Anda di halaman 1dari 119

PANCASILA NILAI-NILAI LUHUR BANGSA DAN DASAR

NEGARA
Untuk Pemula dan Pelajar
Sigit Pramono
© ISRI PRESS, 2020

xx + 98 halaman 16 x 21 cm
1. Nilai Luhur Pancasila 2. Bung Karno Negarawan
3. Toleransi Bingkai Bhinneka Tunggal Ika

ISBN: 978-602-52989-2-9

Cover : Made Brian Mahararta


Editor : Cahyo Gani Saputro

Edisi I : Tahun 2020

Buku ini diterbitkan oleh :


ISRI (Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia)
Jl. Cikini Raya No. 58A. lt. 3, Menteng Jakarta 10330.
Telp.: 08111733157
email: ikatansarjanarakyatindonesia@gmail.com
website: www.isri.or.id
SEKAPUR SIRIH PENULIS

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang


Maha Esa atas segala nikmat dan karunia-Nya, sehingga dengan itu
semua akhirnya penulis bisa menyelesaikan tulisan ini.
Buku ini diharapkan dapat membantu kalangan pemula, remaja dan
pelajar untuk memahami Pancasila yang merupakan nilai-nilai luhur
bangsa yang telah terkristalisasi sebagai dasar negara kita. Penulis tidak
memungkiri bahwa kalangan pemuda saat ini cenderung enggan
memahami pentingnya nilai-nilai luhur bangsa dalam menjaga dan
memandu kelangsungan hidup bangsa dan negara ini. Menurut penulis,
ini semua dikarenakan kita telah melalui masa-masa pengaburan ideologi
bangsa itu sendiri. Selama orde baru bangsa ini mengalami masa de-
Soekarnoisasi dan selama masa reformasi ini kita masuk pada masa de-
ideologi. Kedua masa ini semakin menjauhkan para pemuda dalam
memahami nilai-nilai luhur bangsa.
Oleh karena itu penulis berusaha mengemas tulisan ini dengan
sesederhana dan semudah mungkin agar memudahkan dalam
memahaminya. Dan harapan penulis, dengan buku ini generasi muda
semakin cinta dan mengaktualisasikan nilai-nilai luhur bangsa dalam
kehidupan sehari-hari. Pembangunan karakter kebangsaan juga
merupakan harapan dari tulisan ini. Karena pemuda adalah pemegang
estafet kendali bangsa berikutnya, tentunya dengan pemuda yang sangat
faham akan nilai-nilai luhur bangsanya maka akan membawa kepada
pemuda yang kelak akan mengawal pembangunan ini untuk kepentingan
kesejahteraan rakyat.
Penulis sangat sadar bahwa tulisan ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak kekurangan di sana-sini. Oleh karena itu penulis
sangat berharap saran dan kritiknya agar semakin sempurnanya tulisan
ini di kemudian hari.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah banyak membatu dalam terselesaikannya
buku ini.

Malang, 22 Juli 2020


Sigit Pramono
KATA SAMBUTAN

Mendiskusikan Pancasila selalu menarik di sepanjang jaman. Mulai masa


pemerintahan Presiden Sukarno, Presiden Suharto, hingga Presiden Joko
Widodo yang merupakan satu-satunya presiden paska reformasi yang
mengarusutamakan Pancasila.

Tiap jaman memiliki cara sendiri dalam mengartikulasikan Pancasila.


Ada perbedaan pendapat, bahkan terjadi pula sikap saling menegasikan
satu sama lainnya. Silang pendapat tidak pernah berhenti, mulai sejarah
kelahiran hingga cara menafsir Pancasila di dalam praktik kehidupan
politik kenegaraan. Di atas segala perdebatan itu, satu hal yang sama dan
bersifat tetap yaitu Pancasila adalah ideologi dan dasar negara Republik
Indonesia, pemersatu bangsa.

Meskipun tidak menutup mata, masih saja ada sekelompok kecil orang
yang “alergi” dengan menganggap Pancasila sebagai Toghut, berhala. Di
masa lalu juga pernah terjadi upaya mengganti Pancasila, baik secara
konstitusional-- diwujudkan pertentangan dalam Sidang Konstituante
yang mengerucut hingga dilakukan voting untuk memilih Dasar Islam
atau Dasar Pancasila, maupun cara-cara inkonstitusional yang berwujud
pemberontakan-pemberontakan seperti yang dilakukan DI/TII maupun
PKI.
Saat Sidang BPUPK mencari dasar negara yang akan didirikan, Ir.
Sukarno adalah satu-satunya peserta yang menjawab pertanyaan Ketua
Sidang BPUPK, Dr. KRT. Radjiman Wediodiningrat. Hal ini terlihat
dengan jelas dalam pidato Ir. Sukarno pada 1 Juni 1945 yang
menjelaskan tentang lima prinsip dasar Indonesia merdeka, Pancasila.

Uraiannya tanpa teks begitu indah, memenuhi syarat sebagai nalar


publik. Maka tidak heran bila pidato Sukarno mendapat perhatian,
sambutan, dan tepuk tangan meriah dari peserta sidang. Pada pidato
itulah untuk pertama kalinya Pancasila dikenalkan, diuraikan, dan
ditawarkan menjadi dasar negara yang akan didirikan kelak. Meskipun
tanpa ada kepastian, kapan kemerdekaan itu akan terjadi. Selain Sukarno,
banyak tokoh berbicara, yang menonjol adalah Soepomo dan Moh
Yamin. Mereka juga berbicara tentang banyak hal, tetapi tidak ada satu
pun yang membicarakan Philosophische Grondslag, dasar falsafah
negara.

Cara mengenal Pancasila adalah dengan membaca sumber primernya,


yaitu naskah pidato 1 Juni 1945 dan dilengkapi pemikiran-pemikiran dari
penggalinya, Sukarno. Tanpa itu, kita akan terjebak dari cara penafsir
pihak kedua, ketiga, keempat dst. Membaca sumber primer akan
membantu kita untuk menghindari bias penafsiran yang terkadang
cenderung menegasikan dan mempertentangkan. Pertentangan itu terjadi
justru di jalur-jalur politik kekuasaan. Sementara di akar rumput,
Pancasila mendapat dukungan dari masyarakat luas. Perbedaan pendapat
di ruang publik dan akademik tidak boleh di larang, justru itu bisa
menyehatkan. Yang di larang adalah penafsiran tunggal negara dan
mengganti Pancasila dasar negara.

Sejak awal kelahirannya, Pancasila merupakan jawaban cerdas atas


keberagaman rakyat Indonesia. Ia memiliki kemampuan mempersatukan
bangsa--lintas golongan, suku, agama dan ideologi, dan bersama-sama
melawan imperialisme-neo kolonialisme, penindasan manusia atas
manusia dan penindasan bangsa kepada bangsa lainnya. Watak yang
terakhir ini, yang kemudian perlahan-lahan hilang.

Sukarno dengan rendah hati menyatakan dirinya sebagai penggali


Pancasila. Meskipun kita tahu, tanpa peran Sukarno, Pancasila tidak akan
pernah ada. Begitu juga jika tanpa disertai kemerdekaan bangsa
Indonesia. Nilai-nilainya tetap ada, tetapi ia hanya akan sebagai konsep
nilai yang berserakan di kehidupan sehari-hari. Dari sekian puluh bahkan
ratusan nilai-nilai yang ada di lapisan masyarakat dan kebudayaan, tetapi
lima nilai-nilai luhur itulah yang berhasil di gali dan diabstraksikan
dengan sangat baik oleh Sukarno untuk menjadi dasar negara Indonesia.

Buku yang ditulis Saudara Sigit Purnomo ini mencoba memberikan


pengetahuan bagaimana nilai-nilai luhur Pancasila di gali, sejarah
Pancasila hingga bagaimana Pancasila diletakkan sebagai dasar dan
ideologi negara. Maka buku ini menambah daftar referensi Pancasila
dengan memberikan pengkayaan materi bagi pembaca, khususnya
generasi muda dan masyarakat umum lainnya.

Yogyakarta, 5 September 2020.


Diasma Sandi Swandaru (Ketua Bidang Ideologi DPN ISRI)
KATA PENGANTAR
“MEMAHAMI PANCASILA”

Pancasila sebagai falsafah dasar negara, sebagai pandangan hidup,


sebagai ideologi bangsa dan kepribadian bangsa sudah sering kita dengar
dalam pelbagai pemberitaan. Ironisnya masih ada yang kurang serius
dalam mempelajari Pancasila di era reformasi ini. Tayangan di medsos
(beberapa diantaranya sempat viral) tentang tokoh, sarjana, selebritis
hingga pelajar ada yang tidak hafal teks Pancasila. Hal ini merupakan
salah satu indikasi bagaimana pemahaman publik terhadap Pancasila
yang belum maksimal.

Memang di awal era reformasi wacana dan dialog yang serius tentang
Pancasila sempat surut. Pancasila tidak lagi menjadi mata pelajaran dan
mata kuliah wajib di pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.
Konsekuensinya banyak generasi muda yang dilahirkan sejak akhir tahun
1980-an akhir hingga awal tahun 2000-an awal yang tidak memiliki
pengetahuan yang cukup tentang Pancasila. Bahkan di awal reformasi
sebagian besar pejabat enggan menyebut istilah Pancasila saat
memberikan sambutan. Padahal dalam TAP MPR Nomor XVIII/1998
tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan
tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara masih secara tegas
disebutkan Pancasila sebagai Dasar Negara dengan catatan risalah
"Bahwa dasar negara yang dimaksud dalam Ketetapan ini di dalamnya
mengandung makna Ideologi Nasional sebagai cita cita dan tujuan
negara. Maksudnya setiap penyelenggara negara harus menjalankan
Pancasila sebagai dasar negara sekaligus ideologi nasional.

Untungnya kondisi tersebut segera disadari oleh bangsa Indonesia.


Situasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang makin liberal di satu
sisi dan ketegangan serta kegaduhan sosial sampai munculnya gerakan
yang ingin mengganti ideologi dan dasar negara membuat bangsa
Indonesia sadar bahwa kita sudah memiliki dasar negara dan ideologi
bangsa yang sejak awal kemerdekaan hingga sekarang dapat menyatukan
bangsa Indonesia.

Menggugat Amnesia Sejarah


Gelora dan semangat publik untuk kembali memahami Pancasila
mendorong pelbagai pihak memfasilitasi pelbagai kegiatan yang terkait
dengan pengarusutamaan nilai nilai Pancasila. Pemerintah bersama
pelbagai elemen perguruan tinggi dan masyarakat pada pertengahan
tahun 2006 mengadakan simposium yang dibuka langsung oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono sekaligus memperingati hari Kelahiran
Pancasila di Jakarta Convention Center (JCC) pada tanggal 1 Juni. Hasil
simposium tersebut kemudian diterbitkan dalam bentuk buku "Restorasi
Pancasila, Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas".
Tuntutan pelbagai pihak untuk menggelorakan kembali Pancasila
sebagaimana dirumuskan dan dikembangkan oleh pendiri bangsa makin
menguat. Pemerintah pada tahun melalui UU nomor 12 tahun 2011
tentang Kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Ada komitmen dari pemerintah agar regulasi yang ada dan dihasilkan
kongruen dengan nilai nilai Pancasila. Kemudian muncul lagi undang
undang nomor 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi yang
mewajibkan kembali mata kuliah Pancasila sebagai salah satu mata
kuliah wajib.

Kemudian di tahun 2016 Pemerintah mengeluarkan Kepres no 24 tentang


Hari Lahirnya Pancasila. Dan sejak tahun 2017 ada peringatan hari lahir
Pancasila secara kenegaraan lagi. Upaya pengarusutamaan nilai nilai
Pancasila makin digalakkan lagi.

Uniknya sampai sekarang masih banyak pihak yang belum bisa


memahami dan menerima bahwa kelahiran Pancasila itu tanggal 1 Juni
1945. Mereka mengalami amnesia sejarah. Padahal pelaku dan saksi
sejarah yaitu ketua BPUPK dr. Radjiman Wediodiningrat pada tanggal 1
Juli 1945 sudah menulis bahwa kelahiran Pancasila itu 1 Juni 1945.
Demikian pula pelaku sejarah dan saksi sejarah yang menjadi anggota
BPUPK dan juga anggota "Panitia Sembilan" dan wakil ketua PPKI
(salah satu pendiri bangsa yang terkenal sederhana dan jujur) Drs.
Mohammad Hatta menyatakan bahwa kelahiran Pancasila itu tanggal 1
Juni 1945. Pernyataan tersebut diungkapkan di dalam Memoir yang
ditulisnya tahun 1979. Sebelumnya dalam pidato pengukuhan beliau saat
menerima gelar doktor kehormatan (HC) dalam bidang hukum dari
Universitas Indonesia tanggal 30 Agustus 1975 juga menyatakan
Pancasila lahir 1 Juni 1945. Demikian pula saat beliau ditunjuk
pemerintah untuk meneliti Pancasila oleh pemerintah Orde Baru tahun
1975 dalam hasil penelitiannya bersama Prof Sunario, Prof. Achmad
Subardjo, Prof. A.G. Pringgodigdo dan M. Maramis dalam laporannya
yang di beri judul "Uraian Pancasila" pada pemerintah Orde Baru
menyatakan bahwa kelahiran Pancasila itu tanggal 1 Juni 1945. Bahkan
beliau sampai membuat "Wasiat pada Guntur Soekarnoputra". Lalu apa
lagi yang akan dijelaskan pada mereka yang terkesan tidak mau percaya
dengan data dan kesaksian pelaku sejarah tentang proses kelahiran,
perumusan dan pengesahan Pancasila?

Untuk itulah buku yang ditulis oleh saudara Sigit ini "Pancasila nilai nilai
luhur bangsa dan dasar negara" ini dapat menjadi bagian dari upaya
memahami sejarah yang perlu disambut baik walaupun masih ada
beberapa aspek yang harus diperluas dan diperdalam. Uraian Bung Karno
dalam pidato di depan sidang BPUPK ditulis secara penuh untuk
mengenalkan pada pembaca bahwa dalam pidato tersebut tidak hanya
sekedar mengenalkan istilah Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara, philosophie grondslag, Welthanchauung
yang terdiri dari lima sila (Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau
peri-kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan Sosial dan
Ketuhanan yang Maha Esa), hanya ada dalam pidato Bung Karno dan
tidak ada dalam pidato atau usulan puluhan anggota BPUPK yang lain.

Berdasar pidato itulah kemudian dibentuk panitia 8 (Ir. Soekarno, Drs.


Mohammad Hatta, Mr. M. Maramis, Mr. Moh. Yamin, K.H.Wachid
Hasyim, M. Sutardjo Kartohadikusumo, Oto Iskandardinata, dan Ki
Bagoes Hadikusumo) oleh BPUPK. Tugas panitia kecil ini adalah untuk ;
a). Merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara, berdasarkan
pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945.
b). Menjadikan dokumen pidato Bung Karno sebagai teks untuk
memproklamasikan Indonesia Merdeka.

Dalam perjalanan sejarah, Bung Karno membentuk Tim Baru disela-sela


sidang Chuo Sangiin (18-21 Juni 1945) yang diketuainya. Sekitar 47
anggota Cuo Sangi In yang merangkap anggota BPUPK dan anggota
BPUPK yang tinggal di Jakarta diundang. Hadir 38 anggota untuk
memberikan masukan. Berbagai usulan tersebut kemudian dirumuskan
oleh Panitia Sembilan yang anggotanya meliputi ; Ir. Soekarno, Drs.
Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosuyoso, Mr.
Mohammad Yamin, K.H. Wachid Hasyim, H.A. Salim, Andulkahar
Muzakkir dan Mr. Achmad Subardjo. Hasil panitia ini kemudian dikenal
dengan istilah Piagam Jakarta.

Rumusan panitia sembilan yang ekstra formaliteit ini oleh Bung Karno
kemudian disampaikan pada sidang pleno kedua BPUPK tanggal 10-17
Juli 1945. Sidang BPUPK setuju rumusan tersebut menjadi pembukaan
draft UUD dan menjadi landasan dalam menyusun draft UUD.

Pada tanggal 14 Agustus 1945 utusan anggota BPUPK Indonesia Timur


(yang saat itu dikuasai pihak Angkatan Laut Jepang) sampai di Surabaya.
Mereka sempat mengadakan pertemuan membahas draft UUD yang
dibuat oleh BPUPK di Tretes Pasuruan. Mereka berpikir bahwa dalam
negara kebangsaan modern kedudukan semua warga negara harus sama,
tidak peduli ras, etnis, maupun agamanya. Untuk itulah mereka sepakat
untuk mengusulkan agar sila pertama yang dirumuskan oleh Panitia
Sembilan "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk pemeluknya" diubah.

Pada saat di Jakarta hasil pembahasan utusan Indonesia Timur


disampaikan pada pihak A.L. Jepang yang ada di Jakarta. Wakil dari
A.L. Jepang kemudian menyampaikan hal tersebut pada Mohammad
Hatta. Kemudian bung Hatta mengambil inisiatif mengadakan pertemuan
dengan wakil golongan Islam. Mereka setuju untuk melakukan
perubahan demi persatuan bangsa.
Untuk itulah dalam sidang BPUPK walaupun ada revisi terhadap sila
pertama dan beberapa perubahan redaksi dalam pembukaan dan batang
tubuhnya sidang berjalan lancar sampai PPKI mengesahkan UUD
tersebut.

Dari uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa peristiwa Pidato Bung


Karno tgl 1 Juni, hasil rumusan panitia sembilan tanggal 22 Juni dan
pengesahan UUD oleh PPKI tgl 18 Agustus tidak perlu dipertentangkan.
Ketiganya merupakan proses sejarah kelahiran Pancasila yang saling
terkait.

Justru yang perlu kita lakukan adalah menerjemahkan nilai-nilai


Pancasila dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara secara
konsisten. Bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan bernegara agar para penyelenggara negara dapat menjalankan
tugasnya secara profesional dengan dijiwai nilai Pancasila sehingga
menjauhi korupsi, kolusi dan nepotisme. Bagaimana Pancasila sebagai
pandangan hidup dapat menjadi pandu masyarakat dalam kehidupan
yang inklusif sehingga keberagaman masyarakat dapat menjadi modal
sosial yang kreatif.

Hal ini perlu menjadi komitmen kita bersama karena Pancasila sejak
awal selain dijadikan sarana untuk mempersatukan (meja statis) juga
menjadi panduan (Leitstar Dinamis) untuk menjadi bangsa yang lebih
bersatu, berdaulat, maju, adil dan makmur.

Jakarta, 18 Agustus 2020


Prof. Dr. Hariyono, M.Pd.
Wakil Kepla Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
DAFTAR ISI

SEKAPUR SIRIH
KATA SAMBUTAN
KATA PENGANTAR

BAB I PIDATO 1 JUNI 1945, KELAHIRAN PANCASILA

BAB II Nilai-Nilai Luhur Telah Terlahir Kembali, 1 Juni 1945


Lahirnya Pancasila
1. Sepatah Kata
2. Untuk Menghilangkan Keraguan dari Keabsahannya
3. Nilai-nilai itu Sudah Menjiwai Bangsa Nusantara Ratusan
Tahun yang Lalu
4. 1 Juni 1945 Pancasila Lahir Tidak Mengesampingkan
Peran Pendiri Bangsa yang Lain
5. Pancasila Dilahirkan Untuk Semua Golongan dan Elemen
di Indonesia

BAB III BUNG KARNO ARAH PEMIKIRAN SANG


NEGARAWAN
1. Penggali dan Penjaga Pancasila
2. Pribadi yang Demokrat
3. Marhaenisme, Cita-Cita Mewujudkan Masyarakat yang Adil
Dan Makmur

BAB IV Negara Indonesia Berdasarkan Pancasila


BAB V Toleransi dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika
1. Makna Toleransi menurut Ilmu Teknik
2. Toleransi dalam Kehidupan Sosial
3. Perbedaan dalam Kehidupan Berbangsa
4. Perbedaan yang Masih Diijinkan dan yang Tidak Diijinkan
5. Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa
6. Perbedaan Pandangan Hidup antar Bangsa merupakan
Batas-Batas Toleransi

BAB VI NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM


PANCASILA ADALAH CITA-CITA LUHUR BANGSA

BAB VII KEDUDUKAN PANCASILA


1. Dasar Negara
2. Pandangan Hidup Bangsa
3. Sumber dari Segala Sumber Hukum
4. Ideologi Bangsa
5. Alat Perjuangan dalam Melenyapkan Musuh-Musuh Bangsa

BAB VIII PENUTUP


BAB I
PIDATO 1 JUNI 1945, KELAHIRAN PANCASILA

Paduka tuan Ketua yang mulia!


Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritu Zyunbi
Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya
mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk
mengemukakan pula pendapat saya.
Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah
permintaan Paduka tuan ketua yang mullia? Paduka tuan Ketua yang
mulia minta kepada sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai untuk
mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya
kemukakan di dalam pidato saya ini.
Ma’af, beribu ma’af! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato
mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan
Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia
Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan ketua
yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda: ―Philosofische grondslag‖
dari pada Indonesia merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen,
filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-
dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang
kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka tuan Ketua
yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberi
tahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan
perkataan ,,merdeka‖.
Merdeka buat saya ialah: ―political independence, politieke
onafhankelijkheid . Apakah yang dinamakanpolitieke onafhankelijkheid?
Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata: Tatkala
Dokuritu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati
saya
banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang – saya katakan di
dalam bahasa asing, ma’afkan perkataan ini – zwaarwichtig‖ akan
perkara yang kecil-kecil. ―Zwaarwichtig‖ sampai -kata orang Jawa-
―njelimet―. Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai
njelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.
Tuan-tuan yang terhormat!
Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu.
Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah
kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya,
samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania
merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka,
Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka,
Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah
isinya!
Alangkah berbedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara
merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai,itu selesai, itu selesai,
sampai njelimet!, maka saya bertanya kepada tuan-tuan sekalian kenapa
Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri kaum Badui,
yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu.
Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Di situ
ternyata, bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi
Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil
perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan
gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Toch Saudi
Arabia merdeka!
Lihatlah pula – jikalau tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat –
Soviet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Soviet, adakah
rakyat soviet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia,
adalah rakyat Musyik yang lebih dari pada 80% tidak dapat membaca
dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan
Fulop Miller, tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Soviet Rusia
pada waktu Lenin mendirikan negara Soviet itu. Dan kita sekarang di
sini mau mendirikan negara Indonesia merdeka. Terlalu banyak macam-
macam soal kita kemukakan!
Maaf, P. T. Zimukyokutyoo! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya
membaca tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya
dirancangkan sampai njelimet hal ini dan itu dahulu semuanya! Kalau
benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai njelimet, maka
saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan
mengalami Indonesia merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami
Indonesia merdeka, – sampai di lobang kubur! (Tepuk tangan riuh).
Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam
tahun ’33 saya telah menulis satu risalah, Risalah yang
bernama ,Mencapai Indonesia Merdeka‖. Maka di dalam risalah
tahun ’33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke
onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah
satu jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa di
seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.
Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam satu malam, – in one night
only! -, kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi
Arabia merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riad dengan 6
orang! Sesudah ―jembatan‖ itu diletakkan oleh Ibn saud, maka di
seberang jembatan, artinya kemudian daripada itu, Ibn Saud barulah
memperbaiki masyarakat Saudi arabia. Orang tidak dapat membaca
diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya bergelandangan
sebagai nomade yaitu orang badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud
jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk bercocok-tanam. Nomade
dirubah oleh Ibn Saud menjadi kaum tani,–semuanya di seberang
jembatan.
Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Soviet-Rusia Merdeka, telah
mempunyai Djnepprprostoff (suatu kawasan industri di mana terdapat
bendungan raksasa di sungai Dnepr, dan di situ dibangun stasiun
pembangkit tenaga listrik yang merupakan tulang punggung
perindustrian Soviet Rusia (ket. – LSSPI), dam yang maha besar di
sungai Dnepr? Apa ia telah mempunyai radio-station, yang menyundul
ke angkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk
meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia pada
waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia merdeka t e l a h dapat membaca
dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan
emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio-
station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan Creche, baru
mengadakan Djnepprostoff!
Maka oleh karena itu saya minta kepada tuan-tuan sekalian, janganlah
tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini danitu
lebih dulu harus selesai dengan njelimet, dan kalau sudah selesai, baru
kita dapat merdeka. Alangkah berlainannnya tuan-tuan punya semangat,
– jikalau tuan-tuan demikian -, dengan semangat pemuda-pemuda kita
yang 2 milyun banyaknya. Dua milyun pemuda ini menyampaikan seruan
pada saya, 2 milyun pemuda ini semua berhasrat Indonesia Merdeka
Sekarang! (Tepuk tangan riuh).
Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang
mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, pada hal
semboyan Indonesia merdeka bukan sekarang saja kita siarkan?
Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan
Indonesia merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita
mempunyai semboyan ―INDONESIA MERDEKA SEKARANG―. Bahkan
3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang ,
sekarang ! (Tepuk tangan riuh).
Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia
merdeka, – kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar hati!. Saudara -
saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political
independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan
ialah satu jembatan! Jangan gentar! Jikalau umpamanya kita pada saat
sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon untuk merdeka,
maka dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang yang bernama
Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo diganti dengan orang yang bernama
Abdul Halim. Jikalau umpamanya Butyoo Butyoo diganti dengan orang-
orang Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat
political independence, politieke onafhankelijkheid, – in one night, di
dalam satu malam!
Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milyun, semuanya
bersemboyan: Indonesia merdeka, sekarang ! Jikalau umpamanya
Balatentera Dai Nippon sekarang menyerahkan urusan negara kepada
saudara-saudara, apakah saudara-saudara akan menolak, serta berkata:
mangke- rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita
berani menerima urusan negara Indonesia merdeka?
(Seruan: Tidak! Tidak)
Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini balatentara
Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu
menitpun kita tidak akan menolak, sekarangpun kita menerima urusan
itu, sekarangpun kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka!
(Tepuk tangan menggemparkan)
Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbedaan antara Soviet-Rusia,
Saudi Arabia, Inggris, Amerika dll. tentang isinya: tetapi ada satu yang
sama, yaitu, rakyat Saudi Arabia sanggup mempertahankan negaranya.
Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat
Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi
minimum-eis. Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik,
tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan
negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada
saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita,
Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, saudara-saudara, semua
siap-sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu
bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk merdeka. (Tepuk
tangan riuh)
Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan
manusia. Manusia pun demikian, saudara-saudara! Ibaratnya,
kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani
kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata: Ah
saya belum berani kawin, tunggu dulu gajih F.500. Kalau saya sudah
mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu
listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul, sudah
mempunyai sendok-garpu perak satu kaset, sudah mempunyai ini dan itu,
bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet, barulah saya berani kawin. Ada
orang lain yang berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah
mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu ,,meja-makan‖, lantas satu
zitje, lantas satu tempat tidur.
Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara
Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan tikar, dengan
satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin.
Sang klerk dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat-tidur:
kawin. Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung, elektrische
kookplaat, tempat tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu
mana yang lebih gelukkig, belum tentu mana yang lebih bahagia, sang
Ndoro dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dan
Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, saudara-
saudara! (Tepuk tangan, dan tertawa)
Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: kita i n
i berani merdeka atau tidak ? ? Inilah, saudara-saudara
sekalian, Paduka tuan ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu
saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai
dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian P.T.
Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang
dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam
hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara-saudara, jika tiap –
tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di
dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence,
saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia
merdeka! (Tepuk tangan riuh).
Di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita ! ! Di
dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa
kita! Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud memerdekakan rakyat
Arabia satu persatu. Di dalam Soviet-Rusia Merdeka Stalin memerdeka–
kan hati bangsa Soviet-Rusia satu persatu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita
bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak
dysenterie, banyak penyakit hongerudeem, banyak ini banyak itu.
Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka‖.
Saya berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi
kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdekaitulah kita
menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi
kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit
malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia
Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam
Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah
maksud saya dengan perkataan, jembatan‖. Di seberang jembatan,
jembatan emas, inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia
merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.
Tuan-tuan sekalian!
Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha penting. Tidakkah kita
mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh
pembicara, bahwa sebenarnya international recht, hukum internasional,
menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan,
mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat yang neko-
neko, yang menjelimet, tidak! Syaratnya sekadar bumi, rakyat,
pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk internationalrecht.
Cukup, saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada
pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu negara yang lain, yang
merdeka, inilah yang sudah bernama: merdeka. Tidak peduli rakyat
dapat baca atau tidak, tidak peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak,
tidak peduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional
mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya,
ada buminya dan ada pemerintahnya, – sudahlah ia merdeka. Janganlah
kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001
soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa
tidak? Mau merdeka atau tidak? (Jawab hadirin: Mau!)
Saudara-saudara!
Sesudah saya bicarakan tentang hal,merdeka, maka sekarang saya
bicarakan tentang hal dasar.
Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang paduka tuan
Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta dasar, minta
philosophischegrondslag, atau, jikalau kita boleh memakai perkataan
yang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu
―Weltanschauung―, di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.
Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang
merdeka, dan banyak di antara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di
atas suatu ―Weltanschauung‖. Hitler mendirikan Jermania di atas
―national-sozialistische Weltanschauung―, – filsafatnasional-sosialisme
telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler
itu. Lenin mendirikan negara Soviet di atas satu ―Weltanschauung‖,
yaitu Marxistische, Historisch-materialistische Weltanschaung. Nippon
mendirikan negara negara dai Nippon di atas satu ―Weltanschauung―,
yaitu yang dinamakan ―Tennoo Koodoo Seishin―. Diatas ―Tennoo
Koodoo Seishin‖ inilah negara dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn
Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu ―Weltanschauung‖, bahkan
diatas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh
paduka tuan Ketua yang mulia: Apakah ―Weltanschauung‖ kita, jikalau
kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, ―Weltanschauung‖ ini sudah lama harus kita
bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia
Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian
untuk mengadakan bermacam-macam ―Weltanschauung‖, bekerja mati-
matian untuk me‖realiteitkan‖ ―Weltanschauung‖ mereka itu. Maka
oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang
terhormat Abikusno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-
negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan,
Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed:
―Soviet-Rusia didirikan di dalam 10 hari oleh Lenin c.s.‖, – John Reed,
di dalam kitabnya: ‖Ten days that shook the world―, ―sepuluh hari yang
menggoncangkan dunia‖ -, walaupun Lenin mendirikan Soviet-Rusia di
dalam 10 hari, tetapi ―Weltanschauung―nya, dan di dalam 10 hari itu
hanya sekadar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu di
atas ―Weltanschauung‖ yang sudah ada. Dari 1895 ―Weltanschauung‖
itu telah disusun. Bahkan dalam revolutie 1905, Weltanschauung itu
―dicobakan‖, di ―generale-repetitie-kan‖.
Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang
dikatakan oleh beliau sendiri ―generale-repetitie‖ dari pada revolusi
tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917, ―Weltanschaung‖ itu disedia-
sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari,
sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan
negara baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu di atas
―Weltanschauung‖ yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu.
Tidakkah pula Hitler demikian?
Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan
negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung. Tetapi
kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya ―Weltanschauung‖ itu?
Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau
telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini,
―Weltanschauung‖ ini, dapat menjelma dengan dia punya ―Munschener
Putsch―, tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya yang
beliau dapat merebut kekuasaan, dan negara diletakkan oleh beliau di
atas dasar ―Weltanschauung‖ yang telah dipropagandakan berpuluh-
puluh tahun itu.
Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia
Merdeka, Paduka tuan ketua, timbullah pertanyaan: Apakah
―Weltanschauung‖ kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka
diatasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-
materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan doktor Sun Yat
Sen?
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka,
tetapi ―Weltanschauung―nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak
salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku ―The three people’s
principles‖ San Min Chu I, – Mintsu, Minchuan, Min Sheng, –
nasionalisme, demokrasi, sosialisme,- telah digambarkan oleh doktor
Sun Yat Sen Weltanschauungitu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau
mendirikan negara baru di atas ―Weltanschauung‖ San Min Chu I itu,
yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.
Kita hendak mendirikan negara Indonesia merdeka di atas
―Weltanschauung‖ apa? Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San
Min Chu I-kah, atau ―Weltanschauung‖ apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya,
banyak pikiran telah dikemukakan, – macam-macam – , tetapi alangkah
benarnya perkataan dr Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo,
bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita
bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari
satu ―Weltanschauung‖ yang k i t a semua setuju. Saya katakan lagi
setuju ! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki
Hajar setujui, yang sdr. Sanoesi setujui, yang sdr. Abikoesno setujui,
yang sdr. Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu
modus. Tuan Yamin, ini bukan compromis, tetapi kita bersama-sama
mencari satu hal yang kita ber-sama – sama setujui. Apakah itu?
Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak
mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu
golongan? Mendirikan negara Indonesia merdeka yang namanya saja
Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu
orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk
memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan? Apakah maksud
kita begitu? Sudah tentu tidak!
Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini,
maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah
mufakat, bahwa bukan yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita
hendak mendirikan suatu negara ―semua buat semua‖. Bukan buat satu
orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun
golongan yang kaya, – tetapi ―semua buat semua―. Inilah salah satu
dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu
mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa
hari di dalam sidang Dokurutu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak
tahun 1918, 25 tahun yang lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik
dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.
Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia.
Saya minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara
Islam lain: Maafkanlah saya memakai perkataan ―kebangsaan‖ ini!
Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara- saudara,
janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa
dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan . Itu bukan berarti
satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu
nasionale staat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden
Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan
berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo
katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak
tuanpun adalah orang Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia,
datuk-datuk tuan, nenek-moyang tuanpun bangsa Indonesia. Di atas satu
kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki
Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.
Satu Nationale Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski
saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah
menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil
tempoh sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya
bangsa?
Menurut Renan syarat bangsa ialah ―kehendak akan bersatu‖. Perlu
orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan
menyebut syarat bangsa: ―le desir d’etre ensemble―, yaitu kehendak
akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi
bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa
dirinya bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam
bukunya ―Die Nationalitatenfrage‖, di situ ditanyakan: ―Was ist eine
Nation?‖ dan jawabnya ialah: ―Eine Nation ist eine aus chiksals-
gemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft‖. Inilah menurut Otto
Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul
karenapersatuan nasib). Tetapi kemarinpun, tatkala, kalau tidak salah,
Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr.
Yamin berkata: ―verouderd‖, sudah tua. Memang tuan-tuan sekalian,
definisi Ernest Renan sudah ―verouderd‖, sudah tua. Definisi Otto Bauer
pun sudah tua. Sebab tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu,
tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang
dinamakan Geopolitik.
Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau
Moenandar, mengatakan tentang ―Persatuan antara orang dan tempat‖.
Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan
antara manusia dan tempatnya! Orang dan tempat tidak dapat
dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah
kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya.
Mereka hanya memikirkan ―Gemeinschaft‖nya dan perasaan orangnya,
―l‖ame et desir‖. Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat
tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu, Apakah
tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air . Tanah air itu adalah satu
kesatuan. Allah S.W.T membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau
kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan dimana ―kesatuan-
kesatuan‖ disitu.
Seorang anak kecil pun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat
menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan.
Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau
diantara 2 lautan yang besar, lautan Pacific dan lautan Hindia, dan
diantara 2 benua, yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang anak
kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa,Sumatera, Borneo,
Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain
pulau kecil diantaranya, adalah satu kesatuan.
Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa
pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir Timur benua Asia
sebagai ―golf breker‖ atau pengadang gelombang lautan Pacific, adalah
satu kesatuan. Anak kecilpun dapat melihat, bahwa tanah India adalah
satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh lautan Hindia yang luas dan
gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa
kepulauan Inggris adalah satu kesatuan. Griekenland atau Yunani dapat
ditunjukkan sebagai kesatuan pula, Itu ditaruhkan oleh Allah S.W.T.
demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia
saja, tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang
lain-lain, segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air
kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia
yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja,
atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap
kepulauan uang ditunjuk oleh Allah S.W.T. menjadi suatu kesatuan
antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara
rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oeh
Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup ―le desir d’etre
ensembles‖, tidak cukup definisi Otto Bauer ―aus schiksalsgemeinschaft
erwachsene Charaktergemeinschaft‖ itu. Maaf saudara-saudara, saya
mengambil contoh Minangkabau, diantara bangsa di Indonesia, yang
paling ada ―desir d’entre ensemble‖, adalah rakyat Minangkabau, yang
banyaknya kira-kira 2,5 milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga.
Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuaan, melainkan hanya satu
bahagian kecil dari pada satu kesatuan! Penduduk Yogyapun adalah
merasa ―le desir d’etre ensemble‖, tetapi Yogyapun hanya satu
bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan
sangat merasakan ―le desir d’etre ensemble‖, tetapi Sundapun hanya
satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu
golongan orang yang hidup dengan ―le desir d’etre ensemble‖ diatas
daerah kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau
Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-
manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh s.w.t.,
tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara
Sumatra sampai ke Irian! Seluruhnya! , karena antara manusia
70.000.000 ini sudah ada ‖ le desir d’etre ensemble―, sudah terjadi
―Charaktergemeinschaft―! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, ummat
Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang
telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu ! (Tepuk tangan hebat).
Ke sini lah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale staat, di
atas kesatuan bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian.
Saya yakin tidak ada satu golongan di antara tuan-tuan yang tidak
mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan ―golongan
kebangsaan―. Ke sini lah kita harus menuju semuanya.
Saudara-saudara, jangan orang mengira bahwa tiap-tiap negara
merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren,
bukan Sakssen adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermanialah satu
nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan
Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh semenanjung di Laut
Tengah, yang diutara dibatasi pegunungan Alpen, adalah nationale
staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi
seluruh segi-tiga Indialah nanti harus menjadi nationale staat.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang
merdeka di jaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali
mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sri Wijaya dan di zaman
Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalaminationale staat. Saya
berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya
berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung
Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan
nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di
Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat.
Dengan persaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, berkata,
bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan satu nationale
staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoedin di Sulawesi
yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis
yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya , yang telah berdiri
dijaman Sri Wijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan
bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita
mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: Kebangsaan
Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa,
bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali,
atau lain-lain,tetapi kebangsaan Indonesia , yang bersama-sama
menjadi dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan
tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali
lagi oleh Paduka Tuan fuku-Kaityoo, Tuan menjawab: ―Saya tidak mau
akan kebangsaan‖.
TUAN LIM KOEN HIAN :
Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.
TUAN SOEKARNO:
Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena tuan
Lim Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak
juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar
kebangsaan, karena mereka memeluk fahamkosmopolitisme, yang
mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa
dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka
berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon,
tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya
―menschheid―, ―peri kemanusiaan‖. Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit,
memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa ada kebangsaan
Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di
bangku sekolah H.B.S. di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang
sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, –
katanya: jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa
kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsAan sedikitpun.
Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada
orang lain yang memperingatkan saya, – ialah Dr Sun Yat Sen! Di dalam
tulisannya ―San Min Chu I‖ atau ―The Three People’s Principles‖, saya
mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan
oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu
tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh ―The Three People’s
Principles‖ itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa
menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa
Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat-
sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, –
sampai masuk kelobang kubur. (Anggauta-anggauta Tionghoa bertepuk
tangan).
Saudara-saudara. Tetapi …….. tetapi ……….. memang prinsip
kebangsaan ini ada bahayanya!
Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi
chauvinisme, sehingga berfaham ―Indonesia uber Alles―. Inilah
bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu,
mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya
satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata: ―Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya
adalah perikemanusiaan ―My nationalism is humanity―. Kebangsaan
yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan
chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropah, yang
mengatakan ―Deutschland uber Alles―, tidak ada yang setinggi
Jermania, yang katanya, bangsanya minulyo, berambut jagung dan
bermata biru, ―bangsa Aria‖, yang dianggapnya tertinggi diatas dunia,
sedang bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas
azas demikian, Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah
yang terbagus dan termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus
menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia. Kita bukan saja harus
mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula
kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.
Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principe yang
nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya
namakan ―internasionalisme―. Tetapi jikalau saya katakan
internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang
tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia,
tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika,
dan lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam
buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau
tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini,
saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama-tama saya
usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama
lain.
Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat,
dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan
satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan,
walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara ―semua buat
semua‖, ―satu buat semua, semua buat satu‖. Saya yakin syarat yang
mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan
perwakilan.
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama.
Kita, sayapun, adalah orang Islam, — maaf beribu-ribu maaf, keislaman
saya jauh belum sempurna, — tetapi kalau saudara-saudara membuka
saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati
tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin
membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara
mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan
jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan
Rakyat.
Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam
permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk
mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sini lah kita usulkan kepada
pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi
perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja
sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-
kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan
Islam.Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya
rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup
berkobar-kobar didalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-
pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan
sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini.
Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah
kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60,70, 80, 90 utusan
yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka
Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan
perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau
hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa
agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%,
70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam,
ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru
jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya
di atas bibir saja. Kita berkata, 90% dari pada kita beragama Islam,
tetapi lihatlah di dalam sidang ini berapa % yang memberikan suaranya
kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu
adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam
kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara
sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam,
setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan,
perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjoangan sehebat-hebatnya.
Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam
badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah
Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di dalamnya. Baik di
dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjoangan
selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip
perwakilan rakyat!
Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara Islam dan saudara-
saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebatnya. Kalau misalnya orang
Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan
negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar
supaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan
perwakilan Indonesia ialah orang Kristen, itu adil, – fair play! Tidak ada
satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjoangan
di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjoangan. Jangan kira
dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah Subhanahu wa
Ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita
sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan
gabah, supaya keluar dari padanya beras, dan beras akan menjadi nasi
Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara, prinsip
nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan.
Prinsip No. 4 sekarang saya usulkan, Saya di dalam 3 hari ini belum
mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip : tidak
akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi:
prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng:
nationalism, democracy, sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita
mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah
yang semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup
pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi
yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih,
saudara-saudara?
Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada,
kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah
lihat, di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah
parlementaire democracy. Tetapi tidakkah di Eropah justru kaum
kapitalis merajalela? Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat,
dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh
benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan
rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan- badan
perwakilan rakyat yang diadakan di sana itu, sekedar menurut resepnya
Franche Revolutie. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan
democratie disana itu hanyalah politie – ke democratie saja; semata-
mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, — tak ada keadilan sosial ,
tidak ada ekonomische democratie sama sekali.
Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Prancis,
Jean Jaures, yang menggambarkan politieke democratie. Di dalam
Parlementaire Democratie, kata Jean Jaures, di dalam Parlementaire
Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak politiek yang
sama, tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di
dalamparlement. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah
kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?‖ Maka oleh karena itu
Jean Jaures berkata lagi: ―Wakil kaum buruh yang mempunyai hak
politiek itu, di dalam Parlement dapat menjatuhkan minister. Ia seperti
Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam paberik, –
sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar ke
jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa‖. Adakah
keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi,
hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang
memberi hidup, yakni politiek–ecomische democratie yang mampu
mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama
bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang
dimakksud dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid.
Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang
makan kurang pakaian, menciptakan dunia-baru yang di dalamnya ada
keadilan di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau
kita memang betul-betul mengerti, mengingat mencinta rakyat Indonesia,
marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan
saja persamaan politiek, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan
ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan
bersama yang sebaik-baiknya
Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat,
hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja,
tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua
prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid.
Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama,saudara-saudara, di
dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita
selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan kepada negara, saya terus
terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karena
monarchie ―vooronderstelt erfelijkheid―, – turun-temurun. Saya seorang
Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya menghendaki
mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih.
Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik
kalif, maupun Amirul mu’minin, harus dipilih oleh Rakyat? Tiap-tiap kali
kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki
Bagus Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, dan
mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan
sendirinya, dengan automatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo.
Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarchieitu.
Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4
prinsip:
1. Kebangsaan Indonesia.
2. Internasionalisme, – atau peri-kemanusiaan.
3. Mufakat, – atau demokrasi.
4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya:
Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang
Maha Esa. Prinsip Ketuhanan!
Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang
Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen
menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan
menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan
ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita
semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang
tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang
leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni
dengan tiada ―egoisme-agama‖. Dan hendaknya Negara Indonesia satu
Negara yang bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen,
dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu?
Ialah hormat-menghormati satu sama lain. (Tepuk tangan sebagian
hadlirin).
Nabi Muhammad SAW telah memberi bukti yang cukup tentang
verdraagzaamheid, tentang menghormati agama- agama lain. Nabi Isa
pun telah menunjukkan verdraagzaamheid. Marilah kita di dalam
Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan:
bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah Ketuhanan yang
berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan
yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya,
jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka
berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Di sinilah, dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara- saudara,
segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat
tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula!
Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, di situlah tempatnya
kita mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara yang
berkebudayaan!
Saudara-saudara! ―Dasar-dasar Negara‖ telah saya usulkan. Lima
bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak
tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan
dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam
lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Indera.
Apa lagi yang lima bilangannya? (Seorang yang hadir: Pendawa lima).
Pendawapun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan,
internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula
bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi – saya namakan ini
dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Panca
Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita
mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi. (Tepuk tangan riuh).
Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan
lima itu?
Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya
kepada saya, apakah ―perasan‖ yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun
sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka,
Weltanschauung kita.
Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme,
kebangsaan dan peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang
dahulu saya namakan socio-nationalisme . Dan demokrasi yang bukan
demokrasi barat, tetapi politiek- economische demokratie, yaitu politieke
demokrasi dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi d e n g a n
kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya
namakan socio-democratie. Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati
satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-
demokratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga,
ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang
kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan
satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang
kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen
buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck
buat indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi
Indonesia buat Indonesia, – semua buat semua! Jikalau saya peras yang
lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu
perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan gotong-royong . Negara
Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah
hebatnya! Negara gotong-royong! (Tepuk tangan riuh rendah).
―Gotong Royong‖ adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari
―kekeluargaan‖, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham
yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal,
satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu
karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan,
amal ini, bersama-sama!
Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-
keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat
kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-
kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong! (Tepuk
tangan riuh rendah).
Prinsip Gotong Royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara
yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan
peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, saudara-saudara,
yang saya usulkan kepada saudara-saudara.
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah
kepada tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: trisila, ekasila ataukah
pancasila?
Isinya telah saya katakan kepada saudara-saudara semuanya. Prinsip-
prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah
prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku
telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita
hidup didalam masa peperangan, saudara- saudara. Di dalam masa
peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia, – di dalam
gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah
kepada Allah Subhanahu wata’ala, bahwa kita mendirikan negara
Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu
godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia
Merdeka, Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang
digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang
demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara
Indonesia yang lambat laun menjadi bubur. Karena itulah saya
mengucap syukur kepada Allah s.w.t.
Berhubung dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa
pembicara-pembicara tadi, barangkali perlu diadakannoodmaatregel,
peraturan bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia
Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Panca Sila.
Sebagai dikatakan tadi,saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung
kita. Entah saudara- saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya
berjoang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk
Weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk
kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam
peri-kemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid;
untuk ke-Tuhanan. Panca Sila, itulah yang berkobar-kobar di dalam
dada saya sejak berpuluh-puluh tahun. Tetapi, saudara-saudara,
diterima atau tidak, terserah saudara-saudara. Tetapi saya sendiri
mengerti seinsyaf- insyafnya, bahwa tidak satu Weltaschauung dapat
menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya.
Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan,
menjadi realiteit, jika tidak dengan perjoangan! Jangan pun
Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang
diadakan Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen! ―De
Mensch―, — manusia! –, harus perjoangkan itu. Zonder perjoangan itu
tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit
zonder perjoangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat
menjadi kenyataan zonder perjoangan bangsa Tionghoa, saudara-
saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: zonder
perjoangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita
agama, yang dapat menjadi realiteit. Janganpun buatan manusia,
sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur’an, zwart op
wit (tertulis di atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit
zonder perjoangan manusia yang dinamakan ummat Islam. Begitu pula
perkataan-perkataan yang tertulis di dalam kitab Injil, cita-cita yang
termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjoangan ummat
Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Panca Sila yang
saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup
menjadi satu bangsa, satu nationali-teit yang merdeka, ingin hidup
sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan
perikemanusiaan, ingin hidup diatas dasar permusyawaratan, ingin
hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan
sejahtera dan aman, dengan ke-Tuhanan yang luas dan sempurna, –
janganlah lupa akan syarat untuk menyeleng-garakannya, ialah
perjoangan, perjoangan, dan sekali lagi perjoangan.
Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu
perjoangan kita telah berakhir.Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam
Indonesia Merdeka itu perjoangan kita harus berjalan terus, hanya lain
sifatnya dengan perjoangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita,
bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjoang terus
menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Panca Sila. Dan
terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah,
tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara, bawa Indonesia Merdeka
tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak mengambil risiko, —
tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang
sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak
menekad mati – matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan
Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-
lamanya, sampai keakhir jaman! Kemerdekaan hanya- lah diperdapat
dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad
―Merdeka, — merdeka atau mati‖! (Tepuk tangan riuh)
Saudara-sauadara!
Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua.
Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan
sudah meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf,
karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo
yang saya anggap ―verschrikkelijk zwaarwichtig‖ itu. Terima kasih!
(Tepuk tangan riuh rendah dari segenap hadirin)
BAB II
Nilai-Nilai Luhur Itu Telah Terlahir Kembali
1 Juni 1945 Lahirnya Pancasila

1. Sepatah Kata
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa
pahlawannya (Ir. Soekarno).
Pribadi yang mulia adalah pribadi yang selalu bercermin dan
meneladadi jiwa kepahlawanan para pendiri bangsa (penulis).

2. Untuk Menghilangkan Keraguan dari Keabsahannya


Ada beberapa pendapat yang berkembang tentang tanggal
lahirnya dasar negara kita yaitu Pancasila. Untuk itu sebagai warga
negara di negara yang sangat kita cintai ini merasa perlu mencari
sebenar-benarnya tentang kelahiran dasar negara ini. Banyaknya opini
dan pendapat tentang kelahiran Pancasila sebagai dasar falsafah negara,
selain akan membuat sejarah yang bias juga akan mengaburkan peran,
fungsi, dan hakekat Pancasila itu sendiri. Oleh karena itu tanggal
kelahiran Pancasila sebagai dasar negara dan dasar falsafah negara harus
detetapkan dengan benar agar sesuai dengan peran dan fungsi dari
Pancasila terhadap negara. Selain itu penelusuran sejarah juga sangat
penting untuk memahami dan menetapkan tanggal kelahiran Pancasila
tersebut.
Tanggal 1 Juni, 22 Juni dan 18 Agustus 1945 adalah tanggal
bersejarah bagi bangsa Indonesia. Tanggal yang sangat penting untuk
bangsa Indonesia. Tanggal-tanggal tersebut mempunyai fungsi yang
sama dan sangat penting dalam proses kemerdekaan negara ini.
Walaupun demikian pada tanggal-tanggal tersebut memiliki esensi dan
peran yang berbeda dalam menyelesaikan tugasnya masing-masing bagi
kemerdekaan Indonesia. Peran-peran inilah yang merupakan hakekat dari
posisi sejarah Pancasila. Sejarah Pancasila melalui tiga fase penting,
yaitu: Pertama, dimulai dari 1 Juni 1945, Kedua, tanggal 22 Juni 1945,
dan Ketiga, mencapai bentuk final pada 18 Agustus 1945 (kelahirannya,
kesepakatannya dan meresmikannya). Baik tanggal 1 Juni, 22 Juni dan
18 Agustus 1945, kalau kita kupas secara jernih maka subyek
pendorongnya adalah Ir. Soekarno. Hal Ini bukan masalah
mengabsolutkan peran Ir. Soekarno dan mengesampingkan peran para
pendiri bangsa yang lain, tetapi lebih pada pijakan historis yang realistis
bahwa beliaulah salah satu aktor yang sangat penting di balik tanggal-
tanggal tersebut yaitu kelahiran Pancasila. Mengesampingkan peran
beliau (Bung Karno) justru akan mengaburkan dan menyimpangkan
kenyataan sejarah itu sendiri yang berbahaya bagi jati diri bangsa.
Tanggal 1 Juni 1945 adalah disampaikannya ide dan usulan
tentang dasar filosofi negara Indonesia yang dikenal dengan istilah
Philosophische Grondslag atau weltanschauung bangsa ini, oleh Ir.
Soekarno, yang kemudian diberi nama Pancasila. Tanggal 22 Juni 1945
adalah ditetapkannya Piagam Jakarta oleh Panitia Sembilan yang juga
diketuai oleh Ir. Soekarno. Sedangkan Tanggal 18 Agustus 1945 adalah
penetapan Presiden dan Wakil Presiden RI (dimana Ir. Soekarno dan
Drs. Moh. Hatta ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI),
pengesahan dan penetapan Undang Undang Dasar 45 dan pembentukan
Komite Nasional sebagai pembantu Presiden sebelum dibentuknya
DPR/MPR. Penetapan semua ini yang dilaksanakan tanggal 18 Agustus
1945, dilalukan oleh PPKI yang juga diketuai oleh Ir. Soekarno. Dari
rentetan kejadian ini sangat jelas bahwa sejarah keberadaan Pancasila
sebagai dasar negara baik lahirnya, penyempurnaanya hingga
pengesahannya, peran Ir. Soekarno sangat dominan kalau tidak bisa kita
katakana sebagai kausa primanya.
Lalu tanggal berapakah Pancasila itu lahir? Sebagai bahan
pijakan untuk memahami dan menemukan hari lahir Pancasila, maka
akan kita uraikan Pancasila sebagai Dasar Filosofi Bangsa dan
kejadian-kejadian yang melatar belakangi lahirnya Pancasila.
Bahwa salah satu kedudukan pokok dari Pancasila adalah
sebagai Dasar Negara Republik Indonesia, hal ini menguatkan bahwa
kelahiran Pancasila harus lebih awal dari yang didasarinya yaitu
Negara Republik Indonesia. Kedudukan pokok Pancasila adalah sebagai
dasar filsafat Negara Republik Indonesia. Kedudukan Pancasila yang
tentunya bisa kita gunakan sebagai dasar penentuan tanggal lahirnya,
tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di aline ke
empat, yang berbunyi : ―......maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan
Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan / Perwakilan, serta dengan mewujudkan Suatu
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia‖. Dari sini sudah sangat
jelas bahwa Negara ini didirikan di atas dasarnya sila-sila dalam
Pancasila, artinya Pancasila mendasari berdirinya bangunan gedung
Negara Republik Indonesia ini. Menurut Suparto (2017:68), Dari petikan
Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 di atas, terdapat susunan
―Dengan berdasar kepada………….‖ Memberikan penegasan yuridis
bahwa Pancasila merupakan dasar Negara.
Dari uraian beserta penjelasan di atas maka sangat jelaslah
bahwa tanggal kelahiran Pancasila sebagai dasar falsafah Negara harus
lebih dahulu jika dibandingkan dengan berdirinya negara itu sendiri.
Selain itu, secara historis tercatat bahwa momentum mengemukaan
dasar falsafah Negara Indonesia merdeka ini dibacakan tanggal 1 Juni
1945, kurang dua bulan sebelum kemerdekaan diproklamirkan.
Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 Bung karno menyatakan
pentingnya weltanschauung sebelum kemerdekaan sebuah bangsa.
Berikut sebagian kutipan pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945
tentang dasar negara, ―Tuan-tuan sekalian, weltanschauung ini sudah
lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita
sebelum Indonesia merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia
bekerja matia-matian untuk mengadakan bermacam-macam
weltanschauung, bekerja mati-matian untuk me-realiteit kan
weltanschauung mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak
benar perkataan anggota yang terhormat Abikoesno, bila beliau berkata,
bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi
seadanya saja, menurut keadaan. Tidak! Sebab misalnya, walaupun
menurut perkataan John Reed, ―Sovyet-Rusia didirikan di dalam 10 hari
oleh Lenin cs‖. John Reddd di dalam kitabnya, ―Ten days that shook the
world‖, ―Sepuluh hari yang mengguncang dunia‖- walaupun Lenin
mendirikan Sovyet-Rusia di dalam 10 hari, tetapi weltanschauung-nya
telah tersedia berpuluh-puluh tahun. Terlebih dulu telah tersedia
weltanschauung, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut
kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu di atas weltanschauung
yang sudah ada. Dari 1895 weltanschauung itu telah tersusun. Bahkan
dalam revolutie 1905, weltanschauung itu ―dicobakan‖, di – generale-
repetitie-kan‖.
―Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan,
mendirikan negara Jermania di atas National-Sozialistische
weltanschauung.
Tetapi kapankah Hitler memulai menyediakan dia punya
weltanschauung itu? Bukan di dalam 1933, tetapi di dalam tahun 1921
dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar
supaya Naziisme ini, weltanschauung ini, dapat menjelma dengan dia
punya ‖Munchen Putsch‖, tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang
saatnya beliau dapat merebut kekuasaan, dan negara diletakkan oleh
beliau di atas dasar weltanschauung yang telah dipropagandakan
berpuluh-puluh tahun itu……….. dan seterusnya‖
Dari sebagian kutipan pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni
1945 tersebut jelaslah bahwa weltanschauung atau dasar filosofi sebuah
negara yang akan merdeka harus disediakan dan disepakati terlebih
dahulu sebelum bangsa tersebut merdeka.
Pendekatan lain hari lahir Pancasila sebagai dasar falsafah
negara Indonesia adalah bahwa Negara Indonesia ini ibarat sebuah
bangunan gedung pelindung rakyat Indonesia yang berdiri di atas
fondasi Pancasila. Tidaklah mungkin bahwa fondasi itu dibuat sesudah
bangunan itu didirikan, logikanya, harus ditentukan unsur-unsur fondasi
terlebih dahulu, dirancang bentuk fondasi terlebih dahulu, dibuat
fondasinya terlebih dahulu baru kemudian di atasnya fondasi tersebut
didirikan sebuah bangunan gedung. Logika ini yang mendasari bahwa
Pancasila terlahir terlebih dahulu dibanding berdirinya Negara Republik
Indonesia yang dihutung dari tanggal 17 Agustus 1945. Logika ini juga
membuktikan bahwa berdirinya negara Republik Indonesia atas dasar
pemikiran yang dalam, tidak asal nekat dan gegabah.
Dengan kesimpulan ini maka kita akan bisa meyakini dengan
seyakin-yakinnya bahwa Pancasila sebagai dasar filosofi negara
Indonesia terlahir sebelum 17 Agustus 1945 yang merupakan tanggal
berdirinya negara Indonesia. Dengan kesimpulan inipulalah menurut
penulis, gugurlah pendapat yang mengatakan bahwa hari lahir
Pancasila adalah 18 Agustus 1945, satu hari setelah berdirinya negara
Indonesia ini. Apalagi didukung oleh fakta sejarah yang kuat bahwa
pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI hanya memutuskan tiga hal, yaitu
Penetapan Undang Undang Dasar 45, penetapan Presiden dan Wakil
Presiden dan Pembentukan Komite Nasional sebagai pembantu Presiden
sebelum dibentuk DPR/MPR. Pada tanggal tersebut sama sekali tidak
membahas atau menetapkan dasar negara ataupun dasar filosofis
negara.
Di atas telah dijelaskan bahwa dalam rentetan kejadian yang
berhubungan dengan sejarah Pancasila adalah tanggal 1 Juni dan 22
Juni 1945. Dari tanggal-tanggal tersebut manakah yang menjadi
penanda kelahiran Pancasila.
Kelahiran Pancasila sebagai dasar falsafah negara ditandai
dengan saat terkristalisasi dan ditemukannya kembali nilai-nilai luhur
bangsa Indonesia. Menurut Bung Karno, Pancasila adalah jiwa bangsa
Indonesia yang turun temurun sekian lamanya terbungkam oleh
kebudayaan barat (Suparto, 2017:69). Hal ini membuktikan bahwa nilai-
nilai luhur bangsa yang nantinya akan menjadi dasar filosofi negara
Indonesia pernah terkesampingkan selama periode kolonialisme barat.
Menurut Sutaryo (2014:45), Aku melihat masyarakat Indonesia, sejarah
rakyat Indonesia. Dan aku menggali lima mutiara yang terbenam di
dalamnya, yang tadinya lima mutiara itu cemerlang tetapi karena oleh
penjajahan asing yang 350 tahun lamanya, terbenam kembali di dalam
bumi bangsa Indonesia ini. Ini merupakan cuplikan pidato Bung Karno
di depan Konggres Rakyat Jawa Timur pada 24 September 1955 di
Surabaya. Nilai-nilai luhur ini yang pernah menghantarkan bangsa-
bangsa di nusantara ini mencapai kejayaannya. Nilai-nilai luhur
inipulalah yang juga membuat kuatnya negara-negara di nusantara ini.
Karena hanya nilai-nilai luhur inilah yang mampu menyatukan,
melindungi dan dijadikan pijakan oleh seluruh elemen bangsa nusantara.
Dan karena satu-satunya jalan untuk bisa menguasai nusantara ini
dengan cara menghilangkan nilai-nilai luhur ini, maka dibungkamlah
nilai-nilai luhur ini oleh pihak imperialis kolonialis barat agar bangsa
ini tidak mempunyai kekuatan.
Bung Karno sadar bahwa Indonesia sebagai sebuah bangunan
negara akan kuat jika bangunan negara itu diletakkan di atasnya sendi-
sendi jiwa bangsa Indonesia. Inilah yang menjadikan sebagian dasar
pemikiran dan renungan bagi Bung Karno dalam menyampaikan isi
pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 selain karena permintaan Ketua
BPUPK (Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai) yang menanyakan dasar
Indonesia merdeka. Nilai-nilai luhur itu telah terkristalisasi sekaligus
ditemukan kembali bersamaan dengan disampaikannya pidato Bung
Karno 1 Juni 1945. Oleh karena itu tidak ada alasan lain untuk
menentukan tanggal lahir Pancasila kecuali tanggal 1 Juni 1945.

Kenapa tidak tanggal 22 Juni 1945 dijadikan hari lahir


Pancasila? Telah kita ketahui bahwa pada tanggal 22 Juni 1945 adalah
saat ditetapkannya Piagam Jakarta oleh Panitia Sembilan yang juga
diketuai oleh Ir. Soekarno. Tugas Panitia Sembilan itu adalah
merumuskan kembali pidato Ir. Sukarno yang diberi nama Pancasila
sebagai dasar negara. Menurut Suparto (1917:55), Inilah momentum
penting bagi bangsa Indonesia, di mana Bung Karno berhasil menelurkan
suatu dasar pijakan bagi negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Rumusan dasar negara Bung karno ini kemudian dibahas kembali oleh
panitia Sembilan yang dibentuk BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan) kemudian dimasukkan ke dalam Piagam
Jakarta. Sila-sila yang terdapat pada Piagam Jakarta tersebut nilainya
adalah sama dengan sila-sila dari Pancasila yang telah disampaikan oleh
Bung Karno sebelumnya, yaitu tanggal 1 Juni 1945 dengan perbedaan
redaksional tetapi nilai, jiwa dan nyawanya sama.
Bahwa sila-sila dalam Pancasila adalah sebuah kalimat, yang
artinya adalah satu kesatuan yang bersifat sama, homogen dan saling
melengkapi serta tidak bisa dipisah-pisahkan. Susunan pada sila-sila
tersebut sama sekali tidak membedakan kedudukan, peran maupun
fungsinya. Contoh : Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, sila ini
sama sekali tidak lebih tinggi kedudukannya dibanding sila ke dua
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Sila ke dua Kemanusiaan yang
Adil dan Beradap tidak lebih tinggi kedudukannya dibanding dengan sila
ke tiga Persatuan Indonesia dan seterusnya. Karena ke lima sila itu
adalah satu nyawa yang tak lain dan tak bukan adalah jiwanya bangsa
Indonesia.
Yang perlu kita teladani dari tanggal 22 Juni 1945 adalah jiwa
berkorban dari para pendiri bangsa untuk menerima satu kesepakatan
yang mengikat bangsa ini, dimana nilai yang disepakati itu adalah nilai-
nilai luhur bangsa yang diciptakan oleh sejarah dan dialektika bangsa ini
tentunya dengan seijin dan kehendak Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Esa. Nilai-nilai luhur ini bukan diciptakan oleh seseorang yang justru
akan mengkerdilkan makna dari nilai-nilai luhur tersebut. Dari peristiwa
ini dapat kita pelajari bahwa para pendiri bangsa memiliki jiwa yang
besar, yang lebih dulu mementingkan kepentingan bangsa dari pada
sekedar kepentingan kelompoknya.
Pendekatan politis juga dapat digunalan sebagai salah satu
pijakan penentuan tanggal lahir Pancasila. Bahwa kenyataan sejarah telah
mencatat, Bung Karno selain dipercaya menjadi Ketua Panitia Kecil,
Ketua Panitia Sembilan juga sebagai ketua PPKI. Semua badan-badan
tersebut secara khusus bertugas menyelesaikan dasar negara Indonesia
yang akan merdeka. Hal ini seharusnya bisa menjadi pertanyaan bagi kita
semua, mengapa demikian? Tentu secara logika politis akan bisa
memberi jawaban, bahwa Bung Karnolah pemandu untuk mengambil dan
memutuskan kesepakatan-kesepakatan khususnya yang berhubungan
dengan dasar negara. Semua ini dilandasi dari materi pidato 1 Juni 1945
yang dianggab oleh ketua BPUPK beserta seluruh peserta sidang, paling
mewakili terhadap jiwa bangsa Indonesia.

3. Nilai-nilai itu Sudah Menjiwai Bangsa Nusantara Ratusan


Tahun yang Lalu
Sebagai jiwa, maka nilai-nilai luhur bangsa ini sudah ada jauh
sebelum negara Indonesia berdiri. Jiwa inilah yang mendasari
kepribadian bangsa nusantara sebelumnya. Jiwa inilah yang telah
menghantarkan bangsa-bangsa di nusantara ini menuju kejayaannya.
Sebaliknya bangsa-bangsa yang besar di nusantara itu hancur karena
meninggalkan nilai-nilai luhur bangsanya tersebut.
Memang benar, agama-agama yang saat ini berkembang di
Indonesia bukan berasal dari nusantara. Islam, Kristen, Katolik, Hidu,
Budha dan Kong Hu Cu bukan berasal dari nusantara. Namun demikian,
nilai-nilai kepercayaan kepada Tuhan dan kepercayaan akan keyakinan
tertentu sudah ada dan diyakini masyarakat nusantara jauh sebelum
agama-agama itu hadir di nusantara. Sejarah nusantara adalah sejarah
bangsa yang berkeyakinan. Makna dari Ketuhanan Yang Maha Esa
adalah bahwa masyarakat bangsa nusantara adalah masyarakat yang
berkeyakinan kepada Tuhan entah apapun agamanya. Berubahnya
keyakinan atau agama pada sejarah bangsa nusantara juga dikarenakan
adanya akulturasi keyakinan setempat dengan kayakinan baru yang hadir
kemudian. Hal ini terbukti bahwa secara corak budaya dan karakter
masyarakatnya, maka agama agama di Indonesia agak sedikit berbeda
dengan corak budaya dan karakter masyarakat di mana agama itu
dilahirkan atau berasal.
Bahwa masyarakat nusantara dengan susunan kenegaraannya
telah mengenal hak asasi manusia adalah sebuah realita sejarah, bahkan
jauh sebelum pengaruh-pengaruh negara-negara manapun datang ke
tanah nusantara. Nilai-nilai kemanusiaan terlihat dari perkembangan seni
budaya yang tinggi pada masa itu, khususnya pada masa kejayaan
Majapahit sekitar tahun 1350 M. Nilai kemanusiaan akan tercermin pada
nilai seni dan budaya bangsa itu, karena pada hakekatnya budaya adalah
hasil karya, cipta, rasa dan karsa manusia itu sendiri. Oleh karenanya
masyarakat yang menjujung tinggi nilai kemanusiaan akan tercermin
pada nilai seni dan budaya masyarakat tersebut, yang tentunya tinggi
pula. Candi-candi peninggalan Majapahit dan masa-masa sebelumnya
adalah bukti tinggnya nilai seni dan budaya yang mencerminkan
tingginya nilai kemanusiaan yang diterapkan pada masa itu. Sehingga
dapat disimpulkan sebelum revolusi Perancis yang menghasilkan
deklarasi Hak Asasi manusia, maka di tanah nusantara sudah mengenal
dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang tercermin pada
kebudayaannya.
Selanjutnya terbukti dalam sejarah bahwa tidak pernah ada
satupun gerakan revolusi rakyat terhadap kekuasaan yang ada pada saat
berjayanya kerajaan-kerajaan di nusantara. Hal ini membuktikan bahwa
negara hadir untuk melindungi rakyatnya. Tidak pernah ada penghisapan,
penindasan dari tatanan negara kepada rakyatnya. Sebaliknya revolusi
sosial yang terjadi di eropa saat itu membuktikan bahwa tatanan negara
tidak berdasarkan peri kemanusiaan karena bersifat menindas dan
menghisap rakyatnya. Contohnya adalah revolusi Perancis yang terjadi
karena kemuakan rakyat atas kezaliman kekuasaan kerajaan Perancis saat
itu.
Bahwa jauh sebelum Ernest Renan mengenalkan konsep
kebangsaannya yang terkenal, konsep tentang asal usul dan syarat sebuah
bangsa, maka jauh sebelum itu masyarakat nusantara sudah mengenal,
merasa peting dan membutuhkan sebuah persatuan bangsa. Hal ini
terbukti yang salah satunya adalah sumpah Maha Raja Singasari, Sang
Prabu Kertanegara dengan Sumpah Cakrawala Mandala Nusantaranya
atau yang lebih terkenal dengan Ekspedisi Pamalayu yang berkeinginan
untuk menyatukan nusantara. Penyatuan ini didasari untuk menciptakan
suasana yang aman dan kuat dalam menghadapi musuh dari utara yaitu
Monggolia. Sumpah ini kemudia dilanjutkan oleh Maha Patih Gajah
Mada dengan Sumpah Palapanya. Sehingga disimpulkan bahwa
kesadaran masyarakat untuk bersatu dalam sebuah bangsa dan negara
sudah ada sebelum pengaruh-pengaruh asing yang datang ke nusantara.
Di dalam kitab Desawarnana atau Nagarakertagama karangan
Mpu Prapanca, dijelaskan bahwa pada masa kerajaan Majapahit
kehidupan bermusyawarah dan kerukunan sangat terjalin dengan baik.
Bahwa agama-agama yang berbeda tidak menjadikan alasan suatu
perbedaan yang arahnya menjadikan perpecahan. Ini adalah bukti nilai-
nilai toleransi sudah dijunjung tinggi oleh masyarakat kita. Selain itu
kebesaran, kejayaan dan kemakuran kerajaan Majapahit tentunya
menghantarkan masyarakatnya pada tatanan ekonomi yang makur juga.
Selain hal hal tersebut di atas, kehidupan bermusyawarah untuk
mengambil keputusan yang bijaksana sudah menjadi cara hidup baik
berbangsa, bernegara maupun bermasyarakat. Menurut Bambang
Yudoyono (2017:12), dijelaskan beberapa sifat-sifat raja atau pemimpin
rakyat adalah : Prajna (aktif, bijaksana dan menguasai berbagai ilmu
pengetahuan, seni, agama serta dapat dijadikan panutan bagi rakyatnya,
Aksudra Pari Sakta (akomodatif, cerdik dalam berunding, cakap dalam
bertutur kata, mampu menyatukan perbedaan dengan bermusyawarah).
Di sini dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila adalah galian dari nilai-nilai luhur bangsa nusantara
sendiri dengan polesan dari pengaruh-pengaruh luar yang sesuai dengan
budaya bangsa. Oleh karena itu sebagai sifatnya, Pancasila adalah
sebagai meja statis sekaligus sebagai leadstar dinamis bagi bangsa
Indonesia.

4. 1 Juni 1945 Pancasila Lahir Tidak Mengesampingkan Peran


Pendiri Bangsa yang Lain
Kelahiran Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945 adalah tidak
mengesampingkan sama sekali bahkan menegasikan atau Mengexclude
peran tokoh pendiri bangsa yang lain seperti yang disampaikan oleh
sebagian pakar hukum tata negara. Bahwa Pancasila adalah dilahirkan
oleh Bung Karno tidak sedikitpun menegasikan peran pendiri bangsa
yang lain. Untuk dimengerti bahwa Pancasila bukan diciptakan oleh
Bung Karno dan Bung karno bukan pencipta Pancasila. Nilai-nilai luhur
Pancasila diciptakan oleh proses sejarah dan dialektika bangsa Nusantara
tentunya dengan seijin dan kehendak Tuhan Yang maha Esa. Menurut
Sutaryo (2014:45), Aku tidak pencita Pancasila, saudara-saudara. Sebab
sesuatu dasar negara ciptaan tidak akan bertahan lama. Ini adalah suatu
ajaran yang dari mula-mulanya kupegang teguh. Jikalau engkau hendak
mengadakan dasar untuk suatu negara, dasar untuk suatu wadah, jangan
bikin sendiri, jangan angit sendiri, jangan karang sendiri. Selamilah
sedalam-dalamnya lautan daripada sejarah. Gali sedalam-dalamnya bumi
daripada sejarah! Kutipan tersebut adalah kutipan sebagian pidato Bung
Karno di depan Konggres Rakyat Jawa Timur pada 24 September 1955
di Surabaya. Selanjutnya kelahiran Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945
juga tidak akan membawa Bung karno sebagai tokoh absolut di negeri ini
apalagi mengkultuskannya. Pemaknaan Pancasila dibuat atau diciptakan
oleh seseorang adalah mengkerdilkan makna Pancasila itu sendiri dan ini
sangat berbahaya bagi keberadaan Negara Republik Indonesia. Menurut
Sutaryo (2014:45), Aku oleh sekolah tinggi Universitas Gadjah Mada
dianugerahi titel Doctor Honoris (titel Doctor Kehormatan) dalam ilmu
ketatanegaraan. Tatkala promotor Prof. Mr. Notonagoro mengucapkan
pidatonya pada ucapan pemberian titel Doctor Honoris Causa, pada
waktu itu beliau berkata, “saudara Soekarno kami menghadiahkan
kepada saudara titel kehormatan Doctor Honoris Causa dalam ilmu
ketatanegaraan, oleh karena saudara pencipta Pancasila”. di dalam
jawaban itu aku berkata, “dengan terharu aku menerima titel Doctor
Honoris Causa yang dihadiahkan kepadaku oleh Universitas Gadjah
Mada, tetapi aku tolak dengan tegas ucapan Profesor Notonagoro, bahwa
aku adalah pencipta Pancasila”. ini adalah sebagian kutipan pidato Bung
Karno di depan Konggres Rakyat Jawa Timur pada 24 September 1955
di Surabaya. Pidato-pidato Bung Karno tersebut semakin menegaskan
bahwa Pancasila adalah tercipta oleh sejarah dialektika bangsa nusantara
dan bukan oleh seseorang.
Jika di dalam sejarah dituliskan terdapat beberapa perumus dasar
negara antara lain, Mr. Muhammad Yamin, Prof. Dr. Mr. Soepomo dan
Ir. Soekarno, maka semua itu adalah kenyataan sejarah dan benar adanya.
Tetapi semua itu tidak bisa menyangkal bahwa kelahiran Pancasila
adalah 1 Juni 1945. Bahwa Ir. Soekarno menekankan pentingnya nilai-
nilai luhur bangsa yang akan dijadikan dasar filosofi bangsa adalah bukti
bahwa nilai-nilai luhur itu telah terlahir kembali. Dan pada kenyataannya
sila-sila yang terdapat pada Pancasila tersebut adalah kristaisasi nilai-
nilai luhur bangsa.
Pengertian melahirkan sangat berbeda dengan Menciptakan.
Menciptakan dapat diartikan sebagai membuat yang sebelumnya belum
ada, sedangkan melahirkan adalah mengeluarkan dari kandungan,
memunculkan ke dunia, mengeluarkan, mengadakan, menghadirkan,
mengkristalisasikan, menggali ataupun mempersembahkan sesuatu yang
sudah ada sebelumnya walaupun mungkin bentuknya berbeda, tapi
dengan esensi yang sama. Sebelum bayi terlahir tentu ada alam yang
mendahului yaitu alam janin, alam embrio dan tentu alam jiwa atau ruh.
Begitupun dengan Pancasila, sebelum terkristalkan maka nilai-nilai luhur
itu pernah menjiwai kehidupan berbangsa dan bernegara pada
masyarakat nusantara. Artinya, siapa yang mengandung nilai-nilai luhur
Pancasila itu, tak lain dan tak bukan adalah kandungan ibu pertiwi berupa
sejarah dan proses dialektika peradaban di nusantara ini.
Setelah sekian lama nilai-nilai itu terbungkam oleh sistem
kolonialisme maka Bung Karnolah yang menggali lagi untuk
dipersembahkan kepada negara ini sebagai dasar negara Indonesia
merdeka.
Proses kelahiran Pancasila ini membawa Bung Karno berperan
“atas seijin dan kehendak Tuhan Yang Maha Esa,” sebagai bidan untuk
membantu kelahiran kembali nilai-nilai luhur bangsa ini menjadi sebuah
dasar filosofi negara. Bahwa peran yang sangat penting dan sama juga
diemban oleh para pendiri bangsa yang lain, tidak bisa dengan semena-
mena memaksakan ide bahwa mereka semua berperan pada posisi yang
sama. Bahwa Nilai-nilai luhur yang telah digali oleh Bung karno yang
kemudian disepakati oleh para pendiri bangsa sebagai dasar negara sudah
menunjukkan bahwa semua pendiri bangsa ini memikul beban dan
memiliki peran yang sama. Kesepakatan inilah peran bersama itu,
kesepakatan itulah pengorbanan itu. Sehingga penetapan 1 Juni 1945
sebagai hari lahir Pancasila tidak sedikitpun menegasikan dan menciderai
peran para pendiri bangsa yang lain.
Jangan hanya karena seolah mengesampingkan peran para pendiri
bangsa yang lain tetapi mengaburkan sejarah yang sebenarnya. Jika hal
itu terjadi maka ini adalah kepentingan yang sangat berbahaya bagi
keberadaan Negara Republik Indonesia. Merubah tanggal lahir Pancasila
bukan pada tanggal 1 Juni 1945 secara otomatis mengubah nilai subtansi
dari Pancasila itu sebagai dasar falsafah negara. Hal ini bisa berakibat
bahwa kemungkinan bisa terjadi pengubahan dasar filosofi negara
dengan ideologi lain. Mengapa demikian, karena sebelum kelahiran atau
berdirinya negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, jauh
sebelumnya sudah disiapkan dasar filosofi bangsa ini yang nantinya
berguna sebagai landasan negera ini berdiri. Dasar falsafah itu berasal
dari nilai-nilai luhur yang digali dari intisari jiwa bangsa ini, nilai inilah
yang sangat penting. Nilai-nilai inipulalah yang dilahirkan pada tanggal 1
Juni 1945, yang diramu pada tanggal 22 Juni 1945 menjadi Piagam
Jakarta dan 18 Agustus 1945 menjadi bagian pembukaan Undang
Undang Dasar 45. Dengan mengubah tanggal lahir Pancasila bukan pada
tanggal 1 Juni 1945 sangat dimungkinkan terjadi pengubahan nilai-nilai
tersebut walaupun sila-silanya tetap sama, dan ini paling berbahaya bagi
keberadaan Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka.
Dan nilai-nilai itu terlahir, terkristalisasi pada tanggal 1 Juni
1945, walaupun demikian Bung Karno bukan pencipta dari nilai-nilai
luhur tersebut, beliau berperan menggali dan melahirkan kembali nilai-
nilai luhur tersebut untuk menjadi landasan filosofi bangsa ini. Dan pada
kenyataanya tidak ada yang terlahir pada tanggal 18 Agustus 1945,
melainkan hanya menetapkan tiga hal yang sama sekali tidak
berhubungan dengan dasar falsafah Negara Republik Indonesia.
Sehingga salahlah kita sebagai bangsa jika menempatkan tangal 18
Agustus 1945 sebagai tanda dilahirkannya Pancasila seperti yang
ditetapkan oleh rezim orde baru.

5. Pancasila Dilahirkan Untuk Semua Golongan dan Elemen di


Indonesia
Bahwa hanya Pancasila yang mampu menyatukan, melindungi
dan sebagai pijakan seluruh elemen bangsa Indonesia ini, adalah menjadi
bukti bahwa Pancasila itu dilahirkan ke bumi pertiwi untuk semua
golongan. Semua nilai-niai yang terkandung di dalam semua silanya
telah mampu mewakili jiwa dan kebutuhan bangsa Indonsesia. Bahwa
Pancasila bukan diciptakan oleh seseorang adalah kebenaran sejarah
bangsa Indonesia, karena Pancasila diciptakan oleh sejarah dan proses
dialektika bangsa ini selama ribuan tahun dan tentunya karena seijin dan
kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada satu nilaipun dalam sila-
silanya yang merugikan suatu golongan atau elemen di negeri ini, juga
tidak ada satupun nilai yang terkandung dalam sila-sila tersebut yang
hanya mewakili sebagian golongan saja.
Maka Dari itu jika ada anggapan bahwa Pancasila hanya milik
satu golongan saja adalah tidak benar. Yang salah bukan Pancasilanya
tetapi golongan tersebut yang mengkerdilkan makna dari Pancasila, hal
ini sangat berbahaya. Dan ini memang dimanfaatkan oleh pihak-pihak
yang sengaja akan mendiskriditkan Pancasila itu sendiri.
“BANGSA INI CINTA PERDAMAIAN TAPI LEBIH CINTA
KEMERDEKAAN
DAN KARENA KEMERDEKAAN BERDASARKAN KEBENARAN
MAKA
BANGSA INI CINTA AKAN KEBENARAN WALAUPUN HARUS
BERKORBAN JIWA RAGA”.
BAB III

BUNG KARNO ARAH PEMIKIRAN SANG NEGARAWAN

“Memang Jasadmu hanyalah bagian dari abu sejarah, tetapi cita-citamu


adalah api sejarah itu sendiri, api sejarah yang abadi, yang selalu
membakar jiwa dan semangat untuk terus bisa berkobar berjuang menuju
cita-cita” (Penulis)

Kupersembahkan tulisan yang jauh dari sempurna ini dalam rangka


menyambut bulan Bung Karno Juni 2020

1. Penggali dan Penjaga Pancasila

Bangsa Indonesia sudah sepantasnya bersyukur atas segala limpahan


berkah Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu berkahNya adalah
telah menganugerahkan seorang putra terbaik untuk bangsa ini dalam
memimpin dan memandu jalannya revolusi bangsa Indonesia. Tanggal 1
Juni adalah salah satu tanggal yang bersejarah bagi negara Indonesia dan
kita memperingatinya sebagai hari lahir Pancasila, Dasar Negara
Republik Indonesia. Di dalam Pancasila yang lahir dari galian jiwa Bung
Karno yang tak lain dan tak bukan adalah berkah Allah SWT, Tuhan
Yang Maha Esa, terkandung nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang akan
merdeka. Nilai-nilai luhur yang telah terbukti membawa bangsa-bangsa
Nusantara sebelumnya ke puncak kejayaannya dan nilai-nilai itu pula jika
ditinggalkan akan membawa bangsa-bangsa di nusantara menuju
kehancurannya. Jika boleh diumpamakan, sebuah negara adalah
bangunan gedung, maka gedung itu harus memiliki pondasi yang
mewakili karateristik dari gedung yang ditopangnya tersebut agar kokoh
dan abadi. Demikian pula bangsa nusantara, akan kuat jika berdiri di
atasnya pondasi yang mampu mengakomodir seluruh elemen yang ada di
bangsa ini, dan dasar negara Indonesia yang akan merdeka itu telah lahir
pada tanggal 1 Juni 1945 yaitu Pancasila.
Sebagai penggali Pancasila, tentu Bung Karno sangat sadar bahwa
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya jangan sampai tereduksi makna
dan subtansinya, karena akan membahayakan bagi keutuhan, kesatuan
dan persatuan bangsa. Hal ini disebabkan Pancasila adalah kristalisasi
nilai-nilai luhur, bersifat homogen dan tentunya tidak dapat dipisah-
pisahkan. Nilai-nilai luhur ini merupakan nyawa dari negara Indonesia.
Sangat tidak mungkin sang penggali Pancasila akan mengubah ataupun
mengurangi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Di sinilah Bung
Karno sangat konsisten dan teguh dalam menjalankan nilai-nilaI
Pancasila dan menjaga posisinya terhadap negara, “PANCASILA
ADALAH DASAR NEGARA”. Dalam menjaga posisi Pancasila
terhadap negara, Bung Karno sangat konsisten dan sama sekali tidak
pernah bermaksud bahwa dengan hadirnya Pancasila berarti faham-
faham yang ada di dalam masyarakat akan terhapus. Bahkan pada
ceramahnya pada tanggal 17 Juni 1954 di Istana Negara, beliau
mengatakan bahwa “saya tidak setuju jika Pancasila itu dijadikan sebagai
asas partai politik. Pancasila harus tetap menjadi dasar negara”. Ini
adalah pendirian Bung Karno, Sang Penggali Pancasila. Justru nilai-nilai
ini telah tereduksi pada masa orde baru dengan diposisikannya Pancasila
sebagai asas tunggal, dan di sini pulalah penyimpangan itu dimulai.

2. Pribadi yang Demokrat

Tidak sedikit opini berkembang, yang arahnya ingin


mendiskreditkan Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Di dalam opini
tersebut menggambarkan Bung Karno telah memeras-meras Pancasila
untuk bisa disesuaikan dengan kepentingan dan keinginannya, sehingga
menjadi Tri Sila dan akhirnya menjadi Eka Sila. Dalam memahami opini
ini, kita harus bisa obyektif, artinya sebelum menilai opini ini, sebaiknya
kita harus memahami terlebih dahulu pada kondisi, waktu dan suasana
yang bagaimana Bung Karno menyampaikan hal tersebut. Dengan
demikian akan mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan
obyektif dari maksud disampaikannya. Tidak bisa kita mengartikan apa
yang disampaikan dengan mengabaikan latar belakang sejarahnya karena
hal ini akan menghilangkan makna substansi yang terkandung di
dalamnya. Kalimat-kalimat tersebut kita temukan pada saat Bung Karno
menyampaikan pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, yaitu saat
disampaikannya dasar filsafat negara Idonesia yang akan merdeka atas
permintaan Pimpinan BPUPK Dr. KRT. Radjiman Widyodiningrat.
Petikan sebagian kalimat bung Karno adalah
“,.............. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini
dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa- namanya ialah Panca
Sila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas ke lima dasar itulah kita
mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.
(tepuk tangan riuh).
Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan
lima itu?
Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada
saya, apakah “perasan” yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya
pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia
Merdeka, Weltanschauung kita.
Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme,
kebangsaan dan peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang
dahulu saya namakan s o c i o – n a t i o n a l i s m e . Dan demokrasi
yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek- economische demokratie,
yaitu politieke demokrasi d e n g a n sociale rechtvaardigheid, demokrasi
d e n g a n kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang
dulu saya namakan s o c i o -d e m o c r a t i e. Tinggal lagi keTuhanan
yang menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme,
socio-demokratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik
tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan
senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya
jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia,
yang kita semua harus mendukungnya. S e m u a b u a t s e m u
a ! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia,
bukan Van Eck buat indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat
Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, – s em u a b u a t s e m u a !
Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu,
maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu
perkataan g o t o ng – r o y o n g . Negara Indonesia yang kita dirikan
haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! N e g a r a G o t o
n g R o y o n g ! (Tepuk tangan riuh rendah)....................” (dst),
Jika kita pahami kalimat tersebut, yang disesuaikan dengan kondisi,
suasana, waktu dan alasan Bung Karno menyampaikan kalimatnya, maka
justru akan kita temukan jiwa dan sikap kenegarawanannya. Bagi Bung
Karno tidak ada sedikitpun keinginan untuk mengurangi nilai-nilai yang
telah digalinya tersebut. Kalimat tersebut justru menggambarkan bahwa
Bung Karno sangat menghormati para anggota sidang BPUPK, berupa
menyajikan alternatif lain, jika istilah yang ditawarkan tersebut
“Pancasila” kurang diminati. Bukan sekali-kali karena kehendak sepihak
dari Bung Karno untuk mengubah-ubah idenya yang merupakan rumusan
dasar negara tersebut sesuai dengan keinginannya. Dan tentunya dapat
kita pahami pula bahwa konteks saat itu “saat disampaikannya pidato
rumusan dasar negara Indoneia oleh Bung Karno 1 Juni 1945” calon
negara Indonesia belum memiliki dasar sebagai pijakan arah
berajalannya negara ini. “Dasar negara belum ada dan negara
Indoneiapun belum terbentuk” sehingga tidak tepat kalau kita
menganggap Bung Karno telah memeras-meras Pancasila sesuai degan
kepentingan dan keinginannya. Karena sebelum disampaikannya pidato
ini, Pancasila memang belum lahir, dengan demikian tidak ada proses
pemerasan nilai-nilai Pancasila yang bersifat mengurangi, menambahi
ataupun mengubah makna dan substansi nilai-nilai tersebut. Sikap Bung
Karno inilah justru menunjukkan sikap seorang pemimpin yang
demokratis dan terbuka. Bung Karno menyampaikan ide tentang rumusan
dasar negara dengan berbagai alternatif-alterntifnya, jika salah satu dari
istilah yang disampaikannya tersebut kurang diminati atau dikehendaki
oleh peserta sidang, tentunya dengan nilai substansi yang sama.
Tercatat dalam sejarah, bahwa selama memimpin bangsa Indonesia
sebagai presiden Negara Republik Indonesia, Bung Karno tidak pernah
sekalipun berkeinginan mengubah dasar negara Pancasila tersebut. Justru
dalam doa dan cita-citanya, beliau berkeinginan Pancasila ini akan selalu
menjadi dasar negara selama-lamanya, walaupun mungkin bisa berganti-
ganti konstitusinya. Dapat kita lihat dalam sejarah bahwa Negara
Republik Indonesia telah beberapa kali berganti konstitusi, tetapi yang
perlu diingat, apapun bentuk konstitusi tersebut di dalam pembukaannya
tetap tidak berubah, karena tetap mencantumkan Pancasila sebagai dasar
negara Indonesia. Berikut petikan pidato atau amanat Bung Karno di
depan Konggres Rakyat Jawa Timur pada tanggal 24 September 1955 di
Surabaya, “............tetapi, saudara-saudara, jikalau ditanya
kepadaku,”Apa yang berisi kalbu Bapak ini akan permohonan kepada
Allah S.W.T?”, Terus terang aku berkata, jikalau saudara-saudara
membelah dada Bung Karno ini, permohonanku kepada Allah S.W.T.
ialah, saudara-saudara bisa membaca di dalam dada Bung Karno
memohon kepada Allah S.W.T. supaya Negara Republik Indonesia tetap
berdasarkan Pancasila,.................”. Dengan demikian tidak terbukti
bahwa Bung Karno berkeinginan untuk mengubah-ubah atau mereduksi
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sesuai dengan keinginan dan
tujuan pribadinya. Sebaliknya Bung Karno berkeinginan dengan
Pancasila maka akan dicapainya tujuan dimerdekakan negara ini, yaitu:
melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut aktif
dalam melaksanakan ketertiban dunia.

3. Marhaenisme, Cita-Cita Mewujudkan Masyarakat yang Adil Dan


Makmur

Marhaenisme memang bukan Marxisme dan Marxisme juga tidak


pernah sama dengan Marhaenisme. Walaupun demikian di dalam tujuan
jangka pendeknya, kita akan menemukan adanya sedikit kesamaan atau
irisan antara ke duanya. Persamaan itu adalah menginginkan hilangnya
sistem kapitalisme yang telah melahirkan imperialisme. Imperialisme
inilah yang menghasilkan tatanan yang menindas atau menghisap, baik
penghisapan manusia atas manusia maupun penghisapan bangsa atas
bangsa. Selain perbedaan yang mendasar dan bersifat mutlak juga
terkandung sedikit dan bersifat relatif adanya persamaan antara ke
duanya. Karena pada dasarnya apapun yang ada di dunia ini pasti
memiliki kesamaan dengan yang lainnya. Hal ini dikatakan sebagai
keniscayaan terdapatnya irisan antara hal-hal yang berbeda sekalipun.
Di dalam Marhaenisme terkandung nilai-nilai keTuhanan atau
kepercayaan bangsa ini kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini pernah
disampaikan oleh Bung Karno bahwa faham materialisme yang atheis
tidak sesuai dengan kondisi di Indonesia, dengan demikian tentunya
marhaenisme menentang atheisme itu sendiri sendiri. Bahwa di dalam
Sosio religius meyakini bahwa sebuah keyakinan akan mampu
menumbuhkan semangat dalam berjuang melawan penindasan.
Selanjutnya agama dijadikan sebagai salah satu instrumen alat
perjuangan itu sendiri, yang mampu membebaskan masyarakat dari
keterasingannya menuju manusia yang seutuhnya. Tetapi di dalam
marxisme yang mendasarkan diri pada filsafat materialisme tentu tidak
menyentuh nilai-nilai ini. Marxisme justru cenderung menganggap
keyakinan beragama sebagai salah satu bentuk teralienasinya manusia,
diantara penyebab teralienasinya manusia yang paling utama yaitu
kapitalisme. Marxisme menganggap bahwa agama bukan satu-satunya
peyebab teralienasinya manusia yang menghilangkan emansipasi
manusia itu terhadap peran sejatinya. Tetapi penyebab mutlak terjadinya
teralienasinya manusia dan hilangnya emansipasi manusia pada hakikat
hidupnya adalah kapitalisme, dan agama hanya menjadi bagian instrumen
yang digunakan kapitalisme untuk menuju tujuannya. Perbedaan ini
tentunya diakibatkan pada nilai-nilai sejarah yang berbeda. Mungkin
tidak akan demikian jika Karl Marx terlahir di Bumi Nusantara, yang saat
itu “masa-masa pergerakan nasional” agama atau keyakinan digunakan
sebagai instrumen perjuangan melawan penindasan penjajahan bangsa
barat.
Di dalam Marhaenisme ada nilai-nilai kemanusiaan, di mana hak
individu sebagai manusia pribadi diakui. Hal ini tertuang dalam
perikemanusiaan atau sosio nasionalis. Selain itu di dalam sosio
demokrasi juga mengakui kemerdekaan manusia sebagai mahluk sosial.
Nilai-nilai luhur bangsa nusantara mengakui kodrat manusia itu adalah
sebagai mahluk monodualisme. Selain sebagai mahluk pribadi juga
sekaligus sebagai mahluk sosial, yang harus bisa berjalan secara
berdampingan dan selaras. Sehingga Marhaenisme memandang manusia
sebagai mahluk yang utuh. Hal ini tercermin dari kebudayaan dan
peradaban bangsa Nusantara, khususnya sebelum runtuhnya Majapahit.
Tetapi dalam marxisme, hak individu tidak diakui karena yang diakui
adalah hak kolektive yang diatur oleh otoritas penguasa. Manusia hanya
diakui sebagai mahluk sosial. Menurut Marxisme, hak individu yang
berlebihan justru akan menjadi kontradiksi terhadap kemerdekaan
individu yang lain, dan cenderung akan menghasilkan suatu tatanan yang
saling menghisap walau secara semu. Hal ini sangat dipengaruhi
pandangan Karl Marx. Marx pernah menyampaikan bahwa pembebasan
manusia hanya dapat dicapai dalam sosialisme, dengan menghapus Hak
milik pribadi atas alat-alat produksi, dan bahwa revolusi sosial akan
dilaksanakan oleh kelas buruh industri, Proletar. Kalau manusia ingin
menghendaki kehidupan manusia yang bebas maka kapitalisme harus
dipatahkan. Dan bahwa kelas yang akan mematahkannya yaitu Proletar.
Kata kunci dalam dalam kalimat ini adalah keterasingan manusia. Hak
individu dapat membuat tatanan yang mengasingkan manusia itu sendiri,
karena dengan adanya hak individu pada seseorang maka cenderung akan
membuat manusia itu serakah dan akan menghantarkan pada pelanggaran
atau penindasan terhadap hak-hak manusia pada umumnya. Keterasingan
manusia itu terutama disebabkan karena sistem penindasan.
Perbedaan pandangan tentang nilai kemanusiaan antara Marxisme
dengan Marhaenisme ini tentunya disebabkan karena struktur masyarakat
yang terbentuk atas suatu sistem penindasan yang berbeda. Di Eropa saat
itu kapitalisme telah menghasilkan dua kelas manusia yaitu Borjuis dan
proletar. Kita telah memahami bahwa kapitalisme itu terlahir dari
semangat individualisme. Semangat Individulisme ini berkobar untuk
meruntuhkan sistem feodalisme yang sangat menindas saat itu di eropa.
Selanjutnya pada sistem kapitalisme ini kaum borjuis akan menghisap
kaum proletar, disinlah keterasingan manusia terjadi. Oleh karena itu,
satu satunya jalan untuk menghilangkan penindasan adalah mematahkan
sistem kapitalisme yang dilahirkan dari semangat individualisme
tersebut.
Sedankan di nusantara saat itu “saat di mana negara Indonesia belum
terbentuk dan berjuang melawan penjajahan” sistem penindasan
dilakukan oleh kaum kapitalis penjajah yang bekerja sama dengan kaum
feodalis lokal yang menindas rakyat sebagai korbannya. Kaum marhaen
adalah konsekuensi logis dari hasil penindasan di nusantara. Oleh karena
itu marhaenisme bertujuan mengangkat martabat kaum marhaen “yang
merupakan representatif masyarakat Indonesia yang tertindas saat itu”
untuk menjadi manusia yang seutuhnya bebas dari penghisapan dan
penindasan. Manusia yang sejahtera dalam keadilan dan adil dalam
kesejahteraan adalah pengejawantahan Marhaenisme yang bercita-cita
menciptakan tatanan manusia yang utuh sesuai sifat mahluk
monodualismenya. Manusia semacam inilah yang dicita-citakan
Marhaenisme. Manusia yang diakui sebagai mahluk individu sekaligus
sebagai mahluk sosial.
Di dalam Marhaenisme mengutamakan rasa nasionalisme
kebangsaan yang tertuang dalam sosio nasionalis. Karena pada
hakekatnya kita disatukan oleh bangsa yang merdeka dan tentunya
sebuah bangsa yang bisa hidup diantara bangsa-bangsa lain di dunia yang
berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, tidak ada hubungan yang
saling menindas. Sedangkan pada dasarnya cita-cita marxisme adalah
menuju pada tatanan dunia yang komunisme, yaitu akan menciptakan
tatanan internasional yang tidak memerlukan adanya negara. Hal ini
karena fungsi negara “menurut Marxisme” dianggap sebagai kekuatan
dari kelompok tertentu yang bertujuan untuk menindas kelompok yang
lain.
Selain perbedaan-perbedaan tadi ada perbedaan lain yang berhungan
dengan obyek yang diperjuangkan oleh masing-masing ideologi tersebut.
Di dalam marxisme obyek yang diperjuangkan adalah kaum proletar.
Sedangkan marhaenisme, obyek yang diperjuangkan adalah kaum
marhaen yang kita definisikan sebagai kaum yang memiliki modal, walau
memiliki modal tetapi mereka miskin dan melarat karena adanya sistem
yang menindas. Kaum marhaen inilah yang merupakan representasi
masyarakat Indonesia yang akan diperjuangkan untuk menuju kepada
kesejahteraan menurut ajaran marhaenisme. Dalam terminologi marhaen
maka kaum proletar sudah termasuk di dalamnya. Sehingga sudah jelas
di sini perbedaan obyek yang diperjuangkan antara marxisme dengan
marhaenisme. Perbedaan-perbedaan ini tentunya akan mempengaruhi
pada cara, model dan tujuan akhir perjuangan yang berbeda pula.
Kalau kita pahami karateristik dari ideologi Marxisme dan
Marhaenisme tersebut, maka kita akan menjumpai perbedaan yang sangat
mencolok antar ke duanya. Akan tetapi mereka dapat disatukan
sementara, tentunya dikarenakan oleh kepentingan yang sama yaitu
berjuang untuk melenyapkan sistem kapitalisme yang telah melahirkan
imperialisme. Hal ini di dalam dunia politik diistilahkan dengan
persatuan relative dan pertentangan mutlak. Dalam jangka pendek
memang antara ke duanya memiliki tujuan yang sama tetapi dalam tujuan
akhir, antara mereka memiliki ekspektasi yang sangat berbeda dan pada
titik ini tidak bisa dipersatukan dan cenderung bertentangan. Kita masih
teringat bahwa ideologi komunisme yang bertententangan dengan
kapitalisme juga pernah dipersatukan dengan kepentingan yang sama
yaitu melenyapkan fasisme, hal ini terjadi pada perang dunia ke II. Dan
mereka akan bertentangan kembali setelah musuh bersama mereka kalah.
Kalimat Marhaenisme adalah Marxisme yang disesuaikan dengan
kondisi Indonesia, tentunya tidak bisa kita telan mentah-mentah dan
mengartikannya secara verbal, karena kalimat tersebut cenderung
bermakna kias. Bukan sekedar makna tersurat tapi kita juga harus
memahami makna tersiratnya.
Mengapa marhaenisme menginginkan lenyapnya sistem kapitalisme
yang telah melahirkan imperalisme? Karena imperialismelah yang telah
menyebabkan bangsa ini menjadi miskin dan melarat. Selama masih ada
sistem kapitalisme di Indonesia niscaya keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia tidak mungkin terwujudkan. Inilah benang merah
kalimat Marhaenisme adalah Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi
Indonesia, yaitu bahwa antara antara ke duanya menginginkan hal yang
sama yaitu melenyapkan tatanan kapitalisme. Tetapi kalimat “yang
disesuaikan dengan kondisi Indonesia” berarti tidak semua sendi-sendi
marxisme harus kita wujudkan, justru banyak hal yang tidak sesuai dan
harus kita tanggalkan. Hal ini karena banyak nilai-nilai Marxisme yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa kita.
Untuk selanjutnya kapitalisme telah dapat bermetamorfosis sesuai
dengan alam yang berlaku tetapi dengan substansi yang sama yaitu
terjadinya praktik penindasan atau penghisapan. Sesuai dengan jamannya
maka kapitalisme telah merambah pada seluruh sendi kehidupan, baik
ekonomi, politik , sosial, budaya bahkan pendidikan. Kapitalisme inilah
yang merupakan penyakit bangsa yang menyebabkan tidak tercapainya
kesejahteraan sosial secara adil.
Dengan demikian penting kiranya kita merevitalisasi pemikiran-
pemikiran Bung Karno yang menginginan terjadinnya keadilan yang
sejahtera dan kesejahteraan yang berkeadilan. Perjuangan ini tentunya
didasasri dengan semangat nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
BAB IV
NEGARA INDONESIA BERDASARKAN PANCASILA

Sudah dijelaskan pada BAB sebelumnya bahwa sebuah negara


dapat dibaratkan sebagai sebuah bagunan gedung. Diperlukan landasan
tetap untuk gedung tersebut agar dapat berdiri dengan kuat dan teguh.
Agar sebuah bangunan gedung menjadi kuat serta mampu melindungi
seluruh komponen yang terdapat di dalamnya maka landasannya harus
memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat inilah yang menjamin
material gedung yang di atasnya dapat berdiri dengan kokoh.
Sepertihalnya dengan gedung maka negarapun memerlukan dasar
yang digunakan sebagai pijakan dalam merencanakan, membuat dan
menjalankan kebijakannya. Kebijakan sebuah negara seharusnya
berorientasi untuk kesejahteraan masyarakat di dalam negara tersebut.
Oleh karena itu dasar negara yang ideal adalah dasar negara yang benar-
benar mewakili apapun yang berhubungan dengan seluk beluk rakyat
pada sebuah negara. Dan bangunan gedung Negara Republik Indonesia
telah menemukan landasannya tersebut pada tanggal 1 Juni 1945 yang
kemudian dinamakan Pancasila. Pancasila telah memenuhi syarat sebagai
sebuah dasar negara Indonesia, karena dengan Pancasilalah seluruh
komponen yang berada di dalam gedung Negara Republik Indonesia ini
akan merasa aman , terlindungi dan dapat bersatu. Unsur-unsur yang
terkandung dalam Pancasila adalah unsur-unsur yang bersifat
menyatukan seluruh elemen apapapun yang berada di atas Pancasila
tersebut, sekaligus memperkuat kesatuannya. Mengapa demikian, karena
unsur-unsur yang terkandung dalam Pancasila diambil dari nilai-niai
luhur bangsa nusantara sendiri sehingga benar-benar mewakili jiwa dan
semangat seluruh bangsa Indonesia.
Unsur-unsur yang terkandung dalam Pancasila adalah segala
unsur yang diambil, disaring dan dikristalisasikan dari seluruh nilai-nilai
luhur bangsa kita sendiri yang dalam sejarahnya telah melampaui ribuan
tahun. Berdasarkan sejarahnya, bangsa ini adalah sebagai bangsa yang
religius, selain itu nilai-nilai keluhuran, kemanusiaan, dan tenggang rasa
adalah bagian yang tidak terpisahkan dari budaya sosial bangsa kita sejak
dulu. Berdasarkan sejarah pula,bahwa sejak dahulu bangsa ini sangat
berkeinginan untuk selalu bersatu, selain untuk menghadapi dan
mengalahkan musuh juga untuk menuju cita-cita kejayaan yang sama.
Kita bisa melihat jauh sebelum diikrarkannya Sumpah Palapa oleh Maha
Patih Gajah Mada dari Majapahit maka hasrat untuk bersatu sudah ada
jauh sebelumnya. Raja Singhasari Wisnu Wardana telah memiliki sikap
politik sebagai seorang kepala negara untuk menyatukan seluruh wilayah
jawa dengan kebijakannya yang bernama Cakrawala Mandala Jawa,
kebijakan politik ini dilanjutkan penerusnya yaitu Sang Prabu
Kertanegara dengan sumpahnya yaitu Cakrawala Mandala Dwipantara
atau Nuswantara yang kemudian lebih dikenal dengan Ekspedisi
Pamalayu. Dalam sejarah juga akan terbukti bahwa leluhur kita sangat
senang bermusyawarah, selain itu bahwa gotong royong adalah azas
kehidupan bangsa kita sejak dahulu. Ini semua adalah bukti bahwa sila-
sila yang terkandung dalam Pancasila adalah benar-benar orisinil diambil
dari nilai-nilai luhur bangsa ini. Hal inilah yang membuat Pancasila akan
selalu abadi menjadi dasar negara Indonesia yang bersifat tetap.
Jika terdapat nilai-nilai dan jiwa yang kebetulan masuk dan
mewarnai sila-sila Pancasila yang berasal dari luar, hal ini tak lain dan
tak bukan karena Pancasila selain sebagai dasar negara yang bersifat
statis juga sebagai bintang pengarah yang bersifat dinamis. Pancasila
akan selalu bisa menyesuaikan dan mewarnai segala bentuk perubahan
dan tuntutan jaman yang dinamis. Memang Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha dan Kong Hu Chu bukan berasal dari Nusantara, tetapi
hakekatnya bangsa ini dari awal sejarahnya adalah bangsa yang religius.
Tidak akan mungkin agama-agama tersebut diterima oleh masyarakat
nusantara jika masyarakat nusantara ini tidak religius. Sebelum
dikumandangkannya Deklarasi Hak Asasi Manusia oleh Majelis Umum
PBB pada tanggal 10 Desember 1948 maka ratusan tahun sebelumnya,
kehidupan masyarakat nusantara telah diwarnai dengan kehidupan yang
penuh dengan tenggang rasa, saling menghormati dan menghargai serta
menjunjung tingi hak-hak manusia. Bangsa ini telah berbudaya dan
beradab sebelum apapun yang mempengaruhi bangsa ini. Nilai-nilai hak
asasi manusia ikut mewarnai peri kehidupan bangsa ini yang sebelumnya
sudah sangat berbudaya dan beradab. Jauh sebelum Ernest Renan
mengumandangkan teori kebangsaannya pada tahun 1882 maka bangsa
nusantara sudah berhasrat ingin hidup bersatu. Sebelum adanya sistem
demokrasi maka kehidupan masyarakat nusantara sudah diwarnai dengan
kehidupan yang suka bermusyawarah. Sebelum adanya sistem ekonomi
yang berorientasi pada kesejahteraan bersama maka bangsa nusantara
sudah suka dan mempraktikkan kehidupan bergotong royong. Walaupun
semua hal tersebut membuktikan bahwa sila-sila Pancasila adalah
representatisi kehidupan luhur bangsa ini tetapi kita tidak bisa menolak
mentah-mentah nilai-nilai yang positif yang berasal dari luar juga ikut
mewarnai dan semakin menyempurnakan warna kehidupan di nusantara.
Berhubungan dengan eksistensi sebuah negara yang didasari oleh
karakter bangsa itu sendiri, maka kita akan teringat kembali pesan
presiden pertama Indonesia, proklamator, bapak penggali Pancasila,
Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno dalam pidatonya yang
mensitir kata-kata seorang filsuf Tiongkok Konfusius (551 – 479 SM)
yang mengatakan pada murid-muridnya bahwa ada tiga syarat sebuah
negara bisa tetap berdiri walaupun diterpa rintangan yang berat. Satu
adalah tentara yang kuat, ke dua adalah makanan rakyat yang cukup dan
ke tiga adalah keyakinan dalam hidup berbangsa. Jika salah satu syarat
harus ditanggalkan tetapi Negara harus tetap berdiri, maka
pertanyaannya, syarat apakah yang bisa ditanggalkan tersebut?
Jawabannya adalah tentara yang kuat. Sebuah negara masih bisa tetap
berdiri walau tidak memiliki tentara yang kuat. Selanjutnya jika dari dua
syarat yang tersisa tersebut, salah satunya harus ditanggalkan walaupun
negara tersebut harus tetap berdiri, pertanyaannya syarat apakah yang
boleh ditanggalkan? Jawabannya adalah makanan rakyat yang cukup.
Sebuah negara akan tetap bisa berdiri walau diterpa dengan kemiskinan.
Kemiskinan bukan faktor utama yang menyebabkan runtuhnya sebuah
negara. Pertanyaan terakhir, apakah sisa syarat sebuah negara yaitu
keyakinan hidup berbangsa bisa ditanggalkan? Jawabannya tidak sama
sekali, karena menanggalkan sebuah keyakinan hidup berbangsa sama
dengan menghancurkan dan meruntuhkan negara itu sendiri, maka syarat
keyakinan hidup berbangsa adalah syarat mutlak dan tidak bisa
ditanggalkan untuk menjadikan sebuah negara tetap bisa berdiri.
Halangan, tantangan dan rintangan selau menerpa negara
Indonesia dalam berjuang menuju cita-citanya yaitu mewujudkan rakyat
yang sejahtera, adil dan makmur. Kekayaan, kebesaran, potensi dan
keindahan alamnya sekaligus jumlah penduduknya yang sangat besar
menjadikan negara Indonesia menjadi bidikan bangsa-bangsa lain untuk
menguiasainya. Kondisi negara Indonesia yang seperti inilah ibaratkan
surga yang sangat nyaman dan gudang makanan yang tiada perbah habis,
menjadikan rebutan bagi bangsa-bangsa lain. Terbukti dalam sejarah
bahwa bangsa ini tidak akan mungkin dikalahkan apalagi dikuasai oleh
bangsa lain selama masih memegang pusaka hidupnya dalam kehidupan
baik pribadi, sosial maupun bernegara. Majapahit runtuh bukan semata-
mata karena infasi bangsa lain tetapi lebih dikarenakan Majapahit sendiri
yang telah melupakan nilai-nilai luhur bangsa nusantara dalam
kehidupannya. Hal ini menjadi bukti bahwa untuk mengalahkan
selanjutnya menghancurkan nusantara maka yang harus diuhancurkan
terlebih dahulu adalah nilai-nilai luhurnya, budayanya, terakhir
keyakinan hidup berbangsa pada negara tersebut.
Sejak berdirinya pada tahun 1945 sampai sekarang terpaan untuk
mengancurkan dan meruntuhkan negara Idonesia yang berdasarkan
Pancasila tidak pernah berhenti. Sejarah telah mencatat negara Indonesia
tetap akan selalu bisa menjaga eksistensinya sebagai sebuah negara
dengan syarat jika tetap memegang prinsip keyakinan berbangsanya yaitu
Pancasila. Oleh karena itu, bagi musuh-musuh yang ingin
menghancurkan Indonesia tidak ada cara lain untuk mewujudkan cita-
citanya kecuali harus menghilangkan Pancasila itu sendiri terlebih
dahulu. Pancasila sebagai dasar Negara, sebagai pusaka bangsa, sebagai
keyakinan hidup bernegara, sebagai jati diri bangsa Indonesia harus
hilang terlebih dahulu untuk selanjutnya Indonesia akan hancur dengan
sendirinya. Langkah-langkah ini semakin terasa terstruktur sistematis dan
massif.
Langkah-langkah sistematis tentunya dijalankan secara terstruktur
melalui apapun cara dan strateginya. Salah satu caranya adalah dengan
menafsirkan dan menyebarkan secara sepihak makna yang terkandung
dalam Undang Undang Dasar 1945 sesuai dengan kepentingannya
masing-masing. Jika kita tidak memahami dengan seksama maka
tentunya kita mudah saja terhasut. Salah satu pasal dalam Undang
Undang Dasar 1945 yang sering dijadikan alat propaganda pihak-pihak
yang ingin mengkerdilkan peran Pancasila sebagai dasar Negara
Indonesia adalah pasal 29 yang berbunyi : (1) Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalau kita tidak teliti dan memahami
suasana kebatinan pasal tersebut serta membaca pasal tersebut secara
parsial atau sepotong-potong, maka sangat mungkin kita akan salah
dalam menafsirkan pasal tersebut. Sebagai catatan bahwa pasal 29
tersebut berada pada BAB XI yang mengatur tentang AGAMA. Pada bab
ini tidak mengatur tentang bentuk negara, bentuk pemerintahan ataupun
dasar negara. Bab XI ini membahas tentang kehidupan beragama di
Negara Indonesia serta pernyataan kepercayaan bangsa Indonesia
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bab ini berisi satu pasal dengan dua
ayat. Ayat pertama berbunyi : Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa, yang mengartikan tentang pernyataan kepercayaan bangsa
Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha esa, hal ini menegaskan bahwa
negara Indonesia adalah bukan negara sekuler, yaitu negara yang
memisahkan urusan agama dengan urusan Negara. Indonesia adalah
negara yang religius dan selanjutnya negara ikut memberi kontribusi
positif terhadap kehidupan beragama pada masyarakatnya. Selanjutnya
pada ayat dua, tetap pada bab yang sama yaitu bab XI tentang agama
berbunyi : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu, yang mengartikan bahwa negara
Indonesia bukan sebuah negara agama atau teokrasi, konsekuensi dari
pasal ini adalah seluruh masyarakat diperbolehkan dan dilindungi untuk
memilih dan meyakini agama atau keyakinan yang dimilikinya serta
beribadah menurut agama dan keyakinannya tersebut. Semua hal ini
menyangkal peryataan bahwa dasar negara Indonesia bukan Pancasila.
Sedangkan uraian tentang dasar negara Indonesia tertulis pada
bagian Undang Undang Dasar 1945 yang paling sakral, bagian yang tidak
boleh dirubah atau diamendemen, pada bagian inilah suasana kebatinan
Indonesia merdeka ini tergambarkan. Begitu pentingnya bagian ini
sehingga tidak boleh diamandemen sampai kapanpun. Bagian ini adalah
pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Di bagian inilah –Pembukaan
Undang Undang Dasar 1945 alenia ke empat- tertulis bahwa Negara
Indonesia ini didirikan di atas dasar sila-sila yang terkandung dalam
Pancasila. “……., maka disusunlah Kemerdekaan kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat dalam permusyawaratan/perwakilan , serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia”, adalah bukti yuridis bahwa Pancasila adalah dasar Negara
Indonesia atau negara Indonesia berdiri di atas dasar Pancasila.
Semoga kita semua khususnya para pemuda tidak terjadi salah
tafsir dalam memahami konstitusi bangsa ini. Para pemuda yang tak lain
dan tak bukan adalah calon pemegang estafet kendali bangsa berikutnya,
tentunya sangat menentukan ke mana arah haluan negara ini kemudian
akan berlabuh. Di tangan pemuda-pemuda yang berjiwa nasionalis
Pancasilaislah negara Indonesia akan mencapai puncak kejayaannya,
tetapi di tangan pemuda yang tidak tahu sejarah bangsanya, tidak
memahami jati diri bangsanya, tidak memegang teguh keyakinan
berbangsanya maka tinggal menunggu waktu negara ini akan hancur dan
menjadikan bangsa Indonesia akan selalu menjadi sub ordinat bangsa
lain.
BAB V
TOLERANSI DALAM BINGKAI BHINEKA TUNGGAL IKA

1. Makna Toleransi menurut Ilmu Teknik


Kita Sering mendengar istilah toleransi, bahkan kata ini
dijadikan sebagai salah satu materi dalam cabang pelajaran ilmu teknik.
Jika kita telusuri, makna dari kata ini adalah batas-batas penyimpangan
yang diijinkan atau dua batas penyimpangan yang masih diijinkan. Yang
menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa penyimpangan itu
diijinkan dan mengapa harus ada toleransi?
Apa yang menjadi alasan lahirnya toleransi? Kalau kita
renungkan dan pahami maka toleransi ini lahir karena adanya dua alasan
pokok, pertama karena tidak pernah adanya kesempurnaan dan ke dua
perbedaan dan penyimpangan adalah hal yang mutlak.
Kesempurnaan tidak akan pernah kita jumpai dan kita
ciptakan di dunia ini. Semua yang ada hakekatnya hanya sebatas
pendekatan. Yang benar bukan yang sempurna melainkan yang paling
mendekati sempurna, artinya semakin benar adalah semakin mendekati
kesempurnaan dan tidak akan bisa mencapai kesempurnaan itu sendiri.
Begitu pula dalam proses produksi atau penduplikasian sebuah produk
maka tidak mungkin kita akan mencapai ukuran ideal sesuai yang
direncanakan. Tidak mungkin kita akan memproduk atau menduplikasi
produk persis sama dengan ukuran yang ditentukan, hal ini dikarenakan
faktor manusianya, alat ukurnya bahkan mesinnya yang tidak luput dari
ketidak sempurnaan. Ketidak sempurnaan ini akan menghasilkan produk
atau duplikasi yang tidak sempurna juga. Untuk menjembatani masalah
ini maka perlu dilahirkan suatu kesepakatan agar penyimpangan biarlah
tetap ada “karena memang tidak bisa kita hilangkan” walaupun
kesesuaian pasangan antar komponen produk tetap bisa kita jaga
kualitasnya. Jembatan itu tak lain dan tak bukan adalah toleransi.
Dengan adanya toleransi ini maka kesenjangan antara ketidak
sempurnaan manusia beserta alat bantunya dengan tuntutan kualitas
produk yang disyaratkan bisa dihubungkan. Begitu hebatnya peran
toleransi ini hingga produk-produk industri bisa terus diproduksi dan
diduplikasi walaupun kita yakin dengan berlapang dada bahwa
komponen itu tidak sempurna. Dengan adanya toleransi ini pulalah
produk-produk bisa dipasangkan dengan produk-produk lainnya. Dari
sini kita bisa belajar bahwa toleransi ini lahir karena kepastian tidak
adanya yang sempurna di dunia ini.
Faktor lain yang ikut mempengaruhi lahirnya toleransi
adalah, bahwa perbedaan itu merupakan sebuah keniscayaan. Perbedaan
adalah hal yang pasti. Tidak mungkin ada dua hal yang sama, bahkan
kalau kita ingin teliti lebih dalam maka sesuatu itu tidak sama dengan
sesuatu itu sendiri. Satu kg gula tidak sama dengan satu kg gula yang
lain. Perbedaan ini mungkin karena jumlah butirannya, mungkin juga
karena ukuran penimbangnya yang kurang teliti.
Jumlah butiran satu kg gula yang pertama tidak mungkin
sama dengan satu kg gula yang ke dua, ukuran butirannyapun tidak
pernah sama, dan perbedaan ini akan diperbanyak jika ketelitian alat
penimbangnya kurang teliti. Tetapi dengan adanya toleransi, perbedaan-
perbedaan ini bisa kita kesampingkan demi suatu hubungan yang lebih
penting bagi kehidupan manusia secara sosial, walaupun mutu dan
kualitas harus tetap kita jaga dengan menggunakan toleransi itu sendiri.
Bagaimana toleransi itu bisa menjaga kualitas, padahal
perbedaan pasti terjadi dan penyimpangan tak mungkin dihilangkan?
Dalam istilah toleransi ada dua kata kunci yang membatasinya, yaitu
batas atas dan batas bawah. Batas atas adalah suatu batasan yang
mengijinkan suatu penyimpangan ukuran untuk menjadikan ukuran
maksimal yang diijinklan sedangan batas bawah adalah suatu batasan
penyimpangan untuk menghasilkan ukuran minimal yang diijinkan dari
suatu produk. Dari sini dapat disimpulkan bahwa penyimpangan masih
diijinkan selama penyimpangannya tersebut masih dalam batas atas dan
batas bawah. Penyimpangan sudah tidak diperbolehkan jika
penyimpangan tersebut sudah di luar ke dua batas tersebut, beginilah
toleransi menjaga kualitas produk.
Penyimpangan, kesalahan maupun perbedan boleh terjadi
selama dalam batas-batas tersebut, kesalahan sudah tidak diijinkan lagi
jika kesalahannya sudah di luar batas-batas tersebut. Di sini bukan
masalah kesalahan, penyimpangan ataupun perbedaannya tetapi lebih
pada batas batas penyimpangan itu yang harus kita sepakati dengan suatu
komitmen.
Pelajaran yang dapat diambil adalah suatu kesalahan,
perbedaan dan penyimpangan boleh terjadi selama semua itu masih
dalam batas toleransi demi suatu hubungan yang bermanfaat bagi
manusia. Kesalahan tidak diijinkan, jika kesalahan sudah di luar toleransi
karena hasil kesalahan tersebut tidak bermanfaat bagi kehidupan manusia
secara sosial. Saling menghargai, saling menghormati dan saling mejaga
adalah adalah makna dari istilah toleransi ini.

2. Toleransi dalam Kehidupan Sosial


Dalam ilmu sosial sering juga kita dengarkan istilah toleransi.
Dengan maksud yang sama dengan ilmu teknik maka toleransi dalam
ilmu sosial menyentuh pada subyek manusia, hal ini berbeda dengan
dunia teknik yang mengambil subyek pada benda yang diproduksi.
Walaupun subyek yang disentuh berbeda tapi makna dan tujuan dari
toleransi tidak jauh berbeda.
Apa yang menjadi alasan mengapa kita harus bertoleransi.
Ada dua alasan pokok di sini, pertama manusia pada kodratnya tidak ada
yang sempurna dan yang ke dua perbedaan pada manusia secara sosial
adalah suatu keniscayaan. Perbedaan-perbedaan ini antara lain
disebabkan, budaya, suku, agama atau keyakinan.
Saling menghargai, menghormati dan menjaga adalah sikap
nyata toleransi dalam kehidupan sosial. Perbedaan pada diri manusia
dalam bermasyarakat dan bernegara adalah suatu keniscayaan. Suatu
bangsa terlahir menurut Ernest Renan tidak berdasarkan oleh kesamaan
suku, ras dan wilayah. Menurutnya suatu bangsa akan lahir jika syarat-
syaratnya terpenuhi yaitu antara lain, memiliki jiwa yang sama, memiliki
solidaritas yang besar, memiliki sejarah yang sama, merasakan kejayaan
yang sama di masa lalu dan memiliki penderitaan bersama sehingga
menimbulkan rasa keinginan hidup bersama.
Dari teori kebangsaan di ataslah bangsa Indonesia dilahirkan
yang membentuk negara Republik Indonesia dengan sejarahnya yang
panjang, yang dengan sejarah tersebut telah memenuhi syarat berdirinya
sebuah Negara.Hal ini terbukti bahwa Bung Karno yang merupakan salah
satu pendiri bangsa berpendapat bahwa wilayah Indonesia adalah seluruh
wilayah bekas jajahan Belanda.
Dengan teori tersebut maka nyatalah bahwa unsur-unsur yang
ada di dalam Negara Republik Indonesia tidaklah mungkin sama. Tidak
mungkin seluruh Indonesia ini suku jawa semua, suku madura semua,
suku sunda semuanya dan lain sebagainya. Bangsa indonesia berdiri di
atas perbedaan-perbedaan yang sangat nyata. Tidak ada bangsa di seluruh
dunia ini yang memiliki kemajemukan seperti di Indonesia.
Indonesia yang ibaratnya adalah gedung di mana seluruh
rakyat dengan keberagamannya berlindung, memiliki fondasi untuk
menopang kesemuanya. Nilai-nilai atau unsur-unsur yang terkandung di
dalam fondasi inilah yang digunakan sebagai batasan-batasan toleransi
yang harus disepakati oleh masyarakatnya. Oleh karena itu atas nama
toleransi maka perbedaan walaupun adalah keniscayaan tetapi perbedaan
itu ada batasnya. Setiap perbedaan yang merupakan unsur dari komponen
bangsa adalah keharusan kita semua untuk menerima, menghargai dan
menghormatinya. Sejatinya apapun perbedaan yang ada di bumi
nusantara ini tidak ada yang saling menegasikan, semua perbedaan saling
mengisi dan melengkapi, inilah hakekat Bhineka Tunggal Ika. Tetapi jika
perbedaan itu untuk menegasikan, menentang dan menyalahkan
perbedaan yang lain maka perbedaan itu harus dimusnahkan, karena itu
adalah akar dari disintegrasi bangsa. Dan perbedaan inilah yang kita
maksud dengan penyimpangan yang sudah di luar batas toleransi atau
diistilahkan dengan intoleransi

3. Perbedaan dalam Kehidupan Berbangsa


Bangsa Indonesia adalah suatu bangsa yang majemuk, baik
budaya, bahasa, geografi maupun agama dan kepercayaannya. Perbedaan
adalah suatu keniscayaan pada bangsa ini. Perbedaan ini tidaklah
mungkin dihilangkan. Suatu kehendak untuk menghilangkan perbedaan
ini ataupun sikap yang menghina atas suatu perbedaan yang tidak seuai
dengan kelompok atau idenitas kelompok tertentu adalah penodaan atas
toleransi itu sendiri. Hal ini tidak bisa dibenarkan, karena toleransi itu
bukan bertujuan untuk menghina yang berbeda tapi untuk meghargai
yang berbeda tersebut.
Dalam kehidupan berbangsa, sebagai warga negara sudah
seharusnya sadar untuk lebih mengutamakan kepentingan bangsa dari
kepentingan kelompok kita. Perbedaan perbedaan yang kita temui selama
masih dalam batas-batas toleransi maka perbedaan itu seharusnya kita
anggab sebagai kekayaan bangsa kita.

4. Perbedaan yang Masih Diijinkan dan yang Tidak Diijinkan


Di dalam kodrat manusia sebagai mahluk pribadi dan mahluk
sosial, di sana juga melekat hak dan kewajibannya. Hak sebagai mahluk
pribadi tentu berbeda dengan hak sebagai mahluk sosial begitu pula
dengan kewajiban. Sebagai pribadi atau kelompok tentu kita punya hak
yang berhubungan dengan jati diri kita ataupun jati diri kelompok kita.
Mengekspresikan diri kita dan kelompok kita adalah bagian dari hak kita
sebagai mahluk pribadi ataupun kelompok. Tetapi secara sosial kita tidak
bisa memaksakan perbedaan yang kita miliki itu kepada kelompok lain.
Di sini peran toleransi sangat penting karena kita juga harus mengakui,
menghargai dan menghormati perbedaan yang dimiliki pribadi ataupun
kelompok lain. Artinya sebagai pribadi atau kelompok kita bisa
berekspresi sesuai jati diri kita atau kelompok kita sebagai hak pribadi,
tetapi secara sosial kita belum tentu bisa mengekspresikan jati diri kita
jika kebebasan berekspresi itu melanggar, menodai ataupun menyinggug
jatidiri kelompok lain. Kemampuan membawa diri adalah salah satu
faktor keberhasilan dalam pelaksanaan toleransi.
Di dalam kehidupannya sebagai mahluk individu kadang kita
memiliki kesamaan dengan individu lainnya. Hal ini yang
memungkinkan terbentuknya perkumpulan beberapa individu yang
memiliki kesamaan yang kita dinamakan kelompok sosial. Kelompok
sosial ini tentunya memiliki kesamaan-kesamaan individu di dalamnya.
Kelompok-kelompok ini bisa berdasarkan agama, suku, ras, budaya,
bahasa, status sosial, pendidikan dan lain-lain. Di dalam eksistensinya
kelompok sosial ini memiliki hak untuk mengekpresikan jati dirinya. Ini
adalah wujud penghargaan dari sebuah tatanan masyarakat modern dalam
mengakui, menghargai dan melindungi hak individu. Hak inidividu
semakin terlindungi dan teraktualisasikan seiring dengan berkembangnya
kebudayaan dan peradaban manusia yang semakin menghormati
keberadaan manusia sebagai mahluk yang merdeka.
Selain sebagai mahluk individu yang memberikan
keleluasaan manusia untuk berekpresi sesuai dengan haknya maka
manusia juga ditakdirkan sebagai mahluk sosial. Pada kodratnya setiap
manusia sejak terlahir tidak bisa hidup tanpa keberadaan manusia yang
lain. Kita akan menjadi manusia jika kita hidup dan berkehidupannya
bersama dengan komunitasnya yaitu manusia lainnya. Entah dinamakan
apa jika mahluk seperti kita tapi tidak pernah dan tidak bisa hidup dengan
jenis mahluk manusia, mungkin kita sering menamakan dengan sebutan
Tarzan, walaupun kita tidak yakin bahwa mahluk ini benar-benar ada.
Apapun kelebihan dan kekurangannya maka dia hanya bisa hidup jika
bersama dengan manusia lainnya. Kekurangan kita akan digenapi dari
kelebihan manusia yang lain sebaliknya kelebihan yang kita miliki akan
kita genapkan kepada kekurangan manusia lainnya. Manusia hidup
dengan manusia lain dalam kebersamaan, saling membantu, mengisi dan
memahami, ini juga sebenarnya kebutuhan manusia yang hakiki sebagai
makhluk sosial.
Dalam hubungan soasial bermasyarakat dan bernegara
manusia dibatasi oleh batasan-batasan yang mengikatnya. Artinya negara
ini tetap mengakui perbedaan-perbedaan itu. Dalam melihat perbedaan-
perbedaan yang terjadi maka negara harus memilah-milah mana
perbedaan yang merupakan bagian jati diri bangsa dan mana perbedaan
yang malah merusak persatuan bangsa. Tentunya tidak bisa
menyamaratakan untuk jenis perbedaan ini.
Kita boleh berbeda agama atau keyakinan tetapi yang tidak
boleh adalah yang tidak berkeyakinan atau tidak ber-Tuhan. Sistem
kapitalisme dan materialisme yang merusak sendi-sendi kehidupan
bangsa ini adalah salah satu contoh ketidak berkeyakinannya dalam
berTuhan, karena prinsip materialisme yang menjadi pedoman utamanya
adalah keuntungan material belaka yang kadang menyingkirkan peran
dari kehidupan sosial secara adil dan merata. Kita boleh berbeda budaya
tetapi yang tidak boleh adalah yang tidak berbudaya. Menghina
perbedaan adalah salah satu contoh tindakan kurang berbudaya, karena
itu bukan budaya bangsa kita. Kita boleh berbeda bahasa tetapi yang
tidak boleh adalah yang tidak mampu berbahasa. Menghina, menghasut,
membuat berita bohong atau hoax adalah salah satu contoh
ketidakmampuan berbahasa dalam komunikasi, karena semua itu tidak
dikenal dalam budaya bahasa bangsa kita. Pada dasarnya budaya bangsa
ini dalam berkomunikasi adalah tidak mengenal bahasa-bahasa yang
bersifat menghasut, menghina maupun bohong atau hoax.

5. Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa


Seperti yang sudah tertulis di atas bahwa perbedaan adalah
mutlak dan tidak mungkin dipaksakan untuk harus sama. Perbedaan
adalah kodrat bangsa nusantara ini. Kondisi geografis yang berbeda yang
disebabkan karena sangat luasnya wilayah Indonesia, hal ini tentunya
mengakibatkan perbedaan-perbedaan. Suku bangsa, budaya, keyakinan,
bahasa, karateristik adalah contoh-contoh perbedaan yang nyata.
Tercatat bangsa Indonesia memiliki 714 suku bangsa, enam
agama dan satu keyakinan, serta 1.001 bahasa daerah. Sungguh luar biasa
kemajemukan bangsa ini. Selain menjadi sisi positif sebagai suatu
kekayaan, maka kemajemukan ini juga menyimpan potensi negatif yaitu
mudahnya terjadina konflik antar kelompok yang berbeda itu.
Sangatlah mungkin jika bangsa ini tidak hati-hati, maka
kekayaan yang berupa kemajemukan ini bisa berubah menjadi suatu
bencana. Perbedaan yang salah satunya adalah perbedaan keyakinan
merupakan salah satu perbedaan yang paling sensitif. Sangatlah mudah
menyulut suatu konflik yang didasarkan karena perbedaan keyakinan ini
di negeri ini.
Kita patut bersyukur, karena seluruh potensi-potensi konflik
itu sudah dipredeksi dan diantisipasi oleh bangsa ini ratusan tahun yang
lalu. Karena kemampuan melihat masa depan, Mpu Tantular telah
membuat tulisan yang dibuat sebagai suatu kitab yang dinamakan kitab
Sota Soma. Dalam kitab itu akan kita temukan tulisan yang berbunyi
“Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”. Tulisan inipula
yang kemudian dijadikan pita yang dipegang dengan erat oleh burung
Garuda lambang negara kita.
Maksud dari kalimat tuisan itu adalah “berbeda beda tetapi
tetap satu jua , tidak ada kebenaran yang mendua”. Kalimat ini sangat
visioner. Dengan jiwa yang terkandung di dalam kalimat inipulalah
bangsa Indonesia mendapatkan solusi atas perbedaan-perbedaan yang ada
di bangsa ini.
Bangsa yang besar bukan ditentukan dari umur, kekayaan
mapupun kecerdasan bangsa itu. Sudah terbukti banyak bangsa besar
yang tidak ditentukan oleh umur bangsa itu, kekayaan bangsa itu maupun
kecerdasan penduduk bangsa itu. Kebesaran sebuah bangsa lebih
ditentukan oleh komitmen bangsa itu dalam memegang dan
melaksanakan kesepakatan bangsa tersebut.
Perbedaan boleh terjadi tetapi kebijakan harus tetap dari
negara. Kebenaran yang diambil dari suatu kesepakatan kehidupan
berbangsa harus kita kedepankan sebagai kebenaran yang tidak boleh kita
langgar. Bangsa ini sudah terlanjur memiliki kesepakatan untuk
dilaksanakan dengan penuh komitmen. Kesepakatan bangsa Indonesia
adalah Pancasila. Kita berkeyakinan bahwa jika bangsa ini beserta
seluruh komponennya melaksanakan Pancasila dengan penuh komitmen
sesuai peran masing-masing maka bangsa ini niscaya akan menjadi besar.
Sehingga kita akan tahu mengapa bangsa ini terus terpuruk, hal ini tidak
lain dan tidak bukan karena kita tidak penuh komitmen dalam
melaksanakan kesepakatan bangsa ini.

6. Perbedaan Pandangan Hidup antar Bangsa merupakan Batas-


Batas Toleransi
Setiap bangsa pasti memiliki pandagan hidup berbangsa yang
berbeda-beda. Tidak semua pandangan hidup bangsa lain bisa diterima
sebagai bagian cara hidup bangsa kita. Begitupun sebaliknya tidak semua
pandangan hidup bangsa lain harus kita tolak untuk menjadi cara hidup
bangsa kita.
Kita ambbil contoh Presiden Amerika Bill Clinton pada tahun
1998 telah mengakui melakukan skandal sex, dan masyarakatnya tetap
banyak yang memberikan dukungan, mungkinkah hal tersebut berlaku di
Indonesia? Jika presiden Indonesia mengaku telah melakukan hal yang
sama tersebut, pasti akan dicopot oleh masyarakatnya. Di sinilah letak
pentingnya batas-batas toleransi pada tiap-tiap bangsa. Setip bangsa
memiliki batas-batas toleransi yang berbeda-beda. Hal ini ditentukan oleh
kepridadian, pandangan hidup dan nilai-nilai luhur tiap-tiap bangsa.
Bangsa Indonesia telah memiliki konsesus atas nilai-nilai yang
dianggap benar sehingga dengan kebenaran tersebut melahirkan
semangat dan etikat untuk melaksanaannya dan nilai-nilai inilah yang
dijadikan penuntun dalam bersikap dan bertingkah laku dalam berbangsa
dan bernegara. Inilah arti dari pandangan hidup bangsa yang tidak lain
tidak bukan adalah Pancasila. Di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai
yang mulia yang dijadikan pedoman atau batas-batas dalam bertingkah
laku. Bahwa perbedaan itu pasti terjadi maka bentuk dari perbedaan itu
harus dikur degan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila bukan
diukur dengan alat ukur lainnya yang bukan berasal dari nilai-nilai luhur
bangsa.
Segala macam perbedaan yang berkeinginan untuk mengubah
haluan negara yang berdasarkan Pancasila adalah sebuah perbedaan yang
sudah keluar dari batas-batas toleransi. Demi tegaknya ketahanan negara
maka perbedaan ini harus segera dibuang jauh dari Indonesia. Mengapa
demikian? karena perbedaan ini akan memunculkan faham-faham yang
selalu menyudutkan, menyalahkan dan menentang keberanekaragaman
bangsa ini.
Indonesia sebagai bagian dari bangsa-bangsa di dunia ini tidak
bisa terhindar dari pengaruh faham, ideologi dan keyakinan yang
berkembang di dunia. Pegaruh-pengaruh faham, ideologi dan keyakinan
itu harus diukur dengan alat ukur nilai-nilai luhur yang terkandung dalam
Pancasila. Dalam berhubungan dengan dunia internasional,
perkembangan teknologi menjadi alat yang dominan untuk saling
bertukar informasi. Perkembangan teknologi di era globalisasi di satu sisi
membawa kuntungan tapi di sisi lain bisa mendatangkan bahaya bagi
ketahanan bangsa jika tidak bijaksana dalam menerimanya. Arus
informasi yang semakin bebas membuat masyarakat sangat mudah
menerima apapun informasi yang diingikan, terlepas itu informasi positif
maupun negatif. Faham, ajaran, ideologi yang kadang bertentangan
dengan nilai-nilai luhur bangsapun semakin mudah meracuni jiwa
masyarakat Indonesia. Fenomena yang terjadi saat ini sudah sampai batas
yang sangat menghawatirkan. Dengan fenomena ini maka eksitensi
negara sangat dipertaruhkan.
Negara Indonesia didirikan di atas perjuangan seluruh rakyat
yang penuh kemajemukan. Oleh karena itu negara yang dibangunnya ini
tentulah bukan diperuntukan oleh sebagian kelompok saja. Tidak ada
istilah hegemoni mayoritas dan tirani minoritas di negeri ini. Seluruh
rakyat apapun perbedaannya berhak dan wajib berpartisipasi dalam
mengisi kemerdekaan ini dengan apapun posisinya
BAB VI
NILAI-NLAI YANG TERKANDUNG DALAM PANCASILA
ADALAH CITA-CITA LUHUR BANGSA

Selain sebagai dasar moralitas bangsa, Pancasila juga sebagai


haluan kebangsaan Indonesia. Dalam hal ini Pancasila sebagai
sebagai lead star dinamis bagi bangsa Indonesia. Di dalamnya
terkandung cita-cita luhur yang akan menghantarkan peradaban
bangsa Indonesia menuju kepada puncak kajayaannya. Setiap sila
yang terdapat di dalam Pancasila terkandung cita-cita yang sangat
mulia, yang cita-cita tersebut memiliki dasar sejarah, rasionalitas dan
pelaksanaannya.
Pancasila memiliki dasar sejarah yang jelas dan kuat. Terbukti
dalam sejarahnya nilai-nilai yang terkandung di dalam dasar moral
ini telah mampu menghantarkan bangsa-bangsa nusantara pada
kejayaannya sebagai sebuah bangsa dan negara yang hidup di antara
bangsa-bangsa lain di dunia. Nilai-nilai luhur ini selain mampu
mendesain sebuah negara yang kuat dan besar juga mampu membuat
tatanan yang bermoral pada bangsa yang hebat tersebut. Sebagai
contoh, dalam sejarah Majapahit, selain telah mampu menjadi
bangsa dan negara yang besar yang mampu bergaul dengan baik
dengan bangsa-bangsa lain di dunia, ternyata juga mampu
meletakkan posisi rakyat pada kedudukan yang mulia. Tidak terjadi
suatu tatanan yang de-humanisasi pada setiap sejarah bangsa-bangsa
di nusantara termasuk Majapahit. Hal ini berbeda dengan
perkembangan peradaban pada bangsa-bangsa di eropa, di mana
dalam perkembangannya terjadi tatanan yang de-humanisasi yang
akhirnya mendorong terjadinya revolusi akyat yang tidak puas
terhadap tatanan yang menindas tersebut. Dengan demikian dalam
sejarahnya, nilai-nilai luhur bangsa yang telah terkristalisasi ke
dalam Pancasila adalah nilai luhur yang akan mampu menghantarkan
bangsa Indonesia menuju peradaban yang agung dan mulia. Munurut
Pimpinan MPR dan Badan Sosialisasi MPR RI Periode 2014-2019
(2018:95), sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan,
kenegaraan, Pancasila memiliki landasan ontologi, epistimologi dan
aksiologi yang kuat. Setiap sila memiliki justifikasi historisitas,
rasionalitas, dan aktualisasinya, yang jika dipahami, dihayati,
dipercayai, dan diamalkan secara konsisten dapat menopang
pencapaian-pencapaian agung peradaban bangsa.
Dalam rasionalitasnya,nilai-nilai luhur ini adalah hasil dari
proses dialektika sejarah bangsa nusantara. Di dalam nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila tidak terdapat nilai-nilai yang
bertentangan dengan jiwa bangsa. Semua ini dikarenakan nilai-nilai
itu digali dari jiwanya bangsa nusantara sendiri. Sehingga tidak
pernah ada keterpaksaan untuk dilaksanakan, karena itu semua
adalah pelaksanaan dan perwujudan jiwa bangsa kita sendiri.
Selanjutnya dalam proses pelaksanaanya maka nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila sangat mewakili kepentingan seluruh
elemen yang ada di Indonesia. Tidak ada satupun sila-sila yang
terkandung dalam Pancasila mengarah kepada diskriminasi pada satu
golongann atau kelompok yang ada di Indonesia. Dengan demikian
tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan Pancasila, kerena dia
adalah wakil dari kepentingan kita semua dan langkah dari nafas
bangsa ini.
Dalam mewujudkan cita-citanya maka tidak bisa dipungkiri
bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu akan
mendapat tantangan dan rintangan dalam pelaksanaanya. Semua itu
karena adanya sistem yang berakar pada tatanan yang merasa
dirugikan jika penerapan nilai-nilai Pancasila tersebut terlaksana.
Jenis-jenis sistem itu bisa beranekaragam, antara lain adanya sistem
yang menghasilkan tatanan yang saling menindas baik antar manusia
maupun antar bangsa, sistem eksklusifitas atau faham eksklusifisme
yang menentang keberagaman baik keyakinan, ras maupun budaya,
sistem yang meniadakan hak individu pada manusia sehingga
terjadinya tatanan yang de-humanisasi dan sistem-sistem lain yang
bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Semua itu adalah
tantangan-tantangan yang menghambat tercapainya cita-cita yang
terkandung dalam nilai luhur Pancasila.
BAB VII
KEDUDUKAN PANCASILA

1. Dasar Negara

Sejarah dialektika dalam menemukan sintesa kesepakatan bangsa


Indonesia untuk bersatu, berjalan seiring dengan sejarah pergerakan
nasional dalam melawan setiap jenis penindasan atas bangsa nusantara
ini. Alam kolonialisme yang diderita ikut membantu menemukan format
yang tepat bagi bangsa ini untuk bersatu dalam sebuah ikatan bangsa
demi mencapai tujuan yang sama. Penderitaan, kemiskinan, kebodohan,
dan kondisi yang terpecah belah yang diderita rakyat adalah antitesa dari
sistem penjajahan yang dialami bangsa ini selama ratusan tahun. Selama
itu pula nilai-nilai pusaka bangsa yang telah terbukti membawa bangsa-
bangsa nusantara ke puncak kejayaannya terkubur dan dilupakan. Hal
inilah yang menyebabkan bangsa ini semakin terpuruk dan mengalami
penderitaan demi penderitaan. Kesadaran inilah yang ikut membuat
bangsa ini semakin dewasa.
Alam penjajahan telah memaksa bangsa ini menjadi semakin dewasa
dalam menghadapi musuh-musuh bangsa yang telah menggiring bangsa
ini kepada masa kelamnya. Kedewasaan ini semakin teruji dengan
terjadinya proses dialektika antar ideologi-ideologi yang berkembang
saat itu yang bertujuan sama yaitu mengusir sistem kolonialisme yang
memiskinkan bangsa ini. Pencarian Format yang tepat disertai nilai-nilai
format tersebut yang harus sesuai dengan jiwa bangsa adalah pilihan
yang ideal sebagai senjata yang ampuh bagi bangsa kita dalam mencapai
tujuannya. Di sinilah telah terjadi proses dialektika untuk mencari sintesa
bagi bangsa Indoesia. Masing-masing ideologi menawarkan sintesa untuk
menyelesaikan antitesa yang membelenggu bangsa ini, tentunya sesuai
dengan pandangan dan cita-cita ideologi-ideologi tersebut. Perjuangan
kelompok-kelompok atas nama ideologi-ideologipun akhirnya menjadi
sebuah keniscayaan sejarah bangsa Indoneia. Bagaimanapun juga
ideologi-ideologi tersebut telah ikut memberikan konstribusi positif
terhadap kedewasaan dan kesadaran bangsa ini untuk lepas dari
penjajahan dan mencapai kemerdekaanya. Dan kedewasaan ini telah
mencapai puncaknya dengan dibuktikan bahwa bangsa ini mampu dan
lebih mementingkan mengambil persamaan dari tujuan ideologi-ideologi
tersebut dibandingan dengan mempertentangkan perbedaan subtansi dari
ideologi-ideologi ini. Dan pergulatan bangsa ini berakhir dengan
disepakatinya Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia yang merdeka.
Secara yuridis Pancasila sebagai dasar negara tercantum pada
pembukaan Undang Undang Dasar 1945 tepatnya pada alinea ke empat.
Walaupun tidak kita temukan kata Pancasila pada naskah Pembukaan
Undang Undang Dasar 1945 tersebut, tetapi sangat jelas tersurat maupun
tersirat bahwa negara ini didasarkan pada kalimat yang berisi nilai-nilai
dasar yang telah disepakati bangsa ini. Nilai-nilai yang terdapat dalam
kalimat tersebut sama persis dengan sila-sila pada Pancasila, sehingga
secara otomatis negara ini berdiri di atasnya dasar Pancasila. Dengan kata
lain bahwa Pancasila mendasari Negara Republik Indonesia. Inilah yang
menjadi dasar yuridis-konstitusional bahwa Pancasila adalah dasar
negara. Dalam kalimat tersebut, nilai-nilainya dihubungkan dengan tanda
hubung koma, yang berarti nilai-nilai itu adalah satu kesatuan kalimat
yang homogen. Satu kalimat yang menyatu dan tidak dapat dipisah-
pisahkan. Ke lima nilai tersebut adalah nyawa dari bangsa Indonesia.
Menurut Pimpinan MPR dan Badan Sosialisasi MPR RI Periode 2014-
2019 (2018:88), Setiap Sila Pancasila merupakan satu kesatuan yang
terintegral, yang saling mengandaikan dan saling mengunci. Ketuhanan
dujunjung tinggi dalam kehidupan bernegara, tetapi diletakkan dalam
konteks negara kekeluargaan yang egaliter, yang mengatasi paham
perseorangan dan golongan; selaras dengan visi kemanusiaan yang adil
dan beradab, persatuan kebangsaan, demokrasi-permusyawaratan yang
menekankan konsesus, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Posisi Pancasila sebagai dasar negara Indonesia sangat kuat dan
tidak bisa dipermasalahkan lagi. Hal ini karena Pembukaan Undang
Undang Dasar 1945 adalah sumber hukum yang tidak boleh diganti,
dirubah, direvisi ataupun diamandemen. Menurut Pimpinan MPR dan
Badan Sosialisasi MPR RI Periode 2014-2019 (2018:88), Rumusan
pancasila yang terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, di mana Pembukaan tersebut sebagai
hukum derajat tinggi yang tidak dapat diubah secara hukum positif, maka
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia bersifat Final dan mengikat
bagi seluruh penyelenggara negara dan seluruh warga negara Indonesia.
Hal Ini membuktikan bahwa kedudukan Pembukaan Undang Undang
Dasar 1945 sangatlah penting bagi bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan
Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 mewakili suasana kebatinan
bangsa Indonesia merdeka. Mengubah pembukaan Undang Undang
Dasar 1945 sama artinya dengan menggugurkan Negara Republik
Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Konsekuensi dari Pancasila sebagai dasar negara adalah seluruh
perilaku kita baik secara individu, sosial, kemasyarakatan maupun
bernegara harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila tersebut. Rumusan Pancasila secara hukum positif mengikat
seluruh warga negara, lembaga masyarakat, dan lembaga negara sesuai
dengan posisi dan perannya masing-masing terhadap negara.
Pancasila sebagai dasar negara mau tidak mau akan mengaitkan
bahwa Pancasila akan menjadi sumber dari segala sumber hukum di
negeri ini. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dianggap benar
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga menumbuhkan tekad
untuk dilaksanakan. Wujud dari ini semua adalah bahwa seluruh hukum
yang dibuat adalah bentuk turunan dari Pancasila itu sendiri. Tidak boleh
ada hukum-hukum yang dibuat baik TAP MPR, UU, Perpu, Permen dan
seluruh hukum-hukum di bawahnya bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.

2. Pandangan Hidup Bangsa

Pancasila sebagai pandangan hidup dapat diartikan sebagai nilai-


nilai yang dapat digunakan sebagai pedoman dan petunjuk dari arah
semua kegiatan dan perilaku kita baik dalam kehidupan pribadi,
bersosial maupun berbangsa dan bernegara. Selaian sebagai
pandangan hidup manusia Indonesia maka Pancasila juga sebagai
pandangan hidup negara, sehingga Pancasila ini digunakan sebagai
panduan dan arahan bagaimanakah negara ini harus bergaul dengan
bangsa-bangsa lain di dunia. Selain itu nilai-nilai Pancasila juga akan
memandu dan memberi petunjuk negara dalam menentukan
kebijakannya untuk rakyatnya.
Dalam harapannya maka manusia sebagai mahluk pribadi atau
individu pasti memiliki keinginan dan cita-cita yang ingin diraihnya.
Dalam meraih semua itu maka mahluk hidup manusia mengadakan
kegiatan ataupun aktivitasnya. Maka kegiatan-kegiatan ini perlu
panduan dan arahan agar seluruh kegiatannya tersebut tidak merusak
dan menodai dari keinginan dan cita-cita mahluk hidup manusia
lainnya. Ini semua dalam rangka bahwa selain manusia sebagai
mahluk individu maka manusia juga sekaligus sebagai mahluk
sosial.
Panduan-panduan ini berupa norma dan nilai moral yang
diangap baik dan benar yang bisa bermanfaat bagi kehidupan secara
pribadi, sosial maupun bernegara. Norma-norma ini telah
terkristalisasi di dalam Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya mampu mengarahkan kegiatan manusia kepada kebenaran.
Pancasila juga mengakui manusia baik sebagai mahluk individu
maupun sebagai mahluk sosial dengan segala bentuk hak dan
kewajibannya yang secara otomatis melekat pada posisi tersebut.
Dengan demikian Pancasila adalah satu-satunya petunjuk bagi kita
masyarakat dan bangsa Indonesia untuk bagaimana kita harus
bersikap dan bertingkah laku dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Menurut Pimpinan MPR dan Badan Sosialisasi MPR RI 2014-
2019 (2018:92), sesuai dengan pengertian sila Ketuhanan Yang
Maha Esa, setiap manusia Indonesia sebagai rakyat dan warga
negara Indonesia, diakui sebagai insan beragama berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Paham Ketuhanan Yang Maha Esa
merupakan pandangan dasar yang bersifat primer yang secara
substansial menjiwai keseluruhan wawasan kenegaraan bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, nilai-nilai luhur keberagaman menjadi
jiwa yang tertanam jauh dalam kesadaran, kepribadian dan
kebudayaan bangsa Indonesia. Jiwa keberagaman dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa itu juga diwujudkan dalam kerangka
kehidupan bernegara yang tersusun dalam Undang-Undang Dasar.
Untuk selanjutnya keyakinan akan ber-Tuhan tersebut akan
menjiwai dan diwujudkan dalam sikap yang sesuai dengan
kemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan demikian nilai-nilai ke-
Tuhanan dijadikan peneguh keyakinan dalam menciptakan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tentunya dengan terciptanya
keadilan ini peradaban bangsa Indonesia terus meningkat.
Selanjutnya dengan dilandasi sikap yang saling menghormati dan
menghargai yang dijiwai oleh keyakinan ber ke-Tuhanan tersebut
maka persatuan dan kesatuan bangsa akan terjaga dengan baik. Di
dalam nilai-nilai ke-Tuhanan juga terkandung jiwa kebijaksanaan
dalam menentukan sebuah kebijakan yang dicapai secara
musyawarah. Beginilah sekelumit contoh bahwa Pancasila mampu
membimbing manusia Indonesia dalam kehidupannya.
Selain semua itu Pancasila juga menjadi arah kebijakan negara
dalam pergaulannya di dunia Internasional. Arah ini akan
membimbing Indonsesia menjadi bagian yang aktif di dunia dalam
menjaga perdamaian dunia. Kesetaraan kedudukan yang diartikan
sebagai duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi juga merupakan
jiwa Pancasila dalam membimbing negara Indonesia sebagai bagian
dari peradaban dunia internasional. Indonesia tidak boleh
menaklukkan diri di bawah bangsa lain dan sebaliknya Indonesia
oleh Pancasila juga tidak boleh menjadi bangsa yang chaufinistik.
Nilai-nilai Pancasila juga akan memandu dan menuntun arah
kebijakan negara agar tetap bijaksana terhadap rakyatnya. Nilai-nilai
luhur Pancasila menentang segala bentuk penghisapan, dan
penindasan kepada rakyatnya, termasuk kepada rakyat dan bangsa
lain. Dengan demikian Pancasila akan menghantarkan Indonesia
pada tempat yang terhormat dan mulia dalam percaturan dunia.

3. Sumber dari Segala Sumber Hukum

Sebagaimana telah dikupas sebelumnya bahwa Pancasila harus


menjiwai seluruh hukum di bawahnya, dengan kata lain seluruh
hukum tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam sila-sila Pancasila. Ini merpakan kedudukan Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum.
Dalam negara yang berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan
kekuasaan seperti Indonesia, maka terdapat suatu nilai tertinggi,
yang posisinya lebih tinggi dari konstutusi dasar negara tersebut.
Melalui jiwa nilai inilah maka pasal-pasal konstutsi dasar dibentuk.
Dengan kata lain konstitusi ini dibentuk berlandaskan nilai ini. Nilai
tertinggi ini dinamakan sebagai norma dasar negara atau
staatsfundamentalnorm. Dan Pancasilalah sebagai
staatsfundamentalnorm tersebut. Dalam sejarah hal ini terbukti
karena Pancasila terlebih dahulu lahir sebelum UUD 1945, sehingga
Pancasilalah yang menjiwai UUD 1945 tersebut. Untuk selanjutnya
UUD 1945 yang merupakan konstitusi dasar Negara Republik
Indonesia tidak boleh bertentangna dengan nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Demikian pula produk hukum dibawahnya harus
sesuai dengan UUD 1945 hal ini tentunya akan membawa seluruh
produk yang dibuat tetap berlandaskan Pancasila.

4. Ideologi Bangsa

Secara umum sebuah ideologi adalah suatu sistem keyakinan


yang dianggap memiliki nilai kebenaran subyektif yang dianut oleh
masyarakat untuk mencapai tujuan masyarakat tersebut. Dalam
penerapannya ideologi akan menata peri kehidupan masyarakatnya
untuk mencapai tujuan masyarakat tersebut. Ideologi ini bersifat
mengikat. Menurut Pimpinan MPR dan Badan Sosialisasi MPR RI
Periode 2014-2019 (2018:89), Dengan berbagai pengalaman yang
dihadapi selama ini, penerapan Pancasila perlu diaktualisasikan
dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan
mengingat Pancasila sebagai ideologi negara yang merupakan visi
kebangsaan Indonesia yang dipandang sebagai sumber demokrasi
yang baik di masa depan dan yang lahir dari sejarah kebangsaan
Indonesia. Dengan demikain ideologi akan memandu jalannya sistem
kemasyarakatan tersebut.
Selain perannya sebagai Dasar Negara maka Pancasila juga
harus dijadikan alat pemandu dan pengarah jalannya pembangunan
itu sendiri. Pancasila harus dapat menjadi alat perjuangan untuk
mencapai cita-cita pembangunan. Nilai-nilai Pancasila harus
mengikat jalannya pembangunan agar selama prosesnya tetap selalu
sesuai cita-cita bangsa. Proses pembangunan diharapkan dapat
menemukan dan membangun kembali cita-cita luhur bangsa. Dengan
ideologi diharapkan agar jalannya pembangunan tidak kehilangan
arah dan dapat meredam konflik pada bangsa ini. Menurut Pimpinan
MPR dan Badan Sosialisasi MPR RI Periode 204-2019 (2018:89),
Melalui Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sebagai payung hukum, Pancasila perlu diaktualisasikan agar
dalam praktik berdemokrasinya tidak kehilangan arah dan dapat
meredam konflik yang tidak produktif. Dengan demikian peran
Pancasila sebagai ideologi bangsa menjadi sebuah keniscayaan.

5. Alat Perjuangan dalam Melenyapkan Musuh-Musuh Bangsa

Bangsa nusantara mengalami pasang surut dalam kehidupan


sejarahnya. Dinamika ini selain diakibatkan oleh kondisi di dalam
bangsa nusantara sendiri juga terpengaruh oleh perkembangan dan
kepentingan bangsa-bangsa di dunia. Pasang surutnya sejarah
nusantara tidak bisa terlepas dari perkembangan dan kepentingan
bangsa-bangsa di dunia tersebut.
Dalam pasang surutnya bangsa-bangsa nusantara tersebut, dapat
diambil kesimpulan, bahwa saat bangsa tetap teguh berpegang pada
nilai-nilai luhurnya maka akan membawa bangsa tersebut menjadi
kuat dan mampu melawan musuh-musuhnya. Sebaliknya saat
bangsa-bangsa nusantara ini kehilangan pusakanya yang berupa
nilai-nilai luhur, maka sejalan dengan itu maka runtuhnya bangsa
tersebut.
Nilai-nilai luhur yang telah terkristalisasi menjadi Pancasila
membawa semangat untuk mewujudkannya. Dalam mewujudkannya
tentu ada kekuatan-kekuatan yang merintanginya, maka di sini peran
Pancasila sebagai alat perjuangan bagi bangsa Indonesia dalam
melenyapkan musuh-musuhnya.
Sistem komunisme terbukti telah menjadi musuh bangsa
Indonesia dalam mencapai dan meraih cita-citanya, maka dengan
bermodalkan sila-sila dalam Pancasila kita semua sebagai bangsa
akan berjuang untuk melawan segala bentuk rong-rongan dari faham
ini. Sila pertama, ke dua dan ke tiga adalah bukti rasional Pancasila
sebagai alat perjuangan dalam melawan musuh tersebut dengan
disemangati dengan sila ke empat dan ke lima.
Sistem kapitalisme yang telah memelaratkan bangsa nusantara
ratusan tahun dan bangsa Indonesia sampai saat ini adalah musuh
nyata bagi bangsa Indonesia dalam mencapai cita-citanya dalam
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sistem ini nyata-nyata telah menciptakan kesenjangan manusia yang
begitu tajam, yang hal ini bertentatangan dengan nilai-nilai
Pancasila. Pancasila tidak menghendaki kekayaan negara hanya
dimiliki dan dikuasai oleh minoritas rakyatnya, sehinga sebagian
besar rakyat yang lain jatuh pada taraf kemiskinan dan kekurangan.
Dalam praktiknya sistem ini menciptakan tatanan yang saling
menghisap dan menindas. Maka sila ke dua, dan ke lima secara
khusus akan menentang dan melawan dengan dibantu dengan
semangat sila pertama, ke tiga dan ke empat.
Sistem tatanan faham transnasional adalah tantangan yang
murupakan musuh bagi bangsa Indesia dalam mencapai tujuan
akhirnya dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Faham transnasional ini bisa berdasarkan pada ajaran agama maupun
ideologi tertentu. Yang jelas faham ini merupakan musuh bangsa. Di
sini sila ke tiga akan menentangnya tentunya dengan landasan sila
pertama, ke dua, ke empat dan kelima. Dan tentunya masih banyak
contoh musuh-musuh bangsa yang harus dilawan dan dipatahkan
oleh semangat nilai-nilai Pancasila. Dan ini adalah bukti bahwa
Pancasila dengan sila-silanya secara simultan dapat dijadikan alat
perjuangan bangsa dalam menuju cita-citanya.
BAB VIII
PENUTUP

Pancasila sebagai dasar negara adalah hal yang sudah final. Sehingga
kita semua warga negara Indonesia tidak perlu mempermasalahkan
apalagi mempertentangkannya. Tantangan ke depan bangsa ini sungguh
berat dan dengan penuh kesadaran, inilah yang seharusnya kita hadapi
dan selesaikan bersama sama secara gotong royong, dari pada tiada
hentinya memperdebatkan masalah yang sudah final tersebut. Tentunya
kekuatan-kekuatan yang memang berkeinginan untuk menentang
terciptanya tatanan yang berlandaskan Pancasila akan gembira dan terus
memberi suport terhadap perdebatan yang tiada hentinya ini.
1 Juni 1945 sebagai hari lahir dasar negara Pancasila, adalah realitas
historis, filosofis dan politis bagi bangsa Indnesia. Pancasila lahir bukan
untuk golongan tertentu pada masyarakat ataupun sebagian golongan
manusia. Pancasila mampu mengakomodir seluruh kepentingan dari
seluruh elemen yang ada di negara Republik Indonesia. Pancasilapun
bukan diciptakan oleh sesoorang yang akan mengerdilkan makna
Pancasila itu sendiri. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila
tercipta dari sejarah dialektika bangsa nusantara, yang dengan ijin dan
kehendak Tuhan Yang Maha Esa dilahirkan kembali setelah ratusan
tahun terpendam dalam alam kolonialisme barat, pada tanggal 1 Juni
1945 oleh pidato Ir. Soekarno di sidang BPUPK.
Pancasila adalah kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa yang ikut
diperkaya dan disempurnakan oleh nilai-nilai dari luar yang tidak
bertentangan dengan jatidiri bangsa. Dengan demikian Pancasila akan
selalu bisa abadi menjadi penopang atau dasar rumah negara Republik
Indonesia ini. Hal ini karena bangsa Indonesia tidak akan pernah terasing
dengan nilai-nilai tersebut, mengingat nilai-nilai ini adalah nafas bangsa
Indonesia sendiri.
Dalam menerapkan dan mewujudkan nilai-nilai luhur Pancasila
maka sikap toleransi menjadi suatu keharusan. Toleransi yang berbingkai
Bhineka Tunggal Ika terbukti mampu menjadi pita persatuan bangsa
Indonesia yang beraneka ragam ini. Kita perlu merevitalisasi nilai-nilai
Bhineka Tunggal Ika dalam wujud yang disesuaikan dengan alam
kekinian. Hal ini mengingat tantangan yang dihadapi generasi sekarang
tidak selalu sama dengan tantangan yang dihadapi generasi perjuangan
kemerdekaan.
Selanjutnya nilai-nilai luhur Pancasila yang oleh bangsa Indonesia
telah dianggap benar, maka nilai-nilai tersebut menjadi pemandu dan
penuntun bagi langkah dan nafasnya bangsa ini. Sebagai dasar negara
maka Pancasila akan mengaitkan dengan hukum yang ada di negeri ini.
Pancasila dijadikan sebagai statfundamentalnorm yang berdiri di atas
hukum apapun di Indonesia termasuk hukum dasar yaitu UUD 1945.
Posisi ini menempatkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum di Indonesia. Di sisi lain Pancasila sebagai ideologi diharapkan
mampu mematahkan musuh-musuh yang berusaha mengganggu cita-cita
bangsa Indonesia. Dan di sini Pancasila terbukti sangat mampu dalam
melihat dan mendefinisikan musuh-musuhnya. Maksudnya hanya dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasilalah seharusnya negara ini
menganalisa musuh-musuh yang membahayakannya. Selanjutnya nilai-
nilai yang terkandung dalam Pancasila akan menjadi semangat bagi
rakyatnya dan kebijakan hukum bagi negara untuk membasmi musuh-
musuh tersebut.
Sistem komunisme, sistem kapitalisme, sistem transnasional adalah
beberapa contoh musuh yang selalu merongrong negara Indonesia dalam
mencapai cita-citanya. Sistem transnasional ini bisa didasari oleh motif
agama maupun motyif ideologi lainnya, yang jelas faham-faham tersebut
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA

Hakim, Ahmad Atho’ Lukman. 2015. Posisi Agama Dalam IDEOLOGI


NEGARA Studi Gagasan Nasakom Soekarno. Yogyakarta: Kirisufi.
Pimpinan MPR dan Badan Sosialisasi MPR RI Periode 2014-2019. 2018.
MATERI SOSIALISASI EMPAT PILAR MPR RI. Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR RI.
Soekarno. 2014. PANCASILA DASAR NEGARA Kursus Pancasila Oleh
Presiden Soekarno. Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila Universitas
Gadjah Mada.
Poernomo, Didiek. 2018. PANCASILA Penggalian Mendalam Arti dan
Makna. Jakarta: Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia.
Saksono, Ign. Gatut. 2019. PANCASILA, GLOBALISASI, & SYARIAT
ISLAM. Yogyakarta: CV. Elmatera Publishing.
Sekretariat Jenderal MPR RI. 2018. UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR RI.
Suparto, Peni. 2017. PANCASILA DASAR NEGARA Sudah Final.
Yogyakarta: Aynat Publishing.
Yudoyono, Bambang. 2017. Jogja Memang Istimewa. Yogyakarta: Jogja
Bangkit Publishing.

Anda mungkin juga menyukai