Anda di halaman 1dari 2

Esai Ekonomi – APBN 2023

Oleh : Ernestine L. Dillon – Eko I

Hingga saat ini, berdasarkan data APBN per 31 Agustus 2023 perealisasian APBN pada
sektor PBB tergolong sangat rendah, pendapatan pada sektor ini hingga saat ini hanya
menerima sebesar 14,9%. Hal ini sangat jauh dari target yang harus dicapai oleh
pemerintah. Lantas mengapa hal ini terus terjadi?
Pada data APBN yang dirilis oleh KEMENKEU dapat kita perhatikan bahwa target
penerimaan negara yang berasal dari sektor PBB / Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 31,3
Triliun sedangkan penerimaan hingga saat ini hanya sebesar 4,7 Triliun. Untuk membahas
hal ini kita harus memperhatikan latar belakang yang mengakibatkan penerimaan sektor
PBB begitu rendah.
Ada beberapa faktor yang berasal dari dalam diri masyarakat itu sendiri seperti, masyarakat
kurang patuh dalam melakukan pembayaran PBB secara tepat waktu, banyak masyarakat
yang tidak membayarkan PBB mereka sesuai jatuh tempo yang telah ditetapkan. Hal ini
tentu akan memperlambat target pemerintah kita untuk mencapai target pendapatan negara
yang telah ditetapkan. Selain itu juga, banyak masyarakat yang kurang kesadarannya untuk
membayar kewajiban mereka kepada negara, mereka hanya peduli dengan diri mereka
sendiri dan tidak menyadari bahwa penerimaan negara yang paling besar berasal dari sektor
pajak. Kemudian ada juga masyarakat yang kurang mampu untuk membayarkan kewajiban
mereka yang berupa PBB kepada pemerintah, hal ini sebenarnya sudah coba untuk ditekan
oleh pemerintah melalui beberapa program yang telah dicanangkan pemerintah seperti
pemutihan / penghapusan pajak PBB.
Disisi lain penerimaan pajak PBB yang melesu ini diakibatkan karena adanya konstraksi
PPh migas karena harga minyak bumi yang menurun cukup tajam yang mengakibatkan
PBB melesu karena pergeseran pembayaran PBB migas.
Hal seperti ini harus terus dipantau oleh pemerintah karena kondisi perekonomian dunia
sedang tidak stabil karena konflik yang terjadi di Timur Tengah yang bisa saja memukul
pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Hingga saat ini KEMENKEU mengeluarkan
pernyataan bahwa pemerintah Indonesia hingga saat ini masih dalam posisi waspada.
Berdasarkan perealisasian APBN per 31 Agustus, dapat kita perhatikan bahwa perealisasian
subsidi energi masih dapat dikatakan melambat karena hanya tersalurkan 90,8 Triliun dari
212 Triliun. Sedangkan pada masa konflik yang memanas harga-harga kebutuhan bahan
bakar mulai meningkat dan mulai menyulitkan masyarakat yang memiliki daya beli yang
lemah. Lantas mengapa pemerintah tidak gencar menyalurkan subsidi energi kepada
masyarakat serta apa yang menjadi faktor atau alasan pemerintah untuk tidak secara
langsung merealisasikan seluruh anggaran subsidi yang telah direncanakan?
Untuk membahas mengenai anggaran subsidi terutama pada bagian subsidi energi kita
harus mengetahui apa saja yang termasuk dalam subsidi energi. Subsidi energi mencakup hal-hal
seperti subsidi listrik, subsidi LPG serta subsidi BBM.
Seperti yang dapat kita lihat lewat data perealisasian APBN per 31 Agustus 2023, jumlah
perealisasian dapat dikatakan melambat apabila dibandingkan anggaran belanja lainnya, terutama
pada anggaran subsidi BBM yang hanya terealisasikan sebesar 53,6 Triliun dari targetnya yang
sebesar 139,4 Triliun. Hal ini sangat berbanding jauh apabila kita bandingkan dengan perealisasian
subsidi listrik/PLN yang sudah terealisasikan sebesar 51,3%.
Proses perealisasian subsidi BBM yang melambat dapat kita analisis dan kita kaitkan
dengan berbagai konflik yang sedang terjadi di dunia pada saat ini. Seperti yang kita lihat bahwa
konflik perang antara Rusia dan Ukraina serta konflik yang baru-baru saja terjadi di Gaza antara
Israel dan Palestina membuat harga minyak internasional tidak stabil. Akibat kondisi politik
internasional yang memanas maka harga minyak mulai tidak stabil antara turun atau naik secara
drastis. Hal ini tentunya akan menyulitkan pemerintah kita dalam mengeluarkan anggaran subsidi,
karena pemerintah harus tetap waspada terhadap resesi ekonomi yang dapat terjadi kapan saja serta
pemerintah harus tetap dapat mempertahankan daya beli masyarakat pada level normal.
Selain itu, berdasarkan pernyataan Kepala Pusat Pangan, Energi dan Pembangunan
Berkelanjutan Indef Abra Talattov, dapat kita lihat bahwa pemberian kuota subsidi BBM yang
tidak terkontrol dapat menyebabkan melebarnya defisit pada APBN 2023. Berdasarkan simulasi
yang dibuat Institute for Development of Economics and Finance (Indef), kuota Pertalite dan Solar
yang masing-masing mengalami kelebihan konsumsi di posisi 27,8 persen dan 12,8 persen akan
membuat alokasi subsidi ditambah hingga Rp51,9 triliun.
Maka dapat kita simpulkan bahwa faktor yang membuat perealisasian anggaran subsidi
BBM melambat adalah konflik global yang memanas sehingga membuat harga minyak mentah
tidak stabil serta pemerintah tetap waspada untuk menjaga pemberian kuota subsidi BBM tepat
sasaran dan tidak bertambah seperti tahun sebelumnya yang berisiko menambah subsidi dan
kompensasi yang dapat memperlebar defisit pada APBN 2023.

Anda mungkin juga menyukai