Anda di halaman 1dari 8

MENINGKATKAN MINAT BACA GENERASI MUDA MELALUI GERAKAN

“SAKU SATE” DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA


DI STAIN WATAMPONE

Evelina Satriya Salam, S.Pd.,M.Pd.


Jln. Yos Sudarso No. 31/B, Kel. Terang-terang, Kec. Ujung Bulu, Kab. Bulukumba
STAIN Watampone
evelina_salam@yahoo.com/085255906659

PENDAHULUAN
Membaca adalah sebuah aktivitas yang tidak asing bagi masyarakat. Bahkan
kegiatan membaca sudah diperkenalkan sejak usia dini. Dengan membaca, kemampuan
berpikir manusia akan semakin terasah dan berkembang, ilmu pengetahuan pun akan
bertambah dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia terutama di era
globalisasasi ini. Maka dari itu, membaca menjadi sebuah kebutuhan manusia agar
dapat menghadapi persaingan dengan bangsa–bangsa lain di dunia. Remaja sebagai
penerus bangsa, diharapkan dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi berbagai
permasalahan dalam kehidupan termasuk permasalahan sosial, baik yang terjadi di masa
yang akan datang khususnya dalam menyongsong era globalisasi (Sugiyanto, 1999: 27).
Membaca adalah melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis, mengeja atau
melafalkan apa yang tertulis, mengucapkan dan memahami (Alwi, 2008:109). Pendapat
lain dari pengertian membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta digunakan oleh
pembaca untuk memperoleh pesan yang disampaikan penulis melalui media bahasa tulis
(Tarigan, 1997:7). Membaca adalah suatu kegiatan atau cara dalam mengupayakan
pembinaan daya nalar (Tampubolon, 1987:6). Membaca adalah kegiatan meresepsi,
menganalisis, dan menginterpretasi yang dilakukan oleh pembaca untuk memeroleh
pesan yang hendak disampaikan oleh penulis dalam media tulisan. Dengan membaca,
seseorang secara tidak langsung sudah mengumpulkan kata demi kata dalam
mengaitkan maksud dan arah bacaannya yang pada akhirnya pembaca dapat
menyimpulkan suatu hal dengan nalar yang dimilikinya.
Harjasujana (1996:4) mengemukakan bahwa membaca merupakan proses.
Membaca bukanlah proses yang tunggal melainkan sintesis dari berbagai proses yang
kemudian berakumulasi pada suatu perbuatan tunggal. Membaca diartikan sebagai
pengucapan kata-kata, mengidentifikasi kata dan mencari arti dari sebuah teks.
Membaca diawali dari struktur luar bahasa yang terlihat oleh kemampuan visual untuk
mendapatkan makna yang terdapat dalam struktur dalam bahasa. Dengan kata lain,
membaca berarti menggunakan struktur dalam untuk menginterpretasikan struktur luar
yang terdiri dari kata-kata dalam sebuah teks. Dari definisi-definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa membaca merupakan sebuah proses yang melibatkan kemampuan
visual dan kemampuan kognisi. Kedua kemampuan ini diperlukan untuk memberikan
lambang-lambang huruf agar dapat dipahami dan menjadi bermakna bagi pembaca.
“Buku adalah jendela dunia” adalah kalimat yang sering kita dengar dari kecil
hingga dewasa. Tanpa harus berkeliling dunia, membaca buku dapat mengetahui
sesuatu yang menakjubkan tentang dunia luar. Membaca merupakan salah satu faktor
untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Membaca juga dapat menjauhkan dari
jurang kebodohan dan menjauhkan pula dari kemiskinan. Dalam buku Agus M. Irkham
(2008: 151) menyatakan bahwa seringkali menghubungkan antara minat baca dengan
kemampuan menulis. Jadi, kalau kebiasaan membaca sudah menjadi kebiasaan hidup,
dengan sendirinya akan mudah menulis. Hubungan antara membaca dengan menulis
sangat ketat, meski tidak seketat antara mendengar dengan berbicara. Untuk dapat
menulis, harus membaca. Membaca adalah sarana utama menuju keterampilan menulis.
Rendahnya minat baca masyarakat sangat memengaruhi kualitas bangsa
Indonesia. Hal ini mengakibatkan tidak bisa mengetahui dan mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan informasi di dunia, dan pada akhirnya akan berdampak pada
ketertinggalan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, untuk dapat mengejar kemajuan yang
telah dicapai oleh negara-negara tetangga, perlu dikaji apa yang menjadikan mereka
lebih maju. Ternyata mereka lebih unggul di sumber daya manusianya. Budaya
membaca mereka telah mendarah daging dan sudah menjadi kebutuhan mutlak dalam
kehidupan sehari-harinya. Untuk mengikuti jejak mereka dalam menumbuhkan minat
baca sejak dini perlu ditiru dan diterapkan pada masyarakat, terutama pada tunas-tunas
bangsa yang kelak akan mewarisi negeri ini.
Peradaban suatu bangsa ditentukan oleh kecerdasan dan pengetahuannya,
sedangkan kecerdasan dan pengetahuan dihasilkan oleh seberapa ilmu pengetahuan
yang didapat. Ilmu pengetahuan didapat dari informasi yang diperoleh dari lisan
maupun tulisan. Semakin banyak penduduk suatu wilayah yang haus akan ilmu
pengetahuan semakin tinggi peradabannya. Budaya suatu bangsa biasanya berjalan
seiring dengan budaya literasi. Faktor kebudayaan dan peradaban dipengaruhi oleh
membaca yang dihasilkan dari temuan-temuan para kaum cerdik pandai yang terekam
dalam tulisan yang menjadikan warisan literasi informasi yang sangat berguna bagi
proses kehidupan sosial yang dinamis. Dengan demikian, dapat disimpulkan faktor-
faktor yang memengaruhi minat baca dapat bersifat personal dan institusional. Faktor
personal antara lain inteligensi usia, jenis kelamin, kemampuan membaca, sikap, dan
kebutuhan psikologis. Sedangkan faktor institusional antara lain tersedianya bacaan
yang sesuai, latar belakang status sosial ekonomi, dan kelompok etnis serta pengaruh
teman sebaya, orang tua, guru, televisi, dan film.
Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat
memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1000 orang Indonesia, cuma 1 orang
yang rajin membaca. Riset berbeda bertajuk "Most Littered Nation In the World" yang
dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia
dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Ini artinya,
Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari
segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca peringkat Indonesia berada di
atas negara-negara Eropa.
Gerakan “Saku Sate” berupaya menjadi solusi aplikatif agar minat baca generasi
muda dapat meningkat. Ide ini tertelurkan pada saat pertemuan awal perkuliahan bahasa
Indonesia di kampus STAIN Watampone. Pertemuan awal Penulis dimulai dengan
pertanyaan “Berapa buku yang telah Saudara baca bulan ini?”. Alhasil, dari 30
mahasiswa hanya 1 mahasiswa yang menjawab dan itupun satu buku tapi belum selesai
sepenuhnya dibaca. Pertanyaan itu Penulis ulang pada kelas berikutnya. Alhasil sangat
mengejutkan, jawabannya nihil. Sungguh ironis tatkala generasi muda saat ini
mengalami krisis literasi. Hal inilah yang membuat Penulis menelurkan Gerakan “ Saku
Sate” untuk meningkatkan minat baca generasi muda. Gerakan ini Penulis telah
aplikasikan pada pembelajaran bahasa Indonesia di kampus STAIN Watampone pada
semester genap T.A 2016/2017. Kini giliran para penggagas pendidikan khususnya
pengajar/dosen memberi solusi aplikatif bukan sekedar konsep tapi aksi nyata agar
generasi muda tidak rabun membaca dan tidak pincang menulis.
Gerakan “Saku Sate” tak hanya dapat diaplikasikan di kampus tapi juga di
sekolah. Hadirnya gerakan “Saku Sate” bertujuan untuk menebar virus membaca
sekaligus upaya memasyarakatkan gemar membaca baik dikalangan mahasiswa maupun
masyarakat. Hal ini ditandai dengan adanya program kegiatan yang sistematis dan
bersentuhan langsung dengan tokoh yang berkiprah dalam bidang tertentu. Untuk
pemerintah, gerakan ini diharapkan dapat menjadi pion salah satu bentuk dukungan
program gerakan literasi sekolah yang pemerintah canangkan.

ARGUMENTASI
Membaca adalah cerminan literasi bahasa bangsa. Pesatnya arus informasi di era
digital saat ini, tentulah tidak berlebihan jika istilah membaca sebagai jendela dunia
diperluas lagi menjadi membaca adalah gerbang dunia. Artinya, sebagai gerbang dunia
membaca tidak hanya membuka mata untuk melihat sekeliling secara lebih kompleks,
tetapi juga dengan membaca dapat menjadi lebih sensitif dengan hal-hal sederhana yang
berpotensi menghasilkan inovasi atau pengalaman baru yang berguna bagi orang lain
dan lingkungan dalam bentuk apapun. Saat ini, membaca tidak hanya terpaku pada
kertas semata dan bahkan dapat dilakukan di mana saja karena masyarakat lebih mudah
dalam mengakses sumber bacaan melalui internet. Kemudahan ini tentu berakibat pula
pada meningkatnya minat baca masyarakat. Contohnya, penduduk di negara maju
seperti Australia, sering menggunakan sarana internet untuk membaca disela-sela
aktivitas atau saat liburan, dan bahkan mengalami peningkatan.
Terlepas dari media yang digunakan saat membaca, penduduk negara maju
umumnya memiliki minat baca yang tinggi. Dorongan intrinsik akan pentingnya
membaca ini membuat mereka meluangkan waktu khusus untuk membaca kira-kira
delapan jam per hari. Bahkan dalam dunia pendidikan, siswa-siswa di sekolah
menengah umumnya diberikan target buku yang harus dibaca sebagai salah satu syarat
utama sebelum menamatkan studinya. Misalnya, Amerika Serikat memberikan 32 judul
buku sebagai bahan bacaan wajib, Jepang 22 buku, dan Singapura sebanyak 6 judul
buku.
Bung Hatta pernah melontarkan kata-kata ampuh yang di kemudian hari menjadi
salah satu kutipan unggulan dari penggambaran sosoknya. “Aku rela dipenjara asalkan
bersama buku, karena dengan buku aku bebas.” Tidak hanya Bung Hatta yang secara
khusus menempatkan pembacaan teks sebagai alat pembebasan belenggu historis dan
kebodohan, tokoh besar pergerakan Indonesia seperti Tan Malaka dalam Madilog-nya
juga pernah berujar soal ini. “Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk
kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.” Suara tegas
Tan Malaka yang dia prediksi akan lebih lantang menggema ketika ia sendiri sudah di
dalam liang kubur pun terbukti benar, manakala catatan-catatan beserta buku karyanya
kini dengan bebas dapat dibaca oleh semua kalangan setelah sebelumnya dilarang di era
Orde Baru.
Saat peradaban termaju dunia masih berpusat di Mesopotamia dan tepi sungai Nil,
di bawah kekuasaan para Firaun di Mesir Kuno, Francis Bacon seorang filsuf asal
Inggris berujar: “Pengetahuan adalah kekuatan, siapa pun pelakunya”. Fir’aun yang
abadi dalam sejarah, ternyata kekuasaannya dibangun tidak semata-mata dengan
kekuatan militer. Pada saat berkuasa, Fir’aun memiliki perpustakaan pribadi dengan
koleksi sebanyak 20.000 buku. Lalu, Bung Karno sendiri, tentu tidak terlahir dengan
segudang pengetahuan luas akan kebangsaan, lengkap dengan jiwa pemimpin dan
kemampuan berpidato yang berapi-api. Itu jelas mustahil tanpa hadirnya buku dan
kegemarannya akan membaca dan menulis.
Tentu masih banyak tokoh-tokoh nasional progresif lain yang memiliki
kegemaran akan membaca dan menulis. Dari tokoh di atas, kesemuanya juga telah
banyak menelurkan buku mereka sendiri. Di antaranya Madilog milik Tan Malaka, Di
Bawah Bendera Revolusi karya Soekarno, Alam Pikiran Yunani oleh Hatta dan masih
banyak lagi yang lainnya. Sangat ironis apabila dalam rentang satu tahun tidak ada satu
buku pun yang tuntas dibaca, atau minimal tuntas separuhnya. Belum lagi soal
kemampuan menulis yang rendah di tengah masyarakat, banyak sekali kemudahan
akses dan teknologi yang sedang membanjiri.
Milan Kundera seorang novelis asal Republik Ceko pernah berujar “Jika ingin
menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah
bangsa itu akan musnah.” Di Indonesia, penghancuran buku memang belum terjadi.
Namun, kemerosotan besar dalam literasi ini seharusnya menjadi peringatan.
Pemerintah perlu menyiapkan formulasi lebih mutakhir untuk menumbuhkan budaya
literasi jangka panjang. Hal itu dapat dilakukan melalui aksi nyata gerakan “Saku Sate”
yang Penulis gagas. Tak cukup dengan formulasi mutakhir, pemerintah diharapkan
mendukung dengan mensosialisasikan gerakan ini. Membangun negara tidak melulu
hanya berfokus kepada fisiknya, melainkan beriringan dengan pembangunan wawasan
beserta segenap sumber daya manusia. Selayaknya para pemikir dan pendiri bangsa
yang berhasil memerdekakan pikirannya terlebih dahulu.

APLIKASI
Gerakan “Saku Sate” merupakan akronim dari gerakan Satu buKu Satu
SemesTer. Gerakan ini digagas dengan maksud agar pada satu semester pembelajaran
bahasa Indonesia, mahasiswa harus membaca dan menguasai minimal satu buku yang
telah ditetapkan oleh dosen. Buku yang dipilih erat kaitannya dengan kebutuhan
mahasiswa yang diajar. Pemilihan buku yang Penulis telah lakukan di STAIN
Watampone pada semester genap yang lalu bertema pendidikan. Ada tahap pengenalan
buku yang diinformasikan kepada mahasiswa. Maka dari itu, dosen sebaiknya telah
membaca terlebih dahulu buku yang ditawarkan kepada mahasiswa. Hal ini dilakukan
untuk menarik perhatian bahwa buku yang dipilih bukan semata-mata sekedar buku
untuk dibaca tetapi ada nilai lebih yang diperoleh sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.
Sebagaimana mahasiswa yang Penulis ajar adalah mahasiswa jurusan tarbiyah dan
prodi yang beragam. Buku yang dipilih harus relevan dan dapat menjadi kiblat bagi
mahasiswa atau calon pendidik tentang pendidikan, khususnya bagaimana menjadi
pemimpin dan guru cinta. Secara buku pendidikan tersebut berjudul “Sekolah Cinta”
karya Edi Sutarto yang berisi tentang menjadi pemimpin dan guru cinta. Selama proses
pembelajaran tentunya mahasiswa membaca lembar demi lembar buku pendidikan
tersebut. Hingga akhirnya pada batas kesepakatan buku tersebut harus selesai dibaca
maka ada agenda lanjutan pelaksanaan gerakan “Saku Sate” tersebut.
Adapun langkah-langkah pelaksanaan gerakan “Saku Sate” sebagai berikut.
a. Pengajuan proposal pelaksanaan sosialisasi gerakan “Saku Sate” pada pihak
kampus dan pemerintah daerah.
b. Sosialisasi pada dosen mata kuliah di setiap semester.
c. Sosialisasi pada mahasiswa melalui dosen pengampu mata kuliah
d. Penyeragaman pelaksanaan kegiatan dan menghadirkan penulis buku yang
dipilih.
e. Evaluasi pelaksanaan gerakan “Saku Sate” melalui program-program yang
dapat menunjukkan hasil pelaksanaan gerakan seperti lomba menulis esai,
resensi buku, menulis cerpen/novel, dan sebagainya pada akhir semester. Hasil
tulisan mahasiswa tersebut dapat pula dijadikan bunga rampai dan diterbitkan
sebagai produk konkret dari gerakan “Saku Sate”.
Gerakan “Saku Sate” merupakan upaya menyeluruh yang melibatkan semua
warga kampus (dosen, mahasiswa, serta stake holder dan masyarakat), sebagai bagian
dari ekosistem pendidikan. Menumbuhkembangkan budi pekerti mahasiswa melalui
pembudayaan ekosistem literasi kampus yang diwujudkan dalam Gerakan “Saku Sate”
agar menjadi pembelajar sepanjang hayat. Dengan kata lain, tujuan dari gerakan ini
adalah:
a. Membumikan budaya literasi membaca dan menulis mahasiswa di kampus.
b. Meningkatkan kapasitas warga dan lingkungan kampus agar literat dan
memiliki jiwa ilmiah.
c. Menjaga keberlanjutan pembelajaran dengan menghadirkan beragam buku
bacaan dan mewadahi berbagai strategi membaca.
Harapan khusus kepada pemerintah terkait keberlanjutan gerakan ini agar saling
bersinergi antara pegiat-pegiat literasi baik di sekolah, kampus, bahkan di tengah
masyarakat dalam bentuk apresiasi terhadap para pegiat literasi. Hal ini akan
memotivasi para calon pegiat literasi lainnya untuk memberikan inovasi mengenai
gerakan literasi yang dikemas secara berbeda sehingga akan menelurkan gerakan-
gerakan literasi lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Edisi Keempat.
Gramedia Pustaka Utama:Jakarta.
Harjasujana, A.S. & Damaianti, V.S. 2003. Membaca dalam Teori dan Praktik.
Bandung: Mutiara.
M. Irkham, Agus. 2008. Best Seller Sejak Cetakan Pertama. Surakarta: Afra Publishing.
Sugiyanto. 1999.”Kajian Remaja Dilihat dari Teori Perkembangan” .Jurnal Informasi.
Tarigan, Henry Guntur. 1997. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa.
Tampubolon, DP. 1987. Kemampuan Membaca: Teknik Membaca Efektif dan Efisien.
Bandung: Angkasa.

Anda mungkin juga menyukai