Anda di halaman 1dari 12

PENDAHULUAN

Latar belakang

Dampak Pandemi COVID-19 yang dirasakan hampir oleh seluruh aspek


kehidupan di dunia hingga Indonesia, khususnya pada bidang Ekonomi. PT
Angkasa Pura (Persero) merupakan salah satu perusahaan milik negara yang
mengalami dampak langsung dari Pandemi COVID-19. PT Angkasa Pura (Persero)
mengalami tekanan kinerja keuangan akibat penurunan trafik penumpang
sebagai dampak dari Pandemi COVID-19. Ditengah penurunan kinerja tersebut,
PT Angkasa Pura (Persero) tetap memiliki kewajiban pembayaran pinjaman
yang digunakan untuk mengembangkan berbagai bandara demi menyelesaikan
masalah Lack of Capacity.

Pinjaman tersebut digunakan untuk mengembangkan 10 bandara yang


dalam kondisi lack of capacity di mana pada 2017 kapasitas bandara-bandara
Angkasa Pura Airports hanya 71 juta penumpang per tahun, namun realisasi
penumpangnya mencapai 90 juta per tahun dan meningkat lagi di 2018 menjadi
sebesar  96 juta penumpang. Adapun bandara-bandara yang dikembangkan yaitu
Bandara Internasional Yogyakarta di Kulon Progo (YIA), Terminal Baru Bandara
Syamsudin Noor Banjarmasin, Terminal Baru Bandara Jenderal Ahmad Yani
Semarang, Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, dan beberapa pengembangan
bandara lainnya seperti Bandara Sam Ratulangi Manado, Bandara Lombok Praya,
Terminal 1 Bandara Juanda Surabaya, Bandara Pattimura Ambon, Bandara El Tari
Kupang.

Kesulitan keuangan yang dialami oleh PT Angkasa Pura (Persero) ini


merupakan bentuk kegagalan perusahaan yang tidak dapat membayar atau
kesulitan membayar kewajibannya terhadap pemberi pinjaman. Berdasarkan
tipenya, kesulitan keuangan dapat didefinisikan sebagai economic failure atau
kegagalan ekonomi yaitu suatu kondisi dimana perusahaan tidak mampu
menutupi biaya operasionalnya, termasuk biaya bunga. Business failure natau
kegagalan bisnis dimana perusahaan menghentikan operasionalnya yang
mengakibatkan kerugian kepada direktur. Technical Insolvency yaitu ketika
perusahaan tidak mampu membayara utang. Insolvent in bankruptcy yaitu ketika
nilai buku total utang lebih besar daripada nilai pasar aset. Legal Bankruptcy
yaitu ketika perusahaan secara hukum didaftarkan ke pengadilan untuk proses
kebankrutan. PT Angkasa Pura (Persero) sendiri, berdasarkan tipenya
didefinisikan sebagai Economic failure dengan penyebab yang berasal dari
Eksternal Perusahaan yaitu karena Pandemi COVID-19.
STUDI PUSTAKA

1. Restrukturisasi BUMN

Restrukturisasi BUMN bukanlah bahasan yang sangat baru. Konsep


skenario transformasi BUMN dapat dilakukan dalam bentuk restrukturisasi
(penataan ulang), profitisasi (peningatan laba yang signifikan sebagai
langkah lanjut dari restrukturisasi), serta privatisasi (pelepasan kepemelikan
dari negara ke publik) (Abeng, 2003). Skenario tersebut diwujudkan dalam
bentuk Roadmap BUMN yang disusun oleh Kementerian BUMN pada
Kabinet Indonesia Bersatu. Roadmap tersebut mengagendakan perubahan
BUMN dengan skenario restrukturisasi, profitasisasi, dan privatisasi. Dalam
Keputusan Menteri Keuangan nomor 740/KMK.00/1989 disebutkan bahwa
peningkatan efisiensi dan produktivitas BUMN dapat dilakukan dengan
restrukturisasi. Restrukturisasi tersebut dapat berupa pembenahan BUMN
menyangkut struktur, organisasi, aspek hukum, komposisi kepemilikan aset,
dan internal manajemen, yang pada dasarnya bertujuan membentuk BUMN
menjadi lebih efisien, efektif, produktif, dan dikelola secara profesional
sehingga mempu mendapatkan keuntungan. Program restrukturisasi BUMN
bertujuan untuk meningkatkan keuntungan, kesehatan, dan kualitas
pelayanan perusahaan negara. Sasaran program ini adalah meningkatkan
efisiensi usaha dan daya saing BUMN serta terwujudnya kemitraan yang kuat
antara BUMN dengan usaha-usaha lainnya.

Dari program penataan BUMN diharapkan diperoleh jumlah BUMN


yang paling optimal baik ditinjau bagi kepentingan negara maupun
masyarakat. Penataan tersebut dapat dilakukan dengan kebijakan stand
alone, merger, holding, divestasi, dan likuidasi. Di lain pihak, berdasarkan
Undang-Undang nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN, disebutkan bahwa
restrukturisasi adalah upaya yang dilakukan dalam upaya penyehatan BUMN
yang merupakan upaya yang dilakukan untuk penyehatan kondisi internal
BUMN sehingga dapat memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai
perusahaan. Dengan peningkatan tersebut, BUMN dapat memberikan
manfaat dalam bentuk dividen dan pajak kepada negara, produk dan
layanan yang kompetitif bagi konsumen, dan pada akhirnya menarik untuk
diikutkan dalam program privatisasi. Terkait dengan motivasi untuk
melakukan restrukturisasi BUMN, dikenal alasan yang spesifik sebagai BUMN
yang mungkin berbeda dengan perusahaan swasta (Florio et al., 2018).

Dalam pandangan perusahaan swasta, restrukturisasi bertujuan untuk


meningkatkan nilai pemegang saham (shareholder-value maximization).
Menurut Florio et al. (2018), alasan restrukturisasi BUMN bertujuan untuk
utamanya meningkatkan shareholder value dan tujuan strategis jangka
panjang misalnya mendukung pembangunan proyek inovasi ekonomi dan
infrastruktur, meningkatkan keunggulan kompetitif dalam mengekstraksi
sumber daya, dan menolong (bail-out) perusahaan yang kesulitan keuangan.
Motivasi restrukturisasi BUMN tersebut dalam kasus Indonesia dapat
diketahui dari pembahasan sebelumnya, semua tujuan restrukturisasi dapat
dilakukan berdasarkan ketentuan yang ada.

2. Analisis Kondisi Internal Perusahaan

Analisis kondisi internal perusahaan dilakukan untuk mengetahui


kekuatan dan kelemahan perusahaan. Analisis kondisi tersebut misalnya
dapat menggunakan pendekatan sumber daya perusahaan (resource based
view, RBV). RBV adalah suatu perspektif organisasi dalam bidang stratejik
yang memfokuskan pada sumber daya organisasi, berupaya memiliki sumber
daya yang menonjol dan memaksimalkan keseluruhan sumberdaya
organisasi dibandingkan dengan pesaing (Rengkung, 2015). RBV dapat
dipakai sebagai framework yang menjelaskan faktor internal yang
berpengaruh terhadap kinerja perusahaan (Lockett, 2005).
Sumber daya dapat dibagi menjadi dua, yaitu sumber daya berwujud
dan sumber daya tidak berwujud. Salah satu jenis sumber daya berwujud
adalah sumber daya keuangan, yaitu kapasitas pinjaman perusahaan dan
kemampuan menghasilkan dana sendiri. Analisis sumber daya keuangan
dapat dilakukan dengan analisis rasio, yang meliputi antara lain rasio
likuiditas, rasio solvabilitas, rasio aktivitas, dan rasio profitabilitas. Rasio-
rasio utama secara umum disepakati, meskipun penulis berbeda dapat
menggunakan istilah yang berbeda (Watson dan Head, 2007). Likuiditas
merupakan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban
perusahaan jangka pendek. Analisis likuiditas ditujukan pada aktivitas
operasinya, kemampuan menghasilkan laba dari hasil penjualan produk,
serta kebutuhan dan ukuran modal kerja perusahaan.

Rasio yang dapat digunakan misalnya current ratio, quick ratio, cash
ratio, serta operating cash flow (Brealey dan Myers, 2003; Watson dan Head,
2007). Rasio solvabilitas atau leverage ratio (Brealey dan Myers, 2003) atau
gearing ratio (Watson dan Head, 2007) menunjukkan proporsi penggunaan
hutang untuk membiayai investasi. Penghitungannya dapat menggunakan
(1) data di neraca untuk menilai seberapa besar pinjaman dipakai dalam
perusahaan, dan (2) data di laporan laba rugi untuk menilai seberapa besar
beban tetap hutang berupa bunga dan pokok pinjaman dapat ditutup
dengan laba operasi. Rasio ini dapat diukur misalnya dengan debt to asset
ratio, debt to equity ratio, long term debt to equity, dan interest coverage
ratio. Rasio aktivitas atau disebut juga efficiency ratio (Brealey dan Myers,
2003) mengukur seberapa efektif perusahaan menggunakan sumber daya
sebagaimana ditentukan oleh kebijakan perusahaan. Rasio ini terkait dengan
perbandingan antara penjualan dengan aktiva pendukung terjadinya
penjualan. Rasio-rasio tersebut misalnya inventory turnover, account
receivable turnover, working capital turnover, current asset turnover, fixed
asset turnover, serta total asset turnover. Selanjutnya, rasio profitabilitas
mengukur seberapa efektif pengelolaan perusahaan sehingga menghasilkan
keuntungan. Beberapa rasio yang dapat digunakan misalnya gross margin,
operating margin, net profit margin, return on total asset, dan return on
equity (Watson dan Head, 2007). Pada artikel ini, beberapa dari rasio-rasio
tersebut akan dipakai untuk mengukur kinerja keuangan BUMN. Definisi
operasional yang dipakai dalam artikel ini akan dijelaskan di bagian metode
penelitian.

3. Dampak Restrukturisasi

Terdapat literatur hasil penelitian di negara-negara lain yang dapat


dipakai sebagai acuan untuk mengetahui dampak restrukturisasi
perusahaan. Misalnya, Rashid dan Naeem (2016) meneliti pengaruh merger
dan akuisisi pada profitabilitas, leverage, dan likuiditas perusahaan di
Pakistan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa merger tidak memberikan
pengaruh yang signifikan pada profitabilitas, likuiditas dan leverage. Di lain
pihak, dengan metode Bayesian, diperoleh hasil bahwa merger berpengaruh
negatif pada quick ratio. Pada kasus Jepang, Kotaro et al. (2010) menemukan
bahwa perusahaan yang dirampingkan asetnya setelah restrukturisasi
mengalami penurunan nilai profitabilitas dibandingkan dengan perusahaan
pada industri sejenis. Dampak negatif tersebut dapat diatasi apabila
perusahaan memasukkan manajemen dan modal baru dari luar. Selanjutnya
Leepsa dan Mishra (2014) meneliti kondisi keuangan sebelum dan sesudah
merger pada perusahaan manufaktur di India tahun 2000-2008. Mereka
menyimpulkan bahwa sukses atau tidaknya keputusan merger dipengaruhi
oleh return on capital, quick ratio, debt ratio, interest coverage ratio,
metode pembayaran, ukuran perusahaan yang mengakuisisi, serta
keterkaitan industri

PEMBAHASAN
Perusahaan-perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan berusaha
untuk keluar dari kondisi tersebut dalam aksi korporasi yang dikenal dengan
restrukturisasi utang. Restrukturisasi utang dikenal juga dengan istilah workout
yaitu sebagai perubahan kesepakatan antara perusahaan dengan kreditur.
Greenwood et al. (2020) menyatakan bahwa restrukturisasi utang sebagai cara
untuk menghindari likuidasi perusahaan melalui kesepakatan dengan kreditur
dengan syarat tertentu. Sedangkan menurut Ghosh (2019) adalah penyesuaian
atau penyusunan kembali struktur utang yang mencerminkan kesepakatan
kepada debitur untuk merencanakan pemenuhan kewajiban keuangannya.
Tujuan dari restrukturisasi utang adalah untuk memberikan dukungan dalam
bentuk kelonggaran bagi perusahaan yang sedang mengalami kesulitan
keuangan sehingga dapat keluar dari masalah tersebut dalam periode tertentu.
Restrukturisasi utang dapat dilakukan melalui pengadilan (in court) atau tanpa
pengadilan (out of the court).

Restrukturisasi utang yang dilakukan melalui pengadilan menuntut


perusahaan untuk mengajukan rencana restrukturisasi yang harus disetujui oleh
semua kreditur. Di Indonesia, restrukturisasi utang melalui pengadilan mengikuti
ketentuan Undang-Undang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Sedangkan, untuk
restrukturisasi di luar pengadilan, perusahaan cukup meminta ke masingmasing
kreditur secara langsung. Restrukturisasi utang yang dilakukan memiliki dampak
pada perusahaan. Restrukturisasi utang diharapkan dapat meningkatkan
likuiditas, memperbaiki struktur modal, dan meningkatkan kinerja keuangan,
sehingga kedepannya dapat beroperasi lebih baik dan mampu membayar
kewajiban utangnya. Beberapa penelitian menunjukkan dampak restrukturisasi
utang pada perusahaan. Restrukturisasi utang berpengaruh signifikan pada
penilaian investor. Penurunan jumlah utang dan pengurangan beban bunga
memungkinkan perusahaan untuk memperluas bisnis dan berkinerja relatif lebih
baik dalam jangka panjang (Fan, 2019).
Di Serbia, restrukturisasi utang dengan cara Debt to Equity Swap (DES)
atau pertukaran utang menjadi modal berimplikasi pada rendahnya rasio utang
dan kewajiban pembayaran utang sehingga berpengaruh positif pada kinerja
keuangan perusahaan. Restrukturisasi utang tidak secara signifikan
meningkatkan investasi perusahaan secara keseluruhan. Hal ini dapat terjadi
karena perbedaan hak properti, sifat dari industri, model dan jumlah
pembayaran, dan karakteristik renegosiasi utang. Namun, untuk perusahaan
yang dimiliki negara, restrukturisasi utang mampu secara signifikan
meningkatkan efisiensi dari terjadinya overinvestment. Jumlah nilai yang
direstrukturisasi berpengaruh negatif pada efisiensi investasi. Kinerja keuangan
perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan dengan membandingkan
restrukturisasi utang secara temporer dan restrukturisai utang secara tetap pada
kinerja keuangannya.

Perusahaan yang melakukan restrukturisasi utang secara temporer


kinerja keuangannya memburuk secara signifikan dibandingkan dengan
perusahaan yang mengalami restrukturisasi utang tetap. Dalam restrukturisasi
utang, perusahaan perlu memperhatikan kemampuan membayar. Kemampuan
membayar tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek seperti likuiditas, aset, dan
struktur modal perusahaan. Likuiditas adalah ukuran sejauh mana perusahaan
memiliki uang tunai untuk memenuhi kewajiban jangka pendek atau aset yang
dapat dengan cepat dikonversi menjadi uang tunai. Dalam istilah akuntansi, itu
adalah kemampuan aset lancar untuk memenuhi kewajiban lancar. Berinvestasi,
di sisi lain, adalah kemampuan untuk mengubah portofolio investasi menjadi
uang tunai dengan cepat dengan sedikit atau tanpa kerugian nilai. Perusahaan
yang mengalami kesulitan keuangan biasanya ditandai oleh masalah likuiditas.
Derajat gangguan likuiditas bervariasi tergantung dari penyebab gangguan
tersebut. Jika perusahaan tidak dapat menghasilkan laba yang wajar secara
operasional, maka perusahaan secara bertahap akan mengalami kesulitan
likuiditas. Namun, jika perusahaan secara operasional mampu menghasilkan laba
yang wajar, maka likuiditas operasional perusahaan tidak terganggu. Kenaikan
utang terkait nilai tukar berdampak langsung pada likuiditas perusahaan.
Meskipun perusahaan dalam posisi menguntungkan secara operasional, jika
perusahaan terganggu oleh kerugian akibat perbedaan mata uang, likuiditas
perusahaan, beserta kerugian mata uang yang ditanggungnya, akan terganggu.
Bagi perusahaan, penurunan likuiditas akibat kerugian mata uang akan
memengaruhi upaya pemenuhan kewajibannya. Jika kewajiban jangka pendek
suatu perusahaan dapat dipenuhi maka perusahaan dapat dikatakan likuid.
Sebaliknya, jika kewajiban jangka pendek tidak dapat dipenuhi, maka perusahaan
dianggap tidak likuid.

Perusahaan yang memiliki likuiditas tinggi cenderung memiliki utang


yang sedikit. Aset adalah sumber daya yang memiliki nilai ekonomi yang dimiliki
atau dikuasai oleh suatu perusahaan dengan harapan akan bermanfaat di masa
yang akan datang. Aset dapat berwujud atau terlihat, seperti bangunan, tanah,
barang, mesin, surat berharga, kantor, uang tunai dan lain-lain. Jenis aset yang
lain adalah aset tidak berwujud, yang memiliki nilai yang dapat ditukar. Contoh
aset tidak berwujud adalah paten, merek dagang, hak cipta, dan kekayaan
intelektual. Aset juga dapat menjadi jaminan (collateral) dalam memperoleh
utang. Jika terjadi gagal bayar, kreditur dapat mengambil aset atau menjual aset
untuk melunasi hutang. Namun, utang perusahaan yang akan diselesaikan
dengan aset tergantung pada keputusan kreditur. Jika kreditur meragukan
kewajiban pembayaran perusahaan dengan aset yang dijaminkan, kreditur dapat
menuntut aset lain (jaminan pihak ketiga) apabila terjadi wanprestasi. Agunan
eksternal meningkatkan nilai total aset yang dilikuidasi dalam hal kesulitan
keuangan terjadi sehingga mengurangi jumlah kerugian investor jika terjadi
likuidasi. Jika terjadi wanprestasi, peminjam akan menuntut agar sebagian
pinjaman dihapuskan jika agunan pihak ketiga tersedia. Struktur modal
perusahaan menunjukkan asal-usul sumber keuangan perusahaan dan sekaligus
ruang lingkup hak pemilik atas kekayaan perusahaan dan hak kreditur atas
kekayaan perusahaan. Aset perusahaan dapat digunakan sebagai cara untuk
pembayaran jika perusahaan tidak dapat membayar utangnya. Perusahaan yang
memiliki utang lebih besar dari modal dikatakan overleveraged dan dapat
menurunkan leverage-nya dengan cara Debt to Equity Swap (DES), dengan
mengkonversi sebagian utang menjadi ekuitas. Dengan cara ini, tingkat leverage
perusahaan dapat dikurangi (jumlah utang berkurang dan modal bertambah,
rasio utang dibandingkan modal menurun). Dalam hal kontrol lebih lanjut,
kreditur akan lebih diuntungkan, karena kreditur tidak hanya memiliki hak atas
informasi publik, tetapi juga dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
di dalam perusahaan.

Dalam hal ini, PT Angkasa Pura (Persero) sendiri melakukan


restrukturisasi dengan melakukan 5 aspek yaitu restrukturisasi finansial,
restrukturisasi operasional, restrukturisasi penjaminan dan fund raising,
restrukturisasi transformasi bisnis dan optimalisasi aset. Untuk restrukturisasi
keuangan, PT Angkasa Pura (Persero) akan melakukan restrukturisasi hutang dan
pokok, relaksasi dan restitusi pajak, liquidity management, penundaan
penyelesaian Proyek Terminal Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Dari sisi
restrukturisasi operasional, PT Angkasa Pura (Persero) manajemen operasional
berbasis trafik tanpa mengurangi aspek keselamatan, keamanan dan pelayanan.
Selain itu juga akan dilakukan simplifikasi dan optimalisasi SDM.

Dampak yang dihasilkan PT Angkasa Pura (Persero) setelah melakukan


restrukturisasi berhasil memperoleh hasil yang positif. Kinerja keuangan dan
finansial PT Angkasa Pura (Persero) menunjukkan peningkatan arus kas yang
kembali positif setelah dilakukannya restrukturisasi yaitu positif Rp1,15 triliun
dan perolehan pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi
(earning before interest, taxes, depreciation, and amortization ) atau EBITDA
positif menjadi Rp1,56 triliun.
DAFTAR PUSTAKA

Abeng, T. (2003). Badan Usaha Milik Negara: Privatisasi, Tantangan dan Harapan.
Kongres XV Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Batu, Malang.

Brealey, R. A. & Myers, S. C. (2003). Principles of Corporate Finance, 7ed. New


York: McGraw-Hill.

Flor, C. R. (2011). Asset substitution and debt renegotiation. Journal of Business


Finance & Accounting, 38(7–8), 915–944.
https://doi.org/https://doi.org/10.1111/j.14 68-5957.2011.02253.

Florio, M., Ferraris, M., & Vandone, D. (2018). State-Owned Enterprises:


Rationales for Mergers and Acquisitions. Working Paper CIRIEC No.
2018/01. Liege, Belgium: International Centre of Research and Information
on the Public, Social and Cooperative Economy.

Ghosh, S. (2019). Corporate distress, troubled debt restructurings and equity


stripping. South Asian Journal of Business Studies, 8(1), 105– 126.
https://doi.org/10.1108/SAJBS-05- 2018-0059

Greenwood, R. M., Iverson, B., & Thesmar, D. (2020). Sizing up Corporate


Restructuring in the Covid Crisis. National Bureau of Economic Research
Working Paper Series, No. 28104. https://doi.org/10.3386/W28104

Kotaro, I., Konari, U., & Bremer, M. (2010). Post-restructuring performance in


Japan. Pacific-Basin Finance Journal, 18, 494-508.

Leepsa, N. M. & Mishra, C. S. (2012). Post-merger financial performance: A study


with reference to selected manufacturing companies in India. International
Research Journal of Finance and Economics, 1, 6-17.
Lockett, A. (2005). Edith Penrose’ legacy to the resource-based view. Managerial
and Decision Economics, 26, 83-98.

Rashid, A. & Naeem, N. (2016). Effects of mergers on corporate performance: An


empirical evaluation using OLS and the empirical Bayesian methods. Borsa
Istanbul Review, 17(1), 10-24

Watson, D. & Head, A. (2007). Corporate Finance: Principles and Practice, 4ed.
Harlow, England: Prentice-Hall.

Anda mungkin juga menyukai