Anda di halaman 1dari 3

Tentang Mengapa Mereka Bertahan di Jalanan

“Entah seperti apa, sih. Watak negara itu aneh. Menggusur halus hal-hal yang nggak
substansial seperti itu.” Ugik Endarto - Wahana Baca

Sinar lampu Taman Kota Pasuruan begitu terang malam itu. Larian bocah-bocah di
pelataran dan bunyi lalu lalang kendaraan menambah riuh ramainya malam Minggu.
Sementara di langit, mendung bergelayut tak memberi kepastian kapan ia akan turun.

Di sudut lain dari keramaian tersebut tampak berjejeran buku dari beraneka ragam
jenis. Mulai dari novel sastra, pengetahuan umum, filsafat, hingga bacaan anak-anak.
Bermodalkan alas tikar terlihat beberapa manusia duduk bersila. Seperti Sabtu malam
yang lalu-lalu, mereka adalah anak-anak muda yang konsisten meramaikan Taman
Kota Pasuruan dengan berdiskusi atau hanya sekedar melapak perpustakaan.
Sekelompok itulah orang-orang yang menamakan kolektif literasinya dengan nama
Wahana Baca.

Ugik Endarto, salah seorang pegiat literasi Wahana Baca tersebut bercerita sudah sejak
2017 kolektifnya rutin menggelar lapak perpustakaan jalanan. Bermula dari ngabuburit
iseng-isengan, Ugik beserta empat kawannya dari salah satu komunitas musik Under
Division berinisiatif menggelar lapakan buku.

“Ini awalnya saat puasa bagi-bagi takjil itu kan. Jadi teman-teman bagi-bagi takjil, tapi
aku punya ide untuk mendirikan perpustakaan juga. Jadi tujuannya untuk ngabuburit aja
tapi entah ternyata keterusan sampai 5 tahun ya sampai sekarang gitu,” terang lelaki
kelahiran Pasuruan 1996 itu.

Perpustakaan yang dikelola secara kolektif tersebut juga memfasilitasi pengunjung


yang ingin meminjam buku dalam jangka waktu lama. Masih seputar literasi, Wahana
Baca bukan hanya memfasilitasi pengunjung dengan peminjaman buku. Mereka juga
menyediakan sarana untuk berdiskusi baik bedah buku maupun isu-isu yang banyak
dibicarakan masyarakat. Selain itu, mereka juga rutin menerbitkan karya tulisan melalui
Akar Zine.

Antusiasme respon masyarakat Pasuruan terhadap wahana baca seakan menjadi oase
di tengah mirisnya tingkat minat baca di Indonesia. Melihat rilisan data survei yang
dilakukan Program for International Students Assessment (PISA) oleh Organization for
Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019 lalu, Indonesia
menempati peringkat ke 62 dari 70 negara. Data tersebut mengartikan jika Indonesia
merupakan negara yang termasuk 10 negara dengan tingkat literasi rendah.
Ugik sebagai salah satu inisiator yang masih konsisten hingga hari ini rupanya tak
menduga bahwa Wahana Baca bakal mendapat apresiasi yang sedemikian baik oleh
masyarakat. Berbagai kalangan masyarakat dari rentang usia anak-anak hingga orang
tua cukup sering menyambangi lapak perpustakaan yang digelarnya. Bukan hanya dari
kalangan berlatar belakang pendidikan, bahkan orang-orang dari beragam profesi
tampak menunjukkan responnya terhadap aktivitas di Wahana Baca.

“Diluar ekspektasi soal bahwa baca buku itu nggak harus orang-orang berpendidikan.
Bahkan tukang becak, penjual sempol, itu juga langganan baca di perpustakaan
jalanan.” jelasnya.

Meski begitu, mendirikan lapak perpustakaan jalanan bagi Wahana Baca bukan hal
semudah merapatkan kedua tangan. Sudah menjadi langganan rupanya jika lapak
mereka terancam dibubarkan oleh pihak yang mengklaim dirinya berwenang.

Bisa dibayangkan bagaimana sekumpulan pemuda yang berkumpul dengan berjejeran


bermacam buku di depannya, tiba-tiba saja didatangi aparat Satuan Polisi Pamong
Praja (Satpol PP). Dengan atau tanpa surat perintah penertiban tentu saja merupakan
hal lucu jika mereka menyatakan gerombolan pemuda itu mengganggu kenyamanan.
Tetapi itulah kenyataan yang sering mereka alami hingga hari ini.

Kejadian tersebut bukan hal baru bagi Ugik sendiri. Ia menceritakan sejak dulu lapakan
yang Wahana Baca dirikan sering mendapat ancaman atau bahkan pembubaran paksa.
Kejadian yang terjadi pada 2019 menjadi salah satu contoh nyata bagaimana aparat
memperlakukan gerakan literasi jalanan yang diinisiasi oleh masyarakat akar rumput.

Ketika itu, seperti biasa Ugik bersama kawan-kawannya menggelar lapak perpustakaan
jalanan di halaman GOR Untung Suropati, Pasuruan. Tiba-tiba segerombolan aparat
Pamong Praja mendatangi lapakan yang mereka gelar. Tentu saja, lalu mereka
membubarkan lapakan tersebut.

“Entah kenapa kita aja yang disuruh bubar. Padahal di sepanjang jalan itu banyak orang
jualan. Dan yang menjadi sasaran hanya kita (Wahana Baca).” ceritanya sambil
mengenang kisah-kisah lalu.

Meski begitu, mereka tak gentar untuk bubar. Artinya mereka memilih bertahan
menghadapi itu. Upaya resistensi direspon dengan solidaritas dari berbagai kalangan
yang kian mengalir. Orang-orang pun makin banyak yang datang. Dari kengeyelan
tersebut kemudian Satpol PP akhirnya membiarkan aktivitas mereka berjalan seperti
biasa.
Kemudian selang tiga tahun setelahnya, mereka memutuskan untuk bergeser lokasi ke
Taman Kota Pasuruan. Salah satu ikon baru Pasuruan tersebut menjadi pusat
keramaian setelah mengalami renovasi. Meski perpindahan mereka ke tempat yang
baru bukan berarti ancaman pembubaran bisa terhindarkan.

Pertengahan 2022 lalu, mereka kembali didatangi oleh pihak Satpol PP maupun Dinas
Lingkungan Hidup, Kebersihan, dan Pertamanan Kota Pasuruan (DLHKP Kota
Pasuruan). Mereka yang menyatakan diri sebagai pihak berwenang di lingkungan ini
meminta Wahana Baca untuk tidak melapak di area Taman Kota. Kecuali harus
mengurus surat perizinan mengadakan kegiatan di area tersebut. Dianggap hal yang
tidak masuk akal, Wahana Baca pun memilih untuk tidak mengurus perizinan dengan
alasan siapapun boleh menggunakan ruang publik.

“Yang pasti kami kekeh di sini yaitu tadi, ruang publik ya untuk publik. Dan kalau
kita ngomong peraturan juga tidak diperbolehkan ketika orang buka perpus atau
kumpul-kumpul dibubarkan dengan alasan yang tidak jelas.” tutur Ugik.

Menurutnya, pembubaran aktivitas Wahana Baca tersebut sangat tidak masuk akal. Di
mana pemanfaatan ruang publik yang harus melalui perizinan. Meski sudah tiga kali
berturut-turut dalam rentang waktu bulan Mei-Juni dengan ancaman yang sama mereka
memilih untuk tetap bertahan.

“Kita sudah bikin kajian internal ya mulai dari Perda, Permen PUPR, dan semua itu ada dasar
hukumnya. Dan tidak boleh negara itu tiba-tiba menggusur kita. Apalagi kalau pakai logika
negara itu salah,” jawabnya perihal kesiapan ancaman pembubaran susulan.

“Selain itu juga kami menyiapkan banyak poster. Artinya nanti yang bisa dibagikan untuk meraih
dukungan publik. Karena di berbagai daerah sering terjadi memang penggusuran yang
dilakukan oleh yang merasa berhak. Dan ujung-ujungnya memang mereka yang salah.”
tutupnya.

Di malam Minggu yang makin malam makin ramai, sayang sekali satu persatu lampu di Taman
Kota pun dimatikan. Barangkali itu merupakan kode bahwa kami sudah diusir. Maka
bergegaslah buku-buku di atas tikar tersebut dikemas kembali pada tempatnya. Kami pun pamit
pada riuhnya malam.

Anda mungkin juga menyukai