Anda di halaman 1dari 5

25/07/20 15.

09

BUMN Membebani Fiskal. Benarkah?


Last Updated by Fahrudin

Laporan Survei Ekonomi OECD Indonesia 2018

Langkah pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur dengan menugaskan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) berpotensi membahayakan keuangan negara. Kebutuhan dana yang besar, membuat
perusahaan pelat merah agresif berutang yang secara tidak langsung bisa menimbulkan risiko fiskal dan
membebani anggaran negara. Sementara defisit anggaran negara masih tinggi, karena penerimaannya
rendah dan tak pernah mencapai target. Inilah salah satu highlights laporan Organisation for Economic
Cooperation and Development (OECD) yang dirilis di sela pertemuan tahunan IMF-World Bank di Bali, 9-
12 Oktober 2018, menyoroti permasalahan ini. OECD menilai ada risiko fiskal yang akan muncul dari
beban keuangan sejumlah BUMN untuk mendanai proyek infrastruktur pemerintah. Kerentanan
keuangan mulai meningkat di sejumlah BUMN seperti dikutip dari Laporan Survei Ekonomi OECD
Indonesia 2018.

Menurut OECD, pemerintah menjadikan BUMN unsur penting dalam strategi infrastruktur dan
pembangunan dalam beberapa tahun terakhir. Asumsi ini berdasarkan rencana tahun 2016 dalam
mempercepat 245 Proyek Strategis Nasional (PSN). Sekitar 30% dari proyek-proyek tersebut
mengandalkan pembiayaan dari BUMN. Belanja modal BUMN ditargetkan hampir 3% Pendapatan
Domestik Bruto (PDB) tahun ini. Lebih dari dua kali lipat dari porsi belanja 2015. Pemerintah memang
memberikan dukungan, terutama suntikan modal dan program revaluasi aset untuk pembiayaannya.
Namun, itu saja belum cukup. Kebutuhan dana yang besar membuat BUMN mencari pendanaan lain
dari perbankan dan pasar modal. Hasilnya, tingkat utang beberapa BUMN mengalami peningkatan yang
cukup drastis.

Dalam tiga tahun terakhir surat utang perusahaan pelat merah mendominasi pasar. Berdasarkan data PT
Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), total obligasi dan sukuk BUMN hingga Agustus tahun ini, sudah
mencapai Rp 251,8 triliun. Nilai ini sudah setara dengan 50,4% dari total outstanding obligasi korporasi
yang beredar saat ini Rp 499,9 triliun. Padahal, di 2013 nilainya baru Rp 71,5 triliun atau setara 33% dari
total obligasi korporasi. Meski nilai emisi obligasi BUMN tahun ini rata-rata tergolong jumbo, tapi minat
investor tinggi, sehingga bisa terserap sepenuhnya. Sepanjang semester pertama, ada 6 emiten BUMN
yang terbitkan obligasi dengan total nilai Rp 14,92 triliun. Bulan lalu, PT Waskita Karya Tbk menerbitkan
obligasi III Tahap III tahun 2018 senilai Rp 2 triliun. Surat utang ini merupakan bagian dari obligasi
berkelanjutan yang akan diterbitkan senilai total Rp 10 triliun.

https://jam10.sapjam.com/blogs/print/GIAyXQ8k3BNX4xtWhHwDz7 Page 1 of 5
25/07/20 15.09

Pemerintah juga terus memberikan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN pada 2015. Dari Rp
3 triliun di 2014, pemerintah meningkatkan PMN kepada BUMN di 2015 menjadi Rp 50,5 triliun. Alokasi
suntikan modal ini kembali ditambah pada 2016 yang mencapai 64,5 triliun. Tahun lalu dan tahun ini
anggaran PMN dikurang menjadi Rp 6,4 triliun dan 3,6 triliun. Namun, kembali ditambah tahun depan
menjadi Rp 17,8 triliun. Pemberian PMN yang berkesinambungan ini akan menjadi beban APBN yang
masih defisit.

Strategi Pendanaan Infrastruktur

Indonesia termasuk negara emerging market yang memiliki infrastruktur gap di bawah negara-negara
lainnya. Membangun infrastruktur bagi Indonesia dengan geografis yang begitu luas dan jumlah
penduduk terbesar keempat di dunia bisa disebut sebagai suatu kebutuhan yang mendesak. Lalu, sudah
tepatkah APBN menyuntik dana kepada BUMN melalui PMN untuk membiayai pembangunan
infrastruktur? benarkah BUMN akan kolaps dengan kondisi utang yang semakin membengkak ini?
Setidaknya terdapat dua poin yang bisa dicermati dari Laporan OECD mengenai PMN dan kondisi utang
BUMN di atas. Namun sebelumnya, asumsikan bahwa kebijakan pembangunan infrastruktur sudah tidak
bisa ditawar. Sesuatu yang sudah given. Tak bisa ditawar.

Pertama, suntikan PMN harus dilihat dari sudut pandang yang lebih besar. Bukan parsial. Ini adalah
strategi pembiayaan. Pemberian PMN kepada BUMN dapat me-leverage kemampuan pendanaan. Jika
pembangunan infrastruktur menggunakan skema APBN maka dana 1 triliun hanya dapat membangunan
jalan tol dengan nilai 1 triliun. Namun jika menggunakan skema PMN, dengan dana 1 triliun, BUMN
berpotensi mendapatkan dana pinjaman 3 triliun. Jadi BUMN bisa membangun jalan tol senilai total 4
triliun. Jadi karena kebutuhan dana yang besar inilah Pemerintah membutuhkan strategi pendanaan
yang tepat. Dengan demikian kerangka pemikiran OECD kurang tepat. Dengan kembalinya BUMN
sebagai agen pembangunan, seharusnya kita harus melihat secara konsolidasi. BUMN sebagai alat
negara yang bertugas menjadi perpanjangan tangan negara untuk hadir di tengah-tengah masyarakat.

Harus diakui memang, kebutuhan pendanaan infrastruktur tahun 2015-2019 cukup agresif. Setidaknya
Pemerintah membutuhkan dana sekitar Ro4.700 triliun. APBN tidak akan mampu. Sedangkan BUMN
(dengan tambahan skema PMN) hanya mampu mengerjakan 30% dari kebutuhan. Pemerintah masih
butuh strategi lain. Untuk mendorong partisipasi BUMN maupun swasta dalam pembangunan
infrastruktur, pemerintah meluncurkan program Pembiayaan Investasi Non-Anggaran Pemerintah
(PINA), yang melengkapi skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau Public Private
Partnership (PPP). Nantinya, proyek PINA seluruhnya murni dijalankan oleh pihak perusahaan, BUMN

https://jam10.sapjam.com/blogs/print/GIAyXQ8k3BNX4xtWhHwDz7 Page 2 of 5
25/07/20 15.09

maupun swasta. Peran pemerintah hanya menjadi fasilitator antara investor dan investee untuk
mengerjakan proyek-proyek prioritas.

Kedua, hutang BUMN yang menurut OECD dalam kondisi yang kurang baik khususnya BUMN Karya.
Memang benar BUMN karya yang diberikan mandat untuk mengerjakan proyek strategis mengalami
peningkatan utang yang cukup signifikan. Dalam empat tahun terakhir, kenaikan utang PT Waskita Karya
mencapai 675%. Sedangkan PT Wijaya Karya mengalami kenaikan 184%, PT Adhi Karya sebesar 158%
dan PT Pembagunan Perumahan 125%, serta PT Jasa Marga. Salah satu BUMN Non Tbk yang
ditugaskan mengerjakan proyek jalan tol Trans Sumatera yaitu PT Hutama Karya mengalami kenaikan
utang terbesar yaitu 703%.

Kenaikan utang ini merupakan konsekuensi logis dari strategi pendanaan proyek infrastruktur. Risiko
utamanya adalah jika BUMN bersangkutan gagal bayar. Kemampuan membayar utang dapat dilihat dari
rasio solvabilitas. Kemampuan Perusahaan untuk memenuhi seluruh kewajibannya dapat diukur dengan
rasio ini. Ukuran yang biasa dilihat adalah dari perbandingan utang dibandingkan ekuitas (debt to equity
ratio/DER) dan rasio utang dibandingkan dengan EBITDA. Berikut ini kemampuan membayar utang
masing-masing BUMN (posisi 31 Desember 2017).

BUMN DER Debt/EBITDA


Adhi Karya 3,8 5,2
Jasa Marga 3,3 6,7
Waskita Karya 3,3 6,7
Wijaya Karya 2,1 3,3

https://jam10.sapjam.com/blogs/print/GIAyXQ8k3BNX4xtWhHwDz7 Page 3 of 5
25/07/20 15.09

Hutama Karya 4,7 8,6


PT PP 1,9 3,4

DER 3,8 kali artinya jumlah utang sudah 3,8 kali lipat dibandingkan ekuitasnya. Semakin tinggi DER
menunjukkan komposisi total utang (jangka pendek dan jangka panjang) semakin besar dibanding
dengan total modal sendiri, sehingga berdampak semakin besar beban perusahaan terhadap pihak luar
(kreditur). Meningkatnya beban terhadap kreditur menunjukkan sumber modal perusahaan sangat
tergantung dengan pihak luar. Selain itu besarnnya beban utang yang ditanggung perusahaan dapat
mengurangi jumlah laba yang diterima perusahaan.

Rasio utang terhadap EBITDA mengukur kemampuan perusahaan melunasi utang-utangnya dari segi
pendapatan. Makin tinggi rasio utang terhadap EBITDA maka bakal semakin berat beban perusahaan
untuk melunasi kewajibannya. PT Hutama Karya misalnya, mencatatkan rasio utang terhadap EBITDA
tertinggi yakni 8,6 kali. Artinya, utang perusahaan saat ini hampir mencapai 9 kali lipat dari kemampuan
perusahaan mendapatkan labanya. Oleh karena itu, BUMN Karya perlu mewaspadai rasio utang yang
sudah di atas 1 kali tersebut. Sebab, pendapatan yang selama ini diperoleh belum mencukupi untuk
membayar total utangnya. Dilihat dari data, sepertinya memang utang yang dimiliki BUMN karya cukup
berisiko. Apalagi proyek-proyek yang ditangani sebagian besar memiliki payback period yang panjang.

Upaya Menangani Risiko

Proyek infrastruktur merupakan suatu keharusan. Penugasan kepada BUMN berakibat meningkatkannya
utang BUMN. Di sisi lain pertumbuhan pendapatan tidak secapat pertumbuhan utang. Dengan demikian,
risiko meningkat. Setidaknya ada tiga langkah utama yang dapat dilakukan untuk mengatasi risiko ini.
Pertama peningkatan penerapan prinsip good corporate governance (GCG) dari sisi internal
perusahaan. Meskipun dituntut untuk cepat, mekanisme GCG harus tetap dijalankan. Setiap tahapan
yang dipersyaratkan harus dilalui bukan ditiadakan. Hanya prosesnya perlu dipercepat. Selain itu,
perusahaan juga perlu memastikan tidak ada kebocoran anggaran. Jangan ada juga penyimpangan.
BUMN harus efisien.

Kedua, Sinergi BUMN yang terlibat perlu ditingkatkan. Sesuai dengan motonya, BUMN adalah One
Nation, One Vision, One Family to Excellence. BUMN adalah satu keluarga. Ketika ada yang
kesusahan, BUMN lain harus membantu. Prinsip konsolidasi harus sudah diterapkan sejak dini. Dalam
kasus ini, misal pendanaan utang berasal dari BUMN perbankan. Sinergi harus dilakukan antara BUMN
perbankan dan BUMN karya. Seharusnya BUMN perbankan sudah memberikan relaksasi terhadap
BUMN karya ini. Bunga bisa diperkecil sekaligus periode pembayarannya diperpanjang. Pun dengan

https://jam10.sapjam.com/blogs/print/GIAyXQ8k3BNX4xtWhHwDz7 Page 4 of 5
25/07/20 15.09

BUMN lain. Infrastruktur butuh semen, butuh baja. Semua bisa dihasilkan oleh BUMN. Sudah
seharusnya seluruh komponen infrastruktur dari BUMN untuk BUMN. Jadilah efisien.

Ketiga, ketika kondisi sudah mendesak intervensi fiskal perlu dilakukan. Kebijakan pemerintah
menugaskan BUMN harus memegang prinsip kehati-hatian. Selain itu, diperlukan dukungan penuh untuk
menjaga kesehatan BUMN dari risiko default. BUMN harus terus tumbuh berkesinambungan.
Konsolidasi kali ini lebih besar. Yaitu antara Pemerintah melalui APBN dan BUMN. Ketika proyek tidak
feasible, sementara proyek harus dikerjakan, sudah semestinya kebijakan fiskal memainkan peran.
Sekali lagi dengan prinsip yang efisien agar tidak mengganggu program Pemerintah lain. Juga tidak
membebani BUMN.

Sebagai penutup, kita harus optimis dengan pembangunan infrastruktur, kegiatan ekonomi masyarakat
di berbagai daerah makin bergairah. Pertumbuhan ekonomi meningkat. BUMN juga semakin tumbuh
berkembang. Tidak ada yang jadi sakit. Dan yang sudah sakit semoga segera terangkat sakitnya,
tentunya dengan semangat sinergi. Konsolidasi untuk bangsa dan negara.

https://jam10.sapjam.com/blogs/print/GIAyXQ8k3BNX4xtWhHwDz7 Page 5 of 5

Anda mungkin juga menyukai