Anda di halaman 1dari 5

SEPUCUK CERITA AWANG

Awang adalah seorang mahasiswa program studi hukum di salah satu universitas di Indonesia,
tepatnya di Jakarta. Awang adalah seorang aktivis sekaligus seorang kutu buku. Awang sangat
suka sekali dengan buku-buku sejarah dan juga buku-buku hukum. Selain itu Awang suka sekali
membaca buku-buku yang dilarang edar pada masa itu.

Pada suatu sore hari sepulang kuliah, Awang menyempatkan diri untuk membeli buku terlarang
keluaran terbaru di salah satu tempat. Awang membeli buku itu di toko terlarang yang tempatnya
juga tersembunyi. Saat membeli buku, Awang tidak sengaja menjatuhkan buku milik seseorang
yang ada di depannya. “Mohon maaf, saya tidak sengaja.” Ucap Awang sambil mengambil buku
yang jatuh di lantai. “Tidak apa-apa, santai aja.” Ucap Wanita itu. “Ngomong-ngomong, aku
baru pertama kali lihat ada pengunjung toko ini selain aku.” Ucap wanita itu. “Eh, iya. Aku kira
hanya aku saja yang suka ke toko buku ini, ternyata ada orang selain aku. Perkenalkan aku
Awang.” Ucap Awang. “Oh, hai Awang! Aku Lentera.” Ucap wanita itu. Setelah kejadian itu,
Awang dan Lentera mulai berbincang-bimcang mengenai buku-buku yang mereka suka baca
hingga bertukar cerita tentang isi buku yang telah mereka baca. Terkesannya akrab sekali
walaupun baru saja berkenalan, tetapi itulah Awang. Orang yang mudah sekali akrab dengan
siapa saja. Setelah bertemu dengan seorang wanita yang bernama Lentera. Dan disitulah cerita
Awang dimulai.

Lentera mengenalkan suatu organisasi, yaitu organisasi sekumpulan mahasiswa yang terdiri dari
berbagai macam mahasiswa maupun mahasiswi dari universitas dan program studi yang berbeda.
Organisasi itu bernama OSEMA. Awang tertarik dengan organisasi itu, di dalam organisasi itu
tidak hanya berdiskusi mengenai tugas kuliah maupun buku-buku bacaan yang telah mereka
baca. Tetapi, mereka juga berdiskusi mengenai Gerakan mahasiswa untuk mencari kebenaran
tentang hilangnya tokoh penting sekaligus saksi mata korupsi pemerintah pada saat itu dan
mendorong pemerintah agar tidak membungkam kebenaran yang telah ada.

Tibalah dimana Awang mengikuti kegiatan diskusi organisasi OSEMA yang akan melakukan
aksi mendorong pemerintah agar tidak membungkam kebenaran mengenai konflik hilangnya
saksi kejadian kelam yang belum saja terusut tuntas hingga saat ini. Mereka banyak sekali
bertukar pendapat dan sempat terjadi debat antara mereka. Tetapi itu adalah hal yang wajar bagi
mereka. “Guys-guys, gimana kalo missal kita besok diberi kesempatan untuk ketemu sama
pemerintah langsung? Mau ngomong apa aja? Harus siapin kata-kata yang bagus nih dan topik
yang jelas.” Ucap pemimpin organisasi tersebut. “Ya masa gitu aja tanya, jelas-jelas tujuan awal
kita ya buat ngedorong pemerintah buat mengusut tuntas hilangnya tokoh-tokoh penting yang
jadi saksi di saat itu.” Ucap anggota lainnya yang tak kalah semangat. “Gini aja, awalnya kita
kumpul dulu di depan Gedung pemuda Indonesia, terus kita mulai deh aksi kita. Inget!!! Jangan
ada yang ngerusak fasilitas-fasilitas kota, sama aja kalian kaya orang-orang yang dibalik layar
itu.” Ucap Awang. “Setuju gua wang, keren lo!” Ucap serentak para anggota organisasi yang
mengikuti diskusi pada malam itu. Pada akhir diskusi mereka akhirnya menentukan aksinya pada
tanggal 17 November.

Hari berlalu, tibalah dimana tanggal 17 November dimana hari yang mereka tunggu-tunggu
untuk melakukan aksi. Mereka berkumpul di depan Gedung pemuda Indonesia, mereka
melakukan aksi mereka dengan lancar tanpa merusak fasilitas-fasilitas yang ada. Mereka
mengutarakan semua apa yang dirasakan oleh mereka, mereka meminta keadilan yang seadilnya-
adilnya tanpa adanya pentupan kebenaran dengan membungkam saksi-saksi yang ada.

Hari sudah mulai petang, Awang dan teman-temannya memutuskan untuk ke rumah masing-
masing. Tetapi sebelum itu mereka berkumpul di Stasiun kereta api Manggarai. Satu persatu dari
mereka sudah menaiki kereta sesuai dengan tujuan masing-masing. Dan sekarang hanya
bersisakan Awang, Lentera dan Bagas. Saat mereka menunggu kereta tiba, mereka mulai sadar
bahwa mereka sedang diintai oleh orang yang tidak mereka kenal. “Eh, kalian sadar ngga si
daritadi kita diliatin terus sama orang-orang itu.” Ucap Lentera. “Iya, gua sadar kok. Diem dulu,
jangan bertingkah seolah-olah kita tahu kalo kita lagi diintai. Kemungkinan besar ini ada
hubungannya sama aksi kita tadi.” Ucap Awang. “Tenang guys, gua juga udah sadar dari awal
mulai dari kita di depan gedung pemuda Indonesia mereka juga udah ngawasin kita. Jadi emang
kemungkinan besar ini ada hubungannya sama aksi kita tadi. Cepet hubungin anak-anak yang
lain, biar mereka jaga-jaga kalo kita semua lagi diintai.” Ucap Bagas. Lentera segera
menghubungi teman-temannya, dan begitu pula Awang yang lamgsung menghubungi adik
perempuannya. Mendengar kabar itu teman-temannya sangat panik dan banyak sekali yang
memberontak untuk kembali ke tempat awal. Tetapi, Awang menolak permintaan mereka “Jika
kita semua diculik, lalu bagaimana nasib organisasi kita selanjutnya? Bagaimana dengan visi dan
misi kita yang belum tercapai? Sedangkan jika kita semua terbawa, belum tentu kita kembali
dengan keadaan selamat. Jangan gegabah, tenangkan pikiran kalian, kalian harus mencari cara
untuk mengamankan anggota organisasi yang lainnya.” Ini adalah isi pesan di group organisasi
yang dikirimkan oleh Awang. Di sisi lain, adik perempuan Awang yang mendengar berita
tersebut langsung terkejut dan langsung berteriak kepada orang tuanya. Saat kedua orang tuanya
mendengar berita itu, tentu saja mereka panik. Tetapi dengan cara yang sama, Awang berusaha
untuk menenangkan mereka agar mereka tidak gegabah.

Setelah melewati perbincangan yang cukup panjang, hingga akhirnya Awang, Lentera dan Bagas
dibawa ke suatu tempat entah dimana itu berada. Tetapi yang mereka ketahui tempat itu adalah
tempat markas bawah pemerintahan. Di tempat itu mereka diinterogasi oleh sekumpulan orang
tersebut. Tidak hanya diinterogasi, mereka juga diperlakukan secara tidak manusiawi. Seperti
dicambuk dan diestrum. Hal itu ditujukkan untuk memaksa menjawab pertanyaan mereka.
“Siapa dalang dari semua aksi ini?” Ucap salah satu orang tersebut. Setelah beberapa menit,
tidak ada jawaban sama sekali dari Awang, Lentera dan Bagas. Pertanyaan itupun dilontarkan
Kembali. “Siapa dalang dari semua aksi ini? Jawab!” Ucap orang yang sama. “Kalian jawab atau
kami habisi kalian semua?” Ucapan dari orang yang sama. “Mereka tidak mau menjawab,
cambuki saja mereka sesuka hati kalian.” Ucapan orang itu tadi kepada bawahannya. Mereka
benar-benar mencambukki tanpa memandang bulu, bahkan Lentera saja dicambuki tanpa diberi
ampun. Benar-benar sangat tidak manusiawi, betapa kejamnya mereka, entah dimana letak belas
kasih dan hari nurani mereka. Suara cambuk perlahan-lahan mulai berhenti, kini saatnya sang
atasan akan memberi pertanyaan kepada Awang, Lentera dan Bagas. “Dari mana kalian
mengetahui berita itu? Dari mana kalian bisa mengetahui saksi mata?” Ucap orang yang sama.
Sekali lagi tidak ada jawaban dari Awang, Lentera dan Bagas. Pertanyaan itupun dilontarkan
Kembali, dan hasilnya tetap saja Awang, Lentera dan Bagas enggan untuk menjawab, mana
mungkin mereka akan menjawab pertanyaannya, jangankan untuk menjawab mereka untuk
mendengar suara saja rasanya sulit karena efek cambukan yang merambat ke seluruh tubuh
mereka. Setelah tidak ada jawaban dari Awang, Lentera dan Bagas, mereka disiksa kembali
dengan cara diestrum. Memang kejam sekali, entah apa yang mereka pikirkan hingga tega
melakukan hal seperti itu.
Tiga hari berlalu, akhirnya Awang, Lentera dan Bagas dikembalikan ke stasiun Manggarai.
Awang, Lentera dan Bagas dijemput oleh sahabat Awang yang bernama Maheswara. Mereka
bertiga langsung dibawa ke tempat teraman yang jauh dari ibu kota. Di tempat itu ada Aksara,
Mulan dan Agaska yang telah lama menunggu. Raut wajah mereka terlihat sangati khawatir. Saat
diperjalanan Maheswara mencoba untuk bertanya kepada Awang, Lentera dan Bagas apa yang
telah terjadi pada mereka saat disana. Namun, Awang, Lentera dan Bagas enggan menjawab
pertanyaan itu. Rasanya jika menjawab pertanyaan itu seperti mensayat-sayat luka yang masih
belum sempat di obati. Setelah sampainya di tempat itu, Awang langsung menghubungi
keluarganya begitu pula dengan teman-temannya yang lain. Disana Awang, Lentera dan Bagas
mendapat perawatan intensif, karena luka mereka benar-benar parah. Setelah beberapa minggu
kemudian, mereka kembali ke kota masing-masing. Awang bertemu dengan keluarganya dan
melakukan rutinitasnya seperti biasa.

Setelah kejadian itu, Awang dan temannya mengurangi acara untuk kumpul organisasi. Karena
sudah jelas mereka menjadi buronan, dan pemerintah menganggap OSEMA adalah organisasi
yang berbahaya bagi pemerintah. Awang perlahan-lahan mencoba untuk melakukan kegiatan
seperti pada umumnya, meskipun harus lebih berhati-hati jika bertemu dengan orang yang Ia tak
kenal.

Hari demi hari berlalu, dimana sekarang Awang harus Menyusun skripsi yang menandakan
bahwa Awang sebentar lagi akan lulus kuliah. Namun pada saat itu, Awang mendapat masalah
besar. Lagi-lagi Ia harus dibawa lagi untuk diinterogasi kembali. Masih dengan orang yang sama,
namun ditempat yang berbeda. Interogasi kali ini berbeda, karena hanya Awang saja yang
diinterogasi, sedangkan Lentera dan Bagas tidak. Terulang kembali Awang mendapatkan
perlakuan yang tidak manusiawi. Hal ini membuat Awang seperti membuka perban lukanya
yang belum kering. Sakit jika dirasakan, penderitaan tiada habisnya. Bahkan Ia juga harus
menyaksikan hilangnya nyawa saksi mata dimasa kelam itu di depan matanya sendiri. Rasanya
sungguh menyakitkan bagi Awang, Ia tidak tahan dengan ini semua. Rasanya ingin
membenturkan kepalanya ke dinding dengan sekuat tenaga. Dia marah, dia jengkel, dia ingin
menolong orang yang ada di depannya. Tetapi untuk berjalan saja Ia tidak sanggup, karena efek
dari penyiksaan yang Awang terima. Disaat itulah untuk pertama kalinya Awang menetaskan air
matanya. Bahkan bisa dibilang Awang adalah anak yang sanggat tangguh dan tidak pernah
menangis. Tetapi kali ini berbeda, Ia merasakan sakit yang begitu dalam saat melihat orang yang
didepannya sedang tidak berdaya dan disiksa habis-habisan, sedangkan Ia ingin menolongpun
tidak bisa. Awang memberontak, Awang berusaha untuk melawan, tetapi apa jadinya Awang
hanyalah seorang diri. Sedangkan di tempat itu banyak sekali pasukan-pasukan yang menahan
dan memukuli Awang agar dia tidak memberontak. Awang kehabisan tenaga yang membuatnya
kehilangan kesadaran. Beberapa menit kemudian, Awang terbangun dengan keadaan duduk di
kursi dengan tangan, kaki dan badan terikat dengan tali. Lagi dan lagi Awang mendapatkan
siksaan, padahal Ia baru saja siuman. Memang mereka benar-benar kehilangan hati nurani.
Entah, tidak bisa dimengerti bagaimana pola pikir mereka hingga sekejam itu. Padahal mereka
juga sama-sama manusia biasa yang tidak bisa apa-apa tanpa kehendak Tuhan. Siksaan demi
siksaan dirasakan oleh Awang, sekarang yang Ia bisa lakukan hanya berserah diri kepada Tuhan.

Setelah beberapa jam kemudian, Awang dikembalikan. Ia menghubungi keluarganya,


keluarganya langsung menjemput Awang. Melihat keadaan Awang yang begitu lemas dan
mengalami banyak luka lebam membuat hancur hati ibu Awang. Mereka akhirnya segera
melarikan ke rumah sakit terdekat.
Beberapa bulan kemudian, akhirnya Awang menyelasaikan skripsinya dan lulus dengan menjadi
lulusan terbaik. Setelah merayakan kelulusan itu, Awang mencoba untuk mengubungi anggota-
anggota OSEMA untuk mengadakan rapat aksi kembali. Mereka semuapun mensetujui. Setelah
sekian lama, akhirnya mereka berkumpul kembali dan bersiap untuk menungakan ide-ide
cemerlang mereka. Mereka kali ini Menyusun ide-ide yang sangat cemerlang. Mereka
memancing pemerintah untuk menginterogasi mereka dan melakukan tindakan kekerasan, lalu
mereka akan mengambil bukti kejadian untuk disebarkan kepada publik bahwa apa yang selama
ini mereka bilang itu benar.

Tibalah dimana mereka akan melakukan ide-idenya, dan benar rencana itu berhasil. Dan mereka
mempunyai bukti yang sangat kuat sekali untuk disebarkan kepada publik. Saat bukti disebarkan,
banyak yang mengira itu hanya editan semata yang ditujukkan agar memperburuk nama baik
pemerintahan negara. Tetapi ada juga yang berterimakasih karena sudah berjuang untuk
membuktikan bahwa pemerintah itu memang membungkam kebenaran yang ada.

Tidak lama setelah kejadian itu teman-teman Awang yang juga merupakan anggota dari OSEMA
diringkus lagi oleh orang yang tidak dikenal, tidak lain tidak bukan orang-orang suruhan
pemerintah. Kemudian Aksara dan Mulan secara tiba-tiba juga menghilang tanpa kabar.
Kemudian lambat-laun rekan-rekan yang lainnya pun ikut menghilang entah kemana perginya.
Dan disusul oleh Maheswara yang juga menghilang secara tibaa-tiba. Semua anggota OSEMA
diringkus oleh pemerintah, begitupula Awang yang harus merasakan rasa sakit yang sama dan
merasakan tidak adanya rasa manusiawi disini. Mereka benar-benar tidak punya hati. Tahanan-
tahanan yang berada di tempat itu ada yang dipasung selama puluhan tahun, bahkan ada yang
hingga meninggal. Lalu ada yang disetrum, dicambuk, disiram dengan air es, bahkan dari mereka
ada yang diperintahkan untuk berendam di air es selama 24 jam. Ada pula yang lebih tidak
manusiawi tahanan-tahanan diberi makanan bekas makanan anjing penjaga. Entah bagaimana
pola pikir mereka. Itu sangat memuakkan, menggelikan. Rasanya ingin marah, rasa sakit di hati
rasanya sangat pekat sekali. Jika diungkapkan dengan kata-kata saja rasanya tidak cukup.

Namun beberapa bulan kemudian, Awang, Lentera dan Bagas dikembalikan kepada keluarga
mereka. Namun anggota-anggota organisasi lainnya entah kemana perginya. Karena mereka
tidak berada di tempat yang sama. Hingga saat ini anggota-anggota lainnya tidak ditemukan.
Entah mereka melarikan diri atau mereka disiksa di dalam ruangan yang begitu pengap, kotor
dan tidak layah untuk dihuni. Dan sekarang hanyalah tersisakan Awang, Lentera dan Bagas.
Meraka berakhir dengan melanjutkan cita-cita mereka masing-masing dan menempuh jalan
hidup mereka yang telah mereka pilih. Awang menjadi seorang pengacara, Lentera menjadi
seorang ilmuwan, dan Bagas menjadi seorang penasehat.

SELESAI

Anda mungkin juga menyukai