0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
6 tayangan3 halaman
Ada keraguan atas optimisme pemerintah dalam menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,3% dan penerimaan pajak Rp2.016 triliun di 2023. Target pertumbuhan ekonomi dan pajak tersebut lebih rendah dari pertumbuhan alamiah. Pemerintah seharusnya merevisi target pertumbuhan ekonomi dan naikkan target pajak menjadi Rp2,09 triliun untuk mengurangi defisit anggaran.
Ada keraguan atas optimisme pemerintah dalam menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,3% dan penerimaan pajak Rp2.016 triliun di 2023. Target pertumbuhan ekonomi dan pajak tersebut lebih rendah dari pertumbuhan alamiah. Pemerintah seharusnya merevisi target pertumbuhan ekonomi dan naikkan target pajak menjadi Rp2,09 triliun untuk mengurangi defisit anggaran.
Ada keraguan atas optimisme pemerintah dalam menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,3% dan penerimaan pajak Rp2.016 triliun di 2023. Target pertumbuhan ekonomi dan pajak tersebut lebih rendah dari pertumbuhan alamiah. Pemerintah seharusnya merevisi target pertumbuhan ekonomi dan naikkan target pajak menjadi Rp2,09 triliun untuk mengurangi defisit anggaran.
JL. JENDERAL GATOT SUBROTO KODE POS 10270 TELP. (021) 5715349 FAX. (021) 5715423 / 5715295 WEBSITE : www.dpr.go.id
ADA KERAGUAN DI BALIK OPTIMISME PEMERINTAH
Penulis: Robby Alexander Sirait, M.E
Dalam RAPBN 2023, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan 5,3 persen.
Target tersebut lebih tinggi dibanding batas bawah outlook pertumbuhan 2022 yang sebesar 5,1 persen, serta proyeksi pertumbuhan 2022 oleh World Bank sebesar 5,1 persen dan Asian Development Bank sebesar 5,2 persen. Target pertumbuhan 2023 yang lebih tinggi ini mengisyaratkan optimisme pemerintah bahwa perekonomian nasional 2023 akan lebih baik dibanding tahun ini. Padahal risiko perekonomian global di 2023 masih relatif sangat tinggi, seperti konflik geopolitik yang masih akan berlanjut (khususnya perang Rusia-Ukraina dan ketegangan AS-China), harga komoditas yang masih tinggi, ancaman krisis pangan, potensi krisis utang global di berbagai negara (default) akibat meningkatnya cost of fund, respons kebijakan moneter AS, Eropa dan beberapa negara maju dalam merespons dinamika global, terganggunya kinerja perdagangan global, serta melemahnya nilai tukar rupiah akibat tekanan global. Optimisme pertumbuhan ini juga seharusnya setali tiga uang dengan optimisme penetapan target penerimaan negara yang bersumber perpajakan. Ekonomi yang bertumbuh idealnya akan diikuti dengan penerimaan pajak yang juga bertumbuh dengan nilai minimal sama dengan pertumbuhan ekonominya atau tax buoyancy bernilai satu. Keraguan Optimisme Pemerintah Dalam RAPBN 2023, penerimaan perpajakan ditargetkan Rp2.016,92 triliun atau bertumbuh 4,78 persen dibanding outlook 2022 yang diestimasi sebesar Rp1.924,94 triliun. Target ini masih di bawah estimasi pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 5,3 persen. Padahal idealnya tax bouyancy minimal bernilai satu, yang berarti setiap ekonomi bertumbuh 1 persen maka penerimaan perpajakan juga akan bertumbuh sebesar 1 persen. Lebih rendahnya target pertumbuhan penerimaan pajak dibanding pertumbuhan ekonomi ini mengisyaratkan ada keraguan optimisme pemerintah atas kondisi perekonomian nasional 2023. Tampaknya pemerintah masih belum sepenuhnya yakin angka pertumbuhan ekonomi 5,3 persen di 2023 dapat terwujud. Kondisi ini mengisyaratkan ada keraguan pemerintah atas optimisme target pertumbuhan ekonomi yang disodorkan dalam RAPBN 2023. Menggunakan pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi sebagai besaran pertumbuhan alamiah perpajakan, keraguan atas optimisme pertumbuhan pemerintah juga semakin terlihat. Di 2023, pemerintah menargetkan inflasi berada pada kisaran 3,3 persen. Dengan demikian, pertumbuhan alamiah penerimaan perpajakan seharusnya 8,6 persen di 2023. Tapi tidak demikian, penerimaan perpajakan dalam RAPBN 2023 ditargetkan hanya bertumbuh 4,78 persen. Padahal pemerintah cukup yakin bahwa lahirnya UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan akan menjadi salah satu modal utama guna mengoptimalisasi penerimaan. Berbagai kebijakan dan reformasi perpajakan melalui implementasi UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan diharapkan dapat mendukung optimalisasi penerimaan pajak tahun 2023 (NK RAPBN, 2-5). Tidak hanya itu saja, pemerintah juga punya modal besar dari implementasi tax amnesty jilid I dan jilid II (Program Pengungkapan Sukarela) yang seharusnya mampu meningkatkan kepatuhan dan basis wajib pajak. Pemerintah mungkin masih bisa beralasan bahwa target di bawah pertumbuhan alamiah tersebut disebabkan harga komoditas yang akan mengalami koreksi di 2023. Pemerintah memproyeksikan harga komoditas dunia terutama CPO dan minerba akan kembali pada pola normal di level moderat pada 2023 (NK RAPBN, 2-16). Sehingga penerimaan bea keluar hanya ditargetkan Rp9,01 triliun atau terkontraksi 81,57 persen dari outlook 2022 sebesar Rp48,91 triliun. Alasan ini dapat saja dibenarkan sebagai penyebab target pertumbuhan penerimaan pajak 2023 masih di bawah pertumbuhan alamiahnya. Namun alasan tersebut gugur apabila target pertumbuhan penerimaan perpajakan dihitung dengan mengecualikan bea keluar yang memang sangat dipengaruhi pergerakan harga komoditas. Tanpa memasukkan target bea keluar, target pertumbuhan penerimaan perpajakan 2023 diproyeksikan hanya bertumbuh 7,03 persen. Angka ini masih di bawah pertumbuhan alamiah yang diproyeksi sekitar 8,8 persen. Kontradiksi ini tetap menunjukkan ada keraguan atas optimisme pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,3 persen di 2023. Anomali Sikap Pemerintah Data historis RAPBN periode 2016- 2020 menunjukkan bahwa pemerintah selalu optimis dalam menetapkan target penerimaan perpajakan. Target yang ditetapkan selalu di atas pertumbuhan alamiahnya (gambar 1). Kecuali 2017, dikarenakan adanya efek paska tax amnesty jilid I. Penurunan target penerimaan 2017 terutama dipengaruhi adanya kebijakan- kebijakan yang penerimaannya sudah diperoleh di 2016 seperti kebijakan pengampunan pajak/tax amnesty (NK RAPBN 2017, II.3-2). Optimisme pemerintah juga terlihat dari penetapan target pertumbuhan penerimaan pajak dalam RAPBN 2022 yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan alamiahnya, sebesar 9,53 persen dengan pertumbuhan alamiah 8-8,5 persen. Di tahun 2021 juga masih sedikit optimis dengan menetapkan target pertumbuhan penerimaan pajak dalam RAPBN 2021 sama dengan batas atas target pertumbuhan ekonomi, yakni sebesar 5,5 persen. Data historis tersebut menunjukkan bahwa pemerintah dengan Presiden dan Menteri Keuangan yang sama selalu optimis dalam menetapkan target penerimaan perpajakan sepanjang 2016-2022. Untuk 2023, terlihat ada sikap anomali dari biasanya ketika pemerintah menetapkan target pertumbuhan penerimaan perpajakan 4,78 persen di bawah target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen. Sikap anomali tersebut dapat diartikan bahwa pemerintah tidak begitu yakin ekonomi nasional 2023 akan mampu bertumbuh 5,3 persen. Sikap anomali tersebut juga dapat diartikan bahwa pemerintah tidak begitu yakin bahwa modal besar dari diundangkannya UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, efek lanjutan dari Program Pengungkapan Sukarela dan lanjutan reformasi perpajakan mampu mengoptimalkan basis dan kepatuhan perpajakan yang nantinya berkorelasi linear dengan optimalisasi penerimaan perpajakan. Revisi Target Pertumbuhan Ekonomi Atau Naikkan Effort Optimalisasi Pajak Setelah Rapat Paripurna DPR RI pada 30 Agustus 2022 nanti usai, maka DPR RI bersama pemerintah akan mulai maraton membahas dan menetapkan APBN 2023. Berangkat dari adanya keraguan atas optimisme pemerintah, sebaiknya target pertumbuhan dilakukan revisi ke angka yang lebih rasional. Memang ada konsekusensi dibalik revisi tersebut. Analisis sensitivitas pertumbuhan ekonomi terhadap postur APBN menunjukkan bahwa setiap penurunan 0,1 persen pertumbuhan ekonomi, akan menyebabkan defisit anggaran bertambah Rp1,5 triliun (NK RAPBN 2023, 6-7). Namun, konsekuensi tersebut masih terdapat opsi penyelesaiannya, yakni dengan melakukan berbagai penyesuaian belanja negara. Salah satunya dengan menyisir kembali alokasi belanja yang masih dapat diefisienkan dan masih bisa ditunda, seperti belanja perjalanan dinas dalam dan luar negeri, belanja barang, serta belanja pembangunan IKN. Apabila pemerintah masih yakin dan tetap optimis dengan target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen dan inflasi dapat dikendalikan di angka 3,3 persen pada 2023, angka target penerimaan perpajakan sebaikya dilakukan penyesuaian. Pertumbuhan penerimaan perpajakan seharusnya linear dengan target pertumbuhan alamiahnya, yakni sebesar 8,6 persen. Artinya, target penerimaan perpajakan harus direvisi lebih tinggi, yakni dari Rp2.016,92 triliun dalam RAPBN 2023 menjadi Rp2.090,48 triliun. Revisi tersebut mengharuskan pemerintah untuk berkomiten dan memiliki effort penuh mengoptimalisasi penerimaan perpajakan dengan memaksimalkan modal besar dari diundangkannya UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, efek lanjutan dari Program Pengungkapan Sukarela dan lanjutan reformasi perpajakan. Hal ini harus mampu dilakukan pemerintah mengingat rasio kepatuhan masih 84,07 persen per 2021, masih rendahnya audit coverage ratio, serta masih tingginya tax gap menurut sektor ekonomi. Secara langsung, pilihan merevisi target penerimaan perpajakan ini akan berdampak pada penurunan defisit sebesar Rp73,56 triliun. Rasio defisit anggaran terhadap Produk Domestik Bruto atau PDB juga akan mengalami penurunan dari 2,85 persen dalam NK RAPBN menjadi 2,5 persen. Secara tidak langsung, penurunan defisit tersebut juga akan berimplikasi pada berkurangnya tambahan penarikan utang baru di 2023 sehingga risiko tambahan belanja pembayaran utang yang membebani di masa mendatang dapat dihindari.
Persipar PandanganPendapatKeteranganSambutan Jawaban Pemerintah Atas Pemandangan Umum Fraksi Terhadap RUU APBN 2023 Beserta Nota Keuangannya 1661839690