Anda di halaman 1dari 13

NAMA : MUHAMMAD RAFLI

NIM : 190903175

MATA KULIAH : KEBIJAKAN KEUANGAN DAN POLITIK PERPAJAKAN

KELAS :D

1. Kebijakan adalah aturan, suatu konsep, maupun pedoman dasar dalam suatu
rencana. Sedangkan fiskal sendiri adalah segala urusan yang berkaitan dengan
perekonomian, seperti pajak atau pendapat negara.
Jadi dapat saya simpulkan bahwa kebijakan fiskal adalah segala aturan, konsep atau
pedoman dasar yang dibentuk oleh pemerintah untuk mengarahkan perekonomian
termasuk pajak atau pendapat negara.
2. *KEBIJAKAN FISKAL PADA TAHUN 2015-2016
Pertumbuhan ekonomi tahun 2015 diperkirakan hanya mencapai 4,7 persen.
Pengeluaran pemerintah yang diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi
ternyata hanya tumbuh 3,9 persen selama tiga kuartal pertama 2015 dengan kontribusi
terhadap PDB sebesar 8,5 persen. Memasuki awal tahun 2016 ini, CORE Indonesia
memberikan sejumlah catatan penting terkait dengan kebijakan fiskal yang dijalankan
selama tahun 2015 lalu yang patut diambil sebagai pelajaran untuk tahun 2016,
termasuk Undang-Undang APBN 2016 yang telah disahkan oleh DPR.
Pertama, target penerimaan pajak tahun 2015 terlalu optimis untuk kondisi
dimana pertumbuhan ekonomi sedang melambat. Konsekuensinya, shortfall menjadi
sangat tinggi, hingga diprediksi di atas 20 persen. Jika target yang over optimistic
kembali dipatok di tahun 2016 tanpa dibarengi upaya luar biasa dalam meningkatkan
penerimaan, maka pertumbuhan ekonomi 2016 yang diprediksi lebih tinggi dari tahun
ini berpotensi tertahan.
Target penerimaan perpajakan APBNP 2015 sebesar Rp1.489 triliun, yang
hingga bulan Oktober baru mencapai Rp894 triliun atau 60 persen dari target, sejak
awal telah diperkirakan akan sulit tercapai. Sebab, kenaikan target penerimaan
tersebut mencapai 30 persen dari tahun 2014, padahal pertumbuhan ekonomi pada
2015 lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi 2014 yang mencapai 5,02 persen.
Sementara itu, langkah-langkah yang ditempuh oleh pemerintah terutama
Direktorat Jendral Pajak masih bersifat mediocre dalam menyelesaikan beberapa
persoalan fundamental sektor perpajakan, seperti rendahnya rasio basis pajak terhadap
penduduk, rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak, dan kebocoran penerimaan pajak
terutama dari restitusi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Dalam APBN 2016, target penerimaan perpajakan hanya naik 4 persen dari
Rp1.489 triliun dibanding APBNP 2015, menjadi Rp1.547 triliun. Ekonomi tahun
2016 pun diperkirakan tumbuh moderat di kisaran 5,2 - 5,4 persen. Namun, bukan
berarti shortfall penerimaan pajak tidak mungkin terjadi. Jika pemerintah konsisten
dengan target tersebut, maka upaya keras dalam meningkatkan penerimaan di tahun
depan tetap dibutuhkan. Yang perlu menjadi perhatian, jangan sampai upaya
menggenjot penerimaan demi pencapaian target tersebut justru menghambat
akselerasi pertumbuhan ekonomi tahun depan.
Kedua, defisit anggaran yang melebar semakin menambah beban utang
pemerintah. Estimasi asumsi makro yang sangat optimis dan realisasi penerimaan
pajak yang jauh di bawah target memberikan implikasi yang cukup serius bagi APBN.
Dalam APBNP 2015, realisasi pendapatan yang rendah membuat defisit berpotensi
menembus angka 3 persen, jauh dari target sebesar 1,9 persen. Dampak pelebaran
defisit harus ditutupi dengan peningkatan utang luar negeri dan penerbitan surat utang
yang menjadi salah satu pendorong naiknya imbal hasil obligasi di pasar domestik.
Akibatnya, peningkatan beban utang tidak hanya dirasakan oleh pemerintah namun
juga penerbit obligasi swasta (crowding out). Defisit yang tinggi juga berpotensi
menurunkan kredibilitas pemerintah di mata investor yang dapat berdampak pada
peningkatan yield surat utang pemerintah.
Tahun 2015, rata-rata yield obligasi pemerintah untuk tenor 10 tahun berada
pada angka 8-9 persen akibat tingginya capital outflow di pasar modal yang membuat
permintaan terhadap obligasi pemerintah turun terutama oleh investor asing. Jika
tekanan di sektor keuangan terus berlanjut, maka diperkirakan pemerintah akan
menambah pencairan standby loan dan sejumlah komitmen utang bilateral dan
multilateral dari beberapa lembaga.
Pelemahan nilai tukar yang saat ini berada pada level Rp.14,000 per USD,
jauh melampaui asumsi yang ditetapkan dalam APBNP 2015 sebesar Rp 12.500 per
USD, juga berdampak pada peningkatan beban fiskal dengan meningkatnya nilai
utang pemerintah dalam valuta asing yang mencapai 44 persen dari total outstanding
utang pemerintah. Selain itu, realisasi belanja pemerintah terutama barang-barang
modal yang berasal dari impor juga akan meningkat. Meskipun demikian, potensi
peningkatan penerimaan negara dari luar negeri akan mengalami peningkatan.
Ketiga, kemampuan ekspansi belanja pemerintah semakin tinggi terutama
pada tahun 2016. APBN 2016 yang cenderung ekspansif diperkirakan akan memiliki
daya stimulus bagi pertumbuhan ekonomi. Kemampuan stimulus ini ditunjukkan dari
tingkat belanja netto yang jauh lebih besar dibandingkan dengan pajak netto yang
ditarik dari masyarakat. Belanja netto yakni total belanja dikurangi pembayaran bunga
utang dan subsidi dalam APBN 2016 mencapai positif Rp 112 triliun. Sementara
pajak netto dalam APBN 2016 hanya sebesar Rp 87 triliun.
Kemampuan ekspansi dari APBN meningkat setelah subsidi BBM dipangkas
pada November 2014 yang akan diikuti dengan rencana pencabutan subsidi listrik
untuk kelas 450 VA dan 900 VA yang dianggap mampu. Dengan demikian, ruang
manuver bagi APBN untuk menggerakkan ekonomi menjadi lebih longgar. Namun,
tanpa ada upaya memperbaiki daya saing dan daya beli masyarakat yang turun akibat
kenaikan harga BBM pada tahun lalu yang hingga saat ini belum pulih, jumlah
penduduk miskin yang telah meningkat menjadi 28,6 juta orang (11,2 persen) dan
pengangguran yang juga meningkat menjadi 7,56 juta orang (6,2 persen) akan
kembali membebani APBN dalam bentuk meningkatnya alokasi anggaran yang
bersifat sosial.
Keempat, alokasi APBN 2016 juga memiliki potensi dampak yang relatif
lebih besar bagi perekonomian karena difokuskan untuk membiayai program-program
prioritas serta dimaksimalkan perannya sebagai counter cyclical perekonomian yang
masih tumbuh di bawah potensinya.
Belanja pemerintah akan difokuskan untuk mendorong pencapaian sasaran
program prioritas pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah. Anggaran tersebut
akan menjadi lebih efektif bila program prioritas didukung kebijakan yang
terintegrasi. Sebagai contoh, Program Dana Desa akan menjadi lebih efektif apabila
program tersebut dikaitkan dengan program-program di sektor prioritas pemerintah
seperti pertanian, infrastruktur, dan maritim, sehingga akan terbangun desa-desa
penghasil bahan pangan, perikanan, energi, dll.
Selain itu, ekonomi yang diperkirakan tumbuh moderat di tahun depan,
membuat peran APBN sebagai counter cyclical, masih dibutuhkan. Dengan demikian,
pemerintah diperkirakan tidak akan melakukan pemangkasan belanja jika target
penerimaan pajak mengalami perlambatan. Akan tetapi, pemerintah akan
memaksimalkan defisit anggaran untuk mengoptimalkan peran APBN dalam
menstimulasi ekonomi.
Kelima, percepatan penyerapan anggaran diproyeksikan juga diperkirakan
akan lebih baik dibandingkan tahun 2015. Dengan selesainya masalah nomenklatur
kementerian dan proses lelang untuk mengisi posisi pejabat pemerintah, maka salah
satu masalah yang menjadi hambatan penyerapan anggaran akan hilang. Begitu juga,
terdapat beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan untuk mendorong percepatan
penyerapan anggaran, antara lain: Kepres No. 20/2015 tentang Tim Evaluasi dan
Pengawasan Realisasi APBN dan APBD; Inpres No.1/2015 tentang Percepatan
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; dan Surat Keputusan Bersama
(SKB) Kemendagri, Kemendesa dan Kemenkeu terkait percepatan penyaluran,
pengelolaan dan penggunaan Dana Desa.
Keenam, kualitas penyerapan anggaran daerah menjadi sangat urgen dalam
mempengaruhi daya dorong belanja pemerintah terhadap ekonomi. Jika tidak
dikontrol dengan ketat, maka anggaran tersebut tidak akan terserap dengan optimal.
Total Dana Transfer Daerah meningkat dari tahun ke tahun. Dalam APBN 2016, total
Dana Transfer Daerah dan Dana Desa mencapai mencapai Rp770,2 triliun atau 37
persen dari total belanja APBN. Namun, pada saat yang sama, jumlah Sisa Lebih
Penggunaan Anggaran (SILPA) Pemerintah Daerah juga terus meningkat dan
mencapai Rp122,7triliun pada tahun 2014 (grafik 2). Selain menunjukkan rendahnya
kualitas perencanaan pemerintah daerah, besarnya sisa dana tersebut menjadi
opportunity lost bagi pembangunan daerah dan nasional. Apalagi, penyumbang
SILPA terbesar seperti DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Riau dan Banten masih
memiliki persoalan pembangunan yang sangat kompleks.

*KEBIJAKAN FISKAL PADA TAHUN 2017

Kebijakan fiskal 2017 diarahkan untuk mendukung upaya mempercepat


pemulihan ekonomi guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan
berkeadilan. Dalam kaitan ini, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
2017 ditempuh dengan menyeimbangkan kebutuhan stimulus jangka pendek dan
jangka panjang serta tetap menjaga ketahanan fiskal. Dari sisi pendapatan, Pemerintah
terus mengoptimalkan potensi penerimaan pajak melalui perluasan basis data wajib
pajak dan peningkatan kepatuhan pajak sehingga realisasi pajak 2017 lebih baik
dibandingkan dengan kinerja tahun 2016.

Peningkatan penerimaan 2017 juga ditopang oleh dampak positif kenaikan


harga komoditas, termasuk harga minyak dan gas (migas). Namun demikian,
tantangan penerimaan, khususnya penerimaan pajak masih mengemuka tercermin
pada rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) yang berada dalam tren menurun. Dari sisi
belanja, Pemerintah berupaya meningkatkan kualitas belanja yang disertai dengan
strategi menyeimbangkan stimulus jangka pendek dan jangka panjang. Strategi
ditempuh dengan melakukan efisiensi belanja barang nonprioritas dan pengurangan
belanja subsidi energi, namun dibarengi dengan peningkatan belanja bantuan sosial
(bansos) dan infrastruktur.

Secara keseluruhan, strategi yang ditempuh dapat menjaga defisit fiskal 2017
pada level yang sehat yakni 2,5% dari PDB serta rasio utang pemerintah yang masih
berada pada level aman yakni 29,2%. Arah kebijakan fiskal daerah 2017 sejalan
dengan kebijakan fiskal pemerintah pusat yakni untuk mempercepat pemulihan
ekonomi. Strategi kebijakan ditempuh dengan meningkatkan kemandirian sumber
pendanaan daerah yang dibarengi dengan mengarahkan penyaluran belanja pada
sektor yang produktif guna memperkuat pran daerah pada pembangunan infrastruktur.
Peran daerah untuk meningkatkan stimulus juga ditopang oleh Pemerintah Pusat
dengan menaikkan alokasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD). Penggunaan
dana transfer tersebut telah diatur agar pemanfaatan untuk pembangunan daerah
berjalan optimal, termasuk melalui pembangunan infrastruktur.

*KEBIJAKAN FISKAL PADA TAHUN 2018

Kebijakan fiskal 2018 difokuskan pada upaya memperkuat prospek


kesinambungan fiskal, dengan tetap mengoptimalkan ruang untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ditempuh mempertimbangkan pentingnya
ketahanan fiskal dalam menopang stabilitas perekonomian di tengah kondisi
ketidakpastian global yang meningkat. Namun, Pemerintah tetap menjadikan
anggaran pendapatan belanja negara/daerah (APBN/APBD) sebagai piranti
kontrasiklikal kebijakan makroekonomi untuk menjaga momentum pemulihan
ekonomi.
Bersamaan dengan arah kebijakan ini, penguatan kebijakan struktural terus
ditempuh guna meningkatkan kapasitas perekonomian, yang pada akhirnya bertujuan
menopang stabilitas dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah.Arah
kebijakan ditempuh melalui strategi di tiap komponen APBN 2018. Dari sisi
pendapatan negara, strategi difokuskan untuk meningkatkan penerimaan negara dari
pajak dengan memanfaatkan basis data dan kepatuhan pajak yang makin meningkat.
Dari sisi belanja negara, strategi diarahkan pada penajaman kualitas belanja dalam
mendukung pertumbuhan ekonomi melalui program perlindungan sosial, subsidi yang
tepat sasaran, dan penguatan desentralisasi fiskal untuk mengakselerasi pengrangan
kemiskinan dan kesenjangan sosial. Sementara dari sisi pembiayaan, strategi
pembiayaan ditempuh berhati-hati, efisien, seimbang dan produktif sehingga turut
mendukung kesinambungan fiskal. Strategi kebijakan didukung oleh stimulus dari
kebijakan fiskal daerah dan pembangunan proyek infrastruktur melalui berbagai skim
pembiayaan.

Reformasi struktural juga terus dilanjutkan melalui berbagai kebijakan


struktural untuk memperkuat iklim usaha. Strategi yang ditempuh dapat memperkuat
prospek berkesinambungan fiskal, dengan tetap mendukung pertumbuhan ekonomi.
Prospek kesinambungan fiskal membaik tergambar pada defisit keseimbangan primer
2018 yang menurun mencapai 1,86 miliar Rupiah atau 0,01% dari produk domestik
bruto (PDB). Sejalan dengan itu, realisasi defisit APBN 2018 juga menurun menjadi
1,76% dari PDB. Rasio utang pemerintah terhadap PDB tetap pada level sehat di
kisaran 30% pada 2018. Sementara itu, belanja untuk program perlindungan sosial
dan stimulus fiskal daerah yang meningkat, serta pengeluaran untuk infrastruktur turut
berkontribusi mendorong pertumbuhan ekonomi 2018.

Pemerintah menempuh berbagai strategi untuk mengoptimalkan pendapatan


negara baik melalui penerimaan pajak maupun penerimaan bukan pajak. Dari pajak,
strategi ditempuh dengan melanjutkan kebijakan reformasi perpajakan, termasuk di
dalamnya penguatan kapasitas organisasi pajak, memanfaatkan momentum
pelaksanaan automatic exchange of information (AEoI), dan memperbaiki
administrasi perpajakan nasional. Sementara dari penerimaan bukan pajak (PNBP),
Pemerintah terus memperkuat tata kelola PNBP dan memperkuat kinerja BUMN.
Perbaikan tata kelola PNBP antara lain dilakukan dengan penyempurnaan peraturan
mengenai PNBP termasuk tarif PNBP, efisiensi cost recovery, dan penerapan sistem
gross split.

Pemerintah menempuh enam kebijakan utama di bidang perpajakan pada


2018. Pertama, penyederhanaan atau percepatan pemberian restitusi pajak.

Pertama, kebijakan tersebut bertujuan untuk mendorong investasi dan


membantu pembiayaan usaha melalui percepatan pengembalian pajak pertambahan
nilai (PPN) termasuk usaha kecil dan menengah (UKM), mendorong pertumbuhan
kegiatan usaha, keberlangsungan usaha, serta kemudahan dalam berusaha bagi wajib
pajak (WP) atau pengusaha kena pajak (PKP), dan memperbaiki peringkat ease of
doing business (EoDB) Indonesia.

Kedua, pemeriksaan bersama oleh tiga instansi terkait penilaian efisiensi dan
akurasi nilai kewajiban bagi hasil dan pajak penghasilan kontraktor kontrak kerja
sama (PPh KKKS) migas.

Ketiga instansi tersebut ialah Direktorat Jenderal Pajak bersama dengan


Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Satuan Kerja Khusus
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang mulai
melakukan pemeriksaan bersama tahun 2018. Kebijakan perpajakan ketiga ialah
penyederhanaan kebijakan pembebasan PPN dan/atau pajak penjualanatas barang
mewah (PPnBM) atas impor atau penyerahan barang kena pajak (BKP) atau jasa kena
pajak (JKP) bagi perwakilan negara asing dan badan internasional.

Keempat, penyesuaian tarif PPh Pasal 22 impor terhadap 1.147 jenis barang
impor yang efektif berlaku pada bulan September 2018.2 Kelima, kebijakan insentif
pajak berbentuk tax holiday untuk 18 jenis industri pionir selama 5 hingga 20 tahun
sesuai dengan nilai investasi (Lihat Boks 5.2 Insentif Fiskal untuk Mendorong
Pertumbuhan Ekonomi).

Keenam, pemberian insentif perpajakan bagi devisa hasil ekspor (DHE)


industri berbasis SDA melalui paket kebijakan ekonomi (PKE) ke-16.3 Strategi
kebijakan di bidang perpajakan didukung upaya internasional perpajakan dengan
memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan pajak. Data menunjukkan
jumlah wajib pajak (WP) yang terdaftar meningkat dari tahun sebelumnya, sehingga
memperluas basis pajak. Perkembangan ini tidak terlepas dari dampak positif program
pengampunan pajak yang mendorong meningkatnya jumlah wajib pajak yang
terdaftar dan yang wajib melaporkan surat pemberitahuan tahunan (SPT).

Seiring dengan basis pajak yang meningkat, tingkat kepatuhan juga membaik
tercermin dari penyampaian laporan SPT Pajak yang meningkat dari 70% pada 2017
menjadi 73% pada 2018. Pemerintah juga melakukan reformasi di bidang PNBP
dengan melakukan penyempurnaan undang-undang PNBP. Penyempurnaan
pengaturan PNBP bertujuan untuk menghimpun dan mengoptimalkan PNBP,
mendukung tata kelola yang baik, serta menyederhanakan atau mengurangi jenis dan
tarif PNBP khususnya terkait layanan dasar tanpa mengurangi tanggung jawab untuk
tetap menyediakan layanan dasar.

Beberapa pokok kebijakan terkait undang-undang tersebut antara lain berupa:


(i) pengelompokkan objek PNBP ke dalam enam kelompok atau klaster; (ii)
pengaturan tarif dan dampak terhadap masyarakat; (iii) penyempurnaan tata kelola
melalui self assessment verification; (iv) penguatan pengawasan melibatkan aparat
pengawas intern pemerintah; (v) pemeriksaan yang dilakukan lebih luas kepada
instansi pengelola PNBP, mitra instansi pengelola PNBP, dan wajibbayar PNBP; dan
(vi) hak wajib bayar untuk diberikan keringanan berdasarkan kondisi tertentu.
Berbagai kebijakan tersebut berhasil mendorong kinerja pendapatan negara lebih
tinggi dari target APBN 2018. Pendapatan negara tercatat lebih tinggi dari target
APBN 2018 (102,5%), dengan pertumbuhan sebesar 16,6% yang juga lebih tinggi
dari target APBN. Perkembangan ini dipengaruhi penerimaan pajak dan PNBP yang
tumbuh lebih baik dari tahun sebelumnya.

Pajak 2018 meningkat tinggi dan bertumbuh 13,2%, di atas rerata


pertumbuhan tujuh tahun terakhir. Capaian positif kinerja pajak tersebut mendorong
kenaikan rasio penerimaan pajak terhadap PDB dari 9,9% menjadi 10,3% pada 2018
Kenaikan penerimaan pajak dipengaruhi peningkatan PPh minyak dan gas (migas),
PPh Nonmigas, pajak bumi dan bangunan (PBB), dan pajak perdagangan
internasional. Penerimaan PPh Nonmigas yang tinggi pada 2018 antara lain ditunjang
oleh basis data dan kepatuhan pajak yang meningkat.

Penerimaan PBB juga naik terutama bersumber dari sektor pertambangan dan
penggalian seiring dengan rerata harga batubara yang lebih tinggi dari tahun 2017.
Pertumbuhan pajak perdagangan internasional didorong oleh perbaikan penerimaan
bea masuk dan bea keluar. Lebih detil, penerimaan pajak dari aktivitas impor juga
meningkat dipengaruhi oleh kenaikan impor dan kebijakan pemerintah terkait tarif
pajak impor. Kenaikan penerimaan pajak terkait impor terutama bersumber dari
penerimaan PPh Pasal 22 dan PPnBM impor. Kinerja penerimaan PPh Pasal 22 Impor
yang meningkat ditunjang oleh kepatuhan pembayaran pajak yang membaik dan juga
dampak dari kenaikan tarif PPh Pasal 22 Impor yang berlaku efektif pada triwulan IV
2018.

Demikian pula halnya dengan pertumbuhan PPnBM Impor yang positif, juga
sejalan dengan kenaikan tarif pajak PPnBM Impor. Meskipun demikian, penerimaan
dari PPN Impor menurun karena pengaruh dari perlambatan impor barang konsumsi
yang terdampak pelemahan nilai tukar. Berbeda dengan pertumbuhan penerimaan PPh
Nonmigas yang meningkat, pertumbuhan PPN pada 2018 tidak sebaik tahun 2017.
Perkembangan ini antara lain dipengaruhi oleh kinerja PPN Impor yang lebih rendah
dibandingkan dengan capaian tahun sebelumnya. Sementara itu, komponen PPN
lainnya tumbuh lebih baik.

Secara sektoral, penerimaan PPN dalam negeri terutama bersumber dari


penguatan sektor pertambangan yang didorong oleh kenaikan rerata harga batu bara,
serta dari sektor konstruksi sejalan dengan penyelesaian proyek infrastruktur. Adapun
penerimaan dari cukai tumbuh sebesar 4,1%, lebih tinggi dari target APBN 2018.
Sejalan dengan penerimaan pajak, realisasi PNBP juga meningkat terutama ditunjang
PNBP sumber daya alam (SDA) nonmigas . Peningkatan efisiensi dan layanan dari
Badan Layanan Umum (BLU) milik negara turut menyumbang kenaikan PNBP pada
2018. PNBP pada 2018 tercatat 407,1 triliun Rupiah, meningkat sebesar 30,8% dari
tahun sebelumnya dan juga jauh lebih tinggi dari pertumbuhan 2017 yang sebesar
18,8%. Kinerja PNBP juga didorong PNBP lainnya yang membaik akibat kenaikan
penerimaan dari aktivitas pemasangan base transceiver station (BTS) sejalan dengan
pengembangan jaringan komunikasi berbasis long term evolution (LTE).

*KEBIJAKAN FISKAL PADA TAHUN 2019

Kementerian Keuangan menyatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja


Negara (APBN) 2019 mengalami defisit Rp353 triliun. Meski defisit melebar Menteri
Keuangan Sri Mulyani tetap mengklaim bahwa kinerja APBN masih tetap sehat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) 2019 tembus hingga Rp353 triliun. Hal ini setara dengan
2,2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Realisasi defisit tersebut
meningkat dari posisi 2018 yang hanya sebesar Rp269,4 triliun atau 1,82 persen dari
PDB. Realisasi defisit juga lebih besar dari target awal, yaitu Rp 296 triliun atau 1,84
persen dari PDB. Dengan defisit ini, pembiayaan anggaran kita tahun 2019 terealisir
Rp 399,5 triliun atau ada kenaikan 30 persen dari tahun lalu yang mencapai Rp 305,7
triliun.

Defisit ini terjadi karena realisasi penerimaan negara masih jauh lebih rendah
dibandingkan belanja negara. Rendahnya penerimaan negara adalah imbas dari
perlambatan perekonomian global terhadap perekonomian di Tanah Air. Di sisi lain,
pemerintah juga harus tetap merealisasikan anggarannya dalam belanja negara untuk
tetap mendorong pembangunan. Adapun penerimaan negara baru mencapai Rp 1.957
triliun atau hanya 90,4 persen dari target di APBN 2019 yang sebesar Rp 2.165,1
triliun. Sementara itu, untuk belanja negara tercatat sebesar Rp 2.310,2 triliun atau
93,9 persen dari target APBN 2019 yang sebesar Rp 2.461,1 triliun. Dengan realisasi
itu, belanja negara meningkat 4,4 persen.

Dari sisi penerimaan, imbuhnya, penerimaan negara hanya naik 0,7 persen dan
penerimaan perpajakan tumbuh 1,7 persen. Artinya, pemerintah tahun lalu
mengumpulkan Rp 1.952,2 triliun atau 90,4 persen dibanding target awal. Pendapatan
negara mengalami tekanan karena mengalami rembesan pelemahan global terlihat
dari pendapatan perpajakan.

Meski defisit APBN 2019 membengkak, Sri Mulyani menyebut bahwa defisit
APBN 2019 Indonesia masih tetap terarah, terkendali. Juga secara keseluruhan kinerja
APBN masih bisa menjaga perekonomian cukup baik di bawah tekanan yang tidak
mudah di 2019. Ia juga mengklaim posisi ini masih lebih baik dibandingkan dengan
negara berkembang lainnya. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa
dipertahankan di level 5 persen.

*KEBIJAKAN FISKAL PADA TAHUN 2020


Kebijakan fiskal tahun 2020 dilakukan secara luar biasa (extraordinary) dalam
rangka membantu masyarakat dan dunia usaha untuk pulih dan bangkit kembali di
masa pandemi COVID-19. Presiden mengeluarkan PERPPU No. 1/2020 yang
kemudian menjadi UU Nomor 2/202 dijadikan dasar untuk merumuskan dan
mengalokasikan anggaran secara extraordinary di dalam rangka pemulihan ekonomi
nasional dan penangan COVID-19.

Tahun 2020 merupakan tahun yang luar biasa yang menyebabkan APBN
berubah secara luar biasa juga. Menkeu menjelaskan bahwa melalui perubahan APBN
2020 pada Perpres 54/2020 dan Perpres 72/2020, pemerintah melebarkan defisit ke
6,34% dari PDB sebagai langkah extraordinary menghadapi pandemi Covid-19.
Melebarnya defisit APBN membuat pemerintah memerlukan sumber pembiayaan
tambahan antara lain melalui skema burden sharing bersama Bank Indonesia.

Realisasi pendapatan negara tahun 2020 mencapai Rp1.633,6 Triliun atau


lebih rendah Rp327 Triliun dibandingkan tahun 2019. Realisasi penerimaan
perpajakan lebih rendah sebagai dampak perlambatan ekonomi dan pemanfaatan
stimulus perpajakan oleh dunia usaha.

Di sisi lain, belanja negara terealisasi sebesar Rp2.589 Triliun atau naik 12,2%
dari realisasi 2019 yang didukung oleh kebijakan refocusing/realokasi belanja K/L
dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) yang diarahkan untuk mendukung
penanganan Covid-19 dan dampaknya terhadap masyarakat dan dunia usaha. Oleh
karena itu defisit APBN 2020 mencapai Rp956,3 Triliun.

APBN 2020 ditunjukan dalam berbagai macam output dan output yang sangat
penting di masa pandemi COVID-19 yang pertama tentu output di bidang kesehatan,
antara lain berupa insentif tenaga kesehatan, bantuan iuran JKN, alat kesehatan,
penambahan gedung/ruang baru puskesmas, pembayaran pengobatan pasien dan obat-
obatan atau barang habis pakai. Output selanjutnya yaitu di sektor bantuan sosial,
bantuan pemerintah, subsidi dan dukungan UMKM, antara lain seperti kartu sembako,
diskon listrik, bantuan upah karyawan, BLT Dana Desa dan Subsidi Bunga UMKM.
Sektor lainnya yang menjadi output APBN 2020 yaitu sektor pendidikan dan
infrastruktur.

*KEBIJAKAN FISKAL PADA TAHUN 2021


Kebijakan Fiskal APBN 2021 utamanya diarahkan untuk menjaga dan mempercepat
pemulihan ekonomi nasional, reformasi APBN, penguatan reformasi struktural,
akselerasi prioritas pembangunan nasional.

Berkaca pada tahun lalu, realisasi program Pemulihan Ekonomi Nasional


(PEN) pada 2020 telah terserap sebesar Rp 579,8 triliun atau 83,4 persen dari total
alokasi anggaran sebesar Rp 695,2 triliun. Kinerja APBN sebagai alat countercyclical
untuk merespon dampak pandemi sampai dengan akhir tahun 2020 cukup terkendali
dengan tetap menjaga defisit di bawah target pemerintah melalui Peraturan Presiden
72/2020. Yaitu, sebesar Rp 956,3 triliun atau 6,09 persen dari Pendapatan Domestik
Bruto (PDB).

Pemenuhan kebutuhan defisit anggaran dan untuk mendukung pelaksanaan


program PEN, pemerintah mengelola pembiayaan anggaran secara prudent dan
terukur, serta memperkuat sinergi dengan Bank Indonesia. Memasuki kuartal IV
2020, perbaikan aktivitas ekonomi terus berlanjut setelah proses pembalikan arah
(turning point) yang terjadi di triwulan III 2020. Permintaan domestik melanjutkan
pemulihan terbatas, sementara ekspor membaik signifikan. Selain itu, kondisi makro
ekonomi juga menunjukkan perbaikan dan relatif stabil yang tercermin pada
membaiknya inflasi dan terjaganya stabilitas nilai tukar rupiah.

Inflasi mulai mengalami peningkatan sejak Oktober 2020 menunjukkan


indikasi pulihnya permintaan. Realisasi pendapatan negara mencapai Rp 1.633,6
triliun, atau mencapai 96,1 persen dari target Perpres 72/2020. Jika dibandingkan
dengan capaian tahun 2019, realisasi pendapatan negara tahun 2020 tersebut tumbuh
negatif sebesar -16,7 persen. Selanjutnya, realisasi belanja negara mencapai Rp
2.589,9 triliun (94,6 persen dari pagu Perpres 72/2020), atau tumbuh 12,2 perpres dari
realisasinya pada 2019.

Hal ini sejalan dengan strategi ekspansif yang diambil pemerintah untuk
menahan laju perlambatan ekonomi akibat pandemi. Keberhasilan pengembangan
vaksin Covid-19, diharapkan dapat memberikan optimisme dan meningkatkan
sentimen positif terhadap prospek perekonomian dan pasar keuangan global. Selain
itu, terkait kebijakan pemerintah menetapkan tarif cukai hasil tembakau tahun 2021,
Kebijakan ini diambil pemerintah melalui pertimbangan terhadap lima aspek. Yakni,
kesehatan terkait prevalensi perokok, tenaga kerja di industri hasil tembakau, petani
tembakau, peredaran rokok ilegal, dan penerimaan.

Anda mungkin juga menyukai