O, begitu kebijaksanaanmu?”

“… Yulianti: Rupanya kedatangan nona cantik tadi telah merombak pikiranmu.”

PENYELESAIAN

Tahap penyelesaian pada naskah drama “Tanpa Pembantu” terjadi ketika Sapardi dan
Yulianti mulai bisa menurunkan ego masing-masing dan mau mendengarkan pendapat
satu sama lain. Kendati demikian, sisa-sisa perdebatan antara keduanya masih terasa pada
tahap penyelesaian ini.

Kutipan:

“… Yulianti: Baiklah, Mas. Baiklah kita akhiri semua ini.”

“… Sapari: Persetujuan kita terima? Artinya kita mengadakan gencatan senjata?


Tidak baka tembak-menembak denagn kata-kata tajam lagi? Yulianti: Saya terima”

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dalam naskah drama “Tanpa Pembantu” karya A. Adjib
Hamzah adalah cerita berpusat pada konflik hubungan suami istri yang berselisih
pendapat terkait dengan pembagian tugas dalam rumah tangga. Pada mulanya hubungan
keduanya terlihat suportif dan baik-baik saja, sang suami dengan ikhlas menggantikan
tugas rumah sang istri yang sibuk berkeja selama pembatu mereka pulang kampong.
Namun perselisihan mulai terjadi tatkala sang suami meminta untuk dicarikan pembantu
sementara agar dapat meringankan bebannya yang saat itu masih menjadi seorang
mahasiswa tingkat akhir. Dari situlah perbedaan pendapat mulai muncul, konflik
diperparah dengan bumbu-bumbu rasa cemburu dan kecurigaan sang istri terhadap sang
suami. Kedua belah pihak merasa paling benar dan merasa paling dirugikan apabila
menerima pendapat lawan. Dari cerita dalam drama ini kita dapat mengambil suatu
pembelajaran bahwa dalam kehidupan berumah tangga akan ada berbagai terpaan badai
yang dapat menggoyahkan kekokohan hubungan yang telah terjalin. Entah itu masalah-
masalah kecil yang menjadi besar atau masalah yang memang sungguh besar, cobaan-
cobaan itu pasti akan datang. Maka dari itu, setiap pasangan suami istri harus dapat
memposisikan perannya dalam keluarga. tidak merasa paling benar atau merasa paling
dirugikan. Karena sejatinya, menikah adalah suatu hal yang dilakukan bersma-sama,
maka setiap tanggung jawab yang ada bersama dengan pernikahan itu tentu harus
ditanggung bersama-sama pula.
NASKAH DRAMA

KEPANITIAN

Karya: Atik Rahayu

Jam dinding menujukan pukul satu dini hari, suasana tegang melingkupi ruang
rapat panitia Makrab jurusan, wajah-wajah tertunduk kaku, gurat letih melekat seakan
memperjelas padatnya kegiatan mereka sejak pagi buta. Namun seakan belum usai
dengan segala kesibukan, agenda penutup, yaitu evaluasi kegiatan harus berjalan dengan
sangat panas. Pandangan tak puas sang ketua menusuk setiap anggotanya.

Anjar : “Hari ini kacau, benar-benar kacau!” (ruangan hening).

Anjar : “Aku sudah mengingatkan jauh-jauh hari bukan? Untuk memastikan semuanya
aman, tapi apa ini!” (menggebrak meja).

Semua orang di dalam ruangan terhenyak melihat wajah murka sang ketua.

Arini : “Anjar, tenangkan dirimu. Ini memang salah, tapi kita bisa membicaranya
dengan cara yang lebih baik.”

Anjar : “Cara yang baik kau bilang! Kita hampir menghilangkan nyawa banyak orang
Arini! Nyawa manusia, camkan itu dalam otakmu. Bagaimana aku bisa bersikap waras
dalam situasi seperti ini.”

Guntur : “Oi, kau sudah berlebihan Anjar. Mereka hanya tersesat, lagi pula sekarang
sudah baik-baik saja.”

Anjar : “Aku tidak berlebihan, Gun. Kau tidak tau betapa seriusnya kejadian tadi. Anak-
anak tersesat puluhan kilo meter di tengah hutan belantara, mereka bahkan melewati
medan-medan dengan tebing curam di sisi-sisinya. Bagaiman jika tadi mereka tidak
menemukan jalan keluar, bagaimana jika tadi mereka tidak ditemukan, bagaimana jika
tadi ada salah satu anak yang terjatuh ke jurang. Sungguh celaka, Gun. Sungguh!”
(dengan nada yang masih tinggi).
Guntur : “Kau terlalu banyak berandai-andai, Njar. Mereka baik-baik saja. Aku tahu kita
juga salah. Tapi ini semua adalah kesalahan yang tidak kita sengaja.”

Anjar : “Semua ini bisa kita hindari, jika sedari awal kita bekerja dengan benar, Gun.”
(Suara Anjar sedikit tercekat).

Orang-orang tertegun dan merasa bersalah. Tiba-tiba, Lail salah satu anggota forum
berdiri.

Lail : “A a aku minta maaf. Aku sungguh minta maaf. Seharusnya aku bisa menjadi
pendamping kelompok yang lebih baik lagi. Seharusnya aku ikut saat survei jalur
outbond. Jika saja aku tau dengan baik jalurnya, semua ini tidak akan terjadi. Anak-anak
tidak akan tersesat.” (ucap Lail sambil menahan tangis).

Merasa iba, Arini pun menghapiri Lail dan mengelus lembut pundaknya.

Arini : “Dalam kasus ini, kita semua salah, Lail.”

Lail : “Tidak Arini. Aku yang paling bersalah. Oh aku sangat merasa bersalah pada
anak-anak itu. Mereka harus berjalan sangat jauh dan kelelahan saat seharusnya mereka
bersenang-senang. Dan dengan bodohnya, aku yang seharusnya bisa menjadi penunjuk
jalan mereka justru turut tersesat.”

Rinai : “Hentikan Lail. Semua orang dalam ruangan ini turut bersalah. Banyak yang
harus kita benahi dalam sistem kerja kita.” (Rinai, koordinator lapangan pada kegiatan
hari itu menyahut).

Anjar : “Aku setuju dengan Rinai. Itu yang ingin aku tekankan sejak tadi teman-teman.
Sejak awal cara kerja kita sudah salah.”

Guntur : “Oh aku tidak setuju jika kau berkata demikian, Njar. Kau ini berbicara seakan
tidak mengharagai kerja keras kita. Panitia sudah berusaha bekerja dengan baik dan
maksimal. Kegiatan sudah dipersiapkan dengan matang-matang. Semua ini murni
kecelakaan. Hal biasa yang bisa terjadi dalam suatu kegiatan.”
Anjar : “Tadi sudahku katakan, Njar. Semua ini bisa kita hindari jika kita bekerja dengan
baik.”

Guntur : “Kita juga sudah berkerja dengan baik, Njar!” (Guntur mulai tersulut emosi).

Anjar : “Dengan baik kau kata. Jika sedari awal kita memasang tanda yang jelas pada
jalur outbound, mereka tidak akan salah berbelok saat di persimpangan jalan. Jika saja
panitia tidak banyak alasan dan semua ikut saat survei jalur outbound tidak akan ada
orang yang tidak tau dengan baik jalur yang sudah ditentukan. Lalu, jika kau tidak dengan
arogan mengatakan kita sudah bekerja dengan baik dan maksimal, kau tidak akan
meninggalkan pos sebelum semua peserta dipastikan melewati jalur yang benar.” (Suara
yang meninggi).

Guntur : “Oi, sekarang kau pun turut menyalahkanku. Sejak awal aku hanya ditugaskan
untuk menjaga pos, memberikan pertanyaan-pertanyaan konyol pada peserta.”

Anjar : “Tapi jika kau tinggal sedikit lebih lama, kau bisa melihat saat kelompok terakhir
salah memilih jalur, Gun. Tempat pertama kali mereka salah memilih jalur dapat terlihat
dari pos yang kau jaga!”

Guntur : “Saat itu semua kelompok sudah melewati posku, Njar. Lalu untuk apalagi aku
menjaga pos yang tidak akan terlewati lagi. Jika mereka tersesat itu bukan salahku.”

Anjar : “Lihat, kau memang arogan, Gun.”

Guntur : “Apa kau bilang, atas dasar apa kau bilang aku arogan?” (Guntur berdiri dengan
emosi).

Anjar : “Kau tidak mau disalahkan, Gun. Saat sudah jelas bahwa kau ikut bersalah.”
(Sambil menunjuk wajah Guntur)

Guntur : “Kau terus menyudutkanku, Njar. Seakan kesalahanku ini sangat fatal. Lalu apa
kerjamu sebagai ketua, Njar. Saat ada masalah kau hanya bisa menyalahkan anggotamu
saja, Huh?”
Anjar : “Perkataanmu keterlaluan, Gun. Aku tidak sedang menyalahkan kalian. Aku
ingin kita bersama-sama melihat atas apa yang telah terjadi tadi. Mengevaluasi kinerja
kita, agar kedepannya bisa lebih baik lagi.”

Guntur : “Persetan dengan evaluasi, Njar. Sejak awal tutur katamu sudah menyudutkan.
Yang paling arogan di sini justru kau. Seharusnya kau melihat wajah-wajah lelah
anggotamu. Sejak pagi buta, Njar, sejak pagi kita bekerja tanpa istirahat. Dan kini kau
justru sibuk menyalahkan semua orang, tanpa sedikitpun memberi penghargaan atas apa
yang telah kita lakukan.”

Deg, Anjar seketika terdiam. Ia merasa tertampar, sejak tadi memang pikirannya kalut.
Melihat para peserta yang tersesat ditemukan dengan wajah-wajah letih. Amarah
menguasai egonya, ia mempertanyakan kembali kemampuan dirinya dalam menjadi
ketua. Seharusnya ia tidak berbicara kala emosi masih menguasainya.

Rinai : “Hentikan, Guntur, Anjar. Kalian sibuk memperdebatkan hal yang tidak jelas.
Aku tahu kalian tengah lelah, sehingga amarah dengan mudah menguasai. Tapi tolong
hentikan. Sekarang bukan saatnya saling menyalahkan. Kita semua salah, dan harus
mengakui itu.”

Guntur kembali duduk dengan dongkol. Ia masih teringgung dengan perkataan Anjar.

Arini : “Rinai benar teman-teman. Rapat evaluasi ini tidak akan menemukan titik temu
jika kalian terus saling menyalahkan. Semua yang telah terjadi hari ini mari kita jadikan
pembelajaran agar kedepannya, masalah serupa tidak terjadi lagi. Kita kerja sebagai suatu
tim, maka saat satu orang salah, semua ikut salah.”

Anjar : (merasa bersalah) “Aku minta maaf teman-teman, jika perkataanku tadi terlalu
meyinggung dan berlebihan. Emosi menguasaiku. Aku merasa telah gagal menjadi
seorang ketua. Aku tidak bisa memimpin kegiatan ini dengan baik. Aku sungguh minta
maaf.”

Arini : ‘Tidak, Njar. Kau sudah berusaha dengan maksimal, kau pemimpin yang baik.”
(ucap Arini seraya tersenyum)
Suasana tegang berubah menjadi lebih santai, wajah-wajah tertunduk kaku mulai sedikit
bisa mengembangkan senyum.

Anjar : “Guntur”

Guntur : “Hm.”

Anjar : “Aku minta maaf, kawan. Perkataanku tadi berlebihan padamu.”

Guntur : “Huh, sudahlah, jangan dibahas. Tadi sedikit memalukan, kita bertengkar seperti
anak kecil.” (Ucap Guntur sambil tersenyum kikuk).

Hahaha. Seisi ruangan tertawa.

Anjar : “Kalian luar biasa hari ini, teman-teman. Terima kasih sudah melakukan yang
terbaik. Semua ini akan menjadi kenangan yang tak terlupakan. Oi Lail, kau pasti jadi
orang yang paling mengingat hari ini. Jauh sekali tadi kau tersesat.” (Seisi ruangan
tertawa kembali).

Lail : “Diam kau, Njar. Wajahku sudah sesembab ini masih saja kau goda.”

Anjar : “Hahaha, aku hanya ingin membuat kau tertawa. Hari ini kau keren, sejatinya
kau telah berhasil menjadi pendamping kelompok, Lail. Kau telah membawa anak-anak
menemukan jalan pulang. Kau menyelamatkan mereka.” (Anjar tersenyum bijak).

Seluruh anggota rapat bersorak, ramai bertepuk tangan.


ANALISIS DRAMA “KEPANITIAN” KARYA ATIK RAHAYU

PERKENALAN

Tahap perkenalan pada drama berjudul “Kepanitian” dimulai dari awal carita,
yaitu ketika penulis menjelaskan setting tempat, waktu, dan suasana ketika cerita dimulai.
Tahap perkenalan ini tidak telalu banyak dimasukkan dalam naskah drama
“Kepanitiaan”. Tahap perkenalan seperti melesap bercampur dengan dimulainya konflik.
Penulis dengan cepat mulai mengisahkan konflik utama drama, yaitu ketika tokoh Anjar
yang berperan sebagai seorang ketua pelaksana menyampaikan kekecewaanya terhadap
para anggotanya dengan emosi yang memuncak.

Kutipan:

“Jam dinding menujukan pukul satu dini hari, suasana tegang melingkupi ruang
rapat panitia Makrab jurusan, wajah-wajah tertunduk kaku, gurat letih melekat seakan
memperjelas padatnya kegiatan mereka sejak pagi buta. Namun seakan belum usai
dengan segala kesibukan, agenda penutup, yaitu evaluasi kegiatan harus berjalan dengan
sangat panas. Pandangan tak puas sang ketua menusuk setiap anggotanya. …”

“… Aku sudah mengingatkan jauh-jauh hari bukan? Untuk memastikan semuanya


aman, tapi apa ini!”

KONFLIK

Tahap konflik dalam drama “Kepanitiaan” karya Atik Rahayu dimulai ketika
tokoh Anjar mulai tersulut emosi atas kejadian yang telah terjadi di acara mereka. Anjar
menyampaikan kekecewaan atas cara kerja para panitia dalam berjalannya kegiatan.
Anjar merasa bahwa panitia tidak melaksanakan tugas dengan baik dan benar sehingga
kesalahan fatal terjadi. Kesalahan yang baginya tidak bisa ditolerir lagi karena
menyangkut nyawa orang banyak. Namun, cara Anjar menyampaikan kekecewaanya
menyinggung tokoh Guntur, ia merasa Anjar terlalu berlebihan dalam menyikapi suatu
masalah. Dari sinilah perbedaan pendapat mereka dimulai, mereka saling melayangkan
tuduhan dan sanggahan. Diskusi kian memanas saat tokoh-tokoh yang terlibat mulai
tersulut emosi, Anjar yang masih dikuasai rasa kekecewaan dan Guntur yang keras
kepalah tak ingin disalahkan. Pada tahap inilah, cerita mulai memasuki puncak drama.

Kutipan:

“… Cara yang baik kau bilang! Kita hampir menghilangkan nyawa banyak orang
Arini! Nyawa manusia, camkan itu dalam otakmu. Bagaimana aku bisa bersikap waras
dalam situasi seperti ini. …”

“…Lihat, kau memang arogan, Gun. …”

PUNCAK

Dalam drama “Kepanitian” tahap puncak (Climax) dimulai saat tokoh Guntur
berdiri dengan emosi karena tidak terima dinilai arogan oleh tokoh Anjar. Konflik dalam
ceita telah berada pada tahap klimaks karena kedua tokoh telah terkuasai oleh emosi.
Mereka saling menyalahkan atas kejadian yang telah terjadi. Anjar yang tidak mengerti
dengan jalan pikiran Guntur, dan Guntur yang tersinggung dengan perkataan Anjar.
Permasalahan mereka sudah berada pada fase paling puncak saat situasi kian memanas
dan tidak ada satu tokoh pun yang berkenan mengalah.

Kutipan:

“… Apa kau bilang, atas dasar apa kau bilang aku arogan?” (Guntur berdiri
dengan emosi). ...”

“…Persetan dengan evaluasi, Njar. Sejak awal tutur katamu sudah menyudutkan.
Yang paling arogan di sini justru kau. Seharusnya kau melihat wajah-wajah lelah
anggotamu. Sejak pagi buta, Njar, sejak pagi kita bekerja tanpa istirahat. Dan kini kau
justru sibuk menyalahkan semua orang, tanpa sedikitpun memberi penghargaan atas apa
yang telah kita lakukan. …”

PENYELESAIAN

Tahap penyelesaian dalam naskah drama “Kepanitiaan” dimulai ketika Anjar


merasa tertampar atas perkataan Guntur yang seperti mengembalikan kewarasannya.
Tahap ini diperkuat dengan kehadiran tokoh bernama Rinai yang mencoba menghentikan
perdebatan antara Guntur dan Anjar dengan memberikan pengertian bahwa masalah yang
mereka hadapi bukan tentang siapa yang salah, namun tenatang cara bagaimana
menyikapinya. Tokoh lain seperti Arini pun muncul dan membantu untuk menenangkan
kedua tokoh yang memegang kendali dalam konflik cerita. Pada tahap penyelesaian ini,
tokoh Anjar akhirnya lebih bisa menguasai emosinya dan berpikir lebih jernih, pun sama
dengan tokoh Guntur yang mulai bisa meredakan emosinya. Pada akhirnya kedua tokoh
saling damai dan mulai melontarkan lelucon-lelucon yang dapat mencairkan suasana
yang sebelumnya begitu tegang.

Kutipan:

“… Deg, Anjar seketika terdiam. Ia merasa tertampar, sejak tadi memang


pikirannya kalut. Melihat para peserta yang tersesat ditemukan dengan wajah-wajah letih.
…”

“…Hahaha, aku hanya ingin membuat kau tertawa. Hari ini kau keren, sejatinya
kau telah berhasil menjadi pendamping kelompok, Lail. Kau telah membawa anak-anak
menemukan jalan pulang. Kau menyelamatkan mereka.” (Anjar tersenyum bijak).

Seluruh anggota rapat bersorak, ramai bertepuk tangan.”

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dalam naskah drama “Kepanitiaan” karya Atik Rahayu
adalah cerita dimulai ketiaka rapat evaluasi kegiatan dilaksanakan. Sebuah kecelakaan
yang terjadi yaitu tersesatnya beberapa peserta kegiatan menjadi sumber konflik utama
dalam cerita. Konflik kian memuncak saat tokoh Anjar dan Guntur mulai dikuasai emosi
dan berbicara dengan nada yang tinggi. Melihat teman-temannya saling menyalahkan,
Rinai dan Arini sebagai tokoh penengah mencoba untuk menengkan kedua tokoh yang
tengah telibat adu mulut. Pada akhirnya semua tokoh dapat melihat permasalahn dengan
sudut pandang yang lebih baik, mereka tidak lagi dikuasai oleh emosi dan dapat berpikir
dengan jernih. Drama “Kepanitian” mengajarkan kita tentang bagaiamana suatu
kepanitiaan yang didalmnya terdapat beragam orang dengan visi yang sama namun
kepala yang berbeda. Tentu akan dihadapi berbagai permasalahan pelik dan juga
perbedaan pendapat, namun hal tersebut tidak akan merusak esensi dalam penaitian itu
sendiri. Karena sejatinya kepanitiaan adalah suatu fase dimana kita bisa melihat suatu
permasalahan dengan lebih banyak sudut pandang.

Anda mungkin juga menyukai