Anda di halaman 1dari 6

Diskusi Twitter Space INDEF

“Utang Meningkat, Kapasitas Fiskal Mengkeret”


6 Juni 2023
pembicara :
1. Muhammad Misbakhun, Anggota Komisi XI DPR RI
2. Dr Eisha M Rachini, Peneliti INDEF
3. Riza Annisa Pujarama, Peneliti INDEF

Resume Diskusi
Misbakhun
1)Pembicaraan ihwal Utang sebaiknya dibicarakan dalam rangka
membangun sebuah konsep “cara menghitung utang.” Selama ini
pemerintah sepertinya belum bisa mendeskripsikan sepenuhnya
konsep utang.
2)Yang selama ini dicatat dan diakui oleh pemerintah dalam laporan
Keuangan Pemerintah pusat yang terdapat Neraca Keuangan. Neraca
harus menggambarkan semua jumlah utang negara.
3)Yang dicatat selama ini dalam setiap ketengan dan penjelasan yang
dilakukan pemerintah tentang utang kita belum melewati batas dan
belum melanggar ketentuan konstitusi. Harus disampaikan, bahwa
konsep itu harus diperbaiki nalar berpikirnya.
4)Jika Menteri Keuangan selalu mengatakan utang RI masih 39% dari
PDB, dan membandingkanya dengan utang USA, Inggris, Jerman dan
Jepang yang hampir 200% terhadap PDB Jepang, sebenarnya
perbandingan itu tidak aple to aple dan tidak fair. Karena yang dicatat
oleh pemerintah 39% PDB itu hanya utang terkait pembiayaan APBN.
Sebetulnya pemerintah punya utang lain yang memberikan risiko
kepada APBN dan keuangan negara.
5)Harus diingat lagi, pada Pasal 12 UU No 17/2003 tentang Keuangan
Negara, ayat 3 menyebutkan rasio utang pemerintah maksimal 60%
PDB. Rasio 60% itu tidak disebutkan rasio utang atas pembiayaan APBN,
tapi dinyatakan rasio atas utang yang bersifat umum. Tercantum juga
rasio defisit max 3 % APBN. rasio 60% dan 3% tidak pada norma pasal,
tapi dicantumkan dalam penjelasan Undang-undang.
6)Selalu diusulkan oleh parlemen komisi XI agar penyebutan angka
rasio utang itu disebutkan pada batang tubuh Undang-undang, dan
bukan pada penjelasan UU. Namun pemerintah menolak.
7)Kenapa kita perlu menghitung semua utang? karena memitigasi risiko
gagal bayar harus dimulai dari sistem pencatatan. Di Singapura,
tabungan warga RI dicatat sebagai utang oleh negara. Pelajaran saat
Krismon 1998, semua utang swasta tiba-tiba menjadi kewajiban
pemerintah karena pemerintah memutuskan untuk membailout utang
swasta. Itu akibat kita tidak memitigasi risiko utang. Jadi utang jaman
pak Harto yang semula hanya Rp900 triliun, tiba-tiba melonjak menjadi
Rp1400 triliun lebih karena ada tambahan Rp600 triliun utang baru.
Akibat bailout utang swasta di BLBI dan menerbitkan obligasi rekap
untuk itu.
8)Yang mengerikan apabila saat ini utang RI Rp7500 triliun akan
berisiko alami pelonjakan utang karena ada angka utang yang tidak
dicatat. Oleh karena itu pada utang BUMN harus diakui sebagaimana
sistem akuntansi pemerintahan yang disepakati IFRS, sebagai
pemegang saham kita mengakui saham tapi tidak mencatat utang di
asset pemerintah. Padahal kalau belajar dari sejarah risiko sebagai
pemegang saham utang BUMN oleh pemerintah digolongkan sebagai
continjence debt. sehingga dengan alasan sebagai kekayaan negara
yang dipisahkan, maka tidak dicatat risiko pencatatan utangnya.
9)Istilah keuangan negara dipisahkan sebenarnya dalam pengelolaan.
Tapi tidak dalam risiko. Contoh, dalam kasus BUMN-BUMN yang
dipailitkan seperti pabrik Kertas Letjes, Merpati, kertas Basuki Rahmat,
atau lain-lain pemerintah bertanggungjawab penuh dan menggunakan
skema APBN. Yang paling akhir adalah kasus Jiwasraya sebesar Rp20
triliun. Itu mempengaruhi postur belanja APBN melalui mekanisme
PMN (Penyertaan Modal Negara) yang menjadi kunci, bahwa risiko
utang itu mempengaruhi langsung cara kita mengelola ruang fiskal
APBN. Kenapa kita hanya mencatat asset dan tidak mencatat utangnya?
Padahal angka Rp20 triliun itu semula tidak nampak dalam neraca kita.
10)Sama dengan kasus BUMN Garuda yang gagal membayar leasing lalu
di PKPU. Itu juga tidak tergambar sebelumnya dalam neraca APBN,
hanya tergambar bahwa kita punya modal sekian triliun di Garuda.
(Pengeluaran/belanja PMN itu digunakan untuk membayar BUMN yang
bangkrut padahal itu membayar utang tapi dicatat sebagai PMN).
11)Berikutnya Dana Pensiun PNS juga tidak dicatat/dicadangkan, hanya
mencadangkan kewajiban-kewajiban yang jatuh tempo terkait ASABRI
dan Jiwasraya yang jatuh masa manfaat simpanannya yang dibayar oleh
APBN via ASABRI. Beban langsung bulanan pensiun dikeluarkan, tetapi
tidak pernah dicadangkan sebelumnya. Padahal kalau tidak disediakan
mekanismenya hal itu akan terus menjadi beban APBN terus menerus.
12)Sampai sekarang komisi XI DPR tidak pernah menemukan konsepsi-
konsepsi keuangan tentang hal hal di atas. Padahal kebutuhan
perubahan sudah sangat urgent dibangun konstruksi dana pensiun itu
dalam seperti apa, metode, penghitungan, ASN pusat seperti apa, dan
ASN daerah seperti apa, begitu juga TNI/Polri. Itu akan mengoverhaul
secara besar-besaran cara kita menghitung dana pensiun. Hal yang
memberikan dampak aktuaria karena negara memang harus
menanggung. Kalau dana pensiun terjadi gagal bayar, maka yang
menanggung adalah APBN.
13)Kasus-kasus aksi protes pensiun di luar negeri adalah kasus
bagaimana metode menghitung pensiun. di Perancis juga ramai dalam
penetapan cara menghitung umur pensiun. Metodologi sudah selesai di
masalah pensiun Perancis.
14)Pemerintah harus mengambil keputusan politik penting untuk
memperbaiki cara kita mencatat. Dari itu, kita akan tahu berapa persen
rasio, risiko utang. Manfaatnya risiko gagal bayar bisa diantisipasi baik
di BUMN, Surat utang negara, dan dana pensiun. Sayangnya Menteri
Keuangan ketika disampaikan hal hal penting di atas tidak menyambut
dengan baik.
15)Saat ini utang terdapat 3 kategori yakni 1. Utang pembiayaan APBN,
2. Utang BUMN – continjensi debt, 3. Utang aktuaria – kewajiban dana
pensiun kepada ASN dan TNI/Polri

Dr Eisha M Rachbini
1)Pada posisi rasio utang 38,65 % dari PDB saat ini, jika dilihat dari
struktur utang adalah Surat Berharga Negara (SBN) Rp7,000 (2023) dan
pinjaman. SBN 81 % domestik dan valas.
2)Sampai pada period eke 2 pemerintahan Jokowi ada peningkatan
utang sebanyak 10% dari 2016 ke 2017. Memang agak melambat pada
tahun-tahun belakangan. Tapi yang penting adalah penambahan utang
seharusnya menjadi leverage pada pertumbuhan ekonomi. Apakah
utang itu digunakan pada hal hal produktif yang mendorong
pertumbuhan ekonomi.
3)Apakah ada skema program pembangunan yang mangkrak dan
sebagainya tentu harus dikawal. Termasuk pembayaran utang setahun
Rp1.000 triliun (pokok dan bunga) yang jika harus dibagi per populasi
satu orang menanggung Rp28 juta.
4)Yang jelas, ke depan seharusnya kapasitas fiskal kita harus meningkat
bukannya berkurang dan bukan gali lubang tutup lubang. Bagaimana
caranya Penerimaan negara harus lebih besar dari pengeluaran.

Riza Annisa Pujarama


1)Utang pemerintah pusat per April 2023 berada pada angka Rp7,800
triliun.
2)Utang publik tercatat di Bank Indonesia (BI) per 2022 jumlah total
Rp14.000 triliun. Di dalamnya terdapat utang pemerintah pusat dan
daerah, utang BUMN karya dan BUMN finansial yang bergerak di
keuangan/perbankan. Jika banknya bangkrut maka risikonya kembali ke
pemerintah.
3)Batasan defisit APBN pada pasal 12 UU No 17/2003 yang perlu
diperjelas pada kalimat batas pinjaman maksimal 60%. Debt rasio yang
biasa diperbandingkan adalah utang pemerintah pusat yang konteksnya
perlu juga diperjelas apakah definisi pinjaman di UU tersebut. Apakah
utang pemerintah pusat saja, atau termasuk Utang pemda dan utang
publik. Karena menurut kriteria IMF 2021 jumlah utang publik RI berada
pada angka 79%.

Anda mungkin juga menyukai