Anda di halaman 1dari 2

Anak gadis, Anak-anak Tepi Pantai

Ini tentang laut tanpa ikan, juga nelayan tanpa laut.

Orang lelaki adalah gelombang pengharapan, tempat air mata dan tawa ceria melintas.

Aku adalah anak laut yang berburu rezeki di antara gelombang,

membunuh rasa takut walau maut terus menyahut.

Lawanku adalah semarak daratan yang penuh minyak dan limbah penghancur karang.

Setiap deru mesin raksasa yang muntah kelautan adalah air mata ibu dari anak-anak tepi pantai.

Sementara di darat konglomerat tertawa ria mengumpul buih rupiah.

Kalau aku turun melaut, Aku bertemu gelap malam dan dingin tempias ombak.

Ibu dari anak-anak tepi pantai menunggu tungku dengan cemas bersama doa yang dilayangkan ke
langit.

Ikan-ikan menjadi masa lalu, di masa kini nelayan hanya akan berjumpa dengan harap dan
keberuntungan.

Berharap ada ikan, dan beruntung jika dapat ikan.

Laut bukan lagi ladang pendapatan, ia telah berubah menjadi tempat pembuangan dari mesin-mesin
perusahaan.

Aku adalah nelayan pulau kayangan, tempatku dipadati bangunan mimpi-mimpi.

Anak gadisku, anak tepi pantai tidak aku ajarkan untuk berenang.

Sebab hari depan ia hanya akan tenggelam menjadi kenangan dan karam di dasar lautan yang tak
berterumbu karang, dan tentu akan sepi kematiannya.

Aku ajarkan ia berkelahi,

aku ajarkan ia membunuh,

aku ajarkan ia menipu,

aku ajarkan ia menggusur dan merusak,

sebab begitulah watak masa depan manusia.

Jika anak gadisku besar nanti,


itu tandanya aku sudah harus menenggelamkan diri lalu mati ditindis jangkar kapal minyak.

Dengan begitu, dendam anak gadisku, anak-anak tepi pantai akan terus tumbuh.

Dan Kehidupan di laut akan berlanjut menjadi amarah dan perlawanan!

Banggai Kepulauan,

3 Juli 2019

Anda mungkin juga menyukai