Anda di halaman 1dari 69

KATA PENGATAR

Nggalek.co adalah media lokal di Trenggalek berbasis jurnalisme warga. Berdiri sejak Maret
2016, dan kini (Maret 2021) nggalek.co genap berusia 5 tahun. Kami berusaha mengambil peran
untuk mengisi "ruang literasi" di Trenggalek. Kami memberi wadah untuk menulis pengalaman,
pandangan dan cerita dengan perspektif desa, manusia, dan peristiwa di Trenggalek secara lebih
khusus.

Mengisi ruang literasi dengan menjadi wadah para penulis Trenggalek, tidaklah mudah. Kami
hampir berkali-kali mati. Tanggal 31 Desember 2020, kami sempat membuat resolusi untuk 2021:
Kami ingin hidup dan mati seperti pohon pisang, yang mati setelah berbuah dan melahirkan tunas
baru.

Ya, para tunas baru itu sudah lahir. Mereka adalah kami yang menolak mati, kami yang lahir
kembali setelah hampir berkali-kali mati. Upaya untuk bertahan ini adalah bakti kami terhadap
literasi, bersuara menggunakan kata-kata, serta bentuk cinta kami kepada Trenggalek.

Kami menyadari bahwa nggalek.co tidak bisa bertahan sendirian. Nggalek.co bisa bertahan
ketika mendapatkan dukungan dari warga Trenggalek. Maka dari itu, kami ingin terus bertahan
dengan berjejaring bersama warga Trenggalek, salah satunya melalui Sinau Jurnalistik.

Sinau Jurnalistik adalah ruang bagi pemuda-pemudi Trenggalek untuk belajar bersama di
bidang jurnalistik. Sebagai salah satu wadah literasi bagi warga Trenggalek, kami memandang
budaya literasi di Trenggalek perlu lebih digencarkan lagi. Salah satunya, kami menginisiasi untuk
membuat acara kecil-kecilan di bidang jurnalistik di tingkat dasar.

Acara kecil-kecil ini bernama Sinau Jurnalistik. Sebagai pendukung Sinau Jurnalistik, kami
membuat sebuah modul yang berisi materi-materi dasar bagi para penulis. Di dalam modul Sinau
Jurnalistik, ada materi Sejarah Pers, Undang-Undang Pers, Kode Etik Jurnalistik, Sembilan Elemen
Jurnalisme Plus Elemen ke-sepuluh, Penggalian Data dan Outline, Wawancara, Penulisan Berita,
Editing, serta Fotografi Jurnalistik.

Modul Sinau Jurnalistik ini diadopsi dari Modul Diklat Jurnalistik Tingkat Dasar (DJTD) oleh
Unit Aktivitas Pers Mahasiswa (UAPM) Inovasi di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, tahun
2018. Kami mengadopsi materi dari UAPM Inovasi, lalu materi-materinya kami sesuaikan dengan
konteks perkembangan jurnalisme saat ini (versi kami). Selain itu, kami juga menyesuaikan materi-
materinya dengan konteks Jurnalisme Warga Trenggalek.

Semoga acara Sinau Jurnalistik ini bisa menjadi awal yang baik untuk mengembangkan budaya
literasi di Trenggalek.

Salam, relawan nggalek.co:

Misbahus Surur, Trigus Dodik Susilo, Soeripto, Mundi Rahayu, Dian Meiningtias, Alvina Nur
‘Asmy, Wahyu Agung Prasetyo.
DAFTAR ISI

1. Sejarah Pers – Alvina Nur ‘Asmy (LPM Manifest FTP UJ).


2. UU Pers, Kode Etik Jurnalistik – Muhammad Fajar Riyandanu (UAPM Inovasi).
3. Sembilan Elemen Jurnalisme Plus Elemen ke-sepuluh – Satrio Arismunandar (AJI
Indonesia)
4. Penggalian Data dan Outline – Luluk Khusnia (UAPM Inovasi).
5. Wawancara – Eko Widianto (AJI Malang).
6. Penulisan Berita – Wahyu Agung Prasetyo (UAPM Inovasi).
7. Editing - Gita Niken Madapuri (UAPM Inovasi.)
8. Fotografi Jurnalistik – Alvina Nur ‘Asmy (LPM Manifest FTP UJ).
Relawan Nggalek.co

1. Misbahus Surur
Kelahiran Munjungan, Trenggalek. Menulis buku Sebelum
Trenggalek Kini (2019) dan Kronik Pedalaman (2020). Editor dan
penulis di nggalek.co.

2. Trigus Dodik Susilo


Lelaki kelahiran Watulimo, Trenggalek. Ketua Pimpinan Daerah
Pemuda Muhammadiyah Trenggalek, Webmaster dan penulis di
nggalek.co, Pemimpin Redaksi kabartrenggalek.com, serta blogger
di mastrigus.com. Aktif di Tim Sekolah Politik Anggaran, Tim
Bagimu Trenggalek, dan Tim Sekolah Kepemimpinan Desa.

3. Soeripto
Pecinta perdamaian dalam kultur kebhinekaan. Tinggal di
Kabupaten Trenggalek. Rektor STAI Muhammadiyah
Tulungagung. Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah,
Alumni Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Arena UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.

4. Mundi Rahayu
Dosen mata kuliah cultural studies Fakultas Humaniora UIN
Maliki Malang. Alumni Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)
Kentingan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
5. Dian Meiningtias
Seorang Akademisi, Penulis dan Aktivis Perempuan yang sedang
menempuh Magister Hukum Keluarga Islam di UIN Satu
Tulungagung. Penulis merupakan founder perempuankita.com,
penulis di nggalek.co, serta beberapa media online dan offline.
Buku tunggalnya adalah Perempuan yang Menikahi Burung
Hantu (Akademia Pustaka 2020), Menjadi Perempuan, Desa dan
Transformasi Sosial (Diomedia; 2021).

6. Alvina Nur ‘Asmy


Photojournalism Enthusiast dan penulis di nggalek.co. Pernah
berproses di Pers Manifest Fakultas Teknologi Pertanian (FTP)
Universitas Jember dan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia
(PPMI) Nasional.

7. Wahyu Agung Prasetyo


Dulunya pers mahasiswa INOVASI di UIN Malang, sekarang
penulis di nggalek.co dan jurnalis di kabartrenggalek.com. Menulis
Buku Bertahan dari Kekerasan Negara (Peluru Pensil, 2021).
SEJARAH PERS
Alvina Nur ‘Asmy

Istilah “Pers” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki 5 arti:


1. Usaha percetakan dan penerbitan.
2. Usaha Pengumpulan dan Penyiaran berita.
3. Penyiaran berita melalui surat kabar, majalah dan radio.
4. Orang yang bergerak dalam penyiaran berita.
5. Medium penyiaran berita, seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, dan film.

Adanya beberapa pengertian menurut KBBI tersebut, maka bisa dianggap bahwa Pers
merupakan aktivitas mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah data berdasarkan sumber-
sumber yang jelas dan valid, dan menerbitkannya melalui media cetak maupun online.

Sejarah Pers pra-kemerdekaan Indonesia

Menurut Andreas Harsono, Ketua Yayasan Pantau, ada 150 tahun sejarah sebelum medan
prijaji, yang harus diperhitungkan oleh siapapun yang hendak bikin ulasan sejarah media di Hindia
Belanda. Kalau mau mencari data siapa yang terbit lebih awal, Abdurrachman Surjomihardjo dalam
Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia menyebut suratkabar Bataviasche Nouvelles, yang
terbit 1744-1746, atau sekitar 150 tahun sebelum Medan Prijaji (1907), sebagai penerbitan pertama
di Batavia.

Suratkabar-suratkabar yang telah terbit sebelum Medan Prijaji, misalnya Soerat Chabar
Betawie (1858), milik orang Tionghoa. Suratkabar ini berperan dalam penyebaran bahasa melayu
di seluruh Asia Tenggara, termasuk Hindia Belanda. Ada juga Bromartani (1865) yang
menggunakan bahasa jawa dalam penulisannya. Di luar Pulau Jawa, juga ada Tjahaja Sijang (1868)
terbit di Minahasa atau Bintang Timoer (1864) Padang, Sumatera Barat.

Lalu, Kapan hari jadi pers Indonesia? Sebagian orang mempertanyakan kriteria “pers
Indonesia” atau kalau pun mau aman, lebih tepat disebut “Pers di Indonesia” ini bisa dimulai oleh
surat kabar Bataviasche Nouvelles (1744-1746) di Batavia atau Pulau Jawa. kemungkinan besar
suratkabar itu adalah yang terbit pertama kali di Pulau Jawa zaman Hindia Belanda. Pulau Jawa hari
ini adalah bagian dari Indonesia.

Namun, banyak yang tak sependapat. Bataviasche Nouvelles itu berbahasa Belanda. ,mengapa
tak memulai dari suratkabar yang berbahasa melayu? Kelak bahasa ini yang dipakai sebagai bahasa
nasionalisme Indonesia. Ada juga yang berpendapat “pers Indonesia” mulai sejak Republik
Indonesia ada. Artinya “pers Indonesia” ini ya termasuk semua yang terbit, atau sudah terbit, pada
Agustus 1945, di seluruh wilayah Indonesia. Namun wilayah Indonesia pada 1945 de facto hanya
Jawa dan Sumatera.

Kalau Anda memperhatikan harian Jurnal Nasional di Jakarta. anda tidak akan sulit meilhat
sebuah logo “Seabad Pers Nasional” di halaman depan. Di dalamnya, anda akan menemukan logo
serupa dan sebuah kolom. Ia setiap hari menyajikan satu sosok organisasi media. Proyek ini diasuh
oleh Taufik Rahzen, seorang penasehat Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, redaktur
senior Jurnal Nasional, sekaligus pemimpin Indexpress, organisasi yang menaungi kolom itu.

Menurut Rahzen, tahun 2007 adalah seabad pers nasional. Tarikh ini dihitung sejak Meda
Prijaji terbit pertama kali pada Januari 1907. Medan Prijaji adalah “tapal dan sekaligus penanda
pemula dan utama bagaimana semangat menyebarkan rasa mardika disemayamkan dalam dua
tradisi sekaligus: pemberitaan dan advokasi.

Mengapa patokan Rahzen bukan 1744? Mungkinkah karena Bataviasche Nouvelles


diterbitkan dalam bahasa belanda? Kalau patokannya bahasa melayu, Soerat Chabar Betawie terbit
lebih awal dari Medan Prijaji. Andreas Harsono mendapatkan jawabannya. Agung Dwi Hartanto
ketika hendak mewawancarainya, Agung menulis, “Medan Prijaji adalah pers yang sejak pertama
terbit diawaki pribumi. Tirto Adhi Soerjo juga yang mendirikan NV Medan Prijaji.

Tjahaja Sijang, menurut Agung diabaikan karena “… sebelum diawaki pribumi menjadi milik
zending Belanda. Demikian juga dengan Soerat Chabar Betawie. Koran ini bukan milik pribumi.”

Menurut Andreas Harsono, proyek Indexpress ini ada indikasi racial tone. Tidak ada masalah
dengan pemilihan Tirto Adhi Soerjo. Dia termasuk penerbit yang bernai melawan ketidakadilan
pada zaman Hindia Belanda. Pengaran Pramoedya Ananda Toer menulis soal Tirto Adhi Soerjo
dalam buku Sang Pemula maupun Tempoe Doeloe.

Tapi Tirto pun memakai pendekatan rasial ketika menyerang E.F.E Douwes Dekker,
wartawan Bataviasche Nieuwblad dan cucu Multatuli, yang belakangan mendirikan Indische Partij.
Pada 1908, organisasi Boedi Oetomo hendak menerbitkan suratkabar dan mencalonkan E.F.E
Douwer Dekker sebagai editornya. Alasannya, Boedi Oetomo membatasi keanggotaannya hanya
untuk orang “Jawa, Sunda, dan Madura”. Douwes Dekker orang Eurasian alias Indo. Paul W. van
Der Veur, Penulis biografi Douwes Dekker, The Lion dan The Gadfly, mencatat serangan ini,
secara fiktif, diteruskan oleh Pram dalam tetralogi Pulau Buru.
Penelitian ini, menurut andreas bermasalah, ketika Indexpress mengabaikan para penulis lain
dengan dasar Tirto dan Medan Prijaji adalah “Pribumi”. Pada 1907, negara Indonesia belum ada.
Slogan Medan Prijaji pun masih memakai nama Hindia Belanda. Pram menulis soal Tirto dengan
kedekatan emosional. Tirto dan Pram sama-sama kelahiran Blora, Jawa Tengah.

Suryadi, Peneliti Universiteit leiden, berpendapat pemilihan Tirto Adhi Soerjo terkesan
melebih-lebihkan peranan Tirto. Jasa Tirto tak lebih besar dari Dja Endar Moeda, misalnya, yang
aktif di Sumatera, 1894-1910, Atau Abdul Rivai lewat Bintang Hindia yang terbit di Amsterdam,
1903-1907.

Nazrul Azwar dari Minang berpendapat sejarah suratkabar Sumatera lebih tua dari Medan
Prijaji. Sejak 7 Desember 1864, orang Minang untuk pertama kalinya membaca suratkabar
berbahasa Melayu ketika edisi perdana Bintang Timoer diluncurkan.

Andreas Harsono menulis soal istilah “pribumi” dan non pribumi” dalam melihat sejarah surat
kabar di Jawa, Minahasa dan Minang. Tirto Adhi Soerjo keberatan ketika Boedi Oetomo
mencalonkan Ernest Douwes Dekker sebagai editor suratkabar mereka. Alasannya Boedi Oetomo
hanya untuk orang Jawa, Sunda, dan Madura.

Sekali lagi, jika kita bijak melihat sejarah pers pribumi yang telah ikut berkontribusi dalam
menyemaikan dan membesarkan semangat nasionalisme dalam dada kaum pribumi yang ingin
merdeka dari penjajahnya, maka kita tentu tidak akan meremehkan jasa-jasa para perintis jurnalisme
pribumi seperti Dja Endar Moeda dan Mahyudin Datuk Sutan Maharadja, juga tokoh-tokoh yang
lainnya.

Tapi, yang jelas, dari titik berangkat sejarah pers Indonesia, sudah diambil orang, sejarah itu
sudah dianjak orang lain. Sejarah sudah berada di negeri orang lain. Kita yang berbuat, orang lain
yang hebat. Berteriaklah kita sekuat tenaga, bahwa pada pertengahan abad-19 orang Minanglabau
sudah baca koran, dan banyak surat kabar yang terbit di sini, dan lain sebagainya, jelas tak ada
gunanya.

Para sejarahwan yang bertebaran di Unand dan UNP, dan di perguruan tinggi di kota-kota
lainnya, yang diharapkan bisa menjelaskan duduk perkara fakta sejarah ini, tampaknya lebih tertarik
menyelesaikan proyek penelitiannya yang tidak akan pernah habis-habisnya. Karena proyek itu
terus mengalir sepanjang bangsa ini terus memakai APBN (D) dan proyek penelitia memang
banyak di sana
Sementara, tokoh pers di daerah ini dan juga lembaga pers terkait lebih asyik dengan dirinya
sendiri. Padahal, di pundak mereka tanggung jawab itu kini berada. Fakta sejarah pers telah diplintir
orang lain, kita diam saja. Dikatakan orang lain bahwa pers berawal di Bandung, kita di sini seolah
mengangguk balam saja. Entahlah, entah apa yang salah di negeri ini: Semua seperti sudah tergadai,
termasuk harga diri itu.

Media Pasca Proklamasi 1945

Setelah proklamasi 1945 sampai akhir masa kepemimpinan Presiden Soekarno di media 60-
an, media-media besar umumnya memiliki afisiliasi terhadap partai politik tertentu. Singkatnya,
banyak media-media yang bersifat simpatisan, baik dari kalangan partai politik dan Angkatan
bersenjata. Beberapa orientasi politik media yang hadir pada saat itu adalah:

1. Media pro Komunis (Harian Rakyat)


Harian Rakyat pertama kali terbit pada tanggal 31 Januari 1951 yang semula bernama
Suara Rakyat. Berkantor di Jalan Pintu Besar Nomor 93, Jakarta, Harian Rakyat dipimpin
oleh Njoto sebagai dewan redaksi, dan Mula Naibaho sebagai penanggungjawab redaksi.
Wakil Ketua II CC PKI, Njoto, menjadi pemimpin redaksi media ini dan Supeno menjadi
anggota dewan redaksinya. Njoto sering menulis rubrik Tjatatan Seorang Publisis yang
terbit setiap Selasa. Harian Rakjat menjadi koran politik terbesar dengan oplah 23.000
eksemplar yang pernah terbit di Indonesia pada kurun waktu 1950-1965. Koran itu dijual
dengan harga eceran Rp 0,60 dan harga langganan Rp 14,5 sebulan.
2. Media bercorak Keislaman
Abadi adalah surat kabar harian yang diterbitkan oleh Partai Masyumi. Surat kabar ini
terbit pada 1947 dengan tujuan menyuarakan aspirasi umat Islam Indonesia yang
mayoritas berhimpun di dalam Partai Masyumi, partai yang dibentuk pada tahun 1945
berdasarkan Muktamar Islam Ala Indonesia (MIAI). Setelah 13 tahun terbit secara teratur,
pada tahun 1960 Abadi berhenti beredar bersamaan dengan dibubarkannya Partai
Masyumi dan Partai Syarikat Islam (PSI) oleh Presiden Soekarno, setelah terjadinya
pemberontakan PRRI/Permesta.
Sebelum dibubarkan, Nahdlatul Ulama (NU) dan Syarikat Islam sudah lebih dahulu
keluar dari Masyumi karena perbedaan pandangan politik. NU kemudian mendirikan
koran Duta Masyarakat dan Syarikat Islam mendirikan koran Nusa Putera. Pada tahun
1968 Abadi terbit kembali. Namun pada tahun 1974, ia dibredel bersama tujuh surat kabar
lainnya akibat pemberitaan peristiwa Malari. Akibat pembredelan itu sebagian wartawan
Abadi ditampung di koran Pelita.
3. Media bercorak sosialis
Media bercorak sosialis salah satunya adalah Harian Indonesia Berdjoang. Surat Kabar
ini, terbit tiga kali dalam seminggu dan memiliki semboyan “Untuk Demokrasi dan
Keadlian Sosial.” Staf redaksi terdiri dari Ketua Dewan Redaksi Ny. Noorsehan
Djohansah, Pemimpin Umum A. Sjar’ie Mustofa. Surat kabar ini diterbitkan oleh Fatjanan
Press. Dari tajuk rencananya, surat kabar ini Nampak jelas berorientasi Partai Sosialis
Indonesia (PSI) yang tertera dalam ungkapan tajuk rencana “Kenapa Saja Memilih PSI”
tanggal 21 September 1965. Tajuk rencana itu ditulis oleh Pemimpin Umum A. Sjari’ie
Musaffa, yang ditunjuk sebagai calon PSI untuk Kalimantan Selatan dalam Pemilu 1955.
Selain Harian Indonesia Berdjoang, surat kabar bercorak sosialis lainnya adalah
Pedoman, harian ini diasuh oleh Rosihan Anwar. Media ini terbit pada tahun 1960 di
bawah naungan PT Badan Penerbit Pedoman. Mengutip tulisan Budi Setiyono “Rosihan
Anwar Jatuh Bangun Koran Kiblik” dalam laman Historia.id, Rosihan Anwar sempat
menjelaskan bahwa memang Pedoman adalah salah satu media PSI saat itu. Dan tentu saja
menurutnya hubungan antara Pedoman dengan PSI terjadi karena konteks politik pada
saat itu hampir semua Parpol memiliki organ persnya, sedang PSI tidak. Maka karena
pengalaman semasa perjuangan ia dekat dengan kelompok Sjahrir yang sosalis, Rosihan
mengambil sikap sukarela menawarkan Pedoman sebagai media juang PSI saat itu.
Pedoman telah mengalami pembredelan di zaman Orde Lama dan Orde Baru, sebab
beritanya dianggap melawan pemerintahan saat itu.
4. Media bercorak nasionalis
Surat kabar milik Partai Nasional Indonesia (PNI) yang terbit di Jakarta sejak tanggal
1 Oktober 1953 adalah Suluh Indonesia, lebih sering dikenal dengan singkatan Sulindo.
Pada pertengahan tahun itu, Ketua Umum PNI Sidik Djojosukarto meminta beberapa
anggota partai, antara lain M. Tabrani, Mohammad Arsjad, M.A. Pane dan Rufinus
Tobing, untuk menerbitkan surat kabar sebagai alat perjuangan partai. Pemimpin
redaksinya yang pertama, Sayuti Melik, menyatakan Sulindo berhaluan politik PNI tetapi
menolak menyebutnya sebagai organ partai. Menurut Satya Graha, salah satu wartawan
Sulindo yang juga tokoh radikal PNI. Kendati Sulindo adalah koran berhaluan Nasionalis
tetapi tetap memuat berita yang dibutuhkan oleh warga, meskipun beritanya kerap
dianggap sebagai kritik keras oleh Pemerintah. Sulindo mengalami pembredelan di tahun
1965 dan wartawannya banyak yang ditangkap.
5. Media Angkatan Bersenjata
Surat Kabar Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata adalah dua media yang dimiliki
oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada tahun 1960. Surat kabar ini
adalah dua media yang boleh terbit pasca terjadinya pembantaian Jenderal Angkatan Darat
dalam tragedi G30S. Dalam catatan Tribuana Said (1988), di bulan-bulan awal pasca
peristiwa tersebut, sekurangnya 46 penerbitan pers dilarang terbit, lebih dari 373 wartawan
dipecat dari keanggotannya di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan dipenjara.
Pembabatan koran-koran kiri (dan yang dianggap kiri) tersebut memiliki dampak luar
biasa, bahkan berjejak hingga hari ini.
Menurut Wisnu Prasetya, dalam tulisan “Media dan PKI” di Geotimes, adanya
pembredelan pers yang dilakukan oleh Panglima Daerah Militer Jakarta Raya dalam
instruksi surat perintah No. 01/Drt/10/1965. Surat itu menjelaskan tentang pelarangan
seluruh penerbitan pers tanpa izin khusus di Jakarta. Adalah rencana dari pemerintah
untuk menunggalkan wacana tunggal keadaan negara oleh militer.
Meskipun di era itu banyak media dengan corak politik berbeda, namun tidak lantas menjadikan
mereka berubah haluan dengan orientasi kemerdekaan Indonesia. Dalam kata lain, haluan ideologi
yang beragam itu menjadi kekuatan politik bangsa untuk menentang Imperialisme. Meskipun, jalur
yang ditempuh berbeda

Orde Baru dan Pers Mahasiswa


Sejak naiknya Soeharto pada tahun 1967. Sering terjadi pembredelan terhadap surat kabar di
Indonesia. Dalam lansiran Majalah Tempo Edisi 12 Januari 2020, diterangkan bahwa pers sebagai
media aspirasi masyarakat di era orde baru kerap mengalami pembredelan. Setidaknya pembredelan
yang terjadi di rezim Orde Baru berjumlah Sembilan kali.

• Tahun 1966: Sekitar 46 dari 163 surat kabar dibredel karena dianggap berhaluan kiri.
• Tahun 1972: Tabloid mingguan Sendi, yang dikelola Mahasiswa Universitas Gajah
Mada ditutup. Pemimpin rekasinya, Ashadi Siregar, diajukan ke pengadilan atas
tuduhan penghinaan pemerintah saat Sendi mengulas proyek pembangunan Taman
Mini Indonesia Indah yang digarap istri Presiden. Tien Soeharto.
• Tahun 1973: Koran Sinar Harapan dicabut Surat Izin Terbitnya (SIT) oleh
Departemen Penerangan setelah memberitakan rencana anggaran belanja negara yang
belum dibahas di DPR
• Tahun 1974: Pencabutan SIT dan surat izin cetak 12 penerbitan Pers. Alasannya
stabilitas nasional di tengah peristiwa Malari.
• Tahun 1978: Pembredelan tujuh media massa nasional dan tujuh media kampus.
Alasannya, stabilitas nasional.
• Tahun 1986: Pencabutan surat Izin Usaha Penerbian Pers (SIUPP) Sinar Harapan.
Alasannya, beritanya spelukatif dan meresahkan masyarakat.
• Tahun 1987: Pencabutan SIUPP harian Prioritas. Alasannya, karena terbitnya tulisan
Hutang Luar Negeri Negara sejumlah 6,7 Triliun jatuh tempo.
• Tahun 1994: Pembredelan Tempo, Editor, dan Tabloid Detik. Alasannya, stabilitas
Nasional.

Ambar, salah satu peneliti media komunikasi dalam laman Pakarinformasi.com menjelaskan
bahwa terbatasnya kebebasan pers dan media pada masa Orde Baru ialah demi memperlancar
stabitilas politik. Dalih tersebut membuat pemerintah menerbitkan Surat Izin Usaha Penerbitan
Pers (SIUPP). Surat ini sering digunakan untuk mengontrol dan memberangus perusahaan pers
yang tidak sejalan atau berseberangan dengan pemerintahan. Dalam catatan Siti Murtiningsih dan
Joko Siswanto pada Jurnal Filsafat UGM seri ke-29 (1999), menerangkan bahwa konsumen rata-
rata media informasi di era orde baru adalah kalangan intelektual, cendikiawan, sampai mahasiswa.
Lantas yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana proses arus informasi dapat sampai ke
masyarakat, sedangkan di sisi lain media di bawah naungan otoritas pemerintah? Terlebih untuk
Mahasiswa sebagai salah satu konsumen terbesar media informasi saat itu?

Jawabannya adalah Pers Mahasiswa.

Melihat sejarah, sepanjang perjalanan republik ini, hanya ada dua wadah organisasi tingkat
nasional yang mampu bertahan lama. Pertama adalah Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI)
yang secara formal mampu bertahan selama 24 tahun (1958- 1982). dan Perhimpunan Pers
Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang sampai sekarang menginjak 23 tahun (1992-2015). Keduanya
memiliki kesamaan dalam hal keanggotaan, bukan perorangan tetapi lembaga: Lembaga Pers
Mahasiswa. Pada awal pemerintahan Orde Baru, Pers Mahasiswa dan para birokrat berjalan
berdampingan tanpa gesekan yang berarti. Namun keadaan tersebut tidak terlalu lama. Hingga
pada tahun 1970 Pers Mahasiswa mulai diawasi dan dibatasi gerak-geriknya. Ancaman
pembredelan menjadi senjata utama pemerintah dalam menekan kegiatan Pers Mahasiswa.
Perkembangan pers saat ini: Jurnalisme Data dan Jurnalisme warga.

Dalam sejarahnya, ada beberapa perkembangan dalam pers dan jurnalisme. Diantaranya
adalah jurnalisme data dan jurnalisme warga. Jurnalisme data dihadirkan untuk tujuan yang sedikit
berbeda dengan jurnalisme secara umum. Istilah “jurnalisme data”atau biasa disebut data-driven
journalism (DDJ) mulai digunakan sejak 2009. Istilah ini menggambarkan proses jurnalistik
berdasar pada analisis dan penyaringan “set data” untuk membuat berita (news story).

Dalam satu makalah yang ditulis Mirko Lorenz (dimuat dalam prosiding Data-driven
journalism: what is there to learn) pada satu konferensi DDJ tahun 2010, dia menambahkan bahwa
jurnalisme data memiliki pendekatan lebih luas. Ia tumbuh seiring ketersediaan data terbuka (open
data) yang bisa diakses oleh publik dan dapat diolah lewat peranti lunak terbuka (open source).
Tujuannya menciptakan layanan baru di ranah publik, membantu konsumen, manajer, dan politisi
untuk memahami pola dan membuat keputusan dari temuan-temuan yang ada. Harapannya bisa
membantu menempatkan wartawan ke dalam peran yang lebih relevan bagi masyarakat dengan
pendekatan baru.

Dalam makna lain, jurnalisme data digunakan untuk membedakan jurnalisme yang berbasis
set data ketimbang jurnalisme konvensional yang diramu berdasarkan talking news. Jurnalisme
konvensional yang dimaksud adalah produk jurnalisme dari sebuah media, terutama media daring,
yang diolah tanpa kedalaman, mengutip sumber tanpa memberikan konteks yang jelas, serta
menyebarkan informasi dengan data yang kurang akurat dan tidak lengkap hanya untuk mengejar
klik.

Dalam kasus di Indonesia, sangat sering kita menghadapi data-data dari pelbagai sumber resmi
yang belum rapi dan tidak terstruktur dengan baik. Ketidakjelasan versi data rujukan juga seringkali
jadi masalah tersendiri. Sebagai contoh, ada data statistik soal kemiskinan yang dirilis Kementerian
Dalam Negeri dan Kementerian Desa mana yang benar dan dapat dijadikan acuan? Bagaimanapun
jurnalisme data sangat bergantung pada data yang nilainya dapat dipertanggungjawabkan. Meski
masih kurang lengkap, direktori milik pemerintah Indonesia yang terangkum dalam data.go.id
adalah salah satu sumber terpercaya untuk mendapatkan aneka data yang bisa diakses oleh publik.

Data yang acak dan amburadul akan menyulitkan pra-proses penambangan data sebelum
dianalisis lebih lanjut. Perlu proses apa yang disebut normalisasi data agar pengolahan data tersebut
bisa optimal dan lebih mudah digunakan. Belum lagi jika datanya bervolume besar, bahkan sangat
besar: sekumpulan data dari tahun ke tahun, terdiri dari ribuan baris dan ratusan kolom serta jutaan
dokumen yang berbeda format (teks, video, audio, halaman web, dll.).

Dari sisi penyimpanan, banyak peranti penyimpanan digital yang cenderung lebih portabel dan
mampu menyimpan lebih dari miliaran bit data. Semakin hari jumlahnya semakin bertambah pesat
seiring kecepatan transfer data dari satu medium ke medium lain. Bagaimana mengatasi timbunan
data yang jumlahnya sangat besar, acak, dan memiliki kecepatan pertumbuhan data yang tinggi?
Kasus-kasus seperti itulah yang melahirkan istilah big data.

Dengan kemunculan sejumlah media baru terutama di Jakarta, seiring tren digital yang tak
terhindarkan, jurnalisme data mulai dipakai di Indonesia, sebagai upaya adaptasi atas
perkembangan jurnalisme secara global. Mengutip saran Hassel Fallas, jurnalis data dari La Naci
(Kosta Rika), dalam artikelnya yang cerdas: Sekali kamu belajar jurnalisme data, kamu harus
berkomitmen untuk terus belajar. Bahkan sekalipun kamu sudah sangat mampu dan paham benar
atas teknik, perangkat, dan metode dalam menganalisis dan memvisualisasikan data. Selalu ada
tantangan di depan: set data lebih besar, aplikasi baru yang perlu diuji, dan teknik-teknik baru
menerapkan pendekatan berbeda”yang fungsinya menumbuhkan partisipasi dari orang-orang yang
menjadikan ceritamu penting.

Bagaimana dengan jurnalisme warga? Jurnalisme warga berarti warga yang aktif
mengumpulkan informasi, memverifikasi, menulis dan kemudian menyebarluaskannya; baik
melalui blog personal, portal jurnalisme warga, media komunitas, mau pun media arus utama yang
menyediakan kanal khusus bagi jurnalis warga. Sejatinya, jurnalisme warga bukan barang baru di
Indonesia. Radio telah memulainya, jauh sebelum internet banyak diakses masyarakat.

Olivia Lewi Pramesti menyebutkan bahwa praktik jurnalisme warga berawal dari Radio
Sonora Jakarta saat kerusuhan Mei 1998. Para pendengar melaporkan apa yang dilihat dan dialami
ke radio tersebut. Sementara penelitian Moch. Nunung Kurniawan menunjukkan bahwa Radio
Elshinta sejak tahun 2000 telah mempelopori jurnalisme warga dengan jumlah reporter hingga
100.000 orang. Keberhasilan Elshinta ini mengalahkan situs jurnalisme warga pertama di Korea
Selatan, ohmynews yang memiliki 40.000 reporter.

Kehadiran internet memang makin menyuburkan jurnalisme warga. Global Web Index,
sebuah perusahaan riset yang meneliti pasar konsumen digital, merilis bahwa pengguna internet di
Indonesia telah mencapai 58 juta orang, dan merupakan terbanyak ke tujuh di dunia. Menurut
Yanuar Nugroho dan Sofie Shinta Syarief (2012), kemajuan teknologi internet dan media sosial
telah mengubah wajah media secara fundamental, dari komunikasi satu arah yang hanya
menyampaikan berita dan informasi menjadi interaksi dua arah di mana pengguna dapat
berinteraksi dengan penyedia informasi atau antara pengguna.

Untuk mencetak jurnalis warga yang kapabel dan meminimalkan resiko hukum, pelatihan
jurnalistik dan sosialisasi Kode Etik Jurnalistik perlu digalakkan. Dengan cara ini, diharapkan
jurnalis warga tidak menyajikan berita bohong, bermuatan SARA, atau bermuatan pornografi.
Sebaliknya, Kode Etik Jurnalistik mendorong jurnalis warga membuat berita yang berimbang, tidak
subyektif, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Berlebihan bila ada yang khawatir apabila kebangkitan jurnalis warga ini pada akhirnya akan
menggeser peran jurnalis pada media arus utama. Sebaliknya, penulis berkeyakinan bahwa jurnalis
warga dan jurnalis media arus utama bisa saling berkolaborasi. Jurnalis warga bisa menjadi garda
penyedia informasi pertama. Sementara jurnalis media arus utama bergerak membuat liputan
pendalaman dan investigasi.
UU PERS & KODE ETIK JURNALISTIK
Muhammad Fajar Riyandanu

UU Pers no 40 tahun 1999

Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan


menyatakan pendapat dan hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia yang sangat
hakiki. Yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan
umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Guna mencapai tujuan tersebut, diperlukan suatu lembaga sosial yang menaungi fungsi
penyampaian informasi. Baik berupa tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik
maupun dalam bentuk lainnya. Dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala
jenis saluran yang tersedia. Lembaga sosial tersebut ialah Pers.

Fungsi-fungsi pers dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999 Pasal 3:

1. Media informasi
2. Pendidkan
3. Hiburan
4. Kontrol sosial

Pers Nasional sebagaimana dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999 Pasal 6, melaksanakan peranannya
sebagai berikut:

1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.


2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan
Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan.
3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum.
5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Dalam kerja Jurnalistik, pers mendapat perlindungan hukum dari:

1. UUD 1945 Pasal 28 F


“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi, dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
2. Konsideran menimbang huruf b UU KIP No. 14 Tahun 2008
Bahwa “hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan
informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung
tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik”.
3. UU Pers No. 40 Tahun 1999 pasal 2
“Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-
prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”.
4. UU Pers No. 40 Tahun 1999 Pasal 4
“Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Terhadap pers nasional tidak
dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Untuk menjamin
kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi. Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan
di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak”.

Kode Etik Jurnalistik

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi
yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman
operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme.

Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:
Pasal 1

“Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak
beritikad buruk”.

Penafsiran:
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa
campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.

c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.


d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan
kerugian pihak lain.

Pasal 2

“Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas


jurnalistik”.

Penafsiran:

Cara-cara yang profesional adalah:

a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber

b. menghormati hak privasi.

c. tidak menyuap.

d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya.

e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan
keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang.

f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara.


g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri.
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi
kepentingan publik.

Pasal 3

“Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak


mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”.

Penafsiran:
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak
secara proporsional.

c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini
interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.

d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.


Pasal 4

“Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul”.

Penafsiran:
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak
sesuai dengan fakta yang terjadi.

b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.

d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau
tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.

e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan
gambar dan suara.

Pasal 5

“Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan
tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”.

Penafsiran:
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan
orang lain untuk melacak.

b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Pasal 6

“Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap”.

Penafsiran:
a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas
informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang
mempengaruhi independensi.
Pasal 7

“Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia
diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar
belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan”.

Penafsiran:
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi
keamanan narasumber dan keluarganya.

b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan
narasumber.

c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau
diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.

d. Off the record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau
diberitakan.

Pasal 8

“Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau
diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin,
dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat
jasmani”.

Penafsiran:
a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pasal 9

“Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk
kepentingan publik.

Penafsiran:
a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.

b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait
dengan kepentingan publik.
Pasal 10

“Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak
akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa”.

Penafsiran:
a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran
dari pihak luar.

b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11

“Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional”.

Penafsiran:
a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau
sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan
oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.

Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas
pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.

(Kode Etik Jurnalistik ditetapkan di Jakarta oleh Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor:
6/Peraturan-DP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006
tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers).

Kuadran Pers

Pintu masuk perlindungan hukum pers, digagas melalui pemikiran Ketua Dewan Pers, Yosep Adi
Prasetyo telah menguraikan secara jelas mengenai lanskap ragam media di Indonesia berdasar
pengelompokan status dan isi pemberitaan yang ada (‘Mendorong Profesionalisme Pers melalui
Verifkasi Perusahaan Pers’, Jurnal Dewan Pers, Edisi 14 Juni 2017)

Keempat kuadran tersebut, yaitu:

Kuadran I: Berisi media-media arus utama (baik media cetak, radio, maupun televisi), media versi
online arus utama, dan berbagai portal berita.
Kuadran II: Berisi media komunitas, media keagaaman, media pers mahasiswa, media kehumasan,
dan lain-lain termasuk media yang sedang baru terdata di Dewan Pers dan belum dinyatakan lolos
verifkasi.

Kuadran III: Berisi media-media bermasalah antara lain media yang memproduksi hoaks, media
propaganda, media kebencian dan intoleran, media buzzer, dan media yang isinya
mempertentangkan SARA.

Kuadran IV: Berisi media-media kuning yang isinya sensasional, gossip, kekerasan dan eksploitasi
seks serta media-media partsan yang dibuat untuk kepentngan politik.

Media rintisan, media komunitas, pers mahasiswa masuk atau dikualifkasi dalam Kuadran II. Bila
dibandingkan, antara Kuadran I dan II, bahwa dalam Kuadran I, adalah kumpulan media yang
memenuhi syarat UU Pers dan terverifkasi di Dewan Pers yang isi pemberitaannya memenuhi
standar jurnalistk dan Kode Etik Jurnalistk, yang dimaknai positf dan terpercaya. Sedangkan
Persma pada kuadran kedua, merupakan pengelompokan media yang tak terverifkasi di Dewan
Pers, namun, isi beritanya memenuhi standar jurnalistk dan Kode Etik Jurnalistk (KEJ) yakni
positif dan terpercaya. Dewan Pers bertugas menjaga keberadaan media-media yang ada di wilayah
Kuadran II, dan ini harusnya diselesaikan melalui mekanisme UU Pers, yaitu mekanisme
pemberian teguran, ajudikasi, mediasi ataupun penerbitan surat Penilaian, Pendapat, dan
Rekomendasi (PPR) Dewan Pers. Jika terjadi masalah dengan pemberitaan pada media yang berada
di Kuadran II, Dewan Pers melakukan penyelesaian dengan pihak yang dirugikan dengan cara
mediasi.
SEMBILAN ELEMEN JURNALISME (Plus Elemen Ke-10)

Satrio Arismunandar

Ada sejumlah prinsip dalam jurnalisme, yang sepatutnya menjadi pegangan setiap jurnalis.
Prinsip-prinsip ini telah melalui masa pasang dan surut. Namun, dalam perjalanan waktu, terbukti
prinsip-prinsip itu tetap bertahan. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001), dalam bukunya The
Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (New
York: Crown Publishers), merumuskan prinsip-prinsip itu dalam Sembilan Elemen Jurnalisme.
Kesembilan elemen tersebut adalah:

1. Kewajiban Pertama Jurnalisme adalah kebenaran

Agar masyarakat bisa berdaulat dibutuhkan informasi yang benar. Peran jurnalis adalah
menyampaikan kebenaran itu. Bentuk “kebenaran jurnalistik” yang ingin dicapai bukan sekedar
akurasi. Tapi bentuk kebenaran yang praktis dan fungsional.

Ini bukan kebenaran mutlak atau filosofis. Tetapi, merupakan suatu proses menyortir (sorting-
out) yang berkembang antara cerita awal, dan interaksi antara publik, sumber berita (newsmaker), dan
jurnalis dalam waktu tertentu. Prinsip pertama jurnalisme pengejaran kebenaran, yang tanpa
dilandasi kepentingan tertentu (disinterested pursuit of truth) yang paling membedakannya dari bentuk
komunikasi lain.

Contoh kebenaran fungsional, misalnya, polisi menangkap tersangka koruptor berdasarkan


fakta yang diperoleh. Lalu kejaksaan membuat tuntutan dan tersangka itu diadili. Sesudah proses
pengadilan, hakim memvonis, tersangka itu bersalah atau tidak-bersalah. Apakah si tersangka yang
divonis itu mutlak bersalah atau mutlak tidak-bersalah?

Kita memang tak bisa mencapai suatu kebenaran mutlak. Tetapi masyarakat kita, dalam
konteks sosial yang ada, menerima proses pengadilan serta vonis bersalah atau tidak bersalah
tersebut, karena memang hal itu diperlukan dan bisa dipraktikkan. Jurnalisme juga bekerja seperti
itu.

2. Loyalitas Pertama Jurnalisme Adalah Kepada Warga (citizens)

Organisasi pemberitaan dituntut melayani berbagai kepentingan konstituennya: lembaga


komunitas, kelompok kepentingan lokal, perusahaan induk, pemilik saham, pengiklan, dan banyak
kepentingan lain. Semua itu harus dipertimbangkan oleh organisasi pemberitaan yang sukses.
Namun, kesetiaan pertama harus diberikan kepada warga (citizens). Ini adalah implikasi dari
perjanjian dengan publik.

Komitmen kepada warga bukanlah egoisme profesional. Kesetiaan pada warga ini adalah
makna dari independensi jurnalistik. Independensi adalah bebas dari semua kewajiban, kecuali
kesetiaan terhadap kepentingan publik.

Jadi, jurnalis yang mengumpulkan berita tidak sama dengan karyawan perusahaan biasa, yang
harus mendahulukan kepentingan majikannya. Jurnalis memiliki kewajiban sosial, yang dapat
mengalahkan kepentingan langsung majikannya pada waktu-waktu tertentu, dan kewajiban ini
justru adalah sumber keberhasilan finansial majikan mereka.

3. Esensi Jurnalisme adalah Disiplin Verifikasi

Yang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan (entertainment), propaganda, fiksi, atau
seni, adalah disiplin verifikasi. Hiburan –dan saudara sepupunya infotainment berfokus pada apa
yang paling bisa memancing perhatian. Propaganda akan menyeleksi fakta atau merekayasa fakta,
demi tujuan sebenarnya, yaitu persuasi dan manipulasi. Sedangkan jurnalisme berfokus utama pada
apa yang terjadi, seperti apa adanya.

Disiplin verifikasi tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari saksi-saksi peristiwa,


membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari banyak pihak. Disiplin
verifikasi berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi sebenar-benarnya. Dalam kaitan dengan
apa yang sering disebut sebagai obyektivitas dalam jurnalisme, maka yang obyektif sebenarnya
bukanlah jurnalisnya, tetapi metode yang digunakannya dalam meliput berita.

Ada sejumlah prinsip intelektual dalam ilmu peliputan: 1) Jangan menambah-nambahkan


sesuatu yang tidak ada; 2) Jangan mengecoh audiens; 3) Bersikaplah transparan sedapat mungkin
tentang motif dan metode Anda; 4) Lebih mengandalkan pada liputan orisinal yang dilakukan
sendiri; 5) Bersikap rendah hati, tidak menganggap diri paling tahu.

4. Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput

Jurnalis harus tetap independen dari faksi-faksi. Independensi semangat dan pikiran harus
dijaga wartawan yang bekerja di ranah opini, kritik, dan komentar. Jadi, yang harus lebih
dipentingkan adalah independensi, bukan netralitas. Jurnalis yang menulis tajuk rencana atau opini,
tidak bersikap netral. Namun, ia harus independen, dan kredibilitasnya terletak pada dedikasinya
pada akurasi, verifikasi, kepentingan publik yang lebih besar, dan hasrat untuk memberi informasi.
Adalah penting untuk menjaga semacam jarak personal, agar jurnalis dapat melihat segala
sesuatu dengan jelas dan membuat penilaian independen. Sekarang ada kecenderungan media
untuk menerapkan ketentuan jarak yang lebih ketat pada jurnalisnya. Misalnya, mereka tidak boleh
menjadi pengurus parpol atau konsultan politik politisi tertentu.

Independensi dari faksi bukan berarti membantah adanya pengaruh pengalaman atau latar
belakang si jurnalis, seperti dari segi ras, agama, ideologi, pendidikan, status sosial ekonomi, dan
gender. Namun, pengaruh itu tidak boleh menjadi nomor satu. Peran sebagai jurnalislah yang harus
didahulukan.

5. Jurnalis Harus Melayani Sebagai Pemantau Independen Terhadap Kekuasaan

Jurnalis harus bertindak sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan. Wartawan tak
sekedar memantau pemerintahan, tetapi semua lembaga kuat di masyarakat. Pers percaya dapat
mengawasi dan mendorong para pemimpin agar mereka tidak melakukan hal-hal buruk, yaitu hal-
hal yang tidak boleh mereka lakukan sebagai pejabat publik atau pihak yang menangani urusan
publik. Jurnalis juga mengangkat suara pihak-pihak yang lemah, yang tak mampu bersuara sendiri.

Prinsip pemantauan ini sering disalahpahami, bahkan oleh kalangan jurnalis sendiri, dengan
mengartikannya sebagai mengganggu pihak yang menikmati kenyamanan. Prinsip pemantauan juga
terancam oleh praktik penerapan yang berlebihan, atau pengawasan yang lebih bertujuan untuk
memuaskan hasrat audiens pada sensasi, ketimbang untuk benar-benar melayani kepentingan
umum.

Namun, yang mungkin lebih berbahaya, adalah ancaman dari jenis baru konglomerasi
korporasi, yang secara efektif mungkin menghancurkan independensi, yang mutlak dibutuhkan
oleh pers untuk mewujudkan peran pemantauan mereka.

6. Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari publik

Apapun media yang digunakan, jurnalisme haruslah berfungsi menciptakan forum di mana
publik diingatkan pada masalah-masalah yang benar-benar penting, sehingga mendorong warga
untuk membuat penilaian dan mengambil sikap.

Maka, jurnalisme harus menyediakan sebuah forum untuk kritik dan kompromi publik.
Demokrasi pada akhirnya dibentuk atas kompromi. Forum ini dibangun berdasarkan prinsip-
prinsip yang sama sebagaimana halnya dalam jurnalisme, yaitu: kejujuran, fakta, dan verifikasi.
Forum yang tidak berlandaskan pada fakta akan gagal memberi informasi pada publik.
Sebuah perdebatan yang melibatkan prasangka dan dugaan semata hanya akan mengipas
kemarahan dan emosi warga. Perdebatan yang hanya mengangkat sisi-sisi ekstrem dari opini yang
berkembang, tidaklah melayani publik tetapi sebaliknya justru mengabaikan publik. Yang tak kalah
penting, forum ini harus mencakup seluruh bagian dari komunitas, bukan kalangan ekonomi kuat
saja atau bagian demografis yang menarik sebagai sasaran iklan.

7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan

Tugas jurnalis adalah menemukan cara untuk membuat hal-hal yang penting menjadi menarik
dan relevan untuk dibaca, didengar atau ditonton. Untuk setiap naskah berita, jurnalis harus
menemukan campuran yang tepat antara yang kurang serius dan yang kurangserius, dalam
pemberitaan hari mana pun.

Singkatnya, jurnalis harus memiliki tujuan yang jelas, yaitu menyediakan informasi yang
dibutuhkan orang untuk memahami dunia, dan membuatnya bermakna, relevan, dan memikat.
Dalam hal ini, terkadang ada godaan ke arah infotainment dan sensasionalisme.

8. Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional

Jurnalisme itu seperti pembuatan peta modern. Ia menciptakan peta navigasi bagi warga untuk
berlayar di dalam masyarakat. Maka jurnalis juga harus menjadikan berita yang dibuatnya
proporsional dan komprehensif.

Dengan mengumpamakan jurnalisme sebagai pembuatan peta, kita melihat bahwa proporsi
dan komprehensivitas adalah kunci akurasi. Kita juga terbantu dalam memahami lebih baik ide
keanekaragaman dalam berita.

9. Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka

Setiap jurnalis, dari redaksi hingga dewan direksi, harus memiliki rasa etika dan tanggung jawab
personal, atau sebuah panduan moral. Terlebih lagi, mereka punya tanggung jawab untuk
menyuarakan sekuat-kuatnya nurani mereka dan membiarkan yang lain melakukan hal yang serupa.

Agar hal ini bisa terwujud, keterbukaan redaksi adalah hal yang penting untuk memenuhi
semua prinsip jurnalistik. Gampangnya mereka yang bekerja di organisasi berita harus mengakui
adanya kewajiban pribadi untuk bersikap beda atau menentang redaktur, pemilik, pengiklan, dan
bahkan warga serta otoritas mapan, jika keadilan (fairness) dan akurasi mengharuskan mereka
berbuat begitu.
Dalam kaitan itu, pemilik media juga dituntut untuk melakukan hal yang sama. Organisasi
pemberitaan, bahkan terlebih lagi dunia media yang terkonglomerasi dewasa ini, atau perusahaan
induk mereka, perlu membangun budaya yang memupuk tanggung jawab individual. Para manajer
juga harus bersedia mendengarkan, bukan cuma mengelola problem dan keprihatinan para
jurnalisnya.

Dalam perkembangan berikutnya, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menambahkan elemen ke-10.
Yaitu:

10. Warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang terkait dengan
berita.

Elemen terbaru ini muncul dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya internet.
Warga bukan lagi sekadar konsumen pasif dari media, tetapi mereka juga menciptakan media
sendiri. Ini terlihat dari munculnya blog, jurnalisme online, jurnalisme warga (citizen journalism),
jurnalisme komunitas (community journalism) dan media alternatif. Warga dapat menyumbangkan
pemikiran, opini, berita, dan sebagainya, dan dengan demikian juga mendorong perkembangan
jurnalisme.
PENGGALIAN DATA DAN OUTLINE
Luluk Khusnia

A. Penggalian Data

Data merupakan keterangan yang benar dan nyata, keterangan yang dapat dijadikan dasar
kajian. Sedangkan fakta adalah hal (keadaan, peristiwa) yang merupakan kenyataan, sesuatu yang
benar- benar terjadi.

Rumusan outline tidak didiamkan saja! Ia tidak bisa berbicara apa-apa manakala tidak
didukung oleh serangkaian kerja liputan yang dilakukan wartawan lapangan (reportase). Anggap
saja rumusan outline anda tidak hanya ditentukan oleh rumusan outline yang matang. Justru proses
reportaselah yang bisa diandalkan untuk mengorek kedalaman.

Bagai mencangkul, menggali kedalaman berita selalu butuh alatnya. Bila mencangkul, tersedia
cangkul. Maka dalam reportase kita juga butuh semisal cangkul. Dalam kaidah konvensional, alat
reportase ini sejalan dengan kebutuhan dasar jurnalistik: kebutuhan cover both sides terformulasi
dalam teknik wawancara (interview).

Teknik observasi atau penginderaan pada dasarnya adalah usaha memaksimalkan potensi
indera (penglihatan, pendengaran, penciuman) untuk menangkap setiap sinyal peristiwa yang
berkaitan langsung dengan angle berita yang sudah dirumuskan sebelumnya. Dalam proses liputan
apapun, penginderaan dibutuhkan untuk mendampingi data wawancara yang seringkali terbatas.

Tidak ada aturan baku dalam teknik ini. Semuanya ditentukan oleh kepekaan dan improvisasi
di lapangan. Namun paling tidak anda bisa berpijak pada ini:

1. Wartawan harus mengecek setiap variabel masalah yang ada dalam sebuah angle. Variabel
masalah tersebut sering berada pada sebuah rentetan peristiwa. Rentetan peristiwa itu harus
diketahui secara detail. Ini hanya bisa dilakukan secara detail. Ini hanya bisa dilakukan
dengan teknik observasi.
2. Banyak ilustrasi masalah yang tidak digambarkan oleh sumber berita dalam wawancara.
Sebab demikian wartawan harus mencari sendiri dengan memanfaatkan kemampuan
pengindraan. Sebab proses ini pada gilirannya akan sangat membantu bagi proses proses
penulisan berita.
3. Sekali lagi, menulis berita pada dasarnya adalah bercerita. Ia melukis gambar dengan cerita,
dan menghidupkan imajinasi pembaca untuk mengikuti seluruh alur cerita. Penulis berita
yang bagus, tidak akan membingungkan pembaca dengan sepenggal-sepenggal. Karenanya
berita butuh alur yang runtut. Alur yang runtut bisa dibuat manakala wartawan memiliki
data lengkap dan diperkaya dengan setumpuk ilustrasi peristiwa yang menyelimuti kasus.
Nah, ini hanya bisa dihasilkan melalui proses observasi.

Selanjutnya, wawancara. Ini hakikatnya menjawab kebutuhan cover both side. Setiap individu
atau kelompok yang bertikai di balik kasus, harus diwakili suaranya. Meng-cover suara masing-
masing kepentingan berarti harus melakukan wawancara. Di samping wawancara juga merupakan
alat justifikasi yang absah bagi wartawan, sebagai pengganti opini pribadi yang tidak boleh
dicantumkan dalam proses penulisan.

Hampir sama dengan observasi, teknik ini tidak memiliki aturan baku. Ia adalah seni
improvisasi. Intinya wartawan mengejar dengan pertanyaan kritis untuk setiap variabel masalah
yang ada di selubung kasus. Untuk kebutuhan akurasi, sebaiknya ikuti kebiasaan wartawan kawakan
di bawah ini:

1. Bila mewawancarai seseorang sumber berita, jangan lupa tanyakan namanya, usianya,
alamatnya, dan nomor teleponnya. Nomor telepon memang tidak ditulis dalam
pemberitaan, tetapi ini penting bagi wartawan untuk mengadakan pengecekan ulang atas
sebuah informasi.
2. Bila nama, usia, dan alamat anda dapatkan dari sumber kedua, harap dicek kembali pada
buku telepon. Bila anda membutuhkan penyebutan usia, ini pun harus ditanyakan langsung
pada sumbernya.
3. Jangan berkali-kali beranggapan bahwa Anda mengetahui semua masalah. Anda harus
selalu mengecek informasi yang penting.
4. Informasi dari sumber yang berbeda, yang sifatnya berlawanan, bisa didialogkan antara satu
dengan yang lainnya. Caranya, pinjam kalimat sumber lain, untuk mengorek keterangan
dari sumber yang berlawanan. Perlu digaris bawahi, dua sumber yang berlawanan perlu
disajikan tanpa kehilangan arah untuk memperjelas konteks pemberitaan. Artinya,
wartawan tidak diperkenankan sekedar menuliskan perbedaan pendapat saja, yang
berujung pada pengaburan konteks pemberitaan.
5. Umumnya wartawan selalu mengambil peranan sebagai seorang pembaca pada umumnya.
Sebab demikian wartawan yang baik, selalu melengkapi informasi berdasarkan keruntutan
sebagaimana diharapkan pembaca.

Observasi dan wawancara masih belum lengkap tanpa riset. Apa itu? Kelengkapan data
wawancara yang berkaitan langsung dengan statistik, data matematis, dan berbagai kopian surat
penting yang berkaitan dengan sebuah sengketa yang terjadi dalam sebuah kasus yang dibidik.
Data-data seperti disebut di atas, harus diupayakan untuk memperkuat informasi yang disampaikan
kepada pembaca. Untuk mendapatkan data semacam ini, wartawan dituntut untuk dapat
melakukan riset media.

Mengapa perlu melakukan riset? Bukankah tugas riset seharusnya dilakukan oleh ilmuan?
Kerja jurnalisme mengharuskan seorang wartawan untuk memiliki pengetahuan sosial yang luas.
Oleh karenanya, ia juga harus menguasai metode penelitian sosial. Pada intinya, kerja jurnalisme
yang dilakukan oleh wartawan, tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh seorang peneliti
atau ilmuan.

Riset media dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, melakukan analisis terhadap
media itu sendiri. Media yang dimaksud dapat berupa koran, majalah, film, televisi, dsb. Untuk
dapat menganalisis media, seorang wartawan dapat menerapkan teknik analisis wacana, analisis
framing, analisis isi, analisis semiotik, dan sebagainya.

Kedua, menghimpun data dari tulisan di media. Metode ini biasanya dilakukan dengan
membuat survei dan polling. Keuntungan dari menggunakan survei dan polling yaitu dapat
memprediksi hasil dan melakukan penarikan kesimpulan dari suatu fenomena. Oleh karena itu,
metode kedua inilah yang paling sering digunakan oleh wartawan media. Tirto.id menjadi salah
satu media di Indonesia yang sudah menerapkan survei dan polling dalam tulisan-tulisan yang
diterbitkannya.

Survei merupakan salah satu jenis penelitian yang menggunakan teknik sampling. Proses
pengambilan data dilakukan dengan membuat kuisioner. Karena menggunakan teknik sampling
inilah, yang dijadikan sebagai responden hanya sebagian dari total populasi. Lain halnya dengan
sensus, yang respondennya harus sejumlah total populasi.

Dalam buku Teknik Sampling Analisis Opini Publik, Eriyanto menyebutkan ada tujuh langkah
yang dilakukan dalam melakukan riset survei, yaitu:

1. Merumuskan masalah dan menentukan tujuan survey


2. Menentukan hipotesa atau jawaban sementara dari penelitian
3. Mendesain sampel
4. Pembuatan kuisioner
5. Menyebar kuisioner ke lapangan
6. Mengolah dan menganalisis data
7. Analisa dan pelaporan

Riset survei sama halnya dengan penelitian kuantitatif positivistik. Oleh karenanya,
memerlukan bangunan teori, definisi konseptual, dan definisi operasional pada bagian awal. Saat
mendesain survei, tentukan terlebih dahulu terkait tujuan, waktu, biaya, dan pendekatan. Ada dua
pendekatan yang bisa dilakukan: probabilitas dan nonprobabilitas.

Pendekatan probabilitas digunakan dengan tujuan melakukan generalisasi dari hasil yang
didapatkan nantinya. Penentuan sampel dilakukan secara random atau acak. Sedangkan pendekatan
nonprobabilitas, penentuan sampel tidak dilakukan secara acak.

Sebelum menentukan pendekatan mana yang akan digunakan, perhatikan pula keberagaman
populasi, besaran margin of error, dan tingkat kepercayaan penelitian. Semakin kecil angka standar
eror, hasil penelitian akan semakin akurat.

Keilmiahan sebuah penelitian tidak hanya diukur dari hasilnya yang akurat dengan realitas yang
sebenarnya, melainkan juga kesediaan untuk bersikap transparan dalam metode dan prosedur
penelitian, teknik pemilihan responden, dll. Semakin transparan maka semakin mungkin penelitian
itu untuk diuji, diverifikasi maupun difalsifikasi oleh orang/pihak lain, termasuk oleh publik. Inilah
prinsip dasar ilmu pengetahuan modern.

Sebuah penelitian yang tidak transparan, bahkan walau pun hasilnya ternyata sangat mendekati
kenyataan, tetap memungkinkan untuk diragukan. Publik bisa saja bertanya: dari mana hasil yang
"valid" itu? Betul-betul berdasarkan penelitian ilmiah atau hanya kebetulan belaka?
(Tirto.id/Memahami Margin of Error dan Metode Sampling pada Survei).

Selanjutnya, mengenai polling. Sebenarnya, survei dan polling tidaklah jauh berbeda.
Pembedanya, polling tidak memiliki landasan epistimologis dan metodologi yang kuat. Pertanyaan
yang diajukan hanya sedikit dan pilihan jawaban berkutat di “ya” dan “tidak” saja.

Lain halnya dengan survei yang dapat digunakan untuk memprediksi hasil dan menarik
kesimpulan dari suatu fenomena, polling hanya digunakan untuk melakukan eksplorasi terhadap
suatu fenomena.

B. Outline*

"Persiapan yang baik adalah setengah perjalanan dari kesuksesan." Begitu kata pepatah.
Pepatah itu ada benarnya dan begitu juga saya memahami kedudukan outline dalam proses kerja
seorang wartawan untuk menghasilkan sebuah tulisan yang berkualitas.
Outline yang baik adalah setengah perjalanan seorang wartawan dalam menghasilkan tulisan
yang berkualitas. Sebab, outline seperti halnya kompas adalah alat penunjuk arah bagi seorang
wartawan agar tidak tersesat dalam perjalanan reportasenya.

Tapi, Mengapa Harus Outline?

Begini, pernahkah anda membayangkan apa jadinya bila seorang mandor bangunan bekerja
tanpa gambar rancangan yang dibuat arsitek? Ada dua kemungkinan: mandor itu akan kebingungan
dan membangun asal-asalan, sebisanya atau mandor itu akan memberhentikan proyek
bangunannya. Kedua-duanya berakhir sama, disemprot habis oleh pemberi proyek. Sial 'kan?

Persoalan serupa juga dapat dihadapi oleh seorang wartawan. Tanpa gambar rancangan
(outline) reportase, seorang wartawan, kemungkinan besar akan mengalami nasib serupa dengan
sang mandor itu. Akibatnya juga dapat dipastikan, wartawan itu akan mengalami banyak
kebingungan, baik ketika reportase atau penulisan, banyak melakukan pekerjaan sia-sia dan
akhirnya, juga sama dengan sang mandor, dimarahi oleh redakturnya. Sial juga bukan?

Di sinilah pentingnya outline. Ia adalah upaya agar wartawan tidak tersesat, agar tidak
mengalami kebingungan dan agar tidak banyak melakukan pekerjaan sia-sia. Outline sendiri
memang tidak seekstrem peran gambar rancangan arsitek yang absolut dalam proses pembangunan
gedung.

Kedudukan outline lebih fleksibel, meski tidak harus plintat-plintut. Ia lebih seperti kerangka
teori dalam penelitian ilmiah (sangat mirip!), hanya saja dapat berubah dan dimodifikasi sesuai
dengan perkembangan di lapangan. Namun demikian, perlu diingat bahwa dunia wartawan selalu
dibatasi oleh waktu, sebab deadline selalu menunggu.

Lalu, Bagamana Membuat Outline yang Baik?

Mudah. Menurut Ivan Haris, Redaktur Pelaksana Majalah FORUM Keadilan, "Membuat
outline bukanlah pekerjaan sukar, membuat outline adalah pekerjaan belakang meja," ujarnya pada
satu kesempatan.

Namun sebelumnya, inilah yang cukup sulit. Outline yang baik seyogyanya melewati sebuah
diskusi--dalam rapat redaksi--yang ketat dan serius. Hal ini bertujuan agar sebuah outline benar-
benar dapat menjadi kompas bagi wartawan, penunjuk arah yang jitu dan tepat sasaran.
Bisa dijelaskan di sini, idealnya, outline pertama merupakan usulan dari seorang wartawan,
setelah itu disidangredaksikan, disusun ulang, dan setelah itu dirapatredaksikan lagi. Baru outline
itu dapat menjadi kompas wartawan dalam reportase. Sekali lagi, diskusi yang ketat dan serius.

Adapun bentuk outline yang baik adalah outline yang singkat, jelas, mudah dicerna dan bukan
yang memusingkan atau yang malah menunjukkan kemahiran penulisnya. Ini bedanya dengan
proposal atau kerangka penelitian ilmiah. Dan isinya paling tidak menyangkut hal-hal di bawah ini:

Gambaran awal masalah

Berisi deskripsi tentang masalah yang diangkat menjadi topik. Terdiri dari rumus 5W+1H.
Lebih baiknya jika dilengkapi dengan informasi background--bukan isu--yang didengar dan
didapatkan seputar permasalahan, berupa firstlead (petunjuk awal) ataupun newspage (cantolan
berita).

Fokus

Fokus berasal dari kata focus, istilah bahasa Inggris. Dalam pengertian jurnalistik, fokus adalah
titik perhatian kita terhadap sebuah permasalahan. Penentuan fokus merupakan kesepakatan
sidang redaksi. Fokus juga tidak perlu banyak-banyak, cukup satu atau dua saja.

Angle

Angle adalah istiltah dalam bahasa Inggris. Secara harfiah, ia berarti sudut pandang. Sebagai
istilah dalam jurnalisme, angle ya tetap berarti sudut pandang. Angle sangat penting agar tulisan
terkontrol dan tidak ke mana-mana.

Mudahnya berisi pertanyaan yang ingin kita cari jawabannya. Resep praktis dari Mas Gun
(Goenawan Mohammad): "Rumuskan angle dalam kalimat tanya!". Jadi, ia tidak jauh berbeda
dengan rumusan masalah dalam proposal skripsi. Angle cukup satu saja. Tidak usah banyak-
banyak! Karena akan membingungkan.

Membuat draft pertanyaan

Ingat pertanyaan pertanyaan utama adalah 5W+1H. Oleh karena depth news atau features
lebih dalam, maka perbanyaklah menggunakan why dan how agar muncul hal-hal yang sebelumnya
belum terungkap, latar belakang misalnya. Draft pertanyaan akan kita ajukan sebagai alur dalam
proses wawancara. Karena itu draft pertanyaan harus jelas dan fokus pada permasalahan.
Menetukan narasumber

Penjabaran masalah akan membeberkan secara otomatis narasumber yang akan diwawancarai.
Persiapkan pula narasumber cadangan, sekunder, untuk persiapan jika narasumber utama tak dapat
dijangkau. Outline yang telah rampung menjadi pegangan dan jalan yang dianut untuk peliputan
lapangan. Ketika ada data yang melenceng atau ada narasumber yang tidak bisa ditemui, kita sudah
bisa mencari alternatif lain.

*Tulisan Luqman Hakim Arifin (Konsultan Media dan Pakar Komunikasi Organisasi) “Outline,
Kompasnya Wartawan”, Jogja 2 April 1999.

C. Tambahan

Sebelum melakukan outline, sebaiknya tentukan terlebih dahulu terkait news value dari berita
yang akan ditulis. Mengapa harus menentukan news value? News value atau nilai berita, diperlukan
untuk mengukur atau menentukan seberapa layak sesuatu untuk diberitakan. Sesuatu bisa
dikatakan layak diberitakan apabila mengandung di antara unsur-unsur news value berikut ini:

1. Ketokohan
Orang yang populer biasanya memiliki news value lebih tinggi untuk diberitakan.
2. Kedekatan
Peristiwa yang terjadi di lingkungan terdekat kita akan lebih menarik untuk diberitakan,
daripada peristiwa serupa yang terjadi di luar provinsi. Pemilihan nilai berita kedekatan juga
bisa diambil dari arah pemberitaan sebuah media.
3. Unik
Sesuatu dapat dikatakan unik apabila bersifat ganjil, tidak biasa, dan terjadi di luar batas
kewajaran. John Bogart, editor Koran The Sun (NY) pernah mengemukakan sebuah
gagasan, “Bila anjing menggigit orang, itu bukan berita. Tetapi, bila orang menggigit anjing,
itu berita”.
4. Temuan Baru
Adanya riset dan uji coba yang dilakukan oleh para ahli tentunya akan berdampak bagi
kehidupan mendatang. Karenanya, penemuan-penemuan baru memiliki kelayakan untuk
diberitakan.
5. Aktualitas
Peristiwa yang baru saja terjadi akan lebih layak diberitakan daripada peristiwa serupa yang
terjadi pada beberapa bulan lalu.
6. Human Interest
Sesuatu yang berkaitan dengan rasa kemanusiaan akan lebih menarik untuk dikisahkan.
Unsur human interest biasanya tidak berfokus pada peristiwa, tetapi pada hal-hal yang
melatarbelakangi atau ada di balik peristiwa. Unsur ini akan memunculkan emosi, kejadian
dramatis, motivasi, ambisi, dan sebagainya.
7. Eksklusivitas
Wawancara dengan seorang tokoh yang sebelumnya tak seorang pun berhasil
mewawancarainya, akan menjadi hal yang layak diberitakan. Semisal, mewawancara
seorang buronan teroris, atau pelaku kejahatan lainnya.
8. Dampak
Setiap peristiwa yang terjadi tentunya akan menimbulkan dampak yang dapat
mempengaruhi kehidupan masyarakat. Semakin besar dampak dari suatu peristiwa, akan
semakin layak peristiwa tersebut untuk diberitakan.
9. Konflik
Konflik menjadi penting untuk diberitakan lantaran menimbulkan korban dan kerugian.
Adanya konflik juga dapat membangkitkan emosi maupun empati dari orang-orang yang
menyaksikan. Konflik yang dimaksud dapat berupa perampasan ruang hidup, perampasan
hak beragama, demonstrasi, perang, pembunuhan, kekerasan, debat publik dan sebagainya.
10. Bencana
Sama halnya dengan konflik, bencana juga layak diberitakan karena menimbulkan dampak
yang tidak biasa dan akan memperngaruhi kehidupan masyarakat. Misalnya, bencana
gempa, gunung meletus, tsunami, perubahan iklim, dan sebagainya.
11. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual menjadi isu yang sangat genting dan gencar disuarakan. Kekerasan
seksual itu seperti fenomena gunung es. Ada satu kasus yang terungkap, tapi sebenarnya
ada lebih banyak kasus lagi yang diungkap. Kekerasan seksual adalah bentuk kejahatan yang
harus dihentikan. Wartawan memiliki fungsi kontrol untuk mencegah maupun
mengadvokasi kasus kekerasan seksual, dan bukan untuk mengeksploitasi kasus maupun
korbannya.
WAWANCARA
Eko Widianto dan Wahyu Agung Prasetyo

Wawancara merupakan proses pencarian data berupa pendapat pandangan pengamatan


seseorang yang akan digunakan sebagai salah satu bahan penulisan karya jurnalistik. Secara singkat
bisa diartikan wawancara adalah proses tanya jawab antara jurnalis dan sumber berita. Tujuan
akhirnya adalah menggali informasi suatu masalah atau peristiwa. Wawancara dapat dilakukan
secara face to face dengan narasumber, lewat telepon, surat elektronik (e-mail), dan SMS.

Tujuan wawancara adalah untuk menggali informasi sedalam mungkin, menguji validitas
informasi yang sudah di tangan. Bisa juga sekadar mengkonfirmasi informasi tertentu (benar atau
tidak) dan mendapatkan ucapan.

A. Macam-Macam Wawancara:

1. Wawancara berita (news-peg interview)

Wawancara yang dilakukan untuk mendapatkan keterangan, konfirmasi, atau


pandangan narasumber terhadap suatu masalah atau peristiwa.

2. Wawancara terencana

Sudah dipersiapkan dan direncanakan 5W 1H-nya

3. Wawancara acak

Dilakukan secara spontan dengan responden yang dipilih acak (random). Tujuannya
untuk mengetahui tanggapan yang ada dalam masyarakat mengenai suatu
permasalahan.

4. Wawancara mendesak

Dilakukan secara mendesak karena adanya peristiwa yang tiba-tiba terjadi. Atau publik
figure atau responden yang kebetulan hadir di tempat umum. Juga karena deadline
penulisan.

5. Wawancara pribadi

Wawancara untuk memperoleh data tentang data diri dan pemikiran narasumber.
Berita yang dihasilkan berupa profil narasumber, mencakup indentitas diri, perjalanan
hidupnya, dan pandangan-pandangannya mengenai pelbagai masalah—biasanya
berkaitan dengan masalah aktual atau masalah yang terkait dengan profesinya.

6. Wawancara konferensi

Dilakukan oleh seorang wartawan denangan beberapa responden atau sebaliknya


sejumlah wartawan dengan satu responden.

7. Wawancara eksklusif (exclusive interview)

Wawancara yang dilakukan seorang wartawan atau lebih tapi berasal dari satu media
secara khusus dengan narasumber, yang berhubungan dengan masalah tertentu di
tempat yang telah disepakati bersama oleh pewawancara dan narasumber.

8. Wawancara sambil lalu (casual interview)

Wawancara yang dilakukan tidak secara khusus, berlangsung secara kebetulan, tidak
ada perjanjian terlebih dulu dengan narasumber. Misalnya, wawancara dengan seorang
pejabat sebelum, setelah, atau di sela berlangsungnya suatu acara yang ia hadiri, bahkan
ketika sang pejabat berjalan menuju mobilnya untuk pulang.

9. Wawancara keliling (man-in-the street interview)

Wawancara yang dilakukan seorang wartawan dengan menghubungi berbagai


narasumber secara terpisah, yang satu sama lain mempunyai kaitan dengan masalah
atau berita yang hendak ditulis.

B. Persiapan wawancara

1. Janji wawancara (dating). Dapatkan kontak maupun alamat narasumber, jelaskan siapa
diri kita, dari media mana, mau wawancara tentang apa, dan bisa ditemui kapan.

2. Buku catatan, bolpoin. Selain untuk membantu ingatan, catatan-catatan kecil bisa
sangat membantu. Toh tak semua pekerjaan wawancara bisa dilakukan oleh alat
perekam.

3. Alat perekam. Dalam wawancara yang dipakai untuk pengumpulan bahan, mungkin ini
tak begitu diperlukan. Tapi untuk wawancara khusus, perekam jadi sangat penting.
Selain ingatan kita terbatas, ini untuk menghindari adanya salah pengertian dan keliru
menuliskan angka, singkatan dan sebagainya
4. Pengenalan/penguasaan masalah (Riset) dan Referensi. Jangan pernah melakukan
wawancara dengan kepala kosong. Paling tidak, kuasailah pokok persoalan. Semakin
banyak semakin baik. Bukan untuk mengajak narasumber debat, paling tidak kita tidak
mudah dikelabui narasumber.

5. Persiapan mental (psikologis). Kita harus memiliki pengetahuan tentang karakter


narasumber dan menyesuaikan diri kita untuk menghadapinya.

6. Susun Pertanyaan. Setelah outline, kita catat poin-poin informasi yang harus kita
dapatkan. David Candow, seorang pelatih wartawan dari Canadian Broadcasting
Corporation, mengatakan jumlah kata ideal untuk sebuah pertanyaan adalah 16 kata.
Tapi kata-kata itu bisa dirangkum dengan satu kata terbaik. Dan kata itu adalah
“mengapa?"

7. Melihat derajat kompetensi narasumber. Semakin terlibat langsung kian kompeten.


Ahli atau pengamat sebaiknya hanyalah sebagai pembanding atau rujukan. Mereka
diperlukan hanya sebatas untuk menjelaskan hal-hal yang teknis. Wartawan (yang
intens meliput) dengan sendirinya juga pengamat.

C. Tahapan wawancara

1. Sebelum Wawancara.

Cairkan suasana/buang hambatan psikologis dengan:

▪ Sapaan akrab/ramah-tamah

▪ Perkenalkan diri, kemukakan maksud

▪ Katakan akan memulai wawancara

▪ Pastikan berapa lama anda diberi kesempatan mewawancarai

▪ Background narasumber. Selain kapasitasnya, juga pribadinya. Kita bisa memulai


wawancara terasa santai dan mengalir jika tahu karakter narasumber.

2. Ketika Wawancara – Setelah wawancara.

▪ Dengar dan perhatikan. Simaklah apa saja yang disampaikan narasumber. Tanyakan
kalau kurang jelas atau ada informasi yang kurang lengkap. Bisa disela, tapi lebih
baik sesudah sumber selesai bicara.
▪ Buatlah narasumber terasa nyaman. Ini trik klasik agar kita bisa menggali informasi
sebanyak-banyaknya. Bisa dengan mewawancarai di kantor atau dari sikap bertanya
kita yang tak boleh seperti polisi saat menginterogasi pelaku kejahatan.

▪ Untuk mengawali wawancara, tanyakan hal-hal yang lebih ringan tapi, hindari basa-
basi. Jika punya pertanyaan yang bisa menyinggung perasaan, tanyakan di akhir
kesempatan setelah semua soal lain terjawab.

▪ Memilih pertanyaan. Pertanyaan yang baik adalah separuh dari jawaban. Itu yang
sering kita dengar dalam seni berwawancara. Prinsipnya, kita jangan hanya
menerima apa saja yang dikatakan narasumber. Kalau perlu, bersikaplah curiga, tapi
jangan kelihatan.

▪ Bila anda mendengar ucapan yang menarik tapi sepenggal, kejar terus sampai jelas
dan tuntas.

▪ Evaluasi catatan. Di sela-sela wawancara, liriklah notes/catatan; adakah data yang


kurang atau sesuatu yang tak jelas?

▪ Mengakhiri wawancara. Tanyakan apakah masih ada sesuatu yang hendak


disampaikan narasumber. Tanyakan nomor kontak narasumber, baik rumah,
kantor atau handphone. Katakan bahwa kemungkinan Anda akan menghubungi
dia lagi lain waktu.

▪ Ucapkan terima kasih

Kendala Sebelum Wawancara

1. Bagaimana menghadapi narasumber yang susah ditemui? Mereka alasan sibuk, bilang
besok besok, pesan ngak dibales dan mempersulit perizinan?
Jawaban:
Melalui media lain seperti email, telpon ataupun pesan singkat, menghubungi orang
terdekat. Cari narasumber lain kalau memang tidak memungkinkan.
2. Bagaimana mengetahui ragam perilakau narasumber dan bagaimana menyesuaikan
pertanyaan efektif bagi narasumber itu?
Jawaban:
Melihat dulu profil orang tersebut, apa yang dia lakukan sehari hari, dia menulis buku apa
misalnya. Minimal tau biografinya maka kita akan mengetahui treatment atau pertanyaan
yang cocok untuk dia. Memulai pembicaraan dengan hobi juga bisa.
3. Bagaimana menyusun pertanyaan yang baik, efektif juga efisien?
Jawaban:
Melakukan riset, mencari data yang kuat, cari data data penunjang buat outline kita
nantinya, jadi semuanya itu harus didasarkan riset terlebih dahulu.
4. Bagaimana menempatkan pertanyaan tertutup maupun terbuka dengan tepat?
jawaban:
Pertanyaan tertutup itu hanya dilakuakan untuk penegasan saja. Contoh kalau kita tahu
kalau DPRD Trenggalek sudah menjadi tersangka kasus korupsi, maka kita boleh bertanya
secara langsung saja. Maka anggota DPRD tersebut akan bilang ya atau tidak. Tetapi kalau
kita ingin mengetahu informasi lebih dalam, maka kita dianjurkan menggunakan
pertanyaan terbuka. Pertanyaan terbuka itu lebih efektif karena kita dapat menggali lebih
dalam suatu informasi dari narasumber.
5. Bagaimana mewawancarai perilaku kriminal/tindak kekerasan?
Jawaban:
Pertama, dengan mendekati, baik itu kita dengan sistematik menjadi sama dengan mereka
ataupun mendekati dengan rohani baik melalui metode agama dan lain-lain. Yang
terpenting kita dekat dulu, hal ini kan biasanya dilakukan di liputan investigasi. Posisikan
diri sebagai wartawan yang memberi suara kepada pelaku, supaya tidak terjadi asumsi liar
di publik.
6. Bagaimna mewawancarai korban atau saksi yang tidak mau disebut namanya?
Jawaban:
Seumpama narasumber tersebut bukan saksi kunci, lebih baik cari narsumber yang lain.
Karena kalau kita sampai menggunakan sumber anonim, hal tersebut akan berakibat
kepada kita. Dan apabila ada yang gugat, ya kita dirugikan secara hukum. Kecuali
narasumber tersebut memang sudah terdesak atau jiwanya terancam dan bisa berakibat
pada kematian ya tidak apa-apa memakai sumber anonim.
7. Bagaimana mewawancarai mahasiswa sebagai korban/saksi yang takut dan tidak mau
diwawancarai, karena takut diancam secara akademik?
Jawaban:
Sebenarnya akademik itu tidak memiliki alasan kuat untuk dijadikan sumber anaonim, ya
kalau memang tidak mau, ya cari narasumber atau mahasiswa lain.
8. Bagaimana mewawacarai koban kekerasan seksual, atau narasumber sensitif lain yang
dianggap tabu di masyarakat?
Jawaban:
Pertama kita harus ijin dengan korban, mau diliput atau tidak. Jika tidak, maka tidak boleh
dipaksa. Kita bisa wawancara pendamping hukum korban. Kita harus peka dengan kondisi
mental dari korban. Jangan sampai setelah diwawacarai dan berita terbit malah berakibat
memperparah trauma yang dimiliki korban.

Kendala Ketika Wawancara

1 Bagaimana cara agar tidak ikut arus pembicaraan narasumber? kita tanya a dijawab b,c,d
dan seterusnya?
Jawaban:
Kita harus fokus dengan informasi apa yang kita ingin dapatkan, jika narasumber banyak
bicara lain tapi itu masih berhubungan dengan informasi yang kita inginkan, kita dengarkan.
Siapa tahu kita dapat informasi penting lainnya. Kalau sudah terlalu jauh, ya kita jeda
dengan pertanyaan kesimpulan: “jadi (menyimpulkan informasi yang kita inginkan)?” nah,
narasumber akan kembali ke fokus awal.

2 Bagaimana menghadapi narasumber yang menguji kredibilitas kita sebagai seorang jurnalis?
Jawaban:
Kita harus sering banyak baca uu pers dan kode etik maupun wacana-wacana
kejurnalistikan. Dan kita harus paham secara menyeluruh (peraturan, penelitian, berita,
perkembangan dan informasi terbaru) dengan isu yang kita angkat dalam pemberitaan.
3 Bagaimana menyikapi informasi yang tidak sesuai dengan data awal yang kita dapatkan?
Jawaban:
Kita bisa mendalami informasi yang berbeda itu, jika informasi itu penting dan
berhubungan dengan informasi yang kita inginkan. Jika informasi itu berbeda, dalam arti
berkebalikan, kita bisa menampung saja informasi itu, kita verifikasi di luar wawancara.
Kita tidak boleh membantah informasi yang berkebalikan itu dengan debat atau adu
argumen. Karena posisi wartawan adalah orang yang menanyakan dan memverifikasi. Jika
membantah, kata-kata yang kita gunakan haruslah kata-kata pertanyaan. Jika narasumber
menanyakan pendapat kita tentang informasi yang kita inginkan, kita jawab dengan “maaf,
dalam kondisi sekarang bukan ranah saya untuk berpendapat, saya di sini sebagai wartawan
yang ingin mencari informasi” jika narasumber memaksa, ungkapkan saja opinimu
sesingkat-singkatnya dan jangan terbawa ke diskusi/debat, tapi kita harus kembali ke
informasi yang kita inginkan.
4 Bolehkah merekam pembicaraan penting tanpa ijin?
Jawaban:
Jelas tidak boleh, karena dalam kode etik wartawan professional itu harus menujukkan
identitas tapi kalau tujuannya utuk investigasi (kasus yang merugikan banyak orang) tidak
apa-apa. Tapi kalau kita dalam kondisi diancam, kita perlu merekam, untuk bukti dan jaga-
jaga jika dikemudian hari kita mendapat ancaman. Kalau ketahuan, segera mohon maaf dan
jelaskan baik-baik kenapa kita melakukan hal itu, kalau kita merasa diancam, dan kita harus
melakukan sesuatu untuk bertahan.
5 Bagaimana mengatasi narasumber yang mengatakan informasi tapi off the record?
Jawaban:
Kita harus pintar-pintar merayu narasumber agar mau on the record, tentu kita harus baca
dan paham uu pers, kode etik dan wacana-wacana jurnalistik lainnya. kalau memang tetap
tidak mau dan tidak bisa, kita mencari narasumber yang sekunder lain. Tapi data off the record
itu bisa digunakan sebagai data awal kita, walupun kita tidak bisa menggunakannya dalam
berita.
6 Bagaimana mengatasi narasumber yang jawabannya cuaman iya, tidak, tidak ada lupa
pokonya seperti itu?
Jawaban:
Dalam hal ini ya kita harus mempertajam petanyaan, kita juga pintar-pintar mengatur
pertanyaan. Missal dari pertanyaan yang awalnya “apakah” menjadi “bagaimana”. Jika
narasumber tak memberi jawaban dengan berkata “tidak tahu, tidak ada komentar”, ganti
pertanyaan kesimpulan “kalau (menyimpulkan informasi yang kita inginkan) berarti…?”

Kendala Setelah Wawancara

1. Bagaimana menghadapai narasumber setelah diwawacarai tiba-tiba tidak ingin hasil


wawancara diberitakan karena ada ancaman lisan atau fisik?
Jawaban:
Kita perlu tahu alasannya, kalau memang posisi narasumber tiba-tiba terancam serius, tentu
kita tidak bisa menggunakan hasil wawancaranya untuk berita kita. Kalau tidak ada
ancaman serius, kita harus meyakinkannya. Kembali lagi kita harus baca dan paham uu
pers, kode etik dan wacana-wacana jurnalistik lainnya.
2. Bagaimana menjaga hubungan dan komunikasi yang baik dengan narasumber setelah
wawacara?
Jawaban:
Catat nomor, dan berkomunikasi dengan narasumber itu. Kita kasih berita hasil
wawancara, kasih informasi-informasi baru yang berkaitan dengan berita itu dan informasi
yang penting bagi narasumber. Dengan begitu, minimal ada usaha untuk menjaga
komnikasi dengan narasumber.
3. Bagaimana memberi jaminan keamanan bagi narasumber yang memberikan infomasi dan
berpotensi untuk membuat orang lain mengancamnya?
Jawaban:
Wartawan tidak memiliki kuasa memberikan perlindungan, kecuali dengan sumber anonim,
korban yang terancam nyawanya. Kita bisa merahasisakan identitas narasumber itu
menyembunyikan ke tempat yang aman untuk sementara waktu, atau menyerahkannya ke
orang-orang yang bisa melindunginya (polisi, keluarganya, Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), kelompok masyarakat, dan lain-
lain).
PENULISAN BERITA
Wahyu Agung Prasetyo

Sebelum mempelajari teknik penulisan berita, ada baiknya kita memahami genre-genre
jurnalisme serta ragam berita. Dalam buku “Jurnalisme Sastra,” karya Septian Santana Kurnia,
genre awal jurnalisme adalah jurnalisme klasik (straight news). Kemudian Fred Fedler, seorang
komunikolog, mengamati perkembangan jurnalisme, sehingga muncul jurnalisme baru. Fred
Fedler membagi jurnalisme baru ke dalam empat pengertian, yakni:

1. Jurnalisme Advokasi. Genre jurnalisme yang mengilustrasikan tujuan penciptaan opini


publik, dengan penekanan objektivitas pers untuk mewujudkan fungsi kontrol sosial atau
watch dog (pengawas) pemerintah dan fungsi pers sebagai pilar ke empat demokrasi.

2. Jurnalisme Alternatif. Genre jurnalisme yang tujuannya mirip dengan jurnalisme advokasi,
namun mengkhususkan target pembacanya.

3. Jurnalisme Presisi. Genre jurnalisme yang menggunakan metode ilmiah dalam teknik
reportase dan mengadopsi langkah-langkah penelitian yang disyaratkan oleh dunia
akademis kedalam teknik pencarian berita.

4. Jurnalisme Sastra. Genre jurnalisme yang menggunakan kreasi sastra dalam penulisan
laporan secara non fiksi.

Sedangkan ragam karya jurnalistik yang ada empat:

1. Straight News. Merupakan berita ditulis singkat, lugas, bersifat mengumpulkan dan
menampilkan fakta yang tampak. Penulisan memakai pola 5 W + 1 H yang diletakkan di
teras berita. Judul berita biasanya langsung mengacu pada peristiwa yang disampaikan.

2. Depth News. Merupakan laporan mendalam tentang suatu peristiwa yang biasanya
mengenai kepentingan khalayak dan layak diketahui umum. Mendalam dalam arti bahwa
segalanya dilaporkan sampai ke datail-detailnya. Reportase dilakukan untuk menggali
sedalam mungkin data agar bisa disajikan dengan jelas dan rinci agar masyarakat bisa benar-
benar memahami peristiwa tersebut.

3. Investigasi. Merupakan laporan mendalam yang mengungkap kejahatan terhadap


kepentingan publik. Skala dari kasus yang diungkap cenderung terjadi secara luas atau
sistematis. Laporan Investigasi menjawab semua pertanyaan penting muncul dan
memetakan persoalan dengan gamblang. Serta mendudukkan aktor-aktor yang terlibat
secara lugas, didukung bukti-bukti yang kuat dan publik bisa memahami kompleksitas
masalah yang dilaporkan.

4. Feature. Ada dua feature. Pertama feature berita, adalah feature yang lebih banyak
mengandung unsur berita, berhubungan dengan peristiwa aktual yang menarik perhatian
khalayak. Biasanya merupakan pengembangan dari sebuah Straight News. Kedua feature
artikel, adalah feature yang dikembangkan dari sebuah berita yang tidak aktual lagi atau
berkurang aktualitasnya. Misalnya, tulisan mengenai suatu peristiwa sejarah, kisah
seseorang dan lain-lain.

Setelah memahami genre-genre jurnalisme dan ragam karya jurnalistik secara singkat, kita akan
mulai belajar teknik penulisan berita. Dalam hal ini, teknik penulisan berita yang dimaksud adalah
Straight News.

Kenapa Straight News? Karena Straight News bisa dikatakan sebagai cara paling sederhana
untuk membuat karya jurnalistik. Ia bersifat padat, singkat dan jelas dalam menyampaikan
kebenaran. Untuk mengembangkan berita ke ragam karya jurnalisme lainnya (dept news,
investigasi, maupun feature), cara paling mudah adalah mempelajari straight news terlebih dahulu.

Sebelum Menulis Straigh News

Sebelum menulis Straight News, tentu kita harus menentukan isu apa yang harus kita tulis.
Dalam dunia pers/media, isu-isu itu disepakati di rapat redaksi lalu didistribusikan ke jurnalis-
jurnalisnya. Penentuan isu umumnya ditentukan oleh Tim Redaksi. Tapi, ada juga yang ditentukan
oleh jurnalisnya sendiri, dan ada juga isu-isu insidental (terjadi hanya pada waktu tertentu saja) yang
menuntut jurnalis untuk segera meliput dan melaporkan ke dalam berita.

Isu-isu itu kemudian difokuskan ke satu sudut pandang atau yang biasa disebut sebagai angle.
Setiap angle, harus memiliki nilai berita seperti informatif, menarik, relevan, mendidik, menghibur,
mengawasi kebijakan pemerintah, serta memiliki kepentingan publik dan lain sebagainya. Angle ini
bisa juga untuk mekhususkan ke kelompok pembaca tertentu, maupun ke seluruh masyarakat.

Setelah itu, kita melakukan reportase dengan menggali data, outline riset dan wawancara. Data-
data yang sudah kita dapatkan kita harus menyimpannya (gawai, flashdisk, hardisk,
laptop/computer, drive), mentranskrip hasil wawancara, lalu kita olah dan sajiikan menjadi sebuah
berita.

Menulis Straight News


Apa yang harus kita tulis dulu? Judul? Paragraph pertama? Lead (teras beita)? Nah, itu terserah,
sesuai selera masing-masing jurnalis. Tapi, yang menjadi fokus utama dan unsur terpenting tetaplah
isi berita.

Sebelum menulis, ada baiknya kita menyusun kerangka tulisan. Dalam kerangka tulisan ada
pokok-pokok pembahasan yang akan kita tulis. Pokok pembahasan ini ditulis dalam satu kalimat
(untuk satu atau dua paragraf) sampai ke pokok pembahasan yang terakhir.

Misalnya dalam berita “Aliansi Rakyat Trenggalek Kritik Izin Usaha Pertambangan
Emas PT SMN Banyak Manipulasi Data” di kabartrenggalek.com, pokok pembahasannya
adalah (1) Pernyataan PT SMN tentang dampak positif tambang emas, (2) tanggapan Aliansi
Rakyat Trenggalek, (3) data-data dasar penolakan tambang emas oleh Aliansi Rakyat Trenggalek,
(4) Argumentasi penutup dari Aliansi Rakyat Trenggalek.

Ada berbagai alternatif dalam kerangka tulisan. Alternatif ini tersebut bukan aturan baku yang
haram dilanggar. Kerangka tulisan itu seperti:

1. Kronologis, yaitu bercerita menurut waktu kejadian.

2. Urutan ruang, misalnya kita menceritakan sebuah bangunan bersejarah candi. Kita
bisa memulainya dengan menceritakan sekelilingnya candi, lalu tangga, ruang pemujaan dan
seterusnya.

3. Urutan sebab akibat, penceritaan gaya ini menuntut kita untuk membentangkan masalah
yang kita ceritakan menjadi sebuah runtutan logis. Misalnya, adanya rencana pertambangan
emas di Trenggalek apa dampaknya bagi masyarakat Trenggalek?

4. Urutan akibat sebab, misalnya kita melihat demonstrasi buruh, petani, dan mahasiswa yang
menuntut sebuah keadilan dan kesejahteraan pada Hari Tani. Lalu kita telusuri sebab
kejadian tersebut. Bagaimana peristiwa demonstrasi itu? Apa alasan massa aksi melakukan
demonstrasi? Apa tuntutan mereka?

5. Urutan umum khusus, atau sebaliknya. Urutan cerita ini dimulai dari melukiskan berbagai
kejadian atau masalah yang bersifat individual yang selanjutnya menuju pada pembahasan
tentang pola umum yang tampil dari kejadian individual tersebut. Jika dibalik, kita dapat
mengulas sebuah kesan umum terlebih dulu baru kemudian membeber berbagai contoh
yang khusus.

Namun, alternatif kerangka tulisan itu sekali lagi tidak baku. Kita juga bisa berkreasi dengan
berbagai kerangka lain, sesuka kita. Asal jelas dan tidak membingungkan pembaca. Dengan
menyusun pokok-pokok pembahasan dalam kerangka tulisan, kita akan lebih mudah dalam
menulis berita. Berikutnya kita bisa menulis judul, lead, dan paragraf pertama.

Judul

Judul adalah inti dari teras atau lead berita. Judul harus jelas, mudah dimengerti dengan sekali
baca dan menarik, sehingga mendorong pembaca untuk mengetahui isi tulisan. Hal-hal yang perlu
diperhatikan:

1. Panjang judul maksimal dua baris terdiri atas empat hingga enam kata. Bila panjang judul
satu baris, maksimal terdiri atas lima kata. Untuk judul berita utama maksimal lima kata.
Namun dengan perkembangan jurnalisme saat ini, judul suatu berita bisa lebih dari lima
kata, asal bisa dipahami penbaca.

2. Semua kata di dalam judul dimulai dengan huruf besar, kecuali kata sambung seperti dan,
di, yang, bila, dalam, pada, oleh, dan kata tugas lainnya yang ditentukan redaksi.

3. Hindari penggunaan singkatan yang tidak popular serta judul yang bersifat tidak jelas dan
tidak sensasional.

Lead

Lead (teras) berita adalah kalimat pembuka dari sebuah berita. Lead dianggap penting karena
fungsinya sebagai daya pikat untuk menarik pembaca untuk mengikuti alur. Serta memberi jalan
dari sederetan paragraf yang akan ditulis oleh seorang wartawan.

Karena fungsinya yang cukup penting dalam sebuah tulisan, maka lead memberi banyak
pilihan. Dari yang berusaha menyentak pembaca sampai sampai berusaha menggelitik rasa ingin
tahu. Dari yang nyentrik sampai mengaduk-aduk imajinasi pembaca.

A. Macam-macam Lead:

1. Lead Ringkasan. Lead ini berisi inti cerita sebagaiman adalam tulisan straight news.
Syaratnya kasus harus benar-benar kuat dan menarik. Bila tidak, lead ini kurang
menguntungkan. Contoh:
Meski banyak kurangnya, Revolusi Mental tetap dipertahankan dalam visi-misi Joko
Widodo untuk pemilu 2019. (tirto.id Capaian Tak Jelas, Kenapa Revolusi Mental
Dipertahankan Jokowi?)

2. Lead Bercerita atau Naratif. Tipe ini berusaha membenamkan pembaca pada suasana
cerita, ia memberikan pembaca jadi tokoh utama dalam suasana tersebut. Misal:

Kaum Ahmadi. Menjadi pengungsi di tanah sendiri. (tirto.id Ahmadiyah: Kontroversi


Imam Mahdi dan Korban Persekusi)

3. Lead Deskriptif. Lead ini berbeda dengan sebelumnya. Ia justru meletakkan


pembaca pada posisi beberapa meter di luar suasana, pembaca disuruh menonton,
mencium dan membayangkan. Intinya lead ini berusaha menciptakan gambaran
dalam pikiran pembaca tentang sebuah tokoh atau kasus. Misal:

Seorang buruh yang hamil 7 bulan minta pindah dari bagian produksi karena cemas
janinnya bisa cacat akibat terpaan amonia. Perusahaan menolaknya. (tirto.id Eksploitasi
Kerja di Pabrik Es Krim Aice, Sponsor Asian Games 2018)

4. Lead Kutipan. Lead dalam tipe ini merupakan kutipan pendapat narasumber yang
paling menarik dan menantang. Biasanya dikutip dalam bentuk kutipan langsung.
Misal:

“Bersama-sama kita jaga Desa Wadas tercinta, tuk kelangsungan hidup

sampai anak cucu kita, bahkan sampai akhir dunia”

– Mars GEMPADEWA –

(nggalek.co - Suara Gugatan Warga Desa Wadas kepada Gubernur Jawa Tengah yang
Menerbitkan Ijin Baru untuk Pertambangan)

5. Lead Humor. Tipe lead ini biasanya berbentuk sindiran atau parodi. Lead ini sangat
membantu dalam membangun mood pembaca. Misal:

Humornya kering. Kritik sosialnya jenuh. Sinematografi standar, CGI kasar, dan musik
latar berlebihan. Di mana letak pengerjaan yang katanya “serius abis” itu? (tirto.id Gila
Lu Ndro!: Dagelannya Garing, Satirenya Klise)
6. Lead Pertanyaan. Tipe ini berfungsi untuk menggugah rasa ingin tahu pembaca.
Seringkali lead ini cuma tak-tik. Tidak penting apakah pembaca sudah mengetahui
jawabannya, atau malah sebaliknya, yang pasti strategi dalam tipe ini dialamatkn pada
pngetahuan dan terutama rasa ingin tahu pembaca. Misal:

Kuli paruh waktu: separuh bekerja, separuh menunggu pekerjaan. Dengan penghasilan
rata-rata 250 ribu per bulan, bagaimana mereka bertahan? (tirto.id Balada Kuli Paruh
Waktu di Jakarta)

7. Lead Menuding Langsung. Tipe ini sangat jitu untuk mengajak masuk pembaca sebagai
bagian dari cerita. Ia biasanya tidak segan menggunakan kata ‘anda’ dalam rentetan
kalimatnya. Keuntungannya, pembaca tersentak, dan mau tidak mau pembaca pasrah
dalam alurnya. Misal:

Sentimen "Islam" memengaruhi pilihan Jokowi menggandeng Ma'ruf Amin. (tirto.id


Mengapa Publik (Terpaksa) Harus Menerima Paket Jokowi-Ma'ruf Amin?)

Apapun bentuk lead anda, yang pasti ketika menulis lead, tulisan harus dibikin seringkas
mungkin. Begitu juga paragrapnya, ringkas dan juga diksi (pilihan kata) kuat, pakai kata aktif.

Isi Berita

Jika lead yang menarik sudah didapat, kini tinggal mengembangkan tulisan berdasarkan
kerangka yang telah kita buat di awal. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan
straight news adalah:

1. Paragraf pertama memuat 4W (what, where, who, when). Menjelaskan isu berita tentang
apa, siapa yang terlibat, dimana dan kapan. Informasi awal ini penting untuk memudahkan
pembaca memahami informasi awal dari keseluruhan berita. Contoh:

“Pada Jumat pukul 14.00 WIB, puluhan warga Desa Wadas berkumpul di Alas (hutan)
Wadas. Mereka melakukan konferensi pers terkait gugatan kepada Ganjar Pranowo selaku
Gubernur Jawa Tengah. Gugatan itu dilakukan karena pada tanggal 7 Juni 2021, Ganjar
Pranowo mengeluarkan kebijakan tentang Pembaruan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten
Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah.”

(nggalek.co - Suara Gugatan Warga Desa Wadas kepada Gubernur Jawa Tengah yang
Menerbitkan Ijin Baru untuk Pertambangan)
Keterangan: (1) What: Warga Wadas melakukan konferensi pers terkait gugatan kepada
Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah, (2) where: di Alas (hutan) Wadas (3) who,
Warga Wadas dan Ganjar Pranowo, (4) when: Jumat, 14.00 WIB, 7 Juni 2021.

2. Paragraf kedua dan seterusnya, bisa menjelaskan “why dan how” dalam berita. Seperti
menjelaskan sebab, akibat, maupun kelanjutan dari paragraf pertama, tergantung kerangka
tulisan yang sudah dibuat di awal. Dalam berita “Suara Gugatan Warga Desa Wadas kepada
Gubernur Jawa Tengah yang Menerbitkan Ijin Baru untuk Pertambangan” paragraf kedua
melanjutkan kebijakan Ganjar Pranowo terkait izin pertambangan, dan paragraf beriku-
berikutnya mejelaskan “akibat” dari paragraph sebelumnya (kebijakan Ganjar Pranowo).
Jadinya seperti ini:

Kebijakan yang tertera dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/20
Tahun 2021 itu, dinilai sangat merugikan Warga Wadas. Padahal warga Desa Wadas
menolak rencana pertambangan batuan andesit dan pembangunan Bendungan Bener, tapi
Ganjar Pranowo tetap mengeluarkan kebijakan tentang pembaruan penetapan lokasi.

Siang itu, konferensi pers yang biasanya terkesan serius dan kaku, menjadi lebih cair dan
menggelorakan semangat perlawanan warga Desa Wadas. Insin Sutrisno, Ketua Gerakan
Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA) memulai konferensi pers dengan
tema “Rezim Pembangunan Ugal-Ugalan: Desa Wadas Jadi Korban” itu.

Insin menjelaskan kalau warga selalu dibohongi oleh pihak-pihak terkait rencana
pertambangan batuan andesit. Warga Desa Wadas sudah menolak dan berupaya
mengadvokasi ke berbagai tempat, tapi respons dari Gubernur Jawa tengah malah dengan
membuat kebijakan pembaruan Ijin Penetapan Lokasi (IPL). Maka dari itu, Insin bersama
warga Desa Wadas bertekad akan menggugat siapapun yang tidak melaksanakan aspirasi
dari warga, dan kini warga menggugat Gubernur Jawa Tengah.

“Kita butuh makan, butuh sandang, butuh papan yang asalnya dari bumi wadas tercinta
ini. Kalau bumi wadas digusur, berarti akan dibunuh kehidupan kita. Lihatlah kanan kiri
kita, tumbuhan subur, berbuah, ada perumahan apabila digusur habislah perumahan itu.
Sehingga kita yakin, dan kita bertekad untuk memperjuangkan tanah kita yang subur ini,”
ujar Insin.

3. Penutup.
Supaya tulisan kita mengenang di hati dan pikiran pembaca, kita tidak boleh melupakan kesan
yang harus dibangun dalam paragrap akhir. Dengan ending yang menarik, pembaca akan
mempunyai kesan mendalam terhadap ulisan kita, yang tak jarang kesan itu akan bertahan sampai
waktu yang lama. Kita bisa menulis penutup tentang ringkasan, informatif, klimaks, kejutan,
maupun tanpa penyelesaian dari berita yang kita tulis. Contohnya:

a. Ringkasan.

“Islam itu tidak membutuhkan kekuasaan. Islam mengajar hal-hal seperti kejujuran, harus
amanah, harus memperhatikan hak-hak orang lain. Kita tidak butuh kekuasaan untuk bisa
salat lima waktu. Di Indonesia, ada Pancasila yang menjamin kita bisa beribadah sesuai
keyakinan. Kami tidak butuh kekuasaan. Justru sebaliknya, kami ingin menjaga Indonesia,”
ujarnya.

(tirto.id Kerja Kemanusiaan Ahmadiyah untuk Sesama)

b. Informatif

“Kami pernah mengadakan penelitian pada tahun 2016, masyarakat sekitar titik eksplorasi
juga memiliki pandangan bahwa untuk sementara itu mereka bisa menerima beberapa
bantuan dari perusahaan [PT SMN] berupa pembangunan Mushola dan rabat jalan. Karena
saat itu mereka membutuhkannya. Tapi mayoritas yang kami tanyai, mengatakan dengan
jelas jika jadi ditambang, mereka pasti akan menolak,” ungkap Mukti.

(kabartrenggalek.com Aliansi Rakyat Trenggalek Kritik Izin Usaha Pertambangan Emas


PT SMN Banyak Manipulasi Data)

c. Klimaks

“Tambang emas yang pasti akan lebih banyak mudarat-nya dari pada manfaatnya bagi kami
sebagai masyarakat warga Desa Ngadimulyo. Kami menolak dengan tegas adanya tambang
emas di wilayah kami. TOLAK TAMBANG HARGA MATI,” tandas Dian.

(kabartrenggalek.com – Jokowi Berkunjung ke Trenggalek, Warga Kampak Suarakan


Tolak Tambang Emas)

d. Kejutan

“Biaya hidup akan semakin tinggi, perusahan tidak bisa menjamin, bahkan negara seringkali
lepas tangan soal itu. Maka dari itu, bisa dikatakan sebagai ilusi kesejahteraan dari tambang.
Sebab masyarakat hanya dapat remah-remah, tapi jikalau hancur eksositemnya, mereka
yang harus menanggungnya,” ungkapnya.

(kabartrenggalek.com – Dampak Tambang Emas, Warga Kampak Harus Siap Hadapi


Tanah Longsor dan Banjir Skala Besar)

Hal yang Perlu Diperhatikan Ketika Menulis Berita:

1. Ketika menulis berita, kita bisa memulainya dengan doa supaya berita itu bisa segera selesai.
Berita itu bermanfaat nantinya bagi pembaca serta bagi mereka yang kita perjuangkan, yang
tak tahu bagaimana dan tak mampu bersuara, yang tertindas dan yang terpaksa harus
menerima ketidakadilan. Nah, berjuang untuk liputan itu berat, jadi bareng-bareng aja.
Semoga kita bisa bermanfaat bagi orang lain. Amiin.

2. Setiap melanjutkan ke paragraf berikutnya, kita bisa menyambungnya dengan “transisi”.


Transisi bak tali yang mengikat berbagai pembahasan yang terserak dalam tulisan menjadi
satu cerita yang utuh. Transisi bisa berbentuk kata, kalimat, atau paragraf. Contohnya:
Kemudian, di dekat, selama kejadian itu, dalam perkembangannya, menurut … , namun,
menanggapi hal ini, begitu juga dengan … , ketika dikonfirmasi di waktu yang berbeda, dan
sebagainya.

3. Ketika menulis, kita harus selalu fokus dengan opini dan fakta. Tentu jurnalis tidak boleh
memasukkan opini pribadi ke dalam berita, karena berita itu nanti menjadi subjektif.
Artinya, mempengaruhi tingkat objektifitas berita. Untuk menyampaikan tulisan yang
mendekati objektif, kita bisa mengantisipasinya dengan mengklarifikasi ke narasumber
tentang apa yang diketahui, dipahami, maupun dirasakannya. Kita juga bisa menghindari
kalimat subjektif dengan cara “menggambarkan bukan mengatakan”.

Misalnya, ini contoh saja. Dalam kutipan “polisi itu menghajar warga Wadas yang
mempertahankan tanahnya dari proyek pertambangan. Tindakan kejam itu telah melanggar
kewajiban polisi untuk melindungi warga negaranya.”

Pertama, kita tidak bisa menulis kata “menghajar” karena ukurannya tidak jelas. Menghajar
yang seperti apa? apa benar warga merasa dihajar, atau dipukul saja? Nah, ini yang perlu
diperjelas ke narasumber itu sendiri tentang apa yang dirasakan. Selain itu, kita juga bisa
“menggambarkan bukan mengatakan”. Kita bisa menggambarkan missal, “polisi itu
memukul tubuh salah satu warga hingga membuat warga itu ambruk ke tanah”.
Salah satu cara untuk mengantisipasi untuk menyampaikan kata “menghajar” dan kata lain
yang tidak memiliki ukurag yang jelas, yaitu dengan menggunakan kata-kata dari
narasumber. Misal ada narasumber yang menyatakan “saya dihajar bergiliran oleh para
polisi kejam itu”. Nah, kita bisa menggunakan kata “Menghajar” dan “Kejam”. Tapi jika
narasumber tidak mengatakannya, jangan memaksa narasumber untuk mengatakannya
dengan pertanyaan “Apakah kamu dihajar oleh polisi kejam itu?” atau yang lebih parah
“Apakah kamu menderita?”

Perlu digarus bawahi, dengan menggambarkan peristiwa melalui “apa yang kita lihat bukan
apa yang kita rasakan” artinya kita memberi kesempatan pembaca untuk menilai peristiwa
itu. Dan ketika nanti ada pihak yang mempermasalahkan tulisan kita, pembelaan pun juga
bisa dimungkinkan, karena kita menulis peristiwa yang terjadi, bukan menghakimi salah
satu pihak dengan menafsirkan peristiwa itu.

4. Ketika menulis berita kekerasan seksual, kita tidak boleh menggunakan kalimat maupun
kata-kata yang bisa memperburuk trauma korban karena sama saja kita menjadi pelaku
kekerasan terhadap korban. Jangan biarkan korban menjadi korban lagi oleh berita yang
kita tulis. Fokuslah pada kebejatan pelaku, bagaimana pola pelaku melakukan kekerasan
seksual.

Jangan pakai kata-kata yang memberi stigma kepada korban, missal “keluar malam,
sikapnya buruk, pakaiannya terbuka” dll. Jangan pakai narasi berita yang diskriminatif.
Artinya memberi porsi lebih kepada pelaku untuk memberikan pembelaan, tapi tidak
memberi porsi sama sekali untuk dampak trauma maupun fisik dari korban.

Jangan pakai kata-kata yang sensasional, seperti “menggagahi, menggerayangi, begal..” dll,
tapi gunakanlah kata “Kekerasan Seksual” “Pelecehan Seksual” “Pemerkosaan” dll. Jangan
pakai kata oknum untuk pelaku, gunakanlah kata anggota (Polisi misal), atau pekerjaan si
pelaku. Nama terang pelaku boleh ditulis jika pelaku sudah ditangkap atau ditetapkan jadi
tersangka.

5. Ketika menulis berita, usahakan satu kalimat tidak lebih dari satu baris. Satu paragraf juga
diusahakan tidak lebih dari empat baris. Supaya pembaca tidak capek membaca berita yang
kita tulis. kita bisa mengantisipasinya dengan memotong tulisan lalu menyambungnya
dengan “transisi”.
6. Ketika kita menulis kutipan/kalimat langsung, usahakan kutipan itu menjadi penegas dari
apa yang ingin disampaikan dalam pokok pembahasan. Ketika kutipan itu dibaca, seolah-
olah pembaca mendengarkan langsung dan merasakan apa yang dialami narasumber. Selain
itu, pembaca tidak bosan jika membaca kutipan panjang yang dijelaskan oleh gaya bicara
narasumber. Belum pasti juga, kata-kata narasumber itu runtut dan enak didengarkan.

7. Ketika menulis berita, soal jumlah pun harus pasti. Jika kita tidak tahu jumlah peserta acara
seminar, kita tak bisa menulis dengan perkiraan kita sendiri. Tapi, yang paling utama kita
harus berusaha menanyakan ke panitia seminar, untuk memastikan jumlah peserta yang
ikut seminar.

8. Ketika menulis maupun selesai menulis, kita harus membaca tulisan kita dengan fokus dan
teliti. Karena manusia tak bisa luput dari kesalahan, maka dari itu, alangkah baiknya
mengoreksi tulisan untuk mencari apa yang kurang, apa yang masih salah dan belum sesuai
dengan apa yang ingin kita sampaikan.

Kita juga harus menguji seluruh informasi yang kita dapat, karea tidak semua informasi itu
benar. Sekalipun ditetapkan benar secara ilmiah dan sah (dari hukum), kita pun harus
menguji kebenaran itu dengan melihat kriteria-kriteria yang membentuk kebenaran itu.
setelah diuji, kita bisa mengatakan kalau tulisan itu salah atau benar atau yang lain.

9. Ketika selesai menulis berita, kita harus ingat kembali kalau prinsip utama jurnalisme adalah
“verifikasi”. Belum tentu dengan berita yang kita tulis dan kebenaran yang kita publikasikan
itu akan selalu benar dikemudian hari. Bisa saja hal itu berubah, dan kita perlu melihat
kelanjutan dari setiap isu yang kita tulis. Apalagi ketika yang kita tulis itu adalah
permasalahan yang belum selesai, tentu ada semacam panggilan jiwa untuk terus
memperhatikan isu itu sampai selesai.

Begitulah, sedikit materi tentang teknik penulisan berita. Pada akhirnya, tak ada yang namanya
akhir, karena hidup adalah proses tanpa henti. Hidup adalah perjuangan. Dan perjuangan belum
selesai.
EDITING

Gita Niken Madapuri

Editing atau proses menyunting sebagai pertimbangan pada setiap tulisan baik secara konten
maupun diksi, serta teknis penyajian setelah melewati penilaian agar dipandang layak untuk
diberitakan. Editing meliputi pemeriksaan dan perbaikan tulisan, baik secara konten maupun
bahasa. Staff redaksi yang melakukan editing biasa disebut editor atau redaktur. Tujuan editing
adalah agar tulisan dapat menyampaikan pesan secara efektif serta dapat dipahami pembaca dengan
tepat.

Editing konten mengacu pada angle dan kesesuaian judul, hingga isi berita. Selain itu, editing
konten juga memperhatikan keruntutan berita dari paragraf ke paragraf, dari kalimat ke kalimat
dan dari kata ke kata. Editor bertanggungjawab atas hasil dari konten atau isi berita yang
disampaikan. Tanggungjawab dalam ranah kebenaran dan keakuratan data, serta tanggungjawab
ketika beritanya dipersoalkan oleh individu atau kelompok tertentu. Tanggungjawab utama ada di
Pemimpin Redaksi, tapi wartawan juga tetap ikut bertanggungjawab.

Selain konten ada pula editing bahasa yang meliputi EBI, kohesi, koherensi, kalimat efektif dan
tidak efektif, serta pemilihan diksi. Proses editing EBI meliputi tanda baca dan penggunaan kata
yang baku berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Pemberitaan nggalek.co menekankan editing konten terhadap aspek news value pada nilai kritis,
kedekatan (lokal Trenggalek), dan relevansi (tentang desa, sejarah, budaya dan konflik sosial).
Nggalek.co lebih ke jurnalisme warga, karya-karyanya tak selalu berisi berita (straight news),
kebanyakan feature, esai dan opini. Ada beberapa kriteria tertentu dalam penulisan di nggalek.co.

Setiap media memiliki kriterianya sendiri. Jika nggalek.co lebih ke jurnalisme warga (dalam artian
setiap warga Trenggalek bisa menulis), kabartrenggalek.com lebih ke jurnalisme konvensional,
dengan fokus isu tentang Trenggalek. Kabartrenggalek.com lebih banyak menerbitkan berita dan
artikel praktis (selain opini dan esai).

News Value atau nilai berita adalah kriteria untuk menilai seberapa penting berita tersebut diliput.
Kritis yang dimaksud adalah pemberitaan tak hanya berisikan infromasi yang sudah banyak
diketahui orang lain. Namun ada informasi dari sudut pandang lain terhadap masalah yang lebih
nyata.
Cover both side (berimbang), idealnya, tulisan berita tak boleh berat sebelah atau hanya menekan
pada salah satu pihak. Reporter harus memberitakan dari dua atau lebih sudut pandang
narasumber. Tapi seiring berjalannya perkembangan jurnalisme, beberapa media menggunakan
metode cover both side ini dengan cara yang berbeda.

Ada istilah running berita, yang mana suatu berita bisa menyampaikan peristiwa dari satu sumber,
kemudian berita berikutnya merupakan verifikasi dari pihak yang relevan. Ada juga yang
membandingkan sebuah pernyataan (pejabat missal) dengan data atau peristiwa yang sebenarnya
terjadi. Ada juga yang cukup mengutip kebijakan atau pernyataan narasumber (pejabat missal) lalu
mengonfirmasi ke warga. Serta, ada pula yang tidak hanya berdasarkan satu sumber, sejauh berita
itu bisa dipertanggungjawabkan dan narasumbernya relevan.

Berikut ini bebarapa syarat untuk menjadi seorang editor yang dituliskan Pamusuk Eneste dalam
"Buku Pintar Penyuntingan Naskah".

1. Menguasai ejaan.
Harus paham benar ejaan bahasa Indonesia yang baku saat ini. Penggunaan huruf kecil dan
huruf kapital, pemenggalan kata, dan penggunaan tanda-tanda baca, penulisan singkatan,
(titik, koma, dan lain-lain) harus dipahami benar. Bagaimana bisa memperbaiki naskah
orang lain jika tidak memahami seluk beluk ejaan bahasa Indonesia?
2. Menguasai tatabahasa.
Seorang editor harus menguasai bahasa Indonesia dalam arti luas, tahu kalimat yang baik
dan benar. kalimat yang salah dan tidak benar, kata-kata yang baku, bentuk-bentuk yang
salah kaprah, pilihan kata yang pas, dan sebagainya.
3. Bersahabat dengan kamus.
Seseorang yang malas membuka kamus sebetulnya tidak cocok menjadi penyunting naskah
karena ahli bahasa sekalipun tidak mungkin menguasai semua kata ag ada dalam satu bahasa
tertentu, apalagi kalau berbicara mengenai bahasa asing.
4. Memiliki kepekaan bahasa.
Peyunting naskah harus tahu mana kalimat yang kasar dan kalimat yang halus; harus tahu
mana kata yang perlu dihindari dan maa kata yang sebaiknya dipakai, harus tahu kapan
kalimat atau kata tertentu digunakan atau dihindari. Untuk itu seorang penyunting naskah
peru mengikuti tulisan-tulisan pakar bahasa atau kolom bahasa yang ada di sejumlah media
cetak.
5. Memiliki pengetahuan luas.
Harus banyak membaca buku, majalah, koran, dan menyerap informasi dari media
audiovisual agar tidak ketinggalan informasi.
6. Memiliki ketelitian dan kesabaran.
Dalam keadaan apapun, ketika menjalankan tugasnya seorang editor harus tetap teliti
menyunting setiap kalimat, setiap kata, dan setiap istilah yang digunakan penulis naskah. Ia
juga harus sabar menghadapi setiap naskah, karena proses penyuntingan itu memakan
proses yang berulang-ulang.
7. Memiliki kepekaan terhadap SARA dan Gender.
Penyunting naskah harus tahu kalimat yang layak cetak, kalimat yang perlu diubah
konstruksinya, dan kata yang perlu diganti dengan kata lain. Dalam hal ini seorang
penyunting harus peka terhadap hal-hal yang berbau suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA). Selain itu, editor harus memiliki kepekaan atau perspektif gender, supaya tidak
bias (bahkan revictimisasi korban) dalam mengedit berita/tulisan tentang kekerasan
seksual.
8. Memiliki keluwesan.
Sikap luwes dan supel harus dimiliki seorang penyunting naskah karena akan sering
berhubungan dengan orang lain. Penyunting harus bersedia mendengarkan berbagai
pertanyaan, saran, dan keluhan. Dengan kata lain, seorang yang kaku tidaklah cocok
menjadi penyunting naskah.
9. Memiliki kemampuan menulis.
Hal ini perlu dimiliki seorang penyunting naskah karena kalau tidak tahu menulis kalimat
yang benar tentu kita pun akan sulit membetulkan atau memperbaiki kalimat orang lain.
10. Menguasai keilmuan tertentu.
Ada baiknya jika seorang penyunting naskah menguasai salah satu bidang keilmuan tertentu
karena akan sangat membantu dalam tugasnya sehari-hari.
11. Menguasai bahasa asing.
Dalam tugasnya, seorang penyunting naskah akan berhadapan dengan istilah-istilah yang
berasal dari bahasa Inggris. Minimal, seorang penyunting naskah dapat menguasai bahasa
Inggris secara pasif. Artinya dapat membaca dan memahami teks bahasa Inggris.
12. Memahami kode etik penyuntingan naskah.
Berikut beberapa kode etik penyuntingan naskah:
▪ Editor wajib mencari informasi mengenai penulis naskah. Harus tau siapa
wartawan dan karakternya.
▪ Editor bukanlah penulis berita. Seharusnya yang melakukan kroscek adalah
wartawan. Tapi editor tetap harus mengkroscek kebenaran data.
▪ Wajib menghormati gaya tulisan wartawan.
▪ Wajib merahasiakan informasi yang terdapat dalam berita yang disuntingnya. Jika
ada data dari narasumber anonim.
▪ Wajib mengonsultasikan dengan wartawan hal-hal yang mungkin akan diubahnya
dalam berita.
▪ Tidak boleh menghilangkan berita yang akan, sedang, atau telah ditulisnya.

Kesalahan Umum dalam Editing

1. Typo. Sering terjadi bahkan di media besar. Baiknya lakukan koreksi dua kali.
2. Kata penghubung seperti “dan, oleh, untuk dll” itu ditulis huruf besar semua di judul berita.
Harusnya kecil.
3. Judul da nisi berita tidak sesuai. Perhatikan angle dan bandingkan dengan judul dan isi
beritanya.
4. Penulisan “di”. Kalau menunjukkan tempat harus dipisah. Kalau kata kerja, digabung saja.
Misal, “di makam” dan “dimakamkan”.
5. Salah nulis singkatan. Singkatan ditulis kepanjangan duru baru ditambahi dalam kurung
dan singkatannya. Tulisan berikutnya tinggal pakai singkatan.
6. Menulis kata merubah. Seharusnya mengubah. Diubah, bukan dirubah. Respons bukan
respon. Menyejahterakan bukan mensejahterakan, dll.
7. Salah nulis sumber. Perlu diperhatikan, dalam berita bisa menggunakan teknik kutipan
langsung yang menyebutkan sumbernya apa dan darimana. Perlu juga disebutkan tahun
terbit sumbernya.
8. Penggunaan kata atau gaya penulisan secara tak konsisten. Misalnya nama narasumber dan
singkatan, di awal nulis A, berikutnya nulis B.
9. Penggunaan kata ganti yang tidak tepat. Kalau dibaca jadi tidak enak. Misal, jokowi
berkunjung di Trenggalek, yang benar adalah Jokowi berkunjung ke Trenggalek.
10. Salah menulis antara kalimat langsung (yang ada tanda kutip) dan kalimat tidak langsung).
11. Menulis opini pribadi tanpa dasar dan ukurang yang jelas. Harus ada penjelas jika wartawan
menuliskan kata sifat seperti “hangat” berapa derajat suhunya? Atau jauh, berapa jaraknya?
dll.
12. Mengkombinasikan beberapa kutipan di paragraf yang sama. Ketika pembicara mengubah
topik, direkomendasikan menggunakan paragraf baru.
13. Kesalahan penulisan nama narasumber, tempat, dan istilah-istilah tertentu. Wartawan
harus bertanya langsung ke yang punya nama. Penggunaan nama tanpa memakai gelar dan
sapaan.

“No writer can work without a good editor” kata Gorney kepada Roy Peter Clark dalam “Best
Newspaper Writing 1980.
FOTOGRAFI JURNALISTIK
Alvina Nur ‘Asmy

Cara kerja kamera sama dengan mata, menangkap cahaya yang terbias ataupun dipantulkan
oleh suatu benda. “Fotografi ialah seni melukis cahaya sama halnya dengan menulis ialah seni
kombinasi pemilihan kata” ujar Ketua BULB (Barudak Urban Light Bandung).
Klasifikasi Kamera
Kamera secara umum dibedakan berdasarkan sensor yang digunakannya. Sensor
digunakan untuk menangkap gambar dan mengubahnya menjadi sinyal digital. Informasi berupa
sinyal digital ini selanjutnya diproses oleh chip kamera dan diterjemahkan sebagai file gambar.
Sensor yang dimaksud ialah APS-C, APS-H, dan Full Frame. Perbedaan dari ketiga sensor tersebut
berdasarkan hasil ialah seberapa luas objek yang dapat ditangkap oleh sensor atau dapat disebut
seberapa luas crop factor pada sensor yang digunakan.

Crop factor ialah factor kali yang akan membedakan focal length lensa yang dipasang pada
kamera Non Full Frame. Sebagai contoh kamera eos 7D memiliki crop factor sebesar 1.3x dan
kamera eos 750D memiliki crop factor sebesar 1.6x. Ketika kedua kamera menggunakan focal lenght
yang sama maka akan dihasilkan gambar yang berbeda (dalam segi luas). Misal seseorang menangkap
gambar pada focal lenght 50mm maka yang dihasilakan ialah gambar dengan focal lenght 65mm (untuk
1.3x crop factor) dan 80mm (untuk 1.6x crop factor).
Berbeda dengan kerja kamera dengan sensor full frame tanpa menghiraukan crop factor.
Kerja kamera full frame dapat dilihat pada ilustrasi dibawah ini:
Pengoperasian Kamera DSLR
Dalam pengoperasiaannya kamera menyediakan banyak mode atau pengaturan otomatis
yang telah disiapkan oleh kamera. Apabila kita menggunakan mode otomatis maka kamera dengan
sendirinya akan mengkondisikan objek yang kita foto memiliki meetering seimbang. Namun, kamera
juga menyediakan fitur manual dalam penggunaannya, mode manual ini membantu kita lebih
mudah mendapatkan hasil yang diinginkan, akan tetapi dalam penggunaannya lebih sulit dan
membutuhkan kepekaan yang lebih tinggi terhadap objek yang ingin ditangkap. Secara garis besar
pengaturan manual fotografi terdapat pada 3 unsur utama yaitu: ISO (atau sensitifitas sensor
terhadap cahaya) ; aparture (atau bukaan lensa); dan shutter speed (atau kecepatan ranah dalam
menangkap cahaya).
Fotografi Jurnalistik
Fotografi Jurnalistik merupakan paduan dari kata “Fotografi” dan “Jurnalistik”. Fotografi
seperti yang sudah dijelaskan diatas, sedangkan Jurnalistik ialah proses-proses rekonstruksi sebuah
peristiwa yang benar-benar terjadi. Jadi fotografi jurnalistik ialah seni melukis berdasarkan peristiwa
yang benar-benar terjadi atau kegiatan mengumpulkan, mencari, mengolah, dan menyebarkan foto
yang mengandung nilai berita melalui media massa.
Menurut Bramayanti Krismasakti (pengajar foto jurnalistik di Universitas Prof. Dr.
Moestopo), fotografi dalam bidang jurnalistik memiliki kriteria dasar agar layak mendukung sajian
berita dan memancing minat khalayak untuk makin tertarik mengonsumsi konten berita. Berikut
kriteria berita laya foto:
1. Hangat/aktual, foto merupakan alat untuk membuktikan peristiwa atau fakta secara
visual;
2. Faktual, foto yang disajikan dalam berita merupakan hasil rekayasa atau tidak sesuai
dengan peristiwa sebenarnya, foto itu tak hanya tidak layak terbit menemani berita, tapi
juga melanggar kode etik jurnalistik;
3. Informatif, Foto jurnalistik bukan sekadar gambar, tapi juga memiliki informasi yang
memperkaya berita teksnya. Poin ini menegaskan dan mempraktikkan istilah “Satu gambar
bermakna seribu kata.”;
4. Misi, Penyajian foto jurnalistik mesti memiliki motivasi atau tujuan yang terang. Secara
visual, objek yang ditekankan harus jelas terlihat, komposisi gambar pun menunjukkan
pokok pikiran yang ingin disampaikan;
5. Gema, Maksudnya adalah efek berkepanjangan dari sebuah foto. Bayangkan ada foto
peristiwa yang kemudian banyak dibahas publik, entah sekadar berkomentar atau
menggelitik pemahaman atau keyakinan publik; dan
6. Atraktif, Elemen yang membuat karya foto menarik adalah (kita) yang melihatnya langsung
bisa menangkap point of interest dari foto yang kita pendangi. Maka, upayakan tiap foto
memiliki titik utama untuk diperhatikan, jangan asal menangkap momen

Jenis-jenis Fotografi Jurnalistik


Beberapa jenis fotografi jurnalistik ialah:
1. Hard news, foto terkait peristiwa nyata tanpa rekayasa dan dalam penyampaiannya harus
segera dipublikasikan.
2. General news, foto yang diambil dan telah terjadwal sebelumnya. Contoh: foto sidang
umum MPR, demo, dll;
3. Foto ilustrasi, maksud dari foto ilustrasi bukanlah bentuk ilustrasi berupa gambar-gambar.
Foto ilustrasi yang dimaksud adalah foto yang digunakan sebagai pelengkap berita. Foto
ilustrasi digunakan untuk memberikan pembaca gambaran umum tentang isi dari berita
tersebut. Contohnya adalah berita tentang bisnis restoran dan foto ilustrasi yang bisa
digunakan untuk berita tersebut adalah gambar restoran.
4. Human interest, foto yang diambil dan mengandung unsur yang mampu menggugah
perasaan dalam keseharian. Contoh: wanita tua yang sedang menggendong beban berat,
dll;
5. Photo essay, foto yang menceritakan sebuah kisah, umumnya bertujuan untuk
mengingatkan khalayak akan sesuatu hal. Contoh: bahaya merokok, pentingnya menjaga
budaya, dll;
6. Photo story, foto yang berisi tentang cerita seseorang, tempat, dan situasi. Contoh:
bercerita tentang kehidupan seorang petani, dll;
7. Features (softnews), foto yang menggambarkan suatu peristiwa di masyarakat dalam
bentuk nyata dan realitas tanpa rekayasa dan dalam penyampaiannya tidak terikat dengan
waktu. Contoh: upacara, hiburan berupa pertunjukan tarian, dll;

Etika Hunting Dan Editing Foto Jurnalistik


Etika hunting telah disahkan pada Kongres II PFI (Pewarta Foto Indonesia) 1 Desember
2007. PFI menetapkan kode etik sebagai berikut:
1. menjunjung tinggi hak masyarakat;
2. mendahulukan kepentingan umum untuk mendapatkan informasi; (diluar itu misal untuk
memberikan ancaman kepada seseorang)
3. foto adalah insan profesional yang mandiri dan independen; (tidak memihak atau
mengandung kepentingan suatu kelompok/perorangan)
4. tidak memanfaatkan profesinya diluar kepentingan jurnalistik;
5. menghargai hak cipta dengan mencantumkan akreditasi yang sesungguhnya;
6. tidak mengabaikan kehidupan pribadi sumber berita; (Ancaman ketika foto dipublis)
7. menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah;
8. tidak menerima suap dalam segala bentuk;
9. menempuh cara yang etis dalam memperoloeh bahan berita; (minta izin dalam masuk
rumah, tidak asal masuk)
10. hidari foto diskriminasi dalam bidang apapun; (pembedaan perlakuan : foto yang
menunjukkan pembedaan perlakuan antara 1 kelompok dg lainnya)
11. melindungi kehormatan pihak korban kejahatan susila dan pelaku kriminal dibawah umur;
12. menghindari fitnah dan pencemaran nama baik dan berita foto yang menyesatkan; dan
13. tidak memanipulasi sehingga mengaburkan fakta. (menambahkan objek)
Untuk menjaga agar keutuhan nilai-nilai jurnalistik tetap terjaga ketika dilakkukan proses
pengeditan digital sebuah foto jurnalistik, maka perlu adanya batasan-batasan yang jelas tentang
sejauh mana pengeditan diperbolehkan:
1. koreksi warna, diharapkan obyek yang ditampilkan tidak akan terlihat buram atau tidak
jelas. Tidak mengubah warna esensial (warna rambut);
2. burning, menghilangkan sudut foto yang gelap agar nampak lebih terang dan jelas sehingga
menonjolkan obyek;
3. distorsi lensa, mengubah hasil foto menjadi normal akibat penggunaan lensa yang bukan
standar;
4. menghilangkan noda, apabila terdapat cacat pada foto dimungkinkan dilakukan perbaikan
tersebut dan memang ini fungsi olah digital dalam jurnalistik foto;
5. dodging, memperbaiki pencahayaan pada hasil foto agar mendapatkan hasil yang normal;
6. titik fokus, membantu membuat fokus dengan membuat blur obyek disekeliling;
7. optimalisasi file, membuang obyek yang tidak perlu (cropping);
8. glare elimination, menghilangkan cahaya yang menyilaukan;
9. pencahayaan keseluruhan, memperbaiki pencahayaan pada seluruh frame; dan
10. menghilangkan mata merah, kebanyakan obyek langsung menghadap flash secara langsung
sehingga dapat menyebabkan efek mata merah.

Hal-hal yang tidak boleh dilakukan ialah:


1. menambah, menukar, atau menghilangkan obyek dimana akan mengubah keseluruhan
konteks dari foto yang ditampilkan;
2. memanipulasi usia, misalnya dengan membuat lebh muda atau tua sebuah subyek; dan
3. mengubah ekspresi subyek foto, gerakan tubuh, sebagian anatomi tubuh, atau aksesoris
lainnya.

Permasalahan Yang Kerap Terjadi


Beberapa permasalahan yang kerap dialami oleh pewarta foto:
1. tidak mendapatkan izin;
2. masalah teknis dengan kamera (baterai, lensa, kamera, flash, dll);
3. professionalisme;
Membuat Keterangan Foto
Teks foto adalah kata-kata yang menjelaskan foto. Teks foto diperlukan untuk melengkapi
foto, bertujuan untuk menghilangkan salah tafsir dalam melihat foto. Teks foto dibagi menjadi
dua, yaitu caption penuh dan caption singkat dan ditujukan untuk pembaca yang berbeda.
“Gambar segera mengirimkan pesan, namun kata-katalah yang membentuk dan memberikan
fokus pada pesan tersebut. Kata-kata mempunyai fungsi yang penting dalam komunikasi.
Disimpulkan dari berbagai riset dan studi oleh Kenneth Kobré, “PHOTOJOURNALISM: The
Professionals’ Approach”
Fungsi dari teks foto adalah
1. Menghindari keraguan dan misinterpretasi atau multi-interpretasi.
2. Mengarahkan pembaca pada elemen yang dikehendaki fotografer.
3. Menambah informasi yang tidak dapat dikirim melalui sebuah gambar (nama, umur, asal-
usul, alamat, dsb)
Syarat-sarat untuk membuat caption yang penuh adalah sebagai berikut:
1. Teks foto harus dibuat minimal dua kalimat.
2. Kalimat pertama menjelaskan gambar, sedang kalimat kedua dan seterusnya menjelaskan
data dan informasi yang dimiliki.
3. Teks foto harus mengandung unsur 5 W+1H, yaitu who, what, when, where, why dan
atau how.
4. Teks foto dibuat dengan kalimat aktif sederhana.
5. Sebuah cutline- mulailah dengan fakta yang signifika, menarik atau tidak biasa.
6. Tulis dalam bahasa asli dan terjemahnnya jika ada kutipan atau teks penting di dalam
frame.
7. Hindari menulis apa yang sudah tampak jelas.
8. jangan berspekulasi atas apa yang mungkin dipikirkan atau dirasakan si subyek.
9. Sertakan kredit foto, sebuah penghargaan atas gambar kepada fotografer dan/atau agensi
sangat diperlukan, cantumkan nama fotografer.

Aspek-Aspek Teknis di fotojurnalistik*


Komposisi.
Cara anda mengatur komposisi gambar adalah faktor terbesar yang menentukan gaya pribadi
fotografer dan kemampuan fotografer untuk menyampaikan pesan ke para pembaca. Seperti
layaknya seorang komposer yang mengarahkan terompet, cello, biola, dan berbagai macam
instrumen lainnya untuk menciptakan musik ciptaan sendiri. Dengan cara serupa, pewarta foto
mengatur komposisi gambar menggunakan cahaya, garis, keseimbangan, bingkai, waktu dan
beerbagai teknis fotografis lainnya. Masing-masing pengarang lagu dan fotografer menggunakan
instrumen mereka dengan cara yang berbeda untuk menghasilkan gaya masing-masing yang unik.
Dengan mempelajari komposisi, dan mempelajari bagaimana melanggar aturan-aturan tersebut,
anda bisa membuat gambar-gambar lebih dinamis, kuat dan merebut perhatian.

Belajar untuk Melihat Secara Fotografis.


Kita perlu belajar bagaimana kamera melihat, karena fotografer tidak hanya sekedar
memproduksi ulang satu adegan yang ditangkap oleh mata manusia. Kamera hanya bisa merekam
sebagian dari keseluruhan situasi, menyederhanakan menjadi dua dimensi, memberikan bingkai
dan menghentikannya di satu titik tertentu.

Pelajari Foto
Cara terbaik untuk belajar bagaimana membuat foto yang menarik adalah dengan melihat
banyak foto. Selain itu kita perlu melihat lukisan, baik yang kuno atau modern, juga film. Semakin
banyak gambar yang anda pelajari, semakin banyak yang anda simpan dalam ingatan.

Seimbang
Apabila menggunakan aturan sepertiga, maka foto anda akan kelihatan seimbang, yaitu salah
satu aspek penting dalam komposisi. Seimbang bisa berarti menempatkan satu obyek kecil gelap
di pojok bingkai berhadapan dengan area besar yang bercahaya yang ada di keseluruhan bidang
gambar.

Background dan foreground


Perhatikan hubungan antara bagian depan dan latar belakang. Mana yang lebih kita
pentingkan, dengan mengatur titik fokus. Selalu perhatikan latar belakang (background) amati hal-
hal seperti tiang lampu dan pohon yang tumbuh di atas kepala orang dan hindari detil detil yang
rumit yang bisa memecah perhatian dari subyek utama.

Menggunakan Bingkai (Framing)


Framing digunakan untuk membingkai obyek utama. Hal yang penting dalam framing,
usahakan elemen di dalam bingkai berinteraksi dengan bingkai itu sendiri, sehingga menciptakan
gerak, energi dan drama.

Cahaya
Cahayalah yang menciptakan foto. Kualitas cahaya dari sebuah foto memainkan peranan
penting dalam menyampaikan pesan.
Mengetahui bagaimana menggunakan cahaya secara kreatif adalah menjadi ciri khas dari
seorang pewarta foto yang baik. Amati sumber cahaya yang ada dan manfaatkanlah cahaya tersebut.
Bergeraklah sekitar subyek untuk mendapatkan cahaya yang terbaik. Amati Lukisan Rembrandt
dan Carravaggio untuk melihat contoh dari teknik tersebut.
Selain cahaya matahari, kita bisa mendapat sumber cahaya lainnya seperti, lampu bohlam, lilin,
obor, dan juga artifisial light yang bisa kita dapatkan dari flash atau lampu kilat.

Hindari menggunakan flash kecuali benar-benar diperlukan.


Berlatihlah untuk melihat cahaya dengan mempelajari lukisan, terutama yang dihasilkan oleh
pelukis-pelukis ahli seperti tersebut di atas, juga dengan menonton film untuk melihat bagaimana
pembuat film mengendalikan cahaya untuk mendapatkan efek yang diinginkan. Bersabarlah untuk
mendaptkan cahaya yang tepat, atau pahami kapan cahaya tertentu bisa menjadi faktor kunci dari
keberhasilan seorang pewarta foto yang baik.

Nada Warna dan Kontras.


Perhatikan soal kontras, drama dari sebuah foto bisa diperkuat oleh nada warna gelap dan
terang. Bagian paling terang secara umum akan menarik perhatian, maka sosok yang terang
benderang yang bisa mengalihkan perhatian dari subyek utama. Warna-warna primer secara umum
akan menonjol ditengah-tengah warna lainnya.

Pola dan garis


Amati pola dan garis dalam gambar, pengulangan dari elemen yang serupa dapat menciptakan
pola yang menarik. Apabila anda mematahkan sebuah pola dengan elemen lain, maka mata akan
dengan segera menangkap hal tersebut. Garis bisa mengarahkan pandangan pembaca mengelilingi
gambar, membuat perjalanan menuju subyek.

Jangan lupakan pesan yang ingin disampaikan.


Ada banyak aturan soal komposisi, yang bisa membantu anda menghasilkan gambar yang kuat
dan menarik, tetapi aturan-aturan tersebut tentu saja dapat dilanggar. Ingatlah apa yang ingin anda
sampaikan, apa pesan anda; lalu pikirkan bagaimana cara menyampaikan hal tersebut, bagaimana
menggunakan teknik yang tersedia agar anda dapat menyampaikan pesan anda. Di atas segalanya,
jangan pernah tergoda untuk mengorbankan isi demi mementingkan gaya. Sangat mungkin untuk
mementingkan komposisi sehingga anda lupa apa yang sebenarnya yang ingin anda komunikasikan.
Lensa
Lensa yang berbeda bisa memberikan sudut pandang yang berbeda secara radikal untuk satu
gambar, tetapi anda perlu menggunakannya dengan hati-hati. Pertama, tanyakan pada diri anda apa
yang anda ingin sampaikan dan bagaimana cara terbaik untuk menyatakan hal tersebut. Hal
tersebut dapat membantu anda menentukan lensa mana yang harus anda gunakan.

Macam-macam lensa.
Lensa diperlukan fotografer tergantung berdasarkan pekerjaan yang dilakukan, seperti
contohnya fotografer sport akan memerlukan semua jenis lensa dari lensa tele sampai wide-angle
yang extrim. Tetapi bagi yang mengerjakan proyek dokumenter dalam jangka panjang dalam situasi
yang intim menggunakan peralatan ynag sederhana, biasanya cukup lensa 35mm, 50mm dan lensa
28mm pada saat mereka perlu memotret lebih ketat karena keterbatasan waktu.

*dikutip dari website AJI Malang, Penulis (Aris N. Hidayat) adalah Fotografer Tempo dan aktif di Pewarta
Foto Indonesia (PFI) Malang

Anda mungkin juga menyukai