Anda di halaman 1dari 15

BERITA tentang utang pemerintah kembali menghangat di media sosial.

Polemik tentang utang


dimulai dari adanya pernyataan Ketua MPR Zulkifli Hasan dalam sidang tahunan MPR pada 16
Agustus 2018. Ketika itu, Zulkifli Hasan menyatakan bahwa utang pemerintah sudah di luar batas
kewajaran dan batas negara untuk membayar.

Untuk melihat dan memahami utang pemerintah secara proporsional, tentu saja harus dibandingkan
dalam rasio yang lazim digunakan dalam pengukuran ekonomi suatu negara.

Yang pertama adalah tentang besaran utang itu sendiri. Ibarat suatu perusahaan, besaran utang
yang digunakan oleh perusahaan tersebut harus dibandingkan dengan penghasilan atau pendapatan
yang diterimanya. Utang perusahaan tersebut akan dianggap wajar apabila penghasilan perusahaan
yang digunakan untuk membayar utang tersebut cukup memadai. Untuk negara, utang suatu negara
dapat dibandingkan dengan penghasilan negara tersebut yang tecermin dalam Produk Domestik
Bruto (PDB). PDB ini dapat dianggap sebagai penghasilan yang diperoleh dalam suatu perusahaan.
Saat ini jumlah utang pemerintah per akhir Juni 2018 adalah Rp 4.253 triliun atau 29,7 persen dari
PDB. Nilai ini juga masih di bawah dari nilai yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara, yaitu
sebesar 60 persen dari PDB. Jumlah utang tersebut juga tidak jatuh tempo sekaligus dalam satu
tahun.

Hal kedua adalah alasan kenapa pemerintah berutang. Utang timbul karena konsekuensi dari jumlah
belanja negara yang lebih besar dari pendapatan negara.

Pemerintah menganggap bahwa Indonesia membutuhkan suatu lompatan agar meningkatkan


kapasitasnya sehingga menggunakan uang belanjanya secara besar untuk infrastruktur, pendidikan,
kesehatan dan jaminan sosial. Bila dianalogikan dalam perusahaan, kapasitas perusahaan tersebut
dapat meningkat apabila terdapat belanja yang digunakan untuk meningkatkan produksinya.

Belanja yang produktif dalam suatu perusahaan dapat berupa pembelian tanah untuk memperluas
pabrik, pembelian mesin, pendidikan dan pelatihan bagi pegawai. Dengan pembelian yang produktif
tersebut, pendapatan perusahaan dapat meningkat lebih besar. Tambahan penghasilan akan dapat
meringankan pembayaran cicilan utang di masa datang.

Begitu juga dengan belanja negara, bila anggaran belanja digunakan untuk hal yang produktif, akan
berdampak pada meningkatnya produktivitas sumber daya manusia negara secara keseluruhan.
Pada tahun 2015-2017, pemerintah telah membelanjakan anggarannya untuk hal yang produktif. -
Infrastruktur: 6 bandara baru; 9.544 km jalan rekonstruksi, pelebaran dan pembangunan baru; 105
bendungan baru; 818 km rel kereta api, 341.500 unit rusun, rumah khusus, dan rumah swadaya
(termasuk peningkatan kualitas) - Kesehatan: 92,1 juta penerima bantuan iuran Kartu Indonesia
Sehat dan 83 persen persen ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas, meningkat dari 77 persen di
tahun 2015 - Pendidikan: 61 juta siswa penerima Kartu Indonesia Pintar; 962.500 penerima beasiswa
Bidikmisi; 90.900 ruang kelas dibangun dan direhabilitasi; serta 152,4 juta siswa penerima Bantuan
Operasional Sekolah (BOS). Dana yang dikeluarkan untuk BOS meningkat dari Rp 3,96 triliun pada
2012 menjadi Rp 8 triliun pada 2017.

Yang ketiga terkait anggapan bahwa jumlah utang yang besar seolah-olah dapat mengancam
kebangkrutan keuangan pemerintah. Kembali dengan analogi dalam perusahaan, kemampuan
ekonomi perusahaan akan dinilai oleh lembaga keuangan/bank tempat pengajuan utang. Sebelum
memberikan persetujuan, akan ada penilaian terhadap kemampuan perusahaan dalam membayar
kembali utang tersebut. Selain aset yang dijaminkan, juga dilihat berapa besar penghasilan yang
diperolehnya. Saat ini ada lembaga resmi yang berkompeten menilai risiko utang suatu negara.
Dengan penilaian yang menggunakan standar tertentu, lembaga pemeringkat akan memberikan
penilaian risiko bagi suatu negara. Selain itu, lembaga pemeringkat tersebut juga memberikan
penilaian seberapa layak utang yang dikeluarkan suatu negara dapat dijadikan investasi. Dengan
pengelolaan fiskal yang dianggap kredibel dan berhati-hati, pemerintah mendapatkan kepercayaan
besar terhadap pengelolaan fiskalnya. Hal ini tecermin dari peringkat "Investment Grade" yang
diberikan oleh lima lembaga pemeringkat dunia (S&P, Moodys, Fitch, JCR, dan R&I). Peringkat
Investment Grade artinya Indonesia masuk dalam kategori risiko rendah untuk gagal bayar dan
berarti juga bahwa utang tersebut tidak berisiko membahayakan negara serta menjadikan Indonesia
sebagai negara layak investasi.

Yang keempat, pemerintah selalu berhati-hati dan menjaga kredibilitasnya dalam mengelola APBN.
Selisih antara anggaran belanja dan pendapatan yang diterima atau defisit APBN selalu dijaga di
bawah 3 persen dari PDB. Hal ini juga telah sesuai dengan amanat UU Keuangan Negara. Defisit
APBN secara bertahap mulai menurun dari 2,59 persen per PDB tahun 2015 menjadi 2,49 persen
pada 2016, dan 2,51 persen tahun lalu. Pada tahun 2018 diperkirakan akan defisit 2,12 persen, serta
tahun 2019 rencananya akan diturunkan lagi menjadi 1,84 persen.

Yang kelima, kehati-hatian pemerintah dapat diukur juga dalam indikator keseimbangan primer.
Artinya, penerimaan negara dikurangi belanja, di luar pembayaran bunga utang. Jika nilainya minus
atau defisit, pemerintah masih membayar bunga utang dari utang yang dilakukan pada tahun
tersebut. Selama tiga tahun terakhir, defisit keseimbangan primer semakin menurun dan
kecenderungannya menuju ke arah surplus. Pada 2015, defisit sebesar Rp 142,5 triliun dan pada
2017 menjadi sebesar defisit Rp 129,3 triliun. Pada 2018, angkanya ditargetkan menjadi defisit Rp
64,8 triliun (outlook APBN 2018). Ke depan, pemerintah berharap keseimbangan primer ini akan
menjadi surplus. Kelima indikator utama tersebut menjadikan pemerintah tetap kredibel dan
akuntabel dalam melaksanakan kebijakan fiskal. Transparansi kebijakan fiskal selalu dilakukan
dengan optimal, sehingga masyarakat tahu mengenai kondisi keuangan negara. Setiap bulan
Kementerian Keuangan menyelenggarakan konferensi pers yang melaporkan tentang kinerja dan
fakta mengenai APBN. Pemerintah juga memberikan laporan kinerja APBN per semester kepada DPR
sebagai bentuk akuntabilitasnya. Semua dilakukan agar masyarakat lebih mengenali dan memahami
mengenai anggaran belanja dan pendapatan negara.

Tentu saja setelah memahami, seluruh masyarakat juga dapat mengawasinya dan memberikan
umpan balik yang positif bagi pemerintah. Bersama-sama kita bisa membangun Indonesia menjadi
lebih baik.

Jakarta, CNBC Indonesia - Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia terus meningkat. Sampai pada akhir
Agustus 2020, Bank Indonesia (BI) mencatat ULN Indonesia sebesar US$ 413,4 miliar atau sekira Rp
6.101,8 triliun dengan kurs saat ini. Naik 5,7% dibandingkan posisi periode yang sama tahun
sebelumnya (year on year/yoy).
Dengan jumlah tersebut, berarti posisi ULN pada Agustus 2020 tercatat tumbuh 5,7% yoy, lebih
tinggi dibandingkan pertumbuhan Juli 2020 yang sebesar 4,2% yoy.

Rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir Agustus 2020 sebesar 38,5%
atau masih relatif stabil bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar 38,2%.

Kemudian, banyak masyarakat bertanya-tanya, apakah Indonesia memiliki porsi ULN yang lebih
tinggi dibandingkan utang yang berasal dari dalam negeri? Pertanyaan tersebut dijawab langsung
oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi sambutan kepada pers.Foto: Menteri Keuangan Sri Mulyani

Sri Mulyani mengklaim, tidak benar apabila utang pemerintah mayoritas berasal dari luar negeri.
Namun, bagaimana faktanya?

"Bahwa mayoritas utang kita berasal dari luar negeri, itu tidak benar. Mayoritas utang kita sekarang
ada di dalam negeri, bahwa asing memegang porsi 30% itu betul. Bahkan sekarang turun," jelas Sri
Mulyani saat menjadi juri pada Kompetisi Debat APBN yang disiarkan virtual pada Senin
(26/10/2020).

Adapun posisi utang pemerintah per akhir September 2020, berdasarkan dari data Kementerian
Keuangan sebesar Rp 5.756,87 triliun.

Utang pemerintah pada September 2020 tersebut, meningkat 22,5% jika dibandingkan periode yang
sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp 4.700,28 triliun. Sedangkan dibandingkan dengan
posisi utang Agustus 2020, terjadi kenaikan 2,9%, yang sebesar Rp 5.594,93 triliun.

Dalam buku APBN KiTa edisi Oktober 2020, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, utang
pemerintah ini masih didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 85% dan pinjaman 15%.

Secara rinci, utang dari SBN tercatat sebesar Rp 4.892,57 triliun yang terdiri dari SBN Domestik Rp
3.629,04 triliun dan SBN Valas Rp 1.263,54 triliun.
Sedangkan utang melalui pinjaman tercatat Rp 864,29 triliun yang terdiri dari pinjaman dalam negeri
Rp 11,32 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 852,97 triliun.

Untuk pinjaman luar negeri terdiri dari pinjaman bilateral Rp 318,18 triliun, multilateral Rp 489,97
triliun dan commercial bank Rp 44,82 triliun.

Peningkatan utang ini berdampak juga pada kenaikan rasio utang menjadi 36,41% terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB). Rasio ini naik dibandingkan September 2019 yang tercatat 29,72% dan dari
Agustus 2020 yang tercatat 34,53%.

Kendati demikian, Kementerian Keuangan memastikan rasio ini masih tetap aman karena masih di
bawah batas maksimal di Undang-Undang Keuangan negara. Mengacu UU 17/2013 tentang
Keuangan Negara, memperbolehkan rasio utang hingga menyentuh 60% dari PDB.

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Keuangan ( Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, menjawab kritik
berbagai pihak terkait polemik lonjakan utang pemerintah Indonesia dalam beberapa waktu
terakhir. Menurut mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, utang pemerintah, termasuk utang
luar negeri Indonesia, sudah direncanakan jauh hari untuk menyeimbangkan postur APBN.

Perencanaan utang pemerintah sudah tertuang dalam Perpres 72/2020 tentang Penyesuaian
Kembali Postur dan Rincian APBN 2020. Sri Mulyani mengkritik balik pihak-pihak yang
mempermasalahkan kebijakan utang di era Presiden Jokowi tersebut. "Ada orang hari-hari ini suka
bicara masalah utang, sampaikan saja bahwa di Perpres 72 waktu anggaran APBN 2020 dengan
estimasi defisit sekian, itu pembiayaannya adalah dari SBN, pinjaman, ada yang bilateral maupun
multilateral," kata Sri Mulyani dalam paparan APBN KiTa secara virtual, Senin (23/11/2020). Baca
juga: Menurut Sri Mulyani, Ini Alasan Presiden Minta Libur Akhir Tahun Dikurangi "Jadi waktu kita
sedang menjalankan Perpres jangan kemudian muncul reaksi-reaksi. Seolah-olah kita seperti orang
yang belum punya rencana. Itu kan semuanya isu dari Perpres 72 sudah diomongkan, sudah
disampaikan ke publik," kata dia lagi.

Sri Mulyani yang juga mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini menegaskan, tingkat
utang dari negara-negara di dunia mengalami kenaikan akibat pandemi Covid-19. Hal yang sama juga
terjadi di Indonesia, yang menurut dia tingkat utang Indonesia naik di kisaran 36 persen hingga 37
persen dari PDB, yang sebelumnya sebesar 30 persen dari PDB. Jumlah tersebut masih lebih rendah
jika dibandingkan dengan negara lain. "Namun bukan berarti kita tidak waspada, akan tetapi kita
akan tetap menjaga semua kondisi, hal ini agar perekonomian tetap membaik dan kondisi fiskal
tetap sustain," ujar Sri Mulyani. Baca juga: Dalam 2 Minggu, Jokowi Tambah Utang Bilateral RI Rp
24,5 Triliun Total utang Pemerintah RI Total utang Indonesia sendiri tercatat hingga akhir September
2020 mencapai Rp 5.756,87 triliun. Dengan demikian rasio utang pemerintah sebesar 36,41 persen
terhadap PDB. Total utang pemerintah terdiri dari pinjaman sebesar Rp 864,29 triliun dan surat
berharga negara (SBN) sebesar Rp 4.892,57 triliun. Bendahara Negara itu menjelaskan, negara-
negara anggota G20 mengalami kenaikan tingkat utang yang luar biasa. Untuk negara-negara yang
masuk dalam kategori negara maju, tingkat utangnya mencapai 130 persen dari kondisi normal yang
biasanya 100 persen. Sementara untuk negara berkembang yang biasanya rasio utang di kisaran 50
persen, meningkat menjadi di kisaran 60 persen hingga 70 persen. "Dengan adanya dukungan
countercyclical luar biasa di selruh negara dunia, tidak hanya negara G20, utang pemerintah di
semua negara naik," jelas dia. Baca juga: Jokowi Tarik Utang Baru Rp 9,1 Triliun dari Jerman Sri
Mulyani pun menjelaskan, rasio utang yang cukup rendah jika dibanding dengan negara lain
disebabkan oleh dukungan fiskal terhadap kontraksi perekonomian Indononesia dinilai lebih
moderat. Indonesia menganggarkan dukungan anggaran sebesar Rp 695,2 triliun untuk Penanganan
Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN). Tambahan belanja tersebut menyebabkan
defisit anggaran yang mencapai Rp 1.039,2 triliun atau 6,34 persen dari PDB. "Jumlah tambahan
dukungan fiskal dalam rangka tangani Covid-19 dan mendorong perekonomian, Indonesia berada di
bagian modest. Sesudah China. Dalam hal ini dan perubahan dari sisi defisit ini ditujukan mainly
untuk memberi support bagi ekonomi dan untuk belanja di bidang kesehatan," jelas Sri Mulyani.
Baca juga: Sri Mulyani: Jumlah Pengangguran Bertambah 2,67 Juta Utang bilateral melonjak
Pemerintah Indonesia menarik utang luar negeri dalam jumlah cukup besar dalam waktu yang relatif
berdekatan atau tak sampai dua minggu. Total utang baru Indonesia bertambah sebesar lebih dari
Rp 24,5 triliun. Utang baru tersebut merupakan kategori pinjaman bilateral. Rincian utang luar
negeri itu berasal dari Australia sebesar Rp 15,45 triliun dan utang bilateral dari Jerman sebesar Rp
9,1 triliun. Pemerintah mengklaim, penarikan utang baru dari Jerman dan Australia dilakukan untuk
mendukung berbagai kegiatan penanggulangan pandemi Covid-19. Menteri Keuangan Australia Josh
Frydenberg mengatakan, uang pinjaman tersebut diberikan lantaran Indonesia dinilai memiliki
ketahanan dan proses pemulihan yang cenderung cepat pada masa pandemi Covid-19. Baca juga: Sri
Mulyani: Tingkat Utang RI Masih di Bawah Negara Lain, Bukan Berarti Tak Waspada "Bantuan ini
merefleksikan situasi yang harus kita hadapi bersama. Selain itu, juga berkaitan dengan reputasi
Indonesia terkait dengan manajemen fiskal," ujar dia dalam konferensi pers bersama dengan
Pemerintah Indonesia. Sementara itu, Pemerintah Jerman lewat Kedutaan Besar Republik Federal
Jerman mengumumkan penandatanganan kesepakatan utang senilai 550 juta Euro. Pemerintahan
Presiden Jokowi pun resmi mengikat pinjaman bilateral yang besarannya setara dengan Rp 9,1
triliun. "Perjanjian pinjaman senilai 550 juta Euro telah ditandatangani secara terpisah di kantor
Bank Pembangunan Jerman KfW di Frankfurt dan di Kementerian Keuangan di Jakarta,
menyesuaikan dengan kondisi pandemi," tulis Kedutaan Besar Jerman untuk Indonesia di akun
Twitter resmi Kedutaan Besar Jerman untuk Indonesia. Dikritik Rizal Ramli Kebijakan menarik utang
baru dari luar negeri untuk mengatasi corona ini menuai banyak kritikan lantaran beban utang
Indonesia saat ini dinilai sudah cukup tinggi. Baca juga: Eks Menkeu Kritik Jokowi Karena Terus
Tambah Utang Selama Pandemi Kritik salah satunya datang dari mantan Menteri Keuangan Rizal
Ramli. Ia menyebut, pemerintah dinilai keliru jika terus menambah utang luar negeri. "Terbitkan
surat utang (bonds) bunganya semakin mahal. Untuk bayar bunga utang saja, harus ngutang lagi.
Makin parah," tulis Rizal Ramli di akun Twitter pribadinya seperti dikutip pada Sabtu (21/11/2020).
Rizal Ramli yang juga mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indonesia di era Presiden
Jokowi tersebut berujar, Indonesia mulai kembali menumpuk utang dari pinjaman bilateral setelah
sebelumnya banyak menarik utang dari obligasi. "Makanya mulai ganti stratetegi jadi 'pengemis
utang bilateral' dari satu negara ke negara lain,, itu pun dapatnya recehan wajah menyeringai itu
yang bikin shock," ucap Rizal Ramli.

Anggaran defisit adalah suatu biaya pengeluaran negara yang sangat tinggi dibandingkan
penerimaan Negara. Defisit anggaran juga disebut sebagai defisit monoter. Negara-negara
berkembang pada umumnya membutuhkan utang luar negeri untuk memenuhi pengeluaran dana
atau investasi.

Hal ini disebabkan karena dan atau tabungan domestic tidak mencukupi pembangunan ekonomi
sehingga neraca pembayaran menjadi tidak seimbang. Keterbatasan dana mengakibatkan berhutang
keluar negeri agara dapat memenuhi kebutahan perekonomian Negara. Utang luar negeri adalah
bantuan dari luar negeri yang diberikan untuk membantu Negara agar maju yang berbentuk
pinjaman dan harus membayarkan bunga dari pinjaman tersebut.

Di Indonesia sedang tersebar luas isu tentang defisit anggaran yang menjadikan pajak naik.
Pemerintah Indonesia sedang membuat kebijakaan anggaran bertujuan untuk menertibkan defisit
anggaran yang terjadi dengan dibiayai dari utang luar negeri.

Tetapi masuknya utang luar negeri malah memperparah masalah semakin lama beban utang luar
negeri semakin meningkat dan menyebabkan pembayaran bunga utang meningkat. Sedangkan
pemasukaan uang pemerintah adalah dari pembayaran pajak oleh masyarakat sebab tingginya
Bunga utang luar negeri menjadikan pembayaran pajak meningkat. Sehingga penerimaan yang
diterima oleh pemerintah semakin banyak dan akhirnya defisit anggaran akan berkurang.

Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) menunjukkan bahwa defisit anggaran semakin
lama semakin membesar dan dapat menyebabkan utang kepada luar negeri, dapat mengakibatkan
suatu subsidi BBM yang akan dikeluarkan. Sementara itu system penaikkan pajak tidak
membawakan hasil penerimaan yang maksimal. Di sisi lain kebijakan fiscal yang diterapkan oleh
pemerintah mengalami distorsi implementasi.

Contohnya dalam pengelolaan ABPN yang tidak sesuai aturan dan dapat merugikan berbagi pihak
yang ada. Berbagai upaya kebijakan fiscal dilakukan agar memperbaiki perekonomian dapat berjalan
dengan baik. Kebijakan fiskal dalam perekonomian yaitu penerimaan dan belanja pemerintah. Fiskal
berfungsi perkembangan perekonomian yaitu sebagai alokasi yang dapat mendistribusikan dan
dapat menyetabilkan suatu anggaran yang ada.
Fiskal bertujuan untuk menciptakan kondisi makro dalam perekonomian secara kondusif agar dapat
mencapai pertumbuhan ekonomi secara maksimal, dan dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang
dapat mengurangi jumlah pengangguran yang ada saat ini.

APBN di Indonesia tercermin pada anggarannya,pada segi penerimaannya Negara mencakup semua
penerimaan pajak maupun bukan pajak, dan dalam segi pengeluaran pemerintah mngeluarkan dana
rutin untuk pembangunan. Ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri semakin terus
meningkat resiko tersebut dapat berpengaruh terhadap ekonomi global. Pengeluaran APBN untuk
membayar cicilan pokok dan Bungan utang terus menerus dapat mengkawatikar Negara Indonesia.

Factor yang mempengaruhi peningkatan utang luar negeri yaitu pendapatan nasional yang diukur
dengan PDB, pengeluaran pemerintah yang berlebihan,dan defisit anggaran. Semakin tinggi
pendapatan nasional di suatu Negara akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga dapat
mengurangi utang luar negeri tetapi jika pengeluaran Negara semakin besar untuk kepentingan
suatu pembangunan Negara maka utang kepada luar negeri akan meningkat.

Defisit anggaran sangatlah penting bagi kebijkan fiskal karena siklus bisnis dalam defisit anggaran
menjadi isu yang sangat penting terhadap pertumbuhan ekonomi. Keadaan saat ini dampak dari
krisisnya BBM dan juga nilai tukar uang dollar terhadap rupiah akan semakin memperparah
anggaran subsidi yang akan dikeluarkan oleh pemerintahan.dampak dari ini bisa mengakibatkan
inflasi dari tingginya bahan baku impor dan juga kebijakan fiskal yang beluh berpengaruh positif bagi
pertumbuhan ekonomi.

Keinginan pemerintah pada kebijakan fiskal yaitu dapat meningkatkan perekonomian dan dapat
mendorong produk lokal yang dapat di ekspor dan mempunyai daya saing yang sangat tinggi di pasar
internasional.

Kebijakan fiscal dari segi pemerintah melalui deficit anggaran belanja dalam situasi krisi akhir-akhir
ini tidak dapat mengatasi maslaha yang terjadi karena semakin bertambhanya permintaa tidak dapat
merespon penawaran. Hal tersebut akan memperburuk perekonomian. Namun jika fiscal dapat
dilakukan dengan hati-hati dan hanya pad unsur pemerintah peluang tinggi akan dapat mendorong
perkembangan perekonomian.

Pengaruh defisit terhadap suku bunga yaitu pemerintah melakukan pembiayaan terhadap anggaran
yang digunakan sebagai instrument perpajakan, sehingga total dalam pengeluaran akan sama
dengan penerimaan pajak.tetapi kondisi ini sangat sulit diterapkan di Negara yang sedang
berkembang dan akhirnya mengakibatkan pemerintah memilih untuk menggunakan dana utang dari
luar negeri atau Negara maju.

Jika pemerintah melakukannya secara terus menerus akan mebuat utang yang sangat banyak dan
Bungan yang dibebabkan akan terus meningkat setiap bulannya, sehingga pemerintah melakukan
pemotongan terhadap jaka yang disertai obligasi baru maka akan meningkatkan utang Negara.

Dampak positif dari deficit anggaran juga bisa menaikkan pertumbuhan ekonomi dalam bidang
ekspor, ekspor masih menyimpan harapan agar dapat meningkatkan perekonomian. Tujuan
peningkatan ini berharap agar dapat mendorong dari ekspor barang mempunyai kandungan local
yang tinggi sehingga dapat menetupi atau seimbang dengan tingginya bahan baku impor. Kemudian
dapat bersaing barang ekspor bertaraf internasional.

Dari segi ekspor sangat berpeluang untuk mengembangkan suatu perekonomian yang ada saat
ini,karena permintaan peminat dari pasar internasional yang berasal dari china,Timur tengah dan
Eropa.

Dengan cara kehati-hatian dan teliti dalam ekspor yang akan terus mengimbangi perkembangan
pertumbuhan ekonomi dengan mengandung unsur local yang sekaligus dapat memperluas budaya
yang ada di Indonesia ke luar negeri. Namun demikian masih ada beberpa barang ekspor yang tidak
medatangkan devisa yang tinggi karena keterbatasan arus investasi yang masuk ke Negara ini

Dampak dari kebijakan fiscal pada segi permintaan deficit melalui anggaran belan dalam situasi krisis
diharapkan dapat membantu meningkatkan pertumbuhan perekonomian. Tetapi dalam kebijakan
fiscal harus dilengkapi dengan kebijakan utama yang dapat memberikan dampak positif serta dapat
membenahi institusi yang dapat menghambat jalannya kebijakan penawaran.

Beberapa kebijakan ada yang digunakan sebagai alternative dalam perekonomian antara lain :

Sebagai penghematan energy atau pemanfaatan sumberdaya alam yang telah ada

Menegakan keamanan yang ada

Pembenahan birokrasi serta koordinasi antara DPR dan menteri

Pencabutan subsidi BBM yang dapat mengurangi tekan deficit anggaran


Memperbaiki ekspetasi

Penambahan kelembagaan yang harus dikembang dengan baik

Pengertian Defisit

Defisit merupakan suatu permasalahan yang mungkin sudah biasa dialami oleh banyak organisasi
maupun negara. Meskipun anggaran sudah direncanakan, keadaan defisit juga sangat mungkin
terjadi. Di Indonesia misalnya, perencanaan anggaran tahunan disebut sebagai Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dari APBN yang telah disusun itulah akan dijadikan sebagai
pedoman dalam membelanjakan pemasukan negara.

Secara umum, definisi defisit ialah keadaan yang terjadi ketika sebuah organisasi atau sebuah
lingkup pemerintahan mengalami pengeluaran yang lebih besar dibandingkan pemasukannya.
Biasanya, keadaan defisit ini dapat ditutupi dengan adanya sumber-sumber pembiayaan, bisa dari
dalam negeri maupun luar negeri.

Pada kasus Pemerintah Indonesia, defisit APBN terjadi ketika pemerintah meminjam uang dari Bank
Indonesia (bank sentral) atau melakukan pencetakan uang baru untuk membiayai semua rencana
dan kegiatannya.

Faktor Penyebab Defisit

Kondisi defisit tentu tidak begitu saja terjadi. Pasti ada faktor-faktor yang menyebabkan kondisi
defisit. Berikut ini adalah faktor-faktor penyebab defisit yang perlu diketahui sebagai cara untuk
mengatasi defisit.

Keinginan Mempercepat Pertumbuhan Ekonomi

Salah satu faktor yang dapat menjadi faktor penyebab kondisi ekonomi defisit adalah keinginan
pemerintah mempercepat pertumbuhan ekonomi. Mempercepat pertumbuhan ekonomi dapat
dilakukan dengan melakukan pembangunan, investasi dan program-program lainnya seperti
Pembangunan infrastruktur, Program pertahanan dan keamanan negara, Program dibidang
pendidikan dan kesehatan, dan lain-lain.

Dari semua program dan pembangunan tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pemerintah
harus mempunyai modal untuk melaksanakan itu semua. Maka biaya yang besar inilah yang sering
menyebabkan kondisi defisit.
Daya Beli Masyarakat Rendah

Indonesia merupakan negara yang memiliki pendapatan per kapita yang masih rendah. Maka dari
itu, daya beli masyarakatnya pun juga masih rendah. Namun, barang dan jasa yang ada dipasaran
memiliki harga yang cukup tinggi karena mungkin bahan bakunya berasal dari impor. Misalnya saja
BBM dan listrik. Pemerintah harus mengeluarkan biaya untuk subsidi barang-barang tersebut karena
masyarakat dapat membelinya.

Exchange Rate Melemah

Melemahnya exchange rate juga dapat menyebabkan kondisi defisit. Dalam beberapa kasus
pemerintah Indonesia meminjam dana dari luar negeri dengan hitungan valuta asing. Akan tetapi
ketika membayar cicilan pokok maupun bunga dihitung dengan rupiah. Melemahnya rupiah sangat
berdampak pada dana yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Tidak Sesuai Rencana

Fungsi dari APBN adalah melakukan perencanaan untuk menghitung pemasukan serta untuk apa
dana-dana tersebut digunakan. Namun tidak jarang, estimasi yang dilakukan dalam RAPBN tidak
sesuai dengan realisasinya. Jika dana yang dikeluarkan pada realisasi lebih besar dari rencana maka
pemerintah mengalami kondisi defisit.

Terjadi Inflasi

Terajdinya inflasi juga dapat menyebabkan belanja negara meningkat. Harga tidak stabil dan dapat
meningkatkan biaya untuk menjalankan program dan kegiatan yang sudah direncanakan.

Dampak Defisit Terhadap Perekonomian

Selain penyebab, ternyata kondisi defisit juga berdampak pada hal-hal yang berkaitan dengan
perekonomian dalam suatu negara seperti:

Tingkat Suku Bunga

Kondisi defisit akan meyebabkan kurangnya pembiayaan pengeluaran karena kurangnya penerimaan
dari pajak. Maka dari itu, pemerintah harus penambahan modal untuk dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat dimana berarti permintaan terhadap uang meningkat. Dampaknya dari hal tersebut
adalah tingkat suku bunga juga akan mengalami peningkatan.
Tingkat Inflasi

Kondisi defisit akan menyebabkan pengeluaran dana untuk biaya pembangunan dan program
pemerintah semakin besar yang kemudian akan dipicu dengan meningkatnya tingkat inflasi.
Dampaknya, daya beli masyarakat meningkat, tapi output yang dihasilkan belum memenuhi
permintaan maka mendorong terjadinya inflasi.

Konsumsi dan Tabungan

Adanya defisit anggaran secara tidak langsung akan berpengaruh pada pendapatan riil masyarakat.
sehingga masyarakat akan mengurangi porsi konsumsi dan tabungannya. Padahal, tabungan ini
memiliki peran penting dalam mendorong investasi.

Pengangguran

Penurunan investasi secara tidak langsung akan mempengaruhi penurunan tingkat kesempatan
kerja. Apabila proyek dan program tidak terlaksana maka akan terjadi pengangguran dan kehilangan
kesempatan kerja.

Mengatasi Defisit Anggaran

Ketika pemerintah dalam kondisi defisit, ada beberapa cara untuk mengatasinya yaitu dari sisi
penerimaan dan dari sisi pengeluaran.

Sisi Penerimaan

Untuk mengatasi defisit, pemerintah bisa melakukan beberapa hal seperti meminjam dana dari
dalam negeri, menerbitkan obligasi, meminjam dana dari luar negeri hingga meningkatkan
penerimaan pajak sebagai sumber utama penghasilan negara.

Sisi Pengeluaran

Sedangkan dari sisi pengeluaran, defisit bisa diatasi dengan cara mengurangi pengeluaran subsidi,
penghematan setiap pengeluaran rutin, mengevaluasi pengeluaran berdasarkan prioritas dan
mengurangi biaya untuk program yang tidak efektif.
Nah, demikian itulah sedikit penjelasan mengenai defisit, dari mulai pengertian, faktor penyebab,
dampak serta cara mengatasi kondisi defisit. Semoga beramanfaat!!

Badan Pemeriksa Keuangan memeriksa kinerja efektivitas pengelolaan utang pemerintah pusat.
Hasilnya, BPK menilai pengelolaan utang tersebut kurang efektif. Hasil pemeriksaan ini
mengungkapkan 10 temuan yang memuat 10 permasalahan ketidakefektifan. Pemeriksaan
dilaksanakan pada Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Bappenas, dan instansi terkait lainnya. "BPK menyimpulkan bahwa pengelolaan utang
pemerintah pusat kurang efektif untuk menjamin biaya minimal dan risiko terkendali, serta
kesinambungan fiskal," tulis Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2019 seperti dikutip
Katadata.co.id, Rabu (6/5). Terdapat beberapa alasan yang cukup signifikan terkait penilaian BPK
tersebut.

Pertama, strategi pengembangan pasar surat berharga negara domestik belum efektif mendukung
pencapaian pasar SBN yang dalam, aktif, dan likuid. Dampaknya, imbal hasil atau yield obligasi
pemerintah menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara peer.

Kedua, pengelolaan utang pemerintah pusat belum didukung oleh peraturan manajemen risiko
keuangan negara dan penerapan analisis fiskal yang berkelanjutan, termasuk utang yang
berkelanjutan secara komprehensi. Dengan demikian, utang pemerintah saat ini berpotensi
menimbulkan gangguan atas keberlangsungan fiskal di masa mendatang. (Baca: BI Tak Akan Jor-
joran Cetak Uang untuk Dana Penanganan Covid-19)

Ketiga, pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif tidak memiliki parameter dan indikator
pencapaian. Ini berpotensi mempengaruhi kemampuan membayar kembali utang pemerintah pada
masa mendatang.

Keempat, terdapat kebijakan penambahan yield atas penerbitan surat berharga syariah negara
melalui private placement yang tidak memiliki dasar perhitungan.

Kelima, project underlying SBSN menggunakan akun belanja barang yang diserahkan kepada
masyarakat, tidak mencantumkan jenis dan lokasi proyek, serta belum memiliki pengendalian yang
memadai atas risiko double underlying. Maka dari itu, menurut BPK, pengelolaan utang pemerintah
berpotensi menimbulkan gangguan atas keberlangsungan fiskal di masa mendatang. BPK pun telah
memberikan beberapa rekomendasi kepada Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Kepala Bappenas.
Rekomendasi tersebut yakni menjalin kerja sama lebih erat dengan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank
Indonesia. Masing-masing instansi dapat menetapkan pembagian tugas dan wewenang guna
membuat kebijakan pengembangan pasar SBN dan turunan kebijakannya yang jelas, serta indikator
pengukuran kinerjanya. (Baca: BPK Temukan Pengelolaan Uang Negara Rp 7,6 Triliun Bermasalah)
Pemerintah disarankan pula untuk menyusun kerangka kerja mengenai manajemen risiko keuangan
negara dan menetapkan peraturan jika diperlukan. Lalu. menyampaikan FSA dan DSA dalam
kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal dan nota keuangan serta menerbitkan
long-term fiscal sustainability report secara periodik. Selanjutnya, menyusun kerangka kerja,
parameter, dan indikator pembiayaan yang selaras dengan kebijakan belanja berkualitas. Hal ini
guna mewujudkan pemanfaatan utang secara optimal untuk kegiatan produktif, dan menetapkan
peraturan jika diperlukan. Pemerintah juga diminta menyempurnakan kebijakan penetapan
rekomendasi benchmark yield atau owner’s estimate dan penetapan seri SBSN yang diterbitkan
melalui private placement. Terakhir, pemerintah perlu menetapkan kebijakan monitoring atas
pelaksanaan kegiatan yang menjadi project underlying SBSN.

Kementerian Keuangan sebelumnya mencatat, total utang pemerintah per Maret 2020 mencapai Rp
5.192,56 triliun, bertambah lebih dari Rp 400 triliun dari posisi akhir tahun lalu Rp 4.779,28 triliun.
Rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto bahkan mencapai 32,12%. Sementara
Bank Dunia memproyeksikan rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto sepanjang
tahun ini akan membengkak dari 28% pada tahun lalu menjadi 31,4%. Rasio utang pemerintah juga
akan terus meningkat pada 2021 dan 2022 seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.

Batasan defisit anggaran belanja di atur dalam penjelasan pasal 12 ayat 3 Undang-undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Defisit anggaran ditetapkan maksimal sebesar 3% dan utang
maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Batasan defisit anggaran tersebut menggunakan
pembanding PDB karena pemerintah ingin mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang diukur
dengan indicator PDB.

Bank Indonesia (BI) hari ini merilis Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI). Posisi Utang Luar
Negeri (ULN) Indonesia pada Februari mencapai US$ 405,7 miliar.

Jika mengacu pada kurs referensi BI yakni JISDOR pada hari ini (Rp 15.707/US$) maka total ULN
Indonesia pada Februari lalu mencapai Rp 6.372,3 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 35,9%
Produk Domestik Bruto (PDB) RI.

Utang tersebut mencakup ULN pemerintah, bank sentral dan swasta termasuk di dalamnya juga
utang miliki Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Utang tersebut digunakan untuk berbagai kebutuhan guna membiayai kebutuhan perekonomian
Tanah Air seperti membiayai ekspansi ekonomi seperti pembangunan infrastruktur, membayar
bunga dan cicilan utang hingga menangani pandemi seperti sekarang ini.

Kalau dilihat dari nominalnya yang sangat fantastis tersebut, memangnya siapa sih
orang/negara/badan yang mau menjadi kreditur untuk Indonesia?
Ternyata jawabannya banyak. ULN yang dicatat dan dipublikasikan tiap bulan oleh bank sentral
tersebut ternyata berasal dari berbagai pihak, baik negara, kelompok negara (sindikasi) hingga
organisasi global seperti Bank Dunia (WB) dan Dana Moneter Internasional (IMF).

Kalau dilihat dari sumbernya lima negara kreditur terbesar Indonesia adalah Singapura, Jepang,
Amerika, China dan Hong Kong. Kelimanya berkontribusi dalam menyalurkan kredit sebesar US$
155,6 miliar. Angka tersebut setara dengan 38,3% dari ULN Indonesia.

Dari kelima negara itu ada empat yang juga kebetulan menjadi investor strategi Indonesia (PMA)
yakni Singapura, Jepang, China dan Hong Kong. Di sepanjang 2019 keempat negara tersebut telah
memarkirkan uangnya ke Indonesia sebanyak US$ 18,44 miliar untuk lebih dari 13 ribu proyek di
Tanah Air.

Tak hanya negara saja yang jadi kreditur untuk Indonesia. Organisasi global juga turut memberikan
utang kepada Indonesia. Tiga organisasi global yang memberikan pinjaman kepada Indonesia adalah
unit usaha Grup Bank Dunia yang dikenal dengan IBRD (US$ 17,7 miliar), Bank Pembangunan Asia
atau ADB (US$ 10,6 miliar) dan Dana Moneter Internasional atau yang sering disebut IMF (US$ 2,7
miliar).

Untuk pertanyaan siapa saja kreditor Indonesia sudah terjawab. Ketika membahas utang luar negeri,
artinya hubungan dengan negara lain yang menggunakan mata uang yang berbeda. Lantas dalam
mata uang apakah porsi ULN Indonesia paling banyak.

Jawabannya sudah bisa ditebak. Dolar AS. Porsi ULN RI dalam kurs dolar mencapai US$ 269 miliar
atau lebih dari separuh total ULN Indonesia pada Februari 2020. Disusul oleh mata uang dalam
negeri yakni Rupiah sebesar US$ 85,1 miliar, Yen sebesar US$ 23,4 miliar, Euro sebesar US$ 20 miliar
dan SDR senilai US$ 4,08 miliar.

SDR bukanlah mata uang suatu negara melainkan ini adalah instrumen atau aset cadangan mata
uang asing pelengkap yang dikelola oleh IMF. SDR merupakan kepanjangan dari Special Drawing
Rights yang mewakili klaim mata uang yang dipegang negara anggota IMF dan dapat ditukar. SDR
sendiri diciptakan untuk melengkapi kelangkaan pasokan valas lain terutama dolar AS dan juga
logam mulia emas.

Lembaga pemeringkat Moody's Investors Service menganggap risiko utang Indonesia sebenarnya
bukan datang dari besaran jumlahnya.
Total utang pemerintah pusat hingga Oktober 2018 mencapai Rp 4.478,5 triliun, naik tipis dari
realisasi September 2018 yakni Rp 4.416,3 triliun, menurut data yang dipublikasikan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negaara (APBN) KiTa periode Oktober 2018.

Utang tersebut terdiri dari pinjaman sebesar Rp 833,9 triliun dan utang dalam bentuk Surat Berharga
Negara (SBN) sebesar Rp 3.644,6 triliun.

Moody's mengatakan Indonesia, jika dibandingkan dengan negara-negara dengan peringkat utang
Baa, menunjukkan demografi yang menguntungkan, serta pertumbuhan produk domestik bruto
(PDB) yang stabil dan sehat.

Anushka Shah, analis senior di Moody's Investor Service, menyatakan salah satu risiko ekonomi
Indonesia adalah struktur utang pemerintahnya.

Seperti dijelaskannya, ekonomi Indonesia bergantung pada investasi asing, sehingga sekitar 40% dari
utang pemerintah adalah dalam bentuk mata uang asing. Alasan lainnya adalah karena hampir 40%
obligasi mata uang lokal dipegang oleh investor asing. Ini membuat Indonesia rentan terhadap risiko
arus pembalikan modal dan pelemahan rupiah bila terjadi guncangan global.

"Jadi, ketika Anda melihat utang pemerintah Indonesia, (jumlahnya) sangat sederhana karena
kurang dari 30% dari PDB. Apa yang kami pikir telah mendorong volatilitas itu adalah struktur
utangnya," jelasnya.

Namun, Shah juga mengatakan bahwa Indonesia akan cukup resilen dalam menghadapi tantangan
ekonomi, tergantung pada bagaimana respons kebijakan yang diambil pemerintah, serta
fundamental keuangan dan ekonominya.

Analis senior Moody's, Joy Rankothge, mengungkapkan hal senada.

"Indonesia fokus ke fundamental... Indonesia lebih baik dibandingkan Argentina, dan salah satu
alasan yang membuat itu (lebih baik) adalah karena Indonesia memiliki defisit tapi telah menerapkan
kebijakan yang benar yang telah pemerintah jalankan dalam beberapa tahun terakhir," terangnya.

Anda mungkin juga menyukai