Anda di halaman 1dari 3

SEKRETARIAT JENDERAL

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


JL. JENDERAL GATOT SUBROTO KODE POS 10270
TELP. (021) 5715349 FAX. (021) 5715423 / 5715295 WEBSITE : www.dpr.go.id

ADA KERAGUAN DI BALIK OPTIMISME PEMERINTAH


Penulis:
Robby Alexander Sirait, M.E

Dalam RAPBN 2023, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan 5,3 persen.


Target tersebut lebih tinggi dibanding batas bawah outlook pertumbuhan 2022 yang
sebesar 5,1 persen, serta proyeksi pertumbuhan 2022 oleh World Bank sebesar 5,1
persen dan Asian Development Bank sebesar 5,2 persen. Target pertumbuhan 2023
yang lebih tinggi ini mengisyaratkan optimisme pemerintah bahwa perekonomian
nasional 2023 akan lebih baik dibanding tahun ini. Padahal risiko perekonomian global di
2023 masih relatif sangat tinggi, seperti konflik geopolitik yang masih akan berlanjut
(khususnya perang Rusia-Ukraina dan ketegangan AS-China), harga komoditas yang
masih tinggi, ancaman krisis pangan, potensi krisis utang global di berbagai negara
(default) akibat meningkatnya cost of fund, respons kebijakan moneter AS, Eropa dan
beberapa negara maju dalam merespons dinamika global, terganggunya kinerja
perdagangan global, serta melemahnya nilai tukar rupiah akibat tekanan global.
Optimisme pertumbuhan ini juga seharusnya setali tiga uang dengan optimisme
penetapan target penerimaan negara yang bersumber perpajakan. Ekonomi yang
bertumbuh idealnya akan diikuti dengan penerimaan pajak yang juga bertumbuh dengan
nilai minimal sama dengan pertumbuhan ekonominya atau tax buoyancy bernilai satu.
Keraguan Optimisme Pemerintah
Dalam RAPBN 2023, penerimaan perpajakan ditargetkan Rp2.016,92 triliun atau
bertumbuh 4,78 persen dibanding outlook 2022 yang diestimasi sebesar Rp1.924,94
triliun. Target ini masih di bawah estimasi pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 5,3
persen. Padahal idealnya tax bouyancy minimal bernilai satu, yang berarti setiap ekonomi
bertumbuh 1 persen maka penerimaan perpajakan juga akan bertumbuh sebesar 1
persen. Lebih rendahnya target pertumbuhan penerimaan pajak dibanding pertumbuhan
ekonomi ini mengisyaratkan ada keraguan optimisme pemerintah atas kondisi
perekonomian nasional 2023. Tampaknya pemerintah masih belum sepenuhnya yakin
angka pertumbuhan ekonomi 5,3 persen di 2023 dapat terwujud. Kondisi ini
mengisyaratkan ada keraguan pemerintah atas optimisme target pertumbuhan ekonomi
yang disodorkan dalam RAPBN 2023.
Menggunakan pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi sebagai besaran
pertumbuhan alamiah perpajakan, keraguan atas optimisme pertumbuhan pemerintah
juga semakin terlihat. Di 2023, pemerintah menargetkan inflasi berada pada kisaran 3,3
persen. Dengan demikian, pertumbuhan alamiah penerimaan perpajakan seharusnya 8,6
persen di 2023. Tapi tidak demikian, penerimaan perpajakan dalam RAPBN 2023
ditargetkan hanya bertumbuh 4,78 persen. Padahal pemerintah cukup yakin bahwa
lahirnya UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan akan menjadi salah satu modal
utama guna mengoptimalisasi penerimaan. Berbagai kebijakan dan reformasi perpajakan
melalui implementasi UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan diharapkan dapat
mendukung optimalisasi penerimaan pajak tahun 2023 (NK RAPBN, 2-5). Tidak hanya
itu saja, pemerintah juga punya modal besar dari implementasi tax amnesty jilid I dan jilid
II (Program Pengungkapan Sukarela) yang seharusnya mampu meningkatkan kepatuhan
dan basis wajib pajak.
Pemerintah mungkin masih bisa beralasan bahwa target di bawah pertumbuhan
alamiah tersebut disebabkan harga komoditas yang akan mengalami koreksi di 2023.
Pemerintah memproyeksikan harga komoditas dunia terutama CPO dan minerba akan
kembali pada pola normal di level moderat pada 2023 (NK RAPBN, 2-16). Sehingga
penerimaan bea keluar hanya ditargetkan Rp9,01 triliun atau terkontraksi 81,57 persen
dari outlook 2022 sebesar Rp48,91 triliun. Alasan ini dapat saja dibenarkan sebagai
penyebab target pertumbuhan penerimaan pajak 2023 masih di bawah pertumbuhan
alamiahnya. Namun alasan tersebut gugur apabila target pertumbuhan penerimaan
perpajakan dihitung dengan mengecualikan bea keluar yang memang sangat
dipengaruhi pergerakan harga komoditas. Tanpa memasukkan target bea keluar, target
pertumbuhan penerimaan perpajakan 2023 diproyeksikan hanya bertumbuh 7,03 persen.
Angka ini masih di bawah pertumbuhan alamiah yang diproyeksi sekitar 8,8 persen.
Kontradiksi ini tetap menunjukkan ada keraguan atas optimisme pemerintah
menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,3 persen di 2023.
Anomali Sikap Pemerintah
Data historis RAPBN periode 2016-
2020 menunjukkan bahwa pemerintah
selalu optimis dalam menetapkan target
penerimaan perpajakan. Target yang
ditetapkan selalu di atas pertumbuhan
alamiahnya (gambar 1). Kecuali 2017,
dikarenakan adanya efek paska tax amnesty
jilid I. Penurunan target penerimaan 2017
terutama dipengaruhi adanya kebijakan-
kebijakan yang penerimaannya sudah
diperoleh di 2016 seperti kebijakan
pengampunan pajak/tax amnesty (NK RAPBN 2017, II.3-2). Optimisme pemerintah juga
terlihat dari penetapan target pertumbuhan penerimaan pajak dalam RAPBN 2022 yang
lebih tinggi dibanding pertumbuhan alamiahnya, sebesar 9,53 persen dengan
pertumbuhan alamiah 8-8,5 persen. Di tahun 2021 juga masih sedikit optimis dengan
menetapkan target pertumbuhan penerimaan pajak dalam RAPBN 2021 sama dengan
batas atas target pertumbuhan ekonomi, yakni sebesar 5,5 persen.
Data historis tersebut menunjukkan bahwa pemerintah dengan Presiden dan
Menteri Keuangan yang sama selalu optimis dalam menetapkan target penerimaan
perpajakan sepanjang 2016-2022. Untuk 2023, terlihat ada sikap anomali dari biasanya
ketika pemerintah menetapkan target pertumbuhan penerimaan perpajakan 4,78 persen
di bawah target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen. Sikap anomali tersebut dapat diartikan
bahwa pemerintah tidak begitu yakin ekonomi nasional 2023 akan mampu bertumbuh 5,3
persen. Sikap anomali tersebut juga dapat diartikan bahwa pemerintah tidak begitu yakin
bahwa modal besar dari diundangkannya UU tentang Harmonisasi Peraturan
Perpajakan, efek lanjutan dari Program Pengungkapan Sukarela dan lanjutan reformasi
perpajakan mampu mengoptimalkan basis dan kepatuhan perpajakan yang nantinya
berkorelasi linear dengan optimalisasi penerimaan perpajakan.
Revisi Target Pertumbuhan Ekonomi Atau Naikkan Effort Optimalisasi Pajak
Setelah Rapat Paripurna DPR RI pada 30 Agustus 2022 nanti usai, maka DPR RI
bersama pemerintah akan mulai maraton membahas dan menetapkan APBN 2023.
Berangkat dari adanya keraguan atas optimisme pemerintah, sebaiknya target
pertumbuhan dilakukan revisi ke angka yang lebih rasional. Memang ada konsekusensi
dibalik revisi tersebut. Analisis sensitivitas pertumbuhan ekonomi terhadap postur APBN
menunjukkan bahwa setiap penurunan 0,1 persen pertumbuhan ekonomi, akan
menyebabkan defisit anggaran bertambah Rp1,5 triliun (NK RAPBN 2023, 6-7). Namun,
konsekuensi tersebut masih terdapat opsi penyelesaiannya, yakni dengan melakukan
berbagai penyesuaian belanja negara. Salah satunya dengan menyisir kembali alokasi
belanja yang masih dapat diefisienkan dan masih bisa ditunda, seperti belanja perjalanan
dinas dalam dan luar negeri, belanja barang, serta belanja pembangunan IKN.
Apabila pemerintah masih yakin dan tetap optimis dengan target pertumbuhan
ekonomi 5,3 persen dan inflasi dapat dikendalikan di angka 3,3 persen pada 2023, angka
target penerimaan perpajakan sebaikya dilakukan penyesuaian. Pertumbuhan
penerimaan perpajakan seharusnya linear dengan target pertumbuhan alamiahnya,
yakni sebesar 8,6 persen. Artinya, target penerimaan perpajakan harus direvisi lebih
tinggi, yakni dari Rp2.016,92 triliun dalam RAPBN 2023 menjadi Rp2.090,48 triliun. Revisi
tersebut mengharuskan pemerintah untuk berkomiten dan memiliki effort penuh
mengoptimalisasi penerimaan perpajakan dengan memaksimalkan modal besar dari
diundangkannya UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, efek lanjutan dari
Program Pengungkapan Sukarela dan lanjutan reformasi perpajakan. Hal ini harus
mampu dilakukan pemerintah mengingat rasio kepatuhan masih 84,07 persen per 2021,
masih rendahnya audit coverage ratio, serta masih tingginya tax gap menurut sektor
ekonomi.
Secara langsung, pilihan merevisi target penerimaan perpajakan ini akan
berdampak pada penurunan defisit sebesar Rp73,56 triliun. Rasio defisit anggaran
terhadap Produk Domestik Bruto atau PDB juga akan mengalami penurunan dari 2,85
persen dalam NK RAPBN menjadi 2,5 persen. Secara tidak langsung, penurunan defisit
tersebut juga akan berimplikasi pada berkurangnya tambahan penarikan utang baru di
2023 sehingga risiko tambahan belanja pembayaran utang yang membebani di masa
mendatang dapat dihindari.

Anda mungkin juga menyukai